repository.ipb.ac.id · 2015-09-01 · surat pernyataan dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi...
TRANSCRIPT
KEEFEKTIFAN TINDAKAN KONSERVASI TANAH DAN AIR
DENGAN METODE VEGETATIF DALAM MENEKAN ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI TANAH PADA
PERTANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)
OLEH: N U R M I
A261030041
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keefektifan
Tindakan Konservasi Tanah dan Air dengan Metode Vegetatif dalam
Menekan Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Pertanaman Kakao
(Theobroma cacao L.)” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2009
Yang menyatakan
Nurmi A261030041
ABSTRACT
NURMI. Effectiveness of Soil and Water Conservation Measures to
Reduce Runoff and Soil Erosion on Cacao Plantation. Under the direction of OTENG HARIDJAJA, SITANALA ARSYAD, and SUDIRMAN YAHYA
Cacao plant is one of the major commodity of plantation in South East Sulawesi, especially in Konawe regency. Land management practices which is implemented by the local farmers on cultivating cacao, in many cases are not according to soil and water conservation principles. The research was aimed to study the effectiveness of several soil and water conservation practices on reducing runoff and soil erosion on cacao plantation with different land slopes and canopy coverages. The research was conducted in Amosilu village, Besulutu district, Konawe regency, the province of South East Sulawesi, from December 2006 to September 2007. The Experimental method in the field study was split plot design consisting three factors. The first factor was slope consisting two levels (10 – 15% and 40 – 45%) and the second factor was age of the cacao plant consisting two levels (5 to 7 month and 25 to 27 month) were used as main plots (P1 = 5 to 7 month and 10 – 15%; P2 = 25 to 27 month and 10 – 15%; P3 = 5 to 7 month and 40 – 45%; and P4 = 25 to 27 month and 40 – 45%), while the third factor, the vegetative conservation treatment was used as sub plots consisting three levels, i.e T1 = cacao with ground cover, T2 = upland rice and soybean rotation within cacao plant, T3 = upland rice and soybean rotation within cacao plant + Arachis pintoi as strip cropping. There was not interaction effect both cacao plant and slope treatment with vegetative conservation treatment on runoff and soil erosion with soil properties, exception on aggregate stability index. The result showed that vegetative conservation treatment (T3) with upland rice and soybean rotation within cacao plant with A. pintoi as strip cropping was best alternatif because it has been produced the lower rate of erosion (21,76 ton ha-1
year-1) compared tolerable soil loss value (22,44 ton ha-1 year-1) and improved of soil properties and has given a good benefit to famers from both upland rice and soybean. Key words: Arachis pintoi, cacao, erosion, runoff, strip cropping
RINGKASAN
Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng, sehingga berpotensi meningkatkan erosi tanah khususnya pada pertanaman kakao muda (sebelum kanopi kakao saling menutup). Diduga hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas kakao yang diperoleh di Sulawesi Tenggara. Penanaman tanaman semusim di antara tanaman kakao muda banyak dilakukan petani guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini semakin meningkatkan kehilangan tanah akibat erosi terutama pada saat persiapan lahan. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya yang dapat mensinkronkan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi. Dengan upaya ini diharapkan penanaman tanaman semusim sebagai sumber pendapatan petani sebelum kakao berproduksi tetap dilakukan dan erosi yang terjadi juga dapat ditekan sampai sama dengan atau di bawah nilai erosi yang diperbolehkan atau Tolerable Soil Loss (TSL). Upaya yang dapat dilakukan yakni melakukan pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi yang dapat memberikan nilai faktor C yang rendah
Dalam penelitian ini, pengelolaan tanaman kakao dilakukan dengan tiga perlakuan tindakan konservasi, yaitu T1 (kakao + gulma dengan penyiangan hanya pada piringan kakao), T2 (tanaman kakao dengan padi gogo ditanam berurutan dengan kedelai di antara tanaman kakao), T3 (tanaman kakao dengan padi gogo ditanam berurutan dengan kedelai di antara tanaman kakao + strip A. pintoi). Penanaman tanaman padi gogo dan kedelai dilakukan dengan sistem pengelolaan tanaman yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi, di antaranya jarak tanam yang lebih rapat pada barisan searah kontur dan pengembalian sisa panen dan hasil pangkasan tanaman sebagai mulsa dan bahan organik. Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani di satu sisi dan di sisi lain aliran permukaan (AP) dan erosi tetap dapat ditekan sampai di bawah nilai TSL, serta dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Perlakuan tindakan konservasi
T3 dengan penanaman tanaman padi gogo dan kedelai secara berurutan di antara tanaman kakao yang disertai dengan strip tanaman A. pintoi sebagai penghambat AP merupakan alternatif terbaik yang dapat diterapkan oleh petani, karena selain dapat
menekan erosi sampai di bawah TSL dan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, juga dapat memberikan tambahan pendapatan kepada petani yang bersumber dari tanaman padi gogo dan kedelai sebelum tanaman kakao berproduksi.
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya boleh untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah,
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
KEEFEKTIFAN TINDAKAN KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN METODE VEGETATIF DALAM MENEKAN
ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI TANAH PADA PERTANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)
NURMI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, Kamis 18 Desember 2008
1. Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.Sc.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta IPB, Bogor
Penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, Kamis 22 Januari 2009
1. Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc., APU
Balai Penelitian Tanah,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
2. Dr. Ir. Suwarno, M.Sc.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta IPB, Bogor
Judul Disertasi : Keefektifan Tindakan Konservasi Tanah dan Air dengan Metode Vegetatif dalam Menekan Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Pertanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Nama : Nurmi
Nomor Pokok : A261030041
Program Studi : Ilmu Tanah
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. Oteng Haridjaja, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Sitanala Arsyad, M.Sc. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Yahya, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 22 Januari 2009 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan ramat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
Desember 2006 sampai September 2007 (lapangan) yang dilanjutkan dengan
analisis tanah di laboratorium adalah tindakan konservasi dengan judul
“Keefektifan Tindakan Konservasi Tanah dan Air dengan Metode Vegetatif dalam
Menekan Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Pertanaman Kakao
(Theobroma cacao L.)” di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mempelajari efektifitas padi gogo,
kedelai, dan tanaman A. pintoi sebagai tindakan konservasi vegetatif dalam
mengendalikan AP dan erosi tanah pada pertanaman kakao, serta pengaruhnya
terhadap nilai C tanaman kakao dan sifat-sifat tanah. Pengusahaan kakao yang
banyak dilakukan pada topografi berlereng di Sulawesi Tenggara, khususnya di
Kabupaten Konawe menjadi dasar penelitian ini dilakukan. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa penanaman tanaman padi gogo dan kedelai di antara
tanaman kakao yang disertai strip tanaman A. pintoi dengan sistem pengelolaan
tanaman yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi, dapat menekan erosi
sampai di bawah nilai erosi yang diperbolehkan sehingga menurunkan nilai C
tanaman kakao serta memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Di samping itu,
sistem pengelolaan tersebut memberikan tambahan pendapatan kepada petani
yang bersumber dari tanaman padi gogo dan kedelai.
Penelitian ini terlaksana atas dukungan dari berbagai pihak, terutama
komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak
perencanaan penelitian sampai penulisan disertasi. Untuk itu, penghargaan dan
ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak
Dr. Ir. H. Oteng Haridjaja, M.Sc. (Ketua komisi pembimbing), Bapak Prof. Dr. Ir.
H. Sitanala Arsyad, M.Sc. (anggota), dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Yahya,
M.Sc. (anggota) atas segala bimbingan, pengarahan, dan saran yang telah
diberikan kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana untuk mengikuti Program Doktor
di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB). Demikian pula
ucapan terima kasih disampaikan kepada SPs-IPB dengan segala fasilitasnya
selama penulis mengikuti Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah.
Ucapan yang sama disampaikan kepada Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lakidende Unaaha-Kendari atas segala bantuan dan dukungannya.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada Ayahanda H. Abd. Hafid dan ibunda Hj. Hasnah atas segala
pengorbanan, motivasi, dan do’a yang senantiasa teriring untuk penulis. Kepada
Kakak Hj. Hanisa Hafid, adik Suryani Hafid, ST., Yaya Hafid S.Km., dan adik
cantik Wahyuni Hafid, terima kasih atas segala bantuan, motivasi, dan do’a yang
telah diberikan. Kepada Bapak Mansyur yang telah membantu pelaksanaan
penelitian di lapangan, Bapak Darwis dan rekan-rekan yang telah mengizinkan
penulis melaksanakan penelitian pada lahan unsahataninya, diucapkan terima
kasih. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak sempat
penulis sebut satu persatu, diucapkan terima kasih.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak, khususnya untuk tujuan konservasi tanah dan air.
Bogor, Januari 2009
Nurmi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan 10 April 1971 sebagai anak
kedua dari pasangan H. Abd. Hafid dan Hj. Hasnah. Pendidikan sarjana ditempuh
di Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, lulus pada
tahun 1996. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Sistem-Sistem
Pertanian pada Program Pascasarjan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar
dan menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke
Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah pada Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB) diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa
pendidikan pascasarjana (S3) diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.
Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap Yayasan Universitas Lakidende pada
Fakultas Pertanian sejak tahun 2001 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vi
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................ 1 Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian .......................................... 4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 7 Kegunaan Penelitian ....................................................................................... 7 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 8
Pengertian, Proses, serta Dampak yang Ditimbulkan oleh Erosi .................... 8 Penutupan Permukaan Tanah oleh Vegetasi dan Mulsa ............................... 10 Topografi ...................................................................................................... 11 Strip Rumput ................................................................................................. 12 Keuntungan Tumpangsari Kakao dengan Tanaman Semusim ..................... 13 Budidaya Kakao ............................................................................................ 15
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 17
Tempat dan Waktu ........................................................................................ 17 Bahan dan Alat .............................................................................................. 18 Metode Penelitian ......................................................................................... 19 Tahapan Penelitian ........................................................................................ 20
Penentuan lokasi penelitian ................................................................. 20 Pembuatan petak erosi ......................................................................... 22 Pemberian perlakuan ........................................................................... 22 Pemeliharaan ....................................................................................... 23 Pengamatan ......................................................................................... 24
Analisis Data ................................................................................................. 36 Analsis Usahatani ......................................................................................... 36
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 38
Aliran permukaan dan erosi .......................................................................... 38 Nilai faktor C ................................................................................................ 46 Bulk density dan ruang pori total .................................................................. 47 Indeks stabilitas agregat ................................................................................ 48 Kemampuan tanah mengikat air ................................................................... 50 Distribusi ukuran pori ................................................................................... 52 Infiltrasi ......................................................................................................... 53 Tekstur .......................................................................................................... 56 Korelasi antara sifat fisik tanah dengan erosi ............................................... 58 Nitrogen yang terbawa erosi dan aliran permukaan ..................................... 59
Fosfor yang terbawa erosi dan aliran permukaan ......................................... 64 Kalium yang terbawa erosi dan aliran permukaan ........................................ 68 C-organik yang terbawa erosi dan aliran permukaan ................................... 71 Korelasi antara kehilangan N, P, K, C-organik dengan erosi dan AP... ........ 74 Kadar N, P, K, dan C-organik tanah, sedimen, dan AP ................................. 75 Enrichment ratio (ER) .................................................................................. 78 Kapasitas tukar kation dan pH tanah ............................................................ 81 Pertambahan diameter batang, tajuk, dan tinggi tanaman kakao .................. 83 Pertumbuhan dan hasil padi gogo dan kedelai .............................................. 85 Analisis neraca air untuk penentuan pola tanam .......................................... 87 Analisis usahatani ......................................................................................... 91
Pembahasan Umum ...................................................................................... 93
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 101
Kesimpulan ................................................................................................. 101 Saran ........................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 103
LAMPIRAN ............................................................................................................ 110
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Pengamatan dan pengukuran di lapangan ..................................................... 35
2. Pengamatan dan pengukuran di laboratorium ............................................... 35
3. Volume aliran permukaan dan erosi tanah pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi .................... 38
4. Rasio erosi/hasil tanaman pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemirngan dan perlakuan tindakan konservasi ................................................................ 42
5. Erosi tanah pada setiap pengamatan ............................................................. 43
6. Nilai faktor C tanaman kakao pada berbagai perlakuan umur tanaman dan perlakuan tindakan konservasi ................................................................ 47
7. Bulk density dan ruang pori total pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi ............................................ 48
8. Indeks stabilitas agregat pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi ................................................................ 49
9. Persentase pasir, debu, dan liat, pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemirngan dan perlakuan tindakan konservasi ............................................. 57
10. Matrik korelasi antara peubah sifat fisik tanah dengan erosi pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemirngan dan perlakuan tindakan konservasi .... 59
11. N total yang terbawa erosi pada berbgai perlakuan umur tanaman/ kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi ........................................... 60
12. Nitrogen yang terbawa AP pada berbagai interaksi perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan tindakan konservasi ............................... 63
13. Fosfor yang terbawa erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur tanaman tanaman/kemirngan dan tindakan konservasi ........................ 65
14. Kalium yang terbawa erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi ..................................... 68
15. C-organik yang terbawa erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi .................... 71
16. Matrik korelasi antara kehilangan N, P, K, dan C-organik dengan erosi dan AP berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi 75
17. Kadar N total, P, K, dan C-organik tanah dan sedimen+AP pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi ..... 76
18. Enrichment ratio pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi ...................................................................... 79
19. Kapasitas tukar kation dan pH tanah pada berbagai perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi .............................. 81
20. Pertambahan diameter batang, diameter tajuk, dan tinggi tanaman kakao pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi ..... 83
21. Anakan produktif padi gogo, hasil kedelai dan hasil padi gogo pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi ................... 86
22. Hasil analisis usahatani kedelai dan padi gogo sebagai tanaman sela diantara tanaman kakao pada lahan berlereng ............................................................ 92
Lampiran
1. Data sifat fisik dan kimia profil tanah pada awal penelitian ....................... 110
2. Data curah hujan stasiun Kendari (1998 – 2007) ........................................ 110
3. Deskripsi profil pewakil (profil 1) pada kemiringan 15 % dengan umur tanaman kakao 25 – 27 bulan ...................................................................... 111
4. Deskripsi profil pewakil (profil 2) pada kemiringan 40 – 45 % dengan umur tanaman kakao 5 – 7 bulan .......................................................................... 112
5. Deskripsi varietas padi gogo (situ bagendit) ............................................... 113
6. Deskripsi varietas kedelai (wilis) ................................................................ 114
7. Nilai koefisien tanaman (Kc) padi gogo dan kedelai pada setiap fase
pertumbuhannya .......................................................................................... 114
8. Klasifikasi indeks stabilitas agregat ............................................................ 114
9. Data curah hujan lokasi penelitian selama penelitian berlangsung ............. 115
10. Nilai EI30 lokasi penelitian pada saat penelitian ......................................... 115
11. Rata-rata curah hujan harian stasiun Kendari sepuluh tahun terakhir
(1998 – 2007) .............................................................................................. 116
12. Nilai EI30 bulanan ........................................................................................ 116
13. Perhitungan nilai tolerable soil loss (TSL) ................................................ 117
14. Nilai faktor kedalaman tanah 30 sub order tanah ........................................ 118
15. Erosi tanah pada setiap pengamatan ............................................................ 119
16. Data persentase penutupan tajuk kakao dan penutupan mulsa jerami ........ 120
17. Data biomas segar pangkasan Arachis pintoi, jerami padi gogo, sisa tanaman kedelai dan gulma .................................................................. 121
18. Data aliran permukaan (AP), persentase hujan yang mengalir sebagai AP, erosi, nilai C, bulk density, porositas total, indeks stabilitas agregat, dan kadar air pF pada akhir penelitian ........................................................ 122
19. Data distribusi ukuran pori, infiltrasi, dan tekstur tanah pada akhir penelitian ................................................................................... 123
20. Data kehilangan N, P, K, dan C-organik melalui erosi dan aliran permukaan ......................................................................................... 124
21. Data kadar N, P, K, dan C-organik tanah, sedimen, dan aliran permukaan pada akhir penelitian ................................................................................... 125
22. Data enrichment ratio, kapasitas tukar kation, pH tanah, pertumbuhan tanaman kakao, data pertumbuhan dan hasil padi gogo dan kedelai ........... 126
23. Suhu harian stasiun Kendari ........................................................................ 127
24. Curah hujan efektif stasiun Kendari 10 tahun terakhir (1998 – 2007) ........ 128
25. Neraca air tanaman padi gogo (CH > ETc) ................................................. 129
26. Neraca air tanaman kedelai (CH > ETc) ..................................................... 130
27. Hasil analisis ragam terhadap variabel pengamatan ................................... 131
28. Hasil analisis ragam terhadap variabel pengamatan ................................... 132
29. Hasil analisis usahatani untuk menentukan kelayakan usahatani berdasarkan standar kebutuhan hidup layak minimum .............................. 132
30. Hasil analisis usahatani untuk menentukan kelayakan usahatani berdasarkan B/C ratio ................................................................................. 135
31. Perhitungan nilai erodibilitas tanah (nilai K) ............................................... 136
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Bagan alir kerangka pikir penelitian ............................................................... 6
2. Skema pelaksanaan penelitian ....................................................................... 17
3. Bagan alir kegiatan penelitian ....................................................................... 21
4. Erosi tanah pada setiap pengamatan pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan ............................................................ 44
5. Erosi tanah pada setiap pengamatan pada berbagai perlakuan tindakan konservasi ...................................................................... 44
6. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan erosi tanah (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ................................................ 45
7. Kurva kadar air pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan ......... 51
8. Kurva kadar air pada berbagai perlakuan tindakan konservasi ..................... 51
9. Distribusi ukuran pori pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi ................................................................ 53
10. Kapasitas infiltrasi konstan pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan dan tindakan konservasi ................... 54
11. Kapasitas infiltrasi tanah pada setiap waktu pengukuran .............................. 55
12. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan N total (Y) pada berbagai perlakuan tindakan konservasi
.............................................................. ................................................................. 61
13. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan P (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ............................................... 66
14. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan kehilangan P (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ....................................... 67
15. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan K (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ................................................ 69
16. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan kehilangan K (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ....................................... 70
17. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan C-organik (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ................................................ 73
18. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan kehilangan C-organik (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 ............................................................ 74
19. Surplus dan defisit untuk tanaman padi gogo ................................................ 88
20. Surplus dan defisit untuk tanaman kedelai .................................................... 89
21. Ketersediaan air untuk padi gogo dan kedelai ............................................... 90
22. Pola tanam alternatif pada lokasi penelitian .................................................. 90
Lampiran
1. Diagram segitiga tekstur USDA dengan 12 nama kelas tekstur ................... 137
PENDAHULLUAN
Latar Belakang
Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor
perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi
berlereng. Hal ini sulit dihindari karena wilayah Sulawesi Tenggara dengan luas
daratan 3.814.000 ha sebagian besar atau sekitar 72% berada pada kemiringan di
atas 15% (Anonim, 1996). Luas pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara
berdasarkan data tahun 2000 seluas 113.276 ha dan terus berkembang sampai
sekarang, yang mana sekitar 95% pertanaman kakao tersebut merupakan
perkebunan rakyat (Anonim, 2001). Perkebunan rakyat pada umumnya dikelola
tanpa tindakan konservasi yang baik sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya
degradasi tanah dan kerusakan lingkungan akibat erosi serta berdampak terhadap
penurunan produktivitas. Produktivitas kakao yang diperoleh di Sulawesi
Tenggara masih tergolong rendah (224,99 kg ha-1) jika dibandingkan dengan
produksi yang didapat pada demplot yang dikembangkan ASKINDO di Sumatera
Selatan dan Sulawesi Selatan dengan produktivitas masing-masing 1 – 1,5 ton ha-1 th-1
dan 1 – 1,7 ton ha-1 th-1 (Wahab et al. 2002; Abdul Razak, 2006). Rendahnya
produktivitas disebabkan oleh rendahnya kesuburan tanah karena lapisan atas
tanah yang memiliki sifat fisik yang baik serta kaya akan hara dan bahan organik
telah terangkut melalui aliran permukaan (AP) dan erosi ke tempat lain. Hasil
penelitian Sutono et al. (2005) menunjukkan bahwa walaupun petakan cukup
datar (± 3%), bahan organik, P, dan K yang terbawa AP dan erosi lebih besar
dibandingkan dengan residunya yang tertinggal di dalam tanah.
Penanaman tanaman semusim di antara tanaman kakao muda (sebelum
kanopi kakao saling menutup) banyak dilakukan petani guna memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini semakin meningkatkan kehilangan tanah
akibat erosi terutama pada saat persiapan lahan. Hasil penelitian Abdurachman et
al. (1985) menunjukkan bahwa laju erosi mencapai 14 – 15 mm th-1 pada Alfisol
berlereng 9 – 10% yang ditanami tanaman pangan semusim, dan pada ultisol
berlereng 14%, laju erosi mencapai 4,6 mm th-1 walaupun sisa tanaman berupa
jerami padi dan jagung dikembalikan sebagai mulsa. Oleh karena itu, diperlukan
2
suatu upaya yang dapat mensinkronkan antara kepentingan ekonomi dan
kepentingan ekologi. Dengan upaya ini diharapkan penanaman tanaman semusim
sebagai sumber pendapatan petani sebelum kakao berproduksi tetap dilakukan dan
erosi yang terjadi juga dapat ditekan sampai sama dengan atau di bawah nilai erosi
yang diperbolehkan atau Tolerable Soil Loss (TSL). Upaya yang dapat dilakukan
yakni melakukan pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi yang dapat
memberikan nilai faktor C yang rendah. Nilai faktor C merupakan salah satu
komponen dari enam komponen dalam Persamaan Umum Pelepasan Tanah atau
Universal Soil Loss Equation (USLE) yang turut menentukan besarnya erosi dari
sebidang tanah, dimana faktor C mengukur pengaruh bersama tanaman dan
pengelolaannya.
Dalam penelitian ini, pengelolaan tanaman kakao dilakukan dengan
penanaman tanaman padi gogo dan kedelai secara berurutan di antara tanaman
kakao yang disertai dengan strip tanaman sebagai penghambat AP (strip tanaman
Arachis pintoi). Penanaman padi gogo dan kedelai dilakukan dengan sistem
pengelolaan tanaman yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi, di antaranya
jarak tanam yang lebih rapat pada barisan searah kontur dan pengembalian sisa
panen dan hasil pangkasan tanaman sebagai mulsa dan bahan organik. Sistem ini
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani di satu
sisi dan di sisi lain AP dan erosi tetap dapat ditekan sampai di bawah nilai TSL.
Tanaman padi gogo dan kedelai memberi penghasilan yang cepat kepada petani
sebelum tanaman kakao menghasilkan. Sahardi (2000) mengemukakan bahwa
penanaman padi gogo sebagai tanaman sela pada lahan perkebunan dapat
memberikan beberapa manfaat, yaitu (i) pemanfaatan lahan lebih efisien,
(ii) kebun atau tanaman utama lebih terpelihara dengan baik, (iii) tersedianya
pangan atau beras bagi petani, dan (iv) sebagai sumber pendapatan petani sebelum
tanaman utama menghasilkan. Hasil penelitian Wibawa (1994) menunjukkan
bahwa tanaman padi gogo toleran naungan yang ditanam di bawah tanaman karet
umur 3 tahun dengan naungan 60 – 80% masih memberi produksi 2 ton ha-1 dan
di bawah tanaman karet umur 1 tahun produksi padi gogo mencapai 3 ton ha-1.
