repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 257 › is… · web view i.i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi
keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk
dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari
peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu.
Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor
makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor
penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah
mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran
pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang
cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca
kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan
tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota Makassar ialah
mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga
internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar
kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan
masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota
Makassar telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari
yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini
telah tergambar dari nama kota Makassar itu sendiri.
2
Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak
mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya1. Karena
itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi
sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Kita ingat kembali katalog kekerasan massa di kota ini: kerusuhan
April 1996 di kampus Universitas Muslim Indonesia yang menewaskan
mahasiswa, kerusuhan dengan target etnis China dalam kurun waktu
1997-19982, Bentrokan berkali-kali antara aparat keamanan dan
mahasiswa yang tak sedikit menimbulkan korban dalam kurun waktu
2007-hingga sekarang. Dalam pertarungan politik kecemasan akan
kekerasan massa tak juga dapat terhindarkan. Ingat saja kasus
pengrusakan show room milik mantan wakil Presiden Jusuf Kalla dalam
momentum PILGUB Sulawesi Selatan. Hingga maraknya penghakiman
massa maupun perkelahian antar kelompok warga membuat kota ini
kemudian termasyhur dengan konflik fisik yang melibatkan banyak
individu yang tergabung dalam beberapa kelompok atau yang biasa
disebut dengan kekerasan massa.
1 Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008 2 Perseteruan antara pribumi dan etnis tionghoa ditandai dalam peristiwa Toko LA, pada
peristiwa tersebut terjadi pembantaian dan pembakaran terhadap pemukiman etnis
tionghoa di Makassar. Peristiwa yang melibatkan etnis tionghoa berlanjut ketika terjadi
pembunuhan terhadap seorang anak kecil oleh salah satu keturunan tionghoa yang
diindikasikan menderita gangguan jiwa. Lebih lengkap lihat di, Sukriansyah S.Latif dan
Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35
dan 127.
3
Yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang
ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan
kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan
moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut
dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam
bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu
mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka
sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang
yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog
sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang
terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang
kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap
ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya
“ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi
tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa
analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian
antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari
heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota
Makassar pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang
tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus
modernisasi.
4
Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan
pemerintah pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik
dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih
cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung3
mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan
struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini
terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud
kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan
rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes
hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh
massa4.
Beberapa pengamat kekerasan massa hingga budayawan
menganggap bahwa siklus kekerasan yang terjadi di makassar tidak
terlepas dari mental masyarakat Makassar itu sendiri yang dibangun dari
konsep siri’dan pacce5. Budaya ini kemudian oleh sebagian orang
dijadikan sebagai pembenar maraknya tindak kekerasan di kota ini. Pada
tahun 2008 dari semua jenis konflik kekerasan yang melibatkan massa, di
3 Johan Galtung membagi tiga bentuk kekerasan: kekerasan itu sendiri, kekerasan
struktural dan kekerasan kultural. Lihat di Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan
kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 1654 Lebih lengkap baca di Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 hal
137. Kemarahan merupakan dorongan psikologis yang berbentuk agresi darip tekanan
yang dialami, lebih lengkap dalam buku tersebut banyak diceritakan mengenai dorongan
psikologis untuk melakukan tindak kekerasan. Buku tersebut diantaranya mengambil
pemikiran Freud dan Lorenz. 5 Siri’ dan pacce merupakan ikatan budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang mengatur
tata pergaulan, lebih lengkapnya akan dijelaskan pada BAB III.
5
Negeri ini terjadi sebanyak 1136 kasus kekerasan yang sempat terdata.
Sulawesi Selatan ternyata berada di peringkat kedua setelah Jawa Barat
yang hanya berselisih satu kasus. 124 jumlah kasus yang terjadi di
Sulawesi Selatan pada tahun 2008 itu, ternyata diramaikan jumlahnya
oleh kasus tawuran yang begitu banyak melebihi konfik kekerasan agama,
politik, pengeroyokan hingga penghakiman massa6.
Ternyata dari data tersebut, 85% dari semua kasus kekerasan di
Sulawesi Selatan terjadi di kota Makassar sebagai Ibukota provinsi. Dari
semua narasi tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya kekerasan itu menghiasi
keseharian masyarakat di kota ini. Benarkah bahwa ritus kekerasan
tersebut merupakan produk kebudayaan masyarakat Makassar ataukah
bentuk agresi sebagaimana yang diutarakan oleh Erich Fromm7 akibat
kekerasan struktural pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh
Johan Galtung8.
Pemerintah kota Makassar sebagai institusi kuasa yang berada di
kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah
yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga
negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Sebenarnya
pemerintah kota Makassar sudah melakukan banyak upaya
penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam program
6 Data didapat dari hasil penelitian Warta Titian Damai, Februari 20097 Lebih lengkap baca di Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Banyak bentuk-bentuk agresi yang dijelaskan lengkap dalam buku ini.8 Lihat Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 165
6
Makassar Great Expectation9, kasus kekerasan yang kerap terjadi di
jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat,
bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah Makassar sebagai pintu
gerbang di Indonesia bagian timur.
Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk
kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok
merupakan penyakit masyarakat yang sering menjadi bahan pembicaraan
di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam yang berujung
pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir
dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya
didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja
dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa
dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya
perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau
mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi
salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu
bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang
akibat pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar.
9 Makassar Great Expectation adalah nama program pemerintah kota untuk menjadikan
kota Makassar menuju kota dunia dalam jargon ini pemerintah kota Makassar
mengikutkan banyak program termasuk pembangunan fisik, nilai dalam masyarakat dan
yang terpenting dalam sektor budaya. Lebih jelas, silahkan kunjungi situs resmi
pemerintah kota Makassar (www.makassarkota.go.id).
7
Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan
terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas10. Masuknya
perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan
sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan
mengenai tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya
tindak kekerasan.
Dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan
yang timbul dalam diri penulis mengenai apakah sebenarnya peran
pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi
masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi
faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang
dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan
tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya
mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan
menanggulangi kasus yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah
dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian kasus
perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali
muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat bisa saja
terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat saja. 10 Pencantuman tanda kutip pada kata postulat bahwa makna dari kata tersebut tidak lagi
sebagaimana artinya sebagai sebuah kesimpulan teori. Banyak isu berkembang
mengenai perkelahian yang sering terjadi di kampus, mengindikasikan terbentunya
anggapan masyarakat bahwa tingkat pendidikan bukanlah faktor penyebab terjadinya
tindak kekerasan. Lebih jelas baca di, Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk
Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal. 35 dan 127.
8
Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali
mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah tidak bisa
lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan
faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya
selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan.
Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika akar penyebab
kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa dijadikan
acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi
sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan
akan diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya
pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka
persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan
penelitian pada tahun 2010 dalam judul:
Analisis Peran Pemerintah Kota
terhadap Perkelahian antar Kelompok di Kota Makassar
I.II Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa perkelahian antar
kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah
daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki
9
dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi
kekerasan yang merebak di masyarakat. Bilamana telah terjadi penurunan
angka perkelahian antar kelompok, maka patut pula untuk mengetahui
upaya apa yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan ke
depannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus
perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perkelahian antar
kelompok di Kota Makassar?
2. Bagaimana peran pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi
persoalan perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi?
I.III Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka
penyebab timbulnya perkelahian, oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok di kota
Makassar.
2. Untuk memperoleh gambaran dan penjelasan tentang peran
pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi kekerasan massa
dalam bentuk perkelahian antar kelompok.
I.IV Manfaat Penelitian
10
1. Dari segi teoritis, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk
peran pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi kekerasan
massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. Selain itu juga
memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab kekerasan massa
yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari penelitian ini juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah ilmu
pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran pemerintah dalam
menangani kasus tertentu.
2. Dari segi metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai
tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitian-
penelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji masalah peran
strategis pemerintah dan penanggulangan kekerasan massa di
masyarakat.
3. Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi
bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota Makassar dalam
menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar
kelompok yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah
khususnya Pemerintah kota Makassar, hasil dari penelitian ini dapat
dijadikan bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka
penanggulangan perkelahian antar kelompok.
I.V Kerangka Pemikiran
11
Dalam penelitian ini, peneliti akan memulai dengan mencari
informasi dari para ahli, serta masyarakat mengenai penyebab
perkelahian antar kelompok itu terjadi, kemudian mencari informasi dari
pemerintah kota sebagai badan negara di daerah yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan kekerasan massa terkhusus pada
perkelahian antar kelompok. Pencarian sebab yang dimulai dengan
masuk pada beberapa wilayah yang pernah dekat dengan konflik tersebut.
Sekaligus mencari tahu apakah pemerintah pernah mengadakan upaya
penanganan langsung dalam kasus perkelahian di wilayahnya.
Banyaknya institusi yang dekat pada persoalan perkelahian ini,
sehingga penelitian juga menyentuh semua institusi tersebut seperti
kepolisian dalam hal ini POLRESTABES Makassar dan pelaksana tugas
pembuat regulasi dan legislasi DPRD kota Makassar untuk menggali
tentang peran apa saja yang telah dilakukan. Kemudian membandingkan
dan menganalisis apakah upaya penanggulangan yang dilakukan oleh
pemerintah kota di tahun 2010 sudah searah dengan faktor-faktor yang
menyebabkan perkelahian antar kelompok itu terjadi. Selain itu penelitian
ini juga berupaya mencari solusi tepat dari faktor-faktor yang telah
didapatkan.
Berikut bagan alur pikir dalam penelitian:
Perkelahian antar kelompok
Peran pemerintah kota dalam penanggulangan Perkelahian antar kelompok di kota Makassar
(Kesbang, DPRD, Dinas Sosial)
Faktor Penyebab *Perubahan sosial yang cepat*Populasi yang padat*Kondisi perkampungan yang buruk*Perekonomian penduduk yang sangat rendah
Analisis
12
Bagan I.I
I.VI Metodologi Penelitian
Penelitian ini berfokus pada program pemerintah terhadap
penanggulangan perkelahian antar kelompok pada tahun 2010. Pada
bagian ini dijelaskan gambaran metode penulis yang digunakan sebagai
acuan penelitian selama mengadakan penelitian. Penulis membaginya
menjadi lima bagian. Pertama adalah gambaran lokasi penelitian serta
alasan mengapa lokasi ini menarik untuk diteliti, kemudian yang kedua
ialah tipe penelitian dan dasar penelitian yang digunakan. Ketiga adalah
sumber-sumber data yang akan dikumpulkan dalam penulisan dan teknik
yang digunakan untuk pengumpulan data. Keempat, yakni informan
penelitian, Kelima, teknik analisis data yang digunakan. Keenam, yakni
defenisi operasional. Berikut adalah penjabaran lebih lanjut:
13
I.VI.I. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kota Makassar. Kota Makassar yang
dalam banyak pemberitaan media kemudian dikenal sebagai kota dengan
tingkat kejadian kekerasan massa yang tinggi. Penulis juga beranggapan
bahwa penelitian ini sangat berguna untuk dijadikan bahan acuan
penanggulangan kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar
kelompok sebagai perwujudan tanggung jawab sosial setiap warga negara
dalam memutus mata rantai kekerasan.
Menekankan lokus penelitian pada pemerintah kota sebagai
perwujudan negara di daerah yang wajib melindungi masyarakatnya.
Penelitian ini banyak dilakukan di kantor PEMKOT Makassar terkhusus di
kantor Kesatuan Bangsa (KESBANG) sebagai institusi yang mengurusi
secara konseptual masalah perlindungan masyarakat termasuk mengenai
isu kekerasan. Kemudian penelitian ini juga menitikberatkan di lingkungan
dinas terkait masalah penanggulangan kekekerasan yakni dinas sosial
kota Makassar. Yang merupakan rekomendasi dari kantor KESBANG
untuk mencari beberapa datang yang bisa melengkapi penelitian ini.
Perilaku perkelahian antar kelompok di kota ini langsung ditangani
di lapangan oleh aparat kepolisian untuk segera mengamankan masalah
tersebut. Penelitian pun penulis lakukan di unit reserse dan kriminal (Dit
RESKRIM) POLRESTABES Makassar. Disana peneliti banyak
mendapatkan data angka tingkat kekerasan di beberapa bagian wilayah
kota Makassar. Secara legislasi peneliti juga mencari informasi dari DPRD
14
kota Makassar untuk mengetahui apakah ada regulasi mengenai
perkelahian antar kelompok ini. Penelitian di DPRD kota Makassar
memfokuskan pengambilan informasi pada komisi A bidang pemerintahan
yang tak lain juga mengurusi masalah perlindungan pemerintah terhadap
masyarakatnya.
Perkelahian antar kelompok ini menjadi salah satu persoalan yang
pelik untuk dicarikan bentuk solusi yang pas. Berbedanya konteks
masalah dalam setiap konflik yang terjadi serta motif pelaku yang
beragam membuat pemerintah kota perlu berbagai senjata dalam
penyelesaian konflik ini. Sehingga mengetahui pola kerja sama antar
berbagai instansi terkait juga perlu dipahami sebagai bentuk penyelesaian
konflik yang menyeluruh dan tidak partikulir11.
I.VI.II. Dasar dan Tipe Penelitian
Dasar penelitian yang dilakukan adalah observasi melalui
wawancara dengan pertanyaan terbuka yaitu penelitian dengan
mengumpulkan data dari informan atau menemukan ruang lingkup dan
fokus persoalan tertentu sebagai sampel yang dianggap representatif.
Tipe Penelitian adalah tipe penelitian deskriptif analisis yaitu suatu tipe
penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau lukisan
situasi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai objek yang
diselidiki di mana hasil eksplorasi merupakan jawaban dari pertanyaan
11 Lebih rinci akan dijelaskan di BAB III tentang data lokasi penelitian
15
yang telah dirumuskan dilanjutkan dengan penjelasan secara rinci dan
mendetail tentang situasi perkelahian antar kelompok dan strategi peran
yang diterapkan.
I.VI.III. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah
penelitian. Peneliti turun langsung ke instansi yang telah disebutkan
untuk mengumpulkan data dengan cara observasi serta wawancara
mendalam.
b. Data Sekunder
Penulis juga melakukan telaah pustaka, yaitu mengumpulkan data
dari penelitian sebelumnya berupa buku, jurnal, koran, dokumentasi,
foto, internet dan sumber informasi lainnya yang ada kaitannya
dengan masalah perkelahian antar kelompok ini.
Dalam penelitian digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur
yang berhubungan tentang buku/artikel kebijakan pemerintahan,
problem kekerasan di daerah, buku/artikel tentang ilmu pemerintahan
serta dokumen-dokumen yang ada relevansinya dengan topik yang
16
dibahas dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dari kepustakaan ini
merupakan data sekunder.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Studi lapang ini dimaksudkan bahwa penulis langsung melakukan
penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan. Studi lapang
ditempuh dengan cara sebagai berikut;
Wawancara Mendalam
Penulis akan melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara
mendalam, yaitu menggali informasi sebanyak-banyaknya semua
informasi yang berkaitan dengan perkelahian antar kelompok dan
peran pemerintah kota dalam penanggulangannnya dari informan
yang telah ditentukan. Proses wawancara ini menggunakan pedoman
wawancara (interview guide) sebagai alat penelitian, agar wawancara
tetap berada pada fokus penelitian.
I.VI.IV. Informan Penelitian
Informan yang penulis wawancarai untuk pengumpulan data ini
terdiri dari lima komponen masyarakat, yaitu:
● Pemerintah dalam hal ini pejabat pemerintah Kota Makassar, yang
difokuskan pada kantor KESBANG kota Makassar terkhusus seksi
LINMAS serta dinas dibawah PEMKOT yakni Dinas Sosial
● Kepolisian dalam hal ini POLRESTABES Makassar
17
● DPRD kota Makassar terkhusus komisi A bidang pemerintahan
● Masyarakat sekitar areal perkelahian antar kelompok yang pernah
terjadi
● Beberapa pelaku perkelahian antar kelompok yang tidak kami sebutkan
namanya.
Pemilihan informan berkembang dan berubah sesuai dengan
kebutuhan penelitian dalam memperoleh data yang akurat. Peneliti juga
menggunakan cara pemilihan informan yang didasarkan atas petunjuk
informan I (pertama) ke informan II (kedua) dan seterusnya dan tidak
terencana sebelumnya akhirnya diperoleh data yang lebih lengkap dan
mendalam berkenaan dengan masalah perkelahian antar kelompok. Jadi
meskipun telah ditetapkan informan sebelumnya, beberapa informan lain
didapatkan dari sejumlah informasi selama berada di lokasi penelitian.
I.VI.V. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Hal ini
dimaksudkan agar tetap berada dalam fokus penelitian, penulis
menggambarkan masalah yang terjadi menggunakan argumen yang jelas
dan memfokuskan perhatian pada pengumpulan data serta informasi
melalui observasi dan wawancara mendalam. Selanjutnya data dan
informasi tersebut dianalisa secara kualitatif. Proses analisa data dimulai
dengan menelaah terlebih dahulu seluruh data yang tersedia, kemudian
akan dilakukan penarikan kesimpulan secara induktif.
18
Karena analisa penelitian ini bersifat deskriptif, maka penyajian
data disajikan dalam bentuk narasi yaitu berusaha mendeskripsikan atau
menggambarkan kekerasan massa dan salah satu bentuknya yakni
perkelahian antar kelompok kemudian menjelaskan penyebab terjadinya,
namun memfokuskan pembahasan pada peran pemerintah kota dalam
penanggulangannya.
Proses analisa data dilakukan pada waktu bersamaan dengan
proses pengumpulan data berlangsung. Analisa data dilakukan melalui
tiga alur, yakni: (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan
kesimpulan ataupun verifikasi.
Reduksi data
Pada tahap ini dilakukan proses penyeleksian, pemfokusan,
penyederhanaan pengabstraksian data dari catatan lapangan (field note).
Proses ini berlangsung sepanjang penelitian yang dilakukan sekitar
sebulan, dimulai dengan membuat singkatan, kategorisasi, memusatkan
tema, menentukan batas-batas permasalahan dan menulis memo.
Proses reduksi ini berlangsung terus sampai laporan akhir
penelitian ini selesai ditulis. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak
penting dan mengatur sedemikian rupa sampai kesimpulan akhir
didapatkan.
Sajian data
19
Sajian data adalah suatu susunan informasi yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data,
penulis mencoba lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau pun
tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. Sajian data yang baik
dan jelas sistematikanya tentunya akan banyak membantu.
Sajian data meliputi deskripsi, matriks, gambar/skema, dan tabel
yang diperoleh dari berbagai instansi dimana penelitian ini berlangsung.
Kesemuanya itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya
mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak.
Penarikan Kesimpulan
Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah mencoba memahami
apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan mulai melakukan
pencatatan pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi, alur
sebab-akibat dan berbagai proposisi. Hal itu diverifikasi dengan temuan-
temuan data selanjutnya dan akhirnya sampai pada penarikan kesimpulan
akhir.
I.VI.VI. Defenisi Operasional
Setelah beberepa defenisi dan maksud persoalan dari tinjauan
pustaka, maka defenisi operasional ini dibuat dengan maksud untuk
mempermudah tercapainya tujuan penelitian, serta memberikan penjelas
mengenai fokus penelitian. Berikut uraiannya:
20
1. Peran ialah segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi. Selain itu dapat juga diartikan sebagai
peran individu sesuai dengan tuntutan sosial yang memberikan peran
tersebut. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa peran
pemerintah kota disini ialah segala tindakan baik dalam bentuk
kebijakan strategis maupun kebijakan teknis ataupun peran dalam
bentuk kerja sama dengan institusi negara yang lain.
2. Pemerintah kota yang dimaksud ialah pemerintahan daerah yang
melingkupi wilayah kota Makassar. Dalam makna umum pemerintah
mencakup tiga unsur dalam trias politica (ekskutif, legislatif dan
yudikatif). Penelitian ini mengambil konsep pemerintah tadi dalam tiga
unsur tersebut. Eksekutif diperankan oleh pemerintah kota dan dinas
terkait yakni dinas sosial, legislatif diperankan oleh DPRD kota
Makassar namun pada unsur yudikatif penelitian ini tidak mengikutkan
peran lembaga peradilan melainkan mengikutkan kepolisian sebagai
pengadil di lapangan..
3. Penulis memasukkan kata penanggulangan. Penanggulangan ialah
kembali mengulangi maksud penanggulangan pada tinjauan pustaka,
maka penanggulangan yang dimaksud ialah semua tindakan
pencegahan untuk memutus mata rantai sebuah masalah. Hal ini
sangat berbeda dengan istilah penanganan yang cenderung lebih
dekat pada pengertian ketika sebuah masalah itu sedang terjadi,
21
penanggulangan dapat berupa kebijakan atau upaya tertentu yang
bisa dilakukan.
4. Perkelahian berasal dari kata kelahi yang berarti pertengkaran adu
kata-kata dan pertengkaran dengan adu tenaga. Jadi perkelahian
antar kelompok adalah perihal berkelahi atau pertengkaran yang
dilakukan dua orang atau lebih dengan melibatkan kelompok secara
langsung yang beradu tenaga.
BAB II
22
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini penulis mengutarakan mengenai tinjauan pustaka
dari masalah yang diteliti, didalamnya juga tertera mengenai batasan
masalah yang diteliti serta fokus masalah tersebut. Sebagai penelitian
dalam program studi Ilmu pemerintahan penelitian ini terfokus pada peran
pemerintah itu sendiri dalam menghadapi persoalan sosial berupa
kekerasan. Dimulai dengan memahami konsep Pemerintah dalam teori
kontrak sosial J.J Rosseau. Serta fungsi pemerintahan dalam teori yang
diungkapkan oleh Ryas Rasyid.
Tinjauan pustaka ini akan sedikit mengupas seluk beluk
pemerintahan kota yang tentunya sangat berbeda dengan pemerintahan
daerah lainnya dari segi kompleksitas masalah yang ditangani.
Kemudian maksud dari peran yang diutarakan dengan singkat
untuk memperjelas maksud dari penelitian pada pemerintah kota, lalu
tinjauan pustaka ini akan ditutup dengan penjelas mengenai kekerasan
massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok itu sendiri serta
beberapa faktor-faktor penyebab dari para ahli seperti, Dom Helder
Camara, Johan Galtung, Erich Fromm dan para pakar sosiologi, psikologi
sosial.
Untuk mengkaji masalah faktor-faktor perkelahian antar kelompok
penulis mengerucutkannya pada teori subkultur delinkuen.
II.I Peran (Role)
23
Setiap individu dalam masyarakat memiliki sumbangsih penting
dalam sistem masyarakat setempat. Individu tersebut kemudian
membentuk sub sistem sebagai fondasi dari sistem yang ada. Individu
dalam masyarakat tentunya memiliki peran yang berbeda-beda antar satu
sama lain tergantung dari tuntutan sistem yang memaksa individu tersebut
bertindak dan menunjukkan peran. Dalam kehidupan manusia dan
hubungannya dalam kelompok tertentu sering kali dibarengi dengan
tindakan interaksi yang berpola, baik resmi maupun yang tidak resmi.
Sistem pola resmi yang dianut warga suatu masyarakat untuk berinteraksi
dalam sosiologi dan antropologi disebut pranata.
Orang yang bertindak dalam pranata tersebut biasanya
menganggap dirinya menempati suatu kedudukan sosial tertentu, tindakan
tersebut dibentuk oleh norma-norma yang mengatur. Kedudukan (status)
menjadi bagian penting dalam setiap upaya untuk menganalisa
masyarakat. Tingkah laku seseorang yang memainkan suatu kedudukan
tertentu itulah yang disebut sebagai peranan sosial12.
Peranan berarti tidak bisa dipisahkan dari kedudukan, eratnya
kaitan bagi keduanya. Status tertentu akan membutuhkan peran tertentu.
Semakin berat peran yang dimainkan maka semakin tinggi pula statusnya
dalam masyarakat. Dan sebaliknya bila semakin minim peran yang
dilakukan maka semakin rendah pula kedudukan atau statusnya dalam
masyarakat. Menurut Robert M. Z. Lawang, peran diartikan sebagai suatu
12 Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, Rieneka Cipta, Jakarta, 2003 hal:136
24
pola perilaku yang diharapkan dari sesorang yang memiliki status atau
posisi tertentu dalam organisasi13.
