71130483 referat hepatitis kronis finished
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Hepatitis kronis adalah terjadinya peradangan dan nekrosis hati yang berlangsung minimal 6
bulan.1
KLASIFIKASI DARI HEPATITIS KRONIS 1,2
Berdasarkan penyebab/etiologi
o Hepatitis viral kronis: Hepatitis B, B plus D, C dan virus-virus lain
o Hepatitis autoimun: tipe 1, 2, dan 3
o Hepatitis kronis karena obat-obatan
o Hepatitis disebabkan kelainan genetik: penyakit Wilson, def α1 antitripsin
Berdasarkan pemeriksaan histopatologis dapat dibagi 3 yaitu:
1. Hepatitis Kronik Persisten
Terdapatnya infiltrasi sel-sel radang di daerah portal, fibrosis periportal sedikit sekali
atau tidak ada, arsitektur lobular normal, limiting plate pada hepatosit utuh, piece
meal necrosis (-). Umumnya pasien asimtomatik atau mengalami gejala konstitusi
ringan (lemah, anoreksia, mual). Pada pemeriksaan fisik hati membesar, lembek,
kenyal. Limpa tidak teraba, ikterik ringan. Pada laboratorium peningkatan ringan
aktivitas aminotransferase. Perkembangan menjadi hepatitis kronik aktif dan sirosis
sangat jarang terjadi, terutama pasien hepatitis kronis persisten idiopatik atau
autoimun.
2. Hepatitis Kronik Lobular
Terdapat fokus nekrosis dan peradangan dalam lobulus hati. Secara morfologis mirip
hepatitis akut yang sedang sembuh perlahan. Limiting plate utuh, fibrosis periportal
sedikit atau tidak ada, arsitektur lobulus normal. Jarang menjadi hepatitis kronis aktif
dan sirosis.
Dapat dianggap varian hepatitis kronik persisten dengan komponen lobuler dengan
gambaran klinis/laboratoriumnya serupa. Kadang-kadang aktivitas klinis meningkat
spontan, mirip hepatitis akut, perburukan sementara gambaran histologis.
3. Hepatitis Kronik Aktif
Ditandai oleh nekrosis hati yang terus-menerus, peradangan portal/periportal dan
lobuler serta fibrosis. Keparahan dari ringan sampai berat. Dapat menimbulkan
sirosis, gagal hati, dan kematian.
Bentuk ringan: erosi ringan dari limiting plate dengan beberapa piece meal nekrosis
tanpa nekrosis bridging atau penumpukan rosette.
Bentuk berat: septa fibrous meluas ke kolumna sel hati, pembentukan rosette,
nekrosis bridging sel hepar, saluran porta dan vena sentralis, juga antara portal.
Jika terkena multilobulus dan mengenai seluruh hati terjadi perburukan cepat bahkan
gagal hati akut.
Klinis walaupun ada yang asimtomatik, tapi sebagian besar dengan konstitusi ringan
sampai berat, terutama rasa lelah. Lebih sering ditemukan hipertensi portal, kadar
aminotransferase cenderung lebih tinggi dan ikterik (hiperbilirubinemia). Pada 20-
50% biopsi juga sudah mengalami sirosis, bersamaan dengan hepatitis kronik
aktifnya.
HEPATITIS VIRAL KRONIK
1. HEPATITIS VIRUS B KRONIK
PENDAHULUAN
Pengidap hepatitis B kronik diketahui dengan terdapatnya HbsAg dalam darah lebih dari 6
bulan.3 Hepatitis B kronik tidak selamanya harus didahului oleh serangan hepatitis B akut. Pada
beberapa keadaan, hepatitis akut langsung diikuti oleh perjalanan ke arah kronisitas. Keadaan
lain, walaupun seperti akut, ternyata sudah terjadi hepatitis kronis. Kira-kira 10% orang dewasa
dan 90% neonatus yang terinfeksi akut menjadi kronis. Insidensi ditemukannya HbsAg
mendekati 5% penduduk dunia (300 juta orang). Lebih dari 10%nya tinggal di SubSahara dan
Asia Tenggara. Dari yang terinfeksi secara kronis 20%nya akan menjadi sirosis atau
hepatoseluler karsinoma (HCC) dan sekitar 1-2 juta orang pertahun yang akan meninggal dunia.1-
5
PATOGENITAS INFEKSI HEPATITIS B KRONIK
Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit terjadi akibat lisis hepatosit
melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi VHB bergantung pada integritas
sistem imunologis seseorang. Infeksi kronis terjadi jika terdapat gangguan respon imunologis
terhadap infeksi virus. Selama infeksi akut, terjadi infiltrasi sel-sel radang antara lain limfosit T
yaitu sel NK (Non spesific Killer) dan sel T sitotoksik. Antigen virus, terutama HbcAg dan
HbeAg, yang diekspresikan pada permukaan hepatosit bersama-sama dengan glikoptotein HLA
kelas I, mengakibatkan hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk lisis oleh limfosit T.
walaupun ekspresi HLA oleh hepatosit normal cukup memadai, ekspresi ini akan semakin
diperkuat oleh peningkatan aktivitas interferon endogen yang diproduksi selama fase awal
infeksi virus. Interferon juga akan mengaktifkan enzim seluler termasuk 2-5 oligoadenilat
sintetase, endonuklease dan protein kinase. Enzim-enzim tersebut akan menghambat sintesis
protein virus dengan cara degradasi mRNA atau menghambat proses translasi. Perubahan-
perubahan akibat interferon ini akan menimbulkan suatu status antiviral pada hepatosit yang
tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi selama proses lisis hepatosit yang terinfeksi.
Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronik menunjukkan bahwa respons imunologis
selular terhadap infeksi virus tidak baik. Jika respons imunologis buruk, lisis hepatosit yang
terinfeksi tidak akan terjadi, atau berlangsung ringan saja. Virus terus berproliferasi sedangkan
faal hati tetap normal. Kasus demikian disebut pengidap sehat. Di sini ditemukan kadar HbsAg
serum tinggi dan hati mengandung sejumlah besar HbsAg tanpa adanya nekrosis hepatosit.6
Pasien dengan respons imunologis yang lebih baik menunjukkan nekrosis hepatosit yang
terus berlangsung, tetapi respons ini tidak cukup efektif untuk eliminasi virus dan terjadilah
hepatitis kronik. Gangguan respons imunologis ini penting terutama pada pasien leukemia,
gangguan ginjal atau transplantasi organ, penerima obat imunosupresif, homoseksual, pasien
AIDS dan neonatus.1,6
Kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit T dapat terjadi akibat berbagai
mekanisme:
1. Fungsi sel T supresor yang meningkat
2. Gangguan fungsi sel T sitotoksik
3. Adanya antibodi yang menghambat pada permukaan hepatosit
4. Kegagalan pengenalan ekspresi antigen virus atau HLA class I pada permukaan hepatosit.
Kapasitas produksi atau respons terhadap interferon endogen yang kurang akan
menyebabkan gangguan ekspresi HLA class I tersebut sehingga tidak akan dikenal oleh
sel limfosit T.1,6
DIAGNOSTIK6
Hepatitis kronik adalah penyakit yang berlangsung secara perlahan dan menyelinap.Keluhan
yang ada tidak sejalan dengan beratnya kerusakan jaringan hati. Pada separuhnya, pasien datang
dengan gejala penyakit hati kronik yang jelas seperti ikterus, asites atau gejala hipertensi portal.
Jarang sekali ditemukan ensefalopati hepatik pada saat pertama kali pasien datang berobat.
Kadang-kadang pasien datang sudah dengan karsinoma primer.
Pada perjalanan penyakitnya bisa terjadi relaps yang ditandai dengan perasaan tambah lelah
dan kadar transaminasi serum semakin meningkat. Keadaan ini berkaitan dengan serokonversi
HbeAg menjadi Anti-Hbe. Serokonversi terjadi secara spontan pada 10-15% pasien, atau timbul
setelah terapi interferon, sesudah penghentian terapi antikanker, cangkok organ atau pemberian
kortikosteroid. DNA VHB dapat menetap positif walaupun sudah terjadi serokonversi.
Eksaserbasi akut dengan DNA VHB positif tetapi HbeAg negatif terjadi pada keadaan
viremia oleh virus mutan daerah pre-core. Pada keadaan reaktivasi ini pemeriksaan IgM anti-
HBc positif. Akan tetapi reaktivasi dapat pula berupa perubahan HbeAg negatif menjadi HbeAg
dan DNA VHB yang positif.
Pada keadaan ini gambaran klinis bervariasi dari tanpa gejala sampai gagal hati fulminan.
Kelainan hasil laboratorium tidka terlalu menyolok. Terdapat peninggian ringan kadar bilirubin,
transaminase, dan γ-globulin. Kadar albumin biasanya normal. Kadar HbsAg dalam serum
biasanya berbanding terbalik dengan beratnya hepatitis kronik. Pada tingkat lanjut, HbsAg sukar
ditemukan di dalam darah, tetapi IgM Anti-HBc positif. HbeAg, Anti-Hbe, dan DNA VHB
mungkin positif, mungkin pual negatif. Dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) DNA
VHB bisa dideteksi bahkan pada kasus dengan HbsAg negatif.
Karakteristik dari fase infeksi HBV kronik Dikutip dari 3
Karakteristik Stage I
Imun Tolerance
Stage II
Imun Klirens
Satge III
Residual HBV-
DNA Integrasi
Derajat Replikasi Tinggi Rendah Tidak ada
Usia (thn) 0-20 20-40 ≥ 40
Biokimia Hati Normal Mengarah ke
hepatitis
Normal (kadar
albumin ↓)
Α Feto Protein Normal N / ↑ ↑ (dalam kanker)
Hepatitis B virus
DNA
+++ + -/+
HbeAg +++ + -
Anti HbeAg - +/- +
Inflamasi Hati Sedikit / - Prominen Tidak signifikan
Histologi Hati Perubahan minimal,
hepatitis kronis
persisten
Hepatitis kronik
aktif
Bridging lobular
Nekrosis, sirosis
Perubahan minimal
Sirosis, HCC
PENANGANAN HEPATITIS B KRONIS Dikutip dari 3
Infeksi HBV
Kronik
HbeAg (+) Anti Hbe (+)
HBV DNA
(-)
HBV DNA (+)
ALT Normal ↑ ALT ALT Normal ↑ ALT
Diamati selama 3-6 bln
Tanpa dekompensasi
hatiInterferon
Respon Tdk respon
Remisi menetap
Remisi sementara
Kambuh menetap
Pengobatan Ulang: mungkin dgnPrednisolon + interferon
Remisi Tidak
Respon
Cari penyebab lain dari ↑ ALT & ikuti pengobatan
OBSERVASI
TERAPI/PENANGANAN PENDERITA HEPATITIS B KRONIK
Tujuan terapi Hepatitis Kronik B 3,6,7
1. Menekan dan menghilangkan replikasi virus (HbeAg, HBV DNA)
2. Kontrol jangka panjang nekroinflamasi dai hepatosit (GPT)
3. Mencegah transformasi maligna dari hepatosit (Integrasi HBV DNA virus ke dalam DNA
genom host)
Ketiga hal di atas bertujuan mencegah sekuele sirosis hepatis atau KHP.
Penerapan secara serologis:7
HbeAg (+) HbeAg (-) dan HbeAb (+)
HBV DNA HBV DNA ↓ / (-)
HbsAg (+) HbsAb (+)
TERAPI NON SPESIFIK/NASEHAT 3
1. Umum
Pengidap dilarang menjadi donor darah, sperma, susu atau organ tubuh lainnya, pinjam
meminjam alat cukur dan gosok. Pengidap harus memberitahukan status pengidapnya
kepada dokter gigi, dokter pribadi, dan petugas laboratorium. Keluarga di rumah,
istri/keluarga seharusnya diimunisasi bila HbsAg (-) dan HbsAb (-). Bila ibu pengidap
hamil, diberitahu dokter kebidanan untuk segera mengimunisasi bayi yang baru lahir (pasif
dan aktif).
2. Diet
Makanan sehat bergizi untuk mempertahankan berat badan tetap normal. Dianjurkan diet
tinggi kalori, protein, lemak secukupnya (diet hati). Bila sudah terjadi komplikasi sirosis hati
terutama dengan asites dianjurkan restriksi lemak, garam, air, protein, sebaiknya diberikan
vitamin.
3. Latihan/kerja
Pengidap asimtomatis bisa kerja dan olah raga seperti biasa. Bila timbul sirosis hati hindari
latihan berat.
