4. analisa hasil dan pembahasan · dikategorikan berdasarkan kadar cao. fly ash yang digunakan...

22
24 Universitas Kristen Petra 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini dijelaskan hasil pengujian dan analisis dari percobaan yang sudah dilakukan. Dalam bab ini juga akan dijawab pertanyaan masalah penelitian pada bab sebelumnya. Pengujian yang dilakukan terhadap sampel adalah pengujian initial setting time dan kuat tekan beton (compressive strength) di Laboratorium Beton dan Konstruksi Universitas Kristen Petra. Hasil pengujian initial setting time dan kuat tekan beton ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik agar lebih mudah dimengerti. 4.1 Karakterisasi Material Karakterisasi material yang kami lakukan untuk penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu karakterisasi fly ash dan pasir. Karakterisasi yang kami lakukan pada fly ash yaitu identifikasi asal dan warna material, specific gravity, X-Ray Fluorescence (XRF), kadar keasaman (pH), dan passing sieve #325. Sedangkan karakterisasi yang kami lakukan pada pasir yaitu identifikasi asal material, ayakan/gradasi, fineness modulus, specific gravity, penyerapan air dalam keadaan Saturated Surface Dry (SSD), dan void ratio. Analisa larutan sodium silikat dan padatan sodium hidroksida diperoleh dari certificate of analysis yang diberikan oleh penjual. Material yang digunakan dalam penelitian kami berupa fly ash, pasir silika, larutan sodium silikat, dan padatan sodium hidroksida yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 hingga 4.4. Gambar 4.1 Fly Ash Paiton Gambar 4.2 Pasir Silika

Upload: others

Post on 25-Dec-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

24 Universitas Kristen Petra

4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini dijelaskan hasil pengujian dan analisis dari percobaan yang

sudah dilakukan. Dalam bab ini juga akan dijawab pertanyaan masalah penelitian

pada bab sebelumnya. Pengujian yang dilakukan terhadap sampel adalah

pengujian initial setting time dan kuat tekan beton (compressive strength) di

Laboratorium Beton dan Konstruksi Universitas Kristen Petra. Hasil pengujian

initial setting time dan kuat tekan beton ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik

agar lebih mudah dimengerti.

4.1 Karakterisasi Material

Karakterisasi material yang kami lakukan untuk penelitian ini dibagi

menjadi 2 yaitu karakterisasi fly ash dan pasir. Karakterisasi yang kami lakukan

pada fly ash yaitu identifikasi asal dan warna material, specific gravity, X-Ray

Fluorescence (XRF), kadar keasaman (pH), dan passing sieve #325. Sedangkan

karakterisasi yang kami lakukan pada pasir yaitu identifikasi asal material,

ayakan/gradasi, fineness modulus, specific gravity, penyerapan air dalam keadaan

Saturated Surface Dry (SSD), dan void ratio. Analisa larutan sodium silikat dan

padatan sodium hidroksida diperoleh dari certificate of analysis yang diberikan

oleh penjual. Material yang digunakan dalam penelitian kami berupa fly ash, pasir

silika, larutan sodium silikat, dan padatan sodium hidroksida yang dapat dilihat

pada Gambar 4.1 hingga 4.4.

Gambar 4.1 Fly Ash Paiton Gambar 4.2 Pasir Silika

Page 2: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

25

Universitas Kristen Petra

Gambar 4.3 Larutan Sodium Silikat Gambar 4.4 Sodium Hidroksida

4.1.1 Karakterisasi Fly ash

Analisa Fly ash yang kami lakukan yaitu identifikasi asal dan warna

material, specific gravity, X-Ray Fluorescence (XRF), kadar keasaman (pH),

passing sieve #325. Dari hasil analisa didapatkan hasil berikut. Material berasal

dari PLTU Paiton unit 9 dan berwarna coklat seperti pada Gambar 4.1. Besarnya

nilai GS dari fly ash PLTU Paiton yang digunakan dalam penelitian ini adalah

2.625. Pengujian X-Ray Fluorescence (XRF) dilakukan untuk mengukur

kandungan yang ada di dalam fly ash. Komposisi fly ash dari hasil pengujian

XRF terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Komposisi Fly ash dari PLTU Paiton, Jawa Timur

