4.bab iii - etika
DESCRIPTION
Etika MPKT-ATRANSCRIPT
-
104
BAB III: ETIKA
Zakky Mubarak
1. Etika dalam Pengertian yang Sederhana
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos. Dalam bentuk tunggal, ethos mempunyai
arti yang beragam, antara lain tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap, dan cara berpikir. Bentuk jamaknya, etha, berarti adat kebiasaan. Arti
yang terakhir ini melatarbelakangi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (304322
SM) dipakai untuk menunjukkan sifat moral. Dengan demikian, etika berarti ilmu tentang
adat kebiasaan (Bertens, 2007: 4).
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata etika diartikan kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan
atau masyarakat, ilmu tentang yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 309). Dari pemahaman di atas dapat dikembangkan
bahwa etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang dipedomani seseorang atau
sekelompok orang dalam mengatur tingkah laku. Etika dapat juga dipahami sebagai sistem
nilai, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Etika dapat diartikan
pula sebagai kumpulan asas atau nilai moral, seperti etika kedokteran, etika profesi, dan
sebagainya (Bertens, 2007: 6).
Etika sebagai ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membantu seseorang
untuk mencari orientasi dan menetapkan cara-cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, seseorang tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja dengan berbagai
kalangan, tetapi memiliki pedoman yang diikuti dan sesuai dengan pilihan hati nurani dan
dapat mempertanggungjawabkannya (Magnis-Suseno, 1987: 14).
Etika dibedakan dari ajaran moral. Moral berasal dari bahasa Latin mor (bentuk
tunggal; bentuk jamaknya mores) yang berarti kebiasaan, adat, akhlak. Pengertian
akhlak dan moral banyak persamaannya. Perbedaannya hanya pada sisi sumbernya. Akhlak
bersumber dari ajaran agama, sedangkan moral bersumber dari filsafat. Ajaran moral berupa
ketetapan-ketetapan, pakem, kumpulan peraturan, pedoman-pedomanbaik lisan maupun
tertulisyang bersumber dari agama, adat istiadat, kearifan lokal, dan sumber-sumber lain
yang mengatur perilaku agar menjadi manusia yang baik.
-
105
Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar terhadap ajaran-ajaran dan
pandangan moral tersebut. Etika menyaring ajaran moral yang beraneka ragam, dan mungkin
saling bertentangan untuk dipilah dan dipilih, mana yang lebih tepat, mana yang
dipertahankan, mana yang harus diabaikan, mana yang harus diubah, dan sebagainya. Setelah
diteliti secara kritis, objektif, dan mendalam, etika ditetapkan dengan pilihan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, ajaran moral merupakan pedoman bertingkah
laku, sedangkan etika menetapkan orientasi untuk memilah dan memilih ajaran moral yang
tepat dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan situasi, kondisi, dan konteks yang
dihadapi.
Istilah lain yang artinya hampir sama dengan arti kata moral ialah kata akhlak (bentuk
jamak dari kata khuluk dalam bahasa Arab) berarti perangai, adat kebiasaan, tabiat, budi
pekerti, kepribadian, dan perilaku (Ibn Manzhur, 1992: 86). Pengertian etimologis kata
akhlak itu berlaku secara umum, baik untuk yang terpuji maupun yang tercela. Di Indonesia
secara sosiologis pengertian akhlak ialah perangai yang terpuji. Karena itu, apabila
dikatakan: Farid seorang yang berakhlak, maka maksudnya ialah bahwa Farid memiliki
akhlak yang terpuji. Pengertian kata akhlak secara terminologis dikemukakan oleh sejumlah
ahli. Menurut Al-Ghazali, akhlak adalah suatu perilaku sadar yang bersumber dari jiwa yang
melahirkan berbagai kegiatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
Apabila perilaku itu baik, maka itu disebut akhlak terpuji; dan apabila perilaku itu buruk,
maka itu disebut akhlak yang tercela. Ibn Miskawih mendefinisikan akhlak sebagai sikap
yang tertanam dalam jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Al-Farabi mengartikan akhlak sebagai sesuatu
yang bertujuan untuk meraih kebahagiaan yang merupakan tingkat tertinggi yang diharapkan
setiap orang (Daud, 1986:123).
2. Manfaat Mempelajari Etika
Sebagaimana telah disebutkan di atas, etika adalah pemikiran sistematis, objektif, dan
mendalam tentang moralitas. Karena itu, yang dihasilkan secara langsung oleh etika bukan
kebaikan atau perilaku yang terpuji, melainkan suatu pengertian yang mendasar dan kritis.
Etika mengusahakan orientasi terhadap ajaran moral yang dijumpai dalam lingkungan
masyarakat dengan tujuan agar seorang yang beretika tidak melakukan taklid atau membebek
kepada ajaran moral yang ada, melainkan melakukan pemilahan dan pemilihan atas ajaran
moral itu dengan cara yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, etika sangat
relevan dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Ada beberapa alasan mengapa
-
106
dikatakan bahwa etika memberikan manfaat yang signifikan kepada kehidupan masa kini dan
masa yang akan datang.
Pertama, kita hidup dalam era globalisasi dengan ciri masyarakatnya yang
mulitikultural dan plural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek moralitas. Dalam
aktivitas sehari-hari kita bergaul dengan anggota masyarakat yang terdiri atas berbagai suku,
bangsa, dan ras yang berbeda agama, adat istiadat, dan kebudayaan yang melatarbelakangi
kehidupannya. Kita dihadapkan dengan banyak pandangan moral. Selain terdapat persamaan,
di antaranya juga terdapat berbagai perbedaan, bahkan ada yang saling bertentangan. Masing-
masing kelompok mengklaim bahwa pandangan moral yang dimilikinyalah yang benar dan
baik, sedangkan pandangan moral yang lain salah dan tidak tepat. Pertanyaannya sekarang
adalah pandangan moral yang mana yang kita pilih? Pandangan yang kita warisi dari nenek
moyang? Pandangan yang berbasis tradisional desa atau daerah? Pandangan moralitas yang
ditawarkan oleh media massa? Di sinilah etika berfungsi dan berperan membimbing kita
dalam menentukan pilihan secara kritis dan objektif, serta dapat dipertanggungjawabkan dari
berbagai aspek.
