repository.unhas.ac.id › ... › 5003 › skripsimithafixnew.docx?sequ… · web...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR
Skripsiuntuk memenuhi sebagian Persyaratan
untuk mencapai derajat Sarjana S-1
Program Studi Ilmu Pemerintahan
OlehErmitha Savitry
E12108288
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2013
i
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:ERMITHA SAVITRY
E12108288
telah dipertahankan di depan panitia ujian skripsipada tanggal 27 Mei 2013
Telah senyetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. Dr. Indar Arifin, M.SiNIP. 19511011 198003 1 002 NIP. 19630407 198903 2 003
Mengetahui:
Ketua Jurusan Ilmu Politik/PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
Dr. H. A. Gau Kadir, MANIP. 19500117 198003 1 002
ii
LEMBAR PENERIMAAN
Skripsi
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR
yang dipersiapkan dan disusun oleh:
Ermitha SavitryE12108288
telah di perbaikidan dinyatakan telah memenuhi syarat oleh panitia ujian skripsi
pada Program Studi Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Makassar, pada Hari Senin tanggal 27 Mei 2013
Menyetujui:
Panitia Ujian
Ketua : Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. (...............................)
Sekretaris : A. Murfhi, S. Sos, M. Si. (...............................)
Anggota : Dr. H. A. Gau Kadir, MA. (...............................)
Anggota : Dr. Indar Arifin, M. Si. (...............................)
Anggota : Dra. Hj. Nurlinah, M.Si. (...............................)
Pembimbing I : Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. (...............................)
Pembimbing II : Dr. Indar Arifin, M. Si. (...............................)
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
cahaya segala maujud yang bergantung pada-Nya sehingga skripsi yang
berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar” ini, dapat penulis
selesaikan.
Penulis sangat menyadari bahwa didalam penyusunan skripsi ini
masih jauh dari harapan pembaca sebagaimana tulisan-tulisan ilmiah
yang lainnya, baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi isinya.
Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan pengetahuan yang terbatas
penulis siap menerima saran dan kritik yang membangun dengan
penyempurnaan sebuah karya ilmiah.
Pada kesempatan yang baik ini pula, penulis tak lupa menyampaikan
rasa terima kasih kepada kedua orang tuaku tercinta, ibunda Dra.
Ermaida, M.Hum (Almh) yang merupakan “perpustakaan pertamaku”
yang tidak sempat melihat ananda meraih gelar sarjana, atas curahan
seluruh cinta dan kasih sayangnya, serta untaian doa yang tiada henti
yang sampai kapanpun penulis tidak akan bisa membalasnya. Ayahanda
Burthan, SE yang senantiasa memberikan nasehat, kasih sayang, serta
cucuran keringat dan pengorbanannya yang harus membesarkan penulis
seorang diri. Maafkan jika ananda sering menyusahkan, merepotkan dan
melukai perasaan ibundan dan ayahanda. Semoga Allah SWT selalu
iv
menerangi jalanmu dan memberikan keselamatan dunia akhirat. Amin.
Saudara-saudaraku Hikma Ratna Sari, S.H., Nurul Aliah, dan Muhammad
Fadhil Ramadhan yang senantiasa menjadi sumber spirit bagi penulis.
Penulis juga dengan tulus ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Hasrat Arief Saleh, MS.
selaku Pembimbing I sekaligus Penasehat Akademik penulis yang tidak
pernah letih dan selalu melowongkan waktunya dalam membimbing
penulis dan Ibu Dr. Indar Arifin, M.Si selaku Pembimbing II yang telah
mendorong dan mengarahkan penulis hingga penyelesaian skripsi ini.
Rasa terima kasih yang sebesar-sebesarnya juga penulis haturkan
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp. BO. FICS, selaku Rektor
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Prof. Dr. Hamka Naping, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya.
3. Bapak Dr. H. A. Gau Kadir, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik
Pemerintahan FISIP UNHAS beserta seluruh stafnya.
4. Bapak Ahdi Abidin Malik selaku Kepala Sub Bagian Verifikasi dan
Pembukuan Pemerintah Kota Makassar dan Bapak Iswady selaku
Kepala Sub Bagian Keuangan Dinas Pendapatan Dearah Kota
Makassar serta segenap jajaran Pemerintah Kota Makassar, terima
kasih atas segala bantuan yang telah diberikan selama penulis
melaksanakan penelitian.
v
5. Segenap Dosen pengajar dan staf pegawai di lingkungan FISIP
UNHAS khususnya Program Studi Ilmu Pemerintahan yang telah
memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
6. Segenap keluarga kecil mahasiswa ilmu pemerintahan angkatan 2008,
Glasnost: Rara, Farid, Eka, Fonna, Icha, Hijrah, Indah, Vanty, Avri,
Tyana, Anca, Amin, Olle’, Ashar, Aan, Fahri, Fitri, Nandar, Haswan,
Anjar, Wandy, Dayat, Miskat, Kukuh, Rini, Dina, Desi, Laila, Ayu,
Akram, Lutfi, Firman, Akmal, Gafur, Dedi, Bandi, Edi, Yayat, Erlangga,
Reksa, Kia, Aswardi, Herwin, Emi, Enal, Zahra, Kirah, Alfred, Aya,
Sufriyadi, Asrul, Chaca, Satriah, Agus, Echa, Uki, dan tidak lupa
kepada Anita selaku kepala suku. Terima kasih atas kebersamaan
selama ini, dan tetap manjadi “satu generasi satu perjuangan”.
7. Keluargaku di Bumi Orange HIMAPEM FISIP UNHAS, Konstitusi 03,
Kybernologi 04, Revolusioner 05, Rezpublica 06, Renaissance 07,
Aufklarung 09, Volkgeist 10, Enlightment 11, terima kasih karena telah
berbagi kebersamaan selama ini.
8. Teman-teman KKN Gelombang 82 Kabupaten Enrekang Kecamatan
Angggeraja Kelurahan Tanete, khususnya kepada Bust, Ochi, Kak
Hajrah, Azhar, Rey, Boim, dan Herson, serta kepada Ibu Nursiah,
S.Pd., Itha, Ayyu’, dan Inna yang telah menjadi keluarga penulis selama
melaksanakan KKN. Kebersamaan kalian akan menjadi sejarah yang
tak akan lekang oleh zaman dan tak akan pudar oleh waktu.
vi
9. _______________ untuk teman-teman, saudara(i) yang banyak
membantu penulis dalam penyelesaian studi ini, namun lupa
menyebutkan nama. Ruang kosong ini sengaja penulis buat untuk yang
memberikan andil namun penulis lupa menyebutkannya. Silahkan tulis
namanya karena penulis sengaja kosongkan untuk diisi.
Teristimewa penulis haturkan rasa cinta dan terima kasih sedalam-
dalamnya kepada Ahmad, S.T. yang senantiasa menemani dan
memberikan dukungan moril kepada penulis dalam kebersamaan selama
ini.
Selain itu, penulis juga mengucapkan permohonan maaf dari hati
yang terdalam jika penulis telah banyak melakukan kesalahan dan
kekhilafan, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku, semenjak
penulis menginjakkan kaki pertama kali di Universitas Hasanuddin hingga
selesainya studi penulis. Semua itu adalah murni dari penulis sebagai
manusia biasa yang memiliki keterbatasan pengetahuan. Adapun
mengenai kebaikan-kebaikan penulis, itu semata-mata datangnya dari
Allah SWT, karena segala kesempurnaan hanyalah milik-Nya.
Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang disajikan dalam skripsi
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga
kesemuanya ini dapat ibadah di sisi-Nya. Amin.
Makassar, 2013
Penulis
vii
ABSTRAKSI
Ermitha Savitry, NIM E 12108288. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar, di bawah bimbingan Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. dan Dr. Indar Arifin, M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan Kota Makassar dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011. Jenis penelitian adalah kuantitatif kualitatif (mixed method). Dimana, penelitian kuantitaif menggunakan beberapa rasio keuangan, yaitu: rasio kemandirian keuangan daerah, rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian, dan rasio pertumbuhan, sedangkan penelitian kualitatif membantu interpretasi hubungan antara variabel dan mengungkapkan alasan bagi hubungan-hubungan itu serta menjelaskan faktor-faktor yang mendasari hubungan yang terbangun.
Tipe penelitian adalah deskriptif dimana akan diuraikan dan dianalisis permasalahan penelitian. Peneliti berusaha memaparkan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya, kemudian peristiwa tersebut dideskripsikan menggunakan Indeks Kemampuan Keuangan sebagai alat analisis.
Hasil penelitian, rasio kemandirian keuangan daerah yang memperoleh hasil rata-rata sebesar 18,30% atau berada pada pola hubungan instruktif. Rasio derajat desentralisasi fiskal dan rasio indeks kemampuan rutin yang menunjukkan kemampuan keuangan daerah masih kurang, yaitu sebesar 15,39% dan 24,99%. Pada rasio keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan dengan gap sebesar 25,60%. Rasio pertumbuhan, secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif, karena peningkatan pendapata asli daerah dan total pendapatan daerah tdak diikuti oleh pertumbuhan belanja pembangunan, tetapi diikuti oleh pertumbuhan belanja rutin. Konstribusi PAD terhadap APBD, masih kurang, yaitu sebesar 15,39%. Dengan melihat hasil analisis tersebut, perkembangan kemampuan keuangan Kota Makassar dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dianggap masih kurang.
viii
ABSTRACT
Ermitha Savitry. NIM E 12108288. Analysis of Financial Capability in the Regional Autonomy Implementation Year 2007-2011 in the city of Makassar, under the guidance of Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. and Dr. Indar Arifin, M.Sc.
This study aims to determine the level of development of the financial capacity of Makassar in order to support the implementation of regional autonomy and Local Revenue Contribution to the Budget Revenue and Expenditure Makassar fiscal year 2007-2011. Forms of research is quantitative qualitative (mixed method). Where, quantitative research uses several financial ratios, namely: the ratio of the regional of financial independence, the degree of fiscal decentralization ratio, the ratio of routine capability index, the ratio of the harmony, and the growth ratio, while the interpretation of qualitative research helps reveal the relationship between the variables and the reasons for those relationships and explain factors underlying the relationship that is built up.
Types of research is descriptive which will be described and analyzed research problems. Researchers tried exposing the events and happenings at the center of attention, then the event described using Financial Capability Index as a tools of analysis.
The results of the study, the ratio of the regional of financial independence obtained an average yield of 18.30% on the pattern of relationships are instructive. The ratio of the degree of fiscal decentralization and routine capability index ratio shows the ability of local finance is less, amounting to 15.39% and 24.99%. In harmony ratio, routine expenditure is greater than the gap of development expenditure amounted to 25.60%. The ratio of growth, overall experience negative growth, due to an increase in local revenue and total revenue not followed by construction spending growth, but it is followed by the growth of expenditures. Local Revenue Contribution to the Budget Revenue and Expenditure, still less, amounting to 15,39%. By looking at the results of the analysis, development of the financial ability of the city of Makassar in the implementation of regional autonomy were deemed to be lacking.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................... ii
LEMBAR PENERIMAAN.................................................................... iii
KATA PENGANTAR............................................................................ iv
ABSTRAKSI....................................................................................... viii
ABSTRACT........................................................................................ ix
DAFTAR ISI........................................................................................ x
DAFTAR TABEL................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian.................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................. 8
1.3. Tujuan Penelitian............................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian............................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 10
2.1. Otonomi Daerah................................................................ 10
2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah................................. 10
2.1.2. Tujuan Otonomi Daerah........................................ 12
2.1.3. Konsep Dasar Otonomi Daerah............................ 15
2.2. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah........................ 17
2.3. Sistem Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah............... 20
x
2.3.1. Desentralisasi Fiskal............................................. 21
2.3.2. Konsep Perimbangan Keungan Pusat-Daerah..... 24
2.3.3. Kemampuan Keuangan Daerah........................... 26
2.4. Kerangka Konseptual........................................................ 29
BAB III METODE PENELITIAN......................................................... 30
3.1. Lokasi Penelitian............................................................... 30
3.2. Tipe Penelitian................................................................... 30
3.3. Jenis dan Sumber Data..................................................... 31
3.4. Teknik Pengumpulan Data................................................. 33
3.5. Defenisi Operasional......................................................... 36
3.5.1. Kemampuan Keuangan Daerah............................. 36
3.5.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah..... 36
3.5.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal.......... 37
3.5.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin.............. 38
3.5.1.4. Rasio Keserasian..................................... 39
3.5.1.5. Rasio Pertumbuhan................................. 39
3.5.2. Pendapatan Asli Daerah......................................... 39
3.6. Metode Analisis Data......................................................... 40
3.6.1. Rasio Kemampuan Keuangan Daerah................... 40
3.6.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadapAnggaran Penerimaan dan Belanja Daerah........... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................... 48
4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian.................................... 48
4.1.1. Profil Kota Makassar............................................... 48
xi
4.1.2. Visi dan Misi Kota Makassar................................... 50
4.1.3. Kondisi Perekonomian Daerah............................... 53
4.1.4. Kondisi Pemerintahan di Kota Makassar................ 54
4.1.5. Kondisi Strategis Kota Makassar............................ 55
4.1.6. Strategi dan Arah Kebijakan Daerah....................... 59
4.2. Hasil Penelitian.................................................................. 59
4.2.1. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar.................................................... 60
4.2.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. . . 62
4.2.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal........ 71
4.2.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin............ 74
4.2.1.4. Rasio Keserasian.................................... 80
4.2.1.5. Rasio Pertumbuhan................................ 85
4.2.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadapAnggaran Penerimaan dan Belanja Daerah tahun2007-2011 dalam Menunjang PelaksanaanOtonomi Daerah di Kota Makassar......................... 88
4.2.2.1. Intensifikasi Sumber-Sumber PAD.......... 96
4.2.2.2. Ekstensifikasi Sumber-Sumber PAD....... 98
4.2.2.3. Sumber-Sumber PAD Kota Makassar.. . . 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 102
5.1. Kesimpulan........................................................................ 102
5.2. Saran................................................................................. 105
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 107
LAMPIRAN......................................................................................... 111
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah..... 37
Tabel 1.2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal.................... 38
Tabel 1.3 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin........................ 38
Tabel 1.4 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah..... 41
Tabel 1.5 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal.................... 43
Tabel 1.6 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin........................ 44
Tabel 4.1 Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern (BantuanPemerintah Pusat/Provinsi + Pinjaman).......................... 65
Tabel 4.2 Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011............................ 67
Tabel 4.3 Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011.................... 72
Tabel 4.4 Pengeluaran Rutin Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2001....................................................... 76
Tabel 4.5 Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin KotaMakassar Tahun Anggaran 2007-2011............................ 78
Tabel 4.6 Komponen Belanja Pembangunan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011............................................ 82
Tabel 4.7 Perhitungan Rasio Keserasian Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011............................................ 82
Tabel 4.8 Perhitungan Rasio Pertumbuhan Kota MakassarTahun Anggaran 2007-2011............................................ 86
Tabel 4.9 Komposisi Pendapatan Asli Daerah Kota MakassarTahun Anggaran 2007-2001............................................ 90
xiii
Tabel 4.10 Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan AsliKota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011.................... 93
Tabel 4.11 Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadapTotal Pendapatan APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011....................................................... 93
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Latar Belakang Pengaturan Keuangan Daerah............. 18
Gambar 2.2 Kerangka Teori Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal....... 22
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual.................................................... 29
Gambar 4.1 Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011................. 68
Gambar 4.2 Hasil Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011....... 73
Gambar 4.3 Hasil Perhitungan Indeks Kemampuan Rutin Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011.......................... 79
Gambar 4.4 Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Kota MakassarTahun Anggaran 2007-2011.......................................... 84
Gambar 4.5 Hasil Perhitungan Rasio Pertumbuhan KotaMakassar Tahun Anggaran 2007-2011.......................... 88
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2007
Lampiran 2 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2008
Lampiran 3 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2009
Lampiran 4 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2010
Lampiran 5 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2011
Lampiran 6 Daftar Pernyataan Wawancara
Lampiran 7 Dokumentasi Wawancara
Lampiran 8 Surat Izin Penelitian
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut
untuk dapat menjalankan roda pemerintahan yang efektif, efisien, dan
mampu mendorong peran masyarakat dalam meningkatkan pemerataan
dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh
masing-masing daerah. Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari
kemampuan dalam bidang keuangan.
1.1. Latar Belakang Penelitian
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12
tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dituntut kemandirian Pemerintah
Daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan. Anggaran belanja rutin maupun pembangunan tidak lagi
berasal dari pusat, tetapi lebih banyak berasal dari sumber-sumber daerah
sendiri. Hal ini berarti pemerintah daerah memiliki tanggungjawab yang
lebih besar dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dalam Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan
bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana
1
secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada
daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana
besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat
pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi
sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus
lebih jeli dan tanggap memandang dan mengoptimalkan pemanfaatan
potensi daerah sebagai pendapatan daerah.
Kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah
kemampuan self-supporting bidang keuangan1. Faktor keuangan
merupakan faktor yang esensial dalam mengukur tingkat kemampuan
daerah dalam melaksanakan otonominya. Dimana daerah mampu
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat
ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang
semakin mengecil.