Peranan terkadang pula diikuti oleh tuntutan masyarakat yang
telah memberikan kepercayaan kepada individu yang menempati status
tertentu. Pengharapan masyarakat pada status tertentu langsung maupun
tidak memberikan beban bagi pelaksana peran yang dimaksud. Mengutip
J.J Rosseau dengan teori kontrak sosialnya. Tugas dari peran yang
diemban oleh individu merupakan hasil kontrak dengan masyarakat yang
telah memberikan wewenang itu dengan kontrak yang telah disepakati
melalui mekanisme yang telah disepakati pula. Oleh karena itu, perlu
dipahami bagaimanakah masyarakat menentukan harapan-harapannya
terhadap para pemegang peran tersebut.
Peranan sebagai seorang walikota dapat diartikan sebagai
harapan-harapan dari seluruh masyarakat pada sebuah wilayah
kotamadya, para pejabat publik dibawahnya, para aparatur hingga
tingkatan terendah dan kelompok lain yang punya pengaruh yang berarti
sebagai generalised other bagi peranan walikota tersebut. Setiap
kelompok ini merupakan kelompok referensi bagi walikota tersebut dan ia
memperhitungkan harapan-harapan dari tiap kelompok dalam
menjalankan peranannya.
Peranan yang terdapat pada seseorang perlu dibedakan dengan
posisi dalam interaksi kemasyarakatannya. Posisi ini dalam masyarakat
13 Lihat Lawang, Robert M Z. Pengantar Sosiologi, PT. Karunika Universitas terbuka,
Jakarta, 1985 hal:89.
25
merupakan sebuah unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada
organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses14. Jadi, seseorang menduduki
suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.
Dikutip oleh Sooerjono Soekanto dari buku “Role, Personality and
Social Structure” karya Levinson, peranan dapat mencakup tiga hal
berikut:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing sesorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat15.
Melekatnya peran pada individu dalam kondisi sebuah masyarakat
kadang menimbulkan ketidaksesuaian yang diakibatkan tidak
dijalankannya peran tersebut oleh individu yang bersangkutan. Inilah oleh
Soekanto disebut dengan role distance16. Keterpisahan antara individu
dengan perannya kadang ditimbulkan dengan ketidakmampuan individu
14 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007 hal. 213-21415 ibid16 ibid
Perkelahian antar kelompok di perkotaan
Tokoh Masyarakat
DPRD kotaPemerintah
Kota
26
dalam melaksanakan peran yang diberikan oleh masyarakat. Cenderung
menyembunyikan diri dan akhirnya peran yang dibebankan tidak berjalan
atau berjalan dengan tidak sempurna.
Setiap individu yang menjalankan peran cenderung tidak sendiri
dalam melaksanakan peran sosialnya. Soekanto menyebut bahwa ada
lingkaran sosial (Social Circle) yaitu tempat dimana seseorang
mendapatkan dan melaksanakan peran sosialnya17. Peranan tentunya
mengaitkan banyak pihak yang terkait pada peran yang dilaksanakan
tergantung dari besar tidaknya peran yang diberikan. Seorang polisi
tentunya tidak bisa lepas dengan beberapa bagian masyarakat yang lain
dalam menangani kasus perkelahian atau tawuran warga. Pemerintah
setempat serta institusi terkait lainnya tentunya juga memiliki peran
penting dan bagian yang berbeda-beda dengan polisi dalam
melaksanakan peran.
Pemerintah kota pun demikian, dalam melaksanakan perannya
untuk menjaga ketertiban dan keamanan penduduk dari perkelahian antar
kelompok tentunya tidak bia dilepaskan dengan peran kepolisian, dinas
sosial, lembaga peradilan maupun lembaga penyalur aspirasi seperti
DPRD.
Bagan II.I
17 ibid
27
Pada masyarakat kita terkhusus di kota Makassar terdapat
kecenderungan untuk lebih mementingkan kedudukan ketimbang
melaksanakan peran yang dibebankan oleh masyarakat. Kondisi tersebut
kadang ditimbulkan dengan hasutan kebutuhan material, sehingga
prestise dengan tinggi rendahnya kadang ditentukan dengan seberapa
besar jabatan ataupun pangkat yang dimiliki oleh seseorang. Belum lagi
bila kita memasukkan variabel kemewahan dalam posisi yang dimiliki
tersebut. Sehingga tak heran bila peranan mendapat tempat yang lebih
rendah ketimbang kedudukan dan akhirnya para pemilik kedudukan
tersebut lebih banyak meminta kepada masyarakat berupa penghargaan
walaupun dengan peran yang sangat minim.
Peran dan defenisinya memberikan pahaman bahwa dalam setiap
kelompok masyarakat setiap individu dituntut untuk menjalankan perannya
masing-masing. Kesinambungan sistem sosial tentunya dipengaruhi oleh
berjalannya peran-peran dari individu. Mandegnya sistem peran akan
sangat berpengaruh pada sistem sosial sebuah masyarakat. Ketika salah
28
satu sistem peran tidak berjalan maka sistem peran yang lain akan
dipengaruhi oleh sistem peran yang tidak berjalan tersebut. Maka tak
jarang menimbulkan persoalan sosial dalam masyarakat. Lemahnya peran
pemerintah kota dalam menjalankan perannya untuk menjaga ketertiban
dan keamanan warganya akan menimbulkan peran yang tidak seimbang
oleh para pelaku kejahatan.
II.II Pemerintah kota
Berangkat dari kebutuhan individu dalam sebuah sistem sosial,
baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder. Pemenuhan
kebutuhan tersebut menjadikan setiap individu untuk mencari cara dalam
proses pemenuhan kebutuhannya. Terkadang ada beberapa diantara
pemenuhan kebutuhan yang perlu melibatkan individu yang lain. Selain
itu, ada juga dari kebutuhan-kebutuhan tersebut justru bersinggungan
dengan kebutuhan individu yang lain. Muncullah kemudian sebuah solusi
dalam peradaban kehidupan manusia untuk membentuk sebuah
kelompok yang diakui untuk membantu proses pemenuhan kebutuhan.
Persinggungan dalam kebutuhan antar individu maupun proses
pemenuhannya diharapkan juga mampu menyelesaikan konflik dalam
pemenuhan kebutuhan ini.
Masyarakat kemudian menyebutnya Pemerintah. Pemerintah
kemudian menjadi gejala yang berlangsung dalam kehidupan
bermasyarakat pada mulanya. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari
29
sistem sosial, senantiasa menyangkutkan dengan unsur-unsur
pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti keselamatan, pakaian dan
makanan kepada kelompok pemerintah ini. Dalam memenuhi kebutuhan
dasar itu, manusia bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan
bagi kebutuhan sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi
menurut makna yang disepakati bersama, dan institusi sosial baru
tersebut kemudian berlaku untuk menjalankan fungsi kontrol dalam
aktivitas dan mengembangkan masyarakat tadi. Kebutuhan tersebut
adalah kebutuhan untuk bekerjasama, menyelesaikan konflik, dan
interaksi antar sesama warga masyarakat.
Pemerintah kemudian dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat
dalam menjalankan kegiatan bekerja sama maupun kegiatan pemenuhan
kebutuhan. Lalu bagaimana sebuah kelompok kontrol tersebut dibentuk?.
Mengutip Rosseau,
“Membentuk institusi-institusi tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau perjanjian diantara mereka”18.
Adanya kesepakatan yang kemudian dikenal dengan sebutan
kontrak sosial (social contract) tersebut kemudian diberikan kekuasaan
legal dengan mekanisme beragam seperti yang kita kenal sekarang
semisal pemilihan umum yang selanjutnya melahirkan kekuasan dan
institusi pemerintahan.
18 Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, Terjemahan Sumarjo, Erlangga, Jakarta,.
1986 hal:15
30
Kebutuhan terhadap pemerintahan pada beberapa kondisi selain
untuk membantu pemenuhan kebutuhan juga dijadikan sebagai institusi
yang diharapkan mampu menciptakan ketertiban dalam masyarakat,
sehingga masyarakat tersebut terhindar dari benturan yang melibatkan
antar individu di dalamnya. Masuknya zaman modern semakin
menguatkan peran pemerintah untuk tidak hanya menciptakan ketertiban
dalam masyarakat. Meningkatnya kebutuhan masyarakat membuat peran
pemerintah perlahan juga untuk menjadi pelayan masyarakat.
Tetap pada kontrak sosial, pemerintah pada hakekatnya dibentuk
oleh masyarakat oleh karena itu sangatlah tidak pantas bila pemerintah
hanya melayani diri sendiri, melainkan juga harus melayani masyarakat
sebagai pemberi mandat, menciptakan kondisi yang memungkinkan
setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi
mencapai kemajuan bersama19.
Dengan begitu kelahiran pemerintahan membawa pelajaran bahwa
kehadirannya merupakan perwujudan kehendak masyarakat yang
menyetujui secara bersama tentang kepentingan bersama mereka untuk
diatur oleh pemerintah mandataris rakyat, Dari situ pemerintahan bisa
mencakup mengenai bagaimana sebuah pelayanan masyarakat dikelola
dan karena mencakup kepercayaan masyarakat sebagai manusia, maka
nilai kemanusiaan wajib dimiliki oleh pemerintah.
19 Lihat Rasyid,Ryas. Makna Pemerintahan ditinjau dari Segi Etika dan Kepemimpinan,
PT. Yarsif Watampone, 1997 hal 1
31
Pelayanan oleh pemerintah tentunya memerlukan cara untuk
menyalurkan pelayanan tersebut, karenanya pemerintah juga sepatutnya
memahami cara pendekatan kepada masyarakat dalam proses distribusi
pelayanan. Psikologi masyarakat pada sebuah wilayah tentunya berbeda
dan secara sosiologis pola pergaulan yang dicetak dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat tidak lepas pula dari corak psikis tersebut yang
tentunya berangkat dari adat istiadat setempat.
Penggambaran diatas yang diawali dengan konsepsi pemerintahan
ala Rosseau menjelaskan peran dan posisi masyarakat yang sebetulnya
memegang penuh posisi yang telah dimandatkan kepada institusi
pemerintahan, yang mana bangunan komitmen tersebut hanya dapat
dipegang apabila rakyat dapat merasa bahwa pemerintah itu memang
diperlukan untuk melindungi, memberdayakan dan mensejahterakan
rakyat. Ndraha mengatakan bahwa pemerintah memegang
pertanggungjawaban atas kepentingan rakyat. Dalam bukunya
kybernology 1 Ndraha juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua
beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat
pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan
civil20.
Pendahuluan kepentingan umum yang telah ditekankan pada
paragraf sebelumnya tak lain sebagai upaya untuk memberikan kepuasan
20 Lihat Ndraha,Talidziduhu. Kybernology (ilmu pemerintahan baru). Penerbit Rineka
Cipta. 2000. Hal: 115
32
kepada publik, melalui kekuasaan yang telah dimandatkan maka tugas
mengatur bagi pemerintah seyogyanya telah dijalankan.
Ryaas Rasyid21 mengemukakan tugas-tugas pokok pemerintahan:
1. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari
luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang
dapat menggulingkan pemerintahan yang sah melalui cara-cara
kekerasan.
2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya gontokgontokan
diantara warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang
terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai.
3. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga
masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi
keberadaan mereka.
4. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-
bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintahan,
atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah.
5. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial:
membantu orang miskin dan memelihara orang cacat, jompo dan anak
terlantar: menampung serta menyalurkan para gelandangan ke sektor
kegiatan yang produktif, dan semacamnya.
6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas,
seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan
21 Lihat Rasyid,Ryas. Makna Pemerintahan ditinjau dari Segi Etika dan Kepemimpinan,
PT. Yarsif Watampone, 1997 hal 11-12
33
kerja baru, memajukan perdagangan domestic dan antar bangsa, serta
kebijakan lain yang secara langsung menjamin peningkatan ketahanan
ekonomi negara dan masyarakat.
7. Menerapkan kebijakan untuk memelihara sumber daya alam dan
lingkungan hidup hidup, seperti air, tanah dan hutan.
Singkatnya tugas-tugas pokok tersebut diringkas menjadi 3 (tiga)
fungsi yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan
pembangunan (development)22. Pelayanan akan membuahkan keadilan
dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian
masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam
masyarakat. Pandangan yang berbeda dan memasukkan variabel
birokrasi yang datang pada masa modern era Max Weber, oleh Ndraha
fungsi pemerintahan tersebut kemudian dibagi menjadi 2 (dua) macam
fungsi, yaitu: Pertama, pemerintah mempunyai fungsi primer atau fungsi
pelayanan (service), sebagai provider jasa publik yang baik
diprivatisasikan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Kedua,
pemerintah mempunyai fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan
(empowerment), sebagai penyelenggara pembangunan dan melakukan
program pemberdayaan23.
Pendekatan dalam sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah
karena didasarkan pada pemberian mandat oleh rakyat tadi, maka dalam
22 Ibid lihat 2223 Lihat Ndraha,Talidziduhu. Kybernology (ilmu pemerintahan baru). Penerbit Rineka
Cipta. 2000. Hal: 76
34
prosesnya semua harus dimulai dengan pertanyaan apa yang diinginkan
oleh masyarakat dan pertanyaan tersebut ditujukan kepada masyarakat.
Kemudian bila muncul pertanyaan mengenai apakah sebuah masyarakat
mampu hidup dan mengatur dirinya sendiri tanpa ada sebuah institusi
yang sengaja dibuat untuk mengatur pola interaksi dalam masyarakat.
Tingkat partisipasi dan kemudahan dalam pengambilan keputusan
memang sangat bergantung pada populasi penduduk dalam sebuah
wilayah. Semakin sedikit jumlah penduduk maka semakin cepat pula
proses pengambilan keputusan dan semakin mudah pula regulasi
dijalankan. Namun menurut Inu kencana:
Tetapi, walaupun demikian dalam kelompok masyarakat itu bagaimanapun kecilnya, ada sekelompok yang inti yang menjadi elit pemerintahan yang memerintah di satu pihak, sedangkan kelompok yang lebih banyak jumlahnya adalah masyarakat biasa yang diperintah. Karena walaupun partisipasi masih mudah dibangkitkan, karena kesibukan sehari-hari manusia yang paling sederhana sekalipun tidak seluruhnya berkecimpung dalam bidang pengaturan serta pengurusan negara24.
Apa yang dikatakan oleh Inu Kencana dalam bukunya tersebut
setidaknya memberikan gambaran bahwa dalam sebuah masyarakat
dengan tingkat persoalan yang belum terlalu kompleks setidaknya juga
membutuhkan elit atau minimal akan ada elit dalam masyarakat yang
muncul dengan sendirinya untuk memimpin kelompok mayoritas dengan
elit yang minimal tadi. Pola keseharian masyarakat dengan tingkat
kesibukan terendah sekalipun belum cukup untuk memberikan luang
24 Lihat, Kencana,Inu. Ilmu Politik.Penerbit Rineka Cipta.Jakarta. 1997 hal:79
35
waktu tersendiri dalam mengatur hubungan antar individu, melainkan
membutuhkan individu ataupun kelompok khusus yang mengatur
hubungan tadi.
Melawati perdebatan tentang kebutuhan pemerintah dengan tidak,
maka masuk pada defenisi pemerintah dengan meminjam defenisi
pemerintah dari Bayu Suryaningrat bahwa pemerintah bisa diartikan
sebagai badan tertinggi yang memerintah suatu wilayah25.
Untuk kemudian mencari apa yang dimaksud dengan pemerintah
kota maka beralih menuju pengertian kota itu sendiri, Sebuah kota seperti
yang diketahui bersama adalah relatif besar dan bersifat permanen pada
pemukiman penduduknya. Penentuan kota bisa dilihat dari kompleksitas
mata pencaharian penduduknya selain itu bisa pula dilihat dari tingkat
pembangunan dan bahkan bisa dilihat dari pola interaksi masyarakatnya,
hingga yang paling ekstrim bisa ditinjau dari tingkat kriminalitas sebuah
wilayahnya. Semakin tinggi tingkat kriminalitas sebuah wilayah maka itu
bisa dikatakan sebagai wajah lain dari sebuah perkotaan.
Terkait mengenai asumsi yang terakhir, banyak kemudian faktor
yang mengakibatkan tingginya angka kriminalitas sebuah kota populasi
penduduk yang melimpah sehingga sangat mudah untuk melahirkan
gesekan, tingkat kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi yang tak
jarang bersinggungan dengan antar individu dalam pencapaian kebutuhan
masing-masing dan ada pula yang menganggap bahwa penyebabnya
25 Lihat Suryaningrat,Bayu. Mengenal Ilmu Pemerintahan. PT.rineka Cipta.Jakarta.1992
hal: 10
36
adalah tingkat kesenjangan antara si kaya dan si miskin dengan interval
yang sangat jauh.
Dalam buku manajemen kota yang dikarang oleh Hadi Sabari
Yunus di dalamnya ada pengertian kota secara sosio kultural menurut
beberapa ahli diantaranya:
Menurut Sujarto (1970), kota merupakan kesatuan masyarakat yang heterogen dan masyarakat kota memiliki tingkat kebutuhan yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan penduduk pedesaan26.
Selain itu menurut Bintarto (1977), kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya27.
Jadi bila mengurai dua penjelasan mengenai pemerintah dan kota,
maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah kota adalah institusi yang telah
dipercayakan untuk memerintah pada sebuah wilayah kota yang telah
ditentukan batasan-batasannya dengan corak penduduk yang bersifat
heterogen.
Dalam melaksanakan tugasnya pemerintah kota yang masuk dalam
jajaran pemerintahan di daerah tentunya memilki tugas sesuai apa yang
menjadi embanan tugas pemerintah daerah. Pembagian urusan
pemerintahan sesuai dengan yang termaktub dalam UU 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah28, tentunya pemerintah kota tidak lagi 26 Sabari, Yunus. Manajemen Kota. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.2008 hal 3927 ibid28 Lihat Undang-undang 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 10.
37
mengurusi tentang: Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yusitisi ,
Moneter dan Fiskal nasional, serta urusan agama.
Ada pula hubungan yang menuntut pemerintah pusat dan
pemerintah kota untuk melaksanakan tugas secara bersama-sama baik
dengan pola desentralisasi, maupun dekonsentrasi29.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, dan kota atau antara provinsi dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang tersebut.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Mengingat bahwa dalam penelitian ini, yang menjadi lokusnya yakni
pemerintah kota oleh karena itu urusan wajib yang menjadi
kewenangannya ialah urusan wajib yang terdapat dalam UU
pemerintahan daerah untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah
29 Ibid, lihat pasal 1 tentang ketentuan umum
38
kota. Urusan pemerintah kota tersebut meliputi 16 buah urusan30. Selain
itu urusan pemerintah kota yang bersifat pilihan tidak menutup
kemungkinan untuk dilaksanakan ketika secara nyata terdapat dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah/kota yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan pemerintah kota
menjalankan tugasnya berdasarkan asas otonomi daerah dengan hak
untuk mengurusi urusan daerah dengan kewenangan yang seluas-
luasnya. Namun walaupun demikian ada pula urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat, juga perlu dilakukan oleh pemerintah
daerah sebagai bagian dari sebuah negara kesatuan.
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya pemerintah perlu
menjamin ketertiban dan keamanan warganya. Sejalan dengan paparan 30 Pada pasal 14 aturan perundang-undangan tersebut diantara 16 tugas tersebut ialah:
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
3. Penyeleggaraan keteriban umum dan ketentraman masyarakat
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum
5. Penanganan bidang kesehatan
6. Penyelenggaraan pendidikan
7. Penanggulangan masalah sosial
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9. Fasilitasi pembangunan koperasi, usaha kecil dan menengah
10. Pengendalian lingkungan hidup
11. Pelayanan pertanahan
12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13. Pelayanan adminstrasi umum pemerintahan
14. Pelayanan administrasi penanaman modal
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnnya; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh perundang-undangan.
UU 32 Tahun 2004
Menjaga ketertiban dan kemanan masyarakat
Pemerintah Daerah
Tupoksi PemerintahService
DevelopmentEmpowerment
39
tersebut, maka pemerintah daerah yang merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat untuk menjaga keamanan masyarakat layaknya
memiliki program yang mengarah pada pencapaian perwujudan ketertiban
masyarakat.
Dengan demikian selain telah melaksanakan 16 peran pemerintah
daerah, pemerintah kota juga telah melaksanakan fungsi pemerintah
pusat di wilayahnya untuk menjaga keamanan negara dari potensi
kekerasan dalam negeri.
Bagan II.II
II.III Perkelahian antar Kelompok
40
Penanggulangan dalam bahasa sehari-hari ialah tindakan yang
dilakukan untuk mencegah sebuah kejadian. Biasanya kata ini diikuti oleh
kata yang akan dicegah tersebut. Sedangkan perkelahian adalah kegiatan
adu mulut maupun fisik yang melibatkan dua orang atau lebih yang saling
bertengkar31. Penanggulangan perkelahian antar kelompok bisa
menimbulkan dua interpretasi, yang pertama ialah kegiatan pencegahan
sebelum perkelahian antar kelompok itu terjadi dan yang kedua ialah
bagaimana tindakan yang dilakukan untuk menghentikan ketika
perkelahian itu berlangsung. Mengenai perkelahian antar kelompok
penulis memasukkan kata dan mentikberatkan penanggulangan pada
interpretasi yang pertama dengan asumsi, bahwa tugas itu memang
diperankan oleh pemerintah kota. Sedangkan interpretasi yang kedua
merupakan tugas dari satuan pengamanan negara seperti kepolisian.
Kita membicarakan di sini bukan kekerasan individual-yaitu
kekerasan yang dilakukan oleh individu, seperti membunuh karena
dendam pribadi, atau merampok-melainkan kekerasan massa, yakni
kekerasan yang dilakukan oleh massa. Kekerasan jenis ini berbeda dari
kekerasan yang dilakukan individu karena para pelaku melakukan
kekerasan itu tidak semata-mata atas dasar dendam atau kebencian
personal, melainkan banyak dipengaruhi dinamika sebuah kelompok.
Perkelahian antar kelompok merupakan salah satu bentuk kekerasan
massa atau kekerasan kolektif. Kekerasan individual terliput oleh hukum
31 Lihat di Kamus Bahasa Indonesia, DEPDIKBUD, 1996
41
pidana dan situasi sehari-hari, tetapi kekerasan massa sering melampaui
hukum positif itu.
Sulit menghukum demikian banyaknya pelaku. Semakin kurang
personal motif kekerasan dan semakin merasa benarlah para pelaku
kekerasan itu. Kekerasan massa tidak beroperasi di dalam hukum, tetapi
melawan dan melampaui tatanan hukum itu sendiri. Karena kompleksnya
peristiwa ini, akar-akar penyebabnya juga kompleks.
Namun, dalam ulasan ini saya akan menarik gagasan Budi
Hardiman yang banyak mengambil gagasan dari para pemikir
psikoanalisa pada tiga akar kekerasan yang terkait dengan conditio
humana, yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis, dan sosiologis32.
Secara epistemologis kekerasan massa atau perkelahian antar
kelompok terjadi karena menganggap orang atau kelompok lain berada
dari luar dirinya33. Jadi kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sesama,
melainkan yang lain. Contoh: Mahasiswa Fakultas Teknik UNHAS yang
dari tahun ke tahun dikenal sering berbenturan dengan mahasiswa FISIP
UNHAS tentunya kedua kelompok tersebut akan melihat kelompok yang
lain berbeda dengan dirinya34. Solidaritas fakultas kemudian menjadi
tembok pemisah kedua kelompok hingga akhirnya benturan pun terjadi.
32 Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 200833 ibid34 Sejarah perkelahian yang paling tersohor yang melibatkan dua fakultas tersebut
bernama Black September, kejadian yang terjadi pada tahun 1992 dan puncaknya pada
tanggal 2 September ini menimbulkan kerugian hingga 1 miliar rupiah akibat perkelahian
yang merusak banyak fasilitas kampus UNHAS. Lebih jelas lihat di Sukriansyah S.Latif
dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998
42
Kelompok-kelompok pelajar yang melakukan tawuran juga mengalami
kondisi yang sama. Dibumbui dengan semangat kesadaran-kekamian
mereka berkelompok berkelahi dengan kelompok yang lain untuk
mengangkat derajat kelompoknya35. Dalam kondisi kelompok, manusia-
manusia tidak mengenal satu sama lain sebagai individu-individu, tetapi
sebagai elemen massa.
