07.93.0031_andi_mariani
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
-
PEMBERLAKUAN LARANGAN MEROKOK DI TEMPAT UMUM DAN
HAK ATAS DERAJAT KESEHATAN OPTIMAL
(APPLICATION OF PROHIBITION AGAINST SMOKING IN PUBLIC PLACE AND DEGREE OF OPTIMAL HEALTH RIGHTS)
(Penelitian Hukum Normatif Terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan juncto Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok)
TESIS Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan
Oleh: Andi Mariani 07.93.0031
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2009
-
Tesis
PEMBERLAKUAN LARANGAN MEROKOK DI TEMPAT UMUM DAN
HAK ATAS DERAJAT KESEHATAN OPTIMAL (Penelitian Hukum Normatif Terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan juncto Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok)
Diajukan oleh: Andi Mariani 07.93.0031
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama Prof. Dr. Agnes Widanti, SH, CN Tgl. Pembimbing Pendamping dr. Wawang S. Sukarya, SpOG(K), MARS., MH.Kes. Tgl........
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT, atas karuniaNya
dengan melimpahkan kesehatan, kekuatan dan terutama kesempatan bagi saya
untuk jauh-jauh ke seberang pulau menuntut ilmu di UNIKA Soegijapranata,
yang meski di awal masa perkuliahan sempat memunculkan rasa jenuh dan
sedikit penat karena harus senantiasa bolak-balik, dan sedikit keraguan apakah
saya sanggup untuk menyelesaikan semua rangkaian mata kuliah berikut tugas-
tugas yang semakin hari semakin sering ditunda dan menjadi menumpuk di
akhir.
Berhasilnya saya menyelesaikan tugas akhir dan rangkaian seminar dan
persidangan tentunya tak lepas dari bimbingan dan arahan para pembimbing
saya, Ibu Prof.Dr. Agnes Widanti, SH.,CN., dan dr. H. Wawang Sukarya,
SpOG(K)., MARS., MH.Kes. yang senantiasa membimbing dan memberi
masukan meski saya terkadang agak lelet dan berantakan. Penguji saya yang
juga hampir seperti pembimbing bagi saya, Bapak Y. Budi Sarwo, atas segala
saran dan brainstorming-nya di sela-sela waktu untuk menguji, juga tak
ketinggalan Pak Handy Sobandi, pembimbing bayangan merangkap
narasumber saya untuk memberi masukan dan terutama pengalaman pribadi
dalam dunia merokok.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Rektor UNIKA Soegijapranata
yang telah bersedia menerima saya menjadi salah seorang mahasiswa program
Pascasarjana, kepada Prof. Dr. Wila Chandrawila, SH. atas segala ilmu yang
diberikan, kepada para dosen, Bu Endang Wahyati, SH., M.Hum., Bapak dr.
Sofwan Dahlan, SpF., Bu P. Lindawaty Sewu, SH., M.Hum., bapak Sidharta,
SH., M.Hum., dan dosen-dosen lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Walikota
Makassar Bapak Ilham Arief Sirajuddin atas segala dukungan selama saya
melanjutkan pendidikan, kepada Kepala Dinas Kota Makassar dr. Hj. Naisyah T.
Azikin yang meski berat namun tetap memberi saya ijin untuk tidak perlu
melaksanakan tugas, dan Kepala Puskesmas Malimongan Baru dr. Chaeriah
atas pengertiannya untuk melepaskan saya dari pasien-pasien yang
menumpuk di puskesmas.
-
Kepada teman-teman angkatan V kelas Bandung, terima kasih atas segala
pertemanan, persaudaraan, perdebatan, dan diskusi yang kadang seperti tanpa
titik temu, semoga kita semua bisa memperjuangkan yang kita yakini patut dan
benar sobat! Terima kasih kepada Billy N yang telah berhasil meyakinkan saya
untuk memilih kelas Bandung, juga pada Shinta, Buyung, atas segala bantuan
dan kadang kerepotan atas tugas-tugas saya yang sering berceceran. Juga
kepada keluarga klinik Kedung Waringin di Bogor, Pak Iwan Setiawan dan ibu,
Bapak Darma Halil dan ibu, Yuni Fadly dan semuanya yang telah bersedia
menjadi tempat untuk memperdalam ilmu. Kepada bapak Suhasman atas
kesediaannya membagi pengetahuan dan memberi dorongan untuk
menyelesaikan tesis ini tepat waktu, kepada segenap teman-teman di komunitas
jejaring yang senantiasa memberi semangat untuk maju, juga kepada teman-
teman mediator di Universitas Tarumanegara, terima kasih atas perhatian dan
masukan dari kalian.
Pada akhirnya, ucapan terima kasih tak terhingga saya haturkan pada
ibunda tercinta, yang telah rela hati melepaskan anak bungsunya tuk menuntut
ilmu ke seberang. Kepada suami, mertua dan ipar-ipar saya yang harus
berbulan-bulan tak berinteraksi secara langsung, kepada saudara-saudara saya
di Mamuju, Aceh, Bogor, Makassar, dan tujuh kurcaci keponakan saya yang
manis-manis, terima kasih untuk bersabar menunggu saya pulang.
Akhir kata, semoga tulisan ini kelak dapat membawa manfaat, dan sedikit
banyak dapat menjadi pencerahan dan jika mungkin dikembangkan oleh peneliti-
peneliti lainnya. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan dalam interpretasi, sebab
tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Bandung, Desember 2009
Andi Mariani
-
ABSTRACT
Smoking is a habit of human life, became a part of routinity and the culture of society. The habit is closely related with the right of smoker to smoke, and the right of non-smoker to breath at health and high quality air. Every people have a right for healthy environtment as their right of health, and every people have a duty to make a healthy behavior and respect to anothers right for healthy environtment to achieve the degree of optimal health rights.
The research method used is normative juridical research, to establish a certain right or norm on a phenomenon. Its specification is analytical descriptive research to describe the influence of smoking in human life, the effort to control and analyze its relationship for achieve the degree of optimal health rights. Data is being acquired from qualitative secondary data and some quantitative research for supporting.
The results of research shows that application of prohibition against smoking at DKI Jakarta Province what is expected to protect non-smoker people is unequal, and most of smoking-ban area are not yet qualified. Awareness to maintain health and to prevent morbidity due to tobacco exposure by either active or passive still not surfaced in the community, so still need a variety of community efforts to better understand and know the impact of smoking, and respect the rights of others to obtain optimal health. Existing regulations only protect non-smokers rights at seven places and leave them exposed in other places both public and private environtment, so it can be concluded that even this regulation is done, the degree of health is still far from ideal.
Keywords:rightofhealth,optimalhealth,smoking
-
ABSTRAK
Merokok merupakan kebiasaan yang telah menjadi bagian dari rutinitas bahkan menjadi budaya dalam masyarakat. Kebiasaan tersebut bersinggungan langsung dengan hak para perokok untuk merokok, dan hak bukan perokok untuk menghirup udara yang bersih dan sehat. Setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat sebagai haknya atas kesehatan, dan setiap orang wajib berperilaku sehat dan menghormati hak orang lain untuk memperoleh lingkungan sehat, demi tercapainya derajat kesehatan optimal.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, untuk menetapkan hak atau norma tertentu terhadap suatu fenomena. Penelitian dilakukan dengan spesifikasi deskriptif analitik, dengan mendeskripsikan pengaruh rokok dalam kehidupan, upaya pengendaliannya dan analisis hubungannya terhadap pencapaian derajat kesehatan optimal. Data diperoleh dari data sekunder yang bersifat kualitatif dan beberapa penelitian kuantitatif sebagai penunjang.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberlakuan larangan merokok di ruang lingkup Propinsi DKI Jakarta yang diharapkan dapat melindungi mereka yang bukan perokok masih belum memadai, dan kebanyakan kawasan dilarang merokok belum memenuhi persyaratan. Kesadaran untuk menjaga kesehatan dan mencegah kesakitan akibat terpajan oleh rokok baik secara aktif maupun pasif masih belum mengemuka di dalam masyarakat, sehingga masih perlu berbagai upaya agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui dampak dari merokok, dan menghargai hak orang lain untuk mendapatkan kesehatan yang optimal. Peraturan yang ada hanya melindungi hak bukan perokok di tujuh kawasan, dan membiarkan mereka terpapar di tempat lain, baik di lingkungan publik maupun privat, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya peraturan inipun derajat kesehatan masih jauh dari ideal.
