ihdnsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...mandala suci wenaran wana terjadi...
TRANSCRIPT
1 2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan berbasis lingkungan dalam agama Hindu
dikenal dengan istilah Tri Hita Karana . Secara konseptual, Tri
Hita Karana merupakan tiga penyebab hubungan yang harmonis,
yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),
manusia dengan sesama (pawongan) dan manusia dengan
lingkungan (palemahan) (Wiana, 2009: 126). Konsep Tri Hita
Karana dapat dikemukakan pula sebagai konsepsi pendidikan
yang berbasis pada lingkungan dengan menitik beratkan pada
sebuah domain bahwa harmonisasi akan terwujud, jika adanya
hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan sesama, dan
alam lingkungan. Adapun Sudira (2014: 2) menjelaskan
bahwasanya ajaran Tri Hita Karana merupakan basis pendidikan
agama Hindu, dan konsep tersebut secara tidak langsung akan
mengarahkan peserta didik mampu memiliki karakter yang unggul
baik dalam aspek jasmani dan rohani.
Kawasan hutan Mandala Suci Wanara Wana merupakan
salah satu kawasan wisata di Bali yang bentuk pengelolaan
lingkungannya mencerminkan pendidikan berbasis konsep Tri
Hita Karana . Dalam pengelolaannya menekankan pada sebuah
konsep hidup dalam menghargai, menjaga keharmonisan
keberadaan alam dengan makhluk hidup ciptaan-Nya. Demikian
pula aktivitas spiritual masyarakat di sekitarnya menjadikan
kawasan Mandala Suci Wenara Wana sebagai kawasan yang
indah, asri dan lestari, nyaman dan aman serta mempunyai sepirit
atau taksu. Implementasi dari konsep Tri Hita Karana yang
diterapkan di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana dapat
dilihat dari kegiatan ritual yang dilakukan oleh masyarakat
setempat. Dalam hubungannya dengan keberadaan kera, setiap
Tumpek Kandang masyarakat membuatkan sesajen istimewa ke
hutan yang ditujukan kepada semua binatang yang hidup di dalam
hutan. Adapun saat Tumpek Nguduh, masyarakat setempat
melakukan ritual untuk tetap menjaga keharmonisan alam berupa
tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hutan. Semua aktivitas tersebut
menjadi sebuah pertanda bahwa pengelolaan kawasan wisata
Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan
pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang
lainnya yang tinggal di hutan dijadikan guru (pendidik) yang
mengajarkan masyarakat setempat berbagai macam pengetahuan
untuk dapat harmonis dengan laingkungan alam. Dengan
3 4
demikian, aktivitas di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana
tidak sepenuhnya merupakan aktivitas wisata, tetapi wisata yang
berbasis pada pengembangan budaya spiritual.
Pemahaman masyarakat Hindu umumnya, dan
Padangtegal khususnya hanya memahami bahwa kawasan
Mandala Suci Wenara Wana hanya kawasan wisata yang
difungsikan untuk konsumsi para wisatawan, dan sesekali
dilaksanakan ritus persembahan untuk menghormati binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang hidup di wilayah tersebut. Masyarakat
di wilayah kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana hanya
berpegang teguh atas sebuah keyakinan yang selama ini cukup
kuat dalam mempertahankan tradisi dan aktivitas relegi yang
sudah diwarisi secara turun temurun.
Pemahaman masyarakat yang hanya berpegang pada
paradigma primodial tersebut akan berdampak pada
terdesakralisasinya kawasan suci tersebut sehingga proses
pendidikan di dalamnya terdistorsi. Terlebih belakangan ini
masyarakat dan pengelola megalami berbagai kendala akibat dari
adanya pengaruh kapitalisme global, dan pesatnya arus wisata
global yang membawa budaya-budaya westernisasi. Masyarakat
Hindu di wilayah Desa Pakraman Padangtegal sudah mulai
menganut budaya konsumtif, dan mengkesampingkan sisi
kesakralan wilayah Mandala Suci Wenara demi uang asing.
Kenyamanan dan keasrian dari wilayah sudah terusik oleh arus
kepentingan masyarakat untuk mendapatkan lahan untuk
memenuhi budaya konsumtif masyarakat. Bentuk pendidikan yang
sudah tua dilakukan dalam berbagai bentuk tradisi dan ritus di
wilayah hutan Mandala Suci Wenara Wana kedepannya akan
mulai tergeser oleh budaya postmodernisme. Berdasarkan pada
hal tersebut, sangat penting melakukan kajian yang mendalam
terhadap kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana sebagai
media pendidikan agama Hindu berbasis Tri Hita Karana.
Demikian pula nilai-nilai yang terkandung didalamnya sangat
relevan dikaji untuk menemukan sebuah resolusi terkait tentang
masalah pengerusakan alam dan eksploitasi alam serta
mengelemenir pengaruh kapitalisme global.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalah sebagai berikut.
1. Mengapa kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana di
Desa Pakraman Padangtegal Ubud tetap lestari?
2. Bagaimanakah sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri
Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana
Desa Pakaraman Padangtegal Ubud?
3. Apakah implikasi sistem pendidikan agama Hindu berbasis
Tri Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci Wenara
Wana terhadap Desa Pakraman Padangtegal Ubud?
5 6
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian yang diteliti memiliki tujuan
sebagai sebuah pengembangan ilmu yang bertendensi pada ajaran
agama Hindu. Hal tersebut sebagai upaya dalam menumbuh
kembangkan kesadaran umat Hindu dalam menjaga alam dan
lingkungan. Demikian juga sebagai sebuah bentuk pelestarian
alam yang didasarkan pada ajaran agama Hindu. Secara umum
penelitian yang diteliti secara tidak langsung akan mereproduksi
identitas kehinduan sehingga ajaran agama Hindu tetap ajeg dalam
budaya global.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk memaparkan latar belakang Mandala Suci Wenara
Wana tetap lestari bahkan tetap menjadi kawasan wisata
Desa Pakraman Padangtegal Ubud.
2. Untuk mendeskripsikan sistem pendidikan agama Hindu
berbasis Tri Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci
Wenara Wana Desa Pakraman Padangtegal Ubud
3. Untuk memaparkan implikasi sistem pendidikan agama Hindu
berbasis Tri Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci
Wenara Wana terhadap Desa Pakraman Padangtegal Ubud
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah melalui
kegiatan penelitian yang diteliti diharapkan dapat memberikan
kontribusi akademis dalam mengembangkan konsep dan teori
tentang pendidikan pelestarian lingkungan pada masyarakat Desa
Pakraman Padang Tegal Ubud, dan dunia akademis pada
umumnya. Serta menjadi formulasi teori pendidikan yang berbasis
pada ajaran agama Hindu. Reformulasi teori merupakan suatu
hal yang penting mengingat sangat sedikit teori pendidikan yang
berdasarkan pada ajaran agama Hindu.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis adalah sebagai
berikut.
1. Bagi Generasi Muda hendaknya dipakai sebagai acuan dalam
usaha pelestarian lingkungan di Desa Pakraman Padangtegal
2. Bagi pengambil kebijakan pemerintah dan stake holder
pariwisata agar dapat dipakai bahan pertimbangan dalam
usaha pelestarian lingkungan.
3. Bagi masyarakat sebagai masukan bagi warga masyarakat
agar memiliki pengetahuan, sikap serta perilaku terhadap
pelestarian lingkungan
7 8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP, TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
Beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penelitian
ini yang dijadikan kajian pustaka antara lain: Heny (2004), Siram
(2012), Pujastawa (2011), Wiradharma (2003), Suartama (2011),
Wiguna (2009), Rickinson (2001), Haryani (2007), dan Tim
penyusun (2013). Penelitian terdahulu ini selain menambah
wawasan peneliti tentang kajian yang terkait topik penelitian, juga
memberikan inspirasi dalam mengembangkan pembahasan
analisis data.
2.2 Landasan Konsep
2.2.1 Mandala Suci Wenara Wana
Mandala dapat dipahami sebagai wilayah, kekuasaan,
lembaga keagamaan atau bulatan lingkungan (daerah). Meminjam
uraian Heendeniya (2009: 90) menjelaskan bahwa Mandala
sebagai alat yang digunakan untuk melalukan konsentrasi selama
memusatkan pikiran, berbentuk lukisan di atas kain atau lukisan
di atas tanah yang digambari dengan beras berwarna. Demikian
juga Mandala merupakan wilayah yang terangkai dalam berbagai
bentuk yang diyakini memiliki kekuatan dan kesakralan yang kuat
untuk melindungi. Pada uraian lain, Sarasvati (2002: 75)
menjelaskan bahwa Mandala merupakan serangkaian gambar
yang membentuk pola tertentu, dan berupa wilayah rahasia dari
penekun Tantra untuk memusatkan pikiran. Adapun suci
merupakan istilah merujuk pada kesakralan, kebersihan, ketidak
kotoran dan sejenisnya. Wenara Wana dalam Kamus besar Bahasa
Indonesia edisi empat (1995: 346) artinya hutan kera. Mandala
Suci Wenara Wana adalah wilayah atau lingkungan berupa hutan
yang dijaga kesuciannya secara religius dan dirawat kebersihannya
sebagai habitat kera atau monyet.
2.2.2 Kawasan Wisata Padangtegal Ubud
Kawasan wisata adalah wilayah yang memiliki daya tarik
bagi para wisatawan. Dalam penelitian istilah kawasan wisata
digunakan karena hubungannya dengan Mandala Suci Wenara
Wana. Secara umum kawasan wisata dibagi menjadi tiga jenis
sebagai berikut.
1. Kawasan wisata alam, yang berupa daya tarik alamiah seperti
sungai, danau, hutan dan sebagainya, dan ada juga yang
berupa kawasan wisata alam yang mendapat campur
tangan manusia seperti sawah, danau buatan, saluran irigasi
dan sebagainya.
2. Kawasan wisata Budaya, yaitu keseluruhan unsur karya, cipta
dan karsa manusia yang diimplementasikan dalam gaya
hidup, upacara agama dan unsur tradisional lainnya.
9 10
3. Kawasan wisata buatan, yaitu daya tarik wisata yang dibangun
untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan manusia
untuk berwisata, seperti raman bermain, area permainan
dan sebagainya (Suryawan, 2012: 90).
Merujuk pada hal tersebut, kawasan wisata Padangtegal
Ubud adalah kawasan wisata yang termasuk dalam kawasan
wisata alam, budaya, dan pengembangan melalui buatan yang
berada di Desa Padangtegal Ubud..
2.2.3 Pendidikan Agama Hindu Berbasis Tri Hita Karana
Tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan
Agama Hindu adalah untuk mencapai “Jagadhita” dan “Moksa”
yang diformulasikan dalam sebuah kalimat Sanskerta sebagai
berikut:”Atmano Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah.” Di
Indonesia, tujuan pendidikan dinyatakan untuk mengantarkan
seorang anak didik menuju tingkat kedewasaan.
Berbasis Tri Hita Karana dimaksudkan berdasarkan pada
falsafah Tri Hita Karana . Kata basis secara leksikal berarti dasar,
pokok, pangkalan, garis dasar, dan sejenisnya. Demikian pula,
basis juga diartikan azas, dan dasar sehingga berbasis artinya
berdasarkan basis atau dasar pada pengembangan. Dalam hal ini
berbasis lingkungan artinya akan membahas berdasarkan kajian
lingkungan (Tim Pustaka phoenix, 2009: 126). Sedagkan Tri Hita
Karana sebagaimana menurut Wiana (2010: 9) merupakan tiga
penyebab hubungan yang harmonis. Tri artinya tiga, Hita adalah
kebahagiaan dan Karana artinya penyebab. Tiga penyebab
harmonis antara manusia dengan Tuhan (pahyangan), antara
sesama (pawongan) dan dengan lingkungan (palemahan).
2.2.4 Komunitas Lokal
Komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok khusus
dari orang-orang yang tinggal dalam wilayah tertentu, memiliki
gaya hidup yang sama, sadar sebagai satu kesatuan,dan dapat
bertindak secara kolektif dalam usaha mencapai tujuan. Komunitas
merupakan sebuah kelompok sosial dari beberapa organismo yang
berbagai lingkungan, umumnya memiliki ketertatarikan yang
sama. Komunitas berasal dari bahasa latin “communitas” yang
berarti kesamaan, kemudian dapat diturunkan dari communis yang
berarti sama, Dalam penelitian ini komunitas diartikan sebagai
kelompok sosial yang mempunyai arti perkumpulan beberapa
individu, atau kelompok sosial.
2.3 Teori
Dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai
berikut.
2.3.1 Teori Fungsional Struktural
Teori fungsional struktural dikemukakan oleh Talcot
Parsons. Teori tersebut secara harfiah berasal dari dua kata yaitu
11 12
“fungsional” dan “struktural” Talcott Parsons (dalam Nasikum,
2003: 11). Teori fungsional struktural sangat relevan digunakan
untuk menelaah tentang pelestarian kawasan wisata Mandala Suci
Wenara Wana. Keberadaan kawasan wisata tersebut tidak terlepas
dari peran serta masyarakat sebagai sebuah sistem yang memiliki
hubungan timbal balik, dan adanya interaksi serta perubahan di
dalamnya. Oleh karena itu, fungsional struktural adalah teori yang
dipakai untuk mengeksplorasi dan menganalisis permasalahan
yang pertama berkenaan dengan latar belakang kawasan wisata
Mandala Suci Wenara Wana tetap lestari di Desa Pakraman
Padangtegal Ubud.
2.3.2 Teori Kontrol Sosial
Pengendalian sosial dapat terjadi dalam kehidupan sehari-
hari agar keserasian dan stabilitas dalam kehidupan sehari-hari
tercapai. Dengan pengendalian sosial ini, diharapkan
penyimpangan yang terjadi di masyarakat dapat berkurang
khususnya penyimpangan yang dilakukan oleh para anak-anak
remaja. Oleh karena itu pengendalian sosial harus mendapat
perhatian yang mendalam dan mendasar. Ide utama dibelakang
teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil dari
kekosongan kontrol atau pengendalian sosial.