4. Alkohol dan obat-obatan
Hindari hepatotoksik potensial, hindari minum alkohol secara rutin dan regular. Steroid dan
obat imunosupresif akan memperberat infeksi laten dan dapat menimbulkan suatu hepatitis
fatal.
MEDIKAMENTOSA
Pilihan terapi medikamentosa
1. Interferon
2. Nucleoside analogue
3. Imunosupresif/steroid
1. Interferon
Penyuntikan subkutis selama 4 bulan (16 minggu) setiap hari dengan dosis 5 juta unit,
atau 3 kali seminggu dengan dosis 10 juta unit, menyebabkan serokonversi 40% dari
infeksi HBV replikatif (HbeAg dan DNA HBV terdeteksi dalam serum) menjadi
nonreplikatif (anti HbeAg terdeteksi) disertai perbaikan gambaran histologi hati, dan pada
10% HbsAg mungkin tidak terdeteksi lagi. Respon terhadap interferon meningkat pada
pasien dengan kadar DNA HBV yang rendah sampai sedang (<200pg/mL) dan pada
pasien dengan lama sakit yang singkat (rata-rata 1,5 tahun), 70%nya mengalami
perubahan status replikatif bila diikuti selama 5 tahun.7
Efek samping interferon: lelah, sakit otot-otot, demam, sakit kepala, anoreksia, berat
badan menurun, rambut gugur, leukopenia, trombositopenia.2,6,7
Seleksi penderita yang diberi IFN:6,7
1. HbsAg (+), HbeAg (+), HBV DNA (+) lebih dari 6 bulan
2. Kenaikan nilai ALT persisten (1,5 kali nilai tertinggi atau 100µ/L)
3. Biopsi hati: hepatitis kronis ± sirosis
Tanda perbaikan dalam terapi:
Ditandai hilang atau menurunnya HBV DNA, serokonversi
HBeAg anti Hbe, HbsAg anti HBs, lisis hepatosit yang terinfeksi, peningkatan
ALT.
2. Lamivudine
Merupakan nukleosida analog generai ke II. Mekanisme kerja menghambat replikasi
virus, menghambat nekroinflamasi, memperbaiki histologi hati, mencegah sirosis hati dan
KHP. Obat ini lebih toleran, efektif, ekonomis, efek samping tidak ada. Dapat digunakan
tunggal, kombinasi dengan IFN, juga pada pemakaian IFN yang kurang berhasil atau
kontraindikasi. Dosis 100 mg/hari. Penghentian pengobatan jika HbeAg menghilang atau
terjadi serokonversi ke anti Hbe (pemeriksaan beberapa kali). Pada penelitian di Asia
serokonversi HbeAg terjadi 22% dalam 1 tahun, 29% dalam 2 tahun dan 40% dalam 3
tahun. Obat-obat golongan nukleosida analog generasi kedua yang lain: Lobucavir,
Famciclovir, Adefovir.7
3. Steroid
Steroid tunggal tidak banyak berhasil dalam terapi hepatitis kronis. Pemberian jangka
pendek (6 minggu) kemudian dihentikan tiba-tiba menimbulkan efek withdrawal terjadi
fenomena rebound. Hasil penelitian dengan steroid obat tunggal maupun kombinasi
dengan interferon ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung.3
PROGNOSIS
5 tahun survival rate pada pasien hepatitis kronis B dengan kelainan hati ringan adalah 97%,
untuk kronik aktif 86% dan 55% untuk kronik aktif hepatitis denga sirosis. Imunisasi massal
pada bayi yang baru lahir, anak di bawah umur 1,5 tahun adalah cara yang terbaik untuk
mencegah hepatitis akut, kronis, sirosis hati, KHP.2
PENANGANAN PENDERITA INFEKSI VHB KRONIK3
Pengidap kronik VHB(HbsAg (+) VE . 6 bulan)
Nasehat non spesifik
LatihanAlkohol dan Obat
Evaluasi Awal
HbeAg/anti HbeAg ± HBV DNABiokimia hati/SGPT
USG hati ± biopsi hati
HbeAg (+) veHBV DNA (+) veALT/AST normal
Minimal changes
HbeAg (+) veHBV DNA (+) ve
ALT/AST ↑Hepatitis kronis
HbeAg (-) veAnti Hbe (+) ve
HBV DNA (+)Hep. Kronis
HBV DNA (-)Sirosis Hati
KHP SurveilansUSG dan α fetoprotein regular
Terapi SpesifikObservasi
2. HEPATITIS DELTA KRONIS 5
PENDAHULUAN
HDV dipercaya menginfeksi sekitar 5% dari pengidap 300 juta HbsAg di dunia, dimana
angka tertinggi di Amerika Selatan dan Afrika. Kronisitas hepatitis D sama dengan hepatitis B,
yaitu sekitar 10-15% dari hepatitis akut. Pada mereka pengguna obat-obat narkotika IV yang
positif HbsAg terdapat peningkatan prevalensi HDV sebanyak 17-90%. Transmisi juga dapat
melalui hubungan sexual dan perinatal.
DIAGNOSTIK
Superinfeksi hepatitis B terjadi bila seorang penderita hepatitis B kronis/pengidap terinfeksi
HDV. Infeksi hepatitis D akut pada pengidap HbsAg ini biasanya akan berkembang ke arah
kronis. Tingkat penyakit biasanya lebih berat pada hepatitis HBV-HDV kronis. Pemeriksaan
serologi infeksi HDV melalui IgM anti HDV atau IgG anti HDV. HbcAb IgM dilakukan untuk
membedakan koinfeksi (HbcAb IgM positif) dan superinfeksi (HbcAb IgM negatif).
Pemeriksaan serologi lain adalah HDV RNA.
TERAPI
Pasien HBV-HDV terinfeksi kurang berespon terhadap interferon dibanding dengan HBV
saja. Penelitian terbaru Lamivudine cukup baik untuk terapi HBV-HDV koinfeksi.
3. HEPATITIS C KRONIS
PENDAHULUAN
Prevalensi hepatitis virus C (HCV) meningkat di seluruh dunia. WHO memperkirakan lebih
dari 170 juta individu di seluruh dunia terjangkit HCV.8
Insiden HCV di Indonesia sampai saat ini belum ada data pasti, namun dari pemeriksaan
terhadap penderita HCV (+) dilaporkan terdapat 44,8% HCV RNA (+), dan HCV RNA (+) ini
lebih banyak ditemukan pada usia tua dan ekonomi rendah.9
Kadar HCV dalam cairan tubuh seperti saliva, sperma, urin, feses dan sekresi vagina amat
rendah dibandingkan di dalam serum. Transmisi HCV melalui hubungan seksual hanya kurang
dari 3-7%. Hal ini dapat dieliminir lagi dengan pemakaian kondom. Insiden meningkat pada free
sex, mempunyai penyakit seksual yang menular, homoseksual, lama kawin dan meningkatnya
jumlah virus.