Kedua, kita hidup dalam abad komunikasi dan transformasi yang luar biasa. Segala
sesuatu cepat berubah, termasuk pandangan tentang moral. Gelombang modernisasi terus
merambah kehidupan masyarakat, mulai dari kota-kota besar sampai ke desa-desa yang
terpencil. Tidak ada dimensi kehidupan yang terlepas dari modernisasi. Jika kehidupan
beberapa tahun laluyang telah kita jalanidibandingkan dengan yang sekarang, akan
terasa suasana yang berbeda. Pola kehidupan masyarakat berubah dengan cepat. Alat-alat
transportasi diciptakan sangat canggih dan berkembang dalam jumlah yang banyak. Perilaku
ekonomi berubah secara radikal. Paham-paham baru bermunculan di tengah kehidupan
masyarakatseperti rasionalisme, individualisme, sekulerisme, pluralisme, materialisme,
konsumerisme, dan hedonismeyang terus menggerus peradaban dan pandangan moral yang
kita warisi secara turun-temurun.
Transformasi ekonomi, sosial, dan nilai-nilai lain membuat budaya tradisional
mendapat tantangan keras yang tak terelakkan. Situasi seperti itu membuat masyarakat kita
gamang dan bingung. Akibatnya, timbullah berbagai macam reaksi terhadap keadaan
tersebut. Ada kelompok atau golongan masyarakat yang begitu cepat menerima perubahan;
ada yang bersikeras mempertahankan tradisi lama; dan ada yang berkompromi. Dalam
suasana seperti inilah etika membantu kita agar kita tidak kehilangan orientasi sehingga kita
dapat membuat pemisahan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang
tercela. Dengan memakai etika sebagai alat kita dapat memisahkan mana yang hakiki dan
-
107
harus dipertahankan, mana yang boleh diubah, mana yang boleh diabaikan, dan mana yang
harus dibuang. Dengan etika kita dapat menentukan sikap yang tepat dan dapat
dipertangungjawabkan, secara moral dan agama.
Ketiga, proses modernisasidengan perubahan sosial, budaya, dan moral seperti
yang kita alamimungkin dapat digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk
mendesak budaya dan pandangan moral kita yang lalu menjadi tidak mampu bertahan dalam
kehidupan modern. Dengan demikian, kita akan menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri
atau menjadi bangsa yang hanya bisa membebek, mengikuti budaya dan pandangan moral
bangsa lain dan meninggalkan budaya dan pandangan moral kita. Sesungguhnya eksis atau
hancurnya suatu bangsa ditentukan oleh kehidupan moralnya. Apabila suatu bangsa tidak
lagi memiliki moral yang sesuai dengan jati dirinya, maka lenyaplah eksistensi bangsa itu.
Menghadapi kenyataan ini etika dapat membantu kita untuk secara kritis dan objektif
menyaring ideologi-ideologi yang membahayakan jati diri bangsa kita, baik yang datangnya
dari dalam maupun dari luar. Kita memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian secara
mandiri agar budaya kita tidak mudah tergerus oleh budaya asing yang bersifat destruktif.
Etika juga dapat membentuk sikap yang bijak pada diri kita agar tidak terlalu naif dan
ekstrem dalam menghadapi perubahan. Kita tidak menolak secara kaku atau tidak menerima
perubahan secara membabi buta, tetapi kita harus melakukan penyaringan yang kritis,
objektif, dan pertimbangan yang mendalam terhadapnya.
Keempat, kalangan pemuka agama, ulama, pendeta, dan tokoh-tokoh agama dapat
mempergunakan etika untuk mengaplikasikan ajaran agamanya sehingga dapat diterima oleh
berbagai lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat awam, golongan terpelajar, kaum
professional, dan para ilmuwan. Sebagaimana diketahui secara umum, meskipun tiap agama
berpedoman pada kitab sucinya masing-masing, ternyata dalam memahami kitab suci sebagai
wahyu Tuhan terdapat berbagai pandangan yang berbeda. Kita dapat menjumpai perbedaan
pandangan tersebut dalam, misalnya, aliran-aliran teologi, fikih, hukum, dan pandangan
moral. Etika dapat membantu para ahli agama untuk memilah dan mimilih serta menetapkan
berbagai pandangan yang ada, atau mungkin mengusahakan pandangan yang baru, secara
kritis, objektif, dan mendasar yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan
demikian, ajaran-ajaran agama itu akan dilaksanakan oleh para pemeluknya dalam kehidupan
sehari-hari dengan mudah dan menyenangkan.
-
108
3. Etika dan Agama
Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi etika tidak bertentangan dengan
agama, bahkan diperlukan sebagaimana telah disebutkan di atas. Ada sejumlah masalah
dalam bidang moral agama yang sulit dipecahkan tanpa mempergunakan metode-metode
etika. Dua di antaranya ialah yang berikut. Pertama, dalam menginterprestasikan wahyu
Tuhan, para ahli ilmu agama sering berbeda pendapat. Hal itu tercermin dari bervariasinya
pendapat para ahli tafsir dalam mengartikan firman Tuhan yang termuat dalam kitab suci.
Semua ahli sepakat tentang kebenaran wahyu, dan masalahnya memang bukan terletak pada
wahyu itu sendiri melainkan pada bagaimana manusia harus menangkap maksudnya. Dalam
kitab suci ada perbuatan terlarang yang dijelaskan secara tegas sehingga tidak menimbulkan
perbedaaan penafsiran para ahli agama, misalnya tentang larangan mencuri, membunuh,
berbuat zalim, dan berzina.
Di samping yang dijelaskan secara tegas itu, dalam kitab suci banyak juga firman
Tuhan yang dapat menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda sehingga kita mungkin
menafsirkan firman itu secara tidak tepat dan keliru dalam memahaminya. Hal ini dapat kita
temukan dalam banyaknya perbedaan aliran-aliran teologi, fikih, hukum, dan lain-lain.
Untuk memecahkan masalah itu, para ahli ilmu agama perlu melakukan interpretasi secara
bersama sehingga mereka memperoleh kesepakatan yang di dalam tradisi Islam disebut
ijmak yang berarti kesesuaian pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal
atau peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 418). Dalam hal tidak tercapai kata
sepakat atau konsensus maka masalah dapat diselesaikan dengan qiyas atau analogi sehingga
suatu firman dapat dipahami secara umum dan dapat diterapkan dalam kehidupan. Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini bagaimana beras dan jagung dapat dianalogikan dengan
gandum atau sagu sebagai makanan pokok. Upaya atau ikhtiar seperti itu memerlukan
metode-metode etika dalam penyelesaian masalah.
Kedua, dalam kehidupan modern banyak dijumpai masalah atau kasus baru yang tidak
dijumpai di dalam kitab-kitab suci seperti transfusi darah, bayi tabung, transplantasi atau
pencangkokan ginjal atau anggota tubuh yang lain, inseminasi buatan, dan kloning. Hal-hal
baru tersebut perlu dirumuskan oleh ahli-ahli agama melalui qiyas atau ijmak. Untuk itu
diperlukan etika agar rumusan yang dikeluarkan benar-benar melalui pertimbangan yang
mengedepankan penalaran secara kritis, objektif, dan dapat dipertangungjawabkan. Harus
diingat bahwa dalam agama pun kita diperintahkan supaya kita mempergunakan akal pikiran
kita untuk memahami wahyu-wahyu Tuhan yang tertulis dalam kitab suci dan kenyataan
-
109
yang ada di alam semesta. Itulah sebabnya mengapa para ahli agama diarahkan agar betul-
betul menggunakan rasio secara maksimal yang disertai metode etika.
