17 epistemologi ilmu keislaman - iairm ngabar
TRANSCRIPT
17
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
EPISTEMOLOGI ILMU KEISLAMAN
Mahmud HudaUniversitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang
Email: [email protected]
Abstract
Feelings of curiosity cause humans to always think. There are three objects of humanthinking, namely what we want to know (ontology), how knowledge can be(epistemology), and what knowledge is used (axiology). This study discusses theepistemology of Islamic science which aims to: 1) describing the differences betweenIslamic epistemology and Western epistemology, 2) knowing the method of Islamicepistemology thinking. Through a literature study, findings are made: 1) Westernepistemology considers that the object of science is anything that can be sensuallyobserved. So that the source of knowledge according to Western epistemology, namely;empirical, ratio, phenomenon, intuition, and critical thinking. Islamic epistemologyrecognizes both sensory and metaphysical objects and acknowledges the source ofknowledge namely; senses, reason, intuition and revelation. 2) Islamic epistemologicalthinking methods, namely; Bayani (method of thinking in the ahkami paradigmcontained in the science of interpretation, hadith, fiqh, and kalam science), burhani (amethod in Islamic philosophy that addresses the philosophical paradigm), irfani (amethod of thinking that discusses the paradigm of wijdani in Sufism).Keywords: epistemology, Islamic science.
A. Pendahuluan
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang
segala sesuatu. Rasa ingin tahu manusia tidak terbatas tentang dirinya, melainkan
keingintahuan tentang lingkungan sekitar, bahkan rasa ingin tahu berkembang ke
arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini juga tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat
manusia di dunia punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-beda. Orang
yang tinggal di tempat yang peradabannya masih terbelakang, punya rasa ingin
yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang tinggal di tempat yang
peradabannya sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya
dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat
sederhana didasari keingintahuan tentang apa (ontologi), rasa ingin tahu yang
bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa
peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut perlu
diketahui atau dipelajari (aksiologi).
Ketiga hal ini yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri
17
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
EPISTEMOLOGI ILMU KEISLAMAN
Mahmud HudaUniversitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang
Email: [email protected]
Abstract
Feelings of curiosity cause humans to always think. There are three objects of humanthinking, namely what we want to know (ontology), how knowledge can be(epistemology), and what knowledge is used (axiology). This study discusses theepistemology of Islamic science which aims to: 1) describing the differences betweenIslamic epistemology and Western epistemology, 2) knowing the method of Islamicepistemology thinking. Through a literature study, findings are made: 1) Westernepistemology considers that the object of science is anything that can be sensuallyobserved. So that the source of knowledge according to Western epistemology, namely;empirical, ratio, phenomenon, intuition, and critical thinking. Islamic epistemologyrecognizes both sensory and metaphysical objects and acknowledges the source ofknowledge namely; senses, reason, intuition and revelation. 2) Islamic epistemologicalthinking methods, namely; Bayani (method of thinking in the ahkami paradigmcontained in the science of interpretation, hadith, fiqh, and kalam science), burhani (amethod in Islamic philosophy that addresses the philosophical paradigm), irfani (amethod of thinking that discusses the paradigm of wijdani in Sufism).Keywords: epistemology, Islamic science.
A. Pendahuluan
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang
segala sesuatu. Rasa ingin tahu manusia tidak terbatas tentang dirinya, melainkan
keingintahuan tentang lingkungan sekitar, bahkan rasa ingin tahu berkembang ke
arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini juga tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat
manusia di dunia punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-beda. Orang
yang tinggal di tempat yang peradabannya masih terbelakang, punya rasa ingin
yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang tinggal di tempat yang
peradabannya sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya
dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat
sederhana didasari keingintahuan tentang apa (ontologi), rasa ingin tahu yang
bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa
peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut perlu
diketahui atau dipelajari (aksiologi).
Ketiga hal ini yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri
17
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
EPISTEMOLOGI ILMU KEISLAMAN
Mahmud HudaUniversitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang
Email: [email protected]
Abstract
Feelings of curiosity cause humans to always think. There are three objects of humanthinking, namely what we want to know (ontology), how knowledge can be(epistemology), and what knowledge is used (axiology). This study discusses theepistemology of Islamic science which aims to: 1) describing the differences betweenIslamic epistemology and Western epistemology, 2) knowing the method of Islamicepistemology thinking. Through a literature study, findings are made: 1) Westernepistemology considers that the object of science is anything that can be sensuallyobserved. So that the source of knowledge according to Western epistemology, namely;empirical, ratio, phenomenon, intuition, and critical thinking. Islamic epistemologyrecognizes both sensory and metaphysical objects and acknowledges the source ofknowledge namely; senses, reason, intuition and revelation. 2) Islamic epistemologicalthinking methods, namely; Bayani (method of thinking in the ahkami paradigmcontained in the science of interpretation, hadith, fiqh, and kalam science), burhani (amethod in Islamic philosophy that addresses the philosophical paradigm), irfani (amethod of thinking that discusses the paradigm of wijdani in Sufism).Keywords: epistemology, Islamic science.
A. Pendahuluan
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang
segala sesuatu. Rasa ingin tahu manusia tidak terbatas tentang dirinya, melainkan
keingintahuan tentang lingkungan sekitar, bahkan rasa ingin tahu berkembang ke
arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini juga tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat
manusia di dunia punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-beda. Orang
yang tinggal di tempat yang peradabannya masih terbelakang, punya rasa ingin
yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang tinggal di tempat yang
peradabannya sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya
dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat
sederhana didasari keingintahuan tentang apa (ontologi), rasa ingin tahu yang
bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa
peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut perlu
diketahui atau dipelajari (aksiologi).
Ketiga hal ini yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri
18
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini saling terkait satu
sama lain tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha manusia
dilakukan untuk mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau
lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil, maka diperolehlah apa yang
dinamakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
Tulisan ini membahas salah satu dari penyusunan pengetahuan yang
termasuk dalam ranah filsafat ilmu yaitu epistemologi yang dipadukan dalam
konsep Islami, sehingga membentuk suatu pandangan epistemologi Islam.
Pertanyaan pokok dari tulisan ini adalah apa perbedaan antara epistemologi Islam
dan epistemologi Barat? dan bagaimana metode pemikiran epistemologi Islam?
B. Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian Epistemologi
Secara etimologis, kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme
yang berarti pengetahuan, dan kata logos yang berarti teori. Sehingga dapat
dikatakan kata epistemologi adalah teori pengetahuan.1 Sedangkan menurut
istilah Arab epistemologi disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah.2
Secara terminologi, menurut Bertens epistemologi ialah suatu studi kritis
tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil berbagai ilmu yang
bertujuan menentukan nilai dan jangkauan objektifnya. Selain itu, epistemologi
juga merupakan suatu refleksi kritis tentang pengetahuan manusia pada
umumnya.3 Sementara Harun Nasution membatasi epistemologi sebagai ilmu
yang membahas mengenai hakikat dari pengetahuan, dan bagaimana
pengetahuan itu diperoleh. Ia menambahkan bahwa hakikat di sini yaitu keadaan
mental yang memfalsifikasikan konsep dengan realitas.4
Jika dikaitkan dengan keilmuan Islam, maka epistemologi Islam dapat
dipahami sebagai teori pengetahuan yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran
Islam yang didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Sang Pencipta
1 Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), 107.2 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, terj. Muhammad Jawad Bafaqih,(Jakarta: Shadra Press, 2010), 1.3 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 161.4 Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 7.
18
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini saling terkait satu
sama lain tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha manusia
dilakukan untuk mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau
lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil, maka diperolehlah apa yang
dinamakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
Tulisan ini membahas salah satu dari penyusunan pengetahuan yang
termasuk dalam ranah filsafat ilmu yaitu epistemologi yang dipadukan dalam
konsep Islami, sehingga membentuk suatu pandangan epistemologi Islam.
Pertanyaan pokok dari tulisan ini adalah apa perbedaan antara epistemologi Islam
dan epistemologi Barat? dan bagaimana metode pemikiran epistemologi Islam?
B. Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian Epistemologi
Secara etimologis, kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme
yang berarti pengetahuan, dan kata logos yang berarti teori. Sehingga dapat
dikatakan kata epistemologi adalah teori pengetahuan.1 Sedangkan menurut
istilah Arab epistemologi disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah.2
Secara terminologi, menurut Bertens epistemologi ialah suatu studi kritis
tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil berbagai ilmu yang
bertujuan menentukan nilai dan jangkauan objektifnya. Selain itu, epistemologi
juga merupakan suatu refleksi kritis tentang pengetahuan manusia pada
umumnya.3 Sementara Harun Nasution membatasi epistemologi sebagai ilmu
yang membahas mengenai hakikat dari pengetahuan, dan bagaimana
pengetahuan itu diperoleh. Ia menambahkan bahwa hakikat di sini yaitu keadaan
mental yang memfalsifikasikan konsep dengan realitas.4
Jika dikaitkan dengan keilmuan Islam, maka epistemologi Islam dapat
dipahami sebagai teori pengetahuan yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran
Islam yang didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Sang Pencipta
1 Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), 107.2 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, terj. Muhammad Jawad Bafaqih,(Jakarta: Shadra Press, 2010), 1.3 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 161.4 Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 7.
18
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini saling terkait satu
sama lain tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha manusia
dilakukan untuk mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau
lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil, maka diperolehlah apa yang
dinamakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
Tulisan ini membahas salah satu dari penyusunan pengetahuan yang
termasuk dalam ranah filsafat ilmu yaitu epistemologi yang dipadukan dalam
konsep Islami, sehingga membentuk suatu pandangan epistemologi Islam.
Pertanyaan pokok dari tulisan ini adalah apa perbedaan antara epistemologi Islam
dan epistemologi Barat? dan bagaimana metode pemikiran epistemologi Islam?
B. Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian Epistemologi
Secara etimologis, kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme
yang berarti pengetahuan, dan kata logos yang berarti teori. Sehingga dapat
dikatakan kata epistemologi adalah teori pengetahuan.1 Sedangkan menurut
istilah Arab epistemologi disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah.2
Secara terminologi, menurut Bertens epistemologi ialah suatu studi kritis
tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil berbagai ilmu yang
bertujuan menentukan nilai dan jangkauan objektifnya. Selain itu, epistemologi
juga merupakan suatu refleksi kritis tentang pengetahuan manusia pada
umumnya.3 Sementara Harun Nasution membatasi epistemologi sebagai ilmu
yang membahas mengenai hakikat dari pengetahuan, dan bagaimana
pengetahuan itu diperoleh. Ia menambahkan bahwa hakikat di sini yaitu keadaan
mental yang memfalsifikasikan konsep dengan realitas.4
Jika dikaitkan dengan keilmuan Islam, maka epistemologi Islam dapat
dipahami sebagai teori pengetahuan yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran
Islam yang didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Sang Pencipta
1 Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), 107.2 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, terj. Muhammad Jawad Bafaqih,(Jakarta: Shadra Press, 2010), 1.3 K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), 161.4 Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 7.
19
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
sebagaiman tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah memang untuk
beribadah kepadaNya (QS. adz-Dzariyat: 56)
Al-Quran mengakui adanya kemungkinan manusia untuk memperoleh
epistemologi. Sebagaimana al-Quran mengungkapkan kisah Adam as penuh
dengan hikmah dan pelajaran, diantara hikmah dan rahasia yang ada dalam kisah
itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh epistemologi.5 Selain itu,
al-Quran secara tegas juga mengajak keturunan Adam as untuk mencari ilmu
pengetahuan. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk
memperhatikan, melihat, dan merenungkan apa yang ada di langit dan di bumi.
(QS. Yunus: 101). Maksudnya, al-Qur’an menegaskan kepada manusia untuk
memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi melalui
langkah kerja dan teori pengetahuan yang disebut dengan epistemologi Islam.
2. Perbedaan Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat,
bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris
sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak
termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-
Ihsha‟ Al-Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi (w. 950 M) memasukkan ke
dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani,
mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti
konsep-konsep mental dan metafisika.6
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan
epistemologi Barat yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek
metafisik. Ilmuan-ilmuan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap
status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga
objek-objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa
5 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia,28.6 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: MizanPustaka, 2002), 58.
19
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
sebagaiman tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah memang untuk
beribadah kepadaNya (QS. adz-Dzariyat: 56)
Al-Quran mengakui adanya kemungkinan manusia untuk memperoleh
epistemologi. Sebagaimana al-Quran mengungkapkan kisah Adam as penuh
dengan hikmah dan pelajaran, diantara hikmah dan rahasia yang ada dalam kisah
itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh epistemologi.5 Selain itu,
al-Quran secara tegas juga mengajak keturunan Adam as untuk mencari ilmu
pengetahuan. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk
memperhatikan, melihat, dan merenungkan apa yang ada di langit dan di bumi.
(QS. Yunus: 101). Maksudnya, al-Qur’an menegaskan kepada manusia untuk
memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi melalui
langkah kerja dan teori pengetahuan yang disebut dengan epistemologi Islam.
