7 bab iirepository.ump.ac.id/5203/3/asti fitriana rizki bab ii.pdf7 bab ii kajian pustaka a....
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai wujud kebudayaan sebelumnya sudah pernah dilakukan.
Namun fokus penelitiannya berbeda dengan yang ada dalam penelitian ini. Hasil dari
penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya oleh orang lain mengenai wujud
kebudayaan akan dijadikan sebuah penelitian relevan oleh peneliti. Hal itu dilakukan
untuk memperkuat dan membedakan hasil penelitian yang ada. Penelitian relevan
yang dipakai dalam penelitian ini ada tiga buah penelitian.
1. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan dalam Kumpulan Cerita Legenda Jawa Kabupaten Cilacap yang Diterbitkan Oleh Yayasan Pembinaan Pendidikan Generasi Muda oleh Fiqih Nursanti Nugraheni Tahun 2013 Penelitian yang dilakukan oleh Fiqih bertujuan untuk mendeskripsikan wujud
dan unsur kebudayaan yang ada dalam cerita legenda Jawa Kabupaten Cilacap. Hasil
penelitian dari Fiqih yaitu: mendeskripsikan (1) wujud kebudayaan sebagai gagasan
yang terdiri dari unsur kebudayaan yang berupa sistem pengetahuan, sistem peralatan
hidup, teknologi, dan sistem religi, (2) wujud kebudayaan sebagai aktivitas yang
terdiri dari unsur kebudayaan berupa bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi serta sistem religi, (3) wujud kebudayaan sebagai
hasil karya manusia yang terdiri dari unsur kebudayaan berupa kesenian. Penelitian
yang dilakukan Fiqih berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada
penelitian yang dilakukan Fiqih, fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur
kebudayaan pada cerita legenda di Jawa yang ada dalam cerita legenda sedangkan
7
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
8
penelitian yang dilakukan peneliti hanya berfokus pada wujud kebudayaan dalam
upacara pemakaman adat Tana Toraja yang ada dalam cerpen Tedong Helena dan
Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang
dilakukan Fiqih dan peneliti berbeda dari segi objek dan sumber data penelitian.
2. Penelitian dengan Judul Wujud dan Unsur Kebudayaan Bali dalam Kumpulan Cerpen “Perempuan yang Mengawini Keris” karya Wayan Sunarta (Studi Antropologi Sastra) oleh Novi Septiana Tahun 2014
Selain Fiqih, penelitian tentang wujud kebudayaan juga dilakukan oleh Novi
Septiana mahasiswa jurusan Pendididkan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun
2014. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan wujud dan unsur
kebudayaan yang ada dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris
karya Wayan Sunarta. Hasil penelitian dari skripsi ini mendeskripsikan tentang: (1)
Wujud kebudayaan yang terdapat pada kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini
Keris meliputi: (a) Wujud kebudayaan sebagai suatu ide yang meliputi gagasan
tentang nyentana, ngaben, balian, leak, hyang widy, karmapala, klian, kelompok
janger, patung, dan bli. (b) Wujud aktivitas meliputi aktivitas tentang rapat adat,
nyentana, sesaji, seni patung, seni lukis, seni tari, dan ngaben. (c) Wujud ketiga hasil
karya manusia meliputi mangsi, pengerumpak, tombak, keris, panah, patung, leak,
bade, lukisan, daun lontar, dan gamelan semarpegulingan. (2) Unsur kebudayaan yang
terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan
Sunarta terdiri dari tujuh unsur yaitu (a) bahasa yang membahas tentang penggunaan
kata bli, (b) sistem pengetahuan yaitu sistem pengetahuan alam flora (kayu, daun
lontar, dan pengerumpak), (c) organisasi sosial yaitu nyentana, klian, rapat adat,
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
9
kelompok janger, (d) sistem peralatan hidup dan teknologi yaitu sistem teknologi
persenjataan yang meliputi tombak, keris, dan panah, (e) sistem mata pencaharian
meliputi membuat patung dan menjual manik-manik, (f) sistem religi meliputi hyang
widhy, leak, balian, karmapala, ngaben, dan (g) kesenian meliputi seni patung, seni
tari, seni lukis, dan seni musik. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang
dilakukan Novi berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Novi fokus penelitiannya adalah wujud dan unsur kebudayaan
pada kumpulan cerpen Perempuan yang Mengawini Keris karya Wayan Sunarta
sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti fokus penelitiannya hanya pada wujud
kebudayaan pada upacara pemakaman yang pada upacara pemakaman adat Tana
Toraja dalam cerpen Tedong Helena dan Syair Duka karya Denny Prabowo.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang dilakukan Novi dan peneliti berbeda
dari segi objek dan sumber data penelitian.
3. Penelitian dengan Judul Budaya Korupsi dalam Novel Sang Koruptor Karya
Hario Kecik Oleh Syntia Desi Prapika Tahun 2013
Ada lagi penelitian lain yang membahas tentang wujud kebudayaan, dilakukan
oleh Syntia Desi Prapika mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Tahun 2013. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan budaya korupsi
yang ada dalam novel Sang Koruptor karya Hario Kecik. Hasil penelitian dari skripsi
ini yaitu: (1) wujud budaya korupsi yang berupa gagasan, meliputi: (a) sifat
kontrarevolusioner, yaitu suatu sifat antipasti atau tidak suka dengan segala
perjuangan demi membela rakyat, ia hanya mementingkan kebahagian diri sendiri dan
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
10
anggota keluarganya, (b) lemahnya sistem manajemen, yaitu berkaitan dengan
struktur organisasi, prosedur, pembinaan pegawai, dan supervis, (c) adanya budaya
turun-temurun, yaitu suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang, dan
kebiasaan tersebut terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, (d)
pengaruh lingkungan, yaitu seseorang bisa berpikiran untuk korupsi karena
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, (e) anggapan korupsi yang dijalankan bersama
patner lebih aman, yaitu suatu pemikiran yang menganggap bawa korupsi akan
berlangsung lama dan aman bila dijalankan bersama seorang teman: (2) wujud budaya
korupsi berupa tindakan meliputi: (a) melakukan pengaturan agar anggota keluarga
bebas tugas, (b) mengatur agar anggota keluarga bisa diterima kerja tanpa tes, (c)
melakukan korupsi secara berkelompok, (d) melakukan suap: (3) wujud budaya
korupsi berupa benda meliputi: (a) kekayaan, dan (b) kedudukan/ kehormatan.