Pengendalian sosial dan pengendalian diri itu berbeda,
walaupun keduanya berkaitan erat. Pada taraf pribadi,
pengendalian sosial mengacu pada usaha untuk mempengaruhi
pihak lain. Pengendalian diri mengacu pada usaha untuk
mempengaruhi atau membimbing perilaku pribadi tersebut
menjadi anggotanya. Dengan demikian, dari sudut pandang
tersebut, pengendalian sosial mengacu pada dan berasal dari
pengendalian diri. Oleh karena itu harus ada pembedaan antara
pengendalian diri dengan pengendalian sosial, namun
keterkaitannya haruslah diakui. Teori kontrol sosial sangat relevan
digunakan untuk mengarahkan pemikiran peneliti dalam
melakukan telaah tentang latar belakang kawasan wisata Mandala
Suci Wenaran Wana lestari sampai sekarang.
2.3.3 Teori Ekosentrisme (Ecosentrism Environmental
Ethics)
Teori etika lingkungan ekosentris merupakan salah satu
versi teori etika yang dikenal juga dengan istilah Ekologi Dalam
(Deep Ecology) (Keraf, 2002: 76). Berbeda dengan teori lainnya,
misalnya biosentrisme yang memusatkan perhatian pada
kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada
seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak
hidup. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan Deep Ecology
ialah Arne Naess, seorang filsuf Norwegia pada tahun 1973.
Kemudian dikenal sebagai tokoh dari sebuah gerakan moral
lingkungan dengan nama Deep Ecology, sampai saat sekarang,
13 14
gerakan ini telah mendapat pengaruh besar terhadap gerakan-
gerakan moral lingkungan lainnya. Naess (1989: 124) mengatakan
bahwa etika ini memperhitungkan pengaruh tindakan manusia
secara langsung terhadap ada alami non-manusia dan alam sebagai
keseluruhan.
Berdasarkan pada hal tersebut teori ini digunakan untuk
menelaah tentang implikasi keberadaan kawasan wisata Mandala
Suci Wenara Wana bagi masyarakat Desa Pakraman Padangtegal
Ubud. Selain itu teori ini dapat pula digunakan untuk
mengeksplorasi nilai pendidikan agama Hindu yang terdapat di
kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana.
2.3.4 Teori Humanistik
Kemampuan bertindak positif i yang disebut sebagai
potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme
biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan
kemampuan positif sebagai sebuah potensi dalam diri.
Hergenhahn, dkk (2010:329) menjelaskan bahwa kemampuan
positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif
yang terdapat dalam domain afektif.
Berdasarkan atas deskpripsi tersebut di atas, jelas secara
mendasar teori humanistik dapat mengarahkan analisa peneliti,
bahwa lingkungan (kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana)
secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai fasilitator dalam
mengembangkan potensi anak-anak, terutama dalam hal
pendidikan lingkungan. Lingkungan berperan dalam menstimulasi
potensi anak didik sehingga potensi anak didik dapat tumbuh dan
berkembang. Selain itu, lingkungan turut serta dalam memberikan
motivasi belajar melalui sebuah pengalaman sehingga anak-anak
sadar bahwa lingkungan adalah penting dalam kehidupan. Dengan
kata lain, lingkungan adalah guru bagi manusia.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini seperti tampak pada gambar
bagan 2.4 sebagai berikut:
15 16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian Mandala Suci Wenara Wana Di Kawasan
Wisata Padangtegal, Ubud, Gianyar, Bali (Perspektif Pendidikan
Agama Hindu Berbasis Tri Hita Karana pada Komunitas Lokal)
menggunakan jenis penelitian kualitatif yang merupakan kajian
pendidikan ekologis. Kaelan (2010:5) menjelaskan bahwasanya
karakteristik penelitian kualitatif terletak pada kawasan yang
menjadi fokus penelitian, dan tidak menekankan kepada kuantum
atau jumlah. Namun, lebih menekankan pada kualitas secara
ilmiah karena menyangkut pengertian, konsep nilai serta ciri-ciri
yang melekat pada kawasan penelitian lainnya.
Keterangan Bagan:
Gambar 2.4
Model Penelitian
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Pakraman
Padangtegal Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar sebagai satuan : Hubungan langsung dua arah saling berkaitan
: Hubungan langsung satu arah
: Hubungan yang ingin dicapai
wilayah, dan lokasi kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana.
Pemilihan lokasi ini didasarkan beberapa pandangan, yakni
kawasan desa Pakraman Padangtegal merupakan kawasan
strategis pariwisata yang berada di lingkungan Ubud. Pada
wilayah tersebut, kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana
dikembangkan sebagai kawasan wisata sehingga menjadi menarik
Implikasi sistem
Pendidikan Agama Hindu berbasis Tri Hita
Karana terhadap desa
Pakraman Padangtegal
Latar
belakangMandala
suci Wenara Wana tetap lestari sampai
sekarang
Mandala Suci Wenara Wana di kawasan wisata Padang
Tegal Ubud
Kertih Wana
AGAMA HINDU
Membangun kesadaran Generasi muda Hindu untuk mempertahankan kesakralan lingkungan hutan Mandala Suci Wenara Wana
Sistem Pendidikan Agama Hindu Berbasis
Tri Hita Karana di Kawasan Wisata
Mandala Suci Wenara
Wana
Globalisasi
Pariwisata Pelestarian Wenara
Wana Menurut
Tradisi Bali
Jana Kertih Samudra
Kertih
17 18
untuk dikaji dan ditelaah. Sebuah kawasan wisata yang masih
tetap mempertahankan lingkungan sebagai basis pengembangan
wisata dunia.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data primer adalah data yang dikumpulkan dari lapangan
(Field Research) yang bersumber dari informan (Iqbal, 2002: 23),
diperoleh melalui observasi, dokumentasi dan wawancara
terhadap tokoh-tokoh yang dipandang mengetahui permasalahan
yang akan diteliti. Berdasarkan hal tersebut sumber data primer
dalam penelitian yang dilakukan adalah bersumber dari informan
yang mengetahui secara mendalam berkenaan dengan kawasan
wisata Mandala Suci Wenara Wana.
Data sekunder adalah data yang diperoleh (dikumpulkan)
dari sumber-sumber yang sudah ada atau kajian pustaka (Library
Research) ditulis (Iqbal, 2002: 23). Data sekunder dalam penelitian
ini adalah segala keterangan penunjang yang diperoleh dari tesis,
buku-buku dan makalah dimana isinya relevan dengan topik
penelitian.
3.4 Instrumen Penelitian
Data yang diambil dalam penelitian ini sebagian besar
diperoleh atau diambil oleh peneliti ditunjang dengan pedoman
wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan yang sifatnya terbuka,
menggunakan alat perekam suara, camera foto, dan alat tulis
menulis.
3.5 Teknik Penentuan Informan
Terkait dengan penelitian ini maka yang ditentukan atau
ditunjuk sebagai informan adalah orang-orang yang dianggap tahu
tentang permasalahan yang diangkat dengan terlebih dahulu
menentukan informan kunci berupa tokoh-tokoh desa yang sangat
mengetahui keberadaan dari kawasan wisata Wenara Wana.
Adapun informan yang ditunjuk dalam penelitian ini adalah
Bendesa Adat, pengelola Wenara Wana dan tokoh-tokoh serta
warga masyarakat yang berada di wilayah atau sekitar Desa
Pakraman Padang Tegal, Ubud
3.6 Teknik Pengumpulan Data
3.6.1 Observasi
Dalam observasi partisipan peneliti dapat berperan ganda,
karena terlibat langsung dengan kawasan penelitian yang diteliti
sehingga peneliti dapat lebih leluasa (enjoy) dan lebih akrab
dengan subjek yang diteliti serta memungkinkan bertanya secara
lebih teliti, lebih rinci dan lebih detail. Observasi non partisipan
tidak hanya menuntut keterlibatan peneliti terfokus terhadap
kegiatan/ fenomena dari subjek yang diteliti. Penelitian kualitatif
19 20
dimana peneliti terfokus pada bagaimana mengamati, merekam
dan mencatat fenomena yang diteliti.
3.6.2 Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data
apabila peneliti ingin melakukan studi dalam rangka menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari informan secara mendalam. Peneliti
mengumpulkan data melalui proses tanya jawab lisan yang
berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang
mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancarai.
3.6.3 Dokumen
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental yang terkait dengan objek penelitian ini dikumpulkan
dari tokoh masyarakat, pengelola kawasan wisata, perpustakaan,
atau dari media sosial.
3.7 Teknik Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa
menyusun ke dalam pola, memilih nama yang penting dan mana
yang patut dipelajari, serta membuat simpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil penelitian disajikan secara informal merupakan data
kualitatif dicandra melalui narasi, uraian serta dikuatkan oleh suatu
argumentasi. Data secara formal yang merupakan data kuantitatif
disajikan untuk memperjelas dan memudahkan dalam pemahaman
hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan matriks sesuai
dengan jenis dan bentuk data. Hasil penelitian secara sistemik
dituangkan ke dalam 8 bab.
21 22
IV. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian Mandala Suci Wenara Wana di Kawasan
Wisata Padangtegal Ubud, Gianyar, Bali (Perspektif Pendidikan
Agama Hindu Berbasis Tri Hita Karana pada Komunitas Lokal),
diuraikan sebagai berikut.
4.1 Latar Belakang Pelestarian Mandala Suci Wenara Wana
1), Pemenuhan Kebutuhan Unsur Pahyangan
Adapun keberadaan Mandala Suci Wenara Wana di desa
Pakraman Padangtegal Ubud Bali sebagai kawasan hutan yang
sangat disucikan dan dilestarikan adalah tiada lain sebagai
pemenuhan kebutuhan unsur Pahyangan dan tempat bagi umat
Hindu di desa Pakraman Padangtegal dalam menjalankan aktivitas
beragama. Dengan kata lain, pelestarian kawasan hutan Manda
Suci Wenara Wana adalah untuk pemenuhan kebutuhan agama
atau religius sebagai salah satu konten konsep Pahyangan dalam
Tri Hita Karana. Sebagaimana hal itu dapat dilihat bahwasanya
di areal hutan berdiri bangunan suci, yakni Pura Dalem, Prajapati,
Beji Desa Pakraman Padangtegal. Jadi, latar belakang pelestarian
hutan Mandala Suci Wenara Wana secara elementer merupakan
salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan unsur Pahyangan,
yang di dalamnya ada aktivitas ritual, seni, budaya dan lain
sebagainya.
Berkenaan dengan hal tersebut, berikut diuraikan bahwa
latar belakang pelestarian kawasan Mandala Suci Wenara Wana
sebagai pemenuhan kebutuhan unsur Pahyangan.
a. Adanya Penghayatan TerhadapYang Sakral
Penghayatan akan yang sakral di Desa Pakraman
Padangtegal Ubud dapat dilihat dalam mana masyarakat Desa
Pakraman Padangtegal memperlakukan kawasan Mandala Suci
Wenara Wana agar tetap lestari. Masyarakat Desa Pakraman
Padangtegal Ubud melestarikan kawasan Mandala Suci Wenara
Wana tidak hanya dilatar belakangi atas kepentingan komodifikasi
wisata tetapi lebih kepada adanya “penghayatan” akan yang sakral
dan keramat.
b. Pura Dalem Agung Simbol Kehadiran yang Sakral
Berdirinya Pura Kayangan Desa Dalem Agung, Prajapati
dan Beji yang berada tepat ditengah-tengah wilayah hutan
Mandala Suci Wenara Wana dapat dikatakan sebagai pusat desa
pakraman dalam melakukan “penghayatan” kepada yang sakral.
Adanya tempat suci tersebut menjadi salah satu sumber yang
memperkuat keyakinan masyarakat terhadap objek wisata
Mandala Suci Wenara Wana sebagai tempat sakral, dan
simbolisasi dari kehadiran yang sakral. Sebagaimana diketahui
23 24
bahwa pura bagi umat Hindu adalah tempat suci yang disakralkan
sebagai sthana para Dewa dan Dewi (Titib, 2003:88, Wiana,
2008:7, Suhardana, 2010:9).
Bagi masyarakat Desa Pakraman Padangtegal sangat
meyakini Pura Dalem Agung Desa Pakraman Padangtegal sebagai
sthana dari Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasinya sebagai
Ida Bhatara Dalem Lingsir yang disakralkan dan dikeramatkan
masyarakat setempat. Berdasarkan atas keyakinan masyarakat
setempat, bahwa Pura Dalem Padangtegal tersebut adalah sthana
atau ditempatkannya Ida Bhatara dalam wujud Pelawatan Barong
Macan dan perwujudan lainnya sebagai objek pemujaan.
c. Diperkuat dengan Cerita Tenget
Banyak cerita tenget yang berkembang dan tetap eksis di
lingkungan Desa Pakraman Padangtegal berkenaan dengan
kawasan hutan Mandala Suci Wenara Wana. Tidak dapat
disanggah keberadaan cerita mitos yang berbalut magis tersebut
sebagai sebuah ketidak nyataan. Justru masyarakat Padangtegal
beranggapan dan berkeyakinan bahwa cerita tersebut mengandung
kebenaran yang sahih. Terbukti berdasarkan atas cerita lisan dari
pengalaman beberapa orang yang menceritakan bahkan
mengalami, bahwa kawasan hutan tersebut adalah tenget.
Atas dasar tersebut, masyarakat meyakini bahwa hutan
tersebut adalah tenget dan tidak boleh berlaku sembarangan. Cerita
satua-tenget yang berkembang di Desa Pakraman Padangtegal
dapat pula dimaknai sebagai hasil dari perasan pemikiran leluhur
atau tetua desa Padangtegal sebagai hasil dari proses “berpikir”
(amuter tutur pinehayu) yang di dalamnya ada kebenaran yang
tersembunyi.
d. Aktivitas Religi Pada Mandala Suci Wenara Wana
Aktivitas perayaan ritus yajña yang sering dilakukan di
wilayah hutan Mandala Suci Wenara Wana adalah perayaan
upacara Dewa Yajña bertepatan dengan Tumpek Uduh (Wariga)
dan Tumpek Kandang.
