89525233-toraja (1)
DESCRIPTION
adatTRANSCRIPT
MAKALAH
SUKU TORAJA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Konseling Lintas Budaya
yang diampu oleh Drs. Heru Mugiharso, M.Pd, Kons.
Disusun Oleh :Aulia Kusuma Pasha 1301409004Nurul Rizkiana 1301409009Ong Didik Cahyo K 1301409012Aldilla Firdausi 1301409020Ardiatna Wahyu A 1301409029
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia yang memiliki berbagai macam ras, suku, serta budaya yang
bermacam-macam dari sabang hinggaa merauke. Kehidupan manusia
terutama di Indonesia tidak dapat di lepaskan dari budaya dari nenek-nenek
moyang masing-masing suku yang ada di Indonesia. Masing-masing suku
dan kebudayaan pasti memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai itu baik nilai social, nilai-nilai pribadi
maupun nilai-nilai budaya.
Tiap budaya dikenali berdasarkan cirri-ciri khusus yang dimiliki oleh
tiap budaya. Dalam budaya ada anggota yang mengikuti budaya itu dan
membawa nilai-nilai yang dimilikinya dalam budaya yang di ikutinya.
Interaksi antara anggota budaya terjadi baik didalam budayanya sendiri
maupun akan berinteraksi lebih luas lagi yakni dengan masyarakat yang
berada di luar budayanya. Dalam interaksi di luar,individu pastilah membawa
nilai-nilai yang ada di dalam budayanya.
Oleh karena itu kami akan membahas salah satu budaya yang ada di
Indonesia yakni budaya yang ada pada suku Toraja. Dengan memahami
banyak budaya maka kita akan lebih memahami betapa banyak budaya di
negeri kita serta meningkatkan rasa toleransi antar suku dan budaya di
Indonesia.
B. Rumusan Pembahasan
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini antara
lain adalah sebagai berikut
1. Bagaimana latar belakang historis budaya?
2. Bahasa Komunikasi dalam Budaya Toraja
3. Bagaimana nilai dan norma dalam suku toraja?
4. Larangan, Pantangan, dan Mitos dalam suku toraja ?
5. Bagaimana kebanyakan agama yang dianut suku toraja?
6. Bagaimana kekerabatan bagi waris bagi suku toraja?
7. Bagaimana adat perkawinan di suku toraja?
8. Tata krama pergaulan dalam suku Toraja?
9. Tradisi-tradisi suku toraja ?
10. Sosial Ekonomi dan Mata pencaharian Suku Toraja?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah antara lain untuk
mengetahui (1) latar belakang historis budaya,(2) bahasa komuikasi, (3)
norma atau nilai,(4) larangan/mitos,(5) agama yang dianut,(6) kekerabatan
bagi waris,(7) adat perkawinan,(8)tata krama pergaulan,(9)tradisi khusus,
(10)social ekonomi/ mata pecaharian.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Historis Budaya
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana.
Legenda ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja turun dari
nirwana menggunakan “tangga dari langit” yang kemudian berfungsi sebagai
media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Namun
seorang anthropolog menuturkan bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari
proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
dengan pendatang dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara
kedua masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo Cina dalam
jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai di daerah Enrekang. Para
imigran ini lalu membangun pemukiman di daerah tersebut.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis, dari kata To Riuja yang
berarti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”. Ada juga versi lain
yang mengatakan nama Toraja berasal dari kata Toraya. To artinya Tau atau
“orang”, Raya dari kata Maraya yang berarti “besar”. Jadi Toraya berarti orang-
orang besar atau bangsawan. Lama-kelamaan, penyebutan tersebut menjadi
Toraja. Dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja
dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
B. Bahasa Komunikasi
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai bahasa
nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa
Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' ,
Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh
oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Keragaman dalam bahasa Toraja
DenominasiISO
639-3
Populasi
(pada
tahun)
Dialek
Kalumpang kli12,000
(1991)
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau
(Ta'da).
Mamasa mqj100,000
(1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae'
(Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang,
Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e rob250,000
(1992)
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan,
Bua.
Talondo' tln 500 (1986)
Toala' tlz30,000
(1983)Toala', Palili'.