Penelitian yang dilakukan Syntia berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Syntia fokus penelitiannya terhadap wujud
budaya korupsi yang ada dalam Novel Sang Koruptor karya Hario Kecik, sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti berfokus pada wujud kebudayaan pada upacara
pemakaman yang pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong
Helena dan Syair Duka karya Denny Prabowo. Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian yang dilakukan Syntia dan peneliti memiliki perbedaan pada sumber data
penelitian.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian yang
dilakukan oleh peneliti berbeda dari ketiga penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Fiqih, Novi, dan Syntia. Penelitian yang dilakukan peneliti berbeda
dengan penelitian ketiganya dilihat dari segi objek dan sumber data penelitiannya.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
11
B. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Berbicara mengenai kebudayaan memang tak ada habisnya. Kebudayaan
selalu melingkari masyarakat setiap hari dalam seluruh kegiatan masyarakat.
Kebudayaan menjadi pusat perhatian masyarakat setiap harinya. Secara sadar atau
tidak masyarakat sebenarnya selalu berdampingan dengan kebudayaan dan
memanfaatkan kebudayaan di dalam hidupnya. Kebudayaan melekat di dalam
masyarakat sedekat-dekatnya tanpa batasan. Namun apa itu kebudayaan seringkali
tidak dipahami definisinya oleh masyarakat.
Definisi kebudayaan ada begitu banyak di dunia ini. Para ahli banyak yang
mencari dan membuat definisi kebudayaan. Menurut Widagdho, dkk (2008: 11)
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Marvin Harris dalam Ratna (2007: 5) mengatakan bahwa
kebudayaan ialah seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh
dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Menurut Sulaeman (2007: 21)
kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Menurut
Koentjaraningrat (2004: 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar, beserta keseluruhan dari
hasil budi dan karya manusia.
Setelah melihat dan menyimak beberapa definisi kebudayaan dari para ahli
maka dapat diambil sebuah kesimpulan tentang definisi kebudayaan. Peneliti
mengambil kesimpulan definisi dari kebudayaan adalah seluruh gagasan, aktivitas,
dan hasil karya dalam kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia dengan cara
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
12
belajar. Aktivitas-aktivitas manusia tersebut di antaranya meliputi kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya kebudayaan
selalu ada dalam kehidupan masyarakat sebagai pedoman hidup masyarakat yang
berbudaya. Jadi dapat dikatakan jika tidak ada kebudayaan maka tidak akan ada
sebuah kreasi di dalam masyarakat, sebab kebudayaanlah kunci yang membuat
masyarakat menjadi lebih berkembang.
2. Wujud Kebudayaan
Kebudayaan yang ada di dunia selalu memiliki wujud. Wujud kebudayaan
adalah bentuk dari sebuah kebudayaan. Wujud kebudayaan juga ada dalam
kebudayaan di Indonesia. Wujud kebudayaan memudahkan seseorang untuk melihat
secara lebih jelas bentuk dari kebudayaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana
wujud kebudayaan itu?
Ada banyak pakar yang mengemukakan mengenai wujud kebudayaan. salah
satu yang menyebutkan persoalan wujud kebudayaan adalah Koentjaraningrat.
Menurut Koentjaraningrat (2004: 5) kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga
wujud, yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud kebudayaan dalam kenyataan kehidupan manusia sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Hal itu disebabkan ketiganya saling berkaitan. Wujud
kebudayaan yang pertama (nilai, norma, peraturan) akan memberikan arah kepada
tidakan manusia. Tindakan manusia adalah bentuk dari wujud kebudayaan kedua yang
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
13
berupa aktivitas. Selanjutnya tindakan manusia tersebut akan mempengaruhi dan
menghasilkan benda-benda yang ada dalam kehidupan manusia. Benda tersebut
sebagai wujud ketiga dari kebudayaan yang berupa hasil karya manusia. Oleh karena
itulah ketiga wujud kebudayaan yang ada tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dibuat skema wujud kebudayaan yang ada
dalam kehidupan masyarakat, seperti di bawah ini:
Kemudian untuk mengetahui secara lebih dalam mengenai ketiga wujud kebudayaan
yang telah disebutkan sebelumnya, maka di bawah ini peneliti akan menguraikan
secara lebih detail tentang ketiga wujud kebudayaan tersebut.
a. Wujud Kebudayaan yang Berupa Nilai-Nilai, Norma-Norma, Peraturan, dan Sebagainya
Menurut Koentjaraningrat (2004: 5) wujud pertama dari kebudayaan biasa
juga disebut sebagai wujud ideal kebudayaan. Dikatakan ideal sebab wujud
kebudayaan ini umumnya adalah suatu bentuk kebudayaan yang dicita-citakan atau
diharapkan. Wujud kebudayaan ideal ini menjadi sebuah acuan bagi dua wujud
kebudayaan yang lainnya yang berupa aktivitas dan benda hasil karya manusia.
Maksudnya menjadi acuan ialah bahwa wujud ini mempengaruhi apa yang terjadi
pada dua wujud kebudayaan lainnya.
Wujud Kebudayaan
Wujud Kebudayaan
Berupa Nilai, Norma,
Peraturan, dsb
Wujud Kebudayaan
Berupa Aktivitas
Wujud Kebudayaan
Berupa Benda Hasil
Karya Manusia
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
14
Sifat dari wujud kebudayaan yang pertama cenderung abstrak
(Koentjaraningrat, 2014: 5). Maksudnya abstrak adalah bahwa wujud kebudayaan ini
tidak dapat dilihat dengan indera manusia. Wujud kebudayaan tersebut juga tidak
diraba, difoto, atau didokumentasikan. Lokasi dari wujud kebudayaan ini ada di dalam
kepala manusia atau dapat juga dikatakan lokasi wujud kebudayaan yang pertama ada
di dalam pikiran manusia di mana kebudayaan itu hidup. Jika masyarakat mengatakan
atau menyatakan tentang wujud kebudayaan yang pertama dalam bentuk tulisan, maka
sering kali wujud kebudayaan tersebut dapat ditemukan dalam buku-buku atau
karangan-karangan seputar kebudayaan yang bersangkutan. Selain dalam bentuk buku
atau karangan, kini kebudayaan ideal tersebut juga banyak ditemukan dan tersimpan
dalam bentuk disk, tape, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, dan
tape komputer. Koentjaraningrat (2004: 6) mengatakan jika ada istilah lain untuk
menyebut wujud kebudayaan pertama dengan istilah adat istiadat. Jadi adat istiadat
yang ada dalam suatu masyarakat adalah bentuk dari wujud kebudayaan yang
pertama.
b. Wujud Kebudayaan yang Berupa Kompleks Aktivitas Kelakuan Berpola dari Manusia dalam Masyarakat
Menurut Koentjaraningrat (2004: 6) wujud kedua dari kebudayaan biasa
disebut dengan istilah sistem sosial. Sistem sosial berhubungan dengan aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain, yang
dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola
tertentu yang mendasarkan adat tata kelakuan. Oleh karena itu wujud kebudayaan
yang kedua disebut sebagai aktivitas. Wujud kebudayaan kedua yang berupa
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
15
rangkaian aktivitas manusia selalu terjadi di sekeliling kehidupan masyarakat setiap
harinya.