4. Kebebasan dan Tanggung Jawab
4.1 Kebebasan Eksistensial dan Kebebasan Sosial
Kebebasan dalam kehidupan manusia dipahami sebagai kebebasan yang terbatas. Pada
hakikatnya, di samping memiliki kebebasan, manusia juga tidak dapat terlepas dari
keterbatasan. Secara kodrati dan secara alami, manusia tidak dapat bebas untuk menentukan
atau menghindar dari hal-hal seperti hidup, mati, tua, dan sakit. Secara kodrati manusia tidak
dapat terbang seperti burung atau hidup di dalam air seperti ikan.
Di samping keterbatasan, manusia juga tidak dapat melepaskan diri dari paksaan-
paksaan. Manusia dihadapkan pada paksaan-paksaan yang berada di luar kemampuannya.
Paling sedikit ada tiga paksaan yang membelenggu kehidupan manusia, yaitu paksaan absolut
dan metafisis, paksaan semi-absolut, dan paksaan hukum-hukum moral.
Paksaan yang bersifat absolut ialah paksaan yang tidak dapat ditolak atau dihindari,
misalnya, kematian. Setiap orang pasti akan menghadapi kematian dan tidak dapat memilih
untuk tidak mati. Paksaan itu juga bersifat metafisis karena tidak diketahui secara pasti kapan
kematian itu akan terjadi.
Paksaan lain yang lebih rendah tingkatannya dari paksaan absolut dan metafisis
adalah paksaan yang bersifat semi-absolut. Paksaan ini disebut semi-absolut karena orang
dapat memilih untuk menghindarinyameskipun ada akibat yang harus ditanggungnya
sendiri. Contohnya ialah makan. Untuk dapat bertahan hidup, setiap makhluk hidup harus
makan. Orang tentu saja dapat memilih untuk tidak makantetapi dengan risiko mati ynang
harus ditanggungnya sendiri.
Paksaan lain lagi yang tingkatannya paling rendah adalah paksaan yang bersifat
hukum-hukum moral. Contohnya ialah berpakaian, berkeluarga, dan bergaul. Paksaan ini
disebut hukum-hukum moral karena hanya berkaitan dengan ketentuan moral dan masih
dapat dihindari. Manusia tidak mati dengan menghindari hal tersebut. Misalnya, orang yang
tidak berpakaian, tidak berkeluarga, atau tidak bergaul dengan orang di sekelilingnya tidak
akan mati karena itu, tetapi ia akan terkena sanksi hukum moral. Masyarakat akan
menggolongkannya sebagai orang yang aneh, tidak normal, tidak sama dengan orang lainnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kebebasan yang dimiliki
oleh manusia adalah kebebasan yang sesuai dengan kodrat dan iradatnya. Manusia
-
110
mempunyai kebebasan memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Kita bebas memilih tempat kuliah, tempat tinggal, pekerjaan, pasangan hidup, teman, dan
sebagainya. Kita juga bebas memilih atau menentukan berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Umpamanya, kita berjalan di suatu jalan yang agak gelap, dan kita melihat lubang yang
cukup dalam di badan jalan. Nurani kita mengingatkan, lubang itu dapat membahayakan
orang lain yang melewati jalan itu. Kalau mau, kita dapat menutup lubang itu atau memberi
tanda supaya orang tidak terjerumus ke dalamnya. Tetapi, di sisi lain, kita pun boleh saja
tidak melakukan apa-apa dengan lubang yang menganga itu, meskipun kita merasa hal itu
bertentangan dengan sanubari kita.
Kebebasan pada dasarnya adalah keleluasaan untuk memilih dari beberapa alternatif
yang ada. Kita dapat memilih bertindak atau diam, menerima atau menolak. Karena kita
mempunyai kemauan dari tindakan kita, maka kebebasan dari masyarakat yang kita terima
menjadi sangat berharga. Kebebasan yang ada pada setiap orang selalu dibarengi dengan
tanggung jawab: tanggung jawab terhadap hati nurani dan tanggung jawab sosial.
Kebebasan yang dimiliki manusia tergolong atas dua, yaitu kebebasan eksistensial
dan kebebasan sosial. Kebebasan eksistensial ialah kebebasan menyangkut sikap yang akan
kita pilih, misalnya kebebasan untuk memilih perusahaan tempat bekerja. Kebebasan ini
dapat dirumuskan dengan pertanyaan, Kebebasan untuk apa? Sementara itu, kebebasan
sosial merupakan kebebasan yang berasal dari masyarakat atau yang diberikan oleh
lingkungan kita. Kebebasan ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan, Kebebasan dari apa
dan siapa? (Magnis-Suseno, 1987:34.)
Pembatasan Kebebasan Sosial
Dalam kehidupan sosial kita selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri atas berbagai
lapisan seperti orang tua, tokoh adat, guru, mahasiswa, dan atasan. Dalam kegiatan
bersosialisasi, kebebasan yang dimiliki manusia yang disebut kebebasan sosial pasti bersifat
terbatas; orang tidak mungkin bebas tanpa batas, hanya menuruti kemauan sendiri. Oleh
karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat pasti ditetapkan peraturan berupa apa yang
dibolehkan dan apa yang dilarang. Dengan perkataan lain dapat dirumuskan: kebebasan sosial
selalu terbatas. Keterbatasan itu merupakan suatu fakta yang tidak dapat dibantah. Paling-
paling kita hanya dapat membahas sejauh mana keterbatasan itu ditetapkan oleh kesepakatan
anggota masyarakat.
Sebagai makhluk sosial, orang tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan orang
lain. Hubungan orang dengan orang lain dalam lingkungannya merupakan hubungan yang
-
111
bersifat kodrati dan saling menguntungkan. Seseorang dengan mudah dapat mengonsumsi
makanan seperti nasi atau roti tanpa harus terlebih dahulu mencangkul tanah sendiri,
menanam padi atau gandum sendiri, memanen sendiri, menumbuk sendiri, dan seterusnya
hingga menjadi nasi atau roti. Karena kita bermasyarakat dengan hubungan yang saling
menguntungkan, maka apa yang kita perlukan dapat kita peroleh dengan sangat mudah.
