621-914-1-pb
TRANSCRIPT
PERBEDAAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANSIA DI KOMUNITAS
DAN PANTI
(THE DIFFERENCE QUALITY OF LIFE LEVEL IN ELDERLY WOMEN AT THE
COMMUNITY AND THE AGING INSTITUTION)
Setyoadi1*) Noerhamdani2) Fela Ermawati3)
1)Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2)Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
3)Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang 65145*)e-mail: [email protected] atau [email protected]
ABSTRAK
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbaikan sosio-ekonomi berdampak pada
peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia
juga meningkat. Jumlah dan usia harapan hidup pada wanita lansia yang lebih tinggi, ternyata
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dari pada pria lansia. Upaya peningkatan kualitas hidup
lansia di Indonesia melalui pelayanan komunitas dan panti. Kedua pelayanan ini memiliki perbedaan
setting dan fasilitas yang berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Tujuan penelitian untuk
mengetahui perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di komunitas dan di panti, ditinjau
dari kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Desain penelitian deskriptif analitik
komparatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian 44 responden untuk komunitas dan
36 responden untuk kelompok panti yang diambil dengan cara purposive sampling. Hasil uji mann
whitney, dengan α = 0,05 disimpulkan tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di
komunitas dan panti (p = 0,477). Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk terus
meningkatkan aspek lingkungan yang berupa peningkatan produktivitas wanita, akses terhadap
pelayanan kesehatan dan informasi pada wanita lansia, terutama pada wanita lansia di panti.
Kata kunci: wanita lansia, kualitas hidup, komunitas, panti
ABSTRACT
The progress of science and technology and improvement of socio-economic impact on improving
community health status and life expectancy, so the number of elderly population is also increasing.
The number and life expectancy in elderly women is higher, it has a lower quality of life than elderly
men. Efforts to improve the quality of life of elderly in Indonesia through community service and
nursing. Both these services have different settings and facilities that affect the quality of life of
elderly. The aim is to know the difference in quality of life in elderly women in the community and in
nursing, in terms of physical health, psychological, social relationships, and environment.
Comparative research design with descriptive analytic cross sectional approach. The sample of 44
respondents to the research community and the 36 respondents to the nursing group are taken by way
of purposive sampling. Mann whitney test results, with α = 0,05 concluded there was no difference in
the level of quality of life in elderly women in the community and nursing (p = 0,477). Based on the
results of research can be encouraged to continue improving the environmental aspects of women's
increased productivity, access to health services and information in elderly women, particularly in
elderly women in nursing.
Keywords: elderly women, quality of life, community, aging institution
LATAR BELAKANG
Selain ditinjau dari perbedaan jumlah dan angka harapan hidupnya, lansia pria dan wanita juga
memiliki perbedaan pada tingkat kualitas hidupnya. Usia harapan hidup serta jumlah wanita lansia
yang lebih tinggi dari pria Lansia. Namun, Dragomirecka & Selepova (2002) dalam studinya
mengungkapkan bahwa kualitas hidup pria lansia lebih tinggi dari pada wanita lansia. Pada pria lansia
dilaporkan secara signifikan bahwa pria lansia memiliki kepuasan yang lebih tinggi dalam beberapa
aspek yaitu hubungan personal, dukungan keluarga, keadaan ekonomi, pelayanan sosial, kondisi
kehidupan dan kesehatan. Wanita lansia memiliki nilai yang lebih tinggi dalam hal kesepian, ekonomi
yang rendah dan kekhawatiran terhadap masa depan. Perbedaan gender tersebut ternyata memberikan
andil yang nyata dalam kualitas hidup lansia. Perlu adanya suatu upaya peningkatan kualitas hidup
terhadap lansia, terutama wanita lansia mengingat usia harapan hidup yang lebih tinggi serta jumlah
wanita lansia yang lebih banyak. Meningkatnya jumlah lansia tentu tidak lepas dari proses penuaan
beserta masalahnya.
Pertambahan jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia dalam kurun waktu 1990 sampai 2025
diperkirakan sebagai pertumbuhan lansia yang tercepat di dunia. Jumlah lansia di Indonesia mencapai
16 juta jiwa pada tahun 2002. Data sensus badan pusat statistik pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
jumlah penduduk lansia sebanyak 15.054.877 jiwa dengan jumlah lansia wanita 52,42% dan pria
47,58%. Tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,96 juta jiwa
(Statistik Indonesia, 2010). Menurut Darmojo dan Martono (2006) pertambahan lansia di Indonesia
dipengaruhi oleh perbaikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan sosio-ekonomi, yang pada
akhirnya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidup.
Hasil survei united nation development program (UNDP) dalam rentang tahun 1980 sampai 2008
menunjukkan peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dari 54,4 tahun sampai 70,4
tahun. Pada tahun 1995 sampai tahun 2000, usia harapan hidup pria meningkat menjadi 63,33 tahun
dan wanita 69 tahun (Hardywinoto & Setiabudhi, 2005). Menurut Bappenas (2009) proyeksi angka
harapan hidup pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 73,7 tahun.
Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang pasti dialami individu dan proses ini akan
diikuti oleh penurunan fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Perubahan dari segi biologis pada wanita
lansia identik dengan gejala menopause, antara lain ketidaknyamanan seperti rasa kaku dan linu yang
dapat terjadi secara tiba-tiba di sekujur tubuh, misalnya pada kepala, leher dan dada bagian atas.
