15 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94
I
dapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang
berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung,
terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka
menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat
beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di hadapannya
itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan atas masa silam.
Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari seorang yang
menamakan dirinya Pasingsingan. Ya, pada saat Radite berhak
mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak
mengenakan topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari
padanya terpancar suatu harapan bagi setiap orang yang
menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang kasar dan jelek itu
tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih. Tetapi
keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi
lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama
Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur,
karena pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama
Umbaran. Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu
anggapan, bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda
yang kemudian melekat dan mengotori jubah abu-abu, topeng
yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai serta
nama yang menggetarkan, “Pasingsingan.”
Dan sekarang di hadapannya berdiri seseorang yang
mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam.
Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah
Umbaran. Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang
berasal dari orang yang bernama Umbaran itu, namun tidaklah
mungkin ia mampu menciptakan suasana sedemikian seramnya.
Dalam pada itu, tiba-Tiba Radite teringat akan sumber dari
nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian
menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia
menerima warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya
A
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94
yang demikian saja berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia
ketika orang yang mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap
tak berbekas. Yang kemudian datang kembali ketika nama
Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata kepadanya “Bahwa tak
ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah
terbenam di dalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.”
Radite adalah seorang tua yang mempunyai mata hati yang
tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu tiba-tiba
tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui dari
mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan
satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya
Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan
Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkuk-
kan kepala mereka dengan takzimnya.
Orang yang berjubah abu-abu itu mundur beberapa langkah
ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, samasekali tak
menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam,
wajah itu seolah-olah samasekali tidak bergerak.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak,
“Guru… ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami.
Sebab kami samasekali tidak menduga bahwa kami masih berhak
untuk memandang wajah guru karena dosa-dosa kami.”
Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Lalu
terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di dalam
perutnya, “Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau
kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak
menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang wajahmu,
tergoreslah kembali luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha
untuk bersikap sebagai seorang yang berjiwa besar, namun
ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian. Meskipun aku
tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan
menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan
segala-galanya yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94
yang sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan
disiangi, untuk kemudian dapat berkembang dengan harumnya.
Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang sebenarnya alami dari
setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur. Sifat-sifat
alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka
kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-
mahluk lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu
sebagai naluri.”
Radite dan Anggara menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Mereka samasekali tidak berani menatap wajah orang yang berdiri
di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata
orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-
kata itu pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-
yakinnya bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat,
bersikap dan berkata kepadanya sedemikian itu selain
Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka sekali lagi Radite
menundukkan kepalanya sambil berkata parau, “Guru, telah
sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat
membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang
dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat
kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku mohon, guru sudi
berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu pernyataan
penyesalanku yang tiada terhingga.”
“Radite….” jawab orang yang berjubah itu, “Pengakuan atas
kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur
dan ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab,
hukuman bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau
penderitaan-penderitaan lain. Tetapi tujuan dari pada hukuman
yang sebenarnya adalah mencegah terulangnya kesalahan itu.
Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur telah mengakui
kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak
berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku
tidak adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94
Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu meresap ke dalam
setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti meresapnya
rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu sewindu. Meskipun
demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat
menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak, “Guru,
bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi
suri tauladan, bahwa Radite mengalami hukuman atas
kesalahannya? Sebab apabila ada kesalahan yang lepas dari
hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal
yang sama dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari
setiap hukuman.”
Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya,
“Radite, aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan
perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta
keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu adalah hukuman yang
sudah cukup berat. Sedang apabila ada orang lain yang dengan
sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah hukuman harus
dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”
Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali
dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul pulalah berbagai
pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau gurunya
pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di
hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman
kepadanya, sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak
menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru
kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya ada orang
lain dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan orang yang
menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Apakah kedatangan
gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?.
Karena itu kemudian bertanyalah ia, “Guru, kalau demikian
apakah aku berhak mempersilakan guru untuk singgah ke dalam
pondokku?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94
Terdengar orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya,
“Radite, kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri.
Bagiku, dosamu tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku
katakan bahwa kalau aku tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena
kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa orang tua yang merindukan masa
lampau itu tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin,
menjadi kebanggaan setiap orang”
Tetapi, Radite dan Anggara. Ternyata apa yang cemerlang di
masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa sekarang dan
masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini
meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus
dilupakan dan disisihkan. Namun satu hal yang bagiku tetap harus
tak berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan
masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya
kita abdikan dengan penuh kasih dan cinta kepada manusia dan
kemanusiaan. Bukan sebaliknya manusia dan kemanusiaan kita
abdikan pada diri kita, pada kepentingan kita pribadi. Demikianlah
manusia akan mencerminkan kasih dan cinta Tuhan.”
Tidak hanya Radite dan Anggara yang meresapi kata-kata
orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk
sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri.
Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan, “Dan
karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat
lampau tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang
tua ke dalam satu persoalan, namun sekarang ternyata aku
terseret kemari karena pokal anak-anak muda.”
Radite dan Anggara terkejut mendengar kata-kata itu. tanpa
disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika
didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun
mengangkat wajah mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94
Dan orang berjubah itu pun meneruskan, “Aku terpaksa
datang kemari karena aku tidak mau
Radite dan Anggara menjadi semakin tercengang. Sedangkan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menundukkan wajah.
Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang berjubah itu,
“Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau
menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”
Bukan main terkejutnya. Tidak hanya Radite dan Anggara.
Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan tergagap
terdengar Radite menjawab, “Guru, aku samasekali tidak
menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah
kiranya kedua pusaka itu bagiku?”
Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan
bertanya kepadanya, “Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa
kedua pusaka itu berada di tempat ini.”
Mahesa Jenar samasekali tidak menduga bahwa ia akan
mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia
menjawab, “Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua
keris itu berada di sini.”
“Nah….” jawab orang berjubah itu, “Radite dan Anggara telah
menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di tempat ini. Kau
harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara tidak
pernah berbohong.”
Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh
kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya sedang
berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab,
“Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu
di sini.”
“Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah
itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94
Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan Anggara
pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban Mahesa
Jenar. Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan
segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang
berjubah abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali.
Seolah-olah ia kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah
disusunnya bersama Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal
yang dapat dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini
sudah datang.
Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia
melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa
Jenar, “Tuan yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan
memaksakan suatu perselisihan kepada Paman Radite dan Paman
Anggara, sebenarnya adalah karena Tuan. Sebab sejak semula aku
pun sudah percaya bahwa kedua keris itu samasekali tidak berada
di tempat ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang
mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang pernah dan
selalu dipakai oleh Pasingsingan.”
Radite dan Anggara tersentak bersama-sama mendengar kata-
kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi kemudian
jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja. Keringat dingin
mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka
menyadari bahwa sementara ini mereka telah dipergunakan oleh
Mahesa Jenar untuk memancing kehadiran gurunya. Tetapi
sebelum ia sempat berkata sesuatu, terdengarlah Mahesa Jenar
berkata kepada mereka, “Paman berdua… ampunkan kami. Kami
samasekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman berdua. Apalagi
sampai ada pertempuran yang sebenarnya antara hidup dan mati.
Apa yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang
berbahaya. Namun penuh dengan tanggungjawab atas kedua
pusaka yang hilang itu.”
Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite dan Anggara.
Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya
mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang demikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94
terdengarlah orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya, “Aku
kagum pada kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah
mendengar bahwa Radite dan Anggara adalah murid Pasingsingan.
Kau pernah melihat bahwa orang yang membawa kedua keris itu
pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah, kau yakin bahwa
apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara, pastilah
orang berjubah abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana
kalau aku berpendirian, biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite
dan Anggara?”
Hampir saja Mahesa Jenar menjawab bahwa ia berusaha untuk
tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah dicapainya
setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara adalah seorang yang
cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan,
karena dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa,
agaknya akan nampak bahwa ia menyombongkan dirinya.
Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab,
orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah mengerti
perasaan Mahesa Jenar. “Atau kalau kalian merasa bahwa
kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya aku
tidak mengetahui apa yang terjadi di sini?”
Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat
tuntunan untuk menjawabnya, “Tuan… aku yakin bahwa Tuan akan
mengetahui apa yang akan terjadi di sini. Sebab kehadiran Tuan
pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan untuk
menyempurnakan tata nadi Arya Salaka menunjukkkan kepadaku
bahwa Tuan selalu hadir di dalam saat-saat yang gawat.
Sedangkan aku yakin pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan
salah satu pihak dari kita yang sedang bertempur menjadi binasa.
Sebab Paman Radite dan Paman Anggara adalah murid-murid Tuan
yang terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa perlu untuk
menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai sejauh-
jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan
Kakang Kebo Kanigara, binasa…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94
“Kenapa tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.
“Kalau demikian….” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Tuan
pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus.
Dan apabila kami binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau
kami menguasai keadaan, Tuan akan datang membantu Paman
Radite dan Paman Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah
demikian.”
“Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab
orang berjubah abu-abu itu.
“Bukankah kau masih berada di tempat ini, dan aku masih
belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya kau telah mempercepat
tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa kau
benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara
membinasakan kalian berdua.”
Radite dan Anggara menjadi semakin bingung. Persoalan yang
agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia menjadi bertambah
terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara tertawa. Tiba-tiba saja
ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat dikenalnya pada
orang berjubah abu-abu itu. Karena itu tiba-tiba pula ia berkata
hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah
apa yang Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan
buat anakku Arya Salaka di Padepokan Karang Tumaritis.”
Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal
ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak kenal
Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud itu
adalah anak yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya,
maka aku tidak ada hubungan samasekali dengan anak itu.”
Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya
lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak, “Nah, Tuan… aku yakin
bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di belakang
kami berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang
bermukim di gunung Karang Tumaritis, bernama Panembahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94
Ismaya. Seorang Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan
dan menyimpan hampir segala jenis topeng-topeng serta pahatan
kayu.”
Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut. Bahkan darahnya
seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar Mahesa
Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang gurunya. Di samping
itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut maha
sakti, apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang
itu. Dan sSetelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk
kesekian kalinya, kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang
ketika tiba-tiba gurunya tertawa. Tertawa hampir terkekeh-kekeh.
Dalam keadaan yang demikian semakin jelaslah, betapa tua usia
orang yang berjubah abu-abu itu.
Katanya kemudian, “Mahesa Jenar, adakah orang yang kau
sebutkan maha sakti itu gurumu?”
“Bukan,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi Panembahan Ismaya
adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di kolong langit
ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang beraneka
ragam. Ada yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak
yang sejuk damai. Tetapi ada pula yang tampak cerdik, namun
jauh dari sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu yang sangat
menarik bagiku adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”
Orang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Namun
samasekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian katanya kepada
Radite dan Anggara, “Anak-anakku, agaknya kalian menjadi
pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Tetapi biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”
Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu tiba-
tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-sebut. Baik
oleh Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu terdengarlah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94
Radite berkata, “Benar Bapa, aku benar-benar menjadi pening.
Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”
Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya, “Radite,
sebaiknya aku kau persilakan masuk ke dalam pondokmu dahulu
bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini.”
Radite kemudian merasa diingatkan atas kewajibannya
sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilakannya gurunya beserta
kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke dalam rumahnya.
Setelah mereka duduk melingkari lampu minyak jarak, diatas
sebuah bale-bale yang besar, mulailah orang berjubah itu berkata,
“Radite dan Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-
muridku yang seolah-olah telah merupakan bagian dari hidupnya
sendiri. Tetapi kau melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah
topeng yang kasar dan jelek, yang kemudian dipakai oleh
Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum pernah melihat
wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah
yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula. Demikian pula
agaknya Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan pakaian
yang belum pernah dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang
sudah lama, maka iapun segera dapat mengenal aku pula.
Sedangkan Mahesa Jenar, akan segera mengenal aku karena
perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang. Sehingga
karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan
kalian adalah umpan-umpannya.”
Radite dan Anggara memang sudah merasakan hal itu. Namun
peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya. Apalagi orang
yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula menamakan dirinya
Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan
gurunya. Apakah ia pun berguru pada orang yang dahulu bernama
Pasingsingan itu? Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok
ilmu mereka pasti bersamaan. Sedangkan orang itu justru
bersumber pada cabang perguruan Pengging.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94
Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya
mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena itu ia
meneruskan, “Satu-satunya cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat
bercakap-cakap dengan orang yang berjubah abu-abu ini, yang
dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah mengambil Nagasasra
dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara ini.
