2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · sim/stnk, pengurusan pajak, penyelesaian sidang...
TRANSCRIPT
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah menurut Gabrielle Ferrazi (2007) dapat dilihat sebagai
bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative
reform, yaitu ―management the size, shape, and hierarchy of local government
units for the purpose of achieving political and administrative goals‖. Penataan
daerah umunya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah.
Ferrazi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak
berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu
negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya
hakikat otonomi daerah di negara yang bersangkutan. Baru setelah itu mencari
―jawaban‖ untuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks
territorial reform) tersebut.
Dari sudut pandang desentralisasi, pemekaran daerah merupakan
implementasi azas desentralisasi, tepatnya desentralisasi teritorial. Desentralisasi
teritorial menurut salah satu pendapat merupakan wewenang yang diberikan oleh
pemerintah kepada suatu badan umum seperti suatu persekutuan yang
berpemerintahan sendiri, untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling
berkaitan dari golongan-golongan penduduk dalam suatu wilayah tertentu
(Koeswara, 2001). Selain desentralisasi teritorial, juga dikenal desentralisasi
fungsional dan desentralisasi administratif. Desentralisasi fungsional adalah
pelimpahan sebagain fungsi pemerintahan kepada organ atau badan asli yang
khusus dibentuk untuk itu. Sedangkan desentralisasi administratif adalah
pelimpahan wewenang yang semula dipusatkan pada penguasa pusat, kepada
pejabat-pejabat bawahannya. Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi dapat
dianggap sebagai modifikasi atau ―penghalusan‖ dari sentralisasi.
Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang
tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi. Alasan
pertama yang sering disampaikan dalam usulan pemekaran daerah adalah kondisi
georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas layanan publik. Dalam
kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan pula bahwa salah satu argumen
yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya kebutuhan untuk
mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat.
Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata
seyogyanya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan di setiap daerah,
khususnya daerah pemekaran. Tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada
masyarakat akibat wilayah yang tidak dimekarkan misalnya terjadi pada kasus
pelayanan administrasi perijinan yang mengharuskan warga yang jauh dari
ibukota harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak untuk pengurusan
SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain
sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan kesehatan,
pendidikan, dan layanan sosial yang lain juga menyebabkan tidak efektif dan
efisiennya pelayanan kepada masyarakat.
Alasan kedua yang sering dikemukakan adalah masyarakat di suatu daerah
merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan antara daerah yang satu
10
dengan yang lain dalam satu wilayah pemerintahan daerah. Daerah yang dekat
dengan pusat kekuasaan (ibukota) cenderung lebih mendapatkan perhatian
daripada daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. sehingga daerah tersebut
merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan dari pemangku
kekuasaan. Apalagi ketika kelompok tersebut memiliki ciri-ciri sosial yang sama
seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang tinggi maka
kecenderungan untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri
cenderung amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika
mereka memiliki pemerintahan daerah sendiri maka mereka akan mengelola
kepentingan mereka menjadi lebih efektif dan responsif sehingga kemakmuran
warganya juga akan menjadi semakin baik. Pembentukan daerah baru dianggap
dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar kelompok
tetapi juga dapat memperkuat indentitas kelompok dan daerah. Alasan
ketimpangan dan ketidakadilan ini misalnya mencuat dalam pembentukan
Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat (Pusat Kajian
Kinerja Otonomi Daerah LAN, 2005).
Alasan ketiga yang turut melatarbelakangi keinginan untuk pemekaran
daerah adalah adanya perbedaan sosio-kultural atau etnis. Sebagai misal:
masyarakat Bangka Belitung merasa berbeda dengan masyarakat Sumatera
Selatan, kemudian masyarakat Gorontalo merasa berbeda dengan masyarakat
Sulawesi Utara. Demikian pula penduduk Kabupaten Minahasa Utara yang
merasa berbeda budaya dengan penduduk Kabupaten Minahasa dan Kabupaten
Minahasa Selatan. Dalam bentuk lain, ada juga masyarakat yang mengajukan
pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan
komunitas budaya daerah induk. Sebagai contoh: masyarakat Banten merasa
secara budaya berbeda dengan masyarakat Jawa Barat. Demikian pula dengan
yang terjadi dalam banyak pemekaran kabupaten di Provinsi Papua.
Alasan keempat adalah alasan politik. Alasan ini memang tidak pernah
pernah secara eksplisit disampaikan sebagai alasan pemekaran suatu daerah.
Namun nuansa motif politik dalam pengusulan pemekaran suatu daerah akan
terasa jika melihat elit dan kekuatan politik yang terlihat begitu besar perannya
dalam proses pengusulan pemekaran daerah. Sudah menjadi rahasia umum jika
alasan dilakukannya pemekaran adalah keinginan sekelompok elit politik untuk
memperoleh posisi kekuasaan baru di daerah yang dimekarkan. Hal ini karena
keberadaan daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah membuka peluang
dibentuk aparat pemerintah daerah baru. Di samping itu, adanya daerah
pemekaran baru juga membuka peluang partai-partai politik menambah ―alokasi‖
penempatan elit-elitnya untuk menduduki jabatan politik. Daerah pemekaran baru
juga berpeluang mengkonsentrasikan dan mengkonsolidasikan basis dukungan
atau konstituen tradisional yang dimiliki sebuah kekuatan politik di suatu daerah.