Kadang-kadang rasa kaku ini dapat diikuti dengan rasa panas atau dingin, pening, kelelahan dan
berdebar-debar (Hurlock, 1992). Selain itu terdapat perubahan yang umum dialami lansia. Misalnya
perubahan sistem imun yang cenderung menurun, perubahan sistem integumen yang menyebabkan
kulit mudah rusak, perubahan elastisitas arteri pada sistem kardiovaskular yang dapat memperberat
kerja jantung, penurunan kemampuan metabolisme oleh hati dan ginjal serta penurunan kemampuan
penglihatan dan pendengaran (Watson, 2003). Penurunan fungsi fisik tersebut ditandai dengan
ketidakmampuan lansia untuk beraktivitas atau melakukan kegiatan yang tergolong berat. Perubahan
fisik yang cenderung mengalami penurunan tersebut akan menyebabkan berbagai gangguan secara
fisik sehingga mempengaruhi kesehatan, serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia. Beberapa
gejala psikologis yang menonjol pada wanita lansia adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan,
gugup, kesepian, tidak sabar, tegang (tension), cemas dan depresi. Ada juga lansia yang kehilangan
harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka merasa tidak dibutuhkan oleh
suami dan anak-anak mereka, serta merasa kehilangan femininitas karena fungsi reproduksi yang
hilang (Kuntjoro, 2002b).
Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perubahan fisik,
lingkungan tempat tinggal dan hubungan sosial dengan masyarakat (Miller, 2002 dalam Stanley &
Beare, 2007). Sebagian besar lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Teori disengagement menyatakan
bahwa lansia berangsur-angsur menarik diri dalam berinteraksi dengan orang lain dan kehidupan
sosialnya (Darmojo & Martono, 2006). Stressor psikososial yang berat, misalnya kematian pasangan
hidup, kematian keluarga dekat, dapat menyebabkan perubahan psikologis yang mendadak, misalnya
bingung, panik, depresif, apatis.
Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia dalam kehidupan
keagamaan. Agama dan kepercayaan terintegrasi dalam kehidupan dan terlihat dalam pola berfikir dan
bertindak sehari-hari (Nugroho, 2000). Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia
untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan
keberadaannya dalam kehidupan. Perubahan spiritual merupakan salah satu parameter yang
mempengaruhi kualitas hidup lansia (WHO, 1996). Pengaruh yang muncul akibat berbagai perubahan
pada lansia tersebut jika tidak teratasi dengan baik cenderung akan mempengaruhi kesehatan lansia
secara menyeluruh. Perlu adanya suatu pelayanan untuk mengatasi masalah kesehatan pada lansia dan
meningkatkan kualitas hidup lansia. Menurut Demartoto (2007) pelayanan lansia meliputi pelayanan
yang berbasiskan pada keluarga, masyarakat dan lembaga.
Pelayanan berbasis keluarga dan masyarakat cenderung sulit dipisahkan, sehingga terdapat
pengelompokan secara umum terhadap lansia, yaitu Lansia dengan pelayanan komunitas (non panti)
dan Lansia dengan pelayanan panti. Kebanyakan lansia tinggal dalam masyarakat, kurang dari 1%
hidup dalam lingkungan lembaga. Seiring dengan lanjutnya usia, statistik meningkat sampai kira-kira
22% lansia yang lemah, yaitu berusia 85 tahun ke atas, hidup dalam lingkungan lembaga (Stanley &
Beare 2007). Pelayanan berbasis komunitas merupakan jenis pelayanan yang paling banyak diperoleh
lansia di Indonesia. Tingginya jumlah lansia dan terbatasnya panti werdha di Indonesia, menyebabkan
banyak lansia yang tinggal di komunitas. Selain itu ada tradisi masyarakat dimana seorang anak dan
keturunan merupakan pengurus dan sumber potensi untuk mencapai kebutuhan orang tua. Dasar
pelayanan komunitas adalah memaksimalkan dayaguna dan keikutsertaan masyarakat termasuk lansia,
dengan meningkatkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat. Beberapa permasalahan lansia dapat
ditangani melalui keluarga karena membutuhkan pelayanan intensif dan jangka panjang yang hanya
dapat disediakan melalui pelayanan profesional dalam lembaga (Demartoto, 2007). Kegiatan pada
setting komunitas lansia dapat berupa rangkaian kegiatan posyandu lansia, misalnya pemeriksaan
kesehatan dan senam lansia. Pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan
dipantau dengan kartu menuju sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau
ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Hasil penelitian yang dilakukan Sari (2009) menyatakan
bahwa senam lansia mempunyai pengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan. Penelitian yang
dilakukan oleh Margiyati (2010) menyatakan bahwa senam lansia juga efektif untuk menurunkan
hipertensi pada lansia. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan
komunitas berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan fisik dan mental serta berpengaruh terhadap
kualitas hidup lansia.
Pelayanan berbasis lembaga yang umum dikenal masyarakat adalah panti sosial bagi lansia
atau yang biasa disebut panti werdha. Pelayanan ini dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun
suasta. Menurut data dari departemen sosial cq. direktorat pelayanan sosial lanjut usia (Tira, 2009)
jumlah panti sosial tresna werdha yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah berjumlah 235 unit
dengan jumlah lanjut usia yang mampu ditangani sebanyak 11.397 orang lanjut usia. Menurut
Dermatoto (2007) pada umunya panti werda memberikan akomodasi dan pelayanan jangka panjang
bagi lansia yang tidak mempunyai keluarga dan tidak mampu menyewa rumah sendiri serta lansia
yang mengalami masalah hubungan dengan keluarga atau tidak ingin membebani keluarganya.
