spectrapoint.files.wordpress.com · web viewjika dibiarkan terus menerus keadaan ini dapat...
TRANSCRIPT
BAB IIISI
2.1 Psikologi ibu nifas yang melaksanakan Rawat gabung (rooming in)
2.1.1 Pengertian
Psikologi (psychology) secara umum adalah suatu studi yang mempelajari
tentang jiwa ( Pieter.Herri, 2011: 10)
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat – alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung selama kira – kira 6 minggu (Saifudin.Abdul Barry,2006).
Sedangkan Rawat gabung (rooming in) menurut Wikjosastro.dkk (2005 : 266)
ialah suatu sistem perawatan di mana bayi serta ibu dirawat dalam satu unit. Dalam
pelaksanaannya bayi harus selalu berada si samping ibu sejak segera setelah
dilahirkan sampai pulang.
Rawat gabung bukanlah konsep baru, tetapi salah satu konsep yang hilang dari
perawatan maternitas. Pada pertengahan tahun 1940 – an suatu pergerakan
membalikkan pemisahan ibu dan bayi, dan ibu dan bayi dari keluarganya ini dalam
Rumah sakit. Ketakutan bahwa rawat gabung menyebabkan peningkatan infeksi
ternyata tidak terbukti. Nyatanya malah mengurangi bahaya (varney, 2008:977).
Walaupun rawat gabung (rooming in) mempunyai manfaat yang sangat besar
bagi ibu dan bayi namun, tidak semua pasangan ibu dan bayi yang diperkenankan
untuk melaksanakan rawat gabung. Rawat gabung diperuntukkan bagi ibu yang
mampu menyusui dan bayi mampu untuk menyusui. (wikjosastro, 2005:268-269)
2.1.2 Tujuan rawat gabung pada ibu nifas ditinjau dari segi psikologi
1. Untuk Memberikan Bantuan emosional pada Ibu nifas
Setelah menunggu selama sembilan bulan dan setelah lelah dalam proses
persalinan si ibu akan sangat senang bahagia bila dekat dengan bayi. Si ibu dapat
membelai – belai bayi, mendengar tangis bayi, mencium – cium dan
memperhatikan bayinya yang tidur di sampingnya (Wikjosastro.dkk, 2005 : 266).
2. Untuk Meningkatkan bonding attachment antara Ibu nifas dan bayinya
Struktur terbaik yang mungkin di rumah sakit dalam memfasilitasi
perlekatan ibu – bayi, ikatan, menjadi orang tua, dan unit keluarga adalah rawat
gabung (varney,2008:977). Dengan rawat gabung, ibu dan bayi dapat segera
saling mengenal. Bayi akan memperoleh kehangatan tubuh ibu, suara ibu,
kelembutan dan kasih sayang (bonding effect) (Wikjosastro.dkk, 2005 : 266).
3. Untuk memberikan kesempatan pada Ibu nifas dalam menyusui bayinya setiap
saat serta belajar merawat bayinya
Rawat gabung merupakan situasi yang ideal untuk menyusui (karena ibu
dapat segera berespons saat bayi lapar dan menyusui), untuk melibatkan ayahnya,
dan mulai berperan sebagai orang tua.
Perawatan bayi adalah keterampilan dan seni yang dipelajari. Dalam
rawat gabung, ibu diberi pendidikan kesehatan tentang teknik menyusui,
memandikan bayi, merawat tali pusat, perawatan payudara dan nasihat makanan
yang baik (Wikjosastro.dkk,2005:266).
Bagi ibu baru yang belum berpengalaman dalam merawat bayinya, berada
di rumah secara mendadak dengan bayi yang ia tidak tahu bagaimana
merawatnya, dapat membuatnya syok. Rawat gabung membuat transisi dari rumah
sakit ke rumah secara bertahap dan alami sehingga tidak membuat ibu syok
(varney, 2008:978).