Dalam perspektif antropologis, individu tidak akan bergabung ke
dalam massa dan melakukan kekerasan kolektif semata-mata spontan
dan naluriah. “Kewajaran” dalam melukai atau melakukan kekerasan
dimungkinkan karena individu-individu memandang tindakan
kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai36. Karena itu, menemukan
bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan
kekerasan terhadap sesamanya adalah langkah penting untuk
menemukan akar psikologis kekerasan. Manusia akan melakukan
kekerasan tanpa merasa bersalah jika tindakan itu dipandang sebagai
realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri.
Demonstrasi yang berujung pada bentrok dengan aparat
pengamanan, bagi para demonstran cenderung dianggap sebagai
sesuatu yang tidak keliru. Ini dikarenakan karena demonstrasi dianggap
adalah wujud permintaan masyarakat banyak, maka ketika ada sesuatu
yang dianggap menghalangi maka tindakan kekerasan pun akan
35 Lihat, Kartini,Kartono. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press.
Jakarta.2010 hal: 10636 Ibid 32
43
cenderung muncul. Begitupun dengan kaum fundamentalis yang bersedia
mati demi agamanya, mereka membayangkan kematian sebagai suatu
jalan yang bernilai. Belum lagi dalam kasus di Indonesia agama yang
dirawat oleh masyarakat pun berubah menjadi salah satu bagian dalam
pembangunan, hingga tak jarang agama digunakan sebagai salah satu
pembenar kekerasan itu37.
Kembali melihat bagaimana pertahanan nilai itu bisa menjadi
embrio kekerasan. Jika nilai-nilai moral kehilangan daya gigitnya karena
oportunisme merajalela, suatu disorientasi nilai akan dialami individu.
Inkosistensi dan inkoherensi nilai-nilai menimbulkan rasa ketidakpastian
yang mendorong panik massa. Kerinduan akan kepastian yang muncul
merupakan bahan bakar bagi setiap ideologi massa yang memotivasi
kekerasan kolektif. Fanatisme pendukung sepakbola, radikalisme
demonstran, ataupun fundamentalisme beragama adalah gaya berpikir
untuk lari dari rasa ketidakpastian itu. Mereka akan mencari jalan untuk
mendapatkan kepastian itu dengan caranya terlebih bila ada institusi yang
diberi kepercayaan untuk menghilangkan rasa ketidakpastian itu, namun
tidak dapat mengemban amanah.
Untuk menemukan akar sosiologis kekerasan, kita harus bertolak
dari pengalaman isolasi itu karena isolasi yang menyentuh jiwa itu
bersumber dari kondisi-kondisi struktural masyarakat. Artinya, tatanan
masyarakat itulah yang menjadi sumber kekerasan38. Banyak ahli yang
37 Lihat Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta, 1996 hal 16938 Ibid 32
44
menyatakan bahwa ketimpangan sosial memicu aksi kekerasan massa
dan perkelahian antar kelompok, karena mereka yang dimarjinalisasikan,
didikriminasikan dan direpresi lalu akan memobilisasi diri sebagai massa.
Tindakan kekerasan dapat dilihat di sini sebagai strategi protes. Johan
Galtung menyatakan bahwa represi, diskriminasi, dan marjinalisasi adalah
hasil kekerasan legitimatif atau yang biasa disebut dengan negara.
Bahkan Louis Althusser menyatakan bahwa negara senantiasa menggunakan kuasa melalui aparatusnya untuk menjaga kekuasaan itu39.
Jadi, bila ada yang menguasai maka spontan hadirlah yang
dikuasai. Pemerintah dalam hal ini yang seharusnya menjadi pengaman
bagi rakyatnya justru menjadi pemicu dimana kekerasan itu bermula.
Dalam kondisi demikian, kita harus membaca gagasan Johan
Galtung tentang segitiga kekerasan yang mempertautkan kekerasan
langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Mereka yang
tewas, korban-korban yang terluka parah, harta benda yang terbakar,
kaum terbuang, dan apa pun yang menghancurkan peradaban adalah
kekerasan langsung.
Kekerasan yang bersifat kasat mata itu tidaklah berdiri sendiri.
Kekerasan itu adalah akibat dari kekerasan struktural dan kekerasan
kultural yang tidak terlihat. Jalinan yang terjadi antara kekerasan yang
tidak terlihat dengan kekerasan yang konkret sebegitu akrab. Kekerasan
39 Lebih jelasnya baca Althusser,Louis. Tentang Ideologi (Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies). Terjemahan Essay on Ideology 1984.
Jalasutra.Yogyakarta
45
struktural terbangun dalam sistem sosial dan mengekspresikan dirinya
pada distribusi kekuasaan yang timpang. Kenyataan ini dapat diidentifikasi
dengan merebaknya kesenjangan untuk mendapatkan penghasilan,
ketimpangan di bidang pendidikan, atau eksploitasi yang tidak pernah
berhenti. Kekerasan struktural adalah nama lain dari ketidakadilan sosial.
Sedangkan kekerasan kultural merupakan aspek-aspek budaya yang
dipakai untuk membenarkan dan melegitimasi pemakaian kekerasan
langsung atau kekerasan struktural. Setiap pihak mempunyai nilai-nilai
rujukan untuk mengobarkan kekerasan.
Konflik, perselesihan, percekcokan, pertentangan dan perkelahian,
merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, karena meskipun
tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Seperti
pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat.
Lebih tepat bila konflik itu diuraikan dan dilukiskan.
Dahrendorf membahas suatu tendensi yang melekat pada konflik di
dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan
akan memperjuangkan kepentingan-kepentinganya, dan kelompok yang
tak memiliki kekuasaan akan berjuang, dan kepentingan-kepentingan
mereka sering berbeda, bahkan saling bertentangan. Cepat atau lambat
menurut Dahrendorf di dalam beberapa sistem yang kekuasaannya kuat
mungkin secara cermat membuat kubu-keseimbangan antara kekuasaan
dan perubahan oposisi, dan masyarakat berubah. Jadi, konflik adalah
“kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”40.40 Lihat Ritzer dan Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta. 2010 hal: 153
46
Dari uraian di atas kesimpulannya, konflik ialah proses atau
keadaan dimana dua atau lebih dari pihak-pihak itu melakukan
persaingan, pertentangan, perselisihan dan perseteruan. Berusaha
menggagalkan tujuan masing-masing pihak dan hal itu merupakan
“kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”.
II.IV Faktor Penyebab Perkelahian antar Kelompok
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik perkelahian antar
kelompok adalah suatu peristiwa yang merupakan dorongan dimana
dorongan tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan konflik
perkelahian antar kelompok.
Dahrendof41 mengemukakan ciri-ciri konflik dalam organisasi sosial
sebagai berikut:
a. Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik
b. Konflik-konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingan-
kepentingan yang bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam
struktur sosial masyarakat.
c. Kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua
kelompok yang saling bertentangan.
d. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan
deferensial distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang
berkuasa dan dikuasai
41 Dalam Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007 hal 79
47
e. Penjelasan suatu konflik akan menimbulkan perangkat kepentingan
baru yang saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu
menimbulkan konflik
f. Perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang tidak dapat
dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga.
Suatu konflik yang terjadi antar kelompok menjadi tidak sehat
apabila masing-masing pihak di dalam mencari pemecahanya tidak lagi
bersifat rasional tapi lebih bersifat emosional. Akibatnya yang terjadi
adalah seperti tawuran, penjarahan, perusakan rumah warga, perkelahian
antar kelompok di dalam masyarakat. Kekerasan sudah dijadikan sebagai
media penyelesaian masalah.
Bagi masyarakat perkotaaan, apa yang dikatakan oleh Dom Helder
Camara secara induktif menjelaskan mengenai faktor pembentuk
kekerasan setidaknya menjadi salah satu faktor penting mengapa
kekerasan kelompok terjadi dalam masyarakat. Untuk itu penulis mencoba
mengurai faktor pembentuk terjadinya perkelahian antar kelompok
sebagai salah satu bentuk kekerasan massa dalam berbagai pandangan
salah satunya ialah pandangan bahwa kekerasan merupakan buah dari
kekerasan struktural.
Johan Galtung, senada dengan pemikiran Dom Helder Camara
bahwa kekerasan yang terjadi di masyarakat pada dasarnya dibentuk dari
kekerasan struktural yang tidak terlihat. Untuk kasus masyarakat
perkotaan. Sebuah kota cenderung memiliki pemerintah yang lamban
48
dalam menyelesaikan sebuah persoalan yang terjadi. Oleh karena itu
terkadang sebuah masyarakat mengambil tindakan demi kepastian
penyelesaian persoalan. Lalu menurut Helder Camara sendiri, tidak
seorang pun yang ingin menjadi budak42. Inilah yang kemudian dikatakan
oleh dua pemikir diatas yang menaganggap bahwa embrio kekerasan
berawal dari kekerasan struktural, yakni kekerasan akibat ketidakadilan
penguasa setempat. Perkotaan semakin sering menyajikan hal demikian.
Jauhnya margin sosial antara si kaya yang sedikit dan si miskin yang
berjumlah banyak menjadi faktor yang diawali dengan rasa kecemburuan
ditambah lagi dengan peliknya hidup yang dihadapi.
Ada pula alur yang dijelaskan oleh Camara yang menyebabkan
perkelahian antar kelompok terjadi. Diawali dengan bentuk protes
terhadap kekerasan struktural tadi. Masyarakat kemudian berbondong-
bondong untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi dan
menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap persoalan
tersebut. Namun terkadang pemerintah tidak ingin untuk menjadi biang
persoalan. Maka timbul represi dari pemerintah sebagai bentuk kekerasan
ketiga dari tanggapan masyarakat tadi. Berikut adalah sebuah
pemberitaan yang menceritakan bagaimana sebuah perkelahian itu
terjadi43.
42 Lihat Camara, Dom Helder. Spiral Kekerasan.Resist Book. Yogyakarta.2005 hal 3143 Bersambung di halaman berikut
49
Tawuran Antarpemuda, Satu KritisSelasa, 1 September 2009 | 06:41 WIBMAKASSAR, KOMPAS.com — Tawuran yang melibatkan dua kelompok pemuda dari Jalan Rajawali depan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rajawali, Makassar, Senin (31/8) malam, mengakibatkan satu orang pemuda kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Stella Maris Makassar untuk dirawat intensif.
Informasi yang dihimpun di tempat kejadian menyebutkan, tawuran ini berawal dari penikaman Dedy R Umar (19) sebanyak dua kali di punggungnya oleh empat orang pemuda dari Jalan Rajawali Lorong 13, Makassar, Senin (31/8) sekitar pukul 23.30 Wita di dalam Pasar Lelong.
Penikaman warga Jalan Rajawali Lorong 29 menyulut kemarahan warga lainnya sehingga ratusan pemuda dari pasar tersebut ke luar dan melawan kelompok pemuda yang sudah bersiap-siap di depan TPI Rajawali Makassar yang tidak jauh dari anjungan Pantai Losari ini.
Saling serang dengan batu dan busur panah yang melibatkan dua kelompok pemuda dari Jalan Rajawali Lorong 29 atau Kampung Kokolojia dan Rajawali Lorong 13 atau Mariso di depan TPI Rajawali, Kecamatan Mariso, ini pun tak terhindarkan.
Sekitar satu jam, puluhan petugas dari Polresta Makassar Barat datang melerai mereka dan mengamankan empat pemuda yang diduga sebagai tersangka perkelahian kelompok yang sudah berlarut-larut terjadi di Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Mariso, Makassar.
Dua orang warga Kampung Kokolojia, Ulis dan Syarifuddin, mengungkapkan bahwa perkelahian kelompok kali ini adalah tawuran pertama selama bulan Ramadhan dan perkelahian yang paling mencekam akibat jatuhnya korban kritis dari kelompok di dalam pasar ini. “Dedy tiba-tiba ditikam saat dia dan beberapa temannya main domino di depan rumah warga. Pelaku penikaman itu datang dengan mengendarai dua sepeda motor. Mereka berasal dari kelompok pemuda Rajawali Lorong 13,” kata Syarifuddin.
Menurutnya, empat pelaku penikaman mengendarai sepeda motor Yamaha RX King dan sepeda motor jenis bebek masuk lewat belakang pasar dan langsung menusuk punggung Dedy saat main domino.
Dedy kini dalam perawatan intensif di Unit Gawat Darurat RS Stella Maris. Tim medis menemukan dua luka tikaman di punggung Dedy dengan kedalaman sekitar 10 sentimeter dan lebar satu sentimeter.
Selain Dedy, Fajar (19), warga Kokolojia, juga mengalami luka di pelipis kanannya akibat hantaman batu.
Sementara pihak kepolisian mengamankan Agus (18), warga Jalan Rajawali Lorong 13; Junaidy (20) dan Wariska (19); keduanya warga Lorong 29; dan Bustam (32), warga Asrama Lompobattang.
50
Berita tersebut adalah salah satu peristiwa perkelahian antar
kelompok di kota Makassar yang terjadi pada tahun 2009. Dalam peristiwa
tersebut pada awalnya hanya dimulai dengan persoalan individu dan
kemudian merebak pada persoalan kolektif dimana individu bermukim.
Beberapa kasus perkelahian antar kelompok kadang dimulai
masalahnya dengan individu yang mewakili salah satu kelompok.
Informasi akhirnya tersebar sedemikian rupa dan akhirnya membentuk
kesadaran kelompok. Inilah yang disebut Soekanto sebagai bentuk
kesadaran in group dan out group.
Kesadaran in group adalah kelompok sosial di mana individu mengidentifikasi dirinya. Out group adalah kelompok sosial yang oleh individu diartikan sebagai lawan in groupnya. Perasaan in group dan out group didasari dengan suatu sikap yang dinamakan etnosentris, yaitu adanya anggapan bahwa kebiasaan dalam kelompoknya merupakan yang terbaik dibanding dengan kelompok lainnya44.
44 LihatSoekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007 hal 109
Tawuran Antarpemuda, Satu KritisSelasa, 1 September 2009 | 06:41 WIBMAKASSAR, KOMPAS.com — Tawuran yang melibatkan dua kelompok pemuda dari Jalan Rajawali depan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rajawali, Makassar, Senin (31/8) malam, mengakibatkan satu orang pemuda kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Stella Maris Makassar untuk dirawat intensif.
Informasi yang dihimpun di tempat kejadian menyebutkan, tawuran ini berawal dari penikaman Dedy R Umar (19) sebanyak dua kali di punggungnya oleh empat orang pemuda dari Jalan Rajawali Lorong 13, Makassar, Senin (31/8) sekitar pukul 23.30 Wita di dalam Pasar Lelong.
Penikaman warga Jalan Rajawali Lorong 29 menyulut kemarahan warga lainnya sehingga ratusan pemuda dari pasar tersebut ke luar dan melawan kelompok pemuda yang sudah bersiap-siap di depan TPI Rajawali Makassar yang tidak jauh dari anjungan Pantai Losari ini.
Saling serang dengan batu dan busur panah yang melibatkan dua kelompok pemuda dari Jalan Rajawali Lorong 29 atau Kampung Kokolojia dan Rajawali Lorong 13 atau Mariso di depan TPI Rajawali, Kecamatan Mariso, ini pun tak terhindarkan.
Sekitar satu jam, puluhan petugas dari Polresta Makassar Barat datang melerai mereka dan mengamankan empat pemuda yang diduga sebagai tersangka perkelahian kelompok yang sudah berlarut-larut terjadi di Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Mariso, Makassar.
Dua orang warga Kampung Kokolojia, Ulis dan Syarifuddin, mengungkapkan bahwa perkelahian kelompok kali ini adalah tawuran pertama selama bulan Ramadhan dan perkelahian yang paling mencekam akibat jatuhnya korban kritis dari kelompok di dalam pasar ini. “Dedy tiba-tiba ditikam saat dia dan beberapa temannya main domino di depan rumah warga. Pelaku penikaman itu datang dengan mengendarai dua sepeda motor. Mereka berasal dari kelompok pemuda Rajawali Lorong 13,” kata Syarifuddin.
Menurutnya, empat pelaku penikaman mengendarai sepeda motor Yamaha RX King dan sepeda motor jenis bebek masuk lewat belakang pasar dan langsung menusuk punggung Dedy saat main domino.
Dedy kini dalam perawatan intensif di Unit Gawat Darurat RS Stella Maris. Tim medis menemukan dua luka tikaman di punggung Dedy dengan kedalaman sekitar 10 sentimeter dan lebar satu sentimeter.
Selain Dedy, Fajar (19), warga Kokolojia, juga mengalami luka di pelipis kanannya akibat hantaman batu.
Sementara pihak kepolisian mengamankan Agus (18), warga Jalan Rajawali Lorong 13; Junaidy (20) dan Wariska (19); keduanya warga Lorong 29; dan Bustam (32), warga Asrama Lompobattang.
51
Pada kasus yang diulas koran kompas pada halaman sebelumnya
setidaknya menjadi pembenar faktor perkelahian antar kelompok di kota
ini yang disebabkan karena adanya kesadaran kelompok.
Lingkungan juga tidak bisa dilepas sebagai distributor kekerasan itu
sendiri. Selain kesadaran kelompok yang terbentuk dalam masyarakat
ada pula faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok
karena lingkungan. Secara sosiologis seorang individu akan cenderung
menyesuakan diri dengan lingkungan dimana individu bermukim.
Dalam pilot study yang dilakukan penulis dengan menanyakan dan
mencari informasi dimana posisi kekerasan antar kelompok sering terjadi.
Maka penulis menemukan dua tempat di kota Makassar yakni wilayah
Pampang (pemukiman di belakang kampus Universitas Muslim Indonesia)
dan wilayah kecamatan Makassar meliputi jalan karuwisi, jalan maccini
dan kampung Bara-baraya. Lingkungan tersebut dari tahun ke tahun
dianggap sebagai tempat dimana kekerasan kelompok sering terjadi.
Teori Subkultur Delinkuensi memasukkan bahwa kepadatan
penduduk menjadi salah satu variabel terjadinya kriminalitas dalam
masyarakat45. Tingginya persaingan dalam masyarakat yang dikarenakan
45 Ada empat variabel yang menentukan tingkat kekerasan dalam sebuah masyarakat
berikut:
1. Punya populasi yang padat
2. Status sosial dan ekonomi penduduk yang rendah
3. Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk
4. Banyak disorganisasi familiaal dan sosial bertingkat tinggi
Lebih jelas lihat di Kartini,Kartono. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press.
Jakarta.2010 hal 32
52
padatnya sebuah pemukiman berimbas pada tingginya upaya yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan.
Lain pula bila kekerasan itu dipandang dalam perspektif psikologi.
Menurut Fromm, dalam ceritanya agresi merupakan kegiatan di luar
rencan akibat dorongan-dorongan tertentu46.
Penulis menekankan faktor-faktor perkelahian pada penelitian ini
dari data motif terjadinya tindak perkelahian antar kelompok tersebut.
Selain itu juga menggunakan teori subkultur delinkuen untuk mengkaji
bagaimana peran institusi sosial membangun pranata yang justru
meningkatkan angka kriminalitas dalam masyarakat.
Lalu bagaimana dengan solusi perkelahian antar kelompok
tersebut? .Bila merujuk pada penyelesaian yang bersifat pada kejadian
yang berlangsung maka ada beberapa solusi yang bisa diterapkan seperti
mediasi. Menurut Angela Garcia (1991) dalam sebuah perjalanannya di
California dia menyimpulkan bahwa keberadaan lembaga penengah
membuat penyelesaian konflik jauh lebih mudah47.
Solusi tersebut masih bersifat mikro karena hanya menyelesaikan
masalah dari kejadian yang berlangsung. Mengangkat kembali paradigma
sosial dalam membangun pranata masyarakat maka konflik juga bisa
dibentuk oleh kondisi sosial itu sendiri. Ketimpangan dan diskriminasi
yang diturunkan dalam bentuk yang terlihat seperti dalam teori subkultur
46 Lihat Froom,Erich. Akar Kekerasan.Pustaka Pelajar. Yogyakarta.2008. hal:25747 lihat 40 hal 345
53
delinkuen, maka untuk menyelesaikannya perlu kemiskinan48 perlu
diretas.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
III.I Keadaan Geografi, kependudukan, Sosial, Ekonomi dan
Pemerintahan Kota Makassar
Pada bagian ini penulis menaruh gambaran lokasi penelitian dari
berbagai sudut. Dimulai dari kondisi geografis hingga kondisi
pemerintahan di kota ini. Semua ulasan tersebut bagi penulis sangat
berhubungan dengan faktor-faktor perkelahian penduduk seperti
kepadatan, kondisi sosial dan kondisi perekonomian.
III.I.I Keadaan Geografis
48 Suharto, Edy. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Refika Aditama.
Bandung 2009. Hal 132
Dalam buku tersebut disebutkan pespektif kemiskinan oleh David Cox diantaranya
kemiskinan yang disebabkan ooleh globalisasi, kemiskinan yang berkaitan dengan
pembangunan, kemiskinan sosial dan kemiskinan konsekuensial.
54
Memiliki posisi strategis karena berada di persimpangan jalur lalu
lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di Sulawesi, dari wilayah
kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah
utara ke wilayah selatan Indonesia. Dengan kata lain, wilayah kota
Makassar berada pada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8 derajat
lintang selatan dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari
permukaan laut. Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar
dengan kemiringan 0 - 5 derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai
yakni sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai
Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar
seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11
pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100
Km².
Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan
memiliki 143 kelurahan. Diantara kecamatan tersebut, ada tujuh
kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate,
Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya.
Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten
yakni sebelah utara dengan kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan
kabupaten Maros, sebelah selatan dengan kabupaten Gowa dan sebelah
barat dengan Selat Makassar.
Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis
Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar
55
memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun
politik.
Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang
tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Mengembangkan
Makassar, otomatis akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat di kawasan timur Indonesia dan percepatan
pembangunan.
Dengan demikian, dilihat dari sisi letak dan kondisi geografis
Makassar memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lain di
kawasan Timur Indonesia. Saat ini kota Makassar dijadikan inti
pengembangan wilayah terpadu Mamminasata.
Dari fakta di lapangan terlihat bahwa pada wilayah perkotaan
seperti Kota Makassar sudah jarang terdapat lahan kosong milik negara
atau lahan-lahan mentah lainnya. Maka akan lebih mengena jika lahan
yang ada dikategorikan berdasarkan kriteria-kriteria yang mengarah pada
trend dan visualisasi psikologis dari area-area yang ada dan membaginya
dalam bentuk tipologi kawasan, dibanding metode tradisional yang hanya
mengandalkan pengkategorian pada visual lahan yang masih kosong, ada
vegetasi, atau terbangun.
Sehingga bila dilihat berdasarkan keadaan litologi, topografi, jenis
tanah, iklim dan vegetasi yang ada, Kota Makassar direkomendasikan
sebagian besar untuk kawasan pengembangan budidaya karena tidak ada
syarat yang memenuhi sebagai kawasan lindung. Mencermati pembagian
56
lahan dalam wilayah Makassar dibagi dengan peruntukan kawasan
sebagai berikut, Kawasan Mantap 38 %, Kawasan Peralihan 11 %, dan
Kawasan Dinamis 51 %49.
Wilayah daratan Kota Makassar dirinci menurut kecamatan dapat
dilihat pada tabel berikut50 :
TABEL III.I.
Luas Wilayah Dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut
Kecamatan Di Kota Makassar51
Kode
Wilayah
Kecamatan Luas
area(km2)
Persentase terhadap luas Kota
Makassar(%)
(1) (2) (3) (4)
010
020
030031
040
050
060
070
MARISO
MAMAJANG
TAMALATE
RAPPOCINI
MAKASSAR
UJUNG PANDANG
1,82
2,25
20,21
9,23
2,52
2,63
1,04
1,28
11,50
5,25
1,43
1,50
49 Semua data geografis kota Makassar diikuti dari buku Makassar dalam angka 2010 hal
1-950 Tabel pada halaman berikut51 Bersumber dari buku Makassar dalam angka tahun 2010
57
080
090
100
110
101
111
WAJO
BONTOALA
UJUNG TANAH
TALLO
PANAKKUKANG
MANGGALA
BIRINGKANAYA
TAMALANREA
1,99
2,10
5,94
5,83
17,05
24,14
48,22
31,84
1,13
1,19
3,38
3,32
9,70
13,73
27,43
18,11
7371 MAKASSAR 175,77 100,00
.
