مقلة العلوم القرآن
TRANSCRIPT
Tugas Kelompok Dosen PembimbingStudi Al-Qur’an Alwizar,
NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
DISUSUN OLEH ;
NURUL RODIYAH
KHAIRANI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Pembimbing
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Nasakh dan Mansukh dalam Al-
Qur’an. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Pekanbaru, Maret 2015
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh.................................................... 2
B. Syarat-syarat Mansukh................................................................... 4
C. Macam nasakh dalam al-qur’an...................................................... 4
D. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh......................................... 6
E. Pendapat Ulama tentang Nasikh Mansukh..................................... 6
F. Pembagian Nasakh.......................................................................... 10
G. Urgensi Mempelajari Konsep Nasikh Mansukh............................. 11
BAB III PENUTUP......................................................................................... 15
A. Kesimpulan..................................................................................... 15
DARTAR PUSTAKA..................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk
dikaji dan diteliti, banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari
al-qur’an. Cabang-cabang ilmu tersebut antara lain : ilmu jiwa, ilmu teknologi,
ilmu bahasa dan sastra dan semuanya bersumber hanya dari al-qur’an. Dalam
makalah ini kami akan membahas sedikit tentang ilmu nasikh wa mansukh
yang panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti
dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang
taat dan semangkin memahami isi kandungan al-qur’an secara benar dan baik.
Al-qur’an diturunkan secara beransur-ansur, dalam penjelasan al-
qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci dan adapula yang garis
besarnya saja, ada yang khususdan ada yang bersifat umum dan global. Ada
ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang
yang menurut Quraish shihab dan para ulama berbeda pendapat tentang
bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan
tentang nasikh dan mansukh. Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh
mempunyai fungsi dan manfaat yang besar bagi para ahli ilmu, terutama
fuqaha’, mufasir, dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak
menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu terdapat banyak asar yang mendorong
agar mengetahui masalah ini. Maka pada pembahasan selanjutnya kami
bermaksud membahas tentang pengertian nasikh mansukh, ruang lingkup dan
syarat-syarat nasakh, pembagian nasakh, bentuk-bentuk nasakh serta beberapa
contoh nasikh mansukh.
BAB II
1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dalam al-qur’an kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan
berbagai bentuknya.
surah al-baqoroh ayat 106 :
Ayat mana saja81 yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
Qs. Al-a’raf ayat 154 :
Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
Qs. Al-Hajj ayat 52 :
dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
Nasikh mansukh berasal dari kata nasakh, dari segi etimologi kata ini dipakai untuk beberapa pengertian yakni, menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti memindahkan. Kata nasakh juga dapat berarti mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti pengalihan. Nasakh dapat berarti 1 اإلزل%ة 1. Manna’i Al-Qathan, Mabahis fii Ulumul Qur’an, Riyath, Mansyurat Al-Asr Al-Hadist,
T. Th. hlm 232.
2
artinya menghilangkan atau meniadakan, sebagaimana yang termaktub dalam al-qur’an surah Al-Hajj ayat 52 diatas. Kata nasakh juga berarti yang التبدل artinya mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain.
Sesuatu yang membatalkan atau memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Pengertian nasakh secara termonologi menurut Manna’ Khailil Al Qattan sebagaimana termaktub dalam buku studi ilmu-ilmu al-qur’an nasakh ialah mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.2 Menurut Muhammad ‘Abd Azim Al
Zarqani sebagaimana dikutip dari Dr. Usman,M.Ag dalam buku Ulumul
Qur’an, bahwa nasakh adalah mengangkat / menghapus hukum syara’
dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian3. Menurut ulama
mutaqaddimin nasakh adalah4 :
شرعي بخطاب الشرعي الحكم رفع“Mengangkat hukum syar’i (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain”.
Pengertian nasakh menurut ulama’ mutaakhirin sebagaimana yang
diungkapkan Quraish Shihab :”Nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan
berakhirnya pemberlakuan hukum terdahulu, hingga ketentuan hukum
yang ada yang ditetapkan terakhir”.5
B. Syarat-syarat Mansukh
Dalam kitab manna al-qathan dikatakan6:
النسح في يشترط : انهان يكون الحكم المنسوخ شرعيا
2. Ulumul Qur’an, sebuah Pengantar, th 2002. Hlm 50.3 Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan fi Ulumul Qur’an, Al-Halaby, Mesir1980,
jilid II.4 Manna Al-Qathan, loc, cit,. Hlm 2325 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung , Mizan, hlm 144.6 Manna Al-Qathan, hlm 232.
