02 halaman isi prosiding sinasja 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... ·...

13
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 277 Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap Application of Satellite Radar Sentinel 1a Data for Mangrove Forest Detection Case Study: Segara Anakan, Cilacap District Muchlisin Arief *) , Nanin Anggraini, Syifa.W. Adawiah, Maryani Hartuti, Nana Suwargana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN *) E-mail: [email protected] ABSTRAK- Keberadaan habitat hutan mangrove di kabupaten Cilacap sebagian besar berada di sekitar pantai Segara Anakan. Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di antara daratan dan lautan, memiliki fungsi ekologis di antaranya menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai. Ekosistem mangrove sangat sensitif dan rapuh sehingga informasi keberadaan hutan mangrove yang dapat dipercaya sangat diperlukan untuk memantau dan mengelola sumber daya mangrove yang tersisa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari serta memahami data satelit penginderaan jauh C-Band Synthetic Aperture Radar Sentinel-1A dalam mendeteksi hutan mangrove di Cilacap berdasarkan karakteristik fisiknya. Pada penelitian ini, pertama dilakukan proses filtering menggunakan morfologi matematika (erosi) pada citra sentinel-1A dengan polarisasi VH dan VV, kemudian dilakukan proses thresholding untuk memisahkan air dengan objek lainnya. Untuk membedakan mangrove dengan objek lainnya dilakukan segmentasi dengan cara membandingkan satu piksel dengan piksel tetangganya dalam windows 3x3. Berdasarkan analisis teksturnya maka data Sentinel-1A dapat dengan mudah untuk mengenali hutan mangrove secara visual (tekstur lebih halus dibandingkan dengan vegetasi lainnya. Untuk mengetahui ketelitian, dilakukan klasifikasi kemudian dibandingkan dengan data Landsat). Berdasarkan perbandingan hasil klasifikasi citra ditunjukkan bahwa citra sentinel-1A tidak dapat mengkelaskan sawah yang sedang berair dan lahan terbuka. Kata kunci: Cilacap, mangrove, Sentinel-1A, filter, erosi, segmentasi, klasifikasi ABSTRACT- Existence of mangrove forest habitat in Cilacap district mostly located around Segara Anakan coast. Mangroves live in area between land and oceans, which have ecological functions of stabilizing coastal waters. Mangrove ecosystems are very sensitive and fragile, so that the information of mangrove forests presence reliable is needed to monitor and manage the remaining mangrove resources. The purpose of this research is to study and understand the satellite remote sensing data C-Band Synthetic Aperture Radar Sentinel-1A in detection of mangrove forests in Cilacap based on their physical characteristics. In this research, the first filtering process is carried out using mathematical morphology (erosion) in Sentinel-1A image with VH and VV polarization, then thresholding process to separate water from other objects. To distinguish mangrove with other objects segmentation is done by comparing a pixel by pixel neighbors in 3x3 windows. Based on the analysis of data texture, Sentinel-1A can be easy to recognize mangrove forests visually (more delicate texture than other vegetation) To determine the accuracy, classification is carried out and compared with classification result from Landsat data. Comparison of image classification results indicated that Sentinel- 1A image can not classify rice field that was watery and open land Key words: Cilacap, Mangrove, Sentinel-1A, Erosion filter, Segmentation, Classification 1. PENDAHULUAN Indonesia memiliki wilayah pesisir yang cukup luas dengan panjang garis pantai terpanjang ke empat di dunia. Selaras dengan wilayah pesisirnya yang luas, Indonesia menyimpan potensi sumber daya alam pesisir yang luar biasa dengan keanekaragaman ekosistemnya. Berbagai ekosistem seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria dapat ditemui di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, fungsi sosial, dan ekonomis serta fungsi fisik. Hutan mangrove merupakan daerah tempat hidup dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai organisme seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan mamalia. Selain itu, secara ekologis hutan mangrove juga menyediakan tempat yang sangat baik dan ideal bagi proses pemijahan (spawning ground) biota laut yang ada di dalamnya. Dari segi sosial ekonomi sungguh luar biasa potensi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, betapa butuhnya dunia akan Indonesia terkait perubahan iklim yang digembar gemborkan karena sumber daya kelautan yaitu kawasan hutan mangrove Indonesia menyusut dari 4.2 juta hektar pada tahun 1982 (FAO, 1982).

Upload: others

Post on 25-Mar-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

277

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap

Application of Satellite Radar Sentinel 1a Data for Mangrove Forest

Detection Case Study: Segara Anakan, Cilacap District

Muchlisin Arief*), Nanin Anggraini, Syifa.W. Adawiah, Maryani Hartuti, Nana Suwargana

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK- Keberadaan habitat hutan mangrove di kabupaten Cilacap sebagian besar berada di sekitar pantai Segara Anakan. Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di antara daratan dan lautan, memiliki fungsi ekologis di antaranya menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai. Ekosistem mangrove sangat sensitif dan rapuh sehingga informasi keberadaan hutan mangrove yang dapat dipercaya sangat diperlukan untuk memantau dan mengelola sumber daya mangrove yang tersisa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari serta memahami data satelit penginderaan jauh C-Band Synthetic Aperture Radar Sentinel-1A dalam mendeteksi hutan mangrove di Cilacap berdasarkan karakteristik fisiknya. Pada penelitian ini, pertama dilakukan proses filtering menggunakan morfologi matematika (erosi) pada citra sentinel-1A dengan polarisasi VH dan VV, kemudian dilakukan proses thresholding untuk memisahkan air dengan objek lainnya. Untuk membedakan mangrove dengan objek lainnya dilakukan segmentasi dengan cara membandingkan satu piksel dengan piksel tetangganya dalam windows 3x3. Berdasarkan analisis teksturnya maka data Sentinel-1A dapat dengan mudah untuk mengenali hutan mangrove secara visual (tekstur lebih halus dibandingkan dengan vegetasi lainnya. Untuk mengetahui ketelitian, dilakukan klasifikasi kemudian dibandingkan dengan data Landsat). Berdasarkan perbandingan hasil klasifikasi citra ditunjukkan bahwa citra sentinel-1A tidak dapat mengkelaskan sawah yang sedang berair dan lahan terbuka.

