1073b - dinamika hukum ketenagakerjaan indonesia - final - agusmidah_bab 1
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PEMAHAMAN ISTILAH
A. KOMPETENSI
Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang berbagai pengertian dasar dalam Hukum Ketenagakerjaan, sifat, objek dan landasan Hukum Ketenagakerjaan.
B. INDIKATOR
Mahasiswa diharapkan mampu: 1. menjelaskan pengertian‐pengertian yang dikenal
dalam Hukum Ketenagakerjaan. 2. menjelaskan sifat Hukum Ketenagakerjaan 3. menjelaskan objek Hukum Ketenagakerjaan 4. menjelaskan landasan, asas dan tujuan dari Hukum
Ketenagakerjaan
C. DAFTAR ISTILAH KUNCI
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pekerja/buruh yaitu: “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
D. MATERI
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan/Hukum Perburuhan1 Ada berbagai rumusan tentang arti dari istilah Hukum
Ketenagakerjaan. Termuat di buku Iman Soepomo yang berjudul Pengantar Hukum Perburuhan beberapa pengertian yang diambil dari ahli hukum perburuhan. Beberapa di antaranya adalah:2
1 Dalam buku ini istilah Hukum Ketenagakerjaan sepadan dengan istilah
Hukum Perburuhan sehingga istilah ini akan digunakan secara silih berganti dengan makna yang sama.
2 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Djambatan, Jakarta, Cet. XI, 1995), hlm. 1‐2.
2
Molenaar; sarjana Belanda ini mengatakan bahwa "ar‐beidsrecht" (Hukum Perburuhan) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.
Istilah "Arbeidsrecht" menurutnya harus dibatasi pada hukum yang bersangkutan dengan orang‐orang yang berdasarkan perjanjian‐kerja, bekerja pada orang lain. Apabila mereka tidak ataupun tidak lagi atau pun belum bekerja pada orang lain, tidak termasuk dalam pembahasan hukum perburuhan.
M.G. Levenbach; merumuskan hukum perburuhan atau arbeidsrecht sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan keadaan penghidupan yang langsung ada sangkut‐pautnya dengan hubungan‐kerja, dimaksudkannya peraturan‐peraturan mengenai persiapan bagi hubungan‐kerja yaitu penempatan dalam arti‐kata yang luas, latihan dan magang, mengenai jaminan social buruh serta peraturan‐peraturan mengenai badan dan organisasi‐organisasi di lapangan perburuhan.
N.E.H van Esveld; beliau tidak membatasi lapangan "arbeidsrecht" pada hubungan kerja dimana dilakukan dibawah pimpinan (pengusaha/ majikan), namun menurutnya meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
Pendapatnya ini di sandarkan pada penyangkalan atas teori Marx di mana dalam Hukum Perburuhan yang menjadi pusat perhatian adalah soal pekerjaan dan bukan kedudukan para buruh (dibawah perintah majikan). Pendapat ini dipengaruhi oleh ajaran Katolik yang memaknakan pekerjaan dalam pengertian yang luas, walaupun yang utama tentang pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh.
MOK; berpendapat bahwa “arbeidsrecht” adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan tersebut.
3
Iman Soepomo; dari berbagai pengertian di atas beliau membuat rumusan tentang arti kata Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.3
Perkembangan istilah dewasa ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “Perburuhan”, “buruh”, “majikan” dan sebagainya yang dalam literatur lama masih sering ditemukan sudah digantikan dengan istilah “Ketenagakerjaan” sehingga dikenal istilah “Hukum Ketenagakerjaan” untuk menggantikan istilah Hukum Perburuhan, juga sejak tahun 1969 dengan disahkannya UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja istilah buruh digantikan dengan istilah “tenaga kerja” yang artinya adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Suatu perumusan yang luas karena meliputi siapa saja yang mampu bekerja baik dalam hubungan kerja (formal) maupun diluar hubungan kerja (informal) yang dicirikan dengan bekerja di bawah perintah orang lain dengan menerima upah.4
Kini istilah Hukum Perburuhan semakin tidak populer dengan diundangkannya UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) yang menjadi UU payung bagi masalah‐masalah yang terkait dengan Hukum Perburuhan/Hukum Ketenagakerjaan. Di beberapa perguruan tinggi di Indonesia mata kuliah Hukum Perburuhan juga telah banyak digantikan dengan istilah lain seperti Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Hubungan Industrial.