No. Oksida %wt No. Oksida %wt

1 SiO2 36.57 7 K

2O 1.35

2 Al2O

3 19.06 8 Na

2O 2.45

3 Fe2O

3 11.32 9 SO

3 1.30

4 TiO2 0.75 10 MnO

2 0.15

5 CaO 19.50 11 P2O

5 0.21

6 MgO 6.21 12 L O I 0.63

SiO2 +Al

2O

3 +Fe

2O

3 66.95

Menurut ASTM C 618, (2010), tipe fly ash dibedakan dari kandungan SiO2,

Fe2O3, dan Al2O3. Fly ash dikategorikan sebagai fly ash tipe C jika memiliki

kandungan SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 minimal 50%. Sedangkan untuk fly ash tipe F

Page 3: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

26

Universitas Kristen Petra

memiliki kandungan SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 minimal 70%. Selain itu fly ash juga

dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori

tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO2+Al2O3+Fe2O3 lebih dari

50% tetapi kurang dari 70% yaitu 66.69% dan kadar CaO diatas 10% yaitu

19.50%.

Pengujian kadar pH dilakukan berdasarkan standar ASTM D 5239. Setelah 15

menit pH meter digital menunjukkan nilai pH dari fly ash yang digunakan sebesar

12.6 seperti pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Hasil Pengujian pH Meter Digital

Analisa passing sieve #325 ini dilakukan dengan cara mengambil sampel fly

ash sebanyak 344 gr. Sampel tersebut diletakkan di dalam ayakan nomor 325.

Kemudian sampel tersebut diayak dengan menggunakan kuas. Proses ayakan ini

dilakukan kurang lebih 90 menit. Hasil yang diperoleh dari analisa ini ialah

persentase berat fly ash yang lolos ayakan 82.56%.

4.1.2 Karakterisasi Pasir

Analisa yang kami lakukan pada pasir yaitu identifikasi asal material,

analisa ayakan/gradasi, analisa fineness modulus, analisa specific gravity dan

penyerapan air dalam keadaan Saturated Surface Dry (SSD). Pasir yang

digunakan adalah pasir silika lolos mesh 20 dan tertahan pada mesh 40. Hasil

karakterisasi pasir adalah sebagai berikut. Pasir silika yang digunakan berasal dari

Tuban. Fineness modulus pasir diperoleh sebesar 2.67 yang menunjukkan pasir

silika tergolong pasir halus (ASTM C 136, 2009). Hasil analisa ayakan pasir dapat

dilihat pada Gambar 4.6.

Page 4: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

27

Universitas Kristen Petra

Gambar 4.6 Grafik Hasil Analisa Ayakan Pasir Silika

Pengujian specific gravity (GS) yang kami lakukan berdasarkan pada ASTM C

127 (2009). Besarnya nilai GS dari pasir silika mesh 20/40 asal Tuban yang

digunakan dalam penelitian kami ialah 2.612. Uji penyerapan air kami lakukan

berdasarkan standar ASTM C 127 (2009). Kadar air yang terkandung dalam pasir

silika dalam kondisi SSD (Saturated Surface Dry) adalah 0.15 %.

4.1.3 Data Analisa Sodium Silikat dan Sodium Hidroksida

Data analisa sodium silikat dan sodium hidroksida yang kami gunakan

didapat dari Toko Bratachem. Sodium silikat yang digunakan sberwarna bening

dan sedikit kental seperti pada Gambar 4.3. Hasil analisa sodium silikat dapat

dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Analisa Sodium Silikat

Parameter Hasil

H2O 60.47 %

Na2O 9.28 %

SiO2 30.25 %

Ratio SiO2 / Na2O 3.26

Baume at 20oC 42.79

Page 5: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

28

Universitas Kristen Petra

Sodium hidroksida (NaOH) yang kami gunakan adalah yang berbentuk

padatan atau disebut juga flakes. Sebelum digunakan sebagai campuran beton,

padatan NaOH ini dilarutkan dalam air menjadi larutan NaOH. Hasil analisa

padatan NaOH dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Analisa Padatan NaOH

4.2 Hasil Pengujian Setting Time Pasta Geopolimer

Pengujian setting time yang dilakukan ialah pengujian initial setting time

yang dilakukan berdasarkan standar dari ASTM C 191 - 04 (2004). Alat yang

digunakan adalah alat vicat needle di Laboratorium Beton dan Konstruksi,

Universitas Kristen Petra. Penentuan initial setting time dicapai ketika penetrasi

jarum mencapai 25 mm.