Selain peningkatan produktivitas dan pendapatan petani sebelum tanaman
kakao berproduksi, sistem yang memasukkan tanaman semusim sebagai tanaman
3
sela dan A. pintoi sebagai tanaman strip juga dapat mempengaruhi produktivitas
tanaman kakao jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh perbaikan sifat-sifat
tanah dengan penutupan tajuk dan sumbangan bahan organik yang tinggi yang
bersumber dari pemangkasan tanaman kakao dan A. pintoi serta sisa panen
tanaman semusim. Haridjaja (1996) mengemukakan bahwa bahan organik yang
dibenamkan ke dalam tanah akan membentuk struktur tanah dan selanjutnya akan
meningkatkan stabilitas struktur tanah serta akan mempengaruhi pori ketersediaan
air dan aerasi tanah. Hasil penelitian Yahya dan Indrasuara (2000) menunjukkan
bahwa penggunaan bahan organik berupa pupuk hijau/legum penutup tanah
maupun seresah kakao secara nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Perbaikan pertumbuhan tanaman kakao disebabkan pemeliharaan tanaman kakao
secara tidak langsung telah dilakukan dengan pemeliharaan tanaman semusim
melalui penyiangan dan pemupukan. Sejalan dengan hasil penelitian Subagyo dan
Mangoensoekarjo (1993) pada pertanaman karet dan kelapa hibrida, bahwa
tanaman karet dan kelapa hibrida tumbuh lebih baik dengan tanaman pangan
sebagai tanaman sela dibandingkan dengan pakan ternak dan legume penutup
tanah sebagai tanaman sela. Hal ini disebabkan residu pupuk tanaman pangan
dapat dimanfaatkan oleh karet maupun kelapa hibrida.
Perbaikan sifat-sifat tanah selain berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman secara langsung juga berpengaruh terhadap AP dan erosi melalui
perbaikan stabilitas agregat yang dapat menjamin porositas tanah semula tetap
tidak terganggu dan kapasitas infiltrasi dapat terjaga selama waktu terjadi hujan.
Dengan demikian, secara tidak langsung berpengaruh terhadap nilai faktor C.
Penelitian untuk penetapan nilai faktor C tanaman kakao, khususnya untuk
karakteristik lahan di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini penting karena
tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan dan komoditi ekspor yang
banyak memberikan devisa ke negara akan semakin banyak diusahakan oleh
petani. Nilai faktor C yang diperoleh akan membantu dalam perencanaan
pengelolaan sumberdaya lahan yakni dalam memprediksi besarnya erosi yang
akan terjadi berdasarkan USLE jika tanaman tersebut diusahakan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Arsyad (2000) bahwa USLE memungkinkan perencana
menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng
4
dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan
pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau yang
sedang dipergunakan. Ketika nilai faktor C yang diperoleh dapat memberikan
nilai erosi aktual sama dengan atau di bawah nilai TSL, maka kekhawatiran akan
terjadinya degradasi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya oleh erosi akibat
ektensifikasi pertanaman kakao (di Sulawesi Tenggara) menjadi berkurang.
Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitiaan
Degradasi tanah yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan akibat tingginya jumlah dan intensitas hujan. Indonesia Bagian Timur yang tergolong daerah beriklim kering banyak terjadi proses erosi yang cukup tinggi meskipun curah hujan (CH) tahunan relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh penutupan vegetasi yang rendah dan sering terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi. Penutupan vegetasi yang rendah pada pertanaman kakao muda dengan topografi berlereng memicu terjadinya erosi yang tinggi. Penanaman tanaman semusim di antara tanaman kakao yang tidak disertai dengan tindakan pengelolaan konservasi semakin meningkatkan erosi tanah terutama pada saat persiapan lahan dan pada fase awal pertumbuhan tanaman semusim. Hal ini akan menyebabkan terjadinya degradasi tanah akibat terangkutnya lapisan atas tanah yang memiliki sifat fisik yang bagus serta kaya akan hara dan bahan organik. Degradasi tanah berimplikasi terhadap penurunan produktivitas tanah yang akan berdampak terhadap penurunan pendapatan petani. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa kandungan unsur hara dan bahan organik pada sedimen hasil erosi lebih tinggi dari kandungan unsur hara dan bahan organik pada tanah yang tertinggal. Hal ini sebagian disebabkan oleh peristiwa selektivitas erosi dan sebagian lagi disebabkan oleh karena lapisan atas tanah mengandung unsur hara lebih tinggi dari pada tanah lapisan bawah.
Kecepatan pemiskinan tanah akibat erosi menyebabkan perlunya
penerapan metode konservasi yang dapat menurunkan erosi tanah sampai sama
dengan atau di bawah TSL. Metode vegetatif yang memasukkan tanaman padi
gogo dan kedelai yang ditanam berurutan di antara tanaman kakao dengan strip
tanaman A. Pintoi diharapkan dapat memberikan AP dan erosi yang rendah.
Struktur tanaman A. Pintoi yang memiliki batang yang tumbuh menjalar dengan
susunan batang dan daun yang cukup padat di atas permukaan tanah,
menyebabkan tanaman tersebut berpotensi besar dalam menghambat AP dan
mencegah penghanyutan tanah. Pertumbuhan yang cepat dari tanaman padi gogo
dan kedelai dapat menutup permukaan tanah secara cepat dan pengembalian
jerami sebagai mulsa dapat melindungi permukaan tanah dari tumbukan langsung
5
air hujan sehingga agregat tanah tetap terpelihara. Demikian pula penambahan
bahan organik ke dalam tanah yang bersumber dari sisa panen tanaman kedelai
dan hasil pangkasan A. Pintoi dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti stabilitas
agregat. Stabilitas agregat yang tinggi dapat menjamin porositas tanah semula
tetap tidak terganggu dan kapasitas infiltrasi dapat terjaga selama waktu terjadi
hujan. Box et al. (1996) mengemukakan bahwa penghancuran agregat tanah
berkurang dengan adanya residu tanaman, batu, dan vegetasi di atas permukaan
tanah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dekomposisi residu tanaman yang
diberikan ke permukaan tanah sebagai bahan organik mempengaruhi sifat tanah
permukaan, yakni mengurangi AP dan erosi sebagai dampak dari perbaikan sifat
fisik tanah yang tahan terhadap energi kinetik hujan dan kekuatan gerus AP.
Rendahnya AP dan erosi sebagai respon dari sistem pengelolaan yang
diterapkan akan memberikan nilai faktor C yang rendah. Pengusahaan tanaman
yang memiliki nilai faktor C yang rendah akan memberikan kedalaman tanah
yang cukup dengan sifat fisik dan kimia yang bagus sehingga mampu mendukung
pertumbuhan tanaman untuk tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari.
Dengan demikian, fungsi ganda dari ekosistem (fungsi pelestarian dan fungsi
pendapatan) dapat tercapai. Adapun bagan alir kerangka berpikir penelitian
ditunjukkan pada Gambar 1.
Erosivitas hujan
Topografi berlereng Pertanaman tanpa teknik konservasi
AP dan erosi Nilai faktor C
6
Gambar 1. Bagan alir kerangka pikir penelitian
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari efektifitas padi gogo, kedelai, dan tanaman A. pintoi sebagai
tindakan konservasi vegetatif dalam mengendalikan AP dan erosi tanah pada
pertanaman kakao, serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan kakao, hasil
kedelai dan padi gogo
Produktivitas tanah
Pendapatan petani
Perlu pengelolaan yang baik
Teknik konservasi vegetatif
Tumpangsari + strip A. pintoi +mulsa + bahan organik
Pendapatan petani
Sifat fisik
Sifat kimia
Distribusi pori dan s.agregat serta BD
Kadar hara NPK, C-org. & KTK
AP dan erosi Kesuburan tanah
Produktivitas tinggi secara lestari
Nilai faktor C
7
2. Menentukan nilai faktor C tanaman kakao berbagai umur dengan tindakan
pengelolaan yang diterapkan
3. Mempelajari sifat fisik dan kimia tanah sebagai respon terhadap tindakan
konservasi vegetatif pada pertanaman kakao dengan topografi berlereng
Hipotesis Penelitian
1. Penggunaan padi gogo, kedelai, dan tanaman A. pintoi sebagai metode
konservasi vegetatif memegang peran yang nyata dalam mengendalikan AP
dan erosi tanah pada pertanaman kakao muda dengan topografi berlereng,
serta memberikan tambahan pendapatan kepada petani
2. Penerapan tindakan pengelolaan konservasi pada umur tanaman kakao yang
berbeda akan memberikan nilai faktor C yang berbeda pula
3. Tindakan konservasi vegetatif memegang peran yang nyata dalam perbaikan
sifat fisik dan kimia tanah
Kegunaan Penelitian
1. Menjadi salah satu acuan dalam strategi pengelolaan lahan untuk
meningkatkan produktivitas lahan kering dan perbaikan fungsi ekosistem,
baik sebagai fungsi pelestarian maupun fungsi pendapatan
2. Memberikan tambahan pendapatan kepada petani dengan metode konservasi
dan mengurangi AP da erosi tanah
3. Nilai faktor C yang diperoleh membantu dalam prediksi erosi dengan USLE
untuk menentukan pilihan tindakan pengelolaan, khususnya pada pertanaman
kakao
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian, Proses, serta Dampak yang Ditimbulkan Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-
bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain
(Arsyad, 2000). Menurut Kartasapoetro et al. (1989), erosi merupakan
penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang
berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan/perbuatan manusia.
Selanjutnya Foth (1990) mengemukanan bahwa erosi adalah suatu proses
terlepasnya bagian permukaan tanah sebagai akibat pukulan air hujan dan angin
secara terus menerus.
Daerah beriklim basah seperti Indonesia, air merupakan penyebab utama
erosi tanah, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Erosi oleh
air dimulai ketika hempasan tetesan air jatuh pada permukaan tanah yang terbuka.
Tetesan air memecahkan agregat tanah pada permukaan pedon dan pada
kemiringan rendah menyebabkan perpindahan tanah sebagai percikan. Partikel
tanah yang terlepas mungkin diangkut oleh aliran air pada permukaan tanah
(Singer dan Donald, 1987). Perpindahan dan pengangkutan partikel tanah pada
lahan yang memiliki kemiringan > 3% kebanyakan melalui AP, sedangkan pada
kemiringan < 3%, perpindahan dan transpor partikel kebanyakan disebabkan oleh
percikan air hujan (Craswel et al., 1984).
Menurut Arsyad (2000), proses erosi merupakan kombinasi dua sub proses
yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi
tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang
tergenang (proses dispersi), dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah
oleh percikan hujan (Th), dan (2) penghancuran struktur tanah (DI) diikuti
pengangkutan butir-butir tanah tersebut (TI) oleh air yang mengalir di permukaan
tanah. Erosi terjadi jika kapasitas angkut (Th dan TI) > butir-butir tanah yang
terlepas (Dh dan DI) dan sebaliknya. Greenland dan Lal (1977) mengemukakan
bahwa kepekaan tanah terhadap penghancuran dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah,
antara lain: distribusi ukuran partikel, kandungan bahan organik, permeabilitas,
struktur, dan kekuatan tanah.
9
Kerusakan lahan akibat erosi yang paling nyata adalah terangkutnya
lapisan olah tanah yang sangat penting artinya dalam budidaya tanaman. Jika
terjadi penghanyutan terus menerus, yang tertinggal adalah tanah lapisan bawah
yang kurang subur dengan sifat fisik yang kurang bagus, sehingga mempengaruhi
produksi tanaman (Hakim et al., 1986). Menurut Arsyad (2000), tanah yang
terangkut dalam proses erosi akan diendapkan di tempat lain; di dalam sungai,
waduk, danau, saluran irigasi, di atas tanah pertanian, dan sebagainya. Dengan
demikian maka kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi pada dua
tempat yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi dan (2) pada tempat tujuan akhir
tanah tersebut diendapkan. Sejalan yang dikemukakan Donahue et al. (1983)
bahwa erosi tanah mengakibatkan kerusakan struktur tanah dan kerusakan tempat-
tempat penyimpanan air (reservoir).
Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi berupa
kemunduran sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan produktivitas lahan pertanian. Hasil penelitian Weesies et
al. (1994) menunjukkan bahwa penurunan kandungan fosfor, air tersedia, dan
bahan organik akibat erosi masing-masing 38 kg ha-1, 51%, dan 16%
menyebabkan penurunan hasil jagung dan kedelai masing-masing 14% dan 24%.
Lebih lanjut hasil penelitian Gachene et al. (1998) menunjukkan bahwa pada plot
yang tererosi berat (273,85 ton ha-1) memberikan produksi biji jagung lebih
rendah (147,20 kg ha-1) dibandingkan dengan plot yang tererosi ringan (0,22 ton
ha-1) dengan produksi biji jagung 854,30 kg ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa
erosi tanah sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas lahan pertanian.
Kemunduran sifat fisik, kimia, dan biologi tanah pada tanah tempat
terjadinya erosi terutama disebabkan karena kandungan bahan organik yang
sangat rendah akibat terbawa AP dan erosi, dimana bahan organik sangat berperan
dalam perbaikan sifat fisik, kmia, maupun biologi tanah. Sesuai dengan hasil
penelitian Indrawati (1998), bahwa pembenaman kompos/bahan organik pada
tanah regosol Mojosari terbukti mengurangi bobot isi tanah rata-rata 30% di
lapisan permukaan dan 16% di lapisan 20-45cm. Lebih lanjut hasil penelitian
Nursyamsi et al. (1995) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang 10
ton.ha-1 dan pupuk hijau setaria sp. 5 ton.ha-1 meningkatkan kandungan
C-organik, N-organik, dan KTK tanah.
10
Penutupan Permukaan Tanah oleh Vegetasi dan Mulsa
Penutupan tanah oleh vegetasi memiliki peranan penting dalam melindungi permukaan tanah dari tumbukan langsung air hujan. Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi. Dalam usaha pertanian, jenis tanaman yang diusahakan memainkan peranan penting dalam pencegahan erosi. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap AP dan erosi dapat dibagi dalam empat bagian, yakni (a) intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (b) mengurangi kecepatan AP dan kekuatan perusak air; (c) pengaruh akar dan kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah; dan (d) transfirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang.
Penelitian mengenai kondisi penutupan kanopi terhadap AP, erosi dan
nilai C dari Universal Soil Loss Equation (USLE) telah dilakukan oleh Truman
dan Willian (2001). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penutupan kanopi
yang lebih tinggi (78%) pada pertanaman kacang tanah 4 baris bedengan-1
memiliki rata-rata AP, erosi dan nilai C masing-masing 1,3; 1,4; dan 1,4 kali lebih
rendah dibandingkan dengan penutupan kanopi yang lebih rendah (62%) pada
pertanaman kacang tanah 2 baris bedengan-1. Demikian pula hasil penelitian Hafif
et al. (1992) pada tanah Typic Kandiudox lereng 8-15% di Jambi, bahwa
permukaan tanah yang dipertahankan tertutup mucuna dan mulsa sisa panen
memiliki erosi 3,8 kali lebih rendah dan AP 1,2 kali lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa penutup tanah dan mulsa. Mulsa merupakan penutup tanah yang
berasal dari pangkasan rumput, sisa panen atau bahan-bahan lain yang disebarkan
di permukaan tanah.
Sebagaimana halnya dengan penutupan vegetasi, mulsa dapat berperan
dalam melindungi permukaan tanah dari tumbukan langsung air hujan sehingga
dapat mengurangi erosi tanah. Santoso et al. (2004) mengemukakan bahwa mulsa
berguna untuk: (1) mengurangi erosi dan AP, (2) menekan gulma dan mengurangi
biaya penyiangan, (3) mengatur suhu tanah, (4) meningkatkan kandungan bahan
orgaik tanah, dan (5) mengurangi penguapan air tanah sehingga meningkatkan
kelembaban tanah. Salah satu hasil penelitian yang menunjukkan peranan
penutupan permukaan tanah oleh mulsa jerami dalam mengurangi AP dan erosi
tanah telah dilakukan oleh Zuzel dan Pikul (1993) pada tanah lempung berdebu di
11
Pendleton Amerika dengan kemiringan lahan 16%. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa penutupan permukaan tanah dengan mulsa jerami 100%
menghasilkan AP 33 mm dan erosi 3 toh.ha-1, sedangkan tanpa mulsa
menghasilkan AP 39 mm dan erosi 46 ton ha-1.
Topografi
Panjang dan kemiringan lereng adalah dua unsur topografi yang paling
berpengaruh terhadap tingkat erosi tanah oleh air (Wischmeier dan Smith 1978;
Arsyad, 2000). Hal yang sama dikemukakan Schwab et al. (1993) bahwa faktor
topografi (LS) mempengaruhi laju erosi dengan laju erosi yang lebih besar pada
kemiringan lereng yang lebih curam. Selanjutnya Kartasapoetro et al. (1989)
mengemukakan bahwa panjang lereng, kemiringan lereng, dan bentuk lereng
termasuk dalam faktor topografi yang mempengaruhi erosi. Menurut Utomo
(1989) dan Buckman dan Brady (1982), semakin panjang lereng, volume
kelebihan air yang berakumulasi di atasnya menjadi lebih besar, dan semakin
besar derajat kemiringan lereng, kecepatan aliran air meningkat sehingga erosi
meningkat dengan meningkatnya kecepatan aliran air.
Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan faktor penting di dalam
memilih teknik konservasi tanah dan air, karena semakin besar kemiringan lereng,
maka laju AP semakin cepat. Oleh karena itu, strategi konservasi tanah dan air
pada lahan berlereng adalah memperlambat laju AP dan memperpendek panjang
lereng untuk memberi kesempatan lebih lama pada air meresap ke dalam tanah
(Subagyono et al. 2004). Dengan demikian, hanya sebagian kecil air hujan yang
jatuh di atas permukaan tanah mengalir sebagai AP dengan daya angkut yang
lebih rendah terhadap partikel tanah.
Hasil penelitian Suganda et al. (1997) pada pertanaman kubis dan buncis
dengan kemiringan 9 – 22% menunjukkan bahwa jumlah erosi pada bedengan
searah lereng dengan panjang 10 m adalah 2,5 kali lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah erosi pada bedengan searah lereng dengan panjang 4,5 m dipotong
teras gulud pada ujung bawah bedengan. Hasil penelitian serupa dilakukan oleh
Erfandi et al. (2002) menunjukkan bahwa bedengan searah lereng dengan panjang
5 m yang dipotong teras gulud dan bedengan yang dibuat searah kontur sangat
12
nyata mengurangi jumlah AP dan erosi masing-masing 50 – 70% dan 90 – 95%
dibandingkan dengan bedengan searah lereng. Penelitian pencegahan erosi
dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air pada topografi berlereng telah
banyak dilakukan, terutama pada pertanaman tanaman semusim. Adapun pada
tanaman perkebunan, khususnya pada pertanaman kakao sebelum kanopi kakao
saling menutup, hasil-hasil penelitian pencegahan erosi belum nampak
dipublikasikan.
Strip Rumput
Strip rumput merupakan salah satu bentuk pengendalian erosi secara
vegetatif. Rumput ditanam pada strip searah kontur dengan lebar 0,5 – 1,0 m,
ditujukan untuk menghambat laju AP dan erosi tanah. Menurut Santoso (2004),
pertanaman strip adalah pertanaman berlajur dimana penanaman dua jenis
tanaman atau lebih di dalam strip-strip secara berselang-seling antara tanaman
pokok dan tanaman penutup tanah yang diterapkan pada lahan berlereng 15-40%.
Jenis rumput yang ditanam biasanya rumput pakan ternak yang menghasilkan
banyak bahan hijau dan kualitas yang baik untuk pakan ternak, namun tidak
menimbulkan persaingan penyerapan zat hara dan pemanfaatan sinar matahari
dengan tanaman semusim (Abdurachman dan Sutono, 2002).
A. pintoi merupakan tanaman penutup tanah yang memenuhi kriteria
tersebut karena di samping sebagai pengontrol erosi, juga sebagai pakan ternak
yang dapat menghasilkan bahan hijau rata-rata 36,4 ton ha-1 th-1. Di samping itu,
A. pintoi tidak menimbulkan persaingan cahaya dan hara dengan tanaman
semusim karena A. pintoi merupakan herba tahunan yang tumbuh rendah, dan jika
hasil pangkasan digunakan sebagai kompos akan memberikan sumbangan N, P,
dan K rata-rata setara dengan 314 kg urea ha-1 th-1, 66 kg SP-36 ha-1 th-1, dan 156
KCl ha-1 th-1 (Anonim, 2005). A. pintoi berpotensi besar mencegah hanyutnya
tanah karena memiliki batang yang tumbuh menjalar membentuk anyaman yang
kokoh yang dapat menghambat laju AP. Peranan strip rumput dalam
mengendalikan AP dan erosi serta perbaikan sifat tanah telah dibuktikan oleh
beberapa hasil penelitian
13
Hasil penelitian Udawatta et al. (2002) menunjukkan bahwa strip rumput
jenis legum yang ditanam searah kontur menghasilkan erosi 1,1 kali lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan agroforestri tanpa strip tanaman searah kontur.
Selanjutnya Henny (1995) mengemukakan bahwa strip tanaman terutama yang
tumbuh rapat menciptakan hambatan yang lebih banyak terhadap AP yang
mengakibatkan partikel yang lebih kasar seperti pasir akan tertinggal dan
mengendap labih dahulu, sementara partikel halus seperti liat tetap berada dalam
suspensi dan terangkut bersama AP.
Keuntungan Tumpangsari Kakao dengan Tanaman Semusim
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian seperti penebangan hutan
pada topografi berlereng untuk digunakan sebagai pertanaman kakao akan
mengakibatkan degradasi tanah. Hal ini terjadi sebagai dampak pengolahan
tanah pada saat persiapan lahan dan rendahnya penutupan tanah pada saat
tanaman kakao masih muda. Oleh karena itu, penutupan tanah perlu ditingkatkan
dengan sistem agroforestri dalam bentuk tumpangsari kakao dengan tanaman
semusin yang disertai dengan tindakan konservasi tanah dan air. Persentase
penutupan tanah yang tinggi melindungi tanah dari pukulan butir-butir hujan dan
menjamin pengembalian bahan organik yang tinggi ke dalam tanah, sehingga
kesuburan tanah dapat diperbaiki, baik fisik, kimia, maupun biologi tanah.
Kesuburan fisik dengan penurunan BD dan peningkatan stabilitas agregat
berimplikasi terhadap penurunan pemadatan tanah dan pemeliharaan distribusi
pori yang tetap dapat menjamin infiltrasi air yang tinggi. Hal tersebut sejalan
dengan hasil penelitian Bharati et al. (2002) bahwa kapasitas infiltrasi tanah
signifikan lebih besar dan BD signifikan lebih rendah pada sistem agroforestri
yang mengintegrasikan tanaman pohon-perdu-rumput dibandingkan dengan tanpa
tanaman pohon.
Peranan tanaman pohon dan tanaman tahunan lainnya seperti kakao pada
sistem tumpangsari dengan tanaman semusim, diharapkan tidak hanya
meningkatkan infiltrasi air, tetapi juga meningkatkan pemanfaatan air oleh
tanaman dengan perkembangan perakaran tanaman yang dalam dan distribusi akar
yang lebih luas di dalam tanah. Hal ini penting, karena menurut Arsyad (2000)
salah satu yang mempengaruhi tingkat infiltrasi adalah kandungan air tanah.