Kata kunci : hak kesehatan, kesehatan optimal, merokok
-
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... i
Halaman Pengesahan.................................................................................... ii
Kata Pengantar .............................................................................................. iii
Abstract ......................................................................................................... v
Abstrak .......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
D. Sistematika Penulisan .............................................................................. 7
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN A. Rokok dan Dampak Merokok ...... 9
1. Kandungan pada rokok 9
2. Dampak secondhand smoke ............................................................ 10
3. Dampak bagi wanita, anak dan remaja ............................................. 15
4. Dampak bagi kemiskinan .. .. 18
B. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal ...................................................... 22
C. Kawasan Dilarang Merokok ..................................................................... 28 D. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ................................................................................. 36
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................................ 34
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 35
D. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 36
E. Metode Analisis Data ............................................................................... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal ........................................................ 38
B. Pemberlakuan Larangan Merokok di Tempat Umum .............................. 41
1. Merokok dan kesehatan ....................................................................... 41
2. Kawasan tanpa rokok .......................................................................... 48
3. Upaya Pengendalian Dampak Tembakau .......................................... 50
a. Peningkatan cukai ......................................................................... 54
b. Pengaturan tentang iklan .............................................................. 59
-
c. Pengaturan tentang kemasan........................................................ 61
d. Pembatasan penjualan ................................................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 71
1. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal .................................................. 71
2. Pemberlakuan Larangan Merokok di Tempat Umum . ........................ 72
3. Larangan Merokok di Tempat Umum dan Hak Atas Kesehatan
Optimal .................................................................................................. 75
A. Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Masalah kesehatan di Indonesia adalah masalah yang kompleks, saling
berhubungan, tidak dapat berdiri sendiri, dan menyangkut berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, berkaitan dengan masalah pendidikan,
kemiskinan, politik, hukum, perilaku dan budaya, agama, dan berbagai aspek lain
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sebagai sebuah hak yang mendasar dalam kehidupan seorang manusia,
kesehatan merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang tanpa
kecuali. Pembangunan kesehatan yang memadai merupakan sebuah tolok ukur
bagi terwujudnya bangsa yang maju, mandiri, serta sejahtera lahir dan batin,
yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia yang sehat, cerdas dan
produktif. Bangsa yang maju tidak hanya unggul dari segi kuantitas, namun
terutama memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya guna,
yang tidak akan mungkin dapat terlaksana apabila badan, jiwa dan sosialnya
tidak sejahtera. Oleh karena itu maka pembangunan kesehatan sebagai salah
satu upaya pembangunan nasional diarahkan agar tercapai kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal.
Setiap orang born free and equal in dignity and right, dan kesehatan
adalah hak asasi, yang wajib dipenuhi oleh negara untuk setiap warganya.
Sebagai jawaban atas hak tersebut, maka setiap orang berhak atas akses pada
pelayanan kesehatan dan juga berbagai kebijakan kesehatan yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Hak tersebut mendapatkan landasan hukum yang
-
2
pasti dalam UUD 1945 yang telah diamandemen dalam pasal 28 H ayat (1) yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Secara makro, paradigma sehat berarti pembangunan semua sektor harus
memperhatikan dampaknya di bidang kesehatan, minimal dengan memberikan
kontribusi positif bagi pengembangan perilaku dan lingkungan sehat. Sedangkan
secara mikro, paradigma sehat berkonotasi bahwa pembangunan kesehatan
lebih menekankan upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya
kuratif dan rehabilitatif. Dari segi ekonomi, melakukan investasi pada orang yang
tidak atau belum sakit jauh lebih cost effective daripada investasi kepada orang
sakit, karena itu maka lebih baik mencegah daripada mengobati sepatutnya
merupakan suatu upaya yang dapat lebih sering dipergunakan dalam keseharian
kita.1
Pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan seharusnya memberi
kontribusi positif terhadap kesehatan, terutama dalam hal pembentukan
lingkungan sehat, dan pembentukan perilaku sehat. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Blum (1974), dalam tulisan oleh Wiku Adisasmito, bahwa
status kesehatan penduduk bukan merupakan hasil pelayanan medis semata,
namun faktor lain yaitu lingkungan, perilaku dan genetika justru yang lebih
menentukan.2
Pengaturan tentang lingkungan hidup dalam rangka melindungi kesehatan
setiap orang selain bergantung pada norma aturan hukum dalam rangka
1Lihat Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.208 2Ibid., hal. 209
-
3
kepastian hukum juga bergantung kepada sikap taat asas atau konsistensi
pemerintah dalam melakukan penegakan hukum terutama dari sisi hukum
administrasi melalui instrumen perizinan dan sanksi administratif maupun
penegakan hukum pidana dan perdata.3 Pengelolaan lingkungan yang baik akan
memberikan andil yang besar terhadap kesehatan perorangan maupun
kesehatan masyarakat, sebab kualitas lingkungan yang sehat akan bebas dari
resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia, dan
merupakan salah satu faktor penting yang mendukung peningkatan status
kesehatan penduduk. Kesehatan lingkungan yang diselenggarakan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dapat dilakukan antara lain melalui
peningkatan sanitasi lingkungan, baik pada lingkungan tempatnya maupun
terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik, kimia atau biologis,
dan termasuk pula perubahan perilaku.
Salah satu perilaku yang semakin hari semakin berdampak negatif bagi
lingkungan adalah merokok. Merokok merupakan sebuah perilaku yang tidak
sehat, selain berbahaya bagi diri sendiri terlebih lagi pada orang lain yang
memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih dan terhindar dari segala bahan
cemaran yang dikeluarkan oleh asap rokok orang lain. Penggunaan rokok dalam
jangka waktu lama dapat mempengaruhi lama hidup, produktivitas dan
perekonomian keluarga, dan lebih lanjut akan memicu terjadinya berbagai
penyakit kronik dan keganasan, yang kesemuanya akan berakhir dengan
kematian. Merokok semakin memperburuk akibat dari kemiskinan, karena
belanja tembakau mungkin telah mengalihkan penghasilan rumah tangga dari
makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.
3 Lihat Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hal. 131.
-
4
Sebatang rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 jenis zat kimia dimana
69 zat di antaranya bersifat karsinogenik dan bersifat adiktif. Berbagai bahaya
merokok di antaranya penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada
perempuan, penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah, dan
penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan
HIV/AIDS.4 Rokok telah dikonsumsi oleh sekitar satu milyar laki-laki dan 250 juta
perempuan di seluruh dunia, 35% laki-laki di negara maju dan 50% di negara
berkembang, serta 22% perempuan di negara maju dan 9% di negara
berkembang, dengan menghabiskan lebih dari 15 milyar batang rokok per hari.
Apabila kecenderungan tersebut terus berlanjut, maka 650 juta orang diantara
penduduk dunia yang hidup sekarang akan mati akibat penyakit yang
berhubungan dengan rokok.5 Ironisnya, meskipun dalam dua dekade terakhir
prevalensi merokok di negara berpendapatan tinggi mulai berkurang, namun di
kebanyakan negara dengan pendapatan menengah ke bawah jumlah perokok
justru meningkat.6
Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang
disebabkan rokok pada tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per
hari atau sekitar 22,5% dari total kematian di Indonesia7
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membatasi dan mengurangi dampak
dari penggunaan tembakau dalam bentuk rokok yang telah semakin meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa negara diantaranya telah
mengeluarkan kebijakan meningkatkan cukai tembakau yang berakibatkan pada
4 Lihat Harian Kompas Rabu, 21 Januari 2009, versi online di http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat. 5 Lihat International Resources Center, http://tobaccofreecenter.org/tobacco_epidemic/key_fact 6 Lihat Prabhat Jha et al., Tobacco Control in Developing Countries, versi online di http://www1.worldbank.org/tobacco/book/html/chapter2.htm 7 M.N. Bustan, Epidemiologi : penyakit tidak menular, Rinneka Cipta, 2007, hal. 204.
-
5
peningkatan harga jual yang diharapkan dapat mengurangi konsumsi tembakau,
membatasi penjualan rokok bagi usia anak dan remaja, aktif melancarkan
promosi tentang larangan merokok dan bahayanya bagi kesehatan, mengurangi
promosi dan kerjasama dengan perusahaan rokok, membatasi waktu dan jumlah
iklan tentang rokok serta membuat daerah bebas asap rokok di berbagai
kawasan.
Sebagai salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya
kesehatan bagi individu dan masyarakat, maka pemerintah telah berupaya bagi
pengamanan rokok bagi kesehatan, sebagai implementasi dari pasal 44 UU No.
23 tahun 1992 yang berbunyi pengamanan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya, dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan.
Salah satu pengaturan penting dalam PP ini adalah penyelenggaraan
pengamanan rokok bagi kesehatan yang bertujuan untuk mencegah penyakit
akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat, dengan sasaran
diantaranya untuk melindungi kesehatan masyarakat terhadap insiden penyakit
fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan
rokok, melindungi penduduk usia produktif dan remaja untuk penggunaan rokok
dan kebergantungan terhadap rokok, dan meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan masyarakat terhadap bahaya kesehatan akibat penggunaan
rokok.
Kebijakan tentang larangan merokok di tempat umum terutama ditujukan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya terpapar asap rokok secara pasif dan
-
6
membantu mengurangi kebutuhan akan tembakau dengan menciptakan
lingkungan yang menyulitkan para perokok untuk merokok. Meski masih terbatas
di area dalam ruangan, namun diharapkan secara berangsur dapat dilakukan
juga di seluruh tempat umum, baik di dalam maupun di luar ruang. Apabila
dilaksanakan bersama dengan pemberlakuan pajak cukai yang tinggi, edukasi
akan bahaya merokok secara berkesinambungan, dengan menekankan bahwa
bukan perokok akan menanggung bahaya yang sama bahkan lebih daripada
yang harus diderita oleh perokok, dan pemberian sanksi yang cukup berat,
maka diharapkan jumlah perokok dapat berkurang, dan jumlah perokok pemula
tidak mengalami peningkatan.
Sejalan dengan Peraturan Gubernur No.75 tahun 2005 yang mengatur
tentang pemberlakuan Kawasan Dilarang Merokok pada tujuh tempat dalam
ruang lingkup pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut mengenai pemberlakuan larangan merokok di tempat umum
dalam hubungannya dengan hak atas derajat kesehatan optimal.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan hak atas derajat kesehatan optimal?
