07.93.0031_andi_mariani

Upload: 151190faza

Post on 14-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

  • PEMBERLAKUAN LARANGAN MEROKOK DI TEMPAT UMUM DAN

    HAK ATAS DERAJAT KESEHATAN OPTIMAL

    (APPLICATION OF PROHIBITION AGAINST SMOKING IN PUBLIC PLACE AND DEGREE OF OPTIMAL HEALTH RIGHTS)

    (Penelitian Hukum Normatif Terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan juncto Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok)

    TESIS Diajukan Guna Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh

    Gelar Sarjana Strata 2 Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan

    Oleh: Andi Mariani 07.93.0031

    PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KESEHATAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

    2009

  • Tesis

    PEMBERLAKUAN LARANGAN MEROKOK DI TEMPAT UMUM DAN

    HAK ATAS DERAJAT KESEHATAN OPTIMAL (Penelitian Hukum Normatif Terhadap Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan juncto Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok)

    Diajukan oleh: Andi Mariani 07.93.0031

    Telah disetujui oleh:

    Pembimbing Utama Prof. Dr. Agnes Widanti, SH, CN Tgl. Pembimbing Pendamping dr. Wawang S. Sukarya, SpOG(K), MARS., MH.Kes. Tgl........

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT, atas karuniaNya

    dengan melimpahkan kesehatan, kekuatan dan terutama kesempatan bagi saya

    untuk jauh-jauh ke seberang pulau menuntut ilmu di UNIKA Soegijapranata,

    yang meski di awal masa perkuliahan sempat memunculkan rasa jenuh dan

    sedikit penat karena harus senantiasa bolak-balik, dan sedikit keraguan apakah

    saya sanggup untuk menyelesaikan semua rangkaian mata kuliah berikut tugas-

    tugas yang semakin hari semakin sering ditunda dan menjadi menumpuk di

    akhir.

    Berhasilnya saya menyelesaikan tugas akhir dan rangkaian seminar dan

    persidangan tentunya tak lepas dari bimbingan dan arahan para pembimbing

    saya, Ibu Prof.Dr. Agnes Widanti, SH.,CN., dan dr. H. Wawang Sukarya,

    SpOG(K)., MARS., MH.Kes. yang senantiasa membimbing dan memberi

    masukan meski saya terkadang agak lelet dan berantakan. Penguji saya yang

    juga hampir seperti pembimbing bagi saya, Bapak Y. Budi Sarwo, atas segala

    saran dan brainstorming-nya di sela-sela waktu untuk menguji, juga tak

    ketinggalan Pak Handy Sobandi, pembimbing bayangan merangkap

    narasumber saya untuk memberi masukan dan terutama pengalaman pribadi

    dalam dunia merokok.

    Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Rektor UNIKA Soegijapranata

    yang telah bersedia menerima saya menjadi salah seorang mahasiswa program

    Pascasarjana, kepada Prof. Dr. Wila Chandrawila, SH. atas segala ilmu yang

    diberikan, kepada para dosen, Bu Endang Wahyati, SH., M.Hum., Bapak dr.

    Sofwan Dahlan, SpF., Bu P. Lindawaty Sewu, SH., M.Hum., bapak Sidharta,

    SH., M.Hum., dan dosen-dosen lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

    Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Walikota

    Makassar Bapak Ilham Arief Sirajuddin atas segala dukungan selama saya

    melanjutkan pendidikan, kepada Kepala Dinas Kota Makassar dr. Hj. Naisyah T.

    Azikin yang meski berat namun tetap memberi saya ijin untuk tidak perlu

    melaksanakan tugas, dan Kepala Puskesmas Malimongan Baru dr. Chaeriah

    atas pengertiannya untuk melepaskan saya dari pasien-pasien yang

    menumpuk di puskesmas.

  • Kepada teman-teman angkatan V kelas Bandung, terima kasih atas segala

    pertemanan, persaudaraan, perdebatan, dan diskusi yang kadang seperti tanpa

    titik temu, semoga kita semua bisa memperjuangkan yang kita yakini patut dan

    benar sobat! Terima kasih kepada Billy N yang telah berhasil meyakinkan saya

    untuk memilih kelas Bandung, juga pada Shinta, Buyung, atas segala bantuan

    dan kadang kerepotan atas tugas-tugas saya yang sering berceceran. Juga

    kepada keluarga klinik Kedung Waringin di Bogor, Pak Iwan Setiawan dan ibu,

    Bapak Darma Halil dan ibu, Yuni Fadly dan semuanya yang telah bersedia

    menjadi tempat untuk memperdalam ilmu. Kepada bapak Suhasman atas

    kesediaannya membagi pengetahuan dan memberi dorongan untuk

    menyelesaikan tesis ini tepat waktu, kepada segenap teman-teman di komunitas

    jejaring yang senantiasa memberi semangat untuk maju, juga kepada teman-

    teman mediator di Universitas Tarumanegara, terima kasih atas perhatian dan

    masukan dari kalian.

    Pada akhirnya, ucapan terima kasih tak terhingga saya haturkan pada

    ibunda tercinta, yang telah rela hati melepaskan anak bungsunya tuk menuntut

    ilmu ke seberang. Kepada suami, mertua dan ipar-ipar saya yang harus

    berbulan-bulan tak berinteraksi secara langsung, kepada saudara-saudara saya

    di Mamuju, Aceh, Bogor, Makassar, dan tujuh kurcaci keponakan saya yang

    manis-manis, terima kasih untuk bersabar menunggu saya pulang.

    Akhir kata, semoga tulisan ini kelak dapat membawa manfaat, dan sedikit

    banyak dapat menjadi pencerahan dan jika mungkin dikembangkan oleh peneliti-

    peneliti lainnya. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan dalam interpretasi, sebab

    tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.

    Bandung, Desember 2009

    Andi Mariani

  • ABSTRACT

    Smoking is a habit of human life, became a part of routinity and the culture of society. The habit is closely related with the right of smoker to smoke, and the right of non-smoker to breath at health and high quality air. Every people have a right for healthy environtment as their right of health, and every people have a duty to make a healthy behavior and respect to anothers right for healthy environtment to achieve the degree of optimal health rights.

    The research method used is normative juridical research, to establish a certain right or norm on a phenomenon. Its specification is analytical descriptive research to describe the influence of smoking in human life, the effort to control and analyze its relationship for achieve the degree of optimal health rights. Data is being acquired from qualitative secondary data and some quantitative research for supporting.

    The results of research shows that application of prohibition against smoking at DKI Jakarta Province what is expected to protect non-smoker people is unequal, and most of smoking-ban area are not yet qualified. Awareness to maintain health and to prevent morbidity due to tobacco exposure by either active or passive still not surfaced in the community, so still need a variety of community efforts to better understand and know the impact of smoking, and respect the rights of others to obtain optimal health. Existing regulations only protect non-smokers rights at seven places and leave them exposed in other places both public and private environtment, so it can be concluded that even this regulation is done, the degree of health is still far from ideal.

    Keywords:rightofhealth,optimalhealth,smoking

  • ABSTRAK

    Merokok merupakan kebiasaan yang telah menjadi bagian dari rutinitas bahkan menjadi budaya dalam masyarakat. Kebiasaan tersebut bersinggungan langsung dengan hak para perokok untuk merokok, dan hak bukan perokok untuk menghirup udara yang bersih dan sehat. Setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat sebagai haknya atas kesehatan, dan setiap orang wajib berperilaku sehat dan menghormati hak orang lain untuk memperoleh lingkungan sehat, demi tercapainya derajat kesehatan optimal.

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, untuk menetapkan hak atau norma tertentu terhadap suatu fenomena. Penelitian dilakukan dengan spesifikasi deskriptif analitik, dengan mendeskripsikan pengaruh rokok dalam kehidupan, upaya pengendaliannya dan analisis hubungannya terhadap pencapaian derajat kesehatan optimal. Data diperoleh dari data sekunder yang bersifat kualitatif dan beberapa penelitian kuantitatif sebagai penunjang.

    Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberlakuan larangan merokok di ruang lingkup Propinsi DKI Jakarta yang diharapkan dapat melindungi mereka yang bukan perokok masih belum memadai, dan kebanyakan kawasan dilarang merokok belum memenuhi persyaratan. Kesadaran untuk menjaga kesehatan dan mencegah kesakitan akibat terpajan oleh rokok baik secara aktif maupun pasif masih belum mengemuka di dalam masyarakat, sehingga masih perlu berbagai upaya agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui dampak dari merokok, dan menghargai hak orang lain untuk mendapatkan kesehatan yang optimal. Peraturan yang ada hanya melindungi hak bukan perokok di tujuh kawasan, dan membiarkan mereka terpapar di tempat lain, baik di lingkungan publik maupun privat, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya peraturan inipun derajat kesehatan masih jauh dari ideal.