14
Hasil penelitian Odhiambo et al. (2001) menunjukkan bahwa plot dengan vegetasi
pohon yang tinggi memiliki kandungan kelembaban yang rendah dibandingkan
dengan plot kontrol yang ditanami jagung dan kedelai dengan sedikit tanaman
pohon. Kandungan kelembaban yang rendah akan meningkatkan infiltrasi air
pada kejadian hujan berikutnya, sehingga meningkatkan kandungan air tanah.
Dengan demikian, efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada sistem yang
mengintegrasikan tanaman tahunan dengan tanaman semusim.
Efisiensi penggunaan air yang tinggi oleh tanaman akan memperbaiki
pertumbuhan dan meningkatkan biomas tanaman. Pengembalian biomas yang
tinggi, baik yang bersumber dari bagian tanaman di atas tanah maupun di bawah
permukaan tanah akan memperbaiki kesuburan tanah. Menurut Pandey et al.
(2000), peningkatan bahan organik yang konsisten dari sistem agroforestri
meningkatkan agregasi tanah, mencegah erosi, memperbaiki struktur tanah, dan
meningkatkan biomas mikrobia.
Peningkatan kesuburan tanah pada sistem agroforestri menyebabkan
peningkatan secara signifikan produksi tanaman dibandingkan jika ditanam secara
monokultur. Hasil penelitian Scroth (2001) menunjukkan bahwa cupuacu yang
ditanam dengan pohon palem, karet, dan pepaya memberikan hasil 72% lebih
tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pada sistem monokultur. Hal ini
diduga karena peran dari aktivitas mikroorganisme tanah yang tinggi pada
berbagai lapisan dan pemanfaatan residu pupuk dalam gawangan antara pohon.
Selanjutnya hasil penelitian Barzegar et al. (2002) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara perbaikan sifat fisik tanah dengan produksi tanaman, dimana BD
yang rendah dan stabilitas agregat > 250 um yang tinggi pada perlakuan
pengolahan dengan garpu (chisel) memberikan produksi buncis dan bahan kering
yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan bajak (plow) dan kombinasinya
(chisel- plow).
Sistem pengelolaan yang memasukkan tanaman pohon/tahunan (tanaman
kakao) dengan tanaman semusim (padi gogo dan kedelai) serta strip tanaman
A. pintoi pada satu unit lahan yang sama, akan memberikan keuntungan ganda,
yaitu perbaikan fungsi ekosistem dan perbaikan pendapatan petani. Perbaikan
fungsi ekosistem melalui penutupan tanah dan pengembalian bahan organik yang
15
tinggi serta strata perakaran, sedangkan perbaikan pendapatan petani dengan
adanya tanaman semusim yang dapat memberikan penghasilan yang cepat kepada
petani dan tanaman tahunan sebagai tanaman jangka panjang memberikan hasil
untuk beberapa dekade. Menurut Schroth, et al. (2001) adanya strata perakaran
tanaman pohon yang dalam mencegah pencucian hara dan memperbaiki
ketersediaan hara untuk tanaman serta mencegah dampak lingkungan yang
muncul akibat pencucian hara yang tinggi dari laha-lahan pertanian. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa sistem multistrata akan memberi keuntungan secara ekonomi
dan biofisik dengan penanaman tanaman tahunan yang dapat memberikan
produksi untuk beberapa dekade dan tanaman yang memiliki siklus hidup yang
singkat memberi uang cash kepada petani dengan segera. Dengan demikian,
sistem multistrata dengan persentase penutupan tanah tinggi oleh tanaman-
tanaman yang bernilai ekonomi akan memberi keuntungan secara ekonomi dan
ekologi.
Budidaya Kakao
Tanaman kakao merupakan salah satu tanaman tahunan yang memiliki
nilai ekonomi yang cukup tinggi, dimana biji kakao merupakan komoditas yang
penting dalam dunia perdagangan internasional. Produksi kakao yang tinggi dapat
diperoleh melalui cara-cara budidaya kakao yang baik. Sunanto (1992) telah
mengemukakan syarat tumbuh dan cara-cara budidaya tanaman kakao.
Dijelaskan bahwa tanaman kakao dapat tumbuh subur dan berproduksi tinggi pada
ketinggian 1 – 600 mdpl. Sifat tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman
kakao, yakni: memiliki solum minimum 90 cm dan cukup gembur, bahan organik
dan kadar hara yang cukup dan seimbang, pH 6,0 – 7,5 (pH optimum), dan
kemiringan tanah maksimum 40%. Kemasaman yang tinggi (pH < 5) dapat
diatasi dengan pengapuran. Pertumbuhan dan produksi kakao juga sangat
dipengaruhi oleh faktor iklim. Tanaman kakao dapat tumbuh di daerah yang
terletak antara 20o LU (Lintang Utara) dan 20o LS (Lintang Selatan). Iklim yang
baik untuk pertumbuhan tanaman kakao, yakni: curah hujan 1600 – 3000 mm th-1
(tetapi untuk tanah bertekstur liat curah hujan 1500 mm th-1, dan tanah berpasir
curah hujan 2000 mm th-1), suhu 24 – 28oC, kelembaban udara relatif konstan
16
(sekitar 80%), intensitas penyinaran 50% (70 – 80% untuk tanah-tanah yang
subur), dan kecepatan angin 2 – 5 m detik-1.
Penanaman tanaman kakao dapat dilakukan baik secara monokultur
maupun polikultur. Penyulaman dilakukan jika pertumbuhan tanaman kurang
bagus dan atau mati. Penyulaman dilakukan sampai tanaman kakao berumur 10
tahun, karena umur bongkar tanaman kakao adalah 25 tahun. Dengan demikian,
sebelum tanaman kakao yang sudah tua dibongkar, tanaman sisipan atau sulaman
sudah mulai berproduksi. Pengendalian gulma dapat dilakukan baik secara
manual, mekanis maupun kimiawi. Pelaksanaan pengendalian gulma secara
manual atau mekanis harus dilakukan secara hati-hati, karena pada kedalaman 20
– 30 cm merupakan tempat berkembangnya perakaran sekunder tanaman kakao.
Adapun pemupukan, dilakukan berdasarkan hasil analisis tanah dan daun, jika
tidak tersedia data hasil analisis, pemupukan dilakukan dengan dosis berdasarkan
umur tanaman kakao (umur dua, enam, 12, 18, dan 24 bulan, umur 3, 4, dan 5
tahun dosis ZA : TSP : KCl masing-masing 50 : 0 : 0 g pohon-1; 75 : 50 : 30 g
pohon-1, 100 : 0 : 0 g pohon-1, 150 : 100 : 70 g pohon-1, 200 : 0 : 0 g pohon-1, 2 x
100 : 2 x 50 : 2 x 50 g pohon-1 th-1, 2 x 200 : 2 x 100 : 2 x 100 g pohon-1 th-1, 2 x
250 : 2 x 125 : 2 x 125 g pohon-1 th-1, dan dosis pada umur > 5 tahun = dosis pada
umur 5 tahun). Adapun pemangkasan, meliputi pemangkasan bentuk (cabang
yang dipelihara 3 – 4 cabang yang letaknya merata ke segala arah), pemangkasan
pemeliharaan (membuang tunas air dan cabang kering), dan pemangkasan
produksi (mengurangi kelebatan daun agar penerimaan sinar matahari merata ke
semua lapisan tajuk). Hasil penelitian Baharudin et al. (2002) menunjukkan
bahwa diversifikasi tanaman kakao dengan lada dan panili yang disertai dengan
pemupukan dan pemangkasan tanaman kakao berpengaruh nyata terhadap
peningkatan produksi biji kakao di Sulawesi tenggara.
17
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada pertanaman kakao muda (umur 5–7 bulan
dan 25–27 bulan) dengan topografi berlereng (10-15% dan 40-45%). Lokasi
percobaan secara administrasi termasuk ke dalam Desa Amosilu, Kecamatan
Besulutu, Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara dan secara geografis
terletak 03o56’34” LS dan 122o18’25” BT. Jenis tanah lokasi penelitian adalah
Tipik Hapludult dengan CH rata-rata < 2000 mm th-1 (Tabel Lampiran 2)
Analisis sifat fisik dan kimia tanah dilaksanakan di laboratorium Fisika-
Konservasi Institut Pertanian Bogor (IPB) dan laboratorium Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Kendari.
Pelaksanaan penelitian dimulai Desember 2006 – September 2007,
sedangkan analisis sampel di laboratorium dimulai Oktober – November 2007.
Jadwal pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Desember 2006: pembuatan petak erosi
2. Analisis tanah awal penelitian
3. Pertengahan Januari – Mei 2007: periode tanaman padi gogo yang diawali
dengan penanaman A. pintoi sebagai tanaman strip
4. Awal Juni – September 2007: periode tanaman kedelai
5. Akhir Oktober – November 2007: analisis sampel di laboratorium
Secara skematis pelaksanaan penelitian tersebut disajikan pada Gambar 2 berikut:
Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli AgustusSeptemberOktoberNovember
Pembuatan analisis Petak erosi tanah Analisis sampel di awal laboratorium Gambar 2. Skema pelaksanaan penelitian meliputi pembuatan petak erosi-
penanaman padi gogo-penanaman kedelai-analisis sampel tanah di Laboratorium
Padi gogo Kedelai
18
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan di lapangan terdiri dari:
1. Benih padi gogo (varietas situbagendit) dan benih kedelai (varietas wilis)
sebagai tanaman sela
2. Bibit A. pintoi sebagai tanaman strip
3. Pupuk urea, SP-36, KCl, dan insektisida Bahan-bahan yang digunakan di Laboratorium terdiri dari:
1. Natrium pirofosfat dan amilalkohol (untuk analisis tekstur)
2. H2SO4, NaOH, HCl, Selenium, H3BO3, dan Indikator Conway (penetapan N
total dengan Kjeldahl method)
3. HCl (penetapan P dan K dengan ekstrak HCl 25%)
4. K2Cr2O7, H2SO4, FeSO4, indikator ferroin, KMnO4, dan natrium oksalat
(penetapan C-organik dengan Walkley-Black dan permanganatometri)
5. NH4OAc, alkohol 80%, NaOH (penetapan KTK dengan metode ammonium
asetat)
6. Larutan sangga sitrat, larutan fenol, larutan natrium hipoklorit, larutan standar
N 1000 ppm N-NH4 (penetapan N-NH4 dengan metode biru indofenol)
7. Larutan sangga NH4OAc 1M pH 4,8, larutan brusin 2%, H2SO4 pekat, larutan
standar N 1000 ppm N-NO3 (penetapan N-NO3 dengan metode brusin)
8. Pereaksi P, larutan standar P 1000 ppm, larutan standar K 1000 ppm
(penetapan PO4 dan K masing-masing dengan metode biru molibden dan
fotometri nyala)
Peralatan yang digunakan di lapangan terdiri dari:
1. Meteran profil untuk deskripsi profil
2. Bor untuk mengambil sampel tanah
3. Plastik untuk pembatas petak erosi
4. Drum untuk menampung AP
5. Bak plastik untuk menampung sedimen atau tanah tererosi
6. Cylinder infiltrometer untuk mengukur infiltrasi
7. Ombrometer untuk mengukur CH
19
8. Meteran dan jangka sorong masing-masing untuk mengukur tinggi tanaman,
diameter tajuk, dan diameter batang tanaman kakao Peralatan yang digunakan di laboratorium terdiri dari:
1. Ayakan kering dan basah (untuk penetapan stabilitas agregat)
2. Pressure plate (untuk penetapan kadar air pF 1,00; 2,00; dan 2,54) dan
pressure membrane (untuk penetapan kadar air pF 4,20)
3. Gelas piala, milk shaker, hydrometer, tabung sedimentasi, termometer, dan
bak air pengatur suhu (untuk analisis tekstur)
4. Oven (untuk penetapan BD, kadar air, dan jumlah sedimen)
5. Atomic Absorption Spectrophotometry atau AAS (untuk penetapan sifat kimia
tanah)
6. pH-meter (untuk penetapan pH tanah)
7. Timbangan elektrik
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan percobaan lapangan pada petak erosi berukuran
10 m x 5 m yang disusun dalam Rancangan Split Plot dengan ulangan sebagai
Blok, terdiri dari dua faktor, yaitu kombinasi umur tanaman kakao dan kemiringan
lereng sebagai faktor pertama, dan teknik konservasi sebagai faktor kedua.
1. Umur tanaman kakao/kemiringan lereng terdiri dari empat taraf yaitu:
a. Umur tanaman kakao 5 - 7 bulan dan kemiringan lereng 10 – 15% (P1)
b. Umur tanaman kakao 25 - 27 bulan dan kemiringan lereng 10 – 15% (P2)
c. Umur tanaman kakao 5 – 7 bulan dan kemiringan lereng 40 – 45% (P3)
d. Umur tanaman kakao 25 –27 bulan dan kemiringan lereng 40 – 45% (P4)
2. Teknik konservasi dengan tiga taraf yaitu:
a. Kakao + gulma dibiarkan tumbuh pada gawangan kakao (T1)
b. Kakao + padi gogo ditanam berurutan dengan kedelai (T2)
c. Kakao + padi gogo ditanam berurutan dengan kedelai + strip A. pintoi (T3)
Kombinasi perlakuan sebagai berikut:
P1T1 P2T1 P3T1 P4T1 P1T2 P2T2 P3T2 P4T2 P1T3 P2T3 P3T3 P4T3
20
Terdapat 12 petak perlakuan dari kombinasi (2 x 2) x 3 taraf masing-masing faktor. Setiap perlakuan diulang 3 kali, dan untuk menghitung nilai faktor C dibuat petak pembanding secara terpisah sebanyak 3 ulangan sehingga total petak erosi yang dibuat adalah 39 petak.
Tahapan Penelitian
Guna mencapai tujuan dan menjawab hipotesis yang diajukan, secara umum penelitian dilaksanakan dalam 7 tahapan kegiatan, yaitu (1) penentuan lokasi penelitian, (2) pembuatan petak erosi, (3) pemberian perlakuan, (4) pemeliharaan tanaman, (5) pengamatan AP, erosi, sifat fisik, dan kimia tanah, serta pengamatan komponen pertumbuhan dan produksi, (6) analisis data, dan (7) analisis kelayakan finansial. Bagan alir kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 3.
Penentuan lokasi penelitian
Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan sistem penggunaan lahan, yaitu
pertanaman kakao umur 5-7 bulan dan 25–27 bulan pada kemiringan 10–15% dan
40–45%, sehingga terdapat empat site penelitian. Karakteristik lokasi penelitian
relatif sama terutama mengenai sifat tanah. Untuk memastikan bahwa lokasi
penelitian memiliki sifat tanah yang relatif sama, dilakukan pemboran pada
beberapa titik dengan kedalaman 0 – 30 cm dan 30 – 60 cm, selanjutnya lokasi
penelitian ditempatkan pada daerah yang memiliki ciri tanah yang relatif sama.
Pada site terpilih, dibuat profil tanah dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 100
cm, dalam 130 cm atau sampai pada lapisan yang membatasi perakaran.
Deskripsi profil dimulai dengan membedakan horizon-horizon dan kemudian
diamati sifat setiap horizon yang meliputi: warna, tekstur, struktur, konsistensi,
kutan, konkresi, dan nodul. Untuk analisis sifat kimia diambil 1 kg contoh tanah
terganggu pada setiap horizon, sedangkan untuk analisis sifat fisik (BD), contoh
tanah tidak terganggu (menggunakan ring) diambil pada setiap horizon. Dalam
penelitian ini, keempat site penelitian berada pada lokasi yang berdekatan (satu
hamparan) sehingga profil pewakil dibuat berdasarkan kemiringan, yakni satu
profil dibuat pada kemiringan 15% dan satu profil pada kemiringan 45%.
21
Gambar 3. Bagan alir kegiatan penelitian
Pertanaman kakao muda
Deskripsi profil Analisis sifat tanah pada awal penelitian
Pembuatan petak erosi
Kemiringan lereng 10-15% Kemiringan lereng 40 - 45%
Kriteria petak erosi
Umur kakao 5-7 bulan
Umur kakao 25-27 bulan
Kakao + gulma (T1)
Kakao + rotasi padi gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Kakao + rotasi padi gogo-kedelai (T2)
Pengamatan: 1. Pengukuran AP dan erosi dan penetapan nilai
faktor C 2. Pengukuran sifat fisik dan kimia tanah 3. Pengukuran kadar hara dan C-organik sedimen
dan AP 4. Pengukuran pertumbuhan dan produksi tanaman
Analisis statistik dengan program SAS:
1. ANOVA 2. Uji Duncan
Dibuat petak pembanding tanpa tanaman untuk penetapan nilai C
Hasil penelitian: 1. Jumlah AP dan erosi serta nilai faktor C 2. Jumlah kehilangan hara N, P, K, dan C-organik 3. Sifat fisik dan kimia tanah setiap perlakuan 4. Enrichment Ratio (ER) 5. Pertumbuhan dan produksi tanaman
Input & output produksi
Analisis Usahatani
Kelayakan pengembangan kakao dengan metode konservasi yang diterapkan
22
Pembuatan petak erosi
Petak erosi berukuran 10 m x 5 m dibuat dengan pembatas petak
menggunakan bahan tidak tembus air. Pembatas petak dibenamkan ke tanah 15
cm-20 cm dengan 15 cm - 20 cm di atas permukaan tanah. Pada bagian bawah
petak dibuat saluran dengan dasar saluran menggunakan bahan tidak tembus air
untuk menghindari terjadinya rembesan. Sedimen dialirkan pada bak penampung
sedimen atau soil collector (baskom dengan kapasitas tampung rata-rata 52 liter)
dan AP dialirkan ke tangki penampung AP atau runoff collector (drum dengan
kapasitas tampung rata-rata 220 liter) menggunakan pipa yang dihubungkan
dengan bak penampung sedimen. Jumlah pipa pembagi aliran pada bak
penampung sedimen sebanyak sembilan buah, delapan aliran langsung terbuang
dan hanya satu aliran yang ditampung pada bak penampung AP. Jumlah pipa
pembagi aliran ini didasarkan pada curah hujan tertinggi (96,4 mm hari-1) lokasi
penelitian yang pernah terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berdasarkan
data CH tersebut, dengan asumsi infiltrasi sebesar 59% (berdasarkan hasil
penelitian Hafid, 2001), maka jumlah AP petak-1 adalah 1976 liter dan jika jumlah
ini dibagi sembilan maka banyaknya AP yang harus ditampung pada bak
penampung AP sebesar 220 liter. Bagian atas tangki penampung AP ditutup
untuk menghindari masuknya air hujan secara langsung.
Pemberian perlakuan
Perlakuan diatur sesuai dengan rancangan percobaan. Pada petak erosi
yang telah dibuat pada dua kriteria kemiringan (10-15% dan 40-45%) dan dua
kriteria umur tanaman kakao (5-7 bulan dan 25-27 bulan) diberi perlakuan
tindakan konservasi sebagai berikut:
- T1 (kakao + gulma dibiarkan tumbuh pada gawangan kakao). Penyiangan hanya
dilakukan pada piringan kakao dan hasil pangkasan kakao disebar diatas
piringan. Pemangkasan dilakukan sekali dalam empat bulan..
- T2 (kakao + padi gogo ditanam berurutan dengan kedelai). Padi gogo dan kedelai
ditanam berurutan di antara tanaman kakao dengan jarak tanam padi gogo 10
cm dalam barisan dan 40 cm antar barisan, sedangkan jarak tanam kedelai 20
cm dalam barisan dan 40 cm antar barisan. Sebelum padi gogo ditanam,
23
dilakukan pengolahan tanah dengan cangkul untuk menggemburkan tanah,
kemudian tanah ditugal dan dimasukkan 5 – 7 benih padi gogo per lubang
tanam. Panen padi gogo dilakukan menggunakan sabit dengan memotong
batang padi sekitar 5 cm dari permukaan tanah. Setelah padi gogo dipanen,
dilakukan penanaman kedelai tanpa didahului dengan pengolahan tanah karena
kondisi tanah masih cukup gembur (BD tanah berkisar 1 g cm-3) untuk
mendukung perkecambahan kedelai, sehingga setelah jerami padi gogo disebar
di permukaan tanah sebagai mulsa, tanah langsung ditugal dan dimasukkan 3 –
5 benih kedelai per lubang tanam. Pada umur 100 hari setelah tanam, kedelai
dipanen dan brangkasan kedelai dikeringkan sampai biji kedelai mudah terlepas
dari polongnya.
- T3 (kakao + padi gogo ditanam berurutan dengan kedelai + strip A. pintoi).
A. pintoi ditanam pada strip searah kontur dengan jarak antar strip 6 m dan lebar
strip dipertahankan 0,3 m. Hasil pangkasan A. pintoi dibenamkan di sekeliling
piringan tanaman kakao sebagai pupuk organik, sedangkan hasil pangkasan
tanaman kakao dan sisa panen padi gogo serta kedelai disebar di atas
permukaan tanah sebagai mulsa. Tanaman A. pintoi dipangkas pertama kali
pada umur dua bulan dan selanjutnya dipangkas sekali dalam dua minggu.
Namun demikian, untuk menghindari kehilangan tanah yang tinggi melalui
erosi akibat pembongkaran tanah pada saat pembenaman hasil pangkasan A.
Pintoi, maka pembenaman dilakukan hanya sekali dalam sebulan. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi: penyiangan, pemupukan, dan
pengendalian hama/penyakit. Untuk padi gogo, penyiangan dilakukan tiap
minggu pada satu bulan pertama, selanjutnya dilakukan tiap dua minggu sekali
sampai padi gogo berumur dua bulan, dan pada umur padi gogo dua bulan sampai
tiga bulan hanya dilakukan satu kali penyiangan karena pertumbuhan gulma sudah
terhambat oleh penutupan tajuk padi gogo. Untuk kedelai, penyiangan dilakukan
tiap dua minggu sekali sampai kedelai berumur dua bulan, dan selanjutnya hanya
sekali penyiangan sampai kedelai dipanen. Intensitas penyiangan yang dilakukan
pada tanaman kedelai lebih rendah dibandingkan dengan padi gogo karena
pertumbuhan gulma pada masa tanam kedelai terhambat oleh adanya mulsa jerami
24
yang merupakan sisa panen padi gogo. Penyiangan dilakukan dengan mencabut
gulma-gulma yang tumbuh di pertanaman, dan gulma-gulma yang telah dicabut
dihamparkan di atas permukaan tanah dengan terlebih dahulu ditimbang untuk
mengetahui bobot segarnya. Pemupukan dilakukan dengan pupuk anorganik
Urea, SP-36, dan KCl dengan dosis 200 kg urea ha-1, 150 kg SP-36 ha-1, dan 100
kg KCl ha-1 untuk padi gogo. Pupuk urea diberikan dua tahap, pertama pada umur
padi gogo dua minggu dan tahap kedua diberikan satu bulan berikutnya. Untuk
kedelai, pupuk diberikan dengan dosis 50 kg urea ha-1, 100 kg SP-36 ha-1, dan 100
kg KCl ha-1. Pemberian pupuk dilakukan dengan membenamkan pupuk dalam
larikan yang telah dibuat.