Adapun aktivitas religi yang dilakukan masyarakat Desa
Pakraman Padangtegal pada saat hari suci Tumpek Uduh yaitu
aktivitas religius dengan memberikan persembahan kepada
tumbuh-tumbuhan yang berada di kawasan hutan Mandala Suci
Wenara Wana. Selain aktivitas religius yang terwujud dalam
perayaan ritus upacara Tumpek Uduh (Wariga), di kawasan hutan
Mandala Suci Wenara Wana juga dilaksanakan aktivitas religius
lainnya yakni perayaan Tumpek Kandang. Penduduk yang tinggal
di wilayah Desa Pakraman Padangtegal pada saat hari suci
Tumpek Kandang memberikan persembahan kepada Jero Gede
(kera) yang tinggal di hutan Mandala Suci Wenara Wana. Aktivitas
ritus yajña ini dilakukan oleh semua penduduk desa dengan
membawa berbagai sesaji atau banten kepada Ida Bhatara atau
25 26
Hyang Pasupati yang tiada lain penguasa para kera (Jero Gede)
yang tinggal di hutan Mandala Suci Wenara Wana.
2). Pemenuhan Kebutuhan Unsur Pawongan
Umumnya interaksi sosial bagi masyarakat Bali terjadi di
lingkungan sosial dalam desa pakraman. Dengan adanya ritual
yang dilangsungkan di desa pakraman maka secara tidak langsung
interaksi dan soliditas sosial akan terjadi. Dengan demikian, aspek
pawongan dalam konsep Tri Hita Karana direalisasikan dalam
ritual dan kegiatan keagamaan di lingkungan desa pakraman. Di
desa Pakraman Padangtegal, interaksi sosial terjadi di desa
Pakraman, dan secara substatif keberadaan desa Pakraman adalah
media mengaplikasikan konsep pawongan.
a. Ritual Memperkuat Solidaritas Krama Desa
Aktivitas ritual yang dilaksanakan di kawasan Mandala
Suci Wenara Wana adalah media yang efektif dalam mempererat
solidaritas sosial antar warga desa. Dengan demikian, aktivits
ritual tidak serta merta mengamini anomali paradigma kekinian
bahwa ritual memberatkan umat apalagi memiskinkan umat. Justru
aktivitas religius tersebut memperkuat, seperti Korn menyatakan
tesanya tentang kuatnya krama desa di Bali, bahwasanya apa yang
bisa menjadi kekuatan untuk mendorong orang Bali ke dalam
kelompok-kelompok yang disatukan secara kokoh, yang
berkumpul pada saat-saat tertentu adalah “pelayanan terhadap
dewa-dewa” yang secara ajeg meminta perhatian, penghormatan
dan pengabdian dari penduduk (Goris, 2013:2).
Aktivitas religius di kawasan Mandala Suci Wenara Wana
dilakukan bertepatan dengan hari suci Tumpek Kandang dan
Tumpek Wariga dan hari-hari suci lainnya. Pada saat perayaan,
semua warga berdatangan melakukan ngayah, dan melakukan
persembahan pada saat piodalan. Sistem ngayah adalah sebuah
sistem tradisional Bali dengan ciri khas bahwa ada ketulus iklasan
di dalamnya. Meskipun, kini masyarakat Padangtegal mengalami
pergeseran, karena masyarakat tidak lagi melakukan sistem
ngayah sepenuhnya tetapi dibayar. Meskipun demikian, ada nilai-
nilai dari prinsip ngayah yang masih tetap dipertahankan.
Menggunakan sistem pembayaran, tetapi masyarakat masih tetap
menjaga keutuhan antar struktur sosial agar pola teratur dalam
ranah interaksi yang mapan. Artinya, krama desa menjaga dengan
baik hubungan antar strukturasi desa, seperti kerta desa dengan
bendesa dan atau pemimpin desa dengan krama desa. Pola
hubungan yang baik antar krama desa atau pemimpin desa dengan
krama desa menjadi lebih baik melalui perjumpaan mereka dalam
aktivitas religius.
27 28
b. Ritual Memperkuat Solidaritas Keluarga
Hal yang menjolok dapat ditemukan dalam keluarga Hindu
Bali, termasuk di Desa Pakraman Padangtegal adalah adanya
aktivitas religus berupa ritual-ritual yang dilakukan di pura
keluarga. Dalam ritual keluarga, yang dilakukan di pemerajan
dan sanggah keluarga akan dapat meperkuat solidaritas sosial di
keluarga karena pada saat ritual akan terjadi interaksi sosial yang
simultan. Terlebih bagi desa Pakraman Padangtegal, keberadaan
kawasan Mandala Suci Wenara Wana secara tidak langsung dapat
memunculkan soliditas antar keluarga semakin kuat. Aktivitas
religi yang dilakukan di kawasan Mandala Suci Wenara Wana
tidak saja melibatkan masyarakat desa secara umum, tetapi
melibatkan semua komponen keluarga. Semua keluarga dilibatkan
sehingga akan terjadi interaksi yang intens antar keluarga dan
tanpa disadari akan berdampak pada perbaikan hubungan sosial.
c. Ritual Memperkuat Solidaritas Sosial Sekaa
Atmaja (2015) menjelaskan bahwa dalam rangka
memperkuat peran desa pakraman sebagai pusat pengembangan
kebudayaan Bali, maka di dalam desa pakraman terdapat sekaa
sebagai organisasi tradisional dengan skala lebih kecil.
Keberadaan sekaa di Desa Pakraman Padangtegal dapat dikatakan
selalu eksis, dan sekaa tersebut meliputi: sekaa truna, sekaa gong,
sekaa santi, sekaa ekonomi produktif dan sekaa-sekaa lainnya.
Setiap pelaksanaan ritual yadnya yang dilakukan di kawasan
Mandala Suci Wenara Wana atau di kawasan desa pakraman,
sekaa truna berperan sangat aktif dalam mebantu jalanya upacara
yadnya. Para warga sekaa terlibat langsung dalam setiap ritual,
yakni sebagai pengayah, sekaan gong, santi dan yang lainnya.
Sebab keberadaan sekaa gong, santi dan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan sekaa truna. Keaktifan para warga
sekaa tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan dan
menguatkan ikatan solidaritas sosial antar warga sekaa. Demikian
pula sekaa-sekaa yang lainnya, misalnya sekaa gong dan
pesantian; setiap ritus yadnya mereka terlibat langsung sehingga
secara tidak langsung akan ada interaksi sosial di dalamnya.
Selain sekaa-sekaa tersebut, di Desa Pakraman
Padangtegal masih dapat dijumpai sekaa subak, yakni berorientasi
pada sektor pertanian. Sekaa Subak yang ada di desa pakraman
memiliki ikatan yang sangat kuat, terlebih Subak menjadi sebuah
aset budaya yang dapat digunakan untuk mengakumulasi modal.
3). Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi
Segala potensi yang dimiliki kawasan wisata Mandala
Suci Wenara Wana tersebut sudah menjadi komoditi yang strategis,
terlebih adanya jargon bahwa pengembangan pariwisata berbasis
budaya dan ekologis (Tri Hita Karana) sehingga akan menjadi
daya tarik tersendiri.
29 30
a. Ekonomi Lokal
Eksistensi Mandala Suci Wenara Wana menjadi aset yang
menguntungkan bagi warga Desa Pakraman Padangtegal.
Kawasan Mandala Suci Wenara Wana dengan segala pesona dan
aset yang dimiliki sudah tentu menjadi sebuah objek untuk
mengakumulasi modal ekonomi atau finansial. Sebagaimana telah
disebutkan bahwasanya pengelolaan objek wisata Mandala Suci
Wenara Wana berada di bawah naungan Desa Pakraman sebagai
organisasi lokal. Dengan kata lain, Desa Pakraman Padangtegal
adalah sebagai pemilik dan pemegang modal atas kawasan
Mandala Suci Wenara Wana beserta dengan populasi kera di
dalamnya sehingga penduduk desa dapat dikatakan sebagai
“penikmat” keuntungan atas kepemilikan modal tersebut. Bertolak
dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa kawasan Mandala Suci
Wenara Wana adalah salah satu sumber modal yang tersebar dalam
ranah sosial ekonomi.
b. Penggerak Ekonomi Keluarga dan Desa Pakraman
Keberadaan kawasan Mandala Suci Wenara Wana selain
sebagai penggerak ekonomi lokal, secara mengkhusus eksistensi
kawasan tersebut sebagai penggerak ekonomi keluarga dan desa
pakraman. Fashri (2013:11) menyitir uraian Bourdieu bahwa
modal ekonomi sebagai basis dari modal-modal yang lain. Dalam
artian penguasaan modal ekonomi akan dapat mengkonversi
modal-modal yang lain, sederhananya seseorang yang menguasai
modal ekonomi, maka orang tersebut dapat menguasai modal
budaya dan modal-modal lainnya. Jadi dengan demikian, modal
ekonomi adalah modal yang paling penting dikuasai menurut
pemikiran Bourdieu. Gagasan teoretis Bourdieu tersebut
nampaknya berlaku bagi masyarakat Desa Pakraman
Padangategal dalam mereka memanfaatkan kawasan Mandala
Suci Wenara Wana. Semakin banyak kunjungan wisatawan di
kawasan tersebut, semakin banyak pula keluarga dan krama desa
mendirikan berbagai usaha wisata agar dapat mengakumulasi
modal ekonomi, yakni modal finansial.
Kawasan Mandala Suci Wenara Wana dapat dikatakan
memiliki kekhasan tersendiri dalam mengakumulasi modal
ekonomi. Selain itu, khusus bagi warga Desa Padangtegal sendiri
keberadaan dari kawasan ini merupakan sumber mata pencaharian
untuk menguatkan modal ekonomi keluarga. Hal tersebut dapat
dilihat dan dicermati pada wilayah sekitar kawasan Mandala Suci
Wenara Wana dan kawasan Desa Padangtegal; sangat banyak
didirikan toko-toko seni, hotel, home stay, spa, restoran dan segala
akomodasi wisata lainnya yang mendatangkan keuntungan
finansial.
31 32
c. Pemasukan Finansial Bagi Desa Pakraman
Kawasan Mandala Suci Wenara Wana tidak saja
membawa keuntungan bagi pemilik modal atau investor tetapi
membawa keuntugan finansial juga bagi Desa pakraman secara
keseluruhan. Berdasarkan atas isi perarem Desa tersebut dapat
diketahui bahwasannya penguatan ekonomi Desa Pakraman
Padangtegal tidak saja bersumber dari objek wisata Mandala Suci
Wenara Wana tetapi juga dari para pengusaha pendatang maupun
pengusaha-pengusaha yang mendirikan usaha produksi di Desa
Pakraman Padangtegal. Hal tersebut menjadikan masyarakat Desa
Pakraman Padangtegal memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya.
Dalam awig-awig tersebut bahwa LPD, kawasan Mandala
Suci Wenara Wana, komplek kios, parkir dan yang lainya semua
adalah aset Desa pakraman. Aset tersebut sepenuhnya milik desa
dan dikelola dibawah Desa pakraman. Sekian aset yang dimiliki
desa menjadikan desa memiliki pemasukan yang tinggi, dan ini
sangat membantu kesejahteraan masyarakat desa.
4). Pemenuhan Kebutuhan Unsur Palemahan
Eksistensi Mandala Suci Wenara Wana selain sebagai
pemenuhan kebutuhan tersebut di atas, keberadaan kawasan
tersebut juga sebagai pemenuhan kebutuhan palemahan terkait
dengan daya estetis (keindahan).
a. Ekosistem Mandala Suci Wenara Wana Sebagai Keindahan
Secara keseluruhan kawasan wisata Mandala Suci Wenara
Wana memunculkan nilai keindahan di dalamnya. Hutan tropis
yang menghijau, populasi kera yang jinak beserta dengan
bangunan suci yang berdiri di tengah-tengah hutan. Semua itu
memunculkan daya estetis yang kuat, dan keindahan tersebut
muncul dari sebuah tatanan harmonis ekosistem yang
dikembangkan dengan tingkat kealamiahannya (natural). Merujuk
uraian Djelantik (1990:10) bahwa objek yang dikatakan “estetis”
ketika di dalam objek ada keharmonisan. Nampaknya gagasan
Djelantik (1990) tersebut memiliki koherenitas dengan keberadaan
kawasan Mandala Suci Wenara Wana dengan ekosistem di
dalamnya yang harmonis atau selaras hidup dengan keadaan hutan
tropis yang menyejukan. Populasi kera (baca:Jero Gede)
merupakan ikon kawasan yang penting dan memuncukan daya
tarik tersendiri. Di Bali sendiri, ada beberapa kawasan wisata
dengan menempatkan ikon kera sebagai daya tarik, seperti Sangeh,
Alas Kedaton dan Uluwatu. Namun di kawasan Mandala Suci
Wenara Wana kera begitu sangat jinak dan harmoni hidup di hutan
meskipun ada banyak pengunjung. Keharmonisan kera dengan
lingkungan hutan dan pengunjung sehingga para kera menjadi
objek keindahan yang dinikmati oleh pengunjung. Populasi kera
yang hidup di kawasan hutan seolah-olah tidak merasa terganggu
dengan adanya banyak pengunjung, bahkan ada beberapa kera
33 34
nampak jinak didepan pengunjung sehinga ada keselarasan yang
mewujud keindahan.
b. Ritual Sebagai Ruang Pentas Keindahan Bagi Krama Desa
Aktivitas ritual bagi masyarakat Bali, dan Desa Pakraman
Padangtegal tidak lain adalah ruang pentas untuk
mempertontonkan segala keindahan dari ide atau gagasan kreatif
masyarakat lokal. Oleh karena itu, segala bentuk ritual di Desa
Pakraman Padangtegal selalu memperlihatkan daya estetis yang
luar biasa. Tidak saja persembahan dan sarana upakara dibuat
indah, tetapi dalam setiap upacara juga dipentaskan kesenian
sakral sebagai pelengkap upacara. Bandem (2012:14) menjelaskan
bahwa tarian sakral atau wali merupakan pengiring dan pelengkap
dari upacara yadnya, jika tidak dipentaskan maka yadnya dapat
dikatakan kurang lengkap. Mengacu pada gagasan ini, jelas bahwa
setiap tarian wali yang dipentaskan masyarakat desa pakraman
pada saat perayaan ritus adalah sebagai pelengkap atau pengiring
ritual. Kesenian tari wali yang dipentaskan pada saat upacara
yadnya, terutama pada saat upacara Tumpek Kandang dan Tumpek
Uduh adalah Rejang Dewa, Wayang Lemah, dan Topeng Dalem
Sidakarya. Hutan Mandala Suci Wenara Wana yang semula hanya
dipenuhi riuhnya suara kera, terdengar suara genta sang wiku,
gamelan tradisional Bali, dan terian serta wayang lemah yang
menimbulkan suara Ramya atau riuh yang indah. Pentas ritual
tersebut dapat dikatakan sebagai ajang pertunjukkan daya
keindahan. Pertunjukkan tersebut bukan ditunjukan kepada para
pengunjung, tetapi kepada Ida Bhatara yang bersthana di Pura
Dalem Agung dan wilyah hutan yang telah memberikan
Lungsurang Lango kepada warga desa.
