1 bab i pendahuluan 1.1 latar belakang era kemajuan ilmu
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat,
semakin terbukanya kesempatan untuk berkomunikasi secara internasional, dan
pelaksanaan pasar bebas menuntut bangsa Indonesia memiliki kompetensi yang
kompetitif dalam segala bidang. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan
sumber daya alam dan kemampuan fisik untuk mencapai kesejahteraan bangsanya
tetapi harus lebih mengandalkan sumber daya manusia yang profesional. Salah
satu syarat untuk mencapainya adalah kemampuan berbahasa Inggris, khususnya
untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan bahasa
Inggris sangat penting karena hampir semua sumber informasi global dalam
berbagai aspek kehidupan menggunakan bahasa ini (Durand, 2006:7).
Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa internasional yang diajarkan
secara luas di berbagai negara di dunia ini. Banyak penduduk di berbagai negara
memakai bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dalam berbagai pertemuan
penting pada tingkat internasional (Richards and Rodgers, 1986:1). Dalam bidang
pendidikan, bahasa Inggris mempunyai andil besar karena hampir semua buku
teks dalam berbagai disiplin ilmu ditulis dalam bahasa Inggris, yakni dari jenjang
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Bahasa Inggris mempunyai peranan yang sangat penting dalam memasuki
era globalisasi. Fungsinya tidak hanya sebagai alat atau media untuk
1
2
berkomunikasi antarbangsa tetapi semakin luas dan penting, yaitu sebagai bahasa
ilmu pengetahuan, teknologi, sosial-ekonomi, budaya, bahkan seni. Sebagai
bahasa global, bahasa Inggris memegang fungsi dan peran yang sangat besar.
Implikasinya adalah semakin banyak orang berusaha belajar agar mampu
berbahasa Inggris dengan baik. Agar mampu berbahasa Inggris dengan baik dalam
menghadapi persaingan global, banyak siswa, bahkan siswa sekolah dasar (SD)
mempelajari bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal (local content).
Hal ini menjadi fenomena baru bagi beberapa negara di Eropa dan Asia dalam
kurun waktu dua puluh tahun belakangan ini. Situasi ini pula yang mendorong
sejumlah sekolah dasar sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia
menyelenggarakan pendidikan bahasa Inggris sejak usia dini.
Pemakaian bahasa Inggris yang sangat luas juga menyebabkan produksi
barang Amerika menjadi lebih dikenal seperti McDonald, Coca Cola, KFC, Nike,
Ford, dan yang lainnya. Beberapa negara seperti Jepang, Cina, Korea Selatan,
Jerman, Perancis, dan Belanda menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
sehingga mampu menjalin kerja sama perdagangan dengan negara-negara seperti
Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Akibatnya, semua
dokumen perdagangan ekspor dan impor menggunakan bahasa Inggris. Hal ini
berarti bahasa Inggris mempunyai peran internasional dalam era globalisasi ini
(Crystal, 2003). Kenyataan ini mendorong banyak negara untuk memasukkan
bahasa Inggris dalam kurikulum sekolah formal yang diajarkan mulai sekolah
dasar sampai perguruan tinggi.
3
Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Indonesia belum maksimal
(Atsuyama, 2008). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan bahasa Inggris
untuk pembelajar muda hanya bisa diberikan di beberapa sekolah swasta yang ada
di kota-kota besar. Demikian pula hanya sekolah dasar yang bergengsi saja
mampu memberikan pelajaran bahasa Inggris dengan guru penutur asli yang dapat
memberikan pendidikan bahasa Inggris dengan baik. Hal sebaliknya terjadi di
daerah pedalaman seperti Kalimantan dan Papua serta daerah terpencil lainnya
sangat sulit didapatkan pendidikan bahasa Inggris. Bahkan di kota besar seperti
Jakarta, Bandung, dan Surabaya, bahasa Inggris hanya sebagai mata pelajaran
muatan lokal pilihan. Dalam berbagai level, bahasa Inggris diberikan mulai kelas
empat, lima, dan enam oleh guru bahasa Inggris yang tidak mempunyai
kemampuan pedagogis bahasa Inggris untuk pembelajar muda. Jikalau kondisi ini
berlanjut, generasi muda Indonesia tidak akan mampu bersaing dalam tataran
global. Oleh karena itu, tindakan nyata harus diambil oleh pemerintah. Dalam hal
ini pengajaran bahasa Inggris usia muda harus dilaksanakan untuk memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mempersiapkan diri bersaing dalam dunia
global ini (Rixon, 1992; Kubanek-German, 1998).
Pendidikan bahasa Inggris di Indonesia mendapat perhatian dari
pemerintah cukup besar, yakni dengan ditetapkannya sebagai salah satu mata
pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Perhatian pemerintah lebih besar
lagi tatkala kebanyakan hasil ujian nasional para siswa gagal dalam mata pelajaran
bahasa Inggris. Dalam hal ini, banyak kegiatan yang semuanya bertujuan
meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Inggris, baik berupa peningkatan
4
kemampuan guru lewat penataran maupun pelatihan di dalam dan luar negeri.
Dari fenomena ini muncul pemikiran dari kalangan pendidik, khususnya dari
kalangan guru dan dosen bahasa Inggris agar memberikan porsi pelajaran bahasa
Inggris yang lebih banyak di tingkat SMP sampai perguruan tinggi. Bahkan
belakangan ini banyak sekolah dasar memberikan mata pelajaran bahasa Inggris
sebagai mata pelajaran wajib.
Kenyataan menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Inggris tamatan
pendidikan dasar di Indonesia tidak berhasil dibandingkan dengan negara
tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris
di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik, seperti: lingkungan,
budaya, ekonomi, latar belakang keluarga, fasilitas pendidikan, sikap siswa, serta
orangtua. Semua faktor ini sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa dalam mata
pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi masyarakat Indonesia
membuat bahasa ini tidak banyak dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal
ini, tidak sedikit siswa ataupun mahasiswa mengalami kesulitan berkomunikasi
dengan bahasa ini. Mereka menganggapnya sebagai bahasa yang sulit dipelajari
karena beberapa alasan, misalnya, sistem bunyi verbal bahasa Inggris yang
tampak sangat berbeda dengan tanda tulisannya. Hal ini berbeda dengan bunyi
verbal bahasa Indonesia yang tidak banyak berbeda dengan tanda tulisannya.
Penguasaan kosa kata bahasa Inggris oleh siswa sangat terbatas di samping
penguasaan grammar yang terbatas pula. Alasan lain yang sangat krusial adalah
bahwa strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan bahasa ini (desain
5
pembelajaran dan metode mengajar) terkesan monoton dan kurang memberi
tantangan bagi siswa untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Guru
kurang memahami karakteristik siswa karena lemahnya kemampuan psikologis
guru dalam mengidentifikasi kebutuhan siswa dalam belajar bahasa, khususnya
bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Dalam era informasi dan globalisasi ini, pemerintah menyadari pentingnya
peran bahasa Inggris dan sumber daya manusia yang memiliki keandalan
berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pemerintah telah menerbitkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990
tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pengembangan sumber daya
manusia dalam dunia pendidikan, yakni dalam bentuk pengembangan dan
peningkatan kualitas kemampuan (kompetensi) dan keterampilan guru, siswa,
serta tenaga kependidikan yang terkait. Selain itu, terdapat kebijakan mengenai
mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar, yaitu Kebijakan Depdikbud
Republik Indonesia Nomor 0487/14/1992 Bab VIII yang menyatakan bahwa
sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan
syarat pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Mata
pelajaran tambahan biasanya merupakan mata pelajaran yang memang dibutuhkan
oleh sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, mata pelajaran muatan
lokal sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini terlihat,
yakni adanya mata pelajaran bahasa daerah dan mata pelajaran kesenian.
6
Setahun kemudian, kebijakan ini disusul oleh Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 Tanggal 25 Februari 1993
tentang Dimungkinkannya Program Bahasa Inggris Diajarkan Lebih Dini sebagai
Satu Mata Pelajaran Muatan Lokal. Mata pelajaran ini dapat dimulai pada kelas
empat sekolah dasar sesuai anjuran pemerintah. Munculnya muatan lokal ini
berawal dari pertimbangan bagaimana cara mengatasi anak-anak yang putus
sekolah.
Anak-anak yang putus sekolah di Indonesia cukup tinggi. Setiap tahun
sekitar empat juta lulusan sekolah dasar tidak bisa melanjutkan ke tingkat sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekitar sembilan ratus ribu tamatan SLTP
tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)
(Ngadiman, 2005). Dengan adanya program muatan lokal, diharapkan anak-anak
tamatan sekolah dasar ataupun SLTP yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi dapat mencari nafkah berbekal keterampilan yang
mereka dapatkan dari muatan lokal tersebut. Alasan lain dimunculkannya muatan
lokal di sekolah dasar adalah bahwa kegiatan pendidikan di mana pun selalu
berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat memberikan
pengaruh terhadap perkembangan anak didik. Dengan muatan lokal ini pula di
Bali banyak sekolah dasar memberikan pelajaran bahasa Inggris, yakni dengan
harapan para siswa mempunyai keterampilan dalam berbahasa Inggris. Oleh
karena hal ini sangat diperlukan dalam lingkungannya yang merupakan daerah
tujuan wisata terkenal di dunia dengan pariwisata budayanya.
7
Di Indonesia, bahasa Inggris tidak dipakai sebagai alat komunikasi sehari-
hari. Di daerah-daerah tertentu yang merupakan daerah kunjungan wisata, seperti:
Bali, Lombok, dan Yogyakarta yang menjadi daerah tujuan wisata budaya untuk
wisatawan mancanegara, dalam hal ini bahasa Inggris sangat tepat untuk diajarkan
sebagai mata pelajaran muatan lokal. Pembelajaran bahasa Inggris sangat
bermanfaat, terutama terkait dengan penyediaan sumber daya manusia yang
mampu berkomunikasi dengan para wisatawan sekaligus untuk mengisi
kebutuhan tenaga kerja seperti menjual cenderamata, bekerja di hotel atau menjadi
pemandu wisata. Di samping itu, dengan keterampilan berbahasa Inggris anak-
anak di daerah dapat memperkenalkan kebudayaan daerahnya kepada wisatawan
asing.
Mata pelajaran muatan lokal sebenarnya ditetapkan sebagai kebijakan
daerah dengan memperhatikan beberapa hal, seperti keterlibatan pemerintah
daerah, para pakar pendidikan, penyusunan bahan ajar, dan anggota masyarakat
lainnya. Di samping itu, perlu dipertimbangkan kondisi lingkungan alam, sosial,
dan budaya serta tersedianya tenaga pengajar bahasa Inggris yang kompeten.
Kebijakan tentang program bahasa Inggris sekolah dasar ini selanjutnya
ditindaklanjuti oleh beberapa provinsi yang ditanggapi dalam bentuk kebijakan
juga, misalnya: Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Barat mengeluarkan surat keputusan dan mengembangkan kurikulum
muatan lokal (Kasihani, 2007:2).
Dalam rangka pelaksanaan kurikulum muatan lokal 2004 yang berbasis
kompetensi, Dinas Pendidikan Provinsi Bali, melalui dana DASK tahun anggaran
8
2004, menerbitkan standar kompetensi muatan lokal wajib dan standar
kompetensi muatan lokal pilihan. Mata pelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di
wilayah Provinsi Bali ditetapkan menjadi mata pelajaran muatan lokal pilihan.
Kebijakan ini ditanggapi secara positif oleh masyarakat luas, terutama oleh
sekolah-sekolah dasar yang merasa memerlukan dan mampu menyelenggarakan
pembelajaran bahasa Inggris.
Kurikulum bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang ada di lapangan,
berdasarkan pengamatan awal, masih memiliki banyak kelemahan. Tujuan yang
merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Inggris kurang
sesuai dengan perkembangan anak usia 6-12 tahun. Kurikulum muatan lokal
bahasa Inggris yang pernah dikaji pada empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan adanya
perbedaan dalam pendekatan pengembangan, tujuan, dan topiknya (Kasihani,
2003). Isi atau bahan ajar bisa berbeda sesuai dengan apa yang ada di
lingkungannya, tetapi tujuan secara nasional perlu dipertimbangkan sesuai dengan
kebijakan, situasi, dan kondisi yang ada. Oleh karena kenyataan menunjukkan
bahwa pada saat kebijakan diberlakukan, para pembuat kebijakan terkesan kurang
atau tidak melakukan analisis kebutuhan secara cermat sebelumnya. Seharusnya
sebelum kebijakan berlaku sudah diperkirakan hal-hal, seperti: apakah tenaga di
lapangan sudah siap, apakah kurikulum atau silabus sudah ada, serta apakah
sarana dan media pembelajaran yang sesuai sudah ada.
Walaupun disebutkan bahwa bahasa Inggris di sekolah dasar bukan
merupakan mata pelajaran wajib dan tidak harus diajarkan apabila memang belum
9
siap, tetapi banyak sekolah yang memaksakan diri untuk melaksanakan program
ini. Permintaan masyarakat, terutama orangtua murid, menginginkan agar anaknya
juga belajar bahasa Inggris seperti yang ada di sekolah lain. Di samping itu,
perintah atau keputusan dari Dinas Pendidikan setempat yang mewajibkan sekolah
untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan lokal wajib.
Hal ini membuat pelajaran bahasa Inggris terkesan dilaksanakan seadanya.
Dalam kenyataannya, pengembangan suatu program baru (dalam hal ini
program pengajaran bahasa Inggris) tidaklah mudah. Sebenarnya, perlu ada alasan
yang tepat untuk melandasi program tersebut dengan dasar pemikiran yang kuat,
yakni mengapa program bahasa Inggris perlu dimasukkan dalam kurikulum
sekolah dasar. Pemikiran ini harus beranjak dari kebutuhan pedagogis dan pasar
kerja saat ini, kemudian dikembangkan, misalnya, apakah memang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan bidang tertentu agar sejajar dengan sekolah lain.
Atas dasar beberapa pandangan yang positif dan rasional tentang
pengajaran bahasa Inggris, ada masuknya pengajaran bahasa Inggris di sekolah
dasar dapat diterima. Namun, dalam praktik di lapangan banyak masalah yang
timbul, baik yang berkaitan dengan kurikulum, materi pengajaran, pengadaan
guru yang terlatih ataupun sarana dan prasarana penunjang yang lain, metode
pengajaran yang tepat, serta motivasi siswa dalam belajar. Masalah tersebut pada
umumnya timbul dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Hal tersebut diuraikan secara singkat berikut ini.
Kurikulum dan materi pengajaran merupakan faktor utama dalam proses
belajar-mengajar. Kurikulum merupakan kunci dalam pemilihan materi
10
pengajaran. Sampai saat ini, kurikulum bahasa Inggris untuk sekolah dasar yang
dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional hanya untuk kelas empat
sampai kelas enam, sedangkan kurikulum bahasa Inggris dari kelas satu sampai
kelas tiga belum ada, apalagi pedoman pelaksanaannya.
Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kurikulum ini adalah siapa yang
menentukan dan merancang kurikulum muatan lokal ini, apakah pusat atau
daerah. Apabila setiap daerah boleh menyusun kurikulum, harus ada banyak
kurikulum bahasa Inggris untuk sekolah dasar mengingat tujuan pengajaran
bahasa Inggris antara daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini
membawa konsekuensi terhadap penyusunan materi pengajaran. Materi
pengajaran juga harus berbeda. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk teknis
mengenai pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, baik dalam
pengembangan kurikulum maupun penyusunan materi pengajaran. Tanpa adanya
pedoman pelaksanaan dan garis-garis besar, program pengajaran bahasa Inggris
sebagai muatan lokal di sekolah dasar akan mengalami masalah besar, misalnya:
berapa jam bahasa Inggris harus diajarkan, keterampilan mana yang harus
diajarkan dan dicapai atau dituntaskan, serta apakah pengajaran bahasa Inggris
harus berlangsung secara improvisasi.
Guru bahasa Inggris yang mempunyai kualifikasi sebagai pengajar pemula
untuk sekolah dasar, masih menjadi kendala. Selama ini tujuan pendidikan guru
bahasa Inggris di IKIP dan FKIP adalah menciptakan guru bahasa Inggris untuk
sekolah tingkat pertama dan sekolah menengah atas, sedangkan sampai saat ini
belum ada LPTK yang mendidik guru bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar.
11
Padahal di sekolah dasar guru merupakan figur yang sangat menentukan dalam
mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Dengan kata lain, guru merupakan
model dalam kelas saat berlangsungnya pelajaran. Oleh karena itu, guru bahasa
Inggris di sekolah dasar harus mempunyai keterampilan bahasa Inggris yang baik
serta wawasan psikologis dan pedagogis yang baik pula.
Strategi pengajaran merupakan aspek penting dalam proses belajar-
mengajar. Medode pengajaran adalah strategi yang dipakai oleh guru dalam
menyampaikan materi pengajaran. Banyak strategi atau teknik pengajaran yang
dikembangkan oleh para ahli bahasa dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa asing. Namun, tidak semua strategi atau teknik pengajaran cocok untuk
setiap tujuan atau kelompok umur pembelajar. Strategi pengajaran yang cocok
untuk SMP dan SMA belum tentu cocok diterapkan pada siswa sekolah dasar.
Penelitian mengenai teknik atau strategi pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah
dasar belum ada sehingga dapat dipastikan strategi dan teknik mengajar yang
dipakai bersifat spontan dan intuitif serta dilakukan dengan cara trial and error.
Hal ini terjadi karena ketidaksiapan guru dengan teknik atau strategi pengajaran
yang harus dipilih.
Motivasi adalah kunci yang paling utama dalam suatu proses belajar-
mengajar. Walaupun guru mempunyai keterampilan berbahasa yang baik, cara
mengajar yang baik, sarana pengajaran yang baik dan lengkap, tetapi jika siswa
tidak mempunyai motivasi belajar, maka semuanya akan sia-sia. Guru, sekolah,
sarana lain seperti alat peraga hanyalah berfungsi sebagai alat bantu. Dalam hal
ini, yang belajar, yang mencerna, dan yang memproses input adalah
12
siswa/pembelajar itu sendiri. Masalahnya sekarang adalah apakah semua siswa
sekolah dasar mempunyai motivasi atau minat yang tinggi untuk belajar bahasa
Inggris. Tugas guru adalah menciptakan iklim yang kondusif dengan
membangkitkan pandangan positif pada diri siswa terhadap manfaat bahasa
Inggris sebagai sarana untuk memeroleh lapangan kerja. Dalam kaitan ini, hal
yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan sikap positif pada diri siswa
bahwa bahasa Inggris tidak perlu ditakuti atau sesuatu yang sukar untuk dipelajari.
Oleh karena pengalaman menunjukkan bahwa mata pelajaran bahasa Inggris
adalah mata pelajaran yang tidak disukai oleh kebanyakan siswa SMP dan SMA,
termasuk mahasiswa jurusan nonbahasa Inggris. Mereka menganggap bahasa
Inggris adalah mata pelajaran yang sulit dan sangat sukar untuk dipelajari.
Pengadaan buku-buku teks masih menjadi kendala dalam pengajaran
bahasa Inggris di sekolah dasar. Sampai saat ini belum banyak buku teks bahasa
Inggris yang dapat menunjang pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal di
sekolah dasar. Buku teks yang beredar saat ini, meskipun dirancang untuk
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, masih bersifat umum dan belum
menunjang pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Dengan demikian
pengadaan buku teks merupakan masalah serius yang harus segera dipecahkan.
Oleh karena tujuan pengajaran bahasa Inggris bersifat lokal, maka harus disusun
berbagai ragam buku yang berisi materi pengajaran yang disesuaikan dengan
muatan lokal daerah tertentu.