Pengamatan
Pengamatan dan pengukuran di lapangan
a. Aliran Permukaan (AP) (m3 ha-1)
Pengamatan jumlah AP pada petak berukuran 10 x 5 m dilakukan
ketika runoff collector hampir penuh dengan mengukur tinggi muka air dalam
runoff collector, jadi pengamatan tidak dilakukan pada setiap hari hujan. Hal
ini dilakukan karena keterbatasan tenaga yang dapat melakukan pengamatan
dan pengambilan sampel pada setiap hari hujan. Sampel AP yang diambil
digunakan untuk analisis kandungan sedimen yang tersuspensi dalam AP dan
untuk analisis kadar hara dan C-organik yang terlarut dalam AP.
Pengambilan sampel dilakukan dengan terlebih dahulu mengaduk air yang
ada dalam runoff collector agar sampel yang diambil representatif terhadap
AP dalam runoff collector
Jumlah sampel AP yang diambil untuk analisis kandungan sedimen
sebanyak 250 ml per runoff collector per pengamatan. Sampel tersebut
disaring menggunakan tissue dengan terlebih dahulu menimbang tissue yang
digunakan untuk mengetahui bobotnya. Sedimen yang tersaring di oven pada
suhu 105oC selama 24 jam kemudian didinginkan di dalam desikator untuk
menstabilkan beratnya. Bobot sedimen yang diperoleh adalah bobot sedimen
25
dengan tissue dikurangi dengan bobot tissue yang digunakan. Jumlah
sedimen yang tersuspensi dalam AP selama penelitian dihitung dengan rumus:
E = V x B ...................................................................................................... (1)
yang mana: E = Jumlah sedimen yang tersuspensi dalam AP (ton ha-1 th-1) V = Volume AP (m3 ha-1 th-1) B = Bobot kering sedimen yang tersuspensi dalam AP (g L-1)
Jumlah sampel yang diambil untuk analisis kadar hara dan C-organik
AP sebanyak 150 ml per runoff collector per pengamatan. Sampel tersebut
disimpan di lemari pendingin (refrigerator) pada suhu 4oC. Analisis kadar
hara dan C-organik AP dilakukan pada akhir penelitian dengan sampel
komposit dari beberapa pengamatan sesuai dengan perbandingan jumlah AP.
Sebagai contoh, sampel dari jumlah AP sebanyak 200 liter, 150 liter, dan 215
liter masing-masing diambil 100 ml, 75 ml, dan 108 ml kemudian
dikompositkan. Setelah diaduk sampai homogen diambil sebanyak 250 ml
untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk menentukan kadar hara N,
P, K, dan C-organik AP.
Jumlah hara N yang terbawa AP pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y = NH3 x V ................................................................................................. (2)
yang mana: Y = Jumlah N yang terbawa pada AP (kg NH4 ha-1 th-1) NH3 = Kadar hara N (mg NH4 L-1)
V = Volume AP (m3 ha-1 th-1)
Y = NO3 x V ................................................................................................. (3)
yang mana: Y = Jumlah N yang terbawa AP (kg NO3 ha-1 th-1) NO3 = Kadar hara N (mg NO3 L-1)
V = Volume AP (m3 ha-1 th-1)
Y = NO2 x V ................................................................................................. (4)
yang mana: Y = Jumlah N yang terbawa AP (kg NO2 ha-1 th-1) NO2 = Kadar hara N (mg NO2 L-1)
V = Volume AP (m3 ha-1 th-1)
Jumlah hara P yang terbawa AP pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y = PO4 x V .................................................................................................. (5)
26
yang mana: Y = Jumlah P yang terbawa AP (kg PO4 ha-1 th-1) PO4 = Kadar hara P (mg PO4 L-1)
V = Volume AP (m3 ha-1 th-1)
Jumlah hara K yang terbawa AP pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y = K x V ..................................................................................................... (6)
yang mana: Y = Jumlah K yang terbawa AP (kg K ha-1 th-1) K = Kadar hara K (mg L-1)
V = Volume AP (m3 ha-1 th-1)
Jumlah C-organik yang terbawa AP pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y = C x V ..................................................................................................... (7)
yang mana: Y = Jumlah C-organik yang terbawa AP (kg ha-1 th-1) C = Kadar C-organik (%)
V = Volume AP (m3 ha-1 th-1)
b. Sedimen (ton ha-1)
Pengamatan dan pengambilan sampel sedimen pada soil collector
dilakukan bersamaan dengan pengamatan dan pengambilan sampel AP pada
runoff collector. Semua sedimen yang ada pada soil collector dikeluarkan
pada setiap pengamatan setelah sebelumnya dilakukan pengambilan sampel
sebanyak 100 gram untuk analisis kadar hara dan C-organik sedimen.
Sedimen yang telah dikeluarkan dari soil collector dikeringanginkan
kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot basahnya. Untuk mengetahui
bobot kering sedimen, diambil sampel sebanyak 250 gram kemudian
dikeringkan dan dioven pada suhu 105oC selama 24 jam. Jumlah sedimen
pada bak penampung sedimen selama penelitian dihitung dengan rumus:
yang mana: E’ = Jumlah sedimen pada bak penampung sedimen (ton.ha-1.th-1)
Total tanah tererosi selama penelitian dihitung dengan rumus:
A = E + E’ .................................................................................................... (9)
)8......(..........)(25,0
)(' gsampeleringkbobotxkg
kgimendsebasahbobottotalE =
27
yang mana: A = Total erosi tanah (ton ha-1 th-1) E = Jumlah sedimen yang tersuspensi dalam AP (ton ha-1 th-1)
E’ = Jumlah sedimen pada bak penampung sedimen (ton ha-1 th-1)
Adapun sampel untuk analisis kadar hara dan C-organik sedimen
disimpan di lemari pendingin pada suhu 4oC. Analisis kadar hara dan C-
organik sedimen dilakukan pada akhir penelitian dengan sampel komposit
dari beberapa pengamatan sesuai dengan perbandingan jumlah sedimen.
Sebagai contoh, sampel yang diambil dari jumlah sedimen 20 kg, 17 kg, 10
kg, dan 3 kg masing-masing diambil 100 gram, 85 gram, 50 gram, dan 15
gram kemudian dikompositkan. Setelah tercampur merata diambil sebanyak
200 gram untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk menentukan
kadar hara, N, P, K, dan C-organik sedimen.
Jumlah hara N yang terbawa sedimen pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y’ = N tot x E’ ........ ................................................................................ (10)
yang mana: Y’ = Jumlah N total yang terbawa sedimen (kg ha-1 th-1) N tot = Kadar hara N total (%)
E’ = bobot tanah tererosi (ton ha-1 th-1)
Jumlah hara P yang terbawa sedimen pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y’ = P2O5 x E’ ............................................................................................ (11)
yang mana: Y’ = Jumlah P yang terbawa sedimen (kg P2O5 ha-1 th-1) P2O5 = Kadar hara P (mg P2O5 100g-1)
E’ = bobot tanah tererosi (ton ha-1 th-1)
Jumlah hara K yang terbawa sedimen pada setiap perlakuan dihitung
dengan rumus:
Y’ = K2O x E’ ............................................................................................ (12)
yang mana: Y’ = Jumlah K yang terbawa sedimen (kg K2O ha-1 th-1) K2O = Kadar hara K (mg K2O 100g-1)
E’ = bobot tanah tererosi (ton ha-1 th-1)
Jumlah C-organik yang terbawa sedimen pada setiap perlakuan
dihitung dengan rumus:
Y’ = C’ x E’ ................................................................................................ (13)
28
yang mana: Y’ = Jumlah C-organik yang terbawa sedimen (kg ha-1 th-1) C’ = Kadar C-organik (%)
E’ = bobot tanah tererosi (ton ha-1 th-1)
c. Infiltrasi (mm jam-1)
Pengukuran infiltrasi menggunakan metode double ring infiltrometer.
Pengukuran dilakukan pada titik yang secara proporsional mewakili kondisi
lahan yang diamati. Pada petak erosi yang diberi perlakuan strip A. Pintoi
(T3), pengukuran dilakukan pada tiga titik sampel, yaitu pada piringan kakao,
dekat strip A. Pintoi, dan pada gawangan. Pada petak erosi tanpa perlakuan
strip A. pintoi (T2 dan T1), pengukuran dilakukan pada dua titik sampel,
yaitu pada piringan kakao dan pada gawangan. Data infiltrasi yang diperoleh
merupakan rata-rata hasil pengukuran pada beberapa titik. Untuk
memudahkan dalam interpretasi data, maka data infiltrasi yang diperoleh dari
pengukuran lapangan diformulasikan ke dalam model persamaan infiltrasi
menggunakan model yang dikembangkan oleh Horton (1940) sebagai berikut:
f = fc + (fo – fc) e-kt ..................................................................................... (14)
yang mana: f = kapasitas infiltrasi atau laju maksimum infiltrasi pada suatu saat (mm jam-1) fc = kapasitas infiltrasi pada saat infiltrasi telah konstan fo = kapasitas infiltrasi awal k = suatu konstanta bagi suatu tanah t = waktu e = 2,71828
d. Curah hujan (mm)
Pengamatan CH menggunakan ombrometer sehingga sifat hujan lokasi
penelitian yang diamati hanya total CH. Berdasarkan data CH yang diperoleh
dilakukan perhitungan Erosivitas Hujan menggunakan persamaan penduga
EI30 oleh Bols (1978)
EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53 ....................................... (15)
yang mana: EI30 = indeks erosi hujan bulanan RAIN = jumlah curah hujan bulanan dalam centimeter DAYS = jumlah hari hujan rata-rata per bulan MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan
bersangkutan
29
e. Ketersediaan air untuk tanaman ditentukan melalui analisis neraca air
berdasarkan CH > ETc (CH > evapotranspirasi tanaman). Data yang
dibutuhkan adalah data CH, evapotranspirasi (ETo), koefisien tanaman (Kc),
kadar air kapasitas lapang (KL) dan titik layu permanen (TLP). Data CH
yang digunakan adalah data dari stasiun terdekat dari lokasi penelitian
(stasiun Kendari) 10 tahun terakhir (Tabel Lampiran 2). CH total dikurangi
dengan rata-rata jumlah CH hujan yang mengalir sebagai AP untuk
mendapatkan CH efektif (Tabel Lampiran 17), dalam hal ini kehilangan air
melalui perkolasi tidak diperhitungkan. ETo dihitung berdasarkan data suhu
dari stasiun Kendari (Tabel Lampiran 16) dengan menggunakan metode
Thornthwaite (1948)
e = 1,6 (10 t/i)a ............................................................................................(16)
yang mana : e = evapotranspirasi bulanan (mm) t = suhu bulanan rata-rata (oC)
i = indeks panas sebagai penjumlahan dari indeks i bulanan,
yakni:
i = (t/5)1,514 ........................................................................................................
(17)
sedangkan a didapat dari persamaan:
a = 6,75 x 10-7 I3 – 7,71 x 10-5 I2 + 0,01792 I + 0,49239 ........................... (18)
KL dan TLP ditentukan masing-masing pada pF 2,54 dan 4,20. Perhitungan
ketersediaan air dilakukan menurut tatabuku Thornthwaite dan Mather (1975)
melalui pengisian tabel dengan tatacara sebagai berikut:
• Kolom CH diisi dengan CH rata-rata bulanan atau per dekade
• Kolom evapotranspirasi potensial (ETo) diisi dengan nilai ETo yang
dihitung berdasarkan data suhu menggunakan metode Thornthwaite
(1948)
• Kolom Kc diisi dengan koefisien tanaman (Tabel Lampiran 7)
• Kolom ETc diisi dengan hasil kali ETo dengan Kc
30
• Kolom berikutnya diisi dengan selisih antara CH dengan ETc
• Kolom water storage diperoleh dari perkalian antara kadar air KL dengan
kedalaman efektif
• Kolom akumulasi potensial untuk penguapan (APWL) bernilai nol pada
selisih CH dengan ETc yang bernilai positif, sedangkan untuk selisih CH
dengan ETc yang bernilai negatif diisi dengan penjumlahan nilai CH –
ETc yang negatif secara berurutan bulan demi bulan
• Kolom kadar air tanah (KAT) dengan nilai APWL sama dengan nol diisi
dengan air tersedia (AT) yang diperoleh dari selisih kadar air KL dengan
TLP dikali dengan kedalaman efektif, sedangkan APWL bernilai negatif
diisi dengan menggunakan rumus:
KAT = AT x e-APWL/AT ......................................................................... (19)
yang mana: KAT = kadar air tanah AT = air tersedia
e = eksponensial 2,7182818
• Perubahan kandungan air tanah (ΔKAT) adalah nilai KAT pada bulan
yang bersangkutan dikurangi dengan KAT bulan sebelumnya
• Evapotranspirasi aktual (ETA), jika CH < ETc, maka:
ETA = CH + (ΔKAT) ......................................................................... (20)
dan jika CH > ETc, maka ETA = ETc ................................................ (21)
• Defisit (D) berarti berkurangnya air yang dapat dievapotranspirasikan
sehingga
D = ETc – ETA ..................................................................................... (22)
• Surplus (S) berarti terdapat kelebihan air setelah kebutuhan
evapotranspirasi terpenuhi (CH > ETc),
dimana S = CH – ETc - ΔKAT ..............................................................(23)
Ketersediaan air diperlukan untuk penentuan pola tanam di lapangan (Gambar
19 dan 20)
31
f. Nilai faktor C
Nilai faktor C dihitung dengan membandingkan jumlah tanah tererosi
pada perlakuan dengan petak pembanding, atau dengan rumus sebagai
berikut:
Perhitungan nilai C dilakukan hanya pada kemiringan 40 – 45% (petak utama
P3 dan P4 dengan anak petak T1, T2, dan T3), karena petak pembanding yang
dibuat hanya pada kemiringan tersebut. Diharapkan nilai C yang diperoleh
pada kemiringan 40 – 45% akan sama jika diuji pada kemiringan 10 – 15%
dengan umur tanaman kakao dan tindakan konservasi serta petak pembanding
pada kemiringan yang sama (10 – 15%) pada tanah yang identik.
g. Diameter batang tanaman kakao (cm)
Diameter batang kakao diukur 10 cm dari permukaan tanah, dan pada
posisi pengukuran pertama (awal) diberi tanda supaya posisi pengukuran
berikutnya (akhir) tepat berada pada posisi pengukuran awal. Diameter
batang yang diperoleh merupakan pertambahan diameter batang selama
penelitian.
h. Diameter tajuk tanaman kakao (cm)
Diameter tajuk diukur dengan mengambil lima posisi pengukuran
pada setiap sampel (tiga sampel per petak), diameter tajuk ditentukan dari
rata-rata lima posisi pengukuran tersebut. Pengukuran dilakukan pada awal
dan akhir penelitian sehingga diameter tajuk yang diperoleh merupakan
pertambahan diameter tajuk selama penelitian. Data diameter tajuk
selanjutnya digunakan untuk menghitung besarnya penutupan tajuk kakao
terhadap permukaan tanah dengan asumsi bahwa antara daun yang satu
dengan yang lainnya saling menutup.
i. Tinggi tanaman kakao (cm)
)24(....anamantanpatidentikyanganahtpadaanahterosi
perlakuanpetakpadaanahterosiCfaktorNilai =
32
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan hanya sampai pada percabangan (jorquette) pertama untuk kakao berumur 25 – 27 bulan, sedangkan pada umur 5 – 7 bulan, pengukuran dilakukan sampai ujung tanaman tertinggi. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir penelitian, sehingga tinggi tanaman yang diperoleh merupakan selisih pengukuran akhir dengan awal.
j. Pertumbuhan dan produksi padi gogo dan kedelai (ton ha-1)
Variabel pertumbuhan yang diamati adalah anakan produktif padi gogo dengan menghitung jumlah anakan yang menghasilkan malai pada setiap rumpun yang dijadikan sampel (20 rumpun per petak). Hasil padi gogo dan kedelai ditentukan berdasarkan bobot kering panen.
Pengamatan dan pengukuran di Laboratorium
a. BD (g cm-3)
BD tanah adalah bobot kering suatu unit volume tanah dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam g cm-3. Unit volume tersebut terdiri dari volume bahan padat dan ruang pori di antaranya. Penetapan BD menggunakan sampel tanah dalam ring dengan rumus:
yang mama: X = bobot sampel tanah + ring Y = bobot ring
Z = kadar air
b. Ruang pori total (%)
Ruang pori total ditentukan berdasarkan data BD dan Partikel Density
(PD) dengan rumus:
Ket: nilai PD yang digunakan adalah 2,65 g cm-3
c. Stabilitas agregat
)25......(..................................................100tan
)100/()(100 xahvolume
ZYXBD +−=
)26....(........................................%1001)( xPDBDRPTtotalporiRuang −=
33
Stabilitas agregat ditentukan dengan metode pengayakan kering dan
pengayakan basah. Selisih antara rata-rata bobot diameter agregat tanah pada
pengayakan kering dan pengayakan basah menunjukkan indeks instabilitas,
yang berarti makin besar selisihnya makin tidak stabil agregat tanah tersebut.
Berdasarkan nilai indeks instabilitas, maka dapat ditentukan indeks stabilitas
dengan rumus:
Semakin tinggi nilai indeks stabilitas maka agregat tanah tersebut semakin
stabil dari gangguan mekanik di lapangan. Kriteria pengkelasan disajikan
pada Tabel Lampiran 8
d. Kemampuan tanah mengikat air
Penetapan kadar air pada pF 1,00; 2,00; dan 2,54 menggunakan
Pressure Plate Apparatus, dan pF 4,20 menggunakan Pressure Membrane
Apparatus. Penetapan kadar air pF 1,00; 2,00; 2,54; dan 4,20 diperlukan
dalam berbagai hal, yaitu (i) penetapan kadar air tersedia yang merupakan
selisih antara kadar air pada pF 4,20 dengan pF 2,54, (ii) penetapan kadar air
kapasitas lapang (pF 2,54) dan kadar air titik layu permanen (pF 4,20), dan
(iii) penetapan distribusi ukuran pori. Perhitungan kadar air volumetrik pada
masing-masing pF yang diamati menggunakan persamaan:
e. Distribusi ukuran pori
Menurut ukurannya RPT dikelompokkan ke dalam pori kapiler dan
non kapiler. Pori kapiler menghambat pergerakan air menjadi pergerakan
kapiler, dan pori non kapiler memberi kesempatan pergerakan udara dan
perkolasi air secara cepat sehingga sering disebut sebagai pori drainase. Pori
drainase dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu (i) pori drainase
sangat cepat, berdiameter > 300µm, yakni bagian pori yang tidak terisi air
pada pF 1,00 (ii) pori drainase cepat, berdiameter antara 300-30µm, yakni
)28.........(%100 BDxxoveneringkbobot
oveneringkbobottertentupFanahtbobotairKadar −=
)27....(........................................1001 xasinstabilitIndeks
stabilitasIndeks =
34
bagian pori yang tidak terisi air pada pF 1,00 sampai 2,00 (iii) pori drainase
lambat, berdiameter antara 30 sampai 9µm, yakni bagian pori yang tidak terisi
air pada pF 2,00 sampai 2,54.
f. Tekstur tanah
Penetapan tekstur tanah dilakukan di Laboratorium dengan metode
Bouyoucos (cara hidrometer). Kelas tekstur ditentukan menggunakan segitiga
tekstur USDA pada Gambar Lampiran 1.
g. Tolerable Soil Loss (TSL)
Penentuan nilai TSL menggunakan konsep kedalaman ekivalen dan
umur guna tanah (Hammer, 1981) (Tabel Lampiran 13) h. N total tanah dan sedimen serta NH3, NO3, dan NO2 AP
Penetapan N total tanah dan sedimen menggunakan metode Kjeldahl,
sedangkan kandungan NH3 menggunakan metode biru indofenol, NO3 dan
NO2 menggunakan metode brusin dan sulfanilamide kemudian diamati
dengan spektrofotometer.
i. P tanah dan sedimen (mg P2O5 100g-1) dan P AP (mg PO4 L-1)
Penetapan P tanah dan sedimen dengan metode ekstraksi HCl 25%, sedangkan kandungan P AP menggunakan metode biru molibden kemudian diamati dengan spektrofotometer
j. K tanah dan sedimen (mg K2O 100g-1) dan K AP (mg L-1)
Penetapan K tanah dan sedimen dengan metode ekstraksi HCl 25%,
sedangkan kandungan K AP menggunakan metode fotometri nyala.
k. C-organik tanah, sedimen, dan AP (%)
Penetapan C-organik tanah dan sedimen dengan metode Walkley-Black, sedangkan C-organik AP dengan metode permanganatometri. Kadar hara dan C-organik sedimen dan AP yang diperoleh digunakan untuk menghitung jumlah kehilangan hara yang terbawa erosi dan AP pada setiap petak perlakuan.
l. Enrichment ratio (ER) ditentukan dengan membandingkan kadar hara dan
C-organik sedimen dan AP dengan kadar hara dan C-organik tanah.
)29(...................................................................................................
CutCusER =
35
yang mana: ER = Enrichment ration Cus = konsentrasi unsur hara (atau bahan organik) dalam sedimen dan AP yang telah terangkut Cut = konsentrasi unsur hara (atau bahan organik) pada tanah yang tertinggal
Dalam hal ini, N total AP ditentukan berdasarkan jumlah N-inorganik AP (N-NH3, N-NO3, dan N-NO2) dengan asumsi N-organik sebesar 95% dari pada N total. Adapun PO4 AP dikonversi ke bentuk P2O5 berdasarkan berat molekul senyawa tersebut, dan K total AP dianggap sebagai K2O.
m. KTK (me 100g-1)
Penetapan KTK dengan metode ekstraksi NH4OAc. 1N, pH 7
n. pH (H2O)
Penetapan pH tanah dilakukan menggunakan pH-meter
Pengamatan dan pengukuran di lapangan dan di laboratorium secara
ringkas ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2
Tabel 1. Pengamatan dan pengukuran di lapangan
No. Jenis Pengukuran Metode Pengukuran 1 Aliran Permukaan (m3) Petak kecil 2 Sedimen (ton.ha-1) Petak kecil 3 Infiltrasi (cm.jam-1) Cylinder infiltrometer 4 Curah hujan (mm) Ombrometer 5 Nilai faktor C Petak kecil 6 Diameter batang dan tajuk kakao (cm) Selisih diameter awal dan akhir 7 Diameter tajuk tanaman kakao (cm) Selisih diameter awal dan akhir 8 Tinggi tanaman kakao (cm) Selisih tinggi awal dan akhir
9 Pertumbuhan dan hasil padi gogo dan kedelai (ton.ha-1) Produksi kering panen
36
Tabel 2. Pengamatan dan pengukuran di laboratorium
No. Jenis Pengukuran Metode Pengukuran A. Sifat Fisik Tanah: 1 Stabilitas agregat Pengayakan kering dan basah 2 BD (g cm-3) Ring sampel 3 Kadar air pada pF 1,00; 2,00; 2,54; dan
4,20 Gravimetrik dengan Pressure Plate dan Pressure Membrane Apparatus
4 Ruang pori total (%) Berdasarkan nilai BD dan PD 5 Distribusi ukuran pori 6 Tekstur Metode Bouyoucos B. Sifat Kimia Tanah: 1 N-total tanah dan sedimen (%) Kjeldahl 2 P tanah dan sedimen (mg 100g-1) Ekstraksi HCl 25% 3 K tanah dan sedimen (mg 100g-1) Ekstraksi HCl 25% 4 C-organik tanah dan sedimen (%) Walkley-Black 5 N AP (mg NH3 L-1) Biru indofenol 6 N AP (mg NO3 L-1) Brusin 7 N AP (mg NO2 L-1) Sulfanilamide 8 P AP (mg PO4 L-1) Biru molibden 9 K total AP (mg L-1) Fotometri nyala 10 C-organik AP (%) Permanganatometri 11 KTK (me 100g-1) Ekstraksi NH4OAc. 1N, pH 7 12 pH (H2O) Potensiometrik
Analisi Data
Model analisis yang digunakan adalah:
Yijk = µ + Bk + Ui + δik + Tj + UiTj + εijk
Ket: Yijk = Nilai pengamatan pada faktor U taraf ke-i faktor T taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ = Rata-rata umum Bk = Pengaruh kelompok ke-k (sebagai ulangan) Ui = Pengaruh petak utama (umur) taraf ke-i δik = Pengaruh galat dari petak utama Tj = Pengaruh anak petak (tindakan konservasi) taraf ke-j UiTj = Pengaruh interaksi U taraf ke-i dengan T taraf ke-j
εijk = Pengaruh galat dari anak petak
Analisis data dilakukan dengan ANOVA (Analysis of Variance)
menggunakan program SAS. Dari analisis ragam, jika hipotesis nol ditolak,
37
dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan yang berarti di
antara taraf-taraf perlakuan. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan
antara variabel pengamatan.