Keuangan daerah merupakan sumber daya yang dominan dalam
menopang kemampuan otonomi daerah. Hampir tidak ada satupun
kegiatan pemerintah di daerah yang tidak memerlukan biaya. Oleh sebab
1 Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: CV. Rajawali.
2
itu pengelolaan keuangan daerah merupakan satu variable yang penting
dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah dan pemerintahan di
daerah pada umumnya2.
Menurut S. Pamudji dalam Kaho, bahwa Pemerintah Daerah tidak
akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa
biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan3.
Kemampuan keuangan daerah dalam era otonomi daerah sering
diukur dengan menggunakan kinerja PAD. Besar-kecilnya penerimaan
PAD seringkali dihubungkan dengan keberhasilan daerah dalam
menjalani otonomi daerah. Pajak dan Retribusi daerah (yang merupakan
komponen penyumbang PAD terbesar) seyogyanya mampu membiayai
belanja pemerintah daerah (Kuncoro, 2007)4.
Hal ini pula yang menjadi penyebab munculnya permasalahan di
daerah, seperti: masih adanya arogansi pemerintah pusat yang hingga
kini belum menyerahkan kewenangan pengelolaan sumber daya alam
kepada daerah. Sikap pemerintah pusat yang demikian ini sangat
menyulitkan departemen keuangan untuk menghitung secara pasti berapa
2 Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
3 Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: CV. Rajawali.
4 Adi, Priyo Hari. 2012. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol. XXI, No. 1. Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa – Bali). (Online) (http://priyohari.files.wordpress.com/2009/06/kemampuan-keuangan-daerah-dan-relevansi.pdf diakses tanggal 10 Oktober 2012).
3
penghasilan yang didapati dalam pengelolaan sumber daya alam di
daerah.
Selain itu, berkaitan dengan pajak, salah satunya yaitu Pajak
Penghasilan (PPh), dimana selama ini daerah telah memberikan fasilitas
yang ikut mendukung kelancaran usaha penyediaan sarana, perizinan dan
situasi usaha yang kondusif, namun selama ini daerah tidak memperoleh
“bagi hasil pajak” dari hasil penerimaannya. Berdasarkan UU No. 17 tahun
2000 daerah akan memperoleh bagian 20%, hanya sebagai objek pajak
perorangan, namun sebagai objek badan usaha, daerah tidak
memperolehnya. Perusahaan besar belum memberikan konstribusi apa-
apa kecuali ekses keberadaannya di daerah dan resiko sosial yang
dialami masyarakat setempat.5
Dampak dari munculnya permasalahan diatas adalah daerah akan
tetap selalu menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat yang
tentunya tidak menguntungkan bagi pemerintah pusat karena daerah
dianggap sebagai beban, dan bagi pemerintah daerah sendiri hal ini
merupakan faktor yang menghambat kemandirian daerah dalam
mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah akan kesulitan dalam
mengelola sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pengukuran tingkat kemampuan keuangan daerah yang banyak
dilakukan saat ini antara lain dengan melihat rasio antara PAD dengan
APBD. Prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan
5 Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.
4
menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat. satu hal yang perlu dicatat adalah peningkatan PAD bukan berarti
daerah harus berlomba-lomba membuat pajak baru, tetapi diharapkan
daerah memiliki tingkat kejelian yang tinggi dan kemampuan dalam
melihat dan memanfaatkan sumber-sumber potensial yang dimiliki.
Sebaliknya, ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melihat dan
memanfaatkan sumber-sumber pendapatan potensial yang ada dapat
mengakibatkan rendahnya kemampuan keuangan daerah yang pada
akhirnya akan menghambat kelancaran pelaksanaan otonomi daerah.6
Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan
terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai salah satu daerah
otonom yang terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan7, Makassar juga
memiliki sumber pendapatan yang potensial untuk dioptimalkan
pemberdayaannya. Sebagai kota, Makassar memiliki beberapa potensi
yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Daerah, yaitu: (1)
PAD yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan
Milik Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. (2) Dana Perimbangan yang
terdiri dari Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum,
6 Bella, Rohana. 2002. Potensi Objek Pendapatan Asli Daerah (Retribusi) Kota Makassar. Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
7 Badan Pusat Statistik. 2010. Makassar Dalam Angka 2010. Makassar: Badan Pusat Statistik Kota Makassar.
5
Dana Alokasi Khusus, dan Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan dari
Pemerintah Provinsi. (3) Lain-lain Pendapatan Yang Sah8.
Total Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar tahun 2009 sebesar
Rp 170.698.725.818,79. Pada tahun 2010 meningkat menjadi
Rp 210.068.212.205,64 atau sebesar 18,74% jika dibandingkan dengan
tahun 2009. Kemudian pada tahun 2011 sebesar Rp 351.692.552.587,60
atau meningkat 40,27% dari tahun sebelumnya. Total dana perimbangan
pada tahun 2009 sebesar Rp 833.834.215.606 tahun 2010 sebesar
Rp 861.280.547.227 dan tahun 2011 sebesar Rp 905.873.927.525. Jika
dipersentasekan, maka total dana perimbangan dari tahun 2009 ke tahun
2010 meningkat sebesar 3,19% dan pada tahun 2011 meningkat lagi
sebesar 4,92% dari total dana perimbangan tahun 2010. Sedangkan total
lain-lain pendapatan yang sah pada tahun 2009 sebesar
Rp 211.184.779.475 tahun 2010 sebesar Rp 380.188.360.973,21 atau
meningkat sebesar 44,45%. Dan pada tahun 2011 meningkat menjadi
sebesar Rp 417.004.035.010,37 atau naik sebesar 19,28% dari total lain-
lain pendapatan yang sah pada tahun 2010.9
Berdasarkan tren diatas, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan
jumlah dari tahun ke tahun dalam kurun waktu 2009-2011 baik dari jumlah
PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah Kota
Makassar.
8 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Makassar Tahun 2006 dipubli-kasikan pada http://makassarkota.go.id/download/lkpj_2006_30_maret_2006.pdf.
9 Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar, APBD Kota Makassar tahun 2009-2011. Data diolah. 2012
6
Sebagai daerah otonom, Kota Makassar melaksanakan urusan
desentralisasi, yang terdiri dari 26 (dua puluh enam) urusan wajib, dan 5
(lima) urusan pilihan. Untuk melaksanakan kebijakan urusan tersebut Kota
Makassar melaksanakan program-program dan kegiatan-kegiatan sebagai
wujud dari operasionalisasi urusan desentralisasi. Salah satu urusan wajib
pemerintah Kota Makassar yang dibiayai oleh APBD pada tahun 2009
adalah Urusan Kependudukan dan Catatan Sipil, dengan uraian program:
1) Program Pelayanan Administrasi Perkantoran dengan alokasi anggaran
Rp. 650.740.000 realisasi fisik 95,26%; 2) Program Peningkatan Sarana
dan Prasarana Aparatur alokasi anggaran sebesar Rp. 798.679.000
realisasi fisik 99,88%; 3) Program Peningkatan Disiplin Aparatur dengan
alokasi anggaran Rp. 26.400.000 realisasi fisik 100%; 4) Program
Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan dengan alokasi anggaran
sebesar Rp. 50.000.000 realisasi fisik 100%; dan 5) Program Penataan
Administrasi Kependudukan dengan nilai alokasi anggaran sebesar
Rp. 5.991.524.150,- realisasi fisik 99,99%.10
Dengan adanya urusan wajib dan urusan pilihan sebagai dampak
dari adanya urusan desentralisasi, maka dibutuhkan kejelian dalam
melihat dan mengolah sumber-sumber pendapatan daerah yang ada di
Kota Makassar. Dari situlah kita dapat melihat apakah pemerintah Kota
Makassar sudah mampu mengoptimalkan tiap-tiap sumber pendapatan
10 Pemerintah Kota Makassar. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Makassar Tahun 2009. (Online) (http:// makassar kota.go.id/ download/ ilppd2009 .pdf diakses tanggal 17 Agustus 2012).
7
yang ada untuk mempercepat atau mendukung pelaksanaan otonomi
daerah.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: “ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN
DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2007-
2011 DI KOTA MAKASSAR”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat kemampuan keuangan daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah tahun 2007-2011 di Kota Makassar?
2. Bagaimana konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007-2011 dalam menunjang
pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Makassar?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan keuangan daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah tahun 2007-2011 di Kota Makassar.
2. Untuk mendeskripsikan sejauh mana konstribusi Pendapatan Asli
Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun
2007-2011 dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota
Makassar.
8
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya
pengembangan penelitian yang berbasis kuantitatif kualitatif (mixed).
Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang kemampuan keuangan daerah dalam mendukung
pelaksanaan otonomi daerah di Kota Makassar.
2. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
Kota Makassar dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam melihat
sumber-sumber pendapat daerah yang ada di Kota Makassar.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai konsep dan teori yang
dijadikan sebagai alat analisis terhadap masalah yang diangkat dalam
skripsi ini.
2.1. Otonomi Daerah
2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang
berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan
demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan
kemandirian. Koesoemahatmadja (1979) berpendapat bahwa otonomi itu
mengandung arti perundangan (bestuur). Lebih jauh diungkapkan CW.
Van der Pat “Autonomie betehent ander dan Het word zon daen
Vermdeden regehing en bestuur van Eigen zaken, van wat de grond wet
noemt ligen huishording” (otonomi itu berarti peraturan dan pemerintahan
dari urusan sendiri). Bayu Suryaningrat (1980) berpedapat bahwa otonomi
berarti mengatur sendiri, melaksanakan pemerintahan sendiri.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa otonomi
adalah menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dalam pengertian
menyelenggarakan pemerintahan sendiri ini terkandung unsur hak dan
wewenang. Tanpa adanya hak dan wewenang suatu lembaga tidak akan
dapat melaksanakan pemerintahan sendiri. Atas dasar itu dapat
10
disimpulkan bahwa pengertian otonomi adalah hak dan wewenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri.11
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 5, “Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. Dari pengertian itu, dapat
diartikan bahwa otonomi daerah merupakan kemerdekaan atau
kebebasan menentukan aturan sendiri berdasarkan perundang-undangan,
dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan
kemampuan yang dimiliki oleh daerah.
Pengertian otonomi dapat juga ditemukan dalam literature Belanda,
dimana otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van
Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri),
zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri),
dan zelfpolitie (menindaki sendiri) (Sarundajang, 2005).
Sarundajang (2005) juga menyatakan bahwa otonomi daerah pada
hakekatnya adalah:
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak
tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan
pemerintah (pusat) yang doserahkan kepada daerah. Istilah sendiri
11 Djaenuri, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
11
dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti
keotonomian suatu daerah.
b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah
tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang
otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya.
c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan
yang diserahkan kepadanya.
d. Otonomi tidak membawahi otonomi darah lain, hak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah lain.
2.1.2 Tujuan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal
18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut
yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai
normatifikasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi
sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Otonomi yang dijalankan tetap harus memperhatikan hak-hak asal usul
dalam daerah yang bersifat istimewa.
Sejalan dengan hal itu, Soepomo dalam Ladjin (2008) mengatakan
bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan
regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri dalam kadar Negara
kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang
12
berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah
harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir
seluruh daerah menurut satu model.
Menurut Sarundajang (2005), tujuan pemberian otonomi daerah
setidak-tidaknya akan meliputi 4 (empat) aspek sebagai berikut:
a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi
dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri,
maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam
rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah.
b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan
dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan
memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan
masyarakat.
c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan upaya
pemberdayaan (empoerment) masyarakat, sehingga masyarakat
makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian
pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses
pertumbuhannya.
d. Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan
pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan
rakyat yang makin meningkat.
13
Martin dalam Paturusi (2009) mengemukakan bahwa tujuan utama
otonomi daerah pada era otonomi daerah telah tertuang dalam kebijakan
desentralisasi sejak tahun 1999, yakni:
a. Pembebasan pusat, meksudnya membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban tidak perlu mengenai urusan domestic sehingga ia
berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada
saat yang sama sangat diharapkan pemerintah pusat lebih mampu
berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional dari yang bersifat
strategis.
b. Pemberdayaan lokal atau daerah. Alokasi kewenangan pemerintah
pusat ke daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan
yang signifikan. Artinya ability (kemampuan) prakarsa dan kreativitas
daerah akan terpacu sehingga kapasitasnya dalam mengatasi
berbagai masalah domestic akan semakin kuat.
c. Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah. Desentralisasi
merupakan simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah pusat ke
daerah. Hal ini dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan
kepada pemerintah dan masyarakat daerah.12
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, daerah mempunyai
kewajiban:
12 Paturusi, Idrus A, dkk. 2009. Hasil Penelitian. Esensi dan UrgensitasPeraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. (Online) (http://senatorindonesia.org/ lawcenter.public/documents/files/ESENSI%20DAN%20URGENSITAS%20PERATURAN%20DAERAH%20DALAM%20PELAKSANAAN%20OTONOMI%20DAERAH%20_UNHAS.pdf diakses tanggal 5 April 2012).
14
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan
kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilirtas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan pperundang-undangan
sersuai dengan kewenangannya, dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.13
2.1.3. Konsep Dasar Otonomi Daerah
Menurut Ryaas Rasyid dalam Syamsuddin Haris (2007:10), konsep
dasar otonomi daerah yang melandasi lahirnya Undang-undang Nomor 22
13 Pasal 22 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.
15
tahun 1999 dan Undang-undang 25 tahun 1999, dan menjadi tonggak
lahirnya otonomi daerah dan desentralisasi, yaitu:
a. penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam
hubungan domestik pada daerah. Selain bidang keuangan dan
moneter, politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta beberapa
bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, semua
bidang pemerintahan lain dapat didesentralisasikan;
b. penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala
daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau
kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas.
Pemberdayaan dan penyaluran aspirasi masyarakat harus dilakukan;
c. pembangunan tradisi politik yang lrebih sesuai dengan kultur setempat
demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang
berkualitas tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
d. peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui
pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai
derngan ruang lingkung kewenangan yang telah didesentralisasikan,
setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras degan kondisi
daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan daerah.
e. peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan
yang jelas atas sumber-sumber pendapatan Negara dan daerah,
pembagian revenue dari sumber penerimaan yang terkait dengan
16
kekayaan alam, pajak, retribusi, tata cara, serta syarat untuk pinjaman
dan obligasi daerah;
f. perwujudan desentralisasi fiscal melalui pembesaran alokasi subsidi
dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengaturan
pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberiaan
keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas
pembangunan, serta oprtimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat
melalui lembaga swadaya pembangunan yang ada; dan
g. pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal
yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial dan
solidaritas sosial sebagai satu bangsa.
2.2. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah
Kebijakan pengelolaan keuangan daerah disesuaikan dengan
situasi dan kondisi serta potensi daerah dengan berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 105
Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka
dapat dikemukakan bahwa kebijakan umum pengelolaan keuangan
daerah antara lain sebagai berikut:
17
UU Pajak dan Reribusi DaerahUU Pemerintahan Daerah
UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Pelayanan Publik Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah
MONEY FOLLOW FUNCTIONPOWER SHARING
1. Dalam mengalokasikan anggaran baik rutin maupun pembangunan
senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran berimbang dan
dinamis serta efisien dan efektif dalam meningkatkan produktivitas.
2. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas
pemerintah dan pembangunan.
3. Anggaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sector-sektor
secara berkesinambungan dalam mendukung penyempurnaan
maupun perbaikan sarana daan prasarana yang dapat menunjang
peningkatan pembangunan dan kemasyarakatan dengan
memperhatikan skala prioritas14.
Gambar 2.1
Latar Belakang Pengaturan Keuangan Daerah15
Menurut Peraturan Perundang-Undangan Nomor 105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam
14 Nordiawan, Deddi. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
15 Sarundajang, S.H. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
18
Pasal 1 disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam
kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Disisi lain keuangan daerah adalah sebagai alat fiskal pemerintah
daerah, merupakan bagian integral dari keuangan Negara dalam
mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, memeratakan hasil
pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi selain stabiliats sosial
politik. Peranan keuangan daerah semakin penting, selain karena
keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa Dana Alokasi
Umum (DAU) dan dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga karena makin
kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahannya
membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan
keuangan daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya
otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab (Radianto dalam
Farian (2010)).
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang merupakan prasyarat
dalam sistem pemerintahan daerah. Sehubungan dengan itu, maka
daerah hendaknya memiliki kewenangn yang luas dan kamampuan yang
19
optimal untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber
keuangannya sendiri.
Mengenai pentingnya pengelolaan keuangan daerah, J. Wajong
dalam Kaho (2010:68) menyatakan:
1. bahwa pengendalian keuangan mempunyai pengaruh yang begitu
besar pada hari kemudia penduduk sedaerah, sehingga kebijaksanaan
yang ditempuh pada melakukan kegiatan irtu dapat menyebabkan
kemakmuran atau kelemahan, kejayaan atau kejatuhan penduduk
daerah itu;
2. bahwa kepandaian mengendalikan daerah tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan dan abadi, tanpa cara pengendalian keuangan
yang baik, terlebih lagi tanpa kemampuan melihat ke muka dengan
penuh kebijaksanaan, yang harus diarahkan pada melindungi dan
memperbesar harta daerah, dengan mana semua kepentingan
masyarakat sedaerah sangat berhubungan erat;
3. bahwa anggaran adalah alat utama pada pengendalian keuangan
daerah, sehingga rencana anggaran yang di perhadapkan pada DPRD
haruslah tepat dalam bentuk dan susunannya dengan memuat
rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan
kemuka yang bijaksana.