2. Perbedaan Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat,
bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris
sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak
termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-
Ihsha‟ Al-Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi (w. 950 M) memasukkan ke
dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani,
mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti
konsep-konsep mental dan metafisika.6
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan
epistemologi Barat yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek
metafisik. Ilmuan-ilmuan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap
status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga
objek-objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa
5 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia,28.6 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: MizanPustaka, 2002), 58.
19
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
sebagaiman tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah memang untuk
beribadah kepadaNya (QS. adz-Dzariyat: 56)
Al-Quran mengakui adanya kemungkinan manusia untuk memperoleh
epistemologi. Sebagaimana al-Quran mengungkapkan kisah Adam as penuh
dengan hikmah dan pelajaran, diantara hikmah dan rahasia yang ada dalam kisah
itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh epistemologi.5 Selain itu,
al-Quran secara tegas juga mengajak keturunan Adam as untuk mencari ilmu
pengetahuan. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk
memperhatikan, melihat, dan merenungkan apa yang ada di langit dan di bumi.
(QS. Yunus: 101). Maksudnya, al-Qur’an menegaskan kepada manusia untuk
memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi melalui
langkah kerja dan teori pengetahuan yang disebut dengan epistemologi Islam.
2. Perbedaan Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat,
bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris
sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak
termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-
Ihsha‟ Al-Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi (w. 950 M) memasukkan ke
dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani,
mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti
konsep-konsep mental dan metafisika.6
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan
epistemologi Barat yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek
metafisik. Ilmuan-ilmuan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap
status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga
objek-objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa
5 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia,28.6 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: MizanPustaka, 2002), 58.
20
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya
dengan objek-objek fisik, bahkan lebih riil dari pada objek-objek indra.7
Selain itu, epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat yang
hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam
mengakui sumber ilmu pengetahuan ada empat; indra, akal, intuisi dan wahyu.
Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar kebenaran yang berbeda
sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara
proporsional. Indra penglihatan misalnya, hanya mampu berfungsi pada panjang
gelombang 400-700 nano meter. Indra pendengaran berfungsi pada frekuensi
20-20.000 kilohertz/detik. Di sinilah diperlukan akal yang juga mempunyai
kemampuan terbatas.8
Akal dalam menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan
wahyu agar apa yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu keislaman atau
konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu manusia
karena akan berdampak pada kerusakan langit dan bumi yang diikuti binasanya
segala yang ada di dalamnya. (QS. Al-Mukminun: 71).
Selain itu, di antara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut
para filosof Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan
eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu karena
mereka menganggap keduanya memang harus dipisahkan. Induksi (istiqra’)
berada pada posisi prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar,
tajribah) berada pada posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat
perbedaan antara perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan
praktik dalam hal ini merupakan aktivitas rasio.9
Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat
dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-
7 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta:Erlangga, 2007), 67.8 Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013), 47-48.9 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, 55-56.
20
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya
dengan objek-objek fisik, bahkan lebih riil dari pada objek-objek indra.7
Selain itu, epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat yang
hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam
mengakui sumber ilmu pengetahuan ada empat; indra, akal, intuisi dan wahyu.
Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar kebenaran yang berbeda
sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara
proporsional. Indra penglihatan misalnya, hanya mampu berfungsi pada panjang
gelombang 400-700 nano meter. Indra pendengaran berfungsi pada frekuensi
20-20.000 kilohertz/detik. Di sinilah diperlukan akal yang juga mempunyai
kemampuan terbatas.8
Akal dalam menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan
wahyu agar apa yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu keislaman atau
konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu manusia
karena akan berdampak pada kerusakan langit dan bumi yang diikuti binasanya
segala yang ada di dalamnya. (QS. Al-Mukminun: 71).
Selain itu, di antara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut
para filosof Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan
eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu karena
mereka menganggap keduanya memang harus dipisahkan. Induksi (istiqra’)
berada pada posisi prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar,
tajribah) berada pada posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat
perbedaan antara perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan
praktik dalam hal ini merupakan aktivitas rasio.9
Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat
dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-
7 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta:Erlangga, 2007), 67.8 Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013), 47-48.9 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, 55-56.
20
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya
dengan objek-objek fisik, bahkan lebih riil dari pada objek-objek indra.7
Selain itu, epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat yang
hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam
mengakui sumber ilmu pengetahuan ada empat; indra, akal, intuisi dan wahyu.
Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar kebenaran yang berbeda
sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara
proporsional. Indra penglihatan misalnya, hanya mampu berfungsi pada panjang
gelombang 400-700 nano meter. Indra pendengaran berfungsi pada frekuensi
20-20.000 kilohertz/detik. Di sinilah diperlukan akal yang juga mempunyai
kemampuan terbatas.8
Akal dalam menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan
wahyu agar apa yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu keislaman atau
konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu manusia
karena akan berdampak pada kerusakan langit dan bumi yang diikuti binasanya
segala yang ada di dalamnya. (QS. Al-Mukminun: 71).
Selain itu, di antara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut
para filosof Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan
eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu karena
mereka menganggap keduanya memang harus dipisahkan. Induksi (istiqra’)
berada pada posisi prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar,
tajribah) berada pada posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat
perbedaan antara perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan
praktik dalam hal ini merupakan aktivitas rasio.9
Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat
dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-
7 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta:Erlangga, 2007), 67.8 Adian Husaini, dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2013), 47-48.9 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islamatas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, 55-56.
21
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih
tajam ke wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme.10
Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empiris)
untuk kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berfikir agar manusia
memanfaatkan potensi yang ada di alam secara bijaksana. Misalnya pada
pergantian siang dan malam, dan pada apa-apa yang diturunkan Allah dari langit
(air) untuk menghidupkan bumi setelah mati, serta pada kisaran angin, yang
semua itu menjadi tanda (bukti) kekuasaan Allah bagi manusia yang mau
berfikir. (QS. Al-Jatsiyah: 5).
3. Sumber Pengetahuan dalam Ilmu Keislaman
Louis Q. Kattsof sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja mengatakan
bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu: pertama
empiris yang melahirkan aliran empirisme, kedua rasio yang melahirkan aliran
rasionalisme, ketiga fenomena yang melahirkan fenomenologi, keempat
intuisi yang melahirkan aliran intuisionalisme, dan kelima pemikiran kritis yang
melahirkan kritisisme, yaitu metode ilmiah yang menggabungkan antara aliran
rasionalisme dan empirisme. Yang disebut terakhir ini telah mewarnai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di hampir seluruh universitas
di dunia .11
Dalam keilmuan Islam sendiri, meskipun dengan kalimat yang sedikit
berbeda antara satu dengan yang lain, namun bisa ditarik benang merahnya,
bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain:
senses/indera, akal, hati (qalb), dan yang utama di atas semua itu adalah
wahyu. Pembahasan tentang sumber-sumber dalam epistemologi, menurut
pandangan kaum muslimin sangat beragam. Dari sekian banyak pandangan para
ilmuan dan filosof muslim, dapat dipahami bahwa sumber-sumber keilmuan
bersumber pasa: indera, akal, dan hati.12
Keseluruhan sumber-sumber pengetahuan ini secara literal menurut
10 Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif,(Yogyakarta: LESFI, 1992), 35.11 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), 17.12 Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), 19.