4.2.1 Initial Setting Time Pasta Geopilimer Prosedur F(HS) dan (FH)S

dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator (Tahap 1)

Tahap pertama ini menggunakan water-to-binder ratio sebesar 0.35 dan

konsentrasi NaOH sebesar 8M untuk semua prosedur penyampuran dan

perbandingan alkali activator. Tabel 4.4 menunjukkan initial setting time pasta

geopolimer pada prosedur F(HS) dan (FH)S dengan variasi perbandingan alkali

activator (larutan sodium silikat/larutan NaOH). Hasil analisa tersebut

menunjukkan initial setting time tercepat pasta geopolimer dengan prosedur

F(HS) ditunjukkan oleh campuran dengan perbandingan alkali activator sebesar

2, dengan durasi 14 menit. Sedangkan initial setting time terpanjang pasta dengan

prosedur F(HS) ditunjukkan oleh campuran dengan perbandingan alkali activator

sebesar 2.5, dengan durasi 18 menit. Pasta geopolimer yang dibuat dengan

Parameter Hasil

NaOH 98.03 %

Na2CO3 0.27 %

NaClO3 15.30 ppm

Fe 5.95 ppm

Page 6: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

29

Universitas Kristen Petra

prosedur F(HS) untuk semua variasi perbandingan alkali activator menunjukkan

durasi initial setting time yang sangat cepat, sehingga prosedur ini tidak

memungkinkan untuk diaplikasikan dalam skala besar dikarenakan campuran ini

mengalami flash setting. Hasil analisa initial setting time untuk setiap

perbandingan alkali activator prosedur F(HS) ini dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Tabel 4.4 Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS) dan (FH)S,

Water-to-Binder 0.35

Gambar 4.7 Analisa Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS),

Water-to-Binder 0.35

Berbeda dengan prosedur F(HS), hasil analisa initial setting time pasta

pada prosedur (FH)S durasi tercepat ditunjukkan oleh campuran dengan

perbandingan alkali activator sebesar 3 dengan durasi 40 menit. Sedangkan initial

Alkali

Activator

Initial Setting Time

Satuan Menit

F(HS) (FH)S

0.5 15 97

1.0 15 52

2.0 14 43

2.5 18 47

3.0 16 40

Page 7: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

30

Universitas Kristen Petra

setting time terpanjang prosedur (FH)S ditunjukkan oleh campuran dengan

perbandingan alkali activator sebesar 0.5 dengan durasi 97 menit. Walaupun

prosedur (FH)S dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5 ini memiliki

initial setting time yang cukup panjang, waktu tersebut masih tidak

memungkinkan untuk diaplikasikan dalam skala besar. Gambar 4.8 menunjukkan

analisa initial setting time untuk setiap perbandingan alkali activator dengan

prosedur (FH)S.

Gambar 4.8 Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur (FH)S,

Water-to-Binder 0.35

Penelitian yang dilakukan oleh Risdanareni et al. (2015) menyatakan

bahwa semakin tinggi kadar sodium silikat yang digunakan maka semakin cepat

waktu setting time yang dihasilkan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat

perbandingan alkali activator yang digunakan maka durasi initial setting time

akan semakin cepat. Namun demikian, hasil analisa pada penelitian yang

dilakukan menunjukkan adanya perbedaan dari peneliti sebelumnya, dimana

prosedur F(HS) memiliki durasi initial setting time yang kurang lebih sama untuk

semua variasi perbandingan alkali activator. Besar kemungkinan penyebab

perbedaan ini akibat penggunaan material dasar yang berbeda, dimana penelitian

sebelumnya menggunakan low calcium fly ash yang tidak mengalami flash

setting. Sementara itu, prosedur (FH)S mendukung penelitan sebelumnya dimana

Page 8: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

31

Universitas Kristen Petra

terjadi percepatan waktu seiring semakin tingginya tingkat perbandingan larutan

sodium silikat/larutan NaOH. Hal ini dikarenakan prosedur (FH)S tidak

mengalami flash setting seperti pada penelitian sebelumnya

4.2.2 Perbandingan Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS)

dan (FH)S (Tahap 1)

Hasil pengujian initial setting time pasta geopolimer dengan perbandingan

alkali activator berbeda memberikan hasil yang berbeda juga apabila

menggunakan prosedur penyampuran yang berbeda. Prosedur F(HS) dan prosedur

(FH)S dengan water-to-binder 0.35 menunjukkan durasi initial setting time

tercepat maupun terpanjang pada perbandingan alkali activator yang berbeda.