2.3. Sistem Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Belakangan ini ada kecenderungan yang terjadi di seluruh dunia
akan tuntutan terhadap peningkatan kewenangan daerah dalam
20
melaksanakan kebijakan ekonomi. Tuntutan ini didukung oleh alasan
bahwa permasalahan yang terjadi di daerah sedemikian kompleks dan
multidimensional sehingga tidak mungkin diatasi dengan suatu terapi yang
bersifat terpusat. Selain itu disadari bahwa span of control pemerintah
pusat sangat terbatas, sehingga kebijakan yang dibuat menjadi tidak
efektif dan efisien.
2.3.1. Desentralisasi Fiskal
Menurut Saragih (2003:83), desentralisasi fiscal adalah suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atrau
tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya
kewenangan bidang pemeritahan yang dilimpahkan.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money
should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus
diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau
pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada
anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Dalam kebijakan fiskal, dana perimbangan merupaka inti dari
desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal selalu berkorelasi
dengan persoalan kebijakan fiskal nasioanal dalam APBN. Oleh sebab itu,
kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendukung otonomi daerah juga
21
sedikitr banyak bergantung pada kebijakan APBN dan kebijakan ekonomi
makro.16
Berikut adalah kerangka teori atau landasan teoritis pelaksanaan
desentralisasi fiskal di Indonesia.
Gambar 2.2
Kerangka Teori Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal17
Berdasarkan gambar diatas, maka landasan teoritis pelaksaan
desentralisasi fiskal terdiri dari empat bagian, yaitu:
1. Dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal (Oates, 1999):
a. Negara yang luas wilayahnya tidak dapat melakukan sentralisasi.
b. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.
c. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang
tinggal didalamnya.
16 Prof. Roy W. Bahl dalam Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia
17 Departemen Keuangan Republik Indonesia. Jurnal: Desentralisasi Fiskal. (Online) (www.djpk.depkeu.go.id/document.php diakses tanggal 17 Agustus 2012).
22
Alasan melakukan transfer (Jun Ma
(1997) dan Anwar Shah (1994))
Dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal
(Oates, 1999)
KERANGKA KONSEPSI/LAN-
DASAN TEORITIS DESETRALISASI
FISKAL
Dasar penentuan transfer (Hyman P.
Minsky, 1994)
Kriteria tranfer (Jun Ma (1997) dan Anwar
Shah (1994))
d. Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat
dan pembiayaan.
2. Alasan melakukan transfer (Jun Ma (1997) dan Anwar Shah (1994)):
a. Vertical fiscal imbalances.
b. Horizontal fiscal imbalances.
c. Spill-over effects.
d. Stabilization objectives.
3. Kriteria transfer (Jun Ma (1997) dan Anwar Shah (1994))
a. Daerah dapat melaksanakan tugas yang direncanakan dari revenue
adequacy.
b. Formula tidak mendorong terjadinya defisit anggaran.
c. Formula berbanding lurus dengan kebutuhan fiskal dan berbanding
terbalik dengan kapasistas fiskal daerah.
d. Transparansi dan stabilitas.
4. Dasar penentuan transfer (Hyman P. Minsky, 1994)
a. Alokasi pusat ke daerah ditentukan fiscal capacity, dan/atau fiscal
reed.
b. Kapasitas fiskal mencerminkan potensi kemampuan daerah
mendanai jasa-jasa yang harus disediakan pemerintah.
c. Kebutuhan fiskal menunjukkan total pengeluaran yang dibutuhkan
daerah.
d. Formula transfer umumnya menggunakan fiscal gap sebagai indikasi
menentukan besaran transfer.
23
2.3.2. Konsep Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah
Sistem hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu
mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat
kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah. Konsep perimbangan
keuangan pusat dan daerah adalah konsekuensi dari adanya
tanggungjawab yang bersifat derivatif dari kebijakan otonomi daerah.
Artinya, semakin banyak kewenangan yang dilimpahkan, maka
kecenderungan semakin besar biaya yag dibutuhkan oleh daerah.18
Menurut K. Davey hubungan keuangan pusat dan daerah dapat
dilakukan melaui beberapa pendekatan:
a. Pendekatan kapitalis. Berdasarkan pendekatan ini, hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah dibidang keuangan adalah atas dasar
kuasi komersial. Disini pemerintah pusat mengadakan investrasi di
daerah, berpatungan dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk mengelola namun keunungan yang
diperoleh sebagian menjadi hak pusat dan sebagian lagi menjadi hak
daerah sesuai dengan besarnya modal yang ditanam dan
perimbangan manajemennya.
b. Pendekatan sumber pendapatan. Pendekatan ini didasarkan pada
sebagian pendapatan dari sumber-sumber pendapatan oleh pusat
kepada daerah. Pemberian ini dapat berupa kewenangan mengelola
sumber-sumber pendapatan tertentu sepenuhnya yang diserahkan
18 Ibid
24
kepada daerah atua kewenangan menikmati sebagian (persentase)
dari punguta yang dilaukan oleh daerah atas nama pusat.
c. Pendekatan belanja. Pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan
pengeluaran biaya-biaya untuk proyek atau untuk membiayai kegiatan
rutin pemerintah daerah. Ada beberapa persyaratan dalam pendekatan
ini, yaitu subsidi pemerintah pusat diberikan dengan
mempertimbangkan kemampuan dan alokasi bantuan pada masing-
masing daerah dan kebutuhan biaya-biaya pembangunan tidak boleh
ada perbedaan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.
d. Pendekatan komprehensif. Pendekatan ini didasarkan pada pemberian
wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber-sumber
pendapatan sendiri guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah
dan mencoba untuk mempertemukan antra sumber-sumber
pendapatan dan target belanja. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa
sumber-sumber pendapatan yang boleh dikelola sepenuhnya
merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apabila untuk
membiayai pegeluaran-pengeluaran daerah itumasih kurang (dan
biasanya memang sangat kurang), maka kekurangannya itu akan
disubsidi pusat.19
Menurut Machfud Sidik dalam Rahim (2008), perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah yang ideal adalah apabila setiap
tingkat pemerintah dapat independen dibidang keuangan untuk
membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Hal ini 19 Nordiawan, Deddi. 2008. Akutansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
25
berarti subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat yang selama ini sebagai
sumber utama dalam APBD mulai kurang konstribusinya dan yang
menjadi sumber utamanya adalah pendapatan dari daerahnya sendiri.
Sedangkan menurut Koswara dalam Muluk Khairul (2009:25), ciri
utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi
terletak pada kemampuan keuangan daerahnya, artinya daerah otonom
harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-
sumber keuangan sendiri. Sedangkan ketergantungan pada bantuan
pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi
bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan
pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar
sistem pemerintahan negara.
2.3.3. Kemampuan Keuangan Daerah
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan, keuangan daerah
sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan
dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa
konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar
daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan
keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):
a. Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
b. Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
c. Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah.
26
d. Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.
Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu
melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin,
2001:167):
a. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.
b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar
Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber
keuangan terbesar, yang didukungoleh kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah
menjadi lebih besar.
Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan
pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan
dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah
dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat
dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah
serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan
keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan
daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran
dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa
terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat
27
kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat
kemampuan/kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22).
Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan,
walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan
menimbulkan perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard
memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi
daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169):
a. Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih dominan
dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah).
b. Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi.
c. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
d. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak
ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
2.4. Kerangka Konseptual
28
Konsep Otonomi DaerahKeuangan Daerah
Indeks Kemampuan Keuangan (IKK)(BAPPENAS)
Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Kemampuan Keuangan Daerah
Secara lebih jelasnya untuk melihat bagaimana alur penelitian,
dapat lihat pada:
Gambar 2.3
Kerangka Konseptual
Dari kerangka konseptual, yang menjadi objek penelitian yaitu
pelaksanaan otonomi daerah di Kota Makasaar yang ditinjau dari aspek
kemampuan keuangan daerah sesuai dengan konsep otonomi daerah dan
aturan keuangan daerah. Indikator yang digunakan dalam pengukuran
tersebut adalah Indeks Kemampuan Keuangan yang digunakan oleh
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
Hubungan konsep otonomi daerah dan keuangan daerah dijadikan
landasan utama untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dalam
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya sehinggga dapat
meminimalisir tingkat ketergantungan terhadap pusat. Dimana, semakin
besar tingkat kemandirian suatu daerah terhadap pemerintah pusat, maka
dapat dianggap daerah tersebut berhasil melaksanakan otonomi daerah.
BAB III
29
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dimana akan diuraikan
dan dianalisis permasalahan penelitian. Pendekatan yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan pendalaman
fakta melalui pendekatan kuantitatif yang merupakan suatu paradigma
penelitian untuk mendeskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu
keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk
narasi.
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dengan memperoleh
data melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar,
Bagian Verifikasi dan Pembukuan Pemerintah Kota Makassar, dan Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Makassar.
3.2. Tipe Penelitian
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha
mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat
sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada pemecahan
masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian
dilaksanakan. Dalam pendidikan, penelitian deskriptif lebih berfungsi untuk
pemecahan praktis dari pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang menjadi
pusat perhatiannya, kemudian menggambarkan atau melukiskannya
30
sebagaimana adanya, sehingga pemanfaatan temuan penelitian ini
berlaku pada saat itu pula yang belum tentu relevan bila digunakan untuk
waktu yang akan datang. Tidak menuntut adanya perlakuan atau
manipulasi variabel, karena gejala dan peristiwanya telah ada dan peneliti
tinggal mendeskripsikannya.20
3.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif kualitatif (mixed). Metode
kualitatif dan kuantitatif dapat digabungkan bahkan mempunyai kelebihan-
kelebihan jika dibandingkan dengan menggunakan satu metode saja.
Peneliti dapat menggunakan kekuatan-kekuatan metode tambahan untuk
mengatasi kelemahan metode lainnya. Selain itu, penggunaan metode
lebih dari satu dimaksudkan sebagai sarana konfirmasi, jika hanya dengan
satu metode peneliti menganggap temuan riset kurang valid, maka perlu
ada metode lain untuk konfimasi lebih lanjut sehingga menghasilkan
temuan-temuan riset yang lebih valid.21
Bryman dalam Brannen (1996), menjelaskan sejumlah cara
penggabungan penelitian kuantitatif dan kualitatif yang telah dibukukan
diperoleh kesimpulan tentang pendekatan-pendekatan yang teridentifikasi,
yaitu:
20 Soendari, Tjutju. 2012. Metode Penelitian Deskriptif. (Online) (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141980032-TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkuliahan/Metode_PPKKh/Penelitian__Deskriptif.ppt_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf. Diakses tanggal 04 Maret 2013).
21 Sarwono, Jonathan. 2011. Mixed Methods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset Kualitatif secara Benar. Jakarta: Elex Media Komputindo.
31
a. Logika ‘triangulasi’. Temuan-temuan dari suatu jenis studi dapat di cek
pada temuan-temuan yang diperoleh dari jenis studi yang lain,
misalnya, hasil-hasil penelitian kualitatif dapat di cek pada studi
kuantitatif. Tujuannya secara umum adalah untuk memperkuat
kesahihan temuan-temuan.
b. Penelitian kualitatif membantu penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif
dapat membantu menberikan informasi dasar tentang konteks dan
subjek, dan membantu konstruksi skala.
c. Penelitian kuantitaif membantu penelitian kualitatif. Biasanya, ini berarti
penelitian kuantitatif membantu dalam hal pemilihan subjek bagi
peneliti kualitatif.
d. Penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif digabungkan untuk
memberikan gambaran umum. Penelitian kuantitatif dapat digunakan
untuk mengisi kesenjangan-kesenjangan yang muncul dalam studi
kualitatif
e. Struktur dan proses. Penelitian kuantitatif terutama efisien pada
penelusuran ciri-ciri ‘struktural’ kehidupan sosial, sementara studi-studi
kualitatif biasanya lebih kuat dalam aspek-aspek operasional.
Kekuatan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi.
f. Masalah kegeneralisasian. Kelebihan beberapa fakta kuantitaif dapat
membantu menyederhanakan fakta ketika seringkali tidak ada
kemungkinan menggeneralisasi (dalam arti statistik) temuan-temuan
yang diperoleh dari penelitia kualitatif.
32
g. Penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara
variabel. Penelitian kuantitatif dengan mudah member jalan bagi
peneliti untuk menentukan hubugan antara variabel, tetapi seringkali
lemah ketika ia hadir untuk mengungkap alasan-alasan bagi
hubungan-hubungan itu. Studi kualitatif dapat digunakan untuk
membantu menjelaskan faktor-faktor yang mendasari hubungan yang
terbangun.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh bersumber dari hasil wawancara,
sedangkan data sekunder berasal data keuangan APBD Kota Makassar
tahun anggaran 2007-2011. APBD tersebut diperoleh dari beberapa
instansi pemerintah terkait, dalam hal ini diperoleh dari Dinas Pendapatan
Daerah dan Sub Bagian Verifikasi dan Pembukuan Pemerintah Kota
Makassar.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah merupakan usaha untuk
mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang
dapat berupa data, fakta, gejala, maupun informasi yang sifatnya valid
(sebenarnya), realible (dapat dipercaya), dan objektif (sesuai dengan
kenyataan).
Dalam melakukan pengumpulan data, penulis menghimpun data
primer untuk mendukung penelitian serta melakukan pencarian data
sekunder, baik yang berupa catatan-catatan, laporan-laporan, dokumen-
33
dokumen, maupun literatur yang ada hubungannya dengan masalah
penelitian ini.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
baik orang-orang yang telah ditetapkan menjadi informan maupun kondisi
riil yang didapat langsung di lokasi penelitian dengan cara melakukan
observasi dan wawancara. Dalam rangka pengumpulan data ini, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data antara lain sebagai berikut :
a. Studi lapang (field research)
Studi lapang yang dimaksudkan penulis yaitu langsung melakukan
penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan. Teknik
pengumpulan data studi lapang ditempuh dengan cara sebagai berikut :
1. Observasi. teknik ini dilakukan dengan jalan mengamati dan mencatat
secara langsung di lokasi penelitian atas gejala-gejala yang ada
kaitannya dengan objek yang diteliti. Dari hasil ini kita dapat
memperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya dan petunjuk
yang dibutuhkan.
2. Wawancara, dimana terjadi proses interaksi dan komunikasi antara
pewawancara dengan responden atau informan untuk memperoleh
gambaran tentang masalah yang terdapat dalam rumusan masalah.
3. Dokumentasi. Teknik ini bertujuan melengkapi teknik observasi dan
teknik wawancara mendalam.
b. Studi kepustakaan (library research)
34
Penelitian pustaka merupakan teknik pengumpulan data melalui
teks-teks tertulis maupun soft copy seperti buku e-book artikel-artikel
dalam jurnal, laporan, makalah, tesis dan skripsi yang dipublikasikan
pemerintah dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft copy tersebut
biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses
secara online. Pengumpulan data melalui studi pustaka menjadi bagian
yang penting dalam penelitian ketika peneliti menuliskan untuk melakukan
kajian pustaka dalam menjawab rumusan masalahnya. Pendekatan studi
pustaka sangat umum dilakukan dalam penelitian karena peneliti tidak
perlu mencari data dengan terjun langsung ke lapangan tetapi cukup
dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang tersedia dalam
pustaka.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung,
yaitu dengan cara mengutip atau mencatat dari dokumen-dokumen yang
berupa data statistik, arsip, gambar, maupun grafik dari Pemerintah
Daerah, perusahaan ataupun sumber lainnya yang valid, seperti Laporan
Realisasi Anggaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Walikota, dan sebagainya. Dokumen
yang dipilih harus memiliki kredibiltas yang tinggi.
3.5. Defenisi Operasional
Untuk memberikan suatu pemahaman agar memudahkan penelitian
ini maka penulis memberikan beberapa batasan penelitian, dan fokus
35
penelitian ini yang dioperasionalkan melaui beberapa indikator sebagai
berikut.
3.5.1. Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan keuangan daerah artinya kemampuan daerah untuk
menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahannya dengan meminimalisir ketergantungan
terhadap pemerintah pusat.
Indikator dari pengukuran tingkat kemampuan Kota Makassar
dalam pelaksanakaan otonomi daerah tahun 2007-2011, digunakan
Indeks Kemampuan Keuangan (IKR) yang ditetapkan oleh Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) 22 berupa:
3.5.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian= Pendapatan Asli Daerah(PAD)Bantuan Pemerintah Pusat /Provinsi+Pinjaman
x100%
Tabel 3.1
Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan Daerah
RKKD Pola Hubungan
22 Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya Yang Dilakukan Daerah. (Online) (www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2511/ diakses tanggal 17 Agustus 2012).
