1 i. pendahuluan 1.1 latar belakang di kawasan...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Fenomena Pemekaran Wilayah di Negara Berkembang (Kasus Empiris
di Kawasan Tembalang)
Pertambahan jumlah penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti
oleh peningkatan kebutuhan ruang. Laju pertumbuhan penduduk yang kian pesat
dari tahun ke tahun membawa konsekuensi pada sebuah kota untuk melakukan
pemekaran wilayah (perkembangan wilayah), akibat keterbatasan wilayah
administratifnya.
Kota dan wilayah negara-negara maju secara umum menunjukkan
keteraturan dalam pemekaran wilayahnya, sehingga menghasilkan kenyamanan,
baik bagi penduduk setempat maupun pendatang. Keteraturan tersebut muncul
karena negara maju mampu mengelola pertumbuhan dan perkembangan kota dan
wilayah dengan baik, disebabkan adanya dukungan faktor ekonomi, sosial,
teknologi, dan tingkat kesadaran masyarakat untuk mewujudkan keteraturan
sangat tinggi.
Fenomena yang terjadi pada kota dan wilayah di negara-negara berkembang
menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang dengan negara maju. Pola
ketidakteraturan dan kesemrawutan yang menimbulkan kesan kumuh dan tidak
sedap dipandang adalah hal yang sering ditemui di negara berkembang. Walaupun
pembangunan di negara berkembang sebenarnya terus berjalan, tetapi hasil
pembangunan terlalu lambat untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang semakin
2
besar jumlahnya, sehingga muncul berbagai permasalahan berikut ini (Daldjoeni,
1998):
a. Muncul permukiman-permukiman kumuh yang dihuni masyarakat dengan
tingkat pendapatan rendah. Munculnya permukiman kumuh ini karena
masyarakat tidak mampu membeli rumah yang harganya sangat mahal.
Akibatnya, keindahan kota tidak terlihat.
b. Muncul pusat-pusat kejahatan. Pusat-pusat kejahatan biasanya tersebar pada
daerah yang padat dan tidak tertata dengan baik.
c. Muncul paradoks, ada bangunan mentereng dengan gedung-gedung megah,
tetapi di sisi lain menghasilkan permukiman yang padat dan kumuh.
Kesenjangan ini berupa munculnya wilayah dengan kemajuan tinggi, tetapi di
sisi lain ada wilayah mengalami stagnasi atau “kemandegan”. Kesenjangan ini
muncul karena persebaran penduduk tidak merata yang menyebabkan proses
pembangunan tidak merata antar wilayah.
d. Muncul wilayah-wilayah yang menampakkan sebagai kawasan yang seolah-
olah tidak tersentuh proses pembangunan, yang dikenal sebagai daerah terisolir
atau terpencil.
Beberapa kota di Indonesia, telah melakukan perluasan wilayah menjadi
beberapa bagian, yang merupakan bagian wilayah kota (BWK) berbentuk
kecamatan atau bahkan telah tumbuh menjadi sebuah provinsi baru yang BWK-
nya berbentuk kota atau kabupaten. Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu
contoh daerah terpadat di Indonesia, pada awalnya membagi wilayahnya menjadi
empat bagian kota, kemudian pada tahun 2002 telah memekarkan wilayahnya
3
sampai ke Kepulauan Seribu yang berbentuk kabupaten. Data dari Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Provinsi DKI Jakarta,
pada bulan Juli 2010 Provinsi DKI Jakarta telah tumbuh menjadi enam BWK
dengan jumlah penduduk mencapai 8.525.109 jiwa.
Kota Semarang sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia juga
mengalami pemekaran wilayah. Ibukota Provinsi Jawa Tengah ini pada tahun
2002 memiliki jumlah penduduk sebesar 1.350.005 jiwa (BPS Kota Semarang,
2003), dan beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006 menjadi 1.433.699
jiwa atau mengalami tingkat pertumbuhan sebesar 1,01 persen (Sutarip, 2006).
Konsekuensinya, Kota Semarang diharuskan memekarkan wilayahnya, semula
hanya 9 kecamatan menjadi 16 kecamatan. Hasil sensus penduduk pada tahun
2011 menunjukkan bahwa Kota Semarang adalah kota terpadat di Provinsi Jawa
Tengah dengan jumlah penduduk 1.544.358 orang (BPS dan Bappeda Kota
Semarang, 2012).
Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu kota
yang saat ini dituntut untuk berkembang seperti kota-kota besar lain di Indonesia.
Perkembangan Kota Semarang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dalam bidang perdagangan, industri, pendidikan maupun kebudayaan yang
memiliki kecenderungan ke arah selatan kota. Hal ini disebabkan oleh kondisi
topografi kota Semarang yang memiliki daerah atas (Semarang atas) dan daerah
bawah (Semarang bawah).
Pemekaran wilayah yang terjadi di Kota Semarang sebagai bentuk antisipasi
laju pertumbuhan penduduk, ternyata berpengaruh terhadap dunia pendidikan.
4
Universitas Diponegoro sebagai salah satu perguruan tinggi di Kota Semarang
yang semakin meningkat jumlah mahasiswanya dari tahun ke tahun, memiliki
keterbatasan lahan untuk memperluas wilayah kampus, terutama lahan yang
terletak di Semarang bawah, yaitu di daerah Pleburan. Sebagai solusi, UNDIP
memiliki kebijakan untuk membagi kegiatan perkuliahan di dua tempat, yaitu di
Semarang bawah (daerah Pleburan) dan Semarang atas, tepatnya di Kawasan
Tembalang.
