5. perilaku manusia dalam agroekosistem (studi kasus pada petani padi di kelurahan borongloe,...

11
Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330 39 PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi kasus pada petani padi di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa – Sulsel) Human behavioral on agro-ecosystem (Case study on paddy rice farmer in Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa – Sulsel) P. Tandi Balla 1 dan Talitha Wenifrida 2 1 Dosen pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa 2 Dosen pada Kopertis Wilayah IX Sulawesi ABSTRAK Penelitian bertujuan memberi penjelasan tentang masyarakat tani yang mengusahakan budidaya tanaman padi di perdesaan serta mendeskripsikan “human system” sebagai salah satu perspektif ekologi manusia dalam pembangunan pertanian. Penelitian dilakukan dengan metode survai eksploratif, dengan informan tokoh adat/pemuka masyarakat, petani maju dan penyuluh pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia sebagai bagian sistem sosial sudah seharusnya memahami kondisi yang ada di sekitarnya; untuk melakukan aktivitasnya, harus keluar dari sistemnya ke sistem lain (ekosistem). Model sistem ekologi manusia berguna karena memberi kesan rasional hubungannya antara sistem sosial dan sistem lingkungan. Hubungan ini meliputi aliran energi, material dan informasi; dari kedua sistem tersebut terjadi interaksi satu sama lain. Hubungan ini merupakan keistimewaan sebagai target dan strategi pada suatu agroekosistem. Memahami lingkungan berbeda dengan memahami sistem kehidupan ini secara keseluruhan. Keteraturan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan perlu selalu dijaga agar terhindar dari suatu dominasi. Sangat bijaksana dalam bertindak, apabila segala sesuatu dilihat tidak secara parsial tetapi secara menyeluruh, yang mempunyai keterhubungan (interdependency) yang bersifat non-linear dan memberi makna adaptasi. Jadi, siklus aliran materi – energi – dan informasi berada dalam kondisi normal dan stabil tanpa muatan-muatan arogansi atau egoisme sektoral. Diharapkan hal tersebut terus berlangsung dalam aliran yang berputar (siklis) agar dapat mendukung kelestarian lingkungan hidup. Kata kunci: agroekosistem, sistem sosial dan sistem lingkungan, ekologi manusia ABSTRACT Research aims is to explain about farmer society was effort paddy rice culture in rural country and also to description of the human system as one of human being ecology perspective in agriculture development. Research was conducted with survey exploratif method, with custom figure/prominent society informan, the develop farmer and agriculture extension agent. Result of research was indicated that the human being as a part of social system must be to comprehend the exist condition in vinicity; to doing its activity, have to move out from its system to other ecosystem. Model the ecology system of human being is benefit because makes a rational images its related to social system and

Upload: yunitafriandani

Post on 19-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

untuk agroekoteknologi

TRANSCRIPT

Page 1: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

39

PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi kasus pada petani padi di Kelurahan Borongloe, Kecamatan

Bontomarannu, Kabupaten Gowa – Sulsel) Human behavioral on agro-ecosystem

(Case study on paddy rice farmer in Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa – Sulsel)

P. Tandi Balla1 dan Talitha Wenifrida2 1 Dosen pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Gowa

2 Dosen pada Kopertis Wilayah IX Sulawesi

ABSTRAK

Penelitian bertujuan memberi penjelasan tentang masyarakat tani yang mengusahakan budidaya tanaman padi di perdesaan serta mendeskripsikan “human system” sebagai salah satu perspektif ekologi manusia dalam pembangunan pertanian. Penelitian dilakukan dengan metode survai eksploratif, dengan informan tokoh adat/pemuka masyarakat, petani maju dan penyuluh pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia sebagai bagian sistem sosial sudah seharusnya memahami kondisi yang ada di sekitarnya; untuk melakukan aktivitasnya, harus keluar dari sistemnya ke sistem lain (ekosistem). Model sistem ekologi manusia berguna karena memberi kesan rasional hubungannya antara sistem sosial dan sistem lingkungan. Hubungan ini meliputi aliran energi, material dan informasi; dari kedua sistem tersebut terjadi interaksi satu sama lain. Hubungan ini merupakan keistimewaan sebagai target dan strategi pada suatu agroekosistem. Memahami lingkungan berbeda dengan memahami sistem kehidupan ini secara keseluruhan. Keteraturan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan perlu selalu dijaga agar terhindar dari suatu dominasi. Sangat bijaksana dalam bertindak, apabila segala sesuatu dilihat tidak secara parsial tetapi secara menyeluruh, yang mempunyai keterhubungan (interdependency) yang bersifat non-linear dan memberi makna adaptasi. Jadi, siklus aliran materi – energi – dan informasi berada dalam kondisi normal dan stabil tanpa muatan-muatan arogansi atau egoisme sektoral. Diharapkan hal tersebut terus berlangsung dalam aliran yang berputar (siklis) agar dapat mendukung kelestarian lingkungan hidup.