Initial setting time pasta tercepat untuk untuk prosedur (FH)S ditunjukkan pada

campuran dengan perbandingan alkali activator sebesar 3 dan initial setting time

pasta terpanjang ditunjukkan pada campuran dengan perbandingan alkali

activator sebesar 0.5. Sementara itu, initial setting time prosedur F(HS)

memberikan hasil yang kurang lebih sama walaupun menggunakan variasi alkali

activator. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Perbandingan Initial Setting Time Pasta Geopolimer

Prosedur F(HS) dan (FH)S

Page 9: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

32

Universitas Kristen Petra

Berdasarkan Gambar 4.9 terlihat bahwa secara keseluruhan prosedur (FH)S

memiliki durasi initial setting time lebih lama dari prosedur F(HS) untuk semua

variasi perbandingan alkali activator. Analisa penelitian ini mendukung hasil dari

penelitian Surja et al. (2017) yang menyatakan bahwa pasta geopolimer akan

mengeras dengan cepat (flash setting) bila larutan sodium silikat dicampurkan

terlebih dahulu dengan high calcium fly ash dan kemudian ditambahkan larutan

NaOH.

Hasil analisa ini juga mendukung kesimpulan penelitian Erlando et al.

(2018), dimana urutan penyampuran merupakan faktor yang berpengaruh pada

lama initial setting time. Oleh karena itu, secara keseluruhan penelitian kami

menunjukkan bahwa initial setting time akan berbeda apabila menggunakan

prosedur penyampuran dan perbandingan alkali activator yang berbeda pula.

Hasil analisa initial setting time tahap pertama ini masih tidak

memungkinkan untuk direalisasikan dalam skala besar. Oleh karena itu, dilakukan

penelitian tahap kedua untuk mengevaluasi pengaruh initial setting time apabila

menggunakan water-to-binder ratio yang berbeda. Perbandingan alkali activator

untuk tahap kedua yang digunakan hanya perbandingan sebesar 0.5, 1 dan 2. Hal

ini dikarenakan perbandingan tersebut menunjukkan durasi terpanjang pada

prosedur F(HS) maupun (FH)S.

4.2.3 Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS) dan (FH)S

dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator dan Water-to-Binder 0.25

dan 0.45 (Tahap 2)

Penggunaan variasi water-to-binder menunjukkan adanya pengaruh initial

setting time pada pasta geopolimer seperti terlihat pada Gambar 4.10. Berdasarkan

hasil analisa tersebut, prosedur F(HS) dan (FH)S memiliki durasi initial setting

time tercepat pada water-to-binder ratio 0.25 dan durasi terpanjang pada ratio

0.45. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010), dimana

semakin tinggi water-to-binder ratio maka semakin lama setting time yang

dihasilkan.

Hasil analisa dengan water-to-binder ratio sebesar 0.25 menunjukkan hal

yang sama seperti tahap pertama, dimana untuk prosedur F(HS) memiliki durasi

Page 10: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

33

Universitas Kristen Petra

initial setting time yang kurang lebih sama untuk variasi perbandingan alkali

activator yang berbeda. Begitupula dengan prosedur (FH)S, dimana percepatan

initial setting time terjadi apabila perbandingan alkali activator semakin tinggi.

Hasil analisa yang sama ini diduga karena kelecakan yang rendah pada saat

penyampuran pasta geopolimer untuk water-to-binder 0.25 maupun 0.35.

Gambar 4.10 Perbandingan Initial Setting Time Pasta Geopolimer Water-to-

Binder 0.25, 0.35, dan 0.45

Berbeda halnya dengan pasta geopolimer dengan water-to-binder 0.25, hasil

analisa pada pasta geopolimer water-to-binder 0.45 mendukung penelitian

sebelumnya, dimana durasi setting time akan menjadi lebih cepat seiring

meningkatnya kadar sodium silikat yang digunakan. Hal ini berlaku untuk kedua

prosedur yang digunakan, dimana prosedur F(HS) maupun prosedur (FH)S

menunjukkan terjadi percepatan initial setting time seiring meningkatnya

perbandingan alkali activator.

Gambar 4.10 ini juga menunjukkan bahwa dengan variasi water-to-binder

tetap akan menghasilkan initial setting time yang lebih cepat pada prosedur F(HS)

daripada prosedur (FH)S. Besar kemungkinan hal ini terjadi akibat penelitian ini

menggunakan high calcium fly ash dengan pH sebesar 12.6, dimana hal ini sesuai

dengan penelitian Davidovits (2008) yang menunjukkan bahwa fly ash dengan pH

Page 11: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

34

Universitas Kristen Petra

diatas 11 akan mengalami flash setting dan umumnya hal ini terjadi pada fly ash

kalsium tinggi.

4.3 Hasil Pengujian Kuat Tekan

Pengujian kuat tekan sampel mortar dilakukan pada usia 7 dan 28 hari

berdasarkan ASTM C109M-02 (2007). Alat yang digunakan adalah Universal

Testing Machine di Laboratorium Beton dan Konstruksi, Universitas Kristen

Petra.

