4.bab iii - etika

20
104 BAB III: ETIKA Zakky Mubarak 1. Etika dalam Pengertian yang Sederhana Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos. Dalam bentuk tunggal, ethos mempunyai arti yang beragam, antara lain „tempat tinggal‟, „kebiasaan‟, „adat‟, „akhlak‟, „watak‟, „perasaan‟, „sikap‟, dan „cara berpikir‟. Bentuk jamaknya, etha, berarti „adat kebiasaan‟. Arti yang terakhir ini melatarbelakangi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (304322 SM) dipakai untuk menunjukkan sifat moral. Dengan demikian, etika berarti ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2007: 4). Dalam kamus bahasa Indonesia, kata etika diartikan „kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat, ilmu tentang yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral‟ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 309). Dari pemahaman di atas dapat dikembangkan bahwa etika berarti „nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipedomani seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah laku‟. Etika dapat juga dipahami sebagai sistem nilai, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Etika dapat diartikan pula sebagai kumpulan asas atau nilai moral, seperti etika kedokteran, etika profesi, dan sebagainya (Bertens, 2007: 6). Etika sebagai ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membantu seseorang untuk mencari orientasi dan menetapkan cara-cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, seseorang tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja dengan berbagai kalangan, tetapi memiliki pedoman yang diikuti dan sesuai dengan pilihan hati nurani dan dapat mempertanggungjawabkannya (Magnis-Suseno, 1987: 14). Etika dibedakan dari ajaran moral. Moral berasal dari bahasa Latin mor (bentuk tunggal; bentuk jamaknya mores) yang berarti „kebiasaan‟, „adat‟, „akhlak‟. Pengertian akhlak dan moral banyak persamaannya. Perbedaannya hanya pada sisi sumbernya. Akhlak bersumber dari ajaran agama, sedangkan moral bersumber dari filsafat. Ajaran moral berupa ketetapan-ketetapan, pakem, kumpulan peraturan, pedoman-pedomanbaik lisan maupun tertulisyang bersumber dari agama, adat istiadat, kearifan lokal, dan sumber-sumber lain yang mengatur perilaku agar menjadi manusia yang baik.

Upload: ignasiusdwi

Post on 25-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Etika MPKT-A

TRANSCRIPT

  • 104

    BAB III: ETIKA

    Zakky Mubarak

    1. Etika dalam Pengertian yang Sederhana

    Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos. Dalam bentuk tunggal, ethos mempunyai

    arti yang beragam, antara lain tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak,

    perasaan, sikap, dan cara berpikir. Bentuk jamaknya, etha, berarti adat kebiasaan. Arti

    yang terakhir ini melatarbelakangi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (304322

    SM) dipakai untuk menunjukkan sifat moral. Dengan demikian, etika berarti ilmu tentang

    adat kebiasaan (Bertens, 2007: 4).

    Dalam kamus bahasa Indonesia, kata etika diartikan kumpulan asas atau nilai yang

    berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan

    atau masyarakat, ilmu tentang yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

    (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 309). Dari pemahaman di atas dapat dikembangkan

    bahwa etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipedomani seseorang atau

    sekelompok orang dalam mengatur tingkah laku. Etika dapat juga dipahami sebagai sistem

    nilai, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Etika dapat diartikan

    pula sebagai kumpulan asas atau nilai moral, seperti etika kedokteran, etika profesi, dan

    sebagainya (Bertens, 2007: 6).

    Etika sebagai ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membantu seseorang

    untuk mencari orientasi dan menetapkan cara-cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat.

    Dengan demikian, seseorang tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja dengan berbagai

    kalangan, tetapi memiliki pedoman yang diikuti dan sesuai dengan pilihan hati nurani dan

    dapat mempertanggungjawabkannya (Magnis-Suseno, 1987: 14).

    Etika dibedakan dari ajaran moral. Moral berasal dari bahasa Latin mor (bentuk

    tunggal; bentuk jamaknya mores) yang berarti kebiasaan, adat, akhlak. Pengertian

    akhlak dan moral banyak persamaannya. Perbedaannya hanya pada sisi sumbernya. Akhlak

    bersumber dari ajaran agama, sedangkan moral bersumber dari filsafat. Ajaran moral berupa

    ketetapan-ketetapan, pakem, kumpulan peraturan, pedoman-pedomanbaik lisan maupun

    tertulisyang bersumber dari agama, adat istiadat, kearifan lokal, dan sumber-sumber lain

    yang mengatur perilaku agar menjadi manusia yang baik.

  • 105

    Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar terhadap ajaran-ajaran dan

    pandangan moral tersebut. Etika menyaring ajaran moral yang beraneka ragam, dan mungkin

    saling bertentangan untuk dipilah dan dipilih, mana yang lebih tepat, mana yang

    dipertahankan, mana yang harus diabaikan, mana yang harus diubah, dan sebagainya. Setelah

    diteliti secara kritis, objektif, dan mendalam, etika ditetapkan dengan pilihan yang dapat

    dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, ajaran moral merupakan pedoman bertingkah

    laku, sedangkan etika menetapkan orientasi untuk memilah dan memilih ajaran moral yang

    tepat dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan situasi, kondisi, dan konteks yang

    dihadapi.

    Istilah lain yang artinya hampir sama dengan arti kata moral ialah kata akhlak (bentuk

    jamak dari kata khuluk dalam bahasa Arab) berarti perangai, adat kebiasaan, tabiat, budi

    pekerti, kepribadian, dan perilaku (Ibn Manzhur, 1992: 86). Pengertian etimologis kata

    akhlak itu berlaku secara umum, baik untuk yang terpuji maupun yang tercela. Di Indonesia

    secara sosiologis pengertian akhlak ialah perangai yang terpuji. Karena itu, apabila

    dikatakan: Farid seorang yang berakhlak, maka maksudnya ialah bahwa Farid memiliki

    akhlak yang terpuji. Pengertian kata akhlak secara terminologis dikemukakan oleh sejumlah

    ahli. Menurut Al-Ghazali, akhlak adalah suatu perilaku sadar yang bersumber dari jiwa yang

    melahirkan berbagai kegiatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.

    Apabila perilaku itu baik, maka itu disebut akhlak terpuji; dan apabila perilaku itu buruk,

    maka itu disebut akhlak yang tercela. Ibn Miskawih mendefinisikan akhlak sebagai sikap

    yang tertanam dalam jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tanpa

    memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Al-Farabi mengartikan akhlak sebagai sesuatu

    yang bertujuan untuk meraih kebahagiaan yang merupakan tingkat tertinggi yang diharapkan

    setiap orang (Daud, 1986:123).

    2. Manfaat Mempelajari Etika

    Sebagaimana telah disebutkan di atas, etika adalah pemikiran sistematis, objektif, dan

    mendalam tentang moralitas. Karena itu, yang dihasilkan secara langsung oleh etika bukan

    kebaikan atau perilaku yang terpuji, melainkan suatu pengertian yang mendasar dan kritis.