Kata kunci: agroekosistem, sistem sosial dan sistem lingkungan, ekologi manusia

ABSTRACT

Research aims is to explain about farmer society was effort paddy rice culture in rural country and also to description of the human system as one of human being ecology perspective in agriculture development. Research was conducted with survey exploratif method, with custom figure/prominent society informan, the develop farmer and agriculture extension agent. Result of research was indicated that the human being as a part of social system must be to comprehend the exist condition in vinicity; to doing its activity, have to move out from its system to other ecosystem. Model the ecology system of human being is benefit because makes a rational images its related to social system and

Page 2: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

40

environmental system. This relation include the energy stream, material and information; from the both system was happened the interaction with another. This relation is especially as goals and strategy on one agroekosistem. To comprehends the environment was different with to comprehends the this life system for all. Regularity, compatibility, harmonics and balance were needs always to be protected and refrain from one domination. Very wise in be acts, if everything seens not by parsial but by totally, having non-linear interdependency and give mean the adaptation. Thus, cycle of stream the material - energi - and information were in normal condition and stabilize without arrogance contents or sectoral egoism. Hopeness that is doing in cycle stream so that can to support the environmental sustainability.

Keywords: agroecosystem, social system and environmental system, human ecology

PENDAHULUAN

Kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari perubahan-perubahan, yang terjadi dalam setiap organisme hidup (tumbuhan, bina-tang, dan manusia) mau pun yang terjadi pada suatu lingkungan dimana organisme itu melakukan aktivitasnya.

Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses pembangunan; berpotensi menim-bulkan kerawanan. Masalah pokoknya menjadi, bagaimana memungkinkan ber-langsungnya proses pembangunan yang membawa kelanjutan dengan perubahan (continuity with change). Keberlanjutan perlu untuk memelihara kesinambungan. Sedangkan perubahan diperlukan karena menyertai pembangunan.

Aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam pembangunan bertujuan untuk memberi perubahan ke arah yang lebih baik; dan agar perubahan itu dapat terjadi maka sasaran perubahan harus siap merespon setiap rangsangan (stimulus) yang akan mengantarnya menuju pada kehidupan yang lebih baik.

Indonesia sebagai Negara Agraris, dalam merealisasikan pelaksanaan pemba-ngunannya pada dasarnya bertujuan untuk mendukung perekonomian rakyat di sek-tor pertanian. Sebagaimana yang telah dilakukan secara terencana, sejak tahun 1969 melalui kegiatan Rencana Pemba-ngunan Lima Tahun (REPELITA). Di

mana dalam setiap tahapan pelak-sanaannya, sektor pertanian selalu men-dapat prioritas utama. Pemberian prioritas ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat Indonesia yang agraris, karena umumnya bermatapencaharian sebagai petani.

Pembangunan pertanian di Indonesia, khususnya pada subsektor pertanian ta-naman pangan dalam pelaksanaannya ditunjang oleh sejumlah besar petani yang masih tradisional dengan luasan unit usaha tani yang sempit, maka untuk menjaga keberlangsungan usahataninya perlu ditemukan pola yang tepat untuk memobilisasi partisipasi mereka.

Indonesia yang beriklim tropis sudah lama mengenal usaha budidaya tanaman padi (Oryza sativa L.). Sawah, sudah sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan sebagai tempat bercocok tanam (cultivation). Misalnya pulau Jawa, dulu disebut Jawadwipa yang berarti “pulau padi”, dan padi itu telah ada di Jawa waktu orang India datang ke Indonesia lebih dari 1.000 tahun yang lalu.

Dalam usaha menumbuhkan tanaman, khususnya padi sawah (rice-field) manusia seharusnya menciptakan lingkungan agar dapat sesuai dengan persyaratan pertum-buhan tanaman padi, seperti media tanam yang harus berstruktur lumpur dan men-ciptakan lapisan kedap air, agar petakan sawah selalu dapat digenangi dengan air.

Page 3: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

41

Pengolahan lahan basah (wet rice cul-tivation), berawal dari kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan ini merupakan karakteristik umum dari ekosistem alamiah, yaitu membuka hutan, membuat pematang (dikes), kemudian menanami sawah dengan tanaman padi (paddy).

Sekalipun cara-cara budidaya yang dilakukan oleh para petani dalam ber-cocok tanam tanaman padi sudah sangat tinggi, tetapi kebiasaan-kebiasaan yang tradisional masih melekat pada sebagian besar petani. Ketergantungan mereka pada fenomena alam terutama agroklimat dan kearifan lingkungan sosial budaya dimana mereka hidup bermasyarakat, memberi pengaruh yang besar. Oleh sebab itu, salah satu contoh keterbiasaan petani di daerah Sulawesi Selatan yang sudah membudaya selama ini dan masih terus mereka lakukan terutama dalam jadwal tanam, seperti pada awal penetapan kegiatan hambur benih dan waktu tanam, biasanya didahului dengan pertemuan berupa urung-rembuk (appalili “Makassar” atau tudang sipulung “Bugis” dan Kombongan “Toraja”) yang dilakukan antara petani dengan para tokoh masyarakat dan pemerintah setempat, dan sering pula diikuti oleh para pakar dari perguruan tinggi. Mungkin di daerah lain juga melakukan hal yang serupa, hanya saja penamaannya yang berbeda.