5). Kontrol Sekala dan Niskala
a. Kontrol Sekala
Keberadaan kawasan hutan Mandala Suci Wenara Wana
dapat dijadikan ikon pengembangan hutan dan wisata hutan yang
ideal. Kawasan tersebut secara eksplisit dapat menjadi pengendali
sosial secara sekala bagi masyarakat dan manusia untuk perduli
terhadap ekologis. Sesungguhnya, dalam teks sastra suci Hindu
lingkungan, hutan, pepohonan dan binatang dimuliakan sebagai
manifesfasi Tuhan (Prime, 2006). Demikian pentingnya
lingkungan terhadap kehidupan manusia, maka pelestarian
kawasan Mandala Suci Wenara Wana sangat memeperhatikan
betul sisi kealamian sebagai taman wisata yang berbasis
ekosentrisme. Dalam hal ini, regulasi dan aturan direduksi dengan
aturan desa (Awig-Awig), sehingga aturan tersebut sebagai norma
yang kuat, dan tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap aturan
tersebut ada landasan hukum, baik adat dan nasional sebagai
ganjaran logisnya.
35 36
b. Kontrol Niskala
Satua tenget tersebut menjadikan warga Padangtegal tidak
berani melakukan hal yang tidak baik terhadap lingkungan hutan,
terlebih kera sebagai “Jero Gede”. Semua ekosistem dijaga dengan
baik sehingga tidak ada perilaku yang melanggar norma tertentu.
Terlebih dalam konsep kesucian pura, bahwa areal di luar pura
dikenal dengan alas kekeran yakni hutan sebagai tempat olah batin
spiritual (Tim Penyusun, 2009). Dengan demikian, kawasan
Mandala Suci Wenara Wana selain sebagai media kontrol sekala,
dapat juga dijadikan kontrol niskala. Adanya kepercayaaan magis
tersebut akan mendidik warga dan manusia bahwa bagaimanapun
yang niskala adalah sangat dekat dengan kehidupan, terlebih tanah
Bali yang diyakini sebagai tanah yang metaksu. Untuk itu, niskala
dapat dijadikan guru kehidupan sehingga dapat menjalankan
kehidupan dengan seimbang antara sekala dan niskala.
4.2 SISTEM PENDIDIKAN AGAMA HINDU BERBASIS
TRI HITA KARANA PADA KAWASAN WISATA
MANDALA SUCI WENARA WANA
4.2.1 Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Proses pendidikan di keluarga yang begitu jelas terlihat
adalah adanya pola asuh religius yang tidak sengaja dilaksanakan
oleh krama desa. Pola asuh religius tersebut adalah adanya proses
pendidikan di keluarga yang melibatkan orang tua dan anak. Hal
tersebut jelas terlihat, ketika keluarga krama akan pergi
melangsungkan persembahyangan ke kawasan hutan Mandala
Suci Wenara Wana mereka dianjurkan terlebih dahulu untuk
melakukan prosesi persembahyangan di rumah atau di pura
keluarga masing-masing. Hal tersebut dipandang penting,
mengingat keyakinan krama desa bahwa pemujaan terhadap
Bhatara Hyang Guru dan leluhur adalah penting. Dengan
demikian, orang tua akan mengajarkan anak agar hormat kepada
leluhur dan Bhatara Hyang sebagai Tuhan yang bersthana di pura
keluarga.
4.2.2 Pendidikan di Lingkungan Desa Pakraman
Melalui perayaan ritus yajña Tumpek Wariga
sesungguhnya akan mendidik manusia, khususnya warga desa
pakraman untuk menghargai proses dan “kerja keras” alam
tersebut dalam berproses dan dalam pelaksanaan yajña. Adapun
kerja keras, usaha dan semacamnya adalah salah satu model
pendidikan karakter (Lickona,2013:112). Adapun pendidikan
dewasa ini, belum optimal mencapai hal tersebut, dan pendidikan
lebih mengarahkan agar manusia untuk melakukan segala
sesuatunya dengan segala hal dengan “sekejap mata” tanpa
melakukan kerja keras.
37 38
Bahwa prosesi perayaan ritus yajña Tumpek Uye atau
Kandang di Mandala Suci Wenara Wana merupakan media
pendidikan Hindu agar manusia, khususnya masyarakat di desa
Pakraman Padangtegal dapat mengembangkan kasih sayang
kepada semua makhluk. Sikap kasih sayang kepada semua
makhluk, khususnya populasi kera yang ada di wilayah hutan
Mandala Suci Wenara Wana.
4.2.3 Pendidikan di Lingkungan Sekaa Truna
Tatanan Palemahan dalam kawasan Mandala Suci
Wenara Wana akan memaksa warga sekaa menumbuhkan
hubungan karib dan harmonis dalam lingkungan alam.
Selanjutnya, tatanan Pawongan dalam kawasan Mandala Suci
Wenara Wana mengimbau warga sekaa truna dan krama desa
untuk mengembangkan interaksi akrab dan harmonis dalam
lingkungan sosial. Adapun tatanan Parhyangan dalam kawasan
Mandala Suci Wenara Wana mengingatkan warga sekaa kembali
membangun ikatan kekal dan harmonis dengan Tuhan dalam
lingkungan budaya. Ketiga lingkungan ini menggambarkan fokus
manusia melangsungkan kehidupan bersama dengan sesama
mahluk dan benda-benda.
4.2.4 Pendidikan Bagi Siswa Lewat Karya Wisata Guna
Pelestarian Lingkungan
Melalui pengajaran karya wisata maka siswa akan
memiliki pengetahuan yang komperensif berkenaan dengan
pembelajaran ekologis sehingga dapat dijadikan media
pemebalajaran dalam mengembangkan keperduliaan siswa
terhadap lingkungan. Khususnya di kawasan wisata Mandala Suci
Wenara Wana, Umunya siswa maupun mahasiswa yang
berkunjung untuk karya wisata akan membuat laporan penelitian
berkenaan dengan kawasan hutan dan ekosistem di dalamnya.
Siswa dan mahasiswa yang melakukan karya wisata akan
melakukan observer di kawasan hutan berkenaan dengan
pengelolaan hutan, sampah dan pengelolaan satwa kera yang
menjadi ikon kawasan wisata. Melalui karya wisata tersebut,
siswa, mahasiswa dan pengunjung secara tidak langsung
mendapatkan pengetahuan berkenaan dengan ekologis.
Sebagaimana dijelaskan Piaget (2001:112), bahwa seseorang
mendapatkan pengetahuan melalui proses adabtif intelek di mana
dapat melalui pengalaman akibat dari interaksi dengan lingkungan.
4.2.5 Pendidikan Agama Hindu Berbasis Indigenous Wisdom
(Kearifan Lokal)
Untuk mewujudkan jalur pendidikan non formal yang
berpusat indigenous wisdom Tri Hita Karana sebagai pusat
pembudayaan kompetensi, pembangunan harus melibatkan semua
komponen, mengimplementasikan core values Tri Hita Karana
39 40
ke dalam berbagai bentuk aktivitas. Agar memberi hasil yang
maksimal warga msayarakat desa Pakraman Padangtegal, staff
pengelolaan dan pengunjung harus mampu mempromosikan core
ethical dan performance values Tri Hita Karana yang telah
ditetapkan sebagai fondasi pembentukan karakter manusia. Ini
harus diawali dengan adanya wilayah yang mencirikan konsep
Tri Hita Karana secara nyata, bangunan Tri Hita Karana, simbol-
simbol nilai Tri Hita Karana dalam dalam berbagai aspek. Simbol-
simbol Tri Hita Karana yang menggambarkan keharmonisan
hidup harus mudah dibaca oleh siswa, tercetak dalam buku
pelajarannya, tas sekolah, pakaian sekolah.
4.3 IMPLIKASI SISTEM PENDIDIKAN AGAMA HINDU
BERBASIS TRI HITA KARANA DI KAWASAN
WISATA MANDALA SUCI WENARA WANA
TERHADAP DESA PAKRAMAN PADANGTEGAL
UBUD
4.3.1 Penguatan Sakralisasi Ekologis
Menguatnya aspek religius dalam kehidupan masyarakat
desa Pakraman Padangtegal dapat dilihat dari volume kegiatan
religius yang secara simultan dilakukan semakin meningkat.
Disamping itu, perilaku etis masyarakat memperlakukan alam dan
satwa di kawasan Mandala Suci Wenara Wana dapat dijadikan
sebagai sebuah deskripsi logis bahwa aspek religius sangat kuat.
Di samping itu, keyakinan akan yang sakral masih tetap
dipertahankan, sehingga agama menjadi sebuah kontrol sosial.
4.3.2 Penguatan Kesakralan Ekosentrisme
Implikasi lainnya yang tidak dapat dibaikan adalah
berkenaan penguatan terhadap ekosentrisme atau keberpusatan
terhadap alam dan lingkungan. Emik atau keyakinan yang
disepakati bersama oleh masyarakat desa Pakraman Padangtegal
dan pengelola bahwa tumbuhan disekitar kawasan Mandala Suci
Wenara Wana menjadikan hutan tersebut lestari serta dijaga
melalui penghijauan. Selain emik tersebut, kawasan Mandala Suci
Wenara Wana memajukan perekonomian masyarakat sekitar
bahkan Ubud secara keseluruhannya sehingga hal tersebut
menjadikan daya dorong bagi masyarakat Padangtegal untuk tetap
melestarikan hutan Wenara Wana. Oleh karena itu, manusia
khususnya masyarakat desa Pakraman Padangtegal sangat
tergantung dengan lingkungannya.
4.3.3 Penguatan Ekonomi Berbasis Tri Hita Karana
Sistem perekonomian yang diterapkan di kawasan
Mandala Suci Wenara Wana memiliki pola anutan bersesuaian
dengan konsep Tri Hita Karana. Hal tersebut dapat dilihat dari
sistem pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pengeloalan
41 42
kawasan Mandala Suci Wenara Wana. Secara emperikal,
pengelolaan modal ekonomi kawasan Mandala Suci Wenara Wana
secara nyata dapat membawa implikasi penguatan terhadap
perekonomian masyarakat desa Pakraman Padangtegal.
Keberadaan dari kawasan wisata Mandala Suci Wenara
Wana telah membawa implikasi terhadap penguatan ekonomi
masyarakat desa. Selain pemasukan yang datang dari kawasan
wisata tersebut, masyarakat desa dapat membangun modal
ekonomi mikro dengan mengembangkan berbagai sektor usaha
akomodasi pariwisata, seperti home stay, restoran, spa, dan yang
lainnya. Sebagaimana dapat disimak, disekitar wilayah Mandala
Suci, sampai dengan areal desa sangat banyak ditemukan unit-
unit usaha pariwisata.
4.3.4 Penguatan Kesadaran Wisata Berbasis Tri Hita Karana
Kawasan Mandala Suci Wenara Wana sedari awal berdiri
sudah mengusung tema budaya, yang dijiwai oleh ajaran agama
Hindu dengan menempatkan ekologi sebagai besik
pengembangan. Tentunya hal tersebut membawa implikasi
terhadap kehidupan sosial masyarakat desa Pakraman
Padangtegal. Pengembangan kawasan wisata Mandala Suci
Wenara Wana tidak saja berorientasi kepada pengembangan
pariwisata budaya, tetapi mendasarkan pada ajaran agama Hindu
( Tri Hita Karana) dalam pelestarian ekologi sebagai daya dukung
alam. Ideologi wisata demikian, secara terus menerus membawa
transformasi pola pikir masyarakat menuju pada peningkatan
kesadaran akan pentingnya pariwisata berlandaskan pada budaya,
agama dan ekologi.
Kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana secara tidak
langsung dapat dijadikan media pendidikan yang di dalamnya
terkandung muatan sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri
Hita Karana. Hal tersebut akan membawa implikasi positif bagi
masyarakat desa pakraman guna meningkatkan kesadaran mereka
akan pentingnya membangun sebuah ideologi pariwisata
bernafaskan budaya Bali, agama Hindu dan peduli lingkungan.
Dampak positif dari penerapan konsep Tri Hita Karana di kawasan
wisata Madala Suci Wenara Wana semestinya dapat difahami,
dapat dirasakan dan dihayati oleh semua orang.
4.3.5 Penguatan Pendidikan Ekosentrisme Berbasis Tri Hita
Karana
Keberadaan kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana
sebagai basis pengembangan wisata dengan ideologi Tri Hita
Karana, dan di dalamnya ada sebuah sistem yang merefleksikan
sistem pendidikan agama Hindu telah membawa implikasi dalam
berbagai aspek dalam kehidupan sosial. Selain implikasi yang
dijelaskan di atas, implikasi lain yang sangat penting juga
dijelaskan dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan terjadinya
43 44
penguatan terhadap ideologi kehinduan masyarakat desa
Pakraman Padangtegal melalui konsep Tri Hita Karana. Hal
tersebut dapat dilihat dari berbagai hal, mulai dari praktik religius
kehidupan warga, dan praktik-praktik lainnya.
