621-914-1-pb

17
PERBEDAAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANSIA DI KOMUNITAS DAN PANTI (THE DIFFERENCE QUALITY OF LIFE LEVEL IN ELDERLY WOMEN AT THE COMMUNITY AND THE AGING INSTITUTION) Setyoadi 1*) Noerhamdani 2) Fela Ermawati 3) 1) Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 2) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 3) Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 *) e-mail: [email protected] atau [email protected] ABSTRAK Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbaikan sosio-ekonomi berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat. Jumlah dan usia harapan hidup pada wanita lansia yang lebih tinggi, ternyata memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dari pada pria lansia. Upaya peningkatan kualitas hidup lansia di Indonesia melalui pelayanan komunitas dan panti. Kedua pelayanan ini memiliki perbedaan setting dan fasilitas yang berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di komunitas dan di panti, ditinjau dari kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Desain penelitian deskriptif analitik komparatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian 44 responden untuk komunitas dan 36 responden untuk kelompok panti yang diambil dengan cara purposive sampling. Hasil uji mann whitney, dengan α = 0,05 disimpulkan tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di komunitas dan panti (p = 0,477). Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk terus meningkatkan aspek lingkungan yang berupa peningkatan produktivitas wanita, akses terhadap pelayanan kesehatan dan informasi pada wanita lansia, terutama pada wanita lansia di panti. Kata kunci: wanita lansia, kualitas hidup, komunitas, panti ABSTRACT The progress of science and technology and improvement of socio-economic impact on improving community health status and life expectancy, so the number of elderly population is also increasing. The number and life expectancy in elderly women is higher, it has a lower quality of life than elderly

Upload: agung-nugroho-ote

Post on 30-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 621-914-1-PB

PERBEDAAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANSIA DI KOMUNITAS

DAN PANTI

(THE DIFFERENCE QUALITY OF LIFE LEVEL IN ELDERLY WOMEN AT THE

COMMUNITY AND THE AGING INSTITUTION)

Setyoadi1*) Noerhamdani2) Fela Ermawati3)

1)Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2)Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

3)Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Jl. Veteran Malang 65145*)e-mail: [email protected] atau [email protected]

ABSTRAK

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbaikan sosio-ekonomi berdampak pada

peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia

juga meningkat. Jumlah dan usia harapan hidup pada wanita lansia yang lebih tinggi, ternyata

memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dari pada pria lansia. Upaya peningkatan kualitas hidup

lansia di Indonesia melalui pelayanan komunitas dan panti. Kedua pelayanan ini memiliki perbedaan

setting dan fasilitas yang berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Tujuan penelitian untuk

mengetahui perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di komunitas dan di panti, ditinjau

dari kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Desain penelitian deskriptif analitik

komparatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian 44 responden untuk komunitas dan

36 responden untuk kelompok panti yang diambil dengan cara purposive sampling. Hasil uji mann

whitney, dengan α = 0,05 disimpulkan tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di

komunitas dan panti (p = 0,477). Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk terus

meningkatkan aspek lingkungan yang berupa peningkatan produktivitas wanita, akses terhadap

pelayanan kesehatan dan informasi pada wanita lansia, terutama pada wanita lansia di panti.

Kata kunci: wanita lansia, kualitas hidup, komunitas, panti

ABSTRACT

The progress of science and technology and improvement of socio-economic impact on improving

community health status and life expectancy, so the number of elderly population is also increasing.

The number and life expectancy in elderly women is higher, it has a lower quality of life than elderly

Page 2: 621-914-1-PB

men. Efforts to improve the quality of life of elderly in Indonesia through community service and

nursing. Both these services have different settings and facilities that affect the quality of life of

elderly. The aim is to know the difference in quality of life in elderly women in the community and in

nursing, in terms of physical health, psychological, social relationships, and environment.

Comparative research design with descriptive analytic cross sectional approach. The sample of 44

respondents to the research community and the 36 respondents to the nursing group are taken by way

of purposive sampling. Mann whitney test results, with α = 0,05 concluded there was no difference in

the level of quality of life in elderly women in the community and nursing (p = 0,477). Based on the

results of research can be encouraged to continue improving the environmental aspects of women's

increased productivity, access to health services and information in elderly women, particularly in

elderly women in nursing.

Keywords: elderly women, quality of life, community, aging institution

LATAR BELAKANG

Selain ditinjau dari perbedaan jumlah dan angka harapan hidupnya, lansia pria dan wanita juga

memiliki perbedaan pada tingkat kualitas hidupnya. Usia harapan hidup serta jumlah wanita lansia

yang lebih tinggi dari pria Lansia. Namun, Dragomirecka & Selepova (2002) dalam studinya

mengungkapkan bahwa kualitas hidup pria lansia lebih tinggi dari pada wanita lansia. Pada pria lansia

dilaporkan secara signifikan bahwa pria lansia memiliki kepuasan yang lebih tinggi dalam beberapa

aspek yaitu hubungan personal, dukungan keluarga, keadaan ekonomi, pelayanan sosial, kondisi

kehidupan dan kesehatan. Wanita lansia memiliki nilai yang lebih tinggi dalam hal kesepian, ekonomi

yang rendah dan kekhawatiran terhadap masa depan. Perbedaan gender tersebut ternyata memberikan

andil yang nyata dalam kualitas hidup lansia. Perlu adanya suatu upaya peningkatan kualitas hidup

terhadap lansia, terutama wanita lansia mengingat usia harapan hidup yang lebih tinggi serta jumlah

wanita lansia yang lebih banyak. Meningkatnya jumlah lansia tentu tidak lepas dari proses penuaan

beserta masalahnya.