Kegiatan yang dilakukan lansia di panti tidak jauh berbeda dengan kegiatan lansia di komunitas,
misalnya: pemeriksaan kesehatan, pengajian, pelatihan ketrampilan, rekreasi bersama. Ketergantungan
terhadap pertolongan medis, kegiatan spiritual serta kesempatan berekreasi serta mendapat
ketrampilan baru, dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia (WHO, 1996).
Salah satu solusi yang dilakukan perawat untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dengan
cara melakukan promosi kesehatan untuk mengorganisasi dan memberikan asuhan keperawatan bagi
lansia (Stanley & Beare, 2007). Stanley & Beare (2007) menyatakan bahwa lansia lebih banyak
memraktikkan prilaku promosi kesehatan dari pada kelompok usia lainnya. Menurut hasil penelitian
Indarwati (2006) peran perawat pada pelayanan komunitas posyandu lansia meliputi mediator pemberi
informasi, mediator pemeriksaan fisik, mediator bagi lansia utuk mempertahankan status kesehatan
melalui kegiatan senam, mediator tenaga medis yang memberikan pengobatan pada lansia.
Keterbatasan tenaga perawat menyebabkan peran tersebut akan mengalami hambatan jika tanpa
disertai partisipasi aktif dari masyarakat, terutama lansia. Penyelenggaraan program kesehatan dan
program sosial pada panti, didominasi oleh perawat. Peran perawat sebagai manajer ini,
memungkinkan perawat untuk mengembangkan kualitas pelayanan di panti, meskipun masih terikat
oleh kebijakan yang dibuat oleh pengelola panti.
Pemilihan pelayanan bagi lansia masih kontroversial di Indonesia. Budaya masyarakat
Indonesia terkait lansia masih kental, yaitu penghargaan kepada orang tua dalam segala bentuknya
merupakan nilai yang tinggi dan sebagai kewajiban kelompok generasi yang lebih muda (Suryadi,
2008), sehingga sebagian masyarakat Indonesia memilih untuk merawat lansia di komunitas. Panti
yang dianggap sebagai tempat bagi lansia yang hanya memberikan beban, tidak mampu secara
ekonomi serta tidak memiliki keluarga, tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Namun
saat ini terjadi pergeseran paradigma, penghuni panti tidak saja lansia yang terlantar sosio-ekonomi
melainkan lansia masih memiliki keluarga, mampu secara ekonomi dan dengan sukarela ingin
bergabung dengan lansia lainnya. Kedua pelayanan tersebut akan memberikan pengaruh yang berbeda
pada lansia ditinjau dari aspek biologis, psikologis, sosial dan lingkungannya. Kesehatan biologis
lansia dipanti cenderung lebih terjamin, sedangkan di komunitas sangat dipengaruhi oleh dukungan
sosial di sekitarnya serta akses terhadap pelayanan kesehatan. Ditinjau dari aspek psikologis, lansia di
keluarga cenderung mendapatkan kebutuhan psikologis yang lebih baik dari pada lansia yang berada
di panti. Pemenuhan kebutuhan sosial lansia di komunitas cenderung lebih baik daripada di panti,
karena interaksi lansia di komunitas pada dasarnya lebih luas dari pada lansia di panti. Lansia di
komunitas dapat berinteraksi dengan keluarga, teman, dan masyarakat, sedangkan interaksi lansia
dipanti terbatas pada penghuni panti serta petugas panti saja. Aspek lingkungan yang dipengaruhi
kualitas dan keterjangkauan sarana kesehatan, keadaan tempat tinggal, sumber finansial, serta
kesempatan rekreasi pada lansia panti dan komunitas juga akan mempengaruhi kesehatan lansia.
Pengaruh yang menyeluruh terhadap kehidupan lansia akibat perbedaan jenis pelayanan yang
didapatkan oleh lansia, tentunya akan mempengaruhi kesehatan biologis, psikologis, sosial, dan
lingkungan. Dampak yang menyeluruh tersebut akan memengaruhi kualitas hidup lansia. Kualitas
hidup merupakan persepsi individu terhadap posisinya di dalam kehidupan dalam konteks budaya
sebuah sistem nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan,
standar dan kepedulian (WHO, 1996). Jenis kelamin juga cenderung memberikan pengaruh terhadap
kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2006) menunjukkan adanya perbedaan tingkat
kecemasan antara lansia pria dan wanita terhadap aspek kehidupannya. Lansia wanita memiliki tingkat
kecemasan yang lebih tinggi terhadap seluruh aspek kehidupannya daripada lansia pria. Kualitas hidup
digunakan untuk mengukur kesejahteraan lansia secara menyeluruh. Kualitas hidup yang baik
diperlukan lansia untuk melewati sisa hidupnya dengan sejahtera, sehat dan bermartabat. Perbedaan
jenis pelayanan yang diterima lansia cenderung akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
kesehatan lansia, yang juga akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Adanya perbedaan kualitas
hidup antar jenis kelamin menjadikan dasar penelitian ini difokuskan pada lansia wanita yang berada
di komunitas dan panti, dengan pertimbangan jumlah lansia wanita yang lebih tinggi dibandingkan
lansia pria, yang tidak diimbangi dengan kualitas hidup yang tinggi. Jika tidak diikuti pelayanan yang
tepat terhadap masalah kesehatannya, maka akan menyebabkan masalah yang lebih serius lagi.
METODE
Jenis penelitian merupakan penelitian descriptive analitic comparative dengan pendekatan
desain cross sectional. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas kesehatan fisik,
kualitas psikologis, kualitas hubungan sosial, kualitas lingkungan, dan tingkat kualitas hidup wanita
lansia di komunitas dan panti.