Sifat wujud kebudayaan kedua cenderung konkret atau nyata. Artinya wujud
kebudayaan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dengan indera manusia. Wujud
kebudayaan ini umumnya dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Wujud
kebudayaan kedua termasuk juga wujud yang mudah untuk ditemukan dan dilihat
dalam kehidupan sehari-hari. Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas muncul sebab
adanya wujud kebudayaan pertama. Jadi dapat dikatakan jika wujud kebudayaan yang
berupa aktivitas ini sebagai pelaksanaan dari wujud kebudayaan yang pertama.
c. Wujud Kebudayaan yang Berupa Benda-Benda Hasil Karya Manusia.
Wujud kebudayaan yang terakhir adalah wujud kebudayaan yang ada sebagai
benda hasil karya manusia. Koentjaraningrat (2014: 6) menyebut wujud kebudayaan
ketiga sebagai wujud kebudayaan fisik. Maksudnya adalah bahwa wujud kebudayaan
ini merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam
masyarakat. Wujud kebudayaan ini muncul sebagai hasil dari kebudayaan.
Wujud kebudayaan ketiga ini memiliki sifat yang sangat konkret karena
berupa benda-benda hasil ciptaan manusia atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
difoto. Benda-benda tersebut dapat juga dikatakan sebagai produk yang diciptakan
oleh manusia. Produk tersebut digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari
dalam melakukan hal-hal yang juga berkaitan dengan wujud kebudayaan lainnya.
Produk atau benda-benda ciptaan manusia tersebut dimulai dari benda yang sangat
besar sampai yang sangat kecil. Benda hasil karya yang paling besar misalnya seperti
pabrik, dan yang paling kecil misalnya seperti kancing baju.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
16
3. Unsur-Unsur Kebudayaan
Dalam kebudayaan selain terdapat wujud kebudayaan di dalamnya juga
terdapat berbagai macam unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan adalah bagian
dari kebudayaan yang ada di seluruh dunia. Unsur kebudayaan menurut
Koentjaraningrat (2004: 2) adalah sebuah pecahan dari konsep kebudayan guna
keperluan analisa. Dari definisi tersebut kita dapat mengambil kesimpulan jika unsur
kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang dipecah. Unsur-unsur kebudayaan
meliputi semua hal yang ada baik yang kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang
besar, kompleks, dan dengan hubungan yang luas.unsur kebudayaan tersebut dapat
ditemukan di mana saja di dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat unsur-unsur kebudayaan ada tujuh, dan memilki
urutan sebagai berikut (2004: 2):
a. Sistem religi dan Upacara Keagamaan b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan c. Sistem pengetahuan d. Bahasa e. Kesenian f. Sistem mata pencaharian hidup g. Sistem teknologi dan peralatan
Susunan urutan unsur kebudayaan yang Koentjaraningrat kemukakan seperti di atas
bukanlah tanpa alasan. Koentjaraningrat memilki alasan tersendiri mengapa pada
akhirnya susunan unsur kebudayaan menjadi seperti itu. Alasan mengapa susuan
unsur kebudayaan menjadi seperti itu karena urutan tersebut menggambarkan unsur-
unsur mana yang paling sukar berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, dan
mana yang paling mudah berubah atau diganti dengan unsur-unsur serupa dari
kebudayaan-kebudayaan lain. Urutan pertama dalam susunan unsur kebudayaan di
atas menjadi unsur yang paling sukar berubah. Hal itu berarti bahwa sistem religi dan
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
17
upacara keagamaan menjadi unsur kebudayaan yang paling sukar atau paling lambat
mengalami perubahan dibandingkan dengan unsur lainnya.
Menurut Koentjaraningrat (1981: 205-206) setiap unsur kebudayaan universal
sebenarnya dapat diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang lebih kecil sampai beberapa
kali. Koentjaraningrat mengikuti metode pemerincian dari R. Linton yang mengatakan
jika ada empat tahap dalam memperinci unsur kebudayaan, yaitu 1) cultural activities,
2) complexes, 3) traits, 4) items. Karena keempat hal tersebut serupa dengan
kebudayaan secara keseluruhan, maka di dalam setiap unsur universal akan selalu ada
tiga wujud kebudayaan. Unsur kebudayaan selalu dapat dilihat dari tiga segi wujud
kebudayaan. Di dalam masing-masing unsur kebudayaan seseorang dapat melihat
nilai, norma, peraturan, dsbnya, aktivitas yang terdapat di dalamnya, dan benda hasil
karya yang berkaitan dengan unsur tersebut.
Salah satu unsur kebudayaan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah
sistem religi dan upacara keagamaan. Sistem religi dan upacara keagamaan berkaitan
dengan keyakinan dan pelaksanaan . Pada unsur kebudayaan tersebut seseorang juga
dapat menemukan tiga wujud kebudayaan didalamnya yang berupa nilai, norma,
peraturan, dsb, aktivitas, dan benda hasil karya manusia.
C. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
Jika membicarakan tentang sistem religi dan upacara keagamaan rasanya
memang bukan lagi sesuatu yang asing. Ketidakasingan akan sistem religi dan upacara
keagamaan dikarenakan keduanya telah ada dan berkembang sejak lama dalam
kehidupan manusia. Sistem religi dan upacara keagamaan umumnya berdampingan
erat dengan kepercayaan masyarakat. Keduanya juga selalu berkaitan dengan
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
18
kehidupan masyarakat. Definisi dari sistem religi dan upacara keagamaan sendiri
berbeda, meskipun keduanya merupakan satu kesatuan dari unsur kebudayaan.
Menurut Warsito (2012: 75) penggunaan istilah sistem religi (bukan religi atau
agama saja), disebabkan karena di dalam tiap masyarakat, religi merupakan suatu
unsur yang kompleks dari banyak unsur yang semuanya menjadi suatu sistem/tata
tertentu. Semua aktivitas manusia yang bersangkut paut dengan religi berdasarkan atas
suatu getaran jiwa (religious emotion). Pendapat yang serupa dengan Warsito juga
dikemukakan oleh Ratna (2011: 429) yang mengatakan jika pengertian religi dianggap
lebih luas dibandingkan agama, karena religi meliputi seluruh sistem kepercayaan.
Pada umumnya berlaku pada kelompok-kelompok terbatas, sedangkan agama
mengacu hanya pada agama formal, Keberadaannya memperoleh pengakuan secara
hukum. Koentjaraningrat (1985: 376) mengatakan jika semua aktivitas manusia yang
bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa biasanya disebut
emosi keagamaan. Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan jika
sistem religi adalah suatu keyakinan yang bersifat spiritual yang terdiri dari berbagai
macam unsur.
