6. sistem penunjang keputusan (spk) agroestat · rekayasa sistem penunjang keputusan (spk)...
TRANSCRIPT
146
6. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN (SPK) AGROESTAT
6.1 Konfigurasi Model
Rekayasa Sistem Penunjang Keputusan (SPK) Agroestat mempertimbangkan
aspek potensi sumberdaya lokal pada suatu kawasan yang telah ada (given factor)
menuju kepada tatanan ideal yang dikehendaki. Model dirancang terbuka sesuai
diagram pada Gambar 21, yang memungkinkan untuk aplikasi pada daerah otonom lain
dengan beberapa penyesuaian.
Gambar 21. Diagram Rekayasa SPK Agroestat
Cakupan dari SPK Agroestat dibatasi pada subsistem infrastruktur, yaitu tentang
perhitungan penyediaan dan pengelolaan jaringan infrastruktur, sesuai kebutuhan
(demand) dan dana tersedia pada anggaran Pemerintah Daerah (APBD). Hal ini terjadi
147
karena subsistem yang lain tentang Pewilayahan, Bisnis, Pembiayaan, dan Manajemen
merupakan bagian dari pola Agroestat yang bersifat deskriptif.
Model terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: sistem manajemen basis data, sistem
manajemen basis model, dan sistem manajemen dialog. SPK didesain dalam bentuk
software dengan menggunakan program Visual Basic 6.0.
Gambar 22. Diagram Alir Deskriptif – Pemilihan Strategi.
148
6.1.1 Sistem Manajemen Basis Model
Sistem manajemen basis model, yang didukung oleh beberapa submodel,
merupakan fasilitas yang digunakan sebagai penunjang pengambilan keputusan yang
berisi formula matematis. Model-model simulasi dilakukan dalam koridor kenaikan
minimal penghasilan petani. Basis model utama terdiri dari empat model simulasi guna
pemilihan strategi dan perhitungan hubungan keterkaitan antara besarnya peningkatan
irigasi oleh Pemerintah dengan potensi peningkatan demand, yaitu:
1) Model Pemilihan Strategi
Dengan mempelajari hasil Analisis Strategi Dasar Pengembangan Agroestat, maka
diperoleh altenatif strategi internal dan eksternal yang dimasukkan sebagai data
alternatif dari database. Penilaian, penentuan prioritas dan pemilihan strategi dasar
dilakukan dengan bantuan pakar. Kriteria data yang digunakan adalah sepuluh nilai
sesuai hasil pengolahan data dari Analisis Kebutuhan. Melalui scoring (pemberian
bobot kriteria) oleh pakar, maka seluruh alternatif strategi yang disusun dapat
disimpulkan dalam urutan prioritas strategi yang direkomendasikan. Proses ini
digambarkan dalam Gambar 22.
2) Model Perubahan Demand
Model Perubahan Demand adalah bagian dari SPK Agroestat untuk menghitung
peningkatan jaringan irigasi yang diperlukan berkenaan dengan antisipasi kenaikan
demand pada tahun-tahun mendatang (Gambar 23).
3) Model Perubahan Irigasi
Tingkat harga pasar bebas sangat terpengaruh oleh besarnya pasok (supply) yang
masuk ke pasar, yang berasal dari hasil produksi budidaya. Keseimbangan besarnya
pasok terhadap tingkat permintaan (demand) menciptakan keseimbangan harga alami
pada tingkat harga yang dikehendaki.
Untuk mengurangi fluktuasi produksi, maka penanaman pada musim hujan harus
dikurangi dan sebaliknya penanaman di musim kemarau harus ditingkatkan, yaitu
tercermin dari intensitas tanam oleh petani yang sangat tergantung dari luas lahan yang
149
beririgasi. Hal ini berarti dibutuhkan peningkatan jaringan irigasi yang sebenarnya telah
ada secara fisik namun tanpa air yang disalurkan, khususnya di musim kemarau.
Peningkatan jaringan irigasi berdampak pada intensitas tanam yang secara langsung
meningkatkan hasil produksi budidaya.
Gambar 23 : Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Demand.
Model perubahan irigasi sebagai bagian dari SPK untuk menghitung kapasitas
perubahan demand yang dapat dilayani hasil dari peningkatan jaringan irigasi, untuk
150
dapat mencapai tingkat harga (stabil) yang dikehendaki. Fluktuasi produksi yang terjadi
pada periode bulanan diseimbangkan dengan pengendalian stok melalui fungsi gudang
(Gambar 24).
Gambar 24. Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Irigasi.
151
4) Model Perubahan Irigasi Terbatas
Dalam kenyataan, walaupun dapat diprediksi tingkat demand yang akan terjadi
pada tahun bersangkutan serta diketahui besarnya lahan beririgasi yang diperlukan,
namun keterbatasan biaya yang dapat disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) seringkali terjadi. Melalui proses komputasi dengan metode
regresi dapat diperoleh hasil perhitungan tentang intensitas tanam yang dapat dicapai
serta tingkat harga yang akan terjadi. Melalui proses interaksi dengan pemasukan input
yang beragam dapat ditentukan tingkat/besarnya pasok (supply) yang masuk ke pasar,
yang berasal dari hasil produksi budidaya. Model memberi keleluasaan dengan
beberapa variabel yaitu tingkat permintaan (demand) dan luas lahan beririgasi yang
akan ditambahkan.
Model Perubahan Irigasi Terbatas sebagai bagian dari SPK untuk menghitung
tingkat harga yang terjadi akibat peningkatan jaringan irigasi yang ditentukan
berdasarkan ketersediaan dana pembangunan Pemerintah Daerah (Gambar 25).
6.1.2 Sistem Manajemen Basis Data
Sistem manajemen basis data merupakan komponen model pengelola data
meliputi fasilitas input, edit, hapus dan tampilan data. Model ini mencakup lima bagian
penanganan data, yaitu: basis data tata guna lahan dan infrastruktur, data perekonomian
wilayah, data potensi wilayah, data supply dan nilai tambah dalam agribisnis, dan data
kelembagaan.
6.1.3 Sistem Pengolahan Data Terpusat
Sistem pengolahan data terpusat berfungsi memadukan sistem manajemen basis
data dengan sistem manajemen basis model dalam sistem terintegrasi. Sistem
manajemen basis data dan sistem manajemen basis model bersifat komplemen dalam
sistem pengolahan data terpusat.
152
6.1.4 Sistem Manjemen Dialog
Sistem manajemen dialog adalah komponen yang dirancang untuk mengatur dan
mempermudah interaksi antara model (program komputer) dengan pengguna. Masukan
berupa parameter data dan pilihan skenario, sedangkan keluaran yang diberikan berupa
informasi dalam bentuk tabel dan pernyataan yang mudah dipahami.
Perhitungan menggunakan Metode Regresi Linear
Hasil :Perhitungan frekuensi tanam dan volume produksi budidayaTingkat keseimbangan harga yang terjadi
Selesai
Ya
Data luas lahan totalData produksi per hektarData tahunan :○ Data lahan tanam per bulan○ Data produksi per bulan○ Data harga per bulan
DATABASE
Mulai
Perhitungan dengan Metode Regresi Linear
FormulasiLuas lahan ber-irigasiFrekuensi tanam rata-rata
FungsiLuas lahan vs produksi
FungsiProduksi vs harga jual
Input manual :Prosentasi tambahan/peningkatan demand
Input manual :Prosentasi perubahan (kenaikan) keseimbangan harga per tahun
Input manual :Prosentasi tambahan jaringan irigasi - luas lahan
Anggaran Pendapatan
& BelanjaDaerah (APBD)
Keuntungan petani > 22% Tidak
Gambar 25. Diagram Alir Deskriptif – Perubahan Irigasi Terbatas.