Keterpengaruhan mereka pada lingkung-annya membentuk karakter dari diri petani itu sendiri, sekaligus diikuti pula oleh orang-orang yang terdekat dengan me-reka. Rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan (dalam rasa dan karsa) sebagai ciri khas yang merupakan hasil bentukan lingkungan pada diri setiap individu yang sering terlihat pada masyarakat perdesaan, dan keberadaannya sudah harus mereka terima sebagai suatu konsekuensi nyata; dan ini pulalah yang merupakan perwujudan dari kekuatan-kekuatan lingkungan. Secanggih apapun

teknologi yang diperuntukkan bagi pem-bangunan pertanian di daerah perdesaan, semestinya dapat memberi manfaat ter-hadap kelestarian pada lingkungan hidup. Karena para petani (selaku manusia pengelola) tidak hanya menerima pem-berian dari lingkungannya, tetapi sebalik-nya harus tahu mensyukurinya dan me-melihara kebaikan lingkungan tersebut agar selalu dalam kondisi yang seimbang (balance).

Menyikapi kondisi tersebut di atas, maka Beratha (1991) mengatakan bahwa, apabila keseimbangan terganggu akan terjadi apa yang disebut dengan perubahan alami dan apabila ini berlangsung terus-menerus, akan sangat berpengaruh pada lingkungan yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah lingkungan. Selan-jutnya oleh Amsyari (1986) dikemukakan bahwa, kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan yang dimaksud adalah ling-kungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Atas ter-jadinya perubahan tadi, manusia bahkan seluruh organisme hidup di dunia perlu melakukan penyesuaian (adaptation) agar mereka tetap dapat mempertahankan hi-dupnya, dalam arti kata mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang diperlukan, seperti keperluan pokok (primary needs) berupa pangan, sandang, papan, dan lain-lain yang kesemuanya diperoleh dari lingkungan sekitarnya.

Manusia sebagai salah satu bagian dalam sistem sosial sudah seharusnya dia me-mahami kondisi yang ada di sekitarnya, dan untuk melakukan aktivitasnya dia harus keluar dari sistemnya ke sistem lain yaitu sistem lingkungan (ekosistem). Pandangan sistem menurut Capra (1999), adalah melihat dunia dalam pengertian hubungan dan integrasi. Dimana sistem merupakan keseluruhan yang terintegrasi yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi

Page 4: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

42

menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil. Lebih lanjut dikatakan bahwa, pendekatan sistem tidak memusatkan pada bagian-bagian yang mendasar, melainkan menekankan pada prinsip-prinsip orga-nisasi (keseluruhan), dimana kerja orga-nisme dituntun oleh pola-pola arus infor-masi yang berputar (proses) yang dikenal dengan putaran umpan balik (siklis). Dan sebagai penyelaras untuk mengurangi gangguan-gangguan, maka etika dan moralitas perlu disertakan pula (Azhari, 1997).

Sejalan dengan kondisi tersebut di atas, maka yang menarik untuk dijadikan uraian dalam tulisan ini adalah “sistem manusia” (human system), dengan meng-ambil tema, yaitu “Perilaku Manusia dalam Agroekosistem”, bagi mereka yang hidup dan bertempat tinggal di daerah pedesaan, dan dalam sehari-harinya ber-aktivitas sebagai petani yang membudi-dayakan tanaman pangan (padi sawah) sebagai suatu usahatani, maupun usaha-usaha lain di luar usahatani yang mereka geluti selama ini, yang bertujuan untuk memperbaiki perekonomian keluarga, ter-utama yang menyangkut pendapatan rumah-tangganya.

Fokus pengamatan dilakukan pada akti-vitas masyarakat perdesaan yang ber-tempat tinggal di Kecamatan Bonto-marannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan: 1) untuk memberi penjelasan mengenai masyarakat tani yang membudidayakan tanaman padi di perdesaan; dan 2) mendeskripsikan “human system” sebagai salah satu perspektif ekologi manusia dalam pem-bangunan pertanian.

BAHAN DAN METODE

Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa dipilih sebagai lokasi kasus, di-lakukan secara sengaja (purposive). Ada-pun dasar pemilihannya sebagai berikut, 1) penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, 2) aktivitas penduduk di luar usahataninya sangat beragam, 3) tersedia sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan usahatani, khususnya tanaman padi. Alasan pemi-lihan itu diharapkan akan mempunyai kaitan yang erat dengan analisis kasus yang menyangkut “perilaku manusia dalam agroekosistem”.

Penelitian dilakukan dengan mengguna-kan metode survai eksploratif. Survai ini dilakukan dengan bantuan informan tokoh adat/pemuka masyarakat, petani maju dan penyuluh pertanian setempat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang menempati bagian dari sistem lingkungan, dan mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Karena itu ma-nusia juga berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan sebaliknya ia dipengaruhi pula oleh lingkungan hidupnya. Sebagai uraian dalam kasus ini, maka di fokuskan pada kebiasaan masyarakat tani pada suatu agrosistem padi sawah dan aktivitas lain di luar kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani yang berdomisili di Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Deskripsi Kasus

Program pembangunan yang dilaksanakan pada sektor pertanian di arahkan pada peningkatan produksi, terutama untuk memenuhi kecukupan pangan (beras) bagi

Page 5: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

43

rakyat Indonesia, sekaligus mengharapkan terjadinya pertumbuhan ekonomi rakyat di daerah perdesaan.