Pemilihan Kawasan Tembalang sebagai lokasi kegiatan perkuliahan karena
peruntukan yang sesuai dengan tata ruang Kota Semarang, yaitu sebagai daerah
pengembangan pendidikan (Pemkot Semarang, 2011). Selain memiliki fungsi
utama sebagai daerah pengembangan pendidikan, dalam Perda Kota Semarang
Nomor 14 Tahun 2011 juga dinyatakan bahwa BWK VI dan BWK VII
merupakan daerah sub pusat pelayanan kota dan pusat lingkungan, yang
dilengkapi dengan sarana lingkungan perkotaan skala pelayanan BWK yang
meliputi sarana perdagangan dan jasa, sarana kesehatan, sarana peribadatan, dan
sarana pelayanan umum.
Kawasan Tembalang terletak di sebelah selatan Kota Semarang dengan jarak
+ 12 km dari pusat kota, mencakup dua kecamatan, yaitu sebagian Kecamatan
Tembalang dan sebagian Kecamatan Banyumanik (BWK VI dan BWK VII).
dengan ketinggian 200-250 meter dari permukaan laut dan mempunyai hawa
relatif sejuk sehingga sangat cocok untuk pengembangan fasilitas pendidikan,
perumahan, dan permukiman (Pemkot Semarang, 2000).
5
Kondisi awal Kawasan Tembalang sebelum tahun 1980 merupakan lahan
hijau berupa pertanian dan perkebunan penduduk yang berfungsi sebagai kawasan
konservasi sebagai daerah peresapan air. Terdapat beberapa anak sungai yang
mengalir di wilayah Tembalang, dengan manfaat sebagai sistem muara drainase
kawasan dan salah satu sumber air.
Areal persawahan dan perkebunan di Kawasan Tembalang, mulai berubah
menjadi lahan terbangun sejak dimulai pembangunan tahap awal kampus UNDIP,
yaitu pada tahun 1980-an (Samadikun, 2005). Pada dekade awal ini (1980-1990),
Pemerintah Kota Semarang juga sudah mulai membangun prasarana dan
sarana di daerah ini. Selain sudah ada rumah-rumah penduduk asli, sebuah
komplek perumahan sebagai tempat bermukim telah dibangun oleh Pemerintah
Kota Semarang, yaitu Perumahan Daerah (Perumda), sebagai perintis/embrio
munculnya kawasan perumahan yang lainnya.
Kegiatan pembangunan dan perkuliahan UNDIP pada dekade awal telah
menjadi generator pembangunan di Kawasan Tembalang. Daerah yang semula
rural (perdesaan) berangsur-angsur mulai tumbuh menjadi daerah sub urban (sub
kota/bagian wilayah kota).
Fasilitas pendukung kegiatan pendidikan seperti rumah kos (sewa kamar),
rental komputer, warung makan, fotokopi serta fasilitas lainnya juga banyak
bermunculan pada periode 1990-2000. Kemunculan berbagai fasilitas pendukung
yang sangat berperan penting bagi kehidupan mahasiswa tersebut,
perkembangannya dari tahun ke tahun menimbulkan pengaruh yang cukup besar
6
terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya, baik kondisi lingkungan abiotik, biotik,
maupun culture (budaya).
Perubahan yang paling mencolok tampak mulai tahun 1996, karena pada
tahun tersebut UNDIP mulai melakukan kegiatan yang sifatnya administratif
(kegiatan rektorat, dekanat, dan sebagainya) maupun akademik (perkuliahan, dan
sebagainya) di Kawasan Tembalang ini secara menyeluruh, terutama untuk
fakultas-fakultas eksakta, seperti Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, dan sebagainya. Fakultas non eksakta seperti Fakultas
ISIP, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, baru memulai kegiatan administrasi
dan perkuliahan di tahun 2010 (Samadikun, 2005).
Penelitian oleh Samadikun (2005) yang dilakukan secara in-depht interview,
menunjukkan sebanyak 89% responden menyatakan bahwa sejak ada kampus
UNDIP sudah terjadi perubahan di lingkungan tempat tinggal mereka. Perubahan
ini mencakup jaringan jalan, listrik, dan komunikasi yang sudah semakin baik
secara kualitas maupun kuantitas. Sarana perumahan dan perniagaan juga terus
berkembang dan tumbuh menjamur di sekitar kampus Tembalang.
Berkembangnya sarana perumahan dan perniagaan di sekitar kawasan
kampus, ditinjau dari sisi ekonomi merupakan hal yang positif, karena keberadaan
kampus dianggap sebagai generator pemicu munculnya kegiatan perekonomian di
sekitar kampus, yang dapat meningkatkan kondisi finansial masyarakat di
sekitarnya. Tetapi ditinjau dari sisi lingkungan, perkembangan sarana perumahan
dan perniagaan yang sedemikian cepat dan tidak terkontrol menyebabkan dampak
negatif.