III.I.II Kondisi kependudukan Kota Makassar52
Penduduk Kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349
jiwa yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara
itu jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak
1.253.656 jiwa Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat
ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin Rasio jenis kelamin penduduk
Kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100
penduduk wanita terdapat 92 penduduk laki-laki.
Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan,
menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan
Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 atau sekitar 12,14 persen dari total
penduduk, disusul kecamatan Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,40
persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak 136.555 jiwa (10,73 persen),
dan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064
jiwa (2,28 persen).
52 Semua data kependudukan kota Makassar dirangkum dari buku Makassar dalam
Angka 2010 hal: 22-111
58
Ditinjau dari kepadatan penduduk kecamatan Makassar adalah
terpadat yaitu 33.390 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso
(30.457 jiwa per km persegi), kecamatan Bontoala (29.872 jiwa per km
persegi). Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan
kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 2.709 jiwa per km persegi,
kemudian kecamatan Tamalanrea 2.841 jiwa per km persegi), Manggala
(4.163 jiwa per km persegi), kecamatan Ujung Tanah (8.266 jiwa per km
persegi), kecamatan Panakkukang 8.009 jiwa per km persegi.
Bagian ini dijadikan catatan bagi penulis untuk menelaah faktor-
faktor perkelahian antara kelompok.
Tabel III.II
Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Kecamatan di Kota Makassar 2008-200953
Kode Wilayah
Kecamatan Laju Pertumbuhan
Penduduk
2008
Laju Pertumbuhan
Penduduk
2009
Laju Pertumbuhan
Penduduk 2000-2009
10
020
030
031
040
050
060
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
Ujung pandang
Wajo
54.616
60.394
152.197
142.958
82.907
28.637
35.011
55.431
61.294
154.464
145.090
84.143
29.064
35.533
0,930,45
2,08
1,62
0,54
0,51
0,45
53 Sumber: Makassar Dalam angka 2010
1.235.239
1.253.656
1.272.349
59
070
080
090
100
101
110
111
Bontoala
Ujung tanah
Tallo
Panakkukang
Manggala
Biringkanaya
Tamalanrea
61.809
48.382
135.315
134.548
99.008
128.731
89.143
62.731
49.103
137.333
136.555
100.484
130.651
90.473
1,09
1,21
1,94
1,09
2,98
3,57
1,15
7371 Makassar 1.253.656 1.272.349 1,63
Untuk lebih jelasnya penulis kemudian mengikutkan diagram dapat
kita lihat pada bagan berikut ini :
Bagan III.I
60
Tabel III.III
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin diKota
Makassar pada Tahun 200954.
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
0 – 4
5 - 9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
67.309
63.494
61.488
60.285
66.806
56.272
55.521
45.491
37.014
25.729
56.306
66.162
56.040
72.389
87.280
71.356
56.561
52.304
29.526
29.164
123.615
129.656
117.528
132.674
154.086
127.628
112.082
97.795
66.540
54.893
54 Sumber : Makassar dalam angka tahun 2010
61
60 – 64
65+
18.456
15.296
18.558
18.551
24.183
19.563
17.179
24.066
42.639
34.859
35.737
42.617
Jumlah/Total 610.270 662.079 1.272.349
III.I.III Kondisi Sosial Kota Makassar55
Pembangunan bidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) suatu
negara akan menentukan karakter dari pembangunan ekonomi dan sosial,
karena manusia pelaku aktif dari seluruh kegiatan tersebut.
Pada tahun 2009/2010 di Kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar
sebanyak 459 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.542 orang dan jumlah
murid sebanyak 145.749 orang. Jumlah SLTP sebanyak 171 unit dengan
jumlah guru sebanyak 4.630 orang dan jumlah murid sebanyak 59.101
orang. Jumlah SLTA 112 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.817 orang
dan jumlah murid sebanyak 65.277 orang.
Di kota Makassar pada tahun 2009 jumlah anak asuh yang tercatat
yang ditampung di 83 Panti Asuhan ada sebanyak 4.034 anak yang
diasuh. Sedangkan jumlah gelandangan/ pengemis dan anak jalanan di
Kota Makassar tahun 2009 sebanyak 144 orang dan 870 orang.
Tahun 2009 di Kota Makassar jumlah keluarga pra keluarga
sejahtera 63.964 keluarga dan keluarga sejahtera I sebanyak 52.700
keluarga dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 254.868. Jumlah
55 Semua data kondisi sosial dirangkum dari Makassar dalam Angka 2010 hal:112-229
62
narapidana menurut jenis hukuman dilembaga pemasyarakatan ada 464
orang (laki-laki 464 orang dan tidak ada perempuan).
Jumlah tersebut, terkhusus mengenai anak jalanan dan anak
terlantar selanjutnya akan dikaji dikarenakan berhubungan dengan
pembahasan tulisan ini terkait pelaku konflik.
III.I.IV Kondisi Perekonomian Masyarakat di kota Makassar56
Sejalan dengan perkembangan Kota Makassar, kegiatan ekonomi
juga semakin pesat ,ini ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan
perdagangan yang sekarang telah mencapai 14.584 unit usaha yang
terdiri dari 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah dan
7.574 perdagangan kecil. Kemudian terdapat 21 industri besar dan 40
industri sedang yang terkonsentrasi di kecamatan Biringkanaya dan
konsentrasi industri besar kedua terdapat di kecamatan Tamalanrea dan
kecamatan Panakkukang masing-masing 5 unit.
Sementara itu kawasan perdagangan utama Kota Makassar
terdapat di Pasar Sentral (Makassar Mall) sebagai pusat dan wilayah
Panakkukang dan Daya sebagai sub pusat pelayanan selain itu terdapat 4
Mall (Mall Ratu Indah, Mall panakkukang, Makassar town square,
Makassar trade center) dan kawasan perdagangan Somba Opu,
sedangkan JI. Jend. Sudirman, jl. DR. Ratulangi cenderung untuk berubah
menjadi kawasan perdagangan.
56 Semua data perekonomian diambil dari Makassar dalam angka 2010
63
Selain dari jumlah industri yang ada di kota Makassar
pembangunan ekonomi yang selama ini mengalami kemajuan yang
signifikan dapat disorot dengan menggunakan indikator ekonomi makro
terutama dari produk domestik regional bruto(PDRB) dan pertumbuhan
ekonomi, kenaikan PDRB menunjukkan bahwa perekonomian Kota
Makassar berjalan dengan produktif.
Kondisi perekonomian bisa dilihat sebagai penjelas kesenjangan
atau posisi pusat modern di wilayah ini di tengah maraknya bangunan
kumuh yang menghiasi kota Makassar. Dalam paparan teori penulis
disparitas tersebut merupakan penopang meningkatnya angka kriminalitas
dalam masyarakat.
III.II. Visi, Misi Serta Nilai-Nilai Budaya
III.II.I Visi dan Misi Kota Makassar57
Dalam konteks ini pemerintah kota Makassar tahun 2010, sesuai
rencana pembangunan jangka menengah daerah Kota Makassar
(RPJMD) tahun 2005 - 2010 memiliki visi dengan rumusan: ”Terwujudnya
Makassar Sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan Yang
Bermartabat Dan Manusiawi”.
Berdasarkan visi pemerintah kota Makassar tersebut pada
hakekatnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya visi Kota Makassar
57 Lebih jelas lihat (PERDA No. 9 Tahun 2006) kota Makassar. Lihat pula di situs resmi
kota pemerintah kota Makassar
64
kedepan, maka dirumuskan misi kota Makassar tahun 2010 sebagai
berikut :
1. Mengembangkan kultur maritim dengan dukungan infrastruktur bagi
kepentingan lokal, regional, nasional dan internasional;
2. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat perniagaan melalui optimalisasi
potensi lokal;
3. Mendorong peningkatan kualitas manusia melalui pemerataan
pelayaan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat;
4. Mengembangkan apresiasi budaya dan pengamalan nilai-nilai agama
berbasis kemajemukan masyarakat;
5. Mengembangkan sistem Pemerintahan yang baik, bersih dan
berwibawa, melalui peningkatan profesionalisme aparatur;
6. Mendorong terciptanya stabilitas, kenyamanan dan tertib lingkungan
7. Peningkatan infrastruktur Kota dan pelayanan publik.
III.II.II Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Kota Makassar
Orang-orang Makassar mengutamakan sifat-sifat harga diri dan
kesetiakawanan (loyalitas), yang di nilai sebagai unsur Siri’ dan Pacce
atau Passe. Walaupun semua suku di Sulawesi Selatan (Mandar, Toraja,
Bugis dan Makassar) menggunakan tatanan budaya tersebut.
Siri’ adalah kebanggaan atau keagungan harga diri. Bagi orang-
orang suku Bugis-Makassar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk
65
menjunjung tinggi adat-istiadatnya yang didalamnya terpatri pula sendi-
sendi siri’ tersebut58.
Manakala harga diri tersebut disinggung yang karenanya
melahirkan aspek-aspek Siri’,maka diwajibkan bagi yang tertimpa Siri’ itu
untuk Melakukan aksi-aksi tantangan. Dapat berupa aksi (perlawanan)
seseorang atau aksi (perlawanan) kelompok masing-masing.Terserah
pada mutu nilai Siri’ yang timbul sebagai ekses-ekses kasus yang lahir
karenanya.
Bagi pihak-pihak yang terkena Siri’ tetapi hanya diam dijuluki
sebagai: tau tena Siri’na59.
Pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu
bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat ditimba
kemalangan60.
Perasaan yang demikian ini merupakan suatu pendorong kearah
solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang dulunya ditimpa
kemalangan itu seperti diperkosa dan sebagainya, maka dapat
disimpulkan bahwa siri’ atau pacce atau pesse tersebut adalah sama
tetapi yang terakhir ini lebih rendah tingkatannya61.
III.II.II.i SIRI’
58 Lihat di Wahid, Sugira. Yang berjudul Manusia Makassar. 59 tau kurang Siri’ berarti orang yang tak ada harga diri60 Ibid 5561 ibid
66
Siri’ adalah ethos kultur, berisi pandangan hidup dan pandangan dunia
yang melekat pada sistim nilai yang terjelma dalam sistem budaya, sistim
sosial, dan sistim kepribadian (Personality) masyarakat62.
Siri’ secara harfiah adalah suatu perasan malu. Jawaban menurut
arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili makna
sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun
akan terbatas pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan
objek tersebut63.
III.II.II.ii PACCE/PESSE
Pacce/Pesse secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih
yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat
penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang
persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi
motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat
pelik dan berbahaya64.
Pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti
kesetiaan kawanan dalam membelah kehormatan, melainkan ia
mengandung makna: kepedihan yang tiada taranya, karena martabat
harkat diri tersinggungan. Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam
62 ibid63 ibid64 ibid
67
lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang disebut pacce. Sebagai perwujudan
lanjut (inti sari) dari pada siri’ tersebut65.
Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat
memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas
antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami
kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas
masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya
itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya,
pakah berupa materi atau nonmateri.
III.II.II.iii SIPAKATAU
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur
yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati
dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam,
dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya
adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau”(manusia), yang
manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi
keberadaannya66.
Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari
pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas
sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap
65 ibid66 ibid
68
budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara
manusiawi67.
Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar
dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan
kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat
manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan
dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah
kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.
Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar
dijabarkan ke dalam konsepsi Siri’ na Pacce. Dengan menegakkan prinsip
Siri’ na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap
Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam
lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan
sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima
hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya
kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli
lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas
Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassa”
(saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun
kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata68.
67 ibid68 ibid
69
Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang
Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di
tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan
penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan
suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan.
III.III Institusi-institusi Pemerintahan Terkait yang Menangani Masalah
Perkelahian antar Kelompok.
III.III.I Pemerintah Kota Makassar dalam Hal ini Ditangani Kantor
Kesbang
Kedudukan kantor Kesatuan Bangsa merupakan unsur pendukung
dalam melaksanakan tugas tertentu, dipimpin oleh seorang Kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui
Sekretaris Daerah. Tugas Pokok Kantor Kesatuan Bangsa mempunyai
tugas melaksanakan perumusan kebijakan, koordinasi dan pengendalian
di bidang kesatuan bangsa.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana sebagaimana yang
tercantum dalam perda kota Makassar kantor kesbang, Kantor Kesatuan
Bangsa menyelenggarakan fungsi69:
a. penyiapan bahan perumusan kebijaksanaan teknis strategis
pembangunan kesatuan bangsa;
69 Lihat perda no. 3 tahun 2009 kota Makassar tentang kantor KESBANG
70
b. penyiapan bahan penyusunan rencana dan program pelaksanaan
fasilitasi penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan sistem
politik;
c. penyiapan bahan bimbingan pelaksanaan fasilitasi kegiatan kesatuan
bangsa;
d. penyiapan bahan bimbingan pelaksanaan kajian strategis di bidang
kesatuan bangsa;
e. penyiapan bahan bimbingan pengkoordinasian kegiatan kesatuan
bangsa dengan instansi dan atau lembaga terkait;
f. penyiapan bahan bimbingan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan
kegiatan kesatuan bangsa;
g. pengelolaan administrasi urusan tertentu.
Susunan Organisasi Kantor Kesatuan Bangsa terdiri dari:
a. Kepala Kantor;
b. Subbagian Tata Usaha;
c. Seksi Hubungan Antar Lembaga;
d. Seksi Wawasan Nusantara;
e. Seksi Penanganan Masalah Aktual;
f. Kelompok Jabatan Fungsional.
Kepala KantorDrs.H.A.Rompegading Patiroy
Tata UsahaDrs.Hasan Sulaiman
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Perlindungan Masyarakat
Muchlis S.Sos
Seksi Ketahanan Sosial dan EkonomiIbrahim Chaidar, S,IP M.Si
Seksi Ideologi dan Kewaspadaan nasionalAndi Suliana, SP
71
Berikut adalah bagan struktur Kantor KESBANG kota Makassar
berdasarkan perda no. 3 tahun 200970:
Bagan III.II
III.III.II Dinas Sosial Kota Makassar
Dinas Sosial merupakan unsur pelaksana Pemerintah Kota
dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Sosial
70 Bagan di halaman berikut
72
mempunyai tugas pokok merumuskan, membina dan mengendalikan
kebijakan di bidang sosial meliputi usaha kesejahteraan sosial, rehabilitasi
sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial dan bimbingan
organisasi sosial.
Dalam melaksanakan tugas Dinas Sosial menyelenggarakan fungsi71 :
a. penyusunan rumusan kebijaksanaan teknis di bidang usaha
kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan
kesejahteraan sosial dan bimbingan organisasi sosial.
b. penyusunan rencana dan program di bidang usaha kesejahteraan
sosial, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial
dan bimbingan organisasi sosial.
c. pelaksanaan pengendalian dan pengamanan teknis operasional di
bidang usaha kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan dan
jaminan kesejahteraan sosial dan bimbingan organisasi sosial;
pengelolaan urusan ketatausahaan, pelaksanaan kepegawaian,
keuangan, perlengkapan, urusan umum dan rumah tangga serta
mengkoordinasikan perumusan program kerja;
d. pembinaan unit pelaksana teknis.
Susunan Organisasi Dinas Sosial terdiri dari72 :
a. Kepala Dinas;
b. Bagian Tata Usaha terdiri dari :
71 Lihat Peraturan daerah kota Makassar nomor 22 tahun 2005 tentang
pembentukan ,susunan organisasi dan tata kerja dinas sosial kota Makassar.72 ibid
73
c. Bidang Usaha Kesejahteraan Sosial terdiri dari :
d. Bidang Rehabilitasi Sosial terdiri dari :
e. Bidang Bantuan dan Jaminan Kesejahteraan Sosial terdiri dari :
f. Bidang Bimbingan Organisasi terdiri dari :
g. UPTD.
III.III.III Kepolisian Resort Kota Besar Makassar (POLRESTABES) Unit
Reserse dan Kriminal73
Unit Reserse dan Kriminal atau disingkat Reskrim bertugas membina
fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi dan fungsi
Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum ,
koordinasi dan pengawasan operasional.
Dalam menyelenggaraka tugas dimaksud Unit Reskrim
menyelenggarakan fungsi sbb :
Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi
identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta
kegiatan-kegiatan lain yang menjadi tugas unit Reskrim , dalam
lingkungan Polrestabes
Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan
tindak pidana umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan /
perlindungan khusus kepada korban / pelaku remaja , anak dan
73 Data diambil dari situs resmi POLRI
74
wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai ketentuan hukum
yang berlaku.
Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan
penyidikan maupun pelayan umum.
Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan
pengawasan operasional dan administrasi penyidak PPNS.
Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta
penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas
pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi Reskrim.
Unit Reskrim dipimpin oleh kepala unit Reskrim , disingkat Kanit Reskrim ,
yang bertanggung jawab kepada Kapolrestabes dan dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wakapolrestabes.
III.III.IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar
Jumlah anggota DPRD Kota Makassar tahun 2009 sebanyak 50
orang merupakan wakil dari 7 fraksi, 7 orang adalah perempuan, hal ini
menunjukkan bahwa kaum perempuan telah diperhitungkan untuk
menduduki jabatan legislatif sekalipun porsinya masih relatif kecil sebesar
14 %.
Dalam menjalankan tugasnya DPRD Kota Makassar pada tahun
2009 telah menghasilkan 17 peraturan daerah, 33 keputusan dewan dan
29 keputusan pimpinan dewan74.
74 Data diambil dari buku Makassar Dalam Angka 2010 halaman 10
75
Penelitian ini dilakukan di komisi A DPRD kota Makassar. Berikut
nama-nama anggota komisi A bidang pemerintahan:
Tabel III.IV
No. Nama Asal Parpol Jabatan
1. Rahman Pina, S.IP GOLKAR Ketua Komisi A
2. Busranuddin BT, SE PPP Wakil Ketua Komisi A
3. Mustagfir Sabry, S.Ag, M.Si PDK Sekretaris Komisi A
4. Yusuf Gunco, SH, MH GOLKAR Anggota Komisi A
5. Drs. H.A.Hasir, HS GOLKAR Anggota Komisi A
6. A.Fadly F.Dharwis, SE P.Demokrat Anggota Komisi A
7. Imran Mangkona, SH P.Demokrat Anggota Komisi A
8. Drs.Abd.Rauf Rachman,SH PAN Anggota Komisi A
9. Asriady Samad, A.Md PKS Anggota Komisi A
10. H.Muh.Arfan Fajar, SE PBR Anggota Komisi A
11. Kartini E Galung, SS GERINDRA Anggota Komisi A
12. Nurmiati,SE HANURA Anggota Komisi A
76
BAB IV
HASIL-HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.I Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar
kelompok
Perkelahian antar kelompok kerap hanya dijadikan persoalan
sepele ketika persoalan tersebut bisa dikatakan belum berdampak besar
pada kondisi masyarakat perkotaan. Timbulnya korban jiwa dari
perkelahian tersebut. Justru baru akan mengundang tindakan pemerintah
kota untuk segera menyelesaikan persoalan. Penelitian yang ditempatkan
di empat instansi ini membuka beberapa pandangan dari informan baik
dari kantor Kesatuan Bangsa (KESBANG) kota Makassar, Dinas Sosial
kota Makassar, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Makassar
maupun dari pihak kepolisian dalam hal ini Kepolisian Resort Kota Besar
(POLRESTABES) Makassar.
Seperti apa yang dipahami dalam kajian teoritis pada bab
sebelumnya. Perkelahian yang terjadi dalam masyarakat maupun tindak
kekerasan lainnya semuanya tidak pernah berdiri sendiri atau dalam artian
terdapat penyebab yang menimbulkan terjadinya tindak kekerasan.
Kota Makassar dengan segala kondisi urban yang dimiliki terus
mengemban beban sosial yang sangat besar. Pembangunan yang bisa
disaksikan begitu tidak berimbang dengan jumlah pemukiman kumuh
77
yang semrawut dalam tata kelolanya. Belum lagi ketika para penduduk
miskin harus dihadapkan pada kebutuhan yang sangat pelik.
Kekerasan kolektif menggores luka besar dalam pemerintahan di
kota ini, hingga akhirnya berbagai data mengenai kasus kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok tertentu baik warga, mahasiswa hingga aparat
keamanan itu sendiri memberi bukti bahwa kekerasan antar kelompok
dalam bentuk perkelahian bisa saja dialami dan dilakukan oleh berbagai
pihak. Perkelahian antar kelompok tersebut kini di kota Makassar sudah
menyentuh berbagai kalangan seperti yang disebutkan sebelumnya. Coba
kita ingat dengan kasus yang menimpa Universitas Hasanuddin dengan
perkelahian antara fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) dengan
fakultas Teknik yang tidak sedikit menimbulkan korban jiwa dan kerugian
akibat rusaknya fasilitas kampus karena lemparan batu dan benda keras
Belum cukup sampai di situ selain perkelahian antar kelompok
warga yang memang kerap terjadi di wilayah pemukiman padat seperti
kecamatan Makassar tekhusus wilayah Jalan Maccini dan Abu Bakar
Lambogo serta wilayah sekitar areal belakang kampus Universitas Muslim
Indonesia (UMI). Perkelahian antar aparat yang melibatkan pihak
kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah terjadi pada
tahun 201075. Sebuah sajian miris dan menurut peneliti itu adalah hal 75 Peristiwa April Makassar berdarah (Amarah) diperingati tiap tahunnya pada tanggal 24
april sebagai peristiwa kekerasan aparat pertama di kampus di kota Makassar yang
menimbulkan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1996 ini empat orang
mahasiswa ditemukan tewas mengapung di sungai pampang. Lihat, Sukriansyah S.Latif
dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi arus informasi, Makassar, 1998 hal
109
78
wajar ketika faktor-faktor yang menimbulkan perkelahian kolektif itu telah
terpenuhi. Berikut adalah data yang didapatkan mengenai perkelahian
antar kelompok yang terjadi di kota Makassar pada tahun 201076:
Tabel IV.I
Pihak Yang Berkonflik
Warga Mahasiswa Aparat Jumlah
Warga 10 2 - 12
Mahasiswa - 9 3 12
Aparat - - 1 1
Dari data tersebut, ditemukan bahwa jumlah kasus perkelahian
antar kelompok yang terjadi sepanjang tahun 2010 berjumlah 25 kasus.
Dari data tersebut bisa didapatkan bahwa mahasiswa dan warga yang
paling sering menjadi pelaku perkelahian antar kelompok, keduanya pun
pernah mengalami bentrok sebanyak 2 kali perkelahian tersebut keduanya
melibatkan mahasiswa Universitas Negeri Makassar dengan warga sekitar
kampus tersebut utamanya penduduk yang bermukim di jalan Alauddin77.
Namun perkelahian antar warga yang kemudian menjadi jumlah
perkelahian terbanyak pada kurun waktu tersebut sebanyak 10 kasus.
Beberapa tempat perkelahian penulis temukan dari penelusuran data 76 Data ini merupakan hasil olahan dari Intelijen POLRESTABES dan Inteldim Kodam
Makassar. Penulis hanya diperkenankan untuk menghitung jumlah kasus dan penyebab
perkelahian. Nama dan identitas pelaku tidak dapat dilampirkan pada penelitian ini.77 Walaupun terhitung sebagai perkelahian antara mahasiswa dengan warga namun
hingga kini masih ada perdebatan tentang siapa sebenarnya warga yang terlibat. Dari
pernyataan salah seorang warga di Jalan Manuruki bahwa mereka tidak mengenali
mereka yang mengaku warga dan terlibat dalam perkelahian. Disinyalir ada beberapa
orang yang tidak dikenal dengan sengaja memancing bentrok dan memulai perkelahian
dengan mahasiswa.
79
yang diperoleh. Diantaranya perkelahian antara mahasiswa semuanya
terjadi beberapa diantaranya terjadi di dalam kampus dan beberapa terjadi
di luar kampus78.
Selanjutnya mengenai perkelahian antar mahasiswa dan aparat
keamanan semuanya berawal dari unjuk rasa yang kemudian berujung
pada bentrok kedua belah pihak. Perkelahian tersebut terjadi sebanyak 3
kali dan selalu menghasilkan penangkapan oleh pihak kepolisian yang
biasa ditugaskan untuk mengamankan unjuk rasa terhadap beberapa
mahasiswa yang dianggap sebagai biang kerok kerusuhan.