4.3.1 Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS) dan F(HS)P

(Tahap 1)

Gambar 4.11 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS)

Diagram hasil kuat tekan mortar geopolimer untuk prosedur konvensional

yaitu FP(HS) dapat dilihat pada Gambar 4.11. Pada prosedur tersebut dilakukan

variasi terhadap perbandingan alkali activator dengan perbandingan water-to-

binder ditetapkan sebesar 0.35. Prosedur ini menghasilkan mortar yang mengeras

dengan cepat sehingga proses penyampuran hanya dapat dilakukan selama 1-2

menit saja.

Sedangkan Gambar 4.12 adalah diagram hasil kuat tekan mortar

geopolimer untuk prosedur F(HS)P. Prosedur ini sedikit berbeda dengan prosedur

Page 12: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

35

Universitas Kristen Petra

FP(HS) dimana pada prosedur F(HS)P, pasir dimasukkan terakhir kali sedangkan

pada prosedur FP(HS) pasir telah dicampur terlebih dahulu dengan fly ash. Pada

prosedur ini juga dilakukan variasi terhadap perbandingan alkali activator dengan

perbandingan water-to-binder tetap sebesar 0.35. Prosedur ini juga menghasilkan

mortar yang mengeras dengan cepat sesaat setelah pasir dimasukkan dalam

campuran sehingga proses pencampuran hanya dilakukan selama 1-2 menit.

Gambar 4.12 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur F(HS)P

Berdasarkan kedua prosedur di atas, variasi perbandingan alkali activator

memberikan hasil kuat tekan yang bervariasi. Hasil kuat tekan tertinggi untuk

kedua prosedur tersebut sama-sama didapatkan pada perbandingan alkali

activator sebesar 1.0, yaitu sebesar 71.6 MPa untuk prosedur FP(HS) dan 65.1

MPa prosedur F(HS)P. Kuat tekan menurun 10 – 23% pada perbandingan sebesar

0.5, yaitu komposisi yang paling banyak kandungan NaOH-nya. Sampel yang

dihasilkan juga menimbulkan bercak putih pada permukaan sampel mortar. Hal

ini kemungkinan disebabkan karena jumlah kandungan OH- yang berlebih dan

menghambat proses geopolimerisasi. Selain itu, kuat tekan juga menurun secara

bertahap dengan bertambahnya rasio perbandingan alkali activator. Selain itu,

kuat tekan juga menurun 20 – 35% secara bertahap dengan bertambahnya rasio

perbandingan alkali activator. Hal ini dimungkinkan karena sodium silikat yang

berlebihan bisa menghambat proses geopolimerisasi juga (Barbosa et al., 1999).

Page 13: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

36

Universitas Kristen Petra

Walaupun terjadi penambahan kuat tekan seiring berjalannya waktu, namun

laju penambahan kuat tekan tiap perbandingan alkali activator yang dihasilkan

beragam. Penambahan kuat tekan yang paling signifikan terjadi pada mortar

dengan perbandingan alkali activator sebesar 1.0 untuk prosedur FP(HS) dan

F(HS)P. Hal ini dapat diindikasi adanya proses hidrasi di samping proses

geopolimerisasi. Penelitian yang dilakukan Hardjito & Tsen (2008) menunjukkan

penggunaan alkali activator berupa potasium silikat dan potasium hidroksida

menghasilkan kuat tekan tertinggi pada rentang perbandingan potasium silikat dan

potasium hidroksida sebesar 0.8–1.5. Laju penambahan kuat tekan paling rendah

sama-sama terjadi pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 2.5.

Penambahan kuat tekan yang rendah dapat terjadi karena senyawa silika dan

alumina yang terkandung dalam fly ash terlarut segera setelah bertemu dengan

alkali activator sehingga hal tersebut mempercepat proses geopolimerisasi (Morsy

et al., 2014).

4.3.2 Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP (Tahap 1)

Gambar 4.13 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP

Hasil kuat tekan mortar geopolimer untuk prosedur (FH)SP dapat dilihat

pada Gambar 4.13. Prosedur ini menghasilkan mortar yang mudah dikerjakan

dibandingkan dengan prosedur FP(HS) dan F(HS)P. Pada prosedur ini juga

dilakukan variasi terhadap perbandingan alkali activator dengan perbandingan

Page 14: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

37

Universitas Kristen Petra

water-to-binder dibuat tetap sebesar 0.35. Mortar mengalami kenaikan kuat tekan

seiiring berjalannya waktu antara 7 dan 28 hari. Awalnya kuat tekan tertinggi

didapatkan pada mortar perbandingan alkali activator sebesar 1.0 ketika umur 7

hari, namun kuat tekan meningkat signifikan ketika umur 28 hari pada mortar

dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5 yaitu 61.2 MPa.