V. TEMUAN PENELITIAN
Temuan penelitian bahwa ada wacana kekahwatiran
bahwa konsumerisasi lingkungan menimbulkan desakralisasi, dan
hal tersebut tidak berlaku dalam kawasan Mandala Suci Wenara
Wana. Hal tersebut dikarenakan adanya “penghayatan” dan
“pentaatan” akan hal yang sakral. Selain itu, kawasan Mandala
Suci Wenara Wana merupakan media pendidikan ekologi, dan
penting bagi guru sebagai media pembelajaran terutama bagi
komunitas lokal, bahkan orang-orang di luar Desa Pakraman
Padangtegal dapat menggunakan tempat ini. Mandala Suci
Wenara Wana sebagai modal natural tetapi dialihkan menjadi
modal ekonomi. Kawasan tersebut pula dapat memperkuat modal
natural dan memperbesar modal ekonomi. Temuan lainnya, bahwa
telah terjadinya penguatan terhadap yang sakral pada kawasan
hutan sehingga hutan lestari. Penguatan tersebut terjadi akibat
adanya keyakinan yang sakral melalui ritus suci.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Latar belakang pelestarian kawasan wisata Mandala
Suci Wenara Wana meliputi: (1) Adanya pemenuhan kebutuhan
agama melalui penghayatan akan yang sakral dan hal tersebut
tersebut dapat dilihat ketika masyarakat desa Pakraman
Padangtegal memperlakukan kawasan Mandala Suci Wenara
Wana agar tetap lestari. Masyarakat desa Pakraman
Padangtegal Ubud melestarikan kawasan Mandala Suci Wenara
Wana tidak hanya dilatar belakangi atas kepentingan
komodifikasi wisata tetapi lebih kepada penghayatan akan yang
sakral. (2) Adanya pemenuhan kebutuhan sosial sebagai
penguat solidaritas sosial. (3) Pemenuhan kebutuhan ekonomi
dapat dilihat dari pelestarian kawasan Mandala Suci Wenara
Wana yang sudah jelas berkaitan dengan pendapatan,
keuntungan dan uang. Semakin besar keuntungan maka
semakin besar peluang mengakumulasi uang, dan menjadi
pertanda bahwa pengelolaan kawasan Wenara Wana sangat
baik. (4) pemenuhan kebutuhan estetis, yang mana segala
aktivitas ritual memunculkan nilai keindahan (sandining
lango). (5) Kontrol sekala-niskala yakni secara sekala melalui
awig-awig dan niskala melalui kepercayaan terhadap yang
gaib.
45 46
Sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri Hita
Karana meliputi beberapa hal, yaitu: (1) Sistem pendidikan
di keluarga melalui aktivitas ritual di keluarga dan kawasan
hutan. (2) Sistem pendidkan desa pakraman sebagai media
pembelajaran krama desa terhadap ekologi. (3) Pendidikan
berpusat dilingkungan sekaa truna dengan melibatkan mereka
dalam setiap kegiatan desa, upacara dan penyuluhan
lingkungan. (4) Pendidikan Siswa melalui karya wisata dengan
memanfaatkan kawasan hutan sebagai media pendidikan bagi
siswa.
Implikasi sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri
Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana
terhadap desa Pakraman Padangtegal meliputi: (1) Penguatan
sakralisasi ekologis dengan meningkatnya intensitas yajña dan
masih tetap dipertahankannya simbol-simbol suci Hindu. (2)
Penguatan kesakralan ekosentrisme, dan keberadaan Mandala
Suci Wenara Wana adalah sebagai media pelestarian
lingkungan dan alam, (3) Penguatan terhadap ekonomi
masyarakat karena adanya sistem pengelolaan keuangan dari
kawasan Mandala Suci Wenara Wana yang sepenuhnya
dikelola oleh desa pakraman. (4) Penguatan kesadaranwisata,
dan pentingnya pariwisata berorientasi budaya-agama dan
ekologi Hindu, (5) Penguatan pendidikan ekologi yang
berdasarkan atas ajaran Tri Hita Karana .
6.2 Saran
Peneliti menyarankan sebagai berikut:
1. Kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana harus tetap
dipertahankan sebagai pariwisata yang berbasis budaya dan
agama Hindu oleh semua pihak. Pelestarian hutan melalui
perluasan hutan menjadi sangat penting dan perlu,
mengingat bertambahnya populasi kera, dan hal ini harus
dibuatkan konsep/blue print yang jelas.
2. Peran serta masyarakat dan pengunjung harus ditingkatkan
dalam mengembangkan kesadaran untuk menjaga alam dan
lingkungan.
3. Pemerintah daerah seyogyanya berperan aktif dalam
mengelola kawasan Mandala Suci Wenara Wana agar tetap
mempertahankan ideologi Tri Hita Karan agar tetap ajeg.
4. Masyarakat desa Pakraman Padangtegal boleh dikatakan
sudah makmur secara ekonomi, tetapi perlu juga
dikembangkan sector usaha ekonomi produktif untuk
mengembangakan usaha-usaha kreatif dalam rangkan
menciptakan lapangan pekerja.
5. Makanan kera lebih baik dibudidayakan dengan menanam
agar dapat menghemat pengeluaran biaya makanan kera dan
satwa lainnya.
47 48
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja.2015.Ngaben+Memukur=Tubuh+Api+Uperengga+Mantra=dewa
Pitara+Sorga. Denpasar: Pustaka Larasan.
Fashri Fauzzi.2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol.
Yogyakarta: Jalasutra.
Goris. R.2013. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali.
Denpasar: Udayana University Press.
Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi dan
Aplikasinya. Jakarta : Ghalies Indonesia.
Kaelan,2010. Filsafat Penelitian Sastra dan Teori Heurmeneutik.
Yogkarta: Paradigma.
Lickona. Thomas.2013 Decating for Charakter Mendidik Untuk
Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Ritzer George dan Goodman Douglas J. 2013. Teori Sosiologi
Dari Klasik Sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosial
Postmodern. Bantul Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Sivananda Swami.2003. Intisari Ajaran Agama Hindu. Paramita:
Surabaya.
Sudira Putu.2014. Konsep dan Praksis Pendidikan Hindu Berbasis
Tri Hita Karana. Jurnal Ilmiah. UNY Yogyakarta.
Suryawan. I Ngurah.2010. Bali Antah Berantah Refleksi di Dunia
Hampa Pariwisata. Malang: Ins-Trans Publising.
Tim Penyusun Sinar Grafika.2013. Standar Nasional Pendidikan.
Jakarta: Sinar Grafika.
MANDALA SUCI WENARA WANA TOURIST
ATTRACTION AT PADANGTEGAL UBUD, GIANYAR,
BALI TOURIST DESTINATION
(A PERSPECTIVE ON HINDU TRI HITA KARANA OF
THE LOCAL COMMUNITY)
I. INTRODUCTION
1.1 Background
In Hindu, an education on environment is known as Tri
Hita Karana. Conceptually, the Tri Hita Karana is the foundation
for creating a harmony between men and God (parhyangan), men
and men (pawongan) and men and the environment (palemahan)
(Wiana, 2009: 126). The concept is also seen as an education that
emphasizes a domain in which harmony may be attained when
the relation between the three is maintained. Sudira (2014: 2)
writes that the teachings of Tri Hita Karana is a Hindu concept
that leads people towards good characters, spiritual, as well as
good material condition.
As one of the tourist destinations in Bali the forest area of
Mandala Suci Wanara Wana has been managed in accordance
with Tri Hita Karana. It emphasizes appreciation and maintenance
of all God’s creatures in the world. The spiritual activities of the
local people have made the area beautiful and peaceful and feel
to have the good energy (taksu). The rituals the people do show it
all. As for the monkeys and other animals in the forest, offerings
are regularly made. When it comes the holy day of Tumpek
49 50
Nguduh, a special ritual is also held for the trees and plants of the
forest. These all indicate the education and the practice of the
teachings of Hindu within the harmony management of the tourist
spot of which trees, plants, monkeys, and other animals living in
the forest should be regarded as the teachers. In other words, the
tourism area of Mandala Suci Wenara Wana actually is not all
developed merely for tourism benefit but has been also in
accordance with kind of spiritual and traditional ritual basis.
Although regularly do rituals for honoring the plants and
animals around, most Hindus, especially those living at
Padangtegal, learn that the Mandala Suci Wenara Wana is a tourist
area. They do maintain strongly the ceremonial tradition passed
down by the predecesors.
However, such a premordial tradition may affect negatively
the sacred area and distort the educational values. In recent time
the management find problems that are indirectly caused by the
global capitalism and westernisation trend in the island. Allegedly,
the Hindus living around the Desa Pakraman Padangtegal begin
to be consumtive and ignore the spiritual energy of the place in
favor of money. The peace and spirit have been disturbed since
the race for money keep increasing. In the future the education
within the old tradition is feared to be totally forgotten and replaced
by the postmodernism. Thus, the research is seen to be important
in order to find a solution for avoiding them. This is the
background for the importance of doing this research.
1.2 Research Problems
Based on the background of the study, some problems
formulated for the research are below.
1. How could the tourist area of Mandala Suci Wenara Wana at
Desa Pakraman Padangtegal Ubud be maintained well?
2. What is the system of the Hindu Tri Hita Karana education
practiced at the tourist area of Mandala Suci Wenara Wana at
Desa Pakraman Padangtegal Ubud like?
3. What could be the implication of the system of the Hindu Tri
Hita Karana education practiced at the tourist area of Mandala
Suci Wenara Wana at Desa Pakraman Padangtegal Ubud?
1.3 Research Objectives
1.3.1 General Objective
In general this research is aimed at developing a spiritual
discipline that is based on the Hindu teachings. It is also carried
out in order to develop the awareness of Hindus about the
importance of preserving the natural environment. Implied in it,
this research could reproduce the Hindu identity so that the religion
exists amidts the global culture.
1.3.2 Specific Objective
1. To describe the background for the maintenance of the tourist
tourist area of Mandala Suci Wenara Wana tetap at Desa
Pakraman Padangtegal Ubud;
51 52
2. To describe the system of the education based on the Hindu
teachings of Tri Hita Karana as found at Mandala Suci
Wenara Wana area at Desa Pakaraman Padangtegal Ubud, and
3. To describe the implication of the education.
1.4 Research Benefit
This research should provide benefits for people, both
theoretically and practically.
1.4.1 Theoretical Benefit
Through this research there should be a contribution for
developing a concept and theory on environmental education.
In addition to that, this research should also give a benefit for
the reformulation of Hindu education as it is still much in
need today.
1.4.2 Practical Benefit
Practically the research may provide the following benefits.
1. For the young generation this research should be a reference
for the effort of preserving the environment of Desa Pakraman
Padangtegal
2. For the regional officers and stake holder this research should
be considered before drawing any decision related to the
environment.
3. For the society in general, this research should be also taken
as a source of education to adjust their attitudes towards the
environment.
CHAPTER II
LIBRARY RESEARCH, CONCEPTS, THEORIES, AND
THE RESEARCH MODEL
Some previous research on environment and research on
education related to it include Heny (2004), Siram (2012),
Pujastawa (2011), Wiradharma (2003), Suartama (2011), Wiguna
(2009), Rickinson (2001), Haryani (2007), and Collective Study
(2013). Thus, in order to understand better the education based
on the Tri Hita Karana further studies are needed in order to
contribute to the national education in general and especially the
Hindu education.
2.2 Concepts
2.2.1 Mandala Suci Wenara Wana
The word “mandala” refers to ‘area’, ‘rule’, ‘religious
institution’, and ‘environment’. Heendeniya (2009: 90) says that
the word “mandala” means a picture with colored rice on land or
cloth made as an instrument for concentrating mind. It may also
mean the areas connected each other in forms that keep power
and sacredness for protection. Sarasvati (2002: 75) explains that
mandala is a set of pictures in pattern; a secret place of Tantric
folowers for contemplation. The word “suci” is a common one
that used to mean ‘sacred’.’clean’, unpolluted’, etc. The word
“wenara wana” as found in Kamus Besar Bahasa Indonesia, the
fourth edition (1995: 346), means the forest inhabited by monkeys.
53 54
Based on all of these, the name Mandala Suci Wenara Wana can
be understood as a clean and sacred area of forest in which
monkeys inhabit.
2.2.2 The Tourist Area of Padangtegal Ubud
The term tourist area is used to refer to an area that can
attract tourists. However, regarding the government regulation
(Peraturan Pemerintah) in 2009 the reference of the term has been
revised. For the purpose of this research, the term and its reference
are maintained.
In general, the tourist area of Padangtegal is divided into three as
described below.
1. The natural tourist area, which includes river, lake, forest, etc.,
as well as those that are managed by people, such as ricefield,
water resevoir, and the irigation.
2. The cultural tourist area, which refers to any interesting men
creation that include life styles, ceremonies, and tradition.
3. Man made attraction, which refers to any attraction made to
meet the needs and wants of men such as playing zone, game
spot, etc. (Suryawan, 2012: 90).
Refering the above explanation, The Padangtegal Tourists
Resort is a tourists resort develop based on natural, cultural,
and men made attraction.
2.2.3 Hindu Education Based on Tri Hita Karana
The purpose of Hindu Education is in accordance with the
goal of Hindu Religion that is to attain “Jagadhita” and “Moksa”
formulated in Sanskrit words: “Atmano Moksartham Jagadhitaya
ca iti dharmah.” Therefore, the objective of the Hindu Education
is actually the same as the above formulated purpose of Hindu
Religion, that is to attain “Jagadhita”(prosperity and happiness
in this world) and “Moksa” (the eternal happiness, the unity of
Atman and Brahman). The purpose of education, in Indonesia, is
aimmed to turn the students to maturity (kedewasaan). The word
“dewasa” derives from the word “devasya”(sanskrit word) that
means a person having divine characters. In Bhagavadgita,divine
characters or tendencies are called “Daivi-Sampat” that is all
honorable attitudes and behaviours. Sivananda (2003: 259)
explained that the purpose of education is to lead a person towards
the right way and develop virtues, that can change someone’s
character (towards honorable character) that can help people
attaining leberation, perfection, and knowledge of the Self (Atma)
and therefore someone can live with honesty. Those which lead
to such goals are the true education.
Tri Hita Karana basis means that it is based on the Tri Hita
Karana philosophy. The word “basis” lexically means “basis”,
“core”, “port”, “basic line” and the like. The word “basis” is also
defined as “asas” and “basis” and therefore “berbasis” means
based on or the basis in development. Environment based, in this
case, means that the study is based on environmental study. (Tim
55 56
Pustaka phoenix, 2009: 126). However, Tri Hita Karana according
to Wiana (2010: 9) is tree causes that create harmony relationship.