Orang hidup bersama dengan orang lain dalam ruang dan waktu yang sama. Manusia secara
bersama-sama memanfaatkan alam dengan segala isinya sebagai karunia Tuhan untuk
memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus
disesuaikan dengan kepentingan dan keadaan orang lain. Kepentingan orang lain perlu
diperhatikan semampu kita dan kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi. Kalau seseorang tidak
mau memperhatikan kepentingan orang lain maka benturan dan permusuhan di antara mereka
tidak dapat dihindarkan. Pertanyaan yang relevan dalam hal ini bukan Apakah kebebasan
sosial kita boleh dibatasi atau tidak? melainkan Sejauh mana dan dengan cara apa
kebebasan sosial kita boleh dibatasi? Jadi, keterbatasan kebebasan sosial tidak lagi menjadi
persoalan karena telah jelas dan gamblang. Yang dituntut dari kita adalah bahwa pembatasan
itu harus dapat dipertanggungjawabkan dari beberapa aspeknya. Sungguhpun kebebasan
sosial kita harus dibatasi, hal itu tidak berarti bahwa segala macam pembatasan dapat
dibenarkan.
Legitimasi Pembatasan Kebebasan
Pembatasan kebebasan sosial bagi setiap orang oleh masyarakat pada dasarnya disebabkan
oleh dua hal. Pertama, setiap individu manusia memiliki kebebasan yang sama. Keadilan
mensyaratkan bahwa apa yang kita peroleh bagi diri sendiri, pada hakikatnya harus diakui
sebagai hak orang lain juga. Oleh karena itu, hak saya atas kebebasan yang saya miliki
bersinggungan batasnya dengan kebebasan orang lain yang sama haknya. Sangat tidak adil
apabila saya mengambil dua bungkus nasi pembagian di kantor saya selama masih ada
karyawan lain yang belum mendapat bagiannya. Jadi, kebebasan saya untuk mengambil dua
bungkus nasiyang salah satunya akan diberikan kepada anak saya di rumah, misalnya
melanggar hak karyawan lain untuk memperoleh jatah nasi bungkus tersebut. Jadi, kebebasan
saya tidak boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang mempunyai hak yang sama
dengan saya.
Kedua, saya bersama orang lain, dalam jumlah sedikit atau banyak, merupakan anggota
masyarakat. Seseorang menjadi eksis, hidup dan berkembang dalam masyarakat, adalah
-
112
karena pelayanan dan bantuan orang lain. Masyarakat pun membutuhkan andil saya dalam
berpartisipasi untuk menegakkan kehidupan mereka. Karena itu, masyarakat berhak secara
hakiki membatasi kebebasan saya, demi kepentingan bersama. Mewujudkan kepentingan
bersama itu dilakukan dengan menyepakati dan menetapkan kewajiban dan larangan tertentu
yang berlaku bagi setiap anggota masyarakat. Dalam rangka menetapkan wewenang
masyarakat dan demi tujuan-tujuan anggotanya yang beraneka macam, masyarakat berhak
membatasi kebebasan anggota-anggota, yang dianggap perlu dan wajar. Sungguhpun
demikian, masyarakat tidak boleh memberikan batasan-batasan yang sewenang-wenang,
melainkan yang telah disepakati melalui permusyawaratan yang tulus.
Pertanggungjawaban Secara Terbuka
Pertanggungjawaban yang dituntut dalam pembatasan sosial pada kehidupan bermasyarakat
harus dilakukan secara terbuka, jujur, dan transparan, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi atau
disembunyikan. Masyarakat berhak membatasi kebebasan anggotanya. Oleh karena itu,
masyarakat hendaknya secara terbuka dan tanpa diskriminasi menetapkan aturan-aturan dan
larangan-larangan yang dibutuhkan dan dianggap perlu yang berlaku bagi semua anggotanya.
Dengan demikian, setiap anggota masyarakat sepenuhnya berhak menuntut
pertanggungjawaban yang terbuka dan transparan juga. Apabila peraturan-peraturan yang
ditetapkan masyarakat tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka itu berarti bahwa peraturan
itu bersifat sewenang-wenang dan harus dibatalkan.
5. Bisikan Hati Nurani
Setiap individu manusia, baik yang terpelajar maupun yang tergolong awam, pasti
mempunyai hati nurani. Pengalaman bisikan hati nurani merupakan perjumpaan yang paling
jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Bisikan hati nurani merupakan kejujuran yang
timbul dalam diri setiap orang. Karena itu, ketika ada seorang anak muda yang meminta
nasihat kepada seorang tokoh yang sangat bijak agar ia meraih kesuksesan dan kebahagiaan,
maka dijawab oleh sang tokoh, Mintalah nasihat dari hati sanubarimu sendiri. Jawaban itu
memang sangat singkat, tetapi dapat memberikan isyarat berharga. Pesan itu menjelaskan
bahwa siapa pun yang mengikuti bisikan hati nuraninya yang terpuji, maka ia akan meraih
kebahagiaan dan kesuksesan, baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang.
-
113
5.1 Lembaga-Lembaga Normatif
Hati nurani yang membisikkan kejujuran, kebenaran, dan kebaikan yang ada pada diri
manusia, selain ditentukan dari dalam dirinya sendiri, juga dipengaruhi oleh lembaga-
lembaga normatif dari luar. Lembaga normatif yang sangat banyak jumlahnya itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masyarakat, agama dan ideologi, serta negara dan
pemerintahan. Ketiga lembaga itu memiliki andil dalam pembentuk hati nurani seseorang.
Dari lingkungan keluarga kita memperoleh bimbingan-bimbingan normatif. Secara
bertahap kita mulai mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, apa yang
baik dan yang buruk. Kita juga mulai memahami berbagai hal yang terpuji dan harus
diwujudkan, dan berbagai hal yang tercela yang harus dihindari. Dari mereka kita
memperoleh bimbingan untuk bergaul dengan orang lain: dengan tetangga, dengan teman
bermain, dan dengan lingkungan yang lebih besar lagi. Kita mendapat pengarahan agar
berlaku jujur dan menghindari dusta serta harus membantu mereka yang menderita.