Kelompok yang lebih memilih istilah buruh dan Hukum
Perburuhan menyatakan bahwa istilah ini lebih fokus dan menjelaskan langsung pada makna sesungguhnya yang
3 Ibid, hlm. 3. 4 Lihat UU No. 14 Tahun 1969, LN No. 55 Tahun 1969 dan Penjelasannya,
khususnya Penjelasan atas Pasal 1.
4
dimaksudkan dalam Hukum Perburuhan yaitu segala hal yang berkaitan dengan persoalan kerja upahan dan kerja tersebut atas perintah orang lain yang disebut majikan/pengusaha. Bagi kelompok ini istilah Hukum Ketenagakerjaan mencakup pengertian yang luas, mencakup siapa saja yang mampu bekerja untuk menghasilkan barang dan jasa, tidak terbatas apakah itu manusia (human being), hewan, atau mesin‐mesin.
Terlepas dari perdebatan itu yang penting bagi kita adalah mengetahui pengertian tiap istilah dengan baik sesuai rumusan normative yang berlaku. Oleh karena itu akan digunakan istilah Hukum Perburuhan dan Hukum Ketenagakerjaan sebagai istilah yang sepadan dan memiliki makna yang sama sebagaimana UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja dengan istilah buruh sebagai dua kata yang memiliki makna sama dan selalu ditulis dengan pekerja/buruh.
2. Pengertian Ketenagakerjaan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
merumuskan pengertian istilah Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja/buruh baik itu menyangkut hal‐hal yang ada sebelum masa kerja (preemployment) antara lain menyangkut pemagangan, kewajiban mengumumkan lowongan kerja, dan lain‐lain. Hal‐hal yang berkenaan selama masa bekerja (duringemployment) antara lain menyangkut perlindungan kerja: upah, jaminan social, kesehatan dan keselamatan kerja, pengawasan kerja, dan lain‐lain. Hal‐hal sesudah masa kerja antara lain pesangon, dan pensiun/jaminan hari tua.
Abdul Khakim5 merumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan dari unsur‐unsur yang dimiliki yaitu:
(1) Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
(2) Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan.
(3) Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain,
5 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
UU No. 13 Tahun 2003 (Bandung, PT Citra Aditya Bhakti 2003), hlm. 5‐6.
5
dengan mendapat upah sebagai balas jasa. (4) Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi
masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya.
Menurutnya Hukum Ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya. Hal ini jelas bahwa Hukum Ketenagakerjaan tidak mencakup pengaturan:
(1) Swapekerja (2) Kerja yang dilakukan untuk orang lain atas dasar
kesukarelaan. (3) Kerja seorang pengurus atau wakil suatu organisasi/
perkumpulan.
3. Pengertian Tenaga Kerja Telah disinggung sedikit tentang pengertian tenaga kerja
pada bagian ini akan kembali dijelaskan bahwa menurut UU 13 Tahun 2003 Tenaga kerja adalah: “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”
Menurut Payaman Simanjuntak tenaga kerja (manpower) adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia.6
Tenaga kerja (manpower) terdiri dari angkatan, kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labour force terdiri dari:
(1) Golongan yang bekerja, dan (2) Golongan yang menganggur atau yang sedang
mencari pekerjaan.
Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari:
(1) Golongan yang bersekolah; (2) Golongan yang mengurus rumah tangga; dan
6 Sedjun H. Manulang, Pokokpokok Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, (Jakarta, PT Rineka Cipta, Cet. II, 1995), hlm. 3.
6
(3) Golongan lain‐lain atau penerima pendapatan. Golongan yang bersekolah adalah mereka yang kegiatan‐
nya hanya atau terutama bersekolah. Golongan yang mengurus rumah tangga adalah mereka yang mengurus rumah tangga tanpa memperoleh upah. Sedang yang tergolong dalam lain‐lain ini ada 2 macam yaitu:
a) Golongan penerima pendapatan, yaitu mereka yang tidak melakukan suatu kegiatan ekonomi tetapi memperoleh pendapatan seperti tunjangan pensiun, bunga atas simpanan uang atau sewa atas milik; dan
b) Mereka yang hidupnya tergantung dari orang lain misalnya karena lanjut usia (jompo), cacat atau sakit kronis.
Ketiga golongan dalam kelompok bukan angkatan kerja ini kecuali mereka yang hidupnya tergantung dari orang lain sewaktu‐waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu kelompok ini sering juga dinamakan sebagai Potential Labour Force (PLF).