Tri means three, Hita is happiness and Karana is the cause. Three
causes of the harmony relationship between Men and God
(parhyangan), men and men (pawongan) and men and
environment (palemahan).
2.2.4 Local Community
Community (komunitas) can be defined as specific group
of people living in a certain area, having the same lifestyle, being
aware as one unity, and being able to act collectively as an effort
to achieve the goal. Community is a social group from some
organisms of environment, usually having the same interests.
Community (komunitas) derives from latin word “communitas”
meaning “sameness”, also can be derived from “communis”
having the same meaning. “Komunitas” in this research is defined
as social group which means group of individuals or social groups.
2.3 Theory
Theory is a tool to explain an understanding that can be
verified, and is used to predict certain events (Soelaeman,
1995:14). Hence, based on that definition, the theories used in
this research are:
2.3.1 The Theory of Structural Funtionalism
The Theory of Structural Functionalism used is from Talcot
Parsons. The Theory is lexically derived from two words. Those
are “functional” dan “structural” Talcott Parsons (in Nasikum,
2003: 11). The basic premises of the theory are as follows:
The emergence of Structural Functionalism is as different
perspective, Emile Durkheim (in Margaret, 2003: 25) states that
community has to be seen as an organisation as a whole having
its own reality. The wholeness has a set of needs that has to be
fulfilled by parts becoming members in order to attain normal
and sustainable condition. If the needs are not fulfilled, then, a
“pathologic” condition will grow.
Based on the above explanation, The Theory of Structural
Functionalism is very relevant to study of the conservation of
mandala Suci Wanara Wana tourist area. The existence of the
tourist area can not be separated from community involvements
as a system having reciprocal relationship, and the existence of
interraction and changes whithin it. Therefore, Structural
Functionalism is the theory used to explore and to analize the
first problem in relation to background or reason of Mandala Suci
Wenara Wana keep sustainable in Desa Pakraman Padangtegal.
2.3.2 The Theory of Social Control
Social control can occur in daily life to attain harmonious
and stabil daily life. Wih this social control, distortion happening
in community can be reduced especially those which are done by
youngsteers. Hence, control social has to get deep and fundamental
attention. The main idea behind the Theory of Social Control is
that distortion is the product of control emptiness or social control.
57 58
This Theory is developed based on premises that each man tends
to act against the low. Therefore, experts of this Theory, judge
that behavioral distortion is a logical consequnce of one’s failure
in obeying the low. In this case, The Social Control Theory is
parallel with the Conformity Theory. (Bagong, 2004).
Based on the above explanation, the Social Control Theory
can be summerised as self control. The key towards learning of
self control is socialization, especially during childhood. Parents
can help children in developing selfcontrol by controlling and
giving them punishment by their deviant acts. Roucek (1987: 2-
3) states that social control and self control are different although
both are closely related. In an individual level, social control refers
to an effort to influence others. Self control refers to an effort to
influence or leads the individual behavior to become his member.
Hence, from that perspective, social control refers to and comes
from self control. Therefore, there must be differences between
self control and social control but its relationship should be
acknowledged. The Theory of Social Control is very relevant to
use in leading the researcher’s thougth to study the background
of Mandala Suci Wenaran Wana tourist area sustainable up to
now.
2.3.3 The Theory of Ecosentrism (Ecosentrism
Environmental Ethics)
The Theory of Ecosentrism Environmental Ethics is one
version of Ethic Theories which is also welknown as Deep
Ecology (Keraf, 2002: 76). Difer to other theories, e.g Biocentrism,
which pays attention to the whole life, ecosentrism focuses on
the ethics of all ecological community, both animate and inanimate
beings. The first Theorist that developed Deep Ecology was Arne
Naess, a Norwegian Philosopher in 1973. She was, then, known
as a prominent figure of moral movement on environment called
Deep Ecology. This movement, up to now, has got big influences
on other big moral movements on environment. Naess (1989: 124)
states that this ethic considers the effect of human acts directly
towards non human creature and universe as a whole.
Based on the above description, this Theory is used to study
the implication of the existence of Mandala Suci Wenara Wana
tourists area to the community of Desa Pakraman Padangtegal
Ubud. This Theory can also be used to explore values of Hindu
Religion Education whithin Mandala Suci Wenara Wana tourist
area.
2.3.4 The Humanistic Theory
The theoretical ideas of this Humanistic Theory are based
on premises viewing more from human character development
perspective. This approach sees human in developing themselves
to do positive things. The ability of doing these positive things is
known as human potency and lecturers following the Humanism
usually focuse the learning on the development of positive
capability as a self potency. Hergenhahn, (2010:329) explains that
this positive capability is closely related to the development of
59 60
positive emotion within the afective domain. Based on the
above description , obviously the Humanistic Theory can lead
the researcher’s analysis that the environment (Mandala Suci
Wenara Wana tourist area) undirectly, can be said as facilitator in
developing children’s potencies, especially on environment
education. Environment functions in stimulating students’
potencies so that their potencies can grow and develop. In addition,
environment also encourages learning motivation through
experience so that children are aware of the importance of the
environment in life. In other words, environment is teacher for
the men.
2.4 Research Model
Keterangan Bagan:
: two ways directly reciprocal relationship
: one way direct relationship
: expected relationship
HINDU RELIGION
Samudra Kertih Sustainable Ocean
Wana Kertih Sustainable Forest
Jana Kertih Sustainable Human
Wenara Wana
Conservation based
on Balinese
Tradition
Mandala Suci Wenara Wana
tourist area at Padang Tegal
Ubud
Tourism
Globalization
Hindu Religion
Education system of based on Tri Hita
Karana at Mandala Suci
Wenara Wana Tourist
Resort
Implication of Education
System based on Tri
Hita Karana to Desa
Pakraman Padangtegal
Background of
Mandala suci Wenara
Wana is sustainable
up to now
Developing awareness of Hindu Youth Generation to maintain the sacredness of
forest area of Mandala Suci Wenara Wana Tourist Resort.
61 62
CHAPTER III
RESEARCH METHOD
3.1 Type of Research
Research type of Mandala Suci Wenara Wana at Padang
Tgeal Tourist area, Ubud, Ubud, Gianyar, Bali (Perspective of
Hindu Religion Education based on Tri Hita Karana on local
community) is a qualitative research which studies the ecological
education. Kaelan (2010:5) explains that qualitative research
characteristic locates on area becoming the focus of research, and
does not emphasize on quntum or number. But, more emphasize
on academic quality for concerning definition, values concept,
and also characteristics implied on other research area.
3.2 Location of Research
The research location is at Desa Pakraman Padangtegal,
Ubud subdistrict, Gianyar Regency as a unit area, and Mandala
Suci Wenara Wana tourist resort. This location is chossen based
on some considerations, those are Desa Pakraman Padangtegal
tourist resort belongs to a strategic tourist resort in Ubud area. In
that area, Mandala Suci Wenara Wana area is developed as tourist
resort so that it is interesting to study and analyse. It is a tourist
resort that keeps the environment as basis in developing
international tourism.
3.3 Type and Sources of Data
Type of data collected and used in accordance with the urge
of this research is the qualitative data. The qualitative data needed
in the research is in the form of statements, words, ideas, opinions,
and notes related to problems being studied.
According to Bungin (2001:128) type of data is devided in
to two, those are primery sources data which is collected first-
hand from field (Field Research) from interviwee. (Iqbal, 2002:
23), The qualitative data are obtainned through observation,
documentation, and interview with figures who are considered to
be understanding problems being studied. Based on the
explanation, the primary data sources in this research are obtained
from informants who understand well the existence of Mandala
Suci Wenara Wana tourist area.
Secondary data are data collected from existed sources or
written library research. (Iqbal, 2002: 23). The secondary data in
this research are all supporting statements obtained from thesis,
books, and articles concerning relevant ideas to the topic of the
research.
3.4 Research Instrument
Most of the data obtained in this research are colleted by
the researcher supported by interview guidline. Based on the
technique, the main instrument in this research is the researcher
by using interview guidelines consisting of some open questions.
In searching and collecting data, the researcher first-handly collect
them on the field and at the same time the researcher do data
63 64
processing that include data reduction, classification, and
interpretation.
3.5 Tchnique of Informant Determination
The informants in this research are those who are considered
to know the problems studied by firstly determining the key
informants consisting prominent figures of the village knowing
well the existence of Wenara Wana tourist area. The determined
informants in this research are Bendesa Adat, management of
Wenara Wana and other prominent figures and community
members within and arround Desa Pakraman Padang Tegal, Ubud.
3.6 Technique of Data Collection
Method of data collection is one of the acts or works in
recording the event, incidents, opinions, or characteristic partly
or wholly the elements used to support the research. Therefore,
there are some techniques used in data collection in order that the
data obtained valid and reliable (Bungin, 2001: 129). Therefore,
the method used in this research is as follows.
3.6.1 Observation
Black and Champion (in Suprayogo dan Tabroni, 2001 :
169-170) devide observation into two categories, those are: (1)
participatory obsevation method and (2) non-participatory
observation method. In participant observation, a researcher can
act double. Since directly involving in the research area being
studied the researcher can enjoy and be more intimate with the
subjects being researched and also is posible to ask questions
more carefully, better sequence, and more detail. The non-
participatory observation does not only need the researcher’s
participatory focused on activities/phenomena of the subjects
being researched. In qualitative research, a researcher focuses
on how to observe, record, and write notes of the phenomena
being researched.
3.6.2 Interview
Interview is used as technique of collecting data if a
researcher wants to do a study to find out problems to be studied,
and also if a researcher wants to know things deeply from
informant. According to Sukandarrumidi (2002: 88) states that
interview is a process of spoken question and answer, where two
or more people are physically face to face, one can see another,
and listen to the voice by his or herown ears. Furthermore, Fathoni
(2006: 105) states that interview is a technique of collecting data
through one way process of spoken question and answer, meaning
that questions come from interviewer and answers are given by
the interviewee.
3.6.3 Documentary
Iqbal (2002: 87) states that documentary method is
technique of data collection which is not proposed directly to the
research subject but through document. Sugiyono (2005: 82) states
65 66
that document is notes of the past events. Documents can be in
the form of writings, pictures, or monumental works of someone
or object of research.
3.6.4 Library Research
Library research is techniques of gathering information
concerning manythings in the form of theories, concepts,
generalizations, which can be used as theoretical basis of the
research. Equipments of a researcher in each science would not
be complete without supports from facilities of vocational library.
(Surachmad, 1978:238).
3.7 Technique of Data Analysis
Sugiyono (2008: 244) states that data analysis is a process
of gathering and sistematically orderring the data obtained from
interview, field notes, documents, by organizing them in to
chategories, spelling them out into units, synthesizing into
patterns, choosing the important data which is suitable to be
studied, and also deriving conclusions so as easy to understand
by the the researcher and others.
3.8 Technique of Presenting the Result of the Data Analysis
The result of the data analysis has been described above
will generally presented in two ways: informal and formal. This
presentation is done based on the data obtained from data sources,
then analysed in accordance with the technique of analysis. The
informal data presentation is qualitative data seen through
naration, description supported by the arguments. Formal data
which is quantitative data are presented to clarify and make it
easier in understanding the research results in the form of matrics
and table in accordance with types and kinds of data. The result
of the data analysis are sistematically devided into chapters.
67 68
IV. Result of The Research
4.1 Background of Mandala Suci Wenara Wana Conservation
1). Fulfilling the need of Pahyangan
The existence of Mandala Suci Wenara Wana at desa
Pakraman Padangtegal Ubud Bali as a sacred and conserved forest
area is to meet the needs of Pahyangan aspect and a place for the
Hindus at Desa Pakraman Padangtegal in conducting religius
activities. In other words, concervation of the forest area, Manda
Suci Wenara Wana is to fulfill the needs of religious need as one
aspect, pahyangan, of the Tri Hita Karana concept. The fact can
be seen by the existence of the temple inside the forest area named
Pura Dalem, Prajapati, Beji Desa Pakraman Padangtegal. Thus,
the background of conservation of Mandala Suci Wenara Wana
elementary refers to an effort to fulfill the need of Pahyangan
element, inwhich ritual activities, arts, and culture exist.
In relation to the above description, background of the
conservation of Mandala Suci Wenara Wana area as a fulfillment
of Pahyangan element can be explained below.
a. There is a belief in “the sacred”
The belief in the sacred at Desa Pakraman Padangtegal
Ubud can be seen in which the villagers of Desa Pakraman
Padangtegal treat Mandala Suci Wenara Wana area stay
conserved. The community of Desa Pakraman Padangtegal Ubud
conserve Mandala Suci Wenara Wana area is not only motivated
by tourism commodification interest but more by the believe in
“the sacred”.
b. The Temple of Pura Dalem Agung as symbol of the presence
of “The Sacred”
The establishment of Pura Kayangan Desa Dalem Agung,
Prajapati dan Beji which is located in the middle of Mandala
Suci Wenara Wana forest area can be said as the centre of desa
pakraman in doing the ritual “respect” to the sacred. The existence
of the holy place has become one of the strong resources
strengthening the locals’ belief in the Mandala Suci Wenara Wana
tourist attraction as a sacred spot and as the symbol of the presence
of the sacred. Temple, for the Hindus, is a sacred holy place for
Gods and Godess to reside (Titib, 2003:88, Wiana, 2008:7,
Suhardana, 2010:9).
The community of Desa Pakraman Padangtegal do believe
that Pura Dalem Agung Desa Pakraman Padangtegal is the temple
of the Almighty God, Ida Sanghyang Widhi in his manifestation
as the sacred Ida Bhatara Dalem Lingsir that is sanctified by the
local community. Based on the locals’ belief, the Pura Dalem
Padangtegal is the temple of Ida Bhatara in the form of Barong
Macan and other idols as object of worship.
c. Strengthened by sacred (Tenget) folklore
Many sacred (tenget) stories evolve and still exist in the
area of Desa Pakraman Padangtegal with regard to the area of
Mandala Suci Wenara Wana. The existence of the mythical stories
69 70
on magical covering as unreal thing can not be denied. However,
Padangtegal people think and believe that the stories contain valid
truth. It is proved by the oral story from some people’s experience
who tell and even experience that the forest area is sacred (tenget).