2. Bagaimanakah ketentuan tentang pemberlakuan larangan merokok di tempat
umum?
3. Apakah pemberlakuan larangan merokok di tempat umum telah memenuhi
hak atas derajat kesehatan optimal?
-
7
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa
tujuan dari penelitian, yaitu :
1. Untuk mengetahui dan memahami gambaran mengenai hak atas derajat
kesehatan optimal
2. Untuk mengetahui dan memahami gambaran mengenai pemberlakuan
larangan merokok di tempat umum
3. Untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan antara pemberlakuan
larangan merokok di tempat umum dengan terpenuhinya hak atas derajat
kesehatan optimal
D. Sistematika Penulisan
Dalam proposal penelitian ini, akan dilakukan pembahasan dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I merupakan Pendahuluan, yang berisi gambaran umum mengenai
materi yang akan dibahas, meliputi Latar Belakang Penelitian, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Pada Bab II yang berisi Kerangka Pemikiran, diuraikan mengenai rokok
beserta kandungan dan akibatnya, hak atas derajat kesehatan yang optimal,dan
kawasan dilarang merokok.
Pada Bab III, berisi uraian tentang Metode Penelitian, diantaranya
membahas mengenai metode pendekatan, spesifikasi penelitian, dan teknik
pengumpulan data yang terdiri dari jenis data, metode pengumpulan data, dan
metode analisis data.
-
8
Kemudian pada Bab IV, berisi uraian mengenai Hasil Penelitian dari tesis ini,
yang akan menguraikan tentang apakah yang dimaksud dengan hak atas
derajat kesehatan optimal, bagaimanakah pemberlakuan larangan merokok di
tempat umum, dan bagaimana hubungan pemberlakuan larangan merokok di
tempat umum dengan terpenuhinya hak atas derajat kesehatan optimal.
Terakhir pada Bab V, berisi kesimpulan dan saran bagi semua pihak.
-
9
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
A. Rokok dan Dampak Merokok
1. Kandungan pada rokok
Rokok adalah sebuah produk hasil olahan tembakau berbentuk silinder dari
kertas berukuran panjang antara 70 sampai 120 mm dengan diameter sekitar 10
mm yang berisi daun-daun yang telah dicacah yang dihasilkan dari tanaman
Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lain atau sintesisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Rokok
merupakan salah satu zat adiktif yang dapat membahayakan kesehatan individu
maupun masyarakat, mengandung berbagai bahan kimia diantaranya yang
terpenting adalah tar yang bersifat karsinogenik, nikotin yang bersifat adiktif,
benzopyrin, metal-kloride, aseton, ammonia, dan karbon monoksida.8
Nikotin adalah senyawa pirrolidin, suatu zat kimia organik kelompok alkaloid
yang dihasilkan secara alami oleh tumbuhan terutama suku terung-terungan
(Solanaceae), termasuk diantaranya pada tomat, terung ungu, kentang dan lada
hijau namun dengan kadar rendah.9 Nikotin berkadar 0,3 sampai 5 % dari berat
kering tembakau berasal dari hasil biosintesis di akar dan terakumulasi di daun.
Nikotin merupakan racun saraf yang potensial dan digunakan sebagai bahan
baku berbagai jenis insektisida. Pada konsentrasi rendah, zat ini dapat
menimbulkan kecanduan, khususnya pada rokok, yang dengan kadar 1 3 mg
pada sebatangnya setelah dikonsumsi 25% dari jumlah tersebut akan masuk ke
8Op.cit. M.N. Bustan., hal.205. 9 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2007, hal. 81.
-
10
dalam darah, dan dalam 15 detik telah sampai ke otak.10 Dalam darah, nikotin
beredar ke seluruh tubuh dalam waktu 15 20 menit dari isapan terakhir,
merangsang pelepasan katekolamin yang dapat meningkatkan denyut jantung.
Nikotin memiliki daya karsinogenk terbatas yang menjadi penghambat
kemampuan tubuh untuk melawan sel-sel kanker, namun tidak menyebabkan
perkembangan sel-sel sehat menjadi sel-sel kanker, diduga memiliki efek
stimulan seperti kafein, dan efek adiksinya akibat pengaruh perangsangan pada
sistem saraf pusat. 11
Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatik polisiklik yang
mengandung ratusan zat kimiawi yang terbentuk selama pemanasan tembakau.
Tar kadang dianggap sebagai singkatan dari Total Aerosol Residue, dalam
laboratorium partikel padatnya bisa ditemukan pada lembaran filter setelah air
dan nikotin diekstraksi. Tar adalah komponen yang paling destruktif dari rokok,
merupakan agen mutagenik dan karsinogenik yang juga merusak sel-sel yang
dilaluinya melalui proses mekanik dan biokimiawi.12
Karbonmonoksida (CO) merupakan gas beracun hasil dari pembakaran
karbon yang tidak sempurna menjadi CO2 yang tidak berwarna, dengan kadar 2
6% dalam asap rokok, yang memiliki daya ikat (afinitas) dengan hemoglobin
sekitar 200 kali lebih kuat dari afinitas oksigen. Dalam waktu paruh 4 7 jam
sebanyak 10% dari hemoglobin dapat terikat dengan karbonmonoksida (COHb)
yang dapat mengakibatkan sel darah merah kekurangan oksigen.13 Dalam
keadaan bebas karbonmonoksida dengan konsentrasi rendah dapat
10 Zulkifli, Thank You for Smoking, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2008, hal 55. 11 Op.cit.,Suryo ., hal. 83. 12 Ibid., hal.83 13 Ibid., hal. 84
-
11
menimbulkan gangguan neurobehavioural yakni gangguan pada sistem saraf
pusat yang menyebabkan ganguan perilaku sesaat.14
Selain berbagai agen tersebut, masih ada lebih dari 4000 bahan kimia lain,
yang bersifat karsinogen dan berpotensi menyebabkan iritasi pada seluruh
jaringan dan sel-sel tubuh yang dilaluinya sejak dihirup oleh hidung hingga
sampai ke paru-paru.
2. Dampak secondhand smoke
Asap rokok yang dihirup oleh perokok dinamakan first-hand smoke, dan
yang dihirup oleh orang di sekitar perokok disebut second-hand smoke. Kedua
jenis asap tersebut pada dasarnya memiliki komposisi yang sama, kecuali bahwa
beberapa komponen pada second-hand smoke memiliki kandungan yang lebih
pekat, yaitu nikotin, tar, nitrit oksida, dan karbon monoksida yang memiliki
konsentrasi 2 3 kali lebih besar daripada yang terkandung pada first-hand
smoke, bahkan beberapa karsinogen seperti o-toluidine, 2-naphtylamine, dan 4-
aminobiphenyl hanya terbentuk pada second-hand smoke saja.15
Second-hand smoke (SHS) atau environmental tobacco smoke (ETS)
dihasilkan terutama dari pelepasan asap pada ujung rokok yang membara atau
yang disebut sidestream smoke dan yang berasal dari asap yang diekshalasi
oleh perokok yang disebut mainstream smoke. Sebagian kecil juga berasal dari
pangkal rokok dan melalui kertas pembungkus rokok. Campuran kompleks dari
asap yang mengandung lebih dari 4000 bahan kimia yang terbentuk selama
pembakaran yang bersifat iritan, toksik dan karsinogenik tersebut memiliki dua
14 Umar Fachmi Achmadi, Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 181. 15 Lihat Lina S.Wong, et al., Effects of second-hand smoke on structure and function of fibroblast, cells that are critical for tissue repair and remodeling, BMC Cell Biol. 2004; 5: 13.