36
Rendah Sekali 0,00% - 25,00% Instruktif
Rendah 25,01% - 50,00% Konsultatif
Sedang 50,01% - 75,00% Partisipatif
Tinggi 75,01% - 100% Delegatif
Sumber : Wulandari (2001: 20)
3.5.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
TP PADt= PADt−(PADt−1)PADt−1
x100%
Dimana:
TP PADt = Tingkat pertumbuhan PAD tahun berjalan
PADt = PAD tahun berjalan
PADt-1 = PAD tahun sebelumnya
Untuk mengukur Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF):
DDF= PADtTPDt
x100%
Dimana:
DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt = Total PAD tahun t
TPDt = total Penerimaan Daerah tahun t
Tabel 3.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
% Kemampuan Keuangan
37
Daerah0,00 - 10,00 Sangat Kurang
10,01 - 20,00 Kurang
20,01 - 30,00 Cukup
30,01 - 40,00 Sedang
40,01 - 50,00 Baik
>50,00 Sangat Baik
Sumber : Wulandari (2001: 22)
3.5.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
IKR= PADTotal Pengeluaran Rutin
x 100%
Dimana:
IKR = Indeks Kemampuan Rutin
PAD = Pendapatan Asli Daerah
Tabel 3.3
Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin
% Kemampuan Keuangan Daerah0,00 - 20,00 Sangat Kurang
20,01 - 40,00 Kurang
40,01 - 60,00 Cukup
60,01 - 80,00 Baik
80,01 – 100 Sangat Baik
Sumber : Wulandari (2001: 22)
3.5.1.4. Rasio Keserasian
Rasio BelanjaOperasional=Total BelanjaOperasiTotal Belanja APBD
38
Rasio BelanjaModal=Total Belanja ModalTotal Belanja APBD
3.5.1.5. Rasio Pertumbuhan
r=Pn−PoPo
x 100%
Dimana:
Pn = Data yang dihutung pada tahun ke-n
Po = Data yang dihitung pada tahun ke-0
R = Pertumbuhan
3.5.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber
dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku23.
Konstribusi PAD sangat berpengaruh terhadap ketergantungan kepada
bantuan pusat, dimana perintah daerah harus minimalisir ketergantungan
tersebut sehingga PAD menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang
didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Indikator konstribusi PAD terhadap APBD tahun 2007-2011 dalam
menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Makassar adalah:
K=∑ PAD
∑ APBDx 100%
Dimana:
23 Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
39
K = Konstribusi PAD
∑ PAD = Jumlah nilai keseluruhan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
∑ APBD = Jumlah nilai keseluruhan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kota Makassar (dalam Rupiah)
3.6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan Indeks Kemampuan Keuangan (IKR) yang
ditetapkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) berupa rasio keuangan daerah yang diukur dengan
menggunakan beberapa rasio, yaitu:
3.6.1. Rasio Kemampuan Keuangan Daerah
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menunjukkan
kemampuan penerintah darah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahannya. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar
kecilnya PAD dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari
sumber lain, misalnya bantuan dari pemerintah pusat (DAU dan DAK)
maupun dari pinjamin. Rasio kemandirian dapat diformulasikan sebagai
berikut:
Rasio Kemandirian= Pendapatan Asli Daerah(PAD)Bantuan Pemerintah Pusat /Provinsi+Pinjaman
x100%
Rasio ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap
sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian, berarti tingkat
40
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama
pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, demikian pula
sebaliknya.
Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio
kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar
pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan
asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi
daerah menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan masyarakat
semakin tinggi (Mahmudi, 2010:142).
Tolak ukur rasio kemandirian keuangan daerah dapat dijelaskan
dengan menggunakan skala seperti dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3.4
Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan Daerah
RKKD Pola Hubungan
Rendah Sekali 0,00% - 25,00% Instruktif
Rendah 25,01% - 50,00% Konsultatif
Sedang 50,01% - 75,00% Partisipatif
Tinggi 75,01% - 100% Delegatif
Sumber: Wulandari (2001: 20)
Jika, RKKD (Rasio Kemandirian Keuangan Daerah) menurun
maka, hal ini menunjukkan kemandirian keuangan daerah cenderung
menurun walaupun PAD meningkat sebab, peningkatannya lebih lambat
dibandingkan dengan peningkatan bantuan dan sumbangan. Semakin
41
sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu
daerah yang menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu
membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.
Adapun Pola hubungan keuangan daerah tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
1) Pola Hubungan Instruktif: peranan pemerintah pusat lebih dominan
dari pada kemandirian pemerintah daerah (Daerah tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah).
2) Pola Hubungan Konsultatif: campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi.
3) Pola Hubugan Partisipatif: peranan pemerintah pusat semakin
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
4) Pola Hubungan Delegatif: campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada, karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
b. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Menurut Ulum (2009) untuk mengukur tingkat pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan APBD untuk memperoleh kondisi
keuangan daerah adalah sebagai berikut:
TP PADt= PADt−(PADt−1)PADt−1
x100%
42
Dimana:
TP PADt = Tingkat pertumbuhan PAD tahun berjalan
PADt = PAD tahun berjalan
PADt-1 = PAD tahun sebelumnya
Untuk mengukur Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF):
DDF= PADtTPDt
x100%
Dimana:
DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt = Total PAD tahun t
TPDt = total Penerimaan Daerah tahun t
Berdasarkan hasil perhitungan kedua rumus diatas, maka
digunakan skala interval untuk mengetahui kemampuan keuangan.
Tabel 3.5
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
% Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-10,00 Sangat Kurang
10,01-20,00 Kurang
20,01-30,00 Cukup
30,01-40,00 Sedang
40,01-50,00 Baik
>50,00 Sangat Baik
Sumber: Wulandari (2001: 22)
Semakin tinggi kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa
daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri
43
tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat
desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat konstribusi PAD
terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat
kinerja keuangan daerah secara utuh.
c. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
IKR= PADTotal Pengeluaran Rutin
x 100%
Tabel 3.6
Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin
% Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-20,00 Sangat Kurang
20,01-40,00 Kurang
40,01-60,00 Cukup
60,01-80,00 Baik
80,01-100 Sangat Baik
Sumber : Wulandari (2001: 22)
Dalam penelitian ini, pengeluaran rutin diperoleh dari bagian
belanja operasi, hal ini dikarenakan adanya perubahan peraturan
mengenai kelompok belanja dalan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 24 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006.
d. Rasio Keserasian
44
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan
yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi
masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian
ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Mahmudi, 2010:143):
Rasio BelanjaOperasional=Total BelanjaOperasiTotal Belanja APBD
Rasio BelanjaModal=Total Belanja ModalTotal Belanja APBD
e. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilan yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan
APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari
Pendapatan Asli Daerah, Total Pendapatan Daerah, Belanja rutin dan
Belanja Pembangunan (Mahmudi, 2010:145):
r=Pn−PoPo
x 100%
Dimana:
Pn = Data yang dihutung pada tahun ke-n
Po = Data yang dihitung pada tahun ke-0
45
R = Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai PAD, TPD dan Belanja Pembangunan
yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka
pertumbuhannya adalah positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan
telah mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari
periode satu ke periode yang berikutnya. Selanjutnya jika semakin tinggi
nilai PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya
Belanja Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya
bahwa daerah yang bersangkutan belum mampu mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang
berikutnya.
3.6.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar
Untuk menganalisis konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap
APBD tahun 2007-2011 dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di
Kota Makassar, maka digunakan rumus:
K=∑ PAD
∑ APBDx 100%
Dimana:
K = Konstribusi PAD
∑ PAD = Jumlah nilai keseluruhan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
46
∑ APBD = Jumlah nilai keseluruhan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kota Makassar (dalam Rupiah)
Untuk mengetahui berapa besarnya Konstribusi Pendapatan Asli
Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam
menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Makassar digunakan
rumus diatas. Sedangkan untuk mengetahui perkembangan dalam tahun
anggaran 2007-2011, maka konstribusi PAD dihitung tiap tahunnya dan
dilihat persentasenya dari tahun ke tahun (2007-2011).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
47
Pada bab ini diuraikan gambaran secara umum tentang lokasi
penelitian, yang diuraikan secara deskriptif tentang keadaan geografis,
demografi, keadaan ekonomi, kondisi pemerintahan, kondisi strategis dan
arah kebijakan daerah, serta juga akan dibahas mengenai sumber-sumber
pendapatan asli daerah Kota Makassar. Bab ini juga menyajikan
pembahasan dari hasil penelitian yang meliputi tingkat kemampuan
keuangan daerah yang berupa hasil-hasil perhitungan rasio beserta
analisisnya, dan konstribusi pendapatan asli daerah terhadap APBD Kota
Makassar tahun anggaran 2007-2011.
4. 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Profil Kota Makassar
Kota Makassar memiliki posisi yang sangat strategis,
kerena terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan
secara ekonomis daerah ini memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif, dimana Kota Makassar berada di selat Makassar yang
merupakan salah satu jalur pelayaran internasional. Disamping
sebagai titik simpul transportasi laut dan udara, Kota Makassar
bukan hanya sebagai pusat pelayanan dan pengembangan
distribusi jasa dan perdagangan dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) tetapi merupakan “Living Room” yaitu sebagai tempat yang
aman tenteram, damai sangat kondusif sebagai tempat tinggal
dan berinvestasi serta melakukan berbagai aktivitas.
48
Kota Makassar secara geografis terletak di antara 119
24’17’38’’ Bujur Timur dan 5º8’6’19’’ Lintang Selatan, Kondisi
klimatologi Kota Makassar berdasarkan pencatatan Stasiun
Meteorologi Maritim Paotere pada tahun 2009 secara rata-rata
kelembaban udara sekitar 81,5 %, rata-rata kecepatan angin 5,2
knot.
Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten
yakni: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros,
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar, Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Maros, Sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Gowa. Secara administratif
Pemerintahan Kota Makassar terbagi atas 14 Kecamatan dan
143 Kelurahan dengan luas wilayah 175,77 km dan jumlah
penduduk sebanyak 1.339.374 jiwa. Luas wilayah tersebut
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971
tentang Perubahan Batas-batas Kegiatan Daerah Kotamadya
Makassar dan Kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene dan
Kepulauan dalam Lingkup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis
Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar
memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun
politik. Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang
tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Memang selama ini
49
kebijakan makro pemerintah yang seolah-olah menjadikan Surabaya
sebagai home base pengelolaan produk-produk draft kawasan Timur
Indonesia, membuat Makassar kurang dikembangkan secara optimal.
Padahal dengan mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat
berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di
Kawasan Timur Indonesia dan percepatan pembangunan. Dengan
demikian, dilihat dari sisi letak dan kondisi geografis Makassar memiliki
keunggulan komparatif dibanding wilayah lainnya di kawasan Timur
Indonesia. Saat ini Kota Makassar dijadikan inti pengembangan wilayah
terpadu Mamminasata.24
4.1.2. Visi dan Misi Kota Makassar
Visi merupakan wujud atau bentuk masa depan yang diharapkan.
Rumusan visi mencerminkan kebutuhan yang fundamental dan sekaligus
merefleksikan dinamika pembangunan dari berbagai aspek. Dalam
konteks itu, Kota Makassar telah menetapkan Visi tahun 2025
sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
daerah Kota Makassar dengan rumusan, yakni: “Makassar sebagai Kota
Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa yang Berorientasi Global,
Berwawasan Lingkungan dan Paling Bersahabat”. 25
24 Pemerintah Kota Makassar. 2009. Geografis Makassar. (Online) (http://bahasa. makassarkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=85 diakses tanggal 06 Desember 2012).
25 Sirajuddin, Ilham Arief dan Guntur, Soepomo. 2008. Penyampaian Visi dan Misi. (Online) (http://makassarkota.go.id/download/visi-misi-iasmo.pdf diakses tanggal 06 Desember 2012).
50
Selanjutnya Visi jangka panjang tersebut perlu dijabarkan dalam
Visi lima tahunan Pemerintah Kota Makassar, sebagai upaya mewujudkan
visi jangka panjang dan sikap konsistensi Pemerintah Kota, sehingga
tercipta kesinambungan arah pembangunan. Memperhatikan kewenangan
otonomi daerah sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 serta
memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dengan posisi
Makassar sebagai Kota Maritim, sebagai simpul kegiatan Niaga dan
Pendidikan di Kawasan Timur Indonesia, serta dengan dukungan nilai-
nilai budaya yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka
dirumuskan Visi Pemerintah Kota Makassar tahun 2010 adalah:
“Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan yang Bermartabat
dan Manusiawi”.
Visi tersebut di atas mengandung makna:
a. Terwujudnya kota Maritim yang tercermin pada tumbuh
berkembangnya budaya bahari dalam kegiatan sehari–hari dan dalam
pembangunan yang mampu memanfaatkan daratan maupun perairan
secara optimal dengan tetap terprosesnya peningkatan kualitas
lingkungan hidupnya;
b. Terwujudnya atmosfir perniagaan yang aman, lancar dan mantap bagi
pengusaha kecil, menengah maupun besar;
c. Terwujudnya atmosfir pendidikan yang kondusif dalam arti adil dan
merata bagi setiap golongan dan lapisan masyarakat, yang relevan
dengan dunia kerja, yang mampu meningkatkan kualitas budi pekerti
51
dan relevan dengan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK);
d. Terwujudnya Makassar sebagai kota maritim, niaga dan pendidikan ini
dilandasi oleh martabat para aparat Pemerintah Kota, warga kota dan
pendatang yang manusiawi dan tercermin dalam peri kehidupannya
yang menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
alam.
Berdasarkan Visi Pemerintah Kota Makassar Tahun 2010 tersebut
di atas yang pada hakekatnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya
Visi Kota Makassar Tahun 2005-2025, maka dirumuskan Misi Pemerintah
Kota Makassar Tahun 2010 sebagai berikut;
a. Mengembangkan kultur maritim dengan dukungan infrastruktur bagi
kepentingan lokal, regional, nasional dan internasional.
b. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat perniagaan melalui optimalisasi
potensi lokal;
c. Mendorong peningkatan kualitas manusia melalui pemerataan
pelayanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat;
d. Mengembangkan apresiasi budaya dan pengamalan nilai-nilai agama
berbasis kemajemukan masyarakat;
e. Mengembangkan sistem pemerintahan yang baik, bersih dan
berwibawah melalui peningkatan profesionalisme aparatur;
52
f. Mendorong terciptanya stabilitas, kenyamanan dan tertib lingkungan;
dan
g. Peningkatan infrastruktur kota dan pelayanan publik.
Dalam hal kesimanbungan pembangunan, maka rumusan visi
“Makassar Kota Dunia Berlandaskan Kearifan Lokal” merupakan visi Kota
Makassar tahun 2014 yang merujuk pada visi jangka panjang Kota
Makassar tahun 2005-2025. 26
4.1.3. Kondisi Perekonomian Daerah
Sejalan dengan perkembangan kota Makassar, kegiatan ekonomi
juga semakin pesat, ini ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan
perdagangan yang sekarang telah mencapai 14.584 unit usaha yang
terdiri dari 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah dan
7.574 perdagangan kecil. Kemudian terdapat 21 industri besar dan 40
industri sedang yang terkonsentrasi di kecamatan Biringkanaya dan
konsentrasi industri besar kedua terdapat di kecamatan Tamalanrea dan
kecamatan Panakkukang masing-masing 5 unit. Sementara itu kawasan
perdagangan utama kota Makassar terdapat di Pasar Sentral (Makassar
Mall) sebagai pusat dan wilayah Panakkukang dan Daya sebagai sub
pusat pelayanan selain itu terdapat beberapa Mall dan kawasan
perdagangan Somba Opu, sedangkan JI. Jend. Sudirman, Jl. DR.
Ratulangi cenderung untuk berubah menjadi kawasan perdagangan.
26 Pemerintah Kota Makassar. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Makassar Tahun 2009. (Online) (http:// makassar kota.go.id/ download/ ilppd2009 .pdf diakses tanggal 17 Agustus 2012).
53
4.1.4. Kondisi Pemerintahan di Kota Makassar
Makassar dalam sejarahnya telah menjadi bagian dari masyarakat
dunia. Demikian halnya saat ini dan kecenderungan ke depan akan tetap
menjadi bagian dari masyarakat dunia yang tengah memasuki era
globalisasi yang ditandai dengan tingkat kompetisi yang semakin ketat
pada satu sisi, namun memberi peluang terjadinya sinergitas antar daerah
pada sisi lainnya.
Bersamaan dengan globalisasi tersebut, kecenderungan lain yang
dihadapi adalah semangat otonomi daerah sebagai konsekuensi
perubahan paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi. Kecenderungan
yang demikian ini memberi peluang bagi pengembangan potensi masing-
masing daerah, interkoneksitas antar daerah, dan sekaligus dapat
menciptakan persaingan antar daerah.
Bagi Kota Makassar, dua kecenderungan di atas dapat mendorong
pengembangan dan pemanfaatan potensi kota karena memiliki potensi
sumberdaya manusia dan ketersediaan berbagai infrastruktur kota.