    Etika mengusahakan orientasi terhadap ajaran moral yang dijumpai dalam lingkungan

    masyarakat dengan tujuan agar seorang yang beretika tidak melakukan taklid atau membebek

    kepada ajaran moral yang ada, melainkan melakukan pemilahan dan pemilihan atas ajaran

    moral itu dengan cara yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, etika sangat

    relevan dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Ada beberapa alasan mengapa

  • 106

    dikatakan bahwa etika memberikan manfaat yang signifikan kepada kehidupan masa kini dan

    masa yang akan datang.

    Pertama, kita hidup dalam era globalisasi dengan ciri masyarakatnya yang

    mulitikultural dan plural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek moralitas. Dalam

    aktivitas sehari-hari kita bergaul dengan anggota masyarakat yang terdiri atas berbagai suku,

    bangsa, dan ras yang berbeda agama, adat istiadat, dan kebudayaan yang melatarbelakangi

    kehidupannya. Kita dihadapkan dengan banyak pandangan moral. Selain terdapat persamaan,

    di antaranya juga terdapat berbagai perbedaan, bahkan ada yang saling bertentangan. Masing-

    masing kelompok mengklaim bahwa pandangan moral yang dimilikinyalah yang benar dan

    baik, sedangkan pandangan moral yang lain salah dan tidak tepat. Pertanyaannya sekarang

    adalah pandangan moral yang mana yang kita pilih? Pandangan yang kita warisi dari nenek

    moyang? Pandangan yang berbasis tradisional desa atau daerah? Pandangan moralitas yang

    ditawarkan oleh media massa? Di sinilah etika berfungsi dan berperan membimbing kita

    dalam menentukan pilihan secara kritis dan objektif, serta dapat dipertanggungjawabkan dari

    berbagai aspek.

    Kedua, kita hidup dalam abad komunikasi dan transformasi yang luar biasa. Segala

    sesuatu cepat berubah, termasuk pandangan tentang moral. Gelombang modernisasi terus

    merambah kehidupan masyarakat, mulai dari kota-kota besar sampai ke desa-desa yang

    terpencil. Tidak ada dimensi kehidupan yang terlepas dari modernisasi. Jika kehidupan

    beberapa tahun laluyang telah kita jalanidibandingkan dengan yang sekarang, akan

    terasa suasana yang berbeda. Pola kehidupan masyarakat berubah dengan cepat. Alat-alat

    transportasi diciptakan sangat canggih dan berkembang dalam jumlah yang banyak. Perilaku

    ekonomi berubah secara radikal. Paham-paham baru bermunculan di tengah kehidupan

    masyarakatseperti rasionalisme, individualisme, sekulerisme, pluralisme, materialisme,

    konsumerisme, dan hedonismeyang terus menggerus peradaban dan pandangan moral yang

    kita warisi secara turun-temurun.

    Transformasi ekonomi, sosial, dan nilai-nilai lain membuat budaya tradisional

    mendapat tantangan keras yang tak terelakkan. Situasi seperti itu membuat masyarakat kita

    gamang dan bingung. Akibatnya, timbullah berbagai macam reaksi terhadap keadaan

    tersebut. Ada kelompok atau golongan masyarakat yang begitu cepat menerima perubahan;

    ada yang bersikeras mempertahankan tradisi lama; dan ada yang berkompromi. Dalam

    suasana seperti inilah etika membantu kita agar kita tidak kehilangan orientasi sehingga kita

    dapat membuat pemisahan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang

    tercela. Dengan memakai etika sebagai alat kita dapat memisahkan mana yang hakiki dan

  • 107

    harus dipertahankan, mana yang boleh diubah, mana yang boleh diabaikan, dan mana yang

    harus dibuang. Dengan etika kita dapat menentukan sikap yang tepat dan dapat

    dipertangungjawabkan, secara moral dan agama.

    Ketiga, proses modernisasidengan perubahan sosial, budaya, dan moral seperti

    yang kita alamimungkin dapat digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk

    mendesak budaya dan pandangan moral kita yang lalu menjadi tidak mampu bertahan dalam

    kehidupan modern. Dengan demikian, kita akan menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri

    atau menjadi bangsa yang hanya bisa membebek, mengikuti budaya dan pandangan moral

    bangsa lain dan meninggalkan budaya dan pandangan moral kita. Sesungguhnya eksis atau

    hancurnya suatu bangsa ditentukan oleh kehidupan moralnya. Apabila suatu bangsa tidak

    lagi memiliki moral yang sesuai dengan jati dirinya, maka lenyaplah eksistensi bangsa itu.

    Menghadapi kenyataan ini etika dapat membantu kita untuk secara kritis dan objektif

    menyaring ideologi-ideologi yang membahayakan jati diri bangsa kita, baik yang datangnya

    dari dalam maupun dari luar. Kita memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian secara

    mandiri agar budaya kita tidak mudah tergerus oleh budaya asing yang bersifat destruktif.

    Etika juga dapat membentuk sikap yang bijak pada diri kita agar tidak terlalu naif dan

    ekstrem dalam menghadapi perubahan. Kita tidak menolak secara kaku atau tidak menerima

    perubahan secara membabi buta, tetapi kita harus melakukan penyaringan yang kritis,

    objektif, dan pertimbangan yang mendalam terhadapnya.

    Keempat, kalangan pemuka agama, ulama, pendeta, dan tokoh-tokoh agama dapat

    mempergunakan etika untuk mengaplikasikan ajaran agamanya sehingga dapat diterima oleh

    berbagai lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat awam, golongan terpelajar, kaum

    professional, dan para ilmuwan. Sebagaimana diketahui secara umum, meskipun tiap agama

    berpedoman pada kitab sucinya masing-masing, ternyata dalam memahami kitab suci sebagai

    wahyu Tuhan terdapat berbagai pandangan yang berbeda. Kita dapat menjumpai perbedaan

    pandangan tersebut dalam, misalnya, aliran-aliran teologi, fikih, hukum, dan pandangan

    moral. Etika dapat membantu para ahli agama untuk memilah dan mimilih serta menetapkan

    berbagai pandangan yang ada, atau mungkin mengusahakan pandangan yang baru, secara

    kritis, objektif, dan mendasar yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan

    demikian, ajaran-ajaran agama itu akan dilaksanakan oleh para pemeluknya dalam kehidupan

    sehari-hari dengan mudah dan menyenangkan.

  • 108

    3. Etika dan Agama

    Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi etika tidak bertentangan dengan

    agama, bahkan diperlukan sebagaimana telah disebutkan di atas. Ada sejumlah masalah

    dalam bidang moral agama yang sulit dipecahkan tanpa mempergunakan metode-metode

    etika. Dua di antaranya ialah yang berikut. Pertama, dalam menginterprestasikan wahyu

    Tuhan, para ahli ilmu agama sering berbeda pendapat. Hal itu tercermin dari bervariasinya

    pendapat para ahli tafsir dalam mengartikan firman Tuhan yang termuat dalam kitab suci.

    Semua ahli sepakat tentang kebenaran wahyu, dan masalahnya memang bukan terletak pada

    wahyu itu sendiri melainkan pada bagaimana manusia harus menangkap maksudnya. Dalam

    kitab suci ada perbuatan terlarang yang dijelaskan secara tegas sehingga tidak menimbulkan

    perbedaaan penafsiran para ahli agama, misalnya tentang larangan mencuri, membunuh,

    berbuat zalim, dan berzina.

