repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · web...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pasca runtuhnya Orde Baru 21 Mei 1998 Indonesia mengalami euforia
kebebasan politik yang belum terjadi sebelumnya. Banyak pihak yang
meneriakkan kebebasan. Diantara wujud kebebasan yang paling tampak
adalah kesempatan untuk menyiarkan aspirasi yang sejak lama terpendam,
mulai dari teriakan desentralisasi kekuasaan, pekikan kedaulatan ataupun
merdeka, selain itu dilaksanakan berbagai agenda reformasi. Salah satu isu
yang berkaitan dengan agenda tersebut adalah penempatan Pegawai Negeri
Sipil (PNS) secara profesional disetiap lembaga pemerintahan.
Pada esensinya isu diatas bukanlah suatu hal yang baru. Pada masa
orde lama sistem pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang dianut
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem sentralisasi
dimana pengangkatan PNS dilaksanakan secara sentralistik. Segala
kebijakan yang akan diambil harus berasal dari pemerintah pusat dan harus
menunggu petunjuk pelaksanaan (juklat) dan petunjuk teknis (juknis) dalam
proses pelaksanaannya.
Pada masa orde baru pengangkatan seorang aparat birokrasi
pemerintahan juga menghendaki profesionalisme dalam diri seorang pejabat.
Indikasi ini dapat dilihat pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan yang
1
dijabat oleh orang-orang profesional sesuai dengan potensi, dedikasi, dan
prestasi yang bersangkutan.
Nuansa profesionalisme Pegawai Negeri Sipil semakin tinggi
tuntutannya diera reformasi. Konsep teori “The Right Man on The Right
Place” (penempatan seseorang sesuai dengan keahliannya) ingin diwujudkan
dan menjadi agenda reformasi dan birokrasi pemerintahan. Aplikasinya,
dilakukanlah perubahan peraturan penyelenggaraan pemerintah daerah
dengan menetapkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab dan
dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Tugas Pemerintah Daerah (Pemda) semakin berat dengan
diterapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, mengingat
tanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat sangat besar. Pada
akhirnya Pemda harus memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan umum dan pembangunan kearah yang lebih baik. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan kinerja para aparatur pemerintah yang
memiliki dedikasi, loyalitas serta profesionalisme yang tinggi dan tentunya
mampu menjadi pelindung masyarakat.
Untuk mendapatkan aparat yang memiliki dedikasi dan hasil kerja
yang optimal, maka harus dilakukan pertimbangan dan seleksi yang ketat
bagi para calon pegawai negeri sipil, apalagi yang ingin menduduki suatu
2
jabatan strategis. Agar aparat dapat lebih menghayati bidang tugasnya maka
seyogianya pelaksanaan rekruitmen dan penempatan pegawai harus
berpedoman pada analisis jabatan, dimana outputnya berisi uraian jabatan,
spesifikasi jabatan, dan standar kinerja.
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah
yang berkaitan dengan sumber daya aparatur antara lain: pertama, pemda
kekurangan pegawai yang berkwalitas yang mampu bekerja secara efektif.
Kedua, setiap perekrutan dan penempatan PNS selalu berujung pada
pertimbangan politik artinya terdapat beberapa kepentingan politik atau
yang didasarkan atas hubungan kekeluargaan. Ketiga, tidak adanya standar
kerja yang jelas untuk suatu jabatan sehingga merancukan pengertian
profesionalisme.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, maka diperlukan
sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu meningkatkan kinerja
dan pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini dapat tercapai dengan
melaksanakan secara bertanggung jawab Peraturan Bupati Luwu Utara
Nomor 16 Tahun 2011 tentang BAPERJAKAT. Badan ini yang memiliki
wewenang penuh untuk mewujudkan teori “The Right Man on The Right
Place”.
Akan tetapi dalam era otonomi saat ini, Bupati sebagai pemimpin
tertinggi di daerah memiliki wewenang dan pengaruh yang sangat kuat.
Semua masalah tentang mutasi, pemberhentian, dan kenaikan pangkat
3
seakan-akan harus didasarkan pada keinginan dan pesanan Bupati. Tim
BAPERJAKAT telah kehilangan kekuatannya ketika sudah berhadapan
dengan kemauan Bupati sebagai pemimpin tertinggi di daerah. Tim
BAPERJAKAT mengalami dilematis karena mereka sendiri akan mengalami
dampak negatif ketika keinginan Bupati tidak dipenuhi.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis melakukan penelitian
tentang PNS dengan judul penelitian “ Implementasi Kebijakan Kepegawaian
Di Kabupaten Luwu Utara “.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah implementasi kebijakan mutasi di Kabupaten Luwu
Utara ?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan
mutasi di Kabupaten Luwu Utara ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan mutasi di Kabupaten Luwu
Utara.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan
mutasi di Kabupaten Luwu Utara.
1.3.2. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
4
Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat bagi akademisi yang
menggeluti bidang kajian ilmu pemerintahan. Penelitian ini berisi data,
fakta, konsep, dan teori yang diharapkan dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintahan
khususnya pemerintah daerah dalam melakukan inovasi terhadap
konsep implementasi kebijakan kepegawaian. Lebih khusus penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pemerintah kabupaten Luwu Utara dalam
mengoptimalkan penerapan kebijakan kepegawaian yang berbasiskan
kepentingan masyarakat. Selain itu, penelitian ini berisi mengenai
persepsi baik dari pemerintah maupun yang di perintah (masyarakat).
Oleh karena itu, penelitian ini diharapakan dapat menjadi jembatan bagi
terbentuknya pola komunikasi yang sinergis antara pemerintah
kabupaten Luwu Utara selaku provider layanan publik dengan
masyarakat selaku konsumer guna optimalisasi pelayanan serta sebagai
bahan evaluasi ke depan guna inovasi konsep pelayanan.
1.4. Kerangka Konseptual
Sebagaimana terlihat sepanjang sejarah, maka kedudukan dan
peranan Pegawai Negeri adalah penting dan menentukan karena Pegawai
Negeri adalah unsur Aparatur Negera untuk menyelenggarakan
5
pemerintahan dan pembangunan dalam rangka usaha mencapai tujuan
Nasional.
Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian merupakan landasan bagi pemerintah secara nasional
dalam hal pengaturan PNS. Demikian juga tentang pengaturan mutasi PNS.
Kabupaten Luwu Utara sebagai bagian dari pemerintah pusat
menjabarkan UU Nomor 43 Tahun 1999 kedalam Peraturan Bupati Luwu
Utara Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (BAPERJAKAT) Pemerintah Kabupaten Luwu Utara. Badan ini
memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam hal mutasi seorang PNS.
Pelaksanaan mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak
dilakukan secara serta merta tetapi penilaiannya harus secara objektif dan
tidak mendiskriminasikan pihak tertentu.
Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dasar dalam melakukan mutasi
seorang PNS adalah sebagai berikut : Profesionalisme, Kompetensi, Prestasi
Kerja, Jenjang Pangkat, dan Tanpa Diskriminasi suku,agama, gender dan
ras.
Namun sebuah kebijakan dalam pelaksanaannya pasti ada hal-hal
yang mempengaruhi dalam pengimplemntasiannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi itu bisa dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
6
Untuk memudahkan memahami penjelasan penulis maka dibawah ini
di gambarkan Bagan Kerangka Konseptual yaitu :
7
Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian
Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 16 Tentang BAPERJAKAT
MUTASI1. Profesionalisme2. Kompetensi3. Prestasi Kerja4. Jenjang Pangkat5. Tidak ada diskriminasi
gender, suku, agama,dll
Faktor- Faktor Yang Berpengaruh
1. Faktor Eksternal2. Faktor Internal
1.5. Metode Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Penelitian akan di lakukan di Kabupaten Luwu Utara dan di fokuskan
pada kantor BKD Kabupaten Luwu Utara
1.5.2 Dasar dan Tipe Penelitian
a. Dasar Penelitian
Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus, yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari
secara mendalam tentang implementasi kebijakan kepegawaian
khususnya mutasi di kantor BKD kabupaten Luwu Utara
b. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,
yakni tipe penelitian yang ingin menggambarkan implementasi
kebijakan kepegawaian khususnya mutasi di BKD kabupaten Luwu
Utara
1.5.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang relevan dengan materi pembahasan
sebagai acuan dasar dalam memaparkan uraian sesuai dengan
rumusan masalah maka pengumpulan datanya di lapangan dilakukan
dengan menggunakan teknik :
8
a. Studi Kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur
yang berhubungan tentang buku/artikel birokrasi pemerintahan dan
kepegawaian, buku/artikel tentang ilmu pemerintahan serta dokumen-
dokumen yang ada relevansinya dengan topik yang dibahas dalam
penelitian ini. Data yang diperoleh dari kepustakaan ini merupakan
data sekunder.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Studi lapang ini dimaksudkan bahwa penulis langsung melakukan
penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan. Studi lapang
ditempuh dengan cara sebagai berikut ;
Observasi yaitu pengamatan terhadap objek secara langsung.
Interview yaitu wawancara langsung dengan informan yang telah
ditentukan.
1.5.4 Informan Penelitian
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :
Bupati Luwu Utara
Wakil Bupati Luwu Utara
Sekretaris Daerah Luwu Utara
Kepala Bidang Pengadaan dan Mutasi Pegawai Badan
Kepegawaian Daerah Luwu Utara
9
Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat
Asisten Adminstrasi Umum
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat
Sekretaris BKDD
Kepala-Kepala Bidang BKDD
Kasubag BKDD
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Pegawai yang di Mutasi sebanyak 5 orang
1.5.5 Defenisi Operasional
1) Implementasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelaksanaan
kebijakan kepegawaian yang termaktub dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian pasal 17 ayat 2 yang berbunyi :
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku,agama,rasa tau golongan.
Selain itu dalam Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(BAPERJAKAT) pasal 4 yang berbunyi:
10
Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari Jabatan Struktural Eselon II, Eselon III dan Eselon IV.
2) Mutasi adalah pemindahan dan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
dalam pangkat dan jabatan-jabatan tertentu, yang didasarkan atas
prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan
jenjang pangkat yang telah ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat-
syarat lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras
atau golongan. Sedangkan untuk lebih menjamin objektivitas dalam
mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan
pangkat diadakan suatu penilaian terhadap prestasi kerja.
3) Prinsip-Prinsip Mutasi PNS
a) Profesionalisme, menurut penulis ini amat penting karena suatu
program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksananya
adalah orang yang memang sudah ahli di bidangnya masing-masing.
Profesionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara
pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya
terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.
Profesionalisme berasal dari kata profesion yang bermakna
berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus
untuk menjalankannya. Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku,
kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional.
11
b) Kompetensi adalah karakteristik dari karyawan yang
mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian
hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan
kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif
dan control diri. Pegawai yang memiliki kompetensi akan mampu
meneylesaikan pekerjaan yang diberikan dengan hasil yang
memuaskan.
c) Prestasi Kerja, yaitu penilaian hasil kerja pegawai oleh atasan atau
pimpinannya masing-masing. Biasa dikenal dengan singkatan DP-3
(Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan). Prestasi kerja terdiri dari
dua unsur yaitu Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan perilaku kerja.
Bobot nilai unsur SKP 60 % (enam puluh persen) dan perilaku kerja
sebesar 40 % (empat puluh persen). Lebih jauh tentang SKP,
penilaiannya meliputi aspek kuantitas, kualitas, waktu dan atau biaya.
SKP nantinya wajib disusun dan disetujui bersama antara atasan
langsung dengan PNS yang bersangkutan, ditetapkan setiap tahun
pada Bulan Januari sebagai kontrak prestasi kerja, selanjutnya pada
akhir tahun SKP digunakan sebagai standar/ukuran penilaian prestasi
kerja.
d) Jenjang Pangkat adalah tingkatan pangkat seorang PNS secara
nasional. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan
seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam
12
rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar
penggajian. Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan
atas prestasi kerja dan pengabdian Pegawai Negeri Sipil terhadap
Negara, serta sebagai dorongan kepada Pegawai Negeri Sipil untuk
lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.
e) Tidak ada diskriminasi gender, suku, agama, dan ras artinya seorang
Pegawai Negeri Sipil memiliki kesamaan hak dalam hal mutasi.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap
individu tertentu. Dengan demikian prinsip dasar dari mutasi adalah
tanpa diskriminasi artinya keadilan bagi semua PNS.
1.5.6 Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan di lapangan diolah dengan
menggunakan teknik analisis secara kualitatif yaitu suatu analisa data dalam
bentuk pernyataan-pernyataan, tanggapan-tanggapan atau tafsiran-tafsiran
yang disertai dengan tabel frekuensi.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Implementasi
Defenisi implementasi
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Studi implementasi merupakan suatu
kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan
dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan
suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis
dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan
kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan
yaitu cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam
kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga
para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih
sulit lagi untuk melaksanakanannya dalam bentuk cara yang memuaskan
semua orang termasuk yang meraka anggap klien.
Implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan keputusan
kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat
14
pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutnya secara tegas
tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk
menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Sedangkan, Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008),
mendefenisikan implementasi kebijakan, sebagai :
“tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.
Dari tiga defenisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu :
1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan
2. Adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan
3. Adanya hasil kegiatan
Dari tiga defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
kebijakan itu sendiri.
Implementasi merupakan proses pelaksanaan program kebijaksanaan
kegiatan tindak lanjut ( setelah sebuah program dan kebijaksanaan telah
15
ditetapkan, yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang
strategis maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu
program atau kebijaksanaan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran
dari program (kebijaksanaan) yang telah di tetapkan semula ).
Proses implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil,
kurang berhasil atau gagal sama sekali bila ditinjau dari wujud hasil yang
dicapai. Karena dalam proses tersebut ada faktor-faktor yang bersifat
menghambat pencapaian sasaran program tersebut.
2.1.1. Pendekatan untuk Implementasi Problem implementasi diasumsikan sebagai sebuah deretan
keputusan dan interaksi sehari-hari yang tidak terlalu perlu mendapat
perhatian dari para sarjana yang mempelajari politik. Implementasi itu
dianggap sederhana meski anggapan ini menyesatkan. Dengan kata lain,
kelihatannya tidak mengandung isu-isu besar. Van Meter dan Van Horn
dalam Parsons, (2006: 463).
Studi implementasi adalah studi perubahan, bagaimana perubahan
terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga
merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana
organisasi diluar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan
berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti
itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara
berbeda. Jenkins dalam Parson, (2006: 463).
16
Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau
disetujui. Seperti dinyatakan Anderson dalam Parsons, (2006: 464) bahwa
kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat sedang dibuat.
Implementasi adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara-cara
lain. Akan tetapi, biasanya kita cenderung menganggap sistem politik sebagai
sesuatu yang menambah problem, dengan menarik garis pemisah antara
kebijakan dan adminstrasi. Administrasi, menurut sudut pandang ini, akan
mengambil alih setelah kebijakan selesai. Pekerjaan administrator adalah
melaksanakan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan, dan
peran penyedia layanan adalah menjalankan kebijakan yang diatur oleh
birokrat. Hubungan dan interaksi antara politisi, administrator, dan penyedia
layanan hingga saat ini masih dilupakan dalam area analisis dan riset: ini
adalah semacam “ missing link” dalam proses kebijakan. Hargrove dalam
Parsons, (2006: 464).
Kurangnya perhatian pada problem “ pasca pembuatan kebijakan: ini
disebabkan oleh dominasi model dan peta yang mendasari penelitian. Model
kotak hitam, misalnya, memberikan kerangka yang kokoh untuk menganalisis
kebijakan qua “sistem”, tetapi cenderung terlalu banyak membahas proses
yang terjadi di dalam sistem, dan di dalam “output” dan aktivitas “umpan
balik”. Analis kebijakan, sampai 1970-an dan 1980-an, cenderung melupakan
dampak birokrasi dan penyedia layanan terhadap efektivitas suatu kebijakan.
Sebuah kebijakan dinilai dari segi pembuat kebijakannya ketimbang dari segi
17
implementasi dari gagasan para pembuat kebijakan lokal dan nasional. Pada
saat yang sama, tradisi administrasi publik Anglo-Amerika cenderung lebih
menekankan pada perbedaan fungsi administrator dengan politisi. Perbedaan
ini, meski merupakan bagian penting dari gagasan demokrasi-liberal
mengenai negara dan akuntabilitasnya, Massey dalam Parsons, (2006: 464),
namun dalam praktiknya tidak realistis dan tidak sesuai dengan realitas politik
di mana birokrat bukan pegawai negeri yang netral, tetapi juga pegawai yang
punya ide, nilai, keyakinan, dan kepentingan yang mereka pakai untuk
membentuk kebijakan. Perbedaan antara kebijakan sebagai politik dan
administrasi sebagai implementasi, yang merupakan aspek fundamental bagi
gagasan administrasi publik Anglo-Saxon, mungkin tidak terlalu menonjol di
sistem politik Eropa lainnya, di mana pegawai negeri sipil di anggap memiliki
peran “kebijakan” yang lebih dinamis. Aberbach et al dalam Parsons, (2006:
464).