Hepatitis virus C mempunyai kemampuan untuk bermutasi dalam replikasi RNA (quasi
spesies) yang pada akhirnya akan mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap
penatalaksanaan. Tingkatan perubahan (diversity) akan berbanding lurus dengan resistensi
terhadap terapi interferon.
Ada enam genotip utama dan sejumlah subtipe dari HCV berdasarkan pendekatan
molekular. HCV genotip 1, khususnya 1b, tidak berespon terhadap terapi sama seperti genotip 2
dan 3. Genotip 1 juga dihubungkan dengan penyakit liver yang lebih berat dan resiko yang lebih
tinggi untuk mendapat HCC.8,10
PATOGENESA
Bila seorang terinfeksi HCV sebagian kecil akan sembuh sempurna dan sebagian besar
menjadi kronis dengan terbentuknya antibodi terhadap virus C (anti HCV). Reaksi imunologis
bersifat humoral dan selular dimana sistem humoral membentuk IgM anti HCV dan imunologik
selular mengaktivasi sel sitotoksik untuk menghancurkan virus C dengan bantuan MHC (mayor
histocompability) dan interferon, dimana interferon melalui enzim 2,5 oligo adenylate sintetase
menghambat pembentukan protein virus (replikasi virus).
Bila sel T sitotoksik mampu mengeliminasi virus akan terjadi penyembuhan dan bila gagal
akan menjadi hepatitis kronik. Walaupun anti HCV negatif selama lebih dari 6 bulan dan
transaminase normal namun kalau masih ditemukannya HCV RNA (+) maka penderita dianggap
sebagai pengidap hepatitis C.2,10
Koinfeksi dengan HBV juga telah dihubungkan peningkatan keparahan hepatitis C kronik
dan mempercepat laju ke arah sirosis. Tambahan koinfeksi dengan HBV mempengaruhi
perkembangan ke arah HCC.
Perjalanan Penyakit Hepatitis C Dikutip dari 11
Hepatitis Virus C
Hepatitis Akut
RNA-HCV 2-7 hari
Sembuh/ResolusiRNA-HCV (-)
IgM anti HCV (-)ALT Normal
Carier Hep CRNA-HCV (+)
IgM anti HCV (-)ALT Normal
Hep C KronisRNA-HCV (+)
IgM anti HCV (+)ALT Meninggi
20-30% 20-30%60-80%
Sirosis / Hepatoma Sirosis
Hepatoma
20%
Anti HCV 6-12 bln
DIAGNOSIS8
Karena gejala klinis sangat minimal maka pemeriksaan penunjang memang mempunyai
peranan yang sangat penting.
Diagnosis ditegakkan dengan: Anti HCV positif “Marker of infection”
HCV RNA positif “Marker of viremia”
BEBERAPA PEMERIKSAAN PENUNJANG ANTARA LAIN:
1. Laboratorium
Tes anti bodi Hepatitis C
Skrining serologis anti HCV mencakup enzim immunoassay (EIA) yaitu EIA 1 dan EIA
2 yang 97% spesifik. Cara ini untuk membedakan kasus akut dan kronis. EIA generasi
ketiga sudah dapat mendeteksi antibodi 4-10 minggu setelah terinfeksi. Rekombinan
imunoblot assay (RIBA) yaitu RIBA-2 digunakan untuk konfirmasi infeksi HCV dengan
hasil EIA positif pada populasi resiko rendah.
HCV RNA dengan PCR digunakan untuk mendeteksi infeksi dalam 1-3 minggu terpapar.
Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Viral load test diperiksa secara kualitatif digunakan untuk memperkirakan hasil anti HCV
yang sepertinya menggambarkan progresifitas penyakit.
Genotip virus penting dalam terapi penderita, akan membantu dalam melihat hasil dan
lama terapi. Secara klinis perbedaan yang relevan adalah antara genotip 1 dan genotip 2
dan 3. Genotip 1 biasanya diterapi 12 bulan sedang yang lain 6 bulan.
Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum pengobatan:
Anti HCV anti bodi EIA
Genotip
HCV RNA kuantitatif; reverse transcriptase PCR lebih sensitif dari DNA
Pemeriksaan ALT dan AST, bilirubin dan level albumin
Skrining koinfeksi
2. USG hati dan sistem biliar untuk menyingkirkan kemungkinan diagnostik lain.
3. Biopsi hati
Biopsi hati sebenarnya tidak diharuskan pada awal pengobatan, dilakukan untuk menilai
aktivitas penyakit hati yang dihubungkan dengan HCV. Evaluasi histologis dari biopsi
hati dapat meramalkan prognosa dan progresifitas penyakit. Temuan biopsi juga dapat
menyingkirkan penyebab lain sehingga dianjurkan pada pemeriksaan awal infeksi HCV.
Tapi ada juga bila hanya tidak dijumpai adanya remisi menetap.
PENATALAKSANAAN12
Indikator respon pengobatan yang diharapkan adalah klirens virus, ditunjukkan dengan tidak
terdapatnya HCV RNA di serum dengan menggunakan test yang paling sensitif. Respon virus
pada akhir pengobatan (End of Treatment Viral Response = ETVR) dinyatakan dengan tidak
dijumpainya HCV RNA pada akhir pengobatan. Respon virus menetap (Sustained Viral
Response = SVR) dinyatakan dengan HCV RNA pada 6 bulan setelah menyelesaikan
pengobatan.
RESPON VIRUS MENETAP (SVR)
SVR adalah berkorelasi baik dengan manfaat perubahan fibrosis hati, pencegahan HCC dan
perbaikan klinis lain. Alanin Aminotransferase (ALT) sebagai indikator biokimia hepatitis
mempunyai beberapa kelemahan antara lain:
1. Penggunaan ALT untuk menggambarkan suatu respon (ETR atau SR) mempunyai angka
kesalahan 15%
2. Penggunaan ALT untuk menggambarkan tidak respon mempunyai angka kesalahan 10-
50% tergantung pada adanya sirosis, penggunaan regimen interferon yang lebih kuat atau
produk interferon seperti pegylated (PEG)-IFN
MANFAAT PENGOBATAN ANTIVIRAL PADA HEPATITIS KRONIS C
1. Regresi fibrosis
2. Mengurangi angka terjadinya HCC
3. Mengurangi laju terjadinya komplikasi lain seperti gagal hati dan angka kematian oleh
karena penyebab hati.