    Di samping yang dijelaskan secara tegas itu, dalam kitab suci banyak juga firman

    Tuhan yang dapat menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda sehingga kita mungkin

    menafsirkan firman itu secara tidak tepat dan keliru dalam memahaminya. Hal ini dapat kita

    temukan dalam banyaknya perbedaan aliran-aliran teologi, fikih, hukum, dan lain-lain.

    Untuk memecahkan masalah itu, para ahli ilmu agama perlu melakukan interpretasi secara

    bersama sehingga mereka memperoleh kesepakatan yang di dalam tradisi Islam disebut

    ijmak yang berarti kesesuaian pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal

    atau peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 418). Dalam hal tidak tercapai kata

    sepakat atau konsensus maka masalah dapat diselesaikan dengan qiyas atau analogi sehingga

    suatu firman dapat dipahami secara umum dan dapat diterapkan dalam kehidupan. Sebagai

    contoh dapat dikemukakan di sini bagaimana beras dan jagung dapat dianalogikan dengan

    gandum atau sagu sebagai makanan pokok. Upaya atau ikhtiar seperti itu memerlukan

    metode-metode etika dalam penyelesaian masalah.

    Kedua, dalam kehidupan modern banyak dijumpai masalah atau kasus baru yang tidak

    dijumpai di dalam kitab-kitab suci seperti transfusi darah, bayi tabung, transplantasi atau

    pencangkokan ginjal atau anggota tubuh yang lain, inseminasi buatan, dan kloning. Hal-hal

    baru tersebut perlu dirumuskan oleh ahli-ahli agama melalui qiyas atau ijmak. Untuk itu

    diperlukan etika agar rumusan yang dikeluarkan benar-benar melalui pertimbangan yang

    mengedepankan penalaran secara kritis, objektif, dan dapat dipertangungjawabkan. Harus

    diingat bahwa dalam agama pun kita diperintahkan supaya kita mempergunakan akal pikiran

    kita untuk memahami wahyu-wahyu Tuhan yang tertulis dalam kitab suci dan kenyataan

  • 109

    yang ada di alam semesta. Itulah sebabnya mengapa para ahli agama diarahkan agar betul-

    betul menggunakan rasio secara maksimal yang disertai metode etika.

    4. Kebebasan dan Tanggung Jawab

    4.1 Kebebasan Eksistensial dan Kebebasan Sosial

    Kebebasan dalam kehidupan manusia dipahami sebagai kebebasan yang terbatas. Pada

    hakikatnya, di samping memiliki kebebasan, manusia juga tidak dapat terlepas dari

    keterbatasan. Secara kodrati dan secara alami, manusia tidak dapat bebas untuk menentukan

    atau menghindar dari hal-hal seperti hidup, mati, tua, dan sakit. Secara kodrati manusia tidak

    dapat terbang seperti burung atau hidup di dalam air seperti ikan.

    Di samping keterbatasan, manusia juga tidak dapat melepaskan diri dari paksaan-

    paksaan. Manusia dihadapkan pada paksaan-paksaan yang berada di luar kemampuannya.

    Paling sedikit ada tiga paksaan yang membelenggu kehidupan manusia, yaitu paksaan absolut

    dan metafisis, paksaan semi-absolut, dan paksaan hukum-hukum moral.

    Paksaan yang bersifat absolut ialah paksaan yang tidak dapat ditolak atau dihindari,

    misalnya, kematian. Setiap orang pasti akan menghadapi kematian dan tidak dapat memilih

    untuk tidak mati. Paksaan itu juga bersifat metafisis karena tidak diketahui secara pasti kapan

    kematian itu akan terjadi.

    Paksaan lain yang lebih rendah tingkatannya dari paksaan absolut dan metafisis

    adalah paksaan yang bersifat semi-absolut. Paksaan ini disebut semi-absolut karena orang

    dapat memilih untuk menghindarinyameskipun ada akibat yang harus ditanggungnya

    sendiri. Contohnya ialah makan. Untuk dapat bertahan hidup, setiap makhluk hidup harus

    makan. Orang tentu saja dapat memilih untuk tidak makantetapi dengan risiko mati ynang

    harus ditanggungnya sendiri.

    Paksaan lain lagi yang tingkatannya paling rendah adalah paksaan yang bersifat

    hukum-hukum moral. Contohnya ialah berpakaian, berkeluarga, dan bergaul. Paksaan ini

    disebut hukum-hukum moral karena hanya berkaitan dengan ketentuan moral dan masih

    dapat dihindari. Manusia tidak mati dengan menghindari hal tersebut. Misalnya, orang yang

    tidak berpakaian, tidak berkeluarga, atau tidak bergaul dengan orang di sekelilingnya tidak

    akan mati karena itu, tetapi ia akan terkena sanksi hukum moral. Masyarakat akan

    menggolongkannya sebagai orang yang aneh, tidak normal, tidak sama dengan orang lainnya.

    Uraian di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kebebasan yang dimiliki

    oleh manusia adalah kebebasan yang sesuai dengan kodrat dan iradatnya. Manusia

  • 110

    mempunyai kebebasan memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

    Kita bebas memilih tempat kuliah, tempat tinggal, pekerjaan, pasangan hidup, teman, dan

    sebagainya. Kita juga bebas memilih atau menentukan berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

    Umpamanya, kita berjalan di suatu jalan yang agak gelap, dan kita melihat lubang yang

    cukup dalam di badan jalan. Nurani kita mengingatkan, lubang itu dapat membahayakan

    orang lain yang melewati jalan itu. Kalau mau, kita dapat menutup lubang itu atau memberi

    tanda supaya orang tidak terjerumus ke dalamnya. Tetapi, di sisi lain, kita pun boleh saja

    tidak melakukan apa-apa dengan lubang yang menganga itu, meskipun kita merasa hal itu

    bertentangan dengan sanubari kita.

    Kebebasan pada dasarnya adalah keleluasaan untuk memilih dari beberapa alternatif

    yang ada. Kita dapat memilih bertindak atau diam, menerima atau menolak. Karena kita

    mempunyai kemauan dari tindakan kita, maka kebebasan dari masyarakat yang kita terima

    menjadi sangat berharga. Kebebasan yang ada pada setiap orang selalu dibarengi dengan

    tanggung jawab: tanggung jawab terhadap hati nurani dan tanggung jawab sosial.

    Kebebasan yang dimiliki manusia tergolong atas dua, yaitu kebebasan eksistensial

    dan kebebasan sosial. Kebebasan eksistensial ialah kebebasan menyangkut sikap yang akan

    kita pilih, misalnya kebebasan untuk memilih perusahaan tempat bekerja. Kebebasan ini

    dapat dirumuskan dengan pertanyaan, Kebebasan untuk apa? Sementara itu, kebebasan

    sosial merupakan kebebasan yang berasal dari masyarakat atau yang diberikan oleh

    lingkungan kita. Kebebasan ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan, Kebebasan dari apa

    dan siapa? (Magnis-Suseno, 1987:34.)