Pertambahan jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia dalam kurun waktu 1990 sampai 2025

diperkirakan sebagai pertumbuhan lansia yang tercepat di dunia. Jumlah lansia di Indonesia mencapai

16 juta jiwa pada tahun 2002. Data sensus badan pusat statistik pada tahun 2000 menunjukkan bahwa

jumlah penduduk lansia sebanyak 15.054.877 jiwa dengan jumlah lansia wanita 52,42% dan pria

47,58%. Tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,96 juta jiwa

(Statistik Indonesia, 2010). Menurut Darmojo dan Martono (2006) pertambahan lansia di Indonesia

dipengaruhi oleh perbaikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan sosio-ekonomi, yang pada

akhirnya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidup.

Hasil survei united nation development program (UNDP) dalam rentang tahun 1980 sampai 2008

menunjukkan peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dari 54,4 tahun sampai 70,4

Page 3: 621-914-1-PB

tahun. Pada tahun 1995 sampai tahun 2000, usia harapan hidup pria meningkat menjadi 63,33 tahun

dan wanita 69 tahun (Hardywinoto & Setiabudhi, 2005). Menurut Bappenas (2009) proyeksi angka

harapan hidup pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 73,7 tahun.

Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang pasti dialami individu dan proses ini akan

diikuti oleh penurunan fungsi fisik, psikososial dan spiritual. Perubahan dari segi biologis pada wanita

lansia identik dengan gejala menopause, antara lain ketidaknyamanan seperti rasa kaku dan linu yang

dapat terjadi secara tiba-tiba di sekujur tubuh, misalnya pada kepala, leher dan dada bagian atas.

Kadang-kadang rasa kaku ini dapat diikuti dengan rasa panas atau dingin, pening, kelelahan dan

berdebar-debar (Hurlock, 1992). Selain itu terdapat perubahan yang umum dialami lansia. Misalnya

perubahan sistem imun yang cenderung menurun, perubahan sistem integumen yang menyebabkan

kulit mudah rusak, perubahan elastisitas arteri pada sistem kardiovaskular yang dapat memperberat

kerja jantung, penurunan kemampuan metabolisme oleh hati dan ginjal serta penurunan kemampuan

penglihatan dan pendengaran (Watson, 2003). Penurunan fungsi fisik tersebut ditandai dengan

ketidakmampuan lansia untuk beraktivitas atau melakukan kegiatan yang tergolong berat. Perubahan

fisik yang cenderung mengalami penurunan tersebut akan menyebabkan berbagai gangguan secara

fisik sehingga mempengaruhi kesehatan, serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia. Beberapa

gejala psikologis yang menonjol pada wanita lansia adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan,

gugup, kesepian, tidak sabar, tegang (tension), cemas dan depresi. Ada juga lansia yang kehilangan

harga diri karena menurunnya daya tarik fisik dan seksual, mereka merasa tidak dibutuhkan oleh

suami dan anak-anak mereka, serta merasa kehilangan femininitas karena fungsi reproduksi yang

hilang (Kuntjoro, 2002b).

Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perubahan fisik,

lingkungan tempat tinggal dan hubungan sosial dengan masyarakat (Miller, 2002 dalam Stanley &

Beare, 2007). Sebagian besar lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi

kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga

menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik

(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,

koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Teori disengagement menyatakan

bahwa lansia berangsur-angsur menarik diri dalam berinteraksi dengan orang lain dan kehidupan

sosialnya (Darmojo & Martono, 2006). Stressor psikososial yang berat, misalnya kematian pasangan

hidup, kematian keluarga dekat, dapat menyebabkan perubahan psikologis yang mendadak, misalnya

bingung, panik, depresif, apatis.

Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia dalam kehidupan

keagamaan. Agama dan kepercayaan terintegrasi dalam kehidupan dan terlihat dalam pola berfikir dan

bertindak sehari-hari (Nugroho, 2000). Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia

untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun merumuskan arti dan tujuan

keberadaannya dalam kehidupan. Perubahan spiritual merupakan salah satu parameter yang

Page 4: 621-914-1-PB

mempengaruhi kualitas hidup lansia (WHO, 1996). Pengaruh yang muncul akibat berbagai perubahan

pada lansia tersebut jika tidak teratasi dengan baik cenderung akan mempengaruhi kesehatan lansia

secara menyeluruh. Perlu adanya suatu pelayanan untuk mengatasi masalah kesehatan pada lansia dan

meningkatkan kualitas hidup lansia. Menurut Demartoto (2007) pelayanan lansia meliputi pelayanan

yang berbasiskan pada keluarga, masyarakat dan lembaga.

Pelayanan berbasis keluarga dan masyarakat cenderung sulit dipisahkan, sehingga terdapat

pengelompokan secara umum terhadap lansia, yaitu Lansia dengan pelayanan komunitas (non panti)

dan Lansia dengan pelayanan panti. Kebanyakan lansia tinggal dalam masyarakat, kurang dari 1%

hidup dalam lingkungan lembaga. Seiring dengan lanjutnya usia, statistik meningkat sampai kira-kira

22% lansia yang lemah, yaitu berusia 85 tahun ke atas, hidup dalam lingkungan lembaga (Stanley &

Beare 2007). Pelayanan berbasis komunitas merupakan jenis pelayanan yang paling banyak diperoleh

lansia di Indonesia. Tingginya jumlah lansia dan terbatasnya panti werdha di Indonesia, menyebabkan

banyak lansia yang tinggal di komunitas. Selain itu ada tradisi masyarakat dimana seorang anak dan

keturunan merupakan pengurus dan sumber potensi untuk mencapai kebutuhan orang tua. Dasar

pelayanan komunitas adalah memaksimalkan dayaguna dan keikutsertaan masyarakat termasuk lansia,

dengan meningkatkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat. Beberapa permasalahan lansia dapat

ditangani melalui keluarga karena membutuhkan pelayanan intensif dan jangka panjang yang hanya

dapat disediakan melalui pelayanan profesional dalam lembaga (Demartoto, 2007). Kegiatan pada

setting komunitas lansia dapat berupa rangkaian kegiatan posyandu lansia, misalnya pemeriksaan

kesehatan dan senam lansia. Pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan

dipantau dengan kartu menuju sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau

ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Hasil penelitian yang dilakukan Sari (2009) menyatakan

bahwa senam lansia mempunyai pengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan. Penelitian yang

dilakukan oleh Margiyati (2010) menyatakan bahwa senam lansia juga efektif untuk menurunkan

hipertensi pada lansia. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan

komunitas berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan fisik dan mental serta berpengaruh terhadap

kualitas hidup lansia.