On that basis, the public believes that the forest is sacred
(Tenget) and should not apply arbitrary. Satua-Tenget story that
develops in Desa Pakraman Padangtegal can also be interpreted
as the result of filtered thinking of ancestors or elders of the
Padangtegal village as a result of the process of “thinking” (amuter
tutur pinehayu) in which a hidden truth within.
d. Religious Activities at Mandala Suci Wenara Wana
The activities of yajña rite celebration which are often
conducted in the forest of Mandala Suci Wenara Wana are
celebrations of rites for Gods (Dewa Yajña) ceremony coincided
with Tumpek Uduh (Wariga) and Tumpek Kandang.
In adition to religious activities in the form of Tumpek Uduh
celebration in Mandala Suci Wenara Wana forest area, Tumpek
Kandang celebration is also conducted. People living in the area
of Desa Pakraman Padangtegal on holy day of Tumpek Kandang
give offerings to Jero Gede (monkeys) inhabiting the forest area
of Mandala Suci Wenara Wana. The activities of yajña rites is
conducted by all the villagers by offering various sacrement or
banten to Ida Bhatara or Hyang Pasupati as the otherity of
monkeys (Jero Gede) inhabiting the forest area of Mandala Suci
Wenara Wana.
2). Meeting the Needs of Pawongan Elements
Generally, the Balinese social interraction occurs in a social
environment of Desa Pakraman. With the ritual held at Desa
Pakraman, then, indirectly social interraction and solidarity will
happen. Thus, pawongan aspect in the concept of Tri Hita Karana
realized in ritual and religious activities in the neighborhood of
Desa Pakraman. In the village of Desa Pakraman Padangtegal,
social interraction occure in the Desa Pakraman, and substantively
the presence of Desa Pakraman is as media of applying the
pawongan concept.
a. Ritual Strengthens Solidarity within villagers (Krama Desa).
Ritual activities performed in the Mandala Suci Wenara Wana
are effective medium in strengthening social solidarity among
villagers. Thus, ritual activities do not necessarily agree to an
anomaly paradigm of the presence that rituals burdensome and
impoverish the people. Such religious activities are, moreover,
strengthening like Korn expressed his tesis about the powerful
villagers of Bali, that what has become strength pushing Balinese
into groups firmly united, gather at certain moments is “service
to the Gods and Godess “ who is constantly asking for attention,
respect and devotion from the population (Goris, 2013: 2).
As explained earlier, that the religious activities in the area
of the Mandala Suci Wenara Wana coincide with the holy day of
71 72
Tumpek Kandang and Tumpek Wariga and other holy days. At
the time of the celebration, all the villagers come to merit (ngayah),
and make offerings upon piodalan. Meritorious acts (ngayah)
system is a Balinese traditional system with special characteristics
of honest and straightforward in it. Although, people Padangtegal
have changed now, because people no longer do ngayah system
entirely but paid. Nonetheless, there are values of ngayah
principle that are still maintained. Although using payment
system, the community still maintain the integrity between the
social structure so that a regular pattern in the realm of interraction
established. That is, the villagers maintain good relationship
between village structuration, such as kerta desa with bendesa
or village leaders with villagers. The pattern of good relationship
among the villagers or the village leaders with villagers become
better through their encounter in a religious activity.
b. Ritual Strengthens the Family Solidarity
The incredible thing to be found in Balinese Hindu family,
including in Desa Pakraman Padangtegal, is that the existence
of religious activities in the form of rituals conducted in the family
temple. In family ritual conducted in the family temple (pemerajan
and sanggah) family can strengthen social solidarity within the
family because during the ritual simultanous social interraction
will occur. Moreover for Desa Pakraman Padangtegal,the
existence of Mandala Suci Wenara Wana area indirectly can bring
stronger solidarity between families. Religious activities
conducted in Mandala Suci Wenara Wana area do not only involve
villagers in general but also all the family components. All family
are involved so that intens interraction among families occur and
unwittingly will have an impact on the improvement of social
relationship.
c. Ritual Strengthens Sekaa Social Solidarity
One of Bali’s cultural diversity is the existence of sub-social
groups called sekaa such as artist group, crafters group, etc..
Atmaja (2015) explains that in order to strengthen the role of
Desa Pakraman as centre of Balinese Culture development, then
in Desa Pakraman exists sekaa as traditional organisation in
smaller scale.
The existence of sekaa at Desa Pakraman Padangtegal can
be said to have always been existed and those include: sekaa truna
(youth organisation), sekaa gong (gambelan orcestra group), sekaa
santi (balinese religious singers groups), sekaa of productive
economy and other sekaa. Each yadnya ritual performed at
Mandala Suci Wenara Wana or at desa pakraman area, sekaa
truna plays a very active role in helping the process of yadnya
ceremony. Members of sekaa directly involve in every ritual as
pengayah (volunteer) of sekaa gong, santi,etc. That is because
the existence of the sekaa gong, santi, and the others cannot be
separated from sekaa truna. The activeness of the sekaa members
indirectly can increase and strengthen social solidarity ties omong
sekaa members. So as the other sekaa, e.g sekaa gong and
73 74
pesantian; they involve in every yadnya rites so indirectly there
will be social interration within.
In adition to those sekaas, sekaa subak can still be found in
Desa Pakraman Padangtegal, that has orientation on agriculture.
Sekaa Subak existing in desa pakraman has strong bonds,
especially Subak becomes a cultural asset that can be used to
accumulate capital.
3). Meeting the Needs of Economy
All potencies posessed by Mandala Suci Wenara Wana
tourist area have become strategic commodity, especially the
existence of jargon that the development is based on culture and
ecology (Tri Hita Karana) so it becomes special attraction. As
Bourdieu (1990:109), Fashri (2014:100) explain that cultural
capital is one capital in the social realm that can accumulate
financial capital (economy).
a. Local Economy
The existence of Mandala Suci Wenara Wana becomes
profitable asset for the members of Desa Pakraman Padangtegal.
The area of Mandala Suci Wenara Wana with all its attraction
and asset certainly become object to accumulate economic and
financial capital. As mentionned earlier that the management of
of Mandala Suci Wenara Wana tourist attraction is under Desa
Pakraman as local organisation. In other words, Desa Pakraman
Padangtegal is the owner and the capital holder of Mandala Suci
Wenara Wana tourits attraction along with monkeys in it so that
villagers can be said to reap the benefit of the capital ownership.
Based on that description, it can be said that Mandala Suci Wenara
Wana area is one of the capital resources that spreads on social
domain.
b. Family and Village Economy Movers
The existence of Mandala Suci Wenara Wana area, besides
as local economy mover, the area is specifically as family and
village economy movers. Fashri (2013:11) cites Bourdieu’s
statement that economic capital is as basis of other capital. It means
that economic capital ownership can convert other capital, simply
one with economic capital, then he can control cultural capital
and other capitals. Thus, the economic capital is the most important
to be possessed according to Bordiau thought. Bordieu’s
theoretical idea is seemingly applicable to people of Desa
Pakraman Padangategal in using Mandala Suci Wenara Wana
area. The more tourists visit to the area, the more family and
village members establish various tourism business in order to
accumulate economic capital, that is financial capital.
The existence of Mandala Suci Wenara Wana area at Desa
Pakraman Padangtegal is the most attracting tourist attraction
achieving highest domestic and international tourists to visit Ubud.
Hence, the Mandala Suci Wenara Wana area can be said to have
specialty in accumulating economic capital. In addition, special
to the villagers of Desa Padangtegal, the existence of this area is
the jobs resources to strengthen family economic capital. It can
be seen and observed from the area around Mandala Suci Wenara
Wana and the village of Padangtegal; so many artshops
75 76
established, hotels, homestays, spa, restaurants, and other tourism
accomodation services that produce financial benefit.
c. Financial Income for Desa Pakraman
Mandala Suci Wenara Wana area does not only bring benefit
for capital owner or investor but it also brings finacial benefit for
desa pakraman as a whole. Based on the contents of the village
perarem (agreement), it is known that the strengthening of the
economy of Desa Pakraman Padangtegal does not only come
from the Mandala Suci Wenara Wana tourist attraction but also
from outside businessmen and those who establish production
enterprises at Desa Pakraman Padangtegal. It makes the people
of Desa Pakraman Padangtegal obtain high level of prosperity
compare to the other area.
As mentioned in the awig-awig (village regulation) that
LPD, Mandala Suci Wenara Wana area, stall complex, parking
area and the other are the assets of Desa pakraman. Those assets
are entirely owned by the village and managed under Desa
pakraman. All assets owned by the village have made the village
obtaining high income and it helps prosperity of the village
community.
4). Meeting the Needs of Palemahan
In adition to the earlier needs fulfillments, the existence of
Mandala Suci Wenara Wana area is also to meet the need of
Palemahan in relation with aesthetic power (beauty).
a. Mandala Suci Wenara Wana Acosystem as beauty
The Mandala Suci Wenara Wana tourist attraction, as a
whole, bring out the value of beauty within. Lush tropical forest,
tame monkeys populations along with sacred buildings established
in the middle of the forest. All of those led to strong aesthetic
power, and the beauty of it arises from a harmonious ecosystem
order developed to natural level. Refering to description of
Djelantik (1990:10) that an object is called “aesthetic” only if
there is harmony in it. It seems that the idea of Djelantik (1990) is
coherent with the existence of Mandala Suci Wenara Wana area
and its harmonious ecosystem within or harmonious living with
the refreshing tropical forest.
Monkey population (read:Jero Gede) is an important area
aicon that becomes its own charm. In Bali itself, there are several
tourists area that use Monkey icon as point of interest, such as
Sangeh, Alas Kedaton, and Uluwatu. But in the area of Mandala
Suci Wenara Wana monkeys are so tame and harmoniously live
in the forest with many visitors. The monkeys live harmoniously
with the forest environment and also with visitors so that the
monkeys become objects of beauty for the visitors. They live in
the forest as if they are not bothered by the presence of many
visitors, morover there are some monkeys look tame in front of
visitors so that there is harmony embodied beauty.
b. Ritual as Space of beauty performance for the villagers (krama
desa)
77 78
Ritual activities for Balinese people and the village of Desa
Pakraman Padangtegal is none other than space performace to
show all beauties from ideas or creative thought of the local
community. Therefore, any form of rituals in Desa Pakraman
Padangtegal always show magnificent aesthetic power. Not only
offerings and materials for ritual made beautiful but also in any
ceremony sacred dance is also performed as complement to the
ceremony. Bandem (2012:14) explains that sacred dance or wali
is companion and complement to yadnya ceremony and if it is
not performed, then, the ceremony is considered to be not fully
completed. Based on this ideas, obviously each sacred dance (wali)
performed by the community of desa pakraman during the ritual
celebration is as companion and complement to the ceremony.
The sacred dances performed on the yadnya ceremony, especially
during the celebration of Tumpek Kandang and Tumpek Uduh is
Rejang Dewa, Wayang Lemah,and Topeng Dalem Sidakarya. The
forest of Mandala Suci Wenara Wana which firstly only filled by
noisy sound of monkeys, then sound of priest’s ceremonial bell
(genta) heard, traditional Balinese gambelan, dance, and also
wayang lemah performed make such beautiful noise (ramya). The
rite performance can be said as a show arena of beauty power.
The show is not performed for the visitors but for the God of Ida
Bhatara that resides in the temple of Pura Dalem Agung and the
forest area that has given Lungsuran Lango for the villagers.
5). Visible and Invisible Control (Kontrol Sekala dan Niskala)
The existence of Mandala Suci Wenara Wana indirectly can
be used as control both in visibly and invisibly (sekala-niskala)
so that the village members personaly and communaly are able to
do self-control to obey the norm and code of ethics agreed. Based
on that description, below is described more deeply about the
roles of Mandala Suci Wenara Wana as a visible and invisible
control media.
a. Visible Control (Kontrol Sekala)
The existence of the Mandala Suci Wenara Wana forest
area can be an icon in developing ideal forest and forest travel.
The area can explicitely become social control visibly (sekala)
for the local community and others to care of the environment.
Actually in Hindu manuscript, environment, forest, trees, and
animals are honored as manifestation of God (Prime, 2006).
Environment is so important to human life that conservation of
the Mandala Suci Wenara Wana area really concern the natural
aspects as an echology based tourist park. In this case, regulations
and rules are reduced into village regulation known as Awig-Awig
or traditional law, and it becomes a strong norm that cannot be
disobeyed. There is a legal punishment to any violation acts, both
by traditional law or adat and national low as a logical
consequence.
b. Invisible control (Kontrol Niskala)
As mentioned earlier, there are many sacred folklores (satua
tenget) related to . The sacred folklores have made the Padangtegal
79 80
community do nothing bad to the forest environment especially
to the monkeys as “Jero Gede”. All of the ecosystem is maintained
so well that there is no behaviour that violates specific norms.
Especially in the concept of temple holiness, that the outside area
of the temple is known as alas kekeran that is forest are for spiritual
practice (team editor, 2009). Therefore, Mandala Suci Wenara
Wana area, apart from skala media control, it can be used as
invisible control (niskala). The existence of the magical belief
can educate the community and people that the sacred is close
the the life however, especially the land of Bali is believed to
have good energy (metaksu) land. Hence, the sacred (niskala)
can be used as teacher of life so that can live the life in balance
between sekala and niskala.
4.2 HINDU RELIGION EDUCATION SYSTEM BASED ON
TRI HITA KARANA IN MANDALA SUCI WENARA
WANA TOURIST ATRRACTION
Education system exists in Mandala Suci Wenara Wana
tourist attraction is a non formal system of Education. That is
because the education system implemented is in the form of non-
formal activities, unlike the national education system
implemented in formal sector, but education can be done in family,
community, activity of sekaa and education for students through
field trip known as “karya wisata”. In relation to the above
description, the form of activities exist in the forest area of
Mandala Suci Wenara Wana tourist area implicitely imply the
education values formulated to be a Hindu religion education
system. Each of those components and form of activities are
explained below as a sistemic unit of coherent non-formal
education.