    Pembatasan Kebebasan Sosial

    Dalam kehidupan sosial kita selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri atas berbagai

    lapisan seperti orang tua, tokoh adat, guru, mahasiswa, dan atasan. Dalam kegiatan

    bersosialisasi, kebebasan yang dimiliki manusia yang disebut kebebasan sosial pasti bersifat

    terbatas; orang tidak mungkin bebas tanpa batas, hanya menuruti kemauan sendiri. Oleh

    karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat pasti ditetapkan peraturan berupa apa yang

    dibolehkan dan apa yang dilarang. Dengan perkataan lain dapat dirumuskan: kebebasan sosial

    selalu terbatas. Keterbatasan itu merupakan suatu fakta yang tidak dapat dibantah. Paling-

    paling kita hanya dapat membahas sejauh mana keterbatasan itu ditetapkan oleh kesepakatan

    anggota masyarakat.

    Sebagai makhluk sosial, orang tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan orang

    lain. Hubungan orang dengan orang lain dalam lingkungannya merupakan hubungan yang

  • 111

    bersifat kodrati dan saling menguntungkan. Seseorang dengan mudah dapat mengonsumsi

    makanan seperti nasi atau roti tanpa harus terlebih dahulu mencangkul tanah sendiri,

    menanam padi atau gandum sendiri, memanen sendiri, menumbuk sendiri, dan seterusnya

    hingga menjadi nasi atau roti. Karena kita bermasyarakat dengan hubungan yang saling

    menguntungkan, maka apa yang kita perlukan dapat kita peroleh dengan sangat mudah.

    Orang hidup bersama dengan orang lain dalam ruang dan waktu yang sama. Manusia secara

    bersama-sama memanfaatkan alam dengan segala isinya sebagai karunia Tuhan untuk

    memenuhi kebutuhannya.

    Berdasarkan kenyataan tersebut maka setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus

    disesuaikan dengan kepentingan dan keadaan orang lain. Kepentingan orang lain perlu

    diperhatikan semampu kita dan kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi. Kalau seseorang tidak

    mau memperhatikan kepentingan orang lain maka benturan dan permusuhan di antara mereka

    tidak dapat dihindarkan. Pertanyaan yang relevan dalam hal ini bukan Apakah kebebasan

    sosial kita boleh dibatasi atau tidak? melainkan Sejauh mana dan dengan cara apa

    kebebasan sosial kita boleh dibatasi? Jadi, keterbatasan kebebasan sosial tidak lagi menjadi

    persoalan karena telah jelas dan gamblang. Yang dituntut dari kita adalah bahwa pembatasan

    itu harus dapat dipertanggungjawabkan dari beberapa aspeknya. Sungguhpun kebebasan

    sosial kita harus dibatasi, hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat

    dibenarkan.

    Legitimasi Pembatasan Kebebasan

    Pembatasan kebebasan sosial bagi setiap orang oleh masyarakat pada dasarnya disebabkan

    oleh dua hal. Pertama, setiap individu manusia memiliki kebebasan yang sama. Keadilan

    mensyaratkan bahwa apa yang kita peroleh bagi diri sendiri, pada hakikatnya harus diakui

    sebagai hak orang lain juga. Oleh karena itu, hak saya atas kebebasan yang saya miliki

    bersinggungan batasnya dengan kebebasan orang lain yang sama haknya. Sangat tidak adil

    apabila saya mengambil dua bungkus nasi pembagian di kantor saya selama masih ada

    karyawan lain yang belum mendapat bagiannya. Jadi, kebebasan saya untuk mengambil dua

    bungkus nasiyang salah satunya akan diberikan kepada anak saya di rumah, misalnya

    melanggar hak karyawan lain untuk memperoleh jatah nasi bungkus tersebut. Jadi, kebebasan

    saya tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang mempunyai hak yang sama

    dengan saya.

    Kedua, saya bersama orang lain, dalam jumlah sedikit atau banyak, merupakan anggota

    masyarakat. Seseorang menjadi eksis, hidup dan berkembang dalam masyarakat, adalah

  • 112

    karena pelayanan dan bantuan orang lain. Masyarakat pun membutuhkan andil saya dalam

    berpartisipasi untuk menegakkan kehidupan mereka. Karena itu, masyarakat berhak secara

    hakiki membatasi kebebasan saya, demi kepentingan bersama. Mewujudkan kepentingan

    bersama itu dilakukan dengan menyepakati dan menetapkan kewajiban dan larangan tertentu

    yang berlaku bagi setiap anggota masyarakat. Dalam rangka menetapkan wewenang

    masyarakat dan demi tujuan-tujuan anggotanya yang beraneka macam, masyarakat berhak

    membatasi kebebasan anggota-anggota, yang dianggap perlu dan wajar. Sungguhpun

    demikian, masyarakat tidak boleh memberikan batasan-batasan yang sewenang-wenang,

    melainkan yang telah disepakati melalui permusyawaratan yang tulus.

    Pertanggungjawaban Secara Terbuka

    Pertanggungjawaban yang dituntut dalam pembatasan sosial pada kehidupan bermasyarakat

    harus dilakukan secara terbuka, jujur, dan transparan, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi atau

    disembunyikan. Masyarakat berhak membatasi kebebasan anggotanya. Oleh karena itu,

    masyarakat hendaknya secara terbuka dan tanpa diskriminasi menetapkan aturan-aturan dan

    larangan-larangan yang dibutuhkan dan dianggap perlu yang berlaku bagi semua anggotanya.

    Dengan demikian, setiap anggota masyarakat sepenuhnya berhak menuntut

    pertanggungjawaban yang terbuka dan transparan juga. Apabila peraturan-peraturan yang

    ditetapkan masyarakat tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka itu berarti bahwa peraturan

    itu bersifat sewenang-wenang dan harus dibatalkan.

    5. Bisikan Hati Nurani

    Setiap individu manusia, baik yang terpelajar maupun yang tergolong awam, pasti

    mempunyai hati nurani. Pengalaman bisikan hati nurani merupakan perjumpaan yang paling

    jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Bisikan hati nurani merupakan kejujuran yang

    timbul dalam diri setiap orang. Karena itu, ketika ada seorang anak muda yang meminta

    nasihat kepada seorang tokoh yang sangat bijak agar ia meraih kesuksesan dan kebahagiaan,

    maka dijawab oleh sang tokoh, Mintalah nasihat dari hati sanubarimu sendiri. Jawaban itu

    memang sangat singkat, tetapi dapat memberikan isyarat berharga. Pesan itu menjelaskan

    bahwa siapa pun yang mengikuti bisikan hati nuraninya yang terpuji, maka ia akan meraih

    kebahagiaan dan kesuksesan, baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang.

  • 113

    5.1 Lembaga-Lembaga Normatif

    Hati nurani yang membisikkan kejujuran, kebenaran, dan kebaikan yang ada pada diri

    manusia, selain ditentukan dari dalam dirinya sendiri, juga dipengaruhi oleh lembaga-

    lembaga normatif dari luar. Lembaga normatif yang sangat banyak jumlahnya itu dapat

    dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masyarakat, agama dan ideologi, serta negara dan

    pemerintahan. Ketiga lembaga itu memiliki andil dalam pembentuk hati nurani seseorang.