Perkelahian antar aparat keamanan yang terjadi sekali melibatkan
antara aparat TNI dengan kepolisian. Kejadiannya bertempat di stadion A.
Mattalatta Mattoanging.
Bagan IV.I
78 Untuk lokasi perkelahian di kampus, terjadi setidaknya di empat Universitas:
Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, Universitas 45 dan Universitas
Negeri Makassar
Warga vs warga40%
Mahasiswa vs mahasiswa
36%
Mahasiswa vs aparat13%
Warga vs ma-hasiswa
10%
Aparat vs aparat8%
Persentase Pelaku Perkelahian di Kota Makassar Tahun 2010
80
Bagan diatas adalah persentase dari dua pihak yang melakukan
perkelahian di kota ini pada tahun 2010. Bagan tersebut menunjukkan
bahwa perkelahian antar warga mendominasi daftar pelaku perkelahian di
kota metropolitan ini. 40% dari seluruh kasus yang merupakan
perkelahian antar warga, selanjutnya diikuti dengan perkelahian antar
mahasiswa yang mencapai 36% dari seluruh kasus. Kemudian yang
terkecil dalam persentase perkelahian tersebut ialah perkelahian antar
aparat keamanan dengan 8%.
Dari data yang didapatkan dan telah dihitung persentasenya,
ditemukan bahwa terdapat 7 motif terjadinya sebuah perkelahian. Data
hasil olahan tersebut merupakan hasil dari pengintaian intelijen baik dari
kodam Makassar maupun POLRESTABES79.
Berikut adalah faktor perkelahian antar kelompok yang ditinjau dari
motif kejadian:
1. Ketersinggungan kelompok
Sejarah yang membekas dalam sistem sosial masyarakat tertentu
menjadi salah satu penyebab terjadinya perkelahian antar kelompok
dalam masyarakat kita. Solidaritas kelompok terbangun dalam pola
kehidupan sehari-hari. Interaksi antar warga mulai membangun kedekatan
dengan saling membantu dalam mengerjakan urusan bersama. Sebuah
pemukiman dengan corak masyarakat yang cenderung homogen seperti
79 Ibid lihat 75
81
pemukiman padat penduduk dengan tingkat ekonomi yang hampir setara.
Pola interaksi yang terbangun cenderung sangat intim.
Peneliti yang menemukan kondisi ini di areal pemukiman padat
Bara-baraya tepatnya kecamatan Makassar80. Penduduk kecamatan
Makassar yang terbilang padat ketimbang wilayah kecamatan lainnnya di
kota Makassar, walaupun penduduknya memiliki mata pencaharian yang
berbeda-beda namun ikatan sosial dan kekerabatan tetap terbangun.
Ikatan sosial tersebut nampak terlihat dari pola pergaulan mereka yang
berumur di atas 18 hingga 25 tahun. Seringkali bila selepas maghrib
beberapa pemuda sudah terlihat duduk di pinggiran jalan. Hal yang lain
pula nampak ketika mereka mengerjakan beberapa pembangunan sarana
penduduk untuk kepentingan bersama seperti pembangunan polisi tidur81,
bahkan bila salah satu penduduk meminta bantuan dari warga sekitar
untuk membantu mengerjakan pembangunan pagar rumah maka dengan
upah seadanya mereka rela untuk membantu penduduk yang meminta
bantuan tersebut.
Kehidupan sehari-sehari penduduk di pemukiman padat dengan
tingkat kemampuan ekonomi menengah ke bawah seperti yang
diceritakan bila mengutip kembali apa yang diutarakan oleh Soerjono
Soekanto tentang kesadaran in group82. Maka kesadaran kesamaan
80 Lihat tabel kependudukan pada BAB III 81 Ini sebutan untuk gundukan kecil diatas aspal yang dibuat secara sengaja dengan
maksud kendaraan yang melaluinya akan berjalan lamban. 82 Lihat BAB II tentang perkelahian antar kelompok dan faktor-faktor penyebab
perkelahian antar kelompok.
82
kondisi dengan masyarakat lain dalam areal maupun komunitas tertentu
seperti contoh kasus kampung Bara-baraya tadi terbangun dengan
sendirinya dan itu akan semakin kuat bila terdapat tekanan maupun
gangguan dari kelompok eksternal. Gangguan yang datang dari kelompok
luar tentunya juga memiliki kondisi yang sama yakni kepemilikan akan
solidaritas kelompok untuk mempertahankan kelompoknya.
Persinggungan antar kelompok bagi masyarakat kota merupakan
hal lazim bagi masyarakat kecamatan Makassar. Bahkan hanya dengan
dengungan suara motor yang keras dihadapan beberapa pemuda yang
sedang berkumpul maka perkelahian bisa langsung terjadi.
“Biasa gara-gara gas motorji, atau pakai kata-kata kotor atau kalau tidak saling kenal biasanya berkelahi mi” Ungkap SF83.
Apa yang diungkapkan oleh SF sebagai salah salah satu warga RK
3 Perkelahian di Kelurahan Bara-baraya merupakan sebuah kejadian
yang berulang-ulang. Masyarakat kecamatan Makassar dengan ragam
komunitas yang dimiliki sangat mudah terpicu konflik dengan maslah
sepele tersebut84. Bila salah seorang dari luar kelompoknya memicu
amarah, maka kelompok tersebut biasanya menghardik orang tersebut
dan bila komunikasi tidak berjalan baik yang bersangkutan kemudian juga
memanggil kelompoknya hingga akhirnya perkelahian antar kelompok pun
terjadi.
83 (wawancara SF, 11 juni 2011)84 Pemuda di kecamatan Makassar biasa menyebut komunitas tersebut dengan kampung
karena pembatasan wilayah komunitas berdasarkan batasan teritorial seperti jalan atau
rukun kampung.
83
2. Faktor dendam
Salah satu faktor yang menjadi pemicu timbulnya perkelahian antar
kelompok ialah dendam yang kemudian mengalir secara turun temurun
diantara dua kelompok. Kita ingat saja apa yang kemudian menjadikan
fakultas FISIP dan Teknik di Universitas Hasanuddin begitu gampang
tersulut walau hanya diawali dengan persoalan yang sangat sepele.
Dendam lama yang sudah terawat sejak puluhan tahun hingga ditandai
dengan beberapa peristiwa besar seperti black september membuat
stimulus yang mampu menjadikan pertikaian dua kelompok terus bergulir
hingga saat ini.
Hal yang serupa juga terjadi di kecamatan Makassar maupun di
Jalan Pampang yang sejak tahun 1990-an telah menanam embrio
dendam kepada kelompok lain untuk saling memusuhi. Kembali
mengambil contoh pada beberapa kelompok di kecamatan Makassar, ada
beberapa kelompok yang karena telah menanam dendam lama pada
kelompok lain bisa saja membantu kelompok yang menjadi lawan dari
musuhnya walaupun kelompok tersebut sama sekali tidak memiliki
hubungan dengan persoalan yang menjadi pemicu terjadinya perkelahian.
“Kalau berkelahi biasanya ada bantuan dari luar seperti anak Balaburu (Kelapa tiga) dibantu anak RK 4, anak RK 3 Jalan M.Yamin dibantu sama anak Maccini”85.
85 (wawancara dengan SL, 11 Juni 2011)
84
Faktor dendam lama pada kondisi di kampus UNHAS, kecamatan
Makassar serta dendam yang terawat kecamatan Panakukang terkhusus
di jalan Pampang menunjukkan bukti bahwa belum ada upaya maksimal
untuk menghalangi ritual perkelahian yang terus terjadi. Kejadian terakhir
yang penulis temukan di tempat-tempat texas86 tersebut adalah
menghangatnya kembali dendam lama antara pemuda Maccini dan
pemuda Karuwisi yang dimulai dengan perselisihan kecil pada awal Juni
2011.
3. Minuman keras
Perbincangan dengan beberapa pemuda pemukim sepanjang
kanal di jalan M.Yamin yang diikuti oleh penulis tentang perkelahian antar
kelompok ditemukan sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa minuman
keras menjadi salah satu motif yang nampak untuk menimbulkan
perkelahian antar kelompok. Untuk kota besar seperti Makassar, minuman
keras merupakan hal yang lazim. Walaupun oleh beberapa teoritikus
delinquen (kenakalan), minuman keras pada awalnya hanya sebagai
bahan pengisi waktu senggang untuk melepas penat dalam kelaziman
aktivitas sehari-hari.
Beberapa tempat penjualan minuman keras yang begitu tersohor di
kota ini membuka gerainya selama 24 jam yang kapanpun bisa diakses
86 Nama Texaz lazim dalam bahasa pergaulan anak muda di Makassar sebagai
penyebutan untuk wilayah yang dianggap memiliki tingkat kerawanan kriminal yang
tinggi.
85
oleh para konsumen. Ditambah lagi dengan beberapa distributor minuman
keras yang belum memperoleh izin sangat mudah untuk didapatkan
melalui informasi mulut ke mulut. Jalan batu putih bagi para pemuda yang
biasa menenggak minuman keras tentunya sudah sangat terkenal. Disana
berbagai jenis minuman keras bisa diperoleh juga dengan beragam harga
sesuai kemampuan. Beberapa pemuda yang bermukim jauh dari jalan
batu putih tersebut biasanya hanya mendatangi gerai kecil di sekitar
pemukiman mereka. Cara menemukan gerai tersebut pun sangatlah
gampang, cukup dengan menanyakan gerai kecil yang masih buka hingga
dini hari kepada orang yang berlalu lalang di luar rumah juga pada waktu
tersebut. Penulis menemukan jumlah kios penjualan minuman keras pada
tahun 2009 yang mendapat izin dari pemerintah kota mencapai angka 150
kios87.
“Kalau disini ada penjual di jalan Kerung-kerung, tapi kalau mau banyak biasanya beli di Batu Putih. Kalau di pampang itu ballo’88 banyak”89.
SF yang sejak tahun 90-an sudah mulai menenggak minuman
keras begitu cakap ketika menceritakan berbagai tempat dimana minuman
keras sangat mudah untuk didapatkan. Harga minuman yang sangat
murah menjadi salah satu variabel para pemuda semakin sering
menjadikan minuman keras sebagai alat solidaritas mempertemukan
cerita-cerita mereka. Mengumpulkan uang dari kantong masing-masing 87 Sumber data pernyataan KASI LINMAS KESBANG Kota Makassar88 Ballo’ merupakan jenis minuman lokal yang terbuat dari pohon aren ada pula yang
terbuat dari buah tala. Minuman tersebut difermentasikan dan disimpan pada suatu
tempat dengan suhu tertentu sehingga sifatnya menjadi memabukkan.89 (wawancara dengan SL, 11 Juni 2011)
86
menjadi awal cerita minum, bila uang yang terkumpul tidak mencapai
harga untuk membeli harga beberapa botol minuman yang memang
harganya telah melonjak sekitar tahun 2008, maka ballo’ bisa menjadi
pilihan. Cukup dengan Rp. 5000,- maka sekitar 2 liter ballo’ sudah bisa
diperoleh.
Berikut adalah cerita SL bagaimana minuman keras menjadi faktor
penyebab perkelahian kelompok terjadi:
“Waktu habis minum di Monginsidi, ada cewek lewat sama pacarnya. Diganggumi toh, memang mabuk itu waktu. Langsung marah cowoknya. Anak RK 7 cowoknya itu. Keluar mi kata-kata kotor toh. Itu cowoknya pergimi panggil temannya anak RK 7. Berkelahi mi orang, adami badiq, kayu dipakai. Tapi tidak adaji yang kena badiq. Pasa datang polisi lari semua miki. Tapi kebetulan ditangkap ka’ saya sendiri sama polisi waktu itu. Menginap ka’ itu malam di Polsek Kerung-kerung.Waktu itu saya sama anak monginsidi sekitar 10 orang terus anak RK 7 ada mungkin diatas 10 orang. Warga yang kasih tahu polisi itu. Waktu diperiksa, dipaksaka’ sebut teman-teman ku tapi tidak kubilang. Dipukuli ka’ sama polisi, disuruhka’ juga bersihkan WC”90.
Minuman keras dari unsur yang terdapat dalam ragam cairan
didalamnya memang menghilangkan kesadaran. Sehingga kadang
tindakan di luar kontrol tersebut keluar dengan sendirinya. Kadang pula
bila sedang ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan nyali ekstra
maka biasanya minuman keras digunakan untuk memperbesar nyali
tersebut. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh anggota komisi A
DPRD kota Makassar Mustagfyr Sabri:
90 ibid
87
“Minuman keras dan obat-obatan menjadi salah satu pemicu terjadinya perkelahian”91.
4. Perselisihan
Ketika masalah kecil yang bersifat personal dimulai maka seketika
itu pula bantuan datang dalam proses penyelesaiannya. Tetap pada
kesadarn kelompok tadi perselisihan kecil seperti pembangunan parit di
pemukiman penduduk yang harus menyenggol sedikit lahan pekarangan
bisa menjadi embrio konflik. Ataupun persoalan anak kecil yang kemudian
berkelahi. Bagaimana tidak seorang anak berumur sekitar 8 tahun mampu
membuat perkelahian antar kelompok menjadi besar.
“Perselisihan kecil merupakan sumber perkelahian terbesar” ungkap Kasi LINMAS KESBANG92.
Ego yang terbangun untuk saling mempertahankan pendapat
maupun harga diri ataupun siri’ yang disalahgunakan menjadi akar dari
perselisihan personal. Dan kelompoknya pun secara spontan terbangun
kesadarannya. Hampis serupa dengan bagaimana ketersinggungan
kelompok itu terjadi pada faktor yang pertama, namun yang membedakan
persoalan perselisihan lebih mendekati persoalan personal pada awal
kejadiannya.
5. Penganiayaan
Ada beberapa alasan mengapa tindak penganiayaan atau
pengeroyokan oleh massa terjadi dalam masyarakat di kota Makassar. 91 (wawancara, 24 Mei 2011).92 (wawancara, 18 mei 2011)
88
Beberapa petinggi kantor KESBANG mencoba menanggapi akan
beberapa tudingan yang dilayangkan kepada pemerintah kota tentang
keterlambatannya untuk menangani beberapa kasus tertentu. Adapula
tudingan kepolisian setempat yang cenderung memandang remeh laporan
warga bila ditemukan indikasi tindakan kriminal. Kembali pada sumber
penganiayaan atau pengeroyokan. Sebuah tindakan kriminal seperti
pencurian maupun tindak kriminal personal lainnya tentunya akan sangat
meresahkan masyarakat. Biasanya masyarakat akan menghubungi pihak
kepolisian atau mengadakan upaya pengamanan sendiri seperti membuat
pos keamanan lingkungan (pos KAMLING) dan mengadakan ronda setiap
hari dengan jadwal ronda yang sudah diatur.
Ketika ada kondisi yang dianggap mengganggu keamanan
kampung maka tindak main hakim sendiri pada pelaku kejahatan yang
tertangkap akan terlahir dengan sendirinya. Pelaku kejahatan tersebut
akan mendapat “pidana” versi kampung setempat. Pelaku kejahatan akan
pulang dan melapor pada kelompoknya ketika apa yang dilakukan oleh
kelompok yang telah memberikan sanksi tersebut tidak diterima. Maka
perkelahian antar kelompok pun kadang terjadi.
Berbeda lagi dengan kondisi pengeroyokan seorang pemuda yang
masuk pada wilayah kelompok tertentu, dari situ pula seorang pemuda
yang bersangkutan akan memanggil kawanya sebagai bentuk
pembalasan dari tindakan kelompok lawan.
89
Di kota Makassar sudah banyak data mengenai tindak
penganiayaan itu sendiri, baik yang berupa pengeroyokan massa maupun
yang berujung pada perkelahian antar kelompok dari penganiayaan yang
berlanjut pada penghadiran massa.
6. Perebutan Lahan
Dari beberapa data yang ditemukan oleh intelijen baik dari KODAM
maupun kepolisian. Perebutan lahan menjadi salah satu faktor
perkelahian antar kelompok dari dari segi awal terjadinya sebuah kasus
perkelahian. Serupa dengan perkelahian yang disebabkan oleh
perselisihan. Perebutan lahan merupakan wujud dari perselisihan
tersebut. Namun yang membedakan, perselisihan menyentuh sumber
persoalan yang lain di luar dari sengketa tanah yang biasa terjadi pada
masyarakat Makassar. Maraknya pembangunan menurut penulis disinyalir
menjadi faktor utama terjadinya sengketa lahan di masyarakat. Seiring
pembangunan harga tanah kemudian melonjak tinggi terlebih lagi bila
tanah tersebut mendekati areal pembangunan sarana umum ataupun
sarana umum yang telah ada sebelumnya. Di jalan pandang raya
kecamatan Panakukang misalnya, wilayah yang kemudian menjadi areal
pusat perbelanjaan tersohor di kota Makassar. Selama 2010 sudah tiga
kali terjadi perkelahian besar antara pihak tergugat yakni warga yang
bermukim di areal pemukiman kumuh Jalan pandang raya dengan pihak
penggugat yang biasanya datang bersama aparat kepolisian.
90
Hal yang sangat masuk akal, ketika berkaitan dengan
keberlangsungan hidup maka serta merta segala upaya pun dilakukan
untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan akan tempat tinggal menjadi
sangat urgen. Kejadian di pandang raya begitu gampang tersulut sebab
yang terlibat hampir semua penduduk yang bermukim di wilayah kumuh
tersebut. Persatuan untuk bersama-sama mempertahankan hidup terjalin
dengan membangun berbagai upaya perlawanan. Ketika jalur litigasi yang
diupayakan tidak berhasil maka. Upaya fisik melalui jalur kekerasan pun
dilakukan demi mempertahankan tempat tinggal yang telah didiami sejak
puluhan tahun.
Tindak kekerasan tersebut sebenarnya justru diawali dengan
tindakan represi aparat keamanan yang akan melakukan eksekusi setelah
penggugat lahan dinyatakan menang. Maka sejalan dengan teori spiral
kekerasan Dom Helder Camara93, kekerasan kedua pun timbul dari
kekerasan strutural yang pertama. Masyarakat pandang raya
menganggap bahwa sistem peradilan cenderung menguntungkan para
pemilik modal atau mereka pemilik kemampuan perekonomian mapan
untuk mengambil lahan mereka. Protes pun berlangsung hingga
munculnya represi aparat demi meredam gejolak protes yang dibawa oleh
warga setempat.
Perebutan lahan memang tidak memiliki persentase yang tinggi
untuk menjadi potensi terjadinya konflik ketimbang beberapa motif
perkelahian yang sudah disebutkan sebelumnya. Namun dalam kajian 93 Lihat kembali BAB II tentang perkelahian antar kelompok
91
analisis penulis yang diperhadapkan pada kondisi pembangunan kota
yang massif, perkelahian antar kelompok bisa didukung dengan rencana
pembangunan tersebut. Mengapa demikian, pembangunan tentunya
membutuhkan lahan dan bila pola pembagian lahan untuk pembangunan
infrastuktur dan pemukiman penduduk tidak adil dan merata bagi seluruh
warga dengan status ekonomi manapun maka kelak perkelahian atau
potensi bencana sosial yang lain tidak dapat dipungkiri akan terjadi.
7. Unjuk rasa
Unjuk rasa merupakan salah satu bentuk gerakan sosial yang
melibatkan massa, dalam hal ini peserta unjuk rasa lebih dari satu orang.
Kota Makassar begitu tersohor dengan predikat sebagai kota demonstrasi.
Bagaimana tidak, perhatian nasional kemudian mengarah kepada kota ini
ketika sebuah isu nasional terangkat maka seantero kampus hingga
ormas kemasyarakatan kemudian meramaikan jalan. Sangat berbeda
dengan apa yang terjadi di belahan Indonesia yang lain. Bayangkan saja,
untuk tahun 2010 dari data yang didapatkan unjuk rasa di kota Makassar
mencapai angka 450 unjuk rasa dengan rata-rata perbulannya sebanyak
40 unjuk rasa.
“Angka unjuk rasa tertinggi itu bulan maret, mencapai angka 80 dengan isu dominan mengenai penuntasan kasus bank Century” Ungkap Muhlis, KASI LINMAS KESBANG.94
94 (wawancara, 28 mei 2011)
92
Bila dimulai dengan beberapa teori dan disesuaikan dengan apa
yang terjadi di kota Makassar. Kita bisa mengutip teori stimulus dan
respon. Adanya unjuk rasa di kota Makassar disebabkan oleh adanya
rangsangan berupa kebijakan yang diterima oleh sekelompok orang dan
kemudian rangsangan tersebut ditanggapi dengan penyampaian
pendapat.
Tindakan di luar batas seperti apa yang biasa diutarakan oleh
beberapa media lokal mengenai perilaku unjuk rasa anarkis di kota ini bila
dilihat dalam kaca mata psikologi massa, maka itu semata-mata
diakibatkan oleh tidak ditanggapinya pernyataan pendapat yang bersifat
verbal.
Sejalan dengan apa yang diutarakan oleh beberapa petinggi kantor
KESBANG kota Makassar dalam diskusi dengan penulis disitu dinyatakan
bahwa unjuk rasa dengan batu sebenarnya adalah bentuk komunikasi
ketika bahasa verbal tidak lagi didengar atau dengan kata lain bahasa
tersebut adalah bahasa batu diluar dari bahasa verbal.
Perkelahian yang biasa terjadi dalam unjuk rasa biasanya
melibatkan antara mahasiswa dan aparat keamanan yang mengamankan
unjuk rasa. Lebih tepat lagi seperti apa yang diungkapkan oleh FL salah
satu petinggi lembaga kemahasiswaan di salah satu fakultas di
Universitas Hasanuddin menyatakan bahwa tindakan mahasiswa untuk
kemudian menggunakan batu seperti yang pernah terjadi biasanya
disebabkan oleh adanya provokasi dari aparat keamanan itu sendiri
93
ataupun tuntutan yang berkali-kali disampaikan namun tidak mendapat
tanggapan sedikit pun95
Menarik dari apa yang diutarakan oleh dua informan pada bagian
ini menunjukkan bahwa perilaku amuk massa di kota ini sama sekali tidak
berdiri sendiri melainkan disebabkan oleh faktor pemicu yang terjadi di
lapangan. Berikut ke-7 faktor perkelahian antar kelompok di kota ini dilihat
dari segi motif terjadinya kejadian. Untuk lebih jelasnya penulis
melengkapi informasi ini dengan persentase terjadinya perkelahian antar
kelompok dari faktor faktor tersebut.
Bagan IV.II
95 (Wawancara, 23 Juli 2010).
Keters-inggun-
gan Kelompok
16%
Dendam20%
Pengaruh Minuman Keras/Obat-obatan
16%
Perselisihan28%
Penga-niayaan
12%
Perebu-tan lahan
4%
Unjuk rasa anarkis4%
Persentase Motif Perkelahian antar kelompok
94
Penulis kemudian mengolah dari data yang ditemukan dan
akhirnya mengambil kesimpulan mengenai faktor-faktor apa yang dimiliki
oleh sebuah masyarakat untuk kemudian menanam embrio perkelahian di
dalamnya. Angka perkelahian antar kelompok berbanding lurus dengan
angka kriminal di sebuah wilayah dan berikut empat faktor besar yang
menjadi sumber perkelahian antar kelompok:
1. Perubahan sosial yang sangat cepat
Faktor ini didapatkan atas pemikiran induktif penulis setelah
mengawinkan banyak data yang didapatkan, mulai dari jumlah penduduk
di sebuah wilayah kecamatan hingga tingkat pendidikan. Mobilitas
pembangunan kota kembali penulis gunakan untuk menjelaskan faktor ini.
Bisa dilihat dengan keinginan pemerintah kota untuk menjadikan
Makassar sebagai salah satu kota dunia di wilayah bagian timur Indonesia
maka pembangunan infrastruktur modern menjadi salah satu kunci untuk
mendapatkan predikat tersebut. Dalam beberapa penelitian membuktikan
bahwa beberapa perubahan sosial yang cepat di sebuah wilayah akan
menimbulkan shock dalam diri masyarakat ketika percepatan tersebut
tidak dapat diimbangi.