Sample dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan tehnik purposive sampling dan
didapatkan sample sebanyak 44 wanita lansia di posyandu lansia Ajisaka Kelurahan Cemorokandang
Kecamatan Kedungkandang Malang dan 36 wanita lansia di UPT pelayanan sosial lansia Pandaan
Kabupaten Pasuruan dengan karakteristik sample meliputi: dapat beraktivitas secara mandiri atau
ketergantungan minimal, dan tidak terdiagnosa menderita gangguan jiwa.
Tingkat kulitas hidup diukur dengan menggunakan kuesioner WQOL-Bref (WHO, 1996),
yang diisi responden dengan bantuan peneliti. Kemudian hasil scoring pada setiap domain kesehatan
fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan, ditransformasikan menjadi skala 0-100. Tingkat
kualitas hidup didapatkan dari jumlah keempat domain tersebut dengan rentang nilai 0-400. Skor
meliputi: 1) dikatakan memiliki tingkat kualitas hidup tinggi jika total skornya 201-400; 2) dikatakan
memiliki tingkat kualitas hidup yang rendah jika total skornya 0-200. Kemudian data diuji analisis
statistik dengan menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Umur
Gambar 1. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan umur di komunitas dan panti
Dari gambar 1 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan umur di komunitas dan
panti sebagian besar sebanyak 40 responden di komunitas dan 22 responden di panti adalah kelompok
umur 60-74 tahun. Sedangkan sebagian kecil sebanyak 4 responden di komunitas dan 13 responden di
panti adalah kelompok umur 75-90 tahun (old elderly).
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 2. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat pendidikan di komunitas dan
panti
Dari gambar 2 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat pendidikan di
komunitas sebesar 32% berpendidikan SMA dan di panti 39% berpendidikan SD.
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Lamanya Mendapatkan Pelayanan
Gambar 3. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan lamanya mendapatkan pelayanan
komunitas dan panti
Dari gambar 3 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan lamanya mendapatkan
pelayanan di komunitas dan di panti sebagian besar sebanyak 32 (73%) responden di komunitas dan
28 (78%) responden di panti adalah lebih dari 6 bulan.
Gambaran Umum Responden Berdasarkan Tingkat Kualitas Hidup
Gambar 4. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat kualitas hidup di komunitas dan
panti
Dari gambar 4 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat kualitas hidup di
komunitas dan panti sebagian besar sebanyak 40 (90%) responden di komunitas dan 34 (94%)
responden di panti adalah memiliki tingkat kualitas hidup yang tinggi.
Perbedaan Tingkat Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti
Tabel 1. Perbedaan kualitas hidup lansia perempuan di komunitas dan panti
No variabel N Min-max Means sd p-value α
1 Kesehatan fisik 80 19-88 57,81 16,195 0,342 0,05
2 Psikologis 80 38-100 69,50 11,933 0,770 0,05
3 Hubungan
sosial
80 44-100 63,58 13,858 0,614 0,05
4 Lingkungan 80 19-68 51,85 5,586 0,028 0,05
5 Kualitas hidup 80 151-332 243, 21 35,823 0,477 0,05
Berdasarkan Kesehatan Fisik
Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-
rata kesehatan fisik sebesar 57,81, standar deviasi 16,195 dengan nilai paling rendah 19 dan nilai
paling tinggi 88. Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α =
0,05 maka diperoleh p = 0,342. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol
diterima dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kesehatan fisik wanita lansia di
komunitas dan di panti.
Berdasarkan Psikologis
Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-
rata psikologis sebesar 69,50, standar deviasi 11,933 dengan nilai terendah 38 dan nilai tertinggi 100.
Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05, diperoleh p
= 0,770. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima dan H1 ditolak. Hal
ini berarti tidak ada perbedaan tingkat psikologis wanita lansia di Komunitas dan di Panti.
Berdasarkan Hubungan Sosial
Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-
rata hubungan sosial sebesar 63,58, standar deviasi 13,858 dengan nilai terendah 44 dan nilai tertinggi
100. Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05,
diperoleh p = 0,614. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima dan H1
H1 ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat hubungan sosial wanita lansia di Komunitas dan
di Panti.
Berdasarkan Lingkungan
Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-
rata lingkungan sebesar 51,85, standar deviasi 8,586 dengan nilai terendah 19 dan nilai tertinggi 69.
Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05, diperoleh p
= 0,028. Karena p-value < α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dan H1 diterima. Hal
ini berarti ada perbedaan tingkat lingkungan wanita lansia di Komunitas dan di Panti.
Berdasarkan Tingkat Kualitas Hidup
Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-
rata tingkat kualitas hidup sebesar 243,21, standar deviasi 35,823 dengan nilai terendah 151 dan nilai
tertinggi 332. Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α =
0,05, diperoleh p = 0,477. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima
dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup wanita lansia di Komunitas
dan di Panti.
Pembahasan
Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Kesehatan
Fisik
Sebagian besar responden berada pada kelompok umur 60-74 tahun. Nisman (1998, dalam
Rahayu, 2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tua umur lansia tingkat
ketergantungannya akan semakin tinggi. Mayoritas responden penelitian berada kelompok umur yang
sama, sehingga penurunan fisik akibat proses penuaan yang dialami wanita lansia di komunitas dan
panti juga cenderung tidak menunjukkan perbedaan.