7
Samadikun (2005) menyatakan bahwa aspek ekonomis yang melekat pada
perumahan di sekitar kampus, menyebabkan rumah mengalami perubahan
ataupun penambahan fungsi, semula hanya berfungsi sebagai rumah tinggal kini
menjadi rumah usaha. Sebagian besar rumah yang ada, sudah berfungsi ganda
sebagai rumah tinggal sekaligus tempat usaha (mixed use function). Munculnya
perubahan serta penambahan fungsi rumah menyebabkan terjadinya renovasi fisik
pada sebagian besar rumah di daerah Tembalang. Bentuk renovasi ini berupa
perluasan bangunan baik bertingkat maupun melebar ke samping, yang
menyebabkan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) untuk peresapan
air hujan.
Hasil penelitian Samadikun (2005) diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Hartini dkk. (2008), yang melakukan digitasi terhadap citra
Quickbird dan IKONOS. Dari hasil digitasi ini, dapat diketahui telah terjadi
konversi RTH di Kecamatan Tembalang dalam kurun waktu lebih kurang lima
tahun (2003-2007). Pada tahun 2003, luas RTH adalah 2.736,84 hektar menjadi
2.488,73 hektar pada tahun 2007, sehingga luas RTH telah berkurang 248,11
hektar (9,07% ). Ada perbedaan/perubahan penggunaan lahan antara tahun 2003
sampai dengan tahun 2007, yaitu munculnya jenis penggunaan lahan yang baru.
Perbandingan/perubahan luas jenis penggunaan tanah sebagaimana disajikan
dalam Tabel 1.1 berikut.
8
Tabel 1.1 Perubahan Penggunaan Lahan 2003-2007
Jenis Penggunaan Luas (Ha) Perubahan
Tahun 2003 Tahun 2007 Luas (Ha) Persentase
Ruang Terbuka Hijau:
a. Fasilitas Olah Raga
b. Hutan
c. Jalur Hijau
d. Konservasi
e. Lapangan Tembak TNI AD
f. Makam
g. Pertanian
2.736,84
70,16
267,60
6,77
378,20
0
93,10
1.921,00
2.488,73
70,16
252,43
6,44
352,44
- 16,29
92,08
1.698,90
-248,11
0,00
-15,18
-0,33
-25,76
+16,29
-1,02
-222,11
9,07
0,00
5,67
4,73
6,81
100,00
1,10
11,56
Non Ruang Terbuka Hijau :
a. Perumahan
b. Lahan Terbuka
c. Lain-lain
1.317,72
17,46 73,21
1.395,75 182,91 77,85
+78,03
+165,44
+4,63
5,92
947,54
6,32
Sumber: Hartini dkk., 2008
Penelitian yang dilakukan oleh Budiati (2006) menyebutkan bahwa aktivitas
perubahan tata guna lahan di DAS Babon segmen hulu (Kecamatan Banyumanik)
dan tengah (Kecamatan Tembalang), telah menyebabkan terjadinya dampak
negatif di segmen hilir (Kecamatan Genuk dan Sayung), yaitu: perubahan
fluktuasi debit, peningkatan sedimentasi dan erosi, pendangkalan sungai dan
penyempitan aliran Sungai Babon, yang pada akhirnya menimbulkan dampak
terjadinya banjir di segmen hilir.
Berbagai permasalahan yang berkembang di Kawasan Tembalang, hingga
saat ini belum mendapatkan penanganan yang serius dari Pemerintah Kota
Semarang. Hasil penelitian dari Samadikun (2005), Budiati (2006), dan Hartini
dkk. (2008), adalah bukti nyata bahwa konversi lahan di kawasan ini telah
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, yang berarti bahwa daya dukung
lingkungan (daya dukung lahan) di wilayah ini telah terlampaui. Daya dukung
lingkungan suatu wilayah menjadi faktor penting yang harus diperhatikan agar
9
proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berkelanjutan, dalam arti mampu
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu setiap upaya
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan pembangunan haruslah
berwawasan lingkungan (Soemarwoto, 1994).
1.1.2 Infrastruktur Hijau
Associated General Contractors of America (AGCA, 1982) menyatakan
bahwa infrastruktur adalah sebuah sistem fasilitas publik, pembiayaannya dapat
berasal dari publik maupun swasta, yang disediakan untuk pelayanan berbagai
kebutuhan penting demi keberlanjutan standar kehidupan. Istilah infrastruktur ini
sangat identik dengan jalan raya, saluran drainase, jaringan listrik, dan
infrastruktur “abu-abu” lainnya, seperti rumah sakit, sekolah, serta berbagai
infrastruktur sosial. Kini, di era pemanasan global dan perubahan iklim, beberapa
orang (ahli) dan berbagai organisasi mulai membicarakan tipe infrastruktur yang
mengkritisi keberlanjutan dan pertumbuhan masyarakat, dikenal sebagai
infrastruktur hijau (green infrastructure).
Benedict dan MacMahon (2001) adalah tokoh yang mencetuskan
infrastruktur hijau untuk pertama kali. Menurut pendapat mereka, pengembangan
infrastruktur hijau dapat mendukung kehidupan masyarakat, menjaga proses
ekologis, keberlanjutan sumber daya air dan udara bersih, serta memberikan
sumbangan kepada kesehatan dan kenyamanan masyarakat.