2.1.2. Implementasi Sebagai Permainan Politik
Model organisasi yang menganggap kebijakan sebagai sesuatu yang
dibuat dan diimplementasikan dalam situasi interaksi manusia, bukan
sebagai mesin atau sistem, lebih menitikberatkan pada sifat interaksi
tersebut. Dalam model Lipsky, misalnya, implentasi adalah sesuatu yang
melibatkan pengakuan bahwa organisasi mengandung keterbatasan manusia
dan organisasional, dan bahwa manusia dan organisasi itu harus dianggap
sebagai sumber daya. Implementasi yang efektif adalah sebuah kondisi yang
18
dapat dibangun dari pengetahuan dan pengalaman dari orang-orang yang
ada di garis depan pemberi layanan.
Tema interaksi ini juga merupakan fokus dari model yang menganggap
implementasi sebagai proses yang distrukturisasi oleh konflik dan tawar-
menawar (bargaining). Model rasional, tentu saja , juga mengakui bahwa
konflik dan pembuatan kesepakatan akan terjadi dalam implementasi. Akan
tetapi, konflik ini dilihat sebagai sesuatu yang pada dasarnya disfungsional
dan karenanya dibutuhkan koordinasi, Pressman dan Wildavsky dalam
Parsons, (2006: 472). Dalam model ini, konflik dan tawar-menawar terjadi di
dalam tujuan yang diakui bersama, di mana implementasi adalah efektif jika
kelompok berhasil menyelesaikan perbedaannya dan berhasil menjalankan
kebijakan. Proses implementasi yang efektif akan punya metode dan sistem
kontrol sehingga konflik bisa diselesaikan. Dunsire dalam Parsons, (2006:
472).
Namun, jika kita punya pandangan tentang organisasi yang tidak
terlalu didasarkan pada gagaan kontrol atas struktur yang terdiri dari
kelompok dan individu yang berusaha memaksimalkan kekuasaan dan
pengaruh mereka, maka kita harus memandang konflik sebagai proses politik
yang melibatkan strategi yang berbeda-beda guna mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan. Implementasi dari perspektif ini adalah soal
orang-orang dengan kepentingan sendiri yang “memainkan permainan”.
19
Model permainan ini diajukan oleh Bardach. Implementasi menurutnya
adalah sebuah permainan “tawar-menawar, persuasi, dan manuver di dalam
kondisi ketidakpastian” Bardach dalam Parsons, (2006: 472). Aktor
implementasi bermain untuk memegang kontrol sebanyak mungkin, dan
berusaha memainkan sistem demi mencapai tujuannya sendiri.
Model Bardach pada dasarnya adalah model yang menunjukkan
bahwa politik adalah sesuatu yang melampaui institusi ”politik” resmi. Politik
tidak berhenti setelah rancangan undang-undang ditetapkan menjadi undang-
undang. Politik tidak berhenti dalam proses politik, atau tidak berhenti dalam
proses pembuatan keputusan. Model yang disarankan Bardach ini meminta
kita untuk mendefenisikan ulang batas-batas antara politik dan birokrasi dan
antara proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan tersebut.
Implementasi karenanya adalah bentuk lain dari politik yang berlangsung di
dalam domain kakuasaan yang tak terpilih.
Seperti telah kita catat diatas, model kontrol rasional atas
implementasi cenderung memandang kepentingan sebagai sesuatu yang
bisa disatukan demi tujuan bersama, dan konflik sebagai sumber friksi yang
bisa dikelola. Namun, ada perbedaan penafsiran dalam model implementasi
yang menekankan kekuasaan, konflik, dan kepentingan sebagai sesuatu
yang diciptakan oleh implementasi. Berbagai model kekuasaan memandang
konflik dan perebutan kekuasaan di dalam dan disekitar organisasi
menyebabkan kebijakan diimplementasikan dengan cara yang berbeda-beda.
20
2.1.3. Implementasi Dalam Kerangka Manajerialis
Ada garis batas tipis antara rumusan teori implementasi khususnya
model top down dan pendekatan manajerialis untuk problem yang
diasosiasikan dengan “kegagalan” (sic) implementasi. Sabatier dan
Mazmanian dalam Parsons, (2006: 475), misalnya, menawarkan pedoman
untuk para manajer yang kebingungan untuk memahami bagaimana
mencapai tujuan kebijakan. Banyak model implementasi lain memberikan
semacam saran dan pendekatan yang biasa ditemukan dalam buku
manajemen. Pendekatan manajerialis untuk implementasi telah menjadi
sebentuk paradigma “operasional” dominan dalam administrasi (qua
manajemen) kebijakan publik. Karena manajemen sektor publik menjadi
makin mirip manajemen “bisnis” maka teknik-teknik yang dulu dianggap
sebagai metode “sektor privat” kini mulai diadopsi. Kita akan membahasnya
dalam kerangka tiga pendekatan :
a) manajemen operasional;
b) manajemen korporat atau perusahaan
c) manajemen personalia.
Manajemen Operasional
Kita menyinggung teknik manajemen operasional saat kita membahas
penggunaan OR dalam pembuatan keputusan. Riset operasional juga
diaplikasikan dalam proses pelaksanaan kebijakan dalam term “manajemen
proyek”. Adalah signifikan bahwa pendekatan OR untuk manajemen proyek
21
dikembangkan dari sektor publik. Pada 1950-an, Pemerintah AS mengadopsi
dua teknik untuk mengelola proyek misil Polaris. Sapolsky dalam Parsons,
(2006: 475).
a) Critical Path Method (CPM)
b) Project, Evaluation, and Review Technique (PERT)
Kedua metode ini menggunakan gagasan pengelolaan proyek skala
besar dalam term “jaringan”; untuk alasan ini kedua metode itu dikenal
sebagai bentuk “analisis jaringan” Tujuan CPM dan PERT adalah
“mengontrol” pelaksanaan sebuah proyek dengan mengontrol jaringan
aktivitas dan peristiwa dalam tahap-tahap implementasi. CPM adalah metode
yang bertujuan mengidentifikasi aktivitas-aktivitas “kritis” atau penting untuk
keberhasilan implementasi proyek tepat pada waktunya. Jaringan dipetakan
untuk menunjukkan awal proyek dan perkiraan waktu untuk bergerak dari
satu kegiatan kritis ke kegiatan kritis lainnya. PERT adalah metode tepat
pada waktunya. Jaringan dipetakan untuk menunjukkan awal proyek dan
perkiraan waktu untuk bergerak dari satu kegiatan kritis ke kegiatan kritis
lainnya. PERT adalah metode yang menyatakan bahwa durasi aktivitas kritis
adalah tidak pasti. Sistem PERT diprogram berbasis tiga tipe kalkulasi
ketidakpastian ini: durasi paling mungkin dari satu aktivitas ke aktivitas
lainnya; perkiraan paling optimis (tersingkat) dari suatu aktivitas tertentu; dan
perkiraan durasi paling pesimis (terlama). Analisis PERT dipakai dalam
implementasi proyek skala besar di mana ada tingkat ketidakpastian yang
22
tinggi dalam penyelesaian suatu proyek. Dalam pemerintah lokal dana
nasional, analisis jaringan ini paling banyak dipakai dalam proyek konstruksi
yang mengandung persoalan dalam pengelolaan proses dengan banyak area
ketidakpastian, setidaknya yang dikaitkan dengan persoalan peneyelesaian
tepat waktu dan sesuai anggaran, karena adanya persoalan cuaca, geologi,
hubungan kerja, dan inflasi, dan beberapa problem lainnya yang mungkin
menghambat penyelesaian proyek pembangunan jalan, pembangkit listrik,
gedung dan sebagainya.
Dalam kerangka OR ini kita juga harus memasukkan “analisis sistem”.
Analisis ini menganggap problem implementasi sebagai sesuatu yang harus
dianalisis dalam konteks “sistem” dalam penyampaian layanan dan produk
publik. Seorang analis sistem akan tertarik dengan bagaimana keseluruhan
urutan aktivitas, input dan output serta arus informasi akan memberikan
kontribusi pada keberhasilan atau kegagalan proyek. Implementasi dalam
“sistem lunak” manusia (yang berbeda dengan “sistem keras” seperti pabrik
dan mesin) dapat dilihat sebagai sebuah problem kontrol dan koordinasi.
Implementasi yang efektif dalam model ini akan tergantung kepada elemen-
elemen seperti :
a) pendefinisian objek dan perumusan rencana;
b) monitoring rencana;
c) menganalisis apa yang telah terjadi berdasarkan apa yang semestinya
terjadi menurut rencana;
23
d) mengimplementasikan perubahan untuk memperbaiki kegagalan
pencapaian tujuan
Carter et al dalam Parsons, (2006: 477) menunjukkan bahwa sistem
implementasi yang sukses melibatkan empat tipe kontrol :
a) koordinasi sepanjang waktu;
b) koordinasi pada waktu tertentu
c) detail logistik dan penjadwalan
d) penjagaan dan pemeliharaan batasan struktural.
Pendekatan sistem menekankan pada pencapaian level kerja sama
yang baik dalam “sistem lunak” dengan memfokuskan pada arti penting dari
“teamwork” bagi keberhasilan implementasi, Carter et al dalam Parsons,
(2006: 477).
Manajemen Korporat
Berbeda dengan teknik OR, pendekatan “ manajemen korporat” untuk
implementasi adalah sebuah kerangka yang dikembangkan dalam sektor
bisnis swasta dan diadopsi oleh manajer sektor publik. Seperti yang telah kita
catat, teknik manajemen korporat masuk ke pemerintahan melalui pintu yang
di buka oleh reformasi proses penganggaran. Karena itu model manajemen
korporat banyak kesamaannya dengan PPBS, dengan penekanannya pada
analisis problem manajemen dalam penyusunan strategi melalui siklus
pendefinisian tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengontrolan.
24
Perencanaan (planning) adalah proses pendefinisian tujuan dan
karenanya dilanjutkan dengan pengembangan strategi untuk mencapai
tujuan tersebut. Fase kunci dalam model ini dinamakan analisis SWOT, yakni
mengidentifikasi Kekuatan ( strength) dan Kelemahan (weakness) internal
dari organisasi, dan Peluang (opportunities), dan Ancaman (threats)
eksternal. Dari ulasan ini kemudian tujuan dilihat dari segi strategi yang
dibutuhkan berdasarkan SWOT tersebut. Setelah menentukan strategi, fase
berikutnya adalah menyusun rencana untuk mengimplementasikan tujuan.
Pertimbangan utama disini adalah pada hubungan strategi dengan struktur
organisasi dan personelnya. Agar implementasi berhasil, dibutuhkan adaptasi
struktur organisasional. Strategi membentuk struktur, yang pada gilirannya
membentuk starategi, Thompson dalam Parsons, (2006: 478). Pendekatan
korporat ini memberi prioritas tinggi pada kepastian agar struktur, kultur, dan
gaya organisasi dirancang untuk mencapai “misi” organisasi, dan
menjelaskan kepada semua orang apa itu “misi” organisasi tersebut, dan
bagaimana mereka berhubungan dengannya Foster dalam Parsons, (2006:
478). Monitoring implementasi rencana aksi memerlukan “umpan balik”
kepada manajemen tentang bagaimana tujuan terpenuhi dan problem apa
yang perlu diatasi agar mendapatkan keberhasilan.
Manajemen korporat merupakan pendekatan yang berpengaruh dalam
“manajemen sektor publik baru”, terutama di era 1980-an ketika tekanan
untuk mengurangi biaya, penghematan, dan kultur yang semakin berorientasi
25
bisnis tampak jelas di banyak negara-negara industry, Kooiman & Eliassen
(eds) dalam Parsons, (2006: 478). Seperti di era 1960-an dan 1970-an,
proses pengangguran (budgetary) dipakai untuk melahirkan perubahan
dalam sektor publik. Pengukuran kinerja, misalnya,dipakai sebagai teknik di
mana disiplin kontrol finansial dapat digunakan sebagai cara untuk mencapai
tujuan secara lebih efektif, Thompson dalam Parsons, (2006: 478).
Manajemen Personalia
Aspek “kultural” dari pendekatan manajemen korporat membawa kita
ke aspek penting lain dari manajerialisme di sektor publik: manajemen
manusia. Metode utama dari manajemen korporat adalah menentukan dan
mencapai tujuan. Dalam hal ini sangat penting untuk memahami bagaimana
orang dalam organisasi dan pelayanan publik merespon tujuan yang diminta
untuk diimplementasikan tersebut. Ada dua teknik yang dipakai untuk
meningkatkan aspek manusia dalam implementasi, yakni penilaian kinerja
dan manajemen berdasarkan tujuan.
a) Penilaian kinerja adalah metode untuk menilai individu dari segi
“kinerjanya” dengan berdasarkan tujuan organisasi dan konteks
perkembangan potensi individu tersebut.
b) Manajemen berdasarkan tujuan (MBO) adalah teknik dimana tujuan
disepakati oleh pihak manajer dan pihak yang dimanajeri sehingga
tercapai tujuan yang jelas dan didefinisikan dengan baik . Tujuan MBO
26
ini adalah memfasilitasi integrasi tujuan individu dengan tujuan
organisasi. Drucker dalam Parsons, (2006: 480).
Sebagaimana halnya metode untuk mengatasi problem implementasi,
metode penilaian dan MBO didesain untuk menangani isu-isu yang berkaitan
dengan kultur orang yang terus berubah-ubah. Pendekatan tersebut adalah
strategi yang memadukan antara hukuman dan imbalan untuk menciptakan
sebuah lingkungan di mana administrator/ manajer dan pelaksana “di
lapangan” bisa di dorong untuk memodifikasi atau menyesuaikan perilaku
mereka dalam rangka mencapai tujuan korporat yang berbeda dengan tujuan
departemental, individual, atau profesional.
2.1.4. Implementasi dan Tipe Kebijakan
Apakah mengimplementasikan program pengembangan peluru kendali
akan sama dengan mengimplementasikan program pelayanan manusia?
Apakah lebih mudah untuk membawa manusia ke bulan ketimbang
mengangkat keluarga ke tingkat kehidupan yang layak? Persoalan dalam
model implementasi manajerialis dan “rasionalis” adalah bahwa model
tersebut berasal dari gagasan tentang pembuatan keputusan yang tidak
mempertimbangkan fakta bahwa sifat dan kompleksitas problem manusia itu
bervariasi. Pendekatan yang dipakai untuk membawa manusia ke bulan atau
mengembangkan sistem rudal tak bisa menjadi dasar model untuk area
kebijakan di mana pendefinisian tujuan, pembentukan konsensus dan
pengambilan sumber daya jauh lebih problematik. Karena itu pendekatan
27
yang lebih berguna adalah menitikberatkan pada hubungan antara tipe
kebijakan dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi proses
implementasi. Misalnya, kategorisasi tipe kebijakan menurut Lowi dalam
Parsons, (2006: 482), yakni kebijakan distributif, regulatif dan redistributif,
telah dipakai oleh beberapa analisis.
Salah satu usaha pertama untuk menganalisis implementasi, yang
dilakukan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Parsons, (2006: 482),
menyatakan bahwa studi implementasi perlu mempertimbangkan isi (content)
atau tipe kebijakan. Berdasarkan karya Lowi , Van Meter dan Van Horn
mengatakan bahwa efektivitas implementasi akan bervariasi di antara tipe
dan isu kebijakan. Faktor utama dalam implementasi, perubahan, control dan
pemenuhan menurut mereka menunjukkan bahwa jika ada tingkat konsensus
yang tinggi dan tidak banyak dibutuhkan perubahan, maka implementasi
kebijakan akan lebih sukses.
Ripley dan Franklin dalam Parsons, (2006: 482) mengatakan bahwa
keberhasilan implementasi relatif tidak sulit apabila kebijakannya bersifat
distributif, kebijakan regulatifnya moderat, dan kebijakan redistributifnya
rendah. Berbagai area kebijakan punya pola hubungan yang berbeda-beda,
yang berarti bahwa dalam area redistributif terdapat lebih banyak tawar-
menawar dan politicking ketimbang di area distributif, di mana mungkin ada
tekanan kontrol yang besar. Ingram dalam Parsons, (2006: 482) mengaitkan
28
variasi pola hubungan ini dalam term biaya pembuatan keputusan, struktur
perundangan, pendekatan yang tepat, kriteria evaluasi dan variabel kritis.