Jenis pelayanan yang berbeda pada kedua kelompok responden tersebut tidak memberikan
dampak yang nyata terhadap perbedaan kualitas kesehatan fisik. Jenis kegiatan yang berkaitan dengan
kesehatan fisik di komunitas adalah posyandu lansia yang diadakan 1 bulan sekali, namun tidak
menutup kemungkinan bagi wanita lansia di komunitas untuk menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang lain seperti puskesmas dan rumah sakit, jika dibutuhkan. Kegiatan dalam setting panti
dapat berupa senam lansia setiap pagi dan pemeriksaan kesehatan oleh petugas puskesmas yang
dilaksankan secara rutin, namun dalam pelaksanaannya masih tergantung pada kebutuhan penghuni
panti terhadap pengobatan. Jika tidak ada keluhan yang berarti penghuni panti memilih untuk tidak
memanfaatkan fasilitas tersebut. Karena tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka kegiatan
tersebut dapat pula diterapkan pada setting yang berbeda, misalnya senam lansia setiap pagi dapat pula
di terapkan di komunitas dan pemeriksaan kesehatan secara rutin dapat pula dilakukan di komunitas
dengan frekuensi yang lebih tinggi.
Meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kesehatan fisik
wanita lansia di komunitas dan panti, namun kesehatan fisik responden komunitas relatif lebih baik
daripada responden panti. Keadaan ekonomi, dukungan keluarga dan keterjangkauan terhadap akses
pelayanan kesehatan menyebabkan keluhan fisik segera teratasi, sehingga tidak menimbulkan
ketergantungan terhadap terapi medis. Wanita lansia panti memiliki kemampuan mobilisasi dan
kepuasan tidur yang lebih baik dari pada wanita lansia komunitas. Perbedaan tersebut dapat dikaitkan
dengan frekuensi kegiatan responden panti yang membutuhkan mobilisasi yang cukup sering,
misalnya saat senam lansia, beribadah bersama dan pelatihan ketrampilan. Aktivitas responden yang
cenderung lebih padat dapat berpengaruh terhadap kualitas tidur wanita lansia, sesuai dengan hasil
observasi Farida (2006) meyatakan bahwa 70% lansia yang bekerja tidak mengalami masalah setelah
bangun tidur. Hasil penelitian Andriana (2003, dalam Priambodo, 2010) menyatakan bahwa ada
hubungan yang sangat signifikan antara jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, dan tingkat
pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia. Namun, kemampuan responden di komunitas
dalam beraktivitas dan bekerja lebih baik dari pada responden di panti. Perbedaan tersebut dapat
dikaitkan dengan terdapat sebagian besar lansia di komunitas masih mampu beraktivitas dan
bermobilisasi dengan baik sehingga masih memungkinkan mereka untuk bekerja dan memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Psikologis
Tidak adanya perbedaan aspek psikologis wanita lansia di panti dan di komunitas, dapat
dikaitkan dengan umur responden yang berada pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Desmita (2009)
menyatakan bahwa sesuai teori psikososial Erickson, lansia berada pada tahap perkembangan yang
terakhir yaitu integritas. Integritas merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah mencapai
penyesuaian diri terhadap berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Lawan dari integritas
adalah keputusasaan tertentu dalam menghadapi perubahan dalam berbagai siklus kehidupan individu.
Persamaan kelompok usia yang mendominasi antara wanita lansia di komunitas dan panti,
mengindikasikan bahwa tahap perkembangan psikososial antara kedua kelompok responden juga
sama. Dengan adanya penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan dalam aspek hidupnya, lansia
akan cenderung melakukan penerimaan terhadap keadaan dirinya (Crain, 2007). Penerimaan yang
dilakukan lansia tentunya akan berdampak pada kepuasan terhadap dirinya, misalnya mengenai
gambaran diri, harga diri, perasaan dan keadaan spiritual lansia.
Jenis pelayanan yang berakaitan dengan aspek psikologis pada kedua setting tersebut hampir
sama. Pemenuhan kebutuhan psikologis dapat dicapai dengan kegiatan spiritual. Wanita lansia di
komunitas melakukan pengajian rutin dan beribadah bersama hampir setiap hari di tempat ibadah
terdekat. Wanita lansia di panti juga melakukan pengajian dan ibadah bersama di musholla. Jenis
kegiatan yang sama tersebut cenderung memberikan dampak yang sama pula terhadap kondisi
psikologis wanita lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Greenfield, et al. (2009) menunjukkan bahwa
tingkat persepsi spiritual yang lebih tinggi memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis yang
lebih baik.
Berdasarkan analisa pada tiap parameter aspek psikologis, terdapat perbedaan antara
psikologis wanita lansia di komunitas dan panti. Perasaan dan fungsi kognitif wanita lansia di
komunitas lebih baik dari pada di panti. Responden di komunitas merasa hidupnya lebih berarti dan
mereka lebih menikmati hidupnya karena mereka masih bisa berkumpul dengan pasangan, keluarga
dan tetap menjadi bagian dari masyarakat. Adanya kebudayaan masyarakat Indonesia yang sangat
menghormati lansia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan wanita lansia merasa lebih
berarti. Sedangkan pada fungsi kognitif pada wanita lansia di komunitas yang lebih baik dari panti
dapat disebabkan oleh tempat tinggal wanita lansia yang memungkinkan dirinya tetap aktif di dalam
masyarakat dan tetap memelihara interaksi dengan masyarakat. Lansia yang tetap aktif dalam
lingkungan, kemampuan kognitifnya tidak akan banyak terganggu (Calhoun & Acocella, 1995).