Tingginya persaingan menuntut setiap orang untuk bekerja keras
agar dapat bertahan hidup. Fasilitas publik yang dikomersialisasikan
seperti pembangunan lapangan karebosi hingga berjejalnya pusat
perbelanjaan modern di kota ini tentunya tidak menggunakan biaya yang
95
rendah untuk dapat menyentuh tempat-tempat tersebut. Beberapa tempat
yang penulis anggap begitu jelas menjabarkan tentang kepemilikan
potensi penyakit sosial tersebut ialah wilayah dengan tingkat kepadatan
penduduk yang sangat tinggi, selain itu kawasan pusat perdagangan
seperti pasar juga wilayah kawasan transportasi seperti terminal dan
pelabuhan laut. Biasanya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai
kawasan penting mengingat banyaknya aktivitas penduduk yang bergulir
setiap harinya pada kawasan-kawasan tersebut.
Kecamatan Panakukang yang disulap menjadi kawasan
perbelanjaan modern di kota ini membuktikan betapa tingkat kesenjangan
itu terbentuk antara si kaya dan si miskin. Mall yang berjejal hingga tempat
karaoke terbangun megah di tengah kawasan pemukiman kumuh yang
masih bisa didapatkan seperti di jalan pandang raya dan beberapa tempat
lainnya. interval kemampuan ekonomi yang sangat jauh antara penduduk
pemukiman elit dan pemukiman kumuh memicu meningkatnya angka
kriminal. Seperti pada apa yang telah dipaparkan sebelumnya keiniginan
untuk memenuhi kebutuhan akan sangat dipangaruhi oleh kondisi sekitar.
Gaya hidup kawasan modern seperti Panakukang tentunya juga akan
mempengaruhi anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri. Namun bila
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak mencukupi maka
cara mudah untuk mendapatkannya adalah dengan tindakan kriminal.
Bila si miskin bertemu dengan kebutuhan si miskin yang lain maka
tak pelak perkelahian pun bisa terjadi dikarenakan solusi penyelesaian
96
kebutuhan yang sangat minim kecuali dengan cara berebutan. Inilah apa
yang dikatakan oleh Fromm96 sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan.
Ketika pemenuhan kebutuhan tersebut dihalangi dengan mahalnya biaya
pemenuhan atau kelompok lain yang juga memerlukan kebutuhan yang
sama maka agresi pun muncul dengan sendirinya dengan cara yang
bermacam-macam bahkan menjurus pada pertumpahan darah.
Belum lagi bila itu dikaitkan dengan pertahanan hidup. Kawasan
Panakukang serta kecamatan lain di kota Makassar yang dipandang perlu
oleh pemerintah untuk mendapatkan pembangunan ekstra cepat akan
memanggil para pemilik modal untuk berinvestasi atau membuka ruang
usaha pada kawasan tersebut. Lagi-lagi pemilik modal atau para
pengusaha ini akan berhadapan dengan mereka para pemukim kumuh
yang pemukimannya akan disulap menjadi kawasan komersil. Apabila
paradigma pembangunan pemerintah kota disokong dengan cara berfikir
yang mengedepankan keuntungan demi menambah pendapatan daerah
maka tentunya pemukiman kumuh tersebut akan dikesampingkan demi
kepentingan pembangunan.
Selanjutnya kita bisa menebak apa yang akan terjadi dari ilustrasi
nyata pada paragraf sebelumnya. Gejolak sosial akan bermunculan
seiring dengan tekanan yang didera akibat tidak semua kelompok
masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama.
96 Lihat kembali BAB II tentang faktor penyebab perkelahian antar kelompok
97
2. Populasi yang padat
Wilayah kecamatan di kota Makassar yang memiliki angka jumlah
penduduk yang tinggi ditunjukkan oleh kecamatan seperti Tamalate
dengan 154.454 jiwa penduduk, diikuti Rappocini, Makassar, Tallo,
Biringkanaya dan Panakukang. Namun jumlah penduduk bukan berarti
serta merta memicu angka kriminalitas. Luas wilayah sebuah kecamatan
menjadi variabel untung menghitung kepadatan sebuah wilayah. Wilayah
kecamatan Makassar yang hanya memiliki luas wilayah 2,52 km2 bisa
dilihat bagaimana tingkat kepadatan penduduk pada wilayah tersebut.
Sebagai kota metropolitan angka urbanisasi meningkat seiring daya
pikat yang dipoles tiap harinya melalui pembangunan. Memang benar
bahwa perputaran uang akan terjadi sangat banyak di kota namun belum
tentu sebuah kota kemudian memberikan kesempatan pada setiap orang
untuk menyentuh uang tersebut.
Memang kota besar memiliki tingkat kemajemukan penduduk yang
sangat tinggi97. Wajar bila hal itu terjadi, daya pikat membuat segala
penduduk segala penjuru di sekitar wilayah perkotaan akan mengarahkan
perhatiannya pada kota ini.
Bayangkan saja kota Makassar merupakan kota ikon bagian timur
Indonesia, maka jangan heran bila puluhan etnis berkumpul dalam satu
kota dengan kelompoknya masing-masing. Kecamatan Tamalanrea
misalnya, setiap tahunnya sebagai kawasan pendidikan kawasan ini akan
97 Lihat kembali BAB II tentang Pemerintah kota
98
menerima puluhan ribu pendatang untuk menempuh pendidikan pada
beberapa kapus yang tersebar. Belum lagi dengan beberapa wilayah lain
yang juga demikian, mereka menerima para pencari kerja yang kemudian
berpotensi menjadi embrio penyakit sosial baru di kota.
“Contohnya itu asrama-asrama daerah itu potensi konflik. Kenapa begitu mereka itu membawa ego kedaerahan dan bila ketemu dengan daerah lain biasa berkelahi mi”98.
Sebuah pandangan pejabat teras pemerintah kota tentang deraan
primordialisme yang tumbuh subur hingga menjadi pertarungan fisik antar
kelompok. Dari data menunjukkan bahwa sebagian besar pertarungan
fisik antar mahasiswa dilandasi karena pertarungan etnis. Kadang
diantara mereka melabeli tindakan mereka dengan tindakan penghargaan
terhadap siri’ 99 atau jargon kebudayaan daerah yang lain.
Anggota komisi A dari fraksi partai demokrasi kebangsaan (PDK)
kemudian berujar tentang fenomena siri’ yang disalahgunakan.
Menurutnya dalam kitab lontara’100 dan kisah kepahlawanan daerah yang
lain sama sekali tidak pernah ada ajaran yang menganjurkan kita untuk
saling berseteru. Melainkan siri’ itu bermakna untuk malu berbuat untuk
saling menyakiti satu sama lain, singkatnya siri’ menurutnya telah
disalahkaprahkan.
98 (Wawancara kepala kantor KESBANG kota Makassar 20 mei 2011)99 Lihat Kembali BAB III tentang nilai budaya masyarakat Makassar100 Lontara adalah hikayat cerita bugis makassar yang mengisahkan tokoh La Galigo yang
dipercayai oeh masyarakat suku bugis dan makassar. Di dalamnya jug bercerita tentang
pesan untuk menjaga kedamaian antar sesama makhluk.
99
Terlepas dari peran para pendatang yang membawa ego
kedaerahan kota juga menciptakan kemajemukan dalam berbagai
kategori seperti kelompok hobby maupun ikatan persatuan dengan tujuan
beragam.
Pada awalnya kemajemukan tersebut sangatlah berguna untuk
memperkaya khasanah kebudayaan dan pencapaian tujuan yang tidak
bisa diperoleh secara personal. Namun lambat laun perselisihan terjadi
akibat adanya kepentingan yang sama dan sangat sedikit
ketersediaannya. Intinya kepadatan penduduk pada suatu wilayah
memberikan jaminan persinggungan antara satu sama lain dengan
beragam cara dan alasan.
3. Status sosial ekonomi penduduk yang rendah
Semua individu menginginkan kehidupan yang sejahtera dan salah
satunya mencakupi kebutuhan ekonomi yang terpenuhi. Sama dengan
apa yang disebutkan pada faktor yakni perubahan sosial yang begitu
cepat, untuk kota besar kesenjangan pasti selalu ada. Beberapa pakar
ekonomi politik menyatakan bahwa konsep ekonomi terbuka yang hampir
seluruh negara telah menganutnya ternyata membuat kesenjangan antara
si kaya dan si miskin. Ketidakadilan untuk berpartisipasi dalam kompetisi
hidup dimulai sejak lahir. Seorang bayi kaya akan dipertontonkan
ketercukupan hidup dan seorang bayi miskin mungkin saja akan
100
dipertontonkan dengan ayah yang keluar masuk penjara untuk sekedar
memenuhi kebutuhan susunya.
Dalam ketidakberdayaan untuk memenuhi kebutuhan setiap orang
akan berfikir untuk menggunakan cara apapun. Bila kesempatan dengan
jalur yang telah disediakan telah tertutup maka seseorang tidak akan
segan untuk membuka jalur pemenuhan kebutuhan yang lain. Kemiskinan
merupakan faktor yang memicu tingkat kekerasan dalam masyarakat dan
bila kondisi itu dialami bersama maka tingkat kekerasan kelompok akan
terbentuk dengan sendirinya.
Tingkat kekerabatan kaum terpinggirkan akan sangat gampang
terbentuk dan menjadi sebuah ikatan solidaritas bila dibandingkan dengan
mereka pemilik ekonomi mapan karena dengan cukup mengandalkan
kemampuan pribadi dari kekayaannya, seorang kaya sudah bisa membeli
apapun. Ketimbang kau terpinggir yakni mereka para miskin kota akan
sangat gampang baik memobilisasi diri sendiri maupun dimobilisasi oleh
kelompok tertentu.
Beberapa wadah pemanusiaan diri tidak dapat diraih karena
keterbatasan ekonomi seperti sekolah, bahkan untuk beribadah karena
waktu telah habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada
tahun 2010 dari data dinas sosial kota Makassar menunjukkan bahwa
angka kemiskinan di kecamatan Panakukang sebagai kawasan pusat
perbelanjaan modern ternyata menjadi wilayah dengan angka kemiskinan
yang sangat tinggi, 8233 KK di kecamatan ini tercatat sebagai keluarga
101
fakir miskin. Alhasil anak terlantar yang biasa menjadi biang kerok
perkelahian melebihi angka 1000 anak. Untuk melengkapi argumen
penulis beriku kami cukupkan dengan pernyataan Kasi LINMAS
KESBANG kota Makassar:
“Ketika kondisi sosial sangat labil maka potensi konflik gampang terbentuk, Ketidakadilan atau kemiskinan juga itu menjadi potensi besar konflik”101.
Beberapa ilustrasi dan kejadian nyata bagaimana tingkat ekonomi
yang rendah begitu berperan untuk mengintroduksi seseorang melakukan
tindak kriminal baik secara psikologi maupun pengaruh sosiologis
setidaknya telah cukup menjadi salah satu faktor pendukung maraknya
perkelahian antar kelompok di masyarakat.
4. Kondisi perkampungan yang sangat buruk
Banyak pembeda antara pemukiman kumuh dan pemukiman elit di
kota Makassar. Kesibukan sehari-hari penduduk di pemukiman elit
membuat interkasi dengan tetangga sangat jarang terjadi, walhasil
solidaritas di dalamnya tidak begitu erat. Berbeda dengan apa yang terjadi
pada pemukiman kumuh dengan pola interaksi terbuka satu sama lain.
Rumah yang kadang tidak memiliki pagar halaman menjadi penjelas
bahwa tidak ada sekat antara rumah yang satu dengan yang lainnya.
Berarti interkasi antara satu sama lain menjadi erat. Kesamaan
penderitaan yang dialami mewujudkan solidaritas tersebut
101 (wawancara, 18 mei 2011).
102
Pengamatan penulis membawanya untuk melihat kondisi sekitar
kanal besar yang memotong jalan M.Yamin, Pelita Raya, Landak baru,
Maccini dan beberapa jalan lainnya yang dilalui. Dari situ terlihat jelas
pemukiman sekitar areal kanal yang sangat buruk bahkan bisa dikatakan
sebagian besar rumah masih bersifat semi permanen dengan konstruksi
seadanya.
Kecamatan Panakukang, Makassar dan Tallo secara berurutan tiga
kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan angka rumah tidak
layak huni di kota Makassar. Bisa dibuktikan bahwa kondisi pemukiman
yang buruk juga menjadi faktor timbulnya tindak kriminal dengan melihat
jumlah anak terlantar yang juga lumayan tinggi dari ketiga kecamatan
tersebut.
Seperti dengan kota besar yang lain, wilayah pemukiman yang
berjejer dipinggiran sungai atau kanal besar cenderung kurang mendapat
perhatian. Di kota Makassar pemukiman pinggiran kanal adalah pilihan
terakhir ketika kemampuan ekonomi tidak mencukupi untuk mendapatkan
hunian yang layak. Kondisi pemukiman rentan penyakit serta rentan
bencana bila sewaktu-waktu air kanal meluap begitu lekat dirasakan oleh
mereka para penghuni pinggiran kanal.
“Daerah konflik tertinggi sepanjang kanal itu, memang paling sering terjadi konflik” ungkap KASI LINMAS KESBANG102.
Ungkapan diatas merupakan hasil observasi yang telah dilakukan
setelah mencocokkan data dari bagian intelijen baik dari KODAM 102 (wawancara, 28 mei 2011)
103
Makassar maupun dari POLRESTABES tentang posisi perkelahian antar
kelompok.
Berikut keempat faktor yang menjadi pendukung terjadinya
perkelahian antar kelompok secara garis besar dari berbagai macam
pandangan baik dalam perspektif ekonomi, sosial dan pemerintahan.
Apabila sebuah wilayah telah memiliki keempat faktor tersebut maka tak
pelak potensi kriminal di dalamnya akan tumbuh dengan sendirinya.
Walaupun tidak memenuhi semua faktor yang telah disebutkan, terdapat
pula beberapa wilayah yang bisa tersulut dan menimbulkan konflik.
Untuk faktor pertama yakni perubahan sosial yang cepat dalam
suatu wilayah memang tidak semua wilayah konflik di kota Makassar
mengalaminya. Karena perubahan sosial yang cepat biasa dimiliki oleh
daerah peperangan maupun wilayah yang baru didera oleh bencana alam.
Namun perubahan sosial yang cepat bisa juga diterang dari
pembangunan pesat pada sebuah perkampungan yang pada awalnya
sangat jauh dari kriteria modern.
Untuk melengkapi argumen penulis maka berikut diikutkan tabel
kemiskinan di kota Makassar pada tahun 2010 sebagai bahan analisa
untuk mendalami faktor-faktor terjadinya perkelahian antar kelompok103:
103 Tabel halaman berikut
104
Tabel IV.II
Kemiskinan di Kota Makassar 2010104
Kecamatan
Keluarga Fakir Miskin
(Dalam KK)
Rumah tidak Layak Huni
(Dalam Unit)
Bontoala 2712 134
Biringkanaya 410 3
Mamajang 516 23
Makassar 2150 349
Mariso 1210 Belum diketahui
Manggala 1325 84
Panakukang 8233 1038
Rappocini 2108 39
Tamalate 2038 63
Tamalanrea 3159 96
Tallo 2626 168
Ujung Pandang 987 23
Ujung Tanah 992 1
Wajo 284 9
Jumlah 28750 2030
IV.II Peran Pemerintah Kota Makassar terhadap Perkelahian antar
Kelompok
104 Data merupakan hasil olahan data dinas sosial. Penulis hanya mengumpulkan data
yang berhubungan dengan penelitian ini.
105
Pemerintah kota Makassar dalam situs resminya menyatakan
bahwa unjuk rasa merupakan salah satu tantangan terbesar
pembangunan105. Wacana unjuk rasa memang selalu menarik perhatian
pemerintah kota. Dalam analisa penulis, wacana unjuk rasa lebih mudah
untuk menjadi bahan perhatian karena secara strategis selalu
bersinggungan dengan kebijakan pemerintah dan apabila bersinggungan
dengan kebijakan maka secara langsung akan bersinggungan dengan
kekuasaan. Hal yang berbeda ketika kegaduhan massa itu bersifat
perkelahian antara dua kelompok dan sama sekali tidak ditimbulkan dan
berdampak pada alasan politik kekuasaan.
Perkelahian antar kelompok tidak begitu mendapat perhitungan.
Ketika sebuah perkelahian hanya terjadi sekali tidak berdampak pada citra
buruk pemerintahan maka perilaku itu dipandang sebagai sesuatu yang
tidak berbahaya. Namun ketika perkelahian dalam sebuah wilayah terjadi
berulang kali dan berujung pada cap buruk pemerintahan yang berkuasa
pada wilayah tersebut barulah perkelahian mendapatkan perhatian.
Kembali diulangi, pemerintahan pada hakekatnya dibutuhkan untuk
menjaga harmonisasi dalam masyarakat serta lepas dari segala
persinggungan internal masyarakat. Perkelahian dalam faktor penyebab
yang telah disimpulkan oleh penulis bisa diakibatkan oleh beberapa
elemen di luar masyarakat itu sendiri. Adanya aktor luar bisa memicu
perkelahian itu terjadi. Bila dilihat dari pola kemiskinan yang mendera di
kota Makassar, peran pemerintah tentunya tidak lepas dari situ. 105 Lihat halaman utama situs resmi pemerintah kota Makassar (www.kotamakassar.go.id)
106
Mendistribusikan kekayaan secara adil adalah bagian tugas dari
pemerintah sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakatnya. Namun
yang tampak jelas pada beberapa kecamatan dengan rasio peningkatan
jumlah penduduk yang tinggi ternyata diikuti dengan jumlah penduduk
miskin ketika pembangunan infrastuktur modern begitu cepat memenuhi
wilayah tersebut.
Penduduk tentunya akan mendatangi tempat metropolis baru
tersebut, sebagai asumsi untuk mendapatkan penghasilan di tengah
kemegahan kota. Contoh saja Dg. Sule seorang peminta-minta di sekitar
taman areal Balaikota Makassar yang meninggalkan kegiatan bertaninya
di Takalar untuk mencari pekerjaan dengan kemampuan seadanya.
Akhirnya beliau hanya bisa menerima nasib sebagai peminta-minta
dengan tempat tinggal yang tidak tetap. Kondisi yang dialami oleh Dg.
Sule tentu saja diikuti oleh banyak dari mereka yang memiliki mimpi
serupa. Perlahan kejahatan pun terbentuk seiring dengan meningkatnya
daya pikat kota yang ternyata tidak bisa dinikmati oleh semua pihak.
Istilah to caddi106 bagi masyarakat miskin keluar sebagai bentuk
penerimaan nasib yang mereka alami. Mereka pun mengakui pengusaha,
pemilik modal, pejabat pemerintah sebagai orang besar yang sangat
sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan keluarga miskin yang tersebar
di 14 kecamatan.
106 Dalam bahasa Makassar berarti orang kecil, biasanya digunakan ketika berhubungan
dengan kekuasaan. Orang kecil yang dimaksud adalah mereka rakyat biasa yang
menjadi subordinat dari pemerintah.
107
Pemerintah semestinya memiliki program untuk menangani tindak
kejahatan yang terjadi termasuk perkelahian antar kelompok yang
merebak di masyarakat kota Makassar. Apa yang terjadi di kota Jakarta
dan kota besar lain yang memiliki tingkat ketimpangan ekonomi yang
tinggi setidaknya menjadi contoh bagi pemerintah kita untuk segera
mengambil tindakan penanggulangan107. Walaupun perkelahian antar
kelompok dianggap belum terlalu besar setidaknya ada upaya untuk
mencegah potensi-potensi yang bisa saja berbuah di kemudian hari
menjadi kegaduhan sosial dalam masyarakat.
Pada bagian ini penulis membagi pemerintah dalam dua bagian
sebagaimana apa yang tertera pada bab II bahwa batasan pemerintah
merunut pemerintahan dalam skala besar yakni Eksekutif dan Legislatif.
Penulis tidak memasukkan lembaga peradilan sebagai representasi
yudikasi di negeri ini mengingat perkelahian antar kelompok sangat sulit
untuk diadili karena banyaknya jumlah orang yang terlibat. Oleh karena itu
penulis menggantikan peran tersebut dengan memasukkan kepolisian
kota yakni POLRESTABES dalam upayanya menangani tidak kekerasan
massa namun tidak penjabaran mengenai perannya hanya dimasukkan
dalam pembahasan diantara dua bagian pemerintah dalam skala besar
tadi. Selain itu penulis juga menemukan adanya jalinan kerjasama antar
pemerintah kota dengan pihak kepolisian untuk bahu membahu
menangani kasus perkelahian antar kelompok ini.
IV.II.I Peran Ekeskutif di Kota Makassar107 Lebih jelas baca Tadie, Jerome. Wilayah kekerasan Jakarta. Masup. Jakarta.2009
108
Sesuai lokus penelitian terdapat dua lembaga dalam lingkup
pemerintahan kota Makassar yang berhubungan tentang perilaku sosial
yang dicap buruk oleh masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Dua
lembaga tersebut ialah kantor kesatuan bangsa (KESBANG) dan dinas
sosial. Berikut adalah uraian upaya yang dilakukan oleh dua lembaga
tersebut dalam menangani perkelahian antar kelompok.
1. Kantor Kesatuan Bangsa
Seperti apa yang telah dipaparkan pada BAB II108 tentang tugas
dan fungsi KESBANG, tentunya segala program menjaga ketertiban dan
keamanan dalam masyarakat disesuaikan dengan tugas dan fungsinya.
Menurut kepala kantor KESBANG Rompegading Patiroy, tugas kesbang
ialah menjaga keamanan dan ketertiban kota. Sedangkan pola tindakan
yang dilakukan lebih dalam dijelaskan oleh beliau bahwa kantor yang
dipimpinnya itu lebih bersifat konsep dan preventif selanjutnya dalam
penerapan di lapangan terkait bila peristiwa perkelahian berlangsung
maka itu merupakan tugas dari kepolisian.
“Kita melakukan pendekatan sosialisasi aturan seperti aturan tentang terorisme, agama dan aturan mengenai ketertiban dan keamanan”109.
Melengkapi pernyataan pimpinannya, salah satu staf administrasi di
kantor ini berujar bahwa KESBANG juga bertindak memfasilitasi
108 Lihat BAB III tentang KESBANG109 (wawancara dengan kepala kantor KESBANG, 20 mei 2011)
109
hubungan antar lembaga terkhusus untuk pencapaian ketahanan internal
dalam masyarakat. Selain itu menurutnya KESBANG merupakan
organisasi penegak kewaspadaan nasional, penegakan hak asasi
manusia (HAM) serta upaya ketahanan sosial ekonomi. Lebih dalam lagi
Muchlis S.Sos menyatakan bahwa KESBANG bertugas untuk
mengantisipasi dua bentuk bencana yakni bencana alam dan bencana
sosial.
Lembaga pemerintah di bawah naungan PEMKOT Makassar ini
lebih mengutamakan pola penyampaian konsep masyarakat damai
kepada berbagai elemen serta bersifat investigatif terhadap potensi konflik
yang akan terjadi. Selain itu, program juga dikhususkan pada beberapa
wilayah yang memang dekat dengan siklus perkelahian antar kelompok.
Namun selain dari program pelatihan dan sosialisasi, KESBANG
juga mengadakan kerjasama dengan beberapa pihak untuk mewaspadai
terjadinya tindak perkelahian sebelum konflik itu terjadi. Oleh karena itu
KESBANG bersama lembaga kepolisian (POLRESTABES), TNI (Kodam
VII Wirabuana) dan badan intelijen negara (BIN) bahu membahu
mengupayakan cara penanganan kasus perkelahian antar kelompok dan
bentuk kekerasan massa yang lain. Walaupun pihak KESBANG sama
sekali tidak memberi kategorisasi mengenai program yang dilaksanakan,
namun penulis mencoba memberi kategorisasi peran pemerintah terhadap
perkelahian antar kelompok dari segi waktu pelaksanaan yang diukur dari
110
kejadian sebuah kasus. Berikut kategorisasinya yang terbagi atas dua
yakni upaya preventif dan investigasi:
a. Upaya Preventif dan Pasca Kejadian
Penulis menyebutnya dengan istilah preventif karena program yang
akan dijabarkan berikut bersifat mendahului sebelum terjadinya sebuah
perkelahian. Selain itu, pada kategori program ini dimasukkan pula
beberapa program dari upaya preventif untuk menjaga perkelahian
tersebut untuk tidak terjadi lagi:
Sosialisasi regulasi
Kegiatan ini dilakukan ketika turunnya sebuah kebijakan dalam
bentuk regulasi hukum yang mengatur dan bersinggungan dengan
keamanan dan ketertiban masyarakat. Perkelahian antar kelompok jelas
terkait di dalamnya. Contoh salah satu sosialisasi perundang-undangan
yang diadakan oleh kantor KESBANG ialah sosialisasi UU tata cara
penyampaian pendapat di depan umum. Kencangnya upaya ini dilakukan
di kampus-kampus ternama di kota Makassar setelah mendapati tingginya
angka unjuk rasa dan perilaku anarkis yang sering terjadi ketika
berlangsungnya demonstrasi.