-
12
komponen, yaitu komponen gas atau uap dan komponen partikel, yang
menyebar dengan cepat dan mengalami berbagai reaksi kimiawi segera setelah
sebatang rokok disulut. Keduanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui
inhalasi udara ruang yang terkontaminasi, dan sepanjang perjalanannya dapat
menimbulkan dampak pada jaringan tubuh yang dilewatinya, melalui efek lokal
maupun efek sistemik. 16
Komponen partikel dari asap rokok yangmengandung tar, nikotin, benzene
dan benzo(a)piren memiliki diameter massa aerodinamik di bawah 2,5 mm,
sehingga dapat dihirup oleh pernapasan, tidak mudah disaring dan dikeluarkan
oleh mekanisme pertahanan hidung dan tenggorokan, dapat mencapai paru-paru
dan menimbulkan efek lokal hanya karena ukurannya saja, maupun karena
penyebaran bahan kimia toksik yang dibawa oleh partikel tersebut. Komponen
uap yang diantaranya mengandung karbon monoksida, ammonia,
dimetilnitrosamin, formaldehid, hydrogen sianida dan akrolein diserap dan
tersimpan pada dinding, perabotan, pakaian, mainan, dan berbagai benda
lainnya dalam sepuluh menit setelah pembakaran rokok, dan dapat kembali
tersebar ke udara setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan kemudian.17
Efek dari second-hand smoke terhadap kesehatan tidak lebih sedikit
daripada efek terhadap para perokok yang menghirup first-hand smoke. Pada
sistem kardiovaskular, terpapar second-hand smoke meskipun hanya beberapa
menit sampai beberapa jam, mempengaruhi sistem kardiovaskular sekitar 80 % -
16 Lihat S.S. Hecht, Carcinogen derived biomarkers : applications in studies of human exposure to secondhand tobacco smoke, Tobacco Control 2003; 13 (Suppl I):i48-i56 17 Lihat G.E.Matt, et al., Household contaminated by environmental tobacco smoke : sources of infant exposures, Tobacco Control 2004;13: 29-37, lihat juga http://www.knoxhealth.com/PDFs/smoking_faq.pdf
-
13
90 % menghampiri efek pada perokok aktif yang kronik.18 Bahkan meski hanya
terpapar sedikit atau mengkonsumsi 1 2 batang rokok saja pada hakekatnya
akan meningkatkan resiko penyakit jantung, sebab tidak ada hubungan linear
antara dosis dengan efeknya pada aktivasi platelet dan disfungsi endotel.19 Pada
sistem pernapasan, berbagai bahan iritan dapat mempengaruhi sepanjang jalan
napas mulai dari rongga hidung sampai ke paru-paru dan memperberat penyakit
yang sebelumnya telah ada.20 Pada tingkat seluler, berbagai metabolit dari
bahan karsinogen menginduksi perubahan molekular dan mutasi gen yang
menginduksi terjadinya berbagai kanker.21
Sebuah penelitian oleh Center for Tobacco Research and Education di
California menunjukkan hasil bahwa jika dibandingkan dengan mainstream
smoke, inhalasi sidestream smoke empat kali lebih toksik per gram TPM (total
particulate matter), tiga kali lebih toksik per gram, dan dua sampai enam kali
lebih tumorigenik. Dalam percobaan in vitro, fase gas dari sidestream smoke
menyebabkan iritasi sensorik dan kerusakan pada epitel saluran napas dalam
waktu 21 hari pada konsentrasi 2 g/l TPM. Toksisitas dari sidestream smoke
lebih tinggi daripada yang dihirup oleh perokok, dengan efek akut minimal paling
mungkin dapat terjadi pada konsentrasi lebih dari 2 g/m3 di dalam udara
ruang.22
18 Lihat Joaquin Barnoya, Stanton Glantz, Cardiovascular Effects of Secondhand Smoke : Nearly as Large as Smoking, Circulation 2005; 111; pg.2684 , versi online http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/111/20/2684 19 Lihat Elisa K. Tong, Stanton Glantz, Tobacco Industry Efforts Underminig Evidence Linking Secondhand Smoke With Cardiovascular Disease, Circulation 2007; 116; pg.1845, versi online http://www.circ.ahajournal.org/cgi/content/full/116/16/1845 20 Lihat Mark D. Eisner et al., Directly measured secondhand smoke exposure and COPD health outcome, BMC Pulmonary Medicine 2006; 6:12, versi online http://www.biomedcentral.com/1471-2466/6/12 21Lihat P. Vineis, Smoking and impact on health, Eur Respir Rev 2008; 17: 110, pg. 18222 Lihat S. Schick, S. Glantz, Philip Morris toxicological experiments with fresh sidestream smoke : more toxic than mainstream smoke, Tobacco Control 2005;14: 396 - 404
-
14
Selain sifat toksik, iritatif dan karsinogenik, sebetulnya yang paling
membahayakan dari sebatang rokok adalah sifat adiksinya, yang merupakan
tanggung jawab dari nikotin, suatu racun alkaloid yang mempengaruhi otak dan
sistem saraf pusat. Rokok yang oleh perusahaan rokok disebut sebagai nicotine
delivery device dan berbagai produk tembakau lainnya dengan cepat mencapai
kadar ketergantungan nikotin di otak segera setelah dihisap, sama efektifnya
apabila nikotin dihantarkan melalui injeksi intravena dengan jarum suntik.23
Nikotin bekerja mengaktifkan reseptor di permukaan sel neuron yang
selanjutkan akan melepaskan neurotransmitter dopamine, suatu bahan kimia
yang berhubungan dengan perasaan senang, yang dalam penggunaan jangka
panjang akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan,
sehingga para perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang lebih tinggi
untuk mencapai tingkat kepuasan dari ketagihannya.24 Hal ini dapat memberi
jawaban mengapa merokok dihubungkan dengan kenyamanan, relaksasi,
bahkan meningkatkan kemampuan berpikir dan berkreasi serta mengapa para
perokok sangat sulit untuk berhenti merokok. Bahkan mungkin pula dapat
menjawab mengapa perokok dengan rokok berkadar nikotin rendah justru malah
meningkatkan jumlah konsumsinya agar memenuhi kebutuhan nikotin yang telah
terlanjur dialaminya.
Cara termudah untuk mengetahui seberapa besar seseorang telah terpapar
oleh asap rokok, baik secara aktif maupun pasif adalah dengan mengukur kadar
kotinin dalam tubuh. Kotinin adalah bahan kimia yang dibentuk oleh tubuh,
produk metabolik dari nikotin yang ditemukan pada asap rokok. Karena kotinin
23 Lihat WHO Report on Global Tobacco Epidemic 2008, MPOWER Final Report, versi online http://tobaccofreecenter.org/files/pdfs/reports_articles/mpowerReport-final.pdf 24Lihathttp://www.ftc.gov/bcp/menutobac.htm,lihatjugahttp://www.bat-science.com
-
15
hanya bisa dibuat dari nikotin, dan nikotin memasuki tubuh melalui asap rokok,
maka pengukuran kotinin dapat menunjukkan berapa banyak sudah asap rokok
masuk kedalam tubuh. Kadar kotinin < 10 ng/mL terdapat pada perokok yang
tidak aktif, 10 100 ng/mL pada perokok ringan atau terpapar secara pasif
moderat dan > 300 ng/mL pada perokok berat diatas 20 batang per hari. Pada
urine perokok ringan atau perokok pasif didapatkan nilai antara 11 30 ng/mL,
dan pada perokok aktif bisa mencapai 500 ng/mL atau lebih. Waktu paruh kotinin
in vivo adalah sekitar 20 jam, sehingga dapat terdeteksi selama beberapa hari
sampai seminggu setelah pemakaian tembakau.25 Selain itu, dapat pula diukur
kadar karboksihemoglobin (CoHb) dan karbon monoksida yang diekshalasi
(CoEx) untuk menentukan besarnya inhalasi asap tembakau, serta tiosianat
(SCN) meski petanda terakhir ini tidak begitu spesifik sebab adanya
kemungkinan berasal dari sumber lain.26
The Environmental Protection Agency (EPA) di AS mengklasifikasikan
Environmental Tobacco Smoke (ETS) sebagai karsinogen kelas A, ranking yang
setara dengan asbestos and arsenik.27 Dalam draft International Classification
Diseases (ICD)-10, secondhand smoke dimasukkan dalam kategori penyakit
akibat lingkungan dengan kode Z58.83.28
3. Dampak bagi wanita, anak-anak dan remaja
Wanita dan anak-anak merupakan anggota keluarga yang paling sering
terpapar oleh asap rokok, yang terutama berasal dari pasangan atau
25 Lihat http://www.bat-science.com, lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Cotinine 26 Lihat Scherer Gerhard, Carboxyhemoglobin and thiocyanate as biomarkers of exposure to carbon monoxide and hydrogen cyanide in tobacco smoke, Exp Toxicol Pathol 2006; Nov. 58 (2-3): 101 24 27 Lihat http://www.knoxhealth.com/PDFs/smoking_faq.pdf 28Lihathttp://www.cdc.gov/nchs/data/icd9/draft_i10tabular.pdf
-
16
orangtuanya. Anak-anak dari orangtua yang merokok beresiko terkontaminasi
terutama dari debu rumah dan permukaan perabotan dalam rumah termasuk
pada lantai, karpet, selimut, dan peralatan lain bahkan dari sidik jari para
perokok, yang merupakan reservoar asap rokok baik dalam bentuk gas maupun
partikel yang masih tersimpan berbulan-bulan meskipun orangtua atau pasangan
telah berhenti merokok. Anak yang belum memasuki usia sekolah akan lebih
banyak berada di dalam rumah sehingga kemungkinan untuk terkontaminasi
akan jauh lebih besar dibandingkan jika ia berada di udara bebas.
Sebuah penelitian oleh Hein yang dibahas oleh G.E. Matt dkk
memperlihatkan bahwa anak-anak menghirup debu rumah sekitar 0,05 0,25
gram / hari, dua kali melebihi orang dewasa, dan jumlah nikotin yang dihirup
selama satu jam pada rumah yang memiliki konsentrasi nikotin yang tinggi pada
debu rumah adalah 12 ng, sementara yang dihirup oleh perokok aktif adalah 600
3000 ng / jam.29 Akan tetapi jumlah tersebut akan terus menerus terakumulasi
sebab kebanyakan mereka berada di dalam rumah, dan karena telah banyaknya
larangan merokok di tempat umum maka para perokok justru mempergunakan
rumah mereka sebagai tempat yang bebas untuk merokok, tanpa larangan
ataupun sanksi, namun justru membahayakan kesehatan anak dan keluarga
mereka sendiri tanpa mereka sadari.
Selain terpapar dari asap rokok orang lain, cukup disayangkan pula
perkembangan dalam angka perempuan merokok, yang saat ini mencapai
seperempat dari angka lelaki yang merokok. Di beberapa negara, secara
tradisional perempuan tidak merokok, dan industri rokok berusaha untuk
menangkap pasar yang menjanjikan ini dengan melancarkan iklan, promosi,
29 Lihat G.E.Matt, et al., Household contaminated by environmental tobacco smoke : sources of infant exposures, Tobacco Control 2004;13: 29-37
-
17
donasi dan berbagai bentuk kerjasama dengan organisasi wanita, yang
memperlemah perlawanan kultural perempuan terhadap tembakau. Desain dan
pemasaran rokok, termasuk penggunaan model yang atraktif dan merek yang
secara spesifik dipasarkan untuk wanita, secara tegas ditujukan untuk
mendorong perempuan untuk merokok.