Kata kunci: Cilacap, mangrove, Sentinel-1A, filter, erosi, segmentasi, klasifikasi

ABSTRACT- Existence of mangrove forest habitat in Cilacap district mostly located around Segara Anakan coast. Mangroves live in area between land and oceans, which have ecological functions of stabilizing coastal waters. Mangrove ecosystems are very sensitive and fragile, so that the information of mangrove forests presence reliable is needed to monitor and manage the remaining mangrove resources. The purpose of this research is to study and understand the satellite remote sensing data C-Band Synthetic Aperture Radar Sentinel-1A in detection of mangrove forests in Cilacap based on their physical characteristics. In this research, the first filtering process is carried out using mathematical morphology (erosion) in Sentinel-1A image with VH and VV polarization, then thresholding process to separate water from other objects. To distinguish mangrove with other objects segmentation is done by comparing a pixel by pixel neighbors in 3x3 windows. Based on the analysis of data texture, Sentinel-1A can be easy to recognize mangrove forests visually (more delicate texture than other vegetation) To determine the accuracy, classification is carried out and compared with classification result from Landsat data. Comparison of image classification results indicated that Sentinel-1A image can not classify rice field that was watery and open land

Key words: Cilacap, Mangrove, Sentinel-1A, Erosion filter, Segmentation, Classification

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki wilayah pesisir yang cukup luas dengan panjang garis pantai terpanjang ke empat di dunia. Selaras dengan wilayah pesisirnya yang luas, Indonesia menyimpan potensi sumber daya alam pesisir yang luar biasa dengan keanekaragaman ekosistemnya. Berbagai ekosistem seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria dapat ditemui di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, fungsi sosial, dan ekonomis serta fungsi fisik. Hutan mangrove merupakan daerah tempat hidup dan mencari makan (feeding ground) bagi berbagai organisme seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan mamalia. Selain itu, secara ekologis hutan mangrove juga menyediakan tempat yang sangat baik dan ideal bagi proses pemijahan (spawning ground) biota laut yang ada di dalamnya. Dari segi sosial ekonomi sungguh luar biasa potensi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, betapa butuhnya dunia akan Indonesia terkait perubahan iklim yang digembar gemborkan karena sumber daya kelautan yaitu kawasan hutan mangrove Indonesia menyusut dari 4.2 juta hektar pada tahun 1982 (FAO, 1982).

Page 2: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Arief, dkk.)

278

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut. Hutan mangrove di Kabupaten Cilacap meliputi area seluas sekitar 24.000 ha dan sebagian besar terdapat di sekitar Segara Anakan. Akan tetapi, keberadaan hutan mangrove di Cilacap sangat memprihatinkan karena ada yang baru beberapa tahun ditanam seperti tanaman Rhyzophora (a), ada yang sudah berumur 5-10 tahun jenis Bruguiera (b), ada yang dalam kondisi baik di bawah pengawasan PERHUTANI jenis Rhyzophora dan Sonneratia (c), Akan tetapi, sebagian besar sudah rusak akibat perbuatan manusia di sekitarnya (lihat Gambar 1.) di bawah ini.

(a) (b) (c)

Gambar 1. Mangrove di Cilacap

Hutan Mangrove memiliki fungsi ekologis di antaranya menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai. Ekosistem mangrove sangat sensitif dan rapuh sehingga informasi keberadaan hutan mangrove yang dapat dipercaya sangat diperlukan untuk memantau dan mengelola sumber daya mangrove yang tersisa. Teknologi yang dapat digunakan dengan murah dan dapat memberikan informasi dengan cepat dan akurat adalah teknologi satelit penginderaan jauh. Penggunaan citra penginderaan jauh satelit untuk memahami fenomena di permukaan bumi telah banyak dilakukan melalui analisis data yang direkam dengan sensor baik yang diproses secara visual maupun digital. Proses analisis dan pemodelannya sering kali melibatkan teknologi atau informasi lain yang erat kaitannya seperti SIG atau informasi data lapangan sehingga informasi yang dihasilkan mempunyai referensi spasial dan memungkinkan pengguna dapat melakukan aktivasi data sesuai keperluan, menganalisis, serta memodelkannya untuk menurunkan informasi baru yang dibutuhkan.

Sistem penginderaan jauh aktif adalah sistem yang menghasilkan data disebut dengan citra SAR (Synthetic Aperture Radar). Penggunaan citra SAR untuk pendeteksian penutup lahan (khususnya pendeteksian mangrove) belum banyak digunakan karena citra SAR hanya memberikan informasi tentang kekasaran objek dan juga hanya mempunyai mono polarisasi (single polarization). Akan tetapi, pada dekade akhir ini penggunaan citra SAR telah mulai banyak digunakan karena data SAR tidak terganggu oleh tutupan awan/cloud cover, mempunyai resolusi spasial berorde meter, juga mempunyai dual polarization atau lebih (Kuenzer dkk., 2011).

Beberapa model pemerosesan citra SAR telah dibangun untuk menurunkan informasi karakteristik fisik (kekasaran) penutup permukaan objek vegetasi (Rao, dkk., 1999), memberikan informasi struktur dan parameter mangrove (Simard dkk., 2006) serta memberikan informasi tentang signature dan total biomassa (Proisy dkk., 2000, Proisy dkk., 2003). Model-model di atas, berkontribusi pada pemahaman citra radar (nilai backscatter) yang diakibatkan oleh interaksi antara gelombang mikro dan kanopi vegetasi, dengan memperhitungkan sudut datang radar, panjang gelombang, polarisasi, dan lapisan yang berada di sekitar pohon misalnya tanah atau air (Ulaby dkk., 1990, Sun 1990, Wang dan Imhoff 1993, Wang 2010). Dengan bertambahnya sistem polarisasi radar (dari mono menjadi multi polarisasi), maka metode pemerosesan data citra SAR berkembang antara lain: Metode Normalized Difference Polarization Index (NDPI) dari dual polarization untuk meningkatkan perbedaan visualisasi objek di permukaan bumi khususnya objek geologi (Cao dkk., 2008). Metode koreksi radiometrik dan geometrik dengan ortho rektifikasi dari koreksi data slope serta koreksi intensitas dari mozaik data PALSAR untuk pemantauan lingkungan global (Shimada dan Ohtaki, 2010). Metode penggunaan matriks kookurensi dan Normalized Difference Polarization Index untuk menurunkan informasi keruangan dengan menggunakan data polarisasi tunggal ALOS-SAR L-band dengan resolusi 10 m (Kushardono 1998; Kushardono 2012).