Kesiapan sarana belajar-mengajar untuk mengajarkan bahasa Inggris di
sekolah dasar dirasakan masih belum memadai. Oleh karena pelajaran bahasa
13
Inggris merupakan sesuatu yang baru di sekolah dasar sehingga dapat diramalkan
bahwa banyak sekolah dasar yang memerlukan pengajaran bahasa Inggris belum
siap dengan sarana penunjang, seperti: alat peraga dan yang lainnya. Hal ini perlu
mendapat perhatian dari sekolah yang akan memasukkan bahasa Inggris sebagai
muatan lokal.
Munculnya pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar memungkinkan
terjadinya interferensi. Dalam waktu bersamaan anak sekolah dasar harus
mempelajari tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa daerah, bahasa nasional (bahasa
Indonesia), dan bahasa Inggris. Dalam situasi semacam ini, kemungkinan
terjadinya interferensi antara ketiga bahasa tersebut sangat besar, apalagi bila
jadwal jam pengajarannya sangat berdekatan. Misalnya, pada jam pertama mereka
harus belajar bahasa Indonesia, pada jam kedua atau ketiga mereka harus belajar
bahasa Inggris atau bahasa daerah. Pengaturan jam pelajaran semacam ini sangat
tidak bijaksana. Oleh karena itu, jadwal jam pelajaran harus ditata secara
bijaksana. Di samping itu, strategi dan teknik pengajaran harus dipilih secara tepat
untuk menghindari terjadi saling interferensi di antara ketiga bahasa tersebut.
Pemerolehan bahasa terjadi karena adanya input yang memadai dan cukup
terpahami. Pada hakikatnya bahasa Inggris di Indonesia bukan merupakan alat
komunikasi sehari-hari. Apabila dipakai sebagai alat komunikasi hal ini sudah
tentu sangat terbatas. Padahal tanpa adanya input atau pajangan (expose), proses
pemerolehan bahasa tidak terjadi. Dengan demikian, guru bahasa Inggris harus
menjadi sumber input yang potensial. Konsekuensinya, guru harus mempunyai
14
keterampilan bahasa Inggris yang baik, ucapannya harus baik, tata bahasanya juga
harus baik.
Menurut Krashen (1982: 62-67) input harus menjadi intake agar proses
pemerolehan bahasa terjadi. Dalam hal ini, agar berfungsi menjadi intake,
pertama, input harus terpahami (comprehensible). Ada beberapa kriteria yang
memungkinkan input menjadi terpahami: (1) struktur dan kosa kata tidak sukar,
artinya bahasa guru harus memakai struktur dan kosa kata yang sudah dimiliki
oleh siswa; (2) berorientasi kini dan sekarang, artinya guru harus memakai
konteks yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, agar bahasa guru dapat
menjadi sumber input yang potensial, guru bahasa Inggris harus menggunakan
struktur bahasa yang sederhana, tidak banyak kalimat majemuk, kosa kata yang
sudah diketahui oleh siswa dan yang berkaitan dengan masalah di lingkungan
anak, serta ia harus berbicara pelan dengan ucapan yang sangat jelas tetapi tepat.
Kedua, agar input terpahami, input harus menarik dan relevan. Input yang
menarik dan relevan akan membuat siswa mencurahkan perhatiannya kepada isi
pesan dan motivasi mereka unuk belajar lebih banyak. Dalam kaitan ini, Krashen
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa akan terjadi secara maksimum apabila si
pembelajar tidak sadar terhadap pesan yang disampaikan dalam bahasa asing.
Dalam hal ini, tugas guru adalah mencari materi pengajaran yang menarik dan
relevan bagi sekolah dasar dan dengan bahasa yang sederhana. Hal ini merupakan
tugas yang tidak ringan, perlu kerja keras, keterampilan tinggi, dan biaya yang
tidak murah.
15
Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian adalah kemampuan
berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia siswa SD, siswa SMP, dan siswa
SMTA, bahkan mahasiswa masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena sikap
negatif mereka terhadap kedua bahasa tersebut, terlebih terhadap bahasa daerah.
Dengan masuknya bahasa Inggris di sekolah dasar, dikhawatirkan sikap mereka
terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia semakin negatif dalam arti bahasa
tersebut diremehkan dan dipinggirkan. Minat mereka untuk belajar bahasa daerah
dan bahasa Indonesia akan berkurang. Padahal secara kultural, baik bahasa daerah
maupun bahasa Indonesia menjadi ciri jati diri dan kepribadian manusia dan
bangsa Indonesia. Bangga terhadap bahasa Inggris akan memotivasi mereka untuk
belajar bahasa Inggris, tetapi apabila hal ini terjadi berlebihan akibatnya tidak
baik. Mereka tidak akan mencintai bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang
mengakibatkan penguasaan bahasa tersebut dirasakan sangat rendah.
Kenyataannya bahasa Indonesia yang sekarang dipelajari oleh orang Australia
sebagai bahasa asing justru tidak dinikmati oleh siswa Indonesia. Oleh karena itu,
tugas guru bahasa daerah dan bahasa Indonesia menjadi lebih berat. Mereka harus
bekerja lebih keras untuk membuat pelajaran bahasa daerah dan bahasa Indonesia
menarik sehingga peserta didik termotivasi dan tidak memandang kedua bahasa
tersebut lebih rendah daripada bahasa Inggris. Di samping itu, guru bahasa Inggris
sendiri harus mempunyai pandangan positif terhadap bahasa daerah dan bahasa
Indonesia.
Menurut Curtain dan Pesola (1994), dewan sekolah atau komite sekolah
dan persatuan orangtua murid perlu memberikan alasan kuat dan bukti nyata
16
sebelum sekolah membuat keputusan atau kebijakan. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan tentang waktu yang tersedia, dana, dan jenis program ini. Selain
itu, program bahasa Inggris ini perlu mengetengahkan manfaat pembelajaran
bahasa, pilihan bahasa yang harus diajarkan, jenis kegiatan pembelajaran yang
akan dipakai, dan sebagainya. Dasar pemikiran yang meyakinkan dan
perencanaan yang mantap akan membantu perlunya keberadaan pelajaran bahasa
asing di sekolah dasar.
Kebijakan lain yang perlu dipahami adalah adanya pengelompokan mata
pelajaran, khususnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dengan
adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu diketahui bagaimana posisi mata
pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Dari kerangka dasar dan struktur
kurikulum yang ada saat ini dapat dilihat Pasal 7 Ayat 7 bahwa pelajaran bahasa
Inggris di sekolah dasar termasuk kelompok mata pelajaran estetika. Mata
pelajaran bahasa Inggris yang termasuk mata pelajaran muatan lokal memerlukan
kegiatan bahasa yang relevan dengan tingkat pembelajarannya.
Kebijakan-kebijakan yang telah dituangkan dalam bentuk surat keputusan
atau peraturan pemerintah merupakan pegangan yang dapat dipakai sebagai dasar
untuk mengembangkan mata pelajaran bahasa Inggris, terutama di sekolah dasar.
Landasan seperti ini penting untuk diketahui, terutama bagi pengembang dan
pengelola program mata pelajaran bahasa Inggris untuk usia muda atau siswa
sekolah dasar.
17
Kebijakan tahun 2006 yang perlu diketahui berkaitan dengan mata
pelajaran muatan lokal adalah Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 Tanggal
23 Mei 2006. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk
keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata
pelajaran yang ada. Menurut kebijakan ini, substansi muatan lokal ditentukan oleh
satuan pendidikan dan jam mata pelajaran muatan lokal yang dialokasikan dua
jam, yaitu berarti 2 x 35 menit. Selain itu, dalam peraturan menteri, mata pelajaran
muatan lokal diprogramkan di kelas empat, lima, dan enam sekolah dasar.
Selain kebijakan yang sifatnya nasional seperti yang disebutkan di atas, ada
pula kebijakan yang bersifat regional dan institusional. Kebijakan semacam ini
biasanya diambil oleh pimpinan atau kepala sekolah setelah dirapatkan dengan
staf guru atau komite sekolah. Mata pelajaran muatan lokal seperti pelajaran
bahasa Inggris di sekolah dasar merupakan wewenang sekolah untuk menentukan
apakah mata pelajaran bahasa Inggris perlu diberikan di sekolahnya. Jika
diperlukan dimulai pada kelas berapa dan seminggu berapa jam. Apabila sudah
ada keputusan, maka diperlukan persiapan yang cermat, yaitu berkaitan dengan
tenaga pengajar dan bahan ajarnya.
Sebenarnya, tujuan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan
tujuan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di negara tempat bahasa
Inggris sebagai media komunikasi. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing
pertama yang wajib diajarkan di SMP dan SMA. Akan tetapi, di sekolah dasar
merupakan salah satu pelajaran muatan lokal pilihan dan belum merupakan mata
18
pelajaran wajib. Tujuan pengajaran bahasa Inggris mencakup semua kompetensi
bahasa, yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan
menulis (writing). Bahasa Inggris sangat berbeda dengan bahasa pertama anak-
anak di Indonesia (bahasa Indonesia, Bali, Sunda, Jawa, dan bahasa daerah
lainnya di Indonesia). Beberapa perbedaan kebahasaan ini penting untuk dipahami
oleh guru agar pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal-hal
tersebut berupa ucapan, ejaan, struktur bahasa, tekanan dan intonasi, kosa kata,
serta nilai kultur bahasa asing.
Kebijakan berikutnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan
(SKLSP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan. Mata
pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar mencakup tujuan sebagai berikut. (1)
Mendengarkan, yaitu memahami instruksi, informasi, dan cerita yang sangat
sederhana yang disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan
lingkungan sekitar. (2) Berbicara, yaitu mengungkapkan makna secara lisan dalam
wacana interpersonal dan transaksional yang sangat sederhana dalam bentuk
instruksi dan informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (3)
Membaca, yaitu membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi,
informasi, teks fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana
yang disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan
sekitar. (4) Menulis, yaitu menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek
yang sangat sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.
19
Dalam hal ini, dimasukkannya bahasa Inggris sebagai muatan lokal di
sekolah dasar, sampai saat ini masih mengundang pro dan kontra di antara pakar
pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Ada banyak pakar
yang mengatakan bahwa pengajaran bahasa Inggris akan berhasil apabila
diberikan sedini mungkin. Akan tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa
apabila bahasa Inggris diajarkan mulai di sekolah dasar, hal ini justru menambah
beban siswa, mengingat siswa sekolah dasar mempunyai beban berat dalam tugas
mereka. Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar akan menimbulkan banyak
masalah dan dikhawatirkan akan memperpanjang kegagalan pengajarannya di
Indonesia.
Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali dan dikenal dengan
paradigma “berwawasan budaya” sangat berkaitan dengan kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris dalam keberadaannya sebagai kota pendidikan, kota
bisnis, kota pariwisata, dan kota budaya. Sekolah-sekolah dasar yang ada, baik
negeri maupun swasta, mengedepankan proses pembelajaran bahasa Inggris. Hal
ini berkenaan dengan persoalan ekologi bahasa karena bahasa yang memberikan
kehidupan dan kesejahteraanlah yang akan hidup dan dihidupkan. Pemerolehan
kemampuan awal atau permulaan bahasa Inggris yang baik dan benar sejak dini
akan memungkinkan pembelajar mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada
masa depan.
Sebagai bagian dari kajian budaya kritis (critical cultural studies),
penelitian ini berfokus pada kebijakan pemerintah yang menyangkut pelaksanaan
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Kota Denpasar. Dengan
20
demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis, termasuk kaitannya dengan
kekuasaan di baliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di lapangan dalam
rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut.
Dalam hal ini adalah murid-murid sekolah dasar di Kota Denpasar yang menjadi
sasaran pembelajaran basasa Inggris.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam fenomena yang dialami terkait dengan
implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota
Denpasar, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan-
pertanyaan seperti berikut ini.
1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada
sekolah dasar di Kota Denpasar?
2) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi implementasi kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar?
3) Bagaimanakah makna implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris
sekolah dasar di Kota Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk memahami secara mendalam
dan kritis berbagai input, proses, dan output implementasi kebijakan pembelajaran
bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar, yaitu sekolah dasar negeri dan swasta,
khususnya di Kota Denpasar. Sebagai ibu kota provinsi, Kota Denpasar memiliki
21
sirkumstansi lokal-global, terutama keberadaannya sebagai kota budaya di satu
sisi dan kota bisnis dan pariwisata di sisi lain. Hal ini menyebabkan dalam banyak
aspek cukup beralasan untuk diterapkan kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di
sekolah-sekolah dasarnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui bentuk implementasi kebijakan pemerintah kota dalam
penyelelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota
Denpasar.
2) Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan
pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar
di Kota Denpasar.
3) Untuk menginterpretasi makna terbentuknya implementasi kebijakan
pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar
bagi sekolah, siswa, dan masyarakat di Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan
keilmuan dan kerangka teoretis-konseptual yang lebih jelas dan komprehensif
mengenai fenomena implementasi kebijakan pendidikan bahasa Inggris di sekolah
dasar dan pelaksanaannya di Kota Denpasar sebagai sebuah penelitian kritis
kajian budaya (critical cultural studies). Kajian budaya dalam keberadaannya
22
sebagai disiplin ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin berupaya mengkaji dan
mengkritisi efektivitas kebijakan dan pelaksanaan pendidikan bahasa Inggris serta
melihat hubungan-hubungan kuasa politik, ekonomi, dan budaya yang
melingkupinya. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis,
termasuk kaitan kekuasaan di baliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di
lapangan dalam rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses
pendidikan tersebut dalam hal ini siswa-siswa sekolah dasar di Kota Denpasar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kota Denpasar,
terutama dalam mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendidikan bahasa
Inggris sekolah dasar di wilayah pemerintahannya. Di samping itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memerkaya khazanah pengetahuan/kepustakaan
dalam penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris yang selama ini diasumsikan
tidak terkoordinasi secara baik di antara sekolah-sekolah dasar yang telah
mengajarkan bahasa Inggris. Di samping itu, perbaikan dan penyempurnaan
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dapat memperkuat jati diri dan sikap
positif terhadap bahasa daerah dan bahasa nasionalnya. Akhirnya, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pemberdayaan dan emansipasi bagi masyarakat
pada umumnya dan murid-murid sekolah dasar pada khususnya sebagai pihak-
pihak yang menjadi sasaran (pasar) bagi kebijakan pembelajaran yang dimaksud.
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Mata pelajaran muatan lokal merupakan mata pelajaran yang menyangkut
kebijakan tersendiri yang ditentukan oleh setiap provinsi. Dalam kebijakan itu,
bahasa Inggris dijadikan sebagi mata pelajaran muatan lokal pada sekolah dasar di
Kota Denpasar. Bahasa Inggris dinyatakan sebagai muatan lokal Berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 Tanggal 25
Februari 1993. Sebenarnya pengertian lokal atau daerah dapat berarti pada tingkat
provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan sekolah. Dalam kaitan ini, pelajaran
muatan lokal ini dapat ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan
alam, sosial dan budaya. Selain itu, diharapkan adanya keterlibatan pemerintah
daerah, pakar pendidikan serta pakar bahan ajar (Suyanto, 2001).
Beberapa penelitian tentang pembelajaran bahasa asing untuk anak-anak
yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Rachmajanti dkk,
(2000) dalam penelitiannya tentang penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar Kabupaten Malang, Jawa Timur menemukan fakta tentang belum
memadainya kompetensi guru sesuai dengan tuntutan pengajaran bahasa Inggris
di sekolah dasar. Hampir semua guru yang mengajarkan bahasa Inggris di sekolah
dasar bukanlah guru yang dipersiapkan secara akademis untuk keperluan tersebut.
Kondisi yang kurang menguntungkan ini berdampak negatif dalam proses belajar-
23
24
mengajar di kelas karena guru cenderung menerapkan cara yang sama dengan
pendekatan pengajaran orang dewasa.
Curtain dan Pesola (1994), dalam hasil penelitian dan observasinya
menemukan bahwa sebagian besar guru bahasa Inggris belum memiliki
keterampilan berbahasa dan metodologi mengajar yang sesuai dengan kebutuhan
siswa. Dalam hal ini direkomendasikan bahwa dalam mempersiapkan guru untuk
mengajar di sekolah dasar perlu mengacu pada tiga hal, yaitu (1) keterampilan
berbahasa dan pemahaman budaya, terutama tentang anak-anak tempat bahasa
tersebut dipakai; (2) metodologi dan pengalaman pengajaran bahasa untuk anak-
anak; serta (3) latar belakang pengetahuan dalam kurikulum dan filsafat sekolah.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru yang mengajar di
sekolah dasar bukanlah guru yang dipersiapkan untuk mengajarkan bahasa
Inggris, apalagi mengajari anak-anak. Hampir semua guru yang mengajarkan
muatan lokal bahasa Inggris terpaksa melakukannya karena diberi tugas oleh
kepala sekolahnya. Padahal bekal guru untuk mengajarkan bahasa Inggris bagi
siswa sekolah dasar sangat minim. Siswa sekolah dasar akan senang apabila
pelajaran bahasa asing ini menarik. Mereka akan berhasil apabila belajar hal baru,
yakni dilakukan dengan cara learning by doing, learning by playing, dan learning
by singing (Philips, 1995). Oleh karena itu, guru sekolah dasar seharusnya
terampil dalam memperkenalkan bahasa Inggris kepada siswanya melalui
berbagai kegiatan berupa games, song, dan story telling. Hal ini sudah terbukti
dari penelitian terdahulu, Di samping ditunjang oleh beberapa teori yang sudah
ditetapkan (Vale dan Feuntuen, 1996).
25
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Inggris di
sekolah dasar sebagai muatan lokal kurang menguntungkan. Dardiri (1994)
mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa teknik mengajar guru tidak bervariasi
dan cenderung menggunakan teknik yang lazim dipakai guru untuk mengajari
orang dewasa, seperti; tanya jawab, hafalan, dan menerangkan. Selain itu, kualitas
dan kuantitas media pembelajaran dianggap kurang memadai.
Temuan penelitian tersebut di atas mengisyaratkan antara lain bahwa
lemahnya proses belajar-mengajar disebabkan karena faktor guru dan sarana
penunjang, terutama keberadaan dan pemanfaatan media pembelajaran. Faktor
guru memang penting dalam proses belajar-mengajar, tetapi keberadaan guru
tanpa sarana penunjang tampaknya mengurangi kualitas proses belajar-mengajar.
Artinya, pemanfaatan sarana pembelajaran seperti buku teks dan media
sebenarnya dapat lebih mempertinggi kualitas pembelajaran (Ellington, 1985).
Sejak tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap semua
aspek kehidupan bangsa Indonesia. Perubahan itu disebabkan oleh perubahan
politik dan tata pemerintahan yang semula bersifat sentralistik menjadi
desentralistik. Dalam pemerintahan sentralistik, kebijakan penting dilakukan oleh
pemerintah pusat. Pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
menjadi pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Pada saat ini fungsi dan
wewenang pemerintah daerah lebih besar dalam membuat kebijakan dan
melaksanakannya sesuai dengan variasi potensi dan kepentingan pengembangan
daerahnya masing-masing. Dalam hal ini, salah satu desentralisasi pendidikan
adalah desentralisasi kurikulum. Pemerintah, dalam hal ini Kementrian
26
Pendidikan Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus
dipenuhi oleh satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa
standar kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan standar sarana dan
prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar tersebut diserahkan
kepada masing-masing daerah.
Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu, daerah dapat mengembangkan
potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu
kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang
berbasis keunggulan lokal. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas
sudah diatur pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat, tetapi
harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum sebagai
salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan perlu di-
desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi
daerah. Dengan demikian, daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk
merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Sehubungan dengan
kondisi daerah dan potensi daerah di Indonesia yang cukup beragam, maka daerah
perlu menggali, meningkatkan, dan mempromosikan potensinya melalui
pendidikan di sekolah.
Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah dan potensi
itu perlu dikembangkan lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masing-
masing daerah sangat bervariasi. Dengan keberagaman potensi daerah ini,
pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian
secara khusus bagi pemerintah daerah. Dengan demikian, anak-anak daerah tidak
27
asing dengan daerahnya sendiri serta paham betul dengan potensi dan nilai-nilai
serta budaya daerahnya sendiri sehingga dapat mengembangkan dan
memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan tuntutan ekonomi global yang
telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. Dalam kaitan ini diharapkan dengan
ekonomi global tersebut, masing-masing daerah mampu berlomba dan bersaing
dengan negara lain untuk memasarkan keunggulan daerahnya sendiri.
Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan
lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan
kepada siswa. Lingkungan alam adalah lingkungan hidup dan tidak hidup yang
mencakup komponen hewan dan tanaman beserta tempat tinggalnya, di samping
hubungan timbal balik di antara komponen tersebut. Lingkungan budaya adalah
lingkungan yang mencakup segenap unsur budaya yang dimiliki masyarakat di
suatu daerah tertentu, termasuk di dalamnya adalah kepercayaan, kebiasaan-
kebiasaan, adat istiadat, aturan-aturan umum yang tidak tertulis (misalnya: tata
krama, cara pergaulan, dan etiket dengan orangtua, muda-mudi, serta tetangga),
nilai-nilai serta penampilan perlambang-perlambang yang menyatakan perasaan,
seperti yang terdapat dalam upacara adat/tradisional, bahasa daerah, dan kesenian
daerah.
Perpaduan antara lingkungan alam, sosial, dan budaya pada hakikatnya
membentuk suatu kehidupan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang disebut dengan
pola kehidupan. Jadi, pola kehidupan masyarakat mencakup interaksi antar
anggota masyarakat tersebut yang meliputi interaksi antar individu, antara
28
individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lainnya baik
secara formal maupun informal.
Dalam kenyataannya, pola kehidupan suatu masyarakat dapat berbeda
dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan
alamnya dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Kebudayaan suatu
masyarakat, yakni mencakup: gagasan, keyakinan, pengetahuan, aturan dan nilai,
serta perlambang (simbol-simbol) yang digunakan untuk menanggapi
lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan bahan pelajaran bermuatan
lokal, yakni mengacu pada pola kehidupan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam mengembangkan wawasan lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Dengan memahami arti dan hakikat
kurikulum muatan lokal, siswa tidak hanya mengetahui dunia global, tetapi
budaya lokal perlu dipahami dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk
Sekolah Dasar yang Dikembangkan Berdasarkan Tujuan setiap Satuan
Pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah sebuah acuan kompetensi
yang harus dimiliki seorang anak jika ia lulus pada jenjang pendidikan tersebut.
Berikut ini adalah SKL mata pelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar. (1)
Mendengarkan: memahami instruksi, informasi, dan cerita sangat sederhana yang
disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
(2) Berbicara; yakni mengungkapkan makna secara lisan dalam wacana
interpersonal dan transaksional sangat sederhana dalam bentuk instruksi dan
29
informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (3) Membaca;
yakni membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi, informasi, teks
fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana yang
disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar.
(4) Menulis; yakni menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek sangat
sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.
Berdasarkan asumsi hasil perbincangan dengan para praktisi, khususnya
guru bahasa Inggris di SMP serta pengamatan di lapangan, bahwa siswa yang
telah memiliki bekal pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar tidak akan
mengalami kesulitan yang berarti ketika mengikuti pembelajaran bahasa Inggris di
kelas tujuh. Mereka akan show of force atau menunjukkan apa yang telah mereka
dapat dan mereka kuasai di sekolah dasar. Kemampuan kosakata dan ungkapan-
ungkapan sederhana dalam konteks kelas yang mereka dapatkan di sekolah dasar
cukup memberikan kontribusi dalam proses pembelajaran di SMP. Kondisi
demikian biasanya terjadi di SMP perkotaan karena mereka memiliki bekal
bahasa Inggris sejak kelas empat, bahkan ada beberapa sekolah dasar yang
memberikan muatan lokal bahasa Inggris sejak kelas satu. Mereka tidak asing lagi
terhadap ucapan-ucapan bahasa Inggris. Hal ini sangat membantu proses
pembelajaran di SMP. Terlebih lagi jika guru yang mengajar di kelas tujuh
mampu memberikan motivasi dan membantu siswa tersebut untuk memelihara
kompetensinya. Sementara itu, SMP yang berada di daerah pinggiran atau
pedesaan, pada umumnya memiliki input siswa yang tidak semuanya memiliki
bekal bahasa Inggris ketika di sekolah dasar. Keadaan ini cukup menjadi kendala
30
karena guru kelas tujuh harus mengenalkan bahasa Inggris dari awal. Dalam hal
ini siswa yang pernah mendapatkan sebelumnya akan merasa sedikit bosan karena
materi itu terulang lagi. Oleh karena itu, guru harus mampu memberikan variasi
pembelajaran untuk kondisi kelas yang demikian.
Dalam pembelajaran bahasa Inggris, kematangan siswa di kelas tidak
hanya ditentukan oleh usia atau jenjang pendidikan, tetapi juga oleh faktor utama
yaitu guru, media pembelajaran, serta metode atau teknik yang digunakan. Selain
itu, ada pula faktor pendukung lainnya, seperti: sekolah, lingkungan (perkotaan
atau pedesaan), budaya setempat, minat, dan pengaruh orangtua. Oleh karena itu,
maka dapat ditarik simpulan bahwa keberadaan muatan lokal bahasa Inggris di
sekolah dasar sangat mendukung proses pembelajaran di SMP dan jenjang
selanjutnya. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan bahasa Inggris sebagai muatan lokal di SD,
yaitu: Pertama, apakah stakeholder (kepala sekolah, komite sekolah) benar-benar
siap. Pihak sekolah dan orangtua murid seyogianya memiliki persepsi yang sama
tentang pentingnya bahasa Inggris sehingga dapat memberikan kontribusi
terhadap pelaksanaan dan ketercapaian program tersebut (penyediaan dana,
sarana, media, dan yang lainnya). Kedua, apakah tersedia tenaga pengajar yang
berkompeten atau mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Inggris serta
memiliki pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan bahasa. Ketiga,
apakah warga sekolah juga mendukung pelaksanaan program bahasa Inggris,
dalam hal ini guru-guru lain yang tidak mengajarkan bahasa Inggris. Hal ini
dibutuhkan karena dalam prosesnya diperlukan pembiasaan-pembiasaan
31
pemakaian bahasa bahasa Inggris dalam konteks sekolah. Pemikiran ini perlu
dipertimbangkan secara matang sebelum memutuskan pelaksanaan program
bahasa Inggris ini sehingga dapat berkesinambungan serta tidak terkesan
seadanya.
Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam
kompetensi, keterampilan, dan sikap. Kemampuan manusia untuk belajar
merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup lainnya, di samping merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sepanjang
hayatnya. Belajar juga merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk
mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau
pengalaman-pengalaman. Dengan demikian, belajar dapat membawa perubahan
bagi si pembelajar, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan.
Dengan perubahan-perubahan tersebut, tentunya si pelaku juga akan terbantu
dalam memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (Baharuddin, 2007). Dalam hal ini belajar ditandai dengan adanya
perubahan tingkah laku. Hal ini berarti bahwa hasil belajar hanya dapat diamati
dari tingkah laku, yaitu adanya perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak terampil menjadi terampil. Oleh karena tanpa mengamati tingkah
laku hasil belajar, tidak akan dapat diketahui ada tidaknya hasil belajar.
2.2 Konsep
Secara leksikal, “konsep” diartikan sebagai „objek, proses apa yang akan
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain‟ (Alam,2002:8).
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsep diperlukan untuk memahami
32
suatu hal, keadaan, ataupun benda yang dijadikan objek penelitian. Dalam konteks
implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota
Denpasar, beberapa konsep dijelaskan untuk memahami hal-hal yang bersifat khas
tentang pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar. Konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah (1) kebijakan pendidikan tentang
pembelajaran, (2) pembelajaran bahasa Inggris, (3) sekolah dasar, dan (4) kajian
budaya.
2.2.1 Kebijakan Pendidikan tentang Pembelajaran
Kebijakan pembelajaran merupakan kebijakan publik (public policy)
dalam pendidikan yang menyangkut kepentingan publik (masyarakat) dalam
pelaksanaan pendidikan. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses
pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain,
pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik. Adanya entitas pembelajaran dan kebijakan (publik) tersebut di
Indonesia, selalu terkait dengan proses pemerintahan di Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas), yakni di tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini Kota
Denpasar, ada di tangan Dinas Pendidikan (Diknas).
Kebijakan adalah bentuk intervensi sosial, kemudian setelah isi dasar
kebijakan (policy decision) diputuskan, persoalan yang segera menghadang
perumus kebijakan adalah memastikan agar keputusan kebijakan bisa
33
dilaksanakan serta dapat mengatasi masalah yang ingin diatasi. Kebijakan
dirancang sebagai tawaran jawaban terhadap permasalahan yang terjadi untuk
bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai bentuk
intervensi sosial dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati bahwa
kebijakan bukan sekadar sebagai sistem tempat aspirasi (tuntunan dan dukungan)
diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan
tetapi sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintahan.
Kebijakan pembelajaran secara sistemik terdiri atas masukan, proses, dan
output. Di dalamnya termasuk guru dan murid/pelajar serta proses belajar. Belajar
memiliki arti berusaha untuk memeroleh kepandaian atau ilmu. Dengan kata lain,
belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu. Usaha
untuk mencapai kepandaian atau ilmu merupakan usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian yang tidak dimiliki
sebelumnya.
Ahmadi (2001: 9) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu
Pendidikan memberikan batasan tentang pengertian dan definisi pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa yang
dilaksanakan secara disengaja, bertanggung jawab, dan dilakukan secara terus-
menerus. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dikatakan bahwa
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya untuk
34
kepentingan masyarakat bangsa dan negara. Tugas utama seorang pengajar atau
guru adalah memudahkan pembelajaran para pelajar. Untuk memenuhi tugas ini,
pengajar atau guru bukan saja harus dapat menyediakan suasana pembelajaran
yang menarik dan menyenangkan, tetapi juga dapat menciptakan pengajaran yang
berhasil dan berkesan. Di samping itu, seorang pengajar atau guru harus mampu
mewujudkan suasana pembelajaran yang dapat merangsang minat pembelajar
untuk belajar serta senantiasa memikirkan keadaan dan keperluan mereka.
Dalam proses belajar-mengajar, guru sering berhadapan dengan pelajar-
pelajar yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini memerlukan
kemampuan guru dalam menentukan strategi pengajaran dan pembelajaran. Hal
ini berarti, guru boleh menentukan pendekatan, memilih metode, serta
menetapkan teknik-teknik tertentu yang sesuai dengan perkembangan dan
kemampuan pelajar. Strategi yang dipilih itu, selain berpotensi dapat merangsang
pelajar secara aktif, juga harus mampu menarik hati pelajar serta dapat
menghasilkan pembelajaran yang bermakna.
Dalam merancang bahan ajar yang berkesan dan bermakna untuk para
pelajar, guru haruslah memikirkan terlebih dahulu metode dan teknik yang akan
digunakan. Pemilihan strategi secara tepat akan mampu menjamin kelancaran
serta keberhasilan penyampaian subjek atau bahan ajar. Penggunaan metode dan
teknik mengajar yang bervariasi membuat pengajaran itu menarik dan
memberikan ruang bagi pembelajar terlibat secara aktif sepanjang proses belajar-
mengajar tanpa merasa jemu dan bosan. Dalam pengajaran dan pembelajaran,
terdapat beberapa metode dan teknik yang dapat digunakan oleh guru. Oleh
35
karena itu, pemilihan metode dan teknik perlu dilakukan secara hati-hati supaya
cara-cara ini tidak menghalangi guru dalam melaksanakan proses pembentukan
konsep-konsep secara mudah dan berkesan serta dapat mendorong pembelajar
mempelajari sesuatu melalui pengalaman dan percobaan. Selanjutnya, dari segi
penggunaan teknik mengajar, guru boleh menggunakan teknik yang dipikirkan
seperti teknik menerangkan, teknik mengkaji, teknik menyelesaikan masalah,
teknik bercerita, dan teknik berdiskusi. Penggunaan contoh-contoh yang
bermakna akan membantu pembelajar dalam memahami materi pengajaran dan
pembelajaran. Biasanya seorang guru menerangkan ide-ide yang kompleks kepada
pembelajar melalui contoh-contoh dan ilustrasi. Ide yang abstrak dan konsep-
konsep yang baru dan susah, lebih mudah dipahami apabila guru menggunakan
contoh-contoh dengan ilutrasi yang mudah dan konkret. Misalnya, dalam bentuk
lisan, yakni dengan mengemukakan analogi, bercerita, mengemukakan metafora,
dan sebagainya. Contoh-contoh bisa juga ditunjukkan dalam bentuk visual.
Pada saat ini, di sebagian besar negara di kawasan Asia, jutaan anak di
tingkat sekolah dasar mengikuti pendidikan bahasa Inggris. Pengajaran bahasa
Inggris pada tingkat ini telah terselenggara beberapa tahun dan berbagai usaha
untuk perbaikan pengajarannya telah dilakukan agar tercapainya hasil yang
maksimal (Grassick, 2007:8). Pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah
dasar cenderung berkembang dengan cepat. Hal ini merupakan fenomena baru
sekaligus merupakan suatu tantangan dan harapan bagi jutaan pembelajar usia
muda untuk mendapatkan suatu model pengajaran bahasa Inggris yang efektif dan
36
efisien sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi pada zaman
posmodern ini.
Dalam kaitan ini The British Council telah berbuat banyak dalam berbagai
proyek untuk meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar
di sembilan negara kawasan Asia Timur, seperti Indonesia, Jepang, Korea,
Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Pada Maret 2007,
sekitar 55 ahli pengajaran bahasa Inggris dari kementerian pendidikan dan
lembaga pendidikan lainnya berkumpul di Vietnam. Mereka mengadakan seminar
dalam rangka memberikan kesempatan bagi peserta menyampaikan beberapa
masalah berkenaan dengan pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar
serta saling tukar pendapat mengenai berbagai masalah yang muncul dalam
penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris.
Pengajaran bahasa Inggris pada usia muda pada pendidikan formal
merupakan fenomena baru pada era global ini. Sebuah survai yang dilakukan oleh
kedutaan Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar negara yang memberikan
pengajaran bahasa Inggris pada usia muda dimulai pada awal 1900-an. Pada
mulanya kebanyakan negara memberikan pendidikan bahasa Inggris sebagai suatu
percobaan, tetapi kemudian pengajaran bahasa Inggris menjadi lebih luas di
kebanyakan negara (Graddol, 2006:88).
Hampir pada kebanyakan sekolah di kawasan Asia, penyelenggaraan
pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar tidak hanya untuk
mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, tetapi pengajaran bahasa
Inggris juga merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk diajarkan sebagai
37
bahasa pengantar mata pelajaran lain, seperti: matematika, biologi, dan mata
pelajaran lainnya. Dalam kaitan ini, Graddol (2006:89) mengatakan bahwa
pengajaran bahasa Inggris pada usia muda (English for young learners) tidak
hanya merupakan peroyek pendidikan, tetapi merupakan tujuan yang lebih luas,
yakni mencakup kepentingan politik dan ekonomi seperti dikatakan oleh pejabat
senior Korea pada Institut Kurikulum dan Evaluasi Pendidikan bahwa pendidikan
bahasa Inggris akan memperbaiki daya saing bangsa.
Banyak argumentasi para pendidik untuk memberikan pengajaran bahasa
Inggris pada tingkat sekolah dasar. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
mempelajari bahasa pada usia muda adalah lebih baik (the earlier the better).
Prinsip ini didasarkan atas beberapa penelitian pada pemerolehan bahasa pertama
(L1) oleh seorang anak bilingual yang belajar dua bahasa.
2.2.2 Pembelajaran Bahasa Inggris
Perubahan status bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sangat
berpengaruh terhadap pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Fenomena
kehidupan yang semakin mengglobal yang terjadi di kawasan Asia menjadikan
bahasa Inggris sebagai bahasa yang dipakai oleh kebanyakan negara di kawasan
ini. Bahkan bahasa Inggris mempunyai peran yang sangat besar dalam
pengembangan budaya daerah (Herawati, 1998). Oleh karena menguasai lebih
dari satu bahasa, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, sangat
diperlukan dalam zaman posmodern ini. Demikian pula kemajuan di bidang
ekonomi dan pendidikan memerlukan komunikasi yang lebih luas, terutama jika
ingin bekerja sama dengan negara lain. Oleh karena semua hal ini memerlukan
38
bahasa yang mempunyai status internasional. Perpindahan penduduk dengan
berbagai tujuan ke negara lain akan mempercepat keinginan seseorang untuk
mempelajari lebih dari satu bahasa khususnya bahasa yang bertaraf internasional.
Dalam menyikapi perkembangan pendidikan yang semakin luas dan kerja
sama antara negara, khususnya kerja sama pendidikan di kawasan Asia,
pemerintah telah mengantisipasinya dengan program sekolah internasional yakni
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 Bab V Ayat 3 yang mengisyaratkan terbentuknya sekolah bertaraf
internasional. Di sekolah bertaraf international itu siswa SMA belajar mata
pelajaran tertentu dengan bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Kebijakan
pemerintah ini sudah tentu membawa dampak terhadap kondisi proses belajar-
mengajar siswa, terutama dalam meningkatkan kemampuan siswa untuk
menguasai bahasa Inggris.
Dalam hal ini Mckay (2004) mengatakan bahwa bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional tidak disebabkan oleh jumlah pemakainya. Jikalau ukurannya
jumlah pemakai, bahasa Cinalah yang pantas disebut bahasa internasional, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Walaupun digunakan oleh lebih dari satu milyar
orang, bahasa Cina hanya dipakai sebagai bahasa pertama oleh penduduknya. Hal
ini berarti sangat sedikit orang yang memakai bahasa Cina sebagai bahasa kedua
ataupun sebagai bahasa asing. Namun, sangat berbeda dengan bahasa Inggris yang
banyak dipakai oleh penduduk dunia sebagai bahasa kedua ataupun bahasa asing.
Hal ini berarti bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang
39
digunakan oleh berbagai negara dalam berkomunikasi dalam bidang ekonomi,
politik, sosial, dan pendidikan (Smith, 1976:17).
Pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak merupakan fenomena baru
dalam dunia posmodern ini. Banyak negara di kawasan Eropa dan Amerika serta
kawasan Asia memberikan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Pembelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar didasari suatu pendapat bahwa
belajar bahasa asing atau bahasa kedua akan lebih baik apabila dimulai lebih awal
(Hammerly, 1982). Anggapan bahwa belajar bahasa asing pada usia muda lebih
baik daripada pembelajar dewasa, mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk
memberikan bahasa Inggris lebih awal karena lebih mudah menarik perhatian dan
minat anak-anak daripada orang dewasa. Dalam hal ini sebuah survai yang
dilakukan oleh The British Council tahun 1999 menunjukkan bahwa kebanyakan
negara yang memulai pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar telah
memberikan inovasi serta memberikan perhatian khusus tentang pelaksanaan
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar pada tahun 1990-an.