Anak-anak dan remaja yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami
secara penuh dampak kesehatan produk tembakau dan sifat nikotin yang adiktif
merupakan pasar yang potensial bagi produk tembakau. Sebagian besar
perokok memulai kebiasaannya saat masih remaja di tengah keluarganya
terutama tanpa adanya larangan dari kepala keluarga maupun anggota keluarga
lain. Mereka kadang melakukan tidak secara terang-terangan, bersama dengan
beberapa teman sebaya, maupun seorang diri. Perilaku remaja yang masih labil
dan dipenuhi hasrat untuk mencoba sesuatu yang baru, ditambahkan dengan
pergaulan yang semakin permisif dapat menjerumuskan mereka, sebagaimana
yang dimaksud dalam strategi pemasaran perusahaan rokok, menjadi calon
pelanggan tetap di hari esok.
Di Indonesia, sekitar 70% dari perokok memulai kebiasaannya sebelum
berumur 19 tahun, karena terbiasa melihat anggota keluarganya yang
merokok.30 Prevalensi anak dan remaja yang merokok terus meningkat, dalam
setiap kelompok umur. Data Susenas maupun BPS menunjukkan fakta tentang
semakin meningkatnya jumlah perokok anak berusia 5 - 10 tahun, yang pada
periode 1995 2001 jumlah perokok kelompok umur ini berkisar 0,4 0,6%,
namun pada periode tiga tahun berikutnya, 2001 2004, meningkat drastis
30 Lihat Indonesian Tobacco Control Network, http://indotc1.blogspot.com 23 April 2007
-
18
hampir 4 kali lipat yaitu 1,8%.31 Adapun untuk anak berusia 15 19 tahun terjadi
peningkatan prevalensi di tahun 2001 sebesar 12,7 % dan meningkat menjadi
17,3 % di tahun 2004.32
Dalam survey Global Youth Tobacco Survey di tahun 2006 menunjukkan
bahwa ada 12,6 % pelajar berusia 13 15 tahun yang merokok, 24,4 % pelajar
laki-laki merokok dan 2,3% pelajar perempuan yang merokok. 3,2 % dari jumlah
tersebut telah mengalami ketagihan atau kecanduan, diantaranya dengan
dengan parameter begitu bangun tidur langsung ingin merokok.33 Di Jakarta
khususnya, 20,4% pelajar adalah perokok tetap, 46,7% adalah perokok aktif,
80% diantaranya ingin berhenti tapi tidak berhasil.34 19% remaja yang merokok
berusia dibawah 10 tahun, 69,3% anak yang bersekolah terkontaminasi oleh
rokok di rumahnya, dan 83,5% terkontaminasi di tempat umum35
Anak dan remaja dapat dengan mudah mendapatkan rokok, sebab tidak ada
larangan penjualan maupun distribusi kepada anak di bawah umur, ataupun
aturan mengenai jumlah rokok minimal per bungkus yang dijual. Harga yang
terjangkau dan mudahnya akses, termasuk memungkinkannya pembelian rokok
secara batangan, semakin memperbesar kesempatan para perokok muda untuk
terjerumus ke dalam fase ketagihan, bukan sekedar mencoba-coba belaka.
4. Dampak bagi kemiskinan
Meskipun bahaya dari penggunaan tembakau tidak mengenal adanya
batasan sosioekonomi, namun epidemi dampak tembakau akan lebih berbahaya
31 http://indotc1.blogspot.com/2007/06/ruu-pengendalian-tembakau-siap-dibawa.html 32 Lihat harian Kompas 21 Januari 2009, versi online di http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat 33 Lihat Indonesian Tobacco Control Network, http://indotc1.blogspot.com 21 Mei 2007 34 Lihat Indonesian Tobacco Control Network, http://indotc1.blogspot.com 28 Mei 2007 35 Lihat Harian Pos Kota, 31 Mei 2009
-
19
pada negara dan rumah tangga dengan pendapatan rendah. Kebanyakan
populasi dunia bermukim di negara dengan pendapatan perkapita menengah ke
bawah, yang konsumsi tembakaunya justru cenderung meningkat. Dengan
status ekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih rendah, mereka hanya memiliki
sedikit perhatian terhadap dampak tembakau bagi kesehatan, sosial, dan
ekonomi, sehingga menjadi target pemasaran yang potensial bagi perusahaan
rokok.
Efek ekonomi dari tembakau adalah memperparah kemiskinan. Bagi orang
miskin, uang yang dipergunakan untuk tembakau berarti tidak dipakai untuk
keperluan dasar seperti pangan, rumah, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.
Selain itu, karena orang miskin dengan status gizi yang biasanya sudah kurang,
disertai dengan minimnya biaya yang dialokasikan untuk pemeliharaan
kesehatan, menyebabkan angka kematian dan kejadian penyakit menjadi lebih
tinggi. Kerugian ekonomi di negara dengan populasi tinggi, kebanyakan di
negara berkembang yang merupakan pusat berbagai pabrik di dunia, akan
diperparah oleh kenyataan bahwa kebanyakan kematian akibat tembakau terjadi
selama usia produktif. Kematian dini pencari nafkah dalam keluarga tentunya
merupakan malapetaka bagi keluarga miskin dan masyarakat lainnya.
Merokok juga meningkatkan angka malnutrisi anak melalui efeknya pada
makanan yang dikonsumsi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada
33.000 rumah tangga miskin di daerah pedesaan pulau Jawa, yang bertujuan
untuk melihat pengaruh belanja produk tembakau pada rumah tangga
berpenghasilan rendah terhadap nutrisi anak, memperlihatkan bahwa rumah
tangga berpenghasilan rendah tersebut menghabiskan 68% penghasilan untuk
belanja pangan dan 22% untuk non pangan, dan memiliki sekurang-kurangnya
-
20
satu perokok yang cenderung mengalihkan 10% dari penghasilannya yang
sedikit untuk membeli produk tembakau dengan mengurangi biaya untuk belanja
pangan, yang berakibat pada berkurangnya jumlah dan kualitas makanan yang
dikonsumsi, dan menurunkan status gizi secara bermakna pada anak-anak.
Akibatnya anak-anak dari perokok tersebut kebanyakan memiliki tinggi badan
yang lebih rendah daripada anak-anak bukan perokok dengan usia yang sama.
Gizi yang buruk diakibatkan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas makanan
yang mereka beli, dan kecenderungan untuk lebih membeli nasi daripada daging,
buah dan sayuran yang lebih bergizi, karena dialihkan untuk biaya rokok.36
BPS di bulan Mei 2004 menyebutkan bahwa proporsi konsumsi tembakau
pada keluarga miskin jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan proporsi biaya
kesehatan dan pendidikannya. Data empiris Badan Pusat Statistik membuktikan,
pada periode tahun 1996 hingga tahun 2003, belanja tembakau dan sirih pada
keluarga miskin 7,6 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, pada saat
yang sama keluarga miskin hanya mengalokasikan 2,6 persen untuk biaya
pendidikan dan 1,9 persen untuk kesehatan dari total pengeluaran. Selaras
dengan itu, Survei Ekonomi dan Kesehatan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (2003) juga membuktikan keluarga miskin rata-rata mengalokasikan 8 -
9 persen pengeluarannya untuk belanja tembakau.37
Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, di tahun 2005, 4 dari 10
keluarga miskin mengkonsumsi rokok, dan meningkat menjadi 5 dari 10 keluarga
miskin di tahun 2006. Keluarga miskin menghabiskan 9,3 % dari penghasilannya
untuk membeli tembakau, sedangkan keluarga kaya hanya menghabiskan 6,8 %
36 Lihat Steven Block and Patrick Webb, Up in Smoke : Tobacco Use, Expenditure in Food and Child Malnutrition in Developing Countries, Chicago Journal, volume 58, number 1, Oct.2009, versi online http://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/605207 37Lihat Koran Tempo, 9 April 2007
-
21
dari penghasilan. Orang miskin menempatkan rokok dalam konsumsi terbesar
kedua setelah padi-padian, dan orang kaya menempatkan rokok pada urutan
keenam. Pada keluarga miskin, rata-rata belanja rokok adalah 17 kali lebih besar
daripada pengeluaran untuk daging, 15 kali lebih besar dari pengeluaran untuk
pengobatan, 9 kali lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan, 5 kali lebih
besar dari pengeluaran untuk susu dan telur, dan 2 kali lebih besar dari
pengeluaran untuk ikan38
Pada 2007, jumlah keluarga miskin di Indonesia diperkirakan sebesar 19
juta jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2 dari 3 laki-laki kelurga miskin
merokok, sehingga ditaksir 12 juta kepala keluarga miskin adalah perokok.