10
Konsep infrastruktur hijau sejalan dengan “konsep keberlanjutan”
sebelumnya, yaitu sebuah konsep yang disampaikan secara resmi pada tahun 1987
oleh World Comission on Environment and Development (WCED) yang disebut
sebagai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep
ini dirumuskan dalam dokumen berjudul Our Common Future atau dikenal
dengan Bruntland Report, sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang
(Baiquni, 2002).
Infrastruktur hijau sebagian besar telah berhasil diterapkan di negara-
negara maju bila dibanding dengan negara yang masih berkembang. Salah satu
alasan diterapkannya konsep infrastruktur hijau ini adalah sebagai usaha antisipasi
terhadap perubahan lingkungan yang kian tidak menentu saat ini. Beberapa negara
maju Eropa yang telah menerapkan infrastruktur hijau ini di antaranya : Austria,
Portugal, Jerman, Croasia, Hongaria, Belanda, dan Yunani (European
Environmental Bureau, 2008). Kondisi perekonomian yang sudah relatif mapan,
komitmen yang kuat dari pemegang kebijakan, dan keterpaduan dari berbagai
pihak (pemerintah,swasta, maupun masyarakat) adalah faktor-faktor pendukung
yang memudahkan implementasi infrastruktur hijau di negara-negara maju
tersebut.
Cynthia Girling dari Sekolah Arsitektur dan Arsitektur Lansekap
Universitas British Columbia (2008) dalam tulisannya berjudul Green
Infrastructure in Calgary’s Mobility Corridors menyatakan bahwa untuk
merealisasikan sebuah proyek infrastruktur hijau yang bernama Proyek
11
imagineCalgary, dukungannya mencakup lebih dari 18 ribu penduduk, dan ini
berasal dari semua pihak (pemerintah,swasta, dan masyarakat umum).
Peningkatan peran dan keterlibatan masyarakat di Indonesia mulai
dikembangkan seiring dengan bergulirnya era desentralisasi dan demokratisasi
sejak tahun 1998. Era desentraliasi dan demokratisasi memberi kesempatan bagi
timbulnya sinergi pemerintah daerah dan masyarakat di bidang perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan termasuk di dalamnya pengelolaan lingkungan (Hadi,
2001). Permasalahan yang terjadi di Indonesia, pengelolaan lingkungan belum
dapat berjalan dengan baik, akibat belum terciptanya tata pemerintahan yang baik
(good governance). Dalam kelembagaan, institusi yang mengelola lingkungan
dipandang tidak penting (Hadi, 2001).
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan
Kawasan Tembalang akibat berkembangnya UNDIP. Walaupun berdampak
positif terhadap pertumbuhan infrastruktur di Kawasan Tembalang dan sekitarnya,
tetapi tidak sedikit dampak negatif yang dirasakan, terutama terhadap lingkungan.
Jumlah penduduk yang kian bertambah, turut memberikan andil dalam
peningkatan konversi lahan (lahan terbuka menjadi lahan terbangun) di kawasan
ini.
Dalam konteks lokal, konversi lahan telah menyebabkan terjadinya
degradasi lingkungan, yang berarti bahwa daya dukung lingkungan (daya dukung
lahan) di wilayah ini telah terlampaui. Dalam konteks regional, kondisi di
12
Tembalang telah menyebabkan terjadinya dampak negatif di segmen hilir
(Kecamatan Genuk dan Sayung).
Infrastruktur hijau, sebagai salah satu alternatif solusi konservasi lahan,
walaupun telah berhasil diterapkan di beberapa negara maju, tetapi belum terlihat
nyata di negara berkembang seperti Indonesia. Masalah kelembagaan, sering
menjadi kendala utama dalam penerapannya. Dipilihnya Tembalang sebagai
daerah penelitian, dianggap sebagai salah satu contoh riil bagian wilayah kota
(BWK) dengan perkembangan sangat cepat, tetapi kebijakan pemerintah ada
ternyata belum dapat mengantisipasi berbagai dampak yang ditimbulkannya.
Berangkat dari beberapa hal yang telah dikemukakan, permasalahan utama
yang terjadi di Kawasan Tembalang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kawasan Tembalang yang semula daerah perkebunan/pertanian dan perdesaan,
dalam waktu begitu cepat (30 tahun terakhir) terjadi konversi lahan yang begitu
dahsyat; walaupun perencanaan dan pengendalian dari Pemerintah Kota
Semarang sudah ada, tetapi ternyata belum efektif dalam mengantisipasi kondisi
yang berkembang. Berdasarkan perumusan masalah tersebut dapat disusun
pertanyaan penelitian:
Bagaimana membangun sebuah model pengelolaan infrastruktur hijau dengan
mempertimbangkan kondisi daya dukung lahan (kemampuan lahan) dan kondisi
eksisting infrastruktur hijau beserta para stakeholder (pemangku kepentingan) di
Kawasan Tembalang?
13
1.3 Tujuan Penelitian
Mengacu hal-hal yang telah diuraikan di latar belakang dan perumusan
masalah, maka tujuan penelitan ini adalah :
1. Mengkaji kondisi daya dukung lahan (kemampuan lahan) dengan
mempertimbangkan faktor demografi penduduk.