Dalam mengadakan program ini, pihak KESBANG tidak
mengadakan kerja sama dengan pihak manapun, pihak luar hanya
dibutuhkan sebagai pembicara dalam diskusi saat diadakannya sosialisasi
regulasi.
111
“Tidak melibatkan orang luar karena aturan, tidak ada pihak ketiga mengenai pelaksanaan keuangan ketika program dilaksanakan”110.
Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan upaya pemahaman
peraturan kepada masyarakat. Sementara bentuk kegiatan sosialisasi
regulasi ini menyerupai seminar dengan menghadirkan peserta sesuai
dengan keterkaitan jenis regulasi yang disosialisasikan. Beberapa organ
maupun yang bersifat personal pernah ikut dalam proses sosialisasi ini
diantaranya ormas keagamaan, lembaga mahasiswa, pejabat
pemerintahan hingga tingkatan terendah ataupun masyarakat yang
diundang untuk mengadiri acara tersebut.
Pembinaan Teknis Resolusi Konflik
Inilah satu-satunya kegiatan yang berbentuk seremonial yang
diadakan oleh kantor KESBANG khusus untuk menangani masalah
perkelahian antar kelompok. Kegiatan ini adalah kegiatan pertama selama
masa pemerintahan periode ke dua yang dijabat oleh walikota Ilham Arif
Sirajuddin. Kegiatan yang disingkat dengan BINTEK resolusi konflk ini
bertujuan agar kiranya perserta kegiatan dalam bentuk seminar sehari ini
pada garis besarnya mampu meredam konflik yang timbul di masyarakat.
Berikut uraian tujuan program ini:
Bagaimana peserta kegiatan ini memiliki kemampuan teknis
mengenai penyelesaian konflik
110 ibid
112
Bagaimana peserta mengetahui langkah-langkah apa yang akan
diambil ketika terjadi tawuran antar warga
Bagaimana cara untuk meredam ekskalasi konflik
Peserta diharapkan memiliki kemampuan untuk mendiagnosa
konflik
Bagaimana cara membangun kehidupan baru pasca konflik
Kegiatan ini melibatkan banyak pihak antara lain lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan tokoh masyarakat yang ditemui langsung di 14
kecamatan. Pemilihan tokoh masyarakat ini dilihat dari seberapa besar
pengaruh tokoh tersebut untuk memediasi ketika terdapat dua pihak yang
berkonflik. Jadi untuk beberapa kecamatan di kota Makassar ada
beberapa wilayah yang diwakili lebih dari 3 orang tergantung dari
intensitas konflik wilayah kecamatan yang bersangkutan.
Sedangkan pelibatan unsur lain di luar LSM dan tokoh masyarakat
sebagai pemateri pada kegiatan ini diantaranya komando distrik militer
(KODIM) Makassar, POLRESTABES, BIN, kantor KESBANG provinsi
sulawesi selatan serta beberapa akademisi dari berbagai kampus di
Makassar.
b. Upaya investigasi
Kategori kedua program yang dilaksanakan oleh KESBANG ini
merupakan program kerja sama yang melibatkan tiga institusi di luar
KESBANG itu sendiri. Tiga institusi tersebut adalah Kodam VII Wirabuana
Makassar, POLRESTABES Makassar dan Badan Intelijen Negara (BIN).
113
Bersama tiga institusi ini KESBANG mengadakan pola investigasi ketika
konflik telah terdapat di permukaan. Dengan kerja intelijen konflik yang
terlihat di lapangan itu sebisa mungkin dikendalikan sebelum meledak
pada perkelahian.
Dari keempat lembaga ini pun melalui KESBANG mampu
mengumpulkan data kekerasan yang terjadi di kota Makassar dilengkapi
dengan motif serta dalang perkelahian. Dalam proses pengerjaannya bagi
tiga institusi selain KESBANG yang lebih dulu menemukan potensi konflik
maka akan segera melaporkannya kepada PEMKOT dalam hal ini
KESBANG. Selanjutnya bila potensi kasus tersebut meledak maka
PEMKOT membawa laporan kepada pihak kepolisian untuk segera
mengadakan penangkapan atau pun pengamanan.
“Karena intelijen tidak bisa menangkap, maka itu dilaporkan ke pihak yang berwajib ,kepada pihak kepolisian”111.
Seperti yang diakui oleh KASI LINMAS KESBANG, program ini
baru terbilang efektif pada tahun 2010, di tahun sebelumnya belum ada
pengolahan data dari bahan intelijen yang sudah didapatkan. Barulah
pada tahun 2010 KESBANG memiliki data perkelahian antar kelompok
untuk kemudian dijadikan bahan acuan pembuatan program berikutnya.
111 ibid
114
2. Dinas Sosial
Setelah membaca buku mengenai yang berdasarkan
KEPMENSOS Nomor 25/huk/2003112, penulis menemukan pembahasan
mengenai pengembangan ketahanan sosial masyarakat serta bantuan
sosial korban bencana sosial. Untuk itu penulis kemudian ingin mencari
tahu apakah dinas sosial kota Makassar melaksanakan program tersebut
karena di dalamnya terkait dengan perkelahian antar kelompok. Setelah
menemui beberapa pegawai di dinas sosial, penulis mendapati bahwa
dinas sosial sama sekali tidak mengurusi apa yang dijabarkan pada buku
tersebut melainkan mengurusi mereka yang berumur di bawah 18 tahun
dan tergolong sebagai anak nakal dan anak terlantar.
Secara tidak langsung menangani persoalan perkelahian antar
kelompok namun DINSOS ternyata mengurusi pelaku tindak kriminal yang
juga merupakan pelaku tindak perkelahian antar kelompok di masyarakat.
Dinas sosial kemudian menggolongkan beberapa kategori anak yang
dianggap terlantar dan nakal. Setidaknya pada pembahasan ini kita dapat
mengetahui pelaku dari perkelahian antar kelompok di kota Makassar.
“Anak-anak SMP biasa, diatas 25 tahun itu jarang mi pelakunya, dan rata-rata itu tidak sekolah” Ujar SF warga Bara-baraya yang ditemui di kediamannya113.
112 Dalam buku ini terdapat panduan penanganan dinas sosial serta masalah yang perlu
ditangani.113 (wawancara, 11 Juni 2011)
115
Sebelum mengutarakan apa saja program yang diprakarsai oleh
DINSOS dalam pemberdayaan anak terlantar dan anak jalanan. Maka
sebelumnya kita lebih dahulu memahami anak mana saja yang
dikategorikan sebagai anak terlantar dan anak nakal. Anak terlantar
menurut A. Taty sebagai salah satu staf di DINSOS kota Makassar yang
ditemui di ruang kerjanya ialah anak dibawah umur 18 tahun yang tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang maupun pangan.
Sedangkan menurutnya pula anak nakal ialah mereka yang juga berumur
dibawah delapan belas tahun uang sering terlibat dalam tindak kriminal
atau berpotensi melakukan tindak kriminal.
Pada petunjuk teknis pelaksanaan masalah sosial anak nakal yang
menjadi bahan rujukan DINSOS kota Makassar dalam pembuatan
program pembinaan terhadap anak nakal, disitu dinyatakan bahwa anak
nakal ialah anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma
masyarakat, mengganggu ketertiban namun masih dibawah kategori yang
dapat dituntut secara hukum.
Dalam menangani biang masalah sosial ini DINSOS hanya memiliki
satu program yang dilaksanakan tiap tahunnya dan mereka sebut dengan
PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL KENAKALAN ANAK DAN
REMAJA. Rehabilitasi sosial sendiri dalam pengertiannya merupakan
proses pemulihan harga diri, kesadaran, serta tanggung jawab sosial
pelaku kenakalan sehingga terbebas dari perbuatan kenakalan secara
wajar. Sedangkan kenakalan remaja ialah perilaku remaja yang
116
menyimpang atau melanggar nilai-nilai atau norma-norma masyarakat.
DINSOS dengan kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan kondisi
psikologi dan kondisi sosial serta pulihnya fungsi kualitas sosial remaja
sehingga mereka dapat hidup wajar di masyarakat serta menjadi sumber
daya manusia yang berguna produktif dan berkualitas tinggi. Jadi pada
dasarnya kegiatan ini dibuat untuk mereka anak nakal dan remaja yang
dianggap berpotensi melakukan atau telah melakukan tindakan kriminal
termasuk salah satunya tindak perkelahian antar kelompok yag sering
mereka lakukan.
Orang tua serta lingkungan sosial mereka juga diikutkan dalam
program ini seperti lingkungan sebaya, lingkungan sekolah atau pekerjaan
dan keluarga serta tetangga. Untuk mereka anak nakal dan remaja yang
dilibatkan dalam proram ini lebih sering disebut dengan istilah korban.
Oleh karena itu bisa dianalisa bahwa ada yang menjadi penyebab
kerusakan nilai sosial dan mental mereka.
Keseluruhan rangkaian proses rehablitasi ini terdiri atas 6 tahapan
yang harus dilalui berikut tahapannya:
1. Tahap pendekatan awal
Ini merupakan awal dari program rehablitasi pada bagian ini akan
diawali dengan orinetasi dan konsultasi yang melibatkan PEMKOT
Makassar, DINSOS itu sendiri, dinas pendidikan, dinas kesehatan,
departemen agama, departemen kehakiman, departemen tenaga kerja,
perguruan tinggi di Makassar, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM),
117
tokoh masyarakat serta orang tua anak yang bersangkutan. Tahap ini
menjadi tahap proses pencarian dukungan dan bantuan dari PEMKOT
dan lembaga terkait. Setelah mendapatkan dukungan maka mulailah
dengan tahap mengidentifikasi calon korban yang akan direhabilitasi.
“Data diambil dari kepolisian, bila belum ada maka ada staf yang diutus, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) untuk mengambil data di kelurahan”114.
Data yang sudah didapatkan kemudian dianalisa dan
dikelompokkan, setelah itu barulah kunjungan tehadap rumah korban/klien
dilakukan selain itu ada pula observasi dilakukan terhadap lingkungan
tempat tingal korban. Menemui calon korban/klien tentunya ditemukan
beberapa kendala diantaranya keengganan calon klien untuk mengikti
program rehabilitasi. Maka biasanya akan dilakukan upaya motivasi dan
penyadaran bagi calon klien, misalnya dengan menemui secara langsung
atupun berbicara dengan orang tua mereka.
2. Tahap Penerimaan
Pada tahap ini klien yang sudah diidentifikasi maka akan melalui
proses registrasi dan pengungkapan masalah yang diderita. Diantara
informasi yang biasanya dicari oleh DINSOS antara lain mengenai tingkah
laku sehari-hari klien, pergaulan dengan rekan sebaya, keadaan keluarga
dengan keadaan lingkungan. Banyak cara yang digunakan untuk
mengetahui informasi-informasi tersebut dari para anak/remaja nakal yang
sudah didaftarkan masuk dalam program rehabilitasi, dua diantaranya
114 (wawancara Andi Taty staf DINSOS kota Makassar, 6 juni 2011)
118
seperti dengan wawancara atau mengunjungi langsung kediaman
anak/remaja tersebut.
3. Tahap Assesment
Barulah setelah mendapatkan informasi maka anak/remaja tersebut
akan diwawancarai untuk mengetahui latar belakang masalah sosial yang
dialami. Selain itu pula akan digali informasi mengenai bakat, potensi-
potensi yang dimiliki, kemampuan dan renacana masa depan mereka.
DINSOS menyediakan panti khusus untuk prgram rehabilitasi ini untuk
menampung para anak/remaja nakal. Disanalah mereka selanjutnya akan
mendapatkan rehabilitasi sosial.
4. Tahap Pembinaan dan bimbingan sosial
Pembinaan yang dimaksud lebih mengarah pada pembinaan fisik.
Anak/remaja tersebut akan dibina untuk kembali pulih kesehatan dan
kesegaran jasmaninya. Biasanya mereka yang mendapatkan pembinaan
seperti ini adalah anak/remaja yang pernah terlibat dalam praktek minum-
minuman keras atau mengkonsumsi obat-obat terlarang. Selain
pembinaan fisik para peserta yang telah ditampung akan mendapatkan
bimbingan mental, psikologis, agama dan sosial. DINSOS mendatangkan
langsung sarjana konselor maupun psikolog dari Universitas Negeri
Makassar (UNM) yang memang memiliki fakultas psikologi dan konseling.
Untuk pembinaan keagamaan DINSOS yang sudah bekerja sama dengan
Departemen agama akan mendatangkan tokoh-tokoh agama dari anggota
masyarakat atau organisasi sosial keagamaan.
119
Ada pula pembelajaran yang diberikan sehingga para peserta mau
bertingkah lau yang baik dan kembali memainkan peran sosialnya secara
wajar serta kembali berbaur dengan anggota keluarga yang lain dan
masyarakatnya.
Mereka pun akan diberikan pelatihan keterampilan seperti
keterampilan usaha dan bagi mereka yang berumur sekolah akan
disekolahkan dengan harapan masa depan mereka akan kembali cerah.
5. Tahap resosialisasi/Integrasi
Pada tahap kelima ini DINSOS dengan program rehabilitasi ini
akan meminta kesiapan keluarga, sekolah dan masyarakat untuk
menerimanya kembali para anak/remaja yang sudah melalui proses
pembinaan. Harapannya semua lembaga sosial tersebut akan membantu
proses integrasi anak/remaja sehingga timbul kepercayaan dirinya serta
tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat, kiranya akan menerima
mereka dengan wajar sebagai manusia yang tidak lagi bermasalah.
6. Tahap rujukan dan pembinaan lanjut
Ini merupakan tahap terakhir pada tahap ini diharapkan para
peserta rehabilitasi telah mantap dari segi kesembuhan sehingga tidak
akan kembali lagi menjadi nakal. Pada tahap ini para peserta yang telah
dipulangkan akan dikunjungi secara berkala untuk melihat apakah klien
telah mampu mandiri dan telah mampu melaksanakan fungsi sosialnya
dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
120
Berikut diatas tahapan kegiatan dalam progrm rehabilitasi oleh
DINSOS, kegiatan yang biasa dilaksanakan dalam jangka waktu 6-12
bulan ini mendapat dana dari PEMKOT Makassar melalui alokasi APBD.
Tiap tahunnya DINSOS akan memasukkan nama, alamat serta masalah
yang bersangkutan untuk direhabilitasi. Selanjutnya pendanaan akan
keluar sesuai dengan pendanaan yang diminta.
“Tiap tahun ada pembahasan konsep program untuk mengambil dana APBD dengan melengkapi by the name, the address dan by problem” Ujar Andi Taty115.
Untuk melengkapi penjabaran program oleh DINSOS berikut penulis akan
mengikutkan tabel jumlah anak nakal dan anak terlantar di kota
Makassar116.
Tabel IV.III115 ibid116 Tabel di halaman berikut
121
Jumlah anak terlantar dan anak nakal di kota Makassar 2010117
No. Kecamatan Anak Nakal Anak Terlantar
1. Bontoala Belum diketahui 38
2. Biringkanaya 1 359
3. Mamajang 5 204
4. Makassar 151 167
5. Mariso Belum diketahui 27
6. Manggala 7 1994
7. Panakukang 99 1024
8. Rappocini 4 724
9. Tamalate Belum diketahui 673
10. Tamalanrea Belum diketahui 2149
11. Tallo 10 2694
12. Ujung Pandang Belum diketahui 206
13. Ujung Tanah Belum diketahui 1239
14. Wajo Belum diketahui 593
Jumlah 277 12091
IV.II.II Peran Legislatif di Kota Makassar
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar
Untuk mengetahui apakah pemerintah kota Makassar membuat
peraturan daerah mengenai perkelahian antar kelompok atau setidaknya
PERDA yang mengatur mengenai keamanan dan ketertiban penduduk
kota. Penulis kemudian mendatangi komisi A bidang pemerintahan DPRD
kota Makassar untuk mencari tahu peran lembaga legislasi ini untuk
menangani perkelahian antar kelompok.
Dari pernyataan salah satu anggota komisi A penulis menemukan
bahwa belum ada sama sekali peraturan daerah mengenai perkelahian
117 Data merupakan hasil olahan data dinas sosial. Penulis hanya mengumpulkan data
yang berhubungan dengan penelitian ini.
122
antar kelompok atau setidaknya membicarakan mengenai keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana bentuk peran DPRD
dalam penanggulangan kasus perkelahian antar kelompok, penulis
mempertanyakan bentuk peran yang dimainkan oleh DPRD. Belum
banyak jumlah reses yang dilakukan di beberapa kecamatan yang
dianggap sebagai kecamatan dengan angka tawuran yang tinggi. Terbukti
selama masa jabatan DPRD 2009-2014 hanya 2 kali reses dilakukan ke
wilayah konflik.
Mengenai kemiskinan yang juga diakui oleh Mustagfyr Syabri
sebagai pemicu terjadinya tindak perkelahian di masyarakat sudah ada
upaya untuk menanganinya. Bentuk program yang dirancang oleh DPRD
yaitu pembuatan bengekel ekonomi pemuda di tiap kecamatan di kota ini.
Bengkel ekonomi yang dimaksud ialah tempat dimana para pemuda akan
dibimbing untuk bagaimana berwirausaha demi mendapati penghidupan
yang layak.
Penulis pun mempertanyakan mengenai kerjasama tiga institusi
negara untuk menangani masalah kekerasan kolektif. Menurutnya, telah
ada pembicaraan yang melibatkan pemerintah kota, kepolisian dan DPRD
itu sendiri untuk membicarakan mengenai prilaku perkelahian antar
kelompok.
123
IV.III Analisis Peran Pemerintah Kota Makassar terhadap Perkelahian
antar Kelompok
Setiap tindakan pasti ada penyebabnya, begitupun yang kita sebut
dengan kejahatan. Semua tindak kejahatan tidak pernah bernah diri
sendiri melainkan adanya hubungan sebab pada posisi yang pertama dan
akibat pada posisi yang kedua. Posisi kejahatan selalu berada pada posisi
yang kedua, posisi yang berarti terdapat hal yang menyebabkannya.
Seorang pencuri tidak akan serta merta melakukan tindak pencurian
kecuali karena kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi dengan jalan yang kita
sebut wajar. Tindakan mencuri sebagai tindakan yang tidak wajar
merupakan pola yang terbentuk dengan sendirinya di luar jalan yang wajar
tadi. Apa yang kita sebut dengan jalan wajar semisal bekerja pada sebuah
instansi atau perusahaan, bila mujur mungkin dengan berkah modal yang
dimiliki mungkin kita akan membuka usaha demi memperpanjang hidup
dengan kebutuhan yang menjepit.
Apalah daya ternyata semua orang di muka bumi terkhusus kota
Makassar tercinta ini tidak memiliki kemampuan yang sama untuk
menempuh jalan yang wajar. Kecamatan Panakukang dan yang nampak
di wilayah kecamatan Makassar adalah contoh riil banyaknya diantara
mereka yang terpaksa menempuh jalan yang tidak wajar. Angka kriminal
pada dua kecamatan melesat jauh seiring tingginya kepadatan penduduk
pada dua wilayah tersebut. Pemukiman yang kumuh serta ketimpangan
124
yang dimeriahkan dengan bangunan megah perumahan elit dan pusat
perbelanjaan modern ditengah pemukiman lusuh yang berjejer tidak rapi.
Sosialisasi dalam upaya pemenuhan kebutuhan dengan
kesempatan yang sempit itu terbangun diantara mereka. Bagi yang
mendapati sosialisasi yang baik maka akan mendapatkan kelompok dan
mereka yang tidak mampu masuk dalam kelompok tersebut akan
membuat kelompok lain demi pencapaian tujuan. Ada pula dalam pola
pembentukan kelompok tidak semata-mata karena adanya kebutuhan
hidup secara personal yang harus diupayakan secara bersama-sama.
Namun kesamaan derajat dan kemampuan juga bisa memicu
terbentuknya sebuah kelompok dalam masyarakat miskin. Rumah yang
berdekatan dalam pemukiman kumuh membangun perasaan berbaur satu
sama lain bagi masyarakat yang bermukim disana.
Kelompok yang lain pun demikian. Terciptanya beragam kelompok
tidak bisa dilepaskan dari pembentuk ikatan kelompok yang juga berbeda.
Ada yang berdasarkan batas teritorial, ada yang berdasarkan kesamaan
suku, kebiasaan hidup hingga kegemaran yang dimiliki oleh tiap individu.
Persinggungan antar kelompok terjadi dengan tingginya ekslusifisme
kelompok yang terbangun, lahiriah tiap individu dalam kelompok tentunya
akan menjunjung tinggi kelompoknya dibanding kelompok lain. Itu terjadi
karena hanya kelompoklah yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk
menunjukkan identitas pribadi yang hanya bisa dilakukan oleh mereka
125
yang mampu dalam segi ekonomi, memiliki kekuasaan dan instrumen lain
yang bisa menonjolkan diri.
Perkelahian antar kelompok dalam narasi diatas mengenai
terbentuknya memiliki beragam akar persoalan. Ada yang disebabkan
karena persoalan ketersinggungan, minuman keras, sengketa, hingga
dendam yang memborok dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun
dalam penelitian ini penulis menemukan fakta dari dua kecamatan dengan
tingkat perkelahian antar kelompok tertinggi bahwa kemiskinan
merupakan embrio tindakan kriminal termasuk perkelahian antar
kelompok. Berikut ini pernyataan beberapa informan yang membenarkan
kesimpulan tersebut.
“Kesiapan materi juga berpengaruh. Kriminalisasi terjadi karena tuntutan ekonomi yang tidak bisa dipenuhi” (Mustagfyr Syabri, anggota komisi A DPRD kota Makassar)
“Ketidakadilan dan kemiskinan menjadi potensi besar konflik”(Muchlis , S.Sos, KASI LINMAS KESBANG)
“Kemiskinan menjadi faktor penting hancurnya remaja” (Andi Taty, Staf DINSOS Makassar).
Dari sini penulis kemudian menganalisis mengenai peran apa yang
seharusnya diperankan oleh PEMKOT Makassar dengan berbagai
instansi yang dimiliki. KESBANG dan Dinas Sosial memang dibentuk
untuk menghilangkan semua persoalan sosial namun pada dasarnya
peneliti menemukan bahwa banyak dari beberapa program yang belum
126
maksimal dan serius untuk benar-benar menyelesaikan persoalan
perkelahian antar kelompok.
Untuk kegiatan seminar dan sosialisasi regulasi yang diadakan oleh
KESBANG misalnya cenderung hanya akan dapat dicerna oleh kalangan
berpendidikan atau setidaknya pernah mengenyam sekolah formal.
Namun bagi masyarkat ekonomi tingkat bawah tentunya kegiatan seperti
itu hanyalah kegiatan buang waktu dan akan lebih memilih untuk mencari
cara bagaimana menghidupi keluarga untuk bertahan hidup pada hari itu.
Regulasi bagi mereka adalah hal sia-sia ketimbang isi perut dan anaknya
yang menangis meminta susu.
Seharusnyalah pemerintah yang mengaplikasikan itu dalam
tindakan nyata mengurangi tindak kejahatan kelompok bukan dengan
memberikan sosialisasi regulasi. Kebutuhan masyarakat miskin hanyalah
penghidupan yang layak dan hanya bisa dipenuhi oleh pemerintah
sebagai pengatur agar kiranya penghidupan yang layak itu bisa terbagi
secara merata.
Mengenai pembinaan teknis resolusi konflik oleh KESBANG, dari
paparan beberapa informan kondisi forum sehari tersebut hanya bersifat
monolog alias satu arah para tokoh masyarakat yang dilibatkan sangat
sedikit diberi peluang untuk mengeluarkan pendapat mengenai
penyelesaian perkelahian antar kelompok. Kegiatan seperti itu sangatlah
berguna, namun akan lebih baik bila kesempatan bicara lebih banyak
127
dimiliki oleh mereka yang biasa terlibat langsung dalam penyelesaian
perkelahian antar kelompok.