Penambahan kuat tekan yang dihasilkan pada prosedur ini beragam dan

relatif cukup signifikan. Penambahan kuat tekan dari umur 7 hari ke 28 hari yang

paling signifikan terjadi pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar

0.5, yaitu penambahan kekuatan sebesar 30%. Sedangkan, penambahan kuat tekan

seiring bertambahnya umur beton yang paling rendah terjadi pada mortar dengan

perbandingan alkali activator sebesar 1.0, yaitu kuat tekan hanya bertambah 9%.

Selain itu, kuat tekan mortar pada usia 28 hari mengalami penurunan seiring

dengan peningkatan perbandingan alkali activator yaitu sebesar 61.2 MPa pada

perbandingan alkali activator 0.5 dan 44.4 MPa pada perbandingan alkali

activator 3.0. Dengan kata lain, semakin tinggi jumlah larutan sodium silikat

maka kuat tekan yang dihasilkan menurun. Hal ini bertentangan dengan penelitian

yang telah dilakukan Lazarescu et al. (2017) yang mengatakan bahwa peningkatan

sodium silikat dengan menggunakan low calcium fly ash akan meningkatkan kuat

tekannya, dikarenakan tambahan senyawa Si akan mempengaruhi proses

geopolimerisasi. Pertentangan tersebut dapat disebabkan karena penelitian

tersebut menggunakan material dasar low calcium fly ash dan tidak menyamakan

kandungan air pada setiap perbandingan alkali activator. Namun, penelitan Morsy

et al. (2014) yang menggunakan low calcium fly ash, menunjukkan bahwa kuat

tekan akan menurun apabila sodium silikat berlebih karena akan menghalangi

proses penguapan air dan formasi struktur.

4.3.3 Perbandingan Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS)

dan F(HS)P (Tahap 1)

Dapat dilihat bahwa prosedur FP(HS) dan F(HS)P memiliki kesamaan dan

perbedaan. Kesamaan terletak pada alkali activator yang dicampur terlebih dahulu

sedangkan perbedaannya terletak pada urutan waktu penyampuran pasir. Hasil

perbandingan dari kedua prosedur ini dapat dilihat pada Gambar 4.14 dan

Page 15: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

38

Universitas Kristen Petra

menunjukkan hasil yang cukup beragam untuk setiap variasi perbandingan alkali

activator. Pada perbandingan alkali activator sebesar 0.5, 2.5 dan 3.0 terlihat

bahwa kuat tekan mortar prosedur F(HS)P sedikit lebih tinggi dibanding prosedur

FP(HS), sedangkan pada perbandingan alkali activator sebesar 1.0 dan 2.0

menunjukkan bahwa kuat tekan mortar prosedur FP(HS) sedikit lebih tinggi

dibanding prosedur F(HS)P.

Namun, selisih hasil kuat tekan antara kedua prosedur ini tidak berbeda

secara signifikan. Kuat tekan tertinggi pada umur 7 dan 28 hari untuk kedua

prosedur ini sama-sama dihasilkan pada perbandingan alkali activator sebesar 1.0

dan mengalami penurunan kekuatan apabila perbandingan alkali activator kurang

dari atau lebih besar dari 1.0.

Gambar 4.14 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur

FP(HS) dan F(HS)P

4.3.4 Perbandingan Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP

dan F(HS)P (Tahap 1)

Prosedur (FH)SP dan F(HS)P membiarkan fly ash bereaksi dengan alkali

activator terlebih dahulu sebelum dicampur dengan pasir. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa tidak ada kemungkinan pasir menyerap alkali activator dan

terjadi reaksi geopolimerisasi sepenuhnya pada fly ash pada tahap awal

penyampuran. Dari segi kelecakan tentunya prosedur (FH)SP lebih mudah

Page 16: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

39

Universitas Kristen Petra

dikerjakan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dibandingkan dengan

prosedur F(HS)P yang mengalami flash setting. Hal tersebut didukung dengan

hasil initial setting time yang terlihat pada Gambar 4.9.

Pada Gambar 4.15 terlihat bahwa dari segi kuat tekan, mortar dengan

prosedur F(HS)P menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan

prosedur (FH)SP terkecuali pada perbandingan alkali activator sebesar 0.5

dimana kuat tekan mortar pada umur 28 hari prosedur (FH)SP lebih tinggi dari

pada prosedur F(HS)P. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Erlando

et al. (2018) dimana metode FP(HS) menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi.