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai hutan mangrove terluas provinsi Jawa Tengah (White dkk., 1989). Hutan Mangrove di Kabupaten Cilacap meliputi area seluas sekitar 24.000 ha dengan porsi terbesar berada di sekitar Segara Anakan seluas 21.185ha (lihat Gambar 2.1.b), dengan sebaran hutan pasang surutnya sekitar 14.100 ha (Sunaryo, 1982). Mangrove adalah hutan yang terdapat di

Page 3: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

279

daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga, yaitu: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).

Berdasarkan wilayah/posisi tumbuhnya, maka wilayah mangrove di Segara Anakan dibagi dalam 2 kelompok (sebelah barat dan timur). Sebelah barat didominasi dengan kelompok mangrove asosiasi yaitu mangrove asosiasi: kelompok mangrove yang bersosiasi (ikutan) dengan jenis mangrove mayor dan minor sedangkan sebelah timur didominasi dengan mangrove sejati (kelompok mangrove yang membentuk tegakan murni/mayor) dan mangrove minor (kelompok mangrove yang tidak mendominasi struktur dan komunitas mangrove).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari serta memahami data satelit penginderaan jauh SAR dalam mendeteksi hutan mangrove berdasarkan karakteristik fisiknya. Algoritma dibangun dengan melakukan berbagai jenis filter pada signal 1 dimensi, lalu memilih filter dengan tujuan untuk memastikan jenis filter yang sesuai dengan citra Sentinel-1A, lalu dilakukan filter dengan filter erosi dengan alasan mempunyai standard deviasi lebih kecil dibandingkan dengan lainnya. Filter erosi diaplikasikan untuk kedua citra VH dan VV, setelah itu dilakukan thresholding tahap pertama dengan tujuan untuk memisahkan air dengan objek lainnya karena data polarisasi VH dan VV tidak koheren, maka identifikasi mangrove digunakan dengan metode klassifikasi supervised. Hasil klasifikasi supervised ini dibandingkan dengan menggunakan data Landsat.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra satelit sentinel-1A panjang gelombang C-SAR (C-band Synthetic Aperture Radar) dengan resolusi spasial 10 m yang direkam pada tanggal 8 Maret 2015 dan data satelit Landsat yang direkam pada tanggal 20 Mei 2015. Pengamatan lapangan pada tanggal 11 sampai dengan 18 Agustus 2015.

2. METODE

Penelitian ini dilakukan di wilayah Segara Anakan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah, khususnya Kecamatan Jeruk Legi, Desa Kawunganten, peta Kabupaten Cilacap dan sekitarnya (Gambar 2). Data yang digunakan pada penelitian ini adalah: citra SAR dari satelit Sentinel-1 yang direkam tanggal 8 Maret 2015 dengan polarisasi VH (Vertical Horizontal) dan VV (Vertical Vertical) dan citra Landsat-8 yang direkam pada tanggal 20 Mei 2015. Citra Landsat dapat dilihat pada Gambar 3a. sedangkan citra sentinel dengan polarisasi VV dapat dilihat pada Gambar 3b. Survei lapangan untuk pengukuran reflektansi menggunakan spektrofotometer yang dilakukan dari tanggal 11 sampai dengan 18 Agustus 2015.

(a)

Peta Kabupaten Cilacap dan sekitarnya (sumber: White dkk., 1989)

(b)

Sebaran Mangrove di Segara Anakan (Sumber: ECI, 1987)

Gambar 2. Peta Kabupaten Cilacap dan Hutan Mangrove Segara Anakan

Alat yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah: GPS Trimble Juno 3B yang berfungsi sebagai pengukur posisi titik pengukuran, camera DSLR, Spektrometer Ocean Optics HR4000 CG-UV-NIR yang berfungsi sebagai alat pengukur reflektansi pohon sedangkan software pengolahan data yang digunakan adalah ER Mapper, ENVI IDL 4.7 dan 5.0 untuk pemerograman IDL, pemerosesan citra, dan menyajikan output

Page 4: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Arief, dkk.)

280

pemrosesannya. Skema umum dari algoritma untuk pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 5. Secara umum pengolahan dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu: a) Melakukan koreksi geometrik untuk citra Landsat-8 dan citra Sentinel-1A agar kedua citra dapat

mempunyai koordinat yang sama dengan koordinat peta. b) Melakukan filtering erosi untuk menghilangkan speckle pada citra Sentinel-1A kemudian proses

thresholding untuk memisahkan air dengan objek lainnya setelah itu dilakukan segmentasi. c) Mengintegrasikan data lapangan ke dalam citra untuk melakukan training area kemudian proses

klasifikasi untuk citra Landsat-8 dengan mengikutsertakan band 4,5,6 sedangkan untuk citra Sentinel mengikutsertakan citra original, citra segmentasi kedua polarisasi, dan penjumlahan antara polarisasi VH dan VV dan penjumlahan citra hasil segmentasi VV dan VH.