153
6.2 Validasi Model
Model Agroestat dilengkapi dengan rekayasa Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
yang memungkinkan untuk aplikasi pada suatu daerah otonom dengan beberapa
penyesuaian sesuai karakter khusus di daerah setempat. Rekayasa dilengkapi dengan
struktur data dan variable dengan mempertimbangkan aspek potensi sumberdaya lokal
pada suatu kawasan yang telah ada (given factor) menuju kepada tatanan ideal yang
dikehendaki (Gambar 26).
Pada bab ini model yang telah diuraikan pada Bab 5 serta dilengkapi dengan
diagram alir deskriptif untuk masing-masing akan diuji (validasi) dengan data nyata
yang diperoleh dari hasil penelitian lapang. Validasi model penelitian ini dilaksanakan
untuk daerah otonom Kabupaten Brebes, dengan komoditi unggulan hortikultura. Data
yang digunakan terutama berbentuk data sekunder, dilengkapi beberapa data primer.
Analisis Model Konseptual Pola Agroestat dan rancang bangun SPK untuk pemilihan dan perencanaan
bentuk subsidi pemerintah
Struktur faktor-faktor keberhasilan
dalam pengembangan Agroestat
ValidasiModel SPK Agroestatdi Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah
Mulai
Selesai
1. Pola Rekayasa dan2. Faktor Penentu Keberhasilan
Pengembangan Agroestat
1. Teori Sistem2. Analisis Financial
Rekayasa Model SPK untuk subsidi pemerintah
(jaringan infrastruktur) dalam Pola Agroestat
1. Data kabupaten2. Analisis Financial3. Metoda Regresi
1. Dasar keterpaduan wilayah dalam tata ruang Kabupaten2. Formulasi peran pemerintah3. Struktur dan bentuk subsidi 4. Keterkaitan infrastuktur dan
penghasilan petani5. Kemandirian petani dan Lembaga
Keuangan Mikro6. Kelembagaan Badan Pengelolaan
SPK AgroestatRekayasaPola Agroestat
Gambar 26. Alur Pikir Rekayasa SPK Agroestat.
154
Dalam lingkup nasional, perimbangan supply-demand komoditi hortikultura
masih menunjukkan ketimpangan (Tabel 23), sehingga upaya peningkatan
produksi/pengadaan hortikultura merupakan upaya substitusi impor (import
substitution) yang perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal
berikut ini:
1) Kontinyuitas produksi dalam jumlah dan kualitas yang memadai.
2) Mutu yang sesuai standar konsumsi masyarakat yang hanya dapat dicapai dengan
mengurangi penggunaan pestisida, herbisida, fungisida, maupun insektisida,
sehingga sehat secara lingkungan.
3) Harga bersaing pada tingkat internasional, sehingga mampu bersaing dengan
negara-negara tropis penghasil komoditi hortikultura yang lainnya.
Tabel 23 Volume Ekspor/Impor Niaga Bawang Merah.
Tahun 2002 2003 2004
Konsumsi per kapita kilogram 2.20 2.20 2.19
Jumlah penduduk juta orang 231.40 234.90 238.45
Total konsumsi ribu ton 509.08 516.78 522.21
Jumlah produksi ribu ton 482.96 479.57 477.92
Ekspor ton 6,816 5,402 4,637
Impor ton 32,929 42,608 48,927
Net Ekspor (Impor) ton (26,113) (37,206) (44,290)
% -5.13% -7.20% -8.48% Sumber : BPS (2005) – (diolah)
Peta produksi bawang merah di Indonesia (Gambar 27) menunjukkan bahwa
pangsa produksi (1999) terbesar terletak di wilayah Brebes dan daerah sekitarnya
(48%), dimana Kabupaten Brebes sendiri menghasilkan 27.38% (atau 57.04% dari
wilayah Brebes). Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Brebes mempunyai peran
utama dalam perdagangan bawang merah di Indonesia, artinya kegagalan panen di
Brebes berakibat fatal pada volume impor yang melimpah dan sebaliknya, keberhasilan
peningkatan hasil budidaya (kualitas dan kuantitas) di Brebes mampu menangkal impor
bahkan meningkatkan ekspor bawang merah. Secara umum di Indonesia, petani-petani
155
dengan lahan sehamparan mendominasi produksi (budidaya), namun pemasaran, proses,
dan kegiatan ekspor/impor komoditi dikuasai oleh pengusaha dan perusahaan besar di
kota besar Jakarta dan Surabaya (Spencer dan Quane, 1999). Rantai usaha agroindustri
dalam alur niaga bawang merah dapat dilihat pada Tabel 18 di atas. Dapat disimpulkan
bahwa pemilihan bawang merah sebagai komoditi unggulan Kabupaten Brebes sudah
tepat karena perannya tidak terbatas pada kepentingan lokal tetapi juga regional maupun
nasional.
6.2.1 Industri Pasca Panen Bawang Merah
Industri pasca panen bawang merah merupakan peluang untuk mengalihkan
sebagian dari nilai tambah yang ada di subsektor agroindustri (industri) ke subsektor
usahatani (pertanian). Pengolahan bawang merah yang dilakukan oleh petani dengan
proses yang sederhana dan biaya investasi yang rendah memberi nilai tambah serta
peningkatan pendapatan petani secara nyata. Dalam kenyataan di lapangan, hal ini telah
diserukan oleh petugas penyuluhan namun masih sangat sedikit petani yang melakukan
diversifikasi kepada usaha industri rumah tangga. Umumnya hal ini diakibatkan oleh
tidak tersedianya modal investasi yang dibutuhkan.
Kandungan air bawang merah mencapai 80-85% menyebabkan bawang merah
bersifat bulky dan mudah rusak. Kadar air ini dapat mengalami penyusutan sekitar 10-
15% bergantung pada lamanya waktu penyimpanan. Penurunan kadar air dalam jumlah
yang lebih besar dapat terjadi bilamana bawang merah masih belum cukup matang saat
dipanen atau banyak mengalami kerusakan selama penjemuran dan pengangkutan. Oleh
karena itu bawang merah memerlukan penanganan pasca panen terutama dalam hal
pengolahannya sehingga produk bawang merah bisa didapat setiap saat dengan harga
yang stabil. Penanganan dan pengolahan pasca panen tersebut bertujuan untuk
mempertahankan mutu bawang merah sebelum dikonsumsi, dilakukan melalui
diversifikasi produk olahan (Rismunandar, 1989).
156
Propinsi %
Jawa Tengah 30.09%
Jawa Timur 28.50%
Jawa Barat 15.66%
Nusa Tenggara Barat 10.79%
Sumatera Utara 3.31%
DI Yogyakarta 3.23%
Sulawesi Selatan 2.38%
B a l i 1.64%
Sumatera Barat 1.06%
Nanggroe Aceh Darussalam 0.82%
NAD 0.82%
Sumatera Barat 1.06%
Sumatera Utara 3.31%
Jawa Barat 15.66%
Jawa Tengah 30.09% Jawa Timur
28.50%
Bali 1.67%
NTB 10.79%
DIY 3.28%
Sulsel 2.38%
Sulteng 0.58% Peta per Propinsi (2003)
48% 1.19%
1
2
3
94
7
6 5
8
12
1311
10
17
15
2014
16
19
2.35%
4.95% 22
19.65%
16.64%
2.53%
1.49%
1821
Brebes,Tegal, Slawi dan Sekitarnya
Kendal
Bandung & Garut
Pati
Nganjuk & sekitarnya
Bantul & Kulon Progo
Probolinggo & Situbondo
Pemekasan & Sampang
Peta per Kabupaten (1999)
Gambar 27. Peta Produksi Bawang Merah di Indonesia
157
Beberapa penanganan pasca panen bawang merah yang sudah dikenal masyarakat
diantaranya pengeringan umbi bawang merah dengan sinar matahari atau alat pengering
dan pengeringan irisan bawang merah dengan roasting. Pada dasarnya dalam proses
pengeringan terjadi penguapan air dengan tujuan untuk mengurangi kadar air sampai
batas terhambat atau terhentinya perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis
yang dapat menyebabkan kebusukan.