3
ان يكون الدليل على ارتف%اع الحكم خط%اب ش%%رعيا متراخي%%ا عن الخطاب المنسوخ حكمه
واال يك%%ون الخط%%اب المرف%%وع حكم%%ه مقي%%دا ب%%وثت معي%%نز واال فالحكم ينتهي بانتهاء وقته وال يعد هذا نسحا
Adapun syarat dari nasakh adalah7:
Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih
kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waqtu tertentu
C. Macam nasakh dalam al-qur’an
Menurut bahasa, naskh berarti membatalkan dan menghilangkan
sesuatu. para ulama membagi naskh dalam al-qur’an menjadi 3 macam7 :
a. Penghapusan tulisan dan hukumnya. para ulama meriwayatkan dari Annas
sebagai berikut : Pada masa Rasulullah saya membaca suatu surat yang
dinamakan “at Tawbah”, hanya saja saya tidak hafal, kecuali hanya satu
ayat, yaitu:
, إال ادم ابن جوفال يمال وال رابعا اليها بتغى ال ذهب من بين واد ادم البن ان ولو
. تاب من على الله وىتبو التراب“Seandainya manusia mempunyai dua lebah emas, niscaya ia akan mencari lebah yang ke empat, dan tidak memenuhi perut manusia kecuali tanah, dan Allah memberi tobat kepada orang yang tobat”.
b. Penghapusan tulisannya saja, sedang hukumnya tetap berlaku.
Untuk menguatkan pendapat ini, para ulama’ meriwayatkan hadist
dari Umar bin Khoththob, sebagai berikut :
“Seandainya saya tidak benci membubuhkan perkataan lain dalam
al-qur’an, niscaya saya tulis ayat rajm dan saya tetapkan. Demi Allah sya
pernah membaca dihadapan Rasulullah SAW ayat :
wكم ف%%إن ذل%%ك كف%%ر بكم الش%%يخ والش%%يخة إذا ال ترغب%%وا عن اب%%ائزنيافارجمو هما البتة نكاال من اللهw والله عزيز حكيم
7 Ibrahim Al Ibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, Jakarta, Rajawali 1998.
4
“Janganlah kamu benci kepada bapak-bapakmu, sebab yang demikian adalah kekafiran bagimu. Orang tua baik laki-laki maupun perempuan, apabila mereka berzina hendaklah dirajam dengan sebenar-benarnya sebagai hukuman dari Allah, dan Allah adalah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.
c. Penghapusan hukum saja, sedang tulisannya tetap.
Inilah yang dimaksudkan dengan perkembangan dan perubahan
hukum. Misalnya ayat yang berhubungan dengan qiblat, Allah berfirman
Qs. Al-Baqoroh ayat 144 :
sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
Sebelum turun ayat ini, telah turun ayat Qs. Al-Baqoroh 115 :
dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
D. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-
cara berikut.
a. Keterangan tegas dari Rasulullah atau sahabat, seperti hadist yang
berbunyi :
5
%%ر كنت نهبتكم عن زيارة القبور فق%%د أذن لمحم%د في زي%%ارة قبأمه فزوروها فإنها تذكر االخرة
Aku dulu pernah melarang mu berziarah ke qubur, sekarang muammad telah mendapat izin untuk menziarahi kekubur ibunya, kini berziarahlah kamu kekubur. Sesungguhnya ziaroh kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
b. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu
mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam
perspektif sejarah.
Nasakh tidak dapat diterapkan melalui ijtihad, pendapat mufassir, atau
keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya
keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat
menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam al-qur’an. Jadi, berdasarkan
penjelasan diatas dapat dipahami bahwa nasikh mansukh hanya terjadi dalam
lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).
E. Pendapat Ulama tentang Nasikh Mansukh
Ada tidaknya nasakh mansukh dalam al-qur’an sejak dahulu
diperdebatkan oleh para ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut
adalah berawal dari pemahaman mereka tentang ayat qs. An-Nisaa’:82 :
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Kesimpulan dari ayat diatas mengandung prinsip yang diyaqini kebenarannya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara zahir menunjukkan kontradiksi. Sebelum memasuki pembahasan perbedaan para pendapat ulama, maka perhatikanlah dahulu firman Allah dalam surah al-baqoroh ayat 106 :
6
“Setiap ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, tentu akan kami ganti dengan yang lebih baik daripadanya, atau yang sebanding dengannya”.
Denngan memperhatikan ayat diatas, ulama sepakat bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang bertentangan secara hakiki. Selanjutnya dalam menghadapi ayat yang secara sepintas dinilai kontradiksi, maka ada dua pendapat ulama yang harus diperhatikan, yaitu :a. Nasakh secara Logika Bukan secara Syara’.