Dikemukakan oleh Tri Ratnawati dan Robert E. Jaweng (2005) bahwa ada
kecurigaan dari sebagian kalangan bahwa merebaknya jumlah pemekaran
kabupaten/kota baru di Indonesia pada dekade 2000-an merupakan strategi divide
and rule (memecah belah dan menguasai) dari pemerintahan pusat yang bertujuan
mempermudah pengendalian daerah-daerah dan elit-elit yang telah terpecah.
Motif lainnya adalah untuk pemenangan pemilu dengan cara melakukan
pembelahan daerah pemilihan secara politik (gerrymander). Ini terjadi pada kasus
11
pemekaran Papua di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (yang
berasal dari PDIP) dalam rangka memecah suara Partai Golkar di sana.
Alasan kelima yang mendorong dilakukannya pemekaran adalah adanya
keinginan mengambil keuntungan (rent seeking) dari insentif fiskal yang
diberikan pemerintah pusat dan daerah induk. Sama seperti alasan sebelumnya,
alasan insentif fiskal ini juga tidak pernah secara eksplisit disampaikan. Insentif
fiskal tersebut antara lain adanya anggaran tersendiri dari pemerintah pusat yang
terpisah dari pemerintah daerah induk. Sebagaimana diketahui, daerah yang
dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan
mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). Fitrani, Hofman dan
Kai (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya
bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah
sendiri.
2.1.1. Mekanisme Pembentukan Daerah Baru
Secara yuridis formal, mekanisme pembentukan daerah baru diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan
Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah. Setelah dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan
ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mekanisme
pembentukan daerah baru diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2007.
Secara garis besar tidak terdapat perbedaan besar pada prosedur
pembentukan dan pemekaran wilayah yang diatur dalam PP Nomor 129 Tahun
2000 maupun PP Nomor 78 Tahun 2007. Mekanisme dilakukan melalui beberapa
tahap secara berjenjang dari bawah. Perbedaan pokoknya hanya terletak pada
detail dalam proses penjaringan aspirasi dari bawah. Sedangkan teknis
penyampaian usulan dan persyaratan administrasinya relatif tidak berbeda.
Setelah melalui proses penjaringan aspirasi dan persetujuan dari kepala
daerah dan DPRD, usulan pemekaran disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur yang dilampiri dengan: dokumen aspirasi
masyarakat, hasil kajian daerah, dan persetujuan dari Bupati dan DPRD Kab/Kota
serta Gubernur dan DPRD Provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan usulan
tersebut, Menteri Dalam Negeri kemudian menugaskan tim observasi yang
hasilnya akan menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah (DPOD). Selanjutnya, DPOD melakukan kajian lebih lanjut hingga dapat
dihasilkan keputusan terhadap usulan pemekaran daerah tersebut. Jika disetujui,
Menteri Dalam Negeri yang sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan DPOD dapat
mengajukan usul pemekaran daerah tersebut beserta rancangan undang-
undangnya kepada Presiden. Rancangan undang-undang tersebut kemudian
disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan1.
Dalam perjalanannya, prosedur pengusulan pemekaran wilayah sebagaimana
diatur dalam PP tersebut dianggap terlalu memakan waktu lama di tengah
tingginya aspirasi dan keinginan masyarakat untuk mengusulkan pemekaran
1 Lihat PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah, Pasal 2 dan Pasal 17-21
12
daerah. Oleh karena itu dengan dasar bahwa pembentukan daerah baru harus
ditetapkan melalui UU—sementara perancangan UU juga dapat diajukan melalui
mekanisme Hak Inisiatif DPR—maka prosedur pemekaran daerah baru pun dapat
dilakukan melalui jalur Hak Inisiatif DPR.
Adanya dua mekanisme dalam pengusulan pembentukan daerah pemekaran
ini menjadikan lingkaran persoalan terkait daerah pemekaran semakin kompleks.
Belum lagi dengan wacana keinginan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang juga
ingin mengambil kewenangan DPR dalam usulan daerah pemekaran. Kalangan
DPD berargumentasi bahwa persoalan pemekaran daerah merupakan ranah
wewenang mereka. Situasi ini menyebabkan usulan pemekaran daerah tidak
hanya masuk dari satu pintu, tetapi dari banyak pintu. Tentunya masing-masing
pintu memiliki pendekatan dan asumsi penilaian yang berbeda.
Kondisi inilah yang menyebabkan kebijakan Moratorium Pemekaran Daerah
yang diberlakukan pemerintah pusat tahun 2007 dan 2010 tidak pernah efektif.
Argumentasi pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, tentang perlunya
dirumuskan Desain Besar Pemerintah Daerah sebelum melanjutkan kembali
kebijakan pemekran wilayah tidak mendapat sambutan positif dari pihak DPR dan
DPD. Pihak DPR dan DPD beralasan bahwa tindakan menutup aspirasi
masyarakat untuk memekarkan wilayah merupakan tindakan yang tidak
demokratis dan tidak sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang menganut
otonomi daerah.
2.1.2. Problematika Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah kadang dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah.
Beberapa contoh permasalahan muncul dari daerah yang dikaji Pamungkas (2007)
dari LIPI antara lain:
1. Konflik dengan kekerasan. Salah satu contoh kasusnya adalah Kabupaten
Polewali-Mamasa yang dimekarkan pada tahun 2002 menjadi Kabupaten
Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Konflik
juga terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Bahkan, konflik
juga terjadi dalam usulan pembentukan Provinsi Tapanuli pada tahun 2009
yang berujung pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara.
2. Menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara dramatis. Contoh: Kabupaten
Aceh Utara sebelum dimekarkan penduduknya berjumlah 970.000 jiwa,
setelah dimekarkan menjadi Kota Bireun, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten
Aceh Utara, penduduknya tinggal 420.000 jiwa. Contoh lain, pembentukan
Kota Singkawang menyebabkan Kabupaten Bengkayang banyak kehilangan
penduduknya karena bermigrasi ke Kota Singkawang. Selain itu, Bengkayang
juga menderita karena PAD-nya menurun secara drastis pasca ditinggalkan
Singkawang.
3. Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk. Kabupaten Halmahera
Barat yang setelah pemekaran wilayahnya menyempit secara drastis, saat ini
dibebani oleh pembiayaan daerah-daerah baru di Kabupaten Halmahera Utara,
Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.
4. Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran. Kasus ini terjadi misalnya
antara Pemda Kabupaten Kampar dengan Pemda kabupaten Rokan Hulu yang
memperebutkan 3 desa, yaitu: Tandung, Aliantan, dan Kabun. Konflik
13
perebutan wilayah juga terjadi dalam kasus Kabupaten Banggai di Provinsi
Sulawesi Tengah.
5. Perebutan aset. Kasus ini pernah terjadi di Kabupaten Nunukan yang
dimekarkan tahun 1999 yang kemudian berebut gedung dan peralatan dengan
kabupaten induknya, yakni Kabupaten Bulungan. Masalah serupa juga terjadi
antara Kota Lhokseumawe dengan Kabupaten Lhoksukon.
Adriansyah (2009) dari Kementerian Keuangan RI mengidentifikasi
beberapa masalah dalam pemekaran daerah. Menurutnya, berpindahnya daerah
penghasil dari daerah induk ke daerah pemekaran dapat menimbulkan potensi
masalah pada munculnya pengakuan sebagai daerah penghasil. Misalkan:
Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai
daerah penghasil migas, Kabupaten Natuna dengan Kabupaten Anambas sebagai
daerah penghasil migas, Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan Kabupaten
Balangan sebagai daerah penghasil pertambangan umum), serta Kabupaten
Konawe dengan Kabupaten Konawe Utara sebagai daerah penghasil kehutanan.
Munculnya daerah baru sebagai daerah penghasil dalam realisasi penerimaan,
padahal daerah tersebut tidak ditetapkan sebagai daerah penghasil dalam SK
Menteri ESDM, dapat mengakibatkan penundaan penyaluran kepada daerah yang
bersangkutan karena harus terlebih dahulu merubah dokumen anggaran.
Tinjauan yang lain dikemukakan oleh Koespramoedyo (2009) dari Bappenas
yang mengungkapkan beberapa persoalan dalam pemekaran daerah terjadi karena:
1. Pada saat melakukan proses pemekaran daerah tidak dihitung kebutuhan
kawasan budidaya yang bisa dikembangkan sehingga daerah yang dimekarkan
sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung. Alih fungsi kawasan hutan
menjadi kawasan non hutan akhirnya dilakukan karena kurangnya kebutuhan
kawasan budidaya, meski hal ini melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
2. Pemekaran wilayah tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan akan SDM
yang memadai sehingga menyebabkan tidak konsistennya penyelenggaraan
penataan ruang daerah. Daerah pemekaran belum memiliki rencana tata ruang
sehingga mengacu pada tata ruang daerah induknya yang belum tentu sesuai
dengan aspirasi daerah.
3. Adanya pemekaran yang tidak memperhatikan batas-batas administrasi akan
berpotensi menimbulkan sengketa pertanahan. Arsip tanah yang belum
terkelola dengan baik di daerah induk berpotensi menyebabkan permasalahan
pembangunan di daerah.
2.2. Belanja Pemerintah
Belanja pemerintah merupakan instrumen untuk mengukur besarnya peran
pemerintah maupun peran pihak swasta. Selain itu pengeluaran pemerintah dapat
digunakan sebagai penentu jumlah pengeluaran agregat maupun penentu
pertumbuhan PDB riil dalam jangka pendek. Pengeluaran pemerintah atas barang
maupun jasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu konsumsi pemerintah
dan investasi pemerintah. Yang termasuk dalam golongan yang pertama
(konsumsi pemerintah) adalah pembelian ke atas barang dan jasa yang akan
dikonsumsikan, seperti membayar gaji guru sekolah, membeli alat-alat tulis dan
kertas untuk digunakan dan membeli bensin untuk kendaraan pemerintah.
14
Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun
prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi (Soekirno, 2006).
Dalam konsep keuangan negara, pendapatan negara yang bersumber dari
penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, akan digunakan
untuk mendanai belanja pemerintah. Dalam klasifikasi ekonomi (Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), belanja pemerintah terdiri dari:
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, dan belanja lain-lain. Sedangkan, dalam teori ekonomi makro, belanja
pemerintah dikelompokkan dalam belanja konsumsi (Government Consumption
Expenditure = GC) dan investasi pemerintah (Government Investment
Expenditure = GI). Oleh karena itu, penggunaan terminologi belanja menurut
klasifikasi ekonomi dan menurut ekonomi makro tidak 100 (seratus) persen
paralel. Sejalan itu, terminologi belanja modal tidak dapat digunakan untuk
merepresentasikan belanja investasi, atau sebaliknya (Direktorat Jenderal
Anggaran, 2013).