2. Mengkaji kondisi eksisting infrastruktur hijau di Kawasan Tembalang
3. Menyusun model pengelolaan infrastruktur hijau di Kawasan Tembalang
dengan mempertimbangkan daya dukung lahan dan kondisi eksisting
infrastruktur hijau beserta para pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada
didalamnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi, baik berupa
pertimbangan maupun masukan terhadap perumusan kebijakan pengembangan
wilayah, khususnya pengembangan infrastruktur yang berbasiskan kondisi daya
dukung lahan di kawasan BWK (Bagian Wilayah Kota) yang di dalamnya
terdapat kawasan pendidikan.
Manfaat teoritik, penelitian ini diharapkan dapat lebih memperkaya
kaidah-kaidah ilmu lingkungan, terutama yang terkait dengan daya dukung lahan
dengan pertimbangan kondisi demografi penduduk, infrastruktur berkelanjutan,
dan juga membuka kesempatan bagi penelitian lanjutan untuk lebih
mengembangkan model yang dihasilkan dari penelitian ini.
14
1.5 Keaslian Penelitian
Beberapa studi dan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh para
peneliti serta terkait dengan penelitian peneliti, untuk dijadikan sebagai
pembanding dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Penelitian Peneliti
No. Nama Peneliti, Tahun,
Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Grigg, N.S., 1994
Infrastructure
Management: U.S. And
Japanese Systems
Contrasted
Membandingkan sistem
pengelolaan infrastruktur di AS
dan Jepang dengan mengkaji
sistem pendekatan pengelolaan
infrastruktur di Jepang.
Studi banding dengan
observasi lapangan
Pembelajaran bagi Amerika
dari penerapan sistem
pengelolaan infrastruktur
Jepang :
Berinvestasi dlm infrastruktur
walau dilanda masalah
ekonomi; mengintegrasikan
pengambilan keputusan;
perbaikan koordinasi dan
kerjasama; menggalakkan
kerjasama sektor swasta-
publik; mempermudah
prosedur; efisiensi dan
demokratisasi dalam
pengambilan keputusan;
belajar dari sistem pengelolaan
pekerjaan umum di Jepang.
2. Choguill, Charles L, 1996.
Ten Steps to Sustainable
Infrastructure
Mengkaji perkembangan
infrastruktur, menyangkut
pelayanan dasar terhadap
masyarakat kota dalam hal
penyediaan air, pengelolaan
sanitasi, drainase, dan sampah
di negara berkembang.
Studi kasus dengan
review literatur
10 model prinsip sebagai cara
untuk memenuhi kebutuhan
lokal yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan
3. Wright, D.W., 1996.
Infrastructure Planning
and Sustainable
Development
Mengkaji bagaimana
perencanaan dan pembangunan
kota;
Mengkaji penerapan metode
pada saat ini apakah sudah
cukup memadai untuk
pembangunan berkelanjutan;
Mengkaji bagaimana metode
pada saat ini dapat diubah
dalam rangka menghadapi
pembangunan berkelanjutan.
Studi kasus dengan
analisis kualitatif
Semua usaha perencanaan dan
pembangunan kota untuk
mencapai pembangunan
berkelanjutan membutuhkan
kerjasama sektor publik
maupun swasta;
Kerjasama yang penuh inovasi
dan efisiensi diperlukan untuk
menciptakan kesempatan
dalam rangka perlindungan
aset lingkungan dan
pertumbuhan ekonomi;
Perubahan falsafah oleh para
insinyur dalam pengaturan
kebijakan dan birokrat dapat
membantu sektor publik dan
privat untuk menghadapi
tantangan pembangunan
berkelanjutan.
15
4. Benedict, M.A., Allen, W.L.
dan McMahon, E.T., 2004
Advancing Strategic
Conservation In The
Commonwealth Of Virginia
Using a Green Infrastructure
Approach to Conserving and
Managing the
Commonwealth’s Natural
Areas, Working Landscapes,
Open Space, and Other
Critical Resources
Memberikan gambaran tentang
keuntungan menggunakan pendekatan infrastruktur hijau
untuk konservasi stratejik beserta
saran-saran dan rekomendasi untuk
melakukan perlindungan
sumberdaya alam yang bernilai dan
lansekap yang digunakan sebagai
lahan kerja.
Interview terhadap tokoh
kunci dan pihak-pihak terkait di negara bagian dan
analisis terhadap data
digital
Beberapa studi terhadap
pengembangan lahan dan konservasi di Virginia
menunjukkan bahwa pendekatan
yang sembarangan tidak efektif
dalam melindungi sumberdaya
alam dan budaya;
Terdapat banyak inisiatif
konservasi yang patut dipuji dalam
berbagai aktivitas skala lokal
maupun regional di negara bagian
Virginia;
Tantangan yang dihadapi adalah
mengatur hal-hal yang sudah berlangsung melalui pendekatan
yang sistematik, stratejik, dan
menyeluruh.
5. Rachmawati, R., Rijanta, R.,
dan Subanu, L.P., 2004.
Peranan Kampus sebagai Pemicu Urbanisasi Spasial di
Pinggiran Kota Yogyakarta.
Mengetahui peran kampus dlm menimbulkan terjadinya urbanisasi
spasial di pinggiran kota;
Mengetahui faktor-faktor yg mempengaruhi perbedaan tingkat
kemampuan kampus dalam
menimbulkan
trjadinya urbanisasi spasial.
Metode penelitian survei (Interview) dan analisis
data sekunder.