Nasakh dapat terjadi menurut logika, tetapi tidak secara syara’. Pendapat ini dianut oleh Abu Muslim Al-Asfihani dkk. Menurut kelompok ini apabila ada ayat yang sepintas dinilai kontradiksi tidak diselesaikan dengan jalan nasakh, tapi dengan jalan takhsis. Menurut Abu Muslim dkk, Al-qur’an adalah syari’at yang muhkam tidak ada yang mansukh. Alqur’an menyatakan QS. Fushilat:42 :
حمwيد حكwيم مwن تنزwيل wهwخلف مwن وال wيديه wبين مwن الباطwل wيهw يأت ال/ [42فصلت]
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Ayat diatas menjadi landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan
bahwa nasakh mansukh tidak ada dala m al-qur’an, yang hanya ada ‘am
takhsis. Jadi nasakh menurut yang lain, takhsis menurut Abu Muslim.
Bagi ulama yang menolak nasakh beranggapan bahwa pembatalan
hukum yang telah diturunkan oleh Allah adalah mustahil. Sebab jika ada
penbatalan hukum yang telah diturunkan-Nya berarti akan muncul dua
pemahaman paling kurang, yaitu :
Allah tidak tau kejadian yang akan datang, sehingga Dia perlu
mengganti / membatalkan suatu hukumdengan hukum yang lain.
7
Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan
permainan belaka8.
Tegasnya bahwa Abu Muslim Al-Asfihani tidak sependapat atau
tidak setuju dengan adanya nasakh, baik secara garis besar maupun secara
terperinci.
b. Nasakh secara Logika dan Syara’
Sebagai alternatif menghadapi ayat yang kelihatannya memiliki
kontradiksi, maka diantara ulama ada yang mengakui adanya nasakh dan
mansukh dalam Alqur’an. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama’.
Menurut mereka ayat nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi
hukum yang berlaku menyeluruh hingga waqtu tertentu tidak dapat
dibatalkan kecuali oleh syar’i. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Naqli, yaitu firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 106 :
wه%%ا ألم تعلم أن wخير مwنها أو مwثل ها نأتw ب wن آية أو ننسwما ننسخ م ه على كل شيء قدwير ]البقرة/ [ 106الل
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2. Aqli atau Rasio
Menurut pendapat segolongan ulama bahwa Allah berbuat
secara mutlaq. Dia dapat menyuruh berbuat sesuatu dalam waqtu
tertentu, kemudian melarangnya dalam waqtu tertentu lainnya.
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa perbuatan Allah itu
mengikuti kemaslahatan dan menghindari kemudhararatn. Jadi jika
Allah menyuruh pasti didalamnya ada kemaslahatan dan jika Dia
melarangnya pasti disana aada kemudharatan. Kemaslahatan itu dapat
berubah karena perubahan masa, oleh karena itu Allah dapat saja
melarang atau menyuruh melakukan sesuatu perbuatan karena ada
kemaslahatan.
8 Quraih Shihab, Ibid., hlm 144
8
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh dan mansukh itu ada
hikmah-hikmahnya, lanjut tegasnya:
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waqtu dan tempat sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu waqtu karena adanya kebutuhan yang mendesak kemudian kebbutuhan itu berakhir, maka hal itu merupakan suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang diundangkan tersebbut dinasakhkan dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waqtu tersebut, sehingga dengan demikian hukum tersebut akan jauh lebih baik dari hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”9
Quraish shihab mengkompromikan pendapat-pendapat
keduanya, sebab menurut kalangan yang mengakui adanya nasakh
ditetapkan bahwa nasakh baru dapat dilakukan bila:
a. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, serta tidak
dapat lagi dikompromikan.
b. Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat tersebut.
Yang dahulu dikatakan mansukh oleh yang kemudian.10
Namun dari masa kemasa mankin banyak diduga bahwaayat
mansukh dapat dikompromikan dengan jamak atau talfiq(). Quraish
Shihab menyarankan agar hendaknya para ulama(terutama mufasirin)
melakukan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok tersebut, seperti
meninjau kembali pengertian nasakh yang diungkapkan oleh para
ulama mutaakhirin.
Contoh kasus nasakh mansukh dalam al-qur’an adalah nasakh
dengan badal mumatsil, yaitu perpindahan arah kiblat dari baitul
Maqdis di Masjidil Aqsa ke ka’bah di Masjidil Haram. Dalam firman
Allah surah Al-Baqoroh ayat 144 yang mana ayat tersebut
menasakhkan firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 115.