Bawang merah dapat diproses menjadi bermacam-macam produk olahan yang
dapat memperpanjang umur simpannya. Industri pengolahan bawang merah yang ada di
Kabupaten Brebes adalah:
a. Industri bawang goreng merupakan industri mikro dengan lokasi tersebar di
Kecamatan Brebes, Wanasari, Jatibarang, Bulakamba dan Kersana. Industri ini
berproduksi secara besar-besaran pada saat panen raya atau saat harga bahan baku
murah, sementara bila harga bahan baku mahal hanya untuk memenuhi pesanan
bahkan tidak berproduksi.
b. Industri acar bawang merah merupakan industri sedang berskala ekspor milik PT.
Zeta Agro yang berlokasi di Kecamatan Paguyangan, daerah Brebes Selatan.
Tidak ada keterkaitan (kerjasama) antara industri bawang goreng dengan petani
budidaya. Tampak dari kenyataan bahwa bila harga bawang merah tinggi petani lebih
suka menjual langsung kepada pengumpul/bakul. Petani biasanya meminta harga yang
tinggi pada pengusaha agroindustri bawang merah sehingga bahan baku selama ini
diperoleh dari pengumpul atau pasar.
1) Industri Bawang Merah Goreng
Bawang merah goreng merupakan salah satu bumbu yang penting untuk
melengkapi kelezatan citarasa dengan cara ditabur pada berbagai masakan tradisional
Indonesia. Bawang merah goreng juga merupakan pelengkap dalam masakan siap
santap seperti mie instan, mie goreng, dan nasi goreng.
Di Kabupaten Brebes terdapat beberapa industri bawang goreng dengan skala
industri mikro atau industri rumah tangga. Menurut catatan Dinas Perindustrian
setempat, ada 16 pengrajin usaha bawang goreng dengan produksi antara 20-600
158
kg/bulan, sedangkan total produksi di Kabupaten Brebes mencapai 4,260 kg per bulan
atau 51,120 kg per tahun.
Para pengrajin usaha bawang goreng ini mempunyai suatu (lembaga) asosiasi
yang bernama Asosiasi Pengusaha Bawang Goreng Kabupaten Brebes, namun belum
berjalan dengan efektif. Pemasaran produk dilakukan oleh masing-masing pengusaha
tanpa bantuan dari Asosiasi. Kegiatan Asosiasi selama ini hanya melakukan transfer
informasi mengenai teknologi dan harga.
Tabel 24 Komponen Biaya Industri Bawang Goreng (kapasitas 1.000 kg/bulan)
Uraian Jumlah Unit
Bahan baku utamaBawang Merah 3000 kg
Bahan baku pendukungTepung sagu 300 kgTepung beras 150 kgMinyak Goreng 200 kgMinyak Tanah 600 literPlastik kemasan & label 1 paket
Tenaga kerjaPengupasan (borongan) 3000 kgTenaga kerja pembantu 4 orang
Biaya tidak langsungTranspor 25,000 rupiah/hariListrik dan air 1,000 rupiah/hari
Biaya penyusutan alat dihitung Sumber: DPPPM Kab. Brebes (2006) – (diolah)
Sebagai gambaran, salah satu industri rumah tangga bawang goreng yang ada di
kota Brebes setiap bulan membutuhkan 3,000 kg bawang mentah yang akan diproses
menjadi 1,050 kg bawang goreng. Tenaga kerja yang digunakan hanya sebagai tenaga
pengupas dengan upah Rp.600 per kg, sedangkan pekerjaan perajangan dan
penggorengan dilakukan oleh keluarga sendiri.
Mesin untuk pembuatan bawang goreng terdiri dari mesin perajang, mesin peniris
air dan minyak dan penggorengan dengan bahan bakar minyak tanah, sedangkan
pemasaran produk dijual ke Tegal, Brebes, Slawi dengan sistem konsinyasi. Khusus
159
untuk pembeli dari daerah luar kota (Boyolali/ Pekalongan) penjualan menggunakan
sistem tunai untuk mengurangi biaya penagihan. Para pembeli dari dalam dan luar kota
datang dua minggu sekali dengan membawa barang 100-200 kg bawang goreng yang
telah dikemas dalam kemasan 1 kg dengan harga Rp.25,000 per kemasan.
Tabel 25 Investasi Mesin dan Peralatan Industri Bawang Goreng (kapasitas 1.000 kg/bulan)
Harga Total Harga PenyusutanRupiah Rupiah Tahun
MesinMesin pengiris bawang 1 buah 10,000,000 10,000,000 10Mesin sealer kemasan 1 buah 5,000,000 5,000,000 10Mesin peniris air 2 buah 5,000,000 10,000,000 10Mesin peniris minyak 2 buah 5,000,000 10,000,000 10Mesin penggorengan 2 buah 1,000,000 2,000,000 5
PeralatanSusruk 4 buah 50,000 200,000 5Serok 4 buah 100,000 400,000 5Baskom besar 4 buah 100,000 400,000 5Ember 5 buah 50,000 250,000 5Timbangan 1 buah 1,500,000 1,500,000 5Alat sortasi 2 buah 500,000 1,000,000 5Metal detektor 1 buah 25,000,000 25,000,000 10Kompor brader 2 buah 800,000 1,600,000 5
Ruang kerjaSewa bangunan 500 m2/tahun 5,000,000 5,000,000 1
Uraian Jumlah Unit
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kab. Brebes (2005) – (diolah)
a. Net Present Value (NPV)
Metoda ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang
surplus (defisit) operasional kas bersih di masa yang akan datang. Untuk menghitung
nilai sekarang tersebut harus ditentukan tingkat diskonto (discount factor) yang
relevan. Kriteria umum adalah apabila akumulasi nilai sekarang dari arus kas bersih lebih
besar di masa yang akan datang daripada nilai sekarang investasi, maka dikatakan Net
Present Value (NPV) proyek tersebut positif berarti menguntungkan (Tabel 26). Hal ini
berarti, berdasarkan kriteria NPV, industri bawang merah goreng layak untuk dijalankan,
karena akan memberikan keuntungan bagi investor.
b. Internal Rate of Return (IRR)
Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk menunjukkan tingkat
bunga yang dapat dipikul oleh proyek/investasi tertentu. Tingkat IRR yang lebih
160
besar dari tingkat suku bunga menunjukkan bahwa proyek ini dapat diterima dan
layak untuk dijalankan, karena menguntungkan (Tabel 26).
c. Net Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio)
Dengan nilai Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) lebih besar dari 1 (satu) ini
memberikan informasi bahwa proyek ini layak diterima karena menguntungkan. Net
B/C 1.282 yang diperoleh dapat diartikan bahwa tiap pengeluaran sebesar Rp. 1 akan
memberikan manfaat sebesar Rp. 1,282 (Tabel 26).
d. Break Even Point (BEP)
Break Even Point adalah kriteria yang mengukur besar volume produk yang harus
diproduksi atau dijual, hingga dicapai suatu titik di mana tingkat keuntungan dan
biaya adalah sama. Perincian mengenai analisis Break Even Point dari industri bawang
merah goreng pada berbagai kapasitas dapat dilihat pada Tabel 26.
e. Payback Period (PBP)
Metoda Payback Period memberikan gambaran pada investor seberapa cepat proyek ini
mengembalikan investasi yang tertanam. Satuan yang digunakan adalah waktu (tahun).
Berdasarkan kriteria kelayakan investasi ini, dapat dilihat bahwa dari sisi Payback Period
industri bawang merah goreng adalah layak (Tabel 26).