2.1.5. Analisis Antar Organisasi dan Implementasi
Fokus utama dari studi implementasi adalah persoalan tentang
bagaimana organisasi berperilaku, atau bagaimana orang berperilaku dalam
organisasi. Akan tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah
sebuah proses yang melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi,
pertanyaannya adalah bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain.
Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini.
Kekuasaan dan Ketergantungan Sumber Daya
Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk
dari hubungan kekuasaan di mana organisasi-organisasi dapat membuat
organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan
mereka. Pada gilirannya, organisasi-organisasi yang tergantung pada
organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerja sama dengan
organisasi yang kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan
mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka
untuk beroperasi, Aldrich; Yuchtman dan Seashore dalam Parsons, (2006:
484 ).
Jika A tidak bisa berbuat apa-apa tanpa sumber daya yang dipunyai B dan tidak mampu mendapatkan sumber daya itu di tempat lain, maka A akan tergantung kepada B. Sebaliknya, jika B berkuasa atas A…
29
ketergantungan adalah sifat dari hubungan antara A dan B, dan bukan sifat A atau B secara sendiri-sendiri. Jadi, dimungkinkan bahwa A mungkin tergantung pada B tetapi berkuasa atas C. Aldrich dan Mindlin dalam Parsons, (2006: 484).
Pertukaran Organisasi
Pendekatan ini mengatakan bahwa organisasi bekerja dengan
organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan
White dalam Parsons, (2006: 485) mengatakan bahwa ciri utama dari
pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi
sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Dalam
model ketergantungan-kekuasaan, relasi organisasional didasarkan pada
dominasi dan dependensi, sedangkan pertukaran didasarkan pada
kepentingan bersama Bish; Tuite; White dalam Parsons, (2006: 485).
Meskipun sebuah agen mungkin tergantung kepada sumber daya sentral,
ada kemungkinan bahwa agen pusat juga akan tergantung kepada agen lokal
untuk mengimplementasikan tujuan kebijakan. Seperti dikatakan Scharpf :
Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia untuk unit bawahan .. Ringkasnya, hubungan dependensi-unilateral yang stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarkis dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar-organisasi. Scharpf dalam Parsons, (2006: 485)
Benson dalam Parsons, (2006: 485) mengatakan bahwa, dalam
rangka memahami cara pelaksanaan hubungan antar-organisasi, kita perlu
30
mempertimbangkan jaringan kepentingan di dalam sektor kebijakan, yang
didefinisikannya sebagai: “serangkaian atau kompleks organisasi yang
dihubungkan satu sama lain melalui ketergantungan sumber daya dan
dibedakan dari rangkaian atau kompleks organisasi lain berdasarkan
perbedaan struktur ketergantungan sumber daya” Benson dalam Parsons,
(2006: 485). Pendekatan Benson juga menekankan arti penting dari “deep
structure” dari pendekatan yang diajukan oleh Bachrach dan Bartz, yang
mengkaji bias yang ada di dalam sektor kebijakan tertentu dan struktur
konstituennya: jaringan administratif; jaringan kelompok kepentingan; dan
aturan pembentukan struktur. Benson mengatakan bahwa aturan formasi
struktur dalam sektor kebijakan yang memasukkan ide penetapan agenda
yang telah kita bahas dalam ulasan tentang teori non-decision-making dan
teori kritis- perlu dieksplorasi dalam hubungannya dengan jaringan kelompok
administratif dan kelompok kepentingan ( Ide Benson telah diaplikasikan oleh
Rhodes dalam pendekatan jaringan untuk relasi pusat-lokal. Rhodes dalam
Parsons, (2006: 486).
2.1.6. Implementasi Menuju Sebuah Sintesis
Kita telah berkenalan dengan ide Sabatier. Model yang
dikemukakannya untuk memandang proses pembuatan kebijakan juga bisa
diperluas untuk studi implementasi. Menurut Sabatier pendekatan tahapan-
kebijakan tidak membantu untuk memahami proses pembuatan kebijakan
karena pendekatan ini membagi proses itu menjadi serangkaian bagian yang
31
tidak realistis dan artifisial. Karena itu, dari sudut pandang ini implementasi
dan pembuatan kebijakan menjadi satu proses yang sama. Kontribusi
awalnya untuk studi implementasi muncul dengan penjelasan top-down yang
ditulisnya bersama David Mazmanian. Sabatier dan Mazmanian dalam
Parsons, (2006: 487). Mungkin, karya ini lebih banyak diuji ketimbang
sebagian teori lain dan dapat dianggap sebagai salah satu model top-down
yang paling maju. Karya mereka berdua mendukung sintesis gagasan teoritis
top-down dan bottom- up menjadi enam syarat yang mencukupi dan mesti
ada untuk implementasi yang efektif dari tujuan kebijakan yang telah
dinyatakan secara legal. Enam syarat itu adalah :
a) tujuan yang jelas dan konsisten, sehingga dapat menjadi standar
evaluasi legal dan sumber daya;
b) teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan itu
mengandung teori yang akurat tentang bagaimana cara melahirkan
perubahan;
c) struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu pihak-
pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok
yang menjadi sasaran kebijakan;
d) para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang
menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan;
e) dukungan dari kelompok kepentingan dan “penguasa” di legislatif dan
eksekutif;
32
f) perubahan dalam kondisi sosio-ekonomi yang tidak melemahkan
dukungan kelompok dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal
yang mendasari kebijakan.
Model ini diaplikasikan dalam banyak studi kasus di Eropa dan
Amerika yang menunjukkan kegunaan dari kerangka ini untuk riset empiris.
Kerangka mereka kemudian dimodifikasi berdasarkan riset-riset ini dan
sebuah evaluasi kasus bottom-up seperti yang dikembangkan oleh Hjern et
al. Sabatier dalam Parsons, (2006: 488) mengemukakan bahwa sebuah
sintesis dari dua pandangan tersebut dimungkinkan dengan memasukkan
pandangan Hjern et al. ke dalam dinamika interorganisasional dalam
implementasi dan bentuk jaringan/matriksnya, dan ke dalam fokus top-down
pada bagaimana institusi dan kondisi ekonomi dan sosial membatasi
perilaku. Ini dilakukan dengan menggunakan model yang telah kita
diskusikan di Bagian Kedua : implementasi terjadi dalam konteks subsistem
kebijakan, dan terikat oleh “parameter yang relatif stabil” dan “kejadian-
kejadian di luar subsistem”. Aspek sentral dalam model implementasi ini
adalah gagasan bahwa ini adalah bagian dari pembuatan kebijakan di dalam
ACs ( advocacy coalitions), dan bahwa aspek mendalam dari sistem koalisi
implementasi haruslah menjadi fokus analisis.
Oleh karena itu, model ini juga memuat perhatian dari pendekatan
bottom-up karena ia menekankan pada jaringan yang struktrur implementasi,
dan pada saat yang sama menekankan arti penting dari pendekatan top-
33
down di dalam sistem, termasuk keyakinan terhadap elite kebijakan dan
dampak dari kejadian eksternal. Implementasi dalam pengertian ini bisa
dikonseptualisasikan sebagai proses pembelajaran, Heclo, Browne dan
Wildavsky dalam Parsons, (2006: 488). Tujuan dari pendekatan ini adalah
menganalisis cara di kebijakan berlangsung di antara ACs, dan menentukan
kondisi-kondisi institusional yang paling tepat atau kondusif untuk
“pembelajaran” dan perubahan dalam keyakinan inti.
Meskipun penggabungan perhatian bottom-up dengan dinamika
subsistem menghasilkan model implementasi yang komprehensif,
pendekatan advokasi-koalisi tidak menghadapi dimensi normatif dari
argument bottom-up versus top-down. Misalnya, sementara pendekatan
bottom-up tertarik pada “level di lapangan”, model ACs terutama berfokus
pada elite kebijakan. Menurut Sabatier, pembelajaran elite adalah sesuatu
yang pada dasarnya terjadi di dalam “sistem” dan subsistem kebijakannya.
Kerangka tersebut didesain untuk menganalisis kondisi institusional dimana
pembelajaran tersebut mengubah inti kebijakan. Implikasi yang lebih radikal
dari pendekatan bottom-up adalah mempertanyakan apakah kesuksesan
dalam implementasi lebih terkait dengan pembelajaran sosial yang lebih luas
ketimbang pembelajaran kebijakan oleh koalisi subsistem. Pandangan top-
down yang dianut Sabatier dan Mazmanian dalam model asli mereka lebih
memerhatikan hubungan antara keputusan dengan pencapaian, perumusan
dengan implementasi, dan potensi hierarki dengan pembatasan
34
pengimplementasi untuk mencapai tujuan legal yang didefinisikan dalam
kebijakan.
Akan tetapi, pendekatan bottom-up didasarkan pada signifikansi
hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau
problem dengan pembatasan hierarki formal di dalam kondisi tersebut.
Seperti dijelaskan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Parsons, (2006: 489),
model mereka mengkaji kontrol efektif dan pencapaian; tetapi, pendukung
pendekatan bottom-up berbeda-beda dalam memandang interaksi, konflik,
kekuasaan, dan pemberdayaan (empowerment). Karena ingin menyusun
sebuah model komprehensif, para penulis itu melupakan kemungkinan
bahwa apa yang sedang mereka coba untuk dikombinasikan adalah, dalam
pengertian Kuhnian, paradigma yang tak seimbang. Ini paling jelas ketika kita
bergerak dari penggunaan model secara analitis ke penggunaan yang lebih
normatif. Para pendukung pendekatan top-down pada dasarnya bekerja di
dalam suatu kerangka yang berfokus pada keputusan dan kekuasaan, dan
potensi pembuat keputusan untuk menimbulkan perubahan di dalam
masyarakat di anggap sebagai sebuah problem dari pengembangan model
kontrol dan pembelajaran elite yang efektif. Model bottom-up menyatakan
bahwa implementasi adalah sebuah proses pembuatan kebijakan dan
( kemungkinan) pemberdayaan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai
target dari keputusan. Preferensi model top-down adalah tingkatan, hierarki,
35
kontrol dan pembatasan, sedangkan model bottom-up lebih memilih ruang,
jaringan, atau pasar.
Perbenturan kerangka dengan nilai dan keyakinan di dalamnya
menghasilkan kerangka analisis dan persepsi yang saling bersaing. Jadi,
sintesisnya menghasilkan konsensus yang belum ada di sana. Jika tujuan
dari analisis kebijakan seperti dikatakan Lasswell dalam parsons, (2006:489)
adalah untuk mengklarifikasi nilai, maka sintesis yang dikembangkan oleh
Sabatier hanya akan mengeruhkan air. Yang lebih memuaskan adalah
sintesis yang disarankan Sabatier dalam Parsons, (2006: 490 ) sebagai
pedoman untuk pembuat kebijakan, meski tidak tepat sebagai model
penjelasan proses kebijakan Elmore dalam Parsons, (2006: 490). Elmore
mengatakan bahwa suatu variasi kerangka perlu digunakan dalam analisis
dan implementasi : “pemetaan mundur” (bottom-up) dan “pemetaan maju”
(top-down); dan bahwa pembuatan kebijakan, agar efektif dalam
implementasinya, harus mengadopsi banyak kerangka. Aplikasinya dalam
studi proses kebijakan berarti bahwa analisis tersebut tidak dimaksudkan
untuk menghasilkan sintesis tetapi agar lebih sensitif terhadap kerangka
( nilai, realitas, dan penilaian tindakan dalam pengertian Vickers) dari teoritis,
elite kebijakan, dan mereka yang berada di “tingkat lapangan”.
Cara pandang terhadap implementasi ini mungkin berasal dari
gagasan yang dikemukakan oleh analisis kebijakan kritis. Penggunaan model
sebagai “lensa” ( dalam pengertian Allison) yang dengannya kita bisa
36
mengeksplorasi implementasi diilhami oleh kategorisasi empat jenis model
implementasi menurut Elmore dalam Parson, (2006: 490): manajemen
sistem; proses birokratis; pengembangan organisasional; serta konflik tawar-
menawar. Elmore mengatakan bahwa model implementasi tidak boleh
dianggap sebagai hipotesis rival yang dapat dibuktikan secara empiris, tetapi
sebagai kerangka asumsi yang ambigu dan mengandung konflik.
Gagasan bahwa model-model pada dasarnya tidak lengkap dan hanya
menggunakan perspektif parsial dalam memandang problem dan realitas
merupakan isu yang dibahas tuntas dalam karya Gareth Morgan dalam
Parsons, (2006:490). Morgan berpendapat bahwa jika kita ingin memahami
kompleksitas, kita harus mengadopsi pendekatan kritis dan kreatif untuk
berpikir dalam term model- atau “metafora”. Dari sudut pandang ini, usaha
untuk memadukan model yang berbeda-beda menjadi sintesis berdasarkan
kekuatan dari dua kerangka yang berbeda adalah tindakan yang
menyesatkan. Dalam mengembangkan pendekatannya yang dipengaruhi
oleh teori “postmodernis” dan “ konstruktivis” , Morgan menyatakan bahwa
analisis kompleksitas bukanlah mencari sintesis, tetapi, sebaliknya, mengakui
perbedaan, partiality, ketidaklengkapan dan distorsi yang inheren dalam
pengetahuan dan diskursus manusia. Metafora/ model/ teori bukan hanya
menghasilkan pandangan atau cara pandang, tetapi juga pengabaian
pandangan. Menurut Morgan tidak ada metafora tunggal yang bisa
memberikan teori umum. Dari segi implementasi, ini berarti bahwa problem
37
implementasi bisa dikonstruksi dengan cara yang berbeda-beda. Setiap
pendekatan atau teori memberikan beberapa pandangan pada dimensi
tertentu dari realitas implementasi dan, seperti dalam kasus perdebatan
antara pendekatan top-down versus bottom-up, kedua pendekatan beserta
percabangan dan variannya memberi kita sebagian dari keseluruhan
gambaran. Sebagai mahasiswa kebijakan publik kita seharusnya bertujuan
untuk lebih terlatih dalam seni membaca kerangka yang dipakai dalam teori
dan praktik implementasi dalam konteks di mana mereka dilakukan. Seperti
dikatakan Sabatier dalam Parsons, (2006: 491), pendekatan yang berbeda-
beda mengandung keunggulan komparatif sebagai penjelasan dalam konteks
yang berbeda-beda. Misalnya, dengan menerapkan metafora Morgan, kita
akan mengetahui bahwa kerangka-kerangka akan mengungkapkan atau
menjelaskan beragam dimensi implementasi. Tak ada satu metafora tunggal
yang dapat memberikan semua jawaban.
Dalam term ilmu kebijakan, pendekatan yang paling dekat dengan
metode yang dipakai Morgan dalam analisis organisasional adalah ide
Lasswell tentang pemetaan kontekstual. Jadi, misalnya, pendekatan
Lasswellian untuk implementasi akan melibatkan pemetaan partisipan/
stakeholder, perspektif mereka, situasi, nilai, dan strategi mereka, serta hasil
dan efek aktual yang mereka inginkan. Metode tersebut mengakui bahwa
implementasi mengandung konteks spesifik dalam term nilai dan institusi
yang ada dalam problem tertentu. Lebih jauh, sebagaimana dengan
38
pendekatan Morgan, orientasi Lasswellian juga menekankan ide bahwa
analisis pada dasarnya adalah aktivitas “pembelajaran” yang akan
mencerahkan partisipan. Pemetaan konteks problem memberikan
kemungkinan untuk memahami keragaman dimensi dari pengetahuan,
keyakinan, kekuasaan, makna, dan nilai yang mendasari pembuatan
kebijakan dan implementasi. Menurut Sabatier kita tidak sedang mencari “
tanah yang dijanjikan” (sic) yakni sebuah teori umum tetapi kita berusaha
mengklarifikasi nilai-nilai dari para teoritisi dan praktisi.
Agar sebuah implementasi kebijakan kepegawaian dapat berhasil
sesuai dengan rencana, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan.
Faktor-faktor tersebut menurut Edwards III yang dikutip oleh Syukur Abdullah
dalam Winarno (2007) adalah :
1) Komunikasi
Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi dan konsistensi
informasi yang disampaikan. Komunikasi bagi berlangsungnya proses
koordinasi dan implementasi, yang menyebabkan timbulnya pemahaman
yang menyeluruh mengenai pentingnya program, kesepakatan yang
menyeluruh terhadap tujuan dan sasaran yang akan dicapai.
2) Sumber daya
Hal ini meliputi empat komponen yaitu, terpenuhinya jumlah staff dan
kualitas, informasi yang diperlukan guna pengambilan keputusan,
39
kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab
serta fasilitas yang mendukung.