    Kata kunci : hak kesehatan, kesehatan optimal, merokok

  • DAFTAR ISI

    Halaman Judul ............................................................................................... i

    Halaman Pengesahan.................................................................................... ii

    Kata Pengantar .............................................................................................. iii

    Abstract ......................................................................................................... v

    Abstrak .......................................................................................................... vi

    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1

    B. Perumusan Masalah ............................................................................... 6

    C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7

    D. Sistematika Penulisan .............................................................................. 7

    BAB II KERANGKA PEMIKIRAN A. Rokok dan Dampak Merokok ...... 9

    1. Kandungan pada rokok 9

    2. Dampak secondhand smoke ............................................................ 10

    3. Dampak bagi wanita, anak dan remaja ............................................. 15

    4. Dampak bagi kemiskinan .. .. 18

    B. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal ...................................................... 22

    C. Kawasan Dilarang Merokok ..................................................................... 28 D. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ................................................................................. 36

    B. Spesifikasi Penelitian ................................................................................ 34

    C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 35

    D. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 36

    E. Metode Analisis Data ............................................................................... 37

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal ........................................................ 38

    B. Pemberlakuan Larangan Merokok di Tempat Umum .............................. 41

    1. Merokok dan kesehatan ....................................................................... 41

    2. Kawasan tanpa rokok .......................................................................... 48

    3. Upaya Pengendalian Dampak Tembakau .......................................... 50

    a. Peningkatan cukai ......................................................................... 54

    b. Pengaturan tentang iklan .............................................................. 59

  • c. Pengaturan tentang kemasan........................................................ 61

    d. Pembatasan penjualan ................................................................... 63

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .............................................................................................. 71

    1. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal .................................................. 71

    2. Pemberlakuan Larangan Merokok di Tempat Umum . ........................ 72

    3. Larangan Merokok di Tempat Umum dan Hak Atas Kesehatan

    Optimal .................................................................................................. 75

    A. Saran ........................................................................................................... 77

    DAFTAR PUSTAKA

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Penelitian

    Masalah kesehatan di Indonesia adalah masalah yang kompleks, saling

    berhubungan, tidak dapat berdiri sendiri, dan menyangkut berbagai kebijakan

    yang dikeluarkan oleh pemerintah, berkaitan dengan masalah pendidikan,

    kemiskinan, politik, hukum, perilaku dan budaya, agama, dan berbagai aspek lain

    yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

    Sebagai sebuah hak yang mendasar dalam kehidupan seorang manusia,

    kesehatan merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang tanpa

    kecuali. Pembangunan kesehatan yang memadai merupakan sebuah tolok ukur

    bagi terwujudnya bangsa yang maju, mandiri, serta sejahtera lahir dan batin,

    yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia yang sehat, cerdas dan

    produktif. Bangsa yang maju tidak hanya unggul dari segi kuantitas, namun

    terutama memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya guna,

    yang tidak akan mungkin dapat terlaksana apabila badan, jiwa dan sosialnya

    tidak sejahtera. Oleh karena itu maka pembangunan kesehatan sebagai salah

    satu upaya pembangunan nasional diarahkan agar tercapai kesadaran, kemauan

    dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan

    derajat kesehatan yang optimal.

    Setiap orang born free and equal in dignity and right, dan kesehatan

    adalah hak asasi, yang wajib dipenuhi oleh negara untuk setiap warganya.

    Sebagai jawaban atas hak tersebut, maka setiap orang berhak atas akses pada

    pelayanan kesehatan dan juga berbagai kebijakan kesehatan yang menyangkut

    kepentingan orang banyak. Hak tersebut mendapatkan landasan hukum yang

  • 2

    pasti dalam UUD 1945 yang telah diamandemen dalam pasal 28 H ayat (1) yang

    menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

    bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

    berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

    Secara makro, paradigma sehat berarti pembangunan semua sektor harus

    memperhatikan dampaknya di bidang kesehatan, minimal dengan memberikan

    kontribusi positif bagi pengembangan perilaku dan lingkungan sehat. Sedangkan

    secara mikro, paradigma sehat berkonotasi bahwa pembangunan kesehatan

    lebih menekankan upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya

    kuratif dan rehabilitatif. Dari segi ekonomi, melakukan investasi pada orang yang

    tidak atau belum sakit jauh lebih cost effective daripada investasi kepada orang

    sakit, karena itu maka lebih baik mencegah daripada mengobati sepatutnya

    merupakan suatu upaya yang dapat lebih sering dipergunakan dalam keseharian

    kita.1

    Pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan seharusnya memberi

    kontribusi positif terhadap kesehatan, terutama dalam hal pembentukan

    lingkungan sehat, dan pembentukan perilaku sehat. Hal ini sejalan dengan yang

    dikemukakan oleh Blum (1974), dalam tulisan oleh Wiku Adisasmito, bahwa

    status kesehatan penduduk bukan merupakan hasil pelayanan medis semata,

    namun faktor lain yaitu lingkungan, perilaku dan genetika justru yang lebih

    menentukan.2

    Pengaturan tentang lingkungan hidup dalam rangka melindungi kesehatan

    setiap orang selain bergantung pada norma aturan hukum dalam rangka

    1Lihat Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.208 2Ibid., hal. 209

  • 3

    kepastian hukum juga bergantung kepada sikap taat asas atau konsistensi

    pemerintah dalam melakukan penegakan hukum terutama dari sisi hukum

    administrasi melalui instrumen perizinan dan sanksi administratif maupun

    penegakan hukum pidana dan perdata.3 Pengelolaan lingkungan yang baik akan

    memberikan andil yang besar terhadap kesehatan perorangan maupun

    kesehatan masyarakat, sebab kualitas lingkungan yang sehat akan bebas dari

    resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia, dan

    merupakan salah satu faktor penting yang mendukung peningkatan status

    kesehatan penduduk. Kesehatan lingkungan yang diselenggarakan untuk

    mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dapat dilakukan antara lain melalui

    peningkatan sanitasi lingkungan, baik pada lingkungan tempatnya maupun

    terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik, kimia atau biologis,

    dan termasuk pula perubahan perilaku.

    Salah satu perilaku yang semakin hari semakin berdampak negatif bagi

    lingkungan adalah merokok. Merokok merupakan sebuah perilaku yang tidak

    sehat, selain berbahaya bagi diri sendiri terlebih lagi pada orang lain yang

    memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih dan terhindar dari segala bahan

    cemaran yang dikeluarkan oleh asap rokok orang lain. Penggunaan rokok dalam

    jangka waktu lama dapat mempengaruhi lama hidup, produktivitas dan

    perekonomian keluarga, dan lebih lanjut akan memicu terjadinya berbagai

    penyakit kronik dan keganasan, yang kesemuanya akan berakhir dengan

    kematian. Merokok semakin memperburuk akibat dari kemiskinan, karena

    belanja tembakau mungkin telah mengalihkan penghasilan rumah tangga dari

    makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan.

    3 Lihat Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hal. 131.

  • 4

    Sebatang rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 jenis zat kimia dimana

    69 zat di antaranya bersifat karsinogenik dan bersifat adiktif. Berbagai bahaya

    merokok di antaranya penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada

    perempuan, penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah, dan

    penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan

    HIV/AIDS.4 Rokok telah dikonsumsi oleh sekitar satu milyar laki-laki dan 250 juta

    perempuan di seluruh dunia, 35% laki-laki di negara maju dan 50% di negara

    berkembang, serta 22% perempuan di negara maju dan 9% di negara

    berkembang, dengan menghabiskan lebih dari 15 milyar batang rokok per hari.

    Apabila kecenderungan tersebut terus berlanjut, maka 650 juta orang diantara

    penduduk dunia yang hidup sekarang akan mati akibat penyakit yang

    berhubungan dengan rokok.5 Ironisnya, meskipun dalam dua dekade terakhir

    prevalensi merokok di negara berpendapatan tinggi mulai berkurang, namun di

    kebanyakan negara dengan pendapatan menengah ke bawah jumlah perokok

    justru meningkat.6

    Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang

    disebabkan rokok pada tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per

    hari atau sekitar 22,5% dari total kematian di Indonesia7

    Berbagai upaya telah dilakukan untuk membatasi dan mengurangi dampak

    dari penggunaan tembakau dalam bentuk rokok yang telah semakin meningkat

    dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa negara diantaranya telah

    mengeluarkan kebijakan meningkatkan cukai tembakau yang berakibatkan pada

    4 Lihat Harian Kompas Rabu, 21 Januari 2009, versi online di http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat. 5 Lihat International Resources Center, http://tobaccofreecenter.org/tobacco_epidemic/key_fact 6 Lihat Prabhat Jha et al., Tobacco Control in Developing Countries, versi online di http://www1.worldbank.org/tobacco/book/html/chapter2.htm 7 M.N. Bustan, Epidemiologi : penyakit tidak menular, Rinneka Cipta, 2007, hal. 204.

  • 5

    peningkatan harga jual yang diharapkan dapat mengurangi konsumsi tembakau,

    membatasi penjualan rokok bagi usia anak dan remaja, aktif melancarkan

    promosi tentang larangan merokok dan bahayanya bagi kesehatan, mengurangi

    promosi dan kerjasama dengan perusahaan rokok, membatasi waktu dan jumlah

    iklan tentang rokok serta membuat daerah bebas asap rokok di berbagai

    kawasan.

    Sebagai salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya

    kesehatan bagi individu dan masyarakat, maka pemerintah telah berupaya bagi

    pengamanan rokok bagi kesehatan, sebagai implementasi dari pasal 44 UU No.

    23 tahun 1992 yang berbunyi pengamanan penggunaan bahan yang

    mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan

    kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya, dalam

    Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi

    Kesehatan.

    Salah satu pengaturan penting dalam PP ini adalah penyelenggaraan

    pengamanan rokok bagi kesehatan yang bertujuan untuk mencegah penyakit

    akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat, dengan sasaran

    diantaranya untuk melindungi kesehatan masyarakat terhadap insiden penyakit

    fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan

    rokok, melindungi penduduk usia produktif dan remaja untuk penggunaan rokok

    dan kebergantungan terhadap rokok, dan meningkatkan kesadaran, kemauan

    dan kemampuan masyarakat terhadap bahaya kesehatan akibat penggunaan

    rokok.

    Kebijakan tentang larangan merokok di tempat umum terutama ditujukan

    untuk melindungi masyarakat dari bahaya terpapar asap rokok secara pasif dan

  • 6

    membantu mengurangi kebutuhan akan tembakau dengan menciptakan

    lingkungan yang menyulitkan para perokok untuk merokok. Meski masih terbatas

    di area dalam ruangan, namun diharapkan secara berangsur dapat dilakukan

    juga di seluruh tempat umum, baik di dalam maupun di luar ruang. Apabila

    dilaksanakan bersama dengan pemberlakuan pajak cukai yang tinggi, edukasi

    akan bahaya merokok secara berkesinambungan, dengan menekankan bahwa

    bukan perokok akan menanggung bahaya yang sama bahkan lebih daripada

    yang harus diderita oleh perokok, dan pemberian sanksi yang cukup berat,

    maka diharapkan jumlah perokok dapat berkurang, dan jumlah perokok pemula

    tidak mengalami peningkatan.