Ada beberapa pendekatan yang tampaknya dijadikan pegangan oleh para
pakar yang menyetujui bahasa Inggris menjadi muatan lokal di sekolah dasar,
yakni (1) theory of language acquisition devices (LAD), (2) hipotesis umur kritis
(critical age hypothesis), dan (3) teori afektif (affective filter hypothesis). Teori
language acquisition device menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai sarana
untuk belajar bahasa yang disebut ”language acquisition device” (LAD). Hal ini
merupakan kemampuan alamiah yang dimiliki oleh setiap orang sejak lahir.
Lingkungan atau pengajaran hanyalah pemicu yang mengaktifkan alat ini.
40
Menurut teori ini, belajar bahasa asing tidak jauh berbeda dengan belajar bahasa
pertama. Oleh karena kemampuan belajar alamiah atau LAD inilah menyebabkan
setiap orang dapat belajar bahasa apa saja dan kapan saja tanpa mengalami
kesukaran sehingga pengajaran bahasa Inggris dapat dilakukan mulai sekolah
dasar.
Dalam hipotesis umur kritis (critical age hypothesis), Krashen (1982: 72)
mengatakan bahwa secara biologis elastisitas otak anak masih tinggi sehingga
masih sangat mudah untuk menguasai bahasa apa pun. Akan tetapi, elastisitas ini
akan berhenti setelah anak memasuki pubertas. Oleh karena sejak itu dalam otak
anak terjadi proses leteralisasi (penyebelahan) fungsi, yakni saraf yang berkaitan
dengan proses penguasaan bahasa ada di bagian kiri dan kanan otak. Kemudian,
proses belajar bahasa dipusatkan di belahan kiri saja. Sejak proses ini terjadi
perkembangan bahasa anak cenderung beku. Keterampilan dasar berbahasa yang
belum dikuasai pada masa itu, terutama keterampilan mengucapkan akan
cenderung tidak sempurna karena elastisitas alat ucap. Dengan kata lain, secara
singkat, teori umur kritis ini mengatakan bahwa (1) penguasaan bahasa itu tumbuh
sejajar dengan pertumbuhan, dan (2) sesudah masa puber penguasaan bahasa
secara natural sudah tidak bisa lagi (Dardjowidjojo, 1986). Agar kemampuan alat
ucap itu berkembang secara maksimal, teori Lennerbeg ini tampaknya dapat
dijadikan dasar untuk mendukung dimulainya pengajaran bahasa Inggris pada usia
muda, yakni sebelum terjadi penyebelahan otak. Dengan demikian, diputuskannya
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai muatan lokal merupakan
keputusan yang sangat tepat.
41
Teori lain yang mendukung pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar
adalah teori afektif. Menurut Krashen (1982), proses belajar bahasa terjadi karena
adanya input (masukan), baik tertulis maupun lisan. Namun, tidak semua input
dapat diproses oleh otak. Agar input ini diproses oleh otak, input harus menjadi
intake. Hal ini terjadi apabila kondisi afektif anak baik, artinya anak tidak takut,
tidak gugup, atau tidak tegang. Pada usia muda anak pada umumnya tidak takut
membuat kehilafan, tidak malu, tidak takut ditertawakan, dan tidak tegang. Dalam
suasana semacam ini input yang terpahami dapat diterima dengan baik sehingga
dapat dipahami dengan mudah. Faktor afektif ini tampaknya juga mendukung para
pakar untuk menyetujui bahasa Inggris diajarkan sejak di sekolah dasar.
Dalam psikologi pendidikan dikenal adanya teori perkembangan. Model
pembelajaran yang cukup dikenal adalah pendekatan pengembangan yang sering
dihubungkan dengan Jean Piaget (1896-1980). Dalam model Piaget (dalam Orlich
dkk, 1998), dikenal adanya empat tahapan pengembangan, yaitu sensorimotor
stage, (lahir sampai usia 2 tahun); preoperational stage (2-8 tahun); concrete
operational stage (8-11 tahun); dan formal stage (11-15 tahun ke atas). Jadi
apabila anak sekolah dasar belajar bahasa mulai kelas tiga atau empat mereka
sedang dalam tahapan concrete operational stage. Oleh karena itu, mereka
memerlukan banyak ilustrasi, model, gambar, dan kegiatan-kegiatan lain.
Menurut Curtain dan Pesola (1994), anak-anak akan belajar bahasa asing
dengan baik apabila proses belajar terjadi dalam konteks yang komunikatif dan
bermakna baginya. Konteks ini meliputi situasi sosial dan kultural, permainan,
nyanyian, dongeng, serta pengalaman-pengalaman kesenian, kerajinan, dan olah
42
raga. Dalam hal ini, tujuan orang mempelajari bahasa agar mampu menggunakan
bahasa yang sedang dipelajari dalam berkomunikasi. Selanjutnya dalam
mempelajari suatu bahasa, ada empat keterampilan, yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis yang harus dikembangkan dalam mempelajari
suatu bahasa. Oleh karena itu, dalam suatu proses belajar-mengajar guru dan
siswa harus mengembangkan keterampilan tersebut secara efektif sehingga si
pembelajar dapat menggunakan bahasa yang mereka pelajari dalam
berkomunikasi.
Media pembelajaran adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan
dalam kegiatan belajar-mengajar, yakni dengan maksud menyampaikan pesan
pembelajaran dari guru ataupun sumber lain kepada anak didik. Pesan yang
disampaikan melalui media, dalam bentuk isi atau materi pengajaran itu harus
dapat diterima oleh anak didik, yakni dengan menggunakan salah satu ataupun
gabungan beberapa alat indera mereka. Pada umumnya keberadaan media muncul
karena keterbatasan kata-kata, waktu, ruang, dan ukuran. Di samping itu,
ditambahkan bahwa media pembelajaran berfungsi sebagai sarana yang mampu
menyampaikan pesan sekaligus mempermudah penerima pesan dalam memahami
isi pesan. Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru sebagai
pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk
objek secara visualisasi. Dalam hal ini masing-masing media mempunyai
keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan
karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam
pembelajaran.
43
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong
upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses
belajar. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang disediakan
oleh sekolah. Oleh karena tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru sekurang-kurangnya
dapat menggunakan alat yang murah dan efisien meskipun sederhana dan
bersahaja, tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pengajaran
yang diharapkan. Di samping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru
juga dituntut agar dapat mengembangkan keterampilan membuat media
pengajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Untuk
itu, guru harus memiliki pengetahuan dan pemahamaan yang cukup tentang media
pengajaran.
Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau
kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memeroleh
pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan
lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media
dalam proses belajar-mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis,
fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali
informasi visual atau verbal. Media sering diganti dengan istilah mediator yang
berarti media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang
efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar siswa dan isi pelajaran. Di
samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem
pengajaran yang melakukan peran mediasi, yakni dari guru sampai pada peralatan
44
paling canggih, dapat disebut media. Ringkasnya, media adalah alat-alat yang
dapat menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran. Dengan
demikian, maka dapat dipahami bahwa media merupakan alat bantu, yakni
sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi,
televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-
bahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Pelajaran dapat
menyenangkan apabila guru dapat memadukan antara kategori dan benda-benda
yang ada (Halliwell, 1992).
Dalam suatu proses belajar-mengajar, dua unsur yang amat penting adalah
metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan.
Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan memengaruhi jenis media
pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus
diperhatikan dalam memilih media, seperti tujuan pengajaran, jenis tugas, dan
respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks
pembelajaran, termasuk karakteristik siswa.
Manfaat positif penggunaan media sebagai bagian integral pengajaran di
kelas adalah sebagai berikut. (1) Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku.
Setiap pembelajar yang melihat atau mendengar penyajian melalui media
menerima pesan yang sama. (2) Pengajaran bisa lebih menarik. Media dapat
diasosiasikan sebagai penarik perhatian dan membuat siswa tetap terjaga dan
memerhatikan. (3) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya
teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi
siswa, umpan balik, dan penguatan. (4) Lama waktu pengajaran yang diperlukan
45
dapat dipersingkat untuk mengantarkan pesan-pesan dan isi pelajaran dalam
jumlah yang cukup banyak dan kemungkinannya dapat diserap oleh siswa. (5).
Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan (6) Pengajaran dapat diberikan kapan dan
di mana diinginkan. (7) Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan
terhadap proses belajar dapat ditingkatkan. (8) Peran guru dapat berubah ke arah
yang lebih positif dalam proses belajar-mengajar.
2.2.3 Sekolah Dasar
Sekolah dasar dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
dikategorikan pendidikan dasar. Pada Pasal 17 disebutkan bahwa (1) pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah; (2) pendidikan dasar dapat berbentuk sekolah dasar, madrasah
ibtidayah, atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan
madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat; (3) ketentuan mengenai
pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan 2 diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan penjelasan tersebut, pendidikan dasar
terutama adalah sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak
untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Selanjutnya yang disebut sebagai pembelajar muda usia di sini adalah
siswa sekolah dasar, yakni berusia antara 6-12 tahun. Mereka dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu younger group (6-8 tahun) dan older group (9-12
tahun). Menurut jenjang kelasnya, mereka bisa disebut anak-anak lower classess,
yaitu anak kelas satu, dua, dan tiga serta upper classess siswa kelas empat, lima,
dan enam. Sementara itu, Scott dan Ytreberg (1990) membagi mereka dalam
46
kelompok level one atau tingkat pemula (5-7 tahun) dan level two (8-10 tahun),
kelompok level two juga biasa disebut beginners jika mereka baru mulai belajar
bahasa Inggris pada usia itu.
Beberapa hal mengenai siswa usia muda yang belajar bahasa Inggris, yaitu
yang berkaitan dengan pengelompokan berdasarkan usia, karakteristik siswa EYL,
beberapa faktor yang memengaruhi pembelajaran EYL, dan kegiatan yang
disenangi anak-anak. Dalam membicarakan pembelajaran bahasa Inggris untuk
anak-anak atau yang biasa disebut EYL (english for young learners), perlu
dipahami siapa yang dimaksud dengan siswa EYL. Siswa EYL adalah pembelajar
usia muda yang belajar bahasa Inggris. Mereka adalah anak-anak usia sekolah
dasar yang mendapatkan pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan
lokal di sekolahnya. Secara umum mereka adalah pembelajar pemula, tetapi perlu
diingat bahwa seorang guru EYL tidak dapat menyamaratakan mereka dengan
memberikan tugas dan kegiatan belajar yang sama. Kemampuan dan keterampilan
anak yang berbeda usia dalam pembelajaran bahasa Inggris tentu juga berbeda.
Apa yang dapat diserap dan dilakukan oleh pemula berusia tujuh tahun
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh siswa berusia sebelas tahun. Selain
perkembangan mereka tidak sama, beberapa dari mereka ada yang motivasi
belajarnya sangat tinggi dan berkembang lebih cepat, di samping ada juga
perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan temannya. Saat ini banyak
anak pre-school atau siswa taman kanak-kanak yang juga belajar bahasa Inggris
sehingga mereka dapat dikelompokkan dalam kelompok sendiri, yaitu kelompok
very young learners. Dalam pembelajaran bahasa Inggris, kematangan siswa di
47
kelas tidak hanya ditentukan oleh usia atau jenjang kelas saja, tetapi juga oleh
banyak faktor lain, seperti lingkungan (perkotaan atau pedesaan), budaya
setempat, minat, dan pengaruh orangtua. Dengan demikian, program dan jenis
kegiatan yang dilaksanakan oleh guru banyak ditentukan oleh pemahaman mereka
terhadap lingkungan, sikap, minat, dan latar belakang anak. Jika banyak hal
direkomendasikan untuk program EYL, maka guru dapat menggunakannya
sebagai bahan pertimbangan atau pedoman dan bukan sebagai peraturan yang
tidak bisa ditawar.
Pada dasarnya, yang perlu diingat sebagai salah satu tujuan penting dalam
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, yakni menumbuhkan minat anak
dalam belajar bahasa tersebut. Untuk dapat mencapai tujuan itu, perlu dipahami
karakteristik siswa sekolah dasar sehingga bisa memilih metode dan bahan
pembelajaran yang tepat bagi mereka. Oleh karena itu, sebelum seorang masuk ke
dalam kelas EYL, hendaknya sudah memiliki bekal pengetahuan yang cukup
tentang siswa yang akan dihadapi serta memiliki keterampilan mengajar bahasa
Inggris di sekolah dasar. Kelas EYL bisa menjadi pengalaman yang
menyenangkan bagi anak, tetapi bisa juga menjadi pengalaman yang menakutkan
bagi mereka.
Sejalan dengan laju pembangunan, usaha belajar-mengajar bahasa asing
memperoleh arti yang semakin penting. Mengingat bahasa asing, khususnya
bahasa Inggris cenderung dipakai dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tantangan itu patut dijawab oleh para pengajar bahasa asing dengan
memperbaharui dan memperluas wawasan di bidang didaktik dan metodik
48
sehingga anggapan bahwa bahasa asing hanya sebagai beban dan pelajaran yang
ditakuti serta membosankan dapat diatasi. Masalah yang juga sering menghantui
para pembelajar bahasa asing adalah rasa takut untuk membuat kesalahan
sehingga menimbulkan rasa takut untuk berbicara dan mengemukakan
pendapatnya dalam bahasa asing yang mereka pelajari. Untuk itu diperlukan
metode yang dapat mengantisipasi masalah-masalah tersebut.
Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang diterapkan secara luas di
Indonesia saat ini adalah pendekatan komunikatif. Pendekatan ini diharapkan
dapat memotivasi pembelajar untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajari.
Misalnya, berdialog/berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dengan
memanfaatkan materi yang tersedia, baik dalam buku teks maupun dari sumber
yang lain. Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa asing yang komunikatif
diperlukan perubahan didaktik metodik yang mengarah pada interaksi sosial serta
mengajak pembelajar untuk terlibat dalam proses belajar-mengajar. Proses
belajar-mengajar seperti di atas lebih mengarah pada pembelajaran yang
bermakna (contextual teaching and learning) atau CBSA (cara belajar siswa
aktif).
Dalam kaitan ini Raka Joni (1984:17) mengemukan bahwa proses belajar-
mengajar yang mengarah pada CBSA memiliki indikator sebagai berikut. (1)
Sejauh mana siswa berani memprakarsai untuk mengambil inisiatif tanpa secara
eksplisit diminta oleh guru, misalnya dalam menentukan langkah langkah belajar,
mencari sumber bacaan, dan yang lainnya. (2) Sejauh mana siswa melibatkan diri
secara mental dalam kegiatan belajar yang sedang berlangsung. (3) Sejauh mana
49
guru dapat mengubah kedudukannya dari seorang yang memimpin dan mengatur
segalanya menjadi seorang pendamping (fasilitator) yang siap membantu siswa,
sejauh hal itu dibutuhkan. (4) Sejauh mana siswa dapat belajar langsung lewat
pengalamannya dalam proses belajar-mengajar. (5) Sejauh mana bentuk dan alat
kegiatan belajar-mengajar bervariasi, dan (6) Sejauh mana tingkat kualitas
interaksi antarsiswa, baik intelektual maupun emosional.
Keenam indikator di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk
menciptakan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing, sehingga tercipta
proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien sesuai dengan harapan pengajar
dan pembelajar. Sejak tahun 80-an pengajaran bahasa asing yang mengutamakan
interaksi semakin mendapat perhatian karena semua kegiatan belajar-mengajar
mengarah kepada interaksi antarsiswa, termasuk interaksi siswa dengan guru
sehingga mengarah pada komunikasi yang sesuai dengan minat dan keperluan
siswa. Dengan menggunakan bentuk dan jenis kegiatan yang mengarah pada
interaksi sosial, pembelajar bahasa asing akan belajar dengan perasaan senang dan
gembira sehingga rasa takut dan bosan yang selama ini dirasakan para pembelajar
bahasa asing akan hilang dengan sendirinya.
Bagaimana kegiatan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing itu
dapat dijalankan secara efektif sangat ditentukan oleh guru sebagai motivator dan
fasilitatornya. Pengajar hendaknya dapat menciptakan iklim pengajaran bahasa
dalam bentuk interaksi yang komunikatif dalam kelas. Selain itu, perlu diingat
bahwa kelas tempat pengajaran bahasa itu disajikan, sudah merupakan konteks
sosial (the classroom as a social context) yang harus dimanfaatkan dalam proses
50
interaksi belajar-mengajar bahasa asing tersebut. Misalnya, bahasa asing tersebut
digunakan untuk memberikan salam kepada siswa, menyampaikan instruksi-
instruksi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, ataupun menjawab pertanyaan.
Pola kalimat yang digunakan tidak perlu terlalu kompleks, tetapi hendaknya
mampu menyampaikan makna pesan yang terkandung di dalamnya (Metty,
1990:18).
Dalam hal ini dengan menciptakan suasana hubungan interaksi sosial di
dalam kelas, yakni mencerminkan sikap guru sebagai fasilitator proses belajar-
mengajar dan semakin jauh dari sikap guru yang mengarah pada tindakan otoriter
sehingga perasaan takut dan malu untuk mengutarakan pendapat dan pertanyaan
dengan menggunakan bahasa asing yang diajarkan secara spontanitas akan hilang.
Mereka seolah-olah terlibat langsung kapan dan di mana bahasa asing itu
digunakan. Guru menerangkan hanya hal-hal yang penting untuk diterangkan.
Biasanya pembelajar akan berbicara atau belajar untuk berbicara kalau pengajar
sedang tidak berbicara. Jadi, guru perlu berusaha menahan diri, menerangkan
seperlunya saja, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak
berperan aktif. Hanya hal-hal yang mutlak diperlukan yang harus diterangkan.
Dalam hal ini soal yang tersusun baik dan jelas tujuannya akan mudah dipahami
apabila siswa bertanya dan meminta penjelasan terhadap soal tersebut, pada saat
itu barulah guru menerangkannya.
Jadi, pembelajaran bahasa asing akan berlangsung efektif jika para siswa
tidak pasif dan tidak sekadar belajar menghafal. Akan tetapi mereka aktif dan
kreatif dalam mencerna suatu materi pelajaran yang disajikan, di samping mampu
51
mengalihkannya ke dalam konteks sosial yang lain. Selain itu, guru hendaknya
tidak selalu berharap bahwa pembelajar selalu siap dengan jawaban. Apabila soal-
soal yang diajukan cukup jelas dan sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar,
pasti pengajar akan mendapatkan jawaban walaupun terkadang agak lama. Oleh
karena itu, perlu ditunggu sebentar, tidak langsung dialihkan kepada pembelajar
yang lain jika ada pembelajar yang tidak lancar menjawab. Kebebasan berpikir
mereka perlu dikembangkan untuk menemukan jawabannya. Apabila terjadi
kesalahan di antara jawaban mereka perlu didiskusikan di dalam kelas sehingga
mereka dapat mengoreksi kesalahannya sendiri dan menemukan jawabannya.
Tindakan tersebut dimaksudkan agar guru tidak terkesan memonopoli adegan-
adegan di dalam kelas, di samping seorang siswa akan merasa bangga jika ia
merasa mampu menemukan jawabannya sendiri. Oleh karena menemukan
jawaban sendiri akan lebih mudah diingat daripada hasil di-drill oleh orang lain.