Belanja rokok orang miskin 23 triliun/tahun, sementara APBN untuk Departemen
Kesehatan hanya 17 triliun. Belanja makanan pokok keluarga miskin anjlog dari
28% menjadi 19%. yang mengakibatkan ditemukan busung lapar di tengah
keluarga miskin, karena alokasi makanan pokok dialihkan untuk membeli
rokok.39 Busung lapar yang menimpa keluarga miskin diindikasikan tak hanya
karena mereka minim biaya untuk menyehatkan balitanya, tapi lebih karena
"mismanajemen" terhadap pendapatan yang diperolehnya, yang lebih memilih
menghabiskan pendapatannya untuk satu bungkus rokok per hari, setara dengan
harga 1 kg telur yang sangat cukup untuk memperbaiki gizi balita.40
Keluarga miskin dapat terus merokok karena rokok mudah didapat,
merupakan produk legal yang dapat dibeli dimana saja, dan tersedia dalam
kemasan kecil maupun pembelian batangan, yang terjangkau oleh daya beli
orang miskin.
38 Lihat Harian KOMPAS, 26 Februari 2009 39 http://indotc1.blogspot.com/2007/06/ruu-pengendalian-tembakau-siap-dibawa.html 40 Lihat Koran Tempo, 9 April 2007
-
22
B. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal
Hukum berada dalam suatu sistem yang kompleks, dan hukum itu sendiri
merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur atau subsistem tersendiri.
Lawrence M.Friedman dalam karangan Sidharta menyebutkan tiga unsur dari
sistem hukum yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum, yang
bersifat dinamis, akan senantiasa berubah menurut berkembangan masyarakat.
Struktur hukum, yang oleh Friedman didefinisikan sebagai a kind of cross
section of the legal system, merupakan sistem hukum yang di Indonesia
diterjemahkan dalam empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, agama,
militer, dan tata usaha negara.41 Struktur hukum ini merupakan bagian-bagian
yang bergerak dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan
disiapkan dalam sistem.42
Substansi hukum adalah norma-norma yang berlaku, yang mengatur
bagaimana seharusnya manusia berperilaku.43 Substansi hukum merupakan
hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, yang dapat ditemukan dalam
sumber-sumber formal hukum, misalnya undang-undang, keputusan hakim dan
sebagainya.44 Adapun budaya hukum yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen
moral yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat.45 Hasil interaksi antara nilai yang berasal
dari individu atau masyarakat dan nilai yang berasal dari norma hukum
41 Lihat Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung : 2006, hal.75 42 Lihat Muladi (ed.), HAM : Hakikat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 32 43 Op.cit. Sidharta, hal.75 44 Op.cit. Muladi, hal.32 45 Ibid. hal.32
-
23
merupakan hukum yang hidup dan sekaligus menggambarkan suatu budaya
hukum.46
Dalam membicarakan setiap masalah, misalnya mengenai masalah
kesehatan, tidak akan pernah lepas dari berbagai sistem hukum, yang dalam
struktur hukumnya berarti menyangkut tentang aparat atau kelembagaan yang
bertanggungjawab atas terlaksananya berbagai kebijakan tentang kesehatan,
dalam substansi hukumnya berarti membicarakan tentang keberadaan aturan
hukum formil dan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan
tersebut, dan dalam budaya hukumnya berarti bagaimana masyarakat
memandang dan menjalani peraturan yang telah ada tersebut. Jadi ketiga hal
tersebut yang menjadi kerangka dan mendasari terlaksananya berbagai sistem
dalam tatanan berbangsa dan bermasyarakat, dalam berbagai masalah dan
rutinitas, termasuk pula pada berbagai hal yang menyangkut pada masalah
kesehatan.
Menurut WHO kesehatan atau health adalah a state of complete physical,
mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity,
dan dalam UU No. 23 tahun 1992 Pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Sebagai bagian dari hak asasi, maka kesehatan sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum yang didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan,
jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomis tidak hanya dipositifkan dalam aturan perundang-undangan yang
46Op.cit. Sidharta, hal.76
-
24
membahas tentang kesehatan saja, tetapi juga dalam aturan perundang-
undangan yang membahas mengenai hak asasi manusia. Berdasarkan definisi
tersebut, terlihat bahwa kesehatan bukan hanya menyangkut masalah orang
pribadi dan juga masyarakat, tetapi berkaitan pula dengan hubungan antar
manusia dengan sekitarnya, dengan lingkungan dimana ia berada.
Dalam UUD 1945 hal tentang kesehatan diatur dalam Pasal 34 ayat (3) yaitu
Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
serta Pasal 28H ayat (1) yaitu
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
Pada bagian Preamble UDHR (Universal Declaration of Human Rights)
tercantum gagasan besar tentang the inherent dignity and of the equal and
inalienable rights, seluruh umat manusia sebagai the foundation of freedom,
justice and peace in the world. Kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian
tersebut kemudian dituangkan dalam pasal 25 ayat (1) UDHR yang menyentuh
hak asasi manusia di bidang kesehatan, yaitu hak atas taraf kehidupan yang
memadai bagi kesehatan dan kesejahteraan diri seseorang / keluarganya,
termasuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan layanan-layanan
sosial yang perlu.
Konsep kesehatan akan memiliki muatan normatif sebagai konsep hukum
jika menyandang predikat yuridis tertentu, dalam hal ini hak, yaitu sebagai HAM.
Oleh WHO, disebutkan bahwa the enjoyment of the highest attainable standard
of health is one of the fundamental rights of every human being without any
distinction of race, religion, political belief, economic or social condition, dan
dalam UU No.23 tahun 1992 pasal 4 dinyatakan bahwa setiap orang
-
25
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal.47
Interpretasi hak atas kesehatan yang dilakukan oleh International Committee
on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) menyebutkan bahwa hak
atas kesehatan meliputi freedom yaitu right to control ones health and body
serta right to be free from interference yang harus dilindungi negara; dan
entitlement yaitu pemberian persamaan kesempatan bagi setiap orang untuk
menikmati derajat kesehatan yang optimal.48
Indonesia telah meratifikasi ICESCR dalam UU Nomor 11 tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat 1 yaitu :
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.
Pasal tersebut sesungguhnya menunjukkan pengertian yang mencakup hak
kesehatan (right to health), dimana pencapaian standar kesehatan tertinggi
merupakan upaya nyata untuk memenuhi standar kehidupan yang layak bagi
manusia. Selengkapnya General Comment Nomor 14 menyatakan sebagai
berikut:
The right to health is not to be understood as a right to be healthy. The right to health contains both freedoms and entitlements. The freedom include the right to control ones health and body, including sexual and reproductive freedom, and the right to be free from interference, such as the right to be free from torture, non-consensual medical treatment and experimentation. By contrast, the entitlement include the right to a system of health protection which provides equality of opportunity for people to enjoy the highest attainable level of health. Consequently, the right to health must be understood as a right to enjoyment of a variety of facilities, goods, services
47Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hal. 14. 48 Ibid., hal. 48 49.
-
26
and conditions necessary for the realization of the highest attainable standard of health49
Katarina Tomasevski dalam tulisan karya Majda El Muhtaj menegaskan
bahwa hak atas kesehatan berkaitan dengan upaya meminimalisasi dampak
lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, dengan memiliki lingkungan yang
memiliki resiko seminimal mungkin bagi kesehatan, serta memiliki akses
terhadap pelayanan kesehatan yang memungkinkan setiap orang mengalami
dan mempertahankan kesehatannya dengan baik. Lebih lanjut seperti
dikemukakan oleh Farid Anfasa Moeloek dalam buku yang sama bahwasanya
setiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan dan apapun
bentuknya yang mengakibatkan ketidaksehatan pada tubuh manusia,
kejiwaannya, lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta ketidakadilan
dalam manajemen sosial yang mereka terima adalah merupakan pelanggaran
HAM.50
Hak atas derajat kesehatan optimal akan semakin kuat klaimnya jika
dijustifikasi dengan jalan mengaitkannya dengan hak hidup : berhak atas hidup
ekivalen dengan berhak atas derajat kesehatan yang optimal. Hak hidup tidak
mungkin dapat dinikmati secara sempurna jika pemegang hak hidup tidak dalam
keadaan sehat. Hak atas hidup memperoleh status non-derogable rights atau
hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun.51
Hak atas layanan kesehatan mewajibkan negara menyediakan layanan
kesehatan bagi warganegaranya yang membutuhkan sebagai bagian dari
tugasnya untuk mengurus warganya. Hak atas perlindungan kesehatan
49 Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM : Mengurai hak ekonomi, sosial dan budaya, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 155 156.50 Ibid., hal 156 157. 51Op.Cit Titon., hal. 46.
-
27
mewajibkan negara melakukan pengaturan agar kesehatan setiap orang selaku
pemegang hak (right holder) aman dari bahaya-bahaya yang mengancam,
sebagai bagian dari tugasnya untuk mengatur warganya. Idealnya, hak atas
derajat kesehatan yang optimal akan mencakup hak atas layanan kesehatan
(health care), perlindungan kesehatan (health protection), memperoleh akses
layanan kesehatan (access to health services), dan hak atas tatanan sosial yang
mewajibkan negara melakukan tindakan-tindakan khusus melindungi kesehatan
publik (safeguarding public health).52
Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, disebutkan bahwa setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini diletakkan dalam
sistematika hak untuk hidup sehingga menambah pentingnya makna hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat itu sendiri. Lingkungan hidup yang baik
dan sehat tentu saja memiliki korelasi langsung dengan peningkatan kualitas
hak hidup seseorang dan realisasi haknya atas derajat kesehatan yang optimal.
Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan diletakkan dasar hukum
pengaturan tentang kesehatan lingkungan, yang bertujuan mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, dengan ruang lingkup : tempat umum, lingkungan
pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya, pada
sasaran : penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair,
limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vector penyakit, dan
penyehatan atau pengamanan lainnya.
Dalam UU tentang Kesehatan disebutkan pula bahwa setiap orang
berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya. Kualitas lingkungan yang
52 Op.cit. Titon., hal. 49.
-
28
bersih dan sehat tentu amat berperan bagi tercipta kesehatan, baik itu kesehatan
individu dan terutama kesehatan masyarakat. Dan untuk mendukung tercapainya
derajat kesehatan yang optimal maka pemerintah telah menyelenggarakan
berbagai upaya kesehatan, salah satu diantaranya adalah pengamanan zat
adiktif, sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No.19
tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
Upaya untuk dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah
dengan meningkatkan derajat kesehatan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Derajat kesehatan yang optimal dapat dipandang sebagai suatu tingkat kondisi
kesehatan yang tinggi yang mungkin dicapai pada suatu saat sesuai dengan
kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang dan
masyarakat, yang harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus
menerus.
Derajat kesehatan optimal merupakan tolok ukur evaluasi atas apa yang ada
kini untuk mencapai apa yang lebih baik di masa depan, yang tidak dapat
seketika terjadi oleh kondisi yang ada pada suatu waktu tertentu. Realisasi
optimal yang mengacu pada keseimbangan paling memadai antar hak yang
berbeda dalam mencapai hasil yang terbaik bagi semua individu adalah bersifat
kondisional dan tidak mungkin sebagai titik akhir. Kewajiban pemerintah dalam
upaya kesehatan untuk mencapai taraf yang optimal akan selalu harus
ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
C. Kawasan Dilarang Merokok
Penggunaan rokok yang telah semakin meluas dewasa ini mengakibatkan
bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat baik sebagai perokok aktif
-
29
maupun pasif, semakin sulit untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih
yang merupakan hak bagi setiap orang oleh karena itu diperlukan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk mencegah dampak penggunaan
rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan secara
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Pada sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-56 pada tanggal 21 Mei 2003, 192
negara anggota WHO telah mengadopsi Framework Convention on Tobacco
Control yang bertujuan untuk melindungi generasi muda sekarang dan
mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi
ekonomi dari konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau melalui
penyediaan sebuah kerangka kerja untuk pengukuran pengendalian tembakau
yang akan diterapkan oleh negara anggota pada tingkat nasional, regional dan
internasional agar mengurangi prevalensi penggunaan tembakau dan pengaruh
asap rokok secara berkesinambungan dan mendasar. Hingga saat ini, meskipun
Indonesia adalah salah satu negara yang memprakarsai perjanjian tersebut
namun belum meratifikasinya.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan
Rokok bagi Kesehatan yang didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan / atau menangani dampak
penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan,
pemerintah telah mengupayakan sebuah aturan yang bertujuan untuk melindungi
kesehatan dari bahaya akibat merokok, membudayakan hidup sehat, menekan
jumlah perokok pemula, dan melindungi kesehatan perokok pasif. Peraturan ini
diantaranya juga membahas mengenai pemberian informasi tentang kandungan
kadar nikotin dan tar yang ada pada setiap batang rokok, pencantuman
-
30
peringatan pada label, pengaturan produksi dan penjualan rokok dan periklanan
dan promosi rokok, dan perlu ditetapkannya pula kawasan tanpa rokok pada
tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik
sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah
dan angkutan umum.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebagai ibukota negara yang berdasarkan
data BPS tahun 2007 merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk
tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 13.651 jiwa/km2 yang berdampak pada
turunnya kualitas udara, dan daya dukung lingkungan bagi terselenggaranya
upaya kesehatan yang memadai telah sampai pada taraf memprihatinkan telah
mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No.2 tahun 2005 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.53 Dan sebagai upaya untuk menjaga dan
memelihara kualitas lingkungan, dan dengan mempertimbangkan bahwa udara
yang sehat dan bersih adalah hak bagi setiap orang, maka pada tahun yang
sama Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 75
tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.
Kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan
dilarang untuk merokok. Secara khusus dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta
No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok ada tujuh tempat yang
ditetapkan sebagai kawasan tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
yaitu :
1. Tempat umum, yaitu sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum, tempat pelayanan umum antara lain terminal
53Profil Kesehatan Indonesia 2007, Departemen Kesehatan RI, 2008
-
31
termasuk terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba ada, hotel, restoran, dan sejenisnya.
2. Tempat kerja, yaitu ruang tertutup yang bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang / seminar, dan sejenisnya.
3. Tempat proses belajar mengajar, yaitu tempat proses belajar-mengajar atau pendidikan dan pelatihan termasuk perpustakaan, ruang praktik atau laboratorium, musium, dan sejenisnya.
4. Tempat pelayanan kesehatan, yaitu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan Pemerintah dan masyarakat, seperti rumah sakit, Puskesmas, praktik dokter, praktik bidan, toko obat atau apotek, pedagang farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, dan tempat kesehatan lainnya, antara lain pusat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin, Balai Kesehatan Ibu dan Anak
5. Arena kegiatan anak-anak, yaitu tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak, arena bermain anak-anak, atau sejenisnya.
6. Tempat ibadah, yaitu tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti mesjid termasuk mushola, gereja termasuk kapel, pura, wihara, dan kelenteng, dan
7. Angkutan umum, yaitu alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara termasuk di dalamnya taksi, bus umum, busway, mikrolet, angkutan kota, Kopaja, Kancil, dan sejenisnya.
Tujuan dari ditetapkannya peraturan tentang kawasan dilarang merokok ini
tercantum pada Pasal 2, yaitu :
1. Menurunkan angka kesakitan dan / atau angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat;
2. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal; 3. Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok; 4. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; 5. Mewujudkan generasi muda yang sehat
Demi terselenggaranya kawasan dilarang merokok, maka pimpinan atau
penanggung jawab tempat atau kawasan tersebut wajib menetapkan Kawasan
Dilarang Merokok dan wajib memasang tanda atau petunjuk berupa Kawasan
Dilarang Merokok maupun Kawasan Merokok pada tempat yang mudah
terlihat.
Persyaratan mengenai tempat khusus atau kawasan merokok ini terdapat
pada Pasal 18 :
-
32
1. tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan dilarang merokok
2. dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara 3. dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok 4. dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi
kesehatan
Sejauh ini, pemberlakuan kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta masih
dalam masa sosialisasi. Sanksi dalam peraturan ini terdapat pada Pasal 27 ayat
(1) dan ayat (2), yaitu :
Ayat (1) : Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa :
a. peringatan tertulis b. penghentian sementara kegiatan atau usaha c. pencabutan izin
Ayat (2) : Setiap orang yang terbukti merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan/atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Adapun sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No.2 tahun 2005
tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang dimaksud di atas sebagaimana
tercantum pada Pasal 41 adalah diancam dengan pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah)
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebelum pemberlakuan peraturan tentang
kawasan dilarang merokok juga telah mengeluarkan peraturan gubernur tentang
pengendalian merokok di tempat kerja. Implementasi peraturan tentang
pengamanan rokok tentunya memerlukan kesiapan baik dalam bentuk sarana
penunjang maupun pembiayaan yang tidak sedikit. Sebagaimana tercantum
dalam UUD 1945 tentang tanggungjawab Negara atas penyediaan fasilitas
layanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak, serta hak setiap orang
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, maka sepatutnya
-
33
Negara untuk lebih memperhatikan masalah tersebut. Sebagai daerah dengan
PAD yang terbesar, hal tersebut barangkali tidak terlalu menjadi kendala, namun
untuk ke depannya, bagi daerah lain tentu saja untuk memberlakukan kebijakan
yang sama perlu upaya dan pembiayaan yang sepatutnya tidak dibebankan
sepenuhnya pada daerah.
-
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu cara meneliti dalam penelitian hukum
yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder belaka dan dengan
menggunakan metode berpikir deduktif serta kriterium kebenaran koheren.54
Metode berpikir deduktif adalah cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang
ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar
dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus.55
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang hanya
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau berbagai variabel
dalam pencarian fakta status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi,
suatu sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa sekarang dengan
interpretasi yang tepat. Penelitian dilakukan dengan spesifikasi penelitian
deskriptif analitis, yaitu membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena atau
gejala yang diteliti sambil menganalisisnya, diharapkan akan dapat dicari sebab
54 Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Metode Penelitian (tidak dipublikasikan) dalam Materi Kuliah Metode Penelitian Hukum Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang, 2006, hlm. 8 55 Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm.
23.
-
35
akibat dari suatu hal dan menguraikannya secara konsisten dan sistematis serta
logis.56
Penelitian ini mendeskripsikan berbagai pengaruh rokok dalam kehidupan,
bagaimana pengaturan dan upaya untuk mengendalikan dampak rokok, disertai
analisis hubungannya dengan pencapaian derajat kesehatan yang optimal.
C. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan
dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang
sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya
disediakan di perpustakaan umum atau perpustakaan milik pribadi.57 Data
sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made), telah
dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa
terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.58 Data sekunder dalam penelitian
hukum meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tertier.59
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdapat dalam suatu
aturan hukum atau teks otoritatif yang berarti mempunyai otoritas seperti
peraturan perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata
usaha negara.60 Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
terdiri dari: Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-
56 Lihat Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 427 57Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung 1995, hlm. 65. 58Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 24. 59 Ibid., hal. 13. 60 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, hal.141.