3) Disposisi ( kecenderungan-kecenderungan)
Yaitu sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program
khususnya dari mereka yang menjadi implementer dari program, yang dalam
hal ini terutama dimaksudkan adalah aparatur birokrasi.
4) Struktur birokrasi.
Terdapatnya suatu standar operating prosedur (SOP) yang mengatur
tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Jika ini tidak ada, maka akan
sulit mencapai hasil yang memuaskan. Karena penyelesaian masalah hanya
bersifat ad-hock, dalam penyelesaian masalah dan penanganan khusus
tanpa pola baku. Fragmentasi yang sering terdapat dalam suatu organisasi
harus dihindari dan diatasi dengan cara system koordinasi yang baik
Keempat faktor diatas, dipandang mempengaruhi keberhasilan suatu
proses implementasi ,namun juga adanya keterkaitan dan saling
mempengaruhi antara faktor yang satu dengan faktor yang lain.
Implementasi kebijakan berusaha untuk memahami apa kenyataan
yang terjadi sesudah program diberlakukan, yakni peristiwa-peristiwa apa
yang terjadi sesudah proses kebijaksanaan Negara diberlakukan untuk
mencapai tujuan. Implementasi program sama halnya dengan itu. Program
40
sebagai rangkaian tindakan yang tersusun secara konsisten dan logis
diharapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula.
2.2. Konsep Kebijakan
2.2.1. Pengertian Kebijakan
Kebijakan berasal dari kata bijak. Menurut kamus Inggris Indonesia/
Indonesia Inggris karangan S.Woyowasito dan W.J.S Purwodarminto, kata
bijak berarti learned, prudent, experienced. Kata bijak merupakan kata sifat
yang selanjutnya dengan awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kata benda
“kebijakan”. Hal itu bararti bahwa kebijakan itu menunjukkan adanya
kemampuan atau kwalitas yang dimiliki seseorang dalam keadaannya yang
learned (terpelajar), prudent (baik), dan experience (berpengalaman).
Dengan demikian kebijakan berarti kata benda yang tetap menjadi tambahan
keterangan terhadap suatu kata benda lainnya, (bijvoegeljik naam word,
belanda). Kata kebijakan, menurut Wojowasito CS berarti: skill
( keterampilan) ability (kemampuan), capability ( kecakapan ), insight
(kemampuan untuk memahami sesuatu).
Kebijakan publik merupakan hubungan antara unit pemerintah
dengan lingkungannya. Kebijakan publik dapat juga diartikan sebagai
serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti
41
dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang
berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan
Karakteristik utama dari suatu defenisi kebijakan publik, yaitu :
1. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan
yang mempunyai maksud atas tujuan tertentu dari pada perilaku yang
berubah atau acak.
2. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan
yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang
terpisah-pisah.
3. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh
pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengotrol inflasi, atau
menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau
yang akan dikerjakan.
4. Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif,
kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam
menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat
melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan
suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks
tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan.
5. Kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan
merupakan tindakan yang bersifat memerintah.
2.2.2. Tahap – Tahap Kebijakan
42
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh
karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji
kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik
kedalam beberapa tahap.
Tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut :
Penyusunan agenda
Formulasi kebijakan
Adopsi kebijakan
Implementasi kebijakan
Evaluasi kebijakan
2.2.3. Analisis dan Proses Kebijakan
Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses
kebijakan. Etzioni, misalnya, berusaha (dan berhasil) memengaruhi proses
pembuatan kebijakan melalui riset dan argumen yang bukan hanya
mendukung analisis “problem”, tetapi juga analisis tentang apa opsi kebijakan
atau “solusi” yang harus diambil. Kita bisa menganggap jenis analisis
kebijakan ini sebagai terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum
pengetahuan dalam (in) proses kebijakan; pengetahuan untuk (for) proses
kebijakan; dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Gordon et al
43
dalam Parsons, (2006: 56) secara definitif menetapkan variasi ini di
sepanjang sebuah kontinum.
Analisis Kebijakan
Analisis ini mencakup :
a) Determinasi kebijakan: ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara
pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan
dibuat;
b) Isi kebijakan: analisis ini mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu
dan bagaimana ia berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan
sebelumnya, atau analisis ini bisa juga didasari oleh informasi yang
disediakan oleh kerangka nilai/ teoritis yang mencoba memberikan kritik
terhadap kebijakan.
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
Fokus analisis ini adalah mengkaji bagaimana kinerja kebijakan
dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan, dan apa dampak kebijakan
terhadap suatu persoalan tertentu.
Analisis untuk Kebijakan
Analisis ini mencakup :
Advokasi kebijakan: berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk
memengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan.
44
Informasi untuk kebijakan: sebentuk analisis yang dimaksudkan untuk
memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan. Ini bisa berbentuk
anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang aspek
kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan.
Sebagai sebuah istilah, “analisis kebijakan” terkait erat dengan
penggunaan beragam teknik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses
pembuatan kebijakan. Quade dalam Parson, (2006: 57), misalnya,
mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah
“membuat pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik
ketimbang yang dibuat pihak lain. Jadi, analisis ini berhubungan dengan
manipulasi efektif dunia nyata”. Untuk melakukan hal ini analisis tersebut
mesti melalui tiga tahap :
Pertama, penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan; ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternatif itu menjadi tidak memuaskan. Quade dalam Parsons, (2006: 57)
Hank Jenkins-Smith dalam Parson, (2006: 57) berpendapat bahwa
cost-benefit analysis ( untuk CBA) merupakan sebuah paradigma dominan
dari analisis kebijakan modern yang…
memanfaatkan teknik-teknik yang dikembangkan di bidang antara lain ekonomi, matematika, statistik, riset operasi dan dinamika sistem, untuk memberi saran-saran tentang rumusan kebijakan publik kepada pembuat keputusan. Dalam menerapkan teknik-teknik tersebut, seorang analis bisa memanfaatkan pengetahuan dari bidang-bidang
45
seperti: sosiologi, ilmu politik, ekonomi kesejahteraan, hukum, teori organisasi, fisika dan biologi, dan lain-lain…. Meski aktivitas dalam analisis kebijakan ini tapaknya berjubel-jubel, logika analisisnya akan menata aktivitas-aktivitas itu dan mengikatnya untuk diarahkan pada satu tujuan: yaitu menentukan kebijakan mana ( jika ada) yang bisa memberi maslahat paling besar bagi kesejahteraan masyarakat. Jenkins- Smith dalam Parson, (2006: 58).
Karenanya, analisis kebijakan dalam pengertian “ortodoks” ini
dimaksudkan untuk meningkatkan metode untuk mengidentifikasi dan
mendefinisikan persoalan, menentukan tujuan, mengevaluasi alternatif
pilihan, memilih alternatif, dan mengukur kinerja. Karenanya, ia adalah
bidang yang berfokus pada apa yang oleh Bobrow dan Dryzek dalam
Parsons, (2006: 58) diistilahkan sebagai “ pengetahuan berbasis intervensi
dalam pembuatan kebijakan”. Sebagai mahasiswa analisis kebijakan, kita
lebih memerhatikan pada sesuatu yang didefinisikan sebagai pengetahuan;
isi; produksi; diseminasi; dan interpretasi. Kita bisa menerjemahkan ini
menjadi empat macam pertanyaan tentang keyakinan atau nilai: siapa, apa,
kapan, dan bagaimana? Siapa yang mengamankan nilai, dan nilai apa yang
diamankan itu, dan melalui institusi apa pengamanan itu diberikan, serta
kapan dan bagaimana upaya pengamanan itu dilakukan?
a) Pengetahuan siapa yang dipakai? Apakah pengetahuan dari birokrasi?
Apakah dari institut riset? Apakah dari penelitian resmi? Apakah dari
advokasi kebijakan dari sebuah think-tank? Apakah pengetahuan dari
pakar/ahli? Siapa yang menggunakan pengetahuan ini? Siapakah yang
mempropagandakan pengetahuan ( keyakinan/gagasan/ideology) ini?
46
Siapa yang menyusun pengetahuan? Interpretasi/ definisi milik siapa
yang dipakai dan milik siapa yang dibuang dan bahkan tak
dipertimbangkan sama sekali? Siapa yang melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap kebijakan? Siapa yang memberi informasi dan
menyebarkannya? Siapa yang dimasukkan dan dikeluarkan dari proses
kebijakan? Nilai siapa yang mendominasi?
b) Jenis pengetahuan apa yang diklaim? Apakah pengetahuan itu
dipresentasikan sebagai pengetahuan ilmiah atau “objektif”? Apa jenis
bahasa yang dipakai? Apa macam pengetahuan itu: kualitatif atau
kuantitatif? Ahli apa yang terlibat? Apa jenis nilai, keyakinan, ide,
ideologi, yang melandasi atau menyediakan informasi bagi pengetahuan?
Apa jenis klaim yang dibuat untuk pengetahuan itu? Apa jenis asumsi
tentang proses pembuatan kebijakan yang memberi informasi pada pihak
yang memproduksi, menggunakan, dan menyebarkan pengetahuan
kebijakan? Jenis institusi dan elite apa yang terlibat ? Nilai apa yang
mendominasi?
c) Kapan pengetahuan dihasilkan, diperbanyak, dan
dipakai/disalahgunakan, atau diabaikan? Kapan pengetahuan tentang
sebuah persoalan disusun? Kapan sebuah problem “ditemukan”? Kapan
pengetahuan berdampak pada pembuatan kebijakan? Kapan
pengetahuan itu menjadi pengetahuan publik? Kapan pengetahuan itu
menjadi penting? Kapan media massa terlibat? Kapan pengetahuan itu
47
mempengaruhi opini publik? Kapan pengetahuan itu
dipakai/disalahgunakan oleh pembuat kebijakan? Kapan keyakinan
berubah? Kapan suatu nilai mendominasi?
d) Bagaimana pengetahuan dipakai dalam proses kebijakan? Bagaimana
pengetahuan itu dihasilkan? Bagaimana pengetahuan itu diorganisasikan
dalam komunitas/jaringan kebijakan? Bagaimana pengetahuan itu
diorganisasikan di dalam pemerintahan? Bagaimana pengetahuan itu
disiapkan? Bagaimana pengetahuan itu diperbanyak/disebar?
Bagaimana advokasi kebijakan muncul? Bagaimana argumen bisa
menang dan kalah? Bagaimana sebuah kebijakan ditentukan?
Bagaimana pengetahuan itu mempengaruhi opini publik? Bagaimana
keyakinan bisa berubah? Bagaimana seperangkat nilai tertentu
mendominasi?
Dengan kata lain: tugas utama untuk mahasiswa kebijakan publik adalah
memahami dan menjelaskan diskursus atau kerangka-kerangka
pemikiran (frameworks) yang menyusun analisis terhadap problem
kebijakan, isi kebijakan, dan proses kebijakan.
2.3. Konsep Pegawai Negeri
Menurut UU Nomor 43 Tahun 1999 pegawai negeri adalah setiap
warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang telah
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
48
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pegawai negeri terdiri dari :
a) Pegawai Negeri Sipil
b) Anggota Tentara Nasional Indonesia
c) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pegawai Negeri Sipil terdiri dari :
a) Pegawai negeri sipil pusat yaitu yaitu pegawai negeri sipil yang
gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara
dan bekerja pada departemen, kesekretariatan lembaga tertinggi/
tinggi Negara, instansi vertikal di daerah propinsi/kabupaten/kota,
kepaniteraan pengadilan atau dipekerjakan untuk tugas negera
lainnya.
b) Pegawai negeri sipil daerah adalah pegawai negeri sipil daerah
propinsi/kabupaten/kota yang gajinya dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah dan bekerja pada pemerintah
daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.
Dalam Pasal 3 UU 43 tahun 1999 dinyatakan bahwa PNS
berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional , jujur adil
dan merata dalam penyelengaraan tugas negara , pemerintahan dan
pembangunan . Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud , PNS
49
harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak
diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud, PNS dilarang
menjadi anggota dan atau pengurus partai politik .
Menindaklanjuti kebijakan tentang netralitas pegawai negeri seperti
dikemukan diatas, pada saat ini telah dirumuskan jabaran lebih lanjut dari
UU 43 tahun 1999 dengan materi pokok sebagai berikut :
1. Pegawai negeri sipil yang akan menjadi anggota dan / atau pengurus
partai politik wajib mengajukan permohonan berhenti sebagai PNS
2. Bagi PNS yang menjadi anggota partai politik akan diberhentikan
sebagai PNS
Disamping itu makna netralitas dapat dijabarkan lebih luas dalam
bentuk pembinaan jiwa koorps yaitu suatu upaya pembinaan untuk
meningkatkan daya juang pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada
Negara Kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 45
Makna pokok dari pembinaan koorps pegawai negeri sipil adalah :
1. Membina karakter / watak memelihara rasa persatuan dan kesatuan
secara kekeluargaan guna mewujudkan kerjasama dan semangat
pengabdian kepada masayarakat serta meningkatkan kemampuan dan
keteladanan PNS
50
2. Mendorong etos kerja Pegawai negeri sipil untuk mewujudkan PNS yang
bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawab sebagai unsur aparatur
negara dan abdi masyarkat.
3. Menumbuhkan dan meningkatkan semangat kesadaran dan wawasan
kebangsaan PNS sehingga dapat menjada kesatuan bangsa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Melalui analisis tersebut maka kebijakan dan strategi BKN dalam rangka
mencapai sasaran dan tujuan pembangunan kepegawaian, serta mendukung
arah kebijakan pembangunan bidang aparatur adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan seluruh komponen sistem manajemen kepegawaian
guna mendukung terwujudnya profesionalisme, netralitas, dan
kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil;
2. Membangun dan menyempunakan seluruh kebijakan kepegawaian;
3. Menerapkan ISO dalam pelayanan pengadaan, kepangkatan/mutasi,
pensiun, peninjauan status, dan kedudukan kepegawaian;
4. Mengembangkan sistem informasi kepegawaian berbasis Teknologi
Informasi dan dokumentasi data kepegawaian;
5. Membangun sistem dan mengoptimalkan fungsi pengawasan dan
pengendalian kepegawaian dalam rangka menjamin terselenggaranya
birokrasi yang akuntabel, profesional dan netral;
51
6. Meningkatkan dayaguna seluruh komponen internal untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi BKN Program BKN 2010-2014
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang
bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan, dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugasnya Pegawai
Negei harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta
tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
menjamin netralitasnya Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik.
Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara
berdayaguna dan berhasilguna. Untuk mewujudkan hal tersebut maka
diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur,
dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi
kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pasa sistem prestasi kerja.
52
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Visi Dan Misi Kabupaten Luwu Utara
Paradigma baru pembangunan memandang pertumbuhan ekonomi
bukan merupakan satu- satunya tujuan, akan tetapi lebih merupakan proses
untuk mencapai tujuan pembangunan daerah itu sendiri secara maksimal
dengan memperhatikan potensi daerah secara obyektif serta visi kabupaten.
Visi yang dicita-citakan kedepan akan bertumpu pada upaya meletakkan
landasan pembangunan, yaitu :
Visi : Mewujudkan masyarakat Luwu Utara yang religius, maju,
sejahtera, dan mandiri diatas landasan agribisnis dan ekonomi kerakyatan
Misi :
- Meningkatkan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah.
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
- Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam
- Meningkatkan penerimaan/pendapatan asli daerah (PAD)
3.2 Keadaan Geografi Kabupaten Luwu Utara
53
Kabupaten Luwu Utara terletak antara 010 53’ 19” - 020 55’36” Lintang
Selatan dan 1190 47’ 46” – 1200 37’ 44” Bujur Timur, yang berbatasan
dengan Propinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara, Kabupaten Luwu Timur
di sebelah timur, Propinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Tana Toraja di
sebelah barat, dan Kabupaten Luwu dan Teluk Bone di sebelah selatan.
Luas wilayah Kabupaten Luwu Utara tercatat 7.502,58 kilometer
persegi yang secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara
terbagi atas 11 kecamatan.
Terdapat sekitar 8 sungai besar yang mengaliri wilayah Kabupaten
Luwu Utara. Sungai yang terpanjang adalah Sungai Baliase dengan panjang
185 Km yang melewati Kecamatan Masamba.
3.3 Wilayah Administratif Kabupaten Luwu Utara
Kabupaten Luwu Utara terdiri dari 11 kecamatan, 169 desa yang
semuanya merupakan desa definitif. Dari 169 desa tersebut 8 desa sudah
termasuk dalam klasifikasi daerah perkotaan atau sudah dalam bentuk
wilayah kelurahan. Kedelapan kelurahan tersebut adalah Kelurahan
Kappuna, Kelurahan Bone, Kelurahan Kasimbong, Kelurahan Baliase,
Kelurahan Marobo, Kelurahan Salassa, dan Kelurahan Bone-Bone.