Jadi tenaga kerja mencakup siapa saja yang dikategorikan sebagai angkatan kerja dan juga mereka yang bukan angkatan kerja, sedangkan angkatan kerja adalah mereka yang bekerja dan yang tidak bekerja (pengangguran).
4. Pengertian Buruh, Pekerja, Swapekerja, dan Pegawai UU No. 13 Tahun 2003 menetapkan bahwa penggunaan
istilah pekerja selalu dibarengi dengan istilah buruh yang menandakan bahwa dalam UU ini dua istilah tersebut memiliki makna yang sama. Dalam Pasal 1 Angka 3 dapat dilihat pengertian dari Pekerja/buruh yaitu: “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang melekat dari istilah pekerja/buruh yaitu:
a. Setiap orang yang bekerja (angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja tetapi harus bekerja)
b. Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Dua unsur ini penting untuk membedakan apakah seseorang masuk dalam kategori pekerja/buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan atau tidak, di mana dalam UU
7
Ketenagakerjaan diatur segala hal yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/ majikan.
Swapekerja perlu untuk dipahami artinya oleh karena golongan ini jelas tidak termasuk golongan yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan. Swapekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan dengan bebas, dalam arti tidak dibawah perintah orang lain melainkan atas inisiatif sendiri, bekerja dengan dana, tanggung jawab dan risiko sendiri, contoh: tukang‐tukang yang bekerja atas usaha sendiri dan kerja bebas misal dokter atau pengacara/advokat yang menjalankan praktek secara mandiri.
Pengertian bebas dari perintah orang lain dimaksudkan dengan tidak bekerja di bawah pimpinan orang/pihak lain. Hal ini karena untuk seorang tenaga profesional misalnya dokter, ia bekerja dengan inisiatif sendiri sehingga ada kebebasan dalam menjalankan pekerjaannya, namun jika ia adalah dokter di sebuah rumah sakit swasta maka ia adalah pekerja di RS tersebut yang bekerja di bawah pimpinan pihak lain yaitu pimpinan RS.
Istilah Pegawai umumnya digunakan untuk menunjuk golongan orang yang bekerja pada Negara (pegawai negeri). Golongan ini tidak tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan karena ada UU yang khusus mengaturnya yaitu UU Kepegawaian. Saat ini berlaku UU 8 Tahun 1974 Tentang Pokok‐pokok Kepegawaian jo UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU 8 Tahun 1974 Tentang Pokok‐pokok Kepegawaian.
Jika dibuat dalam bentuk matrix untuk membandingkan istilah‐istilah tersebut maka dapat dibuat sebagai berikut:
Pekerja/buruh swapekerja pegawai
Bekerja di bawah perintah pihak lain (pengusaha/majikan)
Tidak di bawah perintah/pimpinan pihak lain
Bekerja di bawah perintah negara
Resiko ditanggung pengusaha/majikan
Resiko ditanggung sendiri
Resiko ditanggung pemerintah.
Menerima upah/gaji Menerima keuntungan/laba
Menerima gaji/upah
Diatur oleh UU dan peraturan Ketenagakerjaan
Tidak ada aturan khusus yang mengatur.
Diatur oleh UU No 8 Tahun 1974 jo UU No. 43 Tahun 1999.
8
5. Perkembangan Sifat Hukum Perburuhan Sifat Hukum secara umum ada dua yaitu:
a. Hukum mengatur dan b. Hukum memaksa
Hukum perburuhan awalnya merupakan bagian dari Hukum Perdata oleh karena hubungan kerja adalah hubungan privat yang masuk dalam lingkup Hukum Perjanjian (kerja).
Perkembangan masyarakat dan perkembangan pemikiran tentang fungsi Negara dan hukum khususnya menyangkut peran Negara dalam mewujudkan masyarakat sejahtera (welfare state) telah meninggalkan konsep Negara “penjaga malam”. Wujud campur tangan Negara dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakatnya antara lain dengan membuat aturan‐aturan untuk masalah hubungan kerja (perburuhan) di mana hubungan kerja merupakan hubungan/peristiwa privat.