Kalau kita melirik ke belakang dan melihat sejarah pertumbuhan dari hasil pelaksanan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam tahapan pemba-ngunan lima tahun, kita boleh berbangga hati karena bangsa Indonesia setelah melaksanakan kegiatan pembangunan yang terencana selama kurang lebih 15 tahun (1969 s.d 1984) atau dalam tiga tahapan dalam pembangunan lima tahun (Pelita), Indonesia telah berhasil dalam swasembada pangan, khususnya beras. Keberhasilan ini diakui pada 1985 ketika Soeharto (presiden Indonesia saat itu) diundang untuk menghadiri pertemuan tahunan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma – Italia sebagai wakil dari negara berkembang (developing coun-tries), dan sekaligus berpidato bagi seluruh peserta pertemuan dalam me-nyampaikan keberhasilan pembangunan di sektor pertanian. Apa yang telah dicapai saat itu, sebagai respon dari jutaan petani dalam meningkatkan hasil panen padinya, akibat terjadinya peningkatan pemakaian bibit varietas unggul baru (VUB) dan penggunaan pupuk anorganik (nitrogen = urea, phosfat = TSP, dan kalium = KCl).

Namun sangat disayangkan, keberlanjutan pembangunan tersebut tidak mampu mem-pertahankan prestasi yang pernah dicapai di masa silam, bahkan cenderung terjadi kejenuhan. Walaupun berbagai input pro-duksi, berbagai macam kredit dan upaya pengadaan kebutuhan-kebutuhan petani lainnya, tetapi masih saja belum mampu mendongkrak kenaikan pendapatan petani. Untuk mencapai produksi yang optimal saja terasa sulit untuk dipenuhi, atau hasilnya kurang memenuhi harapan.

Berbagai hambatan juga dirasakan oleh para petani, terutama dalam prosedur pengambilan jatah yang diperuntukkan bagi petani, misalnya pengambil-an paket

kredit, dirasakan masih terlalu berbelit-belit dan terlalu birokrasi yang tidak terbiasa dikerjakan oleh petani yang perilakunya sederhana, dan selalu ingin kemudahan tanpa ikatan aturan yang formal.

Kurangnya pendapatan yang diperoleh petani dari hasil usahataninya, dipe-ngaruhi pula oleh nilai tukar petani yang diterima relatif lebih rendah dari yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada tahun 2003, pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (BULOG) telah menetapkan harga dasar gabah sebesar Rp 1.725 per kilogram dan harga beras Rp 2.740 per kilogram. Aturan harga yang telah di-tetapkan oleh pemerintah pada kenyata-annya harga-harga tersebut belum pernah dinikmati secara utuh oleh petani. Ter-lebih-lebih pada saat puncak panen, harga tersebut dapat anjlok pada tingkat yang sangat rendah, bahkan dapat mencapai kisaran Rp 900 sampai Rp 1.000 per kilogram. Dari kenyataan ini, apakah yang bisa diperbuat oleh keluarga petani dari penerimaan nilai tukarnya?

Secara “hipotetis”, perhitungan biaya yang harus dikeluarkan untuk menggarap lahan sawah (yang akan ditanami padi) seluas satu hektar diperlukan biaya sebesar kurang lebih Rp 3.571.500,-. Apabila hasil panen padi dicapai sebanyak lima ton per hektar (produksi padi standar BIMAS), dengan biaya panen (bawon) yang berlaku 6 : 1, maka diperoleh hasil bersih sejumlah 4.167 kilogram gabah; dan apabila dijual dengan harga normal Rp 1.725 per kilogram maka diperoleh nilai jual sebesar Rp 7.188.075,-. Jadi, tingkat pendapatan yang diperoleh sebesar Rp 3.616.575,- atau Rp 904.144 per bulan. Suatu tingkat pendapatan yang masih dianggap layak, karena masih berada di atas upah minimum provinsi (UMP). Tapi kalau nilai jualnya hanya Rp 1.000 per kilogram, maka pendapatan yang diper-oleh sebesar Rp 595.500,- atau rata-rata

Page 6: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

44

Rp 148.875,- per bulan. Ini merupakan suatu dilemma bagi kebanyakan petani yang menekuni usahatani padi, sehingga sangat diharapkan perhatian pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut.