(a) Citra Landsat-8 Direkam Tanggal 20 Mei 2015

(b) Citra Radar dari Satelit Sentinel-1A dengan

Polarisasi VV, Tanggal 8-3- 2015 Gambar 3. Citra Landsat-8 dengan RGB 564 dan Citra Sentinel 1-A

Citra SAR sebetulnya masih sulit diinterpretasi dibandingkan dengan citra optis (kasischke dkk., 1997)

dikarenakan intensitas signal yang ditangkap sensor yang disebut koefisien backscatter (σ°) in decibels (dB) diakibatkan oleh bermacam konfigurasi, berbagai polarisasi, berbagai sudut datang mengakibatkan permukaan yang sama akan menghasilkan koefisien backscatter yang berbeda. Interaksi antara radiasi dan sifat internal pohon/permukaan objek akan menghasilkan singal backscatter tertentu. Artinya, singal backscatter akan dipengaruhi oleh komponen internal dan eksternal objek, misalnya, kadar air yang mempengaruhi konstanta dielektrik bahan, struktur sel, dan sebagainya serta komponen eksternal lainnya yang dipengaruhi oleh mekanisme signal tersebut dihamburkan, misalkan ukuran, geometri, dan orientasi daun, batang, cabang, serta udara atau akar panggung (Kuenzer dkk., 2011). Mekanisme hamburan balik signal radar pada lahan basah disederhanakan menjadi empat kategori, yaitu: hamburan balik permukaan, volume backscattering, pantulan hamburan balik ganda, dan hamburan spekular (Wang, 2010).

Gambar 4. Skematik yang Menunjukkan Kontribusi dari Hamburan Balik Radar. (a) Hamburan Balik yang

Diakibatkan oleh Pohon Tinggi (b) Hamburan Balik yang Diakibatkan oleh Pohon yang Pendek. yang Terdiri Dari: Surface backscattering, Volume backscattering, Double-bounce

backscattering, Specular scattering (Wang, 2010)

Page 5: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

281

Gambar 4 menunjukkan bahwa struktur lapisan vegetasi yang berbeda mempengaruhi intensitas signal backscatter radar. Untuk hutan basah hamburan balik kadang kala didominasi oleh bagian atas pohon tinggi saja (over story of dominant tree species) atau kadang kala didominasi oleh pohon pendamping seperti semak dan rumputan yang berada di bawah pohon (ground layer of herbaceous plants). Oleh karena itu, signal radar yang mengenai hutan lebat, dihamburkan oleh permukaan kanopi, dan sebagian kecil dari energi dikembalikan ke antena. Fenomena ini adalah yang disebut surface backscattering (lihat Gambar 4a-1). Gelombang radar tersisa menembus ke dalam dan berinteraksi dengan volume vegetasi dan sebagian dari energi dikembalikan ke antena hal ini disebut volume backscattering (lihat Gambar 4a-2). Dalam banyak hal, volume backscatering tidak hanya diakibatkan oleh bagian atas tumbuhan (over story of tree species) akan tetapi, juga dapat didominasi oleh bagian tumbuhan yang hidup di bawah pohon tersebut (under story of companion trees) disebut double bounce backscatter (lihat Gambar 4a-3). Gelombang Double-bounced backscattering mempunyai energi lebih kecil dibandingkan volume backscattering.

Lain halnya dengan kanopi dari tumbuhan tidak lebat dan pohonnya pendek (herbaceous canopies) sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4b, gelombang SAR sering dapat menembus vegetasi dan kadang kala sampai ke permukaan tanah (tergantung pada kerapatan vegetasi). Jika tumbuhannya rapat, maka signal backscattering hanya akan dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi saja, signal backscatter disebut volume backscatter (lihat Gambar 4b-1) akan tetapi jika tumbuhannya jarang, maka signal yang dikembalikan disebut Double-bounced backscattering (lihat Gambar 4b-2) sedangkan apabila tumbuhannya terendam air, maka signal backscatter radar jauh lebih kecil/melemah atau seluruhnya dihamburkan menjauhi sensor. Hamburan semacam ini disebut specular backscattering (lihat Gambar 4b-3). Jika tanah tersebut basah, konstanta dielektrik tinggi dari tanah mengurangi transmisi radar gelombang dan meningkatkan kembali hamburan balik.

Matematika Morfologi (MM) lahir pada tahun 1964 dari karya kolaboratif G. Matheron dan J. Serra, di École des Mines de Paris, Perancis dengan tujuan untuk kuantifikasi karakteristik mineral berpenampang tipis. Karya ini menghasilkan pendekatan praktis baru, serta kemajuan teoritis dalam geometri integral dan topologi. Matematika Morfologi adalah teori dan teknik pengolahan citra untuk analisis struktur geometris yang didasarkan teori set. MM ini paling sering diterapkan ke gambar digital tetapi dapat digunakan juga pada grafik, jerat permukaan, padatan, dan banyak struktur spasial lainnya.

Operasi dasar adalah pergeseran-invarian yang disebut dengan dilasi dan erosi. Andaikan citra dengan fungsi gray scale Ψ (x) dan fungsi elemen struktur b (x), dilasi dan erosi grayscale dari Ψ oleh b diberikan oleh:

……………………………………………………(1)

dimana "sup" dan Inf menunjukkan suprieur dan inferieur dari fungsi Ψ (X) dan E adalah R2. dan transformasi topi atas (transformation of hat top) dapat didefinisikan sebagai berikut:

......................................................................(2)

Skema umum identifikasi mangrove menggunakan Sentinel-1 A ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Skema Umum Identifikasi Mangrove Menggunakan Sentinel-1A

Page 6: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Arief, dkk.)

282

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui sifat fisik dari masing-masing permukaan objek, khususnya mangrove, maka dilakukan pengamatan nilai amplitudo/digital number citra. Dalam hal ini, dilakukan tracing horizontal pada citra. Hasil tracing untuk tiap piksel baik untuk polarisasi VH atau VV dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6a adalah citra dengan polarisasi VH yang dilakukan tracing yang melewati daerah mangrove, semak belukar, dan air sedangkan Gambar 6b adalah nilai digital number dari piksel yang dilewati tracing line. Gambar 6b memperlihatkan bahwa nilai digital number dari air selalu lebih kecil dari 0,02 (nilai DGair

<0,02). Hal ini menandakan bahwa pada permukaan air sungai terjadi hamburan spekular (specular scattering) karena hampir seluruh energi yang datang ke permukaan air dihambur/direfleksikan menjauhi sensor, akibatnya nilai digital number dari air khususnya air sungai lebih kecil dari 0,02. Berdasarkan hal diatas, maka air dapat dengan mudah dibedakan dari objek lainnya (tanah dan vegetasi).