    Dari lingkungan keluarga kita memperoleh bimbingan-bimbingan normatif. Secara

    bertahap kita mulai mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, apa yang

    baik dan yang buruk. Kita juga mulai memahami berbagai hal yang terpuji dan harus

    diwujudkan, dan berbagai hal yang tercela yang harus dihindari. Dari mereka kita

    memperoleh bimbingan untuk bergaul dengan orang lain: dengan tetangga, dengan teman

    bermain, dan dengan lingkungan yang lebih besar lagi. Kita mendapat pengarahan agar

    berlaku jujur dan menghindari dusta serta harus membantu mereka yang menderita.

    Dengan bertambahnya usia, kita memperoleh bimbingan dari lingkungan, dari

    masyarakat yang lebih luas. Dari lingkungan sekolah kita memperoleh pelajaran berharga,

    misalnya tentang pentingnya ilmu, disiplin belajar, disiplin dalam berbagai kegiatan sekolah,

    menghargai waktu, menghormati guru, dan belajar memahami perilaku teman-teman di

    sekolah. Kita juga memperoleh bimbingan dari teman-teman di klub olahraga dan dari teman

    bergaul di masyarakat yang lebih luas. Agama dan ideologi pun berperan sangat penting

    dalam pembentukan nurani kita. Dari bimbingan agama kita memperoleh pengetahuan

    tentang cara-cara mengembangkan keimanan dan keyakinan, cara-cara beribadah yang baik,

    dan kemampuan untuk membangun akhlak yang terpuji. Oleh agama kita diarahkan untuk

    bersikap jujur, tabah, dan ulet. Kita juga diarahkan untuk menjalin persaudaraan, baik

    persaudaraan berdasarkan pertalian darah atau keturunan, persaudaraan seagama,

    persaudaraan setanah air, dan persaudaraan sesama umat manusia. Kita diarahkan untuk

    berusaha membuat hidup kita dapat memberi manfaat bagi orang lain. Kita dibimbing agar

    dapat mewujudkan diri menjadi rahmat bagi alam semesta secara keseluruhan.

    Negara dan pemerintah berfungsi menerapkan norma-norma hukum dan peraturan-

    peraturan yang harus ditaati warganya. Apabila terjadi pelanggaran maka mereka yang

    melakukannya akan ditindak secara tegas. Negara dengan berbagai perangkatnya

    membimbing manusia agar saling menjaga ketertiban, keamanan, dan menyelesaikan

    perselisihan yang terjadi antarwarga maupun antarkelompok. Dari negara kita memperoleh

    pengetahuan tentang dasar dan falsafah kebangsaan, tentang kewarganegaraan, organisasi

    massa, organisasi politik, sistem pemerintahan, dan sebagainya.

  • 114

    Sebagaimana telah disebutkan di atas, norma-norma yang membentuk perilaku kita

    tidak hanya mendapat pengaruh dari luar, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri. Dari

    psikologi kita mengetahui bahwa anak-anak di masa kecil sudah mulai menginternalisasikan

    dalam dirinya perintah-perintah dan larangan-larangan serta nilai-nilai moral yang

    dipraktikkan orang tuanya. Karena itu, batin kita merekam bimbingan masyarakat kepada

    kita. Batin kita menyerap harapan masyarakatmulai dari orang tua, lingkungan keluarga,

    hingga lembaga-lembaga lain yang berinteraksi dengan kitaterhadap kita.

    Dalam psikologi bisikan hati nurani disebut superego, yaitu perasaan moral yang

    bersifat spontan. Superego mewujud dalam diri kita ketika kita merasa malu dan bersalah

    apabila melanggar norma-norma yang telah diyakini. Rasa malu itu timbul, baik ketika

    diketahui maupun ketika tidak diketahui orang lain. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang

    mencontek jawaban dari buku ketika ia mengikuti ujian akan merasa malu apabila diketahui

    orang lain; bila tidak diketahui orang lain pun sebenarnya ia merasa malu juga kepada dirinya

    sendiri. Superego tidak mempunyai norma-norma asli sendiri, melainkan menyuarakan

    norma dari lingkungan sosial kita. (Magnis-Suseno, 1987: 50).

    1.2 Batas Wewenang Lembaga Normatif

    Dalam praktik kehidupan yang nyata, norma-norma yang ditetapkan oleh lembaga normatif

    tidak selamanya berlaku mulus, dan pertentangan dapat timbul. Pertentangan seperti itu dapat

    terjadi pada seseorang, misalnya yang bernama Hamid, seorang aktivis partai politik yang

    sangat setia kepada partainya. Pada saat partainya mengadakan kampanye menjelang

    pelaksanaan pemilihan umum, beberapa aktivis partai yang menjadi teman Hamid

    menganiaya seorang pemuda yang menolak mengikuti partai itu. Hamid sendiri tidak

    menyetujui penganiayaan itu tetapi tidak sanggup mencegahnya. Kecuali Hamid, tidak ada

    seorang pun yang tahu siapa pelaku penganiayaan itu. Setelah peristiwa itu terjadi, timbullah

    pertentangan batin dalam diri Hamid. Apabila ia melaporkan para penganiaya itu kepada

    polisi, ia akan dimusuhi oleh partainya, teman dan atasannya di partai. Namanya pasti akan

    dicoret dari daftar calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya. Apabila ia tidak

    melaporkannya, ia akan terus dihantui rasa bersalah hingga batinnya tersiksa.

    Dari kasus Hamid ini dapat diambil kesimpulan bahwa Hamid tidak dapat

    mengandalkan tiga lembaga normatif yang disebutkan di atas, tetapi harus menentukan

    sendiri sikapnya terhadap kasus tersebut; ia tidak dapat dibantu oleh kalangan lain. Fungsi

    lembaga-lembaga normatif itu mencapai batasnya ketika anggotanya harus melakukan

    tindakan berdasarkan keputusannya sendiri.

  • 115

    1.3 Bisikan Nurani

    Pada contoh kasus di atas, dalam diri Hamid terdapat bisikan nurani atau bisikan sanubari,

    yaitu bahwa penganiayaan yang dilakukan teman-teman separtainya adalah suatu kejahatan.

    Itulah yang disebut bisikan hati nurani, suara hati atau bisikan nurani. Bisikan hati sanubari

    adalah kejujuran dan kebenaran yang tidak dapat disembunyikan dari diri sendiri meskipun

    dapat disembunyikan dari orang lain. Bisikan hati sanubari adalah kesadaran tentang apa

    yang menjadi kewajiban yang harus dilakukan berkaitan dengan masalah nyata yang

    dihadapi. Berhadapan dengan pendapat masyarakat dan tuntutan ideologi, Hamid menyadari

    bahwa ia tidak boleh mengikuti moral mereka begitu saja, melainkan harus memastikan

    sendiri apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya dalam situasi tertentu. Bisikan hati nurani

    adalah kesadaran moral kita dalam situasi yang konkret. Dalam pusat kepribadian kita yang

    disebut kalbu atau hati, kita sangat sadar akan apa yang seharusnya kita lakukan.

    Sebagian besar bisikan sanubari adalah kebenaran dan kejujuran, namun bisikan hati

    juga memperoleh masukan-masukan dari luar. Pengaruh dari luar itu tidak selamanya berupa

    kebenaran. Oleh karena itu, kalbu atau hati sanubari kita perlu mendapatkan bimbingan dari

    sumber kebenaran yang mutlak, yaitu berupa wahyu Tuhan yang terangkum dalam kitab suci.