Pelayanan berbasis lembaga yang umum dikenal masyarakat adalah panti sosial bagi lansia

atau yang biasa disebut panti werdha. Pelayanan ini dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun

suasta. Menurut data dari departemen sosial cq. direktorat pelayanan sosial lanjut usia (Tira, 2009)

jumlah panti sosial tresna werdha yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah berjumlah 235 unit

dengan jumlah lanjut usia yang mampu ditangani sebanyak 11.397 orang lanjut usia. Menurut

Dermatoto (2007) pada umunya panti werda memberikan akomodasi dan pelayanan jangka panjang

bagi lansia yang tidak mempunyai keluarga dan tidak mampu menyewa rumah sendiri serta lansia

yang mengalami masalah hubungan dengan keluarga atau tidak ingin membebani keluarganya.

Kegiatan yang dilakukan lansia di panti tidak jauh berbeda dengan kegiatan lansia di komunitas,

misalnya: pemeriksaan kesehatan, pengajian, pelatihan ketrampilan, rekreasi bersama. Ketergantungan

Page 5: 621-914-1-PB

terhadap pertolongan medis, kegiatan spiritual serta kesempatan berekreasi serta mendapat

ketrampilan baru, dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia (WHO, 1996).

Salah satu solusi yang dilakukan perawat untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dengan

cara melakukan promosi kesehatan untuk mengorganisasi dan memberikan asuhan keperawatan bagi

lansia (Stanley & Beare, 2007). Stanley & Beare (2007) menyatakan bahwa lansia lebih banyak

memraktikkan prilaku promosi kesehatan dari pada kelompok usia lainnya. Menurut hasil penelitian

Indarwati (2006) peran perawat pada pelayanan komunitas posyandu lansia meliputi mediator pemberi

informasi, mediator pemeriksaan fisik, mediator bagi lansia utuk mempertahankan status kesehatan

melalui kegiatan senam, mediator tenaga medis yang memberikan pengobatan pada lansia.

Keterbatasan tenaga perawat menyebabkan peran tersebut akan mengalami hambatan jika tanpa

disertai partisipasi aktif dari masyarakat, terutama lansia. Penyelenggaraan program kesehatan dan

program sosial pada panti, didominasi oleh perawat. Peran perawat sebagai manajer ini,

memungkinkan perawat untuk mengembangkan kualitas pelayanan di panti, meskipun masih terikat

oleh kebijakan yang dibuat oleh pengelola panti.

Pemilihan pelayanan bagi lansia masih kontroversial di Indonesia. Budaya masyarakat

Indonesia terkait lansia masih kental, yaitu penghargaan kepada orang tua dalam segala bentuknya

merupakan nilai yang tinggi dan sebagai kewajiban kelompok generasi yang lebih muda (Suryadi,

2008), sehingga sebagian masyarakat Indonesia memilih untuk merawat lansia di komunitas. Panti

yang dianggap sebagai tempat bagi lansia yang hanya memberikan beban, tidak mampu secara

ekonomi serta tidak memiliki keluarga, tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Namun

saat ini terjadi pergeseran paradigma, penghuni panti tidak saja lansia yang terlantar sosio-ekonomi

melainkan lansia masih memiliki keluarga, mampu secara ekonomi dan dengan sukarela ingin

bergabung dengan lansia lainnya. Kedua pelayanan tersebut akan memberikan pengaruh yang berbeda

pada lansia ditinjau dari aspek biologis, psikologis, sosial dan lingkungannya. Kesehatan biologis

lansia dipanti cenderung lebih terjamin, sedangkan di komunitas sangat dipengaruhi oleh dukungan

sosial di sekitarnya serta akses terhadap pelayanan kesehatan. Ditinjau dari aspek psikologis, lansia di

keluarga cenderung mendapatkan kebutuhan psikologis yang lebih baik dari pada lansia yang berada

di panti. Pemenuhan kebutuhan sosial lansia di komunitas cenderung lebih baik daripada di panti,

karena interaksi lansia di komunitas pada dasarnya lebih luas dari pada lansia di panti. Lansia di

komunitas dapat berinteraksi dengan keluarga, teman, dan masyarakat, sedangkan interaksi lansia

dipanti terbatas pada penghuni panti serta petugas panti saja. Aspek lingkungan yang dipengaruhi

kualitas dan keterjangkauan sarana kesehatan, keadaan tempat tinggal, sumber finansial, serta

kesempatan rekreasi pada lansia panti dan komunitas juga akan mempengaruhi kesehatan lansia.

Pengaruh yang menyeluruh terhadap kehidupan lansia akibat perbedaan jenis pelayanan yang

didapatkan oleh lansia, tentunya akan mempengaruhi kesehatan biologis, psikologis, sosial, dan

lingkungan. Dampak yang menyeluruh tersebut akan memengaruhi kualitas hidup lansia. Kualitas

hidup merupakan persepsi individu terhadap posisinya di dalam kehidupan dalam konteks budaya

Page 6: 621-914-1-PB

sebuah sistem nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan,

standar dan kepedulian (WHO, 1996). Jenis kelamin juga cenderung memberikan pengaruh terhadap

kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2006) menunjukkan adanya perbedaan tingkat

kecemasan antara lansia pria dan wanita terhadap aspek kehidupannya. Lansia wanita memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi terhadap seluruh aspek kehidupannya daripada lansia pria. Kualitas hidup

digunakan untuk mengukur kesejahteraan lansia secara menyeluruh. Kualitas hidup yang baik

diperlukan lansia untuk melewati sisa hidupnya dengan sejahtera, sehat dan bermartabat. Perbedaan

jenis pelayanan yang diterima lansia cenderung akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap

kesehatan lansia, yang juga akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Adanya perbedaan kualitas

hidup antar jenis kelamin menjadikan dasar penelitian ini difokuskan pada lansia wanita yang berada

di komunitas dan panti, dengan pertimbangan jumlah lansia wanita yang lebih tinggi dibandingkan

lansia pria, yang tidak diimbangi dengan kualitas hidup yang tinggi. Jika tidak diikuti pelayanan yang

tepat terhadap masalah kesehatannya, maka akan menyebabkan masalah yang lebih serius lagi.