Gambar 6b menunjukkan nilai digital number/amplitudo backscatter untuk mangrove minimumnya 0,01 dan maksimumnya 0,24 (0,1<DGmangrove<0,25), begitu pula dengan nilai digital number/amplitudo bakscatter dari campuran tegalan/ladang/semak belukar minimumnya 0,08 dan maksimumnya 0,24 (0,08 <DGtegalan<0,24). Nilai digital number/amplitudo backscatter untuk bangunan (man made) nilai minimumnya 0,1 dan maksimumnya 0,32 (0,1<DGmm<0,32). Dengan demikian, berdasarkan nilai digital number backscatter, mangrove sangat sukar dibedakan dari semak belukar, begitu pula antara mangrove tidak mudah dibedakan dengan objek perkotaan (man made).

(a)

Tracing line dari Citra Radar Sentinel-1A Polarisasi VH

(c)

Grafik Nilai Digital Backscattering Gambar (a) dan (b)

(b)

Tracing line dari Citra Rdar Sentinel-1 Polarisasi VV

(d) Grafik Nilai Digital Backscattering Hasil Operasi

Aritmatika Antara VV dengan VH

Gambar 6. Citra dengan Tracing Line dan Nilai Digital Number dari Tiap Piksel

Page 7: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

283

Gambar 6a dan 6b adalah citra dengan polarisasi VH dan VV dengan masing-masing tracing line melewati daerah mangrove, semak belukar, dan air. Gambar 6c dan 6d adalah nilai digital number dari piksel yang dilewati tracing line dari citra dengan polarisasi VH dan VV dan hasil operasi aritmatikanya.

Gambar 6c memperlihatkan bahwa secara keseluruhan nilai digital number VV lebih besar dibandingkan dengan nilai digital number VH. Nilai digital number air dari VH lebih kecil dari 0,01 (nilai N-VHair <0,01) dan nilai digital number air dari VV lebih kecil dari 0,06 (nilai N-VVair <0,06). Hal ini menandakan bahwa ada sebagian energi VV yang direfleksikan ke arah sensor lebih besar dari pada VH. Gambar 4.1c menunjukkan nilai backscatter objek secara keseluruhan pada citra dengan polarisasi VH lebih kecil dari 0,5 sedangkan pada citra dengan polarisasi VV, nilai backscatter mangrove minimumnya 0,01 dan maksimumnya 0,8 (0,1 <N-VVmangrove<0,8), begitu pula dengan nilai digital number bakscatter dari campuran tegalan/ladang/semak belukar minimumnya 0,08 dan maksimumnya 2,4 (0,08<DGtegalan<2,4). Nilai digital number backscatter untuk bangunan (man made) nilai minimumnya 0,1 dan maksimumnya 2,5 (0,1<DGmm<2,5). Dengan demikian, berdasarkan nilai backscatternya mangrove sangat sukar dibedakan dari semak belukar, begitu pula mangrove tidak mudah dibedakan dengan objek perkotaan (man made).

Gambar 6d adalah nilai backscatter dari operasi aritmatika (penjumlahan vektor, penambahan, dan pengurangan) antara citra dengan polarisasi VH dengan VV. Gambar tersebut menunjukkan bahwa hasil penjumlahan vektor berhimpit dan nilainya lebih kecil dengan hasil pertambahan antara VH dengan VV. Jika nilai digital number diamati pada line yang ke 1296 untuk citra radar dengan polarisasi VH maupun VV maka hasil pengamatannya dapat dilihat pada Gambar 6a. Pada Gambar 6a di atas menunjukkan bahwa untuk nilai digital number backscatter air VH berhimpit dengan nilai digital number backscatter air VV. Hal ini menandakan bahwa energi yang datang pada permukaan air baik VH maupun VV terjadi specular scattering sedangkan untuk vegetasi dan objek perkotaan, nilai backscatter VH secara keseluruhan jauh lebih kecil dari pada VV. Jika kedua nilai tersebut dikurangkan (VV-VH) maka diperoleh nilai seperti Gambar 6d.

Gambar 6d menunjukkan hasil pengurangan nilai backscatter VV dengan VH dengan nilai minimumnya -0,0449 dan nilai maksimumnya 2,49 (-0,0449 <X<2,49). Hasil pengurangan yang bernilai negatif terjadi pada mangrove, semak belukar/perkebunan juga pada permukaan air sebagai mana ditunjukkan pada Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Pengurangan VV dengan VH yang Bernilai Negatif

No. Piksel Nilai Backscatter

Objek VH VV VV-VH

1503 0.14743 0.102833 -0.0446 Semak Belukar

1543 0.049071 0.028485 -0.02059 Tegalan

1731 0.091016 0.074067 -0.01695 Tegalan

1805 0.074067 0.058863 -0.0152 Mangrove

1879 0.013464 0.007851 -0.00561 Mangrove

1880 0.013464 0.012979 -0.00049 Air

1881 0.016562 0.013958 -0.0026 Air

1963 0.217384 0.209586 -0.0078 Mangrove

1966 0.115371 0.070662 -0.04471 Mangrove

1974 0.153982 0.14261 -0.01137 Mangrove

1980 0.064092 0.037672 -0.02642 Mangrove

2001 0.013464 0.004277 -0.00919 Tepi Sungai

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai negatif terjadi pada piksel dimana vegetasi yang tidak terlalu tinggi,

berair, dan jarak antara tumbuhan satu dengan lainnya jarang (vegetasi jarang). Akibatnya, pada piksel tersebut terjadi double-bounce backscattering untuk gelombang/energi VV, akan tetapi pada VH tejadi hamburan volume. Gelombang Double-bounced backscattering mempunyai energi lebih kecil dibandingkan dengan hamburan balik volume (volume backscattering; Wang, 2010). Dengan demikian, nilai hasil pengurangan pada piksel tersebut negatif. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk operasi aritmatika antar polarisasi (pengurangan, penjumlahan, perkalian, atau pembagian) tidak mempunyai arti fisis yang signifikan artinya bentuk/pola dari nilai bakscatternya hampir sama dengan distribusi nilai aslinya.