Dalam hal ini, menoleransi kesalahan bukan berarti pengajar mendiamkan
saja kesalahan yang dibuat oleh pembelajar, melainkan membicarakan dan
mengoreksinya sesuai dengan tujuan latihan. Koreksi kesalahan hendaknya sesuai
dengan tujuan latihan terkait (Ekadewi, 1993:24). Misalnya, pada saat siswa
memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait,
sebaiknya guru tidak memotong untuk mengoreksi. Oleh karena hal ini akan
mengacaukan konsentrasi siswa atas apa yang akan disampaikannya, dalam kaitan
ini sebaiknya kesalahan tidak dikomentari. Kesalahan adalah normal, tidak
seorang pun berniat membuatnya. Suatu jawaban walaupun salah adalah hasil
suatu usaha. Di samping itu, kesalahan juga mempunyai arti diagnosis bagi guru.
52
Oleh karena dengan menganalisis suatu kesalahan guru dapat menemukan letak
kelemahan dalam penguasaan materi. Pemberian pujian, bantuan, dan
penghargaan atas usaha siswa biasanya mempertebal rasa percaya diri siswa, di
samping meningkatkan saling percaya antara siswa dan guru. Sebaliknya, kritik
dari pihak guru yang berlebihan kadang-kadang lebih memungkinkan
mendatangkan rasa khawatir dan takut untuk membuat kesalahan ketika
pembelajar akan mengemukakan pendapatnya sehingga kreativitas mereka
terganggu. Sebaiknya kritik semacam ini dihindari oleh para pengajar. Apabila
pada diri pembelajar terdapat rasa khawatir dan takut salah dalam mengemukakan
pendapatnya yang akhirnya dapat mengganggu konsenterasi dan kreativitasnya,
maka proses interaksi sosial di dalam kelas akan terganggu sehingga harapan
untuk berinteraksi dengan bahasa yang diajarkan sulit tercapai.
Pengajar dan pembelajar sebaiknya berusaha menggunakan bahasa asing
yang dipelajari. Penggunaan bahasa asing yang diajarkan bertujuan agar siswa
dapat merasakan bahwa keterbatasan kosa kata bukanlah hambatan untuk
bekomunikasi. Di samping itu, agar siswa berlatih untuk berpikir dan berbicara
dengan bahasa yang mereka pelajari. Hal ini akan mempersiapkan mereka agar
dapat berinteraksi wajar dalam situasi komunikasi yang riil. Sehubungan dengan
hal ini Littlewood (1983:17) menyatakan seperti di bawah ini.
“The learner’s ultimate objective is to take part in communication with
another. Their motivation to learn is more likely to be sustained if they can
see how their classroom learning is reacted to his objective and helps to
achieve it with increasing success”.
Jadi motivasi belajar seseorang akan dapat dikembangkan dan dipertahankan
apabila pengajaran dalam kelas itu benar-benar memenuhi kebutuhan mereka,
53
yakni kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari. Dengan
demikian mereka akan merasa bangga karena dapat berinteraksi dengan bahasa
dipelajari, sehingga dorongan untuk belajar bahasa asing akan semakin
meningkat.
Dalam hal ini motivasi bahkan merupakan penentu untuk mencapai
keberhasilan belajar. Oleh karena itu, siswa perlu dimotivasi, baik terhadap mata
pelajaran maupun terhadap materinya. Dalam kaitan ini J.S. Bruner (1978)
seorang ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi belajar, mengemukakan
bahwa motivasi merupakan salah satu dari empat tema pendidikan, di samping
stuktur pengetahuan kesiapan (readiness) dan nilai intuisi dalam proses
pendidikan. Selanjutnya, menurut Bruner (dalam Dahar, 1988:119), pengalaman-
pengalaman pendidikan yang merangsang motivasi adalah pengalaman-
pengalaman tempat para siswa berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi
alamnya. Dengan timbulnya kebutuhan timbul pula keinginan seseorang untuk
memenuhinya atau merealisasikannya dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini
motivasi merupakan bentuk-bentuk yang ada dalam otak manusia yang berfungsi
sebagai alat pendorong untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kebutuhannya.
Seorang guru yang baik akan berusaha mengidentifikasi kebutuhan
siswanya sebagai titik tolak dalam menciptakan proses belajar-mengajar yang
dapat menimbulkan, bahkan memperkuat motivasi belajar siswanya. Motivasi
pada hakikatnya sebagai modal dasar dalam mencapai keberhasilan belajar.
Fungsi pengajaran itu hendaknya ditunjukkan dengan jelas oleh guru sehingga
para siswa sungguh-sungguh menyadari pentingnya atau makna dari sesuatu yang
54
dipelajarinya. Apabila pembelajar mengetahui pentingnya menguasai materi
pelajaran bahasa asing yang dipelajari, mereka akan berusaha untuk mencapai apa
yang dinginkan.
Guru sebaiknya tidak meremehkan pengetahuan umum dan pengetahuan
yang sudah dikuasi sebelumnya oleh siswa. Seorang siswa akan senang untuk
aktif berbicara jika ia merasa dapat menceritakan hal-hal yang sudah diketahuinya
dalam percakapan di dalam kelas sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.
Bahkan pada situasi interaksi yang tidak terlalu formal terkadang seorang siswa
lebih banyak aktif sehingga terjadilah komunikasi dalam arti yang sebenarnya
antara siswa dengan siswa atau juga antara siswa dengan guru. Apabila memulai
dengan suatu tema baru, guru seharusnya mengetahui sampai sejauh mana siswa
mempunyai pengetahuan di bidang itu. Pengetahuan awal siswa diakomodasikan
dan diaktifkan kembali. Oleh karena akan sia-sia usaha guru menerangkan suatu
tema baru apabila siswa tidak mempunyai pengetahuan dasar untuk
menguasainya. Sebaliknya siswa akan cepat merasa bosan jika tidak mendapat
tambahan pengetahuan. Kemampuan dasar untuk menguasai materi yang akan
diajarkan sangat penting diketahui oleh para pengajar agar para pembelajar
dengan mudah menerima materi yang akan disajikan. Apabila pembelajar belum
memiliki pengetahuan dasar tentang materi yang akan diajarkan, sebaiknya para
pengajar memberikan pemanasan materi yang lalu atau materi dasar yang dapat
menunjang materi yang akan diterangkan. Dengan demikian, pembelajar akan
lebih mudah memahami materi yang akan disajikan.
55
Tujuan pembahasan suatu materi perlu diketahui oleh siswa. Untuk
menigkatkan semangat belajar ada baiknya jika siswa mengetahui arti dan tujuan
pembahasan suatu materi. Jika siswa mengetahui perlunya materi tersebut, tentu
rasa ingin tahu mereka akan lebih besar karena adanya rasa ingin tahu itulah yang
akan menimbulkan daya tarik yang kuat. Oleh karena siklus yang dikenal dalam
psikologi belajar adalah daya tarik, motivasi, dan keberhasilan daya tarik.
Dalam kaitannya dengan perhatian dan minat terhadap materi pelajaran,
Hardjono (1980:3) menegaskan bahwa perhatian merupakan salah satu
persyaratan dasar untuk keberhasilan belajar. Oleh karena tanpa menaruh
perhatian, siswa tidak akan mampu menyerap materi pengajaran dan tidak akan
bisa memproduksinya secara kreatif. Perhatian siswa di kelas sebagian besar
tergantung dari besarnya minat terhadap materi pelajaran. Adapun minat dapat
timbul disebabkan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing yang
ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) dorongan untuk memeroleh pengetahuan, (2)
sikap emosional positif terhadap sesuatu. Untuk itu, tujuan pembahasan suatu
materi baru perlu diterangkan pada awal pembahasan suatu materi agar
pembelajar mengetahui pentingnya materi yang akan dipelajari. Apabila mereka
merasa membutuhkan materi yang akan dipelajari, maka dorongan untuk
memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan tersebut akan disikapi dengan
emosional positif, yakni dengan aktivitas praktis dan efektif sehingga tujuan
pembelajaran bahasa asing mudah tercapai.
Dalam hal ini, sesekali guru perlu juga meminta umpan balik dari para
siswa yang diperlukan sebagai bahan evaluasi atas pengajarannya yang sudah
56
diberikan. Namun, hal itu jangan sampai membuat siswa merasakan bahwa
feedback itu tidak diperhatikan. Demikian pula hendaknya kritik-kritik yang
relevan dapat dijadikan acuan dalam mengadakan perubahan ke arah perbaikan
sehingga menimbulkan rasa saling percaya, saling membutuhkan, dan saling
membantu yang tentunya akan menambah kesenangan belajar dan mengajar.
Suatu prasyarat untuk mencapai keberhasilan belajar-mengajar adalah
keterbukaan antara pengajar sebagai sutradara dan pembelajar sebagai aktor.
Apabila keterbukaan itu selalu dilakukan, maka masing-masing pihak, baik
pengajar maupun pembelajar akan berusaha selalu meningkatkan kekurangan-
kekurangan dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam
proses pembelajaran bahasa asing.
Aktivitas praktis dan efektif yang sesuai dengan harapan siswa adalah
kegiatan yang melibatkan mereka secara langsung dalam pemakaian bahasa asing
itu untuk berinteraksi sosial. Hal ini terlihat dari pengalaman sederhana dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya betapa bangganya seorang siswa yang baru
memeroleh bahasa asing di sekolahnya apabila sudah mampu menyapa seorang
turis asing serta berdialog singkat dengannya. Dari pengalaman itu terbukti betapa
pentingnya kegiatan interaksi sosial dalam memotivasi seorang yang sedang
belajar bahasa asing.
Pengajaran bahasa asing tidak hanya menyangkut bahasa itu dan
kemampuan menggunakannya, tetapi juga menyangkut sikap orang yang belajar
dan mengajar, dalam arti sikap keterbukaan atau kesediaan berkomunikasi dengan
orang lain yang bahasanya sedang dipelajari. Belajar bahasa secara komunikatif
57
berarti belajar menggunakan bahasa itu untuk berinteraksi dalam situasi yang
nyata. Pengajaran bahasa asing yang memberikan kesempatan sebanyak-
banyaknya dalam bentuk interaksi sosial dalam pengajaran bahasa akan lebih
cepat mencapai tujuan akan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sebagai alat
komunikasi.
2.2.4 Kajian Budaya
Konsep kajian budaya (cultural studies) di sini perlu dijelaskan karena
secara umum keberadaan kajian budaya dalam penelitian ini terkait dengan studi
kebijakan, penelitian pendidikan, dan studi lainnya, yakni paling tidak dari aspek
judulnya potensial disalahartikan apabila tidak diberikan penegasan. Di samping
itu, kajian budaya seharusnya ditekankan sebagai terjemahan dari kata bahwa
Inggris cultural studies dan bukan dari study of culture atau kajian tentang
(ke)budaya(an), lebih-lebih penelitian ini dilakukan di Bali yang dikenal memiliki
sumber daya budaya yang signifikan.
Kajian budaya, sebagaimana yang dikembangkan di Universitas Udayana,
bersumber dari semangat yang dibangun di Centre for Contemporary Cultural
Studies (CCCS) di Birmingham, Inggris (Parimartha, 2007). Kajian budaya adalah
suatu bidang studi yang memikat dan hangat di tengah-tengah kalangan progresif
karena budaya telah menggantikan masyarakat dalam subjek telaahnya (Sardar
dan Van Loon, 2001:3). Keberpihakan kajian budaya terhadap masyarakat terkait
dengan upaya memperbaiki kondisi sosial budaya yang berkeadilan dan
manusiawi sesuai dengan yang dirumuskan oleh Mazhab Frankfurt bahwa ilmu
58
pengetahuan dapat berfungsi sebagai pencerahan dan emansipatoris (Lubis,
2006:xi).
Menurut Barker (2005: 515), kajian budaya mempelajari produksi dan
penanaman peta-peta makna. Selanjutnya menurut Storey (2003:viii), kajian
budaya adalah suatu formasi diskursif (language games). Istilah permainan bahasa
ini diperkenalkan oleh Wittgenstein, yakni mengenai beberapa fungsi bahasa
dalam kehidupan manusia. Dalam kajiannya, kajian budaya mengadopsi hal-hal
yang dibutuhkan dari semua disiplin ilmu, kemudian disesuaikan dengan
tujuannya, bahkan melakukan hal yang dilarang oleh aturan-aturan ilmiah
konvensional. Sehubungan dengan hal ini, Lubis (2006: 145) menjelaskan sebagai
berikut.
”Karena itu, cultural studies bukan disiplin ilmiah, tetapi lebih merupakan
upaya kolektif intelektual yang sungguh-sungguh dalam menggeluti
banyak persoalan dari berbagai sudut pandang/perspektif teoretis, politik,
dan kepentingan yang berbeda tentang budaya dalam arti yang luas. Di
lingkungan universitas, cultural studies, sebagaimana Mazhab Frankfurt
melakukan kajian transdisipliner/interdisipliner untuk mengkaji
persilangan antara kebudayaan, masyarakat, politik, serta mengkritik
fragmentasi akademik dan pendisiplinan yang sudah mapan. Cultural
studies secara konsisten perhatiannya senantiasa berkaitan dengan masalah
isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan akan perubahan sosial.”
Fokus kajian budaya terletak pada persoalan bagaimana budaya
dipraktikkan dan diciptakan atau bagaimana praktik budaya memungkinkan
berbagai budaya dan kelas berjuang melawan dominasi kebudayaan. Selanjutnya,
menurut Gray (Lubis, 2006:145), fokus kajian budaya adalah sebagai berikut.
”Cultural studies secara konsisten perhatiannya senantiasa berkaitan
dengan masalah isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan akan
perubahan sosial. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada keterkaitan
cultural studies dengan jaringan dan kekuatan sosial politik di luar
akademis. Bagi cultural studies, sebagaimana teori Kritis dan
59
Posmodernisme, pengetahuan bukan fenomena yang steril terhadap nilai,
kepentingan, dan kuasa. Cultural studies mengakui sifat posisionalitasnya,
yakni masalah ‟siapa yang mengatakan, tentang siapa, dengan cara apa dan
untuk tujuan apa‟ menjadi perhatiannya.”
Selanjutnya, mengacu pada pandangan Sardar dan Van Loon,
beberapa karakteristik cultural studies menurut Lubis (2006:145-146)
adalah sebagai berikut.
1) Cultural studies bertujuan meneliti/mengkaji berbagai kebudayaan dan
praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah
mengungkapkan dimensi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu
memengaruhi berbagai bentuk kebudayaan (sosial, politik, ekonomi,
ilmu pengetahuan, hukum, dan lain-lain) bandingkan dengan konsep
kuasa dan pengetahuan, kuasa dan kebenaran pada Foucault, kuasa dan
kepentingan pada Habermas).
2) Cultural studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari
konteks sosial dan politik, tetapi mengkaji masalah budaya dalam
konteks sosial politik tempat masalah kebudayaan itu tumbuh dan
berkembang.
3) Dalam cultural studies, budaya dikaji baik dari aspek objek maupun
lokasi tindakan yang selalu dalam tradisi kritis. Maksudnya, kajian itu
tidak hanya bertujuan merumuskan teori-teori (intelektual), tetapi juga
sebagai suatu tindakan (praksis) yang bersifat emansipatoris
(bandingkan dengan teori Kritis Mazhab Frankfurt).
4) Cultural studies berupaya mendekonstruksi (membongkar,
mendobrak) aturan-aturan dan pengotak-ngotakan ilmiah
konvensional, lalu berupaya mendamaikan pengetahuan yang objektif
dan subjektif (intuitif) serta yang universal dan lokal. Cultural studies
bukan hanya memberikan penghargaan pada identitas bersama (yang
plural), kepentingan bersama, tetapi mengakui saling keterkaitan antara
dimensi subjek(tivitas) dan objek(tivitas) dalam penelitian.
5) Cultural studies tidak merasa harus steril dari nilai-nilai (tidak bebas
nilai), tetapi melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral
masyarakat modern dan tindakan politik dan konstruksi sosial. Dengan
demikian, cultural studies bukan hanya bertujuan memahami realitas
masyarakat atau budaya, tetapi mengubah struktur dominasi, struktur
sosial budaya yang menindas, khususnya dalam masyarakat kapitalis
industrial.
Kajian budaya, yakni menurut Barker (2005: 6) sebagai suatu permainan
bahasa, yaitu menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara kebudayaan dan
60
kajian budaya. Oleh karena itu, kajian budaya adalah sebuah formasi diskursif,
yakni sekumpulan informasi atau gagasan, citra, dan praktik yang menyediakan
tata cara untuk berbicara tentang bentuk-bentuk pengetahuan dan tingkah laku
yang diasosiasikan dengan suatu topik.
Kajian budaya terbentuk dari suatu cara berbicara yang teregulasi tentang
objek-objek yang dibuatnya agar tampak dan menyatu di sekitar konsep, gagasan,
dan persoalan-persoalan kunci. Kajian budaya juga memiliki momen untuk
menampakkan dirinya meskipun gejala atau momen itu hanya bersifat sepotong
atau keseluruhan sebagai gejala yang sedang berkembang. Kajian budaya sebagai
ilmu yang bersifat multidisiplin tampaknya memiliki beberapa konsep, definisi,
dan batasan keilmuan. Batasan yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Kajian
budaya adalah bidang interdisipliner yang secara selektif mengambil berbagai
perspektif dari berbagai disiplin lain untuk meneliti hubungan-hubungan antara
kebudayaan dan politik. (2) Kajian budaya tertarik pada segala macam praktik
lembaga dan sistem klasifikasi yang memungkinkan ditanamkannya nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, kompetensi-kompetensi, rutinitas hidup, dan bentuk-bentuk
perilaku khas yang menjadi kebiasaan pada suatu populasi. (3) Kajian budaya
mengeksplorasi berbagai macam bentuk kekuasaan, termasuk gender, kelas, dan
kolonialisme. (4) Kajian budaya bermaksud mempelajari bagaimana bentuk-
bentuk kekuasaan itu saling berhubungan serta mengembangkan cara-cara untuk
memahami budaya dan kekuasaan yang digunakan oleh mereka yang menjadi
agen dalam upaya melakukan perubahan. (5) Wilayah institusional utama kajian
budaya adalah lembaga pendidikan tinggi dan dalam hal ini kajian budaya
61
mempunyai kesamaan dengan bidang-bidang disiplin akademik lainnya. (6) kajian
budaya berusaha menjalin koneksi-koneksi di luar wilayah akademik serta
gerakan sosial politik dan para pekerja di lembaga-lembaga kebudayaan serta
manajemen kebudayaan.
Penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai
muatan lokal berbasis budaya dapat dikatakan sebagai implementasi cultural
studies di bidang pendidikan pada era Reformasi saat ini. Pada masa Orde Baru,
pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi politik untuk mendukung rezim
yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan
identitas lokal dalam sistem pendidikan. Dalm hal ini yang ada hanyalah
kebudayaan nasional. Warna warni dianggap sebagai sesuatu yang sekunder.
Padahal, lokalisme dalam pendidikan multikulutural merupakan bagian yang
paling penting. Di situlah setiap orang dapat melihat dirinya serta bisa melihat
keragaman orang lain.
Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur
dan proses yang di dalamnya setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Tentu
saja untuk merancang pendidikan multikultural secara praktis tidaklah mudah.
Namun paling tidak harus dicoba untuk dirancang suatu pendidikan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip pendidikan multikulturalisme yang memberikan peluang
kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Dalam pendidikan
multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi
yang sejajar dan sama.
62
Penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar diharapkan
dapat mempercepat terwujudnya pendidikan multikultural yang mesti dapat
terwujud di Indonesia. Materi atau bahan ajar yang dirancang oleh guru bahasa
Inggris adalah materi yang bertemakan unsur-unsur budaya lokal dan budaya
Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia
kepada orang asing. Jadi, penekanannya pada kemampuan membaca dalam bahasa
Inggris, bukan mengajarkan kebudayaan Inggris, tetapi justru menjual kebudayaan
sendiri agar dapat membuat orang luar menghormati kebudayaan yang dijual itu
di luar negeri. Guru bahasa Inggris untuk sekolah dasar hendaknya
mempergunakan buku-buku pelajaran yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri.