Bertempur dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang
berjubah abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan
diri untuk melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-
lawannya adalah murid orang berjubah abu-abu itu sendiri.”
Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar
dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata, “O, ngger,
ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir
saja aku kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang
Angger berdua paksakan kepada kami adalah langsung
menyinggung luka hati yang paling parah. Itulah sebabnya aku tak
dapat menahan diri lagi.”
“Maafkan kami Paman,” sela Kebo Kanigara, “Sebab kami tahu
betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula
kami menemui kesulitan untuk membuat paman berdua marah.
Maka terpaksalah kami agak melampaui batas-batas kesopanan.
Tetapi kami harap Paman percaya, bahwa bukanlah demikian
maksud kami yang sebenarnya.”
Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
bertanyalah ia, “Tetapi kenapa Angger menyinggung-nyinggung
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
“Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,” jawab
Kebo Kanigara. “Dan terhadap orang yang kami harapkan hadir
kemudian, kami menaruhkan harapan sepenuhnya atas kedua
pusaka itu. Karena orang yang berjubah abu-abu itupun tahu pasti
bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94
Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun
kemudian tertawa lirih, katanya, “Alangkah bingungnya aku
kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah bodohnya
orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu
burung di sawah-sawah.”
“Tetapi….” tiba-tiba Radite menyela, “Siapakah sebenarnya
Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya,
namun yang kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo
Kanigara…?”
Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya, “Itulah
kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama
yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu
ia menemui Pandan Alas.”
“Pandan Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng.
“Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak…?”
“Ya,” jawab orang yang berjubah abu-abu itu. “Dan sekarang
ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang
suka berganti nama itu tidak lain adalah seorang yang menganut
ilmu perguruan Pengging. Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar
pun memiliki nama yang aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia
dikenal bernama Manahan. Barangkali memang demikianlah
kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh.”
“Aku sudah menduga,” sela Radite, “Bahwa Angger ini pasti
seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”
“Tidak saja murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, “Tetapi
ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik
seperguruannya.”
Radite dan Anggara bersama-sama mengerutkan keningnya.
Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki kesaktian yang
mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh
Radite sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94
Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Tuan benar. Memang anak-anak perguruan Pengging suka
berganti nama. Tetapi agaknya Tuan lupa bahwa seorang yang
bernama Radite pernah bernama Pasingsingan dan pernah
bernama Paniling. Seorang yang bernama Anggara pun memiliki
nama lain, yaitu Darba. Tetapi lebih daripada itu, seorang lain yang
pernah bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki nama yang
lain, Panembahan Ismaya.”
Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu itu tergeser
beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat samasekali tidak
menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang menggapai-
gapai dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang
bergerak-gerak di dinding.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan Darba
masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara Pasingsingan
dengan Panembahan Ismaya…?
Tiba-Tiba tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas ikat
kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah rambutnya yang
telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit
kepalanya dengan kulit wajahnya.
“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,”
bisiknya. “Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku, sekarang sudah
tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam nama dan
kedudukan.”
Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari
wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang dipahatnya
halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng
itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh
sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu
tidak memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94
Dan topeng itu jauh berbeda dengan topeng yang pernah
dipakainya pada saat ia bernama Pasingsingan.
Dari balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah abu-abu
itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun berkerut-kerut
namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah yang
sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang itulah Panembahan Ismaya.
Radite dan Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu karena
mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya. Wajah yang
selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa
seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu.
Namun suatu hal yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang
berjubah abu-abu itu tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya
tidak banyak terpaut banyak dengan umur mereka sendiri.
Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan
kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, “Bapa Guru… aku
merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa Bapa
Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk
lebih mengenal Bapa.”
Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah bernama
Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia
ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya
itu tersenyum. “Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang
tidak bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Di hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah
aku telah mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku
menamakan diriku Pasingsingan.”
Ketika orang yang berjubah abu-abu dan menamakan dirinya
Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu berhenti
sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang berkata-
kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-
masing. Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94
pernah terjadi atas orang berjubah abu-abu itu sehingga ia
terpaksa mempergunakan topeng hampir seumur hidupnya.
Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di sebuah
bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.
Tetapi tak seorangpun yang berani bertanya. Mereka takut
kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung perasaannya. Namun
tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan sendirinya,
“Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan.
Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”
Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan
juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan
percakapan kepada Mahesa Jenar. Katanya, “Mahesa Jenar…
sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-
abu, yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten dari Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo
Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian
alami, akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang
berjubah abu-abu itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah
keperluanmu dengan aku?”
Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa kali. Mula-mula ia
agak bimbang untuk langsung menyampaikan keperluannya.
Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah
mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak, “Tuan… apakah
aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah
mengetahui selengkapnya.”
“Mahesa Jenar….” jawab orang berjubah itu, “Lebih baik kau
tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa
kira-kira lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara
yang parau ia menjawab, “Tuan… sebenarnya aku hanya ingin
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94
mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten itu berada.”
“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.
“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua
pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah
antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan
Pemerintahan demak di lain pihak.
“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan
Gajah Sora dapat dibebaskan?”
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. “Bukan hanya itu.
Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku
tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya
mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu
demi kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyi-
kan beberapa bagian darinya, yaitu pamrih pribadi.”
Orang berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu jawabnya, “Kau memang jujur dan berterus
terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa kali aku
isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang ada
pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan
Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau
masih harus menilai siapakah diantara mereka yang patut
mendapat sipat kandel itu. Kalau kau muncul sekarang dengan
pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi.
Mereka menjadi semakin bernafsu dalam pertentangan-
pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan merupakan
penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya.
Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-
persoalan baru yang akan menambah ketegangan. Bahkan akan
dapat menimbulkan pertumpahan darah diantara para perwira,
bintara dan tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal
menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa. Sebab yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94
akan berhadapan sebagai lawan dalam pertentangan itu adalah
kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang berpihak kepada
keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada
Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah
kerugian yang harus ditanggung oleh Demak sendiri.
Karena itu janganlah suasana menjadi bertambah tegang.
Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan
baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru
Demak sendiri.”
Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan
kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan
Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dengan demikian….” orang berjubah abu-abu itu
meneruskan, “Setiap orang Demak akan dapat mencurahkan
tenaganya untuk kesejahteraan negeri. Membangun tempat-
tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan langgar.
Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk
menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat
Demak menjadi bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan
hati rakyat. Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan
Yang Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan tanah
tumpah darah yang gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem
kertaraharja, tanpa bibit-bibit pertentangan yang ditaburkan di
hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat di hari kemudian.”
Ketika orang berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah
kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar. Fajar yang
tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang apabila
saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah
kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada.
Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya. Ia agaknya kurang
dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan, baik oleh
seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94
jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh
orang itu juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan.
Namun demikian masih saja ada beberapa hal yang belum
dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu justru
tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan
besar itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan
lebih lanjut di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan
kedua murid Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang
berjubah abu-abu itu terhadap persatuan dan kesatuan Demak,
sehingga mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang
sangat rapat dengan kedua golongan itu.
Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan bergelut di
dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran kecil itu,
namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya orang
berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan
dirinya tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat orang tua berjubah itu berdiam diri,
memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan penuh
minat mendengarkan ceritanya. Dan ketika sambaran matanya
hinggap pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali
persoalan yang ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun
yang terloncat dari mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu
itu agaknya dapat merasakan persoalan-persoalan itu. Karena itu
ia meneruskan, “Mahesa Jenar… seandainya salah seorang dari
mereka memiliki kedua keris itu sekalipun, tidaklah dapat
dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka
akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah
berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak,
selama jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa
kedua keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat
menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya, barulah
ia mendapat sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih ada
jarak antara seseorang dengan keris itu, maka selama itu keris-
keris yang keramat itu samasekali tak akan berguna. Karena itulah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94
maka meskipun orang yang berjubah abu-abu sebagaimana kau
lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin
memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat
dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya.
Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak
mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka
Demak itu.” Kembali orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya
matahari pagi telah memercik hinggap di dedaunan. Burung-
burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Demikianlah
Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya.
Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih
tampak sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang
pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain
dengan sibuknya menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini
terdengar jeritan anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika
mereka terbangun dari tidurnya yang nyenyak, seolah-olah
mereka kecewa kehilangan mimpi yang segar.
Dalam kecerahan pagi itu tampaklah orang-orang yang duduk
di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling masih belum
berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya
mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu.
Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu
berkata. “Radite, biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku,
supaya orang-orang yang lewat di muka rumahmu ini tidak
menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak biasa di
pedukuhanmu ini.”
Dengan tergoboh-gopoh Radite mempersilakan orang tua itu
masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti pakaian.
Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika matahari
telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan,
tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang
telah mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan
mereka, menjelang saat tanam padi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94
Demikianlah, ketika beberapa orang lewat di muka pondok di
ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor kuda tertambat di
halaman. Karena itu teringatlah mereka, bahwa kemarin mereka
melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda lewat di
jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak
mereka yang sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka
pun merasa berkepentingan pula dengan penunggang-
penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka terheran-heran
pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang terinjak-
injak di halaman.
Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam rumah itu,
dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale besar
bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba. Karena itu dengan
ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan
tergopoh-gopoh pula Paniling dan Darba mempersilakan mereka
masuk dan memperkenalkan mereka yang masih dapat mengenal
Mahesa Jenar. Karena itu terdengar suara orang itu. “He, kakang
Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang
lalu pernah datang kemari?”
Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, “Otakmu agaknya baik
sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah
datang kemari.”
Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu,
orang itu bertanya seterusnya, “Dan siapakah yang dua lagi?”
“Ia juga kemanakanku,” sahut Paniling, “Dan yang satu lagi….”
Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut
gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera menyahut, “Aku adalah
kakaknya. Ayah anak-anak ini.”
“O….” terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata
salah seorang diantaranya, “Selamatlah Kakang berkunjung ke
pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula, dan sudi
singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94
“Pasti, pasti,” jawab guru Radite itu. “Aku akan tinggal
beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila
waktuku memungkinkan.”
Demikianlah terjadi percakapan yang akrab dan semanak di
antara mereka. percakapan yang samasekali tidak dibumbui oleh
maksud-maksud lain daripada apa yang mereka percakapkan.
Penduduk pedukuhan itu samasekali tidak mengenal cara-cara
yang dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya
seperti sebuah kitab lontar yang terbuka. Setiap orang yang
berkepentingan akan langsung dapat membacanya kata demi kata.
Demikianlah huruf itu membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat.
Demikianlah maksud serta isi dari kitab itu sebenarnya.
Tetapi mereka tidak lama berada di tempat itu. Karena sawah
serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu uluran tangan
para petani yang dengan setia dan tekun menggarapnya. Tanpa
banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya.
Karena itu mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja,
maka mereka pun akan kelaparan. Dengan demikian mereka tidak
pernah berpikir lain daripada kesejahteraan pedukuhan mereka,
tergantung atas kesanggupan serta kemauan mereka bekerja.
Dan seandainya ada orang lain, yang berbelas kasihan
memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang melimpang-
limpah, maka pastilah itu bukan hal yang sewajarnya. Pastilah
dengan demikian mereka mempunyai pamrih. Setidak-tidaknya
orang-orang dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu perasaan
berhutang budi. Dan dengan demikian hilanglah sebagian,
meskipun hanya sebagian kecil, kemerdekaan serta kedaulatan
mereka atas diri sendiri.
Karena itulah maka mereka bekerja keras dengan penuh
kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan yang
telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94
Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada
juga yang sempat bertanya, “Bapak Paniling, kenapakah tanaman-
tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”
Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi
akhirnya diketemukan juga jawabnya. “Akh, semalam kuda tamu-
tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai
menangkapnya.”
Mereka percaya saja pada keterangan itu. Bahkan beberapa
orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila mereka tahu apa
yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai tanggapan
yang akan sangat jauh berbeda.
Demikianlah ketika para petani meninggalkan rumah Ki
Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada orang tua yang
sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu. Tetapi
orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat
kepala yang kehijau-hijauan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah orang
itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan. Tetapi kali ini,
dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa dipakainya, yaitu
jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin segar.
Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti
biasa, yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat
mata. Tetapi mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot
ke depan, ke masa yang akan datang. Ke masa yang tidak terlalu
jauh. Maka seolah-olah terjadilah suatu paduan antara masa depan
yang dekat dengan masa yang tak teraba oleh pancaindera.