Program pemerintah kota memang cenderung menganggap bahwa
masyarakat kecil tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
masalah sendiri, padahal faktanya para tokoh masyarakatlah yang lebih
sering turun langsung dalam proses resolusi konflik ketika terjadi di areal
pemukimannya. Hingga akhirnya kesempatan bicara pun akan dikurangi
seiring pandangan yang terbangun bahwa pemerintahlah yang terbaik
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bukti bahwa minimnya perhatian pemerintah terhadap wilayah
konflik ini ditunjukkan dengan jumlah kunjungan yang sangat minim.
Penulis mempertanyakan kepada beberapa warga di kecamatan
Panakukang dan kecamatan Makassar bahwa pemerintah kota sama
sekali tidak pernah datang ke tempatnya kecuali bila perhelatan politik
berlangsung seperti pemilukada atau pemilihan legislatif. Itupun diakui
oleh salah satu anggota komisi A yang hanya memiliki dua kali reses di
dua kecamatan tersebut.
Setelah menemui salah satu tokoh masyarakat di keluarahan Bara-
baraya kecamatan Makassar yang biasa turun langsung untuk
mendamaikan perkelahian yang terjadi sekitar pemukimannya. Peneliti
mendapati peran besar beliau yang biasa dipanggil pak Ode ini untuk
mendamaikan konflik yang biasa terjadi. Salah satu yang menurut peneliti
kurang diperhatikan oleh PEMKOT adalah perhatian kepada mereka para
128
tokoh masyarakat atau mereka para pejabat pemerintahan tingkatan
rukun kampung (RK), rukun warga (RW) ataupun rukun tetangga (RT).
Adanya sikap yang cenderung lamban dalam mengambil tindakan
juga menjadi salah satu kekurangan pemerintah. Tindakan pembiaran
terhadap konflik kelompok dalam analisa penulis dianggap sebagai bentuk
tindakan pula bagi pemerintah. Padahal bagi masyarakat dalam sebuah
pemerintahan yang diakui tentunya akan mengharapkan tindakan nyata
dari mereka yang telah mendapatkan mandat mengemban amanah rakyat
termasuk menjamin keamanan dan kondusifitas sebuah pemukiman.
Sikap lamban tersebut akhirnya berbuah pada pengambilan keputusan
sendiri oleh masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya.
Salah satu misalnya ketika terjadi sebuah perkelahian antar
kelompok yang didasarkan pada penjunjungan martabat atau siri’ dalam
masyarakat Makassar, bila pemerintah kota tidak segera melakukan
tindakan dalam pendamaian kedua belah pihak dan bertindak
memperbaiki konsep siri’ yang mulai bergeser dari landasan budayanya.
Maka jangan heran masyarakat akan bertindak sendiri sesuai pahaman
budaya mereka yang masih sangat sempit.
Terkait mengenai siri’ yang oleh banyak pihak mengganggap telah
melenceng dari dasarnya. Kini dalam beberapa hal pada perwujudannya
lebih sering menjurus pada arah yang negatif. Ini bisa terjadi bila
penafsiran terhadap sebuah konsep kebudayaan telah dipengaruhi oleh
lingkungan yang tidak dapat melestarikan nilai asli sebuah kebudayaan.
129
Menurut penulis, siri’ bergeser di masyarakat Makassar karena
adanya ruang masyarakat yang tidak lagi terbangun dari nilai budaya itu
sendiri. Seperti yang diketahui perilaku masyarakat urban sebagai kota
yang mulai merias diri menuju kota dunia tentunya akan terbawa arus
modernisasi yang sangat jauh dari perilaku kebudayaan asli Makassar.
Bertolak dari hakekat siri’, maka siri’ seyogyanya merupakan
panduan jitu bila itu berhasil dikembangkan bagi masyarakat yang
terlembagakan dengan tatanan nilai-nilai budaya ini. Siri’ yang pada
pokoknya bersumber dari nilai ikatan masyarakat Makassar bisa dijadikan
sebagai bahan ajaran untuk mentaati hukum, peraturan, perjanjian dan
bentuk ikatan lain demi penciptaan kedamaian di dalamnya tanpa
persinggungan antara satu sama lain.
Siri’ pun bisa dijadikan sebagai alat untuk mendorong masyarakat
meningkatkan potensi kelompok dengan kemampuan yang dimiliki. Bila
siri’ berhasil untuk ”dikuasai” maka motivasi akan timbul sendiri dalam
perseteruan antar kelompok tapi didasarkan pada prestasi dari tiap-tiap
kelompok tersebut. Hidup berkelompok dengan pandangan siri’
merupakan peruwujudan sebuah lembaga positif dalam masyarakat
Sulawesi selatan yang didasarkan pada kemampuan dan dengan
sendirinya martabat akan terangkat.
Bagi masyarakat Makassar rasa solidaritas sangat mungkin
terbangun dengan peta siri’ yang dimiliki. Bila solidaritas tersebut
130
terbangun maka kesatuan Makassar akan terwujud sehingga tidak ada
lagi percekcokan yang timbul di kota ini.
Siri’ bagi masyarakat di kota ini telah dianggap sebagai salah satu nilai
yang patut untuk dipegang erat. Namun itu ternyata tidak menjelaskan
mengenai kondisi keseharian masyarakat di kota ini yang karena hanya
persoalan sepele bisa memicu sebuah perkelahian besar.
Dibalik semua potensi dari siri’ maka ada pula potensi yang miris
yang masih mungkin terjadi lagi. Siri’ yang kini telah banyak
diselewengkan dalm pribadi hingga konstruksi tatanan sosial yang
timpang ini membuat harkat siri’ meninggalkan aspek kebudayaan nilainya
yang luhur.
Kembali pada beberapa program yang dilayangkan oleh
pemerintah kepada mereka para pelaku, atau dalam hal ini banyak
diperankan oleh Dinas Sosial. Banyak diantara pelakau yang sama sekali
tidak mampu untuk terjauhkan dari sikap lamanya. Keonaran dalam
masyarakat kembali terjadi. Itupun diakui oleh para beberapa petinggi
DINSOS yang menganggap program rehabilitasi anak/remaja nakal tidak
seperti dengan apa yang dilakukan dinas lain yang bekerja pada
pembangunan fisik. Untuk masalah sosial kadang ada diantara mereka
yang justru kembali pada pola hidup yang dianggap tidak wajar oleh
pemerintah ini.
Pemerintah kemudian terjebak pada program seremonial seperti
seminar atau bentuk acara pelatihan lainnnya. Padahal perkelahian antar
131
kelompok ternyata bermula pada pengaruh lingkungan yang bersifat
sosiologis. Psikologi pelaku tindak perkelahian dibangun dari lingkungan
tersebut. Lalu pemerintah, setidaknya membuat program yang bisa
meminimalisir tingkat depresi masyarakat terhadap lingkungannya.
Mencoba mengukur tingkat keberhasilan pemerintah kota dalam
menangani kasus perkelahian antar kelompok dengan melihat
membandingkan rasio tindak kriminal kolektif pada tahun 2009 dan 2010.
Data ini dilihat dari jumlah pelaporan dan jumlah kasus yang diselesaikan
oleh wilayah yang telah dibagi kepolisian.
Walaupun data ini tidak mencantumkan secara spesifik mengenai
perkelahian antar kelompok dikarenakan belum adanya data perkelahian
pada tahun 2009. Selain itu Unit Reskrim POLRESTABES kota Makassar
juga tidak memiliki data spesifik perkelahian antar kelompok melainkan
beberapa tindak kriminal yang melibatkan massa yang berujung pada
perkelahian massa. Berikut datanya118:
118 Tabel di halaman berikut
132
Tabel V.I
Data Kasus Kekerasan Kolektif di Kota Makassar 2009
No. Wilayah Jenis tindakkekerasan kolektif
Jumlah Laporan
kasus selesai
Kasus tidak
selesai1. Makassar Barat Pembakaran 1 1 -
Pengrusakan 15 13 2
Pengeroyokan 37 35 2
2. Makassar Timur Unjuk Rasa 3 3 -
Pengrusakan 66 43 23
Pengeroyokan 118 96 22
3. Makassar kota besar
Unjuk Rasa 1 1 -
Pengrusakan 17 10 7
Pengeroyokan 3 2 1
4. wilayah pelabuhan Pengrusakan 2 - 2
Pengeroyokan 21 12 9
JUMLAH 284 216 68
Tabel V.II
Data Kekerasan Kolektif di Kota Makassar Tahun 2010
133
No. Wilayah Jenis tindakkekerasan kolektif
Jumlah Laporan
kasus selesai
Kasus tidak
selesai1. Makassar Barat Pembakaran 1 1 -
Pengrusakan 5 4 1
Pengeroyokan 13 12 1
2. Makassar Timur Pengrusakan 30 30 -
Pengeroyokan 72 54 18
3. Makassar kota besar
Pembakaran 1 1 -
Pengrusakan 22 4 18
Pengeroyokan 20 3 17
JUMLAH 164 109 55
Semua jenis tindak kriminal yang tercantum diatas ada diantaranya
yang berujung pada perkelahian antar kelompok, ataupun diawali dengan
perkelahian antar kelompok pula.
Bila dilihat dari jumlah tindak kekerasan kolektif dan
membandingkan dari dua periode data diatas, maka bisa dikatakan bahwa
tindak kekerasan kolektif itu menurun pada tahun 2010. Jumlah tindak
kriminal kolektif turun hingga hampir mencapai angka 45% pada tahun
2010 dari jumlah kasus pada tahun sebelumnya. Mungkin kita akan
berfikir bahwa beberapa lembaga negara terkait setidaknya telah berhasil
menurunkan angka kekerasan tersebut.
Namun angka perkelahian antar kelompok yang mencapai 25
kasus masih merupakan angka yang besar dengan segala potensi kota
yang masih bisa memicu angka perkelahian yang begitu besar.
Pemerintah setidaknya dengan program yang dimiliki perlu
134
memaksimalkan diri dengan mengupayakan program yang lebih akurat.
Demi pencapaian kedamaian di kota Makassar.
Beberapa kecamatan yang tergabung dalam wilyah tugas
kepolisian Makassar timur seperti kecamatan Panakukang menyimpan
banyak potensi menuju tindak perkelahian yang sangat tinggi. Yang harus
dipahami bahwa data kepolisian tersebut merupakan pelaporan. Jadi
kasus perkelahian dan tindak kekerasan lainnya yang diluar pelaporan
tidak tercatat dan pastinya lebih besar jumlahnya bila ditambahkan pada
tabel tersebut.
Mengenai program yang sudah dirancang oleh pemerintah.
Program-program tersebut merupakan rancangan program yang sudah
dilakukan di tiap tahunnya. Kreativitas pemerintah dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik yang tidak lagi berbasis pelaku melainkan
pengentasan konflik yang berbasis penciptaan lingkungan yang jauh dari
potensi konflik.
Dengan memperhatikan kontur wilayah konflik di kota Makassar
maka pemerintah menurut penulis bisa memulai programnya dari faktor-
faktor pemicu konflik dari kondisi di wilayah tersebut. Selain itu, dengan
melihat faktor-faktor tersebut pemerintah juga bisa mencegah terjadinya
konflik tersebut menyebar dan menjamur di wilayah lain.
135
BAB V
PENUTUP
V.I KESIMPULAN
Ketakutan dari konlik yang timbul di masyarakat adalah ketika
konflik tersebut berjalan serupa spiral konflik yang tak berhenti. Pertikaian
136
antar kelompok yang dikatikan dengan suku, agama, ras, dan antar
golongan. Merupakan konflik yang sangat gampang untuk terulang di
tempat yang sama. Pada uraian BAB sebelumnya banyak faktor yang
diutarakan yang kemudian menjadi faktor simultansi perkelahian itu
sendiri. Lau apa dampak ketika perkelahian itu kemudian terjadi berulang?
Sesungguhnya, di balik berulangnya tindak kekerasan perkelahian
massa tersimpan persoalan yang sangat pelik. Itu menunjukkan bahwa
sebuah wilayah telah kehilangan modal sosial, nilai kemasyarakatan yang
dianut, musyawarah dan toleransi antar sesama yang diakui sebagai
perekat nilai kebangsaan kita.
Pemerintah kota yang bertugas melindungi dan mengayomi warga
ternyata belum dapat menemukan solusi yang pas dalam menangani
perkelahian antar kelompok. Banyak fakta yang memperlihatkan mereka
yang kemudian direhabilitasi justru keluar kembali sebagai penyakit di
masyarakatnya. Solusi kemudian tidak menyentuh lingkungan pelaku tapi
masih bersifat personall dan cenderung lebih sulit untuk dikontrol
pelaksanaanya.
Makassar menjadi salah satu ikon kekerasan di kota ini dan
pemerintah setidaknya tidak lagi menerapkan cara penanggulangan yang
bersifat personal. Namun melihat konflik antar kelompok sebagai buah
sosial yang menyimpang. Pemerintah kota Makassar yang telah
mengupayakan beberapa cara, baru mulai terlihat upayanya di tahun 2010
137
yang fokus pada perkelahian antar kelompok. Beberapa data sudah mulai
dimunculkan walaupun masih sangat lemah dalam prose pengolahan.
Beberapa tempat yang menjadi langganan konflik sama sekali tidak
mendapatkan perhatian lebih untuk dilihat faktor penyebab atau
lingkungan yang membangun konflik di tempat tersebut. Kecamatan
Makassar dan Kecamatan Panakukang hampir dalam setahun tidak lebih
dari tiga kunjungan oleh instansi pemerintah menyambangi dua
kecamatan ini.
Selain itu koordinasi antara instansi di tingkatan kota yang
mengurusi perkelahian antar kelompok masih sangat renggang.
Kepolisian masih menjadi sentrum penyelesaian persoalan yang justru
masih bersifat personal seperti yang dikritik oleh penulis. Solusi yang
bersifat sosiologis yang dijewantahkan dalam bentuk kebijakan
pemberdayaan masyarakat kota seharusnya telah dipertimbangkan sebaik
mungkin.
Diantara kelebihan dari peran pemerintah dalam menangani
persoalan perkelahian antar kelompok dari segi basis data yang mulai
terlihat maju. Dalam analisa penulis pada bab sebelumnya ditemukan
beberapa program yang tidak maksimal karena hanya bersifat seremonial
dan bersifat personal. Dari segi program seperti yang disebut diatas juga
tidak lepas dari koordinasi yang sangat minim dari beberapa lembaga
yang mengurusi perkelahian antar kelompok ini.
138
Walaupun sebenarnya juga pemerintah kota terlihat menunggu
persoalan membesar untuk kemudian ditangani dengan cara yang pasti
bersifat represif karena desakan kejadian.
V.II SARAN
Terkait mengenai resolusi konflik dari kejadian yang sedang
berlangsung maka penulis mengikutkan beberapa solusi dari penelusuran
pustaka dan beberapa pengalaman resolusi konflik di beberapa tempat di
Indonesia yang pertama itu:
1. Konsiliasi
Resolusi ini terwujud dengan pelibatan lembaga-lembaga tertentu
yang memungkinkan munculnya urung rembuk dalam pihak yang bertikai.
Dimungkinkan dari sini akan terdapat pengambilan keputusan. Pemerintah
kota atau setidaknya bagian terkecil hingga tingkatan tokoh masyarakat
merupakan lembaga yang paling cocok untuk memainkan peran ini.
2. Mediasi
Pihak ketiga sebagai bagian yang melihat konflik dengan kaca
mata berimbang sangat berguna untuk memunculkan win-win solution.
Bentuk ini juga sebaiknya dimainkan oleh pemerintah kota tanpa harus
memperlambat langkah dengan memainkan struktur pemerintahan
terdekat dari wilayah konflik
3. Perwasitan
139
Biasanya dilewati dengan jalur litigasi, tapi tidak menutup
kemungkinan dengan melibatkan pihak yang sama sekali tidak memiliki
kapasitas pelaksana hukum formal. Pada solusi ini kedua belah pihak
yang bertentangan bersepakat untukmenerima hadirnya pihak ketiga yang
akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan
konflik yang diantara mereka.
Walaupun konflik telah berhasil diselesaikan ketika sebuah
kejadian telah berlangsung, namun dalam analisa penulis konflik
bermunculan dengan dipenuhinya empat faktor yang disebutkan pada
BAB sebelumnya. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut kiranya diretas
dengan solusi tanpa harus menyentuh langsung konflik yang sedang
terjadi karena secara tidak langsung itu telah menyentuk persoalan
mendasar dari konflik.
Konflik bisa diretas dengan menangani persoalan kemiskinan
terlebih dahulu. Institusi seperti KESBANG dan Dinas Sosial tidak perlu
menangani konflik secara langsung melainkan melakukan kerja sama
dengan instansi lain untuk membuka jeratan kemiskinan dalam
masyarakat. Berikut beberapa kekurangan menurut penulis yang dimiliki
oleh para pengambil kebijakan hari ini dan dari situ dijadikan acuan untuk
memangkas konflik dari akarnya:
1. Minimnya basis data pemerintah
Belum ada penelitian mendalam mengenai faktor-faktor terjadinya
konflik, setidaknya data pemerintah tidak lagi hanya berisi jumlah
140
perkelahian. Melainkan juga memiliki data mengenai daftar tokoh
masyarakat yang biasa menangani konflik.
2. Minimnya tindakan preventif
Pemerintah cenderung menunggu hingga masalah konflik meletus
ditengah-tengah masyarakat. Untuk itu tindakan preventif sangat
penting untuk mencegah kekerasan itu terjadi
3. Membuat pahaman yang membangun kebersamaaan tanpa sekat
kelompok
Yang perlu dipahami bahwa budaya adalah pertahanan terakhir
masyarakat kita terhadap serangan modernisasi. Budaya siri’ perlu
direvitalisasi untuk memaknainya kembali secara jernih. Pendidikan
muatan lokal di sekolah-sekolah dan kampanye budaya sangat
penting untuk membangun ikatan kekerabatan kita.
4. Meminimalisir angka kemiskinan
Inilah faktor penting yang perlu diretas untuk mencegah perkelahian
antar kelompok. Memperbaiki tata kota dengan mengatur pemukiman
penduduk yang semrawut. Tentunya kemiskinan ataupun persoalan
sosial yang lain tidak hanya bisa selesai bila melibatkan 1-2 instansi
pemerintahan dalam arti luas termasuk tokoh masyarakat juga perlu
dilibatkan. Termasuk dengan dinas tata kota misalnya yang kemudian
diharapkan mampu menciptakan suasana kota yang kondusif.
5. Membuat lapangan pekerjaan
Tindakan kriminal terjadi karena tertutupnya akses terhadap mata
pencaharian untuk bertahan hidup. Kiranya PEMKOT memperhatikan
141
hal tersebut demi penciptaan lapangan kerja yang bisa disentuh oleh
berbagai kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
BukuAlthusser,Louis. Tentang Ideologi (Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies).Terjemahan Essay on Ideology 1984.
Jalasutra.Yogyakarta
142
Dom Helder. Spiral Kekerasan.Resist Book. Yogyakarta.2005
Froom, Akar Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008
Jacques, Jean Rousseau, Kontrak Sosial, Terjemahan Sumarjo, Erlangga,
Jakarta. 1986
-------------. Kamus Bahasa Indonesia, DEPDIKBUD, 1996
Kartini,Kartono. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press.
Jakarta.2010
Kencana,Inu. Ilmu Politik.Penerbit Rineka Cipta.Jakarta. 1997
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, Rieneka Cipta, Jakarta, 2003
Lawang, Robert M Z. Pengantar Sosiologi, PT. Karunika Universitas
terbuka, Jakarta, 1985
Lexy, J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1991
---------------. Makassar dalam Angka 2010
Ndraha,Talidziduhu. Kybernology 1 dan 2 (ilmu pemerintahan baru).
Penerbit Rineka Cipta. 2000
---------------. Petunjuk Teknis Penanganan Masalah Sosial Anak Nakal,
DEPSOS RI, 1997
Rasyid, Ryas. Makna Pemerintahan ditinjau dari Segi Etika dan
Kepemimpinan, PT. Yarsif Watampone
Ritzer dan Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta. 2010
Sabari, Yunus. Manajemen Kota. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.2008
Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1982
143
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007
Suharto, Edy. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Refika
Aditama. Bandung 2009.
Sukriansyah S.Latif dan Tomi Lebang, Amuk Makassar, Institute studi
arus informasi, Makassar, 1998
Sunardi, Keselamatan kapitalisme dan kekerasan, LKIS, Yogyakarta,
1996
Suryaningrat ,Bayu. Mengenal Ilmu Pemerintahan. PT.rineka
Cipta.Jakarta.1992
Tadie, Jerome. Wilayah kekerasan Jakarta. Masup. Jakarta.2009
Wahid, Sugira. Manusia Makassar
Artikel/Jurnal
Budi Hardiman, Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008
--------------. Warta Titian Damai, Februari 2009
Situs
Situs resmi pemerintah kota Makassar
Situs resmi POLRI
Peraturan/Perundang-undangan
KEPMENSOS Nomor 25/huk/2003
Perda No. 3 tahun 2009 kota Makassar tentang kantor KESBANG
Perda kota Makassar nomor 22 tahun 2005 tentang pembentukan
susunan organisasi dan tata kerja dinas sosial kota Makassar.
144
Undang-undang 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
LAMPIRAN
Lampiran I
145
Peta Wilayah Kota Makassar
Lampiran II
146
Panduan Wawancara
Informan: Masyarakat I: penduduk sekitar1. Apakah sampai sekarang perkelahian masih sering terjadi di tempat
ini?2. Jika masih, siapa saja dan berapa jumlah orang yang sering terlibat
dalam perkelahian tersebut?3. Dengan siapa saja perkelahian itu terjadi?4. Atas dasar apa sebuah perkelahian biasa terjadi?5. Apa saja yang digunakan bila perkelahian terjadi?6. Berapa lama biasanya sebuah perkelahian itu berlangsung?7. Bagaimana sebuah perkelahian itu berlangsung?8. Siapa pemimpin dalam perkelahian tersebut?9. Pernahkah ada upaya masyarakat untuk melerai perkelahian?10. Kalau ada siapa dan bagaimana cara melerai perkelahian?11.Pernahkah ada upaya untuk mencegah perkelahian?12.Kalau ada siapa dan bagaimana upaya pencegahannya?13.Pernahkah ada pejabat yang datang untuk melihat tempat ini? 14. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah?15.Apa harapan anda melihat kondisi yang anda lihat?
Masyarakat II: pelaku1. Dengan siapa perkelahian biasa anda lakukan?2. Kelompok mana saja yang menjadi lawan dalam perkelahian?3. Berapa kali anda ikut dalam perkelahian?4. Benda apa saja yang digunakan dalam perkelahian?5. Sampai sekarang sudah berapa jumlah korban dalam perkelahian di
tempat ini?6. Berapa lama biasanya anda melakukan perkelahian tersebut?7. Alasan apa yang biasanya mendasari perkelahian tersebut?8. Apakah ada upaya dari masyarakat sekitar untuk menghentikan
perkelahian?9. Pernahkah ada pejabat pemerintah yang datang ke tempat ini untuk
menyelesaikan pertikaian?
Masyarakat III: Pemerhati masalah kekerasan1. Apa yang mendasari perkelahian antar kelompok biasa terjadi?2. Dimana biasanya perkelahian berpotensi terjadi?3. Siapa saja yang berpotensi melakukan tindak kekerasan seperti itu?4. Mengapa kekerasan kolektif sering terjadi di kota Makassar?
147
5. Apakah budaya merupakan alasan kekerasan terjadi di kota Makassar?
6. Bagaimana cara untuk menghentikan tindak perkelahian tersebut?7. Apa harapan anda melihat situasi ini di kota Makassar8. Bagaimana seharusnya pemerintah bertindak?
Informan: Kepolisian Reserse dan Kriminal1. Apa saja peran kepolisian dalam menghadapi perkelahian antar
kelompok?2. Apakah ada kerja sama dengan pemerintah dalam menghadapi
perkelahian antar kelompok?3. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menangani
persoalan ini?
Informan: Pemerintah Kota dan DINSOS (Kantor KESBANG Kota Makassar)
1. Apa yang mendasari perkelahian antar kelompok terjadi?2. Siapa saja yang biasa melakukan perkelahian tersebut?3. Apa dampak perkelahian tersebut bagi pemerintah kota?4. Apa upaya pemerintah untuk menangani persoalan tersebut?5. Apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sekitar?6. Apakah ada perda mengenai kekerasan massa seperti itu?