    Sejalan dengan Peraturan Gubernur No.75 tahun 2005 yang mengatur

    tentang pemberlakuan Kawasan Dilarang Merokok pada tujuh tempat dalam

    ruang lingkup pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka penulis tertarik untuk

    meneliti lebih lanjut mengenai pemberlakuan larangan merokok di tempat umum

    dalam hubungannya dengan hak atas derajat kesehatan optimal.

    B. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

    dirumuskan permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :

    1. Apakah yang dimaksud dengan hak atas derajat kesehatan optimal?

    2. Bagaimanakah ketentuan tentang pemberlakuan larangan merokok di tempat

    umum?

    3. Apakah pemberlakuan larangan merokok di tempat umum telah memenuhi

    hak atas derajat kesehatan optimal?

  • 7

    C. Tujuan Penelitian

    Dari perumusan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa

    tujuan dari penelitian, yaitu :

    1. Untuk mengetahui dan memahami gambaran mengenai hak atas derajat

    kesehatan optimal

    2. Untuk mengetahui dan memahami gambaran mengenai pemberlakuan

    larangan merokok di tempat umum

    3. Untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan antara pemberlakuan

    larangan merokok di tempat umum dengan terpenuhinya hak atas derajat

    kesehatan optimal

    D. Sistematika Penulisan

    Dalam proposal penelitian ini, akan dilakukan pembahasan dengan

    sistematika sebagai berikut :

    Bab I merupakan Pendahuluan, yang berisi gambaran umum mengenai

    materi yang akan dibahas, meliputi Latar Belakang Penelitian, Perumusan

    Masalah, Tujuan Penelitian dan Sistematika Penulisan.

    Pada Bab II yang berisi Kerangka Pemikiran, diuraikan mengenai rokok

    beserta kandungan dan akibatnya, hak atas derajat kesehatan yang optimal,dan

    kawasan dilarang merokok.

    Pada Bab III, berisi uraian tentang Metode Penelitian, diantaranya

    membahas mengenai metode pendekatan, spesifikasi penelitian, dan teknik

    pengumpulan data yang terdiri dari jenis data, metode pengumpulan data, dan

    metode analisis data.

  • 8

    Kemudian pada Bab IV, berisi uraian mengenai Hasil Penelitian dari tesis ini,

    yang akan menguraikan tentang apakah yang dimaksud dengan hak atas

    derajat kesehatan optimal, bagaimanakah pemberlakuan larangan merokok di

    tempat umum, dan bagaimana hubungan pemberlakuan larangan merokok di

    tempat umum dengan terpenuhinya hak atas derajat kesehatan optimal.

    Terakhir pada Bab V, berisi kesimpulan dan saran bagi semua pihak.

  • 9

    BAB II

    KERANGKA PEMIKIRAN

    A. Rokok dan Dampak Merokok

    1. Kandungan pada rokok

    Rokok adalah sebuah produk hasil olahan tembakau berbentuk silinder dari

    kertas berukuran panjang antara 70 sampai 120 mm dengan diameter sekitar 10

    mm yang berisi daun-daun yang telah dicacah yang dihasilkan dari tanaman

    Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lain atau sintesisnya yang

    mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Rokok

    merupakan salah satu zat adiktif yang dapat membahayakan kesehatan individu

    maupun masyarakat, mengandung berbagai bahan kimia diantaranya yang

    terpenting adalah tar yang bersifat karsinogenik, nikotin yang bersifat adiktif,

    benzopyrin, metal-kloride, aseton, ammonia, dan karbon monoksida.8

    Nikotin adalah senyawa pirrolidin, suatu zat kimia organik kelompok alkaloid

    yang dihasilkan secara alami oleh tumbuhan terutama suku terung-terungan

    (Solanaceae), termasuk diantaranya pada tomat, terung ungu, kentang dan lada

    hijau namun dengan kadar rendah.9 Nikotin berkadar 0,3 sampai 5 % dari berat

    kering tembakau berasal dari hasil biosintesis di akar dan terakumulasi di daun.

    Nikotin merupakan racun saraf yang potensial dan digunakan sebagai bahan

    baku berbagai jenis insektisida. Pada konsentrasi rendah, zat ini dapat

    menimbulkan kecanduan, khususnya pada rokok, yang dengan kadar 1 3 mg

    pada sebatangnya setelah dikonsumsi 25% dari jumlah tersebut akan masuk ke

    8Op.cit. M.N. Bustan., hal.205. 9 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2007, hal. 81.

  • 10

    dalam darah, dan dalam 15 detik telah sampai ke otak.10 Dalam darah, nikotin

    beredar ke seluruh tubuh dalam waktu 15 20 menit dari isapan terakhir,

    merangsang pelepasan katekolamin yang dapat meningkatkan denyut jantung.

    Nikotin memiliki daya karsinogenk terbatas yang menjadi penghambat

    kemampuan tubuh untuk melawan sel-sel kanker, namun tidak menyebabkan

    perkembangan sel-sel sehat menjadi sel-sel kanker, diduga memiliki efek

    stimulan seperti kafein, dan efek adiksinya akibat pengaruh perangsangan pada

    sistem saraf pusat. 11

    Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatik polisiklik yang

    mengandung ratusan zat kimiawi yang terbentuk selama pemanasan tembakau.

    Tar kadang dianggap sebagai singkatan dari Total Aerosol Residue, dalam

    laboratorium partikel padatnya bisa ditemukan pada lembaran filter setelah air

    dan nikotin diekstraksi. Tar adalah komponen yang paling destruktif dari rokok,

    merupakan agen mutagenik dan karsinogenik yang juga merusak sel-sel yang

    dilaluinya melalui proses mekanik dan biokimiawi.12

    Karbonmonoksida (CO) merupakan gas beracun hasil dari pembakaran

    karbon yang tidak sempurna menjadi CO2 yang tidak berwarna, dengan kadar 2

    6% dalam asap rokok, yang memiliki daya ikat (afinitas) dengan hemoglobin

    sekitar 200 kali lebih kuat dari afinitas oksigen. Dalam waktu paruh 4 7 jam

    sebanyak 10% dari hemoglobin dapat terikat dengan karbonmonoksida (COHb)

    yang dapat mengakibatkan sel darah merah kekurangan oksigen.13 Dalam

    keadaan bebas karbonmonoksida dengan konsentrasi rendah dapat

    10 Zulkifli, Thank You for Smoking, Pinus Book Publisher, Yogyakarta, 2008, hal 55. 11 Op.cit.,Suryo ., hal. 83. 12 Ibid., hal.83 13 Ibid., hal. 84

  • 11

    menimbulkan gangguan neurobehavioural yakni gangguan pada sistem saraf

    pusat yang menyebabkan ganguan perilaku sesaat.14

    Selain berbagai agen tersebut, masih ada lebih dari 4000 bahan kimia lain,

    yang bersifat karsinogen dan berpotensi menyebabkan iritasi pada seluruh

    jaringan dan sel-sel tubuh yang dilaluinya sejak dihirup oleh hidung hingga

    sampai ke paru-paru.

    2. Dampak secondhand smoke

    Asap rokok yang dihirup oleh perokok dinamakan first-hand smoke, dan

    yang dihirup oleh orang di sekitar perokok disebut second-hand smoke. Kedua

    jenis asap tersebut pada dasarnya memiliki komposisi yang sama, kecuali bahwa

    beberapa komponen pada second-hand smoke memiliki kandungan yang lebih

    pekat, yaitu nikotin, tar, nitrit oksida, dan karbon monoksida yang memiliki

    konsentrasi 2 3 kali lebih besar daripada yang terkandung pada first-hand

    smoke, bahkan beberapa karsinogen seperti o-toluidine, 2-naphtylamine, dan 4-

    aminobiphenyl hanya terbentuk pada second-hand smoke saja.15

    Second-hand smoke (SHS) atau environmental tobacco smoke (ETS)

    dihasilkan terutama dari pelepasan asap pada ujung rokok yang membara atau

    yang disebut sidestream smoke dan yang berasal dari asap yang diekshalasi

    oleh perokok yang disebut mainstream smoke. Sebagian kecil juga berasal dari

    pangkal rokok dan melalui kertas pembungkus rokok. Campuran kompleks dari

    asap yang mengandung lebih dari 4000 bahan kimia yang terbentuk selama

    pembakaran yang bersifat iritan, toksik dan karsinogenik tersebut memiliki dua

    14 Umar Fachmi Achmadi, Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 181. 15 Lihat Lina S.Wong, et al., Effects of second-hand smoke on structure and function of fibroblast, cells that are critical for tissue repair and remodeling, BMC Cell Biol. 2004; 5: 13.