Sistem lingkungan yang merupakan tem-pat para masyarakat perdesaan ber-aktivitas hanya mempunyai kemampuan menyiapkan subsistem-subsistemnya yang dapat memberikan keterpengaruhan ke-pada masyarakat setempat. Dengan ting-kat pertumbuhan penduduk sebesar 1,66 persen, akan memberi gejolak pada ling-kungan, terutama berkaitan dengan keter-sediaan lahan garapan dan tempat pe-mukiman. Keadaan Umum Lokasi

Kecamatan Bontomarannu, merupakan salah satu dari sembilan kecamatan yang terdapat di Kabupaten Gowa, terletak ke arah timur jurusan Malino dan berjarak kurang lebih 9 kilometer dari ibukota Sungguminasa. Wilayah Kecamatan Bon-tomarannu mempunyai luas wilayah 137, 59 km2 atau 7,31 persen dari luas Kabupaten Gowa, dengan batas wilayah sebagai berikut: a. sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Maros dan Kota Makassar, b. sebelah timur berbatasan dengan

Kecamatan ParangloE, c. sebelah selatan berbatasan dengan

Kecamatan Pallangga dan Kabupaten Takalar,

d. sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Somba Opu, Pallangga, dan Bajeng.

Kondisi topografi kecamatan Bonto-marannu terdiri dari dataran rendah (0 – 25 mdp laut seluas 124, 88 km2 (99,76 persen) dan berbukit (25 – 100 mdpl) seluas 12,71 km2 (0,24 persen).

Keadaan iklim, seperti halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia, di Kabupaten Gowa hanya dikenal dua

musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Biasanya musim kemarau dimulai pada Juni – September, sedangkan musim hujan pada bulan Desember – Maret. Keadaan seperti ini berganti tiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan yaitu pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Desember, dapat mencapai 1 073 mm dan terendah pada bulan Agustus, boleh dikatakan tidak ada hujan.

Jumlah penduduk Kecamatan Bonto-marannu 41.973 jiwa, dengan kepadatan penduduknya 305 per km2, dengan jumlah rumahtangga 9.671 KK. Sesuai dengan jenis kelaminnya, penduduk laki-laki berjumlah 20.638 jiwa dan perempuan 21 335 jiwa. Penduduk yang tergolong usia dewasa berjumlah 28.593 jiwa (laki-laki 13 799 jiwa dan perempuan 14.794 jiwa) dan anak-anak 13.380 jiwa (laki-laki 6.839 jiwa dan perempuan 6.541 jiwa).

Kondisi sosial di Kecamatan Bonto-marannu belakangan ini cukup kondusif, yang sebelumnya sangat rawan tindak kriminal berupa pencurian ternak. Masya-rakatnya sudah cukup maju dan tidak tertinggal dengan daerah lainnya, karena di sini sudah terdapat sekolah, seperti Taman Kanak-kanak 4 buah, SD 35 buah, SMP 3 buah dan MTs 2 buah. Selain itu, dalam bidang kesehatan juga telah dibangun Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) 2 buah dan Puskesmas Pembantu (Pustu) 3 buah. Masyarakatnya umumnya memeluk agama Islam yaitu 40 313 jiwa (96,04 persen), dan terdapat 64 buah mesjid.

Kegiatan perekonomian masyarakat dila-kukan melalui kegiatan pasar berpusat di ibukota kecamatan yang berada di Kelurahan BorongloE. Di daerah ini hanya terdapat satu pasar, dan tertentu hari-hari pasarnya. Hari pasar yang ramai, yaitu hari Senin, Rabu, dan Jumat. Barang-barang yang diperdagangkan oleh penduduk setempat umumnya hasil-hasil

Page 7: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

45

pertanian, sedangkan barang-barang be-rupa sandang dan peralatan rumahtangga, didatangkan dari luar daerah oleh pe-dagang dari Kota Sungguminasa atau Kota Makassar, terdapat pula lembaga perekonomian seperti BRI Unit Desa, dan KUD.

Kegiatan Penduduk di Bidang Per-tanian

Lahan yang tersedia di Kecamatan Bontomarannu untuk kegiatan pertanian seluas 10.838 hektar, yang digunakan sebagai lahan pekarangan 2.387 hektar, tegalan/kebun 293 hektar, ladang/huma 2.624 hektar, dan lain-lain 5.534 hektar.

Yang dijadikan sebagai lahan persawahan seluas 4.175 hektar, terdiri dari sawah berpengairan seluas 3.76 hektar dan tadah hujan 899 hektar. Sumber air pengairan berasal dari irigasi Bili-Bili.

Luas panen padi sawah 4.458 hektar, dengan produksinya sebesar 18.448 ton, atau rata-rata produksi 4,12 ton per hektar, dan luas panen padi ladang 112 hektar dengan produksinya sebesar 225 ton atau rata-rata 2,01 ton per hektar.

Komoditi lain yang diusahakan yakni palawija terdiri dari, jagung 1.152 hektar, kacang tanah 36 hektar, kacang hijau 33 hektar, ubikayu 1.386 hektar, dan ubijalar 49 hektar. Selain itu, terdapat pula komoditi perkebunan berupa kelapa hibrida 20 hektar, kelapa dalam 144 hektar, kopi robusta 87 hektar, kakao 21 hektar, tebu rakyat 170 hektar, tebu PTPN XIV 319 hektar, jambu mete 251 hektar, kemiri 70 hektar, dan kapuk/randu 263 hektar.