4. Untuk memberikan kesempatan pada ibu nifas untuk mengenal bayinya
Dengan menyusui dan merawat bayinya, ibu belajar untuk mengenal
bayinya dan bagaimana bayi berkomunikasi dengannya melalui gerakan tubuh dan
suaranya. Selain itu ibu juga mempelajari individualitas dan gaya komunikasi
bayinya. (varney, 2008:978).
2.1.3 Hal – hal penting yang harus diketahui dan diterapkan agar tidak terjadi masalah
psikologi pada ibu dan bayinya.
- Istirahat dan tidur yang cukup
Ibu nifas membutuhkan istirahat dan tidur yang cukup. Istirahat sangat penting
untuk ibu yang menyusui (Bahiyatun, 2009:82).
Rawat gabung bukan berarti bahwa bayi harus berada dengan ibunya setiap
menit pada saat ibu dirawat di rumah sakit, ataupun tidak berarti bahwa ibu memikul
semua tanggung jawabnya terhadap perawatan bayi. Dalam rawat gabung, staf
keperawatan tetap bertanggung jawab terhadap asuhan keperawatan baik pada ibu
maupun pada bayi. Ibu melakukan perawatan bayi jika ia inginkan dan jika ia
menunjukkan kemampuan untuk melakukannya. (varney, 2008:977).
Jika ibu kurang istirahat akan mengakibatkan kurangnya jumlah produksi ASI,
memperlambat proses involusi, memperbanyak pendarahan, menyebabkan depresi,
dan menimbulkan rasa ketidakmampuan dalam merawat bayinya (Bahiyatun,
2009:82).
- Ambulasi
Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk ibu, kecuali ada
kontraindikasi. Pada persalinan normal, sebaiknya ibu nifas turun dari tempat tidur
sedini mungkin (1 atau 2 jam) setelah persalinan. Ambulasi dini ini dapat mengurangi
kejadian komplikasi kandung kemih, konstipasi, trombosis vena puerperalis, dan
emboli pulmonal. Di samping itu, ibu merasa lebih sehat dan lebih kuat serta dapat
segera dalam merawat bayinya. Pada ambulasi pertama, sebaiknya ibu dibantu karena
pada saati ini biasanya ibu merasa pusing ketika pertama kali bangun setelah
melahirkan (Bahiyatun, 2009:76).
- Saat yang tepat dalam mengajari ibu nifas tentang keterampilan dalam merawat bayi
o 1 – 2 hari sesudah melahirkan, menurut Reva Rubin, ibu menjalani periode
taking in. Pada periode ini, ibu pada umumnya pasif dan tergantung,
perhatiannya tertuju pada kekhawatiran pada tubuhnya. Tidur tampa gangguan
sangat penting untuk mencegah gangguan tidur. (bahiyatun, 2009 :64). Pada
periode ini sebaiknya tenaga kesehatan tidak memaksakan ibu untuk mulai
mengasuh bayinya dan belajar bagaimana merawat bayinya.
o pada 2 – 4 hari sesudah persalinan ibu menjalani periode taking hold menurut
Reva Rubin (ada sumber yang mengatakan fase taking hold berlangsung pada
3 -10 hari setelah persalinan). Barulah keterampilan dalam merawat bayi
diajarkan pada ibu. Pada periode ini ibu menjadi perhatian pada
kemampuannya menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan tanggung
jawab terhadap janin. Ibu berusaha keras untuk menguasai keterampilan untuk
merawat bayi, misalnya menggendong dan menyusui. Ibu agak sensitif dan
merasa tidak mahir dalam melakukan hal tersebut, sehingga cenderung
menerima nasehat dari bidan karena ia terbuka untuk menerima pengetahuan
dan kritikan yang bersifat pribadi (Bahiyatun, 2009 :64).