21
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih
tajam ke wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme.10
Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empiris)
untuk kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berfikir agar manusia
memanfaatkan potensi yang ada di alam secara bijaksana. Misalnya pada
pergantian siang dan malam, dan pada apa-apa yang diturunkan Allah dari langit
(air) untuk menghidupkan bumi setelah mati, serta pada kisaran angin, yang
semua itu menjadi tanda (bukti) kekuasaan Allah bagi manusia yang mau
berfikir. (QS. Al-Jatsiyah: 5).
3. Sumber Pengetahuan dalam Ilmu Keislaman
Louis Q. Kattsof sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja mengatakan
bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu: pertama
empiris yang melahirkan aliran empirisme, kedua rasio yang melahirkan aliran
rasionalisme, ketiga fenomena yang melahirkan fenomenologi, keempat
intuisi yang melahirkan aliran intuisionalisme, dan kelima pemikiran kritis yang
melahirkan kritisisme, yaitu metode ilmiah yang menggabungkan antara aliran
rasionalisme dan empirisme. Yang disebut terakhir ini telah mewarnai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di hampir seluruh universitas
di dunia .11
Dalam keilmuan Islam sendiri, meskipun dengan kalimat yang sedikit
berbeda antara satu dengan yang lain, namun bisa ditarik benang merahnya,
bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain:
senses/indera, akal, hati (qalb), dan yang utama di atas semua itu adalah
wahyu. Pembahasan tentang sumber-sumber dalam epistemologi, menurut
pandangan kaum muslimin sangat beragam. Dari sekian banyak pandangan para
ilmuan dan filosof muslim, dapat dipahami bahwa sumber-sumber keilmuan
bersumber pasa: indera, akal, dan hati.12
Keseluruhan sumber-sumber pengetahuan ini secara literal menurut
10 Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif,(Yogyakarta: LESFI, 1992), 35.11 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), 17.12 Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), 19.
21
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih
tajam ke wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme.10
Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empiris)
untuk kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berfikir agar manusia
memanfaatkan potensi yang ada di alam secara bijaksana. Misalnya pada
pergantian siang dan malam, dan pada apa-apa yang diturunkan Allah dari langit
(air) untuk menghidupkan bumi setelah mati, serta pada kisaran angin, yang
semua itu menjadi tanda (bukti) kekuasaan Allah bagi manusia yang mau
berfikir. (QS. Al-Jatsiyah: 5).
3. Sumber Pengetahuan dalam Ilmu Keislaman
Louis Q. Kattsof sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja mengatakan
bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu: pertama
empiris yang melahirkan aliran empirisme, kedua rasio yang melahirkan aliran
rasionalisme, ketiga fenomena yang melahirkan fenomenologi, keempat
intuisi yang melahirkan aliran intuisionalisme, dan kelima pemikiran kritis yang
melahirkan kritisisme, yaitu metode ilmiah yang menggabungkan antara aliran
rasionalisme dan empirisme. Yang disebut terakhir ini telah mewarnai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di hampir seluruh universitas
di dunia .11
Dalam keilmuan Islam sendiri, meskipun dengan kalimat yang sedikit
berbeda antara satu dengan yang lain, namun bisa ditarik benang merahnya,
bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain:
senses/indera, akal, hati (qalb), dan yang utama di atas semua itu adalah
wahyu. Pembahasan tentang sumber-sumber dalam epistemologi, menurut
pandangan kaum muslimin sangat beragam. Dari sekian banyak pandangan para
ilmuan dan filosof muslim, dapat dipahami bahwa sumber-sumber keilmuan
bersumber pasa: indera, akal, dan hati.12
Keseluruhan sumber-sumber pengetahuan ini secara literal menurut
10 Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif,(Yogyakarta: LESFI, 1992), 35.11 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), 17.12 Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), 19.
22
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Quraish Shihab dapat dijustifikasikan ke dalam ayat al-Qu’an yang
menerangkan bahwa manusia terlarih dari perut ibunya tanpa mengetahui apa-
apa kemudian Allah memberinya pendengaran, penglihatan, akal, dan hati agar
manusia bersyukur dan menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
memperoleh pengetahuan. (QS. an-Nahl: 78).
Kemudian bagaimana indera, akal, hati, dan wahyu, bisa kategorikan
sebagai sumber pengetahuan dalam keilmuan Islam? Sense/indera sebagai salah
satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat) pengetahuan, mempunyai
peranan yang amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran filsafat
empirisme, indera dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera
adalah sumber awal menuju pengenalan manusia terhadap alam sekeliling
semesta.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa),
mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera
dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu
dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar
maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar
(al-sama‟), mencium (al- samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa
dengan sentuhan (al-lams).13
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh Ibnu Sina dikelompokkan
dalam indera batin. Mengetahui dari dalam maksudnya adalah dengan indera
batin. Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin
mausia dalam lima tahap: Indera bersama atau al-his al-musytarak, indera
penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah,indera pereka atau al-
mutakhayyilah, indera penganggap atau al-wahmiah, indera pengingat atau al-
hafizah al-zakirah.14
Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina sebagai daya-daya
dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah. Selain dari indera-indera
itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh- tumbuhan” (al-nafs al-
nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang memiliki daya untuk
13 Ibnu Sina, Ahwal an-Nafs, ditahqiq oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa as-Syirkuh, 1952), 59-60.14 Ibid., 62.
22
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Quraish Shihab dapat dijustifikasikan ke dalam ayat al-Qu’an yang
menerangkan bahwa manusia terlarih dari perut ibunya tanpa mengetahui apa-
apa kemudian Allah memberinya pendengaran, penglihatan, akal, dan hati agar
manusia bersyukur dan menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
memperoleh pengetahuan. (QS. an-Nahl: 78).