Page 8: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Arief, dkk.)

284

Oleh karena itu, dilakukan operasi filtering dengan tujuan untuk mengurangi specle yang terdapat pada citra. Operator filtering yang dicoba adalah: operator morfologi (erosi, dilasi), low pass, median, thresholding adaptatif, dan median serta operator Lee. Hasil dari percobaan filtering tersebut pada signal backscatter hasil tracing line satu dimensi dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7a adalah nilai backscatter dari transect line yang terdiri dari objek kebun masyarakat, mangrove, dan air. Gambar tersebut sangat susah diamati fluktuasi secara spasial apalagi mengamati efek dari proses filteringnya. Oleh karena itu, untuk dapat mengamati ditribusi spasialnya serta fluktuasinya maka nilai backscatter dipisahkan menurut objeknya (kebun, mangrove, dan air). Gambar 7b adalah efek dari filter untuk vegetasi non mangrove dan efek beberapa jenis filternya. Backscatter non mangrove bernilai lebih besar 0 dan lebih kecil dari 1,6 (0<NB<1,6) kecuali untuk hasil filter dari transformasi topi atas (transormatin of hat top). Gambar 7c merupakan distribusi nilai backscatter untuk mangrove dan efek dari beberapa jenis filternya. nilai backscatter untuk mangrove berkisar antara nol sampai dengan 0,6 (0<NB<0,6). Gambar 7d adalah nilai backscatter dari air dan beberapa efek filternya. Nilai backscatter jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai backscatter vegetasi, dengan kisaran nilai dalam interval nol sampai dengan 0,08 (0≤ NB≤ 0,08).

Pada Gambar 7, objek air mempunyai nilai backscatter lebih kecil karena pada objek terjadi specular scatter sedangkan pada objek mangrove mempunyai nilai backscatter lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi kebun karena pada objek mangrove di Segara Anakan pohonnya masih pendek dan ditambah tumbuhan deris (sejenis pohon merambat) sehingga pada objek terjadi surface scattering sedangkan pada objek vegetasi kebun, dimana pohonannya tinggi dan jarang, maka akan terjadi volume backscattering.

Efek dari filtering pada Gambar 7 b,c,d memperlihatkan bahwa efek dari beberapa filtering diantaranya filter lee menghilangkan riple (osilasi kecil) suatu signal tetapi menjaga speckle, bila nilai speckle jauh lebih besar dari nilai piksel tetangganya (bernilai 0,6). Efek filter low pass menghilangkan speckle tetapi filter tersebut menghasilkan efek blurring/kabur pada citra. Efek filter median menghilangkan speckle dan tidak mengakibatkan efek blurring pada citra. Filter morfologi menggunakan operator erosi akan menghilangkan speckle bila terjadi pada region dimana nilai tetangganya minimum tetapi bila nilai tetangganya tidak minimum maka nilai speckle diganti dengan nilai backscatter dari tetangga terdekatnya.

(a)

Nilai backscatter dari transect line

(b)

Nilai backscatter untuk kebun

(c)

Nilai backscatter untuk mangrove

(d)

Nilai backscatter untuk air

Gambar 7. Efek Filtering pada Nilai Backscatter VV dari Gambar 6

Page 9: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

285

Tabel 2. Nilai Variance dan Standard Deviasi Dari Masing-Masing Filter

Jenis Objek VV Min Max TTA Low Pass Median Threshold LEE

Campuran-Var 0.020121 0.020121 0.283064 0.074075 0.083105 0.07143 0.080657 0.127084

Campuran-Stdev

0.357763 0.14185 0.532038 0.272168 0.28828 0.267264 0.284002 0.356488

Kebun-Var 0.096075 0.01212 0.141636 0.076193 0.03111 0.027446 0.046628 0.095445

Kebun-Stdev 0.30996 0.110092 0.376346 0.276031 0.176379 0.165669 0.215936 0.308941

Mangrove-Var 0.012306 0.003709 0.012182 0.010055 0.004133 0.003786 0.006111 0.012286

Mangrove=Stdev

0.110934 0.060903 0.110374 0.100275 0.064292 0.061531 0.078171 0.110843

Air-Var 0.000273 6.55E-05 0.00126 0.000228 0.000159 0.000142 0.000161 0.000273

Air-Stdev 0.01651 0.008094 0.035496 0.015085 0.012613 0.0119 0.012682 0.016509

Untuk menentukan jenis filter yang dianggap baik atau sesuai untuk menghilangkan speckle, maka dilihat

nilai variance dan standard deviasi dari masing-masing filter (erosi, dilasi, low pass, median, threshold adaptatif, dan Lee). Hasil perhitungan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 di bawah ini. Berdasarkan nilai variance tabel tersebut, jika diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar adalah: filter minimum, median, threshold, low pass, Lee, dan filter maksimum. Oleh karena itu, sebelum dilakukan segmentasi citra, dilakukan terlebih dahulu filtering dengan menggunakan filter minimum.

Berdasarkan nilai tabel tersebut di atas, maka citra diproses menggunakan filter erosi kemudian hasil proses tersebut dilakukan thresholding untuk memisahkan air dengan objek lainnya. Persamaan untuk memfilter citra kemudian dilakukan thresholding dapat dituliskan dalam persamaan 3 di bawah ini.

……..……(3)

Nilai threshold (T) diperoleh dari pegamatan nilai piksel transect line dimana nilai threshold untuk polarisasi VH dan VV berturut-turut adalah 0,01 dan 0.05. Arti harfiah dari persamaan di atas, bila nilai hasil inferieur (Inf) lebih kecil dari nilai T, maka citra akan disegmen atau dikelaskan sebagai air (background) dengan nilai piksel sama dengan nol. Jika tidak, maka piksel akan dikelaskan ke objek dengan nilai piksel tetap (sesuai dengan hasil proses). Hasil dari erosi menggunakan ukuran windows 3x3. Hasil dari persamaan di atas dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.