- Pentingnya dukungan sosial (terutama dari suami dan keluarga) untuk mencegah
masalah – masalah psikologi yang mungkin timbul pada masa nifas. Dukungan suami
yang dimaksud disini berupa perhatian, komunikasi dan hubungan emosional yang
intim. Adapun dukungan keluarga yang dimaksud disini adalah komunikasi dan
hubungan emosional yang baik dan hangat dengan kedua orang tua, terutama ibu
(elvira.sylvia D, 2006:12-13)
2.1.5 Masalah psikologi yang sering terjadi
a. Ibu nifas mengalami frustasi, merasa tidak kompeten dan tidak mampu
mengendalikan situasi dalam merawat bayinya terutama dialami pada ibu primipara.
Cause
Ibu mengalami perubahan besar pada fisik dan psikologisnya. Mengalami
kegembiraan yang luar biasa akan kelahiran anaknya, menjalani proses eksplorasi
dan asimilasi realitas bayinya, berada di bawah tekanan untuk cepat menyerap
pembelajaran yang diperlukan tentang apa yang harus diketahuinya dan perawatan
untuk bayinya, dan merasa tanggung jawab luar biasa yang harus dipikulnya
sekarang menjadi nyata dan tuntutan ditempatkan pada dirinya sebagai seorang “ibu”
(varney, 2008:964).
Effects
Ibu mengalami sedikit perubahan perilaku dan sesekali merasa kerepotan.
Masa ini adalah masa yang rentan dan terbuka untuk bimbingan dan pembelajaran.
Pada saat yang sama, ibu baru mungkin frustasi karena merasa tidak kompeten dan
tidak mampu mengontrol situasi. Semua wanita mengalami perubahan ini, tetapi
intensitas dan koping terbaik apa yang dilakukan wanita tertentu terhadap perubahan
ini dapat bervariasi tergantung pada tempat ia tinggal. Jika dibiarkan terus menerus
keadaan ini dapat berlanjut sehingga terjadi apa yang dikenal Post partum Blues
(varney, 2008:964)
Treatment
Untuk mencegah terjadinya perasaan frustasi pada ibu diperlukan dukungan
sosial dari suami dan keluarga untuk membantu dalam merawat bayinya. Selain itu
diperlukan kesabaran dari tenaga kesehatan dalam mengajarkan keterampilan dalam
merawat bayi.
b. Post partum blues
Post partum blues adalah gangguan suasana hati yang sering terjadi dalam 14
hari yang dirasakan oleh wanita selama 3 – 6 hari dalam 14 hari pertama pasca
melahirkan, dimana perasaan ini berkaitan dengan bayinya (Mansur,
herawati,2009 :155).
Cause
- Faktor hormonal
- Faktor demografik, yaitu umur dan paritas
Umur yang terlalu muda untuk melahirkan, sehinngga dia memikirkan
tanggung jawabnya sebagai seorang ibu untuk mengurus anaknya.
Post partum blues banyak terjadi pada ibu primipara, mengingat dia
baru memasuki perannya sebagai seorang, tetapi tidak menutup kemungkinan
juga terjadi pada ibu yang pernah melahirkan, yaitu jika ibu mempunyai
riwayat post partum blues sebelumnya.
- Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan
- Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan, seperti tingkat
pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan serta
keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya (suami, keluarga dan teman)
- Kelelahan fisik karena aktifitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan,
mengganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang di malam
buta sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada bantuan dari suami
atau anggota keluarga yang lain (Mansur.herawati, 2009 :156).
Effect
Blues ditandai dengan gejala – gejala yang mirip dengan kondisi depresi,
antara lain mudah menangis, mudah tersinggung, sedih, adanya ketidakstabilan emosi
(pergantian emosi antara sedih, tersinggung, marah terjadi dalam waktu singkat)
(elvira.sylvia D, 2006:7) gejala post partum blues yang lain adalah kurangnya percaya
diri terhadap kemampuannya menjadi seorang ibu (Mansur.herawati, 2009 :156).