    Selain yang tertulis dalam kitab suci, petunjuk Tuhan pun terdapat dalam kearifan lokal di

    berbagai penjuru dunia, yang dapat digali dari ayat-ayat tidak tertulis berupa alam semesta

    dengan segala peristiwanya yang menakjubkan.

    2. Mengembangkan Hati Nurani

    6.1 Bersikap dengan Moral

    Meskipun nilai-nilai moral telah disepakati sebagai pedoman yang bermanfaat dalam

    kehidupan dan bahwa moral itu besifat rasional berdasarkan pertimbangan objektif,

    kesepakatan sering tidak dapat dicapai. Sebagai contoh, dalam masalah aborsi, korupsi, dan

    transplantasi anggota tubuh, sering terjadi pertentangan antara yang pro dan yang kontra,

    masing-masing dengan argumentasi yang berlawanan sehingga kesepakatan tidak diperoleh.

    Perbedaan pandangan mengenai sikap moral terjadi karena beberapa hal, antara lain

    yang berikut. Pertama, masalah yang dihadapi sangat kompleks, seperti masalah kedokteran

    atau bisnis. Perselisihan dapat terjadi karena pengetahuan manusia tidak sama. Pengetahuan

    mereka kebanyakan bersifat parsial, artinya hanya mencakup bagian-bagian tertentu saja.

    Karena perbedaan pengetahuan dan informasi, terjadilah perselisihan atau silang pendapat.

  • 116

    Kedua, masalah diselesaikan tidak melalui pendekatan secara rasional dan objektif,

    melainkan secara emosional atau dari segi kepentingan pribadi. Sebagai contoh, pemilik

    perusahaan dan para pegawainya sering tidak mencapai kesepakatan. Hal ini terjadi karena

    masing-masing mendekati masalah yang sama dari kepentingan yang berbeda, yaitu

    kepentingan pemilik perusahaan di satu pihak dan kepentingan pegawainya di pihak lain.

    Ketiga, ada sebagian orang yang secara terang-terangan tidak bersedia untuk bersikap

    baik, adil, dan jujur. Orang seperti itu menolak untuk bersikap secara moral. Mereka hanya

    ingin mengejar kepentingan pribadinya saja. Dengan demikian mereka tidak mau menerima

    prinsip-prinsip moral, mereka hanya mau menang sendiri. Mengingat bahwa kesepakatan

    moral sulit didapatkan, kita perlu mendidik hati nurani atau suara hati kita. Patut dicatat

    bahwa kesepakatan moral biasanya hanya terjadi di antara orang-orang yang memiliki

    kepribadian yang kuat dan matang.

    6.2 Mendidik Hati Nurani

    Hati nurani, sebagaimana telah diuraikan di atas, terpengaruh juga oleh dorongan-dorongan

    dari luar, terbentuk oleh pengaruh pendidikan formal dan informal yang pernah dijalani.

    Demikianlah hati nurani itu dipengaruhi oleh pandangan moral lingkungan dan pengalaman-

    pengalaman masa lalu. Perasaan moral (superego) dan anggapan-angapan itu sangat

    mempengaruhi hati nurani, sedangkan dorongan-dorongan itu tidak semuanya baik sehingga

    bisikan hati nurani juga ada yang baik dan ada juga yang tidak baik. Karena itu, harus

    dilakukan pendidikan bagi hati nurani.

    Untuk mencapai kematangan hati nurani, kita harus melakukan pendidikan dalam

    ranah kognitif dan afektif. Dalam ranah kognitif, hati nurani diarahkan agar memberikan

    penilaian berdasarkan perkiraan yang tepat. Dengan mendidik hati nurani, kita selalu

    berusaha untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang merasuki batin kita sehingga kita

    dapat mengambil jarak dengannya dan menilainya dengan kritis. Mendidik hati nurani berarti

    membiasakan diri secara terus-menerus bersikap terbuka, meningkatkan kemauan belajar

    secara berkesinambungan, mau memahami asal-usul masalah yang dihadapi, memahami

    pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat, dan terus berusaha memperbaharui pandangan-

    pandangan, jika dianggap perlu. Dengan cara itu, kesadaran moral kita akan terus

    berkembang dan tidak akan berhenti pada titik tertentu, misalnya pada tingkat kesadaran saat

    masih remaja. Hati nurani harus tumbuh selaras dengan pertumbuhan kita menuju

    kedewasaan. Hal itu dapat dicapai dengan memperluas wawasan dan meningkatkan tanggung

    jawab.

  • 117

    6.3 Hati Nurani dan Petunjuk Tuhan

    Dalam kehidupan masyarakat, sering dipahami secara keliru bahwa bisikan hati nurani itu

    adalah suci dan jujur sehingga dianggap sebagai petunjuk dari Tuhan. Anggapan itu tidak

    terlalu tepat. Memang benar bahwa kebanyakan bisikan hati nurani merupakan petunjuk dari

    Tuhan melalui ilham, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua bisikan hati nurani adalah

    petunjuk dari Tuhan. Demikian halnya karena bisikan hati nurani dapat salah atau keliru,

    sedangkan petunjuk Tuhan tidak mungkin salah atau keliru. Bisikan hati nurani jelas

    menggambarkan segala pengertian dan perasaan kita sendiri sehingga merupakan suara hati

    kita sendiri.

    Kalau bisikan hati nurani tidak mutlak benar, bagaimana kita mengaplikasikannya

    dalam kehidupan kita? Mengapa harus dipertahankan? Jawabannya adalah bahwa kita perlu

    mengikuti bisikan sanubari kita dengan kesadaran akan kekurangan dan kelemahan kita, baik

    tentang petunjuk atau kebenaran. Petunjuk dan kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan

    semesta alam. Dengan kesadaran itu kita meyakini bahwa kita bersikap jujur dalam

    pemahaman kita, dan untuk itu kita memohon petunjuk kepada yang Mahamutlak untuk

    membimbing kita. Kita melakukan kebaikan-kebaikan yang kita pahami dengan penuh

    kesadaran bahwa hal itu dilihat oleh Tuhan yang Maha Esa sehingga kita selalu merasa dalam

    pengawasan dan ridha-Nya.

    6.4 Pesan Moral dan Tradisi

    Berbagai tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat merupakan unsur yang

    penting dari pesan-pesan moral yang kita tetapkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Pembentukan perilaku tidak berdiri sendiri. Kita harus memulai sesuatu bukan dari titik nol,

    melainkan dari apa yang telah ada, baik yang diambil dari tradisi atau adat kebiasaan

    masyarakat yang dapat diterapkan. Meskipun demikian, sikap kritis pada kita harus terus

    ditumbuhsuburkan sehingga tradisi dan adat kebiasaan yang ada pada masyarakat kita tetap

    disaring secara kritis. Tradisi yang ada berupa nasihat-nasihat, pakem, dan pesan-pesan dari

    tokoh masyarakat banyak yang baik dan bermanfaat. Karena itu, setelah kita

    mempertimbangkan dan meneliti secara kritis, sebagian dari tradisi itu mungkin dapat kita

    tetapkan sebagai pesan-pesan moral. Dengan demikian, kita memulai sesuatu dari yang telah

    ada, bukan dari sesuatu yang belum ada sama sekali, dan kita menunjukkan sikap dewasa,

    arif, dan tidak angkuh seolah-olah hanya kita sendiri yang menetapkan pesan-pesan moral

    tersebut. Dalam masyarakat kita banyak orang yang telah teruji kemampuan dan kejujurannya

  • 118

    dalam menetapkan pesan-pesan moral, berpengalaman, dan bijak. Kalangan yang

    kebijakannya patut diteladani di antaranya adalah tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat,

    guru, tetua adat, serta orang-orang yang terkenal memiliki hikmah dan kebijaksanaan yang

    sangat tinggi. Sesungguhnya banyak permasalahan yang kita hadapi sekarang ini merupakan

    masalah-masalah yang sudah pernah terjadi juga pada masa yang lalu.