  • 12

    komponen, yaitu komponen gas atau uap dan komponen partikel, yang

    menyebar dengan cepat dan mengalami berbagai reaksi kimiawi segera setelah

    sebatang rokok disulut. Keduanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui

    inhalasi udara ruang yang terkontaminasi, dan sepanjang perjalanannya dapat

    menimbulkan dampak pada jaringan tubuh yang dilewatinya, melalui efek lokal

    maupun efek sistemik. 16

    Komponen partikel dari asap rokok yangmengandung tar, nikotin, benzene

    dan benzo(a)piren memiliki diameter massa aerodinamik di bawah 2,5 mm,

    sehingga dapat dihirup oleh pernapasan, tidak mudah disaring dan dikeluarkan

    oleh mekanisme pertahanan hidung dan tenggorokan, dapat mencapai paru-paru

    dan menimbulkan efek lokal hanya karena ukurannya saja, maupun karena

    penyebaran bahan kimia toksik yang dibawa oleh partikel tersebut. Komponen

    uap yang diantaranya mengandung karbon monoksida, ammonia,

    dimetilnitrosamin, formaldehid, hydrogen sianida dan akrolein diserap dan

    tersimpan pada dinding, perabotan, pakaian, mainan, dan berbagai benda

    lainnya dalam sepuluh menit setelah pembakaran rokok, dan dapat kembali

    tersebar ke udara setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan kemudian.17

    Efek dari second-hand smoke terhadap kesehatan tidak lebih sedikit

    daripada efek terhadap para perokok yang menghirup first-hand smoke. Pada

    sistem kardiovaskular, terpapar second-hand smoke meskipun hanya beberapa

    menit sampai beberapa jam, mempengaruhi sistem kardiovaskular sekitar 80 % -

    16 Lihat S.S. Hecht, Carcinogen derived biomarkers : applications in studies of human exposure to secondhand tobacco smoke, Tobacco Control 2003; 13 (Suppl I):i48-i56 17 Lihat G.E.Matt, et al., Household contaminated by environmental tobacco smoke : sources of infant exposures, Tobacco Control 2004;13: 29-37, lihat juga http://www.knoxhealth.com/PDFs/smoking_faq.pdf

  • 13

    90 % menghampiri efek pada perokok aktif yang kronik.18 Bahkan meski hanya

    terpapar sedikit atau mengkonsumsi 1 2 batang rokok saja pada hakekatnya

    akan meningkatkan resiko penyakit jantung, sebab tidak ada hubungan linear

    antara dosis dengan efeknya pada aktivasi platelet dan disfungsi endotel.19 Pada

    sistem pernapasan, berbagai bahan iritan dapat mempengaruhi sepanjang jalan

    napas mulai dari rongga hidung sampai ke paru-paru dan memperberat penyakit

    yang sebelumnya telah ada.20 Pada tingkat seluler, berbagai metabolit dari

    bahan karsinogen menginduksi perubahan molekular dan mutasi gen yang

    menginduksi terjadinya berbagai kanker.21

    Sebuah penelitian oleh Center for Tobacco Research and Education di

    California menunjukkan hasil bahwa jika dibandingkan dengan mainstream

    smoke, inhalasi sidestream smoke empat kali lebih toksik per gram TPM (total

    particulate matter), tiga kali lebih toksik per gram, dan dua sampai enam kali

    lebih tumorigenik. Dalam percobaan in vitro, fase gas dari sidestream smoke

    menyebabkan iritasi sensorik dan kerusakan pada epitel saluran napas dalam

    waktu 21 hari pada konsentrasi 2 g/l TPM. Toksisitas dari sidestream smoke

    lebih tinggi daripada yang dihirup oleh perokok, dengan efek akut minimal paling

    mungkin dapat terjadi pada konsentrasi lebih dari 2 g/m3 di dalam udara

    ruang.22

    18 Lihat Joaquin Barnoya, Stanton Glantz, Cardiovascular Effects of Secondhand Smoke : Nearly as Large as Smoking, Circulation 2005; 111; pg.2684 , versi online http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/111/20/2684 19 Lihat Elisa K. Tong, Stanton Glantz, Tobacco Industry Efforts Underminig Evidence Linking Secondhand Smoke With Cardiovascular Disease, Circulation 2007; 116; pg.1845, versi online http://www.circ.ahajournal.org/cgi/content/full/116/16/1845 20 Lihat Mark D. Eisner et al., Directly measured secondhand smoke exposure and COPD health outcome, BMC Pulmonary Medicine 2006; 6:12, versi online http://www.biomedcentral.com/1471-2466/6/12 21Lihat P. Vineis, Smoking and impact on health, Eur Respir Rev 2008; 17: 110, pg. 18222 Lihat S. Schick, S. Glantz, Philip Morris toxicological experiments with fresh sidestream smoke : more toxic than mainstream smoke, Tobacco Control 2005;14: 396 - 404

  • 14

    Selain sifat toksik, iritatif dan karsinogenik, sebetulnya yang paling

    membahayakan dari sebatang rokok adalah sifat adiksinya, yang merupakan

    tanggung jawab dari nikotin, suatu racun alkaloid yang mempengaruhi otak dan

    sistem saraf pusat. Rokok yang oleh perusahaan rokok disebut sebagai nicotine

    delivery device dan berbagai produk tembakau lainnya dengan cepat mencapai

    kadar ketergantungan nikotin di otak segera setelah dihisap, sama efektifnya

    apabila nikotin dihantarkan melalui injeksi intravena dengan jarum suntik.23

    Nikotin bekerja mengaktifkan reseptor di permukaan sel neuron yang

    selanjutkan akan melepaskan neurotransmitter dopamine, suatu bahan kimia

    yang berhubungan dengan perasaan senang, yang dalam penggunaan jangka

    panjang akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan,

    sehingga para perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang lebih tinggi

    untuk mencapai tingkat kepuasan dari ketagihannya.24 Hal ini dapat memberi

    jawaban mengapa merokok dihubungkan dengan kenyamanan, relaksasi,

    bahkan meningkatkan kemampuan berpikir dan berkreasi serta mengapa para

    perokok sangat sulit untuk berhenti merokok. Bahkan mungkin pula dapat

    menjawab mengapa perokok dengan rokok berkadar nikotin rendah justru malah

    meningkatkan jumlah konsumsinya agar memenuhi kebutuhan nikotin yang telah

    terlanjur dialaminya.

    Cara termudah untuk mengetahui seberapa besar seseorang telah terpapar

    oleh asap rokok, baik secara aktif maupun pasif adalah dengan mengukur kadar

    kotinin dalam tubuh. Kotinin adalah bahan kimia yang dibentuk oleh tubuh,

    produk metabolik dari nikotin yang ditemukan pada asap rokok. Karena kotinin

    23 Lihat WHO Report on Global Tobacco Epidemic 2008, MPOWER Final Report, versi online http://tobaccofreecenter.org/files/pdfs/reports_articles/mpowerReport-final.pdf 24Lihathttp://www.ftc.gov/bcp/menutobac.htm,lihatjugahttp://www.bat-science.com

  • 15

    hanya bisa dibuat dari nikotin, dan nikotin memasuki tubuh melalui asap rokok,

    maka pengukuran kotinin dapat menunjukkan berapa banyak sudah asap rokok

    masuk kedalam tubuh. Kadar kotinin < 10 ng/mL terdapat pada perokok yang

    tidak aktif, 10 100 ng/mL pada perokok ringan atau terpapar secara pasif

    moderat dan > 300 ng/mL pada perokok berat diatas 20 batang per hari. Pada

    urine perokok ringan atau perokok pasif didapatkan nilai antara 11 30 ng/mL,

    dan pada perokok aktif bisa mencapai 500 ng/mL atau lebih. Waktu paruh kotinin

    in vivo adalah sekitar 20 jam, sehingga dapat terdeteksi selama beberapa hari

    sampai seminggu setelah pemakaian tembakau.25 Selain itu, dapat pula diukur

    kadar karboksihemoglobin (CoHb) dan karbon monoksida yang diekshalasi

    (CoEx) untuk menentukan besarnya inhalasi asap tembakau, serta tiosianat

    (SCN) meski petanda terakhir ini tidak begitu spesifik sebab adanya

    kemungkinan berasal dari sumber lain.26

    The Environmental Protection Agency (EPA) di AS mengklasifikasikan

    Environmental Tobacco Smoke (ETS) sebagai karsinogen kelas A, ranking yang

    setara dengan asbestos and arsenik.27 Dalam draft International Classification

    Diseases (ICD)-10, secondhand smoke dimasukkan dalam kategori penyakit

    akibat lingkungan dengan kode Z58.83.28

    3. Dampak bagi wanita, anak-anak dan remaja

    Wanita dan anak-anak merupakan anggota keluarga yang paling sering

    terpapar oleh asap rokok, yang terutama berasal dari pasangan atau

    25 Lihat http://www.bat-science.com, lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Cotinine 26 Lihat Scherer Gerhard, Carboxyhemoglobin and thiocyanate as biomarkers of exposure to carbon monoxide and hydrogen cyanide in tobacco smoke, Exp Toxicol Pathol 2006; Nov. 58 (2-3): 101 24 27 Lihat http://www.knoxhealth.com/PDFs/smoking_faq.pdf 28Lihathttp://www.cdc.gov/nchs/data/icd9/draft_i10tabular.pdf

  • 16

    orangtuanya. Anak-anak dari orangtua yang merokok beresiko terkontaminasi

    terutama dari debu rumah dan permukaan perabotan dalam rumah termasuk

    pada lantai, karpet, selimut, dan peralatan lain bahkan dari sidik jari para

    perokok, yang merupakan reservoar asap rokok baik dalam bentuk gas maupun

    partikel yang masih tersimpan berbulan-bulan meskipun orangtua atau pasangan

    telah berhenti merokok. Anak yang belum memasuki usia sekolah akan lebih

    banyak berada di dalam rumah sehingga kemungkinan untuk terkontaminasi

    akan jauh lebih besar dibandingkan jika ia berada di udara bebas.

    Sebuah penelitian oleh Hein yang dibahas oleh G.E. Matt dkk

    memperlihatkan bahwa anak-anak menghirup debu rumah sekitar 0,05 0,25

    gram / hari, dua kali melebihi orang dewasa, dan jumlah nikotin yang dihirup

    selama satu jam pada rumah yang memiliki konsentrasi nikotin yang tinggi pada

    debu rumah adalah 12 ng, sementara yang dihirup oleh perokok aktif adalah 600

    3000 ng / jam.29 Akan tetapi jumlah tersebut akan terus menerus terakumulasi

    sebab kebanyakan mereka berada di dalam rumah, dan karena telah banyaknya

    larangan merokok di tempat umum maka para perokok justru mempergunakan

    rumah mereka sebagai tempat yang bebas untuk merokok, tanpa larangan

    ataupun sanksi, namun justru membahayakan kesehatan anak dan keluarga

    mereka sendiri tanpa mereka sadari.