Kecamatan Sukamaju merupakan kecamatan dengan jumlah desa
terbanyak, yaitu 25 desa dan 1 UPT. Sedangkan Kecamatan Rampi adalah
paling sedikit jumlah desanya, yaitu hanya 6 desa.
54
Di antara 11 kecamatan, Kecamatan Seko merupakan kecamatan
yang terluas dengan luas 2.109,19 km2 atau 28,11 % dari total wilayah
Kabupaten Luwu Utara, sekaligus merupakan kecamatan yang letaknya
paling jauh dari Ibukota Kabupaten Luwu Utara, yakni berjarak 198 Km.
Urutan kedua adalah Kecamatan Rampi (21 %) dan yang paling sempit
wilayahnya adalah Kecamatan Malangke Barat (1%).
3.4 Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara
Pada Tahun 2010 tercatat terdapat 5.634 orang pegawai negeri sipil
(PNS) yang tersebar di 137 unit kerja.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Luwu
Utara terdiri dari 34 orang. Pada Tahun 2010 DPRD Kabupaten Luwu Utara
55
telah mengeluarkan 9 Peraturan Daerah (Perda) dan 24 Keputusan DPRD
Tingkat II.
3.5 Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Kabupaten Luwu
Utara
1. Kepala Badan
Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah dipimpin oleh seorang Kepala
Badan yang mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam membina,
mengkoordinasikan dan melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah di bidang kepegawaian dan diklat daerah, serta
pelaksanaan kesekretariatan Badan.
Struktur Organisasi dari BKDD Kabupaten Luwu Utara adalah sebagai
berikut:
56
Sumber: Data Sekunder 2012
Fungsi dari Kepala Badan BKDD adalah sebagai berikut :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang kepegawaian dan diklat daerah
b. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang kepegawaian dan diklat daerah
c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kepegawaian dan diklat
daerah serta kesekretariatan Badan
d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas
dan fungsinya
57
Tugas dari seorang Kepala Badan BKDD adalah sebagai berikut :
a. Merencanakan, mengorganisasika, menggerakkan dan mengendalikan
serta menetapkan kebijakan teknis di bidang kepegawaian dan diklat
daerah
b. Melaksanakan pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang kepegawaian dan diklat daerah
c. Menyelenggarakan pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang
kepegawaian dan diklat daerah
d. Membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan analisis kebutuhan
pegawai, rekruitmen, pengadaan dan penempatan pegawai
e. Membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan pengembangan,
peningkatan kesejahteraan, mutasi dan pensiun pegawai
f. Membina dan mengarahkan Kepala Sekretariat dan para Kepala Bidang
dalam melaksanakan tugasnya
g. Melakukan pembinaan terhadap kedisiplinan dan peningkatan kualitas
sumber daya pegawai dalam lingkup Badan
h. Melakukan pembinaan dan pengendalian atas pengelolaan keuangan
i. Melakuka pembinaan dan pengendalian atas pengelolaan perlengkapan
dan peralatan Badan
j. Menyelenggarakan koordinasi dengan instansi atau unit kerja terkait
k. Menilai prestasi kerja Kepala Sekretariat dan Kepala Bidang dalam
rangka pembinaan dan pengembangan karier
58
l. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas
dan fungsinya
m. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati melalui
Sekda.
2. Sekretariat
Sekretariat Badan dipimpin oleh seorang Sekretaris, mempunyai tugas
pokok menyiapkan bahan penyelengaraan dan koordinasi pelaksanaan
administrasi kepegawaian dan diklat daerah serta memberikan pelayanan
administrasi dan fungsional kepada semua unsur dalam lingkup Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah.
Sekretariat terdiri atas :
a. Subbagian Umum dan Kepegawaian
b. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan
c. Subbagian Keuangan
Tugas dari Kepala Sekretariat BKDD adalah sebagai berikut :
a. Merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan
serta menetapkan kebijakan di bidang umum, kepegawaian, keuangan
dan perlengkapan
b. Menyusun rencana kegiatan tahunan sebagai pedoman pelaksanaan
tugas
59
c. Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan teknis dan
administratif kepada seluruh satuan organisasi dalam lingkup Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan umum
e. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan kepegawaian
f. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan keuangan
g. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan perlengkapan
h. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
adminstrasi umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan
i. Mengkoordinasikan penyusunan laporan pelaksanaan program kegiatan
dalam lingkup Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah
j. Menilai prestasi kerja para kepala Subbagian dalam rangka pembinaan
dan pengembangan karier
k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas
yang diberikan oleh pimpinan
l. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah.
3. Bidang Pengadaan dan Mutasi Pegawai
Bidang Pengadaan dan Mutasi Kepegawaian dipimpin oleh Kepala
Bidang, mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis, memberikan
dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, membina,
60
mengkoordinasikan dan melaksanakan program dan kegiatan di bidang
mutasi kepegawaian.
Bidang Pengadaan dan Mutasi pegawai terdiri atas :
a. Sub Bidang Formasi dan Pengadaan Pegawai
b. Sub Bidang Mutasi Pegawai
Tugas dari Kepala Bidang Pengadaan dan Mutasi Kepegawaian adalah :
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang mutasi
kepegawaian
b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang
mutasi kepegawaian sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas
c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
pelayanan umum di bidang mutasi kepegawaian
d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang mutasi
kepegawaian
e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang mutasi kepegawaian
f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di
bidang mutasi kepegawaian
g. Menilai prestasi kerja para Kepala Bidang dalam rangka pembinaan dan
pengembangan karier
h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas
yang diberikan oleh pimpinan
61
i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah.
4. Bidang Diklat Aparatur
Bidang Diklat Aparatur dipimpin oleh seorang Kepala Bidang, mempunyai
tugas pokok merumuskan kebijakan teknis, memberikan dukungan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, membina, mengkoordinasikan dan
melaksanakan program dan kegiatan di bidang diklat aparatur.
Bidang Diklat Aparatur terdiri atas :
a. Sub Bidang Diklat Prajabatan dan Struktural
b. Sub Bidang Diklat Teknis dan Fungsional
Uraian tugas dari Kepala Bidang Diklat Aparatur adalah sebagai berikut :
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang diklat aparatur
b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang
diklat aparatur sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas
c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
pelayanan umum di bidang diklat aparatur
d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang diklat
aparatur
e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang diklat dan aparatur
f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di
bidang diklat aparatur
62
g. Menilai prestasi kerja para Kepala Sub Bidang dalam rangka pembinaan
dan pengembangan karier
h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas
yang diberikan oleh pimpinan
i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah.
5. Bidang Data dan Sistem Informasi Pegawai
Bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian dipimpin oleh seorang
Kepala Bidang, mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis,
memberikan dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah,
membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan program dan kegiatan di
Bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian.
Bidang Data dan Sistem Informasi Pegawai terdiri atas :
a. Sub Bidang Pengolahan Data Kepegawaian
b. Sub Bidang Sistem Informasi Kepegawaian
Uraian tugas dari Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi Pegawai
adalah :
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang Data dan Sistem
Informasi Kepegawaian
b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang
Data dan Sistem Informasi Kepegawaian sebagai pedoman dalam
pelaksanaan tugas
63
c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
pelayanan umum di bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian
d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang Data dan
Sistem Informasi Kepegawaian
e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang Data dan Sistem
Informasi Kepegawaian
f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di
bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian
g. Menilai prestasi kerja para Kepala Bidang dalam rangka pembinaan dan
pengembangan karier
h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas
yang diberikan oleh pimpinan
i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah.
6. Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai
Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai dipimpin oleh seorang
Kepala Bidang, mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis,
memberikan dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah,
membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan program dan kegiatan di
Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai.
Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai terdiri atas :
64
a. Sub Bidang Pembinaan Pegawai
b. Sub Bidang Kesejahteraan Pegawai
Uraian tugas dari Kepala Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai
adalah
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang Pembinaan dan
Kesejahteraan Pegawai
b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang
Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan tugas
c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
pelayanan umum di bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai
d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang Pembinaan
dan Kesejahteraan Pegawai
e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang Pembinaan dan
Kesejahteraan Pegawai
f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di
bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai
g. Menilai prestasi kerja para Kepala Bidang dalam rangka pembinaan dan
pengembangan karier
h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas
yang diberikan oleh pimpinan
65
i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Kepegawaian dan Diklat Daerah.
7. Jabatan Fungsional
Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas di bidang Kepegawaian dan Diklat sesuai bidang keahliannya. Dalam
melaksanakan tugas, pimpinan unit organisasi dan kelompok tenaga
fungsional wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi
baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi di
lingkungan pemerintah daerah serta dengan instansi lain diluar pemerintah
daerah sesuai dengan tugas masing-masing.
Baperjakat
STRUKTUR DAN ORGANISASI BAPERJAKAT LUWU UTARA
1. PENGARAH : - BUPATI LUWU UTARA
- WAKIL BUPATI LUWU UTARA
2. KETUA/ : SEKRETARIS DAERAH KAB. LUWU UTARA
MERANGKAP ANGGOTA
3. SEKRETARIS/ : KEPALA BIDANG MUTASI DAN PENGADAAN PEGAWAI
BUKAN ANGGOTA
4. ANGGOTA : 1. KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT
2. ASISTEN ADMINISTRASI UMUM
66
3. ASISTEN PEMERINTAHAN DAN KESRA
4. INSPEKTUR
5. STAF SEKRETARIAT : 1. SEKRETARIS BKDD
5. PARA KEPALA BIDANG
6. PARA KEPALA SUB. BAGIAN/BIDANG BKDD
Rincian Tugas dari Tim Baperjakat adalah sebagai berikut :
1. Tugas Ketua :
a) Memimpin sidang-sidang BAPERJAKAT
b) Memberikan hasil pertimbangan kepada Bupati mengenai
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari
jabatan struktural dan pengangkatan dalam pangkat Pegawai Negeri
Sipil, serta penunjukan pegawai untuk mengikuti Pendidikan dan
pelatihan struktural
c) Memberikan bimbingan dan pengarahan kepada sekretaris.
2. Tugas Anggota :
a) Menghadiri sidang-sidang BAPERJAKAAT
b) Turut serta secara aktif memberikan pertimbangan dan saran
c) Melakukan tugas lain yang ditentukan oleh Ketua
3. Tugas Sekretaris :
a) Membantu Ketua dalam melaksanakan tugasnya
b) Memimpin sekretariat
c) Menerima tembusan surat usul tentang pengangkatan, pemindahan
dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari Jabatan
Struktural dan Kenaikan Pangkat tertentu, serta pertimbangan
perpanjangan, Batas Usia Pensiun
d) Menyiapkan bahan sidang
67
e) Mengundang pejabat lain yang diperlukan untuk didengar
penjelasannya dalam sidang sesuai rapat BAPERJAKAT
f) Menyiapkan pertimbangan BAPERJAKAT untuk disampaikan kepada
pejabat yang berwenang
g) Melaksanakan tugas lain yang ditentukan oleh Ketua
h) Membuat berita acara rapat
4. Tugas Staf Sekretaris
a) Membantu sekretaris dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan
dengan kegiatan administrasi persidangan
b) Melaksanakan tugas-tugas teknis lainnya yang diberikan oleh
sekretaris BAPERJAKAT.
Tabel. 1. Jumlah Pegawai yang Dimutasi di Kabupaten Luwu Utara
No Jenis Kelamin Eselon JumlahII A II B III A III B IV A IV B
1 Laki-Laki 1 4 8 46 12 712 Perempuan 1 1 3 34 4 43
Jumlah 2 5 11 80 16 114Sumber : Data Sekunder 201
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Implementasi Mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Di Kabupaten
Luwu Utara
Kabupaten Luwu Utara sudah dibentuk sejak tahun 1999. Dalam
proses pelaksanaan administratif pemerintahannya sudah beberapa kali
melakukan mutasi pegawai. Di bawah pimpinan Drs. Arifin Junaidi, M.Si,
Luwu Utara pernah meraih prestasi sebagai salah satu daerah yang terbaik
68
pelaksanaan pemerintahannya. Ini di capai tidak lepas dari semua
stakeholder yang ada di Luwu Utara terutama pegawai Negeri Sipil sebagai
ujung tombak dari pelayanan masyarakat.
Mutasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Luwu Utara
minimal 2 kali setahun. Informasi ini peneliti dapatkan dari Kabid Pembinaan
dan Kesejahteraan Pegawai Luwu Utara, Sulpiadi, mengatakan bahwa
“ Paling sedikit dalam setahun 2 kali kami melakukan sidang dan mutasi pegawai”. (Wawancara 27 Pebruari 2012).
Pegawai yang peneliti wawancarai ada yang mengatakan bahwa
mereka sudah puas dengan posisi dan tempat mereka bekerja sekarang.
Namun ada juga pegawai yang mengatakan bahwa mereka tidak senang
dengan posisinya saat ini. Hal ini bergantung apakah pegawai tersebut di
naikkan jabatannya ( promosi) atau justru di turunkan jabatannya (demosi).
Salah seorang pegawai di BPKD mengatakan bahwa
“ Baru-baru ini saya di mutasi alasannya karena suami dan istri tidak boleh dalam satu kantor”. (Wawancara 28 Pebruari 2012). Hal yang sama juga dilontarkan oleh Kepala Bidang Konsumsi dan
Keamanan Pangan dan Gizi, Hasruddin Kujje mengatakan bahwa
“ saya sudah senang dengan posisi saya sekarang karena saya ditempatkan sudah sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, pertanian”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Berbeda dengan Syahruddin, yang merasa tidak senang dengan posisinya
saat ini, mengatakan bahwa :
69
“ Saya merasa tidak senang dengan posisi saya saat ini karena saya sudah bekerja secara profesional, jujur, disiplin, dan berkompeten. Masalah pilkada kan wajar ketika orang berbeda pilihan karena setiap warga Negara punya hak yang sama dalam menentukan pilihan dan tidak berhak di intervensi oleh orang lain”. (Wawancara 28 Pebruari 2012)
Sesuai dengan hasil pengamatan peneliti di lapangan bahwa rata-rata
pegawai sudah bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya masing-
masing. Kalaupun ada yang ditempatkan tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya itu sangat kecil jumlahnya.
Pegawai yang di mutasi selalu dinilai secara objektif. Hal ini dikatakan
oleh Kabid Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan
bahwa
“ orang-orang yang dimutasi dan dinaikkan jabatannya itu dinilai dari masa kerja, kompetensi, prestasi dan pangkatnya, itu yang utama “. (Wawancara 27 Pebruari 2012).
Pegawai Negeri Sipil memang akan melaksanakan pekerjaannya
dengan baik apabila dia merasa nyaman dengan pekerjaan yang digelutinya.
Pegawai juga akan bekerja dengan baik apabila dia betul-betul berkompeten
dipekerjaan itu. Olehnya itu memang sudah sepantasnya apabila pegawai
yang ingin di mutasi dinilai berdasarkan latar belakang pendidikan dan
keahliannya. Dan untuk meningkatkan gairah kerja Pegawai Negeri Sipil
salah satu caranya adalah dengan memberikan penghargaan kepada
Pegawai yang berprestasi atau menunjukkan hasil kerja yang baik. Pegawai
70
yang berprestasi bisa diberikan penghargaan dengan cara menaikkan
pangkatnya.
Dalam pergaulan sehari-hari kita sering mendengar bahwa orang yang
dinaikkan jabatannya karena pegawai itu dekat dengan pimpinannya atau
karena unsur politik. Tapi asumsi ini di bantah oleh Kabid Pembinaan dan
Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa
“ PNS itu dilarang berpolitik karena ada aturannya, kalaupun ada PNS yang berpolitik itu adalah pelanggaran dan harus diproses. Tapi yang susah adalah barang bukti bahwa PNS itu betul-betul ikut dalam politik”. (Wawancara 27 Pebruari 2012).