Selanjutnya, dalam APBD, perkembangan pengeluaran investasi yang
sebetulnya tercermin dalam berbagai komponen APBD, sering ditafsirkan secara
lebih sempit sehingga diidentikkan sebagai belanja modal. Sesuai dengan
karakternya, belanja modal dalam APBD diterjemahkan sebagai belanja yang
dilakukan dalam rangka pemupukan modal dalam aset fisik, seperti tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik
lainnya. Padahal, belanja tersebut tidak hanya dilakukan pada belanja modal,
tetapi juga dilakukan dalam belanja barang dan bantuan sosial. Oleh karena itu,
dalam konteks ekonomi makro penggunaan terminologi tersebut sebagai belanja
modal menjadi terlalu sempit, dan lebih cocok untuk menggunakan pengeluaran
investasi Pemerintah.
Terlepas dari problematika terminologi di atas, agar tidak terjadi kerancuan
maka dalam kajian ini tidak dibedakan pengertian antara belanja konsumsi dengan
belanja investasi. Lingkup pengertian belanja pemerintah daerah yang digunakan
adalah mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004.
Dalam UU tersebut, belanja daerah didefinisikan sebagai semua kewajiban daerah
yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Pengertian tersebut selaras dengan pengertian
belanja daerah dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, dimana belanja daerah
diartikan sebagai semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran
tertentu yang menjadi beban daerah.
Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja
terdiri dari:
1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun
barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas
di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-
lain sejenis.
15
2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang dan jasa
yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian
barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas.
3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/
pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,
seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jaringan, buku perpustakaan, dan hewan.
4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi hasil dan
bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga).
Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja
berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdiri atas belanja tidak
langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan
belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang
dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari
belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut
jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan
belanja modal.
Secara empirik, belanja pemerintah dianggap sebagai implementasi dari
peran atau campur tangan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
ekonomi masyarakat. Ada beberapa teori yang menunjukkan bahwa
perkembangan peran pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan ekonomi
tidak pernah bisa dihilangkan. Bahkan, teori-teori tersebut justru mengemukakan
bahwa peran pemerintah malah akan semakin meningkat seiring dengan
berkembangnya kondisi perekonomian. Teori-teori tersebut antara lain:
2.2.1. Model Rostow dan Musgrave
Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah
dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan
tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi
pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus
menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan
pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin
besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,
investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase
investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi
lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan
ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk
16
aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan
masyarakat. (Mangkoesoebroto, 2008)
2.2.2. Hukum Wagner
Hukum Wagner dikenal dengan ―The Law of Expanding State Expenditure”.
Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju
(Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Adolf Wagner menerangkan
mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Menurut
Wagner, ketika ekonomi menjadi industri, hubungan antar pasar dan agen dalam
pasar menjadi semakin kompleks. Situasi ini memerlukan peraturan perdagangan
dan sistem hukum untuk mengaturnya. Eksternalitas akibat urbanisasi juga
membutuhkan intervensi dan peraturan sektor publik. Dari pengamatan itu
Wagner kemudian mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan
pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB.
Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per
kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.
(Mangkoesoebroto, 2008)
2.2.3. Teori Peacock dan Wiseman
Peacock dan Wiseman mengemukakan teori yang didasarkan pada
pandangan masyarakat bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar
pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin
besar tersebut. Masyarakat mempunyai suatu toleransi pajak, yaitu suatu tingkat
dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan
oleh pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah. Jadi masyarakat
menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas
pemerintah, sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat
untuk membayar pajak (Mangkoesoebroto, 2008).
Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal,
meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila
keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena
itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah
meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak
sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan
ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial
menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.
2.3. Infrastruktur
Infrastruktur dapat diartikan sebagai kemudahan dasar dalam berbagai
instalasi terutama dalam sistem komunikasi, transportasi, listrik, dan air yang
dibutuhkan oleh masyarakat dalam menunjang aktivitasnya baik itu untuk usaha
dalam bentuk industri maupun perdagangan serta untuk mendukung kelancaran
17
arus orang, barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain. Stone dalam
Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang
dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi
pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah,
transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan
ekonomi dan sosial.
Bank Dunia (1994) mengkategorikan infrastruktur ke dalam 3 kelompok.
Pertama, infrastruktur ekonomi, yakni aset fisik dalam menyediakan jasa dan
digunakan dalam produksi dan konsumsi final, meliputi: public utilities
(telekomunikasi, air minum, sanitasi, dan gas), public works (jalan, bendungan,
saluran irigasi, dan drainase), serta sektor transportasi (jalan kereta api, angkutan
pelabuhan, dan lapangan terbang). Kedua, infrastruktur sosial, yaitu merupakan
aset dalam mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi: pendidikan
(sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), serta untuk
rekreasi (taman, museum, dan sejenisnya). Ketiga, infrastruktur administrasi/
institusi, meliputi: penegakan hukum, pertahanan keamanan, kontrol administrasi
dan koordinasi, serta kebudayaan.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite
Percepatan Penyediaan Infrastruktur, dipaparkan ragam jenis infrastruktur yang
penyediaannya diatur pemerintah, yakni: infrastruktur transportasi, infrastruktur
jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur
telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, serta infrastruktur pengangkutan
minyak dan gas bumi. Jenis infrastruktur tersebut di atas seringkali disebut
sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang menjadi kebutuhan dasar
masyarakat sehingga pengadaan dan pengelolaannya perlu diatur oleh pemerintah.