Populasi ternak yang ada yakni, kerbau 3 158 ekor, sapi 10.042 ekor, kuda 229 ekor, kambing 1.022 ekor, dan babi 5.946 ekor. Ternak unggas berupa ayam kam-pung (ayam buras) 147.961 ekor.

Produksi perikanan air tawar berjumlah 104.915 kilogram yang diperoleh dari,

budidaya kolam 4.385 kilogram (diha-silkan dari kolam seluas 7,45 hektar), dan pemeliharaan ikan di sawah 2.265 kilo-gram, dari rawa 65.395 kilogram, dan sungai 32.870 kilogram. Jumlah petani ikan 325 KK.

Pembahasan

Manusia sebagai salah satu subsistem dalam sistem sosial, dan sebagai makhluk hidup, manusia tidak berbeda dengan makhluk hidup lainnya yang bersama dengan lingkungan hidupnya melakukan interkasi dengan sistem lingkungan (eko-sistem).

Lingkungan hidup manusia juga terdiri atas lingkungan biotik (tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia lain), dan lingkungan abiotik (tanah, udara, air, dan cahaya). Lingkungan hidup tidak hanya ditentukan oleh jenis dan jumlah benda hidup dan mati, melainkan ditentukan pula oleh kondisi dan kelakuan benda hidup dan mati itu, serta interaksi antara benda-benda itu. Demikian pula kelakuan manusia sangat mempengaruhi ling-kungan kita.

Di dalam sistem lingkungan, tempat hidup manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, dan kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestariam sistem lingkungannya, karena sistem lingkungan terbentuk oleh hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Untuk men-jaga kelestarian sistem lingkungan itu. Manusia harus menjaga keserasian hu-bungan dengan lingkungan hidupnya. Manakala keserasian hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya terganggu, akan terganggu pula kesejahteraan manusia.

Untuk mendukung kehidupannya, manu-sia harus menggunakan subsistem-sub-sistem dalam sistem lingkungan seperti udara untuk bernafas; air untuk minum –

Page 8: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

46

keperluan rumahtangga – dan pengairan; tanah untuk dijadikan sebagai lahan usaha dan pemukiman; tumbuhan dan hewan sebagai bahan makanan. Jadi, lingkungan hidup kita bukan hanya merupakan tempat hidup kita, melainkan juga sebagai sumber daya kita.

Manusia mempunyai kebutuhan yang sangat beragam. Kebutuhan hidup yang secara mutlak harus dipenuhi disebut kebutuhan dasar (primary needs), yaitu makanan, pakaian, dan perumahan. Di samping itu, kebutuhan lainnya berupa pendidikan, pelayanan umum (untuk per-lindungan hukum dan keamanan), kese-hatan, higiene, transportasi, dan lapangan pekerjaan. Makin baik kebutuhan dasar kita dapat dipenuhi, maka makin baiklah kualitas hidup kita. Kualitas lingkungan pun makin baik juga. Inilah yang me-rupakan suatu aliran energi – materi – dan informasi yang diharapkan dapat mem-bentuk adaptasi antara sistem sosial dan sistem lingkungan.

Daerah perdesaan sebagai tempat tinggal dan sekaligus sebagai tempat beraktivitas penduduknya, dapatlah diketahui bahwa kualitas lingkungan desa masih tergolong rendah, banyak penduduk masih belum cukup pangan, pendidikannya masih rendah, lapangan pekerjaan sangat sedikit. Hanya dalam hubungannya dengan ling-kungan hidupnya, orang desa pada umumnya mempunyai pandangan yang imanen atau holistik. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia haruslah

mengusahakan keserasian dengan bagian-bagian lainnya dalam sistem lingkungan itu. Sebagai bagian integral dari sistem lingkungan, ia selalu berikhtiar agar dapat menjaga kelestarian sistem lingkungan-nya.

Tidak maksimumnya hasil usaha tani yang dicapai oleh penduduk desa setempat pada setiap musim panen, disebabkan karena ulah mereka sendiri yang seringkali dengan sengaja menelantarkan lahan usahataninya. Korbanan waktu yang mereka curahkan penuh hanya pada awal pengolahan lahan dan penanaman, kemu-dian di saat panen. Selebihnya, dari proses produksi/pekerjaan lainnya, diserahkan kepada anggota keluarganya, sedangkan mereka lebih senang beralih kegiatan, misalnya sebagai pengumpul batu dan pasir kali, sebagai “pagandeng”, atau menjadi buruh bangunan di Kota Makassar.