4. Meningkatkan kualitas hidup
Hal berikut di bawah ini mempengaruhi hasil pengobatan:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Variabilitas virus
4. Titer HCV RNA
5. Keparahan fibrosis
Pasien dengan ALT serum normal tidak diterapi. Pasien dengan tidak ada atau fibrosis yang
minimal tidak penting sekali diterapi dengan antiviral. Bila telah ditetapkan untuk tidak diterapi
maka pasien ini harus diikuti untuk melihat progresi penyakitnya, mencakup biopsi liver ulangan
untuk melihat tingkatan fibrosis, setiap 3-7 tahun. Pasien dengan fibrosis nyata yang berisiko
menjadi sirosis dengan sirosis kompensata harus dipertimbangkan pemberian terapi antiviral.
Pasien dengan sirosis dan gagal hati secara umum tidak boleh diterapi dengan antivirus
HCV. Sebaliknya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati.
Yang mempengaruhi hasil pengobatan: usia, jenis kelamin, variabilitas virus, titer HCV
RNA, keparahan fibrosis.
TERAPI PASIEN YANG BELUM PERNAH DITERAPI SEBELUMNYA12
Rekomendasi dari Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan Hepatitis C kronik
adalah terapi kombinasi dengan interferon/ribavirin. Lama terapi 6 bulan untuk genotip 2 dan 3
atau genotip 1 dengan beban virus rendah (<2.000.000 virus ekivalen/ml) dan 12 bulan untuk
genotip 1 dan 4 dengan beban virus tinggi (>2.000.000 virus ekivalen/ml). Pemakaian IFN dosis
tinggi setiap hari selama 4-6 minggu pertama pengobatan (terapi induksi) memperbaiki efikasi
antiviral tetapi belum dapat dibuktikan meningkatkan SVR. Jika terapi kombinasi tidak tersedia
atau kontraindikasi maka monoterapi IFN dan regimen khusus atau produk lain yang menambah
efikasi masih mempunyai peranan.
PASIEN YANG TIDAK MEMBERI RESPON VIRUS MENETAP
Yang termasuk golongan ini adalah pasien yang respon tetapi kemudian relaps ataupun yang
tidak respon sama sekali, walaupun pada beberapa pasien ini ada terlihat manfaat perlambatan
progresi ke arah fibrosis dan perbaikan klinis.
Rekomendasi Konsensus Asia Pasifik:
Terapi ulangan harus dipertimbangkan pada pasien yang relaps setelah ETR terhadap
pengobatan sebelumnya dengan regimen yang kini dipertimbangkan suboptimal, misal IFN 3
juta U, tiga kali seminggu selama 6 bulan.
Rekomendasi yang dianjurkan antara lain:
a. IFN 3 juta U, 3x/minggu, selama 6 bulan ditambah ribavirin 1000-1200 mg/hari, sesuai
dengan berat badan.
b. Monoterapi IFN optimal seperti dosis yang lebih tinggi dan/atau waktu yang lebih lama,
atau penggunaan produk iFN yang lebih kuat.
Dikutip dari 11
PENANGANAN PENDERITA INFEKSI VHC KRONIK
HCV RNA (+) HCV RNA (-)
↑ ALTALT Normal ALT Normal↑ ALT
Biopsi Hati
Penyakit Hati Sedang Penyakit Hati Ringan
Interferon
Respon Tidak Respon
Singkirkan penyebab lain Hepatitis Kronik: Wilson Disease, Lupoid
Hepatitis, dsb. Obati yang mendekati
Remisi Menetap Remisi Sementara
Pengobatan Ulang: mungkin dengan dosis yang lebih besar dan periode yang lebih lama atau terapi kombinasi
Remisi Tidak Respon
Observasi
OBSERVASI
Efek Samping Ribavirin dan Interferon
Efek samping segera berupa flu like symptom, mual, iritabilitas, insomnia, diare, gangguan
pendengaran, visual, dan anoreksia. Efek samping jangka panjang berupa penurunan berat badan,
sering buang air besar, banyak tidur, efek psikologis (anxietas, depresi, dan iritabilitas), rambut
rontok, insomnia, trombositopenia dan lekopenia. Ribavirin (7-10%) dapat menimbulkan anemia
hemolitik.
PROGNOSA
Infeksi HCV bersifat self limiting hanya pada sejumlah kecil kelompok, selainnya
berkembang menjadi kronis.
20% berkembang menjadi sirosis setelah 20 tahun, dan 1-4% dari antaranya menjadi
HCC setiap tahunnya setelah 30 tahun. HCC lebih sering pada penderita yang alkoholis,
sirosis dan koinfeksi dengan HBV.
Dengan terapi baru yang direkomendasi, mencakup PEG IFN dan ribavirin, sustained
respond sebesar 60%.
PENCEGAHAN
Tidak ada produk yang disediakan untuk mencegah hepatitis virus C
Pengembangan imunoprofilaksis untuk penyakit ini masih sulit
Pasien dengan HCV harus dinasehatkan untuk berhenti menggunakan alkohol
Selama hubungan seksual agar menggunakan pengaman
Skrining pasien dengan resiko tinggi dan memulai pengobatan yang tepat dapat
membatasi insiden terjadinya sirosis dan HCC
4. HEPATITIS AUTOIMUN
Hepatitis autoimun (HAI) adalah suatu kesatuan dari sindroma heterogen hepatitis kronis
yang ditandai dengan inflamasi dan nekrosis hepatoselular yang berkelanjutan, biasanya dengan
fibrosis dan cenderung untuk berkembang menjadi sirosis atau gagal hati. Dapat juga sebagai
akut bahkan fulminan.2
Kejadian HAI lebih sering pada wanita dibanding laki-laki (4:1). HAI dibandingkan dengan
penyakit hati lainnya merupakan kasus yang jarang. Prevalensi diperkirakan 50-200/1.000.000
kasus di Eropa Utara dan populasi Kaukasian Amerika Utara, dimana 20% sebagai hepatitis
kronik. Secara epidemiologik penyakit ini diduga terkait dengan HLDASR4. HAI memiliki
mortalitas yang tinggi dan remisi yang rendah. Tanpa pengobatan, 50% pasien dengan HAI berat
akan meninggal dalam 5 tahun.13
ETIOLOGI
Pada HAI agen-agen seperti virus, bakteri, zat kimia, obat-obatan dan genetik bertanggung
jawab sebagai pencetus terjadinya proses autoimun terhadap diri sendiri secara terus-menerus.