    Selain terpapar dari asap rokok orang lain, cukup disayangkan pula

    perkembangan dalam angka perempuan merokok, yang saat ini mencapai

    seperempat dari angka lelaki yang merokok. Di beberapa negara, secara

    tradisional perempuan tidak merokok, dan industri rokok berusaha untuk

    menangkap pasar yang menjanjikan ini dengan melancarkan iklan, promosi,

    29 Lihat G.E.Matt, et al., Household contaminated by environmental tobacco smoke : sources of infant exposures, Tobacco Control 2004;13: 29-37

  • 17

    donasi dan berbagai bentuk kerjasama dengan organisasi wanita, yang

    memperlemah perlawanan kultural perempuan terhadap tembakau. Desain dan

    pemasaran rokok, termasuk penggunaan model yang atraktif dan merek yang

    secara spesifik dipasarkan untuk wanita, secara tegas ditujukan untuk

    mendorong perempuan untuk merokok.

    Anak-anak dan remaja yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami

    secara penuh dampak kesehatan produk tembakau dan sifat nikotin yang adiktif

    merupakan pasar yang potensial bagi produk tembakau. Sebagian besar

    perokok memulai kebiasaannya saat masih remaja di tengah keluarganya

    terutama tanpa adanya larangan dari kepala keluarga maupun anggota keluarga

    lain. Mereka kadang melakukan tidak secara terang-terangan, bersama dengan

    beberapa teman sebaya, maupun seorang diri. Perilaku remaja yang masih labil

    dan dipenuhi hasrat untuk mencoba sesuatu yang baru, ditambahkan dengan

    pergaulan yang semakin permisif dapat menjerumuskan mereka, sebagaimana

    yang dimaksud dalam strategi pemasaran perusahaan rokok, menjadi calon

    pelanggan tetap di hari esok.

    Di Indonesia, sekitar 70% dari perokok memulai kebiasaannya sebelum

    berumur 19 tahun, karena terbiasa melihat anggota keluarganya yang

    merokok.30 Prevalensi anak dan remaja yang merokok terus meningkat, dalam

    setiap kelompok umur. Data Susenas maupun BPS menunjukkan fakta tentang

    semakin meningkatnya jumlah perokok anak berusia 5 - 10 tahun, yang pada

    periode 1995 2001 jumlah perokok kelompok umur ini berkisar 0,4 0,6%,

    namun pada periode tiga tahun berikutnya, 2001 2004, meningkat drastis

    30 Lihat Indonesian Tobacco Control Network, http://indotc1.blogspot.com 23 April 2007

  • 18

    hampir 4 kali lipat yaitu 1,8%.31 Adapun untuk anak berusia 15 19 tahun terjadi

    peningkatan prevalensi di tahun 2001 sebesar 12,7 % dan meningkat menjadi

    17,3 % di tahun 2004.32

    Dalam survey Global Youth Tobacco Survey di tahun 2006 menunjukkan

    bahwa ada 12,6 % pelajar berusia 13 15 tahun yang merokok, 24,4 % pelajar

    laki-laki merokok dan 2,3% pelajar perempuan yang merokok. 3,2 % dari jumlah

    tersebut telah mengalami ketagihan atau kecanduan, diantaranya dengan

    dengan parameter begitu bangun tidur langsung ingin merokok.33 Di Jakarta

    khususnya, 20,4% pelajar adalah perokok tetap, 46,7% adalah perokok aktif,

    80% diantaranya ingin berhenti tapi tidak berhasil.34 19% remaja yang merokok

    berusia dibawah 10 tahun, 69,3% anak yang bersekolah terkontaminasi oleh

    rokok di rumahnya, dan 83,5% terkontaminasi di tempat umum35

    Anak dan remaja dapat dengan mudah mendapatkan rokok, sebab tidak ada

    larangan penjualan maupun distribusi kepada anak di bawah umur, ataupun

    aturan mengenai jumlah rokok minimal per bungkus yang dijual. Harga yang

    terjangkau dan mudahnya akses, termasuk memungkinkannya pembelian rokok

    secara batangan, semakin memperbesar kesempatan para perokok muda untuk

    terjerumus ke dalam fase ketagihan, bukan sekedar mencoba-coba belaka.

    4. Dampak bagi kemiskinan

    Meskipun bahaya dari penggunaan tembakau tidak mengenal adanya

    batasan sosioekonomi, namun epidemi dampak tembakau akan lebih berbahaya

    31 http://indotc1.blogspot.com/2007/06/ruu-pengendalian-tembakau-siap-dibawa.html 32 Lihat harian Kompas 21 Januari 2009, versi online di http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat 33 Lihat Indonesian Tobacco Control Network, http://indotc1.blogspot.com 21 Mei 2007 34 Lihat Indonesian Tobacco Control Network, http://indotc1.blogspot.com 28 Mei 2007 35 Lihat Harian Pos Kota, 31 Mei 2009

  • 19

    pada negara dan rumah tangga dengan pendapatan rendah. Kebanyakan

    populasi dunia bermukim di negara dengan pendapatan perkapita menengah ke

    bawah, yang konsumsi tembakaunya justru cenderung meningkat. Dengan

    status ekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih rendah, mereka hanya memiliki

    sedikit perhatian terhadap dampak tembakau bagi kesehatan, sosial, dan

    ekonomi, sehingga menjadi target pemasaran yang potensial bagi perusahaan

    rokok.

    Efek ekonomi dari tembakau adalah memperparah kemiskinan. Bagi orang

    miskin, uang yang dipergunakan untuk tembakau berarti tidak dipakai untuk

    keperluan dasar seperti pangan, rumah, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.

    Selain itu, karena orang miskin dengan status gizi yang biasanya sudah kurang,

    disertai dengan minimnya biaya yang dialokasikan untuk pemeliharaan

    kesehatan, menyebabkan angka kematian dan kejadian penyakit menjadi lebih

    tinggi. Kerugian ekonomi di negara dengan populasi tinggi, kebanyakan di

    negara berkembang yang merupakan pusat berbagai pabrik di dunia, akan

    diperparah oleh kenyataan bahwa kebanyakan kematian akibat tembakau terjadi

    selama usia produktif. Kematian dini pencari nafkah dalam keluarga tentunya

    merupakan malapetaka bagi keluarga miskin dan masyarakat lainnya.

    Merokok juga meningkatkan angka malnutrisi anak melalui efeknya pada

    makanan yang dikonsumsi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada

    33.000 rumah tangga miskin di daerah pedesaan pulau Jawa, yang bertujuan

    untuk melihat pengaruh belanja produk tembakau pada rumah tangga

    berpenghasilan rendah terhadap nutrisi anak, memperlihatkan bahwa rumah

    tangga berpenghasilan rendah tersebut menghabiskan 68% penghasilan untuk

    belanja pangan dan 22% untuk non pangan, dan memiliki sekurang-kurangnya

  • 20

    satu perokok yang cenderung mengalihkan 10% dari penghasilannya yang

    sedikit untuk membeli produk tembakau dengan mengurangi biaya untuk belanja

    pangan, yang berakibat pada berkurangnya jumlah dan kualitas makanan yang

    dikonsumsi, dan menurunkan status gizi secara bermakna pada anak-anak.

    Akibatnya anak-anak dari perokok tersebut kebanyakan memiliki tinggi badan

    yang lebih rendah daripada anak-anak bukan perokok dengan usia yang sama.

    Gizi yang buruk diakibatkan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas makanan

    yang mereka beli, dan kecenderungan untuk lebih membeli nasi daripada daging,

    buah dan sayuran yang lebih bergizi, karena dialihkan untuk biaya rokok.36

    BPS di bulan Mei 2004 menyebutkan bahwa proporsi konsumsi tembakau

    pada keluarga miskin jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan proporsi biaya

    kesehatan dan pendidikannya. Data empiris Badan Pusat Statistik membuktikan,

    pada periode tahun 1996 hingga tahun 2003, belanja tembakau dan sirih pada

    keluarga miskin 7,6 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, pada saat

    yang sama keluarga miskin hanya mengalokasikan 2,6 persen untuk biaya

    pendidikan dan 1,9 persen untuk kesehatan dari total pengeluaran. Selaras

    dengan itu, Survei Ekonomi dan Kesehatan Badan Perencanaan Pembangunan

    Nasional (2003) juga membuktikan keluarga miskin rata-rata mengalokasikan 8 -

    9 persen pengeluarannya untuk belanja tembakau.37

    Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, di tahun 2005, 4 dari 10

    keluarga miskin mengkonsumsi rokok, dan meningkat menjadi 5 dari 10 keluarga

    miskin di tahun 2006. Keluarga miskin menghabiskan 9,3 % dari penghasilannya

    untuk membeli tembakau, sedangkan keluarga kaya hanya menghabiskan 6,8 %

    36 Lihat Steven Block and Patrick Webb, Up in Smoke : Tobacco Use, Expenditure in Food and Child Malnutrition in Developing Countries, Chicago Journal, volume 58, number 1, Oct.2009, versi online http://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/605207 37Lihat Koran Tempo, 9 April 2007

  • 21

    dari penghasilan. Orang miskin menempatkan rokok dalam konsumsi terbesar

    kedua setelah padi-padian, dan orang kaya menempatkan rokok pada urutan

    keenam. Pada keluarga miskin, rata-rata belanja rokok adalah 17 kali lebih besar

    daripada pengeluaran untuk daging, 15 kali lebih besar dari pengeluaran untuk

    pengobatan, 9 kali lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan, 5 kali lebih

    besar dari pengeluaran untuk susu dan telur, dan 2 kali lebih besar dari

    pengeluaran untuk ikan38

    Pada 2007, jumlah keluarga miskin di Indonesia diperkirakan sebesar 19

    juta jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2 dari 3 laki-laki kelurga miskin

    merokok, sehingga ditaksir 12 juta kepala keluarga miskin adalah perokok.

    Belanja rokok orang miskin 23 triliun/tahun, sementara APBN untuk Departemen

    Kesehatan hanya 17 triliun. Belanja makanan pokok keluarga miskin anjlog dari

    28% menjadi 19%. yang mengakibatkan ditemukan busung lapar di tengah

    keluarga miskin, karena alokasi makanan pokok dialihkan untuk membeli

    rokok.39 Busung lapar yang menimpa keluarga miskin diindikasikan tak hanya

    karena mereka minim biaya untuk menyehatkan balitanya, tapi lebih karena

    "mismanajemen" terhadap pendapatan yang diperolehnya, yang lebih memilih

    menghabiskan pendapatannya untuk satu bungkus rokok per hari, setara dengan

    harga 1 kg telur yang sangat cukup untuk memperbaiki gizi balita.40

    Keluarga miskin dapat terus merokok karena rokok mudah didapat,

    merupakan produk legal yang dapat dibeli dimana saja, dan tersedia dalam

    kemasan kecil maupun pembelian batangan, yang terjangkau oleh daya beli

    orang miskin.