Ketika suara sendau dan tawa para petani sudah hilang di
kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk melanjutkan
keterangannya. Karena itu ia mulai berkata, “Anak-anakku
sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari
itu. Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah
luluh dalam dirinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94
Pertandanya bahwa keris itu sudah luluh ke dalam diri
pemiliknya, adalah bahwa keris itu kehilangan kecemerlangannya.
Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak ubahnya seperti
besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur saja.
Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang,
maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke
dalam dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh
kawula. Dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia
akania akan memiliki unsur sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat
yang demikian memang seharusnya dimiliki oleh seorang
pemimpin. Pancaran dari cinta kasih Tuhan, perikemanusiaan,
memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan
kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan,
memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan
bagi yang kehilangan jalan.
Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti watak
lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus sungai dari
manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang
bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat
menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak dan bahkan
selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan
seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan.
Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin.
Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada
mereka untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak
dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan
dahsyatnya, seolah-olah lautan itu sedang mendidih.”
Orang tua itu berhenti sejenak. Ia memandang berkeliling lalu
melemparkan sorot matanya yang damai itu lewat lubang pintu
dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman. Sekali-kali ia menarik
nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang kurang
pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, “Sayang,
bahwa kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94
lagi. Kyai Sengkelat. Keris itu pun sekarang sudah lenyap dari
perbendaharaan istana.”
“Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.
Orang tua itu mengangguk, jawabnya, “Ya, Kyai Sengkelat.
Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri seseorang,
tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat penyimpanannya.
Padahal Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia memiliki watak
yang lengkap dari watak seorang prajurit. Prajurit yang setia dan
patuh akan kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk
kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan berjuang untuk
tanah tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan
tanpa pamrih, dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang
Maha Agung.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi. Masing-masing
tenggelam dalam angan-angan sendiri. Mahesa Jenar yang dengan
bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk menemukan Kyai
Sabuk Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya, tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun
sedang lolos dari simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai
seorang keturunan Brawijaya, menjadi sedih pula. Bagaimanapun
juga, ia masih selalu merindukan kebesaran yang pernah dicapai
oleh Majapahit dahulu.
Tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara bertanya, “Tuan, tidak
adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk menemukan
keris-keris itu?”
Orang tua itu kemundian tersenyum. Jawabnya, “Tidak kurang
banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke segenap penjuru.
Bukankah Mahesa Jenar pernah juga bertemu dengan Gajah Alit
dan Panigron? Juga bukankah Arya Palindih pernah diutus ke
Banyubiru untuk menemukan keris-keris itu? Bahkan sampai
sekarangpun masih banyak dari para perwira Demak yang
berkeliaran mencari pusaka-pusaka itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa para prajurit Demak
itu akan menjadi selalu kecewa, karena mereka tidak akan dapat
menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai
Sengkelat pun masih terlalu sulit untuk diketahui tempatnya.
Sebenarnya tidaklah terlalu banyak orang yang mengetahui
hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang hal itu dirahasiakan.
Yang boleh mengetahui hanyalah orang-orang terbatas saja.
Tetapi ada di antara mereka yang bertugas, terutama dari pejabat-
pejabat rahasia Demak sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-
pusaka itu. Sebab mereka mempunyai pengertian yang salah,
seolah-olah siapa saja yang memiliki pusaka itu, dengan sendirinya
akan dapat menduduki tahta. Orang tua itu kembali membetulkan
letak duduknya. Dan sekali-kali menarik napas dalam-dalam.
Kemudian ia meneruskan, “Padahal, segala sesuatu sangat
tergantung kepada orang itu sendiri. Dan tergantung padanya
pulalah pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau tidak ke dalam
dirinya. Itulah yang biasa disebut orang -wahyu-. Dan wahyu itu
bukanlah semacam permainan dadu dengan mempertaruhkan
keberuntungan, tetapi untuk dapat menerima wahyu maka
seseorang harus mempersiapkan dirinya sebagai wadah dari watak
dan sifat-sifat wahyu itu. Karena itulah maka untuk menerima
wahyu seseorang harus bekerja keras, mesu raga dengan penuh
keprihatinan.”
Segala sesuatunya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Tetapi justru karena
itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi gelisah atas pusaka-pusaka
keraton yang hilang itu. Sebab meskipun ia berada di tangan
seseorang, seseorang yang mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah
ia akan selalu berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.
Meskipun demikian untuk meyakinkan diri sendiri, bertanyalah
Mahesa Jenar, “Tuan, aku sudah dapat memahami semua
keterangan itu. Namun meskipun demikian, untuk menente-
ramkan perasaanku sendiri, aku ingin mendapat penjelasan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94
pasti, apakah kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
ada pada Tuan.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia
menjawab, “Benar… Mahesa Jenar. Kedua keris itu ada padaku.
Jangan takut. Bagiku kau adalah lantaran yang sebaik-baiknya
untuk menyerahkan kembali kedua pusaka itu ke Demak kelak
apabila kita sudah mendapat gambaran, siapakah yang paling
sesuai untuk menjadi wadah dari wahyu itu. Meskipun demikian
segala sesuatu masih tergantung atas kebenaran yang tertinggi.
Adakah Tuhan memperkenankan atau tidak. Sebab Tuhan-lah
Maha Penentu dari segala kejadian.”
Yang tiba-tiba menjadi persoalan di dalam otak Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara kemudian adalah Ki Ageng Gajah Sora. Ia akan
dapat dibebaskan apabila kedua keris itu sudah dapat
diketemukan. Sebab dengan demikian akan dapat dibuktikan
apakah ia bersalah atau tidak. Sedang menurut orang tua itu,
penyerahan kembai keris-keris itu masih memerlukan waktu. Lalu
bagaimanakah yang akan terjadi dengan Gajah Sora itu…? Karena
persoalan itu bertubi-tubi menghantam dinding kepalanya,
akhirnya Mahesa Jenar memberanikan diri bertanya, “Tuan… Masih
ada sesuatu yang sangat mengganggu perasaanku, yaitu masalah
Kakang Gajah Sora. Dengan demikian maka ia tidak akan segera
mendapatkan penyelesaian.”
Orang tua itu, yang pernah mengenakan gelar Pasingsingan
itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu bagi Banyubiru bukan
persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi Banyubiru akan
menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak
seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak
laki-laki yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia
berkata, “Mahesa Jenar… sebaiknya kalian tidak usah menunggu
Gajah Sora. Bawalah Arya Salaka ke dalam tugas sucinya. Aku kira
ia cukup mampu untuk melakukan, meskipun kau harus selalu
berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah Sora… serahkan
saja kepadaku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94
Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di dalam hati Mahesa
Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara dan kedua murid
Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu firasat yang
mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai
hubungan sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau
pemerintah Demak.
Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi menahan
keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih
banyak lagi, sehingga kemudian ia berkata, “Tuan, telah bertahun-
tahun aku tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama
dengan Tuan dalam kedudukan Tuan sebagai seorang
Panembahan bergelar Panembahan Ismaya. Namun kemudian
ternyata aku samasekali masih belum mengenal Tuan. Sebab
ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan
apabila Tuan sampai berbulan-bulan meninggalkan padepokan
kami. Juga ternyata karena keterangan-keterangan Tuan, aku
malahan menjadi semakin banyak menyimpan pertanyaan-
pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak
keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia
lagi, khususnya terhadap kami, apakah Tuan tidak keberatan
apabila Tuan menyatakan kepada kami siapakah Tuan serta dari
manakah Tuan sebenarnya.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan suara
yang dalam dan perlahan, “Kebo Kanigara dan kalian yang lain…
apakah ada perlunya aku menyatakan diri serta asal-usulku?
Sebab apa yang sudah terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya
bagi masa yang akan datang.”
Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan
itu, ia pun mendesaknya, “Bahwa masa lampau selalu penting bagi
masa kini maupun masa depan. Apa yang terjadi sekarang karena
telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena itu kami
tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau.
Alangkah kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94
angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti bahwa
kami akan selalu menggantungkan diri padanya. Namun
pengalaman-pengalaman adalah mahaguru yang sangat baik.
Hasil-hasil yang pernah dicapai serta cara-cara untuk
mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan
adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”
Kembali orang itu mengangguk-angguk. Matanya yang sejuk
itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di halaman.
Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit yang biru
bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat
memantulkan cahayanya yang cerah.
II
Orang tua yang menamakan diri Panembahan ismaya itu masih
berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun akhirnya
diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua
muridnya itu tentang dirinya. “Anak-anakku sekalian…. Baiklah aku
menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan kepada
orang lain dari apa yang akan kau dengar.” Ia berhenti sejenak
untuk mendapat kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan
ceritanya benar-benar tidak akan mengatakan kepada orang lain.
Sejenak kemudian ia meneruskan, “Yang mula-mula boleh kau
ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh ayah dan
ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”
Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua
muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan tiba-tiba Kebo
Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang orang tua itu
tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di
dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.
Agaknya orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada
namanya. Karena itu ia bertanya, “Adakah sesuatu yang menarik
dari nama itu, Kanigara…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94
Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras
untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya.
Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab, “Ya… nama itu
sangat menarik bagiku.”
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, “Apakah yang
menarik?”
Kanigara kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat
sesuatu, hampir berteriak ia berkata, “Raden Buntara, bukankah
Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari seorang
garwa ampeyan…?”
Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, “Kau pernah
mendengar nama itu?”
“Ya,” jawab Kanigara, “Aku pasti pernah mendengarnya.
Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”
“Tentu,” sahut orang tua itu. “Ayahmu pasti pernah menyebut-
nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan
ayahmu itu.”
“Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku
dengar namanya,” kata Kanigara sambil membungkuk hormat.
Hormat sekali.
Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
berkata, “Kanigara, kau benar. Aku adalah orang yang kau maksud
itu. Tetapi jangan panggil aku Eyang Buntara. Panggilah aku
Panembahan Ismaya.”
Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan kepala dengan
takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite dan Anggara
pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang mereka
segani. Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik
Baginda Brawijaya pamungkas.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94
Untuk sesaat suasana ditelan oleh kesepian. Berbagai
perasaan muncul di dalam kepala masing-masing. Sehingga
kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan
Ismaya. “Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan,
sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan diriku dari dunia
ramai.” Sekali lagi orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan
membetulkan duduknya. Kemudian disambungnya lagi, “Ketika itu
terjadi perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan
kepercayaan. Pada waktu itu aku sudah mencoba untuk
meyakinkan bahwa kepercayaan bukanlah sumber yang tak dapat
dibendung. Namun agaknya Sultan merasa bahwa ia lebih baik
mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan istana. Tetapi
Raden Patah pun samasekali tidak mau memperkosa kekuasaan
Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu menyerahkan
kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu,
meskipun ia sudah berada di perjalanan.
Ketika Raden Patah kemudian memegang pimpinan kerajaan,
dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak, sehingga
dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan yang
berpusat di Majapahit.
Pada saat itu Prabu Brawijaya, diiringi oleh beberapa orang
pergi berkelana dari satu tempat ke lain tempat. Beliau berjalan
menyusur pantai selatan menuju arah matahari terbenam.
Akhirnya sampailah beliau ke daerah Bukit Seribu, yang juga
terkenal dengan nama Gunungkidul.
Meskipun aku adalah adik Brawijaya, namun umurku agak
terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden Patah pun
agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat Raden
Patah memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat
menerima kunjungan ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan
Prabu Brawijaya menghentikan perantauannya dan menetap di
suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan susah payah aku
menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu tempat
ke tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94
banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan.
Tentang alam dan seluk-beluknya, untuk melengkapi
pengetahuannya menjelang masa langgeng.
Tetapi terjadilah hal yang samasekali tak terduga-duga.
Seorang tumenggung yang ikut serta dalam rombongan Baginda
merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu menyangka
bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang
harus dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak
dapat aku terima adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku
dalam persoalan-persoalan yang memalukan. Ia menganggap
bahwa aku sengaja mendekatkan diriku kepada Baginda untuk
dapat mengetahui di mana kekayaan Baginda yang dibawa sebagai
bekal perjalanan, disimpan. Ia menuduh bahwa aku ingin memiliki
harta kekayaan itu. Dan yang lebih parah lagi, ia mempergunakan
istrinya yang ikut serta dalam perjalanan itu untuk memancing
persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba untuk
menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul.
Namun ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang
bermaksud jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku tidak
dapat membiarkannya.”
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Pandangannya yang
jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di daun-daun dan
ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah mencari lembah
peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu
bergerak di batang-batang kayu.
Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia kembali
meneruskan, “Kemudian akulah yang sengaja membuat persoalan.
Atau tegasnya aku sengaja menanggapi persoalan-persoalan yang
dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada saat itu sangat
mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku telah
membuat suatu kesalahan.
Seperti yang sekali dua kali pernah dilakukan, istri
Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang rumah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94
yang dipergunakan sebagai pesanggrahan sederhana. Pada saat-
saat sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu pergi
menghindar jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui
maksud kedatangannya. Tetapi kali ini aku sengaja menemuinya.
Aku ingin mendengar apa yang akan dikatakannya kepadaku,
meskipun aku sudah dapat menduganya lebih dahulu. Ternyata
dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu mula-mula
mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang
pemuda yang gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah
yang dibuat-buat, ia mulai mengatakan tentang ketidakpuasannya
terhadap suaminya, dan yang terakhir, yang tidak aku duga-duga
bahwa sedemikian jauh pertentangan yang ingin dibuatnya, adalah
perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya aku membunuh
suaminya. Tentu saja dengan pura-pura mengharap, supaya aku
akan menggantikan suami itu.
“Sayang” jawabku kepada perempuan itu berterus terang “Aku
sudah tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan
demikian setiap orang akan menuduh aku merebut isteri orang.
Suamimu mengharap aku akan menyerangnya. Siang atau malam,
apabila laki-laki itu tampaknya sedang lengah. Namun sebenarnya
ia telah siap membunuhku, sebab kau sudah memberitahukan
kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil melawan aku dalam
suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah dihadapanku.
Hidup atau mati.
Nah, kalau demikian katakanlah kepadanya. Kalau ia
menghendaki suatu perkelahian, suruhlah ia menantang aku
sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.”
Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi agaknya ia
memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan marah,
dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada suaminya. Tetapi
ia tidak berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat
kemudian telah cerah kembali. Sambil tersenyum-senyum ia
mendekati aku. Katanya “Kau laki-laki jujur. Sayang kau masih
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94
terlalu muda untuk menanggapi persoalan. Agaknya Raden belum
mengenal aku sungguh-sungguh.”
Mula-mula aku menjadi gemetar ketika tiba-tiba perempuan
itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku menjadi muak. Dan
karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih baik sekali
aku berlari jauh-jauh
meninggalkan tempat itu.
Tetapi aku tidak berbuat
demikian. Ketika aku tidak
dapat menahan perasaan
muak yang bergolak di dalam
dadaku, perempuan itu aku
dorong keras-keras dan jatuh
terbanting di lantai. Karena
itulah maka tiba-tiba terdengar
ia berteriak-teriak. Mula-mula
aku menyangka bahwa ia
berteriak karena kesakitan.
Tetapi dugaanku itu ternyata
keliru. Perempuan itu
samasekali tidak berteriak
karena kesakitan. Ternyata
beberapa saat kemudian
terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari. Beberapa
diantaranya langsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah
kepalaku pada saat itu ketika aku mendengar perempuan itu
berteriak “Lelaki gila. Aku diseretnya kemari dengan kasarnya.”
Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya adalah sepasang
mata laki-laki tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil
menggeram mengerikan ia bertanya kepada isterinya dengan
suara mengguntur. “Hai perempuan rendah. Apa kerjamu disini?”
Dengan suara tergagap perempuan itu menjawab “aku tidak
sengaja datang kemari. Aku berjalan dihalaman untuk memetik
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94
sirih. Tetapi tiba-tiba aku diseret oleh laki-laki itu dengan laku
seekor binatang kelaparan.”
Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang
mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku. “Kau hinakan
nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya adalah seorang
laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia,
marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”
Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan persoalan yang
sebenarnya agaknya samasekali tidak ada gunanya. Karena itu aku
mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah
aku memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung
itu? Namun sayang, sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun
yang mengerti keadaan sebenarnya. Tak seorangpun yang
mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali seorang jajar tua
yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu pulalah yang
mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia pulalah
yang mendengar dengan telinganya sendiri, bagaimana
Tumenggung itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para
Menteri yang sependapat dengan pikirannya. Tetapi ia hanyalah
seorang jajar yang tidak berarti. Karena itu, apa yang didengar
dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya oleh siapapun meskipun
ia sudah pernah mengajukannya kepada baginda lewat seorang
bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati itu
yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata kepadanya
“Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi buruk.”
Akulah orang yang pertama-tama menaruh perhatian
sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata kepadaku,
kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda
dapat terjamin.
Akhirnya terjadilah perkelahian itu. Perkelahian yang ditunggui
oleh beberapa orang saksi. Tumenggung itu agaknya yakin bahwa
ia akan dapat membunuhku. Dengan demikian rencananya tidak
akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku sebelumnya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94
dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung
dalam susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan
pengawal raja.
Namun perkelahian itu berakhir sebaliknya. Akupun kemudian
kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa aku sadari, laki-laki
itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku merasa bhawa
akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha meyakinkan,
bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga
oleh banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”
Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya berhenti
berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian tampak
sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu
menyenangkan. Kemudian ia meneruskan. “Ketika pertempuran
itu berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat
mayatnya pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan
yang aneh berkata kepadaku. “Nah, Raden. Tuan sekarang berhak
memiliki perempuan itu.”
Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab “Aku tidak
perlukan perempuan itu.”
Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang
diantaranya. “Hm, agaknya tuan mau bermain-main saja dengan
isteri orang. Tetapi kemudian tuan mengingkari kewajiban tuan.”
HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh orang itu pula,
kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak memandang ke suatu
arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya.
Agaknya Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat
dingin telah mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah
sebenarnya maksud kedatangan baginda. Tetapi aku sudah
menduga bahwa pasti ada hubungannya dengan perkelahian yang
baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah benar. Baginda
yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku dengan
sinar mata yang marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94
dengan sabar dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata
Baginda terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku.
Kata Baginda, “Adikku… apakah yang terjadi adalah samasekali
diluar dugaanku. Aku bergembira bahwa salah seorang keluarga
terdekatku sudi datang berkunjung kepadaku. Kepada orang yang
sudah hampir dilupakan. Namun tiba-tiba kau membuat hatiku
semakin parah karena kelakuanmu.”
Hampir menangis aku berjongkok di kaki Baginda. Dengan
terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya
tersimpan di dalam kepalaku.
Tetapi keteranganku itu agaknya terdengar aneh sekali.
Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku yakin bahwa
Baginda samasekali tidak percaya. Bahkan kemudian Baginda
dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku
menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang
menghujam hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang curang itu,
menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka kemudian
tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka menjadi takut kalau
gerakan mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka
agaknya takut pula kalau aku juga akan mengadakan gerakan
untuk melawannya. Akhirnya terjadilah dimalam yang mengerikan
itu. Beberapa orang prajurit kepercayaan raja mati terbunuh.
Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh gerombolan orang-orang
tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan yang demikian,
sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku berbuat
kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah
Baginda. Ketika aku mendengar keributan langsung aku
menyerbu, melibatkan diri dalam perkelahian itu. Akibatnya,
beberapa orang terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin
merebut harta kekayaan Baginda.
Namun agaknya apa yang aku lakukan itu tidak berkenan pula
di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari pihak lain pun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94
menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda akan
berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan
sabar dan perlahan-lahan. “Adikku Raden Buntara… aku tidak akan
menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu
memang memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan
beberapa kenyataan kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini
pesanggrahanku yang terpencil ini, selalu diliputi oleh suasana
damai. Tetapi dengan kehadiranmu di sini, keadaan menjadi lain.
Terserahlah atas penilaianmu terhadap kenyataan itu.”
Aku menjadi semakin berduka atas pernyataan Baginda itu.
Beberapa orang segera memencilkan aku seolah-olah akulah
orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya sahabatku di
tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan yang
senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya
jajar tua itulah yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk
keselamatan Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi
hatiku terluka. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada
suatu pagi aku ketemukan jajar tua, sahabatku itu terguling di
tanah di depan pondoknya tanpa nyawa. Sebuah luka menggores
di lehernya. Pada saat itu darahku tiba-tiba mendidih. Hampir saja
otakku tak dapat aku kendalikan lagi. Untunglah bahwa
pengalaman pahit selama ini agaknya dapat mengekang segala
tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk
memberitahukan kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak
seorangpun menaruh perhatian kepada jajar tua yang dianggap
samasekali tak berarti itu. Bahkan karena ia benci kepadaku.
Karena itu aku tak dapat berbuat lain daripada menguburkan
mayat itu sendiri. Sendiri.
Dengan segala peristiwa yang sangat menyakitkan hati itulah
kemudian aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu
kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah terjadi. Aku
mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana.
Menjernihkan hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda
Brawijaya beserta orang-orang di sekitarnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94
Tetapi apa yang terjadi kali ini tak dapat aku pikul lebih jauh
lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan Demak, beliau
berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan. “Paman, aku
sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu
telah mengirim utusan kemari sebelum paman datang. Beliau
merasa menyesal bahwa segala sesuatu yang kurang pada
tempatnya telah terjadi. Apalagi persoalan itu bersumber pada
persoalan seorang istri, yang karena keadaan menjadi sedemikian
buruknya. Paman tidak saja membunuh suaminya, tetapi karena
Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat laki-
laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak kepada
Paman. Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang
aku harapkan. Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan
Ayahanda Prabu semakin jauh daripadaku.”
Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan itu. Tetapi aku tidak
dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang mengetahui
keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua yang
bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru
memancar dari sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah
Pasingsingan.”
Yang mendengarkan ceritera Panembahan Ismaya itu
tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan mengulangi
nama itu. “Pasingsingan.”
“Ya,” sahut Panembahan Ismaya. “Jajar tua itulah yang
sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada
dinding-dinding hatiku.”
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan
Ismaya meneruskan, “Ketika aku sudah tidak mendapat
kesempatan lagi untuk membersihkan namaku, maka aku menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94
sangat malu. Aku merasa bahwa wajahku tak patut lagi berada
ditengah-tengah para satria Demak. Karena itulah maka akhirnya
aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari padanya.
Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”
Akhirnya aku menemukan suatu lembah yang pantas bagi
tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku bertapa.
Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang
menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat
kesibukan manusia, aku datang ke desa-desa di sekitar lembah itu.
Namun rasa-rasanya setiap orang muak memandang wajahku,
sehingga akhirnya aku terpaksa mengenakan sebuah kedok.
Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak sebagai manusia
yang sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor kelelawar.
Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi.
Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku hantu. Hantu
bertopeng dan berjubah abu-abu.
Namun demikian aku tetap percaya pada keadilan. Keadilan
yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku seolah-
olah hilang dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa
pada suatu saat aku akan kembali. Kembali ditengah-tengah
pergaulan hidup. Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya
cita-citaku, berlanjut dari hidupku akan berada di tengah-tengah
manusia dalam keadaan yang baik.
Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku melihat seorang pemuda
dalam perjalananku yang memang sering aku lakukan, beserta
seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah, tiba-tiba
aku merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan.
Padanya aku ingin ikut serta dengan menyerahkan tekad untuk
kembali berada di tengah manusia. Karena itulah aku selalu
membayanginya. Kalau bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara
untuk mengikutinya. Apalagi ketika aku melihat, bahwa orang
muda itu memiliki keturunan ilmu yang sama dengan Kanigara.
Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa Mahesa Jenar ke
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94
bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya
Arya Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya
menjelang hari-harinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra
dan Sabuk Inten, tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.
Tetapi agaknya otaknya terlalu jernih. Sehingga bersama-
sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku untuk mempercepat
membuka diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku sudah
terasa matang. Sehingga meskipun aku dipaksa untuk membuka
diri, tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua rencana-rencana
yang sudah aku siapkan.
Yang mendengar ceritera itu seolah-olah terpaksa menahan
napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya telah lama
membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat
ia hampir kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah
abu-abu itu untuk meluruskan kembali jalannya. Juga di pantai
Tegal Arang, seseorang telah mengingatkan tekadnya untuk
menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Dan orang itu
agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo Kanigara,
dimana ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari
untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi ternyata
Kebo Kanigara sendiri tidak mengerti keseluruhan dari tugasnya.
Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, “Dalam jarak
yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri
dari istana, sampai saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang
aku jumpai. Bahkan terlalu banyak. Di dalam hidupku muncullah
orang-orang seperti Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang
yang berhati baik, namun akhirnya, ternyata bahwa ia telah
menambah hidupku menjadi semakin buruk. Kemudian datanglah
Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula menaruh harapan.
Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup mereka. Sehingga
Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti
yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini.
Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat
menolong kepahitan masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94
Kanigara dengan gadis kecilnya. Aku bawa ia ke Karang Tumaritis.
Tetapi agaknya ia lebih cinta pada anak gadisnya daripada masa
depannya sendiri. Sehingga seolah-olah, seluruh hidupnya telah
diserahkan buat hari kemudian anaknya. Dan karena sifat
kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati
untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat
menjamin masa depan anak itu. Karena itu, tugas yang aku
bebankan padanyapun bukanlah tugas yang panjang-panjang.
Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis kecil yang sudah
tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai Mahesa Jenar
beserta Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan keluarga, ia
tidak dekat Kanigara, namun karena ia berasal dari istana pula,
maka aku mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan
Mahesa Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu beban yang sangat
berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih samar-samar.
Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi harapan
Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan
kepalanya, bertanya kepadanya, “Panembahan, apakah agaknya
yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan
itu?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, “Hampir setiap orang telah melupakan nama Buntara.
Mereka yang sekali dua kali teringat nama itu, terutama bagi
mereka yang telah lanjut usia, akan mencibirkan bibir mereka.
Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku sejak masa
mudaku, bagiku yang penting adalah keselamatan negeri diatas
segala-galanya. Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah
suatu kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka
yang hilang itu, yang justru akan dapat membantu membina
kesejahteraan negara, dengan menyerahkannya kepada orang
yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan yang aku harap dapat
kau lakukan, adalah mengadakan penilaian atas kedua keturunan
yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak berarti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94
bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat
yang perlu, kau harus ikut pula.”
Dengan demikian segala sesuatu kini menjadi jelas, kenapa
Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan kenapa ia sangat
menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak.
Setelah orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi
berkata, “Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan
itu. Bahkan apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa
seperti jiwa lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, yang akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi
tanah tumpah darah ini, sebagian adalah karena perjuanganmu.
Perjuangan yang telah kau lakukan sejak lama. Perjuangan yang
tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan yang kau lakukan
adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan
kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan
di batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun
kaulah hakekat dari kemenangan itu.”
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa
Jenar meremang. Memang sejak semula ia samasekali tidak
bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya
digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya.
Yang diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini.
Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan,
“Karena itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu
sudah selesai. Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di
tanganku.
Sementara itu, kau dapat menyelesaikan pekerjaanmu yang
lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng Gajah Sora
untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu baik-baik. Bawalah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94
anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh kembali tanah
pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha mendapatkan
kembali kebebasan Gajah Sora itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar
hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil
mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana
itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang
jauh berbeda dari semula. Katanya, “Nah, Paniling, Darba dan
kedua kemanakannya. Aku sudah selesai berceritera. Sekarang
berilah aku kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini.”
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun
dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab,
“Baik, baiklah Guru.”
“Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,”
potong Panembahan Ismaya. “Namaku….” ia berhenti mengingat-
ingat, lalu lanjutnya, “Siapakah kau akan menyebut diriku kalau
tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah
yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya
itu.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Among Raga.”
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, “Ah, seolah-olah aku
hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi
nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku
pakai nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu
mapan bagiku.”
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu
menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. “Tetapi
Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari
keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94
Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya
saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
jawabnya, “Baiklah, aku tidak keberatan.”
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di
rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan tetangga-
tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah
mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan
Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul
dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok di
ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu terjadilah
pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap
pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka.
Tetapi di belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu
memberi kepada keempat orang yang terdekat dari padanya itu
berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan
diceriterakan pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian.
Memang sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk
mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam kekisruhan yang
terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa
dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali.
Karena itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan
itu. Setelah ia terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan,
usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia
ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan.
Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang
dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan dirinya dengan
kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan memaksa
orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu
ia akan memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu
selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara
dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya
kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud itu samasekali
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94
diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang dihirupnya,
semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan akhirnya malahan ia
membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan
diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia
menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian
dimintanya meninggalkan tempat itu. Beberapa tahun kemudian
datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa
bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-
apa bagi manusia apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia
mengharap Radite untuk mewakilinya dengan topeng dan jubah
abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah
Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara
dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri
dari kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari
jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite
kemudian tergelincir.
“Bagimu Mahesa Jenar….” akhirnya Panembahan Ismaya
minta, “Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari. Bergaul
dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal hidup
mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan
Ismaya memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah
ia bermohon diri kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan
padukuhan Pudak Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite. “Radite, seseorang
yang membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk
menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat
dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi
beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia samasekali
tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang
terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu
Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah
memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94
kepadanya, untuk menghentikan segala kejahatan yang selalu
dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau
mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini
menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas.
Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan
penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu
sebaik-baiknya.
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun
segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis. Kebo
Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang
ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin
segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan
suatu tugas yang berat, kembali ke Banyubiru.
III
Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo Kanigara
memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam
turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka
berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan
berjalan kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih
tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram
melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam.
Bahkan di belakang regol halaman yang masih ternganga, masih
tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-
cakap.
Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak
mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar dari
satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak
bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara.
Tempat-tempat ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram.
Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung
jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94
di tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula
di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.
Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang anak yang
lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya, “Apakah Banyubiru
sedang ada perayaan?”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian
anak itu malah ganti bertanya, “Apakah Bapak bukan penduduk
Banyubiru…?”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar
tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya, Bukan, Nak.
Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
“Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. “Ya,
kenapa…?”
“Tidak apa-apa,” jawab anak itu. “Beberapa hari yang lalu
beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah
saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan
sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua
sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan
apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari
Simarodra dahulu?”
“Betul, Nak….” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena
itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya, “Siapakah
pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
“Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk
melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
sahutnya, “Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94
Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. “Lalu apa katanya
ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
“Tidak apa-apa,” anak itu menjawab, “Tetapi Paman
mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan
mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut
Paman, keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat Pangrantunan
sendiri tidak mampu untuk melawan mereka, meskipun rakyat
Pangrantunan tidak takut.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Memang letak
Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan Gunung Tidar
itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal
sedemikian tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat
sesuatu…? Namun kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak
bertanya demikian. Karena itu ia bertanya tentang obor dan
gamelan yang sudah siap di lapangan itu. Katanya, “Nak, ada
apakah dengan keramaian itu?”
“Itu bukan keramaian,” jawabnya. “Dahulu Paman Reksadipa
juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari berada
di sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena
panenan kemarin meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap
malam mengadakan tayub di lapangan itu.”
“Di lapangan terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.
“Ya,” jawab anak itu. “Setiap orang boleh ikut. Kalau siang
mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”
“O....” Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh
kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.
Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh persoalan yang
berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit banyak ia
pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu ayam setiap hari
adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 94
Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah
anak itu, “Sudahlah Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”
Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar. Demikian ia
selesai berbicara segera ia menghambur ke dalam gelap. Di
kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih melihat
anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.
“Itulah Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan
mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di malam
hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
“Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab
Kebo Kanigara.
Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari
tayub yang sebentar lagi akan diselenggarakan di lapangan itu.
Demikianlah, ketika hari menjadi semakin gelap, di tanah
lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang niyaga
pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga
sesaat kemudian suara gamelan telah mulai mengalun,
menggoncang kesepian malam, yang kemudian disusul dengan
suara waranggana memanjat tinggi. Namun terasalah bahwa
suasananya bukanlah suasana yang sopan.
Sebentar kemudian ternyata bahwa memang demikianlah
yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di gelanggang.
Menari dan berdendang. Sedang dari mulut mereka menyebar bau
tuak. Disusul dengan munculnya beberapa orang ledek di tengah-
tengah arena itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk tidak seberapa jauh
dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang gelap,
dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang
beberapa orang yang berdiri menonton.
Ketika malam menjadi semakin dalam, suasana di tengah
tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa orang telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 94
menjadi pening karena mabuk. Bahkan beberapa orang telah
kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang aneh-aneh di
arena itu. Beberapa penari wanita yang telah terlatih melayani
mereka dengan baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul
menjadi suasana gila-gilaan. Dalam keadaan yang demikian tidak
mustahil kalau sampai terjadi bentrokan-bentrokan dan
perkelahian-perkelahian diantara mereka, karena mereka telah
kehilangan pengamatan diri.
Di tepi arena, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara
melihat beberapa orang yang
sibuk berjualan. Apa saja yang
dapat mereka jual. Makanan,
minuman dan tembakau.
Mereka samasekali tidak
menaruh perhatian pada
suasana yang berlangsung di
sekitarnya. Yang penting bagi
mereka adalah bahwa
dagangan mereka laku, dan
mereka mendapat uang
sebanyak-banyaknya. Para
penjual yang terdiri laki-laki
dan perempuan,
menghanyutkan diri saja
dengan keadaan. Bersenda-
gurau, berteriak-teriak melayani orang-orang mabuk atau
kelelahan. Namun orang itu tak sempat menghitung lagi berapa
uang yang harus mereka bayarkan. Asal mereka menggenggam
uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada penjualnya,
perempuan-perempuan muda yang merajuk dengan manjanya.
Tetapi tiba-tiba mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sempat
melihat seorang perempuan yang berdiri tegak agak di kejauhan.
Nampaknya ia ragu-ragu untuk mendekati tempat itu. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 94
kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju. Ketika ia menjadi
semakin dekat, dan seleret sinar lampu para penjual menyambar
wajahnya, tampaklah bahwa perempuan itu memiliki ciri-ciri yang
lain dari setiap perempuan yang berada di tanah lapang itu.
Wajahnya yang sayu pucat dan tubuhnya yang kekurus-kurusan,
seolah-olah mencerminkan perasaannya yang sedih.
Ketika beberapa orang melihatnya, segera mereka
melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang
yang dengan nada mengejek berteriak, “Marilah Nyai. Apakah
yang kau cari…?”
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi segera matanya
memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang berdiri
di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang
diantara wajah-wajah itu.
“Anakmu tidak berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang
kemudian disusul dengan gelak tawa. “Carilah anak itu di tengah
rimba,” sambung suara yang lain. “Mungkin ia berada bersama
bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.
Perempuan itu masih berdiam diri, berdiri seperti patung.
Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat
memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka dapat
menduga bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya
menjadi agak terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu
berat.
Ketika kemudian dilihatnya dari mata perempuan itu menitik
butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi
yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit perasaannya.
Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki ketika
terdengar seorang laki-laki berkata dengan kasarnya, “Suamimu
tak berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak.
Dan bayimu yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 94
bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat bagi
laki-laki semacam suamimu itu.”
Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras.
Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada di
tempat itu.
Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya, “Siapakah
dia?”
“Istri Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.
“O, karena itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang
pertama. “Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”
“Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga
hari lagi,” sahut suara lain yang disusul dengan gelak tertawa
orang banyak.
Diantara suara yang riuh, di sela-sela suara gamelan yang
semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara yang berat
mengatasi yang lain. Katanya, “Aku tidak percaya kalau ia tidak
mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke arena.”
Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba semua terdiam. Dan semua
mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang tinggi besar
dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di pinggir arena.
Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu
seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya, “Ternyata
ledek Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit.
Dan perempuan itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya
menyamainya.”
Orang yang berwajah kasar itu maju beberapa langkah ke arah
perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang kemudian
menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu meneruskan kata-
katanya. “Sayang bahwa wajah yang cantik itu tidak mendapat
pemeliharaan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 94
Ketika orang yang tinggi besar dan berwajah kasar itu
melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang. Tetapi
beberapa orang yang mabuk mulai tertawa-tawa kembali dan
menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu
tontonan yang menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang
kepalanya juga sudah mulai pening-pening, segera merasa
tersinggung. Bahkan seorang yang sudah setengah mabuk
berteriak, “Hei, monyet dari Pamingit. Jangan ganggu orang
Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh cinta kepadanya. Tetapi
aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya
mungkin sudah mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu
akan aku ambil sebagai istriku yang muda.”
Orang yang bertubuh tinggi besar itu menoleh. Dilihatnya
seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat seperti orang
hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang Pamingit itu
bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab,
“Jangan terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus
menghormati orang-orang Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang
berada di bawah pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau
mati, jangan ganggu aku. Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka
hatinya. Bahkan istrimu pun kalau aku kehendaki harus kau
serahkan.”
Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala
marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab, “Jangan banyak
mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”
Pertunjukan itu segera terhenti karena ribut-ribut yang terjadi.
Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan tenangnya
berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan duduk diantara
para niyaga. Mereka samasekali tidak menunjukkan perasaan
cemas atau takut. Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi
ketika mereka mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara
orang Pamingit dan Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik
juga.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 94
Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya,
berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya,
“Siapakah yang bertengkar?”
Terdengarlah seorang niyaga menjawab, “Jiwala dengan orang
Pamingit.”
Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi
besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit kawannya.
“Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar dengan Jiwala. Apakah
kau tidak membantunya…?”
“Peduli apa?” jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung
pesek. “Kemarin ia sanggup memberi aku uang, tetapi sampai
sekarang ia tidak menepati janjinya.”
Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan
mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung pesek itu berkata,
“Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”
Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. “He, kau
agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang
harus berkelahi melawan istri Penjawi itu.”
Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.
Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya mengeluh. Sampai
sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam
jurang yang mengerikan.
Dalam pada itu, orang Banyubiru yang bernama Jiwala itupun
sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak pinggang ia
memandang orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke ujung
kakinya. Sedang orang Pamingit itu mengawasinya dengan marah.
Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua terpaksa menengok ke
arah perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan
gemetar di pinggir tanah lapang itu. Ternyata sedemikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 94
ketakutan, sampai istri Penjawi itu tidak tahu apa yang harus
dilakukan.
Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, “Pergi. Jangan
halang-halangi aku.”
Jiwala tidak menjawab, tetapi dengan tangkasnya ia
menyerang perut Saraban. Namun agaknya Saraban pun bukan
orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke
arah perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan
sekaligus kakinya menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang
mabuk itu tidak sempat menghindarkan dirinya, sehingga terasa
kaki orang yang bertubuh tinggi besar itu mendorong tubuhnya
kuat-kuat. Demikianlah ia terlempar beberapa langkah dan jatuh
berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit itu cukup keras,
karena ternyata setelah bersusah payah berusaha barulah Jiwala
dapat bangun. Namun ia sudah tidak berani lagi mendekati orang
Pamingit yang bernama Saraban itu.
Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan Jiwala. Menurut
dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang cukup baik
kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan
laskar Pamingit.
Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sebab
ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati lawannya, tak seorang
pun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba terdengar
seseorang berbisik. “Salah Jiwala sendiri, kenapa ia melawan
orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu Sora?”
Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan dapat
mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain berbisik pula,
“Kalau Jiwala tidak sedang mabuk, tentu ia tidak berani berbuat
demikian.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 94
Demikianlah ternyata Saraban kemudian akan dapat berbuat
sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang menakutkan, ia
memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia benar-
benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia
samasekali tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia
mengharap bahwa ada orang yang menolongnya, tetapi dengan
jatuhnya Jiwala, harapannya menjadi lenyap.
Mula-mula Saraban itu masih memandang berkeliling.
Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan
kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu
lagi, barulah setapak demi setapak ia mendekat.
Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan. Setapak ia mundur,
tetapi dua tapak Saraban melangkah maju, sehingga jarak mereka
menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, beberapa orang yang semula tertawa-tawa
kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam sudut hati
mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan
kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir,
karena Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru
beberapa minggu ia kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba
seorang laki-laki berwajah kasar, dengan rakusnya ingin
merampas kecantikannya. Apalagi orang itu adalah orang
Pamingit.
Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat sesuatu. Sebab tak
seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban. Sedang
untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab
dengan demikian, orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai
menyerang mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak bersalah,
karena melindungi seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun
orang Pamingit dapat saja membuat alasan-alasan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan semua
peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban tinggal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 94
beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa Jenar
tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung. Tetapi
ketika ia sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya
sambil berbisik, “Duduklah Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan
masalah ini. Sebab belum ada di antara mereka yang mengenal
aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh beberapa orang di
sini.”
Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar
mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara perlahan-
lahan berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama
dikejutkan oleh sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di
belakang perempuan yang kekurus-kurusan itu. Katanya,
“Saraban, jangan berlagak jantan sendiri. Orang Banyubiru tidak
semuanya berjiwa betina. Cobalah kau maju selangkah lagi,
namamu akan terhapus dari deretan nama-nama pengawal Lembu
Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk
dan caci.”
Saraban ternyata terkejut juga mendengar suara itu. Dengan
tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan langkahnya. Matanya
yang liar dibukanya lebar-lebar untuk mengetahui, siapakah yang
dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya. Dalam
pada itu, dari dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang,
yang dengan tetap melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah
di bawah cahaya lampu yang samar, seorang laki-laki dengan mata
yang menyala-nyala karena marah, berdiri diantara laki-laki yang
bernama Saraban dengan perempuan yang kekurus-kurusan, yang
sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu tidak setinggi
dan sebesar Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti baja.
Ketika Saraban mengenal wajah orang itu, ia menggeram. Dan
bersamaan dengan itu terdengar Mahesa Jenar berdesis sambil
berdiri karena terkejut, “Bantaran….”
“Bantaran….” ulang Kebo Kanigara yang terpaksa
menghentikan langkahnya. “Siapakah dia?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 94
“Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang
bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari
Banyibiru.”
“Kalau begitu….” sahut Kanigara, “Aku tak perlu
mengganggunya.”
“Aku kira demikian,” jawab Mahesa Jenar.
Dengan demikian Kanigara mengurungkan langkahnya, tetapi
mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa yang
mendebarkan hati itu.
Dalam pada itu, Bantaran masih tetap berdiri di muka Nyi
Panjawai, dengan kaki renggang dan dada terbuka. Sesaat
kemudian, tampaklah matanya beredar kesegenap arah.
Memandang setiap wajah orang Banyu Biru yang berdiri di
sekitarnya. Dan tiba-tiba saja orang-orang Banyu Biru yang kena
sambaran matanya, dengan cepat menundukkan mukanya.
Mereka seolah-olah merasa mendapat teguran dari salah seorang
pemimpin mereka. Meskipun beber:apa orang lebih senang
menjelenggarakan sabungan ayam dan tari tayub daripada
berjuang membebaskann tanah perdikan mereka, namun
beberapa orang yang lain masih juga merasa malu atas kelakuan
mereka itu.
Dan dari mulut Bantaran itu kemudian terdengar suaranya
menggeram, “Aku melihat kelakuan kalian. Hampir setiap malam
aku berada di tempat ini. Dan hampir setiap malam aku melihat
apa yang terjadi. Mabuk, judi, berkelahi di antara sesama karena
hal-hal yang memalukan, dan menyabung ayam di siang hari. Dan
puncak dari kebodohan kalian adalah membiarkan setan ini
mengganggu isteri orang. Isteri kawan setiamu, yang sekarang
sedang berjuang untuk kalian.”
Suasana menjadi sunyi diam. Tak seorang pun yang berani
menatap wajah Bantaran yang merah menyala-nyala. Bahkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 94
seandainya ada selembar daun kuning jang gugur, suaranya akan
jelas terdengar seperti gemuruhnja guntur di langit.
Dalam pada itu, Saraban pun mendjadi marah pula. Ia pernah
berkenalan dengan Bantaran. Karena itu ia tahu benar bahwa Ban-
taran termasuk salah seorang yang sedanq dikejar-kejar oleh
laskar Pamiingit, untuk disingkirkan. Karena itu, terdengarlah
Saraban berteriak dengan suara yang gemuruh, “Hai Bantaran.
Ternyata kau benar-benar sombong. Kedatanganmu tidak saja
sangat mengganggu kesenangan kami malam ini, tetapi akan
serupa benar dengan serangga menjelang api. Nah agaknja malam
ini aku akan mendapat dua hadiah yang berharga. Membunuh
Bantaran dan mendapat isteri baru.”
Terdengar Bantaran menggeretakkain giginya. Namun
perlahanlahan ia menoleh kepada Nji Penjawi sambil berkata,
“Menyingkirlah Nyai, biarlah monyet ini aku selesaikan.”
Njai Penjawi tak menjawab sepatah katapun. Namun, air
matanya mendjadi semakin deras mengalir. Sementara itu
Bantaran meneruskan. “Suamimu selamat sampai sekarang.
Mudah-mudahan ia kelak akan datang dengan pasukannja. Nah
kalau demikian barulah orang tahu, siapakah Penjawi itu.”
“Jangan mengigau” bentak Saraban,
Mendengar bentakan itu, selanqkah Bantaran maju. la tidak
merasa perlu untuk berdebat lebih lama. Tetapi terasa bahwa tak
ada cara penyelesaian yanq lebih baik daripada bertempur dengan
orang itu. Meskipun ia sadar, bahwa seandainya kehadirannya itu
didengar oleh Lembu Sora dan laskar Pamingit yang lain, maka
akibatnja akan sangat berbahaya.
Meskipun orang-orang yang berada di tanah lapang itu sudah
hampir setiap hari menyaksikan perkelahian, namun kali ini
suasananya
agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian
di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 94
mereka melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi
Penjawi, tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit
dan orang Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin
menguasai daerah orang lain melawan orang yang memperta-
hankan daerah itu.
Maka, ketika selangkah lagi Bantaran maju, berpencaranlah
orang-orang yang berada di tanah lapang itu ke tepi. Mereka
semuanya mengetahui siapakah Bantaran, dan sebagian besar dari
mereka pun mengetahui pula, siapakah Saraban. Karena itu tak
seorang pun yang berani mendekati mereka berdua jang sudah
bersiap untuk bertempur.
Demikianlah, sesaat kemudian, tanpa berkata sepatah pun
lagi, Saraban meloncat dengan garangnya rnenjerang Bantaran,
Namun Bantaran pun telah siap pula menyambutnya, sehingga
tidak usah menunggu terlalu lama, pertempuran itu segera
berlangsung dengan serunya. Saraban yang bertubuh tinggi besar
itu ternyata mempunjai tenaga yang luar biasa besarnya, sedang
Bantaran meskipun lebih kecil dan pendek, tetapi ia dapat bergerak
dengan lincahnya. Dengan cepatnya ia meloncat dari satu arah ke
arah jang lain. Karena itulah maka serangannya seolah-olah
datang dari segala penjuru.
Mula-mula Saraban dapat selalu mengikuti arah gerak
Bantaran. Bahkan sekali dua kali serangannya yang berbahaya
dapat memaksa Bantaran melontar selangkah dua langkah
mundur. Tetapi lama kelamaan kaki Bantaran semakin lincah
melontar-lontarkan tubuhnja kesana kemari, sehingga akhirnya
Saraban menjadi bingung. Beberapa kali Bantaran berhasil
memancing lawannya menghadap ke arah yang salah, sehingga
dalam keadaan yang demikian, meloncatlah serangan-serangan
Bantaran yanq dahsyat. Untunglah bahwa tubuh Saraban benar-
benar keras seperti kayu. Sehingga untuk beberapa lama ia dapat
bertahan. Namun karena serangan Bantaran itu datang bertubi-
tubi bahkan kemudian seperti aliran air terjun, maka, akhirnyja
terasalah bahwa Saraban mulai terpaksa bekerja mati-matian. Dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 94
beberapa saat kemudian terpaksalah orang Pamingit yang
bertiubuh tinggi besar itu mengeluh. Tetapi meskipun demikian, ia
masih juga berusaha sekuat tenaganya untuk dapat mengimbanyi
lawannya. Sekali dua kali tangannya yang besar dan berat itu
terayun dengan kerasnja disusul dengan lontaran kakinya
dibarenqi teriakan yang memekakkan telinga. Namun Bantaran
selalu berhasil menghindar dan kemudian meloncat maju
membalas menyerang. Meskipun tenaganja tidak sebesar orang
Pamingilt itu, namun pukulannya yang selalu mengarah ke tempat-
tempat yang ringkih, menjakan Saraban terdesak terus.
Ketika Saraban lengah, tangan Bantaran berhasil masuk di an-
tara kedua tangan lawannya yang bersilang, mengenai rahangnya.
Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah
pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek
sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi
tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban
melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya
ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran
tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa
langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat
kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia
memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar
ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi
serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan
kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya
dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari
atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran
menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga
melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas.
Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari perkelahian
itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru menjadi
cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga
juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 94
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri
dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak berdaya lagi
untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke arah
wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat
perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu
terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya.
Dalam pada itu terdengarlah suara Bantaran parau, “Saudara-
saudaraku, rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang
telah terjadi di tanah perdikan ini. Kalian ternyata telah terbius
oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali. Tetapi dengan peristiwa
ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya berpangku tangan.
Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak akan tinggal diam.
Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk seterusnya kalian
hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan kepada
Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari
pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit
atas tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki
Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka.”
Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan memang
demikianlah perasaan mereka yang mendengar kata-kata
Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan
mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam
hatinya mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu,
pastilah akan terjadi hal-hal yang samasekali tak dikehendaki.
Orang-orang Pamingit pasti akan datang ke tempat itu dan
mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya,
memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam
mereka.
Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba
terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya
menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan
Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar
lagi akan terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan
tenang pula ia berkata lantang, “Rupa-rupanya ada juga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 94
pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka
telah melaporkan kehadiranku.”
Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi
gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan diri. Tetapi
mereka samasekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam
waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang
dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Bantaran masih dalam
sikapnya yang tenang,
memandang berkeliling.
Kepada kira-kira sepuluh-
duabelas orang yang masih
berada di atas punggung kuda
mereka. Wajah para
penunggang kuda itu tampak
garang-garang, sedang di
tangan mereka masing-masing
tergenggam senjata. Ada yang
berupa tombak, pedang atau
macam-macam senjata yang
lain.
Dua orang diantara
mereka, mendorong kuda
mereka agak ke depan. Rupa-
rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah
seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang
nyaring, “Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri.
Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama
Bantaran.”
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan
yang timbul, karena beberapa orang yang ingin melarikan diri,
maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang dengan tubuh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 94
gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat
melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar
memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat
jawaban. Karena itu ia mengulangi, “Ayo… katakanlah kepada
kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau
tidak ada diantara kalian yang mau menunjuk batang hidungnya,
maka semuanya yang berada di tanah lapang ini akan kami bawa.
Sesudah itu janganlah kalian mengharap untuk bertemu kembali
dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik nafas dalam-dalam
sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki
sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun
demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi
yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Agaknya, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran.
Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan tega melihat nama
perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang
diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan menyambar
baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya
menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang
itu bertanya, “Siapa namamu…?”
Dengan tergagap orang yang masih agak mabuk itu
menjawab, “Gonjang, Tuan.”
“Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya
orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba
terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka mabuk
dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki
kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa
berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya, “Kenal
Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 94
“Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak
orang Pamingit itu.
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati
orang-orang di tanah lapang itu. “Sudah sejak berbulan-bulan ia
tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak
dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat
dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu samasekali tidak
diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika tangannya
yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang
pun ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar
badai. Sambil membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu
sekali lagi bertanya, “Ayo katakanlah kepada kami, yang mana
diantara kalian yang bernama Bantaran.”
“Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang
tergagap.
“Bohong!” bentak orang Pamingit itu. “Aku mendapat laporan
bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
“Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang
melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan
yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan kerasnya orang
itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan
kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun
demikian ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka
yang bernama Bantaran.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang yang
cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu untuk
menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang
sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 94
pun telah berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga
orang itu tidak dibawanya serta.
Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi
berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia sedang
berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat
ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri
Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan
sepuluh orang berkuda itu agaknya di luar kemampuannya.
Bantaran hampir mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit
yang akan menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan,
dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara
orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau orang-
orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di
tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya
akan diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah
mengenalnya seperti ia mengenal mereka.
Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-
baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi.
Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi.
Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia
diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika
orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan.
Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk
menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu sebelum
jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan
menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi
sempat melarikan diri. Tetapi ketika Bantaran bermaksud
membisiki Nyi Penjawi tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara
sekian banyak orang yang berdiri di tanah lapang itu muncullah
seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang.
dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring,
“Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 94
Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar
pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu menjadi
hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan. Tetapi dalam pada itu
semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-
lahan namun pasti, menyibak orang-orang yang berada di
depannya, menuju ke arah dua orang yang agaknya memimpin
rombongan orang-orang Pamingit itu. Ketika mereka melihat orang
itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah
Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya
di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya
menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit
yang garang-garang itu…?
Tetapi, sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa
seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu belum
pernah dilihatnya.
“Nyai….” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, “Adakah ia orang
baru…?”
Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. “Aku belum pernah
melihatnya, Kakang.”
Bantaran menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menebak,
siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya itu.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas keselamatan orang itu. Dua
orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah
orang yang dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan
Talang Semut. Dua orang yang lebih suka mempergunakan
tangannya daripada mulutnya. Apalagi pengakuan orang itu hanya
akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab orang yang
bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal
siapakah orang yang bernama Bantaran, sehingga
pengorbanannya akan menjadi sia-sia. Sebab akhirnya mereka
masih akan mencari orang yang dikehendakinya. Karena itu
Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah pengorbanan yang
dianggapnya akan sia-sia saja.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 94
Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat dan berteriak,
tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia menoleh, ia
terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser dari tempatnya.
Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai beberapa saat ia tak
dapat berkata-kata. Baru setelah debar jantungnya berkurang,
terdengarlah ia berdesis, “Tuan… Bukankah Tuan….”
“Ssst… jangan kau sebut nama itu,” potong orang yang
menggamitnya.
Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun ia masih agak
bingung menanggapi kehadiran orang yang samasekali tak
disangka-sangka itu.
“Tuan….” sambungnya sambil tergagap, “Kenapa Tuan tiba-
tiba saja berada di tempat ini…?”
Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar.
“Bantaran… ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya
tetap tenang. Tetapi ketika kau lihat aku, kau menjadi
kebingungan.”
Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil
menjawab, “Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di hati,
daripada monyet-monyet dari Pamingit itu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya
memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, “Apalagi orang-
orang Pamingit itu akan menangkap kau.”
Bantaran tersadar akan bahaya yang mengancam. Tetapi
bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang aneh yang
mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di sampingnya sekarang ada
Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya.
“Tuan, aku menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama
Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng.”
Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama mengangkat
wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 94
Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng
dan Talang Semut.
Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan, “Agaknya
orang itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah
dengan delapan orang lainnya.”
“Jangan risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.
Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya. “Kenalkah
Tuan dengan orang itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih tetap memandang
kepada orang yang menamakan diri Bantaran, yang sekarang
sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.
“Siapakah dia…?” desak Bantaran.
“Paman guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“O….” Suara Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan.
Baru kemudian ia meneruskan, “Alangkah bodohnya aku. Kalau
demikian sepuluh orang itu samasekali tidak akan berarti.”
Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan kata-kata
Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng melangkah
maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, “Kaukah
yang bernama
Bantaran…?”
Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah
Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, “Ya, akulah
Bantaran.”
Sekali lagi temu Ireng memandang orang yang berdiri di
hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia tertawa
terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan kemarahannya yang
hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu tiba-
tiba terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 94
kawannya yang masih berada di atas kudanya. “Hai… Adi Talang
Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku,
adakah orang ini Bantaran…?”
Orang-orang yang berada di tanah lapang itu hatinya menjadi
tegang. Mereka samasekali belum pernah mengenal orang aneh
yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi disamping itu, orang-
orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati,
menjadi malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia
melindungi pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang
Banyubiru sendiri untuk berbuat lebih banyak lagi?
Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah marahnya. Ia
mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara. Semakin
dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang
menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah
Bantaran. Bahkan sampai ia menggigit bibirnya sendiri.
Talang Semut ternyata tidak menjawab pertanyaan Temu
Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena ia
merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang
disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin melindungi
pemimpinnya, sehingga Talang Semut merasa tidak perlu
bertanya-tanya lagi. Maka ketika kudanya telah dekat benar
dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya cambuknya tinggi-
tinggi sambil menggeram keras.
Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya
dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara.
Hampir semua orang yang menyaksikan peristiwa itu seakan-
akan berhenti bernafas. Talang Semut bagi orang Banyubiru tak
ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun tangan,
maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat
lagi melihat matahari terbit. Demikianlah mereka menyangka
bahwa orang yang mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi
korban kemarahan Talang Semut.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 94
Tetapi sekejap kemudian, dada mereka terguncang
menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan beberapa
orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa
yang mereka saksikan samasekali diluar dugaan mereka.
Ketika cambuk itu melayang ke arah tubuhnya, Kebo Kanigara
meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai cambuk itu.
Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang Semut
memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu
tak terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang
Semut bukanlah tandingan Kebo Kanigara, sehingga ketika
Kanigara menariknya lebih keras lagi, tubuh Talang Semut-lah
yang ikut terseret dari kudanya. Karena Talang Semut tidak
menduga, maka untuk sesaat ia kehilangan akal. Ketika ia sadar,
tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya
sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah
pelipisnya. Semuanya itu berlangsung sedemikian cepatnya
sehingga Talang Semut tidak mempunyai kesempatan samasekali
untuk membela diri. Yang terjadi kemudian adalah pelipisnya
seolah-olah membentur dinding baja. Begitu kerasnya sehingga
tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang. Sesaat
kemudian ia samasekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang
sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di tanah. Pingsan.
Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi di depan hidungnya.
tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu kekuatan gaib. Bermimpi
pun ia tidak. Bahwa ada orang yang dapat sedemikian mudahnya
mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng
adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora
Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu
adalah seorang yang masih terhitung muda. Tiba-tiba Temu Ireng
sampai pada suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi atas
kesalahan Talang Semut sendiri. Sebab agaknya ia kurang berhati-
hati. Dengan demikian ia kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah
kemudian dengan menggeram Temu Ireng mencabut goloknya,
dan dengan berteriak keras ia langsung menyerang Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 94
Dalam pada itu Dadahan beserta kawan-kawannya telah
menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang
mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau
membiarkan Temu Ireng bertempur seorang diri. Dengan demikian
mereka beramai-ramai menyerang Kebo Kanigara.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang hampir sempurna
dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan ilmu perguruan
Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang
menyerangnya bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia
samasekali tidak gugup. Bahkan kemudian dengan lincahnya ia
menyambut setiap serangan yang datang.
Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran yang ribut.
Empat orang berkuda bertempur melawan seorang yang meloncat-
loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan
kemudian keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi
bingung, karena kuda-kuda mereka saling melanggar. Sesekali
kalau Kebo Kanigara sempat, ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat
itu ke perut salah satu kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya,
sehingga dengan terkejut kuda itu meringkik dan melonjak-lonjak.
Beberapa penunggang kuda yang lain masih berusaha untuk
dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya orang yang
sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun dalam
pertempuran itu, orang-orang yang berada di tanah lapang
menjadi kacau balau. Mereka berlarian kesana kemari tak tentu
tujuan, menghindarkan diri dari kemungkinan terinjak oleh kaki-
kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar.
Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik
kepada Bantaran, “Bantaran… masih adakah keluarga Penjawi
yang lain yang perlu diselamatkan dari kemarahan orang Pamingit
kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 94
“Keluargaku… tidak Tuan. Mereka semua telah mengungsikan
diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah tidak ada, kecuali seorang
kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.
“Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung
Mahesa Jenar, “Supaya ia tidak memikul tanggungjawab atas
peristiwa ini. Sebab mungkin besok atau lusa, Saraban benar-
benar menjadi gila. Juga orang-orang yang menjadi malu atas
kekalahannya dari Paman Guru itu.”
Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,
“Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”
“Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar.
“Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami
tinggalkan di sana.”
Sekali lagi Bantaran mengangguk.
“Disamping itu….” lanjut Mahesa Jenar, “Aku ingin mendapat
keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau
persiapkan bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi
kita memerlukannya.”
“Baiklah Tuan,” sahut Bantaran.
“Hati-hatilah,” bisik Mahesa Jenar kemudian. “Aku harap kita
dapat bertemu sebelum fajar.”
Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi, untuk mengikuti segala
petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut serta
menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi. Demikian pula
Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha
mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah
lapang yang terkutuk itu. Usaha Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu
sukar. Dalam puncak kekacauan, kelima orang berkuda yang
berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata
tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo
Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 94
sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa
orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu
tanpa menghiraukan apapun juga.
Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap
menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak
berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-
orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-
olah menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang
yang ketakutan.
Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong, kecuali
Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan orang-orang
berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain, yang
tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin
menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang
menamakan dirinya Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari
kekacauan dan kegagalan mereka menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya telah
selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar telah berhasil
menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera
mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh
tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan orang
Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika
seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata
sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara
tidak saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun
meloncat keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang
menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi
kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu
sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan
yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan
kerasnya terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 94
sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini telah
berada di tangan Kebo Kanigara.
Maka mulailah Kebo
Kanigara bertempur melawan
delapan orang, tetapi kini
dengan pedang ditangan.