Akhir-akhir ini lebih difokuskan pada virus sebagai pencetus. Semua virus hepatotropik mayor
diduga menyebabkan HAI yaitu virus campak, HAV, HBV, HCV, HDV, Herpes Simplex Virus
tipe I dan Epstein Barr Virus.2
PATOGENESIS2
Patogenesis terjadinya HAI sampai saat ini masih belum jelas. Bukti yang ada
menampakkan adanya progresifitas secara langsung menyerang sel hati. Autoimunitas ini
mungkin diturunkan secara genetik dan spesifisitas kerusakan hati dapat dicetuskan oleh
lingkungan. Sebagai contoh, pasien hepatitis A dan B yang self limited dapat terjadi HAI.
Bukti yang mendukung patogenesis HAI adalah:
1. Lesi histopatologi hati dominan terdiri dari sel-sel T sitotoksik dan sel plasma
2. Terdapatnya sirkulasi autoantibodi (nuclear, smooth muscle, thyroid) faktor rheumatoid
dan hiperglobulinemia
3. Kelainan autoimun lainnya seperti tiroiditas, reumatoid artritis, autoimun hemolitik,
colitis ulcerativa, glomerulonefritis proliferatif, diabetes melitus juvenil, sindrom sjorgen
sering terjadi pada hepatitis autoimun
4. Histocompability haplotypes dihubungkan dengan penyakit autoimun seperti HLA-B1, -
B8, -DRw3 dan DRw4 sering terjadi pada pasien dengan hepatitis autoimun.
5. Tipe hepatitis kronis responsif terapi glukokortikoid/imunosupresif.
Kunci patogenesis HAI terdapatnya autoantibodi sirkulasi yang digambarkan pada pasien dengan
ANA, anti LKM, antibodi-antibodi “soluble liver antigen” (sitokeratin), antibodi spesifik hati
reseptor asiloglikoprotein (hepatic leptin) dan protein membran hepatosit dapat menjadi faktor
yang berperan patogenesis hepatitis autoimun.
Mekanisme imun humoral berperan terhadap terjadinya manifestasi ekstrahepatik seperti
artralgia, artritis, vaskulitis kutaneus, glomerulonefritis yang terjadi akibat mediasi sirkulasi
kompleks imun.
KLASIFIKASI2,13
Klasifikasi HAI terdiri dari:
(1). Hepatitis Autoimun tipe I: sindrome klasik terjadi pada wanita muda berkaitan dengan
adanya hiperglobulinemia
(2). Hepatitis Autoimun tipe II: terjadinya pada anak-anak dan paling sering pada populasi
mediteranian. Tidak dihubungkan dengan ANA tetapi dengan anti LKM.
(3). HAI tipe III: pasien dengan tipe ini mempunyai kerentanan ANA dan anti LKM1,
mempunyai antibodi sirkulasi terhadap soluble liver antigen secara langsung pada
sitoplasmik hepatosit sirlokeratin 8 dan 18. Banyak terjadi pada wanita dengan
gambaran klinik hampir sama dengan HAI tipe I.
MANIFESTASI KLINIS14
Gejala hepatitis autoimun amat bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti hepatitis fulminan. Gejalanya dapat berupa lemas, lekas lelah atau nyeri sendi. Kalau
keadaan berlanjut dapat terlihat gejala sirosis hati. Gejala dapat terus menerus atau hilang timbul.
Patogenesis terjadinya hepatitis autoimun mungkin karena gangguan hemostatik yang
Asimtomatik
Observasi tanpa terapi
memelihara toleransi diri (self tolerance). Akibat terjadinya presentasi autoantigen, aktivitas
imunosit dan penghancuran sel hati.
Pada pemeriksaan laboratorium, yang menyolok adalah peninggian SGOT/SGPT.
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan limfoplasmositik dan infiltrasi radang yang disertai
bridging necrosis.
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan ANA, SMA, anti LKM 1, anti SLA dan
peninggian imunoglobulin dengan kadar 1,5 sampai 2 kali normal.
TERAPI:14
Simtomatik
Prednison 30-40 mg/hari
Azatriopin 50-100 mg/hari
Sampai SGPT <2 x normal
↓
Prednison diturunkan 5 mg/2 minggu
Azatriopin dipertahankan jika SGPT kecil 2x normal
↓
Setelah prednison 15 mg/hari
Diturunkan 2,5 mg/bulan dengan azatripon
↓
Prednison dihentikan, azatriopin 2 tahun
Biopsi hati
↓
SGPT normal, hentikan pengobatan
(Gambar algoritme terapi hepatitis autoimun)
PROGNOSIS
Umumnya baik. Bila terjadi gagal hati dapat dilakukan transplantasi hati. Rekurensi dapat
terjadi pada 40% kasus.
5. HEPATITIS AKTIF KRONIKA YANG BERHUBUNGAN DENGAN OBAT 2, 15
Keseluruhan gambaran hepatitis aktif kronika dapat dihubungkan dengan reaksi obat. Obat
tersebut antara lain metildopa, isoniazid, ketokonazole dan nitrofurantoin. Gambaran klinis
mencakup ikterus dan hepatomegali. Kadar globulin dan transaminase serum meningkat serta
bias ditemukan sel LE didalam darah. Biopsi hati memperlihatkan hepatitis aktif kronika dan
bahkan sirosis. Nekrosis hati membentuk jembatan (bridging) tidak terlalu berat. Perbaikan klinis
dan biokimia mengikuti penghentian obat. Eksaserbasi hepatitis mengikuti pemaparan ulang ke
obat. Reaksi obat harus dipertimbangkan dalam etiologi pasien maupun dengan sindroma klinik
hepatitis aktif kronika.