Gambar 8 adalah citra hasil proses filtering erosi pada citra dengan polarisasi VH dan VV. Pada Gambar 4.4a dan Gambar 4.4b adalah citra hasil proses erosi dari citra radar dengan polarisasi VH dan VV yang digabungkan dengan pengamatan. Pada Gambar 4.4a memperlihatkan bahwa kekasaran antara objek mangrove dengan vegetasi ataupun dengan objek man made lainnya tidak dapat dibedakan, begitu juga pada Gambar 4.2b memperlihatkan bahwa ada sebagian vegetasi maupun man made yang mempunyai kekasaran dengan mangrove. Akan tetapi, objek air pada polarisasi VH maupun VV secara keseluruhan dapat dipisahkan dengan baik sekali walaupun banyak objek mangrove yang dikelaskan ke dalam air. hal ini disebabkan bagian bawah mangrove tersebut terendam oleh air. Gambar 4.4c dan Gambar 4.4d. adalah visualisasi hasil proses filter erosi. Hasil proses filtering memeperlihatkan bahwa interval backscattering mangrove pada polarisasi VH berkisar 0.009 sampai dengan 0.02 sedangkan interval backscattering mangrove pada polarisasi VV berkisar 0.009 sampai dengan 0.1. Akan tetapi, baik polarisasi VH maupun VV masih sangat sulit untuk membedakan vegetasi mangrove dengan non-mangrove hanya berdasarkan nilai backscatteringnya saja.

Page 10: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Arief, dkk.)

286

(a)

Citra Sentinel-1A VH Hasil Proses Erosi

(c)

Citra Sentinel-1A VH Hasil Proses Erosi

(b)

Citra Sentinel-1A VV Hasil Proses Erosi

(d) Citra Sentinel-1A VV Hasil Proses Erosi

Gambar 8. Citra Sentinel-1A Hasil Proses Filter Erosi Kemudian, untuk masing-masing citra polarisasi VH dan VV dilakukan segmentasi citra. Proses ini

dilakukan dengan cara membandingkan piksel dengan rata-rata piksel tetangga terdekatnya. Proses segmentasi tersebut dapat dituliskan dengan persamaan 4 di bawah ini.

………………………………………………………(4)

Citra hasil proses segmentasi yang divisualisasi dengan density slicing dapat dilihat pada Gambar 9 di

bawah ini. Gambar 9a adalah citra hasil segmentasi dengan polarisasi VH. Gambar tersebut menunjukkan bahwa mangrove jarang dan selalu terendam air ditunjukkan dengan warna hijau sedangkan mangrove rapat ditunjukkan dengan warna violet (purple). Gambar 9b adalah citra hasil segmentasi dengan polarisasi VV. Gambar tersebut menunjukkan bahwa mangrove jarang dan selalu terendam air ditunjukkan dengan warna hijau. secara umum Gambar 9 menunjukkan bahwa citra satelit radar sentinel-1A hanya bisa dapat digunakan untuk menginterpretasi beberapa objek yaitu: mangrove, vegetasi, pemukiman, industri, lahan terbuka, dan air.

Page 11: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

287

(a)

Citra Sentinel-1A VH Hasil Proses Threshold

(b)

Citra Sentinel-1A VV Hasil Proses Threshold

Gambar 9. Citra Sentinel-1A Hasil Proses Thresholding

Untuk mengetahui akurasi hasil deteksi tersebut dilakukan klasifikasi supervised dengan training area yang

sama dengan data Landsat. Hasil klasifikasi Citra Landsat dan citra sentinel-1A dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.

(a) Hasil Klasifikasi Supervised Citra Landsat-8

(b) Hasil Klasikasi Supervised Citra Sentinel-1A

Gambar 10. Luasan Objek yang Diturunkan dari Citra Landsat-8 dan Sentinel-1A Pada Gambar 10a adalah citra Landsat hasil klasifikasi supervised. Gambar tersebut menunjukkan bahwa

citra Landsat mampu membedakan objek di darat menjadi 8 kelas yaitu: vegetasi, mangrove, sawah, galian/galian tambang, pasir, industri, pemukiman, dan lahan terbuka. Gambar tersebut menunjukkan bahwa hutan mangrove di Kabupaten Cilacap terkonsentrasi di daerah aliran sungai dan di Segara Anakan. Gambar 10b adalah citra Sentinel-1A hasil klasifikasi supervised, yang menunjukkan bahwa citra Sentinel-1A hanya dapat mengkelaskan objek di darat ke dalam 6 kelas yaitu: vegetasi, mangrove, galian/galian tambang, industri, pemukiman, dan sawah. Pada gambar tersebut juga menunjukkan bahwa mangrove yang dikelaskan tidak hanya terkonsentrasi di daerah aliran sungai dan di Segara Anakan tetapi tersebar secara sporadis di daerah perbukitan yang merupakan wilayah daerah perkebunan dan pemukiman.

Perbedaan hasil klasifikasi antara citra Landsat dengan citra Sentinel dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Pada Tabel 3 tersebut memperlihatkan bahwa citra Sentinel tidak dapat mengkelaskan objek sawah (karena objek sawah dikelaskan ke dalam kelas air), begitu objek lahan terbuka dikelaskan ke dalam objek pemukiman. Selain itu, dapat dilihat bahwa perbedaan luas antara citra Landsat dengan Sentinel-1A berbeda jauh ini disebabkan ada sebagian objek sawah dan pasir dikelaskan ke dalam objek pasir.

Page 12: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Aplikasi Data Satelit Radar Sentinel-1A Guna Deteksi Hutan Mangrove Studi Kasus: Segara Anakan, Kabupaten Cilacap (Arief, dkk.)

288

Tabel 3. Luasan Objek yang Diturunkan dari Citra Landsat-8 dan Sentinel-1A

Nama Objek Luasan hasil klasifikasi

Landsat-8 (ha) Sentinel-1A (ha) Perbedaan luas

air 24179.384 25491.692 - 1312.3o8

awan 2329.275 + 2329.275

industri 48.69 510.428 - 461.738

lahan terbuka 107.94 + 107.94

mangrove 13842.709 19245.298 - 5403.294

non vegetasi/ lahan galian 390.484 4652.992 - 132.816

pasir 847.707 +847.707

pemukiman 847.707 3539.958

sawah 5379.991 4790.306 589.685

vegetasi 19298.426 8315.391 + 18983.035

Jumlah 66524.003 66546.064

4. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis teksturnya maka data Sentinel-1A dapat dengan mudah untuk mengenali hutan mangrove secara visual (tekstur lebih halus dibandingkan dengan vegetasi lainnya) dan analisa objek menggunakan citra radar tidak bisa hanya menggunakan satu polarisasi atau 2 polarisasi, melainkan harus menggunakan dua polarisasi atau lebih.