2.3.1. Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi
Kesadaran akan pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi telah
disampaikan oleh Adam Smith pada tahun 1776 dalam karyanya yang terkenal
―The Wealth of Nation‖. Adam Smith menyatakan: ―Good roads, canals, and
navigable rivers, by diminishing the expense of carriage, put the remote parts or
the country more nearly upon a level with those in the neighboring town. They are
upon that account greatest of all improvements.‖ Ketersediaan infrasturktur
menghasilkan eksternalitas positif karena dapat meningkatkan produktifitas dan
pelaku usaha dengan berkurangnya beban usaha yang harus ditanggung. Studi
yang pernah dilakukan Bank Dunia menunjukkan betapa pentingnya infrastruktur
dalam pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut menyimpulkan bahwa faktor utama
yang menyebabkan percepatan pertumbuhan ekonomi dunia abad ke-20
dibandingkan beberapa abad sebelumnya adalah karena kemajuan teknologi dan
pertumbuhan pembangunan infrastruktur.
Dalam stadium general di ITB, Kwik Kian Gie (2002) pernah
menyampaikan bahwa peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari
sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya terhadap
peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa
pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital,
Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur
berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Kontribusi infrastruktur
terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan oleh terciptanya amenities
18
dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan kesejahteraan, (peningkatan nilai
konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan
kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata), terwujudnya stabilisasi makro
ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya
terhadap pasar tenaga kerja).
2.3.2. Otonomi Daerah dan Kondisi Infrastruktur di Indonesia
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, masalah infrastruktur merupakan hal
yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bisa
digambarkan, misalkan, apabila jalan-jalan (baik jalan biasa maupun jalan tol)
tersedia dengan baik maka akan membantu berkembangnya masyarakat di suatu
wilayah. Kegiatan usaha, baik berupa pertukaran maupun distribusi barang, di
suatu wilayah akan dapat berjalan baik bila didukung infrastruktur jalan yang
memudahkan akses keluar-masuk wilayah tersebut. Begitu pula jenis-jenis
infrastruktur lain, seperti: pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, jaringan
tenaga listrik, penyediaan air minum, infrastruktur persampahan, dan juga
infrastruktur telekomunikasi.
Melihat pentingnya ketersediaan infrastruktur mengharuskan pemerintah
sebagai pihak yang bertanggung jawab menyediakan infrastruktur untuk
mengalokasi dana yang sangat besar untuk membiayai pembangunan dan
pemeliharaan infrastruktur. Sayangnya, kemampuan keuangan pemerintah sangat
terbatas sehingga tidak mampu menyediakan infrastruktur yang memadai.
Selain persoalan pendanaan, penyediaan infrastruktur juga kerap terkendala
oleh buruknya kinerja pemerintahan di daerah. Sejak berlakunya otonomi daerah,
penyediaan infrastruktur terkesan bukan lagi prioritas utama pembangunan
Padahal, tujuan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan publik yang lebih
intensif dan nyata kepada masyarakat, termasuk penyediaaan infrastruktur dasar.
Ketersediaan infrastruktur sangat penting bagi kemajuan pembangunan serta
peningkatan ekonomi daerah. Sebelum otonomi daerah, dana pembangunan jalan
daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Jalan
Provinsi atau Inpres Jalan Kabupaten. Setelah otonomi daerah, alokasi diserahkan
pada setiap daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Hal ini menjadikan daerah memiliki wewenang penuh dalam
pelaksanaan pembangunan jalan.
Dalam upaya peningkatan ekonomi, tentunya setiap daerah akan berusaha
untuk menarik minat investor. Upaya yang harus dilakukan diantaranya adalah
menyiapkan ketersediaan fasilitas dan infrastruktur daerah. Sayangnya, hasil di
lapangan masih belum sebagaimana diharapkan. Mengacu Global
Competitiveness Report 2008-2009, inefisiensi birokrasi menempati urutan
pertama faktor penghambat investasi di Indonesia. Sedangkan keburukan
infrastruktur menempati urutan kedua. Sementara itu, hasil survei Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) untuk iklim investasi 2007
menunjukkan lemahnya manajemen infrastruktur pemerintah daerah menjadi
kendala utama investasi.
Pemerintah bukan berarti tidak berupaya meningkatkan alokasi dana untuk
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Data Kementerian Keuangan,
misalnya, menunjukkan bahwa belanja di sektor jalan terus meningkat sejak era
otonomi daerah. Rata-rata anggaran belanja pemerintah daerah untuk
19
pembangunan infrastruktur telah mencapai 11%-13% dari total APBD. Namun, di
tengah peningkatan anggaran tersebut, porsi jalan rusak justru bertambah besar.
Data BPS menyebutkan, panjang jalan kabupaten/kota dengan kualitas rusak-
parah sebesar 24,9% pada 2007, dan meningkat menjadi 44% pada 2010.
Alokasi anggaran untuk infrastruktur di pos APBD terus meningkat. Namun
temuan studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun
2012 memperlihatkan bahwa peningkatan anggaran tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas infrastruktur. Korupsi dipandang sebagai biang keladi dari
ketidaksinkronan antara peningkatan anggaran dengan kualitas infrastrukur.
Kenyataan lain bahwa selama ini ketersediaan infrastruktur justru masih menjadi
kendala utama bagi aktiftas usaha di Indonesia (Ratnawati, 2012).