    Dengan memiliki sikap tersebut, kita memperoleh kekayaan dari pesan-pesan moral

    yang terdiri atas pengalaman-pengalaman dan penetapan kita ditambah dengan kekayaan

    pengalaman dan ilmu yang bermanfaat dari tradisi yang ada pada masyarakat. Bahkan pada

    saat kita menemui jalan buntu dalam menyelesaikan masalah-masalah moral, kita tidak perlu

    segan atau malu untuk menanyakan kepada mereka yang lebih mengetahui dan lebih

    berpengalaman sehingga kita memperoleh pengalaman baru. Pengalaman yang kita hadapi

    pun dapat kita selesaikan dengan baik dan mulus. Sikap tidak malu bertanya kepada mereka

    yang lebih mengerti dan lebih berpengalaman itu merupakan wujud dari ciri-ciri seorang

    ilmuwan. Dengan itu maka sikap angkuh dan sombong akan dapat dihilangkan dan diganti

    dengan sikap rendah hati sebagai sikap yang terpuji.

    7 Langkah-langkah Pengembangan Moral

    Pengembangan moral merupakan salah satu usaha untuk menguatkan bisikan hati nurani

    sehingga kita dapat menjadi orang yang kuat yang terus mengembangkan bisikan nuraninya

    dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam berbagai situasi. Langkah-langkahnya antara

    lain ialah menyucikan dan mengikhlaskan motivasi, mengendalikan hawa nafsu, menghindari

    penyakit-penyakit rohani, dan mempertajam rasa (dzauq).

    Kemampuan untuk mengikuti hati nurani dan bersikap sesuai dengannya sangat

    tergantung pada apakah kita telah dapat membebaskan diri kita dari segala macam emosi dan

    hambatan irrasional yang terus merongrong kita. Apabila kita telah dapat membebaskan diri

    dari gangguan itu, maka pribadi kita menjadi kuat dan tangguh. Sebaliknya, apabila kita tidak

    mampu membebaskan diri dari hal itu maka kita menjadi rendah dan hina. Agar kita terlepas

    dari hambatan-hambatan itu kita melakukan langkah-langkah pengembangan moral yang

    telah disinggung di atas, yang selengkapnya diuraikan berikut ini.

    Menyucikan dan mengikhlaskan motivasi akan mengantarkan seseorang kepada sikap

    yang bersih dan tidak terpengaruh oleh pamrih atau keinginan-keinginan tertentu yang

    irrasional. Kata ikhlas berasal dari kata akhlasha dalam bahasa Arab yang pengertian

    dasarnya adalah memurnikan, mengambil inti sarinya, mengerjakan sesuatu tanpa pamrih

    atau pamer, mengerjakan sesuatu dengan cinta dan tulus (Al-Munawwir, 1994: 388). Jadi,

  • 119

    jika seseorang telah memiliki keikhlasan dalam berbagai aktivitasnya, maka hal itu berarti

    bahwa ia telah dapat membersihkan dirinya dari rongrongan seperti pamrih, pamer, dan

    kecenderungan tercela lainnya. Dengan demikian ia akan memiliki sikap yang mandiri,

    terlepas dari kekhawatiran, misalnya takut tidak memperoleh materi, takut dikritik orang lain,

    takut dibenci oleh mereka yang tidak suka, dan sebagainya.

    Mengendalikan nafsu berarti bahwa orang membentengi dirinya dari dorongan nafsu

    tercela yang dapat mengakibatkan kejatuhannya ke lembah kehinaan dan kenistaan serta

    dapat mematikan bisikan sanubarinya. Hawa nafsu timbul karena dorongan perut, dorongan

    (libido) seksual, dan dorongan hawa nafsu. Orang yang tidak dapat mengendalikan dorongan

    perutnya atau dorongan untuk makan akan diperbudak oleh perutnya sendiri. Ia akan makan

    secara berlebihan, hal yang akan merusak kesehatannya dan melemahkan rohaninya. Dengan

    demikian, hidupnya hanya untuk makan. Sementara itu, orang yang dapat mengendalikan

    dorongan perutnya akan mengonsumsi makanan yang baik dan tidak berlebihan, tujuan

    makannya bukan untuk mencari kelezatan dan kenikmatan yang merusak, melainkan untuk

    kesehatan fisik dan rohaninya sehingga bisikan sanubarinya menjadi sangat kuat.

    Dorongan (libido) seksual merupakan naluri yang ada pada manusia yang tidak dapat

    dihindari. Kita perlu mengarahkan dorongan ini kepada kebaikan dan menghindari hal-hal

    yang buruk agar kita tidak menjadi budak dari dorongan seksual yang akan mencelakakan

    diri sendiri dan dapat melemahkan nurani kita.

    Nafsu yang menyesatkan merupakan rongrongan yang lebih berbahaya lagi. Apabila

    seseorang memperturutkan hawa nafsu itu, ia akan membahayakan dirinya sendiri dan orang

    lain. Hal itu mengakibatkan perilakunya menjadi labil dan rohaninya menjadi rapuh.

    Penyakit-penyakit rohani yang harus dihindari adalah yang berikut. Pertama, rasa

    dengki, yaitu perasaan senang yang timbul ketika orang lain mendapat celaka dan perasaan

    sakit luar biasa ketika orang lain meraih kesuksesan. Sikap ini sangat tercela karena dapat

    menghancurkan perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan, layaknya api yang

    membakar jerami.

    Kedua, sikap dendam, yaitu sikap yang keras dan kaku yang tidak mau memaafkan

    orang lain. Sikap dendam dapat membuat sikap moral seseorang menjadi sangat tercela.

    Misalnya ada seorang dosen yang pernah tersinggung oleh salah seorang mahasiswanya

    sehingga ia merasa dendam. Ketika kemudian mahasiswa itu hendak mengikuti ujian skripsi,

    dosen itu menjadi pengujinya. Karena dendam, sang dosen menjatuhkan mahasiswa itu

    dengan memberinya nilai rendah sehingga tidak lulus padahal sebetulnya ia menjawab

    pertanyaan-pertanyaan dengan baik.

  • 120

    Ketiga, sikap angkuh, yaitu sikap yang mau menang sendiri dan merasa diri sendirilah

    yang paling baik. Sikap ini membuat kita meremehkan orang lain dan tidak mau menerima

    kritik dan saran dari mereka.