METODE

Jenis penelitian merupakan penelitian descriptive analitic comparative dengan pendekatan

desain cross sectional. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas kesehatan fisik,

kualitas psikologis, kualitas hubungan sosial, kualitas lingkungan, dan tingkat kualitas hidup wanita

lansia di komunitas dan panti.

Sample dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan tehnik purposive sampling dan

didapatkan sample sebanyak 44 wanita lansia di posyandu lansia Ajisaka Kelurahan Cemorokandang

Kecamatan Kedungkandang Malang dan 36 wanita lansia di UPT pelayanan sosial lansia Pandaan

Kabupaten Pasuruan dengan karakteristik sample meliputi: dapat beraktivitas secara mandiri atau

ketergantungan minimal, dan tidak terdiagnosa menderita gangguan jiwa.

Tingkat kulitas hidup diukur dengan menggunakan kuesioner WQOL-Bref (WHO, 1996),

yang diisi responden dengan bantuan peneliti. Kemudian hasil scoring pada setiap domain kesehatan

fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan, ditransformasikan menjadi skala 0-100. Tingkat

kualitas hidup didapatkan dari jumlah keempat domain tersebut dengan rentang nilai 0-400. Skor

meliputi: 1) dikatakan memiliki tingkat kualitas hidup tinggi jika total skornya 201-400; 2) dikatakan

memiliki tingkat kualitas hidup yang rendah jika total skornya 0-200. Kemudian data diuji analisis

statistik dengan menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Gambaran Umum Responden Berdasarkan Umur

Page 7: 621-914-1-PB

Gambar 1. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan umur di komunitas dan panti

Dari gambar 1 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan umur di komunitas dan

panti sebagian besar sebanyak 40 responden di komunitas dan 22 responden di panti adalah kelompok

umur 60-74 tahun. Sedangkan sebagian kecil sebanyak 4 responden di komunitas dan 13 responden di

panti adalah kelompok umur 75-90 tahun (old elderly).

Gambaran Umum Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Gambar 2. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat pendidikan di komunitas dan

panti

Dari gambar 2 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat pendidikan di

komunitas sebesar 32% berpendidikan SMA dan di panti 39% berpendidikan SD.

Gambaran Umum Responden Berdasarkan Lamanya Mendapatkan Pelayanan

Page 8: 621-914-1-PB

Gambar 3. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan lamanya mendapatkan pelayanan

komunitas dan panti

Dari gambar 3 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan lamanya mendapatkan

pelayanan di komunitas dan di panti sebagian besar sebanyak 32 (73%) responden di komunitas dan

28 (78%) responden di panti adalah lebih dari 6 bulan.

Gambaran Umum Responden Berdasarkan Tingkat Kualitas Hidup

Gambar 4. Diagram batang jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat kualitas hidup di komunitas dan

panti

Dari gambar 4 didapatkan bahwa jumlah wanita lansia berdasarkan tingkat kualitas hidup di

komunitas dan panti sebagian besar sebanyak 40 (90%) responden di komunitas dan 34 (94%)

responden di panti adalah memiliki tingkat kualitas hidup yang tinggi.

Perbedaan Tingkat Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti

Tabel 1. Perbedaan kualitas hidup lansia perempuan di komunitas dan panti

Page 9: 621-914-1-PB

No variabel N Min-max Means sd p-value α

1 Kesehatan fisik 80 19-88 57,81 16,195 0,342 0,05

2 Psikologis 80 38-100 69,50 11,933 0,770 0,05

3 Hubungan

sosial

80 44-100 63,58 13,858 0,614 0,05

4 Lingkungan 80 19-68 51,85 5,586 0,028 0,05

5 Kualitas hidup 80 151-332 243, 21 35,823 0,477 0,05

Berdasarkan Kesehatan Fisik

Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-

rata kesehatan fisik sebesar 57,81, standar deviasi 16,195 dengan nilai paling rendah 19 dan nilai

paling tinggi 88. Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α =

0,05 maka diperoleh p = 0,342. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol

diterima dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kesehatan fisik wanita lansia di

komunitas dan di panti.

Berdasarkan Psikologis

Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-

rata psikologis sebesar 69,50, standar deviasi 11,933 dengan nilai terendah 38 dan nilai tertinggi 100.

Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05, diperoleh p

= 0,770. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima dan H1 ditolak. Hal

ini berarti tidak ada perbedaan tingkat psikologis wanita lansia di Komunitas dan di Panti.

Berdasarkan Hubungan Sosial

Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-

rata hubungan sosial sebesar 63,58, standar deviasi 13,858 dengan nilai terendah 44 dan nilai tertinggi

100. Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05,

diperoleh p = 0,614. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima dan H1

H1 ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat hubungan sosial wanita lansia di Komunitas dan

di Panti.

Berdasarkan Lingkungan

Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-

rata lingkungan sebesar 51,85, standar deviasi 8,586 dengan nilai terendah 19 dan nilai tertinggi 69.

Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α = 0,05, diperoleh p

= 0,028. Karena p-value < α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dan H1 diterima. Hal

ini berarti ada perbedaan tingkat lingkungan wanita lansia di Komunitas dan di Panti.

Page 10: 621-914-1-PB

Berdasarkan Tingkat Kualitas Hidup

Dari tabel 1 didapatkan hasil uji statistik deskriptif pada 80 responden didapatkan nilai rata-

rata tingkat kualitas hidup sebesar 243,21, standar deviasi 35,823 dengan nilai terendah 151 dan nilai

tertinggi 332. Analisis data menggunakan uji mann whitney dengan derajat kepercayaan 95%, α =

0,05, diperoleh p = 0,477. Karena p-value > α maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima

dan H1 ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup wanita lansia di Komunitas

dan di Panti.