Berdasarkan hasil penelitian Nurwinaria (2007), terdapat perbedaan fungsi kognitif lansia yang tinggal
bersama keluarga dengan lansia yang tinggal di panti (p = 0,001). Lansia panti memiliki 2 kali resiko
mengalami gangguan kognitif dibandingkan lansia yang tinggal bersama keluarga (rasio prevalensi =
2,412).
Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Hubungan
Sosial
Tidak terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau dari hubungan sosial pada wanita
lansia di komunitas dan panti. Sesuai dengan hasil penelitian Elvinia (2006) yang menyatakan bahwa
tidak terdapat perbedaan hubungan sosial pada lansia janda atau duda yang tinggal bersama keluarga
dengan yang tinggal di panti wredha. Persamaan hubungan sosial antar kedua kelompok lansia
tersebut dikarenakan oleh masing-masing tempat tinggal memberikan dukungan yang cukup bagi
lansia, baik dari keluarga, pasangan hidup dan teman. Lansia yang tinggal di panti werdha memiliki
teman-teman sebaya sebagai pemberi dukungan sosial. Selain itu, mereka juga mendapat kunjungan
dari keluarganya. Sedangkan lansia yang tinggal di rumah memiliki kedekatan dengan keluarga
dimana keluarga merupakan sumber dukungan emosional. Dukungan sosial yang diterima dari
berbagai pihak tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Hasil penelitian Risdianto
(2009) menyatakan bahwa ada hubungan yang tinggi atau signifikan antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup lanjut usia (r = 0,632 dengan p sebesar 0,001). Dengan demikian sebagian besar wanita
lansia di komunitas maupun di panti memiliki hubungan sosial yang tinggi, yaitu lebih dari 50 poin
berdasarkan hasil pengisian kuesioner.
Tidak adanya perbedaan yang signifikan tersebut juga dipengaruhi oleh jenis kegiatan yang
terdapat pada masing-masing setting pelayanan. Kegiatan yang berkaitan dengan hubungan sosial pada
setting komunitas dapat berupa arisan, sedangkan pada setting panti adalah kegiatan ketrampilan.
Kedua jenis kegiatan yang berbeda tersebut, pada dasarnya memberikan dampak yang sama terhadap
kualitas hubungan sosial wanita lansia. Dengan demikian masing-masing kegiatan tersebut dapat pula
dikembangkan pada setting yang berbeda. Pelatihan ketrampilan di komunitas dapat diterapkan untuk
meningkatkan hubungan sosial serta meningkatkan produktivitas lansia. Sedangkan kegiatan arisan di
Panti juga dapat dilakukan, namun dengan keadaan wanita lansia di panti yang cenderung lemah di
bidang ekonomi, kegiatan arisan dapat dimodifikasi menjadi kegiatan yang lebih berorientasi terhadap
interaksi sosialnya. Penelitian Rini (2008) menyatakan ada pengaruh peer group support terhadap
interaksi sosial lansia. Peer group support membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi
dengan sesamanya sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia dan hubungan
sosialnya akan meningkat.
Selain perbedaan sumber dukungan sosial dan hubungan personalnya, terdapat pula perbedaan
mengenai kehidupan seksual responden di panti dan komunitas. 97% wanita lansia di panti tidak
memiliki pasangan dan 79% wanita lansia di komunitas memiliki pasangan. Kepuasan mengenai
kehidupan seksual wanita di panti lebih baik meskipun mereka tidak memiliki pasangan hidup.
Masalah kehidupan seksual pada wanita lansia di komunitas dapat dikaitkan dengan menopause yang
diikuti penurunan fungsi seksual. Biasanya individu dengan usia 50 tahun ke atas mengalami
kerusakan biologis parsial yang meningkatkan ketidakmampuan seksual total akibat berbagai stresor
budaya, intrapsikis dan hubungan (Jhonson, dalam Stanley & Beare, 2007). Masalah seksual yang
dirasa tabu untuk dibicarakan terutama pada lansia, menyebabkan lansia tidak dapat mengatasi
masalah yang dialaminya.
Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Lingkungan
Terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau dari lingkungan pada wanita lansia di
komunitas dan panti. Wanita lansia komunitas memiliki rata-rata skor domain lingkungan yang lebih
tinggi dari wanita lansia di panti. Hal ini dapat dikaitkan dengan perbedaan tingkat pendidikan wanita
lansia panti dan komunitas yang akan berpengaruh terhadap perekonomian mereka. Tingkat
pendidikan yang paling banyak dicapai oleh wanita lansia di komunitas adalah SMA dan tingkat
pendidikan terbanyak di panti adalah SD.
Tingkat pendidikan pada lansia dipengaruhi oleh ketersediaan dana pendidikan dan sarana
pendidikan masa lalu. Kelemahan ekonomi memiliki andil yang besar terhadap tingkat pendidikan
seseorang, karena pada zaman dahulu masih belum banyak dana bantuan pendidikan dan mereka
cenderung lebih mendahulukan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Meskipun pada awal kemerdekaan
sudah didirikan beberapa pendidikan tinggi seperti UGM dan UI, namun sistem pendidikan pada saat
itu masih dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat kelas (Syaif,
2009). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan, tingkat pendapatan lansia, dan
bagaimana manajemen keuangan lansia di masa tuanya. Penelitian Aini (2008) menyatakan terdapat
hubungan positif antara tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan produktivitas kerja dengan hasil
uji F yang memperoleh F hitung > F tabel (54,879 > 2,84) pada signifikansi 5%.