Analisis Usahatani
Menurut Soekartawi (2002), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan
dalam analisis usahatani dan standar hidup layak, yaitu (a) penerimaan usahatani,
(b) biaya usahatani, dan (c) pendapatan usahatani.
a. Penerimaan usahatani
Penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi yang
diperoleh dengan harga jual.
b. Biaya usahatani
Biaya usahatani merupakan nilai semua masukan atau keluaran yang
dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi.
c. Pendapatan usahatani
Pendapatan usahatani merupakan selisih total penerimaan terhadap
total pengeluaran dalam suatu usahatani.
Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan
kebutuhan beras per kepala keluarga (kk) dan harga beras yang berlaku di suatu
daerah. Menurut Sajogyo dan Sajogyo (1990) nilai ambang kecukupan pangan
(beras) untuk tingkat pengeluaran keluarga di pedesaan berkisar antara 240-320
kg per orang per tahun, sedangkan untuk perkotaan 360-480 kg per orang per
tahun.
Adapun perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup
layak dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:
a. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan beras satu rumah tangga x
jumlah anggota keluarga x harga beras
b. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = pendidikan dan kegiatan sosial +
kesehatan dan rekreasi + asuransi dan tabungan.
38
Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial, kesehatan dan rekreasi,
asuransi dan tabungan masing-masing 50% KFM
c. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen beras
satu rumah tangga x jumlah anggota keluarga x harga beras
Jika setiap rumah tangga terdiri dari lima orang, harga beras Rp. 4.500 per kg,
nilai ambang kecukupan pangan 240 kg per orang per tahun, maka:
KHL =(240 kg x 5 orang x Rp.4.500) + 50% (5.400.000) = Rp. 8.100.000
Dengan demikian, usahatani tersebut dapat berlanjut jika pendapatan bersih
petani > Rp. 8.100.000 per KK per tahun.
Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menentukan B/C ratio. Semua
biaya yang dikeluarkan selama proses produksi (termasuk biaya tenaga kerja)
dihitung untuk digunakan sebagai pembanding terhadap penerimaan usahatani.
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aliran permukaan dan erosi
Pengukuran AP dan erosi tanah dilakukan selama sepuluh bulan
(Desember 2006 – September 2007). Data pengamatan AP dan erosi tanah pada
setiap perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 18. Analisis ragam disajikan
masing-masing pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
berpengaruh nyata terhadap AP dan erosi tanah, namun tidak terdapat interaksi
nyata antara keduanya. Rata-rata volume AP dan kehilangan tanah akibat erosi
dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Volume aliran permukaan dan erosi tanah pada berbagai perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan
Aliran permukaan Erosi tanah (ton ha-1 th-1)Volume
(m3 ha-1 th-1)%
terhadap hujan
Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)Interaksi
3269,04c 2409,89d
4711,65a 4322,76b
2715,44c 4644,67a 3674,88b
tn
17,44c 12,86d 25,14a 23,06b
14,49c 24,78a 19,60b
tn
19,77c 15,99d 28,19a 23,90b
12,95c 31,18a 21,76b
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Hasil uji lanjut terhadap rata-rata perlakuan menunjukkan bahwa
perlakuan umur tanaman/kemiringan (P) berpengaruh nyata terhadap AP dan erosi
tanah (Tabel 3). Perlakuan P2 menghasilkan AP dan erosi yang nyata lebih rendah
(2409,89 m3 ha-1 th-1, 15,99 ton ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan yang
lain, sedangkan AP dan erosi pada perlakuan P3 nyata lebih tinggi (4711,65 m3 ha-1
th-1 dan 28,19 ton ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rendahnya
40
AP dan erosi pada perlakuan P2 disebabkan penutupan tajuk kakao yang lebih
luas, yakni rata-rata 36 % (Tabel Lampiran 16) dan berada pada kemiringan yang
lebih rendah (10-15%), sebaliknya pada perlakuan P3 dengan penutupan tajuk
kakao rata-rata hanya 8 % (Tabel Lampiran 16) dengan kemiringan yang lebih
terjal (40 – 45%) memiliki AP dan erosi yang nyata lebih tinggi. Pengaruh
penutupan permukaan tanah terhadap AP dan erosi juga ditunjukkan oleh hasil
penelitian Zuzel dan Pikul (1993) bahwa semakin tinggi penutupan permukaan
tanah maka AP dan erosi semakin rendah. Penutupan tanah 25, 50, 75, dan 100%
memiliki AP masing-masing 48, 37, 27, dan 39 mm dan erosi masing-masing 51,
21, 12, dan 3 ton ha-1 th-1.
Perlakuan tindakan konservasi juga menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap AP dan erosi (P < 0,05) (Tabel 3). Perlakuan T1 menghasilkan AP dan
erosi yang nyata lebih rendah (2715,44 m3 ha-1 th-1 dan 12,95 ton ha-1 th-1) dan
perlakuan T2 menghasilkan AP dan erosi yang nyata lebih tinggi (4644,67 m3 ha-1
th-1 dan 31,18 ton ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan yang lain, selanjutnya
jumlah AP dan erosi pada perlakuan T3 (3674,88 m3 ha-1 th-1 dan 21,76 ton ha-1 th-1)
berada di antara kedua perlakuan tersebut dan berbeda nyata satu dengan yang
lain. AP dan Erosi yang rendah pada perlakuan T1 disebabkan permukaan tanah
tetap dipertahankan tertutup gulma kecuali pada piringan kakao. Adapun pada
perlakuan T2 dan T3, penanaman tanaman semusim (padi gogo ditanam berurutan
dengan kedelai) di antara tanaman kakao memicu meningkatnya AP dan erosi
tanah, terutama pada saat persiapan lahan dan pada fase awal pertumbuhan
tanaman padi gogo, yakni Desember – Februari (Tabel 5 dan Gambar 5), namun
AP dan erosi tanah pada perlakuan T3 nyata lebih rendah dari perlakuan T2.
Diduga hal ini disebabkan oleh adanya strip tanaman A. pintoi yang dapat
menghambat laju AP dan erosi, dan kemungkinan juga disebabkan oleh
penutupan mulsa jerami pada perlakuan T3 yang lebih tinggi (rata-rata 75%)
dibandingkan dengan penutupan mulsa jerami pada perlakuan T2 (rata-rata 73%)
(Tabel Lampiran 16). Namun demikian, jika dibandingkan dengan perlakuan T1,
AP dan erosi pada perlakuan T3 lebih tinggi dan berbeda secara nyata.
Erosi yang nyata lebih tinggi pada perlakuan T3 dibandingkan dengan T1,
disebabkan oleh: (1) adanya penanaman tanaman semusim, (2) belum efektifnya
41
strip tanaman A. pintoi sebagai penghambat AP dan erosi pada fase awal
pertumbuhan tanaman strip tersebut, dan (3) karena adanya pembenaman hasil
pangkasan A. pintoi di seputar piringan kakao sebulan sekali sebanyak empat kali
selama penelitian (April – Juli 2008) yang dimaksudkan untuk meningkatkan
bahan organik tanah. Tindakan tersebut berdampak terhadap peningkatan erosi
tanah karena adanya penggalian tanah pada saat pembenaman yang dilakukan
pada musim hujan. Hal-hal tersebut diduga menjadi penyebab erosi pada
perlakuan tindakan konservasi T3 belum dapat ditekan sampai mendekati nilai
erosi pada perlakuan T1. Meskipun demikian, nilai erosi pada perlakuan tindakan
konservasi T3 sudah lebih rendah dibandingkan dengan nilai erosi yang
diperbolehkan atau Tolerable Soil Loss (TSL) pada lokasi tersebut (22,44 ton ha-1
th-1) (Tabel Lampiran 13). Dengan demikian, perlakuan T3 ditinjau dari nilai erosi
yang terjadi layak diterapkan oleh petani dan secara ekonomi dapat memberikan
tambahan pendapatan kepada petani yang bersumber dari tanaman padi gogo dan
kedelai sebelum tanaman kakao berproduksi (Tabel 22).
Tidak terdapat interaksi antara perlakuan umur tanaman/kemiringan (P)
dengan perlakuan tindakan konservasi (T) dalam menekan AP dan erosi tanah.
Diduga hal ini disebabkan perlakuan yang diberikan belum efektif pada awal
penelitian, khususnya mengenai peranan strip tanaman A. pintoi yang
dimaksudkan untuk menghambat laju AP dan erosi tanah. Ketidakefektifan strip
tanaman A. pintoi dalam menghambat AP dan erosi pada awal penelitian
disebabkan oleh pertumbuhan tanaman yang belum optimal, yang mana
penanaman A. pintoi dilakukan hampir bersamaan dengan penanaman tanaman
padi gogo (selang satu minggu).
AP penyebab erosi bersumber dari CH yang tidak terinfiltrasi ke dalam
tanah. Analisis ragam persentase CH yang mengalir sebagai aliran permukaan
diasajikan pada Tabel Lampiran 27. Rata-rata persentase CH yang mengalir
sebagai AP dengan hasil uji lanjut DMRT (P<0,05) disajikan pada Tabel 3.
Persentase CH yang mengalir sebagai AP nyata lebih tinggi pada perlakuan P3 dan
T2 (masing-masing 25%), dan nyata lebih rendah pada perlakuan P2 (13%) dan T1
(14%) dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 3). Tingginya persentase
CH yang mengalir sebagai AP pada perlakuan P3 berimplikasi terhadap kejadian
42
erosi yang nyata lebih tinggi pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan
perlakuan umur tanaman/kemirinan yang lain. Adapun pada perlakuan tindakan
konservasi T2, dengan penanaman tanaman semusim (padi gogo ditanam
berurutan dengan kedelai) di antara tanaman kakao tanpa strip tanaman yang
dapat menghambat laju AP memungkinkan meningkatnya persentase CH yang
mengalir sebagai AP, sebaliknya terjadi pada perlakuan T1 dengan penutupan
tanah oleh gulma sepanjang waktu kecuali pada piringan kakao. Peranan
penutupan tajuk dalam menurunkan persentase hujan yang mengalir sebagai AP,
selain karena adanya reduksi energi kinetik hujan juga karena lebih banyak CH
yang diintersepsi oleh tajuk tanaman. Sebagaimana hasil penelitian Hazairin
(1988) bahwa semakin tinggi CH dan semakin tinggi kerapatan tajuk maka
intersepsi semakin meningkat, dan besarnya CH yang diintersepsi oleh kacang
merah yang memiliki tajuk yang cukup rapat adalah 30,5% dan lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman jagung dan tembakau.
Rata-rata persentase CH yang mengalir sebagai AP yang diperoleh pada
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh
Elrashidi et al. (2005a), yakni 17% pada lahan bera, 15% pada lahan yang
ditanami tanaman semusim, dan 13% pada padang rumput. Perbedaan ini selain
disebabkan karena penelitian tersebut dilakukan pada skala DAS (Daerah Aliran
sungai), juga karena adanya perbedaan sifat tanah, yang mana tempat penelitian
tersebut yang berlokasi di DAS Wagon Train seluas 128 hektar didominasi oleh
tanah dengan ordo Mollisol yang memiliki sifat yang berbeda dengan tanah
Ultisol.
Persentase hujan yang mengalir sebagai AP akan berpengaruh terhadap
erosi tanah, dan erosi tanah yang terjadi pada setiap kejadian AP juga terkait
dengan sistem pengelolaan tanaman yang dilakukan. Semakin bagus sistem
pengelolaan tanaman, maka erosi yang terjadi semakin kecil untuk mendapatkan
satu satuan hasil, sehingga rasio erosi/hasil tanaman akan semakin rendah.
Analisis ragam terhadap rasio erosi/hasil tanaman kedelai dan padi gogo disajikan
pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata
terhadap rasio erosi/hasil tanaman, namun tidak terdapat interaksi nyata antara
43
keduanya. Rata-rata rasio erosi/hasil tanaman dengan hasil uji lanjut DMRT (P <
0,05) disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rasio erosi/hasil tanaman pada berbagai perlakuan umur tanaman/
kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan Rasio erosi/hasil tanaman Erosi/kedelai Erosi/padi gogo
Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
13,18b 11,50b 22,74a 20,60a
-
24,75a 15,65b
tn
11,43b 9,87b 17,19a 15,62a
-
20,93a 12,29b
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05
tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05 Rasio erosi/hasil tanaman pada perlakuan umur tanaman/kemiringan P1
dan P2 nyata lebih rendah dibandingkan dengan P3 dan P4, demikian pula rasio
erosi/hasil tanaman pada perlakuan tindakan konservasi T3 nyata lebih rendah
dibandingkan dengan T2 (Tabel 4). Nilai rasio erosi/hasil tanaman kedelai pada
perlakuan tindakan konservasi T3 sebesar 15,65 dan 24,75 pada perlakuan T2. Hal
ini berarti bahwa terjadi kehilangan tanah sebesar 15,65 ton untuk mendapatkan
hasil kedelai 1 ton pada perlakuan T3, dan kehilangan tanah sebesar 24,75 ton
untuk mendapatkan hasil kedelai 1 ton pada perlakuan tindakan konservasi T2. Ini
menunjukkan bahwa sistem pengelolaan tanaman pada tindakan konservasi T3 lebih
baik dibandingkan dengan T2.
Erosi tanah pada setiap sistem pengelolaan tanaman akan berbeda pada
setiap fase pertumbuhan tanaman. Hal ini terkait dengan tingkat penutupan
permukaan tanah oleh tajuk tanaman. Analisis ragam terhadap erosi tanah pada
setiap pengamatan yang menggambarkan erosi pada fase pengolahan tanah dan
fase pertumbuhan tanaman disajikan pada Tabel Lampiran 27. Rata-rata erosi
tanah pada setiap pengamatan dengan hasil uji lanjut DMRT (P<0,05) disajikan
pada Tabel 5 dan Gambar 4 dan 5.
44
Tabel 5. Erosi tanah pada setiap pengamatan pada perlakuan umur tanaman/ kemiringan dan tindakan konservasi tanah
Tanggal
pengamatan Curah hujan (mm)
Erosi tanah per pengamatan pada setiap perlakuan (ton ha-1)
P1 P2 P3 P4 T1 T2 T3 08 Desember 18 Desember 11 Januari 27 Januari 17 Februari 21 Februari 18 Maret 14 April 15 Mei 29 Mei 07 Juni 11 Juni 18 Juni 08 Juli 21 Juli 04 Agustus 15 Agustus 07 September
111,49 45,91 128,94 37,10 113,78 33,01 136,13 150,94 239,53 95,32 111,14 150,58 89,12 83,73 73,65 77,37 94,43 102,30
1,53ab 1,25bc 1,85a 1,56ab 1,57ab 1,73a 1,61ab 0,89c 0,94cd 0,93cd 0,89c 1,27bc 1,11c 0,91cd 0,62de 0,60de 0,39ef 0,12f
1,65ab 1,27bc 1,75a 1,61ab 1,23c 1,30c 1,20c 0,89d 0,56efgh 0,53efgh 0,62defgh
0,83de 0,73ef 0,62defg 0,43fgh 0,39gh 0,30hi 0,08i
2,37ab 1,59d 2,63a 2,44ab 2,44ab 2,45ab 2,13bc 1,85cd 1,46de 1,29ef 1,32ef 1,36e 1,41de 1,14efg
0,78fgh
0,81gh 0,55hi 0,17i
2,11ab 1,34c 2,18a 2,02ab 2,10ab 2,09ab 2,09ab 1,30cd 1,18de 0,94efg
0,90ef 1,25de 1,31cd 0,91ef 0,80fg 0,74fg 0,50g 0,14h
1,12ab 1,09bc 1,35a 1,28ab
1,14bc 1,16bc 1,29ab 0,94de 0,79e 0,37f 0,46f 0,46f 0,47f 0,31f 0,25fg 0,24fg 0,17fg 0,06g
1,75bcd 2,00b 2,55a 2,33a 2,47a 2,58a 2,35a 1,91bc 1,53d 1,56cd 1,57cd 1,99b 1,89b 1,56cd 1,10e 1,04ef 0,77f 0,23g
1,69c 1,71bc 2,47a 2,29b 2,11a 1,94b 1,64c 1,02de 0,78def 0,76fgh 0,92fgh 1,00d 1,09d 0,71efg 0,62gh 0,55hi 0,37i 0,09j
Total 1874,47 19,77 15,99 28,19 23,90 12,95 31,18 21,76 Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05
Erosi yang terjadi nyata lebih tinggi pada awal penelitian, meskipun belum
tercapai puncak hujan, yakni bulan Mei dan Juni dengan CH masing-masing 248
dan 359 mm bulan-1 (Tabel Lampiran 2). Hal ini diduga terjadi sebagai dampak
dari pengolahan tanah pada saat persiapan penanaman tanaman padi gogo dan
juga karena penutupan tajuk masih rendah pada fase awal pertumbuhan tanaman
padi gogo. Namun demikian, setelah memasuki fase akhir pertumbuhan tanaman
padi gogo sampai masa tanam kedelai (Mei – Agustus), meskipun masih sering
terjadi hujan yang tinggi pada selang waktu tersebut (terutama pada Mei dan Juni
dengan CH masing-masing 245 dan 359 mm bulan-1), erosi yang terjadi nyata
lebih rendah dibandingkan dengan pada fase awal pertumbuhan tanaman padi
gogo (Januari - Februari). Erosi yang nyata lebih rendah pada fase akhir
pertumbuhan tanaman padi gogo dan pada masa pertumbuhan tanaman kedelai,
disamping disebabkan semakin tingginya penutupan tajuk padi gogo dan tidak
adanya pengolahan tanah pada saat persiapan tanam kedelai (mengingat kondisi
45
tanah masih cukup gembur untuk dapat mendukung pertumbuhan kedelai), juga
karena adanya pengembalian jerami padi sebagai mulsa pada perlakuan T2 dan T3
yang dapat melindungi agregat tanah permukaan dari kerusakan akibat tumbukan
langsung air hujan dan juga dapat menghambat laju AP. Erosi tanah pada setiap
pengamatan disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Perlakuan umur tanaman/kemiringan P3 dan perlakuan tindakan konservasi
T2 meghasilkan erosi yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
yang lain pada kejadian hujan yang sama, dan sebaliknya terjadi pada perlakuan
P2 dan T1 (Tabel 5 dan Gambar 4 dan 5). Tingginya erosi tanah pada perlakuan P3
dan T2 karena perlakuan tersebut memiliki kriteria umur tanaman kakao yang
masih muda (5-7 bulan) pada kemiringan yang lebih tinggi (40-45%) dengan
penanaman tanaman semusim sebagai tanaman sela. Dengan demikian, peranan
tanaman kakao terutama penutupan tajuk (rata-rata 8%) dan perakaran yang dapat
memperbaiki sifat fisik tanah masih sangat kecil sehingga belum mampu
mengurangi pengaruh kemiringan terhadap laju AP dan erosi. Sebaliknya pada
perlakuan P2 dan T1, penutupan tajuk kakao yang tinggi (rata-rata 36%) dan
penutupan gulma yang dipertahankan sepanjang waktu menyebabkan permukaan
tanah terlindung dari tumbukan langsung air hujan, sehingga tidak terjadi
penghancuran agregat, dan dengan kemiringan yang lebih rendah (10-15%) laju
dan daya gerus AP terhadap partikel tanah menjadi berkurang. Hal ini didukung
oleh data indeks stabilitas agregat pada Tabel 8, yang mana perlakuan kombinasi
antara perlakuan P2 dan T1 (P2T1) memiliki indeks stabilitas agregat yang nyata
Gambar 4. Erosi tanah pada setiap pengamatan pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan
Gambar 5. Erosi tanah pada setiap pengamatan pada berbagai perlakuan konservasi
0.00.51.01.52.02.53.0
Tanggal pengamatan
Eros
i (to
n ha
-1)
P1 P2 P3 P4
0.00.51.01.52.02.53.0
Tanggal pengamatan
Eros
i (to
n ha
-1)
T1 T2 T3
46
lebih tinggi (116,74) dibandingkan dengan perlakuan P3T2 yang merupakan
kombinasi antara perlakuan P3 dan T2 (30,32).
Analisis regresi dilakukan untuk melihat keeratan hubungan antara AP
dengan erosi pada berbagai perlakuan konservasi sebagaimana disajikan pada
Gambar 6.
Gambar 6. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan erosi tanah (Y) pada
perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
Analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat hubungan eksponensial
yang nyata antara AP dengan erosi pada berbagai perlakuan tindakan konservasi
T1, T2, dan T3 (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan AP pada
awalnya tidak diikuti oleh peningkatan erosi yang berarti, namun pada tahap lebih
lanjut erosi akan meningkat tajam dibandingkan dengan peningkatan AP. Hal ini
dapat dimengerti karena pada kondisi tersebut volume AP yang ada sudah
memiliki daya gerus dan kapasitas angkut yang cukup tinggi terhadap partikel
tanah. Hal yang sama didapatkan pada hasil penelitian Jaya (1994) bahwa
semakin besar volume dan laju AP, daya angkut terhadap sedimen semakin besar
dan jumlah sedimen yang terangkut mengikuti persamaan regresi berbentuk
eksponensial. Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 6,
dengan jumlah AP yang sama (misalnya 4000 m3 ha-1 th-1), erosi yang terjadi pada
perlakuan T1, T2, dan T3 masing-masing sebesar 23,39 ton ha-1 th-1; 29,31 ton ha-1
th-1; dan 23,88 ton ha-1 th-1. Dengan demikian, pada jumlah AP yang sama,
kandungan suspensi AP lebih tinggi pada perlakuan T2 dibandingkan dengan
perlakuan T1 dan T3. Hal ini disebabkan tingginya penutupan tanah oleh gulma
y = 4,7222e0.0004x
R2 = 0,888(T1)
y = 16,659e9E-05x
R2 = 0,3129(T3)
y = 13,17e0.0002x
R2 = 0,7758(T2)
0
10
20
30
40
50
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000
AP pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
(m3 ha-1 th-1)
Eros
i tan
ah p
ada
perla
kua
T1, T
2 , da
n T3
(ton
ha-1
th-1
) T1
T2
T3
Expon. (T1)
Expon. (T3)
Expon. (T2)
47
pada perlakuan T1 yang melindungi tanah dari tumbuhkan langsung air hujan dan
mencegah terjadinya dispersi tanah, sehingga kandungan suspensi AP menjadi
rendah. Selanjutnya pada perlakuan T3, adanya strip tanaman yang dapat
menahan partikel tanah (terutama partikel yang lebih kasar) yang terangkut
bersama AP menyebabkan kandungan suspensi AP pada perlakuan tersebut juga
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan T2. Oleh karena itu, meskipun
jumlah AP sama, tetapi jumlah sedimen yang terangkut di dalamnya berbeda.