Namun demikian, juga dapat menciptakan beban karena dalam
keadaannya Makassar juga dihadapkan pada masalah perkotaan yang
cukup kompleks. Diantara masalah tersebut yang cukup mendasar
adalah; kulitas manusia yang masih relatif terbatas, potensi ekonomi yang
belum berkembang secara optimal, kualitas dan ketersediaan infrastruktur
kota yang masih terbatas dibandingkan dengan dinamika kebutuhan
54
masyarakat serta tuntutan atas penyelenggaraan tata pemerintahan yang
baik (good governance).27
4.1.5. Kondisi Strategis Kota Makassar
Kondisi strategis mencakup kondisi lingkungan internal, eksternal,
dan organisasi. Lingkungan internal berpengaruh terhadap kinerja
pembangunan secara umum dapat dikendalikan secara langsung. Untuk
mengoptimalkan kekuatan dan mengalisa kelemahan dalam menunjang
perumusan kebijakan, program dan pelaksanaan kegiatan.
Kekuatan yang dimiliki oleh Kota Makassar adalah:
a. Jumlah sumber daya manusia yang cukup memadai;
b. Letak geografis wilayah yang sangat strategis dan sebagai ibukota
provinsi;
c. Potensi sumber daya alam, khususnya kelautan dan perikanan yag
memadai;
d. Tersedianya infrastruktur sosial ekonomi yang memadai;
e. Potensi usaha perdagangan dan jasa yang memadai;
f. Potensi modal transportasi yang memadai;
g. Suasana politik yang stabil, kearifan sosial yang berakar pada nilai-
nilai budaya dan agama yang kuat.
27 Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar Tahun 2005-2010.
55
Kelemahan yang masih dimiliki oleh Kota Makassar adalah:
a. Pemerataan pelayanan pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja
belum memadai;
b. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan belum dikelola secara
optimal;
c. Kebersihan dan keindahan kota belum memdai sebagai tempat hunian
yang indah, bersih, dan menarik;
d. Kualitas sumber daya manusia dibidang industri dan jasa masih
rendah;
e. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk
mendukung PAD belum memadai;
f. Struktur ekonomi terutama keterkaitan antar bidang lapangan usahan
masih lemah dan rentan terhadap persaingan global;
g. Pelayanna publik belum maksimal;
h. Daya saing produk unggulan kota yang masih lemah;
i. Sistem informasi dan komunikasi yang belum memadai dalam
menghadapi perdagangan bebas;
j. Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya jaminan keamanan
dalam berbagai kehidupan masyarakat;
k. Pembinaan politik dan produk legislasi daerah serta penegakan HAM
secara proporsional belum optimal;
l. Kelembagaan pemerintah dan masyarakat belum berkembang dengan
baik;
56
m. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang belum optimal; dan
n. Masih terbatasnya infrastruktur publik.
Lingkungan eksternal dalam hal ini adalah faktor lingkungan yang
dapat berpengaruh terhadap kinerja pembangunan daerah dan secara
umum tidak dapat dikendalikan, disatu sisi merupakan peluang yang
dapat dimanfaatkan dan pada sisi lain merupakan tatangan yang harus
dihadapi.
Peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Kota Makassar adalah:
a. Posisi Kota Makassar sebagai salah satu pusat perdagangan dan jasa
di Kawasan Timur Indonesia (KTI) termasuk pembangunan bidang
kelautan dan perikanan;
b. Terbukanya perdagangan bebas yang memungkinkan produk
unggulan Kota Makassar mendapatkan pasar yang lebih luas;
c. Adanya kerjasama antar daerah khususnya kawasan Maros,
Makassar, Sungguminasa, dan Takalar (MAMMINASATA) yang
mendukung pengembangan daerah dan kegiatan ekonomi antar
daerah;
d. Komitmen pemerintah pusat terhadap percepatan pembangunan di
KTI;
e. Otonomi yang luas memungkinkan pemerintah daerah
mengembangkan, mengelola dan meningkatkan daya saing daerah;
dan
57
f. Aksesibiitas Kota Makassar yang terbuka untuk interkoneksitas
regional, nasional dan internasional.
Kelemahan yang perlu diperbaiki oleh Kota Makassar adalah:
a. Kualitas aparatur yang belum professional; dan
b. Sumber daya financial belum cukup memadai, baik yang bersumber
dari PAD maupun penerimaan dari pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan pemerinrahan, pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan.
Tantangan lingkungan organisasi yang perlu dihadapi adalah:
a. Dinamika masyarakat Kota Makassar yang heterogen, menuntut
kepemimpinan yang proaktif, responsive dan konsisten;
b. Masyarakat Kota Makassar yang maju menuntut pelayanan
transparan, konsisten dan akuntabel;
c. Perkembangan lingkungan strategis mengarah pada perdagangan
bebas, menuntut kemampuan mekanisme pelayanan publik sesuai
standar International Standart Organization (ISO);
d. Dinamika kelembagaan pemerintah yang tinggi menuntut kemampuan
bagi aparat dalam melaksanakan pengawasan, pembinaan dan
fasilitasi;
e. Kebijakan pemerintah pusat masih sentralistik dan kurang konsisten
menyulitkan pemerintah kota dalam mengelola pelayanan secara
efisien dan efektif; dan
f. Urbanisasi yang cukup tinggi.
58
4.1.6. Strategi Dan Arah Kebijakan Daerah
Dalam mengembang Misi untuk mencapai Visi yang telah
ditetapkan, maka Pemerintah Kota Makassar menetapkan strategi dasar
pembangunan yakni “Meningkatkan pelayanan yang efesien dan efektif
untuk mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik, mempercepat
terwujudnya Kota Makassar sebagai pusat keunggulan pengembangan
ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang intinya
mengembangkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas”.
Sesuai dengan strategi dasar tesebut, maka dalam Rencana
Startegis (Renstra) yang telah disempurnakan menjadi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kota
Makassar, dirumuskan pokok-pokok kebijakan yang menjadi acuan dalam
menetapkan program dan kegiatan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yaitu:
a. Pembangunan Kualitas Manusia;
b. Pembangunan Daya Saing Ekonomi Daerah;
c. Pengembangan Kawasan , Tata Ruang dan Lingkungan;
d. Pembangunan Pemerintahan dan Pelayanan Publik; dan
e. Pembangunan Politik Hukum dan HAM.
4.2. Hasil Penelitian
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan penguatan
kapasitas fiskal daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih
besar untuk mewujudkan kemandirian keuangan melalui desentralisasi
59
fiskal yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Beberapa
peraturan yang terkait langsung dengan hal tersebut adalah Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
4.2.1. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar
Analisis rasio keuangan terhadap realisasi APBD dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Disamping
meningkatkan kuantitas pengelolaan keuangan daerah, analisis rasio
terhadap realisasi APBD juga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai
efektivitas pelaksanaan otonomi daerah. Sebab kebijakan ini yang
memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola
keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja keuangan
daerah yang bersangkutan.
Rasio keuangan yang digunakan dalam pembahasan pada bab ini
adalah rasio-rasio yang merupakan penjabaran dari Indeks Kemampuan
Keuangan (Bappenas:2003), yang terdiri atas: Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio Indeks
Kemampuan Rutin, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan Keuangan
Pemerintah Daerah Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011, sehingga
dapat diketahui bagaimana kecendurungan yang terjadi tiap tahunnya
dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
60
Data yang digunakan adalah data yang berasal dari arsip dokumen
pada bagian verifikasi dan pembukuan kantor pemerintah Kota Makassar
(Balai Kota) yang berupa data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) untuk tahun anggaran
2007-2011. Dari hasil APBD dan LRA tersebut nantinya akan diketahui
bagaimana kinerja keuangan Kota Makassar selama lima tahun anggaran
tersebut.
APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah
dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dalam tahun anggaran tertentu. Dengan demikian, pemungutan semua
penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan
untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD.
Laporan Realisasi Anggaran Kota Makassar merupakan laporan
yang mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah kota yang
menunjukkan ketaatan terhadap APBD. Laporan Realisasi Anggaran
menyajikan ikhtisar sumber, aplikasi dan penggunaan sumber daya
ekonomi yang dikelola oleh pemerintah kota dalam satu periode
pelaporan. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan unsur yang
dicakup dalam Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari:
a. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah
ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang
61
menjadi hak pemerintah daerah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh
pemerintah daerah.
b. Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi
ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan
tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh pemerintah daerah.
c. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran
berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama
dimaksudkan untuk menutupi defisit atau memanfaatkan surplus
anggaran.
Hasil perhitungan dan analisis beberapa Rasio keuangan terhadap
APBD Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011:
4.2.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Konsekuensi pembebanan tugas dan tanggung jawab ke daerah
yang semakin besar, kepada daerah telah diserahkan sumber pendanaan
yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, melalui
skema transfer. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan sumber
pendapatan dari pihak ekstern yaitu berupa bantuan dari pemerintah
pusat atau provinsi ditambah dengan pinjaman.
Kemandirian keuangan daerah merupakan kemampuan pemerintah
daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak
daerah, retribusi dan lain-lain. Oleh karena itu, otonomi daerah dan
62
pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian
keuangan yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan daerah secara
finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan
jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak,
retribusi dan sebagainya serta mengoptimalkan sumber-sumber PAD
yang telah ada.
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio ini adalah:
Rasio Kemandirian= Pendapatan Asli Daerah(PAD)Bantuan Pemerintah Pusat /Provinsi+Pinjaman
x100%
Nordiawan (2008:48) mengemukakan bahwa Dana Perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Latar belakang lain adanya transfer dana
pusat ke daerah ini antara lain untuk mengatasi ketimpangan fiskal vertikal
(antara pusat dan daerah), mengatasi ketimpangan fiskal horizontal, serta
guna mencapai standar pelayanan untuk masyarakat.
Ketimpangan fiskal horizontal muncul akibat tidak seimbangannya
kapasitas fiskal daerah dengan kebutuhan fiskalnya. Dengan kata lain,
kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan asli daerah tidak
mampu menutupi kebutuhan belanja daerah. Sesuai dengan PP No 55
tahun 2005 pasal 2, “Dana perimbangan mencakup Dana Bagi Hasil,
Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus”. Jumlah dana
perimbangan ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
63
Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan
daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah
dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi DAU
bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil
akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang
memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan
memperoleh alokasi DAU yang relatif besar. Dengan maksud melihat
kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam
rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum
APBD dikurangi dengan belanja pegawai.
Ketimpangan ekonomi antara satu provinsi dengan provinsi lain tidak
dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh
minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali
oleh Pemerintah Daerah. Untuk menanggulangi ketimpangan tersebut,
Pemerintah Pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU
kepada daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi, akan
diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga
sebaliknya.
Rincian tentang komponen sumber-sumber pendapatan dari pihak
ekstern berupa bantuan bantuan pemerintah pusat/provinsi, ditambah
dengan jumlah pinjaman (jika ada) yang diperoleh oleh pemerintah Kota
Makassar pada Tabel 4.1.
64
Tabel 4.1
Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern (Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi + Pinjaman)
dalam satuan Rupiah
KETERANGAN 2007 2008 2009 2010 2011Bagi Hasil Pajak 104.874.361.567,00 123.593.538.166,00 142.662.186.490,00 170.552.155.100,00 124.804.208.709,00Bagi Hasil Bukan Pajak 4.200.977.834,00 2.336.954.029,00 721.325.116,00 708.265.127,00 1.690.398.816,00
Dana Alokasi Umum 583.842.000.000,00 643.328.392.000,00 647.299.704.000,00 644.266.427.000,00 718.481.320.000,00Dana Alokasi Khusus 8.535.000.000,00 19.993.000.000,00 43.151.000.000,00 45.753.700.000,00 60.898.000.000,00Otonomi Khusus - - - - -Dana Penyesuaian 5.078.559.200,00 5.272.789.600,00 68.965.037.000,00 190.426.514.332,00 262.927.499.880,00Pendapatan Bagi Hasil Pajak 83.268.013.643,00 128.139.956.935,00 115.012.318.875,00 155.704.122.541,21 166.494.273.845,37
Pendapatan Bagi Hasil Lainnya - - - - -
Pendapatan Hibah 1.552.414.980,00 3.087.582.000,00 1.559.018.800,00 650.445.600,00 970.971.485,00Pendapatan Dana Darurat - 3.000.000.000,00 - 100.000.000,00 -
Pendapatan Lainnya 13.698.400.000,00 57.387.453.984,47 25.648.404.800,00 31.364.688.800,00 40.611.289.800,00JUMLAH 805.049.727.224,00 986.139.666.714,47 1.045.018.995.081,00 1.239.526.318.500,21 1.376.877.962.535,37
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
65
Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah pendanaan yang bersumber
dari pihak ekstern meningkat setiap tahun, dimana Dana Alokasi Umum
(Dana Perimbangan) merupakan sumber pendanaan terbesar.
Komponen Dana Alokasi Umum merupakan komponen penyumbang
terbesar terhadap pendapatan dari pihak ekstern. Hal ini dipengaruhi oleh
bobot daerah, yang dinilai berdasarkan indeks penduduk, indeks luas
daerah, indeks harga bangunan, dan indaks kemiskinan relatif yang
dikemudian dibagi 4 (empat) dan dikalikan dengan pengeluaran daerah
rata-rata. Berbeda dengan pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
hanya mempertimbangkan untuk pembiayaan kebutuhan yang bersifat
khusus, misalnya kebutuhan beberapa jenis prasarana baru,
pembangunan jalan di kawasan terpencil, dan sebagainya.
Komponen terbesar kedua adalah dana penyesuian. Dana
penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah
dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu Pemerintah dan DPR
sesuai peraturan perundangan, yang terdiri atas dana insentif daerah,
Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD),
dana-dana yang dialihkan dari Kementerian Pendidikan Nasional ke
Transfer ke Daerah, berupa Tunjangan Profesi Guru dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, dan
sebagainya.
Hasil perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilihat
dalam Tabel 4.2 dan Gambar 4.1.
66
Tabel 4.2
Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
No TA Total Pendapatan (Rp)
Pendapatan Asli Daerah%
Bantuan Pemerintah Pusat/Prov + Pinjaman
%Rasio
Kemandirian
Pola Hubu-nganRp Perkem
bangan Rp Perkembangan
1 2007 941.668.824.309,59 136.619.097.085,59 - 14,51% 805.049.727.224,00 - 85,49% 16,97% Instruktif2 2008 1.141.051.558.673,86 154.911.891.959,39 11,81% 13,58% 986.139.666.714,47 18,36% 86,42% 15,71% Instruktif
3 2009 1.215.717.720.899,79 170.698.725.818,79 9,25% 14,04% 1.045.018.995.081,00 5,63% 85,96% 16,33% Instruktif
4 2010 1.449.662.649.590,85 210.136.331.090,64 18,77% 14,50% 1.239.526.318.500,21 15,69% 85,50% 16,95% Instruktif
5 2011 1.728.570.515.122,97 351.692.552.587,60 40,25% 20,35% 1.376.877.962.535,37 9,98% 79,65% 25,54% Konsultatif
Rata-Rata 204.811.719.708,40 20,02% 15,39% 1.090.522.534.011,01 12,42% 84,61% 18,30% Instruktif
Sumber: Data diolah, 2013
67
Gambar 4.1
Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
2007 2008 2009 2010 20110.00%
10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%70.00%80.00%90.00%
100.00%
14.51% 13.58% 14.04% 14.50%20.35%
85.49% 86.42% 85.96% 85.50%79.65%
16.97% 15.71% 16.33% 16.95%25.54%
PAD Bantuan Pemerintah Pusat/ProvinsiRasio Kemandirian
TAHUN ANGGARAN
PERSENTASE
Menurut hasil perhitungan dan Gambar 4.1, selama lima tahun
terakhir rasio kemandirian keuangan daerah Kota Makassar, hanya pada
tahun kelimalah (tahun 2011) yang mencapai hasil sebesar 25,54%
dengan pola hubungan konsultatif. Pola hubungan ini menggambarkan
bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena
daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
Akan tetapi, apabila dilihat secara keseluruhan maka dapat disimpulkan
bahwa rasio kemandirian keuangan daerah selama lima tahun pada Kota
Makassar memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih rendah dan dalam
kategori kemampuan keuangan kurang dengan pola hubungan instruktif
yaitu peranan pemerintah pusat sangat dominan dari pada daerah. Hal ini
68
dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan masih berkisar antara
0,00% - 25,00%. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan
kemampuan keuangan daerah Kota Makassar dalam membiayai
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung
pada penerimaan dari pemerintah pusat.
Kemandirian keuangan daerah menjadi sangat penting, baik dari sisi
pendapatan (revenue), maupun dari sisi pengeluaran (expenditure) agar
Pemerintah Daerah memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk
mendesain dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat stimulan
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai dengan aspirasi dan
karakteristik masyarakatnya masing-masing.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Makassar terus
menerus menggiatkan upaya mengoptimalkan peningkatan pendapatan
daerah, khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena menajemen
pemungutan PAD berada di dalam ranah kebijakan Pemerintah Daerah
sendiri, berbeda dengan Dana Perimbangan yang kebijakannya
merupakan domain Pemerintahan Pusat.
Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada
sumber penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya
Pendapatan Asli Daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk
otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis pajak/retribusi yang ada di
daerah dan kurangnya pendapatan asli daerah yang dapat digali oleh
pemerintah daerah. Hai ini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk
69
menambah Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah
pusat, sedangkan untuk basis pajak yang cukup besar masih dikelola oleh
pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan/pengenaannya
berdasarkan undang-undang/peraturan pemerintah, dan daerah hanya
menjalankan serta akan menerima bagian dalam bentuk dana
perimbangan. Dana perimbangan itu sendiri terdiri dari: Bagi Hasil Pajak,
Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus, dan penerimaan lainnya.
Iswady (Kepala Sub Bagian Keuangan Dinas Pendapatan Daerah
Kota Makassar) mengatakan bahwa:
“Meningkatnya sumber pendapatan dari bantuan pusat berupa dana transfer atau dana perimbangan didasarkan pada indikator penentuan besarnya penerimaan yang diterima oleh suatu daerah. Indikatornya, salah satunya yaitu jumlah penduduk. Penduduknya Kota Makassar tiap tahunnya terus bertambah, ruas wilayah walaupun tidak bertambah tetap dimasukkan dalam komponen perhitungan pemberian dana perimbangan, ada juga yang memasukkan pulau-pulau yang dimiliki daerah, berapa jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena sebagian besar Dana Perimbangan atau dana transfer yang diterima dari pemerintah pusat yang dibelanjakan daerah untuk membayar gaji PNS. Jadi kalau gaji PNS bertambah, otomatis biasanya ada juga penambahan terkait dengan dana transfer dari pemerintah pusat. Jadi kalau trendnya bertambah, iya pasti. Trendnya bertambah bisa juga mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat tidak bisa lepas. Tapi sedapat mungkin, kedepannya pemerintah kota berharap ketergantungan tersebut dapat berkurang dan juga pasti menjadi harapan pemerintah pusat. Besarnya dana transfer ke daerah, artinya daerah itu masih membutuhkan pemerintah pusat dalam hal pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan rutinnya” (Wawancara, 23 Januari 2013)
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu
mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada.
Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya
70
meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif
yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan pembiayaannya,
dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah
untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program
kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program
peningkatan PAD misalnya pendirian BUMD sektor potensial maupun
penyertaan modal keperusahaan daerah dengan mendapatkan imbalan
berupa deviden.
Hal ini sesuai pula dengan Kebijakan Umum Anggaran di bidang
Pendapatan Daerah Tahun 2011 yang tetap diarahkan pada upaya
peningkatan pendapatan daerah melalui optimalisasi pengelolaan
pendapatan daerah sesuai potensi dan kewenangan yang ada
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan tetap mengedepankan pertimbangan aspek keadilan dan
kemampuan masyarakat.
4.2.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal daerah menunjukkan seberapa besar
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam
membiayai pembangunan. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat
ketergantungan tersebut maka dilakukan dengan menggunakan ukuran
apa yang disebut Derajat Desentralisasi Fiskal.
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
71
DDF= PADtTPDt
x100%
Dimana:
DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt = Total PAD tahun t
TPDt = total Penerimaan Daerah tahun t
Hasil perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dilihat
dalam tabel 4.3 berikut ini:
Tabel 4.3
Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
Tahun PAD TPD%
Kemampuan
Anggaran (Rp) (Rp) Keuangan
2007 136.619.097.085,59 941.668.824.309,59
14,51
% Kurang
2008 154.911.891.959,39 1.141.051.558.673,86
13,58
% Kurang
2009 170.698.725.818,79 1.215.717.720.899,79
14,04
% Kurang
2010 210.136.331.090,64 1.449.662.649.590,85
14,50
% Kurang
2011 351.692.552.587,60 1.728.570.515.122,97
20,35
% Cukup
Rata-rata15,39
% Kurang
Sumber: Data diolah, 2013
72
Kemampuan keuangan daerah Kota Makassar berdasarkan hasil
perhitungan rasio derajat desentralisasi fiskal menunjukkan masih
kurangnya penerimaan yang diperoleh berdasarkan pendapatan asli
daerah apabila dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah (TPD).
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.3, kemampuan keuangan berdasarkan
rasio derajat desentraslisasi fiskal pada tahun 2007-2010 masih kurang,
karena msih berada pada interval 10,01% - 20,00%, sedangkan pada
tahun 2011 mengalami peningkatan persentase menjadi 20,35% yang
menggambarkan bahwa kemampuan keuangan daerah dianggap cukup.
Berdasarkan jumlah rata-rata rasio derajat desentralisasi fiskal,
kemampuan keuangan Kota Makassar masih berada pada tingkat
kemampuan yang kurang, yaitu sebesar 15,39% dan berada pada kisaran
10,01% - 20,00%.
Gambar 4.2
Hasil Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Kota Makassar Tahun 2007-2011
73
2007 2008 2009 2010 2011
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
14.51%13,58% 14.04%14.50%
20.35%
Derajat Desentral-isasi Fiskal
TAHUN ANGGARAN
PERSENTASE
Rendahnya perolehan persentase yang dimiliki oleh Kota Makassar
menunjukkan bahwa pemerintah kota belum mampu membiayai
pengeluarannya sendiri dengan kata lain, masih sangat tergantung pada
pemerintah pusat. Apabila hasil dari rasio derajat desentralisasi fiskal ini
dipadukan dengan hasil perhitungan rasio kemandirian, maka akan terlihat
jelas bahwa konstribusi PAD terhadap total pendapatan daerah secara
keseluruhan masih relatif kecil, maka kinerja keuangan daerah dinilai
masih sangat rendah.
Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat
penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Manfaat dari
kemandirian adalah mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan
kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta akan mendorong
pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan
memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah.
74
Dari hal tersebut diatas kemandirian fiskal daerah menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu
otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila
disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan
daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah
pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD
seperti pajak, retribusi dan sebagainya.
4.2.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
IKR= PADTotal PengeluaranRutin
x 100%
Dalam penelitian ini, pengeluaran rutin atau belanja rutin diperoleh
dari bagian belanja operasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan
peraturan mengenai kelompok belanja dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian diubah kedalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Berikut adalah rincian komponen
pengeluaran/belanja rutin Kota Makassar yang disajikan pada Tabel 4.4:
75
Tabel 4.4
Pengeluaran Rutin Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
URAIAN TAHUN ANGGARAN2007 2008 2009 2010 2011
Belanja Pegawai 491.041.460.780,00 622.133.925.689,00 700.509.945.216,00 817.595.928.244,00 1.072.077.237.541,94 Belanja Bunga 1.243.438.329,28 - - 2.119.727.019,67 - Belanja Subsidi 4.424.916.654,00 1.728.066.825,00 1.125.000.000,00 - - Belanja Hibah 3.500.000.000,00 61.598.935.217,00 23.304.715.000,00 25.175.607.000,00 35.577.984.849,00 Belanja Bantuan Sosial 38.710.373.487,00 32.654.139.261,00 17.473.958.777,01 26.232.596.600,00 27.177.912.236,00 Belanja Bagi Hasil kepada Prov./Kab./Kota & Pem. Desa - - - - -
Belanja Bantuan Keuangan kepada Prov./Kab./Kota & Pemerintah Desa
- - - - -
Belanja tidak terduga - - - 751.300.000,00 2.025.601.360,00 Total Pengeluaran Rutin 538.920.189.250,28 718.115.066.992,00 742.413.618.993,01 871.875.158.863,67 1.136.858.735.986,94
Sumber: Data diolah, 2013
76
Dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah, yaitu
“belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui
sebagian pengurang nilai kekayaan bersih”. Dari pengertian tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua
pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode anggaran yang
berupa arus kas aktiva keluar.
Dengan telah diberikannya wewenang untuk mengelola keuangan
daerah, maka Belanja Rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan
tugas rutin perangkat daerah, termasuk perangkat dinas-dinas yang telah
dan akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.
Dari Tabel 4.4, komponen terbesar dari pengeluaran rutin Kota
Makassar tahun anggaran 2007-2011 adalah Belanja Pegawai. Dimana,
belanja pegawai mengalami peningkatan secara signifikan. Merujuk pada
hasil wawancara dengan Ahdi Abidin Malik selaku Kepala Sub Bagian
Verifikasi dan Pembukuan pemerintah Kota Makassar, yang berpendapat:
“Dampak dari masih tingginya belanja rutin dikarenakan untuk pemerintah kota belum ada remunerasi atau tambahan gaji lainnya. Remunerasi adalah imbalan atau gaji. Dalam konteks Reformasi Birokrasi, pengertian Remunerasi adalah penataan kembali sistem penggajian yang dikaitkan dengan sistem penilaian kinerja. Selain itu, terjadi kecenderungan di setiap SKPD atau satuan kerja lebih memperbanyak kegiatan. Dari kegiatan tersebut terdapat honor sehingga menyebabkan pemerintah kota menghabiskan anggaran lebih banyak untuk belanja pegawai daripada belanja pembangunan atau belanja modal dikarenakan hal itu. Sebenarnya, untuk lebih teknisnya BAPPEDA lebih mengetahuinya. Karena kami di keuangan dapat menyimpulkan seperti itu karena melihat Daftar Pelaksanaan Anggaran yang dianggarkan, terdapat
77
banyak kegiatan yang diprogramkan oleh SKPD dalam upaya mendapatkan honor atau tambahan gaji” (Wawancara, 18 Januari 2013).
Senada dengan pendapat Ahdi Abidin Malik, Iswady (Kepala Sub
Bagian Keuangan Dinas:
“Kalau kita berpikir jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Makassar sebesar 14.000 orang, yang kemudian penghitungan gaji yang diberikan sebanyak 13 (tiga belas) bulan, karena adanya gaji 13 (tiga belas). Kalau tidak salah untuk belanja pegawai sudah mencapai Rp 800.000.000.000 – Rp 900.000.000.000. Inilah yang menyebabkan tingginya belanja rutin pemerintah Kota Makassar” (Wawancara, 23 Januari 2013).
Berikut adalah hasil perhitungan rasio Indeks Kemampuan Rutin
(IKR) Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011:
Tabel 4.5
Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
Tahun PAD Pengeluaran Rutin%
KemampuanAnggara
n (Rp) (Rp) Keuangan
2007 136.619.097.085,59 538.920.189.250,28 25,35% Kurang2008 154.911.891.959,39 718.115.066.992,00 21,57% Kurang2009 170.698.725.818,79 742.413.618.993,01 22,99% Kurang2010 210.136.331.090,64 871.875.158.863,67 24,10% Kurang
2011 351.692.552.587,60 1.136.858.735.986,94 30,94% Kurang
Rata-Rata 24,99% Kurang Sumber: Data diolah, 2013
Kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan masih sering
mengalami kendala berupa rendahnya kemampuan daerah dalam
meningkatkan PADnya. Indikator rendahnya kemampuan daerah ini dapat
dilihat dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah, yang diperoleh dari
78
besarnya perubahan PAD terhadap pengeluaran rutin daerah dalam
persentase tahun yang sama.
Dari tabel 4.5, dapat disimpulkan bahwa Indeks Kemampuan Rutin
selama lima tahun pada pemerintahan Kota Makassar masih dalam skala
yang kurang, karena masih berada dalam skala interval antara 20,01% -
40,00% yaitu sebesar 24,99% (rata-rata IKR) dan ini berarti bahwa
Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai kemampuan yang kurang
untuk membiayai pengeluaran rutin, hal ini terjadi karena PAD Kota
Makassar sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai belanja rutin, dan
selama ini lebih banyak tergantung pada sumber keuangan yang berasal
dari pemerintah pusat.
Gambar 4.3
Hasil Perhitungan Indeks Kemampuan Rutin Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
2007 2008 2009 2010 2011
0.00%5.00%
10.00%15.00%20.00%25.00%30.00%35.00%
25.35%21.57% 22.99% 24.10%
30.94%
Indeks Kemampuan Rutin
TAHUN ANGGARAN
PERSENTASE
Berdasarkan Gambar 4.3, maka terlihat bahwa terjadi penurunan
indeks kemampuan rutin pada tahun 2008 yang kemudian terus
79
meningkat sampai dengan tahun 2011. Namun, walaupun trendnya terus
mengalami peningkatan, kemampuan keuangan daerah Kota Makassar
masih dinilai kurang. Penerimaan PAD yang tiap tahunnya meningkat,
namun faktanya hal ini belum mampu menutupi belanja rutin yang ada.
Menurut Iswadi:
“Trend PAD terus meningkat, meskipun sesungguhnya pemeritah kota belum mampu secara penuh dari PAD untuk menutup seluruh belanja daerah. Karena kalau tidak salah untuk belanja pegawai sudah mencapai Rp 800.000.000.000 – Rp 900.000.000.000, sedangkan PAD kota Makassar masih berkisar di angka Rp 351.000.000.000. Untuk menutup gaji pegawai saja belum mampu, apalagi untuk membangun jalan, belanja kantor. Jadi kita masih berharap ada sumber-sumber pendapatan lain diluar PAD, seperti dari Dana Alokasi Umum yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menutup belanja pegawai, sehingga PAD digunakan untuk belanja modal, pembangunan jalan” (Wawancara, 23 Januari 2013).
Dari kedua hasil wawancara diatas, maka pemerintah Kota
Makassar perlu mengupayakan penghematan untuk Belanja Rutin non
Pegawai dengan cara memprioritaskan pembiayaan terhadap belanja
yang benar-benar urgen disertai dengan peningkatan disiplin anggaran
untuk menekan tingginya nilai belanja rutin.
4.2.1.4. Rasio Keserasian
Rasio keserasian yang digunakan dalam analisis ini menggunakan
rumus sebagai berikut:
Rasio BelanjaOperasional=Total BelanjaOperasiTotal Belanja APBD
Rasio BelanjaModal=Total Belanja ModalTotal Belanja APBD
80
Belanja Operasional yang kemudian dalam Permendagri Nomor 59
Tahun 2007 disebut sebagai belanja rutin, yang telah dibahas pada rasio
Indeks Kemampuan Rutin (IKR), dan belanja modal yang kemudian
diubah menjadi belanja pembangunan.
Belanja Pembangunan disusun atas dasar kebutuhan nyata
masyarakat sesuai dengan tuntutan dan dinamika yang berkembang
untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih
baik. Dalam pembangunan daerah, masyarakat perlu dilibatkan dalam
proses perencanaannya, sehingga kebutuhan mereka dapat dijabarkan
dalam kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan berdasarkan prioritas
dan kemampuan daerah.
Belanja pembangunan terdiri dari dua komponen, yaitu:
1. Belanja barang dan jasa. Belanja ini merupakan semua pengeluaran
Pemerintah Daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan
aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja barang dan jasa
terdiri atas: Belanja barang dan belanja pemeliharaan yang merupakan
pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa dan
pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan langsung dengan
pelayanan publik.
2. Belanja Modal merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang
manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset
atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja seperti
biaya operasi dan pemeliharaan.
81
Dibawah ini, akan dipaparkan nilai-nilai dari tiap komponen belanja
pembangunan yang tertera pada Tabel 4.6.
82
Tabel 4.6
Komponen Belanja Pembangunan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
Uraian 2007 2008 2009 2010 2011Belanja Barang dan Jasa
196.024.572.009,00
236.173.194.110,75
301.449.071.321,00
329.417.215.928,50
406.495.617.941,29
Belanja Modal 139.940.456.318,40
185.705.181.402,47
197.180.578.338,00
178.674.669.904,00
168.523.776.058,00
Belanja Pembangunan
335.965.028.327,40
421.878.375.513,22
498.629.649.659,00
508.091.885.832,50
575.019.393.999,29
Sumber: Data diolah, 2013
Tabel 4.7Perhitungan Rasio Keserasian Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
No Tahun Anggaran
Total Belanja Realisasi Belanja Rutin Realisasi Belanja Pembangunan Rasio
Belanja Rutin
Rasio Belanja Pembangunan
(Rp) Rp Perkembangan Rp Perkem
bangan1 2007 874.885.217.577,68 538.920.189.250,28 - 335.965.028.327,40 - 61,60% 38,40%2 2008 1.139.993.442.505,22 718.115.066.992,00 24,95% 421.878.375.513,22 20,36% 62,99% 37,01%3 2009 1.241.043.268.652,01 742.413.618.993,01 3,27% 498.629.649.659,00 15,39% 59,82% 40,18%4 2010 1.379.967.044.696,17 871.875.158.863,67 14,85% 508.091.885.832,50 1,86% 63,18% 36,82%5 2011 1.711.878.129.986,23 1.136.858.735.986,94 23,31% 575.019.393.999,29 11,64% 66,41% 33,59%
Rata-Rata 62,80% 37,20%Sumber: Data diolah, 2013
83
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004,
implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah untuk
melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana publik (public services).
Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri
oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta
pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan banyak
memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya:
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat.
2. Mendorong perkembangan perekonomian daerah.
3. Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang.
4. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
5. Meningkatkan pendapatan asli daerah.
6. Mendorong kegiatan investasi
Banyaknya manfaat yang diperoleh apabila pelaksanaan belanja
pembangunan dapat dilaksanakan secara mandiri ternyata belum mampu
dirasakan oleh pemerintah Kota Makassar. Hal ini terbukti dengan hasil
perhitungan rasio keserasian Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011
yang menunjukkan masih rendahnya rasio belanja pembangunan apabila
dibandingkan dengan rasio belanja rutin. Dimana, hasil rata-rata dari rasio
belanja pembangunan sebesar 37,20% dan rata-rata rasio belanja rutin
sebesar 62,80%, terdapat gap sebesar 25,60%. Berikut adalah gambar
yang menunjukkan perbedaan jumlah tersebut.