Dengan bertambahnya usia, kita memperoleh bimbingan dari lingkungan, dari
masyarakat yang lebih luas. Dari lingkungan sekolah kita memperoleh pelajaran berharga,
misalnya tentang pentingnya ilmu, disiplin belajar, disiplin dalam berbagai kegiatan sekolah,
menghargai waktu, menghormati guru, dan belajar memahami perilaku teman-teman di
sekolah. Kita juga memperoleh bimbingan dari teman-teman di klub olahraga dan dari teman
bergaul di masyarakat yang lebih luas. Agama dan ideologi pun berperan sangat penting
dalam pembentukan nurani kita. Dari bimbingan agama kita memperoleh pengetahuan
tentang cara-cara mengembangkan keimanan dan keyakinan, cara-cara beribadah yang baik,
dan kemampuan untuk membangun akhlak yang terpuji. Oleh agama kita diarahkan untuk
bersikap jujur, tabah, dan ulet. Kita juga diarahkan untuk menjalin persaudaraan, baik
persaudaraan berdasarkan pertalian darah atau keturunan, persaudaraan seagama,
persaudaraan setanah air, dan persaudaraan sesama umat manusia. Kita diarahkan untuk
berusaha membuat hidup kita dapat memberi manfaat bagi orang lain. Kita dibimbing agar
dapat mewujudkan diri menjadi rahmat bagi alam semesta secara keseluruhan.
Negara dan pemerintah berfungsi menerapkan norma-norma hukum dan peraturan-
peraturan yang harus ditaati warganya. Apabila terjadi pelanggaran maka mereka yang
melakukannya akan ditindak secara tegas. Negara dengan berbagai perangkatnya
membimbing manusia agar saling menjaga ketertiban, keamanan, dan menyelesaikan
perselisihan yang terjadi antarwarga maupun antarkelompok. Dari negara kita memperoleh
pengetahuan tentang dasar dan falsafah kebangsaan, tentang kewarganegaraan, organisasi
massa, organisasi politik, sistem pemerintahan, dan sebagainya.
-
114
Sebagaimana telah disebutkan di atas, norma-norma yang membentuk perilaku kita
tidak hanya mendapat pengaruh dari luar, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri. Dari
psikologi kita mengetahui bahwa anak-anak di masa kecil sudah mulai menginternalisasikan
dalam dirinya perintah-perintah dan larangan-larangan serta nilai-nilai moral yang
dipraktikkan orang tuanya. Karena itu, batin kita merekam bimbingan masyarakat kepada
kita. Batin kita menyerap harapan masyarakatmulai dari orang tua, lingkungan keluarga,
hingga lembaga-lembaga lain yang berinteraksi dengan kitaterhadap kita.
Dalam psikologi bisikan hati nurani disebut superego, yaitu perasaan moral yang
bersifat spontan. Superego mewujud dalam diri kita ketika kita merasa malu dan bersalah
apabila melanggar norma-norma yang telah diyakini. Rasa malu itu timbul, baik ketika
diketahui maupun ketika tidak diketahui orang lain. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang
mencontek jawaban dari buku ketika ia mengikuti ujian akan merasa malu apabila diketahui
orang lain; bila tidak diketahui orang lain pun sebenarnya ia merasa malu juga kepada dirinya
sendiri. Superego tidak mempunyai norma-norma asli sendiri, melainkan menyuarakan
norma dari lingkungan sosial kita. (Magnis-Suseno, 1987: 50).
1.2 Batas Wewenang Lembaga Normatif
Dalam praktik kehidupan yang nyata, norma-norma yang ditetapkan oleh lembaga normatif
tidak selamanya berlaku mulus, dan pertentangan dapat timbul. Pertentangan seperti itu dapat
terjadi pada seseorang, misalnya yang bernama Hamid, seorang aktivis partai politik yang
sangat setia kepada partainya. Pada saat partainya mengadakan kampanye menjelang
pelaksanaan pemilihan umum, beberapa aktivis partai yang menjadi teman Hamid
menganiaya seorang pemuda yang menolak mengikuti partai itu. Hamid sendiri tidak
menyetujui penganiayaan itu tetapi tidak sanggup mencegahnya. Kecuali Hamid, tidak ada
seorang pun yang tahu siapa pelaku penganiayaan itu. Setelah peristiwa itu terjadi, timbullah
pertentangan batin dalam diri Hamid. Apabila ia melaporkan para penganiaya itu kepada
polisi, ia akan dimusuhi oleh partainya, teman dan atasannya di partai. Namanya pasti akan
dicoret dari daftar calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya. Apabila ia tidak
melaporkannya, ia akan terus dihantui rasa bersalah hingga batinnya tersiksa.
Dari kasus Hamid ini dapat diambil kesimpulan bahwa Hamid tidak dapat
mengandalkan tiga lembaga normatif yang disebutkan di atas, tetapi harus menentukan
sendiri sikapnya terhadap kasus tersebut; ia tidak dapat dibantu oleh kalangan lain. Fungsi
lembaga-lembaga normatif itu mencapai batasnya ketika anggotanya harus melakukan
tindakan berdasarkan keputusannya sendiri.
-
115
1.3 Bisikan Nurani
Pada contoh kasus di atas, dalam diri Hamid terdapat bisikan nurani atau bisikan sanubari,
yaitu bahwa penganiayaan yang dilakukan teman-teman separtainya adalah suatu kejahatan.
Itulah yang disebut bisikan hati nurani, suara hati atau bisikan nurani. Bisikan hati sanubari
adalah kejujuran dan kebenaran yang tidak dapat disembunyikan dari diri sendiri meskipun
dapat disembunyikan dari orang lain. Bisikan hati sanubari adalah kesadaran tentang apa
yang menjadi kewajiban yang harus dilakukan berkaitan dengan masalah nyata yang
dihadapi. Berhadapan dengan pendapat masyarakat dan tuntutan ideologi, Hamid menyadari
bahwa ia tidak boleh mengikuti moral mereka begitu saja, melainkan harus memastikan
sendiri apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya dalam situasi tertentu. Bisikan hati nurani
adalah kesadaran moral kita dalam situasi yang konkret. Dalam pusat kepribadian kita yang
disebut kalbu atau hati, kita sangat sadar akan apa yang seharusnya kita lakukan.
Sebagian besar bisikan sanubari adalah kebenaran dan kejujuran, namun bisikan hati
juga memperoleh masukan-masukan dari luar. Pengaruh dari luar itu tidak selamanya berupa
kebenaran. Oleh karena itu, kalbu atau hati sanubari kita perlu mendapatkan bimbingan dari
sumber kebenaran yang mutlak, yaitu berupa wahyu Tuhan yang terangkum dalam kitab suci.
Selain yang tertulis dalam kitab suci, petunjuk Tuhan pun terdapat dalam kearifan lokal di
berbagai penjuru dunia, yang dapat digali dari ayat-ayat tidak tertulis berupa alam semesta
dengan segala peristiwanya yang menakjubkan.
2. Mengembangkan Hati Nurani
6.1 Bersikap dengan Moral
Meskipun nilai-nilai moral telah disepakati sebagai pedoman yang bermanfaat dalam
kehidupan dan bahwa moral itu besifat rasional berdasarkan pertimbangan objektif,
kesepakatan sering tidak dapat dicapai. Sebagai contoh, dalam masalah aborsi, korupsi, dan
transplantasi anggota tubuh, sering terjadi pertentangan antara yang pro dan yang kontra,
masing-masing dengan argumentasi yang berlawanan sehingga kesepakatan tidak diperoleh.