Di sisi lain, peran swasta dalam pembiayaan infrastruktur dituntut melalui
berbagai skema. Sayangnya ada sejumlah daerah yang mengalihkan tanggung
jawab penyediaan infrastruktur tersebut kepada pihak swasta (melalui Peraturan
Daerah) dengan alasan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan
usaha. Namun sayang pengalihan tanggung jawab tersebut tidak diikuti
kompensasi terhadap swasta yang menyediakan kontribusi yang sudah diberikan,
malahan justru sanksi bila pihak swasta tidak sanggup melaksanakannya.
2.4. Tenaga Kerja
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan tenaga kerja sebagai seluruh
penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat
memproduksikan barang dan jasa. Sebelum tahun 2000, Indonesia menggunakan
dasar kriteria seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas. Selanjutnya mulai
Sensus Penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan secara internasional, tenaga
kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih. Kriteria ini menjadi
indikator yang digunakan dalam pembuat kebijakan perencanaan ketenagakerjaan,
baik di daerah maupun nasional. Indikator ini juga digunakan untuk mengetahui
berapa banyak tenaga kerja atau penduduk usia kerja potensial yang dapat
memproduksikan barang dan jasa.
Secara ringkas, tenaga kerja terdiri atas angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang
terlibat atau masih berusaha uantuk terlibat dalam kegiatan produktif yang
menghasilkan barang dan jasa. Menurut Suparmoko (2002) angkatan kerja adalah
penduduk yang belum bekerja namun siap untuk bekerja atau sedang mencari
pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku. Angkatan kerja terdiri atas golongan
yang bekerja, dan golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Sedangkan
yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih sekolah,
golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain-lain atau penerima
pendapatan. Jika yang digunakan sebagai satuan hitung tenaga kerja adalah orang,
maka disini dianggap bahwa semua orang mempunyai kemampuan dan
produktifitas kerja yang sama dan lama waktu kerja yang dianggap sama.
Dalam statistik ketenagakerjaan di Indonesia, selain istilah angkatan kerja
juga terdapat istilah kesempatan kerja. BPS mendefinisikan kesempatan kerja
sebagai jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
lapangan pekerjaan utama. Sedangkan yang dimaksud lapangan pekerjaan utama
itu adalah pekerjaan pada 9 sektor sebagai berikut:
a. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan
20
b. Pertambangan dan Penggalian
c. Industri
d. Listrik, Gas dan Air
e. Konstruksi
f. Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi
g. Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi
h. Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan, dan Jasa Perusahaan
i. Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan
Kesempatan kerja merupakan terjemahan bagi employment yang berarti
sebagai jumlah orang yang bekerja tanpa memperhitungkan berapa banyak
pekerjaan yang dimiliki tiap orang, pendapatan dan jam kerja mereka.
Kesempatan kerja juga dapat dimaknai sebagai permintaan tenaga kerja (demand
for labor), yaitu suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja
yang siap diisi para pencari kerja.
Besarnya kesempatan kerja tergantung pada beberapa faktor, di antaranya:
pertumbuhan output, tingkat upah dan harga-harga dari faktor produksi lainnya.
Dikemukakan Tambunan (2001) bahwa hubungan antara pertumbuhan output
dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja dapat digambarkan lewat hubungan
antara pasar barang dengan pasar tenaga kerja, di mana melalui mekanisme pasar
terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran. Di pasar tenaga kerja, rumah
tangga menawarkan jasanya dan mendapatkan harga (gaji). Apabila permintaan
konsumsi rumah tangga di pasar barang meningkat, maka produksi dari sisi
penawaran pasar barang meningkat dan terjadilah pertumbuhan output. Apabila di
semua pasar terjadi peningkatan output, maka secara agregat terjadi pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong adanya pertumbuhan
kesempatan kerja. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin
tinggi pula pertumbuhan kesempatan kerja.
Tenaga kerja yang berkualitas yang mempunyai ketrampilan dan
kemampuan yang semakin tinggi juga telah mendorong adanya peningkatan
dalam upah tenaga kerja. Tenaga kerja yang berkualitas dan mempunyai
kemampuan serta ketrampilan yang tinggi ini telah mendorong peningkatan
produktivitas yang akhirnya mendorong peningkatan output. Oleh karena itu,
walaupun sisi penawaran lebih besar daripada sisi permintaan, namun upah selalu
mengami peningkatan dari tahun ke tahun.
2.5. Pertumbuhan Ekonomi
Kemajuan ekonomi suatu daerah menunjukkan keberhasilan suatu
pembangunan meskipun bukan merupakan satu-satunya indikator keberhasilan
pembangunan (Todaro, Smith, 2006). Ada tiga macam ukuran untuk menilai
pertumbuhan ekonomi yaitu pertumbuhan output, pertumbuhan output per pekerja,
dan pertumbuhan output per kapita. Pertumbuhan output digunakan untuk menilai
pertumbuhan kapasitas produksi yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan
tenaga kerja dan modal di wilayah tersebut. Pertumbuhan output per tenaga kerja
sering digunakan sebagai indikator adanya perubahan daya saing wilayah tersebut
(melalui pertumbuhan produktivitas). Sedangkan pertumbuhan output per kapita
digunakan sebagai indikator perubahan kesejahteraan ekonomi.
Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan seperti yang diuraikan sebagai
berikut:
21
2.5.1. Teori Harrod-Domar
Teori ini dikembangkan oleh Sir Henry Roy Forbes Harrod dan Evsey David
Domar. Teori ini merupakan perkembangan dari teori pertumbuhan yang
disampaikan oleh John Maynard Keynes. Dengan dasar pemikiran bahwa analisis
yang dilakukan oleh Keynes dianggap kurang lengkap karena tidak membicarakan
masalah-masalah ekonomi jangka panjang, Harrod-Domar kemudian mencoba
untuk menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian dapat
tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang dengan mantap (steady growth).