Tingkat pendidikan dan perekonomian tersebut, memegang peranan penting dalam
pemenuhan kebutuhan akan lingkungan yang layak dan memadai, di antaranya tersedianya tempat
tinggal yang bersih dan sehat, ketersediaan informasi, transportasi dan keterjangkauan terhadap
pelayanan kesehatan. Berbeda halnya dengan wanita lansia panti dengan tingkat pendidikan dan
perekonomian yang relatif rendah, yang membuat para lansia tersebut memiliki keterbatasan terhadap
berbagai faktor yang dapat meningkatkan kualitas lingkungannya, baik dari segi informasi,
transportasi, dan pengadaan lingkungan yang bersih dan sehat.
Kepuasan terhadap keamanan dan kenyamanan terhadap tempat tinggal lebih tinggi pada
responden di panti dari pada responden di komunitas. Kurangnya keamanan yang dirasakan oleh
wanita lansia di komunitas, dapat diakibatkan oleh adanya kekerasan secara fisik maupun psikologis
yang dilakukan oleh anggota keluarga atau care giver. Sedangkan dalam bidang ekonomi dan
informasi, kepuasan wanita lansia di komunitas cenderung lebih baik dari pada di panti. Lebih
tingginya tingkat perekonomian wanita lansia di komunitas menyebabkan kepuasannya secara materiil
dan pemenuhan kebutuhan akan informasi yang lebih baik. Selain itu kesempatan wanita lansia di
komunitas untuk mendapatkan hiburan dan berekreasi juga akan lebih baik lagi.
Perbedaan Tingkat Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti
Hasil uji analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup wanita
lansia di komunitas dan panti. Pernyataan kepuasan tentang hampir seluruh aspek kehidupan pada
kedua kelompok lansia tersebut dapat dikaitkan dengan tugas perkembangan lansia. Desmita (2009)
menyatakan bahwa berdasarkan teori psikososial Erickson, lansia berada pada tahap integritas yang
merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah mencapai penyesuaian diri terhadap berbagai
keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Crain (2007) menyatakan bahwa sesuai tugas
perkembangan Havighurst, lansia berada pada fase later maturity yang berarti mampu menyesuaikan
diri terhadap penurunan kekuatan fisik, pensiun, penurunan income, kematian pasangan, berkumpul
dengan orang yang seumur dan mempertahankan kepuasan hidup. Kualitas hidup yang lebih
menekankan bagaimana persepsi terkait dengan kepuasan terhadap posisi dan keadaan di dalam
hidupnya, cenderung dipengaruhi oleh sejauh mana tercapainya tugas perkembangan dalam
kehidupan. Penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan aspek kehidupan menyebabkan wanita
lansia tersebut mampu menerima keadaanya. Penerimaan tersebut akan memberikan pengaruh positif
terhadap kualitas hidup lansia di komunitas dan panti.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) proses penuaan yang menyebabkan
perubahan fisik dialami oleh semua lansia, meskipun masalah kesehatan yang muncul akan berbeda-
beda pada setiap individu. Dengan usia yang cenderung sama, yaitu didominasi wanita lansia pada
kelompok umur 60-74, maka masalah kesehatan fisik yang dialami responden cenderung sama.
Sehingga tidak ada perbedaan kesehatan fisik wanita lansia di komunitas dan di panti; 2) lansia berada
pada tahap integritas. Tahap integritas merupakan tahap dimana seseorang mencapai penyesuaian diri
terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Dengan terpenuhinya tahapan integritas, maka
kepuasan secara psikologis akan dicapai oleh kedua kelompok wanita lansia tersebut, sehingga tidak
ada perbedaan kualitas psikologis wanita lansia di komunitas dan panti; 3) masing-masing tempat
tinggal memberikan dukungan yang cukup bagi lansia, baik dari keluarga, pasangan hidup maupun
teman sebaya. Lansia yang tinggal di panti werdha memiliki teman-teman sebaya sebagai pemberi
dukungan sosial. Selain itu, mereka juga mendapat kunjungan dari keluarganya. Sedangkan lansia
yang tinggal di rumah memiliki kedekatan dengan keluarga dimana keluarga merupakan sumber
dukungan emosional. Dengan demikian tidak ada perbedaan kualitas hubungan sosial wanita lansia di
komunitas dan panti; 4) wanita lansia komunitas yang memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi yang
relatif lebih baik dari wanita lansia di panti. Sehingga responden di komunitas memiliki peluang yang
lebih besar untuk memenuhi kebutuhannya terhadap lingkungan yang lebih baik dari pada responden
di panti. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada perbedaan kualitas lingkungan wanita lansia di
komunitas dan panti; 5) meskipun dari aspek lingkungan terdapat perbedaan signifikan antara wanita
lansia di komunitas dan panti, namun kualitas hidup yang berarti kepuasan individu terhadap
hidupnya, lebih dipengaruhi oleh psikologi perkembangan lansia. Keberhasilan lansia untuk
menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya, menyebabkan
kedua kelompok lansia tersebut melakukan penerimaan terhadap keadaan dirinya dan mencapai
kepuasan terhadap hidupnya. Dengan demikian tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup wanita
lansia di komunitas dan panti.