Sama halnya dengan sistem religi, upacara keagamaan juga merupakan unsur
kebudayaan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Namun pertanyaannya
kemudian, apa definisi dari upacara keagamaan? Masih banyak masyarakat yang
belum mengerti betul apa itu upacara keagamaan. Ada banyak pakar yang
mengemukakan definisi dari upacara keagamaan. Menurut Koentjaraningrat (2004:
147) upacara atau ritus itu melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam
sistem keyakinan. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara yang
bersifat harian, musiman, atau kadangkala. Menurut Wijayanto (2002: 17) upacara
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
19
keagamaan merupakan suatu unsur adat istiadat yang sangat menarik perhatian karena
upacara tersebut merupakan hal yang paling konkret yang mempunyai bentuk serta
sifat yang beragam antara satu upacara keagamaan dengan upacara keagamaan yang
lain. Pendapat Wijayanto memiliki arti bahwa masing-masing agama memiliki
upacara keagamaan yang berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Menurut
Syukur (2003: 207) bahwa upacara keagamaan adalah suatu kegiatan resmi
melembaga yang biasanya dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan ketiga
pendapat tersebut maka dapat disimpulkan jika upacara keagamaan adalah suatu
upacara yang melambangkan suatu konsep dari keyakinan dan merupakan unsur adat
istiadat yang berbeda pelaksanaannya antara satu agama dengan agama lainnya
dengan sistem pelaksanaan yang umumnya dilakukan secara berkelompok.
Menurut Turner dalam Rosidah (2011: 9) bahwa ritual atau upacara
keagamaan memiliki empat fungsi yaitu (1) sebagai media untuk mengurangi
permusuhan antarwarga, (2) sebagai penutup jurang perbedaan, karena saat ritual
semua membaur menjadi satu, (3) sebagai sarana untuk memantapkan kembali
hubungan, dan (4) sebagai media untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat.
Upacara keagamaan umumnya berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan
manusia. Umumnya upacara-upacara yang dilaksanakan berkaitan dengan siklus
hidup manusia seperti upacara kelahiran hingga pemakaman. Menurut pandangan
Gennep dalam Cakim (2009: 3), bahwa ritus dan upacara itu dibagi menjadi tiga,
yakni pertama perpisahan (sparation), kedua peralihan (marge), ketiga integrasi,
kegiatan ini seperti dalam acara selamatan kelahiran, pernikahan, dsb. Ketiga jenis
upacara tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat sebab
kehidupan memang kebanyakan menyangkut hal-hal tersebut.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
20
1. Ritus Perpisahan atau Upacara Pemakaman
Ritus perpisahan atau upacara perpisahan biasanya juga dikenal dengan istilah
upacara pemakaman. Hal itu disebabkan karena upacara pemakaman dimaknai
sebagai sebuah simbol perpisahan. Upacara pemakaman menjadi salah satu bagian
dari unsur kebuadayaan sebab upacara ini merupakan salah satu dari jenis upacara
keagamaan yang hampir selalu ada dalam agama manapun. Upacara pemakaman
menjadi sebuah upacara yang dianggap penting oleh masyarakat. Upacara pemakaman
sering ditemukan dalam masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa manusia
paling dekat dengan kematian. Seperti yang dikemukakan oleh Sulaeman (2007: 109)
bahwa semua makhluk yang ada di muka bumi tidak kekal, pada suatu saat nanti pasti
akan mengalami kematian. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak heran jika
dalam agama apa pun akan selalu ada upacara pemakaman. Selain itu, upacara ini juga
dianggap sebagai media untuk mendoakan orang yang telah meninggal.
Upacara pemakaman menurut Hertz dalam Wijayanto (2002: 64) memiliki
pengertian sebagai sebuah upacara yang selalu dilakukan manusia dalam rangka adat
istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan
kolektif. Pendapat Hertz tersebut berarti bahwa sebenarnya memang sebuah upacara
pemakaman ada karena ide yang disetujui oleh masyarakat yang bersangkutan. Tidak
aneh jika dalam upacara pemakaman terdapat rangkaian-rangkaian tersendiri yang
rumit dan sakral. Rangkaian dalam upacara pemakaman disesuaikan dengan agama
yang dianut, namun masih terkait dengan kebudayaan yang dipercaya masyarakat.
Selain rangkaian-rangkaian upacara pemakaman, di dalam upacara pemakaman juga
biasanya tersedia hidangan-hidangan yang diperuntukkan bagi warga yang menghadiri
upacara tersebut.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
21
Hidangan-hidangan yang tersedia untuk tamu dalam upacara pemakaman
tidak sama. Hidangan itu berbeda antara upacara pemakaman pada agama yang satu
dengan agama yang lain. Namun tidak menutup kemungkinan jika hidangan dalam
upacara pemakaman juga dapat berbeda walaupun masih dalam satu agama.
Perbedaan hidangan dalam upacara pemakaman itu umumnya terjadi karena letak
geografis dan kebudayaan yang mempengaruhinya. Upacara pemakaman menjadi
upacara keagamaan tersendiri yang telah mengakar dan terjadi sejak lama, meskipun
pelaksanaan upacara pemakaman pada masyarakat terdahulu mungkin memiliki
sedikit perbedaan dengan pelaksanaan upacara pemakaman kini.
Upacara pemakaman di Indonesia ada berbagai macam jenis. Hal itu dapat
terjadi karena hampir di setiap daerah di Indonesia berbeda suku dan agama, sehingga
upacara pemakaman yang ada di Indonesia pun umumnya berbeda-beda antara satu
suku dengan lainnya. Sehubungan dengan penelitian ini, maka pada sub bab
selanjutnya peneliti akan membahas mengenai salah satu jenis upacara pemakaman
yang sangat terkenal di Indonesia yaitu upacara pemakaman adat Tana Toraja. Namun
sebelum peneliti membahas lebih jauh mengenai upacara pemakaman adat Tana
Toraja, peneliti akan memaparkan sedikit mengenai upacara pemakaman lain yang
ada di Indonesia. Upacara tersebut diantaranya:
a. Upacara Pemakaman di Jawa
Di Jawa kebanyakan masyarakatnya memeluk agama Islam. Agama Islam
berkembang cukup baik di Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1985: 339) di Jawa ada
yang disebut Islam santri dan Islam kejawen. Islam santri adalah golongan yang
menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, sedangkan Islam kejawen adalah golongan
orang Islam yang tidak melaksanakan atau tidak patuh terhadap ajaran-ajaran Islam
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
22
namun percaya pada ajaran keimanan agama Islam. Geertz dalam Sambulah (2012: 2)
menegaskan bahwa agama Islam di Jawa merupakan kumpulan ekspresi iman,
doktrin, ritual dan lain-lain yang dipraktikkan masyarakat sesuai dengan tradisi lokal
atau tempat dan waktu seiring dengan perkembangan dan penyebarannya.