84
Gambar 4.4
Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
2007 2008 2009 2010 20110.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%61.60% 62.99%
59.82%63.18%
66.41%
38.40% 37.01%40.18%
36.82%33.59%
Rasio Belanja Rutin Rasio Belanja Pembangunan
TAHUN ANGGARAN
PERSENTASE
Pendapat Ahdi Abidin Malik setelah melihat ketimpangan yang
tergambar pada Gambar 4.4 adalah:
“Ketimpangan yang terjadi antara belanja rutin dan belanja pembangunan disebabkan tingginya belanja pegawai terutama dikarenakan banyaknya kegiatan dari dinas-dinas dan belanja pegawai untuk gaji PNS. Untuk belanja modal atau pembangunan memang terbatas, hanya di fokuskan pada bidang pendidikan, pekerjaan umum, dan kesehatan yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK)” (Wawancara, 18 Januari 2013).
Sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan bahwa
yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah
(capital investment) antara lain berasal dari PAD dan Dana Perimbangan
yang diterima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Dana
Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum
85
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu juga ada sumber lain yang
berasal dari pembiayaan berupa pinjaman Daerah.
Meskipun terdapat banyak sumber-sumber pembiayaan untuk
pembangunan daerah berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10,
namun faktanya pemerintah Kota Makassar yang lebih condong pada
ekonomi kerakyatan belum memperhatikan pembangunan daerah,
walaupun belanja pembangunan naik meskipun relatif kecil. Hal ini
dikarenakan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah kota
sehingga pemerintah kota lebih berkonsentrasi pada pemenuhan belanja
rutin yang mengakibatkan belanja pembangunan untuk pemerintah Kota
Makassar kecil atau belum terpenuhi.
4.2.1.5. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
kemampuan Pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode
berikutnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio pertumbuhan
adalah sebagai berikut :
r=Pn−PoPo
x 100%
Dimana:
Pn = Data yang dihutung pada tahun ke-n
Po = Data yang dihitung pada tahun ke-0
R = Pertumbuhan
86
Tabel 4.8
Perhitungan Rasio Pertumbuhan Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
No Keterangan
Tahun Anggaran2007 2008 2009 2010 2011
1 PAD 136.619.097.085,59
154.911.891.959,39
170.698.725.818,79
210.136.331.090,64
351.692.552.587,60
Pertumbuhan - 11,81% 9,25% 18,77% 40,25%2 Total Pendapatan 941.668.824.309,5
9 1.141.051.558.673,8
6 1.215.717.720.899,7
9 1.449.662.649.590,8
5 1.728.570.515.122,9
7 Pertumbuhan - 17,47% 6,14% 16,14% 16,14%
3 Belanja Rutin 538.920.189.250,28
718.115.066.992,00
742.413.618.993,01
871.875.158.863,67
1.136.858.735.986,94
Pertumbuhan - 24,95% 3,27% 14,85% 23,31%
4 Belanja Pembangunan
335.965.028.327,40
421.878.375.513,22 498.629.649.659,00 508.091.885.832,50 575.019.393.999,29
Pertumbuhan - 20,36% 15,39% 1,86% 11,64%
Sumber: Data diolah, 2013
87
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.8 kondisi
pertumbuhan APBD Kota Makassar dapat disimpulkan bahwa APBD
pada tahun anggaran 2007-2011 menunjukkan pertumbuhan rata-rata
yang negatif. Hal ini diakibatkan pertumbuhan nilai PAD dan total
pendapatan daerah tidak diikuti oleh pertumbuhan belanja
pembangunan. Artinya, pemerintah Kota Makassar belum mampu
mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode
yang satu ke periode berikutnya yang disebabkan masih fluktuatifnya
pertumbuhan belanja pembangunan, dan belanja rutin yang terus
bertambah sejak tiga tahun belakangan (tahun 2009-2011).
Dengan mengetahui pertumbuhan masing-masing komponen
sumber pendapatan dan pengeluaran, maka dapat dilakukan evaluasi
terhadap potensi-potensi daerah yang perlu mendapat perhatian. Semakin
tinggi persentase pertumbuhan setiap komponen pendapatan dan
pengeluaran, maka semakin besar kamampuan Pemerintah daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari setiap
periode.
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini disajikan gambar yang
menunjukkan pertumbuhan APBD yang dilihat dari berbagai komponen
penyusunan APBD yang terdiri dari PAD, total pendapatan daerah,
belanja rutin, dan belanja pembangunan.
88
Gambar 4.5
Hasil Perhitungan Rasio Pertumbuhan Kota Makassar
Tahun Anggaran 2007-2011
2007 2008 2009 2010 20110.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
45.00%
0.00%11.81%
9.25%
18.77%
40.25%
0.00%
17.47%
6.14%
16.14% 16.14%
0.00%
24.95%
3.27%
14.85%
23.31%
0.00%
20.36%15.39%
1.86%11.64%
PAD Total PendapatanBelanja Rutin Belanja Pembangunan
TAHUN ANGGARAN
PERSENTASE
4.2.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007-2011
dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota
Makassar
Penyerahan otonomi tidak lepas dari kemampuan daerah dalam
mengelola dan menggali sumber–sumber pendapatan daerah itu sendiri,
baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
serta penerimaan sumbangan dan bantuan lainnya. Pembinaan sumber-
sumber pendapatan daerah selalu diupayakan dengan menggali potensi
89
serta senantiasa mengadakan pengawasan terhadap sumber-sumber
pendapatan daerah yang ada.
Setiap Negara dengan wilayah yang luas membutuhkan suatu
sistem Pemerintahan daerah yang efektif. Sistem ini diperlukan tidak saja
sebagai alat untuk melaksanakan berbagai program Pemerintah di
daerah, tetapi juga alat bagi masyarakat setempat agar dapat berperan
serta dalam menentukan prioritas untuk pembangunan daerahnya sendiri.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kota Makassar berupaya
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang bersumber dari
berbagai sektor seperti hasil dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah serta
lain–lain pendapatan asli daerah yang sah. Dengan demikian
meningkatnya Pendapatan Asli Daerah dapat memberikan indikasi yang
lebih baik bagi kemampuan keuangan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri terutama dalam pelaksanaan tugas-
tugas pelayanan kepada masyarakat serta percepatan dan peningkatan
pembangunan dalam segala bidang di daerahnya masing–masing.
Meskipun terdiri dari empat sumber, hingga saat ini hanya Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang menyumbang secara siginifkan
terhadap total penerimaan PAD suatu Daerah. Sementara sumber yang
berasal dari BUMD dan Lain PAD yang sah masih belum berperan,
dimana hal tersebut dapat dicermati pada tabel berikut:
90
Tabel 4.9
Komposisi Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
dalam satuan Rupiah
Komposisi PAD Kota Makassar
2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %Pajak Daerah 85.996.524.046,00 62,95% 98.318.693.736,00 63,47% 115.223.338.976,00 67,50% 133.551.818.679,00 63,55% 270.547.821.316,00 76,93%
Retribusi Daerah 37.972.419.441,05 27,79% 40.966.229.794,00 26,44% 39.980.839.820,00 23,42% 59.729.103.725,43 28,42% 62.043.147.863,00 17,64%
Laba Usaha Daerah 368.467.109,00 0,27% 380.297.269,45 0,25% 276.742.541,75 0,16% 656.945.784,35 0,31% 575.342.523,60 0,16%
Laba Lembaga Keuangan Bank 3.326.820.624,00 2,44% 3.789.308.418,77 2,45% 5.270.210.267,48 3,09% 4.910.068.081,64 2,34% 5.469.680.606,00 1,56%
Laba Lembaga Keuangan Non Bank
223.989.042,54 0,16% 187.900.000,00 0,12% 118.800.000,00 0,07% 250.800.000,00 0,12% 310.177.018,00 0,09%
Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
8.730.876.823,00 6,39% 11.269.462.741,17 7,27% 9.828.794.213,56 5,76% 11.037.594.820,22 5,25% 12.746.383.261,00 3,62%
Jumlah PAD 136.619.097.085,59 100,00% 154.911.891.959,39 100,00% 70.698.725.818,79 100,00% 210.136.331.090,64 100,00% 351.692.552.587,60 100,00%Rata-Rata 27.323.819.417,12 - 30.982.378.391,88 - 34.139.745.163,76 - 42.027.266.218,13 - 70.338.510.517,52 -
Sumber: APBD Kota Makassar TA 2007-2011, Data Diolah, 2013.
91
Komponen terbesar dalam penerimaan PAD Kota Makassar adalah
pajak daerah. Kota Makassar sendiri memiliki 10 (sepuluh) jenis pajak
daerah. Walaupun jumlah jenis pajak tergolong banyak, tapi
pengelolaannya belum maksimal. Hal ini dibenarkan oleh Ahdi Abidin
Malik yang berpendapat bahwa:
“Wajib pajak dan wajib retribusi belum memiliki kesadaran membayar pajak. Misalnya saja kita anggarkan, Hotel A kita targetkan Rp 1.000.000.000, biasanya mereka cuma membayar 50-60% maksimal dari yang dianggarkan. Jarang ada yang membayar 100%. Makanya kita anggarkan tinggi, misalnya Hotel A itu Rp 3.000.000, yang biasanya mereka bayar uma Rp 1.500.000.000” (Wawancara, 18 Januari 2013).
Senada dengan Ahdi Abidin Malik, menurut Iswadi:
“Tingkat pertisipasi masyarakat tiap tahunnya pasti mengalami peningkatan, tetapi ada beberapa masyarakat yang belum mampu membayar pajak secara tepat waktu dan tepat jumlah karena membayar pajak itu harus tepat waktu dan tepat jumlah. Kalau tidak tepat waktu, berarti kena denda. Kalau tidak tepat jumlah, maka dihitung dendanya dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar. Biasanya terdapat kesalahan-kesalahan perhitungan dari wajib pajak yang menghitung sendiri pajaknya yang biasanya ditemukan dalam hal pembayaran pajak sehingga menimbulkan kurang bayar. Ada juga yang tidak tepat waktu. Harusnya dibayar bulan ini, tapi dibayar bulan depannya” (Wawancara, 23 Januari 2013).
Untuk basis pajak yang dianggap milik pemerintah Kota Makassar
namun masih dikuasai oleh pemerintah pusat, Ahdi Abidin Malik selaku
kepala sub bagian verifikasi dan pembukuan mengatakan bahwa:
“Saat ini, sama skali tidak ada basis pajak yang semestinya milik kota makassar yang masih dikuasai oleh pemerintah pusat, semua PAD, bahkan PBB dan BPHTB semuanya sudah dikelolah oleh masing pemerintah daerah/kota” (Wawancara, 18 Januari 2013).
Pernyataan berbeda dikeluarkan oleh Iswady selaku kepa sub
bagian Keuangan Dinas Pendapatan Kota Makassar. Ia berpendapat:
92
“Basis pajak yang sifatnya besar itu yang masih dikuasai pemerintah pusat misalnya PPH 21, kalau misalnya orang terima honorkan kalau PNS itu terima honor dipotong pajaknya sebesar 15%. Itu masuk kedalam pajak pusat. Pusat yang kalau honor kita dipotong 15% itu 15%nya langsung kepusat. Pusat nantinya yang bagi hasilkan ke kita. Jika ada sumber-sumber pajak daerah yang masih dikelolah oleh pemerintah pusat yang belum diserahkan ke daerah, entah apa pertimbangannya. Mungkin juga suatu saat akan diserahkan ke daerah dan mungkin juga suatu saat akan di tarik lagi ke pusat. Kan ada yang seperti itu sudah diserahkan ke daerah, tetapi ditarik lagi ke pusat, tergantung kebijakannya dari pemerintah pusat seperti apa. Kalau dianggap itu belum mampu mengelelolah pajak itu, maka pajak itu akan ditarik kembali. Kalau dianggap sudah mampu dan lebih maksimal kalau daerah yang kelolah misalnya kalau pemerintah pusat yang kelolah mungkin pendapatan pajaknya sekitar 10m kalau daerah yang kelolah ternyata bisa naik sampai Rp 15.000.000.000 – Rp 20.000.000.000. Maka pajak itu akan diserahkan kepada daerah. Banyak pertimbangan-pertimbangan kenapa sebuah objek pendapatan itu bisa diserahkan kepada daerah atau bisa di tarik kembali” (Wawancara, 23 Januari 2013).
Perbedaan pendapat ini terjadi karena menurut Ahdi Abidin Malik,
sebaiknya pemerintah kota lebih mengoptimalkan dan menertibkan
pemungutan pajak-pajak daerah yang ada saat ini sehingga dapat lebih
meningkatkan pendapatan dari sumber-sumber yang telah ada,
sedangkan menurut Iswady, pelimpahan wewenang kepada daerah untuk
memungut PPh 21 dapat menjadi salah satu sumber pendapatan yang
cukup potensial yang nantinya akan mempengaruhi penerimaan
pendapatan asli daerah pemerintah kota Makassar.
Adapun rekapitulasi mengenai target dan realisasi penerimaan
Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011
sebagai berikut:
93
Tabel 4.10
Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kota
Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
Tahun Target Realisasi %2007 125.936.173.075,00 136.626.469.085,59 108,48 2008 145.466.209.400,00 154.911.891.959,39 106,49 2009 176.628.387.000,00 170.698.725.819,79 96,642010 216.928.890.000,00 210.145.729.430,00 96,872011 345.335.311.000,00 351.692.552.588,00 101,84
Sumber: Dispenda Kota Makassar, Data diolah, 2013
Tabel 4.11
Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan
APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011
No TATotal
Pendapatan APBD (Rp)
Pendapatan Asli Daerah %Rp Perkembangan
1 2007 941.668.824.309,59 136.619.097.085,59 - 14,51%
2 20081.141.051.558.673,8
6154.911.891.959,3
9 11,81% 13,58%
3 20091.215.717.720.899,7
9170.698.725.818,7
9 9,25% 14,04%
4 20101.449.662.649.590,8
5210.136.331.090,6
4 18,77% 14,50%
5 20111.728.570.515.122,9
7351.692.552.587,6
0 40,25% 20,35%
Rata-Rata204.811.719.708,4
0 20,02% 15,39%
Sumber: APBD Kota Makassar TA 2007-2011, Data Diolah, 2013.
Dari tabel, dapat diliat PAD mengalami peningkatan secara signifikan
dalam empat tahun terakhir. Meskipun trend PAD meningkat seiring
dengan adanya diskresi dari pemerintah pusat untuk menyerahkan
beberapa sumber-sumber pendapatan yang tadinya dikuasai oleh
94
pemerintah pusat yang kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah
untuk menagih, menarik beberapa jenis pajak sudah diserahkan kepada
daerah, sehingga trend PAD meningkat, meskipun demikian tetap saja
PAD Kota Makassar belum mampu menutup seluruh belanja daerah.
Rata-rata jumlah PAD yang telah dicapai oleh pemerintah Kota
Makassar menurut Iswadi merupakan:
“Suatu pencapaian yang cukup memuaskan. Dari sisi persentase, itu sudah mengcover karena berdasarkan perhitungan ini sudah mencapai 15% dari total APBD. Tadinya itu hanya dibawah 10%, masih satu digit. PAD Kota Makassar dari struktur pendapatan itu beberapa tahun belakangan masih berkisar satu digit dari total pendapatan, seperti 9%-10%” (Wawancara, 23 Januari 2013)
Rendahnya konstribusi PAD terhadap Total Pendapatan APBD,
mengharuskan pemerintah kota lebih memperketat aturan yang ada, serta
lebih lihai mencari sumber-sumber pendanaan alternatif. Salah satunya
adalah pendirian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berbentuk
Perusahaan Daerah.
Pendirian BUMD merupakan bagian dari PAD. Penyertaan modal ke
perusahaan daerah diatur melalui peraturan daerah. Pemerintah kota atau
pemeritah daerah tidak serta merta langsung saja membentuk
perusahaan daerah dan menyertakan modalnya. Tidak seperti itu, namun
pemerintah kota/daerah harus melalui mekanisme persetujuan anggota
DPRD melalui peraturan daerah. Jadi, akan disetujui/digodok dulu di
DPRD apakah memang layak pemerintah kota/daerah menginvestasikan
uangnya. Uang ini adalah uang rakyat. Kalau uang milik rakyat ingin
dibelanjakan harus minta izin sama yang mewakili rakyat, yaitu DPRD jadi
95
harus ada persetujuan dari DPRD dan kemudian disertakan kedalam
perusahaan daerah. Pada saat disertakan keperusahaan daerah itulah
pemerintah kota berharap bahwa modal yang disertakan dapat kembali
dalam bentuk deviden. Defenisi deviden itu baru bisa dikembalikan
apabila perusahaan daerah tersebut memperoleh keuntungan. Ketika
terjadi kerugian, maka akan ditanggung bersama.