Pembahasan

Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Kesehatan

Fisik

Sebagian besar responden berada pada kelompok umur 60-74 tahun. Nisman (1998, dalam

Rahayu, 2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tua umur lansia tingkat

ketergantungannya akan semakin tinggi. Mayoritas responden penelitian berada kelompok umur yang

sama, sehingga penurunan fisik akibat proses penuaan yang dialami wanita lansia di komunitas dan

panti juga cenderung tidak menunjukkan perbedaan.

Jenis pelayanan yang berbeda pada kedua kelompok responden tersebut tidak memberikan

dampak yang nyata terhadap perbedaan kualitas kesehatan fisik. Jenis kegiatan yang berkaitan dengan

kesehatan fisik di komunitas adalah posyandu lansia yang diadakan 1 bulan sekali, namun tidak

menutup kemungkinan bagi wanita lansia di komunitas untuk menggunakan fasilitas pelayanan

kesehatan yang lain seperti puskesmas dan rumah sakit, jika dibutuhkan. Kegiatan dalam setting panti

dapat berupa senam lansia setiap pagi dan pemeriksaan kesehatan oleh petugas puskesmas yang

dilaksankan secara rutin, namun dalam pelaksanaannya masih tergantung pada kebutuhan penghuni

panti terhadap pengobatan. Jika tidak ada keluhan yang berarti penghuni panti memilih untuk tidak

memanfaatkan fasilitas tersebut. Karena tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka kegiatan

tersebut dapat pula diterapkan pada setting yang berbeda, misalnya senam lansia setiap pagi dapat pula

di terapkan di komunitas dan pemeriksaan kesehatan secara rutin dapat pula dilakukan di komunitas

dengan frekuensi yang lebih tinggi.

Meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kesehatan fisik

wanita lansia di komunitas dan panti, namun kesehatan fisik responden komunitas relatif lebih baik

daripada responden panti. Keadaan ekonomi, dukungan keluarga dan keterjangkauan terhadap akses

pelayanan kesehatan menyebabkan keluhan fisik segera teratasi, sehingga tidak menimbulkan

ketergantungan terhadap terapi medis. Wanita lansia panti memiliki kemampuan mobilisasi dan

kepuasan tidur yang lebih baik dari pada wanita lansia komunitas. Perbedaan tersebut dapat dikaitkan

dengan frekuensi kegiatan responden panti yang membutuhkan mobilisasi yang cukup sering,

misalnya saat senam lansia, beribadah bersama dan pelatihan ketrampilan. Aktivitas responden yang

Page 11: 621-914-1-PB

cenderung lebih padat dapat berpengaruh terhadap kualitas tidur wanita lansia, sesuai dengan hasil

observasi Farida (2006) meyatakan bahwa 70% lansia yang bekerja tidak mengalami masalah setelah

bangun tidur. Hasil penelitian Andriana (2003, dalam Priambodo, 2010) menyatakan bahwa ada

hubungan yang sangat signifikan antara jenis aktivitas, religiositas, tingkat kemandirian, dan tingkat

pendidikan dengan kepuasan hidup orang lanjut usia. Namun, kemampuan responden di komunitas

dalam beraktivitas dan bekerja lebih baik dari pada responden di panti. Perbedaan tersebut dapat

dikaitkan dengan terdapat sebagian besar lansia di komunitas masih mampu beraktivitas dan

bermobilisasi dengan baik sehingga masih memungkinkan mereka untuk bekerja dan memenuhi

kebutuhannya sehari-hari.

Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Psikologis

Tidak adanya perbedaan aspek psikologis wanita lansia di panti dan di komunitas, dapat

dikaitkan dengan umur responden yang berada pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Desmita (2009)

menyatakan bahwa sesuai teori psikososial Erickson, lansia berada pada tahap perkembangan yang

terakhir yaitu integritas. Integritas merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah mencapai

penyesuaian diri terhadap berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Lawan dari integritas

adalah keputusasaan tertentu dalam menghadapi perubahan dalam berbagai siklus kehidupan individu.

Persamaan kelompok usia yang mendominasi antara wanita lansia di komunitas dan panti,

mengindikasikan bahwa tahap perkembangan psikososial antara kedua kelompok responden juga

sama. Dengan adanya penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan dalam aspek hidupnya, lansia

akan cenderung melakukan penerimaan terhadap keadaan dirinya (Crain, 2007). Penerimaan yang

dilakukan lansia tentunya akan berdampak pada kepuasan terhadap dirinya, misalnya mengenai

gambaran diri, harga diri, perasaan dan keadaan spiritual lansia.

Jenis pelayanan yang berakaitan dengan aspek psikologis pada kedua setting tersebut hampir

sama. Pemenuhan kebutuhan psikologis dapat dicapai dengan kegiatan spiritual. Wanita lansia di

komunitas melakukan pengajian rutin dan beribadah bersama hampir setiap hari di tempat ibadah

terdekat. Wanita lansia di panti juga melakukan pengajian dan ibadah bersama di musholla. Jenis

kegiatan yang sama tersebut cenderung memberikan dampak yang sama pula terhadap kondisi

psikologis wanita lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Greenfield, et al. (2009) menunjukkan bahwa

tingkat persepsi spiritual yang lebih tinggi memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis yang

lebih baik.