Agama Islam yang dianut masyarakat Jawa berpengaruh terhadap upacara-
upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Menurut Ridwan (2008: 9)
berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani Islam kejawen biasanya mendasarkan
pada siklus kehidupan, yang salah satunya adalah upacara pemakaman. Upacara
pemakaman di Jawa terdiri dari beberapa rangkaian. Rangkaian-rangkaian yang ada
dalam upacara pemakaman biasanya ada rangkaian ketika sebelum jenazah
dikuburkan. Masyarakat Jawa memiliki tata urutan tersendiri dalam melaksanakan
upacara pemakaman, yaitu memandikan jenazah (proses membersihkan tubuh jenazah
dari ujung rambut hingga ujung kaki), mengkafani jenazah (proses membungkus
jenazah dengan kain kafan), menyolati jenazah (proses penyolatan jenazah sebelum
jenazah dikuburkan), berdoa untuk jenazah sebelum dibawa ke makam, mengubur
jenazah (proses menguburkan jenazah di dalam tanah), dan berdoa.
b. Upacara Pemakaman Adat Bali
Upacara pemakaman yang dilaksanakan di Bali juga berkaitan dengan agama
yang dianut masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Bali menganut agama Hindu.
Agama ini mempengaruhi proses dari upacara pemakaman yang dilaksanakan di Bali.
Upacara pemakaman di Bali disebut dengan istilah Ngaben. Ernowo (2011: 1)
mengatakan jika ngaben adalah upacara pemakaman yang berupa pembakaran mayat
di Bali yang dilakukan oleh orang Hindu. Upacara ini dilaksanakan sebagai suatu
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
23
bentuk penghomatan bagi orang yang meninggal. Umumnya beberapa hari sebelum
pelaksanaan ngaben keluarga serta warga bahu membahu membuat bade dan lembu
yang digunakan sebagai tempat menyimpan jenazah (Hutagalung, 2009: 49). Upacara
ngaben menurut Ernowo (2011: 1) terdiri dari beberapa rangkaian yaitu nyirami
(membersihkan mayat), pemberian doa, penempatan mayat di bade, pengusungan
mayat menuju tempat upacara dilaksanakan, pembakaran mayat beserta bade dan
lembu yang telah dibuat sebelumnya hingga menjadi abu, dan membuang abu ke
sungai atau laut. Umumnya setelah semua prosesi dilaksanakan maka keluarga dapat
mendoakan orang yang meninggal tersebut di pura masing-masing.
c. Upacara Pemakaman Adat Tana Toraja
Tana Toraja adalah sebuah kabupaten yang terletak di wilayah Sulawesi
Selatan. Wilayah Tana Toraja sering dikenal dengan istilah negeri orang mati. Hal itu
disebabkan upacara pemakaman yang ada di Tana Toraja merupakan suatu upacara
pemakaman yang cukup unik yang hanya ada di Indonesia. Upacara tersebut memiliki
banyak rangkaian yang cukup panjang dan rumit yang berbeda dengan upacara
pemakaman di daerah lain di Indonesia. Pada sub bab kali ini, peneliti akan membahas
secara lebih detail mengenai upacara pemakaman adat Tana Toraja sehubungan
dengan penelitian ini yang akan membahas mengenai wujud kebudayaan yang ada
pada upacara pemakaman adat Tana Toraja dalam cerpen Tedong Helena dan Syair
Duka karya Denny Prabowo.
Sebelum membahas lebih lanjut seputar upacara pemakaman adat Tana Toraja,
peneliti mencoba untuk membahas sedikit tentang kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat Tana Toraja. Mengapa harus kepercayaan? Hal itu dikarenakan upacara
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
24
pemakaman adat Tana Toraja salah satunya terlaksana karena kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat Tana Toraja. Kepercayaan tersebut bahkan telah dianut jauh-
jauh waktu sebelum masuknya agama lain. Jadi kepercayaan masyarakat Tana Toraja
sangat penting kaitannya dengan upacara pemakaman adat Tana Toraja.
Di zaman yang semakin modern ini, kehidupan masyarakat di Tana Toraja
terus berkembang termasuk kepercayaan yang dianut oleh penduduk yang berdomisili
di Tana Toraja. Namun, masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan asli yang
diturunkan oleh leluhur Tana Toraja. Kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja
disebut aluk todolo. Aluk ini dilaksanakan di dalam seluruh aspek kehidupan orang
Toraja. Meskipun penganut kepercayaan aluk todolo sekarang tidak banyak sebab
masyarakat Tana Toraja kini umumnya telah beragama Kristen.
Rayo ( 2012: 30-31) mengatakan bahwa aluk di Tana Toraja setidaknya ada
sembilan, yaitu :
(1) aluk padang, yaitu aluk yang berhubungan dengan tanah, (2) aluk pare, yaitu aluk yang berkaitan dengan padi, (3) aluk tananan pasa’, yaitu aluk yang berkaian dengan pasar, (4) alukna rampanan kapa’, yaitu aluk yang berkaitan dengan perkawinan, (5) alukna mellolo tau, yaitu aluk yang berhubungan dengan kelahiran manusia sampai dewasa, (6) alukna bangunan banua, yaitu aluk yang berkaitan dengan pembangunan rumah, (7) aluk rambu tuka’, yaitu aluk yang berhubungan dengan persembahan kepada Puang Matua, (8) aluk rambu solo’, yaitu aluk yang berhubungan dengan jiwa orang mati, dan (9) aluk bua’, yaitu aluk yang berkaitan dengan pesta sukacita.
Semua aluk yang ada dalam kepercayaan aluk todolo memiliki kedudukan yang sama
penting. Meskipun keseluruhan aluk penting bagi masyarakat di Tana Toraja, namun
ada salah satu aluk yang cukup terkenal bagi masyarakat Tana Toraja bahkan bagi
masyarakat di luar Tana Toraja. Aluk yang cukup terkenal ialah aluk rambu solo’.
Istilah rambu solo’ inilah yang biasa dikenal dengan upacara pemakaman khas Tana
Toraja.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
25
Upacara rambu solo’ telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga telah
menjadi kewajiban bagi masyarakat Tana Toraja untuk melaksanakannya. Rambu
solo’ merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga
orang yang meninggal membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir
pada mendiang. Rayo (2012: 36) mengatakan “upacara rambu solo selain bentuk
penghormatan terhadap orang meninggal juga bertujuan untuk mengantarkan roh
orang yang sudah meninggal menuju tempat peristirahatan yang disebut puya
(surga)”. Artinya masyarakat Tana Toraja percaya bahwa upacara rambu solo’ yang
diadakan selama ini adalah suatu bentuk jalan bagi orang yang meninggal agar dapat
menuju surga. Ningsih (2000: 72) berpendapat bahwa “masyarakat Tana Toraja yang
masih hidup wajib memberikan upacara sebaik mungkin bagi orang yang sudah
meninggal”. Pendapat itu diperkuat oleh Rayo (2012: 36) yang mengatakan:
manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh
prosesi upacara rambu solo digenapi karena jika belum, maka manusia yang
meninggal tersebut hanya dianggap sebagai manusia “sakit” atau “lemah”,
sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan
di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu
diajak berbicara.