Adanya ketertarikan penduduk daerah pedesaan terhadap kota, dalam ekologi terdapat hukum yang mengatakan bahwa, apabila dua sistem lingkungan yang berbeda tingkat perkembangannya berin-teraksi, maka sistem lingkungan yang kurang berkembang akan dieksploitasi oleh sistem lingkungan yang lebih ber-kembang (Mayalef dalam Soerjani, 1987). Jadi, dalam hal ini terjadi “dominasi” perkotaan terhadap perdesaan. Apabila digambarkan secara skematis, sebagai berikut:

Page 9: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

47

Materi – Energi – Informasi Materi – Energi – Informasi Gambar 7. Antara sistem lingkungan desa, yang kurang berkembang dan sistem

lingkungan kota, yang lebih berkembang

Berdasarkan ukuran tertentu daerah perdesaan merupakan sistem lingkungan yang kurang berkembang akan dieks-ploitasi oleh perkotaan. Walaupun per-desaan mengalami perkembangan juga karena adanya aliran energi – materi – dan informasi dari perkotaan, namun karena sifat alirannya yang asimetris itu ke-cepatan perkembangan perdesaan akan lebih kecil daripada perkembangan per-kotaan, maka perbedaan tingkat per-kembangan antara perdesaan dan per-kotaan makin lama akan makin besar.

Perubahan sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi telah memberi pe-ngaruh bagi penduduk Kabupaten Gowa yang bekerja di kota Makassar khususnya dalam penggunaan sarana transportasi (motor roda dua), baik yang bekerja sebagai buruh bangunan maupun pa-gandeng. Kalau lima tahun yang lalu kita sering dipertontonkan dengan peman-dangan yang terlihat sehari-harinya di sepanjang jalan antara kota Sungguminasa dengan kota Makassar, banyak penduduk perdesaan yang mengayuh sepeda “onthel”nya menuju ke kota Makassar; pemandangan ini terlihat sangat ramai di waktu pagi hari saat mereka berangkat bekerja sekitar pukul 06.00 – 08.00, dan sore harinya setelah mereka kembali dari bekerja pada pukul 17.00 – 19.00. Me-reka ini sebenarnya adalah petani, yang sengaja pergi meninggalkan usaha pokok-

nya untuk mencari tambahan penghasilan di kota, dan umumnya bekerja sebagai buruh bangunan. Sekarang pemandangan itu sudah tergantikan dengan motor roda dua (dengan berbagai merek).

Apa yang kita lihat ini merupakan akibat dari keterpengaruhan mereka terhadap perkembangan pembangunan di perkota-an, terutama untuk menambah pendapatan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Curahan waktunya lebih ba-nyak diberikan kepada kegiatan di luar usahatani, sehingga berdampak pada produktivitas usahataninya yang tidak pernah mereka capai secara optimum.

Usaha sebagai “pagandeng”, dilakukan sebagai bagian dari kegiatan jual-beli, dimana mereka mengangkut hasil panen-nya atau hasil yang ia beli langsung dari petani lainnya, kemudian diangkut dengan menggunakan motor roda dua dan masih ada pula yang bersepeda (digandeng dalam keranjang yang dianyam dari bambu) ke pedagang lain yang berada di kota Sungguminasa atau kota Makassar. Hasil-hasil pertanian yang biasanya me-reka perjualbelikan antara lain, ubikayu, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain. Apa yang dikerjakan oleh petani di daerah ini, merupakan upaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga dalam rumah tangganya, dengan maksud untuk menam-bah pendapatan keluarganya; dan untuk

SISTEM LINGKUNGAN KOTA

SISTEM LINGKUNGANDESA

Page 10: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

48

mendapatkan uang dalam waktu yang singkat (biasanya gaji buruh bangunan dibayar mingguan).

Perkembangan teknologi dan pertum-buhan penduduk sangat berpotensi untuk mengubah jumlah aliran materi – energi – dan informasi dari sistem sosial ke dalam sistem lingkungan. Kalau saja upah yang mereka terima dari hasil memburuh di kota dibelanjakan untuk kepentingan usaha taninya, seperti pupuk, insektisida, sprayer, dan lain-lain; ini berarti mereka telah mengalirkan kembali materi – energi – dan informasi ke dalam sistem ling-kungannya.

Pengembangan usahatani padi sawah di Kecamatan Bontomarannu masih me-mungkinkan, karena potensi lahan dan infrastrukturnya masih cukup tersedia, seperti saluran pengairan (irigasi Bili-Bili), lembaga perekonomian (BRI Unit Desa), dan Koperasi Unit Desa (KUD). Kepadatan pertaniannya memang ter-golong cukup tinggi, yaitu dikelola 3,87 jiwa per hektar (3 – 4 orang), kalaupun ini akan dikembangkan harus dilakukan de-ngan cara intensifikasi. Yang perlu men-jadi perhatian di sini adalah waktu luang dari kegiatan usahatani yang digunakan bekerja di kota ada yang terbuang (dalam perjalanan menuju dan kembali dari kota memakan waktu kira-kira dua jam setiap hari). Kalau saja waktu luang yang mereka miliki dimanfaatkan untuk kegiat-an-kegiatan yang berhubungan dengan usahataninya, misalnya mengintensifkan pemeliharaan tanaman padinya (me-nyiang, menyulam, dan memupuk), atau dapat pula memanfaatkan areal pematang sawah untuk ditanami dengan komoditi lain (diversifikasi) seperti sayur-sayuran, dan memanfaatkan lahan pekarangannya untuk memelihara ternak atau unggas. Kesemuanya ini, akan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga tani tersebut. Waktu yang dicurahkan pada kegiatan usaha taninya jauh lebih banyak,

tidak terlalu merepotkan dan bersusah-payah, dibandingkan jika mereka harus bangun pagi-pagi menggayuh sepeda berangkat kerja. “Mungkin”, penghasilan dari ketekunannya mengurusi usaha taninya akan memperoleh pendapatan jauh lebih besar dibanding dengan upah sebagai buruh yang mereka terima.