Keberadaan kampus menjadi magnit bagi urbanisasi spasial;
Kegiatan selain kampus dan
kecenderungan perkembangan kota menjadi faktor lain sebagai pemicu
urbanisasi spasial.
6. Senawi, 2006.
Analisis Kemampuan dan
Daya Dukung Lahan untuk
Penatagunaan Lahan Subdas Dengkeng DAS Bengawan
Solo
Mengetahui kemampuan dan daya
dukung lahan untuk penatagunaan lahan di Sub-DAS Dengkeng
Analisis kemampuan lahan
dilakukan secara matching per satuan lahan hasil
overlay peta kemiringan
lahan jenis tanah
Sub-DAS Dengkeng memiliki
enam kelas kemampuan lahan dan telah mengalami tekanan penduduk
dengan nilai daya dukung lahan
tahun 2004, 2007, dan 2012 mengalami penurunan.
7. Hartini, S., Harintaka, dan
Istarno, 2008.
Analisis Konversi Ruang
Terbuka Hijau Menjadi
Penggunaan Perumahan di
Kecamatan Tembalang Kota
Semarang
Menghitung sebaran RTH di Kec.
Tembalang, Kota Semarang dalam
kurun waktu 2003-2007; Menghitung konversi RTH ke
penggunaan perumahan di Kec.
Tembalang, Kota Semarang
periode 2003-2007;
Menghitung proyeksi konversi
RTH pada tahun 2010.
Analisis spasial dan non
spasial, didukung kajian
pustaka.
Konversi RTH di Kec. Tembalang
secara umum
9,07%,perumahan 2,68 %, tertinggi di Kel. Tembalang;
Luas RTH Kec.Tembalang tahun
2003 adalah 2.736,84 ha, menjadi
2.488,73 ha pada tahun
2007,terjadi penurunan 248,11 ha
(9,07%). Konversi RTH menjadi
pemukiman 73,43 ha (29,59%),
ruang terbuka 165.44 ha (66,68%),
lain-lain 4.63 ha (1,87%),4,61 ha (1,86%) tetap sebagai RTH;
Perkembangan kec. Tembalang
lebih cepat daripada kec. Banyumanik, Gunung Pati dan
Mijen.
8. Mansor, M., dan Said, I.,
2008.
Green Infrastructure Network
as Social Spaces for Well-
Being of Urban Residents in
Taiping, Malaysia
Melihat peran dari infrastruktur
hijau sebagai ruang sosial dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan penduduk kota di Taiping
Interview menggunakan
kuesioner dengan
pertanyaan terbuka dan tertutup
Karakteristik dan pengalaman
penduduk kota terhadap jaringan
hijau ternyata berakibat sangat progresif pada kondisi fisik,
kognitif, dan fungsi sosial dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan.
9. Mell, I.C., 2008.
Green Infrastructure: Concept
and Planning
Menguji beberapa penelitian yang
memiliki hubungan dengan ide-ide
yang mendukung perencanaan
infrastruktur hijau
Menilai dan me-review hal-
hal yang melatarbelakangi
konsep infrastruktur hijau
dan proyek-proyek yang
menerapkan konsep
tersebut
Penemuan dan pengembangan rencana
infrastruktur hijau di masa yang akan
datang dapat mengembangkan
pengutamaan profil.Melalui profil ini,
bukti-bukti dasar dan kriteria-kriteria
dapat dikembangkan sebagai solusi bagi
kesehatan, perubahan iklim, dan
regenerasi (keberlanjutan lingkungan).
Lanjutan Tabel 1.2
16
10. Metin, Sinem, 2008.
Using Green Infrastructure To
Shape The Urban
Environment The Case Study
Of The Trinity River Design
Guidelines, Dallas, TX
Menentukan identitas fisik koridor
Sungai Trinity sebagai taman kota 9 mil, jalur banjir, dan proyek
perbaikan transportasi yang
menjadi tonggak utama
transformasi Dallas pusat (TX)
menjadi sebuah daerah mixed-use
dan lingkungan transit-oriented.
Studi kasus, observasi,
dengan teknik rendering.
Adanya sebuah guideline sebagai
strategi untuk mewujudkan infrastruktur hijau dalam rangka
pembentukan kembali kota
sebagai lingkungan berkelanjutan.
11. Samadikun, B.P.,2014.
Pemodelan Pengelolaan Infrastruktur Hijau
Kasus: Kawasan Tembalang
Semarang
Mengkaji kondisi daya dukung
lahan di wilayah penelitian;
Mengkaji kondisi eksisting infrastruktur;
Menyusun model kelembagaan
infrastruktur hijau di wilayah penelitian.
Metode penelitian
observasi, dengan
wawancara menggunakan interview guide dan FGD.
Data dianalisis secara
kuantitatif dan kualitatif.
Diketahui daya dukung lahan di
wilayah penelitian;
Diketahui kondisi eksisting infrastruktur hijau;
Diketahui bentuk model
pengelolaan infrastruktur hijau di wilayah penelitian.
Topik penelitian ataupun studi pada Tabel 1.2 membahas mengenai
berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian peneliti baik secara langsung
maupun tidak langsung, yaitu pengelolaan infrastruktur, keterkaitan infrastruktur
dengan pembangunan berkelanjutan, keberlanjutan infrastruktur, ruang terbuka
hijau, dan juga infrastruktur hijau.