Upacara rambu solo berlangsung selama berhari-hari sesuai dengan
kesepakatan keluarga. Jadi umumnya upacara rambu solo berlangsung dengan penuh
kemeriahan berdasarkan status sosial. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh
Yamashita dalam Dian (1996: 59) bahwa menurut adat Toraja, pelaksanaan upacara
pemakaman didasarkan pada status sosial orang yang meninggal dan kekuatan
ekonomi keluarga yang ditinggalkan. Menurut Panggara (2014: 294) dalam
masyarakat Toraja dikenal empat strata sosial, yaitu (1) Tana’ Bulaan atau golongan
bangsawan; (2) Tanna Basi’ atau golongan bangsawan menengah; (3) Tana’
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
26
Karurung atau rakyat biasa; (4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba. Kelompok
sosial ini secara tidak langsung memberikan ciri-ciri yang khas dalam pelaksanaan
upacara rambu solo. Hal itu terjadi karena umumnya jika strata sosial itu berbeda
maka ada perbedaan dalam pelaksanaan upacara rambu solo. Jadi ukuran kemeriahan
upacara pemakaman dipertunjukkan secara khusus dengan sejumlah kerbau yang
dikorbankan selama upacara.
Kerbau-kerbau yang dikorbankan selama upacara rambu solo’ di Tana Toraja
memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Tana Toraja. Kerbau-kerbau maupun babi
yang dikorbankan pada upacara pemakaman adat Tana Toraja diyakini oleh
masyarakat Tana Toraja sebagai kendaraan bagi orang yang meninggal untuk menuju
surga. Sebab perjalanan menuju surga sangat jauh sehingga roh membutuhkan
kendaraan berupa kerbau dan babi yang dikorbankan dalam upacara rambu solo’. Jadi
dapat dikatakan bahwa kerbau menjadi syarat wajib untuk pelaksanaan rambu solo’.
Salah satu jenis upacara yang cukup terkenal dalam rambu solo’ yang sering
ditemukan dan menjadi bahan perbincangan adalah jenis upacara rapasan. Upacara
rapasan dapat dikatakan sebagai upacara yang tingkatannya paling tinggi. Upacara
rapasan memiliki rangkaian yang paling banyak.. Menurut Panggara (2014: 295)
upacara rapasan umumnya diperuntukkan bagi kaum bangsawan tinggi atau tana
bulaan’ yang biasanya dalam pelaksanaannya dilakukan sebanyak dua kali. Upacara
rapasan termasuk upacara rambu solo’ yang paling meriah. Menurut Panggara (2014:
295-296) upacara rapasan dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu: (1) upacara Rapasan
Diongan’ atau Didandan Tana’ (artinya di bawah atau menurut syarat minimal), (2)
upacara yang kedua disebut Rapasan Sundan’ atau Doan (upacara sempurna atau
atas), dan (3) upacara Rapasan Sapu Randanan.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
27
1) Upacara Rapasan Diongan’ atau Didandan Tana’
Upacara rapasan diongan’ atau didandan tana’ adalah upacara yang memiliki
tingkat paling rendah dari ketiga jenis upacara rapasan. Menurut Panggara (2014:
295), upacara rapasan diongan’ atau didandan tana’ memiliki ketentuan, minimal
mengorbankan sembilan kerbau dan babi sebanyak yang dibutuhkan. Upacara ini
dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu upacara pertama, dilaksanakan selama tiga hari
di dalam tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja) dan upacara yang kedua
dilaksanakan di rante (lapangan khusus untuk mengadakan upacara rambu solo’).
Korban kerbau pada upacara yang diadakan di tongkonan maupun di rante setidaknya
memiliki jumlah yang sama. Akan tetapi jika sulit untuk menyamakan jumlah korban
kerbau, maka boleh ada selisih asal jangan terlalu banyak.
2) Upacara Rapasan Sundun atau Doan
Upacara rapasan sundun atau doan memiliki beberapa syarat yang sedikit
berbeda dengan upacara rapasan diongan. Menurut Panggara (2014: 296) pelaksanaan
upacara rapasan sundun memiliki perbedaan yang kontras dalam hal jumlah kerbau
yang harus dikorbankan. Dalam upacara ini kerbau yang dikorbankan sekurang-
kurangnya sebanyak dua puluh empat ekor dengan babi yang tidak terbatas
jumlahnya. Hal itu terjadi karena upacara ini termasuk upacara yang memiliki
tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan upacara rapasan diongan. Upacara ini
umumnya dilaksanakan oleh kelompok yang memiliki strata tinggi dalam masyarakat
yaitu kelompok bangsawan menengah.
3) Upacara Rapasan Sapu Randanan
Upacara rapasan sapu randanan adalah jenis upacara rambu solo yang
memiliki tingkatan paling tinggi. Menurut Panggara (2014: 296) ketentuan jumlah
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
28
kerbau yang harus dikorbankan dalam upacara ini ada beberapa pendapat yaitu, ada
yang mengatakan di atas dua puluh empat kerbau, di atas tiga puluh kerbau, bahkan
ada yang mengatakan di atas 100 kerbau. Dapat dibayangkan bahwa upacara rapasan
sapu randanan sangatlah meriah karena begitu banyak kerbau yang dikorbankan dan
korban babinya pun tidak terbatas. Panggara (2014: 296) juga mengatakan, dalam
upacara ini dibuat duba-duba’ dan juga tau-tau yang diarak bersama dengan mayat
ketika akan diadakan upacara di rante. Duba-duba’ adalah tempat pengusungan mayat
yang mirip dengan rumah tongkonan, sedangkan tau-tau adalah patung dari orang
yang meninggal. Menurut Yamashita dalam Dian (1996: 63) persiapaan awal yang
utama untuk pemakaman adalah membangun rante (lapangan upacara), kemudian di
sekitar rante dibangun tempat-tempat upacara yang disebut lantang sebagai tempat
tinggal sementara bagi para keluarga, sanak saudara, dan tamu.