Oleh karena siapa saja yang menulis bahasa Inggris dengan baik dan benar itu
sudah authentic sehingga bisa dipakai sebagai materi pembelajaran, terutama pada
pembelajar muda.
2.3 Landasan Teori
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang tersaji dalam rumusan
masalah digunakan beberapa teori . Teori-teori tersebut digunakan secara eklektik
karena permasalahan kajian budaya senantiasa kompleks dan tidak monolitik
sehingga aspek teori dalam epistemologinya juga bersifat kompleks dan eklektik.
2.3.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan (Foucault)
Teori Diskursus yang digunakan dalam penelitian ini mengetengahkan
relasi antara (ke)kuasa(an) dan pengetahuan (yang merupakan penyederhanaan
dari kata pouvoir dan savoir dalam bahasa Perancis dan power dan knowledge
63
dalam bahasa Inggris) dari pemikiran Michel Foucault (1926-1984). Nama
Foucault perlu ditegaskan karena teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan pada
dasarnya tidak semata-mata merupakan dominasinya.
Sebenarnya terdapat sejumlah teori Diskursus, yakni dari Althusser,
Pheceux, Hindess dan Hirst, sampai Foucault, sebagaimana yang dipaparkan
dalam buku Macdonell Theories of Discourses: An Introduction (1986). Bahkan
Francois Bacon pun, seperti yang diakui oleh Foucault dalam buku
Power/Knowledge (2002), menulis pernyataan bahwa pengetahuan adalah
kekuasaan. Dalam hal ini Storey (2003: 135) menunjukkan bagaimana diskursus
Barat tentang Timur (orientalisme) bisa dijadikan contoh suatu konstruk
pengetahuan tentang Timur yang diciptakan oleh Barat dan suatu bentuk
hubungan antara kekuasaan-pengetahuan yang mengartikulasikan kepentingan
kekuasaan Barat. Said yang mengutip pernyataan Foucault menyebutkan bahwa
kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa
yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya (Ringkasnya, kebenaran
suatu diskursus tergantung pada konteks).
Sebagai salah satu tokoh terpenting teori Kritis (Mazhab Frankfurt),
Habermas turut berjasa mengembangkan teori Diskursus saat ia mencoba
mengaitkan antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan meskipun tidak
seanalitis dan seelaboratif Foucault. Selanjutnya Bleicher (2003:244-245)
menjelaskan perdebatan Habermas dengan Gadamer yang membuat Habermas
sendiri membangun sebuah prinsip yang dapat membantu membedakan konsensus
yang benar dan yang keliru. Prinsip ini dapat dibuat setelah menjelaskan makna
64
diskursus. Sebuah diskursus berbeda dari interaksi karena di dalamnya norma-
norma dan opini-opini dipersoalkan, sementara dalam tindakan komunikatif
diterima begitu saja. Hanya secara diskursiflah validitas norma-norma yang
diterima secara naif dapat dipastikan melalui konsensus. Lebih lanjut dijelaskan
pula, sebagaimana dalam sebuah interaksi, dalam diskursus pun terdapat praduga
sejumlah elemen kontra-faktual. Dalam teori Konsensus Kebenaran, Habermas
sampai pada pandangan bahwa setiap kebenaran tidak menyediakan kriteria apa
pun untuk membedakan konsensus yang benar dan yang salah karena kebenaran
itu sendiri hanya dapat dicapai melalui konsensus dalam suatu diskursus.
Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan digolongkan ke dalam teori
poststrukturalisme. Poststrukturalisme adalah salah satu poin terpenting dalam
kajian budaya. Poststrukturalisme secara sederhana dapat dikatakan melawan
strukturalisme yang begitu lama menguasai panggung pengetahuan sebelum
munculnya teori-teori yang melawannya, seperti postrukturalisme.
Postrukturalisme sendiri, menurut Foucault (2002:13), yakni gerakan filsafat yang
merupakan reaksi terhadap strukturalisme yang membongkar setiap klaim akan
oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, tetapi sebaliknya
menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan
kategorisasi intelektual.
Foucault sendiri adalah seorang postrukturalis, sosiolog, dan sejarawan
pengetahuan asal Perancis. Teori diskursusnya tersebar dan dapat ditemui pada
beberapa bukunya, di antaranya The Archaelogy of Knowledge (1972), Discipline
and Punish: The Birth of the Prison (1977), Seks dan Kekuasaan (1997a), dan
65
Power/Knowledge (1980). Mengingat Foucault adalah jenis filsuf postrukturalis
yang relatif membingungkan, pandangannya tentang teorinya tersebut jauh lebih
banyak ditemukan dan lebih mudah dipahami pada buku-buku yang dituliskan
oleh orang lain, khususnya ahli-ahli mengenai pemikiran Foucault. Karya-karya
Foucault dapat ditelusuri dari kekagumannya terhadap pemikiran-pemikiran
Friedrich Nietszche. Bagi Nietszche, pengetahuan bukanlah sekumpulan informasi
teoretis tentang dunia, melainkan suatu instrumen yang didesain dan dibatasi oleh
kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan manusia (Hollingdale dalam Snook,
2005:205).
Analisis genealogi Foucault, yang diadopsi dari Nietszche, membahas
hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan serta bagaimana hubungan ini
terjalin sehingga disebut formasi diskursif, yaitu sebuah kerangka kerja
konseptual yang memungkinkan diterimanya beberapa mode pemikiran dan
ditolaknya beberapa mode pemikiran lainnya. Apabila strukturalis memfokuskan
kajiannya, yakni bagaimana sistem bahasa (dan sistem lain yang analog dengan
bahasa) menentukan hakikat linguistik dan ekspresi budaya, postrukturalis seperti
halnya Foucault, lebih tertarik pada kenyataan bagaimana bahasa digunakan dan
bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya dan
praktik sosial. Penggunaan bahasa dan praktik bahasa secara umum lebih dilihat
sebagai hal yang bersifat dialogis dan rawan konflik ketika satu mode penggunaan
bahasa berhadapan dengan penggunaan bahasa yang lain ataupun teks dan praktik
budaya yang lain.
66
Dalam hal ini, diskursus tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Diskursus
adalah sarana dengan mana suatu institusi yang memeroleh kekuasaannya melalui
proses definisi dan eksklusi. Maksudnya, diskursus atau formasi diskursif tertentu
memiliki otoritas untuk mendefinisikan apa yang mungkin (boleh dan tidak boleh)
untuk dikatakan orang untuk suatu topik. Suatu formasi diskursif terdiri atas
sekelompok aturan tidak tertulis yang berusaha mengatur dan membatasi apa yang
dapat (boleh dan tidak boleh) ditulis, dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang
pembahasan tertentu (Storey, 2003:132-133).
Dalam penelitian ini, untuk memudahkan pemahaman dan tidak
menimbulkan kesalahpengertian, diskursus dibedakan dengan wacana. Dalam
linguistik, wacana secara umum adalah ujaran-ujaran verbal yang besarnya lebih
luas dari kalimat. Ungkapan bahasa Indonesia ”sekadar wacana”, misalnya, berarti
sekadar pernyataan (baik kata-kata lisan ataupun tulisan), yang tidak bisa
disamakan dengan diskursus karena diskursus mengandung praksis, sedangkan
wacana tidak. Dengan kata lain, diskursus mengandung wacana sehingga wacana
hanya sebagian kecil dari diskursus karena diskursus mencakup pernyataan,
praksis, dan berbagai hal lainnya. Sehubungan dengan pembedaan tersebut, yakni
mengacu pada pandangan James Paul Gee (dalam Hamad, 2004:34-35), discourse
(d kecil) berbeda dengan Discourse (D kapital).
”Yang pertama (discourse) menjadi perhatian para ahli bahasa (linguis
atau sosiolinguis) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (on
site) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Maksudnya,
penggunaan bahasa dilakukan atas dasar-dasar linguistik, sedangkan yang kedua
67
(Discourse) merangkaikan unsur linguistik tadi (discourse dengan d kecil)
bersama-sama unsur nonlinguistik (nonlanguage stuff) untuk memerankan
kegiatan, pandangan, dan identitas. Nonlanguage stuff tadi adalah cara beraksi,
interaksi, perasaan, kepercayaan, dan penilaian untuk mengenali atau mengakui
diri sendiri dan orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara
tertentu. Jadi, Discourse (D kapital) melihat pemakaian bahasa dalam sebuah
sistem sosial (sosiolinguistik).”
Dari pernyataan Gee tersebut, yang dimaksud discourse (d kecil) sama
dengan ”wacana” sedangkan Discourse (D kapital) sama dengan ”diskursus”
dalam penelitian ini. Akibatnya, wacana hanya terkait dengan gejala kebahasaan,
sedangkan diskursus menyangkut hubungan antara gejala bahasa dan persoalan-
persoalan di luar bahasa. Di samping lebih luas dari wacana, diskursus
(discourse) juga lebih luas dari teks (text) sehingga diskursus tidak harus bersifat
tekstual. Berkaitan dengan hal ini, dalam Key Concepts in Communication and
Cultural Studies, O‟Sullivan et al (1994: 94) memahami discourse sebagai
berikut.
“…though discourses may be traced in texts, and though texts may be the
means by which discoursive knowledges are circulated, established or
suppressed, discourses are not themselves textual ".
Catherine Belsey (dalam Piliang, 1998:243) mengatakan discourse sebagai
satu domain dari penggunaan bahasa, yakni satu cara tertentu dalam berbicara
(menulis dan berpikir). Foucault, yang membawa istilah discourse sebagai satu
kata kunci dalam filsafat postrukturalisme, melihat ketidakterpisahan antara
discourse dan pembentukan subjektivitas serta beroperasinya berbagai bentuk
68
kekuasaan di dalamnya. Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan (dan cara
tertentu penggunaan bahasa) saling berjalin antara satu dengan yang lain dalam
discourse. Dalam hal ini penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam
satu discourse, sehingga tidak terlepas dari bentuk-bentuk kekuasaan yang
beroperasi di baliknya.
Apabila mengacu pada buku Foucault Madness and Civilization: A History
of Insanity in the Age of Reason (1976), diskursus memiliki isu utama yang dalam
beberapa hal berkenaan dengan posisi dan sudut pandang dari mana orang
berbicara serta pranata yang mendorong orang untuk berbicara dan yang
menyimpan serta mendistribusikan hal-hal yang dikatakan. Menurut MacDonell
(2005:xix-xx), sesungguhnya posisi ini dapat dipakai sebagai pijakan (standpoint)
yang diambil oleh diskursus tersebut melalui hubungannya dengan diskursus lain
sebagai oposisi. Setiap diskursus dengan sendirinya berkenaan dengan objek
tertentu dengan mengorbankan diskursus lain.
Dalam arti adanya keterlibatan subjektivitas, berbeda dengan diskursus,
teks merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi penuturnya (Alam,
1998:6; Alam, 1999:7-8). Begitu sebuah teks diluncurkan, ia tidak memiliki
keterhubungan apa pun dengan pembuatnya. Dengan demikian, pembuat teks
melepaskan teks begitu saja dari dirinya. Hal ini berarti, dalam pembicaraan
diskursus, antara penutur dan diskursus yang disampaikannya tetap terdapat ikatan
tertentu. Ketidaklepasan diskursus dari posisi penuturnya karena pembuatnya
memiliki kepentingan tertentu terhadap diskursusnya. Menurut Foucault (1980),
diskursus adalah suatu bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan
69
kepentingan penutur sehingga dapat merupakan suatu akumulasi konsep ideologis
yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga, dan berbagai macam modus
penyebaran pengetahuan.
Meskipun teks hanya bagian kecil dari diskursus, tetapi diskursus tidak
bisa lepas dari bahasa. Menurut Escobar (1999: 60), postrukturalisme berfokus
pada peran bahasa dalam mengonstruksi kenyataan sosial. Artinya, bahasa bukan
cermin, melainkan unsur konstitutif kenyataan. Itulah sebabnya, mengacu pada
pendapat Escobar tersebut, diskursus yang dipakai dalam penelitian ini diartikan
sebagai artikulasi pengetahuan dan kuasa, pernyataan dan ketampakan, yang
tampak dan yang terekspresikan. Oleh karena melalui proses diskursus, kenyataan
sosial mendapat wujudnya.
Diskursus biasanya terdiri atas elemen-elemen, seperti pernyataan, aturan,
subjek, proses, praktik, dan gagasan. Menurut Barker (2005: 106), diskursus
menyediakan cara-cara memperbincangkan suatu topik tertentu secara sama,
yakni dengan motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktik-praktik, dan bentuk-
bentuk pengetahuan yang diulang-ulang pada beberapa wilayah aktivitas. Sebagai
contoh, apabila mengacu pada studi Foucault dalam The Birth of the Clinic
(1973), diskursus kegilaan mencakup pernyataan-pernyataan tentang kegilaan
yang memberi pengetahuan mengenainya, aturan-aturan yang menentukan apa
yang bisa diucapkan atau dapat dipikirkan tentang kegilaan, subjek-subjek yang
merupakan personifikasi kegilaan alias si ”orang gila”, proses bagaimana
diskursus tentang kegilaan memeroleh kewenangan atau status kebenaran pada
suatu kurun sejarah tertentu, praktik-praktik dalam institusi yang menangani
70
kegilaan, dan gagasan bahwa diskursus yang berbeda tentang kegilaan akan
muncul pada kurun sejarah yang akan datang sehingga memunculkan pengetahuan
dan formasi diskursif baru.
Analisis terhadap diskursus bukan sekadar suatu teori linguistik, tetapi
teori sosial, yaitu suatu teori tentang produksi kenyataan sosial yang tidak
terpisahkan dari sesuatu yang lazim dipandang sebagai kenyataan sosial (Escobar,
1999: 59). Hal ini, seperti dikatakan oleh Foucault (2002:9), karena discourse
tidak lain adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang
ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di
antara semua aspek tersebut.
Dialog merupakan syarat utama diskursus dan semua percakapan dan
penulisan bersifat sosial. Dalam hal ini bersifat sosial karena pernyataan yang
dibuat serta kata dan makna kata yang digunakan tergantung pada tempat dan
kegunaan (di daerah mana dan untuk apa pernyataan tersebut dibuat). Diskursus
berbeda dengan pranata-pranata dan praktik-praktik sosial semacam itu dalam
menentukan situasi posisi mereka yang berbicara dan pada siapa pembicaraan itu
disampaikan. Diskursus tidaklah bersifat homogen (MacDonnell, 2005: xvii-
xviii).
Dalam The Archaeology of Knowledge (1977) dan sebuah tulisan berjudul
“The Order of Discourse” (1981), Foucault mendefinisikan diskursus secara lebih
rinci, yaitu berdasarkan kekuasaan. Bentuk-bentuk kekuasaan tersebut terwujud
71
dalam bahasa-bahasa khusus dan resmi (Grenz, 1996: 211). Apabila dikaitkan
dengan hal seperti itu, Foucault (1977: 27-28) menyatakan sebagai berikut.
”Kekuasaan menciptakan pengetahuan… Kekuasaan dan pengetahuan
saling menghasilkan… Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan dengan
bidang pengetahuan tertentu. Tidak ada pengetahuan yang tidak memuat
hubungan dengan kekuasaan. Hubungan ‟kekuasaan-pengetahuan‟ ini
harus diteliti… bukan berdasarkan seorang peneliti yang bebas atau tidak
dari kekuasaan. Sebaliknya, subjek yang mengetahui, objek yang
diketahui, dan bahan-bahan pengetahuan harus dipandang sebagai dampak
implikasi dari hubungan kekuasaan-pengetahuan dan perubahan-
perubahannya dalam sejarah. Singkatnya, bukanlah tindakan subjek yang
menghasilkan pengetahuan, tetapi kekuasaan-pengetahuan, proses dan
pergulatan yang mewarnainya serta menciptakannya, yang menentukan
bentuk dan bidang pengetahuan yang mungkin.”
Selanjutnya menurut Storey (2003:132), analisis genealogi berkaitan
dengan hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) dan
bagaimana hubungan tersebut beroperasi dalam hal yang disebutnya sebagai
formasi-formasi diskursif, yaitu kerangka-kerangka konseptual yang mengajukan
sejumlah cara (mode) berpikir dan menolak cara-cara berpikir lainnya. Lebih
lanjut Macdonell menandaskan, bahwa ada dua jenis proses melalui apa diskursus
dibentuk: diskursus muncul dan berfungsi sebagai alat perjuangan dan, pada saat
yang sama, serangkaian kontrol menguasai dan membatasi diskursus (2005: 114).
Dalam penelitian ini, jenis diskursus yang pertama dapat dihubungankan dengan
kontrahegemoni, sedangkan yang kedua dengan hegemoni.
Tidak seperti pemikir-pemikir lainnya, Foucault memaknai kuasa atau
kekuasaan secara agak unik. Di sini, kuasa tidak dimaknai dalam konteks
kepemilikan yang berkaitan dengan sumber-sumber kekuasaan tertentu karena ia
tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup yang ada banyak
posisi dan secara strategis berkaitan antara satu dengan yang lain. Kekuasaan
72
menyebar dan merata dalam hubungan-hubungan kehidupan. Politik dalam
tangkapan Foucault adalah mikropolitik. Di dalamnya, strategi kekuasaan tidak
bekerja secara negatif dan represif, tetapi positif dan produktif.
Dalam Seks dan Kekuasaan, Foucault (1997a: 32) memaparkan bagaimana
kontrol seksualitas terjadi pada anak-anak seperti yang terjadi pada abad ke-18.
Dengan hal itu, perilaku seksual dikontrol bukan dengan represi fisik tetapi
mengategorikan antara yang baik dan yang tidak. Guru membuat anjuran dan
petunjuk yang membimbing agar diikuti oleh murid-muridnya. Dengan dukungan
kepustakaan yang berisi ajaran, nasihat, pengamatan, kasus, dan rencana sekolah
mengenai seksualitas, hasilnya adalah bahwa anak-anak murid tersebut
memeroleh diskursus seks yang masuk akal, terbatas, kanonis, dan benar. Dengan
kata lain, bagi Foucault (1997), khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol
yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan diskursus dan mekanisme berupa
prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya.
Teori Politik Kontemporer sebagian besar dipengaruhi oleh kerja Foucault
yang membuat konsep negara sebagai pembuat potongan kekuasaan dalam
bagian-bagian masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan, sebagaimana
ditunjukkannya, bukan merupakan fenomena top-down, melainkan meresap dalam
masyarakat secara keseluruhan. Foucault berargumen bahwa kekuasaan negara
sama sekali tidak komplet, sedangkan penduduk dalam fungsi kehidupan sehari-
hari sesuai dengan struktur kekuasaan lokal dan peraturan-peraturan mikrososial,
yakni dalam berbagai instansi melawan peraturan dan batasan sikap yang dominan
dalam masyarakat tersebut. Hal ini menghadirkan konsep primer dalam
73
pertanyaan politik yang digunakan dalam wilayah masyarakat sipil (Chandoke,
2001:25-26).
Strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Seperti halnya setiap kebenaran
memiliki efek kuasa. Menurut Eriyanto (2001:67), setiap kekuasaan selalu
berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat
diskursus yang dibentuk oleh kekuasaan. Terkait dengan hal itu, ada pernyataan
Mills (1997: 18) yang menarik seperti berikut ini.
“Truth is the world; it is produced there by virtue of multiple constrain.