Treatment
1. Meningkatkan dukungan suami, keluarga dan tenaga kesehatan untuk
meringankan pekerjaan ibu nifas dan mendorong ibu nifas untuk banyak
beristirahat
2. Beritahu suami ibu mengenai apa yang sedang ibu rasakan. Mintalah
bantuannya untuk memberikan dukungan moril pada ibu
3. Lakukan komunikasi terapeutik dengan ibu untuk menghilangkan rasa cemas
dan kekhawatiran ibu akan kemampuannya merawat bayi
4. Bersikap lemah lembut, pengertian dan sabar ketika mengajarkan ibu bagaimana
cara merawat bayi (Mansur.herawati, 2009 :157).
c. Depresi post partum
Depresi post partum adalah suatu depresi yang ditemukan pada perempuan
setelah melahirkan yang terjadi dalam kurun waktu 4 (empat) minggu. Hal ini bisa
berlangsung beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tidak diatasi (Elvira, Sylvia
D. 2006 : 6).
Cause
Menurut Elvira, sylvia d (2006 : 12) Penyebab yang pasti hingga kini belum
diketahui dan masih terdapat dalam penelitian para ahli, namun terdapat beberapa
faktor yang diperkirakan mempengaruhi atau merupakan faktor resiko untuk
terjadinya depresi pasca persalinan. Faktor – faktor tersebut antara lain :
1. Rendahnya atau ketidakpastian dukungan suami dan keluarga
Dukungan suami yang dimaksud disini berupa perhatian,
komunikasi dan hubungan emosional yang intim. Ini merupakan faktor
yang paling bermakna menjadi pemicu terjadinya depresi pasca persalinan.
Adapun dukungan keluarga yang dimaksud adalah komunikasi dan
hubngan emosional yang baik dan hangat dengan kedua orang tua terutama
ibu. Alfiben dll dalam Elvira, sylvia d (2006 : 14) dari penelitiannya di RS
cipto Mangunkusumo – jakarta, melaporkan bahwa dukungan suami dapat
menurunkan terjadinya depresi pasca persalinan
2. Adanya masalah pada keadaan atau kualitas bayi (termasuk problem
kehamilan dan persalinan).
Problem yang dialami bayi menyebabkan sang ibu kehilangan
minat untuk mengurus bayinya tersebut. Problem yang dialami tersebut
antara lain adanya komplikasi kelahiran atau lahir dengan jenis kelamin
tidak sesuai dengan harapan, atau lahir dengan cacat bawaan.
3. Ketidaksiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu.
Kesiapan menjadi seorang ibu ternyata juga mempengaruhi
terjadinya depresi pasca persalinan. Pada perempuan yang hamil tidak
direncanakan (karena belum menikah atau pada ibu yang sudah menikah
namun sudah tidak menginginkan anak lagi karena berbagai alasan)
berkemungkinan mengalami depresi pasca persalinan lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan yang siap dan amat menantikan kelahiran
bayinya.
4. Stressor psikososial
5. Riwayat depresi sebelumnya atau problem emosional lainnya
6. Faktor hormonal
7. Faktor budaya
Effect
Gejala – gejala yang ditemukan serupa dengan gejala gangguan depresi pada
umumnya namun berkaitan dengan fungsi, peran dan tanggung jawab sebagai seorang
ibu, terutama dalam merawat dan mengurus bayinya. Pada ibu yang mengalami
depresi pasca persalinan, minat dan ketertarikan terhadap bayinya berkurang. Ia sering
tidak berespons positif terhadap komunikasi yang dilakukan bayinnya. Ibu yang
depresi juga tidak mampu merawat bayinya secara optimal. Ia juga tidak bersemangat
menyusui bayinya sehingga pertumbuhan dan perkembangan bayinya tidak seperti
bayi yang ibunya sehat. akibat lain depresi pasca persalinan yaitu hubungan antara
ibu dan bayi yang tidak optimal (elvira, Sylvia D. 2006 : 22).
Treatment
1. Dukungan psikologis dari suami dan keluarga serta bidan atau petugas kesehatan
lainnya
2. Istirahat yang cukup untuk mencegah dan mengurangi perubahan perasaan
3. Dukungan dari tenaga kesehatan seperti dokter obstetri dan bidan / perawat sangat
diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai / adekuat
tentang proses kehamilan dan persalinan.