Ketiga jenis upacara rapasan yang telah disebutkan tersebut umumnya
memiliki rangkaian yang sama yaitu diadakannya upacara dalam dua tempat yang
berbeda. Menurut Panggara (2014: 295) upacara rapasan (rapasan diongan, rapasan
sundun, maupun rapasan sapu randanan) pelaksanaannya ada di dua tempat, yang
pertama pelaksanaan upacara rapasan di sekitar tongkonan, yang kedua pelaksanaan
di sekitar rante. Menurut Sulo (2014: 95) tahapan dalam upacara rambu solo
meliputi:
a) Ma’ papengkalao
Menurut Sulo (2014: 95) tahapan ma’papengkalao merupakan kegiatan
memindahkan jenazah dari tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja, yang dalam
pelaksanaan rambu solo’ digunakan sebagai tempat disimpannya jenazah selama
semalam) ke salah satu alang (lumbung padi) yang ada dalam lokasi tongkonan
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
29
tersebut. Umumnya orang yang meninggal di Tana Toraja itu tidak langsung dikubur
namun disimpan di dalam rumah dan selanjutnya disimpan di dalam rumah adat
(tongkonan). Jadi prosesi pertama ini adalah pemindahan jenazah. Sulo (2014: 95)
mengatakan pada tahap yang pertama ini orang-orang sekitar yang berkumpul mulai
melakukan ma’badong (nyanyian dan tarian khusus yang dilakukan oleh sekelompok
orang sebagai lambang rasa duka yang dirasakan oleh keluarga orang yang
meninggal) di malam hari.
b) Mangisi Lantang
Menurut Sulo (2014: 95) mangisi lantang yaitu mengisi pondok-pondok yang
telah disediakan sebelumnya dengan membawa keperluan logistik. Pondok-pondok
yang ada dalam rambu solo dibangun secara mendadak beberapa hari sebelum
upacara rambu solo’ diadakan. Pondok-pondok itu diisi oleh sanak keluarga dan
kerabat orang yang meninggal. Jadi pondok-pondok disediakan sebagai tempat tinggal
sementara bagi para anggota keluarga karena selama prosesi upacara berlangsung
keluarga tidaklah tinggal di rumahnya.
c) Ma’ pasonglo
Tahapan upacara selanjutnya disebut dengan istilah ma’ pasonglo. Menurut
Sulo (2014: 96) upacara tahap ketiga ini adalah memindahkan jenazah dari lumbung
ke lakkian (tempat penyimpanan jenazah yang berada di lapanagan upacara). Kegiatan
ini biasanya didahului dengan ibadah dan makan bersama. Dalam tahap ini, biasanya
diselingi dengan tradisi ma’ pasilaga tedong. Tradisi ma’ pasilaga tedong adalah
aktivitas adu kerbau. Tujuan dari diadakannya tradisi ma’pasilaga tedong sebenarnya
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
30
adalah untuk menghilangkan rasa duka yang menyelimuti keluarga serta sanak
keluarga. Saat acara ini berlangsung, semua orang yang hadir dalam pesta akan
larut dalam keramaian ma’pasilaga tedong.
d) Allo Katongkonan
Menurut Sulo (2014: 96) tahapan yang keempat dalam upacara rambu solo
adalah allo katongkonan (menerima tamu). Artinya pada tahap ini pihak keluarga
dari orang yang meninggal menerima tamu-tamu yang datang untuk menghadiri
upacara rambu solo. Tamu-tamu tersebut disambut dengan sangat baik oleh pihak
keluarga. Tamu-tamu yang datang mendapat perlakuan yang istimewa dan terhormat.
Menurut Sulo (2014: 96) pada tahapan ini kemeriahan mulai nampak karena
kerabat mulai berdatangan dengan rombongan mereka masing-masing dan
dipersilakan memasuki pondok khusus untuk tamu. Di dalam pondok ini, para tamu
disuguhi sirih, rokok, berbagai jenis kue, dan minuman seperti kopi dan teh. Setelah
beberapa saat berada di pondok penerimaan tamu, rombongan yang datang
kemudian diarahkan menuju ke pondok-pondok milik anggota keluarga yang berduka.
Di pondok itu, tiap-tiap anggota keluarga yang dituju oleh rombongan menyuguhi
tamu mereka masing-masing dengan makanan dan minuman berupa tuak.
Pada tahap ini, para penari ma’badong (tarian dan nyanyian khas dalam
upacara rambu solo’) mulai menari sambil membawakan kadong badong. Dalam hal
ini, pa’badong (penari laki-laki dalam upacara rambu solo’) berusaha menampilkan
sosok sebagai seorang yang berduka dengan memasang mimik yang sedih. Hal ini
terlepas dari kenyataan bahwa pa’badong merupakan bagian dari keluarga yang
berduka ataukah hanya orang-orang yang diundang khusus untuk ma’badong di pesta
tersebut, semuanya harus menampakkan kesedihan selaku orang yang berduka.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
31
e) Allo Katorroan
Pada hari kelima umumnya adalah waktu istirahat. Menurut Sulo (2014: 96)
allo katorroan yaitu waktu di mana aktivitas upacara dihentikan sejenak. Jadi
pada hari kelima anggota keluarga orang yang meninggal beristirahat sejenak.
Meskipun dikatakan bahwa upacara dihentikan sejenak, namun yang sesungguhnya
terjadi bukan berarti tidak ada acara sama sekali karena masih ada acara yang
dilaksanakan. Menurut Sulo (2014: 97) di hari kelima masih ada tarian ma’badong
pada malam harinya.
f) Mantaa
Menurut Sulo (2014: 97) adat mantaa yaitu pemotongan hewan korban yang
dagingnya akan dibagikan secara adat kepada keluarga dan kerabat yang telah
ditentukan. Hewan korban itu berupa sejumlah kerbau dan babi. Tujuan dari adat ini
adalah agar orang lain bisa ikut merasakan kemeriahan dari upacara rambu solo’ dan
juga untuk tetap membangun silaturahmi yang baik dengan cara berbagi kepada
sesama.
g) Hari Pemakaman
Setelah keenam tahapan itu dilakukan, masih ada satu lagi tahapan terakhir.
Pada hari terakhir ini dikenal juga dengan istilah hari pemakaman. Menurut Sulo
(2014: 97) prosesi pada tahapan terakhir ini diawali dengan penurunan peti jenazah
dari lakkian (tempat penyimpanan jenazah selama rambu solo’ berlangsung),
kemudian peti itu dimasukkan ke dalam duba-duba (keranda khas Toraja yang
bentuknya mirip tongkonan), dan dilanjutkan dengan ibadah penguburan, ungkapan
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
32
terima kasih dari keluarga, dan mengarak peti jenazah menuju patane atau liang
(tempat jenazah dimakamkan).
Menurut Sulo (2014: 97) sebelum proses pemakaman umumnya anggota
keluarga diizinkan untuk menangis meratapi kepergian salah satu anggota keluarga
yang meninggal, karena sebelumnya anggota keluarga belum melakukan itu. Jadi pada
tahap ini suasana duka terlihat sangat jelas. Tangisan bergema di mana-mana. Setelah
itu diadakan arak-arakan peti jenazah menuju ke patane atau liang (tempat
jenazah dimakamkan). Sepanjang jalan menuju ke patane (tempat jenazah
dimakamkan), orang-orang yang mengarak peti jenazah berjalan saling mendorong
sambil berteriak-teriak, bahkan saling menyiram air sehingga keramaian pun
kembali ditampakkan.