Each society has its regime of truth; its general politics of truth; that is the
types of discourse it harbours and causes to functions as true; the
mechanisms and instances which enable one to distinguish true from false
statements, the way in which each is sanctioned; the techniques and
procedures which are valorised for obtaining truth; the status of those who
are charged with saying what count as true.”
Menurut Foucault, diskursus adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh
yang berkuasa yang ditetapkan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang
mendasarinya (Fakih, 1997:169). Setiap diskursus tentang kebudayaan tidak
terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam suatu masyarakat dapat dijumpai
berbagai diskursus tentang kebudayaan masyarakat bersangkutan yang bisa saja
saling bertentangan, tetapi karena dukungan dari kekuasaan, maka diskursus
tertentu akan menjadi diskursus dominan (Alam, 1998). Namun diskursus-
diskursus lainnya akan terpinggirkan atau terpendam (Alam, 1999).
2.3.2 Teori Praktik Sosial (Bourdieu)
Teori Praktik Sosial (theory of Social Pratice) Pierre Bourdieu secara
umum mengedepankan penekanan ”keterlibatan subjek” dalam proses konstruksi
budaya. Teori ini relevan dengan bidang kajian budaya karena bagi penganut
74
kajian budaya, (ke)budaya(an) adalah konstruksi budaya dan bukan warisan
(given) dari atas semata. Artinya, masyarakat dianggap aktif membuat
kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan merupakan arena perjuangan (perebutan
kuasa) sehingga ia berubah secara terus-menerus, berproses, dan cair.
Teori Praktik Sosial (bisa juga disebut teori Praktik) menggugat
subjektivisme yang meletakkan subjek intelektual pada peran utama pembentukan
dunia tanpa memperhitungkan konteks ruang dan waktu yang
melatarbelakanginya dan objektivisme yang dianggap tidak memperhitungkan
peran dan posisi subjek intelektual dalam pembentukan struktur dan praktik sosial.
Bourdieu merumuskan praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektik antara
internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior atau dinamika dialektik antara
internalisasi yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan
pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian
dari diri pelaku sosial.
Apabila interior merupakan pelaku sosial dan semua yang melekat pada
dirinya yang dibentuk oleh habitus, eksterior adalah struktur objektif yang ada di
luar diri pelaku sosial, yaitu arena atau ranah atau medan (field). Praktik sosial
dengan sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku
sosial, produk interaksi dialektik antara habitus dan struktur (Harker, 2003: 33-
34).
Bourdieu menunjukkan bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk
relasi antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah (field), yang juga
merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan
75
daya-daya yang ada dalam masyarakat. Habitus adalah struktur subjektif yang
terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain
dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus
diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual benda-
benda dengan realitas hidup. Melalui skema-skema ini, individu memersepsi,
memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial. Itulah sebabnya,
habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural. Habitus adalah
kebiasaann-kebiasaan (Fshri, 2007:83), di samping merupakan hasil pembelajaran
secara halus, tidak disadari, dan tampil sebagai hal yang wajar sehingga seolah-
olah merupakan sesuatu yang alamiah, seakan-akan diberi oleh alam atau ”sudah
dari sananya” (Takwin, 1990:xviii-xix).
Dalam suatu ranah, terdapat suatu pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan
orang yang memiliki modal (capital) ataupun yang tidak memilikinya. Di sini,
modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan (Fashri, 2007:96). Ranah adalah
hubungan yang terstruktur sehingga tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu
dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah
merupakan metafora yang digunakan oleh Bourdieu untuk menggambarkan
kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang
dikandungnya.
Ide Bourdieu tentang modal berbeda pemahaman dengan tradisi Marxian
dan konsep ekonomi. Modal adalah sesuatu kekuatan yang beroperasi dalam
ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar
dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Takwin, 1990:xx). Modal
76
mencakup kemampuan melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan
orang lain. Menurut Bourdieu, modal dapat digolongkan menjadi empat, yaitu
modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal
ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan
dan benda-benda), dan uang yang dengan mudah dapat digunakan untuk segala
tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutmya. Modal budaya
adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui
pendidikan formal ataupun warisan keluarga. Dalam hal ini, termasuk modal
budaya, yakni kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-
benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan serta keahlian tertentu dari hasil
pendidikan, dan juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Modal sosial menunjuk pada
jaringan sosial yang dimiliki oleh pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam
hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Modal simbolik adalah segala
bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi (Fashri, 2007:98-99).
Dari semua bentuk modal tersebut, modal ekonomi dan budaya memiliki
daya besar untuk menentukan jenjang hierarki dalam masyarakat maju. Prinsip
hierarki dan diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang
diakumulasi dan struktur modal itu sendiri. Mereka yang memiliki keempat modal
tersebut dalam jumlah yang besar akan memeroleh kekuasaan yang besar dan
menempati posisi hierarki tertinggi (kelas dominan). Demikian sebaliknya,
semakin kecil modal yang dimiliki, mereka memeroleh kekuasaan yang lebih
kecil dan berada pada posisi hierarki yang lebih rendah (kelas bawah). Jadi,
hubungan habitus, ranah, dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan
77
menerangkan praktik sosial (Fashri, 2007:100). Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa teorisasi Bourdieu ini dapat diformulasikan ke dalam:
(habitus x modal) + ranah = praktik.
2.3.3 Teori Psikologi (Piaget dan Vygotsky)
Penguasaan teori Psikologi yang baik oleh guru sangat membantu untuk
bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar. Peran teori Psikologi
dalam pembelajaran bahasa ini lebih banyak dipelajari dalam bidang
psikolinguistik. Cameron (dalam Helena, 2004) telah banyak mengulas teori
Psikologi dari Piaget dan Vygotsky yang menjadi acuan dalam pendidikan bahasa
masa kini. Teori Psikologi dari dua ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan
kontribusi yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa
asing. Secara singkat relevansi dan kontribusi kedua teori Psikologi ini dalam
pembelajaran bahasa akan dibahas berikut ini.
1) Teori Psikologi Piaget
Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar)
yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat
mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar
berpengaruh terhadap perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena,
2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan
yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget
tidak memberikan penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan
78
kognitif anak. Menurut Piaget bukan perkembangan bahasa pertama yang paling
fundamental dalam perkembangan kognitif melainkan aktivitas atau action.
Dalam hal ini ada pendapat Piaget yang penting, yaitu membangun
pengetahuannya dengan “bergulat” dengan benda-benda atau gagasan-gagasan.
Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan
lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting
untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak
untuk bertindak. Oleh karena itu, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang
kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan
pendapat ini, pembelajaran bahasa pun dapat terjadi jika lingkungan kelas ataupun
sekitarnya dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan
bagi keterlibatan dan kreativitas siswa. Teori Psikologi Jean Piaget menyebutkan
bahwa setiap individu sejak kecil telah memiliki kemampuan untuk
mengonstruksi pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan yang dikonstruksi oleh
anak tersebut merupakan subjek untuk dijadikan pengetahuan bermakna dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Selanjutnya, Piaget berpendapat bahwa ada dua proses yang terjadi dalam
pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak, yaitu (1) proses asimilasi dalam
bentuk penyesuaian dan pencocokan informasi yang baru dengan sesuatu yang
telah diterima oleh anak sebelumnya, (2) proses akomodasi, yaitu anak menyusun
dan membangun kembali atau mengubah sesuatu yang diketahui oleh anak
sebelumnya. Oleh karena itu, pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga bagian,
yaitu (1) pengetahuan fisik merupakan pengetahuan benda-benda yang berada di
79
luar dan dapat diamati dalam kenyataan oleh anak, (2) pengetahuan logika
hubungan antara subjek adan objek, dan (3) pengetahuan sosial, yaitu fakta yang
didasari perjanjian-perjanjian sosial.
Menurut teori Psikologi Piaget, suatu perkembangan disebut asimilasi jika
aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan terhadap anak, sedangkan
akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di
lingkungannya. Misalnya, menurut contoh Cameron (2001), ketika anak sudah
bisa menggunakan sendok, kemudian diberi garpu dan ia menggunakan garpu
(alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang berfungsi sebagai
alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah melakukan asimilasi.
Namun, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia memiliki kesempatan untuk makan
dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan bukan cuma menyendoknya.
Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi.
Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi
perilaku yang kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep
penting yang kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang
dikenal dengan sebutan restructuring. Istilah ini mengacu pada reorganisasi
representasi mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak
telah memiliki pola-pola bahasa dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan
kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk
berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan
pola-pola baru.
80
Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan
seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga
tahapan berpikir logis dan formal. Namun, pertumbuhan ditandai dengan
perubahan-perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu
melampaui serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahapan, anak
mampu memikirkan hal-hal tertentu tetapi tidak atau belum mampu memikirkan
hal-hal yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak
dan menggunakan jalur logika atau belum mampu dilakukan anak sebelum ia
berusia sebelas tahun atau lebih.
Pengetahuan yang diperoleh dari tindakannya merupakan pengetahuan
yang dikembangkan sendiri, bukan sekadar menirukan atau memang sudah
dimiliki. Pengetahuan baru merupakan pengetahuan yang secara aktif disusun
oleh anak itu sendiri. Pada awalnya, hal ini terjadi berkaitan dengan benda-benda
konkret yang ada di sekitarnya, kemudian masuk dalam pikirannya dan diikuti
dengan melakukan suatu tindakan, selanjutnya tindakan itu dicerna dan dipahami.
Dengan cara itu apa yang ada di dalam “pikiran” terlihat sebagai sesuatu yang
diperoleh dari tindakannya (action), lalu “pikiran” berkembang dan tindakan serta
pengetahuan anak akan beradaptasi sehingga terjadilah sesuatu yang baru.
Menurut Piaget (1963: 8), terdapat empat fase perkembangan anak, yaitu
Sensorymotor, dari lahir sampai usia dua tahun; Preoperational stage, usia 2-8
tahun; concrete operational stage, usia 8-11 tahun; formal stage, usia 11-15 tahun
atau lebih. Fase masa perkembangan tersebut tidak selalu sama bagi setiap anak,
baik secara perorangan maupun kelompok. Fase-fase perkembangan dapat terjadi
81
bersamaan waktunya, tetapi perkembangan untuk setiap tingkat dapat dicapai
dalam waktu yang bersamaan, apalagi untuk setiap jenis pengetahuan juga
berbeda.
Dengan memerhatikan keempat fase perkembangan tersebut, maka dapat
dilihat berada pada fase mana anak-anak sekolah dasar di Indonesia, yaitu anak-
anak usia 6-12 tahun. Tentunya mereka berada pada akhir periode preoperational
stage sampai dengan concrete operational stage, bahkan sampai awal dari formal
stage. Hal ini berarti anak-anak usia sekolah dasar perlu mendapat perhatian
sesuai dengan jenjang kelasnya. Dalam hal ini pikiran anak berkembang sedikit
demi sedikit sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan
intelektual menuju ke tahapan cara berpikir yang lebih logis dan formal.
Piaget (1963) berpendapat bahwa cara berpikir anak berkembang melalui
keterlibatan langsung dengan benda dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Setiap
mencapai fase perkembangan baru, kemampuan bertambah, kemudian menjadi
satu dengan tingkat daya berpikir sebelumnya. Oleh karena dua dari empat masa
peralihan dan masa perkembangan biasanya terjadi pada waktu anak-anak di
sekolah dasar sehingga guru bahasa sebaiknya dapat bekerja sama dengan anak-
anak didiknya agar selalu dapat mengikuti ciri-ciri dan perubahan perkembangan
fase kognitif mereka.
Dalam kaitan ini, hingga usia dua tahun (sensorymotor intellegence stage),
perilaku anak-anak masih bersifat motorik. Anak belum benar-benar memahami
hal-hal yang terjadi dan belum berpikir secara konseptual. Dalam hal ini belajar
bahasa terjadi karena adanya interaksi. Selanjutnya dengan bertambahnya usia,
82
maka terjadi perkembangan bahasa dan konsep dengan cepat. Namun, pada saat
ini “akunya” juga tinggi atau mereka masih bersifat egosentris. Anak juga mulai
menggunakan logika tetapi masih sering memfokuskan perhatian untuk satu hal
saja pada saat tertentu. Misalnya, mereka dapat membedakan warna dan ukuran,
tetapi masih sulit bagi mereka untuk membedakan warna dan ukuran sesuatu
secara bersamaan.
2) Teori Psikologi Vygotsky
Vygotsky adalah seorang ahli jiwa dari Rusia. Ia berpendpat bahawa anak
merupakan pelajar yang aktif. Ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan
Piaget, terutama dalam proses belajar bahasa pada anak. Teori yang
dikembangkannya dikenal sebagai teori yang berfokus pada aspek sosial.
Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain, terutama dengan
orang dewasa, akan munculkan ide-ide baru sehingga meningkatkan
perkembangan intelektual pelajar.
Semakin bertambahnya usia, dalam hal ini apabila anak-anak berbicara
suaranya semakin kurang keras. Dalam tingkat perkembangan ini, mereka mulai
mampu membedakan antara social speech untuk orang lain dan private speech
untuk dirinya sendiri (Cameron, 2001). Anak-anak yang baru mulai belajar
berbicara pada umumnya mengucapkan satu kata. Sebenarnya, satu kata itu
membawa arti atau pesan yang utuh. Ketika seorang anak menyebut “mama”, ia
bermaksud mengatakan “saya mau ikut mama” atau “saya mau disuapi mama”.
Bila masanya tiba, keterampilan berbahasa anak akan berkembang dan
selanjutnya dalam berkomunikasi ia akan menggunakan bahasa dengan lebih dari
83
satu kata. Sejalan dengan perkembangan biologis dan pikiran serta keterampilan
bahasa anak tersebut, mereka akan menggunakan beberapa kata atau kalimat
pendek ketika menggunakan pikirannya. Vygotsky (1962), keterampilan berbicara
seperti ini dibedakan antara berbicara yang diucapkan dan berbicara dalam hati
atau hanya ada dalam pikiran anak tersebut.
Bila teori Piaget digunakan, maka akan dipahami bahwa memang ada
perbedaan antara kedua teori tersebut. Piaget berpendapat bahwa anak sebagai
pembelajar aktif, sibuk dengan dunianya yang penuh dengan benda-benda di
sekitarnya. Dalam hal ini apabila seorang anak tidak dapat melakukan sesuatu,
berarti ia belum waktunya mencapai fase perkembangan untuk melakukan hal itu.
Sebaliknya, Vygotsky lebih memfokuskan pada hubungan sosial yang dapat
membantu anak untuk lebih cepat belajar menggunakan bahasa.
Salah satu contoh yang diberikan Vygotsky, yaitu ketika seorang anak
mengunakan sendok untuk mengambil makanannya. Anak itu mungkin dapat
mengambil makanannya dengan sendok, kemudian memasukkan ke mulutnya,
tetapi mungkin ia dapat benar-benar memenuhi sendoknya dengan makanan,
mungkin hanya ada di ujung sendoknya. Dalam hal ini, bantuan orang dewasa
sangat diperlukan, misalnya, dengan memegang tangan anak dan membimbing
bagaimana cara menyendok makanan agar sendok bisa terisi penuh. Dengan cara
ini, anak tersebut bersama-sama orang dewasa (mungkin ibu, kakak, atau
gurunya) memeroleh suatu pengetahuan yang semula tidak dapat dilakukan oleh
anak itu sendiri. Anak mendapat latihan bagaimana menyendok makanan dengan
cara yang benar (Cameron, 2001:6).
84
Menurut Vygotsky, orang dewasa dapat membantu anak dengan berbagai
cara. Dalam hal ini sambil mengajari melakukan sesuatu, juga bisa menghemat
waktu anak yang sedang belajar, di samping untuk menghindari hal-hal yang
kurang menyenangkan. Bantuan orang dewasa sebenarnya untuk mendorong
memperlancar pencapaian daerah perkembangan anak yang dikenal sebagai zone
of proximal development (ZPD). Orangtua lebih tahu bantuan apa yang
seharusnya diberikan kepada anak untuk melakukan berbagai tindakan sebab
merekalah yang paling banyak berinteraksi setiap hari. Oleh karena itu, guru
bahasa Inggris yang terampil dan kreatif seharusnya dapat membantu siswanya
dengan berbagai cara di kelasnya walaupun dengan jumlah siswa yang banyak dan
dengan ZPD yang berbeda.
Pokok pikiran dan konsep Vygotsky terhadap aspek sosial dalam proses
belajar ini merupakan konsep ZPD. Dalam kaitan ini pembelajar memiliki dua
fase perkembangan, yaitu fase perkembangan potensial (potential development)
dan fase perkembangan sebenarnya (fase ketika kemampuan berpikir dan belajar
sesuatu berhasil atas upaya sendiri). Namun, dalam kenyataannya setiap anak
dapat mencapai tingkat perkembangan kemampuan tersebut dengan bantuan orang
lain.
Dalam hal ini, Vygotsky mengunakan istilah ZPD untuk memberi makna
terhadap tingkat kecerdasan atau inteligensi tersebut. Menurutnya, intelegensi
sebaiknya diukur dengan sesuatu yang dapat dilakukan seorang anak dan dengan
bantuan yang tepat. Dalam hal belajar untuk melakukan sesuatu dan belajar untuk
85
berpikir dapat digalakkan dengan cara berinteraksi dengan orang yang lebih
dewasa, seperti: orangtua, orang sekitar, guru, dan lainnya.
Sebenarnya ada tiga hal pokok yang ditekankan oleh Vygotsky (dalam
Arends, 1998). Ketiga hal ini adalah sebagai berikut. (1) Kemampuan berpikir
(intelektual) berkembang ketika orang dihadapkan dengan pengalaman baru, ide-
ide baru, dan permasalahan, yang kemudian dihubungkan dengan apa yang telah
diketahui sebelumnya (prior knowledge). (2) Interaksi dengan orang lain akan
memacu perkembangan intelektual atau cara berpikir anak untuk menemukan
sesuatu yang baru. (3) Peran utama seorang guru adalah sebagai pembantu yang
baik untuk memberikan pertolongan kepada anak yang sedang dalam proses
belajar.
Sumbangan pendapat dari ahli ilmu jiwa perkembangan kognitif ini
penting sekali untuk dipertimbangkan dalam mempersiapkan program EYL,
terutama dalam hal bagaimana daya berpikir dan bekerja pembelajar dan
bagaimana pembelajar memeroleh dan memproses informasi yang baru diperoleh.
Pandangan Vygotsky dan ahli lainnya penting untuk dipahami oleh guru agar ia
dapat memaksimalkan penggunaan berbagai strategi belajar. Pandangan-
pandangan mereka menekankan peran penting prior knowledge dalam proses
belajar. Selain untuk membantu guru memahami apa yang disebut pengetahuan
dan jenis-jenisnya, juga dapat membantu menjelaskan bagaimana orang
memperoleh pengetahuan dan memprosesnya dalam sistem daya intelektual
manusia.
86
Pada waktu mempelajari sesuatu yang baru, terjadilah proses
menghubungkan antara sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya dengan hal baru
melalui berbagai pengalaman belajar. Dengan kata lain, seolah-olah ada sesuatu
“jembatan pengalaman”, dalam hal ini pembelajar mulai dengan sesuatu yang
sudah dikenal atau dimiliki (prior knowledge), kemudian ia melewati jembatan
tersebut dengan berbagai pengalaman belajar, setapak demi setapak, akhirnya
sampai pada ”belajar sesuatu yang baru” (new knowledge). Teori Psikologi dalam
penelitian ini dapat membantu guru untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis
siswa dalam belajar. Peran teori Psikologi dalam pembelajaran bahasa lebih
banyak dipelajari dalam bidang psikolinguistik. Cameron (dalam Helena,
2004:11) telah banyak mengulas teori Psikologi dari ahli terkemuka, yaitu Piaget
dan Vygotsky yang menjadi acuan dalam pendidikan bahasa masa kini. Teori
Psikologi dari kedua ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan kontribusi yang
sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Selanjutnya, Vygotsky (1978:3) memberikan pandangan bahwa dalam
proses belajar-mengajar, faktor sosial sangat penting dalam perkembangan anak.
Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak.
Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan pandangan pada
perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, tetapi tidak mengabaikan
individu atau perkembangan kognitif individu. Perkembangan bahasa pertama
anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya
pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat
baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai
87
hal untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak
sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat
sesuatu atau bermain. Hal ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi
semakin besar, bicaranya semakin lirih dan mulai membedakan mana kegiatan
bicara yang ditujukan kepada orang lain dan mana yang ditujukan kepada dirinya
sendiri.
Perkembangan dan proses belajar bahasa terjadi dalam suatu konteks
sosial, yaitu dalam komunitas yang penuh dengan orang berinteraksi dengan anak
tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar anak-anak penting perannya dalam
membantu mereka untuk belajar menggunakan bahasa. Anak merupakan
pembelajar aktif yang hidup di antara orang lain sejak masih bayi. Dalam hal ini
melalui interaksi sosial, orang dewasa bertindak sebagai perantara dengan dunia
sekitar anak. Dengan bantuan orang dewasa, anak-anak dapat melakukan dan
memahami lebih banyak daripada mereka belajar sendiri.
Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi
manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan
memahami lebih banyak hal dibandingkan apabila anak hanya belajar sendiri.
Konsep ZPD memberi makna baru terhadap “kecerdasan”. Kecerdasan tidak
diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya.
Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu apabila berinteraksi
dengan orang dewasa.
Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam
konteks sosial dengan orang lain, dalam hal ini bahasa membantu proses ini dalam
88
banyak hal. Lambat laun anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya
terhadap orang dewasa, kemudian menuju kemandirian dalam hal bertindak dan
berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu
ke tahapan berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi.
Seperti telah disinggung di depan bahwa menurut teori Vygotsky, anak-
anak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang
pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif.
Menurut Vygotsky atau dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak atau
siswa dengan pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau
gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri. Dalam kaitan ini, Annie
(2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme terdapat empat pandangan
utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu ZPD, dalam hal ini
merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi perkembangan
kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. Dalam hal ini ZPD bisa
dikembangkan secara terus-menerus dan memerlukan interaksi sosial. Di samping
itu, ZPD menurut Vygotsky adalah jarak antara tingkat perkembangan dengan
tingkat potensi perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan konsep ini,
seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para
siswa atau anak-anak, kemudian mereka berusaha untuk mencapainya sendiri atau
dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain
sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar.
Teori Psikologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu
guru mendesain proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
89
Pemahaman guru terhadap berbagai teori Psikologi sangat diperlukan dalam
rangka mendesain proses pembelajaran sehingga mereka mampu menciptakan
proses pembelajaran yang bermakna (menarik, menyenangkan, dan menimbulkan
motivasi) bagi siswa. Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka tujuan pembelajaran
yang sudah ditentukan sebelumnya akan lebih mudah untuk diwujudkan.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam pendekatan
konstruktivistik terdapat beberapa pokok pikiran yang menjadikannya berbeda
dengan pendekatan pedagogik lainnya. Pendekatan konstruktivistik ini dapat
dijabarkan dalam beberapa hal, yaitu memandang kultur sebagai sumber
pengajaran; memandang pihak lain sebagai stakeholders dalam pengembangan
pengetahuan; memandang siswa sebagai seseorang yang mempunyai potensi yang
mesti dikembangkan; dan menempatkan ZPD, seperti dalam teori Vygotsky, yakni
sebagai komponen vital dalam proses belajar. Oleh karena dengan
mengembangluaskan ZPD, siswa pada tingkat pendidikan apa pun akan bisa
mengembangkan dirinya secara terus-menerus melalui lingkungannya.
Teori Psikologi yang diuraikan di atas berimplikasi atau berdampak
langsung terhadap apa yang selayaknya dilakukan oleh guru dalam mengajar
bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas. Dari teori Piaget ini, maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran memang terjadi secara bertahap, tetapi hal ini
bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi jika tahapan-
tahapan pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain,
dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar guru bisa saja menyusun materi
90
dari yang paling mudah hingga yang paling sulit menurut versi atau pandangan
guru.
Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan
bahwa peran guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang
optimal. Selanjutnya dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau
potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal
terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di
sekitarnya. Dalam hal ini pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan
lingkungan sosialnya.
Teori Psikologi Piaget dan Vygotsky ini menunjukkan bahwa betapa
pentingnya guru merencanakan kegiatan belajar mengajar secara saksama.
Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan apa yang akan
dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk
tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan secara serius
mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas
sebagai ZPD.
2.4 Model Penelitian
Secara umum, kebijakan Pemerintah Kota Denpasar dalam bidang
pendidikan dibuat berdasarkan pertimbangan dua hal, yaitu kebijakan nasional
dan keadaan politik, ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan setempat. Proses
strukturasinya melahirkan kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah-
sekolah dasar di wilayah Kota Denpasar.
91
Model penelitian digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Model Penelitian
Catatan:
menunjukkan kerja sama
menunjukkan pengaruh
Kebijakan
pendidikan
nasional
Kebijakan
pendidikan
di Kota
Denpasar
Kondisi
sekolah dasar
Kota Denpasar
Politik, sosial,
dan budaya
Politik, ekonomi
dan lingkungan
Implementasi Kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah
dasar di Kota Denpasar
Faktor-faktor yang
memengaruhi
implementasi
kebijakan
pembelajaran bahasa
inggris sekolah
dasar di Kota
Denpasar
Implementasi
kebijakan
pembelajaran bahasa
Inggris sekolah
dasar di
Kota Denpasar
Makna
Implementasi
kebijakan
pembelajaran
bahasa Inggris
sekolah dasar
di Kota Denpasar
Implementasi kebijakan
pembelajaran
bahasa Inggris yang efektif
menuju pendidikan bermutu
Relevansi bahasa
Inggris sebagai
muatan lokal
92
Kebijakan nasional, yaitu sistem pendidikan nasional merupakan
penjabaran operasional bunyi Pasal 31, Undang-undang Dasar 1945, yakni
pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional berdasarkan visi
dan misinya. Penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai amanat tersebut,
sehingga dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu sebagai berikut. (1) aspek politik
dan hukum, yakni pendidikan nasional dengan berbagai perubahannya tidak dapat
dipisahkan dengan sistem politik dan hukum. Hal ini tampak dalam setiap
perubahan undang-undang pendidikan bahwa kepentingan politik sangat
mendominasi; (2) aspek lingkungan alam, sosial dan budaya merupakan faktor-
faktor yang menjadi suatu pertimbangan atau menjadi perhatian guru dalam
pelaksanaan pendidikan, khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan bahasa
Inggris sebagai bahasa asing.
Lingkungan alam mencakup ekosistem, seperti: danau, tambak, sungai,
hutan, tanah kebun, lapangan rumput, sawah, keindahan alam, dan sebagainya.
Lingkungan sosial adalah lingkungan yang mencakup hubungan timbal balik
(interaksi) antara manusia satu dengan yang lainnya sesuai dengan peraturan-
peraturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Contoh-contoh lingkungan sosial,
seperti interaksi antara manusia yang terdapat dalam lingkungan sekolah,
lingkungan kelurahan desa, banjar, rukun tetangga, dan lembaga-lembaga formal
serta informal lainnya. Lingkungan budaya adalah lingkungan yang mencakup
segenap unsur budaya yang dimiliki masyarakat di suatu daerah tertentu. Hal yang
termasuk di dalamnya, seperti: kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat, aturan-
aturan yang umumnya tidak tertulis (misalnya tata krama, cara pergaulan, etiket
93
dengan orangtua, muda-mudi, dan tetangga), nilai-nilai, serta penampilan
perlambang-perlambang yang menyatakan perasaan, yakni yang terdapat dalam
upacara adat/tradisional, bahasa daerah, dan kesenian daerah.
Pendidikan bahasa Inggris merupakan bagian dari pendidikan umum,
yakni dalam operasionalnya juga dipengaruhi oleh hukum, politik, ekonomi,
lingkungan alam, sosial, dan budaya setempat. Kondisi tersebut secara tidak
langsung dapat memengaruhi proses penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris
di sekolah. Struktur sosial masyarakat dan perilaku budaya sangat berpengaruh
terhadap pendidikan bahasa Inggris di sekolah. Apalagi bahasa Inggris merupakan
bahasa asing yang tentunya mempunyai latar belakang budaya berbeda dari
bahasa siswa yang sudah melekat dengan budayanya masing-masing serta budaya
Indonesia pada umumnya.
Perpaduan antara lingkungan alam, sosial, dan budaya pada hakikatnya
membentuk suatu kehidupan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang disebut dengan
pola kehidupan. Jadi pola kehidupan masyarakat mencakup interaksi antaranggota
masyarakat tersebut yang meliputi interaksi antar individu, antara individu dengan
kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lainnya baik secara formal
maupun informal. Dalam kenyataannya, pola kehidupan suatu masyarakat dapat
berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi
lingkungan alamnya dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Kebudayaan
suatu masyarakat mencakup gagasan, keyakinan, pengetahuan, aturan dan nilai,
serta perlambang (simbol-simbol) yang digunakan untuk menanggapi
lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan bahan pelajaran bermuatan
94
lokal yang mengacu pada pola kehidupan masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam mengembangkan wawasan lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Di samping itu, dengan memahami arti
dan hakikat kurikulum muatan lokal, maka kurikulum muatan lokal ini
ditingkatkan dan dikembangkan untuk semua pihak. Dengan demikian, siswa
tidak hanya mengetahui dunia global, tetapi budaya lokal perlu dipahami dan
dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum dalam pembelajaran bahasa Inggris memiliki posisi sangat
strategis dalam pembentukan akhlak dan moral peserta didik. Hal itu disebabkan
oleh berbagai faktor, di antaranya apabila bahwa proses pembelajaran tidak
didukung oleh kurikulum yang memadai, maka penyelenggaraan pendidikan
bahasa Inggris tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Masyarakat menghendaki
adanya keseimbangan antara materi yang dipelajari di sekolah dengan kenyataan
yang terjadi di masyarakat. Itulah sebabnya Pemerintah Kota Denpasar
memberlakukan kebijakan pendidikan yang menstrukturasi antara kebijakan
nasional dan keadaan politik, ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan di
wilayahnya dengan membuat kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah
dasar yang diterapkan di sekolah-sekolah dasar se-Kota Denpasar.
Fokus kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota
Denpasar kemudian dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan permasalahan
sebagai berikut. (1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pembelajaran bahasa
Inggris pada sekolah dasar di Kota Denpasar? (2) Faktor-faktor apa sajakah yang
memengaruhi implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar
95
di Kota Denpasar? (3) Bagaimanakah makna implementasi kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar?
96
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah kajian budaya (cultural studies), yang
berarti bahwa ia dengan sendirinya bersifat kualitatif. Ciri kualitatif dapat
dikatakan sudah melekat dalam setiap penelitian kajian budaya. Hal ini,
dinyatakan secara tegas oleh Stokes (2006: xii) dalam bukunya How to Do Media
and Cultural Studies. Dalam pandangan Stokes (2006: xi), penelitian kualitatif
merupakan nama yang diberikan kepada paradigma penelitian, terutama yang
berkepentingan dengan makna dan penafsiran.
Dalam hal ini kajian budaya tidak mengikuti metode konvensional yang
monolitik, sehingga dianggap antidisiplin. Menurut Sardar dan Van Loon (2001:
8), kajian budaya adalah bidang penyelidikan yang sering digambarkan sebagai
antidisiplin karena tidak mengikuti aturan keilmiahan konvensional. Kajian
budaya dengan leluasa dan bebas bergerak dari satu teori ke teori lainnya, dari
satu metode ke metode lainnya serta mengambil apa saja yang dibutuhkan dari
bidang-bidang ilmu lain, kemudian disesuaikan dengan tujuannya.
Selanjutnya, dalam penelitian ini perlu ditunjukkan subjek dan objek
penelitian. Subjek penelitian tentang kebijakan pembelajaran bahasa Inggris
sekolah dasar di Kota Denpasar ini adalah pejabat pemerintah yang membuat
kebijakan tersebut, di samping murid, guru, kepala sekolah, dan pengamat
pendidikan. Sementara objeknya adalah kebijakan pemerintah dalam
96
97
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar serta penerapan
pembelajaran tersebut di lapangan.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar. Kota Denpasar saat ini terdiri
atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar
Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan Denpasar Barat. Wilayah
Kota Denpasar berada relatif dekat dengan Kabupaten Badung yang memiliki
beberapa kawasan wisata terkenal di pasar mancanegara, seperti Kuta, Jimbaran,
dan Nusa Dua. Pembelajar sekolah dasar di Kota Denpasar berasal dari berbagai
etnis, agama, adat-istiadat, tradisi, dan budaya serta latar belakang ekonomi yang
berbeda-beda yang merupakan wujud pendidikan yang multikultural.
Penelitian ini dilakukan di sekolah-sekolah dasar negeri dan swasta yang
tersebar di seluruh kecamatan di Kota Denpasar yang memberikan pengajaran
bahasa Inggris dari kelas empat sampai kelas enam. Jumlah sekolah dasar yang
ada pada semua kecamatan tersebut, baik negeri maupun swasta, yakni 218 buah
seperti terlihat pada Tabel 4.3. Sekolah yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan
penelitian ini adalah satu sekolah negeri dan satu sekolah swasta dari masing-
masing kecamatan. Jumlah seluruh sekolah yang dipilih sebagai tempat penelitian
ini adalah delapan sekolah.
98
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian ini terdiri atas data kualitatif yang didukung oleh data
kuantitatif. Data kualitatif tidak bisa dihitung seperti data kuantitatif yang
mencakup jumlah dan penghitungan lainnya, seperti jumlah sekolah atau murid.
Data kualitatif bisa berbentuk narasi, uraian, dan butir-butir yang berkaitan
dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Sementara itu, sumber data
penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara serta
observasi dan data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi.
Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar merupakan bagian dari
kebijakan sekolah yang bersangkutan dan telah diakui pelaksanaannya oleh
pemerintah. Oleh karena itu, data yang diperoleh merupakan data primer yang
berasal dari pemerintah Kota Denpasar dalam hubungan dengan proses pembuatan
kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar dan yang bersumber dari
pelaksanaan pembelajarannya di sekolah-sekolah dasar yang ada. Data yang
terakhir diambil secara langsung dari siswa dan guru bahasa Inggris, kepala
sekolah, serta orangtua murid yang memiliki kaitan dengan pembelajaran bahasa
Inggris. Berbeda dengan data primer, data sekunder adalah data yang diperoleh
dari kepustakaan, literatur, hasil penelitian, dan jurnal yang terkait serta sumber-
sumber tercetak lainnya.
3.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga peneliti menjadi
instrumen penelitian utama yang langsung mengambil data, baik di kantor
pemerintah terkait maupun di sekolah yang menjadi subjek penelitian. Alat yang
99
dipakai dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (interview guide) yang
dilengkapi dengan alat perekam serta alat pencatat lainnya yang diperlukan
selama wawancara dan observasi berlangsung.
3.5 Teknik Penentuan Informan
Informan ditentukan berdasarkan teknik purposif (bertujuan). Teknik ini
dipilih karena penentuan informan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan
peneliti, yakni dalam rangka pencarian informasi secara valid, efektif, dan efisien
tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar.
Informan diambil dari siswa, guru, kepala sekolah, orangtua siswa, pejabat
Disdikpora serta dari pengamat pendidikan. Jumlah informan siswa sebanyak
delapan orang, guru enam orang, kepala sekolah delapan orang, orangtua siswa
empat orang, pejabat Disdikpora tiga orang dan satu orang dari pengamat
pendidikan.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara. (1)
Observasi, yakni pengamatan secara langsung tentang pelaksanaan pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah dasar Kota Denpasar. (2) Wawancara yang mendalam
dengan informan yang sudah ditentukan untuk mendapatkan informasi yang
lengkap tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di lapangan. (3)
dokumentasi yang bertujuan mendapatkan data sekunder.
100
3.6.1 Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan agar mendapatkan gambaran
yang jelas tentang pembuatan kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar
dan penyelenggaraannya di sekolah-sekolah dasar. Dalam hal ini peneliti tidak
sekadar menggunakan pancaindera terhadap apa yang diamati, tetapi sebagai
pengumpul informasi sebanyak-banyaknya terhadap berbagai hal dalam
penelitian. Hal-hal yang diobservasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Pelaksanaan kebijakan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. (2)
Kegiatan peserta didik dan guru bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar.
(3) Sarana dan prasarana pendukung kegiatan pengajaran bahasa Inggris serta
lingkungan sekolah yang ada. (4) Tanggapan orangtua siswa dan pengamat
pendidikan terhadap pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar.
3.6.2 Wawancara
Selain melakukan observasi, data primer juga diperoleh melalui hasil
wawancara dengan para informan. Para informan terdiri atas pembuat kebijakan
(pihak Pemerintah Kota Denpasar), pihak sekolah (baik guru maupun siswa), dan
orangtua siswa. Seperti halnya dalam kegiatan observasi, dalam wawancara, data
yang dicari terkait dengan (1) aspek pembuatan kebijakan proses pengajaran
bahasa Inggris sekolah dasar dalam birokrasi pemerintahan, (2) kegiatan
pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar, dan (3) berbagai hal yang menyangkut
sarana dan prasarana pendukung kegiatan pengajaran bahasa Inggris serta
lingkungan sekolah.
101
3.6.3 Dokumentasi
Selain melakukan wawancara dalam pengumpulan data, peneliti juga
menggunakan dokumentasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar, seperti teks kebijakan
pemerintah itu sendiri, arsip kegiatan belajar-mengajar di kelas, rencana
pelaksanaan pembelajaran, kurikulum pendidikan, dan kalender pendidikan.
Selanjutnya data kepustakaan lainnya berasal dari (1) literatur yang ada
hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar,
(2) hasil-hasil penelitian tentang pengajaran bahasa Inggris yang memiliki
relevansi dengan penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar, dan
(3) terbitan ilmiah yang terkait, terutama jurnal.
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam
penelitian ini. Dalam kaitan ini, analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif.
Pada tahapan ini, semua data dikelompokkan dan dianalisis hingga menghasilkan
hasil penelitian yang sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah
dirumuskan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah sebagai
berikut. (1) Deskripsi data, yakni memaparkan data asli yang diperoleh melalui
kegiatan observasi dan wawancara pada sekolah dasar yang menjadi tempat
penelitian ini. (2) Reduksi data yakni kegiatan penelitian yang bersifat
menggambarkan data yang sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian
tentang implementasi pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar. (3) Interpretasi
102
data, yaitu pengolahan data dilakukan dalam bentuk analisis kualitatif, yakni data
yang dikumpulkan diolah berdasarkan prosedur yang ada.
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data penelitian ini disajikan secara informal, yaitu dengan
deskripsi naratif dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, dan teks deskriptif yang
dibantu dengan cara formal, seperti penggunaan tabel. Paduan kedua cara ini
dianggap sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan kebutuhan penyajian hasil
penelitian kajian budaya yang kompleks dan multidisipliner serta berciri
deskriptif-kualitatif seperti dalam penelitian ini.