Apabila industri bawang merah goreng ini direalisasikan maka petani bawang merah
akan terjamin harga jualnya dan hasil panennya. Hasil perhitungan PBP pada berbagai
kapasitas dapat dilihat pada Tabel 26.
2) Acar Bawang Merah
Di Kabupaten Brebes terdapat industri acar bawang merah yang merupakan
industri sedang berskala ekspor milik PT. Zeta Agro yang terletak di Kecamatan
Paguyangan, daerah Brebes Selatan. Produk acar bawang merah ini merupakan usaha
agroindustri yang menguntungkan karena biaya produksinya tidak mahal, dan
penampilan produk cukup menarik.
161
Tabel 26 Hasil analisis kelayakan industri bawang goreng pada berbagai kapasitas
Kriteria Investasi
Kapasitas (kg/hari)
NPV (Rp)
IRR (%)
PBP (tahun)
BEP (kg)
ROI (%) NET B/C
200 196,637,335 35.89% 2.73 2,055.42 8.62% 1.109
250 414,023,893 47.09% 2.25 1,823.29 12.30% 1.155
300 631,410,450 54.86% 1.99 1,779.24 14.95% 1.189
350 848,797,008 60.72% 1.83 1,802.72 16.94% 1.214
400 1,066,183,566 65.33% 1.72 1,858.07 18.50% 1.234
450 1,283,570,124 69.08% 1.64 1,930.96 19.76% 1.249
500 1,500,956,681 72.20% 1.57 2,014.56 20.78% 1.262
550 1,718,343,239 74.83% 1.53 2,105.15 21.64% 1.273
600 1,935,729,797 77.08% 1.49 2,200.58 22.37% 1.282
Asumsi : kenaikan biaya variabel 15% per tahun dan kenaikan harga jual 10% per tahun
3) Oleoresin Bawang Merah
Pembuatan oleoresin bawang merah yang berasal dari bawang merah segar
merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kualitas aroma dan memperpanjang
daya simpan serta lebih menguntungkan karena lebih mudah dan praktis dalam
pengemasan dan penyimpanan. Oleoresin merupakan ekstrak kental yang mengandung
resin dan minyak atsiri ysng dapat dihasilkan melalui ekstraksi dengan pelarut dan
mengandung semua senyawa penyusun flavor yang larut dalam pelarut organik khusus.
Pelarut ini dapat dipisahkan dengan cara diuapkan.
4) Pasta Bawang Merah
Produk pasta bawang merah dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dengan
pengemasan yang lebih praktis dan daya simpan yang cukup lama. Menurut Hanas
(1993), masalah utama yang dihadapi oleh produk yang mengandung lemak adalah
terjadinya proses oksidasi, karena hal ini dapat menyebabkan perubahan pada rasa,
aroma, warna, dan kekentalan tekstur produk. Untuk mencegah terjadinya oksidasi pada
produk pasta bawang merah maka perlu ditambahkan bahan antioksidan.
162
5) Tepung Bawang Merah
Salah satu pemanfaatan bawang merah yang paling umum adalah berbentuk
bubuk atau tepung yang diperoleh dengan cara penghancuran bawang merah kering.
Selain itu bubuk bawang merah dapat juga dibuat dengan mengeringkan ekstrak bawang
(Reinneccius, 1994). Tepung bawang merah merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan daya simpan bawang merah, sehingga proses pengemasan dan
penyimpanan menjadi lebih mudah dan praktis.
6.2.2 Tingkat Laba Usaha
1) Metode Penilaian Tingkat Laba Usaha
Penilaian hasil usaha petani biasanya dilakukan secara sederhana sehingga mudah
untuk dimengerti oleh petani dengan metode cash-basis. Analisis keuangan dan
ekonomi menggunakan asumsi bahwa harga merupakan gambaran nilai (value).
Posisi distribusi tingkat keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku
utama dalam agribisnis bawang merah di Kabupaten Brebes saat ini digambarkan dalam
Tabel 27 yang menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Petani benih telah mendapatkan tingkat keuntungan yang memadai yaitu 22%.
b. Petani budidaya merupakan pelaku dengan tingkat keuntungan yang terendah (10%)
dengan resiko yang terbesar, selain pengorbanan dan upaya fisik yang berat dan
kurun waktu yang panjang.
c. Tengkulak memperoleh tingkat keuntungan yang besar (29%) dan Pedagang Besar
(7%) atau Industri (16%) dirasa sangat memadai.
Pengaturan pasar melalui subsidi secara tidak langsung dari Pemerintah
Kabupaten, berupa peningkatan jaringan irigasi maupun pengendalian tingkat pasokan
pada pasar harus diupayakan untuk perolehan tingkat keuntungan petani menjadi setara
dengan petani benih sekurang-kurangnya sebesar 22%.
Variabel penting yang diperhitungkan dan harus diupayakan adalah harga jual,
Masyarakat konsumen (pembeli non lembaga) di Indonesia sangat mengutamakan harga
dari pada kualitas, hanya 5% pembeli yang menilai kualitas lebih daripada harga
(Spencer dan Quane, 1999).
163
Tabel 27 Struktur Distribusi Keuntungan dalam Rantai Agribisnis Bawang Merah
Uraian Benih Budidaya Tengkulak Pedagang Industri
Jumlah produksi (kg) 4,500 25,000 25,000 22,500 22,500
Penyusutan (kg) 500 2,500 1,125Produksi bersih (kg) 4,000 25,000 22,500 21,375
Harga jual per kg (Rupiah) 8,000 3,275 5,300 6,000Hasil penjualan (Rupiah) 32,000,000 81,875,000 119,250,000 128,250,000 201,250,000
Biaya Produksi 26,286,800 74,599,000 82,955,000 122,082,000
Retribusi 200,000 27,000Biaya Bongkar 816,000
Biaya Angkut 1,200,000 2,465,000Biaya Produksi Total 26,286,800 74,599,000 85,171,000 119,590,000 173,262,500
Laba (Rupiah) 5,713,200 7,276,000 34,079,000 8,660,000 27,987,50022% 10% 29% 7% 16%
Sumber : DPKKT, DPPPM Kab. Brebes (2006) – (diolah)
Analisis Kelayakan Budidaya Bawang Merah
Seperti hal nya pada industri bawang merah goreng, kriteria penilaian investasi
yang dipakai dalam penentuan kelayakan budidaya bawang merah adalah NPV, IRR,
PBP, Net B/C Ratio, ROI dan BEP. Hasil perhitungan biaya produksi dan hasil
penjualan bawang merah selama sepuluh tahun dengan peningkatan frekuensi tanam
pada tahun keenam dapat dilihat pada Tabel 28.
Dari perhitungan arus kas selanjutnya dilakukan analisis finansial untuk
mengetahui kelayakan usaha budidaya tersebut. Asumsi yang digunakan untuk
penentuan kelayakan usaha ini adalah perbandingan modal sendiri dengan pinjaman
sebesar 30:70 (dalam prosentasi). Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian lapang
yang menyatakan petani budidaya masih menggunakan modal pinjaman (Tabel 29).
Berdasarkan hasil analisis, usaha budidaya bawang merah selama sepuluh tahun
ke depan akan memberikan keuntungan bagi petani. Hal ini dapat dilihat dari nilai NPV
yang positif, IRR lebih besar dari bunga bank yang berlaku dan PBP yang cukup
singkat. B/C rasio menghasilkan nilai 1.08, ini artinya setiap biaya yang dikeluarkan
oleh petani sebesar Rp. 1.00 akan memberikan manfaat sebesar Rp.1.08.