4.2.1 Education within the Family
Education process whithin the family that is clearly seen is
the existence of religious upbringing pattern conducted
indeliberately by the villagers. The religious pattern meant is the
involvement of parents and children in the process of education
whithin the family. That evidence is obviously seen when the
family members are going to pray in the Mandala Suci Wenara
Wana forest area recommended to previously pray in their own
family temple. It is vied as important since the belief of the
villagers that a worship to the God of Bhatara Hyang Guru and
ancestors are important. Therefore, parents will teach the children
to respect the ancestors and the god of Bhatara Hyang as God
that resides in the family temple.
4.2.2 Education within the Area of Desa Pakraman
By the rites celebration of yajña, Tumpek Wariga, actually
educates the people, especially the people of desa pakraman to
respect the process and “hardwork” of the nature in the process
and conducting yajña. Hard work, effort, and the like are examples
of the character education models (Lickona,2013:112). The
present education does not optimally achieved this, and education
81 82
tends to lead people to do everything instantly or “jiffy” without
hardwork.
The yajña rites celebration process of Tumpek Uye or
Kandang in Mandala Suci Wenara Wana is a media of Hindu
education in order that people, especially the people of desa
Pakraman Padangtegal can develop love to all creatures. Love
attitude to all creatures, especially to the monkeys population in
the forest area of Mandala Suci Wenara Wana.
4.2.3 Education within the Sekaa Truna
Palemahan order in the area of Mandala Suci Wenara
Wana will make members of sekaa develop intimate and
harmonious relationship within the natural environment.
Pawongan order, afterward, within the area of Mandala Suci
Wenara Wana recommends members of youh organisation or
sekaa truna and krama desa to develop close and harmonious
interraction within the social environment. While the Parhyangan
order within the area of Mandala Suci Wenara Wana reminds
members of sekaa to redevelop the endless and harmonious bond
with God within cultural environment. These tree environments
describe the human focus on living together with other animate
and inanimate creatures.
4.2.4 Education for Students through Field Trip for Environment
Conservation
By the field trip learning, students achieve comprehensive
knowledge regarding ecological learning so it can be made as
media of learning in developing students awareness to the
environment. Especially in the area of Mandala Suci Wenara
Wana, field trip is often conducted by students or university
students to know closely the nature and wildlife living in it.
Generally, students or university students visiting in field
trip will make research report about forest area and the ecosystem
within. Students and university students joining field trip conduct
observation in forest area in regards with forest management,
waste management, and monkeys management being icon of the
tourist attraction. By the field trip, students and visitors indirectly
obtain knowledge of ecology. As explained by Piaget (2001:112),
that one obtains knowledge through intelectual adaptation process
of experience as the result of interraction with the environment.
4.2.5 Hindu Religion Education based on Indigenous Wisdom
To implement a non-formal education based on indigenous
wisdom of Tri Hita Karana as the centre of competency
civilization, development must involve all components, implement
core values of Tri Hita Karana into various forms of activities. In
order to give optimum result, people of desa Pakraman
Padangtegal, management staff and visitors must be able to
promote core ethical and performe values of Tri Hita Karana
agreed as fondation of human character building. It must begin
with the area characterized significantly by the concept of Tri
83 84
Hita Karana; Tri Hita Karana building, symbols of Tri Hita
Karana value in various aspects. Symbols of Tri Hita Karana
describing harmony life must be easily readable by students,
written in textbook, school bags, and students uniform.
Indigenous Wisdom Education Model of Tri Hita Karana
is an education with the goal of producing Tri Hita Karana
characterized outcomes. The development of Indegenous Wisdom
Education Model of THK needs civilisation of Tri Hita Karana
values as basis of developing graduates standards of competency,
standards of program content, learning process standards,
assesment standards, standard teachers and educational personels,
standard infrastructure, standard management, and standard costs.
4.3 IMPLICATION OF TRI HITA KARANA BASED
HINDU RELIGION EDUCATION SYSTEM AT MANDALA
SUCI WENARA WANA TOURIST ATTRACTION ON DESA
PAKRAMAN PADANGTEGAL UBUD
4.3.1 Strengthening the Ecological Sanctification
Apart from the thesis and antithesis, on the other hand they
can be synthesized that the implication of the strengthening of
the religious aspect in the life of people of desa Pakraman
Padangtegal can be seen in the increase of the volume of religious
activities that simultanously conducted. In addition, the ethical
behaviour of the people treating the nature and animal in the area
of Mandala Suci Wenara Wana can be treated as logial description
that religious aspect is very strong. In addition, the belief of the
sacred is still maintained, so that religion becomes a social control.
4.3.2 Strengthening Sacredness of the Ecocentrism
Another implication that cannot be neglected is related to
the strengthening of the ecocentrism or centralization towards
nature and environment. Emic or belief agreed by the people of
desa Pakraman Padangtegal and management that plants around
the area of Mandala Suci Wenara Wana make the forest sustainable
and maintainned through reforestation. In addition to the emic,
the area of Mandala Suci Wenara Wana improves the economy
of surroundings communities, even the entire Ubud, so that it
becomes endorsing power for the people of Padangtegal to keep
maintaining the forest of Wenara Wana. Therefore, the people
especially the community of desa Pakraman Padangtegal depend
so much on the environment. The beauty of the environment is
able to give sense of peacefull and calm within human beings
and brings prosperity to the people (Suhardana, 2006 : 51).
4.3.3 Strengthening Tri Hita Karana based Economy
The economic system applied in the area of Mandala Suci
Wenara Wana has a fad pattern coresponding to the concept of
Tri Hita Karana. It can be seen from the financial management
system applied by the management of Mandala Suci Wenara
Wana. Empirically, the economic capital management of Mandala
Suci Wenara Wana area has clearly bring implications on
85 86
strengthening the economy of people of desa Pakraman
Padangtegal.
The existence Mandala Suci Wenara Wana area has bought
implications on strengthening the economy of the village people.
In adition to the income comming from the tourist attraction, the
local people can develop micro-economic capital by developing
various sector on tourism accomodation businesses such as home
stay, restoran, spa, etc. As can be seen, from Mandala Suci
surounding area up to the village area there are so many tourism
business units to be found that bring benefit for the surrounding
communities.
4.3.4 Strengthening Tourism Consciousness based on Tri Hita
Karana
The area of Mandala Suci Wenara Wana, from the first time
it was establised, has embodied cultural theme based on Hindu
teachings by placing ecology as basis of development. Obviously,
it brings implication on the life of the village community of desa
Pakraman Padangtegal. The development of Mandala Suci
Wenara Wana tourist attraction does not only orientate on cultural
tourism development, but also based on the Hindu Religion
teachings (read: Tri Hita Karana) in the ecological preservation
as natural carying capacity. Such tourism ideology, continously
brings transformation on mindset of the community towards
improvement of consciousness of the importance of tourism based
on culture, religion, and ecology.
Even more, As previously explained that Mandala Suci
Wenara Wana tourist attraction indirectly can be an education
media containing Tri Hita Karana based Hindu religion education
system in it. It brings positive implication for the people of desa
pakraman in order to increase their consciousness of the
importance of developing a tourism ideology characterized with
Bali culture, Hindu religion, and environment care. It would
become basis of ideal concept in institutionalizing elements of
Tri Hita Karana in Hindu education system, both formal and
informal. Hindu education institution should perform clear
function and has positive implication in the process of civilizing
competency. The positive impact of Tri Hita Karana
implementation in Madala Suci Wenara Wana tourism area should
be understood, felt, and lived by all people.
4.3.5 Strengthening Ecosentrisme Education based on Tri Hita
Karana
The existence of Mandala Suci Wenara Wana tourism area
as basis of Tri Hita Karana based tourism development, within
which a system representing Hindu religion education system
exists brings implication on various aspects of social life. In
addition to the implication explained above, other very important
implication is also explained in this research in regards with the
strengthening the idiology of life of desa Pakraman Padangtegal
community through the concept of Tri Hita Karana. It can be
viewed from various aspects, starting from religious practice of
87 88
the community life and other practices. Likewise, It can also be
seen from physical, village lay out, etc.
V. RESEARCH FINDINGS
Based on the three problems formulation studied and
analyzed through theoretical-critical analysis of ecocentrism,
social and on aclectic-dialectic from chapter V to chapter VII,
then research findings can be presented in the form of description
that worries about environment consummerism would bring
desanctification, do not apply in the area of Mandala Suci Wenara
Wana. It is due to the existence of “appreciation” and
“complience” to the sacred. In addition, the area of Mandala
Suci Wenara Wana is a media of ecological education, and it is
important for the teacher as a media of learning especially for the
local community and even for people outside Desa Pakraman
Padangtegal can also use this place. Mandala Suci Wenara Wana
is a natural capital but converted into economic capital. The area
is also able to strengthening the natural capital and increase the
economic capital. Other finding is that strengthening of the sacred
of the forest area has occured so that the forest is sustainable. The
strengthening occurs due to the belief of the sacred through holy
rites.
VI. CONCLUSSIONS AND SUGGESTIONS
6.1 Conclusions
The background of the preservation of Mandala Suci
Wenara Wana tourist area covers: 1) the fulfillment of the
religious need through the belief of the sacred and it can be
seen when the people of desa Pakraman Padangtegal treat the
area of Mandala Suci Wenara Wana to remain sustainable. The
people of desa Pakraman Padangtegal Ubud preserve the area
of Mandala Suci Wenara Wana is not merely motivated by the
tourism commodification interest but rather the appreciation to
the sacred. 2) The fulfillment of social need to strengthen social
solidarity. 3) Meeting the of economic need can be seen from
the preservation of the area Mandala Suci Wenara Wana which
clearly related to income, benefit, and finacial. The more
benefit the more chance to accumulate finacial, and it becomes
a sign that the management of the area of Wenara Wana is
doing verry good. 4) The fulfillment of asthetic need, in which
every ritual activity brings out asthetic values (sandining
lango). 5) Visible and invisable control (sekala-niskala) that is
sekala control through awig-awig and niskala control through
the belief in the sacred.
Tri Hita Karana based Hindu religion education system
covers several things such as: 1) Education system within the
family through ritual activities in family and forest area. 2)
Education system of desa pakraman as media of learning
89 90
ecology for the community members. 3) Education centered
in the level of sekaa truna by involving them in any village
activities, ceremonies, and environmental education. 4)
Students education through field trip by using the forest area
as the learning media.
3. Implication of Tri Hita Karana based Hindu religion
education system in Mandala Suci Wenara Wana tourist area
for the desa Pakraman Padangtegal include: 1) Strengthening
of ecologic sanctification by the increasing of yajña intensity
and the maintanance of sacred symbols of Hindu. 2)
Strengthening of ecocentrism sanctity and the existence of
Mandala Suci Wenara Wana is a media of environment and
nature conservation. 3) Strengthening of the community’s
economy due to the financial management of the area of
Mandala Suci Wenara Wana which is fully managed by desa
pakraman. 4) Strengthening tourism-consciousness and the
importance of Hindu religion, culture, and ecology oriented
tourism. 5) Strengthening of ecology education based on Tri
Hita Karana teaching.
6.2 Suggestions
Based on that description, there are some fiew things should be
considered such as:
1. The Mandala Suci Wenara Wana tourist area should be
maintained as Hindu religion and culture based tourism by
all stakeholders. Forest conservation through area
extension is necesery and important considering the
increase of monkeys population, and a clear concept or blue
print should be made.
2. Community and visitors involvement should be improved
in developing consciousness to take care of the nature and
environment.
3. Local government should actively take part in managing
the area of Mandala Suci Wenara Wana in order to maintain
the idiology of Tri Hita Karana sustainable.
4. The people of desa Pakraman Padangtegal can be said to
have been economically prosperous, but it needs to develop
productive economy business sector to develop creative
business in creating job vacancies.
5. Food for monkeys would be better to cultivate by planting
in order to save the food costs for monkeys and other
wildlife.
91 92
REFERENCES
Atmadja.2015.Ngaben+Memukur=Tubuh+Api+Uperengga+Mantra=dewa
Pitara+Sorga. Denpasar: Pustaka Larasan.
Fashri Fauzzi.2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol.
Yogyakarta: Jalasutra.
Goris. R.2013. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali.
Denpasar: Udayana University Press.
Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi dan
Aplikasinya. Jakarta : Ghalies Indonesia.
Kaelan,2010. Filsafat Penelitian Sastra dan Teori Heurmeneutik.
Yogkarta: Paradigma.
Lickona. Thomas.2013 Decating for Charakter Mendidik Untuk
Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Ritzer George dan Goodman Douglas J. 2013. Teori Sosiologi
Dari Klasik Sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosial
Postmodern. Bantul Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Sivananda Swami.2003. Intisari Ajaran Agama Hindu. Paramita:
Surabaya.
Sudira Putu.2014. Konsep dan Praksis Pendidikan Hindu Berbasis
Tri Hita Karana. Jurnal Ilmiah. UNY Yogyakarta.
Suryawan. I Ngurah.2010. Bali Antah Berantah Refleksi di Dunia
Hampa Pariwisata. Malang: Ins-Trans Publising.
Tim Penyusun Sinar Grafika.2013. Standar Nasional Pendidikan.
Jakarta: Sinar Grafika.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Dra. Ni Nyoman Perni
NIP 196912311995032002
Pangkat/Gol Ruang : Pembina/IV/a
Tempat/TGL Lahir : Ubud, 5 Juli 1969
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Status : Menikah
Pekerjaan : Dosen IHDN Denpasar
Alamat : Jln. Hanoman No.37 Padangtegal Ubud
II. KELUARGA
Nama Ayah : I Made Titib
Nama Ibu : Ni Made Teplu
Suami : I Wayan Artana, SE
Anak : Putu Nuansa Putri Savita Uttari
Kadek Nuansa Putri Wulandari
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD No.5 Ubud, 1982
2. SLTP Negeri Tegalalang, 1985
3. PGAH Negeri Denpasar, 1988
4. Sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu IHD Denpasar, 1993
5. Program Magister (S2) Manajemen Pendidikan IKIP Negeri
Singaraja, 2005
IV. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Sekretaris Jurusan Filsafat STAHN Denpasar, 1999-2000
2. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama STAHN Denpasar, 2000-
2002
3. Pembantu Dekan I Fakultas Dharma Acharya, 2009-2013
4. Ketua Prodi Magister Dharma Acharya Pascasarjana IHDN
Denpasar 2013-sekarang