Diperlukan dukungan psikolog atau konselor jika keadaa n ibu tampak sangat
menganggu. Dukungan bisa diberikan melalui keprihatinan dan perhatian pada ibu.
Selain itu ibu dapat mencari psikiater, psikolog dan ahli kesehatan mental lainnya
untuk melakukan konseling agar dapat menemukan cara dalam menanggulangi dan
memecahkan masalah serta menetapkan tujuan realistis (Elvira, Sylvia D. 2006 : 22).
2.2 Psikologi ibu nifas yang melaksanakan Baby Bounding
2.2.1 Pengertian
Bonding adalah masa sensitive pada menit pertama dan beberapa jam setelah
kelahiran dimana kontak ibu dan ayah ini akan menentukan tumbuh kembang anak
menjadi optimal (Ambarwati, 2010 :63).
Bonding sering dikaitkan dengan attachment menjadi bonding attachment.
Attachment adalah proses penggabungan berdasarkan cinta dan penerimaan yang
tulus dari orang tua terhadap anaknya dan memberikan dukungan asuhan dalam
perawatannya (ambarwati, 2010 :63).
Menurut Kannel dan kalus (1998) dalam ambarwati (2010 :63) menyatakan
bahwa bonding attachment dapat didefinisikan sebagai hubungan yang unik antara
dua orang yang secara spesifik dan bertahan seiring berjalannya waktu. Mereka juga
menambahkan bahwa ikatan orang tua terhadap anaknya dapat terus berlanjut bahkan
selamanya walau dipisah oleh jarak dan waktu dan tanda – tanda keberadaan secara
fisik tidak terlihat.
2.2.2 Tujuan baby bounding pada ibu nifas ditinjau dari segi psikologi
1. Ibu dan bayi dapat saling mengenal sehingga akan tercipta hubungan antara
ibu dan bayi. (wikjosastro, 2005:266)
2. Untuk memulai proses identifikasi ibu dan bayi sejak dini.
Kegiatan identifikasi ibu terhadap anaknya ini berupa pengembangan
instink maternal menjadi unsur keibuan. Instink maternal mendorong wanita
untuk tidak mementingkan diri sendiri serta selalu siap mengorbankan jiwa
dan raganya demi kelestarian bayi atau anak – anaknya. (kartono, kartini,
2007 : 233)
Pada awalnya, bayi mengidentifikasikan ibunya dengan sumber cinta
kasih sayang yang memberikan kehangatan psikis; juga menyamakan pribadi
ibunya dengan sebuah benteng perlindungan dan keamanan. Selanjutnya
menyamakan ibunya dengan malaikat penolong dalam pemuasan kebutuhan
hidupnya (kartono, kartini, 2007:233)
3. Keberhasilan dalam hubungan dalam antara bayi dan ibu sepanjang masa
Windstrom dan kawan – kawan (varney, 2008:839) yang juga mempelajari
neonatus dan perilaku menghisap awal, menemukan bahwa ibu yang bayinya
kontak kulit dengan kulit dan berusaha menyusui bayinya pada jam pertama
menghabiskan lebih banyak waktu dengan bayinya dan meningkatkan lama
bicara dengan bayi selama menyusui.
Jika seorang ibu konsisten dalam responsnya terhadap kebutuhan bayi dan
mampu menafsirkan dengan tepat isyarat seorang bayi, perkembangan bayi akan
terpacu dan terbentuk ikatan batin yang kokoh. Keberhasilan dalam hubungan
dan ikatan batin antara ibu dan bayi dapat mempengaruhi hubungan sepanjang
masa (bahiyatun, 2009:55)
4. Membangun rasa percaya diri anak
Bayi yang membentuk perlekatan yang erat dengan ibu menganggap ibu
sebagai tempat yang aman sehingga bayi merasa aman masuk ke dalam dunia
yang lebih besar. Pada tahun pertama kehidupan, bayi – bayi yang merasa aman
akan berani berpetualang, merangkak, atau bergerak di dalam lingkungan yang
asing baginya. (varney, 2008:933).