Kemudian bagaimana indera, akal, hati, dan wahyu, bisa kategorikan
sebagai sumber pengetahuan dalam keilmuan Islam? Sense/indera sebagai salah
satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat) pengetahuan, mempunyai
peranan yang amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran filsafat
empirisme, indera dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera
adalah sumber awal menuju pengenalan manusia terhadap alam sekeliling
semesta.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa),
mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera
dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu
dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar
maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar
(al-sama‟), mencium (al- samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa
dengan sentuhan (al-lams).13
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh Ibnu Sina dikelompokkan
dalam indera batin. Mengetahui dari dalam maksudnya adalah dengan indera
batin. Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin
mausia dalam lima tahap: Indera bersama atau al-his al-musytarak, indera
penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah,indera pereka atau al-
mutakhayyilah, indera penganggap atau al-wahmiah, indera pengingat atau al-
hafizah al-zakirah.14
Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina sebagai daya-daya
dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah. Selain dari indera-indera
itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh- tumbuhan” (al-nafs al-
nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang memiliki daya untuk
13 Ibnu Sina, Ahwal an-Nafs, ditahqiq oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa as-Syirkuh, 1952), 59-60.14 Ibid., 62.
22
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Quraish Shihab dapat dijustifikasikan ke dalam ayat al-Qu’an yang
menerangkan bahwa manusia terlarih dari perut ibunya tanpa mengetahui apa-
apa kemudian Allah memberinya pendengaran, penglihatan, akal, dan hati agar
manusia bersyukur dan menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
memperoleh pengetahuan. (QS. an-Nahl: 78).
Kemudian bagaimana indera, akal, hati, dan wahyu, bisa kategorikan
sebagai sumber pengetahuan dalam keilmuan Islam? Sense/indera sebagai salah
satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat) pengetahuan, mempunyai
peranan yang amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran filsafat
empirisme, indera dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera
adalah sumber awal menuju pengenalan manusia terhadap alam sekeliling
semesta.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa),
mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera
dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu
dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar
maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar
(al-sama‟), mencium (al- samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa
dengan sentuhan (al-lams).13
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh Ibnu Sina dikelompokkan
dalam indera batin. Mengetahui dari dalam maksudnya adalah dengan indera
batin. Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin
mausia dalam lima tahap: Indera bersama atau al-his al-musytarak, indera
penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah,indera pereka atau al-
mutakhayyilah, indera penganggap atau al-wahmiah, indera pengingat atau al-
hafizah al-zakirah.14
Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina sebagai daya-daya
dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah. Selain dari indera-indera
itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh- tumbuhan” (al-nafs al-
nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang memiliki daya untuk
13 Ibnu Sina, Ahwal an-Nafs, ditahqiq oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa as-Syirkuh, 1952), 59-60.14 Ibid., 62.
23
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
berfikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan akal.15
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis (amilah) dan akal teoritis (alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia,
dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-
arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang
didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh,
malaikat, dan dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
Hati/qalb, sebagian orang menyebutnya intuisi. Kalangan sufi mengklaim
bahwa intuisi lebih unggul dari pada akal. Kadang-kadang hati dapat memahami
pengalaman langsung yang berbeda dengan apa yang dikonsepsikan oleh akal.
Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada sesuatu masalah
tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui
proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba dia sudah sampai di suatu tempat.
Jawaban permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan
kebenaran yang membukakan pintu.
Tentang hubungan antara ilham dan wahyu, Ahmad Zuhri mengutip
pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai sumber yang
sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan wahyu
merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya merupakan
sumber ilmu pengetahuan.16
Islam meyakini bahwa sumber utama ilmu pengetahuan manusia adalah
wahyu Ilahi. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar. Penilaian
terhadap sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu
menekankan pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu
pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran
manusia dalam memeroleh ilmu pengetahuan disebabkan oleh diri manusia
15 Ibid.16 Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Al quran Versi Imam Al-Ghazali (Bandung: CitaPustaka Media, 2007), 30.
23
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
berfikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan akal.15
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis (amilah) dan akal teoritis (alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia,
dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-
arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang
didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh,
malaikat, dan dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
Hati/qalb, sebagian orang menyebutnya intuisi. Kalangan sufi mengklaim
bahwa intuisi lebih unggul dari pada akal. Kadang-kadang hati dapat memahami
pengalaman langsung yang berbeda dengan apa yang dikonsepsikan oleh akal.
Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada sesuatu masalah
tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui
proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba dia sudah sampai di suatu tempat.
Jawaban permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan
kebenaran yang membukakan pintu.
Tentang hubungan antara ilham dan wahyu, Ahmad Zuhri mengutip
pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai sumber yang
sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan wahyu
merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya merupakan
sumber ilmu pengetahuan.16
Islam meyakini bahwa sumber utama ilmu pengetahuan manusia adalah
wahyu Ilahi. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar. Penilaian
terhadap sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu
menekankan pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu
pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran
manusia dalam memeroleh ilmu pengetahuan disebabkan oleh diri manusia
15 Ibid.16 Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Al quran Versi Imam Al-Ghazali (Bandung: CitaPustaka Media, 2007), 30.
23
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
berfikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan akal.15
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis (amilah) dan akal teoritis (alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia,
dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-
arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang
didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh,
malaikat, dan dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.
Hati/qalb, sebagian orang menyebutnya intuisi. Kalangan sufi mengklaim
bahwa intuisi lebih unggul dari pada akal. Kadang-kadang hati dapat memahami
pengalaman langsung yang berbeda dengan apa yang dikonsepsikan oleh akal.
Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada sesuatu masalah
tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui
proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba dia sudah sampai di suatu tempat.
Jawaban permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan
kebenaran yang membukakan pintu.
Tentang hubungan antara ilham dan wahyu, Ahmad Zuhri mengutip
pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai sumber yang
sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan wahyu
merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya merupakan
sumber ilmu pengetahuan.16
Islam meyakini bahwa sumber utama ilmu pengetahuan manusia adalah
wahyu Ilahi. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar. Penilaian
terhadap sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu
menekankan pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu
pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran
manusia dalam memeroleh ilmu pengetahuan disebabkan oleh diri manusia
15 Ibid.16 Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Al quran Versi Imam Al-Ghazali (Bandung: CitaPustaka Media, 2007), 30.
24
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
sendiri, yang lalai dan malas menggunakan segala potensi yang telah
dianugerahkan kepadanya.
Di kalangan kaum muslimin, terdapat dua tipe pemikiran. Pertama, wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan kedua, wahyu sebagai petunjuk.
Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal
dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kelompok pertama. Sedangkan Ibn
Ishak al-Syathibi termasuk kelompok kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada
di antara dua kelompok tersebut. Ia menekankan wakyu sebagai petunjuk bagi
manusia yang mengandung ilmu pengetahuan, dan manusia diperintahkan untuk
senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan
dari alam atas bimbingan wahyu.17
4. Metode Pemikiran Epistemologi Islam
Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni
empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat
Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks
suci, akal dan pengalaman probadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga
beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berfikir dalam Islam, yakni bayani, burhani
dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali
berbeda tentang pengetahuan.
Metode berfikir dalam paradigma ahkami yang terdapat dalam ilmu tafsir,
hadits, fiqh, dan ilmu kalam oleh al-Jabari disebut dalil al-Bayani. Sedangkan
metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafi disebut dengan
istilah dalil al-Burhani. Dan metode berfikir yang membahas paradigma wijdani
dalam ilmu tasawuf disebut dalil al-Irfani. Produk berfikir yang diperoleh
dengan masing-masing metode berfikir juga berbeda. Jika dalil al-bayani
menghasilkan al-‘Ilm al-Tauqifi, maka dalil al-burhani menghasilkan al-‘Ilm al-
Husuli dan dalil irfani menghasilkan al-‘Ilm al-Huduri.18
Metode Berfikir Bayani
Secara bahasa, bayani bermakna penjelasan, pernyataan, ketetapan.
17 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-quran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), 131.18 Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 25.
24
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
sendiri, yang lalai dan malas menggunakan segala potensi yang telah
dianugerahkan kepadanya.
Di kalangan kaum muslimin, terdapat dua tipe pemikiran. Pertama, wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan kedua, wahyu sebagai petunjuk.
Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal
dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kelompok pertama. Sedangkan Ibn
Ishak al-Syathibi termasuk kelompok kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada
di antara dua kelompok tersebut. Ia menekankan wakyu sebagai petunjuk bagi
manusia yang mengandung ilmu pengetahuan, dan manusia diperintahkan untuk
senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan
dari alam atas bimbingan wahyu.17
4. Metode Pemikiran Epistemologi Islam
Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni
empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat
Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks
suci, akal dan pengalaman probadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga
beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berfikir dalam Islam, yakni bayani, burhani
dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali
berbeda tentang pengetahuan.
Metode berfikir dalam paradigma ahkami yang terdapat dalam ilmu tafsir,
hadits, fiqh, dan ilmu kalam oleh al-Jabari disebut dalil al-Bayani. Sedangkan
metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafi disebut dengan
istilah dalil al-Burhani. Dan metode berfikir yang membahas paradigma wijdani
dalam ilmu tasawuf disebut dalil al-Irfani. Produk berfikir yang diperoleh
dengan masing-masing metode berfikir juga berbeda. Jika dalil al-bayani
menghasilkan al-‘Ilm al-Tauqifi, maka dalil al-burhani menghasilkan al-‘Ilm al-
Husuli dan dalil irfani menghasilkan al-‘Ilm al-Huduri.18
Metode Berfikir Bayani
Secara bahasa, bayani bermakna penjelasan, pernyataan, ketetapan.
17 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-quran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), 131.18 Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 25.
24
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
sendiri, yang lalai dan malas menggunakan segala potensi yang telah
dianugerahkan kepadanya.
Di kalangan kaum muslimin, terdapat dua tipe pemikiran. Pertama, wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan kedua, wahyu sebagai petunjuk.
Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal
dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kelompok pertama. Sedangkan Ibn
Ishak al-Syathibi termasuk kelompok kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada
di antara dua kelompok tersebut. Ia menekankan wakyu sebagai petunjuk bagi
manusia yang mengandung ilmu pengetahuan, dan manusia diperintahkan untuk
senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan
dari alam atas bimbingan wahyu.17
4. Metode Pemikiran Epistemologi Islam
Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni
empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat
Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks
suci, akal dan pengalaman probadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga
beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berfikir dalam Islam, yakni bayani, burhani
dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali
berbeda tentang pengetahuan.
Metode berfikir dalam paradigma ahkami yang terdapat dalam ilmu tafsir,
hadits, fiqh, dan ilmu kalam oleh al-Jabari disebut dalil al-Bayani. Sedangkan
metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafi disebut dengan
istilah dalil al-Burhani. Dan metode berfikir yang membahas paradigma wijdani
dalam ilmu tasawuf disebut dalil al-Irfani. Produk berfikir yang diperoleh
dengan masing-masing metode berfikir juga berbeda. Jika dalil al-bayani
menghasilkan al-‘Ilm al-Tauqifi, maka dalil al-burhani menghasilkan al-‘Ilm al-
Husuli dan dalil irfani menghasilkan al-‘Ilm al-Huduri.18
Metode Berfikir Bayani
Secara bahasa, bayani bermakna penjelasan, pernyataan, ketetapan.
17 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-quran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1998), 131.18 Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 25.
25
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada
nash, ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka
pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang
menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Adapun akal
hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas menjelaskan teks yang ada.
Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang
sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu
keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola
berfikir bayani, maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan pola
berfikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya
dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain,
sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu
menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada henti.
Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks.
Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam
dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni: Teks nash berupa al-
Qur’an dan hadits, serta teks non nash berupa karya para ulama. Obyek kajian
yang umum dengan pendekatan bayani adalah: Gramatika dan sastra (nahwu dan
balaghah), hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh), teologi, dan juga dalam
beberapa kasus di bidang ulum al-Qur’an dan ulum al-hadist.19 Corak berfikir
yang diterapkan dalam epistemologi bayani ini cenderung deduktif, yakni
mencari (apa) isi dari teks (analisis content).
Metode Berfikir Burhani
Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti
argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna sama
dengan al-burhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration. Arti dari kata
demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran yang
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif
merupakan pengetahuan yang integratif, dan sistematis. Ciri pengetahuan
demonstratif ada tiga; pertama pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua,
universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis tertentu.
19 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia Tazaffa, 2009), 43.
25
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada
nash, ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka
pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang
menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Adapun akal
hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas menjelaskan teks yang ada.
Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang
sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu
keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola
berfikir bayani, maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan pola
berfikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya
dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain,
sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu
menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada henti.
Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks.
Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam
dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni: Teks nash berupa al-
Qur’an dan hadits, serta teks non nash berupa karya para ulama. Obyek kajian
yang umum dengan pendekatan bayani adalah: Gramatika dan sastra (nahwu dan
balaghah), hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh), teologi, dan juga dalam
beberapa kasus di bidang ulum al-Qur’an dan ulum al-hadist.19 Corak berfikir
yang diterapkan dalam epistemologi bayani ini cenderung deduktif, yakni
mencari (apa) isi dari teks (analisis content).