Didalam aturan kepegawaian yaitu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil
Menjadi Anggota Partai Politik tepatnya Pasal 2 yang berbunyi sebagai
berikut :
1. Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik
2. Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dalam teori memang sudah dijelaskan bahwa untuk mendapatkan
hasil kerja yang maksimal maka pegawai harus ditempatkan sesuai dengan
latar belakang pendidikannya, “The Right Man In The Right Place”. Di Luwu
Utara hal ini sudah di upayakan oleh pemerintah bahkan Sekda Luwu Utara
Mujahidin Ibrahim, mengatakan bahwa
71
“ Kalau penempatan pegawai, saya menganggap itu sudah sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing, misalnya saja lurah di Luwu Utara, rata-rata lulusan IPDN, kalaupun ada yang tidak sesuai dengan bidang ilmunya tapi kami menilai dari pengalaman kerjanya”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Bila pegawai ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan latar
belakang pendidikan dan kompetensinya maka akan timbul gairah kerja pada
pegawai tersebut. Semua pekerjaan yang dibebankan padanya dapat
diselesaikan dengan baik karena punya pengalaman sehingga semuanya
terasa ringan. Sebaliknya jika seorang pegawai ditempatkan pada posisi dan
bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahliannya maka pegawai tersebut
akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Pegawai tersebut dapat merusak citra atau nama
baik instansi dimana dia bekerja. Makanya dalam proses pelaksanaan mutasi
harus betul-betul dinilai secara objektif sehingga pegawai yang dimutasi
betul-betul pantas untuk di mutasi.
Mutasi yang terjadi di Kabupaten Luwu Utara harus melalui
pertimbangan dari Tim Baperjakat yang diberikan kuasa penuh untuk
memberikan penilaian kepada Pegawai Negeri Sipil. Tim Ini di ketuai
langsung oleh Sekda Luwu Utara. Dan keputusan akhir tentang mutasi
seorang Pegawai Negeri Sipil berada di tangan Bupati.
Matriks 1 akan memperlihatkan hasil analisis temuan terhadap
implementasi mutasi di Kabupaten Luwu Utara.
72
4.1.1 Profesionalisme Sebagai Prinsip Dasar Mutasi Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
Profesionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara
pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat
pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal
daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Jadi,
profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari seseorang
yang profesional.
78
Matriks 2. Hasil Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Mutasi
Pegawai Di Kabupaten Luwu Utara
No Nama Jabatan Analisis
Lama Baru
1 2 3 4
1 Armin, S.
Sos
Kepala Kantor
Lingkungan
Hidup
Kabupaten Luwu
Utara
Kepala Dinas
Pertambangan
dan Energi
Kabupaten
Luwu Utara
Mutasi yang
dilakukan kurang
memperhatikan
latar belakang
pendidikannya
tetapi didasarkan
senioritas.
1 2 3 4
2 Sri Suswati,
SE, MM
Sekertaris
Badan KB dan
Pemberdayaan
Perempuan
Kabupaten Luwu
Utara
Kepala Badan
KB dan
Pemberdayaan
Perempuan
Kabupaten
Luwu Utara
Latar belakang
pendidikan
dijadikan dasar
untuk mutasi
pegawai. Ini
menunjukkan
profesionalisme
seorang pegawai.
Sumber : Analisis Data Sekunder 2012
79
Berdasarkan data pada matriks 2 dapat dilihat bahwa mutasi yang
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Luwu Utara sudah memperhatikan
profesionalisme seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini dapat kita lihat
dari perpindahan jabatan PNS yang bersangkutan dari jabatan lama ke
jabatan baru dua Pegawai Negeri Sipil di atas. Meskipun mungkin bila ditinjau
dari latar belakang pendidikannya kurang sejalan tapi karena sudah punya
pengalaman dan dianggap senior sehingga keduanya tetap di percaya untuk
menduduki posisi yang lebih tinggi.
Untuk mencapai sukses dalam bekerja, seseorang harus mampu
bersikap profesional. Profesional tidak hanya berarti ahli saja. Namun selain
memiliki keahlian juga harus bekerja pada bidang yang sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya tersebut. Seorang profesional tidak akan pernah
berhenti menekuni bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu, seorang
profesional juga harus selalu melakukan inovasi serta mengembangkan
kemampuan yang dimiliki supaya mampu bersaing untuk tetap menjadi yang
terbaik di bidangnya.
Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong
dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. Kualitas
profesionalisme seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai
ideal.
80
Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha
mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan
mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki piawaian
tersebut. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat
perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2. Meningkatkan dan memelihara image profesion
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk
selalu meningkatkan dan memelihara image profesion melalui perwujudan
perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai cara
misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh
badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.
3. Keinginan untuk sentiasa mengejar kesempatan pengembangan
profesional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualitas
pengetahuan dan keterampiannya.
4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesion
Profesionalisme ditandai dengan kualitas derajat rasa bangga akan
profesi yang dipegangnya. Dalam hal ini diharapkan agar seseorang itu
memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya.
4.1.2 Kompetensi Sebagai Pertimbangan dalam Mutasi Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang dan
berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya. Kompetensi
81
adalah bagian dari kepribadian yang mendalam dan melekat kepada
seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan
tugas pekerjaan. Kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan atau
memprediksi perilaku dan kinerja. Kompetensi sebenarnya memprediksi
siapa yang berkinerja baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.
Kompetensi terdiri dari 5 (Lima) Karakteristik yaitu :
1. Motivasi
Adalah sesuatu dimana seseorang secara konsisten berfikir sehingga
ia melakukan tindakan. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi secara
konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberi suatu tantangan
pada dirinya sendiri dan bertanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan
tersebut serta mengharapkan semacam “ feedback “ untuk memperbaiki
dirinya.
2. Berkepribadian
Adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana
seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu. Sebagai contoh seperti
percaya diri, kontrol diri, ketabahan atau daya tahan.
3. Konsep Diri
Adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai
diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui nilai yang dimiliki
seseorang dan apa yang menarik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.
4. Pengetahuan
82
Adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu.
Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. Tes pengetahuan
mengukur kemampuan peserta untuk memilih jawaban yang paling benar
tetapi tidak bias melihat apakah sesorang dapat melakukan pekerjaan
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
5. Keahlian
Adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik
secara fisik maupun mental. Dengan mengetahui tingkat kompetensi maka
perencanaan sumber daya manusia akan lebih baik hasilnya.
Matriks 3. Hasil Analisis Pengaruh Kompetensi Terhadap Mutasi
Pegawai di Kabupaten Luwu Utara
N
o
Nama/Nip Pangkat/Gol Jabatan Analisis
Lama Baru
1 2 3 4 5
1 Muh. Nur, SE Pembina
( IV/a)
Kabid
Transmigrasi
Kab. Luwu
Utara
Kepala
Kantor
Lingkunan
Hidup Kab.
Luwu Utara
Mutasi yang
dilakukan sudah
berdasarkan
kompetensi
pegawai
83
2 Muh. Syaidin
Syafar, SE, M.Si
Pembina Tk 1
( IV/b)
Kabid
Akuntansi
pada DPKD
Kab. Luwu
Utara
Sekretaris
DPKD Kab.
Luwu Utara
Mutasi yang
dilakukan
disesuaikan
dengan latar
belakang
pendidikan
pegawai
1 2 3 4 5
3 Mulawarman A.
Rasyid, SH
Penata Tk 1
( III/d)
Kasi Retribusi
pada DPKD
Kab. Luwu
Utara
Kabag
Perundang-
Undangan
pada
Sekretariat
DPRD Kab.
Luwu Utara
Mutasi yang
dilakukan
berdasarkan
kompetensi dan
latar belakang
pendidikan
pegawai
4 Rosmaya Baso,
SKM
Penata
( III/c)
Kasi
Kesehatan
Dasar pada
Kabid Jaminan
dan Sarana
Kesehatan
Mutasi dilakukan
dalam rangka
memberikan
84
Bidang
Pelayanan
Kesehatan
DinKes Kab.
Luwu Utara
pada DinKes
Kab. Luwu
Utara
pengalaman baru
kepada pegawai
dalam satu Dinas
5 dr. H. A. Muh.
Nasrum
Pembina Tk 1
( IV/b)
Kabid Jaminan
dan Sarana
Kesehatan
pada DinKes
Kab.Luwu
Utara
Kabid
Pelayanan
Kesehatan
pada DinKes
Kab.Luwu
Utara
Mutasi yang
dilakukan
disesuaikan
dengan latar
belakang
pendidikan
Sumber: Analisis Data Sekunder, 2012
Berdasarkan data pada matriks 3 terlihat bahwa Pemerintah Luwu
Utara dalam melakukan mutasi seorang pegawai betul-betul memperhatikan
kompetensi yang ada pada seorang PNS. Sebagai contoh misalnya bapak
Muh. Syaidin Syafar, SE. M.Si, dengan latar belakang pendidikan dari
fakultas ekonomi maka dia ditempatkan pada bidang akuntansi yang
seharusnya memang menjadi tempatnya bekerja.
Hal ini di dukung oleh ungkapan dari Kabid Pembinaan dan
Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa
“ orang-orang yang dimutasi dan dinaikkan jabatannya itu dinilai dari masa kerja, kompetensi, prestasi dan pangkatnya, itu yang utama “. (Wawancara 27 Pebruari 2012)
85
Kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu “Threshold” dan
“Differentiating“, menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja
suatu pekerjaan. “Threshold competencies adalah karakteristik utama, yang
biasanya berupa pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk
membaca yang harus dimiliki seseorang agar dapat melaksanakan
pekerjaannya. Tetapi kategori yang ini tidak untuk menentukan apakah
seseorang tersebut berkinerja tinggi atau tidak.
Kategori ini jika untuk menilai karyawan hanyalah untuk mengetahui
apakah ia mengetahui tugas-tugasnya, bisa mengisi formulir dan lain
sebagainya. Sedangkan “Differentiating competencies” adalah faktor–faktor
yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Karena
seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi maka ia akan mampu
menetapkan target atau tujuan yang jauh lebih ketimbang kinerjanya pada
tingkat rata-rata.
Dari hasil bacaan penulis dikatakan bahwa rendahnya kompetensi
PNS setidaknya bersumber pada beberapa persoalan mendasar. Pertama,
dari sisi input penerimaan PNS yang sarat dengan suap, kolusi, dan
nepotisme, sehingga yang terseleksi menjadi PNS bukan pilihan yang terbaik
dan berkualitas, melainkan calon-calon PNS yang bisa menyuap, memiliki
kedekatan hubungan keluarga dan akses dengan para pejabat.
Kedua, sistem penjenjangan karier pegawai yang tidak berbasis pada
kompetensi, tetapi pada struktur kepangkatan formal. Jabatan-jabatan teknis
86
di lingkungan birokrasi pemerintah yang seharusnya diisi oleh pegawai yang
memiliki kompetensi di bidangnya, tetapi dalam kenyataannya bisa diisi
pegawai dengan latar belakang umum, sepanjang kepangkatannya
memenuhi syarat.
Ketiga, orientasi PNS bukan lagi mengedepankan persoalan
kompetensi, tetapi lebih cenderung mencari pekerjaan yang bisa
menghasilkan uang sebanyak mungkin (jabatan basah). Tidak peduli apakah
dia memiliki kecakapan bekerja atau tidak.
Orientasi keinginan menjadi pejabat struktural lebih kuat dibandingkan
harus mengabdikan dirinya sebagai PNS biasa, sehingga jenjang karier PNS
identik dengan menduduki jabatan struktural. Sementara persaingan untuk
menduduki jabatan ini juga tidak dilakukan secara objektif dan berdasarkan
kompetensi, karena jabatan sekarang bisa diperjualbelikan. Jabatan menjadi
lahan bagi pejabat untuk merauk keuntungan ekonomis dengan cara
memperjualkan jabatan.
Keempat, di era reformasi, terjadi politisisasi PNS. PNS yang
seharusnya netral dan mengedepankan pengabdiannya pada masyarakat
malah cenderung terlibat dalam aksi dukung-mendukung terhadap
atasannya. Konsekuensinya, PNS dengan mudah bisa dimutasi atasannya
karena masalah loyalitas, bukan karena persoalan kompetensi.
Jadi, banyak hal yang menjadi persoalan penyebab rendahnya
kompetensi PNS. Intinya bukan hanya karena masalah katerbatasan skill
87
atau kualifikasi pendidikan PNS yang tidak mendukung, melainkan oleh faktor
lingkungan dan sistem karier PNS banyak dipengaruhi unsur subjektivitas
baik yang bersifat politik, kedekatan keluarga, disorientasi PNS yang
mengarah pada persoalan-persoalan pragmatis, duplikasi pekerjaan, dan
pekerjaan yang belum berbasis fungsi kerja.
Tuntutan PNS agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar
sistem prestasi kerja adalah agenda yang mendesak dan sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan produktivitas, profesionalitas pegawai, serta
membangun citra PNS yang positif dalam melayani masyarakat.
Jalan ke luar untuk membangun kompetensi PNS bukan dilakukan
secara partsial, tetapi harus dilakukan reformasi secara menyeluruh terhadap
akar persoalan yang menyebabkan rendahnya kompetensi PNS. Salah satu
pilihan reformasi untuk meningkatkan kompetensi PNS yaitu mengubah
lingkungan budaya kerja PNS yang tidak produktif dan bekerja secara
rutinitas tanpa ada greget untuk berprestasi menuju budaya kerja yang
kompetitif dan produktif.
Oleh karena itu, dibutuhkan PNS profesional yang memiliki
kompetensi dalam bekerja, melayani masyarakat dengan baik, ramah dan
memuaskan, serta bekerja dengan target kinerja yang jelas dan terukur.
Perubahan kultur PNS tersebut harus menjadi agenda utama
pemerintah, bukan dengan hanya memberikan pendidikan dan pelatihan
88
(Diklat). Tanpa ada perubahan kultur di lingkungan birokrasi pemerintahan,
hampir dapat dipastikan PNS akan masuk tradisi bekerja apa adanya.
Mereka akan bekerja tanpa motivasi untuk berprestasi, sarat dengan
kepentingan pejabat, merasa nyaman walaupun tidak memiliki prestasi, tidak
produktif, dan melanggengkan kebiasaan korupsi yang sudah membudaya.
Hal-hal demikian yang menjadi perusak dalam struktur organisasi
pemerintahan tidak terkecuali di Luwu Utara. Tapi kalaupun itu terjadi
kemungkinannya sangat kecil dan persentasenya tidak terlalu tinggi. Hal ini di
dukung oleh ungkapan dari Kabid Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai,
Sulpiadi, yang mengatakan bahwa
“ PNS itu dilarang berpolitik, dia harus bersikap netral, kalaupun memang terbukti bahwa PNS itu terlibat dalam politik maka kami akan memprosesnya sesuai aturan yang berlaku”. (Wawancara 27 Pebruari 2012)”
4.1.3 Prestasi Kerja Sebagai Prinsip dalam Mutasi Pegawai Negeri Sipil
(PNS)
Prestasi kerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang di
dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Prestasi
kerja ini merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan
minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan
delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja.
89
Prestasi kerja adalah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dicapai
seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Prestasi kerja seseorang dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan,
pengalaman, kesungguhan, dan lingkungan kerja itu sendiri. Dari kedua
defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja merupakan
hasil kerja yang dicapai seseorang, atas tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman, ketrampilan,
kesungguhan dan lingkungan kerja itu sendiri.
Pada UU No 43 Tahun 1999 dengan jelas tertulis bahwa untuk
mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
diperlukan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui
pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem
karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.
Pegawai Negeri Sipil merupakan orang terdepan dalam pelayanan
kepada masyarakat. Mereka harus betul-betul diperhatikan, salah satu
bentuk perhatian pemerintah bisa dilakukan dengan memberikan nilai tambah
kepada Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan tugasnya dengan baik dan
pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang tinggi.
Sebagai rekomendasi, mungkin pemerintah dapat memberikan posisi
yang tinggi bagi pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang baik.
Dengan adanya penghargaan seperti itu, juga akan meningkatkan motivasi
kerja pegawai. Namun yang harus diperhatikan adalah indikator-indikator
90
penilaian bagi pegawai yang dianggap berprestasi. Semua itu harus jelas dan
disosialisasikan kepada para pegawai.
Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan para Pegawai Negeri
Sipil. Jika kesejahteraan pegawai diperhatikan ada kemungkinan pegawai
akan bekerja lebih baik lagi dan budaya korupsi yang sering disiarkan di
televisi sudah dapat di hindari.
91
Berdasarkan data pada matriks 4 terlihat bahwa mutasi yang telah di
lakukan oleh pemerintah Luwu Utara memang sudah bisa dikatakan
berdasarkan prestasi kerja PNS. Kalaupun ada mutasi yang dilakukan
dengan tidak memperhatikan prestasi kerja pegawai. Hal itu bisa saja terjadi
karena memang pada dasarnya manusia tidak luput dari kesalahan. Akan
tetapi kwalitas PNS yang ada di Luwu Utara sudah cukup baik. Senada
dengan yang diungkapkan oleh Kabid Pembinaan dan Kesejahteraan
Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa
“Sumber Daya yang ada di Luwu Utara itu sudah cukup baik, tapi perlu ada peningkatan mutu, dalam rangka mendapatkan hasil kerja yang lebih baik” (Wawancara 27 Pebruari 2012)”.