1.2.3 Respon orang tua terhadap bayinya
Respons orang tua terhadap bayinya dipengaruhi oleh 2 faktor :
a. Faktor internal
Yaitu genetika, kebudayaan yang mereka pratekkan dan
menginternalisasikan dalam diri mereka, moral dan nilai, kehamilan sebelumnya,
pengalaman yang terkait, pengidentifikasian yang telah mereka lakukan selama
kehamilan (mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai orang tua, keinginan
menjadi orang tua yang telah diimpikan dan efek pelatihan selama kehamilan.
b. Faktor eksternal
Yaitu perhatian yang diterima selama hamil, melahirkan dan
postpartum, sikap dan perilaku pengunjung dan apakah bayi terpisah dari
orang tua selama satu jam pertama dan hari – hari berikutnya dalam
kehidupannya (ambarwati, 2010 :67).
Respon antara ibu dan bayi sejak kontak awal hingga tahap perkembangannya
a. Touch (sentuhan)
Ibu memulai dengan sebuah ujung jarinya untuk memeriksa bagian kepala
dan ekstermitas bayinya. Dalam waktu yang singkat secara terbuka perabaan
digunakan untuk membelai tubuh, dan mungkin bayi akan di peluk di lengan ibu,
gerakan dilanjutkan dengan usapan lembut untuk menenangkan bayi, bayi akan
merapat pada payudara ibu, menggenggam satu jari atau seuntai rambut dan
terjadilah ikatan antara keduanya.
b. Eye to eye (kontak mata)
Kesadaran untuk membuat kontak mata dilakukan kemudian segera.
Kontak mata mempunyai efek yang erat terhadap perkembangan dimulainya
hubungan dan rasa percaya sebagai faktor yang penting dalam hubungan manusia
pada umumnnya.
c. Odor (bau badan)
Indera penciuman pada bayi baru lahir sudah berkembang dengan baik dan
masih memainkan peran dalam nalurinya untuk mempertahankan hidup.
Penelitian menunjukkan bahwa kegiatan seorang bayi, detak jantung dan pola
bernapasnya berubah setiap kali hadir bau yang baru, tetapi bersamaan dengan
semakin dikenalnya bau itu, si bayi akan berhenti bereaksi. Pada akhir minggu
pertama, seorang bayi dapat mengenali ibunya dari bau tubuh dan air susu ibunya.
d. Body warm (kehangatan tubuh)
Jika tidak ada komplikasi yang serius, seorang ibu akan dapat langsung
meletakkan bayinya di atas perut ibu, baik setelah tahap kedua dari proses
melahirkan atau sebelum tali pusat dipotong. Kontak yang segera ini memberi
banyak manfaat baik bagi ibu maupun si bayi yaitu terjadinya kontak kulit yang
membantu agar bayi tetap hangat.
e. Voice (suara)
Respon antara ibu dan bayi berupa suara masing – masing. Orang tua akan
menantikan tangisan pertama bayinya. Dari tangisan tersebut, ibu menjadi tenang
karena merasa bayinya baik – baik saja. Bayi dapat mendengar sejak dalam rahim,
jadi tidak mengherankan jika ia dapat mendengarkan suara – suara dan
menbedakan nada dan kekuatan sejak lahir. Banyak penelitian memperlihatkan
bahwa bayi – bayi baru lahir, bukan hanya mendengar secara pasif melainkan
mendengar secara sengaja.
f. Entertainment (gaya bahasa)
Bayi yang baru lahir menemukan perubahan struktur pembicaraan dari
orang dewasa. Artinya perkembangan bayi dalam bahasa dipengaruhi kultur, jauh
sebelum ia menggunakan bahasa dalam komunikasi. Dengan demikian terdapat
salah satu yang akan lebih banyak dibawanya dalam memulai berbicara (gaya
bahasa). Selain itu juga mengisyaratkan umpan balik positif bagi orang tua.