Penelitian yang dilakukan oleh Grigg (1994), Choguill (1996), dan Wright
(1996) adalah penelitian dengan kajian utama infrastruktur. Grigg lebih
menitikberatkan pada pengelolaan infrastruktur, sedangkan Choguill dan Wright
menitikberatkan pada perencanaan infrastruktur di sebuah wilayah urban yang
terkait dengan pembangunan berkelanjutan.
Grigg melakukan studi perbandingan sistem pengelolaan infrastruktur di
negara maju, yaitu Amerika Serikat dan Jepang, dengan mengkaji sistem
pendekatan pengelolaan infrastruktur di Jepang. Banyak hal dari penerapan sistem
pengelolaan infrastruktur Jepang yang dapat diambil sebagai pembelajaran untuk
Amerika Serikat. Wright melakukan studinya juga pada negara maju, yaitu di
Amerika Serikat, dan menemukan bahwa semua usaha perencanaan dan
pembangunan kota untuk mencapai pembangunan berkelanjutan membutuhkan
Lanjutan Tabel 1.2
17
kerjasama sektor publik maupun swasta, yang harus dilakukan dengan penuh
inovasi dan efisiensi. Choguill (1996) melakukan studi di negara berkembang
(Kenya, Srilanka), dan menyarankan 10 model prinsip sebagai cara untuk
memenuhi kebutuhan lokal yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Benedict, Allen, dan McMahon (2004), Mansor dan Said (2008), Mell
(2008), serta Metin (2008) melakukan studi dengan kajian utama infrastruktur
hijau. Infrastruktur hijau ini adalah sebuah kerangka pemikiran baru yang sangat
strategis untuk mengkonservasi lahan yang dari tahun ke tahun terus mengalami
alihfungsi dan degradasi.
Benedict dkk. (2004) melakukan studinya di negara-negara
persemakmuran Virginia, dengan melakukan interview terhadap tokoh-tokoh
kunci dan pihak-pihak terkait di negara bagian Virginia dan melakukan analisis
terhadap data-data digital. Mereka menemukan bahwa pendekatan yang
sembarangan tidak efektif dalam melindungi sumberdaya alam dan budaya. Selain
itu di negara-negara bagian Virginia ternyata telah terdapat banyak inisiatif
konservasi yang patut mendapatkan pujian dan dapat dijadikan contoh dalam
berbagai aktivitas skala lokal maupun regional.
Mansor dan Said (2008) melakukan penelitian tentang infrastruktur hijau di
Kota Taiping Malaysia dengan melihat peran dari infrastruktur hijau sebagai
ruang sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan penduduk kota di Taiping.
Dengan teknik interview menggunakan kuesioner berisi pertanyaan terbuka dan
tertutup, Mansor dan Said menemukan kesimpulan bahwa karakteristik dan
pengalaman penduduk kota terhadap jaringan hijau ternyata berakibat sangat
18
progresif pada kondisi fisik, kognitif, dan fungsi sosial dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan penduduk Taiping Malaysia.
Mell, I.C. (2008) melakukan sebuah studi tentang konsep dan perencanaan
infrastruktur hijau dengan menguji beberapa penelitian yang memiliki hubungan
dengan ide-ide yang mendukung perencanaan infrastruktur hijau. Dari studinya,
Mell menyarankan untuk penemuan dan pengembangan rencana infrastruktur
hijau di masa yang akan datang dapat mengembangkan pengutamaan profil,
sehingga bukti-bukti dasar dan kriteria-kriteria dapat dikembangkan sebagai solusi
bagi kesehatan, perubahan iklim, dan regenerasi (keberlanjutan lingkungan).
Sebuah praktek perencanaan pembangunan dengan menerapkan
infrastruktur hijau, telah dilakukan dengan sangat baik oleh Metin pada tahun
2008. Mengambil studi kasus di koridor Sungai Trinity Dallas, dengan teknik
observasi dan rendering, Metin dapat menentukan identitas fisik koridor Sungai
Trinity sebagai taman kota 9 mil, jalur banjir, dan proyek perbaikan transportasi
yang menjadi tonggak utama transformasi Dallas pusat (TX) menjadi sebuah
daerah mixed-use dan lingkungan transit-oriented. Selain itu Metin berhasil
membuat sebuah guideline (pedoman) sebagai strategi untuk mewujudkan
infrastruktur hijau dalam rangka pembentukan kembali kota Dallas sebagai
lingkungan berkelanjutan.
Selain penelitian dengan topik bahasan utama infrastruktur, ada beberapa
penelitian lain yang juga terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
Beberapa penelitian terkait tersebut yaitu penelitian yang dilakukan Rachmawati
dkk. (2004), Senawi (2006), dan juga Hartini dkk. (2008).
19
Rachmawati dkk. menitikberatkan pada peran kampus dalam menimbulkan
terjadinya urbanisasi spasial di pinggiran kota dan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perbedaan tingkat kemampuan kampus dalam menimbulkan
terjadinya urbanisasi spasial. Dengan melakukan interview terhadap mahasiswa di
tiga kampus yang berbeda, didukung dengan analisis data sekunder, Rachmawati
menemukan bahwa keberadaan kampus menjadi magnit bagi urbanisasi spasial.
Selain itu ditemukan pula bahwa kegiatan selain kampus dan kecenderungan
perkembangan kota menjadi faktor lain sebagai pemicu urbanisasi spasial.