92
Mengacu pada PP No. 10 tahun 1979, pada saat memberikan
penilaian DP3 terkadang sebagai pimpinan hanya memberikan penilaian
berdasarkan kegiatan PNS pada akhir tahun, disini tampak parameter yang
digunakan tidak jelas sehingga sulit untuk diukur. Keadaan seperti ini memicu
untuk dibuatnya “PP yang baru sebagai penyempurnaan PP 10 Tahun 1979
yang mengatur tentang sasaran kinerja pegawai”, terlebih pada PP 53 Tahun
2010 pasal 3 butir 12 sangat jelas dikatakan bahwa setiap PNS wajib
mencapai sasaran kinerja pegawai yang ditentukan, apabila tidak, pada
Pasal 9 butir 12 akan diberikan sanksi.
Penilaian kerja pegawai selama ini sudah dilaksanakan di lingkungan
PNS dikenal dengan DP-3 yang diatur pada PP 10 Tahun 1979. Kenyataan
empirik menunjukkan proses penilaian DP-3 tersebut terjebak ke dalam
proses formalitas. DP-3 PNS kehilangan arti dan makna substantif, tidak
efektif dan tidak optimal memberikan daya dukung pada tujuan
pengembangan dan pemanfaatan potensi PNS yang berorientasi pada
peningkatan produktivitas kerja. DP-3 juga secara substantif tidak dapat
digunakan sebagai penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas
dan konstribusi PNS terhadap organisasi.
Untuk menjawab permasalahan DP-3 ini dibuatlah kebijakan sebagai
penyempurnaan PP No 10 Tahun 1979 yang mengatur tentang Penilaian
Prestasi kerja sebagai alat pengendali agar setiap kegiatan pelaksanaan
93
tugas pokok oleh setiap PNS selaras dengan tujuan yang ditetapkan dalam
Renstra dan Renja Organisasi.
“ Prestasi kerja terdiri dari dua unsur yaitu Sasaran Kinerja Pegawai
(SKP) dan perilaku kerja. Bobot nilai unsur SKP 60 % (enam puluh persen)
dan perilaku kerja sebesar 40 % (empat puluh persen). Lebih jauh tentang
SKP, penilaiannya meliputi aspek kuantitas, kualitas, waktu dan atau biaya.
Sementara Penilaian perilaku kerja meliputi unsur: Orientasi Pelayanan,
Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan Kepemimpinan. SKP nantinya
wajib disusun dan disetujui bersama antara atasan langsung dengan PNS
yang bersangkutan, ditetapkan setiap tahun pada Bulan Januari sebagai
kontrak prestasi kerja, selanjutnya pada akhir tahun SKP digunakan sebagai
standar/ukuran penilaian prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja ini bersifat
obyektif, terukur, akuntabel, partisipatif dan transparan.
Wakil Kepala BKN Drs. Eko Sutrisno, M.Si memaparkan 8 (delapan)
kriteria keberhasilan reformasi birokrasi. Kriteria tersebut yaitu manajemen
perubahan, penataan peraturan perundang-undangan, penataan &
penguatan organisasi, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen
aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja serta
monitoring dan evaluasi.
Penilaian DP3-PNS, lebih berorientasi pada penilaian kepribadian
(personality) dan perilaku (behavior) terfokus pada pembentukan karakter
individu dengan menggunakan kriteria behavioral, belum terfokus pada
94
kinerja, peningkatan hasil, produktivitas (end result) dan pengembangan
pemanfaatan potensi.
Beberapa tinjauan terkait dengan implementasi DP-3 PNS selama ini,
proses penilaian lebih bersifat rahasia, sehingga kurang memiliki nilai
edukatif, karena hasil penilaian tidak dikomunikasikan secara terbuka. Selain
itu, pengukuran dan penilaian prestasi kerja tidak didasarkan pada target goal
(kinerja standar/harapan), sehingga proses penilaian cenderung terjadi bias
dan bersifat subyektif (terlalu pelit/murah), nilai jalan tengah dengan rata-rata
baik untuk menghindari nilai “amat baik” atau “kurang”, apabila diyakini untuk
promosi dinilai tinggi, bila tidak untuk promosi cenderung mencari alasan
untuk menilai “sedang” atau “kurang”. Dalam hal Atasan langsung sebagai
pejabat penilai, ia hanya sekedar menilai, belum/tidak memberi klarifikasi
hasil penilaian dan tindak lanjut penilaian.
Selain melakukan kegiatan tugas jabatan yang sudah menjadi tugas
dan fungsi, apabila seorang pegawai memiliki tugas tambahan terkait dengan
jabatan, maka dapat dinilai dan ditetapkan menjadi tugas tambahan. PNS
yang melaksanakan tugas tambahan yang diberikan oleh pimpinan/ pejabat
penilai yang berkaitan dengan tugas pokok jabatan, hasilnya dinilai sebagai
bagian dari capaian SKP.
4.1.4 Jenjang Pangkat Sebagai Prinsip dalam Mutasi Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
95
Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan seorang
Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan
kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Kenaikan pangkat
adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian
Pegawai Negeri Sipil terhadap Negara, serta sebagai dorongan kepada
Pegawai Negeri Sipil untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan
pengabdiannya. Agar kenaikan pangkat dapat dirasakan sebagai
penghargaan, maka kenaikan pangkat harus diberikan tepat pada waktunya
dan tepat kepada orangnya. Susunan Pangkat dan Golongan Ruang
Pegawai Negeri Sipil sebagai berikut:
Tabel 2. Daftar Pangkat dan Golongan PNS
96
No Pangkat Golongan1 Juru Muda I a2 Juru Muda Tingkat 1 I b3 Juru I c4 Juru Tingkat 1 I d5 Pengatur Muda II a6 Pengatur Muda Tingkat 1 II b7 Pengatur II c8 Pengatur Tingkat 1 II d9 Penata Muda III a10 Penata Muda Tingkat 1 III b11 Penata III c12 Penata Tingkat 1 III d13 Pembina IV a14 Pembina Tingkat 1 IV b15 Pembina Utama Muda IV c16 Pembina Utama Madya IV d17 Pembina Utama IV e
Sumber: Data Sekunder 2012
Berdasarkan hasil data dan informasi dapat disimpulkan bahwa mutasi
yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sudah
memperhatikan jenjang pangkat seorang PNS. Bagi PNS yang memiliki
pangkat yang tinggi dan sudah mengabdi cukup lama maka akan di
tempatkan pada jabatan yang lebih tinggi pula. Ini merupakan penghargaan
dan apresiasi pemerintah Luwu Utara kepada PNS yang diharapkan dapat
meningkatkan motivasi kerja PNS serta kesejahteraan PNS. Sebagai
pendukung peneliti tuliskan hasil wawancara dengan Kabid Pembinaan dan
Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa
“Orang-orang yang dimutasi atau dinaikkan jabatannya itu dinilai dari masa kerja, kompetensi, prestasi dan pangkatnya, itu yang utama”. (Wawancara 27 Pebruari 2012)
Tabel 3. Daftar Jabatan Struktural Organisasi Pemerintahan
No Eselon Jabatan1 II- A Sekda2 II- B Kepala Badan
Kepala DinasInspekturStaf AhliAsisten
3 III- A Kepala KantorSekertaris
Camat4 III- B Kepala Bidang
Sekcam5 IV- A Lurah
Kasubid
97
Kasubag pada Dinas/ BadanKepala UPTD
6 IV- B Kasi pada KelurahanKasubag pada Kecamatan
Kepala TU UPTD7 V Tata Usaha Sekolah
Sumber : Data Sekunder 2012
Penempatan seorang Pegawai Negeri Sipil memang harus
memperhatikan jenjang pangkat dari PNS itu sendiri. Jabatan-jabatan yang
ada dalam organisasi pemerintahan mempunyai batas minimal pangkat yang
harus dimiliki seorang PNS. Ini merupakan tugas dari pimpinan untuk
memperhatikan jenjang pangkat seorang PNS jika melakukan mutasi .
Akan tetapi dalam beberapa kasus pernah terjadi pimpinan lebih
rendah pangkatnya di bandingkan dengan stafnya. Hal ini sesuai dengan
yang di ungkapkan oleh mantan Kabag Humas dan Protokol Setda Lutra,
Syahruddin, mengatakan bahwa :
“Mutasi tidak sesuai dengan jenjang pangkat karena pernah terjadi DP3 saya itu ditandatangani oleh pimpinan yang golongannya 3B sedangkan pada saat itu golongan saya 4A. Jadi sangat tidak masuk akal bahwa pangkat bawahan lebih tinggi daripada pimpinannya. Ibarat saya jendral dan pimpinan kopral”. ( Wawancara 28 Pebruari 2012).
Mutasi seorang PNS merupakan bentuk penghargaan pimpinan dan
sekaligus mengurangi rasa bosan PNS dengan rutinitas yang sama.
Diharapkan dengan adanya mutasi maka kinerja PNS semakin meningkat.
98
Untuk memperjelas maksud dari peneliti maka dibawah ini disajikan
Matriks Nominatif Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Luwu Utara
Periode Desember 2010, yaitu :
99
4.1.5 Tanpa Diskriminasi Sebagai Prinsip dalam Mutasi Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap
individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang
diwakili oleh individu berkenaan. Diskriminasi merupakan suatu perbuatan
yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia. Ia berpuncak daripada
kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan manusia lainnya.
Diskrimasi boleh terjadi dalam berbagai konteks. Ia boleh dilakukan
oleh orang perseorangan, institusi, firma, bahkan oleh negara. Terdapat
100
berbagai perlakuan yang dianggap sebagai diskriminasi, perlakuan diskrimasi
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Seorang pedagang enggan berurusan dengan seorang pelanggan
karena perbedaan organisasi.
2. Seorang majikan memberi gaji yang tidak setimpal kepada para
pekerjanya karena alasan perbedaan warna kulit
3. Sebuah institusi pendidikan enggan menerima seorang pelajar, walaupun
dia mempunyai kelayakan dan masih mempunyai kekosongan dalam
institusi berkenaan, disebabkan individu yang dimaksud berbeda agama.
Diskriminasi adalah perlakuan buruk yang ditujukan terhadap
kumpulan manusia tertentu. Berdasarkan sasaran, diskriminasi dibedakan
dalam beberapa jenis seperti dibawah:
1. Diskriminasi Umur
Inividu diberi layanan yang tidak adil kerana beliau tergolong dalam
lingkungan umur tertentu. Misalnya, remaja senantiasa dianggap orang
yang menimbulkan masalah sehingga timbul istilah "masalah remaja".
2. Diskriminasi Jenis Kelamin
Inidividu diberi layanan yang tidak adil kerana perbedaan jenis kelamin
mereka. Misalnya, seorang wanita menerima gaji yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki, walaupun pekerjaan dan jasa yang mereka
berikan sama
101
3. Diskriminasi Ras
Individu diberi layanan yang tidak adil berdasarkan ras yang diwakilinya.
4. Dikriminasi Agama
Individu diberi layanan yang tidak adil berdasarkan agama yang
dianutnya.
Dari hasil Pengamatan di lapangan, tidak ada pembedaan pelayanan
maupun dalam hal mutasi bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Kabupaten Luwu Utara. Mereka semua diberikan hak yang sama, kalau
memang memiliki kemampuan yang diperlukan di sebuah jabatan maka pasti
dia akan ditempatkan di jabatan tersebut.
Untuk mendukung pernyataan diatas maka akan kami sajikan data
nominatif Pegawai Negeri Sipil di kabupaten Luwu Utara yang peneliti
peroleh,yaitu sebagai berikut :
102
Dari data pada matriks 6 terlihat bahwa memang Pemerintah
Kabupaten Luwu Utara dalam melakukan mutasi seorang PNS tidak pernah
melakukan diskriminasi. Dari data kita lihat meskipun orang berbeda agama
bisa ditempatkan pada posisi yang setara begitupun dengan jenis kelamin.
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara tidak melihat apakah dia perempuan atau
laki-laki selama mampu mengemban tugas yang diberikan kenapa tidak
untuk seorang laki-laki atau perempuan menduduki posisi yang strategis. Kita
juga melihat tidak adanya diskriminasi suku karena siapapun dia selama
memiliki kemampuan dan keterampilan maka akan menduduki posisi yang
103
sepantasnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kondisi organisasi
pemerintahan agar tetap kondusif dan aman.
Akan tetapi dari hasil wawancara dengan mantan Kadis DPKD, Sudir
mengatakan bahwa :
“ Aturan itu kurang dijalankan karena apa maunya Bupati itu yang diikuti. Pada saat pilkada sebenarnya tidak ada lagi pegawai yang netral. Orang- orang yang punya jabatan strategis saat ini pasti dulunya adalah tim sukses dan pendukung dari Bupati ”. ( Wawancara 28 Pebruari 2012).
Pegawai Negeri Sipil akan merasa dihargai jika tidak ada pembedaan
perlakuan dari pimpinannya. Dengan tidak membeda-bedakan PNS maka
motivasi pegawai untuk berprestasi akan semakin tinggi. PNS akan mencoba
menunjukkan kinerja yang baik karena ada target dan tujuan yang mereka
capai. Sebagai contoh bisa saja posisi yang strategis menjadi motivasi PNS
untuk berprestasi. Jadi memperlakukan pegawai dengan baik sudah menjadi
tugas bagi para pimpinan.
Kondisi yang kondusif di lingkungan organisasi pemerintahan sudah
menjadi harapan bagi para pimpinan. Salah satu cara untuk mewujudkan
harapan itu dengan tidak mendiskriminasikan pegawai. Dengan tidak adanya
diskriminasi maka kecurigaan diantara para pegawai tidak akan terjadi. Untuk
menghindari rasa cemburu timbul diantara para pegawai salah satu caranya
adalah memberikan penilaian secara adil. Namun yang penting bagi para
pimpinan adalah selalu bersikap profesional dan berlaku adil.
4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutasi
104
Mutasi merupakan hal yang sudah pasti dilakukan oleh organisasi
pemerintahan setiap tahunnya. Bagi Pegawai Negeri Sipil mutasi bisa
menjadi hal yang menyenangkan dan bisa juga menjadi hal yang
menyakitkan. Mutasi menjadi menyenangkan bila Pegawai Negeri Sipil di
promosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Mutasi bisa menjadi
menyakitkan bila Pegawai Negeri Sipil mendapat hukuman sehingga ia
diturunkan kejabatan yang lebih rendah. Tapi sebagai insan akademik yang
baik, kita harus menilai mutasi sebagai proses penyegaran struktur
organisasi pemerintahan dalam rangka meningkatkan kinerja Pegawai Negeri
Sipil dan juga melepaskan rasa bosan PNS .
Selaras dengan yang dikatakan oleh Sekda Luwu Utara, Mudjahidin
Ibrahim, mengatakan bahwa
“Orang yang dimutasi itu biasa karena promosi, penyegaran atau hukuman atas pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. (wawancara 28 Pebruari 2012).
Dalam melakukan proses mutasi pasti ada hal yang mempengaruhi
seorang pimpinan dalam pengambilan keputusannya. Faktor-faktor yang
berpengaruh itu bisa saja berasal dari lingkungan organisasi pemerintahan
atau juga dari dalam diri pimpinan itu sendiri (Faktor Internal). Tidak menutup
kemungkinan bahwa faktor yang berpengaruh itu juga berasal dari luar
lingkungan pemerintahan (Faktor Eksternal).
Dari hasil wawancara dengan mantan Kabag Humas dan Protokol
Setda Lutra, Syahruddin, mengatakan bahwa :
105
“Mutasi saat ini itu penuh dengan kepentingan. Siapa yang dekat dengan Bupati maka pasti dia akan mendapatkan jabatan dan posisi yang baik”. ( Wawancara 28 Pebruari 2012)
Matriks 7. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Mutasi Pegawai di Kabupaten Luwu Utara
No Nama Uraian Analisis
1 2 3 4
106
1 Ir. H. Mudjahidin
Ibrahim
Struktur birokrasi jelas
sangat berpengaruh,
Bupati sebagai pimpinan
tertinggi punya
kewenangan penuh.
Kami tim Baperjakat
hanya sekedar
memberikan
pertimbangan kepada
Bupati. Jadi keputusan
akhir berada ditangan
Bupati, kalaupun Bupati
tidak setuju, pasti
rekomendasi kami
ditolak, tapi dengan
alasan-alasan tertentu.
Mutasi seorang Pegawai
ditentukan sepenuhnya
oleh Bupati. Meskipun tim
Baperjakat memberikan
rekomendasi, tapi
rekomendasi itu dapat saja
ditolak oleh Bupati sebagai
puncak tertinggi dalam
struktur birokrasi di
daerah.