Nasakh adakalanya dengan pengganti adakalaya tidak dengan
pengganti. Untuk lebih jelasnya ikutilah pembahasan berikut ini :
9 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, tafsir Al-Maraghi,Mesir:Al-Babiy Al-halabiy, jilid I, hlm 187; lihat juga Quraish shihab, membumikan Al-Qur’an, hlm 145.
10 Ibid.
9
a. Nasakh tanpa badal
b. Nasakh dengan badal
c. Nasakh dengan badal sebanding
d. Nasakh dengan badal lebih berat11
Muhammad Abduh menolak adanya nasakh dan mansukh
dalam pengertian pembatalan, tetapi dia sependapat dengan nasakh
dalam pengertian pergantian, pengalihan dan pemindahan ayat hukum
ketempat ayat hukum yang lain.12
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seluruh ayat Al-
Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanyalah
pergantian hukum bagi situasi dan kondisi tertentu.
F. Pembagian Nasakh
Nasakh ada empat bagian:
1. Nasakh Alqur’an dengan Alqur’an. Hal ini disepaati oleh ulama’ yang
mengatakan adanya nasakh mansukh. Sebagaimana keterangan dimuka.
2. Nasakh Alqur’an ddengan sunnah. Ini terbagi menjadi dua:
Nasakh Alqur’an dan hadist ahad.
Nasakh Alqur’an dengan hadist mutawatir.
3. Nasakh sunnah dengan Alqur’an. Hal seperti ini dibolehkan oleh jumhur
sebagaimana contoh dimuka. Namun ditolak oleh Syafi’i. menurutnya apa
yang ditetapkan sunnah tentu didukung dengan ayat Alqur’an. Ini karena
antara Al-Kitab dan Al-Sunnah harus sejalan dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
Nasakh Mutawatir dengan Mutawatir
Nasakh Ahad dengan Ahad
Nasakh Ahad dengan Mutawatir
Nasakh Mutawatir dengan Ahad
G. Urgensi Mempelajari Konsep Nasikh Mansukh11 Manna Khalil Al-Qathan, hlm 241.12 Pendapat tersebut dikutip oleh Quraish shihab dalam’Membumikan Al-Qur’an”, hlm
147.
10
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya
al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab
Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20
tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, ]17[ khususnya di
bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-
Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23
tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya
dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang
lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq
diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini,
engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-
undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual,
seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur
kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh
menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses
peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam
raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan
adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang
rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan
berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang
masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut
bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam
kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan
seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan
dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban
kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang
telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik,
11
apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-
hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau
disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia
dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang
diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya
lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang
Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-
Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai
kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Hikmah nasikh :
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya
al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab
Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20
tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang
hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik
Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun
dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya
dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang
lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq
diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini,
engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-
undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual,
seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur
kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh
menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam
alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang
terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita
12
mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta
tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan
penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi
bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban
yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan
kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak
akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal
semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum,
memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses
pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan
oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah
ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena
dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak
mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-
syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali.
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang
Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-
Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai
kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
a. Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling
sempurna.
b. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan
semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang
sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar
dan membangkang.
13
e. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah
kepada yang sukar.
f. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam
beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan
pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt.
Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama
Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah
Rasulullah SAW.
1. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus
sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya
itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di
dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih
berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya
sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2. Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang
berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu
hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya,
yang berupa perintah maupun larangan.
3. Nasakh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau
memindahkan.
4. Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan
5. Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah
6. Syari’at selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu nasikh itu
mesti ada dan terjadi pada sebagian hokum – hokum.
7. Nasikh itu terjadi pada berita – berita, tetapi terjadi pada hukum – hukum
yang berhubungan dengan halal dan haram
8. Hukum – hokum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi
kemaslahatan dan kebahagiaan manusia’
9. Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang – orang yang
sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.
15
DARTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,Manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar.
Al-Qaththan.Manna. Mabahis Fi ‘Ulumil Qur’an.
Al Ibrariy,Ibrahim. 1998. Pengenalan Sejarah Ai-Qur’an. Jakarta: Rajawali.
Shihab,Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an; fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat. Bandung: mizan .
Ash-Shidiqiey,Hasbi. 1981. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir. Jakarta.
As-Shalih,Subhi. 1993. Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an. Beirut, Libanon: Pustaka Firdaus.
Anwar,Abu. 2012. Ulumul Quran Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Amzah.
http://fisika-atom.blogspot.com/2014/03/contoh-makalah-nasikh-mansukh-dalam-al.html
16