a. Sifat Hukum Perburuhan sebagai Hukum Mengatur (Regeld)
Ciri utama dari Hukum Perburuhan/ketenagakerjaan yang sifatnya mengatur ditandai dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa, dengan kata lain boleh dilakukan penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian (perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama). Sifat Hukum mengatur disebut juga bersifat fakultatif (regelendrecht/aanvullendrecht) yang artinya hukum yang mengatur/melengkapi, sebagai Contoh aturan ketenagakerjaan/perburuhan yang bersifat mengatur/ fakultatif adalah:
• Pasal 51 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai pembuatan penjanjian kerja bisa tertulis dan tidak tertulis. Dikategorikan sebagai Pasal yang sifatnya mengatur oleh karena tidak harus/wajib perjanjian kerja itu dalam bentuk tertulis dapat juga lisan, tidak ada sanksi bagi merka yang membuat perjanjian secara lisan sehingga perjanjian kerja dalam bentuk tertulis bukanlah hal yang imperative/memaksa;
• Pasal 60 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai
9
perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga) bulan. Ketentuan ini juga bersifat mengatur oleh karena pengusaha bebas untuk menjalankan masa percobaan atau tidak ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak tertentu/permanen.
• Pasal 10 ayat(1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bagi pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. Merupakan ketentuan hukum mengatur oleh karena ketentuan ini dapat dijalankan (merupakan hak) dan dapat pula tidak dilaksanakan oleh pengusaha.
• Buku III Titel 7A Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Buku II Titel 4 Kitab Undang‐Undang Hukum Dagang (KUHD).
b. Sifat Memaksa Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan/Ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, yang berarti meng‐atur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah, maka Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan bersifat privat (perdata). Di samping itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah‐masalah tertentu diperlukan campur tangan pemerintah. Campur tangan ini menjadikan hukum ketenagakerjaan bersifat publik.7
Sifat publik dari Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan ditandai dengan ketentuan‐ketentuan memaksa (dwingen), yang jika tidak dipenuhi maka negara/pemerintah dapat melakukan aksi/tindakan tertentu berupa sanksi. Bentuk ketentuan memaksa yang memerlukan campur tangan pemerintah itu antara lain: a. Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau
tindak pidana bidang ketenagakerjaan. b. Adanya syarat‐syarat dan masalah perizinan, misalnya
• Perizinan yang menyangkut Tenaga Kerja Asing; • Perizinan menyangkut Pengiriman Tenaga Kerja
Indonesia ; • Penangguhan pelaksanaan upah minimum dengan izin
dan syarat tertentu;
7 Baca Iman Soepomo, Pengantar…, (Op.Cit), hlm. 8‐9.
10
• Masalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja;
• Syarat mempekerjakan pekerja anak, dan sebagainya. Budiono8 membagi sifat Hukum Ketenagakerjaan menjadi 2 (dua), yaitu bersifat imperatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht (hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh dilanggar. Contoh:
a. Pasal 42 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai perlunya izin penggunaan tenagakerja asing.
b. Pasal 59 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai ketentuan pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
c. Pasal 153 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai larangan melakukan PHK terhadap kasus‐kasus tertentu.
d. Pasal 3 Undang‐Undang Nomor 12 Tahun 1964, mengenai perlunya izin (permohonan penetapan) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
6. Objek Hukum Perburuhan Objek Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan artinya
adalah segala sesuatu yang menjadi tujuan diberlakukannya Hukum perburuhan/Ketenagakerjaan. Ada 2 hal utama yang menjadi objek/tujuan nya yaitu:9
a. Terpenuhinya pelaksanaan saksi hukuman, baik yang bersifat administrative maupun bersifat pidana sebagai akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan.
b. Terpenuhinya ganti rugi bagi pihak yang berhak sebagai akibat wan prestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah disepakati.
UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa tujuan Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan adalah mencapai tujuan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya dengan
8 Dalam buku Abdul Khakim, (Op.Cit), hlm. 8 9Iman Syahputra Tunggal, Dasar‐dasar Hukum Ketenagakerjaan
(Harvarindo, Jakarta, 2007), hlm 17.
11
meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja guna mewujudkan masyarakat sejahtera, makmur dan adil.10
Tujuan ini penting ditetapkan oleh karena dalam Hukum Ketenagakerjaan terlibat pihak‐pihak yang umumnya berada pada posisi yang tidak seimbang baik secara sosial, dan ekonomis. O. Kahn Freund11 menyatakan timbulnya Hukum Ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidak setaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan) dengan alasan itu pula dapat dilihat bahwa tujuan utama Hukum Ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya. Ketimpangan hubungan antara pekerja/buruh dengan majikan/pengusaha digambarkan oleh H. Sinzheimer sebagai berikut:12
“The employer direct the labour force which must put itself as his disposition…He directs that labour force as he wishes, placed at his service by way of the individual’s ‘free contract’ of employment…(which is) nothing other than a ‘voluntary’ submission to conditions that cannot be changed by the worker”.