164
Tabel 28 Rekapitulasi Perhitungan Usaha Budidaya Bawang Merah
Tahun ke -
Frekuensi tanam (kali/th)
Biaya produksi (Rp/th)
Hasil produksi
(kg/th)
Hasil penjualan
(Rp/th)
1 2.00 81,499,910 25,000 95,625,000
2 2.00 90,347,828 25,000 105,187,500
3 2.00 100,772,546 25,000 115,706,250
4 2.00 113,010,584 25,000 127,276,875
5 2.00 127,333,940 25,000 140,004,563
6 3.00 214,533,368 37,500 231,007,528
7 3.00 246,248,448 37,500 254,108,281
8 3.00 266,066,752 37,500 279,519,109
9 3.00 288,857,803 37,500 307,471,020
10 3.00 315,067,511 37,500 338,218,122 Asumsi : kenaikan biaya variabel 15% per tahun dan kenaikan harga jual 10% per tahun
Tabel 29 Hasil Analisis Finansial Usaha Tani Bawang Merah
Input Bunga bank Modal sendiri Pinjaman
18 %30%70%
Output NPV (Rp) IRR (%) PBP (tahun) B/C Rasio ROI (%) BEP (kg produksi)
76,547,018.1444.872.781.087.55
8,474
2) Perkembangan luas sawah, produksi budidaya, dan harga jual
Luas lahan bawang merah berfluktuasi dari bulan ke bulan, sesuai dengan musim
tanamnya, sebagaimana tampak pada Gambar 28. Oleh karena itu pula maka produksi
dan harga bawang merah juga berfluktuasi seperti pada Gambar 29 dan Gambar 30.
Data luas sawah budidaya di Kabupaten Brebes saat ini adalah sebagai berikut:
Total luas sawah budidaya (a) 9,502 hektar Luas sawah beririgasi (b0) 6,405 hektar Sawah yang perlu peningkatan 3,097 hektar
165
Frekuensi tanam (f) kali / tahun Saat ini 2.35 kali / tahun Maksimum 3.00 kali / tahun
Luas panen per tahun (saat ini) (c) 22,313 hektar Luas lahan dengan irigasi tambahan (b1) sesuai program hektar
Dari data di atas dimana total luas sawah budidaya (a) = 9,502 hektar (angka tetap) dan
frekuensi tanam (f) ditetapkan maksimum = 3.00 maka dapat dihitung keterkaitan
peningkatan jaringan irigasi terhadap frekuensi tanam dalam rumus sebagai berikut:
(b0 + b1) = a (1)
c = 2.a = 2 ((b0 + b1) (2)
sehingga:
abbaf
10 22 ++= (3)
dimana : a = total luas lahan (hektar) b0 = luas lahan dengan irigasi yang telah ada (hektar) b1 = luas lahan dengan irigasi tambahan (hektar) f = faktor frekuensi tanam
-1,000
2,0003,0004,000
5,0006,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
bulan
hekt
ar
2003
2004
2005
Gambar 28. Grafik Luas Lahan Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 – 2005)
3) Keterkaitan Luas Lahan, Produksi Budidaya, dan Harga Jual
Keterkaitan antara luas lahan tanam, besarnya produksi, dan harga pasar bawang
merah yang terjadi, diambil dari data tahun 2003 – 2005 tampak dalam Tabel 32. Fungsi
keterkaitan luas lahan terhadap produksi (Gambar 31) dan fungsi keterkaitan antara
166
produksi dengan harga (Gambar 32) dapat diformulasi dengan program Curve Expert
1.3 sebagai berikut:
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
bulan
ton
2003
2004
2005
Gambar 29. Grafik Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 – 2005)
-2,0004,0006,0008,000
10,00012,00014,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
bulan
rupi
ah
2003
2004
2005
Gambar 30. Grafik Fluktuasi Harga Bawang Merah di Kabupaten Brebes (2003 – 2005)
Luas lahan (hektar)
Prod
uksi
(ton)
22.1 891.3 1760.4 2629.6 3498.7 4367.9 5237.0143.70
7781.50
15419.30
23057.10
30694.90
38332.70
45970.50
Gambar 31. Keterkaitan antara Luas Lahan dengan Produksi Bawang Merah.
Linear Fit :
a = -31.275b = 7.589
bxay +=
σ = 3281.198, r = 0.945
167
Harga (rupiah)
Prod
uksi
(ton
)
95.0 2382.5 4670.0 6957.5 9245.0 11532.5 13820.0143.70
7781.50
15419.30
23057.10
30694.90
38332.70
45970.50
Gambar 32. Keterkaitan antara Produksi dengan Harga Bawang Merah (2003 – 2005).
Besarnya prosentasi peningkatan jaringan irigasi, yang kemudian bisa
diterjemahkan dalam luas lahan beririgasi tambahan yang dilaksanakan memberikan
dampak terukur bagi besarnya pasokan ke pasar yang tersedia serta harga yang terjadi.
Karena penambahan pasokan selalu berakibat pada penurunan harga mengikuti fungsi
hiperbolis.
4) Peran Gudang dalam Mengatasi Fluktuasi Produksi
Perubahan jumlah produksi menurun tajam pada musim kemarau dan meningkat
pada musim penghujan (Gambar 29 dan Tabel 32). Hal itu disebabkan terutama pada
ketergantungan petani terhadap pengairan asal hujan, karena tidak cukup tersedianya
jaringan irigasi. Dengan adanya peningkatan jaringan irigasi, maka diharapkan fluktuasi
tidak tajam, namun harus dipahami adanya fluktuasi oleh sebab-sebab yang lain. Oleh
karena itu tetap diperlukan penyediaan gudang dalam jumlah yang cukup untuk
menghindari terjadinya pasokan yang berlebihan (over supply) yang berakibat fluktuasi
harga jual.
Pada saat ini telah tersedia sebanyak 12 buah gudang di Kabupaten Brebes yang
tersebar pada sentra-sentra produksi. Namun gudang yang ada ini belum dimanfaatkan
secara optimum, sehingga perlu diadakan evaluasi, sosialiasai, dan penyederhanaan
penggunaan gudang oleh masyarakat petani.
MMF Model :
a = 53053.182b = 848595.090c = 335.507d = 1.794
d
d
xbcxaby
++
=
σ = 3941.292. r = 0.926
168
Tabel 30 Profil Kabupaten Brebes
Pendapatanper Kapita
Rupiah Luas Jumlah Total Per km2 Petani Buruh tani Non SD SD SLTP SLTA SarjanaHa Desa
Brebes 1,031,121 8,230 23 155,550 1,890 18,051 31,931 25% 36% 16% 18% 5%
Jatibarang 1,271,680 3,348 22 79,871 2,386 9,188 15,224 26% 46% 17% 10% 2%
Songgom 597,973 5,072 10 73,474 1,449 21,764 26,426 35% 39% 13% 11% 2%
Wanasari 660,770 7,226 20 132,956 1,840 22,218 31,983 33% 44% 12% 9% 2%
Bulukamba 890,770 10,155 19 156,055 1,537 27,750 65,783 23% 49% 15% 12% 1%Tanjung 1,374,874 6,819 18 90,967 1,334 15,942 24,918 41% 39% 12% 7% 1%
Losari 728,335 8,943 22 122,422 1,369 15,671 33,921 31% 47% 13% 8% 1%
Kersana 481,595 2,523 13 58,766 2,329 7,379 21,362 35% 43% 13% 7% 2%
Banjarharjo 766,705 14,025 25 115,464 823 26,139 26,867 20% 48% 26% 5% 1%
Ketanggungan 1,026,214 14,907 21 130,540 276 31,850 30,040 34% 48% 10% 6% 1%
Larangan 711,408 16,468 11 135,864 825 33,391 31,850 37% 45% 12% 5% 1%
Tonjong 1,008,900 8,126 14 68,354 841 9,604 17,391 31% 41% 18% 9% 2%Sirampog 1,035,135 6,703 13 60,732 906 11,573 15,713 35% 41% 14% 8% 2%
Paguyangan 1,584,359 10,494 12 91,841 875 12,212 20,514 33% 44% 14% 8% 1%
Bumiayu 1,414,546 7,369 15 99,947 1,356 13,889 13,504 19% 57% 12% 9% 2%
Bantarkawung 887,800 20,500 18 91,609 447 25,389 21,360 18% 67% 8% 5% 1%
Salem 1,260,391 15,209 21 55,512 365 13,763 8,161 27% 56% 10% 6% 2%
PendidikanKecamatan Jumlah Penduduk PekerjaanPemerintahan Kependudukan dan Pendidikan
169
Sebagai gambaran dari kondisi gudang (tipikal) yang telah ada sekarang serta
kebutuhan tambahan gudang dapat digambarkan dalam Tabel 31. Pengendalikan tingkat
pasokan hasil budidaya masih dibutuhkan minimal 6 buah gudang tambahan. Tingkat
penggunaan dilaksanakan secara bertahap, diawali dengan optimasi penggunaan 12
buah gudang yang telah tersedia. Tahap selanjutnya disesuaikan dengan perkembangan
kesadaran petani terhadap Agroestat dengan penambahan maksimal 61 buah sampai
secara keseluruhan berjumlah 73 buah gudang.