Saran yang dapat direkomendasikan meliputi: 1) meningkatkan produktifitas wanita lansia di
panti dan komunitas dengan menerapkan terapi okupasi berupa ketrampilan yang dapat meningkatkan
perekonomian lansia. Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berupa usaha mikro yang diterapkan dalam
kelompok-kelompok lansia di komunitas maupun panti. Modal untuk mendirikan usaha mikro dapat
diperoleh dari dana pinjaman dari lembaga keuangan seperti bank, koperasi maupun dana bantuan dari
pemerintah. Dengan meningkatkan produktifitasnya, wanita lansia diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya sehingga kualitas hidup yang lebih baik dapat tercapai; 2) meningkatkan akses
lansia terhadap pelayanan kesehatan dengan cara dibentuknya kelompok-kelompok lansia, terutama di
komunitas, guna pemenuhan kebutuhan akan dana kesehatan. Dana kesehatan diperoleh dari iuran
rutin dari anggotanya, yang nantinya akan dipergunakan oleh anggota kelompok itu sendiri.
Meningkatnya keterjangkauan akan pelayanan kesehatan diharapkan akan meningkatkan kualitas
hidup lansia; 3) meningkatkan informasi dan pengetahuan lansia mengenai kesadaran dirinya
mengenai proses penuaan yang mereka alami, perilaku sehat bagi lansia dan manajemen keuangan
yang dapat diberikan pada kelompok lansia dan pralansia yang berada di komunitas dan panti.
Kegiatan yang dapat dilakukan dapat berupa penyuluhan dan konseling. Dengan informasi dan
pengetahuan yang cukup diharapkan para pralansia dapat mempersiapkan hari tuanya dengan lebih
baik dan bagi lansia dapat mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Pemerintah dapat berpartisipasi
dengan cara mengatur kebijakan mengenai program-program yang dapat meningkatkan pengetahuan
lansia; 4) penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih spesifik lagi dalam menentukan batasan
karakteristik responden dengan jumlah sampel yang lebih besar dan homogen, sehingga hasil
penelitian lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, N. 2008. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pendapatan, Dan Pengalaman Kerja Terhadap
Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Pada Perusahaan Kecap Udang Purwodadi. Skripsi
Thesis. Universitas Muhammadiyah Surakarta. (Online) http://
etd.eprints.ums.ac.id/cgi/search. Diakses pada 9 Januari 2011.
Calhoun & Acocella. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi 3.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Crain, W. 2007. Teori Perkembangan: Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Darmojo & Martono. 2006. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Dragomirecka & Selepova. 2002. Do Czech Elderly Women Hhave Lower Quality Of Life Than
Men? Results Of A Pilot Study. (Online)
http://books.google.co.id/books?id=2SXuXnlz3PgC&lpg=PA161&ots=KEPkaLMblo&dq=Dr
agomirecka%2C%20Selepova&pg=PA161#v=onepage&q=Dragomirecka,%20Selepova&f=fa
lse. Diakses pada 12 Desember 2010.
Elvinia. 2006. Quality Of Life Pada Lanjut Usia Studi Perbandingan Pada Janda Atau Duda Lansia
Antara Yang Tinggal Di Rumah Bersama Keluarga Dengan Yang Tinggal Di Panti Werdha.
Jakarta: Unika Atmaja. (Online) http://lib.atmajaya.ac.id/. Diakses pada 9 Januari 2011
Farida, U. 2006. Identifikasi Kualitas Dan Kuantitas Tidur Pada Lansia Bekerja Dan Tidak bekerja.
Karya Tulis Ilmiah. Diploma III Keperawatan Universitas Muhamadiyah Malang. (Online)
http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/187/jiptummpp-gdl-s1-2007-umifarida0-9303-
PENDAHUL-N.pdf. Diakses pada 9 Januari 2011.
Greenfield, et al. 2009. Do Formal Religious Participation And Spiritual Perceptions Have
Independent Linkages With Diverse Dimensions Of Psychological Well-Being?. J Health Soc
Behav. 2009 June; 50(2): 196-212.
Nurwinaria, S. 2007. Perbedaan Tingkat Gangguan Kognitif Antara Lansia Yang Tinggal Bersama
Keluarga Di Desa Amadanom Dampit Dengan Yang Di Panti Werdha Tresno Mukti Turen.
Tugas Akhir. Jurusan Keperawatan, Universitas Brawijaya Malang.
Priambodo, G. 2010. Hubungan Antara Psikososial Dan Kemampuan Ekonomi Dengan Kepuasan
Hidup Lansia Di Desa Trosemi Kecamatan Gatak Kabupaten sukoharjo. Skripsi, Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhamadiyah Surakarta. (online) http://etd.eprints.ums.
ac.id/9475/2/j210060032.pdf. Diakses pada 12 Desember 2010.
Rahayu, S. 2009. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Kemunduran Fisik Lansia Terhadap
Tingkat Depresi Pada Lansia Di Dusun Kalitekuk Semin Wonosari Gunungkidul
Yogyakarta 2008. (Online) http://skripsistikes. wordpress.com/2009/05/03/ikpiii104/. Diakses
pada 7 Desember 2010.
Rini. 2008. Pengaruh Sosialisasi (Peer Group Support) Terhadap Interaksi Sosial Lansia.
(online)http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/191829797-abs.pdf. Diakses pada 12 Januari
2011.
Risdianto. 2009. Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia Di Desa Kembang
Kuning Cepogo Boyolali. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Stanley & Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Suryadi. 2008. Model Perawatan Lansia. (Online) http://www. facebook.com/topic.php?
uid=120642680287&topic=11738. Diakses pada 9 Januari 2011.
Syaif. 2009. Sejarah Pendidikan Di Indonesia. (online) http://syaifmipa.blogspot.com/2009/12/sejarah-
pendidikan-di-indonesia.html. Diakses pada 9 Januari 2011.
WHO. 1996. The World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF. (Online)
http://www. who.int/entity/substance_abuse/research_ tools/en/indonesian_whoqol.pdf.
Diakses pada 4 Maret 2010.