    38 Lihat Harian KOMPAS, 26 Februari 2009 39 http://indotc1.blogspot.com/2007/06/ruu-pengendalian-tembakau-siap-dibawa.html 40 Lihat Koran Tempo, 9 April 2007

  • 22

    B. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal

    Hukum berada dalam suatu sistem yang kompleks, dan hukum itu sendiri

    merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur atau subsistem tersendiri.

    Lawrence M.Friedman dalam karangan Sidharta menyebutkan tiga unsur dari

    sistem hukum yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum, yang

    bersifat dinamis, akan senantiasa berubah menurut berkembangan masyarakat.

    Struktur hukum, yang oleh Friedman didefinisikan sebagai a kind of cross

    section of the legal system, merupakan sistem hukum yang di Indonesia

    diterjemahkan dalam empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, agama,

    militer, dan tata usaha negara.41 Struktur hukum ini merupakan bagian-bagian

    yang bergerak dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan

    disiapkan dalam sistem.42

    Substansi hukum adalah norma-norma yang berlaku, yang mengatur

    bagaimana seharusnya manusia berperilaku.43 Substansi hukum merupakan

    hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, yang dapat ditemukan dalam

    sumber-sumber formal hukum, misalnya undang-undang, keputusan hakim dan

    sebagainya.44 Adapun budaya hukum yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen

    moral yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang

    menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam

    kerangka budaya milik masyarakat.45 Hasil interaksi antara nilai yang berasal

    dari individu atau masyarakat dan nilai yang berasal dari norma hukum

    41 Lihat Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung : 2006, hal.75 42 Lihat Muladi (ed.), HAM : Hakikat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 32 43 Op.cit. Sidharta, hal.75 44 Op.cit. Muladi, hal.32 45 Ibid. hal.32

  • 23

    merupakan hukum yang hidup dan sekaligus menggambarkan suatu budaya

    hukum.46

    Dalam membicarakan setiap masalah, misalnya mengenai masalah

    kesehatan, tidak akan pernah lepas dari berbagai sistem hukum, yang dalam

    struktur hukumnya berarti menyangkut tentang aparat atau kelembagaan yang

    bertanggungjawab atas terlaksananya berbagai kebijakan tentang kesehatan,

    dalam substansi hukumnya berarti membicarakan tentang keberadaan aturan

    hukum formil dan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan

    tersebut, dan dalam budaya hukumnya berarti bagaimana masyarakat

    memandang dan menjalani peraturan yang telah ada tersebut. Jadi ketiga hal

    tersebut yang menjadi kerangka dan mendasari terlaksananya berbagai sistem

    dalam tatanan berbangsa dan bermasyarakat, dalam berbagai masalah dan

    rutinitas, termasuk pula pada berbagai hal yang menyangkut pada masalah

    kesehatan.

    Menurut WHO kesehatan atau health adalah a state of complete physical,

    mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity,

    dan dalam UU No. 23 tahun 1992 Pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai

    keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang

    hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

    Sebagai bagian dari hak asasi, maka kesehatan sebagai salah satu unsur

    kesejahteraan umum yang didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan,

    jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial

    dan ekonomis tidak hanya dipositifkan dalam aturan perundang-undangan yang

    46Op.cit. Sidharta, hal.76

  • 24

    membahas tentang kesehatan saja, tetapi juga dalam aturan perundang-

    undangan yang membahas mengenai hak asasi manusia. Berdasarkan definisi

    tersebut, terlihat bahwa kesehatan bukan hanya menyangkut masalah orang

    pribadi dan juga masyarakat, tetapi berkaitan pula dengan hubungan antar

    manusia dengan sekitarnya, dengan lingkungan dimana ia berada.

    Dalam UUD 1945 hal tentang kesehatan diatur dalam Pasal 34 ayat (3) yaitu

    Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

    serta Pasal 28H ayat (1) yaitu

    Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

    Pada bagian Preamble UDHR (Universal Declaration of Human Rights)

    tercantum gagasan besar tentang the inherent dignity and of the equal and

    inalienable rights, seluruh umat manusia sebagai the foundation of freedom,

    justice and peace in the world. Kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian

    tersebut kemudian dituangkan dalam pasal 25 ayat (1) UDHR yang menyentuh

    hak asasi manusia di bidang kesehatan, yaitu hak atas taraf kehidupan yang

    memadai bagi kesehatan dan kesejahteraan diri seseorang / keluarganya,

    termasuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan layanan-layanan

    sosial yang perlu.

    Konsep kesehatan akan memiliki muatan normatif sebagai konsep hukum

    jika menyandang predikat yuridis tertentu, dalam hal ini hak, yaitu sebagai HAM.

    Oleh WHO, disebutkan bahwa the enjoyment of the highest attainable standard

    of health is one of the fundamental rights of every human being without any

    distinction of race, religion, political belief, economic or social condition, dan

    dalam UU No.23 tahun 1992 pasal 4 dinyatakan bahwa setiap orang

  • 25

    mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang

    optimal.47

    Interpretasi hak atas kesehatan yang dilakukan oleh International Committee

    on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) menyebutkan bahwa hak

    atas kesehatan meliputi freedom yaitu right to control ones health and body

    serta right to be free from interference yang harus dilindungi negara; dan

    entitlement yaitu pemberian persamaan kesempatan bagi setiap orang untuk

    menikmati derajat kesehatan yang optimal.48

    Indonesia telah meratifikasi ICESCR dalam UU Nomor 11 tahun 2005

    tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial

    dan Budaya sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat 1 yaitu :

    Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

    Pasal tersebut sesungguhnya menunjukkan pengertian yang mencakup hak

    kesehatan (right to health), dimana pencapaian standar kesehatan tertinggi

    merupakan upaya nyata untuk memenuhi standar kehidupan yang layak bagi

    manusia. Selengkapnya General Comment Nomor 14 menyatakan sebagai

    berikut:

    The right to health is not to be understood as a right to be healthy. The right to health contains both freedoms and entitlements. The freedom include the right to control ones health and body, including sexual and reproductive freedom, and the right to be free from interference, such as the right to be free from torture, non-consensual medical treatment and experimentation. By contrast, the entitlement include the right to a system of health protection which provides equality of opportunity for people to enjoy the highest attainable level of health. Consequently, the right to health must be understood as a right to enjoyment of a variety of facilities, goods, services

    47Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hal. 14. 48 Ibid., hal. 48 49.

  • 26

    and conditions necessary for the realization of the highest attainable standard of health49

    Katarina Tomasevski dalam tulisan karya Majda El Muhtaj menegaskan

    bahwa hak atas kesehatan berkaitan dengan upaya meminimalisasi dampak

    lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, dengan memiliki lingkungan yang

    memiliki resiko seminimal mungkin bagi kesehatan, serta memiliki akses

    terhadap pelayanan kesehatan yang memungkinkan setiap orang mengalami

    dan mempertahankan kesehatannya dengan baik. Lebih lanjut seperti

    dikemukakan oleh Farid Anfasa Moeloek dalam buku yang sama bahwasanya

    setiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan dan apapun

    bentuknya yang mengakibatkan ketidaksehatan pada tubuh manusia,

    kejiwaannya, lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta ketidakadilan

    dalam manajemen sosial yang mereka terima adalah merupakan pelanggaran

    HAM.50

    Hak atas derajat kesehatan optimal akan semakin kuat klaimnya jika

    dijustifikasi dengan jalan mengaitkannya dengan hak hidup : berhak atas hidup

    ekivalen dengan berhak atas derajat kesehatan yang optimal. Hak hidup tidak

    mungkin dapat dinikmati secara sempurna jika pemegang hak hidup tidak dalam

    keadaan sehat. Hak atas hidup memperoleh status non-derogable rights atau

    hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun.51

    Hak atas layanan kesehatan mewajibkan negara menyediakan layanan

    kesehatan bagi warganegaranya yang membutuhkan sebagai bagian dari

    tugasnya untuk mengurus warganya. Hak atas perlindungan kesehatan

    49 Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM : Mengurai hak ekonomi, sosial dan budaya, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 155 156.50 Ibid., hal 156 157. 51Op.Cit Titon., hal. 46.

  • 27

    mewajibkan negara melakukan pengaturan agar kesehatan setiap orang selaku

    pemegang hak (right holder) aman dari bahaya-bahaya yang mengancam,

    sebagai bagian dari tugasnya untuk mengatur warganya. Idealnya, hak atas

    derajat kesehatan yang optimal akan mencakup hak atas layanan kesehatan

    (health care), perlindungan kesehatan (health protection), memperoleh akses

    layanan kesehatan (access to health services), dan hak atas tatanan sosial yang

    mewajibkan negara melakukan tindakan-tindakan khusus melindungi kesehatan

    publik (safeguarding public health).52

    Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, disebutkan bahwa setiap orang

    berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini diletakkan dalam

    sistematika hak untuk hidup sehingga menambah pentingnya makna hak atas

    lingkungan hidup yang baik dan sehat itu sendiri. Lingkungan hidup yang baik

    dan sehat tentu saja memiliki korelasi langsung dengan peningkatan kualitas

    hak hidup seseorang dan realisasi haknya atas derajat kesehatan yang optimal.

    Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan diletakkan dasar hukum

    pengaturan tentang kesehatan lingkungan, yang bertujuan mewujudkan kualitas

    lingkungan yang sehat, dengan ruang lingkup : tempat umum, lingkungan

    pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya, pada

    sasaran : penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair,

    limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vector penyakit, dan

    penyehatan atau pengamanan lainnya.