g. Biorhytmicity (irama kehidupan)
Janin dalam rahim dapat dikatakan menyesuaikan diri dengan irama
alamiah ibunya seperti halnya denyut jantung. Salah satu tugass bayi setelah lahir
adalah menyesuaikan irama dirinya sendiri. Orang tua dapat membantu proses ini
dengan memberikan perawatan penuh kasih sayang secara konsisten dengan
menggunakan keadaan tanda bahaya bayi untuk mengembangkan respons bayi
dan interaksi sosial serta kesempatan untuk belajar (Ambarwati, 2010).
2.2.4 Hal – hal yang perlu diketahui dan diterapkan dalam baby bounding untuk
mencegah masalah psikologi pada ibu maupun bayinya
- Melibatkan ayah atau anggota keluarga dekat lain dalam periode ini dapat
meningkatkan kegembiraan keluarga. Namun, pembatasan kunjungan hanya oleh
keluarga dan teman dekat sesama periode ini juga menjadi faktor dalam
mempertahankan kontak ibu dan bayi. Bidan dapat menjadi bagian penting dalam
mempertahankan keseimbangan antara ikatan (bonding) keluarga dan perayaan
keluarga (varney, 2008:839).
- Untuk bidan yang berdinas di rumah sakit, upaya promosi kontak yang lebih lama
dapat dilakukan dengan mengedukasi kembali staf rumah sakit untuk menyediakan
perawatan bayi baru lahir di sisi tempat tidur ibu dan menunda prosedur, seperti
mencap kaki sampai bayi telah disusui. Sering kali bidan perlu mendorong ibu yang
takut untuk mulai menyusui atau ibu yang lelah karena persalinan yang lama untuk
mempertahankan kontak. Ia juga perlu memperhatikan perilakunya sendiri, bekerja di
sekitar bayi untuk melakukan evaluasi dan melengkapi tugasnya sejak pelahiran bayi.
Ketika muncul kepentingan medis perlu menginterupsi periode ini – sebagai contoh,
untuk meresusitasi bayi atau menangani perdarahan pasca partum – perhatian
diperlukan untuk menyatukan kembali pasangan ibu – bayi sesegera mungkin
(varney, 2008:839).
- Proses perlekatan keluarga dan pembentukan hubungan adalah upaya berkelanjutan.
Periode ini saja tidak cukup untuk mencapai ikatan antar manusia, juga tidak adanya
periode ini tidak fatal bagi perkembangan keluarga sehat. Namun, periode khusus ini
menguntungkan; oleh karena itu, penting bagi bidan untuk menghargai dan
meningkatkan proses ini (varney, 2008:839).
2.2.5 Masalah psikologi yang sering terjadi
a. Ibu dan bayi yang tidak membentuk perlekatan yang erat membentuk tipe ikatan
lain. Peneliti menggolongkannya menjadi dua tipe : ikatan yang tidak erat dan
ikatan menjauh (varney, 2008:933).
Cause :
1. ketidakmampuan ibu dalam menginterpretasi petunjuk dari bayi dengan
baik dan berespons dalam cara yang dapat diprediksi (varney, 2008:933).
2. Hal ini sering dijumpai pada anak yang tidak diinginkan oleh orang tua.
Pada anak – anak yang seperti ini, orang tua cenderung berperilaku yang
menghambat sehingga ikatan kasih sayang tersebut tidak terjadi
(ambarwati, 2010 : 67).
3. Adanya faktor internal dan faktor eksternal yang menghambat terjadinya
ikatan antara orang tua dan bayinya tersebut.