Metode Berfikir Burhani
Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti
argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna sama
dengan al-burhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration. Arti dari kata
demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran yang
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif
merupakan pengetahuan yang integratif, dan sistematis. Ciri pengetahuan
demonstratif ada tiga; pertama pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua,
universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis tertentu.
19 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia Tazaffa, 2009), 43.
25
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada
nash, ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka
pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang
menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Adapun akal
hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas menjelaskan teks yang ada.
Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang
sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu
keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola
berfikir bayani, maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan pola
berfikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya
dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain,
sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman mampu
menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada henti.
Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks.
Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam
dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni: Teks nash berupa al-
Qur’an dan hadits, serta teks non nash berupa karya para ulama. Obyek kajian
yang umum dengan pendekatan bayani adalah: Gramatika dan sastra (nahwu dan
balaghah), hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh), teologi, dan juga dalam
beberapa kasus di bidang ulum al-Qur’an dan ulum al-hadist.19 Corak berfikir
yang diterapkan dalam epistemologi bayani ini cenderung deduktif, yakni
mencari (apa) isi dari teks (analisis content).
Metode Berfikir Burhani
Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti
argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna sama
dengan al-burhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration. Arti dari kata
demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran yang
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif
merupakan pengetahuan yang integratif, dan sistematis. Ciri pengetahuan
demonstratif ada tiga; pertama pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua,
universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis tertentu.
19 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia Tazaffa, 2009), 43.
26
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau
deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas
intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi.20
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan
akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Ilmu-ilmu yang muncul dari
tradisi burhani disebut al-‘Ilm al- Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun,
dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini
biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif
mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari
premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani menempatkan
akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi bayani setiap proses
pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna, pada epistemologi burhani
justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari kata-kata.21
Motode Berfikir Irfani
Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan
al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata irfani dipergunakan untuk menunjukkan jenis
pengetahuan tertinggi yang di hadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau
ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan.
Contoh konkrit dari pendekatan irfani adalah falsafah isyraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu
secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan
akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyah. Pengalaman batin Rasulullah saw dalam
menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
20 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), 82.21 Ibid., 84-85.
26
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau
deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas
intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi.20
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan
akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Ilmu-ilmu yang muncul dari
tradisi burhani disebut al-‘Ilm al- Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun,
dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini
biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif
mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari
premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani menempatkan
akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi bayani setiap proses
pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna, pada epistemologi burhani
justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari kata-kata.21
Motode Berfikir Irfani
Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan
al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata irfani dipergunakan untuk menunjukkan jenis
pengetahuan tertinggi yang di hadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau
ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan.
Contoh konkrit dari pendekatan irfani adalah falsafah isyraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu
secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan
akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyah. Pengalaman batin Rasulullah saw dalam
menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
20 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), 82.21 Ibid., 84-85.
26
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau
deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas
intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi.20
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran
rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu
pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan
akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Ilmu-ilmu yang muncul dari
tradisi burhani disebut al-‘Ilm al- Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun,
dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini
biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif
mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari
premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani menempatkan
akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi bayani setiap proses
pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna, pada epistemologi burhani
justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari kata-kata.21
Motode Berfikir Irfani
Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan
al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata irfani dipergunakan untuk menunjukkan jenis
pengetahuan tertinggi yang di hadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau
ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan.
Contoh konkrit dari pendekatan irfani adalah falsafah isyraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu
secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan
akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyah. Pengalaman batin Rasulullah saw dalam
menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.
20 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), 82.21 Ibid., 84-85.
27
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun
semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat
melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas
kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Dalam
filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia
memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran
tertentu.22
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw, dijelaskan
bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena"
(tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran
secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunni seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Khidir.
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba kami yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami
dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al Kahfi: 65).
Perbandingan Metode Epistimologi Keislaman
ParameterEpistemologi Ilmu
Keislaman
Bayani Irfani Burhani
Sumber Teks Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi Rasio
Metode Istinbath dan
Istidlal
Kasyf
(experience)
Tahlili (analitik)
dan diskursus
Pendekatan Linguistik/ dilâlat
al-Lughawiyah
Psikho-gnostik Logika
Tema central Ashl - furu`
kata - makna
Zahir - batin
Wilayah - nubuwah
Essensi -
eksistensi
Bahasa - logika
Validitas kebenaran Korespondensi Intersubjektif Koherensi -
Konsistensi
22 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam Cet. I (Bandung:Mizan, 2003), 60-61.
27
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun
semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat
melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas
kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Dalam
filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia
memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran
tertentu.22
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw, dijelaskan
bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena"
(tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran
secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunni seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Khidir.
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba kami yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami
dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al Kahfi: 65).
Perbandingan Metode Epistimologi Keislaman
ParameterEpistemologi Ilmu
Keislaman
Bayani Irfani Burhani
Sumber Teks Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi Rasio
Metode Istinbath dan
Istidlal
Kasyf
(experience)
Tahlili (analitik)
dan diskursus
Pendekatan Linguistik/ dilâlat
al-Lughawiyah
Psikho-gnostik Logika
Tema central Ashl - furu`
kata - makna
Zahir - batin
Wilayah - nubuwah
Essensi -
eksistensi
Bahasa - logika
Validitas kebenaran Korespondensi Intersubjektif Koherensi -
Konsistensi
22 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam Cet. I (Bandung:Mizan, 2003), 60-61.
27
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun
semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat
melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas
kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Dalam
filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia
memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran
tertentu.22
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw, dijelaskan
bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena"
(tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran
secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunni seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Khidir.
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba kami yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami
dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al Kahfi: 65).
Perbandingan Metode Epistimologi Keislaman
ParameterEpistemologi Ilmu
Keislaman
Bayani Irfani Burhani
Sumber Teks Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi Rasio
Metode Istinbath dan
Istidlal
Kasyf
(experience)
Tahlili (analitik)
dan diskursus
Pendekatan Linguistik/ dilâlat
al-Lughawiyah
Psikho-gnostik Logika
Tema central Ashl - furu`
kata - makna
Zahir - batin
Wilayah - nubuwah
Essensi -
eksistensi
Bahasa - logika
Validitas kebenaran Korespondensi Intersubjektif Koherensi -
Konsistensi
22 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam Cet. I (Bandung:Mizan, 2003), 60-61.
28
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Pendukung Para teolog, ahli
fiqh dan ahli bahasa
Kaum sufi Para filosof
C. Penutup
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
Epistemologi Islam dengan epistemologi Barat terletak pada cara mendefinisikan
ilmu dan memandang objek ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Epistemologi
Barat menganggap apa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu yang bisa
diobservasi secara indrawi terutama ilmu fisik atau empiris, sedangkan
epistemologi Islam memandang objek inderawi maupun metafisik dan mengakui
sumber ilmu pengetahuan anatar lain: indera, akal, intuisi dan wahyu. Masing-
masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga tidak
bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional.