    Dalam UU tentang Kesehatan disebutkan pula bahwa setiap orang

    berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat

    kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya. Kualitas lingkungan yang

    52 Op.cit. Titon., hal. 49.

  • 28

    bersih dan sehat tentu amat berperan bagi tercipta kesehatan, baik itu kesehatan

    individu dan terutama kesehatan masyarakat. Dan untuk mendukung tercapainya

    derajat kesehatan yang optimal maka pemerintah telah menyelenggarakan

    berbagai upaya kesehatan, salah satu diantaranya adalah pengamanan zat

    adiktif, sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No.19

    tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.

    Upaya untuk dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah

    dengan meningkatkan derajat kesehatan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

    Derajat kesehatan yang optimal dapat dipandang sebagai suatu tingkat kondisi

    kesehatan yang tinggi yang mungkin dicapai pada suatu saat sesuai dengan

    kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang dan

    masyarakat, yang harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus

    menerus.

    Derajat kesehatan optimal merupakan tolok ukur evaluasi atas apa yang ada

    kini untuk mencapai apa yang lebih baik di masa depan, yang tidak dapat

    seketika terjadi oleh kondisi yang ada pada suatu waktu tertentu. Realisasi

    optimal yang mengacu pada keseimbangan paling memadai antar hak yang

    berbeda dalam mencapai hasil yang terbaik bagi semua individu adalah bersifat

    kondisional dan tidak mungkin sebagai titik akhir. Kewajiban pemerintah dalam

    upaya kesehatan untuk mencapai taraf yang optimal akan selalu harus

    ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

    C. Kawasan Dilarang Merokok

    Penggunaan rokok yang telah semakin meluas dewasa ini mengakibatkan

    bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat baik sebagai perokok aktif

  • 29

    maupun pasif, semakin sulit untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih

    yang merupakan hak bagi setiap orang oleh karena itu diperlukan kesadaran,

    kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk mencegah dampak penggunaan

    rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan secara

    menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

    Pada sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-56 pada tanggal 21 Mei 2003, 192

    negara anggota WHO telah mengadopsi Framework Convention on Tobacco

    Control yang bertujuan untuk melindungi generasi muda sekarang dan

    mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi

    ekonomi dari konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau melalui

    penyediaan sebuah kerangka kerja untuk pengukuran pengendalian tembakau

    yang akan diterapkan oleh negara anggota pada tingkat nasional, regional dan

    internasional agar mengurangi prevalensi penggunaan tembakau dan pengaruh

    asap rokok secara berkesinambungan dan mendasar. Hingga saat ini, meskipun

    Indonesia adalah salah satu negara yang memprakarsai perjanjian tersebut

    namun belum meratifikasinya.

    Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan

    Rokok bagi Kesehatan yang didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau

    serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan / atau menangani dampak

    penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan,

    pemerintah telah mengupayakan sebuah aturan yang bertujuan untuk melindungi

    kesehatan dari bahaya akibat merokok, membudayakan hidup sehat, menekan

    jumlah perokok pemula, dan melindungi kesehatan perokok pasif. Peraturan ini

    diantaranya juga membahas mengenai pemberian informasi tentang kandungan

    kadar nikotin dan tar yang ada pada setiap batang rokok, pencantuman

  • 30

    peringatan pada label, pengaturan produksi dan penjualan rokok dan periklanan

    dan promosi rokok, dan perlu ditetapkannya pula kawasan tanpa rokok pada

    tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik

    sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah

    dan angkutan umum.

    Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebagai ibukota negara yang berdasarkan

    data BPS tahun 2007 merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk

    tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 13.651 jiwa/km2 yang berdampak pada

    turunnya kualitas udara, dan daya dukung lingkungan bagi terselenggaranya

    upaya kesehatan yang memadai telah sampai pada taraf memprihatinkan telah

    mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No.2 tahun 2005 tentang

    Pengendalian Pencemaran Udara.53 Dan sebagai upaya untuk menjaga dan

    memelihara kualitas lingkungan, dan dengan mempertimbangkan bahwa udara

    yang sehat dan bersih adalah hak bagi setiap orang, maka pada tahun yang

    sama Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 75

    tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.

    Kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan

    dilarang untuk merokok. Secara khusus dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta

    No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok ada tujuh tempat yang

    ditetapkan sebagai kawasan tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1

    yaitu :

    1. Tempat umum, yaitu sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum, tempat pelayanan umum antara lain terminal

    53Profil Kesehatan Indonesia 2007, Departemen Kesehatan RI, 2008

  • 31

    termasuk terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba ada, hotel, restoran, dan sejenisnya.

    2. Tempat kerja, yaitu ruang tertutup yang bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang / seminar, dan sejenisnya.

    3. Tempat proses belajar mengajar, yaitu tempat proses belajar-mengajar atau pendidikan dan pelatihan termasuk perpustakaan, ruang praktik atau laboratorium, musium, dan sejenisnya.

    4. Tempat pelayanan kesehatan, yaitu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan Pemerintah dan masyarakat, seperti rumah sakit, Puskesmas, praktik dokter, praktik bidan, toko obat atau apotek, pedagang farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, dan tempat kesehatan lainnya, antara lain pusat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin, Balai Kesehatan Ibu dan Anak

    5. Arena kegiatan anak-anak, yaitu tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak, arena bermain anak-anak, atau sejenisnya.

    6. Tempat ibadah, yaitu tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti mesjid termasuk mushola, gereja termasuk kapel, pura, wihara, dan kelenteng, dan

    7. Angkutan umum, yaitu alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara termasuk di dalamnya taksi, bus umum, busway, mikrolet, angkutan kota, Kopaja, Kancil, dan sejenisnya.

    Tujuan dari ditetapkannya peraturan tentang kawasan dilarang merokok ini

    tercantum pada Pasal 2, yaitu :

    1. Menurunkan angka kesakitan dan / atau angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat;

    2. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal; 3. Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok; 4. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; 5. Mewujudkan generasi muda yang sehat

    Demi terselenggaranya kawasan dilarang merokok, maka pimpinan atau

    penanggung jawab tempat atau kawasan tersebut wajib menetapkan Kawasan

    Dilarang Merokok dan wajib memasang tanda atau petunjuk berupa Kawasan

    Dilarang Merokok maupun Kawasan Merokok pada tempat yang mudah

    terlihat.

    Persyaratan mengenai tempat khusus atau kawasan merokok ini terdapat

    pada Pasal 18 :

  • 32

    1. tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan dilarang merokok

    2. dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara 3. dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok 4. dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi

    kesehatan

    Sejauh ini, pemberlakuan kawasan dilarang merokok di DKI Jakarta masih

    dalam masa sosialisasi. Sanksi dalam peraturan ini terdapat pada Pasal 27 ayat

    (1) dan ayat (2), yaitu :

    Ayat (1) : Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa :

    a. peringatan tertulis b. penghentian sementara kegiatan atau usaha c. pencabutan izin

    Ayat (2) : Setiap orang yang terbukti merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan/atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan

    Adapun sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No.2 tahun 2005

    tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang dimaksud di atas sebagaimana

    tercantum pada Pasal 41 adalah diancam dengan pidana kurungan paling lama

    6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh

    juta rupiah)

    Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebelum pemberlakuan peraturan tentang

    kawasan dilarang merokok juga telah mengeluarkan peraturan gubernur tentang

    pengendalian merokok di tempat kerja. Implementasi peraturan tentang

    pengamanan rokok tentunya memerlukan kesiapan baik dalam bentuk sarana

    penunjang maupun pembiayaan yang tidak sedikit. Sebagaimana tercantum

    dalam UUD 1945 tentang tanggungjawab Negara atas penyediaan fasilitas

    layanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak, serta hak setiap orang

    untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, maka sepatutnya

  • 33

    Negara untuk lebih memperhatikan masalah tersebut. Sebagai daerah dengan

    PAD yang terbesar, hal tersebut barangkali tidak terlalu menjadi kendala, namun

    untuk ke depannya, bagi daerah lain tentu saja untuk memberlakukan kebijakan

    yang sama perlu upaya dan pembiayaan yang sepatutnya tidak dibebankan

    sepenuhnya pada daerah.

  • 34

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Metode pendekatan

    Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

    pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu cara meneliti dalam penelitian hukum

    yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder belaka dan dengan

    menggunakan metode berpikir deduktif serta kriterium kebenaran koheren.54

    Metode berpikir deduktif adalah cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang

    ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar

    dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus.55

    B. Spesifikasi Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang hanya

    menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau berbagai variabel

    dalam pencarian fakta status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi,

    suatu sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa sekarang dengan

    interpretasi yang tepat. Penelitian dilakukan dengan spesifikasi penelitian

    deskriptif analitis, yaitu membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,

    faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena atau

    gejala yang diteliti sambil menganalisisnya, diharapkan akan dapat dicari sebab

    54 Lihat Wila Chandrawila Supriadi, Metode Penelitian (tidak dipublikasikan) dalam Materi Kuliah Metode Penelitian Hukum Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang, 2006, hlm. 8 55 Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm.

    23.

  • 35

    akibat dari suatu hal dan menguraikannya secara konsisten dan sistematis serta

    logis.56

    Penelitian ini mendeskripsikan berbagai pengaruh rokok dalam kehidupan,

    bagaimana pengaturan dan upaya untuk mengendalikan dampak rokok, disertai

    analisis hubungannya dengan pencapaian derajat kesehatan yang optimal.

    C. Teknik Pengumpulan Data

    Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

    sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

    dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang

    sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya

    disediakan di perpustakaan umum atau perpustakaan milik pribadi.57 Data

    sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made), telah

    dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa

    terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.58 Data sekunder dalam penelitian

    hukum meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

    tertier.59

    Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdapat dalam suatu

    aturan hukum atau teks otoritatif yang berarti mempunyai otoritas seperti

    peraturan perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata

    usaha negara.60 Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini

    terdiri dari: Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-

    56 Lihat Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 427 57Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju,

    Bandung 1995, hlm. 65. 58Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 24. 59 Ibid., hal. 13. 60 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, hal.141.