Berdasarkan perbandingan hasil klasifikasi citra ditunjukkan bahwa citra sentinel-1A tidak dapat mengkelaskan sawah yang sedang berair dan lahan terbuka.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan citra radar, teknologi satelit penginderaan jauh radar menawarkan keuntungan yang cukup besar dalam studi mangrove dan telah menjadi alat yang berguna untuk memantau perubahan ekosistem mangrove. Output dari analisis citra satelit bisa digunakan sebagai informasi dasar dalam konservasi perencanaan dan kebijakan. Untuk memastikan keakuratan analisis, faktor penting seperti spektral dan resolusi spasial dan teknik klasifikasi citra harus menjadi pertimbangan utama.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kapusfatja dan Kepala Bidang Program dan Fasilitas Pusfatja yang telah membantu dalam mengerjakan penyelesaian kegiatan ini. 6. DAFTAR PUSTAKA

CAO Yun., G., YAN Li., J., dan Zheng Ze. Z. (2008). Extraction of Information on Geology Hazard from Multipolarization SAR Image, The International archive of photogrametriy, remote sensing and spatial information sciences, Vol. XXXVII. Part B4, 1529-1532.

ECI (Engineering Consultants, Inc.). (1987). SEGARA ANAKAN ENGINEERING MEASURES STUDY: MAIN REPORT. Ministry of Public Works, Directorate General of Water Resources Development, Republic of Indonesia.

FAO. (1982). Management and Utilization of Mangroves in Asia and the Pacific. (pp. 9 and 82-86). Paris: United Nations.

Kasischke, E., S.; Melack, J., M. dan Dobson, M., C. (1997). The Use of Imaging Radars for Ecological Applications-A Review. Remote Sensing Environment, 59(2), 141-156.

Kuenzer C., Bluemel A., Gebhardt S., Quoc V., T., dan Dech S. (2011). Remote Sensing of Mangrove Ecosystems: A Review. Remote Sens, 3(5), 878-928, doi: 10.3390/rs3050878.

Kushardono, D. (1998). Metode Klasifikasi Citra Satelit Radar untuk Identifikasi Penutup Lahan. Warta Inderaja, VIII (2), 36-44.

Page 13: 02 HALAMAN ISI PROSIDING SINASJA 2017sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2017/prosiding/33... · 2018. 4. 12. · 3(1'$+8/8$1 ,qgrqhvld phplolnl zlod\dk shvlvlu \dqj fxnxs oxdv

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

289

Kushardono, D. (2012). Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dengan Data SAR Dual Polarisasi Menggunakan Normalized Difference Polarization Index (NDPI). Jurnal Penginderaan jauh 9(1), 12-24.

Nybakken, J.,W. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Proisy, C., Mougin, E., Fromard, F., dan Karam, M., A. (2000). Interpretation of polarimetric Radar Signatures of Mangrove Forests. Remote Sensing. Environment, 71(1), 56-66.

Proisy, C., Mitchell, A., Lucas, R., Fromard, F., Mougin, E. (2003). Estimation of mangrove biomass using multifrequency radar data. application to mangroves of French Guiana and Northern Australia. Paper presented at the Proceedings of the Mangrove 2003 Conference, 20–24 May 2003, Salvador, Bahia, Brazil.

Rao, B.,R., Dwivedi, R.,S., Kushwaha, S.,P., Bhattacharya, S.,N., Anand, J.,B., dan Dasgupta, S. (1999). Monitoring the Spatial Extent of Coastal Wetland Using ERS-1 SAR Data. International Journal of Remote Sensing, 20, 1999 (13), 2509-2517.

Shimada M., dan Ohtaki T. (2010). Generating Large Scale High Quality SAR Mosaic Dataset: Aplication to PALSAR Data for Global Monitoring. IEEE Journal of selectted topics in applied earth observations and remote sensing, 3(4), 637-656.

Simard, M., Zhang, K.,Q., Rivera-Monroy, V.,H., Ross, M.,S., Ruiz, P.,L., Castañeda-Moya, E., Twilley, R.,R., dan Rodriguez, E. (2006). Mapping Height and Biomass of Mangrove Forests in Everglades National Park with SRTM Elevation Data. Photogrammetric. Engineering and. Remote Sensing, 72(3), 299-311.

Sun, G. (1990). Radar Backscattering Modeling of Coniferous Forest Canopies. (Ph.D. Dissertation), the University of California at Santa Barbara, United State.

Sunaryo. (1982). A floristic study of mangrove forest in Segara Anakan. Paper presented at the Workshop on Coastal Resources Management in Cilacap Region. Yogyakarta, Indonesia.

Ulaby, F., T., Sarabandi, K., McDonald, K., dan Dobson, M., C.(1990). Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS). International Journal of Remote Sensing, 11 (7), 1223-1253.

Wang, Y. dan Imhoff, M.,L. (1993). Simulated and Observed L-HH Radar Backscatter from Tropical Mangrove Forests. International. Journal of Remote Sensing, 14,1993(15), 2819-2828.

Wang Y. (2010), REMOTE SENSING OF COASTAL ENVIRONMENTS: published by CRC Press is an imprint of Taylor & Francis Group, an Informa business.

White, T., A., Martosubroto P., dan Sadorra M., S.,M. (1989). THE COASTAL ENVIRONMENTAL PROFILE OF SEGARA ANAKAN-CILACAP, SOUTH JAVA,INDONESIA, Published by: International Center for Living Aquatic Resources, Management on behalf of the Association of Southeast Asian Nations/United States, Coastal Resources Management Project.