Tabel 31 Perhitungan Kebutuhan Fasilitas Gudang Bawang Merah
Sumber: DPKKT Kab. Brebes (2005) – (diolah)
6.2.3 Model Perubahan Demand
Model perubahan demand dibangun sebagai bagian dari SPK Agroestat bertitik
tolak dari antisipasi kenaikan demand pada tingkat tertentu pada tahun yang
bersangkutan yang dikaitkan dengan peningkatan jaringan irigasi yang diperlukan untuk
dapat mencapai hasil produksi yang dibutuhkan. Model menggunakan data dan
persamaan yang telah dikembangkan pada uraian di atas dengan alur pemikiran sistem
sebagaimana dicantumkan pada Gambar 23, sebagai berikut:
1) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem
Manajemen Basis Data (Database).
2) Pengguna memasukkan melalui mekanisme input manual tentang perkiraan
perubahan demand pada tahun mendatang, bisa dalam prosentasi (%) atau angka.
Jumlah Satuan
Produksi rata-rata 13,123 ton / bulanUsia simpan 3 bulanRasio penyimpanan 25%kapasitas gudang dibutuhkan
minimal 1,094 tonmaksimal 4,374 ton
Gudang yang ada 12 buahKapasitas gudang yang ada 60 ton/buah
720 ton totalKebutuhan gudang tambahan
minimal 6 buahmaksimal 61 buah
Produksi Budidaya (2003 - 2005)
170
3) Dari proses akan diketahui frekuensi tanam, volume produksi budidaya, serta tingkat
keseimbangan harga jual bawang merah yang terjadi.
4) Hasil proses diuji dengan tingkat keuntungan petani budidaya yang harus mencapai
sama dengan atau lebih besar dari 22%. Bila hal ini tidak dapat dicapai, maka proses
akan diulang dengan input manual yang lain.
Berdasarkan asumsi dan kondisi Kabupaten Brebes serta perkiraan perubahan
demand sebesar 10% per tahun maka kebutuhan peningkatan jaringan irigasi masing-
masing tahun sebagaimana tampak dalam Tabel 33. Dengan demikian, pengaruh lebih
lanjut terhadap penghasilan petani sebagaimana tampak pada Tabel 35, sebagai berikut :
1) Nilai keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.13,886,086 meningkat menjadi
Rp.23,249,673 per tahun per hektar pada tahun ke empat atau setara dengan
peningkatan rata-rata sebesar 13.79% per tahun.
2) Hal di atas dicapai karena harga jual bawang merah dapat ditingkatkan melalui
pengendalian produksi hasil budidaya, dari Rp.3,825.59 menjadi Rp.4,650.03 pada
tahun ke empat.
6.2.4 Model Perubahan Irigasi
Model perubahan irigasi dibangun sebagai bagian dari SPK Agroestat dengan
mengkaitkan hasil peningkatan jaringan irigasi (tertentu) untuk mengantisipasi kenaikan
demand yang dapat ditampung pada tahun yang bersangkutan. Model ini menggunakan
data dan formula yang telah dikembangkan pada uraian di atas.
Alur pemikiran sistem berlangsung sebagaimana dicantumkan pada Gambar 24
sebagai berikut:
1) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem
Manajemen Basis Data (Database).
2) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem
Manajemen Basis Data (Database).
3) Pengguna memasukkan melalui mekanisme input manual tentang tambahan
peningkatan jaringan irigasi, dalam prosentasi (%) atau angka, yang akan
dilaksanakan pada tahun mendatang sesuai dengan perkiraan perubahan demand.
171
Tabel 32 Daftar Luas Lahan, Produksi, dan Harga Bawang Merah 2003 – 2005
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Luas lahan (hektar)2003 904 609 269 3,021 4,781 1,845 1,688 362 542 1,729 2,195 2,367 2004 1,162 1,083 505 4,289 2,277 2,344 1,116 221 831 721 2,867 2,364 2005 628 424 1,077 3,619 2,942 2,022 2,222 335 1,133 3,605 3,285 1,021
Produksi (ton)2003 6,533 3,961 1,458 19,518 41,922 14,187 13,663 2,355 3,721 6,998 17,305 24,882 2004 9,406 7,890 3,496 27,711 18,949 19,507 9,033 1,437 5,705 2,605 22,603 24,850 2005 4,539 2,758 6,538 23,382 24,483 16,827 19,465 2,179 8,712 16,637 27,288 9,917
Harga (rupiah)2003 7,500 11,500 12,250 3,000 950 3,500 3,500 12,250 11,500 4,400 3,300 2,750 2004 4,000 6,500 11,500 2,000 3,000 3,000 4,000 12,250 8,500 12,650 2,750 2,750 2005 9,500 12,250 7,500 2,500 2,500 3,500 3,000 12,250 5,500 2,750 2,200 4,400
Sumber : DPKKT Kab. Brebes (2006)
172
Tabel 33 Perhitungan Kebutuhan Luas Lahan dengan Perubahan Demand Bawang Merah sebesar 10% per tahun
Luas Lahan Sawah Frekuensi Proyeksi Tambahan Luas Tahun Irigasi Non-Irigasi Tanam Perubahan Demand Lahan Dibutuhkan Akum
hektar hektar % ton / tahun hektar % hektar
saat ini 5.603,35 3.899,14 2,1793 156.782
1 6.636,34 2.866,15 2,3968 10,00% 172.460 1.033 18,44% 1.033
2 7.772,62 1.729,87 2,6359 10,00% 189.706 1.136 17,12% 2.169
3 9.022,54 479,95 2,8990 10,00% 208.677 1.250 16,08% 3.419
4 9.502,49 0,00 3,0000 3,49% 215.961 480 5,32% 3.899
Tabel 34 Perhitungan Demand Bawang Merah melalui Peningkatan Luas Lahan sebesar 10% per tahun
Luas Lahan Sawah Frekuensi Perubahan Produksi Tahun Irigasi Non-Irigasi Tanam
Perubahan Irigasi Produksi Tambahan Akum
hektar hektar % hektar ton / tahun ton % ton
saat ini 5.603,35 3.899,14 2,1793 156782
1 6.163,69 3.338,80 2,2973 10,00% 560,34 165.287 8.505 5,42% 8.505
2 6.780,06 2.722,43 2,4270 10,00% 616,37 174.641 9.355 11,39% 17.859
3 7.458,06 2.044,43 2,5697 10,00% 678,01 184.932 10.290 17,95% 28.150
4 8.203,87 1.298,62 2,7267 10,00% 745,81 196.251 11.320 25,17% 39.469
5 9024,25 478,24 2,8993 10,00% 820,39 208.703 12.451 33,12% 51.921
6 9502,49 0,00 3,0000 5,30% 478,24 215.961 7.259 0,00% 59.179
173
Tabel 35 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (1)
Rupiah/tahun kenaikan
Saat ini 3,825.59 16,499 13,886,086
1 4,016.87 18,149 16,038,430 15.5%
2 4,217.71 19,964 18,524,386 15.5%
3 4,428.60 21,960 21,395,666 15.5%
4 4,650.03 22,727 23,249,673 8.7%
Tahun Harga/kg Produksi/haKeuntungan/tahun/hektar
4) Dari proses akan diketahui frekuensi tanam, volume produksi budidaya, serta
perubahan demand yang akan dapat terlayani.