Sumber pengetahuan manusia menurut ilmuwan Barat ada lima macam,
yaitu: empiris, rasio, fenomena, intuisi dan pemikiran kritis (perpaduan antara
empiris dan rasio). Sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain;
senses/indera, akal, hati (qalb), ilham dan wahyu. Metode pemikiran epistemologi
Islam ada tiga macam: Bayani (metode berfikir dalam paradigma ahkami yang
terdapat dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam), burhani (metode dalam
filsafat Islam yang membahas paradigma falsafy), Irfani (metode berfikir yang
membahas paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf).
Daftar Pustaka
Husaini, Adian, dkk. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: GemaInsani, 2013.
Zuhri, Ahmad. Risalah Tafsir Berinteraksi dengan al-Quran Versi Imam Al- Ghazali.Bandung: Cita Pustaka Media, 2007.
Susanto, Edi. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Sina, Ibnu. Ahwal an-Nafs. ditahqiq oleh Ahmad Fuad al-Ahwani. Mesir: Isa al-Babial-Halabi wa Syirkuh. 1952.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan Piara. 1997.
28
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Pendukung Para teolog, ahli
fiqh dan ahli bahasa
Kaum sufi Para filosof
C. Penutup
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
Epistemologi Islam dengan epistemologi Barat terletak pada cara mendefinisikan
ilmu dan memandang objek ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Epistemologi
Barat menganggap apa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu yang bisa
diobservasi secara indrawi terutama ilmu fisik atau empiris, sedangkan
epistemologi Islam memandang objek inderawi maupun metafisik dan mengakui
sumber ilmu pengetahuan anatar lain: indera, akal, intuisi dan wahyu. Masing-
masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga tidak
bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional.
Sumber pengetahuan manusia menurut ilmuwan Barat ada lima macam,
yaitu: empiris, rasio, fenomena, intuisi dan pemikiran kritis (perpaduan antara
empiris dan rasio). Sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain;
senses/indera, akal, hati (qalb), ilham dan wahyu. Metode pemikiran epistemologi
Islam ada tiga macam: Bayani (metode berfikir dalam paradigma ahkami yang
terdapat dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam), burhani (metode dalam
filsafat Islam yang membahas paradigma falsafy), Irfani (metode berfikir yang
membahas paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf).
Daftar Pustaka
Husaini, Adian, dkk. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: GemaInsani, 2013.
Zuhri, Ahmad. Risalah Tafsir Berinteraksi dengan al-Quran Versi Imam Al- Ghazali.Bandung: Cita Pustaka Media, 2007.
Susanto, Edi. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Sina, Ibnu. Ahwal an-Nafs. ditahqiq oleh Ahmad Fuad al-Ahwani. Mesir: Isa al-Babial-Halabi wa Syirkuh. 1952.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan Piara. 1997.
28
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Pendukung Para teolog, ahli
fiqh dan ahli bahasa
Kaum sufi Para filosof
C. Penutup
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
Epistemologi Islam dengan epistemologi Barat terletak pada cara mendefinisikan
ilmu dan memandang objek ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Epistemologi
Barat menganggap apa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu yang bisa
diobservasi secara indrawi terutama ilmu fisik atau empiris, sedangkan
epistemologi Islam memandang objek inderawi maupun metafisik dan mengakui
sumber ilmu pengetahuan anatar lain: indera, akal, intuisi dan wahyu. Masing-
masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga tidak
bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional.
Sumber pengetahuan manusia menurut ilmuwan Barat ada lima macam,
yaitu: empiris, rasio, fenomena, intuisi dan pemikiran kritis (perpaduan antara
empiris dan rasio). Sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain;
senses/indera, akal, hati (qalb), ilham dan wahyu. Metode pemikiran epistemologi
Islam ada tiga macam: Bayani (metode berfikir dalam paradigma ahkami yang
terdapat dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam), burhani (metode dalam
filsafat Islam yang membahas paradigma falsafy), Irfani (metode berfikir yang
membahas paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf).
Daftar Pustaka
Husaini, Adian, dkk. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: GemaInsani, 2013.
Zuhri, Ahmad. Risalah Tafsir Berinteraksi dengan al-Quran Versi Imam Al- Ghazali.Bandung: Cita Pustaka Media, 2007.
Susanto, Edi. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Sina, Ibnu. Ahwal an-Nafs. ditahqiq oleh Ahmad Fuad al-Ahwani. Mesir: Isa al-Babial-Halabi wa Syirkuh. 1952.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan Piara. 1997.
29
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia PustakaUtama. 2001.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia Tazafa,2009.
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains Menurut Alquran. terj. Agus Efendi. Bandung:Mizan. 1998.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan. Kartanegara, 1996.
Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: MizanPustaka, 2002.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam.Bandung: Mizan, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, danManusia. Jakarta: Erlangga, 2007.
Kartanegara, Mulyadi. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Muthahari, Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan KritikEpistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan RelefansiPandangan Dunia. terj. Muhammad Jawad Bafaqih. Jakarta: Shadra Press, 2010.
Asy’ari, Musa, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Kadir, Muslim A. Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
29
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia PustakaUtama. 2001.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia Tazafa,2009.
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains Menurut Alquran. terj. Agus Efendi. Bandung:Mizan. 1998.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan. Kartanegara, 1996.
Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: MizanPustaka, 2002.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam.Bandung: Mizan, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, danManusia. Jakarta: Erlangga, 2007.
Kartanegara, Mulyadi. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Muthahari, Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan KritikEpistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan RelefansiPandangan Dunia. terj. Muhammad Jawad Bafaqih. Jakarta: Shadra Press, 2010.
Asy’ari, Musa, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Kadir, Muslim A. Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
29
: Jurnal Studi Islam dan Sosial Volume 11. No. 2 (2018)
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia PustakaUtama. 2001.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia Tazafa,2009.
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains Menurut Alquran. terj. Agus Efendi. Bandung:Mizan. 1998.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan. Kartanegara, 1996.
Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung: MizanPustaka, 2002.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam.Bandung: Mizan, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, danManusia. Jakarta: Erlangga, 2007.
Kartanegara, Mulyadi. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Muthahari, Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan KritikEpistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan RelefansiPandangan Dunia. terj. Muhammad Jawad Bafaqih. Jakarta: Shadra Press, 2010.
Asy’ari, Musa, dkk. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Kadir, Muslim A. Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.