Perbedaan pandangan mengenai sikap moral terjadi karena beberapa hal, antara lain
yang berikut. Pertama, masalah yang dihadapi sangat kompleks, seperti masalah kedokteran
atau bisnis. Perselisihan dapat terjadi karena pengetahuan manusia tidak sama. Pengetahuan
mereka kebanyakan bersifat parsial, artinya hanya mencakup bagian-bagian tertentu saja.
Karena perbedaan pengetahuan dan informasi, terjadilah perselisihan atau silang pendapat.
-
116
Kedua, masalah diselesaikan tidak melalui pendekatan secara rasional dan objektif,
melainkan secara emosional atau dari segi kepentingan pribadi. Sebagai contoh, pemilik
perusahaan dan para pegawainya sering tidak mencapai kesepakatan. Hal ini terjadi karena
masing-masing mendekati masalah yang sama dari kepentingan yang berbeda, yaitu
kepentingan pemilik perusahaan di satu pihak dan kepentingan pegawainya di pihak lain.
Ketiga, ada sebagian orang yang secara terang-terangan tidak bersedia untuk bersikap
baik, adil, dan jujur. Orang seperti itu menolak untuk bersikap secara moral. Mereka hanya
ingin mengejar kepentingan pribadinya saja. Dengan demikian mereka tidak mau menerima
prinsip-prinsip moral, mereka hanya mau menang sendiri. Mengingat bahwa kesepakatan
moral sulit didapatkan, kita perlu mendidik hati nurani atau suara hati kita. Patut dicatat
bahwa kesepakatan moral biasanya hanya terjadi di antara orang-orang yang memiliki
kepribadian yang kuat dan matang.
6.2 Mendidik Hati Nurani
Hati nurani, sebagaimana telah diuraikan di atas, terpengaruh juga oleh dorongan-dorongan
dari luar, terbentuk oleh pengaruh pendidikan formal dan informal yang pernah dijalani.
Demikianlah hati nurani itu dipengaruhi oleh pandangan moral lingkungan dan pengalaman-
pengalaman masa lalu. Perasaan moral (superego) dan anggapan-angapan itu sangat
mempengaruhi hati nurani, sedangkan dorongan-dorongan itu tidak semuanya baik sehingga
bisikan hati nurani juga ada yang baik dan ada juga yang tidak baik. Karena itu, harus
dilakukan pendidikan bagi hati nurani.
Untuk mencapai kematangan hati nurani, kita harus melakukan pendidikan dalam
ranah kognitif dan afektif. Dalam ranah kognitif, hati nurani diarahkan agar memberikan
penilaian berdasarkan perkiraan yang tepat. Dengan mendidik hati nurani, kita selalu
berusaha untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang merasuki batin kita sehingga kita
dapat mengambil jarak dengannya dan menilainya dengan kritis. Mendidik hati nurani berarti
membiasakan diri secara terus-menerus bersikap terbuka, meningkatkan kemauan belajar
secara berkesinambungan, mau memahami asal-usul masalah yang dihadapi, memahami
pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat, dan terus berusaha memperbaharui pandangan-
pandangan, jika dianggap perlu. Dengan cara itu, kesadaran moral kita akan terus
berkembang dan tidak akan berhenti pada titik tertentu, misalnya pada tingkat kesadaran saat
masih remaja. Hati nurani harus tumbuh selaras dengan pertumbuhan kita menuju
kedewasaan. Hal itu dapat dicapai dengan memperluas wawasan dan meningkatkan tanggung
jawab.
-
117
6.3 Hati Nurani dan Petunjuk Tuhan
Dalam kehidupan masyarakat, sering dipahami secara keliru bahwa bisikan hati nurani itu
adalah suci dan jujur sehingga dianggap sebagai petunjuk dari Tuhan. Anggapan itu tidak
terlalu tepat. Memang benar bahwa kebanyakan bisikan hati nurani merupakan petunjuk dari
Tuhan melalui ilham, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua bisikan hati nurani adalah
petunjuk dari Tuhan. Demikian halnya karena bisikan hati nurani dapat salah atau keliru,
sedangkan petunjuk Tuhan tidak mungkin salah atau keliru. Bisikan hati nurani jelas
menggambarkan segala pengertian dan perasaan kita sendiri sehingga merupakan suara hati
kita sendiri.
Kalau bisikan hati nurani tidak mutlak benar, bagaimana kita mengaplikasikannya
dalam kehidupan kita? Mengapa harus dipertahankan? Jawabannya adalah bahwa kita perlu
mengikuti bisikan sanubari kita dengan kesadaran akan kekurangan dan kelemahan kita, baik
tentang petunjuk atau kebenaran. Petunjuk dan kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan
semesta alam. Dengan kesadaran itu kita meyakini bahwa kita bersikap jujur dalam
pemahaman kita, dan untuk itu kita memohon petunjuk kepada yang Mahamutlak untuk
membimbing kita. Kita melakukan kebaikan-kebaikan yang kita pahami dengan penuh
kesadaran bahwa hal itu dilihat oleh Tuhan yang Maha Esa sehingga kita selalu merasa dalam
pengawasan dan ridha-Nya.
6.4 Pesan Moral dan Tradisi
Berbagai tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat merupakan unsur yang
penting dari pesan-pesan moral yang kita tetapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan perilaku tidak berdiri sendiri. Kita harus memulai sesuatu bukan dari titik nol,
melainkan dari apa yang telah ada, baik yang diambil dari tradisi atau adat kebiasaan
masyarakat yang dapat diterapkan. Meskipun demikian, sikap kritis pada kita harus terus
ditumbuhsuburkan sehingga tradisi dan adat kebiasaan yang ada pada masyarakat kita tetap
disaring secara kritis. Tradisi yang ada berupa nasihat-nasihat, pakem, dan pesan-pesan dari
tokoh masyarakat banyak yang baik dan bermanfaat. Karena itu, setelah kita
mempertimbangkan dan meneliti secara kritis, sebagian dari tradisi itu mungkin dapat kita
tetapkan sebagai pesan-pesan moral. Dengan demikian, kita memulai sesuatu dari yang telah
ada, bukan dari sesuatu yang belum ada sama sekali, dan kita menunjukkan sikap dewasa,
arif, dan tidak angkuh seolah-olah hanya kita sendiri yang menetapkan pesan-pesan moral
tersebut. Dalam masyarakat kita banyak orang yang telah teruji kemampuan dan kejujurannya
-
118
dalam menetapkan pesan-pesan moral, berpengalaman, dan bijak. Kalangan yang
kebijakannya patut diteladani di antaranya adalah tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat,
guru, tetua adat, serta orang-orang yang terkenal memiliki hikmah dan kebijaksanaan yang
sangat tinggi. Sesungguhnya banyak permasalahan yang kita hadapi sekarang ini merupakan
masalah-masalah yang sudah pernah terjadi juga pada masa yang lalu.