2 Ir. Hasruddin Kujje Saya dimutasi hanya
menerima surat
pelantikan, tidak ada
pemberitahuan
sebelumnya, ditempatkan
Mutasi di Kabupaten Luwu
Utara banyak ditentukan
oleh pimpinan karena
pimpinan yang menilai
kinerja dari pegawainya.
107
dimana dan dikantor apa,
tergantung pimpinan
Rasa suka dan tidak suka
pun jelas berpengaruh
terhadap mutasi pegawai.
Sumber: Data Primer, 2012
4.2.1 Faktor Internal yang Mempengaruhi Mutasi
Aturan tentang pelaksanaan mutasi di Kabupaten Luwu Utara
mengacu pada Undang-Undang yang berlaku secara nasional. Dalam rangka
mengeksekusi proses mutasi maka pemerintah Kabupaten Luwu Utara
mengeluarkan kebijakan tentang mutasi yaitu Peraturan Bupati Luwu Utara
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (BAPERJAKAT). Baperjakat merupakan sebuah tim yang
memberikan rekomendasi kepada Bupati mengenai siapa-siapa saja yang
layak dan pantas untuk di mutasi. Tim Baperjakat di ketuai oleh Sekda Luwu
Utara. Begitu pentingnya peran dari tim Baperjakat, maka mutasi banyak di
tentukan oleh tim Baperjakat yang keputusan akhirnya ditentukan oleh Bupati
sebagai pucuk pimpinan di wilayah Kabupaten.
Mutasi di Luwu Utara sangat ditentukan oleh Sumber Daya dari Tim
Baperjakat. Ketika Sumber Daya dari tim baperjakat tidak bekerja secara
profesional maka ada kemungkinan rekomendasi yang diberikan kepada
Bupati tidak adil dan penilaiannya secara subjektif. Akan tetapi dari hasil
wawancara yang peneliti dapatkan bahwa Tim Baperjakat adalah orang-
108
orang yang profesional dan ahli di bidangnya masing-masing. Sekda Luwu
Utara, Mudjahidin Ibrahim, mengatakan bahwa :
“Sumber Daya yang ada dalam tim Baperjakat sudah cukup profesional. Misalnya Inspektorat, dalam hal pengawasan pegawai, apakah pegawai itu punya masalah atau tidak. Kalau orang dari bagian Mutasi dalam hal kelengkapan berkas dan kriteria pegawai, misalnya pangkatnya sudah memenuhi atau belum”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Selain tim Baperjakat, masing-masing pimpinan di sebuah badan atau
dinas dapat memberikan penilaian kepada bawahannya sehingga ada
kemungkinan bahwa seorang Pegawai itu di mutasi karena ada permintaan
dari pimpinannya. Dengan demikian bahwa struktur birokrasi cukup
berpengaruh dalam hal mutasi seorang PNS.
Berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Sekda Luwu Utara, mantan
Kabag Humas Luwu Utara mengatakan bahwa :
Baperjakat itu tidak bekerja secara profesional karena mereka itu ditentukan oleh Bupati. Rekomendasi yang mereka tentukan itu bisa saja di tolak dan diganti oleh Bupati. Bahkan yang paling parah karena faktor keluarga cukup berpengaruh terhadap mutasi saat ini. ( Wawancara 28 Pebruari 2012 ).
Begitupun dengan tim Baperjakat, mereka hanya memberikan
rekomendasi kepada Bupati tapi keputusan akhir dari rekomendasi itu ada di
tangan Bupati. Olehnya itu struktur birokrasi pemerintahan cukup
mempengaruhi mutasi seorang PNS. Untuk mendukung pernyataan peneliti
maka Sekda Luwu Utara, Mudjahidin Ibrahim, mengatakan bahwa
“ Struktur birokrasi jelas sangat berpengaruh, Bupati sebagai pimpinan tertinggi punya kewenangan penuh. Kami tim Baperjakat hanya
109
sekedar memberikan pertimbangan kepada Bupati. Jadi keputusan akhir berada di tangan Bupati. Kalau Bupati tidak setuju, pasti rekomendasi kami ditolak, tapi dengan alasan-alasan tertentu”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil, tidak mutlak ditentukan oleh Tim
Baperjakat, tetapi juga ditentukan oleh pimpinan dari masing-masing kantor
atau dinas. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh kepala bidang
konsumsi dan keamanan pangan dan gizi, Hasruddin Kujje mengatakan
bahwa
“saya di mutasi hanya menerima surat pelantikan, tidak ada pemberitahuan sebelumnya, ditempatkan dimana dan di kantor apa, tergantung pimpinan”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Memang betul bahwa seorang PNS juga di nilai oleh pimpinannya
makanya seorang pimpinan juga bisa meminta kepada tim Baperjakat ketika
ada bawahannya yang perlu di mutasi. Hal ini sudah sesuai dengan
peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan
Jabatan (BAPERJAKAT) pasal 11 yang berbunyi:
1. Pimpinan unit organisasi yang menghendaki adanya mutasi pemindahan
jabatan harus mengajukan usul kepada pejabat yang berwenang,
tembusannya disampaikan kepada Ketua BAPERJAKAT Up. Sekretaris.
2. Pelaksanaan Sidang dan data yang dipersiapkan dalam persidangan
serta penyampaian pertimbangan BAPERJAKAT kepada pejabat yang
berwenang, prosedurnya sama dengan pengangkatan dalam jabatan
struktural.
110
Tim Baperjakat memberikan rekomendasi kepada Bupati mengenai
pegawai yang di mutasi setelah melakukan sidang secara internal. Dalam
sidang itu tim Baperjakat saling beradu argument tentang kelayakan seorang
PNS di mutasi atau tidak tapi sesuai dengan aturan yang berlaku. Melihat
kondisi diatas maka dapat dipastikan bahwa komunikasi antara tim
Baperjakat cukup mempengaruhi keputusan seorang PNS di mutasi atau
tidak. Dari hasil wawancara, peneliti mendapatkan bahwa komunikasi antar
Bupati dan tim Baperjakat mempengaruhi hasil sidang yang dilakukan oleh
tim Baperjakat. Tim Baperjakat terkadang menunda sidangnya karena
ketidakhadiran Bupati dalam sidang. Jadi, tim Baperjakat mengalami
kesulitan dalam mengkomunikasikan waktu yang tepat untuk melakukan
sidang bersama Bupati dengan alasan bahwa Bupati sering keluar daerah.
Hal ini senada dengan yang di ungkapkan oleh Sekda Luwu Utara,
Mudjahidin Ibrahim, selaku ketua dari Tim Baperjakat mengatakan bahwa
“Kendala yang dialami tim Baperjakat hanya dalam hal mempertemukan waktu antara tim Baperjakat dengan Bupati Luwu Utara karena biasanya Bupati itu banyak tugasnya di luar daerah. Jadi itu yang biasa memperlambat sidang Baperjakat”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Kita harus tetap memberikan apresiasi penuh kepada tim Baperjakat
atas tugas yang dilaksanakannya. Mereka mempunyai kewenangan untuk
memberikan penilaian kepada Pegawai dalam hal layak tidaknya seorang
pegawai untuk di mutasi. Tapi sekali lagi yang harus kita pahami bahwa
kalaupun ada hal-hal yang tidak sejalan dengan apa yang terjadi dilapangan,
111
itu semata-mata karena manusia ada makhluk yang pelupa dan tidak
sempurna yang penuh dengan ke khilafan.
4.2.2 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Mutasi
Proses mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil adalah proses yang
dinamis. Banyak hal-hal yang mempengaruhi seorang Bupati memutuskan
untuk memutasi pegawainya. Proses mutasi bisa saja menjadi politis ketika
pengaruh itu datang dari partai politik pendukung Bupati.
Tim Baperjakat sebagai tim yang berwenang menilai kelayakan mutasi
seorang PNS tapi hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada Bupati.
Keputusan akhir seorang PNS di mutasi atau tidak berada di tangan Bupati.
Rekomendasi yang diajukan oleh tim Baperjakat pernah ditolak oleh
Bupati. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Sekda Luwu
Utara, Mudjahidin Ibrahim, selaku ketua dari Tim Baperjakat mengatakan
bahwa
“Memang ada penolakan dari Bupati tapi ditolak bukan untuk dibatalkan hanya penggeseran posisi”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).
Penjelasan dari Sekda Luwu Utara mengatakan bahwa penolakan itu
tidak mengandung unsur politik. Bupati menolak karena katanya Pegawai
yang dimaksud belum layak untuk menduduki posisi yang diajukan oleh tim
Baperjakat. Bupati hanya menginginkan agar ada kaderisasi dalam sebuah
badan atau dinas. Terlepas dari itu semua kita harus tetap berprasangka
positif bahwa mengenai mutasi PNS itu adalah hak prerogatif dari Bupati
112
sebagai pimpinan di wilayah Kabupaten. Bupati adalah orang yang
menggunakan jasa dari pegawai dalam hal menyelesaikan tugas-tugas
pemerintahan. Jadi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat
maka hak Bupati untuk menempatkan seorang pegawai sesuai kebutuhan
Bupati.
Salah satu juga yang mempengaruhi Bupati memutuskan seorang
PNS di mutasi atau tidak adalah karena lingkungan pergaulan Bupati yang
selalu bersentuhan dengan orang-orang yang memiliki status dan starata
sosial yang tinggi. Tapi yang pasti bahwa mutasi adalah hak prerogatif dari
Bupati.
113
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Implementasi Kebijakan Mutasi di Kabupaten Luwu Utara
Proses mutasi yang dilakukan di Kabupaten Luwu Utara sudah
memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Seorang Pegawai Negeri Sipil di
mutasi bila sudah memenuhi syarat-syarat yang di atur dalam undang-
undang kepegawaian. Seorang Pegawai yang dimutasi dinilai dari
kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat seorang PNS. Mutasi
dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali setahun. Proses mutasi ini berlaku bagi
semua Pegawai Negeri Sipil tanpa ada diskriminasi, baik itu dari segi
suku,agama, umur dan jenis kelamin. Selama Pegawai Negeri Sipil
memenuhi syarat untuk dimutasi dan disetujui oleh Bupati maka Pegawai
tersebut akan di mutasi. Mutasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Luwu Utara bisa karena promosi, demosi ataupun penyegaran.
Pelaksanaan Peraturan Bupati Nomor 16 Tentang Badan
Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT) di Kabupaten
Luwu Utara sudah berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini di buktikan
114
dengan adanya struktur organisasi yang terbentuk dan pembagian tugas
yang jelas antara stakeholder dalam tim Baperjakat.
Salah satu item tugas dari tim Baperjakat adalah pelaksanaan mutasi
pegawai. Dari hasil wawancara dan pengamatan peneliti di lapangan
membuktikan bahwa pelaksanaan mutasi sudah berjalan sesuai peraturan
yang ada. Kalaupun ada pegawai yang kurang puas terhdadap
penempatannya itu sangat kecil jumlahnya.
5.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Mutasi di Kabupaten Luwu Utara
1. Faktor Internal
a. Sumber daya yang ada dalam tim Baperjakat sudah profesional dan di
anggap mampu di bidangnya masing-masing sehingga menjadikan tim
Baperjakat lebih solid dan mampu menghasilkan rekomendasi yang
secara objektif untuk diserahkan kepada Bupati Luwu Utara
b. Pimpinan merupakan orang yang paling menentukan sebuah keputusan.
Demikian halnya dengan hasil rekomendasi dari tim Baperjakat,
semuanya di tentukan oleh Bupati Luwu Utara, mau ditolak, diterima
ataupun diubah. Dalam hal ini struktur birokrasi mempengaruhi
keputusan tim Baperjakat.
c. Komunikasi yang terjadi dalam tim Baperjakat sudah berjalan
sebagaimana mestinya. Dengan demikian hasil rekomendasi tim
115
Baperjakat sudah sesuai aturan dan dianggap objektif dan
merepresentasikan aturan yang berlaku.
d. Sarana dan prasaran yang disediakan oleh pemerintah Kabupaten Luwu
Utara sudah cukup lengkap mulai dari gedung, listrik, proyektor dan lain-
lain. Sarana dan Prasarana ini mendukung tim Baperjakat melaksanakan
tugas dan fungsinya
2. Faktor Eksternal
a. Keputusan akhir dari proses mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil adalah
berada di tangan Bupati yang kita ketahui bahwa di pilih langsung oleh
pemilihnya. Jabatan sebagai seorang Bupati adalah jabatan politis
tentunya setiap kebijakan yang diambil oleh Bupati pastinya
mempertimbangkan aspek politisnya. Dengan kata lain bahwa mutasi
seorang Pegawai Negeri Sipil akan sangat dipengaruhi oleh aspek politis
karena Bupati punya hak prerogatif.
b. Sebagai makhluk sosial seorang Bupati tentunya tidak lepas dari
pergaulan dengan lingkungan disekitarnya. Lingkungan pergaulan Bupati
biasanya lebih kepada orang-orang yang memiliki strata sosial yang
tinggi. Makanya tidak menutup kemungkinan kebijakan mutasi yang
diambil oleh Bupati di pengaruhi oleh orang-orang disekitar Bupati yang
memiliki strata sosial tinggi dengan alasan bahwa Bupati butuh dukungan
dari elit-elit daerah.
5.3 Saran
116
a. Sebaiknya komunikasi yang intens perlu dilakukan oleh tim Baperjakat
dengan Bupati Luwu Utara. Agar dapat mempertemukan waktu hingga
sidang Baperjakat bisa berjalan lancar.
b. Komunikasi yang baik juga perlu di bangun antara Bupati dan Wakil
Bupati karena mutasi seorang PNS juga perlu memperhatikan saran
dan usul dari Wakil Bupati.
c. Tim Baperjakat harus betul-betul memperhatikan latar belakang
pegawai negeri sipil (PNS) ketika ingin menempatkan seorang PNS di
sebuah kantor.
d. Bupati Luwu Utara perlu kiranya mengurangi perjalan Dinas Luar agar
kondisi di daerah sendiri bisa lebih di perhatikan
e. Sebaiknya pembinaan kepegawaian diserahkan sepenuhnya kepada
Sekda karena bukan jabatan politis. Bila pembinaan pegawai ( mutasi)
berakhir pada keputusan Bupati jelas ada unsur politiknya karena
Bupati dan Wakil Bupati adalah jabatan politis.
f. Bagi semua pegawai negeri sipil (PNS) harus bekerja secara
maksimal agar memperoleh jabatan yang lebih baik sekaligus
masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang diberikan.
117
DAFTAR PUSTAKA
Agustino,Leo, 2008, Dasar-dasar kebijakan Publik, cet.ke-2,
alfabeta,Bandung.
Ahmad.A.K, 2006, Kamus lengkap bahasa Indonesia, Reality pulisher
Ali, Faried, 2010, Studi Tentang Kebijakan Pemerintahan, Pribadi Press,
Makassar
Amirin, Tatang M, 1986, Menyusun Rencana Penelitian, cet.ke-1, Rajawali,
Jakarta.
Dwijowijoto, R. N, 2003, Kebijakan publik formulasi, implementasi dan
evaluasi, PT.elex media komputindo, Jakarta.
Fakrullah, Zudan Arif, SH.MH,DR, 2004, Kebijakan Desentralisasi di
Persimpangan, CV Cipruy, Jakarta Timur.
Husaini Usman dan Purnomo. 2009, Metodologi Penelitian Sosial, cet.ke-2,
Bumi Aksara,Jakarta
Islamy, Irfan, 2004, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
cet.ke-13, Bumi Aksara, Jakarta
Longman, 1987. Dictionary of Contemporary English. New Edition. England:
Longman Group UK Limited.
Nugroho, D Riant, 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara
Berkembang, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
118
Prakoso, Djoko. 1986. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia, Cet
ke-1, Sinar Grafika, Jakarta
Parsons, Wayne, 2006, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan, Cet. ke-2, Kencana, Jakarta
Situmorang, Victor, 1994. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Cet. Ke-2, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Soekarno, S.D. 2005, Publik policy: pengertian pokok untuk memahami dan
analisa kebijaksanaan pemerintahan, Cet.ke-4, Airlangga University
Prees, Surabaya.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, cet.ke-14,
Alfabeta, Bandung
Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, cet ke-2,
Alfabeta, Bandung
-----------, 2005, Analisis Kebijakan Publik, cet ke-1, Alfabeta, Bandung.
Thoha, Miftha, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi,
cet.ke-1, Kencana, Jakarta.
-----------, 2005 Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, cet ke-2,
Kencana, Jakarta.
Winarno, Budi, 2007., Kebijakan Publik: Teori dan Proses, cet.ke-1, Media
Pressindo, Yogyakarta
Dokumen-DokumenUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
119
Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil
120