HEPATOTOKSISITAS METILDOPA
Perubahan kecil dalam uji hati dilaporkan sekitar 5% pada pasien. Kelainan ini khas
berubah meskipun pemberian obat berlanjut. Kurang dari 1% pasien cedera hati akut menyerupai
hepatitis virus atau kronik aktif atau jarang reaksi kolestasis. Tampak 1-20 minggu setelah
metildopa dimulai 50% kasus dibawah 4 minggu. Demam, anoreksia, malaise tampak selama
beberapa hari sebelum ikterik. Sekitar 15% pasien gambaran dengan hepatotoksisitas metildopa,
gambaran klinis, biokimia dan histologi adalah pasien hepatitis kronik aktif dengan atau tanpa
nekrosis yang menjembatani dan sirosis makronodular. Dengan penghentian obat, penyakit
biasanya berubah walaupun progrestifitas telah tampak pada beberapa pasien.
HEPATOTOKSISITAS ISONIAZID
Pada kira-kira 10% orang dewasa yang mendapat obat anti tuberkulosa isoniazid
mengalami peningkatan kadar aminotransferase serum selama beberapa minggu pertama terapi,
sepertinya hal ini merupakan respon adaptif terhadap metabolik toksik dari obat tersebut.
Diteruskannya pengobatan atau tidak bergantung kepada kadar aminotransferase serum (<200 U)
diperhatikan jika turun atau tidak dalam beberapa minggu kemudian. Kira-kira 1% pasien
penyakit berkembang dan sulit dibedakan dari hepatitis virus. Kira-kira ½ kasus ini timbul dalam
2 bulan pertama terapi. Biopsi hati terjadi perubahan serupa dengan penderita hepatitis virus atau
nekrosis hati bridging. Penyakit tersebut dapat berat dengan angka kematian 10%. Cedera hati
berkaitan dengan usia, meningkat setelah usia 35 tahun. Frekuensi tertinggi diatas 50 tahun.
Hepatotoksisistas diperberat dengan alkohol dan rifampisin.
HEPATOTOKSISITAS ASPIRIN
Bila seseorang makan aspirin dengan dosis 2-3, 5 mg/hari akan dapat timbul gejala hepatitis
setelah 1-8 bulan. Hepatitis yang timbul secara klinis, laboratorium dan histopatologi mirip
dengan gambaran hepatitis kronik aktif.
HEPATOTOKSISITAS NITROFURANTOIN
Obat ini telah disertai dengan ikterus kolestatik dan hepatitis aktif kronika empat minggu
sampai 11 tahun setelah memulai obat ini. Biasanya pasien membaik bila obat dihentikan. Tetapi
sirosis dapat berkembang dan pasien bisa meninggal dengan gagal hati progresif fatal.
Mekanismenya bisa sitotoksisitas langsung ke senyawa induk atau ke metabolit.
6. DEFISIENSI α-1 ANTI TRIPSIN
α-1 anti tripsin disintesa dalam retikulum endoplasma kasar dalam hati. Terdiri dari 80-90%
α-1 globulin serum yang merupakan penghambat tripsin dan protease lain in vitro.
PATOGENESA PENYAKIT HATI
Kerusakan hati bukan dikarenakan penurunan α-1 antitripsin di sirkulasi, tetapi adanya
akumulasi α-1 antitripsin. Pada defisiensi α-1 antitripsin homozigot, transport protein dari
retikulum endoplasmic ke aparatus golgi terganggu, yang mengakibatkan kerusakan intrasel,
tetapi belum jelas bagaimana terjadi kerusakan hati.
GAMBARAN KLINIS
10-20% homozigot defisiensi α-1 antitripsin akan mengalami disfungsi hati. Pada empat
bulan pertama kehidupan akan terjadi ikterus hepatitis-kolestasis dalam berbagai tingkat
keparahan. Bisa fatal, tetapi biasanya mereda pada usia sekitar 6 atau 7 bulan dengan gejala sisa
hepatomegali. Masa relatif sehat diikuti oleh sirosis dan komplikasinya dapat dalam masa kanak-
kanak atau awal masa dewasa, dan terjadi peninggian tekanan portal atau acites. Sirosis yang
terjadi dapat tetap terkompensasi selama bertahun-tahun, tetapi juga dapat menjadi parah yaitu
25% meninggal selama masa kanak-kanak. Penyakit ini jarang pada orang dewasa. Dilaporkan
terdapat 5 pasien dengan defisiensi α-1 antitripsin homozigot dari 469 pasien penderita penyakit
hati kronik dan kelimannya dan kelimanya mempunyai riwayat ikterus neonatal.
DIAGNOSA
Setiap pasien sirosis hati, tanpa memandang usia dan dengan riwayat ikterik neonatal juga
dengan kelainan thorax (emphisema) haruslah dicurigai sebagai penderita defisiensi α-1
antitripsin. Untuk konfirmasi dapat diukur kadar α-1 antitripsin dalam serum.
TERAPI
Terapi penggantian dengan α-1 antitripsin sintetik atau berasal dari plasma telah digunakan
untuk mengobati penyakit paru. Transplantasi hati telah berhasil dilakukan. Fenotip resipien
cepat berubah ke fenotip donor.
7. PENYAKIT WILSON 17
PENDAHULUAN
Penyakit yang jarang ini, terutama pada orang muda, ditandai oleh sirosis hepatis,
degenerasi ganglia basalis otak serta cincin pigmentasi coklat kehijauan dalam tepi kornea
(cincin Kayser-Fleiser).
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia, tetapi terutama dalam Yahudi dari asal usul Eropa
Timur, orang Arab, Italia, Jepang, China, Indian dan masyarakat yang mempunyai angka
perkawinan antar keluarga yang tinggi. Prevalensinya sekitar 1 dalam 30.000 dengan frekuensi
pembawanya sekitar 1 dalam 90.
Diturunkan autosom resesif dan kedua orang tua harus membawa gen abnormal. Cara
herediter ini menggambarkan bahwa cacat gen tunggal bertanggung jawab bagi gangguan
ekspresi tembaga bilier dan berkurangnya kadar seruloplasmin.
Peningkatan jumlah tembaga, yang tertimbun dalam jaringan, bertanggung jawab bagi
perubahan hati, neurologi, cincin Kayser-Fleisher dan kornea dan lesi dalam ginjal dan organ
lain.