Dengan memiliki sikap tersebut, kita memperoleh kekayaan dari pesan-pesan moral
yang terdiri atas pengalaman-pengalaman dan penetapan kita ditambah dengan kekayaan
pengalaman dan ilmu yang bermanfaat dari tradisi yang ada pada masyarakat. Bahkan pada
saat kita menemui jalan buntu dalam menyelesaikan masalah-masalah moral, kita tidak perlu
segan atau malu untuk menanyakan kepada mereka yang lebih mengetahui dan lebih
berpengalaman sehingga kita memperoleh pengalaman baru. Pengalaman yang kita hadapi
pun dapat kita selesaikan dengan baik dan mulus. Sikap tidak malu bertanya kepada mereka
yang lebih mengerti dan lebih berpengalaman itu merupakan wujud dari ciri-ciri seorang
ilmuwan. Dengan itu maka sikap angkuh dan sombong akan dapat dihilangkan dan diganti
dengan sikap rendah hati sebagai sikap yang terpuji.
7 Langkah-langkah Pengembangan Moral
Pengembangan moral merupakan salah satu usaha untuk menguatkan bisikan hati nurani
sehingga kita dapat menjadi orang yang kuat yang terus mengembangkan bisikan nuraninya
dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam berbagai situasi. Langkah-langkahnya antara
lain ialah menyucikan dan mengikhlaskan motivasi, mengendalikan hawa nafsu, menghindari
penyakit-penyakit rohani, dan mempertajam rasa (dzauq).
Kemampuan untuk mengikuti hati nurani dan bersikap sesuai dengannya sangat
tergantung pada apakah kita telah dapat membebaskan diri kita dari segala macam emosi dan
hambatan irrasional yang terus merongrong kita. Apabila kita telah dapat membebaskan diri
dari gangguan itu, maka pribadi kita menjadi kuat dan tangguh. Sebaliknya, apabila kita tidak
mampu membebaskan diri dari hal itu maka kita menjadi rendah dan hina. Agar kita terlepas
dari hambatan-hambatan itu kita melakukan langkah-langkah pengembangan moral yang
telah disinggung di atas, yang selengkapnya diuraikan berikut ini.
Menyucikan dan mengikhlaskan motivasi akan mengantarkan seseorang kepada sikap
yang bersih dan tidak terpengaruh oleh pamrih atau keinginan-keinginan tertentu yang
irrasional. Kata ikhlas berasal dari kata akhlasha dalam bahasa Arab yang pengertian
dasarnya adalah memurnikan, mengambil inti sarinya, mengerjakan sesuatu tanpa pamrih
atau pamer, mengerjakan sesuatu dengan cinta dan tulus (Al-Munawwir, 1994: 388). Jadi,
-
119
jika seseorang telah memiliki keikhlasan dalam berbagai aktivitasnya, maka hal itu berarti
bahwa ia telah dapat membersihkan dirinya dari rongrongan seperti pamrih, pamer, dan
kecenderungan tercela lainnya. Dengan demikian ia akan memiliki sikap yang mandiri,
terlepas dari kekhawatiran, misalnya takut tidak memperoleh materi, takut dikritik orang lain,
takut dibenci oleh mereka yang tidak suka, dan sebagainya.
Mengendalikan nafsu berarti bahwa orang membentengi dirinya dari dorongan nafsu
tercela yang dapat mengakibatkan kejatuhannya ke lembah kehinaan dan kenistaan serta
dapat mematikan bisikan sanubarinya. Hawa nafsu timbul karena dorongan perut, dorongan
(libido) seksual, dan dorongan hawa nafsu. Orang yang tidak dapat mengendalikan dorongan
perutnya atau dorongan untuk makan akan diperbudak oleh perutnya sendiri. Ia akan makan
secara berlebihan, hal yang akan merusak kesehatannya dan melemahkan rohaninya. Dengan
demikian, hidupnya hanya untuk makan. Sementara itu, orang yang dapat mengendalikan
dorongan perutnya akan mengonsumsi makanan yang baik dan tidak berlebihan, tujuan
makannya bukan untuk mencari kelezatan dan kenikmatan yang merusak, melainkan untuk
kesehatan fisik dan rohaninya sehingga bisikan sanubarinya menjadi sangat kuat.
Dorongan (libido) seksual merupakan naluri yang ada pada manusia yang tidak dapat
dihindari. Kita perlu mengarahkan dorongan ini kepada kebaikan dan menghindari hal-hal
yang buruk agar kita tidak menjadi budak dari dorongan seksual yang akan mencelakakan
diri sendiri dan dapat melemahkan nurani kita.
Nafsu yang menyesatkan merupakan rongrongan yang lebih berbahaya lagi. Apabila
seseorang memperturutkan hawa nafsu itu, ia akan membahayakan dirinya sendiri dan orang
lain. Hal itu mengakibatkan perilakunya menjadi labil dan rohaninya menjadi rapuh.
Penyakit-penyakit rohani yang harus dihindari adalah yang berikut. Pertama, rasa
dengki, yaitu perasaan senang yang timbul ketika orang lain mendapat celaka dan perasaan
sakit luar biasa ketika orang lain meraih kesuksesan. Sikap ini sangat tercela karena dapat
menghancurkan perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan, layaknya api yang
membakar jerami.
Kedua, sikap dendam, yaitu sikap yang keras dan kaku yang tidak mau memaafkan
orang lain. Sikap dendam dapat membuat sikap moral seseorang menjadi sangat tercela.
Misalnya ada seorang dosen yang pernah tersinggung oleh salah seorang mahasiswanya
sehingga ia merasa dendam. Ketika kemudian mahasiswa itu hendak mengikuti ujian skripsi,
dosen itu menjadi pengujinya. Karena dendam, sang dosen menjatuhkan mahasiswa itu
dengan memberinya nilai rendah sehingga tidak lulus padahal sebetulnya ia menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan baik.
-
120
Ketiga, sikap angkuh, yaitu sikap yang mau menang sendiri dan merasa diri sendirilah
yang paling baik. Sikap ini membuat kita meremehkan orang lain dan tidak mau menerima
kritik dan saran dari mereka.
Keempat, sikap pengecut, yaitu sikap yang menimbulkan rasa takut akan berbagai hal
yang irrasional, seperti takut tidak mendapat bagian rezeki, takut tidak dapat pujian dari
orang lain, takut dibenci orang lain, dan takut untuk menyampaikan kebenaran berdasarkan
bisikan hati nurani.