Torajan-
Sa'dansda
500,000
(1990)
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'),
Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita
kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka
dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk
menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan
suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh
dari peristiwa kehilangan seseorang, hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan
untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
C. Norma/nilai
Niai-nilaidari suku toraja ini antara lain
(http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2718/aluk-rambu-solo-upacara-
pemakaman-adat-melayu-toraja-sulawesi-selatan) :
a. Menghormati leluhur . leluhur memiliki pengaruh yang kuat dalam
kehidupan orang toraja, dan oleh karena itu leluhur harus dihormati,
ssalah satunya dengan menggelar uparacara aluk rambu solo
b. Nilai kekerabtan. Nilalai kekerabatan tercermin dari ungkapan simpati
kerabat yang dating dengan membawa beragam bantuan. Hal ini tentusaja
kian menguatkan kekerabatan antar mereka.
c. Pelestarian tradisi. Nilai upacra adat merupakan warissan leluhur , dan
dengan menggelar upacara merupakan cara untuk melestarikan nialai
tradisi.
d. Menjaga semangat suku. Pelaksanaan upacara adat juga merupakan salah
satuupaya untuk menjaga semangat kesatuan suku karena upacara ini
menjadi perekat masyarakat toraja
e. Sakralitas dan spiritualisa. Nialai ini tercermin dari pelaksanaan upacara
yang kental dengan nuansa sacral karena arwah leluhur diyakini hadir
dalam acara ini.
D. Larangan/mitos
E. Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme
politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai
"hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan
menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara
berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk,
dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada
awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan
kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan
dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi
adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap
berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa
bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa
kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik
dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa
(seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk
bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum
adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku
Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika
pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama
pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan
melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan
hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
F. Kekerabatan
1. Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja.
Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang
dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek
umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang
pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan
hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak,
dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan
bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya
dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan
sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana
Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi
tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka
sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa
desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan
melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis
ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak
hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga
menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang
menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan,
tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang.
2. Kelas social
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan
kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak
(perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas
sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan
dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas
yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan
berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di
tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok
bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan
kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga
beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti
pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan
jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga.
Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan
perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka,
tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan
memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka,
atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi
pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
G. Adat perkawinan
Perkawinan yang dinamai rampanan kapa’ di Tana Toraja merupakan
suatu adat yang paling dimuliakan masyarakat Toraja karena dianggap sebagian
dari terbentuknya atau tersusunannya kebudayaan seperti pula pada suku-suku
bangsa lainnya di Indonesia.
Proses dan pelaksanaan perkawinan yang dinamakan rampanan kapa’ itu
di Tana Toraja yang dilakukan menurut adat Toraja, maka tampak perbedaan
antara proses perkawinan di daerah lain karena yang dilakukan atau yang
menghadapi serta yang mensyahkan perkawinan di Tana Toraja bukanlah
penghulu agama tetapi dilakukan oleh pemerintah adat dinamakan ada’. Namun
sebenarnya perkawinan itu di asuh atau diatur olah aturan-aturan yang bersumber
dari ajaran aluk todolo yang dinamakan aluk rampanan kapa’.
Dalam suatu perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan kurban
persembahan dan sajian persembahan seperti dalam menyelamati peristiwa-
peristiwa lain umpamanya pembangunan rumah, menyelamati keadaan tanaman
dan hewan ternak dan kelahiran manusia dan lain-lain.
Perkawinan di Tana Toraja adalah semata-mata adanya persetujuan
kemudian persetujuan itu disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan
pemerintah adat dan seluruh keluarga yang telah terdapat aturan dan hukum-
hukum yang dibacakan dalam perjanjian sebagai sangsi dan perjanjian
perkawinan.
H. Tata Krama Pergaulan
I. Tradisi Khusus
- Adat istiadat
Suku Toraja selama ini dikenal sebagai salah satu suku yang sangat taat
dalam menjalankan ritual adatnya, yang terbagi dalam dua golongan besar.
Masing – masing adalah tradisi untuk menghadapi kedukaan atau sering disebut
Rambu Solok dan tradisi untuk menyambut kegembiraan yang dinamakan dengan
Rambu Tuka. Masing – masing tradisi ini masih mempunyai tujuh tahapan
upacara.