Pada pelaksanaan upacara rambu solo’ biasanya ada beberapa benda yang
digunakan untuk menunjang kelancaran upacara tersebut. Benda yang digunakan
dalam upacara rambu solo’ seperti tongkonan (rumah adat khas Tana Toraja), lantang
(pondok sementara yang dibuat untuk keluarga selama upacara rambu solo’
berlangsung di rante), liang (lumbung padi), la bok duatalan (pisau khusus untuk
menyembelih kerbau), erong (peti mati khas Tana Toraja), tau-tau (boneka kayu yang
dibuat mirip dengan orang yang telah meninggal), lamba-lamba (kain merah panjang
yang dibentang saat prosesi pemindahan jenazah). Semua benda itu digunakan dalam
pelaksanaan upacara rambu solo’. Benda-benda tersebut menjadi hal yang sangat
penting, sebab tanpa adanya benda-benda tersebut pelaksanaan upacara rambu solo’
akan terhambat. Benda-benda yang digunakan dalam upacara rambu solo’ adalah
benda hasil karya masyarakat Tana Toraja.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
33
Benda-benda yang telah disebutkan sebelumnya selalu ada dalam upacara
rambu solo’ di Tana Toraja, namun selain benda-benda tersebut rupanya masih ada
benda lain yang juga digunakan dalam upacara rambu solo’, khususnya upacara jenis
rapasan. Benda yang dimaksud adalah tempat untuk mengikat kerbau yang akan
dikorbankan atau dalam bahasa Toraja dikenal dengan istilah simbuang. Menurut
Panggara (2014: 304):
Pada jenis upacara rapasan dibutuhkan simbuang yang terdiri dari simbuang induk (tempat untuk mengikat kerbau pudu), simbuang lambiri/ampiri (tempat untuk mengikat kerbau yang dikebiri), simbuang batu (tempat untuk mengikat kerbau belang), simbuang buangin (tempat untuk mengikat kerbau todik), simbuang nato (tempat untuk mengikat kerbau todik yang paling rendah tingkatannya).
Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya simbuang sangat
penting dalam pelaksanaan upacara rambu solo’.
Segala kerumitan yang ada dalam upacara rambu solo’ sebenarnya memiliki
tujuan yang baik. Tujuan utama dari upacara rambu solo adalah untuk menghormati
orang yang telah meninggal. Selain itu, terdapat juga harapan dari pelaksanaan
upacara rambu solo’. Harapan tersebut datang dari keluarga yang mengadakan rambu
solo’. Keluarga tersebut berharap agar arwah dari orang yang meninggal dapat
beristirahat dengan tenang di surga.
2. Ritus/ Upacara Marge (Peralihan)
Upacara jenis ini biasanya berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu masa di
mana manusia atau masyarakat mengalami perubahan dalam siklus hidupnya. Upacara
jenis ini biasanya selalu berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Seperti
misalnya dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang beragama Islam akan ada sebuah
upacara seperti mitoni. Upacara ini biasa juga disebut sebagai peralihan tahap.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
34
3. Ritus/ Upacara Integrasi
Upacara jenis ini merupakan salah satu upacara yang juga selalu ada dalam
kehidupan masyarakat. Upacara integrasi adalah sebuah upacara yang umumnya
berkaitan dengan manusia yang diresmikan ke dalam tahap kehidupan dan lingkungan
sosial yang baru. Upacara ini biasa juga ditemui dalam bentuk upacara pernikahan.
Pada saat upacara pernikahan berlangsung maka akan terjadi suatu proses kehidupan
yang baru yang dialami oleh si pengantin. Kehidupan baru yang dialami pengantin
itulah yang menjadikan upacara ini termasuk dalam jenis upacara integrasi.
D. Antropologi Sastra
Apa itu antropologi sastra? Antropologi sastra adalah berasal dari dua kata
yaitu dua kata yaitu antropologi dan sastra. Antropologi sastra merupakan gabungan
dari dua cabang ilmu yang berbeda. Menurut Ratna (2011: 31) antropologi sastra
adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan
kebudayaan, dalam perspektif kebudayaan yang lebih luas. Artinya adalah suatu usaha
yang dilakukan oleh manusia untuk memahami karya sastra kaitannya dengan
kebudayaan yang ada. Pada antropologi sastra, karya sastra menjadi sumber pokok
kajian dengan mempertimbangkan aspek-aspek antropologisnya.
Antropologi sastra beranggapan bahwa data karya sastra selalu berada dalam
konteks, bukan sesuatu yang vakum. Menurut Poyatos dalam Ratna (2011: 33)
antropologi sastra juga berarti analisis sastra antarbudaya, kebudayaan yang berbeda-
beda, semacam sastra bandingan, yang di dalamnya akan berkembang dua cara yaitu:
a) analisis terhadap satu karya, karya tunggal seorang pengarang, b) analisis terhadap
sejumlah karya, baik dari pengarang yang sama maupun berbeda. Berdasarkan
pendapat tersebut maka antropologi sastra dapat menganalisis karya sastra yang
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016
35
berkaitan dengan kebudayaan dengan berbagai macam model atau cara. Disadari
ataupun tidak antropologi sastra sesungguhnya memberikan kemudahan kepada
peneliti dalam menganalisis karya sastra yang berkaitan dengan kebudayaan serta
memberikan banyak ilmu baru.
Antropologi sastra sebagai suatu cabang ilmu dari berbagai ilmu sebelumnya
juga memiliki nilai tersendiri. Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra memiliki
lima nilai yang mutlak perlu didefinisikan, dikembangkan, dan dilembagakan. Lima
fungsi tersebut terdiri dari:
1. fungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik; 2. berfungsi mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru
hasil-hasil karya satra, yang di dalamnya banyak ditemukan masalah seputar kearifan lokal;
3. antropologi sastra diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan Indonesia, yang di dalamnya terdapat beraneka ragam adat kebiasaan;
4. merupakan wadah bagi tradisi dan sastra lisan; 5. mengantisipasi kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan
multidisiplin.
Berdasarkan pendapat Ratna mengenai nilai dalam antropologi sastra, peneliti dapat
melihat ada banyak hal yang berkaitan dengan kebudayaan, baik yang terkait dengan
karya sastra maupun yang terlepas dari karya sastra. Secara tidak langsung antropologi
sastra membuat seseorang menjadi mengetahui dan mendalami kebudayaan secara
lebih baik.
Antropologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan tradisi, adat istiadat,
mitos, dan peristiwa-peristiwa kebudayaan pada umumnya, sebagai peristiwa yang
khas (Ratna, 2011: 73). Jadi dengan kata lain dapat dikatakan jika bidang kajian
antropologi sastra tidak dapat terlepas dari kebudayaan. Maka ketika ada seseorang
yang melihat salah satu saja dari ciri kebudayaan yang ada, secara otomatis akan dapat
mengidentifikasi antropologisnya.
Wujud Kebudayaan Pada..., Asti Fitriana Rizki, FKIP UMP, 2016