Eksresi tembaga billier rendah. Eksresi tembaga urine meninggkat. Tetapi kadar tembaga
serum hampir selalu berkurang. Seruloplasmin (α-2 globulin yang bertanggung jawab untuk
pemindahan tembaga di dalam plasma) berkurang. Masukkan tembaga diet harian yang normal 4
mg, dari itu 2 mg diserap dan dieksresikan dalam empedu, sehingga pasien dalam keadaan
seimbang. Pada penyakit Wilson, hanya 0,2-0,4 mg dapat dieksresikan dalam empedu dengan 1
mg ke dalam urin sehingga timbul keseimbangan tembaga yang positif.
PATOLOGI
- Hati memperlihatkan semua tingkatan perubahan dari fibrosis periporta melalui nekrosis
submasif ke sirosis makronodular kasar.
- Ginjal memperlihatkan perubahan perlemakan dan hidropik dengan penimbunan tembaga
dalam tubulus contortus proximalis.
- Cincin Kayser-Fleisher karena pigmen yang mengandung tembaga ditimbun dalam
membrana descement ditepi permukaan posterior kornea.
GAMBARAN KLINIS
Keracunan umum jaringan dengan tembaga. Pada anak-anak, terutama terlibat hati (bentuk
hepatic) kemudian perubahan neuropsikiatri menjadi semakin nyata (bentuk neurologi). Pasien
setelah usia 20 tahun biasanya mempunyai gejala neurologi. Dua jenis keadaan ini dapat
tumpang tindih, kebanyakan pasien bergejala atau telah terdiagnosa antara usia 5-30 tahun.
BENTUK HEPATIK
- Hepatitis fulminan. Ditandai oleh ikterus progresif, asites serta gagal hati dan ginjal,
biasanya pada anak atau orang muda.
- Hepatitis aktif kronika. Biasanya pada usia 10-30 tahun sebagai hepatitis aktif kronik
dengan ikterus, kadar transaminase tinggi dan hipergammaglobulinemia, perubahan
neurologi muncul 2-5 tahun kemudian. Gambaran ini bisa sangat menyerupai bentuk lain
hepatitis aktif kronika. Hal ini menekankan keperluan untuk menyaring semua pasien
yang demikian untuk penyakit Wilson.
- Sirosis. Pasien bisa tampil dengan sirosis yang berkembang pelan-pelan. Gambaran klinis
mencakup “spider” vaskular, splenomegali, acites dan hipertensi portal.
- Karsinoma hepatoseluler sangat jarang.
Bentuk-bentuk lain: bentuk neuropsikiatri dan perubahan ginjal
TES LABORATORIUM
- Kadar tembaga dan seruloplasmin serum biasanya berkurang
- Eksresi tembaga urin 24 jam meningkat
- Pada orang yang dikontraindikasikan biopsi hati dan kadar seruloplasmin serumnya
normal, maka penggabungan radio tembaga yang diberikan perorang ke seruloplasmin
bisa bersifat diagnostik.
BIOPSI HATI
Kandungan tembaga harus diukur dengan aktivasi neuron
TERAPI
Terapi dimulai dengan 1,2g d-penisilamin hidroklorida oral dalam empat dosis yang
diminum sebelum makan. Penisilamin meng’chelate’ tembaga dan meningkatkan eksresi urin
sebanyak 1000-3000 ug/hari. Jika tidak ada perbaikan ditingkatkan 1,5-2 gr/hari. Perbaikan
dengan memudarnya cincin Kayser-Fleisher dan berkurangnya gejala neurologi. Diet rendah
tembaga sedikit bermanfaat, tetapi makanan yang mengandung tinggi tembaga seperti: coklat,
kacang, jamur, hati, kerang harus dihindari.
PROGNOSIS
Penyakit Wilson yang tidak diobati akan progresif dan fatal. Bahaya terbesar adalah pasien
tetap tidak terdiagnosa dan meninggal tidak diobati. Prognosis juga tergantung atas respon
terhadap terapi penisilamin kontinu selama 6 bulan. Kematian akibat gagal hati, perdarahan
varises esofagus atau infeksi yang dapat terjadi akibat ketidakmampuan neurologi.
KEPUSTAKAAN
1. Sherlock S, Dooley J. Chronic Hepatitis. In: Diseases of the Liver and Billiary System.
9th ed. London : Blackwell; 1993. P.293-321.
2. Isselbacher KJ, Dienstag JL. Chronic Hepatitis. In: Fauci (eds). Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 14th ed. New York : Mc Graw Hill; 1998.p.1697-1704.
3. Yu HK, Guan R. Hepatitis B current strategies for prevention and management. Medical
progress 1997;2:21-8.
4. Pyrsopoulus NT. Hepatitis B. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic992.
htm
5. Wolf CD. Hepatitis, Viral. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic3180.
htm
6. Abdurarachman SA. Hepatitis virus kronik. Dalam: Waspadji (edt). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. Hal 266-270.
7. Malik AH, Lee WM. Vhronic hepatitis B virus infection: treatment strategies for the next
milenium. Annals of Internal Medicine 2000;9:723-9.
8. Dhawan VK. Hepatitis C. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic999.htm
9. Akbar N. Hepatitis infection in general population. Departement of Internal Medicine
University of Indonesia School of Medicine. In: Journal of Internal Medicine 1997;
3:181-6.
10. Davis GL. Hepatitis C. In: Shiff ER (eds). Shiff’s Diseases of the liver. 8 th ed.
Philadeplhia: Lippincott; 1919.p.757-91.
11. Tarigan P. Kuliah penatalaksanaan hepatitis virus C kronik FK USU.
12. Farrell GC. Management of Hepatitis C. Draft working party reports from the Asia
Pacific consensus on prevention and management of chronic hepatitis B and C 1999.
Kyoto. Japan.
13. Manns MP. Autoimun hepatitis. In: Shiff ER (eds). Shiff’s diseases of the liver. 8 th ed.
Philadephia: Lippincott; 1919.p.919-35.
14. Akbar N. Diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis autoimun. Pertemuan Ilmiah Tahunan
2001. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FKUI. Hal 27-29.
15. Sherlock S, Dooley J. Drugs and the liver. In: Diseases of the liver and billiary system. 9 th
ed. London: Blackwell; 1993.p.322-356.
16. Sherlock S, Dooley J. α1 antitrypsin deficiency. In: Diseases of the liver and billiary
system. 9th ed. London : Blackwell;1993.p.425-7.
17. Sherlock S, Dooley J. Wilson’s disease. In: Disease of the Liver and Billiary System. 9 th
ed. London: Blackwell;1993.p.400-7.