-
36
undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia beserta Peraturan
Pelaksanaan dari perundang-undangan tersebut, termasuk diantaranya
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang
Kawasan Dilarang Merokok.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta
simposium yang dilakukan para pakar hukum. Penelitian ini menggunakan pula
bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
D. Metode Pengumpulan Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersifat kualitatif, dan metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah
studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu kegiatan (praktis dan teoritis)
untuk mengumpulkan (inventarisasi), dan mempelajari (teaching and learning),
serta memahami (reflektif, kritis dan sistematis serta logis) data yang berupa
hasil pengolahan orang lain, dalam bentuk teks otoritatif (peraturan perundang-
undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata usaha negara,
kebijakan publik, dan lainnya), literatur atau buku teks, jurnal, artikel, arsip atau
dokumen, kamus, ensiklopedi dan lainnya yang bersifat publik maupun privat.
Data-data dalam penelitian ini berasal dari berbagai jurnal ilmiah mengenai
rokok, artikel surat kabar, berbagai riset dan survei dengan skala nasional dan
-
37
internasional, serta laporan resmi WHO dan Departemen Kesehatan RI, baik
dalam bentuk cetakan maupun soft copy (online).
E. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif normatif. Karena penelitian ini tidak menggunakan konsep-konsep yang
diukur/dinyatakan dengan angka atau rumusan statistik, maka analisis terhadap
data sekunder dilakukan dengan cara berpedoman atau berdasarkan norma /
kaidah hukum (dalam arti luas, yaitu yang terdiri dari nilai hukum, asas hukum,
kaidah hukum dalam arti yang sempit dan teks otoritatif atau aturan hukum),
konsep hukum ataupun doktrin hukum yang terdapat pada kerangka pemikiran
atau tinjauan pustaka yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini. Dalam menganalisis data sekunder tersebut, penguraian data
disajikan dalam bentuk kalimat yang konsisten, logis dan efektif serta sistematis
sehingga memudahkan untuk interpretasi data dan konstruksi data serta
pemahaman akan analisis yang dihasilkan, yaitu mencari sebab akibat dari suatu
masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai
dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu
hubungan antara pemberlakuan larangan merokok di tempat umum dan
terpenuhinya hak atas derajat kesehatan optimal.
-
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal
Kesehatan adalah salah satu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap
manusia dalam mewujudkan hak asasinya dan negara sebagai pengatur
bertanggungjawab agar terwujud sumber daya manusia yang berkualitas dan
bermanfaat. Dalam kapasitasnya untuk mengatur dan sebagai substansi dari
sistem hukum, maka negara mengeluarkan kebijakan dalam bentuk aturan
perundang-undangan yang mengandung sanksi atau hukuman yang bertujuan
agar peraturan tersebut dapat mengikat dan untuk memberi efek jera pada para
pelanggar, baik itu sebagai individu maupun sebagai institusi atau badan hukum.
Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dicapai jika lingkungan
dan genetika mendukung. Dalam hal lingkungan, yang dapat berubah oleh sikap
dan perilaku manusia, disitulah negara mengambil peranan penting dalam
mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan kondusif bagi terselenggaranya
sumber daya manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi kepentingan negara
dan masyarakat.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak setiap orang,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Hak ini dimasukkan dalam hak untuk hidup, bersama
dengan hak untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf kehidupan, serta
hak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
Lingkungan yang tidak memadai tentu saja tidak memenuhi hak asasi manusia,
dan karena menghormati hak asasi orang lain adalah merupakan kewajiban,
-
39
maka setiap orang tanpa kecuali harus menjaga terciptanya lingkungan yang
baik dan sehat.
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, aturan mengenai hak dan
kewajiban dalam pencapaian derajat kesehatan optimal tercantum pada Pasal 4
yang menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan optimal dan pada Pasal 5 yaitu setiap orang
berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya. Adapun dalam RUU
Kesehatan, aturan mengenai hak disebutkan dalam Pasal 6 yaitu setiap orang
berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
kesehatan. Aturan mengenai kewajiban terdapat dalam beberapa pasal, yaitu
Pasal 12 :
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 13 : Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat baik fisik, biologi, maupun sosial. Pasal 14 : Setiap orang berkewajiban berperilaku sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang optimal. dan Pasal 15 : Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Selain itu disebutkan pula dalam Pasal 18 mengenai tanggung jawab
pemerintah untuk menjamin tersedianya lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan
baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan
yang optimal.
-
40
Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari
risiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia. Dalam
UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pengaturan tentang kesehatan
lingkungan tercantum pada Pasal 22, yang diantaranya menyebutkan dalam ayat
(2) bahwa kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum,
lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan
lainnya dan pada ayat (4) yaitu setiap tempat atau sarana pelayanan umum
wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan
standar dan persyaratan. Hal ini tentu saja sejalan dengan tujuan pembangunan
kesehatan yang disebutkan dalam Pasal 3 yaitu untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal.
Rancangan Undang-Undang Kesehatan menempatan pengaturan mengenai
kesehatan lingkungan dalam Pasal 102 yaitu upaya kesehatan lingkungan
ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik fisik, biologi,
dan sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
optimal. Tanggung jawab pemerintah dan peran serta masyarakat dalam
menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk
bagi kesehatan, yang mencakup lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat
rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum diatur dalam Pasal 103 ayat (1) dan
ayat (2). Selain itu, RUU Kesehatan secara eksplisit mengatur dalam Pasal 103
ayat (4) bahwa khusus untuk tempat-tempat umum dan sarana transportasi
umum selain harus bebas dari berbagai unsur yang menimbulkan gangguan
kesehatan, juga bebas dari gas dan asap rokok yang membahayakan kesehatan.
Dalam penjelasan pasal 102 juga disebutkan bahwa asap rokok termasuk pula
-
41
dalam golongan kimiawi bersama dengan pestisida dan pewarna makanan ,
meskipun dalam pasal itu sendiri tidak mencantumkan mengenai lingkungan
yang sehat secara kimiawi.
Peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa derajat kesehatan
yang optimal, atau kesehatan pada umumnya, bukan hanya merupakan
tanggungjawab dari pemerintah semata, namun lebih kepada kewajiban setiap
individu dalam masyarakat, untuk berusaha menciptakan situasi agar keadaan
sehat maupun sehat secara optimal tersebut dapat terselenggara. Lingkungan
yang bersih dan sehat, perilaku yang baik dan beradab yang mendukung
terciptanya lingkungan bersih, tentu akan berdampak positif untuk kesehatan
yang optimal bagi setiap orang.
B. Pemberlakuan Larangan Merokok di Tempat Umum
1. Merokok dan Kesehatan
Konsumsi rokok di dunia meningkat secara pasti sejak James Bonsack
pertama kali menemukan mesin pelinting rokok di tahun 1881. Pada tahun 1960-
an, konsekwensi gangguan kesehatan akibat merokok mulai tampak, dan di
beberapa negara kecenderungan untuk merokok mulai berkurang, meskipun di
seluruh dunia jumlah perokok semakin meningkat, dan jumlah rokok yang
dikonsumsi oleh para perokok itupun juga semakin bertambah. Peningkatan
jumlah tersebut terutama disebabkan oleh semakin meluasnya ekspansi dari
perusahaan rokok, dan di taksir tahun 2030, akan ada sekitar 2 milyar orang.
Perusahaan rokok memproduksi sekitar 5,6 trilyun rokok per tahun, hampir 900
batang pertahun untuk setiap laki-laki, perempuan, dan anak2 di seluruh dunia.
Lebih dari 10 juta rokok dihisap setiap menit dalam sehari di seluruh dunia. Dan
-
42
jika kecenderungan ini terus berlanjut, perokok akan mengkonsumsi 9 trilyun
rokok sampai tahun 2025.61
Tembakau adalah penyebab kematian tunggal yang paling dapat dicegah
dan merupakan satu-satunya produk konsumen legal yang dapat
membahayakan siapapun yang terpapar baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan membunuh lebih dari setengah penggunanya. Konsumsinya kini
telah meluas ke segala penjuru karena harganya murah, pemasaran yang agresif
dan menyeluruh, kurang kepedulian akan bahayanya dan kebijakan publik yang
tidak konsisten dalam memberikan sanksi terhadap penggunaannya.
Kebanyakan akibat dari penggunaan tembakau tidak terlihat kecuali setelah
onset bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluhtahun. Tembakau yang oleh
sebagian orang dianggap tidak berbahaya karena mereka tidak merasakan
timbulnya penyakit, kadahal karena efek adiksi yang menyebabkan mereka sulit
berhenti, dalam tenggang waktu cukup lama maka akan timbul berbagai penyakit
yang berhubungan dengan rokok.62 Tembakau memakan biaya sangat besar
dalam pelayanan kesehatan, kehilangan produktivitas, dan biaya tak terlihat dari
kesakitan dan penderitaan yang timbul pada perokok aktif, perokok pasif, dan
keluarganya.63
Saat ini, tembakau telah membunuh lebih dari 14.000 orang setiap hari, dan
selama abad 20, epidemi tembakau telah membunuh 100 juta orang di seluruh
dunia, yaitu berkisar 5,4 juta kematian per tahun akibat kanker paru, penyakit
jantung dan penyakit lain. Jika tidak segera diata