Dalam masyarakat Suku Toraja, sampai dengan saat ini masih banyak
yang memegang kepercayaan peninggalan para leluhurnya. Maka tidak
mengherankan bila kedua tradisi tersebut masih sering diadakan sampai saat ini.
Upacara Tambu Tuka, selalu berhubungan dengan meninggalnya
seseorang. Maka upacara ini dimulai dengan mempersiapkan penguburan bagi
orang yang meninggal. Dalam upacara ini sering dilaksanakan dengan
mengadakan adu ayam, kerbau serta menyembelih binatang babi yang jumlahnya
cukup besar.
Kuburan yang digunakan untuk menguburkan jenazah terbilang istimewa.
Karena jenazah tersebut diletakkan pada tempat yang khusus, yaitu disebuah
gunung yang berbatu dan di beri lubang dan bentuknya seperti gua kecil. Jadi
jenazah tersebut tidak dikubur sebagaimana umumnya, namun diletakkan didalam
lubang gua tersebut.
Sementara itu untuk upacara tradisi Rambu Tuka yang merupakan pesta
kebahagiaan, biasanya digunakan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, pesta
pernikahan dan lain – lain. Jika salah satu penduduknya melakukan kesalahan atau
pelanggaran maka akan dijatuhi sanksi adat.
- Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka
biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-
minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa
sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan
ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk
kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam
“masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk
melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak
kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman, yang pertama peti mati dapat disimpan di
dalam gua, kedua di makam batu berukir, yang ketiga digantung di tebing. Orang
kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya
mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua
batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu
yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati
bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya
bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
- Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan
untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah
akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok
pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari
kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji
keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai
ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa
dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara,
para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan
mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk
mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari
selama musimpanen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari
Pengucapan Syukur dan tarianMa'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja
sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian
Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan
oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Ma'buaadalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan
kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling.
Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian
Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari
dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat
musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat daridaun palem dan dimainkan pada
waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam
pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor,
tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang
dihormati.
Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Toraja ini
senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain Rambu Solo,
sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni
ritual membersihkan dan mengganti busana jenazah leluhur.
Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman
Toraja Utara. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’
berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari
makam-makam dan liang batu dan diletakkan di arena upacara.
Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara
perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang
tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah
dengan yang baru.Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup
dan tetap menjadi bagian keluarga besar.
Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat Baruppu dianggap sebagai wujud
kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah meninggal
dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari gangguan jahat,
hama tanaman, juga kesialan hidup.
J. Sosial Ekonomi/ Mata
Pencaharian
Masyarakat Toraja
banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata
pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang suku toraja suami
dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami
mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.
Para perajin parang tersebar di berbagai wilayah Toraja. Kalau ingin
melihat proses pembuatannya pada hari pasaran (6 hari sekali) yang digelar di
Rantepao. Hari pasaran ini merupakan pasar terluas di Toraja, dengan
keistimewaan perdagangan kerbau dan babi yang sangat besar.
Tanah lapang luas yang menampung kerbau dengan para penjualnya
bersisian dengan kios-kios para perajin parang. Sistem pembuatan parang
tradisional yang cukup cepat pengerjaannya bisa disaksikan di sini. Bisa juga
menemukan perajin parade di Desa La’ Bo’, Kelurahan Sangga Lange (terusan
arah Kete’ Kesu), yang selain bertani, mereka juga membuat parang.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku toraja merupakan suku yang berada di provinsi Sulawesi
Selatan, suku ini masih ada yang tinggal di tana toraja, kabupaten toraja
utara dan juga ada yang berada di kabupaten Mamasa. Agama mayoritas
yang dianut oleh suku toraja adalah agama Kristen, walaupun ada agama
lain yang dianut oleh suku toraja seperti Agama Islam. Nenek moyang
suku toraja juga masih ada yang menganut aliran animisme.
Dalam suku toraja kelarga besar tinggal dalam satu rumah adat yang
disebut dengan nama rumaha “tongkonan”. Sistem mata pencaharian
dalam keluarga pada suku toraja yakni bertani karena memiliki banyak
ladang dan sawah.