5) Hasil proses diuji dengan tingkat keuntungan petani budidaya yang harus mencapai
sama dengan atau lebih besar dari 22%. Bila hal ini tidak dapat dicapai, maka proses
akan diulang dengan input manual yang lain.
Berdasarkan asumsi dan kondisi di Kabupaten Brebes maka penambahan luas
lahan tanam melalui peningkatan jaringan irigasi sebesar 10% per tahun mengakibatkan
kapasitas perubahan demand yang dapat dilayani setiap tahun sebagaimana tampak
dalam Tabel 34. Pengaruh lebih lanjut terhadap penghasilan petani sebagaimana tampak
pada Tabel 36, sebagai berikut :
1) Nilai keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.13.886.086 meningkat menjadi
Rp.25.632.772 per tahun per hektar pada tahun ke enam, halmana setara dengan
peningkatan rata-rata sebesar 10,76% per tahun.
2) Hal di atas dicapai karena harga jual bawang merah dapat ditingkatkan dari
Rp.3.825,59 menjadi Rp.5.126,66 pada tahun ke enam.
Tabel 36 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (2)
Rupiah/tahun kenaikan
saat ini 3,825.59 16.499 13,886,086
1 4,016.87 17.394 15,371,292 10.70%
2 4,217.71 18.378 17,053,347 10.94%
3 4,428.60 19.461 18,961,096 11.19%
4 4,650.03 20.653 21,127,771 11.43%
5 4,882.53 21.963 23,591,665 11.66%
6 5,126.66 22.727 25,632,772 8.65%
Keuntungan/tahun/hektarTahun Harga/kg Produksi/ha
174
6.2.5 Model Perubahan Irigasi Terbatas
Model Perubahan Irigasi Terbatas sebagai bagian dari SPK Agroestat pada
keadaan dimana antisipasi kenaikan demand pada tahun yang bersangkutan tidak dapat
dipenuhi dengan peningkatan jaringan irigasi yang diperlukan. Hal ini lazim terjadi
karena pada kenyataannya peningkatan jaringan irigasi lebih ditentukan oleh
ketersediaan dana pembangunan Pemerintah daripada upaya untuk memenuhi hasil
produksi budidaya yang dibutuhkan.
Model ini menggunakan data dan persamaan yang telah dibahas sebelumnya
dengan alur pemikiran sistem sebagai berikut:
1) Administrator program SPK memasukkan data yang relevan pada Sistem
Manajemen Basis Data (Database).
2) Pengguna memasukkan melalui mekanisme input manual tentang perkiraan
perubahan demand pada tahun mendatang, bisa dalam prosentasi (%) atau angka.
3) Dari proses akan diketahui frekuensi tanam, volume produksi budidaya, serta
peningkatan jaringan irigasi yang dibutuhkan.
4) Hasil proses diuji dengan tingkat keuntungan petani budidaya yang harus mencapai
sama dengan atau lebih besar dari 22%. Bila hal ini tidak dapat dicapai, maka proses
akan diulang dengan input manual yang lain.
Keseimbangan pasokan ke dalam pasar harus dapat dikendalikan sebagai satu-
satunya upaya yang bisa dilakukan untuk:
1) Rekayasa keseimbangan harga pasar pada tingkat harga yang tinggi, yang
berdampak pada pendapatan dan tingkat keuntungan petani.
2) Menjamin ketersediaan bagi industri sehingga ada jaminan pasokan yang akan
merupakan daya tarik bagi masuknya investor.
Simulasi terhadap kondisi Kabupaten Brebes dengan peningkatan jaringan
irigasi sebesar 500 hektar per tahun (sesuai APBD tersedia), maka dihasilkan harga jual
bawang merah sebagaimana tampak pada Tabel 37. Akibat perubahan harga jual
terhadap penghasilan petani sebagaimana tampak pada Tabel 38, sebagai berikut :
1) Nilai keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp.13,886,086 meningkat menjadi
Rp.23,514,309 per tahun per hektar pada tahun ke enam, halmana setara dengan
175
peningkatan rata-rata sebesar 9.20% per tahun.
2) Hal di atas dicapai karena harga jual bawang merah dapat ditingkatkan dari
Rp.3,825.59 menjadi Rp. 5,020.18 pada tahun ke enam.
Tabel 37 Peningkatan Keuntungan Petani Budidaya Pertanian (3)
Rupiah/tahun kenaikan
saat ini 3,826 16.499 13,886,086
1 4,033 17.298 15,345,794 10.51%
2 4,261 18.096 16,963,668 10.54%
3 4,511 18.895 18,749,692 10.53%
4 4,781 19.693 20,714,550 10.48%
Tahun Harga/kg Produksi/haKeuntungan/tahun/hektar
Tabel 38 Perhitungan Harga Bawang Merah pada Perubahan Irigasi Terbatas
Irigasi Non-Irigasi Anggaran Pasar Margin 22%hektar hektar % hektar hektar ton / tahun
Saat ini 5.603,35 3.899,14 2,1793 156.782 3.825,59 3.825,59
1 6.103,35 3.399,14 2,2846 10,00% 560,34 500,00 164.371 4.032,55 4.016,87
2 6.603,35 2.899,14 2,3898 10,00% 610,34 500,00 171.960 4.260,97 4.217,71
3 7.103,35 2.399,14 2,6003 10,00% 660,34 500,00 179.548 4.510,53 4.428,60
4 7.603,35 1.899,14 2,6003 10,00% 710,34 500,00 187.137 4.781,13 4.650,03
5 8.103,35 1.138,80 2,7055 10,00% 760,34 500,00 194.726 5.020,18 4.882,53
6 8.603,35 899,14 2,8108 10,00% 810,34 500,00 202.315 5.020,18 5.126,66
7 9.103,35 399,14 2,9160 2,15% 184,11 500,00 209.903 5.072,84 5.382,99
Produksi Keseimbangan Harga Jual
Rupiah / kg
LahanTahun Frekuensi Tanam
Perubahan IrigasiRencana
Tingkat harga pada pasar bebas sangat terkait dan sensitif terhadap besarnya pasok
yang masuk ke pasar yang berimplikasi pada tingkat produksi budidaya. Ketidak-
seimbangan pasok mengakibatkan fluktuasi harga yang seringkali dimanfaatkan oleh
para tengkulak, pedagang besar dan industri pengolahan besar. Dengan demikian,
melalui mekanisme pasar bebas ini selalu terjadi keseimbangan supply-demand yang
berkeadilan. Hal ini akan terjadi jika posisi petani budidaya mampu disejajarkan dengan
pelaku pasar yang lain dengan cara menghilangkan ketergantungannya dalam hal
finansial (hutang/ijon) kepada tengkulak.