Nilai faktor C
Perhitungan nilai faktor C didasarkan pada erosi yang diperoleh pada
setiap petak perlakuan dan erosi yang diperoleh pada petak yang identik tanpa
tanaman atau petak pembanding, yang mana nilai faktor C merupakan nisbah
antara erosi pada petak perlakuan dengan erosi pada petak pembanding (rata-rata
erosi pada petak pembanding 65,091 ton ha-1 th-1). Nilai C yang diperoleh pada
penelitian ini terlalu besar karena kepekaan tanah terhadap erosi (K) sangat rendah
(0,01) yang ditunjukkan pada Tabel Lampiran 31. Rendahnya nilai K yang
diperoleh disebabkan petak pembanding dibuat pada tanah yang baru dibuka
(sebelumnya ditumbuhi semak belukar), sehingga sifat-sifat tanah yang
berpengaruh terhadap erosi seperti stabilitas agregat masih cukup tinggi . Adapun
perlakuan terhadap petak pembanding adalah dilakukan pengolahan tanah searah
lereng dan dibersihkan dari gulma sekali dalam seminggu. Perhitungan nilai
faktor C dilakukan hanya pada satu jenis kemiringan (40 – 45%) dan diharapkan
jika faktor pengelolaan tanaman yang sama diterapkan pada kemiringan yang
berbeda dengan kondisi tanah yang sama, maka tetap akan dihasilkan nilai faktor
C yang sama. Analisis ragam terhadap nilai faktor C disajikan pada Tabel
Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata
terhadap nilai faktor C, namun tidak terdapat interaksi yang nyata di antara
keduanya. Rata-rata nilai faktor C dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05)
diasajikan pada Tabel 6.
Nilai faktor C pada perlakuan P3 (0,43) berbeda nyata dengan perlakuan P4
(0,37), demikian pula nilai faktor C pada perlakuan tindakan konservasi T1 (0,25)
berbeda nyata dengan perlakuan T2 (0,55) dan T3 (0,39) (Tabel 6). Nilai faktor C
48
tanaman kakao nyata lebih tinggi pada perlakuan T2 dibandingkan dengan T1 dan
T3, sebaliknya nilai faktor C tanaman kakao pada perlakuan T1 nyata lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Tingginya nilai faktor C tanaman
kakao yang diperoleh pada perlakuan T2 disebabkan erosi yang tinggi pada
perlakuan tersebut dibandingkan dengan perlakuan yang lain, dan sebaliknya
terjadi pada perlakuan T1. Nilai faktor C yang diperoleh dalam penelitian ini lebih
tinggi jika dibandingkan hasil penelitian yang didapatkan oleh Marwan (1985)
dengan nilai faktor C 0,241 pada penanaman padi gogo dan kacang tanah.
Tabel 6. Nilai faktor C tanaman kakao pada berbagai perlakuan umur tanaman dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan Nilai faktor C Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3) Interaksi
0,43a 0,37b
0,25c 0,55a 0,39b
tn Keterangan: superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Bulk density (BD) dan ruang pori total
Data pengamatan nilai BD dan porositas total pada setiap perlakuan
disajikan pada Tabel Lampiran 18. Analisis ragam disajikan masing-masing pada
Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata
terhadap BD dan ruang pori total, namun tidak terdapat interaksi yang nyata
antara keduanya.
BD pada perlakuan P2 nyata lebih rendah (0,989 g cm-3) dan ruang pori
total nyata lebih tinggi (63%) dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4, dan BD
pada perlakuan P4 nyata lebih tinggi (1,046 g cm-3) dengan ruang pori total yang
nyata lebih rendah (61%) dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2. Adapun
perlakuan tindakan konservasi, perlakuan T1 berbeda nyata dengan perlakuan T2
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan T3, baik terhadap BD maupun ruang
49
pori total. Perlakuan T2 memiliki BD nyata lebih tinggi (1,057 g cm-3) dan ruang
pori total nyata lebih rendah (60%), sedangkan perlakuan yang memiliki BD yang
nyata lebih rendah (1,001) dan ruang pori total yang nyata lebih tinggi (62%)
terdapat pada perlakuan T3. Nilai BD yang rendah pada perlakuan T3 disebabkan
adanya pembenaman pangkasan A. pintoi di sekeliling piringan kakao sehingga
meningkatkan bahan organik tanah dan menjadikan tanah pada petak perlakuan
tersebut lebih porous dibandingkan dengan petak perlakuan tindakan konservasi
yang lain. Hal ini didukung oleh data bahan organik tanah pada Tabel 17.
Tabel 7. Bulk density dan ruang pori total (RPT) pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan BD (g cm -3) RPT (% vol.) Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2)5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3)25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi Kakao + Gulma (T1)Kakao + p. gogo - kedelai (T2)Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
1,016bc
0,989c 1,043ab 1,046a
1,013b 1,057a 1,001b
tn
61,7ab 62,7a 60,6bc 60,5c
61,8a 60,1b 62,2a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Nilai BD berbanding terbalik dengan ruang pori total tanah. Nilai BD
yang tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut lebih padat dibandingkan dengan
tanah-tanah yang memiliki nilai BD yang lebih rendah. Semakin padat suatu tanah
maka volume pori pada tanah tersebut semakin rendah..
Indeks stabilitas agregat
Data indeks stabilitas agregat pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel
lampiran 18, dan analisis ragam disajikan pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan
tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap indeks stabilitas agregat, dan
terdapat interaksi nyata antara keduanya. Rata-rata nilai indeks stabilitas agregat
pada berbagai interaksi perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan perlakuan
tindakan konservasi disajikan pada Tabel 8.
50
Tabel 8. Indeks stabilitas agregat pada berbagai interaksi perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan tindakan konservasi Perlakuan umur tanaman/kemiringan
P1 P2 P3 P4 Kakao + Gulma (T1)Kakao + p. gogo - kedelai (T2)Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. Pintoi (T3)
70,67b 31,61d 44,26cd
116,74a
44,31cd
63,06b
44,51cd 30,32d 44,18cd
67,78b 33,31d 57,84bc
Keterangan: superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05
Indeks stabilitas agregat nyata lebih tinggi pada perlakuan P2T1 (116,74)
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan P3T2 memiliki indeks
stabilitas agregat nyata lebih rendah (30,32) dibandingkan dengan P1T1, P2T1,
P2T3, P4T1, dan P4T3, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain
(Tabel 8). Indeks stabilitas agregat yang tinggi pada perlakuan P2T1 termasuk ke
dalam kelas stabilitas stabil, sedangkan indeks stabilitas agregat yang rendah pada
perlakuan P3T2 termasuk ke dalam kelas stabilitas tidak stabil (Tabel Lampiran 8).
Indeks stabilitas agregat yang tinggi pada perlakuan P2T1 tidak terlepas dari
agregasi yang baik dari perakaran, baik perakaran gulma maupun perakaran
tanaman kakao yang sudah berumur lebih dari dua tahun, demikian pula karena
sumbangan bahan organik dari tanaman tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa
perlakuan P2T1 memiliki umur tanaman kakao yang lebih tua (25 – 27 bulan) pada
kemiringan yang lebih rendah (10 – 15 %) dengan penutupan gulma pada
gawangan kakao dipertahankan sepanjang waktu. Agregasi oleh perakaran dapat
terjadi secara langsung melalui pengikatan partikel tanah oleh perakaran halus,
juga dapat melalui pengikatan partikel tanah oleh eksudat akar. Hillel (1980a)
mengemukakan bahwa suatu peranan penting yang dimainkan oleh jaringan akar
halus adalah terlibat dalam pembentukan agregat tanah, dalam hal ini eksudat akar
yang dihasilkan dan perakaran yang sudah mati akan meningkatkan aktivitas
mikroba yang akan menghasilkan perekat humik yang mengagregasi tanah. Lebih
lanjut Suriadikarta, et al (2002) mengemukakan bahwa butiran sekunder tanah
yang lebih besar dipersatukan oleh benang-benang kapang atau akar-akar halus
sehingga terbentuk struktur tanah remah dan stabil.
Rendahnya indeks stabilitas agregat pada perlakuan P3T2 sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 8 disebabkan perlakuan tersebut tidak mampu mendukung
terbentuknya stabilitas agregat yang tinggi. Hal ini terjadi karena kemiringan
51
lereng yang tinggi (40-45%) dengan penutupan tajuk kakao yang rendah (rata-rata
8 %) serta adanya penanaman tanaman semusim tanpa strip tanaman A. pintoi
menyebabkan tingginya pengangkutan lapisan atas tanah melalui erosi, dan yang
tertinggal adalah bagian tanah yang memiliki sifat fisik yang rendah termasuk
stabilitas agregat.
Kemampuan tanah mengikat air
Pengamatan kadar air tanah dilakukan pada pF 1,00; 2,00; 2,54; dan 4,20
untuk melihat kemampuan tanah mengikat air pada masing-masing pF tersebut.
Kadar air tanah pada pF 1,00 dan 2,00 merupakan kadar air tanah di atas KL, dan
kadar air tanah pada pF 2,54 dan 4,20 masing-masing merupakan kadar air tanah
KL dan TLP. Data kadar air tersebut beserta data ruang pori total selanjutnya
digunakan untuk menghitung distribusi ukuran pori. Data kadar air tanah pada pF
1,00; 2,00; 2,54; dan 4,20 disajikan pada Tabel Lampiran 18. Analisis ragam
disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan
konservasi secara umum tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air pF. Namun
demikian, nampak jelas dari Gambar 7 dan 8 bahwa semakin tinggi nilai pF atau
tekanan yang diberikan maka kadar air tanah semakin rendah.
Kurva kadar air yang diperoleh pada Gambar 7 dan 8 kurang ideal,
sebagaimana dikemukakan oleh Van Genutchen (1980) bahwa bentuk kurva pF
yang ideal adalah mengikuti pola atau prototipe S (shave curve), sementara bentuk
kurva kadar air yang diperoleh menunjukkan seperti garis lurus/linier dari pF 1,00
sampai 4,20. Bentuk kurva seperti garis lurus/linier menunjukkan bahwa air
tersedia pada tanah tersebut adalah rendah. Air tersedia yang rendah ditandai
dengan garis yang agak tegak di antara pF 2,54 dan 4,20 (Gambar 7 dan 8).
52
Gambar 7. Kurva kadar air pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan
Gambar 8. Kurva kadar air pada berbagai perlakuan tindakan konservasi
0
1
2
3
4
5
0 10 20 30 40 50
Kadar air (% volume)
Nila
i pF
T1 T2 T3
0
1
2
3
4
5
0 10 20 30 40 50
Kadar air (% volume)
Nila
i pF
P1 P2 P3 P4
53
Pengaruh perlakuan tidak nyata terhadap kurva pF. Hal ini diduga
disebabkan kandungan liat tanah tidak berbeda nyata diantara perlakuan (Tabel 9),
meskipun perlakuan berpengaruh nyata terhadap bahan organik tanah (Tabel 17).
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan tanah dalam memegang air dipengaruhi
oleh banyak faktor, terutama tekstur dan kandungan bahan organik tanah. Sebagai
contoh antara perlakuan P2 dan P3 dengan kelas tekstur lempung berpasir dan
lempung berdebu (Tabel 9), dapat dikatakan bahwa perlakuan P3 dengan kelas
tekstur lempung berbedu memiliki kemampuan memegang air yang tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan dengan P2 yang memiliki kelas tekstur lempung
berpasir, tetapi dengan kandungan bahan organik P2 (1,81) yang lebih tinggi dari
P3 (1,78) (Tabel 17) diduga menjadi penyebab tidak adanya perbedaan
kemampuan dalam memegang air dari kedua perlakuan tersebut. Sebagaimana
hasil penelitian Olness dan Archer (2005) bahwa kandungan air tersedia sangat
dipengaruhi oleh karbon organik tanah dan pengaruh karbon organik bervariasi
dengan tekstur tanah. Sebagai contoh, peningkatan karbon organik 0,35% -
2,35% tanpa kandungan liat akan meningkatakan kandungan air tersedia sekitar
5% (gravimetrik) untuk setiap peningkatan persen karbon organik, sedangkan
peningkatan karbon organik yang sama dengan kandungan liat 40% akan
meningkatkan kandungan air tersedia lebih dari 10% pada setiap peningkatan
persen karbon organik.
Distribusi ukuran pori
Menurut ukurannya, ruang pori total dikelompokkan ke dalam ruang pori
non kapiler (pori drainase) dan ruang pori kapiler. Pori drainase dikelompokkan
ke dalam tiga kelompok, yaitu pori drainase sangat cepat (PDSC) dengan diameter
> 300um (bagian pori yang tidak terisi air pada pF 1,00), pori drainase cepat
(PDC) dengan diameter 300 – 30um (bagian pori yang tidak terisi air pada pF
1,00 sampai pF 2,00), dan pori drainase lambat (PDL) dengan diameter 30 – 9um
(bagian pori yang tidak terisi air pada pF 2,00 sampai pF 2,54). Pori kapiler yang
dihitung adalah pori air tersedia (PAT), yakni bagian pori yang tidak terisi air
pada pF antara 2,54 sampai 4,20 (Tabel Lampiran 19). Analisis ragam disajikan
masing-masing pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan
54
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan terhadap
distribusi ukuran pori. Grafik rata-rata distribusi ukuran pori disajikan pada
Gambar 9.
Gambar 9. Distribusi ukuran pori pada berbagai perlakuan umur tanaman/
kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Pengaruh perlakuan yang tidak nyata terhadap distribusi ukuran pori
(PDSC, PDC, PDL, dan PAT) diduga juga disebabkan oleh tekstur tanah, yang
mana tekstur tanah tidak dapat berubah dalam waktu yang singkat (10 bulan
penelitian) oleh perlakuan. Meskipun ada perubahan kandungan bahan organik
yang nyata (2,00% pada perlakuan T3 dan 1,73% pada perlakuan T2 yang
disajikan pada Tabel 17) sebagai salah satu faktor yang turut berpengaruh
terhadap distribusi ukuran pori, namun pengaruh simultan antara kedua faktor
tersebut menyebabkan pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata terhadap distribusi
ukuran pori.
Infiltrasi
Laju maksimum infiltrasi suatu tanah pada suatu saat (kapasitas infiltrasi)
dihitung berdasarkan data pengukuran infiltrasi awal sampai tercapai infiltrasi
konstan. Kurva infiltrasi dibuat dengan memformulasikan data tersebut ke dalam
model persamaan infiltrasi yang dikembangkan oleh Horton (1940). Data
kapasitas infiltrasi pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 19.
Analisis ragam disajikan pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan
05
10152025
P1 P2 P3 P4 T1 T2 T3
Perlakuan umur tanaman/kemiringan (P) dan perlakuan tindakan konservasi (T)
Dist
ribus
i uku
ran
por
(% v
olum
e)Pori drainase sangat cepat Pori drainase cepat Pori drainase lambat Pori air tersedia
55
konservasi tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kapasitas infiltrasi konstan
dan tidak terdapat interaksi yang nyata antara keduanya. Grafik rata-rata
kapasitas infiltrasi konstan disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Kapasitas infiltrasi konstan pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Pengaruh perlakuan umur tanaman/kemiringan (P) dan perlakuan tindakan
konservasi (T) yang tidak nyata terhadap kapasitas infiltrasi konstan diduga
disebabkan perlakuan yang diberikan belum mampu merubah sifat fisik tanah
sampai di bawah lapisan olah. Oleh karena itu, meskipun terdapat perbedaan sifat
fisik (BD dan stabilitas agregat) pada lapisan olah (Tabel 7 dan 8), namun
kemampuan tanah menginfiltrasikan air pada saat infiltrasi konstan tidak berbeda
pada setiap perlakuaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada lahan dengan
topografi miring, kemampuan tanah dalam menginfiltrasikan air pada saat
infiltrasi konstan tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah AP, karena air hujan
yang jatuh pada permukaan tanah dengan topografi miring tidak memiliki cukup
waktu untuk bisa terinfiltrasi ke dalam tanah. Terbukti dari hasil pengukuran AP
(Tabel 3) menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan meskipun
tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap kapasitas infiltrasi konstan. Grafik
kapasitas infiltrasi tanah pada setiap waktu pengukuran disajikan pada Gambar 11.
1,951,872,03
2,23
1,611,64
2,30
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
P1 P2 P3 P4 T1 T2 T3
Perlakuan umur tanaman/kemiringan (P) dan perlakuan tindakan konservasi (T)
Kap
asita
s inf
iltra
si (m
m ja
m-1)
56
Gambar 11. Kapasitas infiltrasi tanah pada setiap waktu pengukuran pada
berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan (atas) dan perlakuan tindakan konservasi (bawah)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180Waktu (menit)
Infil
trasi
(mm
jam-1
)
P1 P2 P3 P4
f = 1,567 + (8,680 - 1,567) e-5,867t
(P1)
f = 1,867 + (9,935 - 1,867) e-4,111t
(P2)
f = 1,378 + (7,878 - 1,378) e-4,472t
(P3)
f = 1,978 + (8,524 - 1,978) e-5,375t
(P4)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
Waktu (menit)
Infil
trasi
(mm
jam-1
)
T1 T2 T3
f = 1,433 + (7,460 - 1,433) e-4,406t
(T2)
f = 1,589 + (9,217 - 1,589) e-5,040t
(T3)
f = 1,911 + (9,679 - 1,911) e-5,558t
(T1)
57
Kurva infiltrasi yang terbentuk pada Gambar 11 (atas) menunjukkan
bahwa perlakuan P2 pada awalnya memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan yang lain, namun setelah menit ke-60 sudah
tercapai infiltrasi konstan dan garis konstan berimpit dengan perlakuan P4 serta
tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Besarnya nilai kapasitas
infiltrasi pada menit ke 60 pada masing-masing perlakuan umur
tanaman/kemiringan (P) berdasarkan persamaan garis infiltrasi yang diperoleh
adalah 1,59 mm jam-1 (P1), 2,00 mm jam-1 (P2), 1,45 mm jam-1 (P3), dan 2,01 mm
jam-1 (P4), sedangkan pada perlakuan tindakan konservasi (T) pada Gambar 11
(bawah) adalah 1,94 mm jam-1 (T1), 1,51 mm jam-1 (T2), dan 1,64 mm jam-1 (T3).
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa tanah pada lokasi
penelitian memiliki kapasitas infiltrasi yang rendah. Rendahnya kapasitas
infiltrasi disebabkan tingginya kadar liat tanah lokasi penelitian yang ditunjukkan
oleh hasil analisis tekstur tanah pada dua profil tanah yang diambil sebagai profil
pewakil. Sebagaimana dikemukakan oleh Hillel (1980b) bahwa tanah-tanah
berliat memiliki kapasitas infiltrasi yang rendah (1 – 5 mm jam-1).
Kapasitas infiltrasi merupakan informasi yang penting untuk
menunjukkan kemampuan tanah dalam menyediakan air untuk tanaman. Tanah
dengan kapasitas infiltrasi yang rendah menyebabkan sebagian besar curah hujan
yang jatuh di atas permukaan tanah akan mengalir sebagai AP, sehingga hanya
sebagian kecil air hujan yang dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah untuk
memenuhi kebutuhan air tanaman. Khusus pada lahan dengan kemiringan yang
tinggi, pengaruh topografi sangat menentukan jumlah air yang dapat
diinfiltrasikan ke dalam tanah. Oleh karena itu, diperlukan tindakan konservasi
tanah dan air yang dapat menghambat laju AP sehingga air hujan yang jatuh
memiliki cukup waktu untuk dapat terinfiltrasi ke dalam tanah.
Tekstur
Data hasil analisis tekstur pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel
Lampiran 19. Analisis ragam disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 27.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan
berpengaruh nyata terhadap persentase pasir dan debu, tetapi tidak berpengaruh
58
nyata terhadap kandungan liat, sementara perlakuan tindakan konservasi tidak
berpengaruh nyata, baik terhadap persentase pasir, liat, maupun debu. Tidak
terdapat interaksi nyata antara perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan
perlakuan tindakan konservasi terhadap persentase pasir, debu, dan liat. Rata-rata
persentase pasir, debu, dan liat dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05)
diasajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Persentase pasir, debu, dan liat pada berbagai perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan % pasir% debu % liat Kelas tekstur Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2)5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3)25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1)Kakao + p. gogo - kedelai (T2)Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
49,17a
62,86a
18,81b
30,02b
42,35a
41,31a
37,00a
tn
30,71c
21,85d
62,92a
49,12b
38,98b
40,61ab
45,36a
tn
18,12a
15,29a
18,26a
20,85a
18,67a
18,08a
17,65a
tn
Lempung berpasir Lempung berpasirLempung berdebu
Lempung
Lempung Lempung Lempung
Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Pengaruh yang nyata oleh perlakuan umur tanaman/kemiringan (P)
terhadap persentase pasir dan debu diduga disebabkan oleh pengangkutan fraksi
pasir pada lereng yang lebih terjal (40-45%) lebih banyak dari pada lereng yang
lebih rendah (10-15%). Peristiwa ini berhubungan dengan selektivitas erosi.
Dalam selektivitas erosi, fraksi halus tanah akan terangkut lebih dahulu dan lebih
banyak dari fraksi kasar. Pada perlakuan P1 dan P2 dengan kemiringan lereng
10 – 15% memiliki kandungan pasir yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan P3 dan P4. Hal ini disebabkan partikel yang lebih halus (seperti liat)
dari perlakuan P1 dan P2 banyak yang terangkut melalui AP sehingga yang
tertinggal lebih banyak fraksi kasar (pasir). Adapun perlakuan P3 dan P4 dengan
kemiringan yang lebih terjal (40 – 45%), kandungan pasir yang nyata lebih rendah
diduga disebabkan pada kemiringan yang tinggi proses selektivitas erosi tidak
optimal khususnya pada kejadian AP yang tinggi, yang mana setelah terjadi
penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk air
59
hujan, dengan kapasitas angkut AP yang cukup tinggi, semua butir-butir primer
tersebut akan terangkut bersama AP.
Persentase liat tidak berbeda nyata antara perlakuan P1, P2, P3, dan P4,
namun persentase debu berbeda nyata satu sama lain. Tidak adanya perbedaan
persentase liat pada setiap perlakuan tersebut disebabkan perlakuan umur
tanaman/kemiringan yang diberikan tidak mampu mengurangi pengangkutan
partikel liat oleh erosi, sehingga kandungan liat tanah relatif sama. Adapun
perbedaan persentase debu tanah karena adanya perbedaan persentase pasir akibat
selektivitas erosi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Perlakuan P2 dengan
persentase pasir yang nyata lebih tinggi memiliki persentase debu yang nyata
lebih rendah. Selanjutnya pada perlakuan tindakan konservasi, kandungan pasir
dan liat tidak berbeda nyata antara perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3,
sedangkan persentase debu berbeda nyata antara perlakuan T1 dengan T3.