Gambar 4.15 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur

(FH)SP dan F(HS)P

4.3.5 Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Tiap Prosedur dengan

Perbandingan Water-to-Binder Sebesar 0.25 dan 0.45 (Tahap 2)

Pada tahap kedua ini, variasi water-to-binder ratio dilakukan untuk

mengamati pengaruhnya terhadap kuat tekan mortar yang dihasilkan. Variasi

water-to-binder ratio diterapkan pada prosedur yang umum dilakukan yaitu

FP(HS) dan metode yang memiliki initial setting time lebih lama yaitu (FH)SP.

Variasi perbandingan alkali activator ditetapkan sebesar 0.5, 1.0 dan 2.0. Hal ini

disebabkan karena puncak kuat tekan mortar tertinggi dihasilkan pada

Page 17: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

40

Universitas Kristen Petra

perbandingan alkali activator sebesar 1.0 untuk prosedur FP(HS) dan sebesar 0.5

untuk prosedur (FH)SP.

Gambar 4.16 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur

(FH)SP dengan Variasi Water-to-Binder

Pada Gambar 4.16 dapat dilihat perbandingan kuat tekan mortar geopolimer

pada prosedur (FH)SP dengan water-to-binder ratio sebesar 0.25, 0.35 dan 0.45.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan water-to-binder ratio yang berbeda

peningkatan kuat tekan tetap terjadi seiring bertambahnya umur. Hasil lain yang

diperoleh yaitu dengan water-to-binder ratio yang lebih rendah menghasilkan

kuat tekan yang lebih tinggi baik di umur 7 maupun 28 hari. Hal ini terjadi

dikarenakan semakin tinggi kadar air dalam suatu beton akan menurunkan kuat

tekannya.

Kuat tekan mortar geopolimer umur 28 hari yang dihasilkan menunjukkan

bahwa untuk water-to-binder ratio yang berbeda maka kuat tekan tertinggi sama-

sama dihasilkan pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 0,5.

Semakin tinggi perbandingan alkali activator, kuat tekan yang dihasilkan semakin

menurun. Penurunan kuat tekan dengan meningkatnya perbandingan alkali

activator terjadi secara signifikan seiring dengan water-to-binder ratio yang

semakin rendah. Dalam kata lain, water-to-binder ratio yang rendah, perbedaan

kuat tekan untuk variasi perbandingan alkali activator tidak signifikan.

Page 18: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

41

Universitas Kristen Petra

Pada Gambar 4.17 dapat dilihat perbandingan kuat tekan mortar geopolimer

pada prosedur FP(HS) dengan water-to-binder ratio sebesar 0.25, 0.35 dan 0.45.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan water-to-binder ratio yang berbeda

peningkatan kuat tekan tetap terjadi seiring bertambahnya umur antara 7 dan 28

hari. Hasil lain yang diperoleh yaitu dengan water-to-binder ratio yang lebih

rendah menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi baik di umur 7 maupun 28 hari.

Hal ini terjadi dikarenakan semakin tinggi kadar air dalam suatu beton akan

menurunkan kuat tekannya. Kuat tekan yang tertinggi sama-sama dihasilkan pada

perbandingan alkali activator sebesar 1.0.

Gambar 4.17 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur

FP(HS) dengan Variasi Water-to-Binder

4.4 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer

Pada penelitian tahap pertama, kami membuat 1 sampel mortar geopolimer

berbentuk silinder ukuran diameter 6 cm dengan tinggi 12 cm untuk setiap

komposisi campuran sebagai sampel tampilan fisik. Tujuan dibuatnya sampel ini

yaitu untuk menunjukkan kondisi mortar geopolimer yang telah dibuat dan akan

diamati apakah terjadi perubahan tampilan fisik dari umur 7 hari hingga umur 28

hari. Hasil pengamatan tampilan fisik pada umur 7 hari maupun 28 hari

menunjukkan hasil yang sama. Gambar 4.18 hingga Gambar 4.20 menunjukkan

tampilan fisik mortar geopolimer yang telah dibuat.

Page 19: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

42

Universitas Kristen Petra

Gambar 4.18 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP, Water-to-

Binder 0.35 dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator

Gambar 4.19 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS), Water-to-

Binder 0.35 dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator

Gambar 4.20 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer Prosedur F(HS)P, Water-to-

Binder 0.35 dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator

Page 20: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

43

Universitas Kristen Petra

Ada 2 variasi tampilan fisik yang ditunjukkan oleh sampel, yaitu munculnya

bercak putih pada permukaan silinder dan permukaan silinder yang mengkilap.