Selain itu, dapat pula mereka aktif meng-ikuti pertemuan-pertemuan dengan para petugas pertanian atau petugas lainnya yang biasanya menyampaikan suatu inovasi baru, dimana inovasi baru tersebut pasti mempunyai keterkaitan dengan usahatani dan banyak manfaatnya. Rekonstruksi

Dalam perjalanan waktu, yang menjadi kekuatiran kita ke depan, apabila laju pertumbuhan penduduk tetap tinggi, maka ia akan menggeser terus lahan-lahan persawahan untuk dijadikan sebagai tem-pat pemukiman. Ini berarti lahan per-sawahan akan semakin berkurang, dan untuk mempertahankan produktivitas lahan persawahan harus dilakukan dengan cara intensifikasi maksimal. Ini akan menguras lebih banyak subsistem dalam komponen sistem lingkungan. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan (dominasi) aliran energi – materi – dan informasi ke dalam sistem lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (subsistem sosial) itu sendiri karena adanya perubahan dan pergeseran yang dilakukan. Kepintaran manusia dengan penggunaan teknologi tingginya memang sudah mam-pu memodifikasi beragam permasalahan dalam sistem lingkungan, atau telah dapat mengurangi beban yang diderita oleh lingkungan, tapi alirannya masih saja terbentur oleh birokrasi, sehingga yang terjadi adalah dominasi dari sistem sosial. Aktivitas yang dilakukan oleh penduduk perdesaan selama ini dengan melakukan kegiatan di luar usahataninya, sebaiknya mereka alihkan untuk berpusat kepada

Page 11: 5. PERILAKU MANUSIA DALAM AGROEKOSISTEM (Studi Kasus Pada Petani Padi Di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa , Sulsel)

Jurnal Agrisistem, Juni 2008, Vol. 4 No. 1 ISSN 1858-4330

49

usahataninya. Karena apabila usahatani ini ditekuni, akan memberi pendapatan yang memadai dan kemungkinannya melebihi jumlah pendapatan yang mereka peroleh dari pekerjaannya sebagai buruh bangunan, dan ini akan sangat bermanfaat bagi keluarganya. Selain itu, kalau saja petani mau lebih kreatif lagi, di sekitar tempat tinggal mereka banyak tersedia material organik yang dapat digunakan untuk usaha taninya. Karena yang belum termanfaatkan oleh petani di perdesaan selama ini adalah buangan/limbah padi (material organik) seperti, jerami dan sekam yang dapat dimanfaat sebagai pupuk organik diproses dengan cara fermentasi menjadi bokasi; atau membuat pestisida organik yang dibuat dari bagian tumbuh-tumbuhan seperti akar tuba, buah maja, merica, cengkeh, daun pepaya, sirsak, dan lain-lain. Untuk membuatnya sangat mudah, dan hasilnya lebih ramah lingkungan. Memahami lingkungan tidak berbeda dengan memahami sistem kehidupan ini secara keseluruhan. Keteraturan, kesera-sian, keselarasan dan keseimbangan perlu selalu dijaga agar terhindar dari suatu dominasi. Untuk bertindak, sangat bijak-sana apabila kita melihat segala sesuatu bukan lagi menurut bagian-bagian (par-sial) tetapi kita melihat segala sesuatunya secara menyeluruh, yang mempunyai hubungan (interdependency) yang bersifat non-linear dan memberi makna adaptasi. Jadi, siklus aliran materi – energi – dan informasi berada dalam kondisi normal dan stabil tanpa muatan-muatan arogansi atau egoisme sektoral. Diharapkan terus berlangsung dalam aliran yang berputar (siklis) agar dapat mendukung kelestarian lingkungan hidup.

KESIMPULAN

1. Manusia sebagai bagian sistem sosial sudah seharusnya memahami kondisi yang ada di sekitarnya.

2. Model sistem ekologi manusia ber-guna karena memberi kesan rasional hubungannya antara sistem sosial dan sistem lingkungan.

3. Memahami lingkungan berbeda de-ngan memahami sistem kehidupan ini secara keseluruhan. Keteraturan, ke-serasian, keselarasan dan keseim-bangan perlu selalu dijaga agar ter-hindar dari suatu dominasi.

4. Sangat bijaksana dalam bertindak, apabila segala sesuatu dilihat tidak secara parsial tetapi secara me-nyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

Amsyari, F., 1986. Prinsip-Prinsip Ma-salah Pencemaran Lingkungan. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Azhari, S., 1997. Etika Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelan-jutan. Direktorat Jenderal Pen-didikan Tinggi, Departemen Pendi-dikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Beratha, I N., 1991. Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.

Capra, P., 1999. Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebang-kitan Kebudayaan. Yayasan Ben-tang Budaya, Yogyakarta.