Senawi melakukan analisis terhadap kemampuan dan daya dukung lahan
untuk penatagunaan lahan di Sub-DAS Dengkeng. Dengan melakukan analisis
terhadap kemampuan lahan dilakukan secara matching per satuan lahan hasil
overlay, Senawi mendapatkan sebuah temuan bahwa Sub-DAS Dengkeng
memiliki enam kelas kemampuan lahan dan telah mengalami tekanan penduduk
dengan nilai daya dukung lahan yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Hartini dkk. melakukan kajian terhadap sebaran RTH dan konversi RTH ke
penggunaan perumahan di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang dalam kurun
waktu 2003-2007. Selain itu juga dikaji proyeksi konversi RTH pada tahun 2010.
Dengan menggunakan analisis spasial dan non spasial, didukung kajian pustaka,
Hartini dkk. menemukan bahwa konversi RTH menjadi permukiman tertinggi
terjadi di Kelurahan Tembalang dan diketahui pula bahwa Perkembangan
Kecamatan Tembalang lebih cepat daripada Kecamatan Banyumanik, Gunung
Pati dan Mijen.
20
Berdasarkan perbandingan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu (nomor 1 – 10) dan penelitian peneliti (nomor 11), peneliti
berkeyakinan bahwa penelitian yang dilaksanakan di Kawasan Tembalang ini
adalah penelitian yang berbeda dari penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, baik mencakup jenis-jenis kajian yang dilakukan, metode penelitian
yang dilakukan dan hasil penelitian yang didapatkan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup Materi
Materi pembahasan dalam penelitian ini secara garis besar adalah sebagai
berikut :
1. Daya dukung lingkungan wilayah penelitian, yang dinilai berdasarkan
besarnya daya dukung lahan di wilayah penelitian. Daya dukung lahan
dihitung dari kebutuhan lahan per kapita (ketersediaan lahan/ruang yang
dibutuhkan untuk beraktivitas) atau dihitung berdasarkan luasan lahan dibagi
dengan jumlah penduduk eksisting. Hasil perhitungan digunakan sebagai
acuan untuk menentukan ambang batas kawasan dengan menggunakan kriteria
yang dikemukakan Yeates (1980). Dalam penilaian daya dukung ini dengan
melihat perkembangan jumlah penduduk dalam 30 tahun terakhir untuk
melihat tren perubahannya.
2. Penilaian kondisi eksisting infrastruktur hijau dilakukan dengan mengadakan
observasi terhadap kondisi eksisting aset-aset infrastruktur untuk kemudian
dinilai berdasarkan Grey-green Continuum (rangkaian kesatuan hijau-kelabu).
21
Aspek ekonomi tidak turut dibahas dalam penelitian ini. Aset-aset yang dinilai
di antaranya:
a. transportasi, meliputi: kondisi jalan (jalan raya, jalan lingkungan),
ketersediaan transportasi publik, kemudahan aksessibilitas, dan
ketersediaan ruang terbuka hijau (jalur hijau) di sekitar jalan;
b. air bersih dan air limbah, meliputi: cara mendapatkan sumber air bersih,
kondisi drainase rumah tinggal, lingkungan, dan jalan raya;
c. pengelolaan sampah, meliputi: ketersediaan tempat sampah, proses
pemilahan sampah, kondisi tempat sampah, ketersediaan armada/petugas
pengangkut sampah;
d. bangunan, meliputi : kondisi bangunan, rasio lahan terbangun dan terbuka,
sempadan bangunan, ketersediaan pepohonan dan ruang terbuka hijau di
sekitar bangunan.
3. Penyusunan model pengelolaan infrastruktur hijau di wilayah penelitian,
dilakukan dengan melihat lembaga/organisasi/kelompok masyarakat yang
sudah ada, terutama yang terkait dengan kebijakan pengelolaan lingkungan di
kelurahan/kecamatan; untuk kemudian disusun secara lebih melembaga
kedalam sebuah struktur berbentuk model konsepsual .
1.6.2 Ruang Lingkup Spasial
Ruang lingkup wilayah studi didasarkan pada tingkat keterpengaruhan
daerah di Kawasan Tembalang yang masih dapat merasakan dampak dari adanya
kampus UNDIP Tembalang, khususnya beberapa kelurahan di Kecamatan
22
Tembalang (BWK VI) yaitu Kelurahan Tembalang dan Kelurahan Bulusan, serta
beberapa kelurahan di Kecamatan Banyumanik (BWK VII), yaitu Kelurahan
Sumurboto dan Kelurahan Pedalangan. Jika dapat dibuat sebuah pengandaian
Kawasan Kampus UNDIP adalah sebuah inti (pusat) dari sebuah magnet, maka
beberapa kelurahan di sekitar UNDIP adalah daerah yang masih dapat merasakan
efek dari magnet tersebut dengan radius sekitar dua kilometer (2 km).
Dasar pemilihan beberapa kelurahan tersebut dimaksudkan agar dapat
merepresentasikan permasalahan yang ada di Kawasan Tembalang secara
keseluruhan, terutama pertumbuhan kondisi infrastrukturnya sejak sebelum ada
kampus UNDIP hingga saat ini. Penjelasan lengkap akan diuraikan lebih lanjut
pada Bab III.