Sebagai seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi, maka Kebo
Kanigara selalu dapat menem-
patkan dirinya pada keadaan
yang menguntungkan. Dengan
tangan kiri memegang kendali
kuda, sedang dengan tangan
kanan ia mengayun-ayunkan
pedangnya berputar-putar
dahsyat. Ia dapat memper-
gunakan hampir seluruh tanah
lapang itu sebaik-baiknya.
Sekali-sekali ia melarikan
kudanya menjauhi lawan-
lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar kudanya
cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling depan.
Dengan demikian ia dapat memancing pertempuran melawan
orang-orang Pamingit itu hampir satu persatu. Dan satu persatu
pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-
olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur
melawan delapan ekor serigala. Sekali-sekali garuda itu terbang
tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya yang
runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu persatu.
Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai
orang kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu,
sehingga akhirnya seperti keempat orang yang lain, orang itu jatuh
tersungkur ditanah, dengan tubuh lemas tak berdaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 94
Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu
mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka.
Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu
mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun
juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus
melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan
mungkin memenangkan pertempuran itu.
Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh,
serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada
cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah
lapang itu secepat-cepatnya. Untunglah kalau mereka sempat
datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau
Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang
kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan
ketangkasan orang itu.
Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil
suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama, maka ketika
salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang itu
sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik
menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi,
segera menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan
penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat mereka
dapat.
IV
Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang meninggalkan
gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya
berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar
ditanah lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan
mereka segera datang dan merawat luka-luka mereka. Sebab
Kebo Kanigara samasekali tidak bermaksud membunuh mereka
semua. Kalau diantara terpaksa ada yang menghembuskan napas
penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam bermain
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 94
dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan menjadi
basah karenanya.
Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada Mahesa
Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia berjanji untuk segera
kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat. Karena itu
sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara
meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke
Sendang Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan
halaman-halaman kosong seperti yang dilaluinya semula, karena
ia tidak mengenal daerah dan jalan-jalan lain di Banyubiru. Tetapi
dengan demikian, beruntunglah ia, karena sesaat kemudian lamat-
lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih banyak dari semula,
menuju ketanah lapang dimana ia baru saja bertempur. Karena
itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak terkejar oleh
orang-orang yang pasti akan mencarinya.
Baru ketia ia telah menyusup ke semak-semak, mengambil
jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat
larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan
setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat.
Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka
berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa Jenar,
Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan
Kebo Kanigara, katanya, “Sudah puaskah Kakang bermain-main
dengan orang Pamingit?”
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab
sambil tersenyum pula, “Mereka adalah kawan bermain yang baik.
Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”
Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab, “Sayang
mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka
naik kuda.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 94
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri
sendiri, “Aku terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab
aku tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik diantara
mereka yang terbunuh.”
Mahesa Jenar samasekali tidak menyahut. Ia tahu betul
perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya, dalam
keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan
langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa
menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak
seorangpun yang akan dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran.
Sebagai seorang pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-
heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana
seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga
menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing
membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang
berbeda-beda.
Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada
Bantaran, “Bantaran… aku masih ingin mendapat beberapa
keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi. Sebab mau tidak
mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti tetap pada
pendiriannya, kita akan memerlukannya.”
Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
“Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi
sampai saat ini kami samasekali tidak mendapat bimbingan yang
baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang
kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung
Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih
daripada pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”
“Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 94
“Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka
ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki Ageng Gajah
Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
“Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba
bertanya.
“Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab
Bantaran. “Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia berkata, “Bantaran, agaknya Wanamerta benar-benar belum
berhasil mencari hubungan dengan kalian. Ketahuilah bahwa
Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”
“Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Dan selama ini Arya salaka dalam
keadaan selamat.”
“Syukurlah,” sahut Bantaran. “Memang demikianlah berita
yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini
sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka
aku dapat mempercayainya.”
“Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran. “Tetapi aku kira
dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang
mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya
Salaka selalu bersama-sama dengan Tuan.”
Kembali Mahesa Jenar mengangguk=anggukkan kepalanya.
Katanya, “Berita itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung
Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya berusaha membunuh Arya
Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya.
Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan Sawung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 94
Sariti. Maka katanya, “Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan
selamatkan.”
“Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa
Jenar.
Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung
Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda yang
tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana.
Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa
Jenar, apakah anak itu akan dapat menyamai ketangguhan
Sawung Sariti. Malahan, seandainya paman guru Mahesa Jenar itu
yang mendidiknya, ia masih belum yakin bahwa Arya dapat
menyamai Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah
seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau
menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan
dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan, “Yang penting
bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu
terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang
singkat aku akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah
mereka.”
Tiba-tiba dada Bantaran terasa seolah-olah mengembang
karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di tengah-tengah
mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad baja,
yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang
diluar kekuasaan manusia.
“Karena itu….” Mahesa Jenar meneruskan, “Bersiaplah
menghadapi masa yang menentukan.”
“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap. “Akan kami kabarkan
hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang
mereka lakukan itu mempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 94
“Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya
Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
“Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat. “Di sekitar
candi itu kami menempatkan laskar kami.”
“Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di
sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat
terakhir.”
Demikianlah, mereka mengakhiri pembicaraan. Setelah sekali
lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong
Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk
segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti
telah menunggunya. Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah
Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta
ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah
beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk
melihat perkembangan daerah itu.
Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata kepada
laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru,
pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya.
Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu
singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-
tengah mereka.
Di perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan
kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru. Kemunduran
dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga
apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan, melintasi padang-
padang rumput, hutan-hutan yang tidak begitu lebat, mendaki
lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk
kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 94
di hadapan mereka, setelah mereka bermalam di bawah
bentangan langit biru.
Sedang pedukuhan yang tampak di hadapan mereka, seperti
pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan
Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-
butir padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah
lautan yang berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah
beberapa puluh orang perempuan seperti semut yang terapung-
apung, sudah mulai menuai padi.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan
wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan para petani
Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka
selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya. Lebih
daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang
telah dicapai oleh pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian.
Setelah puas memandang sawah yang terbentang di hadapan
mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda masing-masing,
dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar
yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan
terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi,
seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua
orang yang baru datang itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan
adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena mereka berdua
telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil
itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia
segera berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat
pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan
Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut
kedatangan tamu-tamu mereka.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di halaman
kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 94
heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang
hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka
mengetahui duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang
sedemikian itu sebenarnya samasekali tak mereka kehendaki.
Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang
daripada melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang
mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil pancaran dari
sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika mereka
mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak dapat
terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban
yang penting telah menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu
malam saja, untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan
perjalanan ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang
dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan Mahesa
Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan
meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
“Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya
Wiradapa.
“Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah
Gedangan itu.
“Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari
ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata, “Kecuali itu,
perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan
putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada
akhir bulan.”
“Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai
pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia Tuhan
yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta
tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 94
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum. “Baiklah,” jawab
mereka hampir bersamaan.
Kemudian setelah itu, mumpung masih pagi, segera berangkat
ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis.
Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah
mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung
kuda seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan.
Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh penghuni
bukit kecil itu. Para cantrik dan endang. Lebih-lebih lagi, betapa
gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama ditinggalkan
oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai
kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya
Salaka pun menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang
mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan
oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang berbahaya.
Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah
Kebo Kanigara kepada anaknya, “Widuri, apakah Panembahan
dalam keadaan sehat…?”
Dengan manjanya Widuri menjawab, “Yang aku ketahui,
sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam
sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan
ikut serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak
Panembahan mulai dengan samadinya.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa sebenarnya
Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan
padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia
bersama-sama dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan
Anggara.
“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?”
tanya Kanigara kemudian.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 94
Widuri menggeleng. Jawabnya, “Sudah hampir seminggu
Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
berkata, “Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah
melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya Salaka
sambil berbisik, “Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku
katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka
berdua tersenyum. Jawab Kanigara, “Kami akan mencoba
menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya
Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar. “Nanti sesudah kami
menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah.
Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap
gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya
lagi.
Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah
kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata
sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada
sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya
kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan
perasaan gembira mereka berdua disambutnya serta segera
dipersilakan masuk.
“Marilah Angger berdua… beberapa hari aku menjadi gelisah
atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua tidak
menemui halangan sesuatu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 94
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat,
sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.
“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan
itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung
Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka
hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan
mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui
seluruhnya.
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,
“Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan
ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini
makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk
mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya
segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula
bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam
segala bidang, terutama kemunduran akhlak.
“Panembahan….” kata Mahesa Jenar kemudian, “Menurut
pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu
harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke
sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk
membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan
kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah. Karena itu ia
menjawab, “Kau benar Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih
dahulu. Aku masih belum dapat membebaskan ayahnya. Aku
harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat
menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 94
Banyubiru setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang
terjadi sebelum itu, seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam
mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”
Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah yang
akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang lebih besar,
yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka
cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng
Gajah Sora adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya.
Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan sebagian saja
dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan
Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk
membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten.
Syukurlah kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai
tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum seluruhnya.
Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali ke
tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan.
Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya
dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar Banyubiru, serta
pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa
Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya
mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab
tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan
mampu melakukan pekerjaan berat itu.
“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar….”
Panembahan Ismaya menasihati, “Sebab apa yang akan dilakukan
oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau harus
berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan
darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya
untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 94
diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya
berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka
mereka pasti akan berkeras kepala. Selain daripada itu, kau harus
mempersiapkan Arya Salaka untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam
setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan
keseimbangan.”
Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal yang
perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki Ageng
Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru,
dan menitipkan anaknya kepadanya.
Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan
Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri
untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri
dari persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan
Banyubiru.
Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa
Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera ia bertanya,
apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab, “Panembahan
bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat
Panembahan marah?”
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab, “Aku selalu cemas
bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada
Paman dan Paman Kanigara.”
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya, “Tidak.
Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang
Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna
bagiku dan Kakang Kanigara.”
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi
penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 94
tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena
Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah
cukup siap untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar
kini tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Juga dijelaskan apa yang
sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-
larut.
Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan
menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan
Banyubiru sepeninggal ayahnya.
Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa
Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis
dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan selalu berkisar
pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta
berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita
yang dapat membakar dada Arya Salaka. Sebagai orang tertua,
yang pada saat Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima
tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya
kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora samasekali
tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang
keji, ia benar-benar sakit hati.
Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya
Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang
sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula
tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih
sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan
olah senjata. Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa
perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat
setelah orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir
seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur
melawan Sawung Sariti. Untunglah bahwa di bukit kecil itu ia
mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang memiliki
cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari
Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 94
dalam hati tentang persamaan yang sedemikian dekatnya antara
Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan
itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia
menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi
jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan sendirinya.
tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.
Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya
Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi
juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima
dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari
perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya.
Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat
mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan
Endang Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham
kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat itu
terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal
dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi
yang mengelabuhi lawan.
Maka, ketika segala sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah
Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari pekerjaannya menjelang
keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa
Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan.
Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan
terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan
kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar
biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup yang hampir
setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang baik dalam
pekerjaannya itu.
Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan,
bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha. Usaha
yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 94
citanya, namun segala keputusan terakhir dari semua masalah,
terletak ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala
macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala sesuatunya
sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan
itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan
kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan
untuk mengizinkan Kebo Kanigara pergi bersamanya.
Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan
hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit,
yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan,
bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya
untuk melakukan tindakan kekerasan. Padahal, seharusnya setiap
bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat
menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di
dunia ini masih saja ada yang samasekali tidak menghiraukan
kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas
manusia-manusia yang lain. Dan terhadap manusia-manusia yang
demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk
mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara
yang samasekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia.
Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya
berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu
kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan
hidup dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka
selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara
hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat
untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta
kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada
manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah
menodainya. Di sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan
jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian
bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 94
Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang
hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai
puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala
macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah,
kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru
menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan
Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka
Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk
selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang
Panembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar hanya
dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun
didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang
tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya
Salaka yang terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah
terampas dari tangannya.
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya
Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya,
“Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari
cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak,
bahwa seseorang memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada
orang yang berbudi luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang
berbudi rendah dan berjiwa kecil. Ada orang yang
mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu
satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu
tercermin dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang
menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia
mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri
sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai.
Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri
membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih
untuk mencemerlangkan diri.