Berdasarkan analisa pada tiap parameter aspek psikologis, terdapat perbedaan antara

psikologis wanita lansia di komunitas dan panti. Perasaan dan fungsi kognitif wanita lansia di

komunitas lebih baik dari pada di panti. Responden di komunitas merasa hidupnya lebih berarti dan

mereka lebih menikmati hidupnya karena mereka masih bisa berkumpul dengan pasangan, keluarga

dan tetap menjadi bagian dari masyarakat. Adanya kebudayaan masyarakat Indonesia yang sangat

menghormati lansia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan wanita lansia merasa lebih

Page 12: 621-914-1-PB

berarti. Sedangkan pada fungsi kognitif pada wanita lansia di komunitas yang lebih baik dari panti

dapat disebabkan oleh tempat tinggal wanita lansia yang memungkinkan dirinya tetap aktif di dalam

masyarakat dan tetap memelihara interaksi dengan masyarakat. Lansia yang tetap aktif dalam

lingkungan, kemampuan kognitifnya tidak akan banyak terganggu (Calhoun & Acocella, 1995).

Berdasarkan hasil penelitian Nurwinaria (2007), terdapat perbedaan fungsi kognitif lansia yang tinggal

bersama keluarga dengan lansia yang tinggal di panti (p = 0,001). Lansia panti memiliki 2 kali resiko

mengalami gangguan kognitif dibandingkan lansia yang tinggal bersama keluarga (rasio prevalensi =

2,412).

Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Hubungan

Sosial

Tidak terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau dari hubungan sosial pada wanita

lansia di komunitas dan panti. Sesuai dengan hasil penelitian Elvinia (2006) yang menyatakan bahwa

tidak terdapat perbedaan hubungan sosial pada lansia janda atau duda yang tinggal bersama keluarga

dengan yang tinggal di panti wredha. Persamaan hubungan sosial antar kedua kelompok lansia

tersebut dikarenakan oleh masing-masing tempat tinggal memberikan dukungan yang cukup bagi

lansia, baik dari keluarga, pasangan hidup dan teman. Lansia yang tinggal di panti werdha memiliki

teman-teman sebaya sebagai pemberi dukungan sosial. Selain itu, mereka juga mendapat kunjungan

dari keluarganya. Sedangkan lansia yang tinggal di rumah memiliki kedekatan dengan keluarga

dimana keluarga merupakan sumber dukungan emosional. Dukungan sosial yang diterima dari

berbagai pihak tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Hasil penelitian Risdianto

(2009) menyatakan bahwa ada hubungan yang tinggi atau signifikan antara dukungan sosial dengan

kualitas hidup lanjut usia (r = 0,632 dengan p sebesar 0,001). Dengan demikian sebagian besar wanita

lansia di komunitas maupun di panti memiliki hubungan sosial yang tinggi, yaitu lebih dari 50 poin

berdasarkan hasil pengisian kuesioner.

Tidak adanya perbedaan yang signifikan tersebut juga dipengaruhi oleh jenis kegiatan yang

terdapat pada masing-masing setting pelayanan. Kegiatan yang berkaitan dengan hubungan sosial pada

setting komunitas dapat berupa arisan, sedangkan pada setting panti adalah kegiatan ketrampilan.

Kedua jenis kegiatan yang berbeda tersebut, pada dasarnya memberikan dampak yang sama terhadap

kualitas hubungan sosial wanita lansia. Dengan demikian masing-masing kegiatan tersebut dapat pula

dikembangkan pada setting yang berbeda. Pelatihan ketrampilan di komunitas dapat diterapkan untuk

meningkatkan hubungan sosial serta meningkatkan produktivitas lansia. Sedangkan kegiatan arisan di

Panti juga dapat dilakukan, namun dengan keadaan wanita lansia di panti yang cenderung lemah di

bidang ekonomi, kegiatan arisan dapat dimodifikasi menjadi kegiatan yang lebih berorientasi terhadap

interaksi sosialnya. Penelitian Rini (2008) menyatakan ada pengaruh peer group support terhadap

interaksi sosial lansia. Peer group support membantu lansia mendapatkan kesempatan berinteraksi

Page 13: 621-914-1-PB

dengan sesamanya sehingga akan terbentuk hubungan yang positif dalam diri lansia dan hubungan

sosialnya akan meningkat.

Selain perbedaan sumber dukungan sosial dan hubungan personalnya, terdapat pula perbedaan

mengenai kehidupan seksual responden di panti dan komunitas. 97% wanita lansia di panti tidak

memiliki pasangan dan 79% wanita lansia di komunitas memiliki pasangan. Kepuasan mengenai

kehidupan seksual wanita di panti lebih baik meskipun mereka tidak memiliki pasangan hidup.

Masalah kehidupan seksual pada wanita lansia di komunitas dapat dikaitkan dengan menopause yang

diikuti penurunan fungsi seksual. Biasanya individu dengan usia 50 tahun ke atas mengalami

kerusakan biologis parsial yang meningkatkan ketidakmampuan seksual total akibat berbagai stresor

budaya, intrapsikis dan hubungan (Jhonson, dalam Stanley & Beare, 2007). Masalah seksual yang

dirasa tabu untuk dibicarakan terutama pada lansia, menyebabkan lansia tidak dapat mengatasi

masalah yang dialaminya.

Perbedaan Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti Berdasarkan Lingkungan

Terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau dari lingkungan pada wanita lansia di

komunitas dan panti. Wanita lansia komunitas memiliki rata-rata skor domain lingkungan yang lebih

tinggi dari wanita lansia di panti. Hal ini dapat dikaitkan dengan perbedaan tingkat pendidikan wanita

lansia panti dan komunitas yang akan berpengaruh terhadap perekonomian mereka. Tingkat

pendidikan yang paling banyak dicapai oleh wanita lansia di komunitas adalah SMA dan tingkat

pendidikan terbanyak di panti adalah SD.

Tingkat pendidikan pada lansia dipengaruhi oleh ketersediaan dana pendidikan dan sarana

pendidikan masa lalu. Kelemahan ekonomi memiliki andil yang besar terhadap tingkat pendidikan

seseorang, karena pada zaman dahulu masih belum banyak dana bantuan pendidikan dan mereka

cenderung lebih mendahulukan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Meskipun pada awal kemerdekaan

sudah didirikan beberapa pendidikan tinggi seperti UGM dan UI, namun sistem pendidikan pada saat

itu masih dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat kelas (Syaif,

2009). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan, tingkat pendapatan lansia, dan

bagaimana manajemen keuangan lansia di masa tuanya. Penelitian Aini (2008) menyatakan terdapat

hubungan positif antara tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan produktivitas kerja dengan hasil

uji F yang memperoleh F hitung > F tabel (54,879 > 2,84) pada signifikansi 5%.