Perbedaan pasir dan liat yang tidak berbeda nyata pada perlakuan T1, T2, dan T3
disebabkan perlakuan tersebut belum mampu merubah tekstur tanah meskipun T2
memiliki erosi yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan T1 dan T3. Dalam hal
ini diduga bahwa pengaruh selektivitas erosi dan hasil proses selektivitas erosi
terhadap tekstur tanah pada perlakuan tindaka konservasi hanya terjadi pada
lapisan atas tanah dengan kedalaman tertentu (sekitar 0 – 5 cm), dan tidak terjadi
pada lapisan tanah dibawahnya, sementara pengambilan sampel tanah untuk
analisis tekstur dilakukan pada kedalaman 0 – 15 cm.
Korelasi antara sifat fisik tanah dengan erosi
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui derajat hubungan antara
peubah sifat fisik tanah dengan erosi. Peubah erosi memiliki korelasi dengan
berbagai peubah sifat fisik tanah yang disajikan pada Tabel 10.
Peubah-peubah sifat fisik berkorelasi nyata pada taraf uji 0,05 terhadap
erosi, kecuali %liat dan kapasitas infiltrasi (Tabel 10). BD memiliki korelasi
positif dengan erosi, artinya semakin tinggi nilai BD suatu tanah, maka erosi akan
semakin meningkat. Porositas total dan stabilitas agregat memiliki korelasi
negatif yang berarti bahwa semakin tinggi nilai peubah sifat fisik tersebut, maka
erosi akan semakin rendah. Sebaliknya jika terjadi erosi yang tinggi maka nilai
60
peubah sifat fisik tersebut menjadi rendah, karena lapisan tanah yang memiliki
sifat fisik yang baik telah terangkut oleh AP dan erosi. Hal yang sama dilaporkan
oleh Shukle dan Lal (2005) bahwa stabilitas agregat dan infiltrasi menurun
masing-masing 1,8 kali (37,8 mm jam-1) dan 1,5 kali (5,7 mm jam-1) pada tanah
yang tererosi ringan dibandingkan dengan pada tanah yang tidak tererosi pada
kedalaman 0 – 10 cm. Pada Tabel 10, antara peubah bebas (BD, porositas total,
stabilitas agregat, dan tekstur) memiliki korelasi yang nyata atau terdapat masalah
kolinieritas, sehingga tidak layak dibuat persamaan regresi berganda antara
peubah terikat erosi (Y) dengan peubah bebas sifat fisik (X) tersebut.
Tabel 10 Matrik korelasi antara peubah sifat fisik tanah dengan erosi pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
BD Porositas S.agregat Infiltrasi %pasir %debu %liat Erosi BD 1,000 Porositas -I,000* 1,000 S.agregat -0,522* 0,522* 1,000 Infiltrasi -0,067 0,068 0,199 1,000 %pasir -0,355* 0,355* 0,389* 0,164 1,000 %debu 0,396* -0,396* -0,420* -0,159 -0,964* 1,000 %liat 0,031 -0,032 -0,073 -0,089 -0,552* 0,310 1,000 Erosi 0,613* -0,613* -0,766* -0,242 -0,436* 0,481* 0,052 1,000
Ket: * = berkorelasi nyata pada taraf uji 0,05
Nitrogen yang terbawa erosi dan aliran permukaan
Kehilangan N yang diukur pada sedimen adalah dalam bentuk N total,
sedangkan kehilangan N yang diukur pada AP dalam bentuk NH3, NO3, dan NO2.
Data kehilangan N pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 20.
Analisis ragam disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan
tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan N melalui erosi dan
AP, dan terdapat interaksi nyata antara keduanya, kecuali terhadap kehilangan
N total. Rata-rata kehilangan N total melalui erosi dengan hasil uji lanjut DMRT
(P < 0,05) disajikan pada Tabel 11.
61
Tabel 11. N total yang terbawa erosi pada berbagai perlakuan umur tanaman/ kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan N total (kg ha-1 th-1) Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
20,09b 14,49b 73,05a 75,26a
30,27b 54,15a 52,75a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Perlakuan umur tanaman/kemiringan P2 menyebabkan kehilangan N total
nyata lebih rendah (14,49 kg ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan P3 (73,05
kg ha-1 th-1) dan P4 (75,26 kg ha-1 th-1), tetapi tidak berbeda nyata dengan P1 (20,09
kg ha-1 th-1). Kehilangan N total yang rendah pada perlakuan umur
tanaman/kemiringan P2 disebabkan erosi yang rendah pada perlakuan tersebut
(Tabel 11) dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.
Perlakuan tindakan konservasi T1 menyebabklan kehilangan N total nyata
lebih rendah (30,27 kg ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan T2 (54,15 kg ha-1
th-1) dan T3 (52,75 kg ha-1 th-1), dan perlakuan T2 menyebabkan kehilangan N total
yang tidak berbeda nyata T3. Kehilangan N total yang rendah pada perlakuan T1,
selain disebabkan oleh erosi yang rendah (Tabel 3), juga karena tidak ada residu N
yang bersumber dari pemupukan tanaman semusim. Kehilangan N total yang
tidak berbeda nyata antara perlakuan T2 dan T3 disebabkan kadar N total sedimen
pada perlakuan T3 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan T2 (Tabel 17), sehingga
meskipun erosi yang terjadi pada perlakuan T3 nyata lebih rendah dibandingkan
dengan T2, namun dengan kadar N total sedimen yang tinggi pada perlakuan T3
meningkatkan kehilangan N total pada perlakuan tersebut dan menyebabkan
kehilangan N total tidak berbeda nyata antara perlakuan T2 dengan T3. Kadar
N total sedimen yang tinggi pada perlakuan T3 dibandingkan dengan T2 diduga
bersumber dari lapukan sisa tanaman A. pintoi di permukaan tanah dan kemudian
62
terangkut bersama sedimen. Henny (1995) mengemukakan bahwa pada
penanaman dalam strip, tingginya C-organik dan hara sedimen disebabkan
lapukan rumput bahia dan sisa-sisa pangkasannya yang tertinggal di permukaan
tanah. Analisis regresi dilakukan untuk melihat bentuk dan keeratan hubungan
antara erosi dengan kehilangan N total yang terbawa oleh erosi.
Gambar 12. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan N total (Y) pada berbagai
perlakuan tindakan konservasi
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat hubungan
kuadratik dan logaritmik yang nyata antara erosi dengan kehilangan N total
pada berbagai perlakuan tindakan konservasi (Gambar 12). Terdapat korelasi
kuadratik yang nyata antara erosi dengan kehilangan N total pada perlakuan
tindakan konservasi T2 dan T3, sedangkan pada perlakuan T1 korelasi berbentuk
logaritmik. Berdasarkan persamaan garis regresi pada perlakuan T2 dan T3,
kehilangan N maksimum tercapai pada jumlah erosi 40,84 ton ha-1 th-1 (T2) dan
30,95 ton ha-1 th-1 (T3) dengan kehilangan N sebesar 80,42 kg ha-1 th-1 (T2) dan
93,66 kg ha-1 th-1 (T3). Selanjutnya peningkatan jumlah tanah yang tererosi tidak
diikuti oleh peningkatan kehilangan N, diduga karena kadar hara N tanah yang
tererosi semakin menurun. Kehilangan N total pada perlakuan T3 lebih tinggi
dibandingkan dengan T2 meskipun erosi yang terjadi pada T3 lebih rendah
dibandingkan dengan T2. Tingginya kehilangan N total pada perlakuan T3
dibandingkan dengan T2 dan T1 kemungkinan disebabkan meningkatnya
kandungan N total tanah yang bersumber dari tanaman A. pintoi (Tabel 17),
y = 69,436Ln(x) - 144,32R2 = 0,8386
(T1)
y = -0,3871x2 + 23,959x - 277,07R2 = 0,8764
(T3)
y = -0,2033x2 + 16,604x - 258,6R2 = 0,5705
(T2)
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Erosi tanah pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 (ton ha-1 th-1)
N to
tal y
ang
tera
ngku
t m
elal
ui e
rosi
(kg
ha-1 th
-1) T1
T2
T3
Log. (T1)
Poly. (T3)
Poly. (T2)
63
namun diharapkan kehilangan N total yang tinggi pada perlakuan tersebut dapat
diimbangi oleh penambatan N2 oleh bintil akar tanaman A. pintoi sehingga tidak
terjadi defisit N, baik untuk tanaman semusim maupun untuk tanaman tahunan.
Variasi kehilangan N total yang terjadi pada perlakuan T2 dan T3 dapat dijelaskan
oleh variabel erosi masing-masing sebesar 57% dan 88% yang ditunjukkan oleh
koefisien determinasi (R2). Baik perlakuan T2 maupun T3, keduanya memiliki
koefisien korelasi yang cukup tinggi masing-masing 0,76, dan 0,94. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara erosi dengan besarnya
kehilangan N total melalui sedimen.
Garis regresi yang terbentuk antara erosi dengan kehilangan N total pada
perlakuan T1 berbeda dengan perlakuan T2 dan T3, pada perlakuan T1 terdapat
hubungan logaritmik yang nyata antara erosi dan kehilangan N total. Hal ini
terjadi karena pada perlakuan tersebut erosi yang terjadi cukup rendah, sehingga
peningkatan jumlah tanah yang tererosi masih diikuti oleh peningkatan kehilangan
N secara logaritmik. Variasi kehilangan N total yang terjadi pada perlakuan T1
dapat dijelaskan oleh variabel erosi sebesar 84% yang ditunjukkan oleh koefisien
determinasi (R2). Perlakuan T1 memiliki koefisien korelasi yang cukup tinggi,
yakni 0,92 yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara erosi
dengan besarnya kehilangan N total melalui sedimen.
Interaksi antara perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan perlakuan
tindakan konservasi tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan N total melalui
erosi, tetapi berpengaruh nyata terhadap kehilangan NH3, NO3, dan NO2 melalui
AP sebagaimana disajikan pada Tabel 12.
Perlakuan P2T1 menyebabkan kehilangan N yang nyata lebih rendah (0,09
kg NH3 ha-1 th-1; 10,04 kg NO3 ha-1 th-1; 0,09 kg NO2 ha-1 th-1) dibandingkan
dengan perlakuan yang lain, dan perlakuan P3T2 menyebabkan kehilangan N yang
nyata lebih tinggi (0,36 kg NH3 ha-1 th-1; 0,50 kg NO2 ha-1 th-1), sedangkan
kehilangan N nyata lebih tinggi pada perlakuan P4T2 (36,46 kg NO3 ha-1 th-1)
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dilihat dari kadar N total tanah (Tabel
17), perlakuan P2 memiliki kadar N total yang nyata lebih rendah (0,17%)
dibandingkan dengan perlakuan P3 (0,19%), dan kadar N total tanah pada
perlakuan T1 tidak berbeda nyata dengan T2 (0,16% dan 0,18). Oleh karena itu,
64
tingginya kehilangan N pada perlakuan P3T2 yang terangkut melalui AP
disebabkan oleh tingginya AP (Tabel 3) dan tingginya kadar N total tanah pada
perlakuan tersebut. Adapun perlakuan P2T1, rendahnya kehilangan N selain
disebabkan AP yang nyata lebih rendah (Tabel 3) dan kadar N total tanah yang
nyata lebih rendah (Tabel 17) juga karena tidak ada residu N yang bersumber dari
pemupukan tanaman semusim pada perlakuan P2T1. Sesuai dengan hasil
penelitian Elrashidi et al. (2005a), dengan AP yang lebih rendah pada padang
rumput (939 m3 ha-1 th-1) dibandingkan dengan lahan yang ditanami tanaman
semusim (1122 m3 ha-1 th-1), kehilangan nitrat pada padang rumput hanya 1,27 kg
ha-1 th-1 dan pada lahan yang ditanami tanaman semusim sebesar 1,90 kg ha-1 th-1.
Kehilangan nitrat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
pada penelitian ini, disamping karena pengukuran dilakukan pada skala DAS, juga
karena jumlah AP yang lebih rendah pada penelitian tersebut.
Tabel 12. Nitrogen yang terbawa AP pada berbagai interaksi perlakuan umur
tanaman/kemiringan dengan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan tindakan konservasi Perlakuan umur tanaman/kemiringan P1 P2 P3 P4
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
------- N (kg NH3 ha-1 th-1) -------
0,10ef 0,09f 0,16cd 0,19c 0,17cd 0,18c 0,36a 0,25b 0,15cde 0,12def 0,28b 0,25b
------- N (kg NO3 ha-1 th-1) -------
13,08fg 10,04g 19,37ef 20,73de 26,56cd 26,79cd 30,95abc 36,46a 14,17fg 12,34g 35,29ab 29,44bc
------- N (kg NO2 ha-1 th-1) -------
0,17cdef 0,09f 0,27bc 0,12ef 0,22bcde 0,09f 0,50a 0,29b 0,10f 0,13def 0,24bcd 0,25bcd
Keterangan: superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05
Perlakuan P3T1, meskipun penutupan tajuk kakao rendah (rata-rata 8%)
dan berada pada kemiringan yang terjal (40 – 45 %), tetapi penutupan gulma yang
dipertahankan sepanjang waktu pada gawangan kakao menyebabkan kehilangan
N (0,16 kg NH3 ha-1 th-1 dan 19,37 kg NO3 ha-1 th-1) tidak berbeda nyata dengan
65
perlakuan P1T3 (0,15 kg NH3 ha-1 th-1 dan 14,17 kg NO3 ha-1 th-1) yang memiliki
kemiringan yang lebih rendah (10 – 15 %) (Tabel 12). Hal ini disebabkan adanya
interaksi antara kemiringan/umur tanaman dengan penutup tanah yang tinggi,
yang mana kehilangan N yang tinggi pada kemiringan yang terjal (40 – 45 %)
dapat diturunkan oleh tingginya penutupan permukaan tanah oleh gulma. Diduga
penutupan gulma yang tinggi pada permukaan tanah menurunkan jumlah N yang
terangkut melalui AP, khususnya amonium dan nitrat. Selanjutnya, interaksi
antara penutupan tajuk kakao yang rendah (rata-rata 8%) pada kemiringan yang
tinggi dengan penanaman tanaman semusim sebagai tanaman sela pada perlakuan
P3T2 semakin meningkatkan kehilangan N yang tinggi dari petak perlakuan, dan
sebaliknya terjadi pada perlakuan P2T1.
Fosfor yang terbawa erosi dan aliran permukaan
Kehilangan P yang diukur pada sedimen disajikan dalam bentuk P2O5,
sedangkan kehilangan P yang diukur pada AP dalam bentuk PO4. Data
kehilangan P melalui erosi dan AP pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel
Lampiran 20. Analisis ragam disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 27.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan
dan perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan P
melalui erosi dan AP, namun tidak terdapat interaksi nyata antara keduanya.
Rata-rata kehilangan P melalui erosi dan AP dengan hasil uji lanjut DMRT
(P < 0,05) disajikan pada Tabel 13.
Kehilangan P melalui erosi dan AP nyata lebih rendah pada perlakuan
umur tanaman/kemiringan P2 (masing-masing 3,80 kg P2O5 ha-1 th-1 dan 16,42 kg
PO4 ha-1 th-1) dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4 tetapi
tidak berbeda nyata dengan P1. Perlakuan P3 menyebabkan kehilangan P melalui
erosi dan AP yang nyata lebih tinggi (9,27 kg P2O5 ha-1 th-1 dan 30,73 kg PO4 ha-1
th-1) dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2 tetapi tidak berbeda nyata dengan
P4 (Tabel 13). Kehilangan hara dari pertanaman dapat terjadi melalui beberapa
cara di antaranya melalui pencucian hara (Leaching) dan pengangkutan melalui
erosi dan AP. Dalam hal ini kehilangan P yang nyata lebih tinggi pada perlakuan
66
P3 disebabkan perlakuan P3 memiliki erosi dan AP tertinggi dan berbeda nyata
dengan perlakuan yang lain (Tabel 3).
Tabel 13. Fosfor yang terbawa erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan Fosfor yang terbawa erosi dan AP Erosi
(kg P2O5 ha-1 th-1) AP
(kg PO4 ha-1 th-1) Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
4,90b 3,80b 9,27a 8,41a
3,67c 9,32a 6,80b
tn
22,53b 16,42b 30,73a 30,29a
18,39c 32,16a 24,43b
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Kehilangan P melalui erosi dan AP pada perlakuan tindakan konservasi T1
nyata lebih rendah (masing-masing 3,67 kg P2O5 ha-1 th-1 dan 18,39 kg PO4 ha-1 th-
1) dibandingkan dengan perlakuan T2 dan T3. Perlakuan T2 menyebabkan
kehilangan P melalui erosi dan AP nyata lebih tinggi (masing-masing 9,32 kg
P2O5 ha-1 th-1 dan 32,16 kg PO4 ha-1 th-1) dan berbeda nyata dengan perlakuan T1
dan T3. Tingginya kehilangan P pada perlakuan tindakan konservasi T2 terkait
dengan erosi yang tinggi pada perlakuan tersebut (Tabel 3), yang mana tanah yang
terangkut melalui erosi adalah tanah lapisan atas yang memiliki kadar hara yang
lebih tinggi dari pada lapisan tanah di bawahnya. Baik pada perlakuan umur
tanaman/kemiringan maupun pada perlakuan tindakan konservasi, kehilangan P
melalui AP lebih tinggi dibandingkan dengan kehilangan P melalui sedimen. Hal
ini selain disebabkan tingginya volume AP dibandingkan dengan erosi juga
karena banyaknya ion fosfat yang larut di dalam air AP. Hasil penelitian Elrashidi
et al. (2005b) menunjukkan bahwa dengan AP yang lebih tinggi pada tanah bera
(1242 m3 ha-1 th-1) dibandingkan dengan lahan padang rumput (939 m3 ha-1 th-1),
kehilangan P pada tanah bera sebesar 243 g P2O5 ha-1 th-1 dan pada lahan padang
67
rumput hanya sebesar 190 g P2O5 ha-1 th-1. Namun demikian, konsentrasi hara AP
pada padang rumput lebih tinggi (202 mg kg-1) dibandingkan dengan padang
tanah bera (195 mg kg-1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi AP maka
kadar hara yang terlarut di dalamnya semakin rendah.
Analisis regresi dilakukan untuk mempelajari bentuk dan keeratan
hubungan antara erosi dan AP dengan kehilangan P. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa terdapat hubungan logaritmik dan hubungan kuadratik yang
nyata antara erosi dan AP dengan kehilangan P pada berbagai perlakuan tindakan
konservasi sebagaimana disajikan pada Gambar 13 dan 14.
Gambar 13. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan P (Y) pada perlakuan
tindakan konservasi T1, T2, dan T3
Terdapat hubungan kuadratik yang nyata antara erosi dengan kehilangan P
pada perlakuan tindakan konservasi T2, sedangkan pada perlakuan T1 dan T3
korelasi berbentuk logaritmik (Gambar 13). Berdasarkan persamaan garis regresi
pada perlakuan T2, kehilangan P maksimum tercapai pada jumlah erosi 54,82 ton
ha-1 th-1 dengan kehilangan P sebesar 14,94 kg P2O5 ha-1 th-1. Selanjutnya
peningkatan jumlah tanah yang tererosi tidak diikuti oleh peningkatan kehilangan
P. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hara P semakin menurun dengan
meningkatnya jumlah tanah yang tererosi. Berbeda dengan perlakuan T2, pada
perlakuan T1 dan T3 terdapat korelasi logaritmik yang nyata antara erosi dan
kehilangan P. Hal ini menujukkan bahwa peningkatan jumlah tanah tererosi
pada awalnya diikuti oleh peningkatan kehilangan P yang cukup tinggi, dan
y = 5,6256Ln(x) - 10,476R2 = 0,8154
(T1) y = -0,0094x2 + 1,0307x - 13,315R2 = 0,7507
(T2)
y = 12,144Ln(x) - 30,329R2 = 0,8368
(T3)
02468
10121416
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45Erosi tanah pada perlakuan tindakan konservasi
T1, T2, dan T3 (ton ha-1 th-1)
P ya
ng te
rbaw
a er
osi
(kg
P 2O
5 ha-1
th-1
)
T1
T2
T3
Log. (T1)
Poly. (T2)
Log. (T3)
68
selanjutnya peningkatan jumlah tanah tererosi tidak diikuti oleh peningkatan
kehilangan P yang berarti. Kondisi ini kemungkinan juga disebabkan oleh kadar
P yang semakin rendah dengan meningkatnya jumlah tanah tererosi. Kehilangan
P dari lahan pertanian tidak hanya terangkut melalui sedimen, tetapi juga
terangkut melalui AP sebagaimana disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan kehilangan P (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
Regresi antara AP dengan kehilangan P pada perlakuan tindakan
konservasi T1, T2, dan T3 menunjukkan hubungan kuadratik (Gambar 14).
Berdasarkan persamaan garis regresi pada perlakuan T1, T2 dan T3, kehilangan P
maksimum tercapai masing-masing pada jumlah AP 5250 m3 ha-1 th-1, 12250 m3
ha-1 th-1, dan 8700 m3 ha-1 th-1, dengan kehilangan P masing-masing sebesar 36,92
kg PO4 ha-1 th-1, 93,99 kg PO4 ha-1 th-1, dan 58,12 kg PO4 ha-1 th-1. Peningkatan
jumlah AP selanjutnya tidak diikuti oleh peningkatan kehilangan P yang
disebabkan kadar hara P AP semakin menurun dengan semakin meningkatnya
jumlah AP. Namun demikian, berdasarkan persamaan garis regresi yang
y = 4E-07x2 + 0,0042x + 3,84R2 = 0,8514
(T1)
y = 2E-07x2 + 0,0049x + 3,96R2 = 0,6742
(T2)
y = -1E-06x2 + 0,0174x - 17,57R2 = 0,7892
(T3)
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000AP pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
(m3 ha-1 th-1)
P ya
ng te
rbaw
a A
P(k
g PO
4 ha-1
th-1
)
T1 T2 T3 Poly. (T1) Poly. (T2) Poly. (T3)
69
diperoleh pada Gambar 14, maka kehilangan P akan terus meningkat khususnya
pada perlakuan T2 dan T3 karena nilai maksimum kehilangan P akan tercapai pada
jumlah AP yang cukup tinggi (12250 m3 ha-1 th-1 dan 8700 m3 ha-1 th-1).