Effects :
Bayi – bayi yang memperlihatkan adanya perlekatan yang tidak erat tampak
cemas dan memiliki koping yang buruk terhadap perubahan atau ketika jauh dari
ibu. Perilaku mereka menunjukkan perilaku yang sangat rewel atau perilaku
mencari perhatian lainnya. Bayi - bayi ini tampaknya merasa bahwa perhatian ibu
paling baik didapat jika mereka memperlihatkan perilaku negatif. Ibu mungkin
terdistraksi, merasa letih, atau terlalu muda untuk mengetahui bagaimana bermain
dengan baik bersama seorang bayi. Namun, ia akan berespons terhadap teriakan
atau perilaku negatif lainnya. Penguatan, bahkan perhatian negatif cukup membuat
bayi senang.Bayi – bayi yang memperlihatkan ikatan menjauh tampak memiliki
jarak dengan ibu – seolah – olah kurangnya respons ibu – ibu yang dapat diprediksi
membuat emosi bayi tumpul. Bayi – bayi yang lahir dari wanita yang menderita
penyakit mental yang cukup berat atau penyalahgunaan zat terlarang dapat
memperlihatkan tanda adanya perlekatan menjauh. Efek penyalahgunaan zat dapat
mengubah kepribadian ibu secara tidak terduga. Pada satu hari ibu mungkin
menjadi tegang, hari lainnya mengalami stupor, hari lainnya merasa gugup akibat
putus obat. Bayi menerima pesan – pesan yang tidak konsisten sehingga emosi
mereka menjadi tumpul (varney, 2008:933).
Treatment
Kemampuan ibu dan bayi untuk membantu perlekatan yang erat adalah
kunci untuk mencegah masalah lainnya yang banyak terjadi pada masa kanak –
kanak. Bidan dapat membantu orang tua baru memahami pentingnya membentuk
perlekatan yang erat. Beberapa ibu membutuhkan vaidasi terhadap keinginan
mereka untuk meluangkan waktu bersama bayi mereka. Bidan dapat menjelaskan
kepada kedua orang tua mengenai sangat pentingnya respon orang tua terhadap
petunjuk dari bayi. Nasihat ini dapat membantu respons orang tua terhadap
tangisan bayi dan upaya bayi untuk berkomunikasi melalui senyuman dan kontak
mata. Kemampuan dan keinginan ibu untuk membentuk perlekatan ini dapat
terganggu jika terjadi kegagalan ketika memberi makan dan menenangkan bayi.
Ibu – ibu yang merasa diri mereka dapat berhasil akan membentuk rasa percaya
diri dan kompetensi. Bidan harus meluangkan waktu untuk berbicara dengan ibu
tentang persepsinya mengenai dirinya sebagai seorang pemberi perawatan dan
membantu membentuk kembali harapan yang mungkin tidak realistis. Beberapa
wanita tidak pernah merasakan asuhan ibu yang berkualitas ketika mereka anak –
anak. Mereka tidak memiliki memori atau kesan tentang perlekatan yang erat.
Tugas mengasuh bayi dapat terasa membebani bagi para wanita ini dan mereka
berisiko tinggi mengalami frustasi selama bulan – bulan awal menjadi ibu. Kapan
pun memungkinkan, bidan harus berupaya merujuk para wanita ini ke seorang
konselor atau kelompok yang membantu peran menjadi orang tua selama minggu –
minggu segera setelah kelahiran bayi (varney, 2008:933).
b. Post partum blues
c. Depresi post parrtum
Daftar pustaka
Bahiyatun, 2009. Buku ajar asuhan kebidanan nifas normal. jakarta : EGC
Wikjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta : YBP-SP
Sylvia D, Elvira.2006. Depresi Pasca Persalinan. jakarta : FKUI
Varney, Helen. 2008. Buku ajar asuhan kebidanan vol 2.Jakarta : EGC
Kartono, Kartini.2007. psikologi wanita 2 mengenal wanita sebagai ibu dan nenek.
Bandung: Mandar maju
Mansur,Hera.2009.Psikologi ibu dan anak untuk kebidanan . jakarta: salemba medika
Ambarwati,eni retna.2010. asuhan kebidanan nifas.jogjakarta:nuha ofset
Pieter, herri zan.2011 pengantar psikologi untuk kebidanan.jakarta : kencana