Ahdi Abidin Malik berpendapat:
“Sumber-sumber lainnya untuk meningkatkan PAD, sebetulnya di Kota Makassar masih banyak. Kita ambil saja contoh retribusi parkir. Parkir yang tidak terakomodir dengan baik. Artinya, secara logika satu mobil harus membayar retribusi sebesar Rp 1000, berapa jumlah mobil yang ada di Makassar. Tapi mungkin pengelolaannya belum optimal. karena biasanya kita targetkan Rp 500.000.000 dan tidak pernah tercapai 100%, paling setengahnya saja, lebihnya tidak tau kemana. Padahal kita sudah memiliki bentuk range nya yang sebetulnya bisa mencapai Rp 1.000.000.000, namun kita memakai batas setengahnya, yaitu Rp 500.000.000 tapi tetap tidak tercapai juga. Jadi menurut saya, kendalanya adalah teknisnya kebawah yang pemungutnya. Kesadarannya belum ada. Biasa ada yang memberi karcis, dan ada yang tidak. Jadi kemarin waktu rapat bagian keuangan mengatakan, jangan coba memberi uang parkir apabila tidak ada karcisnya. Namun, faktanya menurut sebagian orang hanya karena uang seribu terjadi pertengkaran?. Padahal itu adalah kesalahan. Mungkin situlah letak kesalahannya. Supaya kita tidak gampang dimainkan. Sedangkan dari sisi BUMD sektor potensial, yaitu: parkir, terminal, pasar, rumah potong hewan. Menurut saya sementara sudah cukup, namun pemerintah kota telah mencoba menyertakan modalnya keperusahaan daerah. Hasil yang diperoleh adalah deviden yang dicanangkan pemerintah kota masih sangat rendah. Pemerintah kota sempat menggulirkan bantuan dana penyertaan modal ke rumah potong hewan sebesar Rp 1.500.000.000, sedangkan konstribusinya ke pemerintah kota hanya kurang lebih Rp 200.000.000. Sangat tidak masuk akal jumlahnya. Oleh karena itu, untuk sementara penyertaan modal ke perusahaan daerah dihentikan dan dialihkan kearah ekonomi kerakyatan” (Wawancara, 18 Januari 2013).
96
Sesuai dengan Kebijakan Umum Anggaran di bidang Pendapatan
Daerah Tahun 2011 yang tetap diarahkan pada upaya peningkatan
pendapatan daerah melalui optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah
sesuai potensi dan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap
mengedepankan pertimbangan aspek keadilan dan kemampuan
masyarakat.
Optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah dilakukan dengan
mensinergikan program intensifikasi dan ekstensikasi sumber-sumber
pendapatan daerah. Intensifikasi difokuskan pada upaya peningkatan
kualitas pelayanan pajak dan retribusi daerah, penyederhanaan birokrasi,
peningkatan tertib administrasi, penegakan sanksi, peningkatan
komunikasi dan informasi kepada masyarakat serta reformasi sistem
perpajakan daerah sebagai salah satu tujuan implementasi Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 tahun 2010 tentang Pajak
Daerah. Sedangkan ekstensifikasi difokuskan pada upaya penyesuaian
regulasi atas pengelolaan retribusi daerah menyusul ditetapkannnya
Undang- Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
4.2.2.1. Intensifikasi Sumber-Sumber PAD
Intensifikasi adalah upaya peningkatan PAD melalui proses
optimalisasi pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah yang
97
selama ini telah dikelola oleh pemerintah daerah. Pada tahun 2011,
intensifikasi pengelolaan PAD meliputi:
a. Peningkatan kualitas pelayanan, antara lain melalui peningkatan dan
pengembangan pelayanan Samsat Unggulan, pemanfaatan teknologi
informasi dalam pelayanan Pajak Daerah dan sistem pelaporan Pajak
Daerah, dan penyederhanaan sistem dan prosedur pelayanan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
b. Peningkatan sarana dan prasarana, antara lain melalui renovasi dan
pengembangan kantor dan sarana pelayanan untuk meningkatkan
kenyamanan masyarakat dalam membayar Pajak dan Retribusi
Daerah.
c. Peningkatan kualitas SDM, melalui pelatihan maupun bimbingan teknis
tentang pengelolaan pendapatan daerah.
d. Peningkatan tertib administrasi pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah pada seluruh SKPD pengelola PAD.
e. Koordinasi yang intensif dan efektif, yaitu dengan meningkatkan
kerjasama dengan seluruh SKPD pengelola pendapatan, termasuk
dengan instansi vertikal dalam hal intensifikasi Dana Bagi Hasil dan
Pendapatan Lain-Lain yang Sah.
f. Peningkatan ketaatan masyarakat dalam memenuhi kewajibanya
membayar Pajak Daerah melalui sosialisasi, peningkatan pengawasan
dan penegakan sanksi.
98
4.2.2.2. Ekstensifikasi Sumber-Sumber PAD
Ekstensifikasi merupakan upaya peningkatan pendapatan Daerah
melalui perluasan dan/atau penambahan obyek dan subyek sumber-
sumber pendapatan Daerah. Pada tahun 2011 upaya ekstensifikasi yang
dilakukan antara lain dengan:
a. menerapkan secara efektif Peraturan Daerah provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, yang antara lain
menetapkan:
1. Penambahan objek.
2. Peningkatan tarif pajak.
b. penyusunan, pembahasan dan penetapan 3 (tiga) peraturan daerah di
sektor retribusi daerah, yaitu Perda No.9 Tahun 2011 tentang Retribusi
Jasa Umum, Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 tentang Retribusi
Perizinan Tertentu, dan Peraturan Daerah No.1 tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Usaha.
4.2.2.3 Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar,
terdiri dari:
1. Pajak Daerah, yaitu terbagi atas:
a. Pajak Hotel.
b. Pajak Restoran.
c. Pajak Hiburan.
d. Pajak Reklame.
99
e. Pajak Penerangan Jalan.
f. Pajak Galian Golongan C.
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Bawah Tanah.
i. Pajak Sarang Burung Walet.
j. Pajak BPHTB
2. Retribusi Daerah, antara lain:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan.
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
c. Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil.
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat.
e. Retribusi Penyediaan/Penyedotan Kakus.
f. Retribusi Parkir Ditepi Jalan Umum.
g. Pengujian Kendaraan Bermotor.
h. Retribusi Penggunaan Alat Pemadam.
i. Pengujian Kapal Perikanan.
j. Retribusi Pemakaian Kantor Daerah.
k. Retribusi Tempat Pelelangan Ikan.
l. Retribusi Terminal.
m.Retribusi Rumah Potongan Hewan.
n. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga.
o. Retribusi Penyeberangan diatas Air.
p. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.
100
q. Retribusi Izin Gangguan (Surat Izin Tempat Usaha).
r. Retribusi Izin Trayek.
s. Retribusi Ketenagakerjaan.
t. Retribusi Industri dan Perdagangan.
u. Retribusi Informasi dan Komunikasi.
v. Retribusi Bidang Koperasi.
w. Retribusi Jasa Ketatausahaan.
x. Retribusi Izin Jasa Konstruksi.
y. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.
z. Retribusi Anjungan Pantai Losari.
3. Pendapatan Hasil Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, terdiri atas:
a. Bagian Laba Usaha Daerah:
1) Perusahaan Daerah Air Minum.
2) Perusahaan Daerah BPR.
3) Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya.
4) Perusahaan Daerah Kebersihan.
5) Perusahaan Daerah RPH.
6) Perusahaan Daerah Parkir.
7) Perusahaan Daerah Terminal.
b. Laba Lembaga Keuangan Bank:
1) Bank BPD Sulawesi Selatan.
101
c. Bagian Laba Lembaga Keuangan Non Bank:
1) PT Kima.
2) PT GMTD.
4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah yang terdiri dari:
a. Hasil Penjualan Aset Daerah yang Tidak Dipisahkan.
b. Jasa Giro.
c. Penerimaan TP / TGR.
d. Angsuran Cicilan Kendaraan Bermotor.
e. Lain-lain Pendapatan yang Sah.
f. Kompensasi atas Penyediaan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum.
g. Royalti Pulau Kayangan.
h. Hasil Operasional Kapal Perikanan.
102
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab sebelumnya telah diuraikan hasil penelitian dan
pembahasan tentang tingkat kemampuan keuangan daeah dalam
pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 di Kota
Makassar. Dalam Bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan serta
saran-saran yang berhubungan dengan hasil penelitian tersebut.
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan hasil analisis data dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Makassar dalam
pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 dianggap
masih kurang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan
rasio:
a. Rasio kemandirian keuangan daerah selama lima tahun terakhir
yang menghasilkan jumlah rata-ratanya sebesar 18,30% dengan
pola hubungan yang instruktif. Dari hasil tersebut, tergambar
dengan jelas masih besarnya ketergantungan pemerintah Kota
Makassar terhadap sumber-sumber dana bantuan dari pihak
ekstern, baik dari pemerintah pusat maupu dari pemerintah
provinsi, dengan komponen bantuan terbesar adalah Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Penyesuaian.
103
b. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun
menunujukkan angka rata-rata sebesar 15,39% dengan
kemampuan keuangan yang tergolong kurang. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemerintah Kota Makassar belum mampu
membiayai pengeluarannya sendiri. Pemerintah Kota Makassar
masih bergantung kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan
pengeluaran.
c. Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin
daerah, yang sering disebut juga dengan Rasio IKR (Indeks
Kemampuan Rutin) rata-rata hanya sebesar 24,99% dengan pola
kemampuan keuangan yang masih berada dalam interval 20,01% -
40,00% yang dinilai kurang. Artinya, PAD Kota Makassar belum
mampu membiayai belanja rutin yang dilakukan oleh pemerintah
kota.
d. Berdasarkan hasil perhitungan rasio keserasian, pemerintah Kota
Makassar masih lebih memprioritaskan belanja rutin daripada
belanja pembangunan. Hasil rata-rata dari rasio pembangunan
sebesar 37,20% dan rasio belanja rutin sebesar 62,80%. Terdapat
kesenjangan sebesar 25,60%. Angka-angka ini menunjukkan
bahwa pemerintah kota belum memperhatikan pembangunan
daerah. Hal ini disebabkan keterbatasan dana yang dimiliki oleh
pemerintah kota sehingga pemerintah kota lebih berkonsentrasi
104
pada pemenuhan belanja rutin dan penghematan pada belanja
lainnya.
e. Berdasarkan rasio pertumbuhan (growth ratio), PAD Kota Makassar
mengalami pertumbuhan ditiap periode tahun anggaran (2007-
2011), Total Pendapatan Daerah juga mengalami pertumbuhan
pada tiga tahun terakhir (2009-2011), sama halnya dengan belanja
rutin yang juga mengalami pertumbuhan pada tahun 2009-2011,
namun belanja pembangunan mengalami penurunan dari tahun
2008-2010 yang kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2011.
Dari hasil perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi
pertumbuhan APBD Kota Makassar menunjukkan rata-rata yang
negatif, karena pertumbuhan PAD dan TDP tidak diikuti oleh
pertumbuhan belanja pembangunan, melainkan diikuti oleh belanja
rutin. Berdasarkan Rasio Pertumbuhan, secara keseluruhan
mengalami Konstribusi Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun
anggaran 2007-2011 dinilai masih sangat rendah, yaitu 15,39%
2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kota Makassar dalam menunjang pelaksanaan
otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 masih relatif kecil.
Berdasarkan hasil perhitungan konstribusi PAD, hasil rata-rata yang
diperoleh adalah sebesar 15,39%. Artinya, rata konstribusi PAD
terhadap APBD selama lima tahun hanya sebesar 15,39%. Angka
105
yang sangat rendah, namun merupakan angka tertinggi pencapaian
konstribusi PAD, karena sebelumnya, hasil rata-rata hanya berkisar
satu digit, yaitu berada 9,00%-10,00%. Rendahnya konstribusi PAD
terhadap Total Pendapatan APBD, mengharuskan pemerintah kota
lebih memperketat aturan yang ada, serta lebih lihai mencari sumber-
sumber pendanaan alternatif. Salah satunya adalah pendirian Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sektor potensial yang berbentuk
Perusahaan Daerah.
Pemerintah Kota Makassar harus berupaya peningkatan pendapatan
daerah melalui optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah sesuai
potensi dan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap mengedepankan
pertimbangan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
Optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah dilakukan dengan
mensinergikan program intensifikasi dan ekstensikasi sumber-sumber
pendapatan daerah.
5.1. Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan tentang kinerja
keuangan Pemerintah kota Makassar, penulis mencoba mengajukan
beberapa saran. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dinyatakan dalam UU
Nomor 32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU Nomor 22 tahun 1999,
sangat diperlukan kemandirian keuangan daerah agar tingkat
106
ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat dapat
dikurangi melalui intensifikasi Pendapatan Asli Daerah yang dilakukan
oleh masing-masing daerah.
2. Mengingat terbatasnya jumlah dan jenis sumber-sumber Pendapatan
Asli Daerah, maka diperlukan penyerahan beberapa sumber
keuangan nasional yang potensial untuk dikelola dan dipungut sendiri
oleh daerah dan menjadi penerimaan PAD.
3. Penelitian ini hanya menganalisis beberapa komponen dalam
perkembangan APBD, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat
menganalisis seluruh komponen yang terdapat dalam APBD sehingga
akan lebih lengkap.
4. Penelitian ini hanya menggunakan beberapa model analisis rasio
keuangan, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat
menggunakan seluruh model analisis rasio keuangan sehingga hasil
analisisnya lebih lengkap dan menyeluruh.
5. Penelitian ini hanya dilakukan pada tahun anggaran 2007-2011 di
Kota Makassar saja, diharapkan untuk penelitian selanjutnya obyek
penelitiannya dilakukan dibeberapa kota sehingga terdapat
perbandingan antara kota yang satu dengan kota yang lain.
107
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari. 2012. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol. XXI, No. 1. Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa – Bali). (Online) (http:// priyohari.files.wordpress.com/2009/06/kemampuan-keuangan-daerah-dan-relevansi.pdf diakses tanggal 10 Oktober 2012).
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya Yang Dilakukan Daerah. (Online) (www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2511/ diakses tanggal 17 Agustus 2012).
Badan Pusat Statistik. 2010. Makassar Dalam Angka 2010. Makassar: Badan Pusat Statistik Kota Makassar.
Bastian, Indra. 2007. Audit Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Bella, Rohana. 2002. Potensi Objek Pendapatan Asli Daerah (Retribusi) Kota Makassar. Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Brannen, Julia. 1996. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Samarinda: Pustaka Pelajar.
Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Farian, Endi. 2010. Skripsi. Analisis Perkembangan Kemampuan Keuangan Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten X. (Online) (http://gudangmakalah. blogspot.com/2009/08/skripsi-analisis-perkembangan-kemampuan.html diakses tanggal 1 Desember 2011).
Halim, Abdul. 2009. Problem Desentralisasi dan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah Peluang dan Tantangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
108
Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.
Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: CV. Rajawali.
______________. 2010. Prospek Otonomi Daerah di egara Republik Indonesia (Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ladjin, Nurjanna. 2008. Tesis. Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah (studi kasus di Provinsi Sulawesi Tengah). (Online) (http://eprints.undip.ac.id/18492/1/NURJANNA LADJIN.pdf di akses tanggal 16 April 2012).
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Makassar Tahun 2006. (Online) (http://makassarkota.go.id/download/lkpj_2006_ 30_maret_2006.pdf di akses tanggal 16 April 2012).
Mahmudi. 2010. Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik: Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Panduan bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Muluk, Khairul. 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: ITS Press.
Nataluddin. 2001. Potensi dana perimbangan pada pemerintahan daerali di Propinsi Jambi, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.
Nordiawan, Deddi. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Paturusi, Idrus A, dkk. 2009. Hasil Penelitian. Esensi dan Urgensitas Peraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. (Online) (http://senatorindonesia.org/lawcenter.public/docu ments/files/ESENSI%20DAN%20URGENSITAS%20PERATURAN%20DAERAH%20DALAM%20PELAKSANAAN%20OTONOMI%20DAERAH%20_UNHAS.pdf diakses tanggal 5 April 2012).
109
Pemerintah Kota Makassar. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Makassar Tahun 2009. (Online) (http:// makassar kota.go.id/ download/ ilppd2009 .pdf diakses tanggal 17 Agustus 2012).
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2010. Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Pemerintah RI. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri RI. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Bandung: Fokusmedia.
Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: CV Pustaka Setia.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sarwono, Jonathan. 2011. Mixed Methods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset Kualitatif secara Benar. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Soendari, Tjutju. 2012. Metode Penelitian Deskriptif. (Online) (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141980032-TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkulia han/Metode_PPKKh/Penelitian__Deskriptif.ppt_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf. Diakses tanggal 04 Maret 2013).
Ulum, Ihyaul. 2009. Audit Sektor Publik Suatu Pengantar. Malang: Bumi Aksara.
Undang-Undang RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
110
Undang-Undang RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Wulandari, Anita. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah. Jurnal Kebijakan dan Adminislrasi Publik Vol 5 No 2 November. (Online) (http://www.scribd.com/doc/101754251/JAUJ-Vol-09-No-2-Desember-2011 diakses tanggal 17 Agustus 2012).
Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapai Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPPYKPN.
111