Tingkat pendidikan dan perekonomian tersebut, memegang peranan penting dalam

pemenuhan kebutuhan akan lingkungan yang layak dan memadai, di antaranya tersedianya tempat

tinggal yang bersih dan sehat, ketersediaan informasi, transportasi dan keterjangkauan terhadap

pelayanan kesehatan. Berbeda halnya dengan wanita lansia panti dengan tingkat pendidikan dan

perekonomian yang relatif rendah, yang membuat para lansia tersebut memiliki keterbatasan terhadap

berbagai faktor yang dapat meningkatkan kualitas lingkungannya, baik dari segi informasi,

transportasi, dan pengadaan lingkungan yang bersih dan sehat.

Page 14: 621-914-1-PB

Kepuasan terhadap keamanan dan kenyamanan terhadap tempat tinggal lebih tinggi pada

responden di panti dari pada responden di komunitas. Kurangnya keamanan yang dirasakan oleh

wanita lansia di komunitas, dapat diakibatkan oleh adanya kekerasan secara fisik maupun psikologis

yang dilakukan oleh anggota keluarga atau care giver. Sedangkan dalam bidang ekonomi dan

informasi, kepuasan wanita lansia di komunitas cenderung lebih baik dari pada di panti. Lebih

tingginya tingkat perekonomian wanita lansia di komunitas menyebabkan kepuasannya secara materiil

dan pemenuhan kebutuhan akan informasi yang lebih baik. Selain itu kesempatan wanita lansia di

komunitas untuk mendapatkan hiburan dan berekreasi juga akan lebih baik lagi.

Perbedaan Tingkat Kualitas Hidup Wanita Lansia Di Komunitas Dan Panti

Hasil uji analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup wanita

lansia di komunitas dan panti. Pernyataan kepuasan tentang hampir seluruh aspek kehidupan pada

kedua kelompok lansia tersebut dapat dikaitkan dengan tugas perkembangan lansia. Desmita (2009)

menyatakan bahwa berdasarkan teori psikososial Erickson, lansia berada pada tahap integritas yang

merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah mencapai penyesuaian diri terhadap berbagai

keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Crain (2007) menyatakan bahwa sesuai tugas

perkembangan Havighurst, lansia berada pada fase later maturity yang berarti mampu menyesuaikan

diri terhadap penurunan kekuatan fisik, pensiun, penurunan income, kematian pasangan, berkumpul

dengan orang yang seumur dan mempertahankan kepuasan hidup. Kualitas hidup yang lebih

menekankan bagaimana persepsi terkait dengan kepuasan terhadap posisi dan keadaan di dalam

hidupnya, cenderung dipengaruhi oleh sejauh mana tercapainya tugas perkembangan dalam

kehidupan. Penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan aspek kehidupan menyebabkan wanita

lansia tersebut mampu menerima keadaanya. Penerimaan tersebut akan memberikan pengaruh positif

terhadap kualitas hidup lansia di komunitas dan panti.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) proses penuaan yang menyebabkan

perubahan fisik dialami oleh semua lansia, meskipun masalah kesehatan yang muncul akan berbeda-

beda pada setiap individu. Dengan usia yang cenderung sama, yaitu didominasi wanita lansia pada

kelompok umur 60-74, maka masalah kesehatan fisik yang dialami responden cenderung sama.

Sehingga tidak ada perbedaan kesehatan fisik wanita lansia di komunitas dan di panti; 2) lansia berada

pada tahap integritas. Tahap integritas merupakan tahap dimana seseorang mencapai penyesuaian diri

terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya. Dengan terpenuhinya tahapan integritas, maka

kepuasan secara psikologis akan dicapai oleh kedua kelompok wanita lansia tersebut, sehingga tidak

ada perbedaan kualitas psikologis wanita lansia di komunitas dan panti; 3) masing-masing tempat

tinggal memberikan dukungan yang cukup bagi lansia, baik dari keluarga, pasangan hidup maupun

Page 15: 621-914-1-PB

teman sebaya. Lansia yang tinggal di panti werdha memiliki teman-teman sebaya sebagai pemberi

dukungan sosial. Selain itu, mereka juga mendapat kunjungan dari keluarganya. Sedangkan lansia

yang tinggal di rumah memiliki kedekatan dengan keluarga dimana keluarga merupakan sumber

dukungan emosional. Dengan demikian tidak ada perbedaan kualitas hubungan sosial wanita lansia di

komunitas dan panti; 4) wanita lansia komunitas yang memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi yang

relatif lebih baik dari wanita lansia di panti. Sehingga responden di komunitas memiliki peluang yang

lebih besar untuk memenuhi kebutuhannya terhadap lingkungan yang lebih baik dari pada responden

di panti. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada perbedaan kualitas lingkungan wanita lansia di

komunitas dan panti; 5) meskipun dari aspek lingkungan terdapat perbedaan signifikan antara wanita

lansia di komunitas dan panti, namun kualitas hidup yang berarti kepuasan individu terhadap

hidupnya, lebih dipengaruhi oleh psikologi perkembangan lansia. Keberhasilan lansia untuk

menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya, menyebabkan

kedua kelompok lansia tersebut melakukan penerimaan terhadap keadaan dirinya dan mencapai

kepuasan terhadap hidupnya. Dengan demikian tidak ada perbedaan tingkat kualitas hidup wanita

lansia di komunitas dan panti.