  • 36

    undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia beserta Peraturan

    Pelaksanaan dari perundang-undangan tersebut, termasuk diantaranya

    Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi

    Kesehatan dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang

    Kawasan Dilarang Merokok.

    Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

    teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta

    simposium yang dilakukan para pakar hukum. Penelitian ini menggunakan pula

    bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

    penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

    kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

    D. Metode Pengumpulan Data

    Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

    bersifat kualitatif, dan metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah

    studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu kegiatan (praktis dan teoritis)

    untuk mengumpulkan (inventarisasi), dan mempelajari (teaching and learning),

    serta memahami (reflektif, kritis dan sistematis serta logis) data yang berupa

    hasil pengolahan orang lain, dalam bentuk teks otoritatif (peraturan perundang-

    undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata usaha negara,

    kebijakan publik, dan lainnya), literatur atau buku teks, jurnal, artikel, arsip atau

    dokumen, kamus, ensiklopedi dan lainnya yang bersifat publik maupun privat.

    Data-data dalam penelitian ini berasal dari berbagai jurnal ilmiah mengenai

    rokok, artikel surat kabar, berbagai riset dan survei dengan skala nasional dan

  • 37

    internasional, serta laporan resmi WHO dan Departemen Kesehatan RI, baik

    dalam bentuk cetakan maupun soft copy (online).

    E. Metode Analisis Data

    Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    kualitatif normatif. Karena penelitian ini tidak menggunakan konsep-konsep yang

    diukur/dinyatakan dengan angka atau rumusan statistik, maka analisis terhadap

    data sekunder dilakukan dengan cara berpedoman atau berdasarkan norma /

    kaidah hukum (dalam arti luas, yaitu yang terdiri dari nilai hukum, asas hukum,

    kaidah hukum dalam arti yang sempit dan teks otoritatif atau aturan hukum),

    konsep hukum ataupun doktrin hukum yang terdapat pada kerangka pemikiran

    atau tinjauan pustaka yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam

    penelitian ini. Dalam menganalisis data sekunder tersebut, penguraian data

    disajikan dalam bentuk kalimat yang konsisten, logis dan efektif serta sistematis

    sehingga memudahkan untuk interpretasi data dan konstruksi data serta

    pemahaman akan analisis yang dihasilkan, yaitu mencari sebab akibat dari suatu

    masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai

    dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu

    hubungan antara pemberlakuan larangan merokok di tempat umum dan

    terpenuhinya hak atas derajat kesehatan optimal.

  • 38

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal

    Kesehatan adalah salah satu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap

    manusia dalam mewujudkan hak asasinya dan negara sebagai pengatur

    bertanggungjawab agar terwujud sumber daya manusia yang berkualitas dan

    bermanfaat. Dalam kapasitasnya untuk mengatur dan sebagai substansi dari

    sistem hukum, maka negara mengeluarkan kebijakan dalam bentuk aturan

    perundang-undangan yang mengandung sanksi atau hukuman yang bertujuan

    agar peraturan tersebut dapat mengikat dan untuk memberi efek jera pada para

    pelanggar, baik itu sebagai individu maupun sebagai institusi atau badan hukum.

    Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dicapai jika lingkungan

    dan genetika mendukung. Dalam hal lingkungan, yang dapat berubah oleh sikap

    dan perilaku manusia, disitulah negara mengambil peranan penting dalam

    mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan kondusif bagi terselenggaranya

    sumber daya manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi kepentingan negara

    dan masyarakat.

    Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak setiap orang,

    sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang

    Hak Asasi Manusia. Hak ini dimasukkan dalam hak untuk hidup, bersama

    dengan hak untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf kehidupan, serta

    hak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

    Lingkungan yang tidak memadai tentu saja tidak memenuhi hak asasi manusia,

    dan karena menghormati hak asasi orang lain adalah merupakan kewajiban,

  • 39

    maka setiap orang tanpa kecuali harus menjaga terciptanya lingkungan yang

    baik dan sehat.

    Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, aturan mengenai hak dan

    kewajiban dalam pencapaian derajat kesehatan optimal tercantum pada Pasal 4

    yang menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

    memperoleh derajat kesehatan optimal dan pada Pasal 5 yaitu setiap orang

    berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat

    kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya. Adapun dalam RUU

    Kesehatan, aturan mengenai hak disebutkan dalam Pasal 6 yaitu setiap orang

    berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat

    kesehatan. Aturan mengenai kewajiban terdapat dalam beberapa pasal, yaitu

    Pasal 12 :

    (1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

    (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.

    Pasal 13 : Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat baik fisik, biologi, maupun sosial. Pasal 14 : Setiap orang berkewajiban berperilaku sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang optimal. dan Pasal 15 : Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.

    Selain itu disebutkan pula dalam Pasal 18 mengenai tanggung jawab

    pemerintah untuk menjamin tersedianya lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan

    baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan

    yang optimal.

  • 40

    Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari

    risiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia. Dalam

    UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pengaturan tentang kesehatan

    lingkungan tercantum pada Pasal 22, yang diantaranya menyebutkan dalam ayat

    (2) bahwa kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum,

    lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan

    lainnya dan pada ayat (4) yaitu setiap tempat atau sarana pelayanan umum

    wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan

    standar dan persyaratan. Hal ini tentu saja sejalan dengan tujuan pembangunan

    kesehatan yang disebutkan dalam Pasal 3 yaitu untuk meningkatkan kesadaran,

    kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

    kesehatan yang optimal.

    Rancangan Undang-Undang Kesehatan menempatan pengaturan mengenai

    kesehatan lingkungan dalam Pasal 102 yaitu upaya kesehatan lingkungan

    ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik fisik, biologi,

    dan sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang

    optimal. Tanggung jawab pemerintah dan peran serta masyarakat dalam

    menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk

    bagi kesehatan, yang mencakup lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat

    rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum diatur dalam Pasal 103 ayat (1) dan

    ayat (2). Selain itu, RUU Kesehatan secara eksplisit mengatur dalam Pasal 103

    ayat (4) bahwa khusus untuk tempat-tempat umum dan sarana transportasi

    umum selain harus bebas dari berbagai unsur yang menimbulkan gangguan

    kesehatan, juga bebas dari gas dan asap rokok yang membahayakan kesehatan.

    Dalam penjelasan pasal 102 juga disebutkan bahwa asap rokok termasuk pula

  • 41

    dalam golongan kimiawi bersama dengan pestisida dan pewarna makanan ,

    meskipun dalam pasal itu sendiri tidak mencantumkan mengenai lingkungan

    yang sehat secara kimiawi.

    Peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa derajat kesehatan

    yang optimal, atau kesehatan pada umumnya, bukan hanya merupakan

    tanggungjawab dari pemerintah semata, namun lebih kepada kewajiban setiap

    individu dalam masyarakat, untuk berusaha menciptakan situasi agar keadaan

    sehat maupun sehat secara optimal tersebut dapat terselenggara. Lingkungan

    yang bersih dan sehat, perilaku yang baik dan beradab yang mendukung

    terciptanya lingkungan bersih, tentu akan berdampak positif untuk kesehatan

    yang optimal bagi setiap orang.

    B. Pemberlakuan Larangan Merokok di Tempat Umum

    1. Merokok dan Kesehatan

    Konsumsi rokok di dunia meningkat secara pasti sejak James Bonsack

    pertama kali menemukan mesin pelinting rokok di tahun 1881. Pada tahun 1960-

    an, konsekwensi gangguan kesehatan akibat merokok mulai tampak, dan di

    beberapa negara kecenderungan untuk merokok mulai berkurang, meskipun di

    seluruh dunia jumlah perokok semakin meningkat, dan jumlah rokok yang

    dikonsumsi oleh para perokok itupun juga semakin bertambah. Peningkatan

    jumlah tersebut terutama disebabkan oleh semakin meluasnya ekspansi dari

    perusahaan rokok, dan di taksir tahun 2030, akan ada sekitar 2 milyar orang.

    Perusahaan rokok memproduksi sekitar 5,6 trilyun rokok per tahun, hampir 900

    batang pertahun untuk setiap laki-laki, perempuan, dan anak2 di seluruh dunia.

    Lebih dari 10 juta rokok dihisap setiap menit dalam sehari di seluruh dunia. Dan

  • 42

    jika kecenderungan ini terus berlanjut, perokok akan mengkonsumsi 9 trilyun

    rokok sampai tahun 2025.61

    Tembakau adalah penyebab kematian tunggal yang paling dapat dicegah

    dan merupakan satu-satunya produk konsumen legal yang dapat

    membahayakan siapapun yang terpapar baik secara langsung maupun tidak

    langsung, dan membunuh lebih dari setengah penggunanya. Konsumsinya kini

    telah meluas ke segala penjuru karena harganya murah, pemasaran yang agresif

    dan menyeluruh, kurang kepedulian akan bahayanya dan kebijakan publik yang

    tidak konsisten dalam memberikan sanksi terhadap penggunaannya.

    Kebanyakan akibat dari penggunaan tembakau tidak terlihat kecuali setelah

    onset bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluhtahun. Tembakau yang oleh

    sebagian orang dianggap tidak berbahaya karena mereka tidak merasakan

    timbulnya penyakit, kadahal karena efek adiksi yang menyebabkan mereka sulit

    berhenti, dalam tenggang waktu cukup lama maka akan timbul berbagai penyakit

    yang berhubungan dengan rokok.62 Tembakau memakan biaya sangat besar

    dalam pelayanan kesehatan, kehilangan produktivitas, dan biaya tak terlihat dari

    kesakitan dan penderitaan yang timbul pada perokok aktif, perokok pasif, dan

    keluarganya.63

    Saat ini, tembakau telah membunuh lebih dari 14.000 orang setiap hari, dan

    selama abad 20, epidemi tembakau telah membunuh 100 juta orang di seluruh

    dunia, yaitu berkisar 5,4 juta kematian per tahun akibat kanker paru, penyakit

    jantung dan penyakit lain. Jika tidak segera diata