Steady growth sendiri dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang selalu akan
memunculkan penggunaan sepenuhnya peralatan modal dalam siklus
perekonomian.
Ada beberapa asumsi yang digunakan Harrod-Domar dalam menjelaskan
teorinya, antara lain:
a. Perekonomian dalam keadaan seluruh barang modal dan tenaga kerja telah
seluruhnya digunakan (full employment).
b. Perekonomian hanya terdiri dari dua sektor, yaitu: rumah tangga (household)
dan perusahaan (firm). Tidak ada pemerintah (government) dan trade with rest
of the world.
c. Besarnya private saving adalah proporsional dengan national income.
d. Marginal propensity to save (MPS), capital-output ratio (COR) dan
incremental capital-output ratio (ICOR) dianggap konstan/tetap.
Berdasarkan pada asumsi di atas dapat diasumsikan bahwa tabungan harus sama
dengan total investasi (S = I), dimana tabungan merupakan suatu proporsi dari
output total (S = s.Y). Sedangkan investasi didefinisikan sebagai perubahan stok
kapital (dilambangkan dengan I = ∆K). Karena kapital (K) memiliki hubungan
langsung dengan output total (Y) yang ditunjukkan melalui COR (k), maka dapat
dituliskan k = ∆K/∆Y atau K = k.Y. Dari persamaan tersebut dapat dituliskan
identitas dari tabungan yang sama dengan investasi (S = I )sebagai berikut:
S = s.Y = k.∆Y = ∆K = I
atau
s.Y = k.∆Y
atau
∆Y/Y = s/k
Persamaan Harrod-Domar ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan
output secara positif berhubungan dengan rasio tabungan. Makin tinggi tabungan
diinvestasikan, makin tinggi pula output. Hubungan antara COR dengan tingkat
pertumbuhan output adalah negatif, yaitu makin tinggi nilai COR maka makin
rendah tingkat pertumbuhan output. Oleh karena itu, jika ingin tumbuh,
perekonomian harus menabung dan menginvestasikan suatu proporsi tertentu dari
output totalnya. Dengan kata lain, semakin banyak porsi PDB yang ditabung akan
menambah capital stock sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.5.2. Teori Solow
Model Solow sebagai salah satu model pertumbuhan ekonomi memberikan
analisis statis bagaimana keterkaitan antara akumulasi modal, pertumbuhan
populasi penduduk, dan perkembangan teknologi serta pengaruh ketiganya
terhadap tingkat produksi output. Teori yang dicetuskan oleh Robert Solow ini
22
memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa perekonomian di suatu negara bisa
tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi di negara lain.
Model pertumbuhan Solow menggunakan dua buah faktor produksi utama,
yakni: modal dan tenaga kerja, serta sebuah unsur baru yakni teknologi. Modal
dan tenaga kerja dapat saling mensubtitusi satu sama lain. Solow mengasumsikan
bahwa setiap faktor produksi akan mengalami diminishing return, yakni jika input
ditambahkan terus menerus maka output akan bertambah tetapi dengan tingkat
pertambahan yang semakin mengecil. Oleh karena itu investasi yang terus-
menerus belum tentu akan dapat memberikan pertumbuhan yang permanen.
Dengan demikian kemajuan teknologi akan sangat menentukan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang.
Bentuk model Solow didasarkan pada fungsi produksi sederhana dari
Output (Y), Kapital (K) dan tenaga kerja (L) serta teknologi (T) sebagaimana
tampak pada persamaan berikut:
Y = f (K,L,T)
Dalam pandangan Solow, teknologi merupakan faktor eksogen. Dampak dari
kemajuan teknologi adalah dapat memunculkan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan karena teknologi dapat mengoptimalkan efisiensi tenaga kerja yang
terus tumbuh.
Menurut teori Solow ada beberapa hal yang dilakukan untuk memacu
pertumbuhan ekonomi. Pertama, meningkatkan porsi tabungan akan
meningkatkan akumulasi modal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kedua,
meningkatkan investasi yang sesuai dalam perekonomian baik dalam bentuk fisik
maupun non-fisik. Ketiga, mendorong kemajuan teknologi dapat meningkatkan
pendapatan per tenaga kerja sehingga pemberian kesempatan untuk berinovasi
pada sektor swasta akan berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi.
2.5.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan penjumlahan dari semua harga dan jasa akhir atau semua
nilai tambah yang dihasilkan oleh daerah dalam periode waktu tertentu (1 tahun).
Untuk menghitung nilai seluruh produksi yang dihasilkan suatu perekonomian
dalam suatu tahun tertentu dapat digunakan 3 cara penghitungan (Soekirno, 1994).
Ketiga cara tersebut adalah
1. Cara Pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung dengan
menjumlah pengeluaran ke atas barang-barang dan jasa yang diproduksikan
dalam negara tersebut. Menurut cara ini pendapatan nasional adalah jumlah
nilai pengeluaran rumah tangga konsumsi, rumah tangga produksi dan
pengeluaran pemerintah serta pendapatan ekspor dikurangi dengan
pengeluaran untuk barang-barang impor.
2. Cara Produksi atau cara produk netto. Dengan cara ini pendapatan nasional
dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi barang atau jasa yang
diwujudkan oleh berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian.