Saran yang dapat direkomendasikan meliputi: 1) meningkatkan produktifitas wanita lansia di

panti dan komunitas dengan menerapkan terapi okupasi berupa ketrampilan yang dapat meningkatkan

perekonomian lansia. Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berupa usaha mikro yang diterapkan dalam

kelompok-kelompok lansia di komunitas maupun panti. Modal untuk mendirikan usaha mikro dapat

diperoleh dari dana pinjaman dari lembaga keuangan seperti bank, koperasi maupun dana bantuan dari

pemerintah. Dengan meningkatkan produktifitasnya, wanita lansia diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya sehingga kualitas hidup yang lebih baik dapat tercapai; 2) meningkatkan akses

lansia terhadap pelayanan kesehatan dengan cara dibentuknya kelompok-kelompok lansia, terutama di

komunitas, guna pemenuhan kebutuhan akan dana kesehatan. Dana kesehatan diperoleh dari iuran

rutin dari anggotanya, yang nantinya akan dipergunakan oleh anggota kelompok itu sendiri.

Meningkatnya keterjangkauan akan pelayanan kesehatan diharapkan akan meningkatkan kualitas

hidup lansia; 3) meningkatkan informasi dan pengetahuan lansia mengenai kesadaran dirinya

mengenai proses penuaan yang mereka alami, perilaku sehat bagi lansia dan manajemen keuangan

yang dapat diberikan pada kelompok lansia dan pralansia yang berada di komunitas dan panti.

Kegiatan yang dapat dilakukan dapat berupa penyuluhan dan konseling. Dengan informasi dan

pengetahuan yang cukup diharapkan para pralansia dapat mempersiapkan hari tuanya dengan lebih

baik dan bagi lansia dapat mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Pemerintah dapat berpartisipasi

dengan cara mengatur kebijakan mengenai program-program yang dapat meningkatkan pengetahuan

lansia; 4) penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih spesifik lagi dalam menentukan batasan

karakteristik responden dengan jumlah sampel yang lebih besar dan homogen, sehingga hasil

penelitian lebih akurat.

Page 16: 621-914-1-PB

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. 2008. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pendapatan, Dan Pengalaman Kerja Terhadap

Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Pada Perusahaan Kecap Udang Purwodadi. Skripsi

Thesis. Universitas Muhammadiyah Surakarta. (Online) http://

etd.eprints.ums.ac.id/cgi/search. Diakses pada 9 Januari 2011.

Calhoun & Acocella. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi 3.

Semarang: IKIP Semarang Press.

Crain, W. 2007. Teori Perkembangan: Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Darmojo & Martono. 2006. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Dragomirecka & Selepova. 2002. Do Czech Elderly Women Hhave Lower Quality Of Life Than

Men? Results Of A Pilot Study. (Online)

http://books.google.co.id/books?id=2SXuXnlz3PgC&lpg=PA161&ots=KEPkaLMblo&dq=Dr

agomirecka%2C%20Selepova&pg=PA161#v=onepage&q=Dragomirecka,%20Selepova&f=fa

lse. Diakses pada 12 Desember 2010.

Elvinia. 2006. Quality Of Life Pada Lanjut Usia Studi Perbandingan Pada Janda Atau Duda Lansia

Antara Yang Tinggal Di Rumah Bersama Keluarga Dengan Yang Tinggal Di Panti Werdha.

Jakarta: Unika Atmaja. (Online) http://lib.atmajaya.ac.id/. Diakses pada 9 Januari 2011

Farida, U. 2006. Identifikasi Kualitas Dan Kuantitas Tidur Pada Lansia Bekerja Dan Tidak bekerja.

Karya Tulis Ilmiah. Diploma III Keperawatan Universitas Muhamadiyah Malang. (Online)

http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/187/jiptummpp-gdl-s1-2007-umifarida0-9303-

PENDAHUL-N.pdf. Diakses pada 9 Januari 2011.

Greenfield, et al. 2009. Do Formal Religious Participation And Spiritual Perceptions Have

Independent Linkages With Diverse Dimensions Of Psychological Well-Being?. J Health Soc

Behav. 2009 June; 50(2): 196-212.

Nurwinaria, S. 2007. Perbedaan Tingkat Gangguan Kognitif Antara Lansia Yang Tinggal Bersama

Keluarga Di Desa Amadanom Dampit Dengan Yang Di Panti Werdha Tresno Mukti Turen.

Tugas Akhir. Jurusan Keperawatan, Universitas Brawijaya Malang.

Priambodo, G. 2010. Hubungan Antara Psikososial Dan Kemampuan Ekonomi Dengan Kepuasan

Hidup Lansia Di Desa Trosemi Kecamatan Gatak Kabupaten sukoharjo. Skripsi, Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhamadiyah Surakarta. (online) http://etd.eprints.ums.

ac.id/9475/2/j210060032.pdf. Diakses pada 12 Desember 2010.

Rahayu, S. 2009. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Kemunduran Fisik Lansia Terhadap

Tingkat Depresi Pada Lansia Di Dusun Kalitekuk Semin Wonosari Gunungkidul

Page 17: 621-914-1-PB

Yogyakarta 2008. (Online) http://skripsistikes. wordpress.com/2009/05/03/ikpiii104/. Diakses

pada 7 Desember 2010.

Rini. 2008. Pengaruh Sosialisasi (Peer Group Support) Terhadap Interaksi Sosial Lansia.

(online)http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/191829797-abs.pdf. Diakses pada 12 Januari

2011.

Risdianto. 2009. Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia Di Desa Kembang

Kuning Cepogo Boyolali. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Stanley & Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Suryadi. 2008. Model Perawatan Lansia. (Online) http://www. facebook.com/topic.php?

uid=120642680287&topic=11738. Diakses pada 9 Januari 2011.

Syaif. 2009. Sejarah Pendidikan Di Indonesia. (online) http://syaifmipa.blogspot.com/2009/12/sejarah-

pendidikan-di-indonesia.html. Diakses pada 9 Januari 2011.

WHO. 1996. The World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF. (Online)

http://www. who.int/entity/substance_abuse/research_ tools/en/indonesian_whoqol.pdf.

Diakses pada 4 Maret 2010.