    Keempat, sikap pengecut, yaitu sikap yang menimbulkan rasa takut akan berbagai hal

    yang irrasional, seperti takut tidak mendapat bagian rezeki, takut tidak dapat pujian dari

    orang lain, takut dibenci orang lain, dan takut untuk menyampaikan kebenaran berdasarkan

    bisikan hati nurani.

    Kelima, sikap amarah, serakah, dan malas. Sikap ini akan mengakibatkan

    kemerosotan produktivitas seseorang dalam bidang apa pun. Orang yang sanggup

    menghilangkan sikap rakus, amarah, dan malas akan mampu meningkatkan kemampuannya

    dalam segala bidang. Wajarlah jika dikatakan bahwa apabila seseorang ingin meraih

    kesuksesan, maka hendaklah ia berusaha untuk menahan amarahnya.

    Mempertajam rasa (dzauq) dapat mengantarkan seseorang untuk terbiasa

    memperhatikan hati nuraninya yang membentuk dirinya betul-betul bernilai dan bertanggung

    jawab. Mengembangkan rasa atau perasaan merupakan unsur penting dalam pendidikan.

    Apabila rasa (dzauq) telah menjadi tajam, maka akan diperoleh kemampuan merasakan

    segala dimensi kehidupan, mulai dari perasaan jasmani, perasaan inderawi melalui

    penghayatan suatu hubungan interpersonal, hingga kesadaran batin terhadap kenyataan yang

    sesungguhnya. Dengan demikian, bisikan nurani akan menjadi sangat kuat dan dapat

    diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

    8 Kepribadian Moral yang Kuat

    Setelah langkah-langkah pengembangan moral, di sini kita akan membahas kepribadian

    moral yang kuat, yang terletak pada lima hal, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesiapan

    untuk bertanggung jawab, keberanian moral, dan sifat realistis dan kritis (Magnis-Suseno,

    1987: 141-149).

    Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang yang kuat secara moral.

    Tanpa kejujuran seseorang tidak dapat memperoleh kemajuan karena ia belum menjadi

    dirinya sendiri. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan

    subtansinya. Berbuat baik kepada orang lain yang dilakukan tanpa kejujuran merupakan sikap

    kemunafikan. Demikian juga sikap-sikap lain yang baik, seperti sikap tanpa pamrih menjadi

    suatu sikap yang licik apabila tidak mengakar pada kejujuran. Hal yang sama berlaku juga

    bagi sikap-sikap baik lainnya. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti bersikap terbuka dan

    bersikap fair. Dengan sifat terbuka, seseorang tidak akan menyembunyikan sesuatu yang

  • 121

    tidak perlu disembunyikan, dan akan senantiasa memperhatikan kepentingan-kepentingan

    orang lain. Sifat fair menetapkan standar bertindak pada orang lain dengan mengukur diri

    sendiri. Apabila kita merasa tidak senang pada sesuatu perbuatan, orang lain pun mungkin

    merasakan hal yang sama.

    Nilai otentik sangat erat kaitannya dengan kejujuran dan merupakan nilai yang sangat

    penting bagi seseorang yang ingin menjadi kuat dan dewasa. Dengan otentik dimaksudkan

    bahwa kita menjadi diri kita sendiri, yaitu orang yang konsisten, tidak mudah diwarnai oleh

    lingkungannya. Orang yang memiliki sifat seperti ini digambarkan dalam suatu pernyataan

    yang berbunyi, Apabila orang banyak berbuat baik, maka aku pun berbuat baik, dan apabila

    orang banyak berbuat buruk pun, aku tetap berbuat baik. Tidak seperti orang yang

    mengatakan, Apabila orang banyak berbuat baik, maka aku berbuat baik, dan apabila orang

    banyak berbuat buruk, maka aku pun ikut berbuat buruk. Sikap yang pertama adalah sikap

    orang yang konsisten, sikap yang memiliki nilai-nilai yang otentik, sedangkan sikap yang

    kedua adalah sikap orang yang tidak konsisten atau yang tidak memiliki nilai otentik.

    Setiap orang yang memegang teguh kejujuran pasti memiliki kesediaan untuk

    bertanggung jawab, yaitu kesediaan untuk melakukan apa yang harus dikerjakan dengan

    sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti kita melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

    kepada kita dengan tanpa pamrih. Kita akan melaksanakan tugas itu dengan sebaik mungkin,

    meskipun hal itu menuntut pengorbanan dan menyebabkan timbulnya tantangan dari orang

    lain. Jika seseorang melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang tinggi, maka ia

    tidak akan merasakan pekerjaan itu sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari yang

    dicintainya, dan yang harus dilakukannya dengan ikhlas.

    Keberanian moral adalah sikap berani menunjukkan diri dengan tekad tetap

    mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, meskipun mendapatkan

    perlawanan yang keras dari lingkungannya. Orang yang telah memiliki sikap demikian akan

    bersikap konsisten dan sangat tabah dalam menjawab tantangan-tantangan yang dihadapinya

    meskipun ia harus diasingkan oleh masyarakatnya. Dalam menghadapi cemoohan,

    penghinaan, dan bahkan ancaman orang lain, ia tidak merasa benci atau jengkel tetapi dengan

    tulus tetap dalam keyakinannya. Cemoohan dan ancaman itu dibiarkan saja berlalu sehingga

    pada suatu saat para penentangnya itu dapat memahaminya.

    Sikap realistis merupakan wujud dari hal yang terpuji dari orang-orang yang

    mengembangkan etika dan moral. Dengan sikap ini, orang melihat segala sesuatu yang

    dihadapi sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak menolak realitas yang terdapat dalam

    masyarakat. Sikap realistis harus disertai dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral

  • 122

    menuntut agar seseorang terus-menerus memperbaiki apa yang dihadapi supaya menjadi

    lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan dapat mengantarkan manusia kepada

    kehidupan yang lebih bahagia. Dengan kita mengakomodasi sikap ini maka akan terwujudlah

    masyarakat yang baik, dan pesan-pesan moral yang terpuji akan terlaksana.

  • 123

    DAFTAR PUSTAKA

    untuk Bab III

    Alisjahbana, Sutan Takdir. 1982. Sejarah dan Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-

    nilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

    Al-Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta:

    Pesantren Krapyak.

    Aristoteles. 1961. The Ethics of Aristotle: The Nicomachean Ethics (terjemahan J.A.K.

    Thomson). Harmondsworth: Penguin Books.

    Bakhtiar, Amsal. 1987. Filsafat Agama. Jakarta: Logos.

    Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

    Brown-Lee, Malcolm. 1981. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya.

    Jakarta: BPK Gunung Mulia.

    Daud, Ahmad. 1986 (cet. ke-3). Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

    Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

    Pustaka.

    Drijarkara, N. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan.

    Finoza, Lamuddin. 2008. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

    Freger, Robert. 2002. Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi. Jakarta:

    Serambi.

    Geertz, Clifford. 1966. The Religion of Java. Glencoe, Ill.: The Free Press.

    Ibn Manzhur, Jamal al-Din Muhammad. 1992. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir.

    Magnis-Suseno Franz. 1987 (cet. ke-2). Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat

    Moral. Yogyakarta: Kanisius.

    Mubarak, Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah.

    Mulyana, Deddy, dll. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Rosda Karya.

    Poespoprodjo, W. 1986. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:

    Remaja Karya.