Dalam menghitung pendapatan nasional dengan cara produksi yang
dijumlahkan hanyalah nilai produksi tambahan atau value added yang
diciptakan.
23
3. Cara Pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan nasional diperoleh
dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang digunakan untuk mewujudkan pendapatan nasional.
Adapun manfaat penghitungan nilai PDRB adalah :
1. Mengetahui dan menelaah struktur atau susunan perekonomian. Dari
perhitungan PDRB dapat diketahui apakah suatu daerah termasuk daerah
industri, pertanian atau jasa dan berapakah besar sumbangan masing-masing
sektornya.
2. Membandingkan perekonomian dari waktu ke waktu. Oleh karena nilai PDRB
dicatat tiap tahun, maka akan di dapat catatan angka dari tahun ke tahun.
Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh keterangan kenaikan atau
penurunan apakah ada perubahan atau pengurangan kemakmuran material
atau tidak.
2.6. Penelitian Sebelumnya
Belum banyak penelitian sebelumnya yang dilakukan terkait dengan belanja
pemerintah, infrastruktur, tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi di daerah hasil
pemekaran. Namun ada beberapa penelitian yang relevan yang bisa disebutkan,
antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Mailendra (2009) tentang dampak pemekaran
wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di
Provinsi Jawa Barat selama periode 2002-2006. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis perkembangan IPM Jabar sebelum dan setelah adanya
pemekaran. Selain itu juga dianalisis dampak pemekaran dan faktor-faktor
yang mempengaruhi pembangunan manusia Jabar sehingga didapatkan
rekomendasi kebijakan guna mewujudkan visi IPM Jabar sebesar 80 pada
2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPM seluruh kabupaten dan kota
di Jawa Barat mengalami peningkatan. Daerah baru hasil pemekaran memiliki
IPM lebih tinggi dari daerah induk. Selain daerah baru, wilayah kota memiliki
nilai IPM yang relatif lebih tinggi dibanding kabupaten. Laju pertumbuhan
IPM sebelum pemekaran memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan setelah
pemekaran. Pemekaran wilayah di Jawa Barat ternyata membuat ketimpangan
antar daerah baru dan induk semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian
besar potensi daerah induk berada di daerah baru yang dimekarkan.
2. Penelitian yang dilakukan Yuliadi (2012) tentang kesenjangan investasi dan
evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia. Tujuan penelitian ini
untuk melihat implikasi kebijakan pemekaran Provinsi Gorontalo, sejak
provinsi tersebut berpisah dari Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001,
terhadap kesenjangan investasi di provinsi tersebut. Peneliti menemukan
bahwa nilai rasio kesenjangan investasi penanaman modal asing (PMA) di
Gorontalo dalam konteks analisis kesenjangan investasi di kawasan timur
Indonesia (KATIMIN) sebelum diterapkannya kebijakan pemekaran wilayah
pada tahun 2000 sebesar 94223,20174. Pada tahun 2001 nilai r turun menjadi
1397685,323 artinya bahwa kebijakan pemekaran wilayah provinsi Gorontalo
dari provinsi Sulawesi Utara mengalami penurunan kesenjangan investasi
PMA. Keadaan ini terus mengalami fluktuasi sampai tahun 2003 dan pada
tahun 2004 nilai r turun tajam menjadi 21260,04107. Kemudian pada tahun
verikutnya yaitu dari 2005 mengalami peningkatan sangat tajam menjadi
24
10457,22061. Hasil penelitian ini menyiratkan bahwa dampak dari kebijakan
pemekaran wilayah provinsi Gorontalo dari provinsi Sulawesi Utara dalam
jangka pendek relatif belum menunjukkan pengaruh yang berarti namun dalam
jangka menengah dan panjang berpengaruh cukup besar terhadap kesenjangan
investasi PMA dalam konteks perekonomian di kawasan timur Indonesia
(KATIMIN).
3. Penelitian yang dilakukan Mubaroq, et al. (2013) tentang pengaruh investasi
pemerintah, tenaga kerja, desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten di Indonesia. Penelitian ini mencoba menganalisis pengaruh
investasi pemerintah, tenaga kerja, dan desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi pada 395 kabupaten yang ada di seluruh Indonesia
dalam kurun waktu 2007-2010. Penelitian ini menemukan bahwa investasi
pemerintah, jumlah tenaga kerja dan desentralisasi fiskal
kabupaten di Indonesia pada periode 2007-2010 memiliki pengaruh
positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi pada taraf α
= 1 persen. Untuk setiap kenaikan 1 persen rasio belanja modal
terhadap PDRB berlaku akan memberikan kenaikan pertumbuhan
ekonomi sebesar 0,035 persen. Untuk setiap kenaikan 1.000 orang
tenaga kerja di kabupaten di Indonesia akan memberikan kenaikan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,004 persen. Desentralisasi fiskal
yang diproksi dengan tingkat kemandirian daerah berupa rasio
antar Pendapatan Asli Daerah terhadap Pendapatan Daerah juga
akan memberikan kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,069
persen untuk kenaikan setiap 1 persen tingkat kemandirian daerah.
4. Penelitian yang dilakukan Candra (2012) tentang peranan pengeluaran
pemerintah, tenaga kerja dan penanaman modal dalam negeri (PMDN)
terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur tahun 2001-2010. Hasil
dari penelitian menunjukkan pengeluaran pemerintah, tenaga kerja dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi. Ketiga variabel di atas berpengaruh positif dan signifikan, kecuali
variabel penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang berpengaruh positif
tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.