Jika diterjemahkan secara bebas mengandung arti bahwa pengusaha adalah pihak yang mampu menentukan keadaan perburuhan sesuai dengan keinginannya, bahkan melalui sarana ‘kebebasan berkontrak’, di mana kebebasan berkontrak yang dimiliki tiap‐tiap pekerja/buruh tidak lebih dari sebuah ‘kepatuhan secara sukarela’ terhadap kondisi‐kondisi yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha/majikan.
Senada dengan hal tersebut bagi G. Ripert13 diaturnya masalah kerja dalam hukum sosial tersendiri (dalam hal ini Hukum Ketenagakerjaan) adalah akibat kenyataan sosial yang dalam kehidupan ekonomis mengalami pergeseran, di mana
10 Lihat Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 2 UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. 11 Sebagaimana dikutip oleh Geoffrey Kay and James Mott, Political Order
and The Law Of Labour (The Macmillan Press Ltd, London, 1982), hlm. 112. Juga dalam tulisan Claire Kilpatrick, Has New Labour Reconfigured Employment Legislation? (Industrial Law Journal, Vol. 32, No.3, September 2003), hlm.137.
12 Merupakan tokoh yang berpengaruh kuat (disebut sebagai mentor) dalam pemikiran O. Kahn Freund. Dikutip dari Lord Wedderburn, Collective Bargaining or Legal Enactment: The 1999 Act and Union Recognition, Industrial Law Journal (Vol. 29, No. 1, Maret 2000), hlm. 3.
13 La Regime Democratique et Le Droit Civil Moderne, 1936 dalam FJHM Van der Ven, Pengantar Hukum Kerdja, Terj. Sridadi (Kanisius, Cet II, 1969), hlm. 9.
12
perlindungan kepentingan kerja dalam kontrak/perjanjian kerja merupakan kepentingan umum yang tidak dapat lagi diabaikan berdasarkan asas kebebasan individu serta otonomi individu dalam mengadakan kontrak/perjanjian kerja.
7. Landasan dan Asas Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan/Ketengakerjaan memiliki landasan: Idiil yaitu dasar Negara Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.14
Operasional, yaitu program pembangunan nasional yang menjadi landasan pelaksanaan pembangunan Hukum Ketenagakerjaan sebagai bagian dari pelaksanaan pembangunan pada umumnya.15
Asas Hukum perburuhan/Ketenagakerjaan menurut Pasal 3 UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Dalam Penjelasan pasal ini disebutkan bahwa Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.
E. LATIHAN
Jawab pertanyaan berikut: 1. Jelaskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut
sarjana dan menurut UU No. 13 Tahun 2003? 2. Jelaskan cakupan pengaturan ketenagakerjaan yang
dimuat dalam UU No. 13 Tahun 2003? 3. Apa beda antara pekerja/buruh, swapekerja dan
pegawai? 4. Kapan dikatakan Hukum Ketenagakerjaan bersifat
mengatur dan kapan dikatakan bersifat memaksa?
14 Dahulu dikenal dengan istilah GBHN (Garis Besar Haluan Negara) saat ini diistilahkan sebagai Program Pembangunan Nasional (Propenas). Propenas dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM).
15 Pasal 2 UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
13
Sifat manakah yang dominan saat ini? Jelaskan disertai contoh yang relevan.
5. Jelaskan tujuan/objek dari Hukum Ketenagakerjaan? 6. Jelaskan tentang landasan Hukum Ketenagakerjaan
menurut UU No. 13 Tahun 2003?
F. REFERENSI
Buku: Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti 2003.
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, Cet. XI, 1995.
Iman Syahputra Tunggal, Dasar‐dasar Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta, 2007.
Sedjun H. Manulang, Pokok‐pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, Cet. II, 1995.
FJHM Van der Ven, Pengantar Hukum Kerdja, Terj. Sridadi, Kanisius, Cet II, 1969.
Geoffrey Kay and James Mott, Political Order and The Law Of Labour, The Macmillan Press Ltd, London, 1982.
Jurnal: Lord Wedderburn, Industrial Law Journal, Vol. 29, No.
1, Maret 2000, Collective Bargaining or Legal Enactment: The 1999 Act and Union Recognition.
Claire Kilpatrick, Industrial Law Journal, Vol. 32, No.3, September 2003, Has New Labour Reconfigured Employment Legislation?
Peraturan: UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan
Penjelasannya. UU No. 14 Tahun 1969, LN No. 55 Tahun 1969 dan
Penjelasannya.