Kelima, sikap amarah, serakah, dan malas. Sikap ini akan mengakibatkan
kemerosotan produktivitas seseorang dalam bidang apa pun. Orang yang sanggup
menghilangkan sikap rakus, amarah, dan malas akan mampu meningkatkan kemampuannya
dalam segala bidang. Wajarlah jika dikatakan bahwa apabila seseorang ingin meraih
kesuksesan, maka hendaklah ia berusaha untuk menahan amarahnya.
Mempertajam rasa (dzauq) dapat mengantarkan seseorang untuk terbiasa
memperhatikan hati nuraninya yang membentuk dirinya betul-betul bernilai dan bertanggung
jawab. Mengembangkan rasa atau perasaan merupakan unsur penting dalam pendidikan.
Apabila rasa (dzauq) telah menjadi tajam, maka akan diperoleh kemampuan merasakan
segala dimensi kehidupan, mulai dari perasaan jasmani, perasaan inderawi melalui
penghayatan suatu hubungan interpersonal, hingga kesadaran batin terhadap kenyataan yang
sesungguhnya. Dengan demikian, bisikan nurani akan menjadi sangat kuat dan dapat
diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
8 Kepribadian Moral yang Kuat
Setelah langkah-langkah pengembangan moral, di sini kita akan membahas kepribadian
moral yang kuat, yang terletak pada lima hal, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, kesiapan
untuk bertanggung jawab, keberanian moral, dan sifat realistis dan kritis (Magnis-Suseno,
1987: 141-149).
Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang yang kuat secara moral.
Tanpa kejujuran seseorang tidak dapat memperoleh kemajuan karena ia belum menjadi
dirinya sendiri. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan
subtansinya. Berbuat baik kepada orang lain yang dilakukan tanpa kejujuran merupakan sikap
kemunafikan. Demikian juga sikap-sikap lain yang baik, seperti sikap tanpa pamrih menjadi
suatu sikap yang licik apabila tidak mengakar pada kejujuran. Hal yang sama berlaku juga
bagi sikap-sikap baik lainnya. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti bersikap terbuka dan
bersikap fair. Dengan sifat terbuka, seseorang tidak akan menyembunyikan sesuatu yang
-
121
tidak perlu disembunyikan, dan akan senantiasa memperhatikan kepentingan-kepentingan
orang lain. Sifat fair menetapkan standar bertindak pada orang lain dengan mengukur diri
sendiri. Apabila kita merasa tidak senang pada sesuatu perbuatan, orang lain pun mungkin
merasakan hal yang sama.
Nilai otentik sangat erat kaitannya dengan kejujuran dan merupakan nilai yang sangat
penting bagi seseorang yang ingin menjadi kuat dan dewasa. Dengan otentik dimaksudkan
bahwa kita menjadi diri kita sendiri, yaitu orang yang konsisten, tidak mudah diwarnai oleh
lingkungannya. Orang yang memiliki sifat seperti ini digambarkan dalam suatu pernyataan
yang berbunyi, Apabila orang banyak berbuat baik, maka aku pun berbuat baik, dan apabila
orang banyak berbuat buruk pun, aku tetap berbuat baik. Tidak seperti orang yang
mengatakan, Apabila orang banyak berbuat baik, maka aku berbuat baik, dan apabila orang
banyak berbuat buruk, maka aku pun ikut berbuat buruk. Sikap yang pertama adalah sikap
orang yang konsisten, sikap yang memiliki nilai-nilai yang otentik, sedangkan sikap yang
kedua adalah sikap orang yang tidak konsisten atau yang tidak memiliki nilai otentik.
Setiap orang yang memegang teguh kejujuran pasti memiliki kesediaan untuk
bertanggung jawab, yaitu kesediaan untuk melakukan apa yang harus dikerjakan dengan
sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti kita melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepada kita dengan tanpa pamrih. Kita akan melaksanakan tugas itu dengan sebaik mungkin,
meskipun hal itu menuntut pengorbanan dan menyebabkan timbulnya tantangan dari orang
lain. Jika seseorang melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang tinggi, maka ia
tidak akan merasakan pekerjaan itu sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari yang
dicintainya, dan yang harus dilakukannya dengan ikhlas.
Keberanian moral adalah sikap berani menunjukkan diri dengan tekad tetap
mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, meskipun mendapatkan
perlawanan yang keras dari lingkungannya. Orang yang telah memiliki sikap demikian akan
bersikap konsisten dan sangat tabah dalam menjawab tantangan-tantangan yang dihadapinya
meskipun ia harus diasingkan oleh masyarakatnya. Dalam menghadapi cemoohan,
penghinaan, dan bahkan ancaman orang lain, ia tidak merasa benci atau jengkel tetapi dengan
tulus tetap dalam keyakinannya. Cemoohan dan ancaman itu dibiarkan saja berlalu sehingga
pada suatu saat para penentangnya itu dapat memahaminya.
Sikap realistis merupakan wujud dari hal yang terpuji dari orang-orang yang
mengembangkan etika dan moral. Dengan sikap ini, orang melihat segala sesuatu yang
dihadapi sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak menolak realitas yang terdapat dalam
masyarakat. Sikap realistis harus disertai dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral
-
122
menuntut agar seseorang terus-menerus memperbaiki apa yang dihadapi supaya menjadi
lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan dapat mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang lebih bahagia. Dengan kita mengakomodasi sikap ini maka akan terwujudlah
masyarakat yang baik, dan pesan-pesan moral yang terpuji akan terlaksana.
-
123
DAFTAR PUSTAKA
untuk Bab III
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1982. Sejarah dan Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-
nilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Al-Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta:
Pesantren Krapyak.
Aristoteles. 1961. The Ethics of Aristotle: The Nicomachean Ethics (terjemahan J.A.K.
Thomson). Harmondsworth: Penguin Books.
Bakhtiar, Amsal. 1987. Filsafat Agama. Jakarta: Logos.
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Brown-Lee, Malcolm. 1981. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di dalamnya.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Daud, Ahmad. 1986 (cet. ke-3). Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Drijarkara, N. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Finoza, Lamuddin. 2008. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Freger, Robert. 2002. Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi. Jakarta:
Serambi.
Geertz, Clifford. 1966. The Religion of Java. Glencoe, Ill.: The Free Press.
Ibn Manzhur, Jamal al-Din Muhammad. 1992. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir.
Magnis-Suseno Franz. 1987 (cet. ke-2). Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Mubarak, Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah.
Mulyana, Deddy, dll. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Rosda Karya.
Poespoprodjo, W. 1986. Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Remaja Karya.