Upaya untuk mengurangi fluktuasi produksi dilakukan dengan mengusahakan
peningkatan volume hasil produksi pada musim kemarau melalui peningkatan frekuensi
176
tanam (cropping intensity) yang ditentukan oleh luas lahan yang beririgasi. Oleh karena
itu, dibutuhkan peningkatan jaringan irigasi yang sebenarnya telah ada secara fisik
namun tanpa air yang disalurkan. Peningkatan jaringan irigasi berdampak pada
frekuensi tanam yang secara langsung juga meningkatkan pendapatan dan keuntungan
petani.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memfungsikan 12 gudang yang
ada dan tersebar di sepuluh kecamatan di lingkungan Kabupaten Brebes. Bahkan jika
untuk menjalankan fungsi stock control ternyata kebutuhan gudang lebih dari kapasitas
yang ada maka perlu ditambah dengan fasilitas gudang yang baru. Pertimbangan dasar
bagi peningkatan gudang yang ada atau gudang baru adalah sebagai berikut:
1) Upaya intervensi pasokan pasar melalui pengadaan gudang merupakan pemecahan
sementara, karena dengan berfungsinya irigasi maka pola tanam bawang merah akan
beralih ke musim panas dan tidak banyak dilakukan di musim hujan karena hasilnya
tidak memenuhi persyaratan mutu karena kandungan airnya sangat tinggi.
2) Pengelolaan gudang merupakan masalah tersendiri yang akan membebani pengelola
kawasan, apalagi peralatan menjadikan fleksibilitas pemakaian gudang terbatas.
3) Pengadaan gudang memerlukan proses pengadaan dana dan pembangunan yang
akan memakan waktu minimal satu tahun.
6.2.5 Keterkaitan Irigasi dengan Produktivitas Komoditi Bawang Merah
Produktivitas rata-rata bawang merah di Kabupaten Brebes sebesar 7,0 ton/ha,
masih lebih rendah dibanding produktivitas potensial sebesar 10–20 ton/ha.
Produktivitas dapat ditingkatkan, apabila faktor-faktor yang mempengaruhi sistem
usahatani bawang merah seperti tanah, iklim, teknologi produksi, permodalan, dan
tenaga kerja dikelola secara optimal. Faktor pengelolaan sangat mempengaruhi
produksi, sebab tanpa pengelolaan yang baik tidak akan dapat memanfaatkan sumber-
sumber tersebut secara efisien (Thamrin, et al., 2003).
Salah satu faktor pengelolaan yang penting pada budidaya bawang merah adalah
pengaturan pola tanam yang sangat ditentukan oleh kondisi iklim terutama curah hujan
atau ketersediaan air terutama pada saat musim kemarau. Pembentukan umbi
merupakan periode kritis bagi tanaman bawang merah sehingga kekurangan air yang
177
terjadi pada periode ini dapat menurunkan produksi, Pengaturan pola tanam juga
bertujuan untuk menghindari gejala kelelahan akibat pemanfaatan lahan secara intensif
dalam jangka panjang yang bisa mengurangi tingkat kesuburan tanah.
Berdasarkan penelitian lapang yang dilakukan di Kabupaten Brebes, sebanyak
49% petani responden menyatakan faktor utama yang menentukan keberhasilan panen
bawang merah adalah faktor cuaca, 25% menyatakan ketersediaan air dan sebanyak
24% menyatakan penggunaan bibit unggul. Faktor cuaca tidak dapat dikendalikan oleh
manusia, maka upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas bawang
merah adalah melalui revitalisasi fasilitas irigasi untuk menjamin ketersediaan air
sepanjang tahun dan sosialisasi penggunaan bibit unggul. Peningkatan produksi bawang
merah pada suatu wilayah dapat dilakukan dengan peningkatan luas tanam. Mengingat
bawang merah merupakan tanaman yang sangat membutuhkan keberadaan air maka
peningkatan areal tanam ini harus diimbangi dengan perluasan sawah beririgasi melalui
rehabilitasi saluran yang sudah ada (revitalisasi) atau membangun jaringan irigasi baru.
Faktor yang dapat menyebabkan perlambatan produktivitas adalah: tingkat
adopsi varietas unggul dan peningkatan mutu usahatani yang rendah, dan adanya gejala
kelelahan akibat pemanfaatan lahan secara intensif dalam jangka panjang. Sedangkan
faktor yang dapat menyebabkan perlambatan luas panen adalah : perubahan pola tanam,
konversi lahan pertanian, anomali iklim yang berdampak pada meningkatnya luas areal
puso, dan pembangunan irigasi yang semakin lambat (Irawan, et al., 2003). Sedangkan
menurut Asnawi (1995), peningkatan areal panen dapat dilakukan dengan dua cara
yakni dengan meningkatkan intensitas penanaman (cropping intensity) pada sawah-
sawah beririgasi dan dengan membuka sawah-sawah baru dengan jaringan irigasi baru,
serta membangun irigasi untuk sawah-sawah tadah hujan yang memungkinkan baik
secara teknis maupun secara ekonomis.
Setelah teknologi budidaya tanaman berkembang, dalam peningkatan produksi
irigasi mempunyai peranan penting yaitu (Wirawan, 1995):
1) menyediakan air untuk tanaman dan untuk mengatur kelembaban tanah,
2) menyuburkan tanah melalui bahan-bahan kandungan yang dibawa oleh air,
3) memungkinkan penggunaan pupuk dan obat-obatan dalam dosis tinggi,
4) dapat menekan pertumbuhan gulma,
178
5) menekan perkembangan hama penyakit tertentu, dan
6) memudahkan pengolahan tanah.
Sebagaimana diketahui, tingkat harga pada pasar bebas sangat terkait dan sensitif
terhadap besarnya pasok yang masuk ke pasar yang berimplikasi pada tingkat produksi
budidaya. Ketidak-seimbangan pasok mengakibatkan fluktuasi harga yang seringkali
dimanfaatkan oleh para tengkulak, pedagang besar dan industri pengolahan besar.
Dengan demikian, melalui mekanisme pasar bebas ini selalu terjadi keseimbangan
supply-demand secara adil dan alami. Hal ini akan terjadi jika posisi petani budidaya
mampu disejajarkan dengan pelaku pasar yang lain dengan cara menghilangkan
ketergantungannya dalam hal finansial (hutang/ijon) kepada tengkulak.
Upaya untuk mengurangi fluktuasi produksi dilakukan dengan mengusahakan
peningkatan volume hasil produksi pada musim kemarau melalui peningkatan frekuensi
tanam atau sangat tergantung dari luas lahan yang beririgasi. Oleh karena itu,
dibutuhkan peningkatan jaringan irigasi yang sebenarnya telah ada secara fisik namun
tanpa air yang disalurkan. Peningkatan jaringan irigasi berdampak pada frekuensi tanam
yang secara langsung juga meningkatkan pendapatan dan keuntungan petani.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memfungsikan 12 gudang yang
ada dan tersebar di sepuluh kecamatan di lingkungan Kabupaten Brebes. Bahkan jika
untuk menjalankan fungsi stock control ternyata kebutuhan gudang lebih dari kapasitas
yang ada maka perlu ditambah dengan fasilitas gudang yang baru. Pertimbangan dasar
bagi peningkatan gudang yang ada atau gudang baru adalah sebagai berikut:
1) Upaya intervensi pasokan pasar melalui pengadaan gudang merupakan pemecahan
sementara, karena dengan berfungsinya irigasi maka pola tanam bawang merah akan
beralih ke musim panas dan tidak banyak dilakukan di musim hujan karena mutunya
tidak memenuhi persyaratan (kandungan air yang terlalu tinggi).
2) Pengelolaan gudang merupakan masalah tersendiri yang akan membebani Pengelola
kawasan, apalagi peralatan menjadikan fleksibilitas pemakaian gudang terbatas.
3) Pengadaan gudang memerlukan proses pengadaan dana dan pembangunan yang
akan memakan waktu minimal satu tahun.
SPK Agroestat dirancang dengan sistem yang terbuka dan fleksibel, sehingga
dapat diterapkan pada semua daerah otonom dengan penyesuaian yang sederhana