Pada penelitian tahap pertama diperoleh hasil bahwa sampel berbentuk silinder

yang kami buat menunjukkan berbagai variasi perbedaan yang dipengaruhi oleh

prosedur penyampuran dan perbandingan alkali activator.

Tampilan fisik yang menunjukkan bercak putih pada permukaan ditemukan

pada berbagai prosedur penyampuran mortar geopolimer. Namun kadar bercak

putih yang terdapat pada permukaan mortar juga bervariasi bergantung pada

perbandingan alkali activator yang digunakan. Bercak putih ditunjukkan pada

sampel yang menggunakan prosedur penyampuran FP(HS) dengan perbandingan

alkali activator sebesar 0.5, 1 dan 2 dimana perbandingan alkali activator sebesar

0.5 menghasilkan bercak putih paling banyak seperti terlihat pada Gambar 4.22.

Mortar prosedur penyampuran (FH)SP juga menunjukkan bercak putih di

permukaannya pada perbandingan alkali activator sebesar 0.5 dan 1 untuk water-

to-binder 0.35, Sementara itu, pada prosedur F(HS)P juga ditemukan bercak putih

pada permukaan mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5, 1 dan

2. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah perbandingan alkali

activator kemungkinan muncul bercak putih semakin besar dikarenakan jumlah

larutan sodium silikatnya sedikit dan larutan NaOH yang lebih banyak sehingga

natrium yang tidak mengalami geopolimerisasi akan terbawa oleh air yang

menguap dan tertinggal di permukaan mortar.

Permukaan silinder yang mengkilap dan tidak muncul bercak putih

ditemukan pada perbandingan alkali activator sebesar 2.5 dan 3 untuk prosedur

FP(HS) dan F(HS)P. Sedangkan pada prosedur (FH)SP, silinder tidak muncul

bercak putih pada perbandingan alkali activator sebesar 2, 2.5 dan 3. Permukaan

mengkilap ini diakibatkan oleh jumlah larutan sodium silikat yang lebih banyak

dari larutan NaOH sehingga natrium seluruhnya mengalami geopolimerisasi.

4.5 Foto Scanning Electron Microscopy (SEM)

Hasil foto SEM menunjukkan kondisi mortar geopolimer secara

mikrostruktur. Pengujian foto SEM dilakukan pada sampel mortar geopolimer

prosedur FP(HS) dan (FH)SP dengan water-to-binder ratio 0.35 untuk

Page 21: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

44

Universitas Kristen Petra

perbandingan alkali activator sebesar 0.5, 1.0, dan 2.5. Gambar 4.21

menunjukkan hasil foto SEM sampel yang telah dilakukan.

(a) (FH)SP – 0.5 (b) FP(HS) – 0.5

(c) (FH)SP – 1.0 (d) FP(HS) – 1.0

(e) (FH)SP – 2.5 (f) FP(HS) – 2.5

Gambar 4.21 Hasil Foto SEM Prosedur (FH)SP dan FP(HS)

Secara keseluruhan, prosedur FP(HS) memiliki rongga udara (void) yang

lebih banyak dibandingkan dengan prosedur (FH)SP. Hal ini diduga karena pada

saat penyampuran, prosedur FP(HS) mengalami flash setting sehingga pemadatan

tidak terjadi dengan baik dan mengakibatkan lebih banyak udara yang terjebak

Page 22: 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN · dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe

45 Universitas Kristen Petra

dalam mortar. Pada perbandingan alkali activator (S/N) sebesar 0.5 dan 1.0

terlihat sudah banyak fly ash yang bereaksi. Semakin banyak sodium silikat yang

digunakan maka semakin banyak fly ash tidak bereaksi seperti terlihat pada

perbandingan alkali activator 2.5.

Pada prosedur (FH)SP banyak fly ash yang masih terlihat seperti bola-bola

yang tidak reaktif dan memiliki permukaan yang kasar. Hal ini dimungkinkan

karena saat fly ash bertemu dengan NaOH terlebih dahulu, maka NaOH akan

merusak fly ash sebelum bereaksi dengan campuran lainnya. Berbeda halnya

dengan prosedur FP(HS), dimana pada prosedur ini fly ash yang tidak reaktif

masih halus mengkilap yang diduga karena NaOH sudah bereaksi terlebih dahulu

dengan sodium silikat sebelum merusak fly ash.