Kalium yang terbawa erosi dan aliran permukaan
Kehilangan K yang diukur pada sedimen disajikan dalam bentuk K2O,
sedangkan kehilangan K yang diukur pada AP dalam bentuk K total. Data
kehilangan K pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 20. Analisis
ragam disajikan pada Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
berpengaruh nyata terhadap kehilangan K melalui erosi dan AP, namun tidak
terdapat pengaruh interaksi yang nyata antara keduanya. Rata-rata kehilangan K
dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05) disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Kalium yang terbawa erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Kalium yang terbawa erosi dan AP
Perlakuan Erosi (kg K2O ha-1 th-1)
AP (kg ha-1 th-1)
Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
4,42b 2,30c 5,30a 5,29a
2,42c 6,03a 4,54b
tn
160,91c 126,29d 248,18a 229,44b
140,52c 248,83a 184,27b
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Perlakuan umur tanaman/kemiringan P2 menyebabkan kehilangan K
melalui erosi dan AP nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain
(masing-masing 2,30 kg K2O ha-1 th-1 dan 126,29 kg K ha-1 th-1), sedangkan
perlakuan P3 menyebabkan kehilangan K yang nyata lebih tinggi (5,30 kg K2O ha-1
th-1 melalui erosi dan 248,18 kg K ha-1 th-1 melalui AP) dibandingkan dengan
70
y = 3,3815Ln(x) - 6,082R2 = 0,8879
(T1)
y = 4,1637Ln(x) - 8,1881R2 = 0,6794
(T3)
y = -0,0421x2 + 2,8367x - 39,963R2 = 0,8322
(T2)
0123456789
10
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45Erosi tanah pada perlakuan tindakan konservasi
T1, T2, dan T3 (ton ha-1 th-1)
K y
ang
terb
awa
eros
(kg
K2O
ha-1
th-1
)
T1 T2 T3 Log. (T1) Log. (T3) Poly. (T2)
perlakuan lainnya. Perlakuan tindakan konservasi T1 menyebabkan kehilangan K
yang nyata lebih rendah (2,42 kg K2O ha-1 th-1 melalui erosi dan 140,52 kg K ha-1
th-1 melalui AP) dibandingkan dengan dengan perlakuan T2 dan T3. Perlakuan T2
menyebabkan kehilangan K nyata lebih ertinggi (6,03 kg K2O ha-1 th-1 melalui
erosi dan 248,83 kg K ha-1 th-1 melalui AP) dibandingkan dengan perlakuan T1 dan
T2 (Tabel 14). Tingginya kehilangan K melalui AP disebabkan karena unsur
kalium merupakan unsur yang sangat muda mengalami pelindian dibandingkan
dengan nitrogen dan P. Menurut Tan (1996) bahwa ion K+ sangat sulit
mengendap, sehingga ketika tidak dimanfaatkan oleh tanaman, ion K+ akan cepat
tercuci dari tanah.
Analisis regresi dilakukan untuk mempelajari bentuk dan keeratan
hubungan antara erosi dan AP dengan kehilangan kalium. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuadratik dan logaritmik yang nyata
antara erosi dan AP dengan kehilangan kalium pada berbagai perlakuan tindakan
konservasi sebagaimana disajikan pada Gambar 15 dan 16.
Gambar 15. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan K (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
71
Terdapat hubungan kuadratik yang nyata antara erosi dengan kehilangan K
pada perlakuan tindakan konservasi T2, sedangkan pada perlakuan T1 dan T3
korelasi berbentuk logaritmik (Gambar 15). Persamaan garis regresi pada
perlakuan T2 menunjukkan bahwa kehilangan K maksimum tercapai pada jumlah
erosi 33,69 ton ha-1 th-1 dengan kehilangan K sebesar 7,82 kg K2O ha-1 th-1.
Selanjutnya peningkatan jumlah tanah yang tererosi tidak diikuti oleh peningkatan
kehilangan K karena kadar hara K semakin menurun dengan meningkatnya
jumlah tanah tererosi. Berbeda dengan perlakuan T2, pada perlakuan T1 dan T3
terdapat korelasi logaritmik yang nyata antara erosi dan kehilangan K. Hal ini
terjadi karena pada perlakuan tersebut erosi yang terjadi cukup rendah sehingga
peningkatan jumlah tanah yang tererosi masih diikuti peningkatan kehilangan K
secara logaritmik. Pengangkutan K dari lahan pertanian, selain terangkut bersama
sedimen juga terangkut bersama AP sebagaimana disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan kehilangan K total (Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
y = 236,96Ln(x) - 1746,4R2 = 0,8707
(T2)
y = 168,06Ln(x) - 1187,9R2 = 0,9547
(T3)
y = 147,51Ln(x) - 1018,6R2 = 0,8824
(T1)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000AP pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
(m3 ha-1 th-1)
K to
tal y
ang
terb
awa
AP
(kg
ha-1
th-1)
T1 T2 T3 Log. (T2) Log. (T3) Log. (T1)
72
Terdapat hubungan logaritmik yang nyata antara AP dengan kehilangan K
total pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3 (Gambar 16).
Peningkatan AP pada awalnya diikuti oleh peningkatan kehilangan K yang tinggi
dan selanjutnya peningkatan AP tidak diikuti dengan peningkatan kehilangan K
yang berarti. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi AP maka konsentrasi K tanah
yang terkandung di dalamnya semakin rendah, diduga hal ini juga disebabkan
oleh kadar K sedimen yang semakin menurun.
C-organik yang terbawa erosi dan aliran permukaan
Data kehilangan C-organik melalui erosi dan AP pada setiap perlakuan
disajikan pada Tabel Lampiran 20. Analisis ragam disajikan masing-masing pada
Tabel Lampiran 27. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata
terhadap kehilangan C-organik melalui erosi dan berpengaruh tidak nyata
terhadap kehilangan C-organik melalui AP, dan tidak terdapat interaksi nyata
antara keduanya. Rata-rata kehilangan C-organik melalui erosi dan AP dengan
hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05) disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. C-organik yang terbawa erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan C-org. yang terbawa erosi dan AP (ton ha-1 th-1)
terbawa erosi terbawa AP Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
0,354b 0,290b 0,537a 0,526a
0,276c 0,586a 0,419b
tn
15,32b 12,79b 23,16a 22,74a
14,29a 23,49b 17,72a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
73
Hasil uji lanjut terhadap rata-rata perlakuan pada Tabel 15 menunjukkan
bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan P2 menyebabkan kehilangan
C-organik melalui sedimen dan AP yang nyata lebih rendah (0,290 ton ha-1 th-1
dan AP 12,79 ton ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4, tetapi tidak
berbeda nyata dengan P1. Kehilangan C-oragnik melalui sedimen dan AP nyata
lebih tinggi pada perlakuan P3 (0,537 ton ha-1 th-1 dan AP 23,16 ton ha-1 th-1)
dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan P4. Adapun perlakuan tindakan konservasi, perlakuan T1 menyebabkan
kehilangan C-organik tanah melalui sedimen dan AP yang nyata lebih rendah
(0,276 ton ha-1 th-1 dan AP 14,29 ton ha-1 th-1) dibandingkan dengan perlakuan T2
dan T3. Kehilangan C-organik melalui sedimen dan AP nyata lebih tinggi terdapat
pada perlakuan T2 (0,586 ton ha-1 th-1 dan AP 23,49 ton ha-1 th-1) dan berbeda
nyata dengan perlakuan tindakan konservasi yang lain. Besarnya kehilangan
C-organik dalam hal ini dipengaruhi oleh jumlah erosi dan AP. Perlakuan P3 dan
T2 yang memiliki erosi dan AP tertinggi (Tabel 3) memiliki kehilangan C-organik
tertinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Analisis regresi dilakukan untuk mempelajari bentuk dan keeratan
hubungan antara kehilangan C-organik dengan erosi dan AP. Hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara kehilangan
C-organik dengan erosi pada berbagai perlakuan tindakan konservasi (Gambar
17). Terdapat hubungan kuadratik yang nyata antara erosi dengan kehilangan
C-organik pada perlakuan tindakan konservasi T2 dan T3, sedangkan pada
perlakuan T1 korelasi berbentuk logaritmik (Gambar 17). Persamaan garis regresi
pada perlakuan T2 dan T3 menunjukkan bahwa kehilangan C-organik maksimum
tercapai pada jumlah erosi 35,82 ton ha-1 th-1 (T2) dan 26,96 ton ha-1 th-1 (T3)
dengan kehilangan C-organik 0,686 ton ha-1 th-1 (T2) dan 0,512 ton ha-1 th-1 (T3).
Penurunan jumlah kehilangan C-organik setelah tercapai titik maksimum,
khususnya pada perlakuan T3 diduga karena keefektifan strip tanaman A. pintoi
dalam menyaring partikel tanah yang terangkut melalui erosi sehingga kadar
C-organik sedimen menjadi rendah. Pada perlakuan T2, penurunan yang terjadi
setelah titik maksimum diduga disebabkan oleh kadar C-organik tanah yang
semakin rendah dengan semakin meningkatnya erosi. Hal ini didukung oleh hasil
74
analisis kadar C-organik tanah dan sedimen (Tabel 17), yang mana rasio kadar
C-organik tanah antara perlakuan T3 dan T2 lebih tinggi dibandingkan dengan
rasio kadar C-organik sedimen antara kedua perlakuan tersebut. Ini menunjukkan
bahwa strip tanaman A. pintoi pada perlakuan T3 efektif dalam mengurangi
kehilangan C-organik melalui sedimen. Selain terangkut bersama sedimen,
C-organik dari lahan pertanian juga terangkut melalui AP sebagaimana disajikan
pada Gambar 18.
Gambar 17. Regresi antara erosi (X) dengan kehilangan C-organik (Y) pada
perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
Terdapat hubungan logaritmik antara AP dengan kehilangan C-organik
pada perlakuan tindakan konservasi T1 dan T2, dan pada perlakuan T3, korelasi
berbentuk kuadratik (Gambar 18). Berdasarkan persamaan garis regresi pada
perlakuan T3, kehilangan C-organik maksimum tercapai pada jumlah AP 6667 m3
ha-1 th-1 dengan kehilangan C-organik sebesar 30,37 ton ha-1 th-1. Korelasi
logaritmik pada perlakuan T1 dan T2 menunjukkan peningkatan jumlah AP akan
diikuti peningkatan kehilangan C-organik yang semakin rendah.
y = 360,88Ln(x) - 631,21R2 = 0,8407
(T1)
y = -2,309x2 + 124,03x - 1138R2 = 0,8181
(T3)
y = -1,8882x2 + 136,14x - 1754,5R2 = 0,5815
(T2)0
200
400
600
800
1000
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45Erosi tanah pada perlakuan tindakan konservasi
T1, T2, dan T3 (ton ha-1 th-1)
C-or
g. y
ang
terb
awa
eros
(kg
ha-1
th-1
)
T1 T2 T3 Log. (T1) Poly. (T3) Poly. (T2)
75
Gambar 18. Regresi antara aliran permukaan (X) dengan kehilangan C-organik
(Y) pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
Korelasi antara kehilangan N, P, K, dan C-organik dengan erosi dan AP
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui derajat hubungan antara
besarnya kehilangan N, P, K, dan C-organik dengan erosi. Analisis korelasi
menunjukkan bahwa erosi memiliki korelasi dengan besarnya kehilangan N, P, K,
dan C-organik sebagaimana disajikan pada Tabel 16.
Kehilangan N, P, ,K, dan C-organik berkorelasi nyata (P < 0,05) dengan
erosi dan AP (Tabel 16). Korelasi yang terbentuk semuanya positif, artinya
semakin tinggi erosi dan AP, maka kehilangan N, P, K, dan C-organik akan
semakin meningkat. Asumsi yag mendasari model regresi linier berganda tidak
terpenuhi dalam hal ini, karena antara peubah bebas (kehilangan N, P, K, dan
C-organik) memiliki korelasi yang nyata atau terdapat masalah kolinieritas. Oleh
karena itu, tidak layak dibuat persamaan regresi linier berganda antara peubah
terikat kehilangan hara (Y) dengan peubah bebas erosi dan AP (X).
y = 14,734Ln(x) - 101,48R2 = 0,8846
(T1)
y = -6E-07x2 + 0,0082x - 3,699R2 = 0,6997
(T3)
y = 22,06Ln(x) - 162,26R2 = 0,5587
(T2)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000AP pada perlakuan tindakan konservasi T1, T2, dan T3
(m3 ha-1 th-1)
C-or
g.ya
ng te
rbaw
a A
P (k
g ha
-1 th
-1)
T1 T2 T3 Log. (T1) Poly. (T3) Log. (T2)
76
Tabel 16. Matrik korelasi antara kehilangan N, P, K, dan C-organik dengan erosi dan AP pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
N total P K C-organik Erosi N total 1,000 P 0,839* 1,000 K 0,709* 0,830* 1,000 C-organik 0,805* 0,903* 0,887* 1,000 Erosi 0,676* 0,913* 0,838* 0,868* 1,000 NH4 NO3 NO2 P K total C-organik AP NH4 1,000 NO3 0,816* 1,000 NO2 0,772* 0,544* 1,000 P 0,836* 0,827* 0,754* 1,000 K total 0,903* 0,880* 0,755* 0,915* 1,000 C-organik 0,899* 0,786* 0,730* 0,885* 0,915* 1,000 AP 0,901* 0,885* 0,776* 0,914* 0,972* 0,884* 1,000
Ket: * = berkorelasi nyata pada taraf uji 0,05
Kadar N, P, K, dan C-organik tanah, sedimen, dan AP
Data pengamatan kadar hara N, P, K, dan C-organik (tanah, sedimen, dan
AP) disajikan pada Tabel Lampiran 21. Analisis ragam terhadap kadar hara dan
C-organik tanah serta kadar hara dan C-organik sedimen dan AP disajikan
masing-masing pada Tabel Lampiran 28. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan berpengaruh nyata terhadap N total
tanah, sedimen, dan AP, P sedimen, K sedimen, dan C-organik tanah, sedangkan
perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap N total tanah dan
sedimen, P tanah, K tanah, dan C-organik tanah. Tidak terdapat interaksi yang
nyata antara perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan tindakan konsenservasi
terhadap kadar hara N, P, K, dan C-organik tanah dan sedimen serta AP. Rata-
rata kadar hara N, P, K, dan C-organik tanah dan sedimen serta AP dengan hasil
uji lanjut DMRT (P < 0,05) disajikan pada Tabel 17.
77
Tabel 17. Kadar N total, P, K, dan C-org. tanah, sedimen dan aliran permukaan pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perla- kuan
N total P K C-organik Tanah* Sedimen AP Tanah* Sedimen AP Tanah* Sedimen AP Tanah* Sedimen AP
-------%------- mg P2O5 100g-1 mg PO4 L-1 mg K2O 100g-1 mg L-1 -------%-------
P1
P2
P3
P4
0,17b
0,17b
0,19a
0,21a
0,102c
0,091c
0,259b
0,315a
0,026b
0,031a
0,029ab
0,031a
22,80a
25,28a
27,27a
23,95a
24,78b
24,76b
32,88a
35,19a
6,89a
6,81a
6,52a
7,01a
15,44a
13,23a
13,55a
14,83a
22,36a
14,38b
18,80a
22,13a
49,22b
52,40ab
52,80ab
53,08a
1,70b
1,81b
1,78b
2,11a
1,79a
1,81a
1,90a
2,20a
0,47a
0,53a
0,49a
0,53a
T1
T2
T3
0,16b
0,18ba
0,22a
0,234a
0,174b
0,242a
0,028b
0,031a
0,028b
22,39b
24,87ab
27,22a
28,34a
29,89a
31,25a
6,77a
6,92a
6,65a
11,50c
15,16b
16,13a
18,69a
19,34a
20,86a
51,75a
53,57a
50,14a
1,82ba
1,73b
2,00a
2,13a
1,88a
1,92a
0,53a
0,50a
0,48a
Interaksi tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05 * = tanah setelah terjadi erosi
Kadar hara N total, P, dan K sedimen pada perlakuan umur
tanaman/kemiringan P4 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan P2, sementara jika
dilihat dari jumlah sedimen dan AP (Tabel 3), perlakuan P4 memiliki erosi dan AP
yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan P2. Berdasarkan hal ini, P2
seharusnya memiliki kadar hara sedimen dan AP yang nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan P4, namun tidak demikian halnya dengan data yang
diperoleh pada penelitian ini. Demikian pula halnya dengan perlakuan tindakan
konservasi, yang mana perlakuan T2 yang memiliki AP dan erosi yang nyata lebih
tinggi (Tabel 3), memiliki kadar hara P, K, dan C-organik sedimen dan AP yang
tidak berbeda nyata, kecuali hara N. Faktor yang diduga menjadi penyebab
kejadian ini adalah sampel yang diambil tidak mewakili kondisi hara sedimen dan
AP disebabkan pengambilan sampel tidak dilakukan pada setiap kejadian hujan,
sehingga sebagian hara mungkin ada yang menguap dan sebagian yang lain
mungkin mengendap di dasar penampung dan tidak tercampur merata ketika
diaduk pada saat penggambilan sampel. Meskipun demikian, kadar hara sedimen
secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan kadar hara tanah.
78
Tabel 17 menunjukkan bahwa perlakuan umur tanaman/kemiringan P4
memiliki kadar N total tanah yang nyata lebih tinggi (0,21%) dibandingkan
dengan P1 (0,17%) dan P2 (0,17%), tetapi tidak berbeda nyata dengan P3 (0,19%).
Perlakuan P4 yang memiliki kadar N total tanah yang nyata lebih tinggi juga
memiliki kadar N total sedimen yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang lain, yang mana kadar N total sedimen lebih tinggi dari kadar
N total tanah. Ini menunjukkan bahwa kadar unsur hara pada sedimen hasil erosi
lebih tinggi dari kadar unsur hara pada tanah yang tertinggal. Namun demikian,
pada perlakuan P1 dan P2, kadar hara N total sedimen lebih rendah dibandingkan
dengan kadar hara N total tanah. Diduga hal ini disebabkan adanya penguapan
beberapa bentuk N dari bak penampung sedimen dan AP sebelum dilakukan
pengambilan sampel dan karena kadar N total AP tidak dinalisis. Adapun
perlakuan tindakan konservasi, perlakuan tindakan konservasi T3 memiliki kadar
hara N total tanah nyata lebih tinggi (0,22%) dibandingkan dengan perlakuan T1
(0,16%), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan T2 (0,18%). Tingginya
Kadar N total tanah pada perlakuan T3 disebabkan adanya penanaman strip
tanaman A. pintoi yang merupakan tanaman dari jenis legum yang dapat
memfikasasi N2 dari udara dan adanya residu pupuk yang bersumber dari
pemupukan tanaman semusim. Pada perlakuan T1 yang dibiarkan tertutup gulma
sepanjang waktu tanpa pemupukan menyebabkan kadar N total tanah pada
perlakua tersebut lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan T3.
Perlakuan umur tanaman/kemiringan tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar P dan K tanah. Adapun perlakuan tindakan konservasi, perlakuan T3
memiliki kadar P, K, dan C-organik tanah yang nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan T2 dan T1. Hal ini disebabkan pengangkutan hara yang lebih
rendah pada perlakuan T3 akibat erosi yang lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan T2 (Tabel 3). Demikian pula karena adanya pembenaman hasil pangkasan
A. pintoi di sekeliling piringan kakao dengan rata-rata berat segar pangkasan selama
penelitian 5,8 ton ha-1 (Tabel Lampiran 16) yang dapat meningkatkan kadar hara dan
C-organik tanah. Penggunaan biomas segar A. pintoi sebagai kompos sebanyak
13,76 ton ha-1 th-1 akan memberikan sumbangan N, P, dan K setara dengan 120 kg
urea ha-1, 24 kg SP-36 ha-1, dan 60 kg KCl ha-1 (Anonim, 2005).
79
Kadar hara dan C-organik sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar hara dan C-organik tanah. Tingginya kadar hara N, P, K, dan C-organik
sedimen dibandingkan dengan kadar hara N, P, K dan C-organik tanah disebabkan
sedimen hasil erosi merupakan lapisan atas tanah yang memiliki kadar hara dan
C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang tertinggal. Oleh
karena itu, tindakan konservasi tanah sangat diperlukan untuk mencegah
terangkutnya lapisan atas tanah yang kaya akan hara dan bahan organik. Sejalan
dengan hasil penenlitian Sutono et al. (2005) pada kemiringan lereng ±3%, yang
mana jumlah kalium yang terbawa erosi berkisar 5,0 – 7,5 mg K2O 100g-1 dan
residunya di dalam tanah hanya 4,7 – 5,5 mg K2O 100g-1, sehingga nisbah antara
kadar K sedimen dengan kadar K tanah sebesar 1,23.
Enrichment Ratio (ER)
ER merupakan nisbah antara kadar hara N, P, K, dan C-organik di dalam
sedimen yang telah terangkut bersama erosi dan AP dengan kadar hara N, P, K,
dan C- organik pada tanah yang tertinggal. Kadar hara sedimen merupakan
penjumlahan antara kadar hara AP dengan kadar hara sedimen dengan terlebih
dahulu dikonversi ke dalam bentuk dan satuan yang sama. Data ER pada setiap
perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 22. Analisis ragam disajikan masing-
masing pada Tabel Lampiran 28. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan umur tanaman/ kemiringan berpengaruh nyata terhadap ER N dan P,
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap ER K dan C-organik, sedangkan
perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap ER N dan K, tetapi
tidak berpengaruh nyata terhadap ER P dan C-organik. Tidak terdapat interaksi
antara perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan perlakuan tindakan konservasi
terhadap nilai ER. Rata-rata nilai ER dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05)
pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan
konservasi disajikan pada Tabel 18.
80
Tabel 18. ER N, P , K, dan C-organik pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan ER N P K C-org.
Umur kakao / kemiringan 5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
0,75b 0,72b 1,52a 1,65a
1,64a 1,14b 1,23ab
tn
1,13b 1,02b 1,24ab 1,51a
1,31a 1,24a 1,18a
tn
1,77a 1,48a 1,78a 1,85a
2,08a 1,63b 1,60b
tn
1,33a 1,29a 1,34a 1,29a
1,46a 1,38a 1,20a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Perlakuan umur tanaman/kemiringan P1 dan P2 memiliki ER N yang nyata
lebih rendah (masing-masing 0,75 dan 0,72) dibandingkan dengan perlakuan P3
dan P4 (1,52 dan 1,65) (Tabel 18). Rendahnya ER N pada perlakuan P1 dan P2
diduga disebabkan banyak terjadi penguapan N dari sedimen dan AP sebelum
dilakukan pengambilan sampel. Pada perlakuan P3 dan P4, dengan erosi yang
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P2 (Tabel 3) kemungkinan N yang
terangkut sebagian larut dalam AP, tetapi banyak yang tertimbun bersama
sedimen di dasar penampung sedimen sehingga terlindung dari penguapan N
sebelum dilakukan pengambilan sampel. Hal ini menyebabkan ER N P3 dan P4
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2. Adapun perlakuan
tindakan konservasi, perlakuan T2 memiliki ER N nyata lebih rendah (1,14)
dibandingkan dengan perlakuan T1 (1,64) tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan T3 (1,23) (Tabel 17). ER N total yang rendah pada perlakuan T2 diduga
disebabkan oleh adanya penguapan N dan tingginya erosi dan AP yang terjadi
pada perlakuan tersebut yang menyebabkan konsentrasi hara yang terkandung di
dalamnya menjadi rendah.
Perlakuan umur tanaman P4 memiliki ER P nyata lebih tinggi (1,51)
dibandingkan dengan perlakuan P1 (1,13) dan P2 (1,02) tetapi tidak berbeda nyata
dengan P3 (1,24) (Tabel 18). Tingginya nilai ER P pada perlakuan P4 diduga
disebabkan banyaknya molekul ion fosfat yang terangkut bersama erosi,
81
mengingat bahwa anion fosfat terikat kuat oleh matriks tanah, dan komponen
tanah yang berperan dalam retensi fosfat adalah yang bermuatan positif. Jadi jika
dibandingkan dengan P1 dan P2 yang memiliki erosi yang lebih rendah dan
berbeda nyata dibandingkan dengan P3 dan P4, maka rendahnya erosi dan
selektivitas erosi yang terjadi pada perlakuan P1 dan P2 tidak menyebabkan
konsentrasi hara P di dalam sedimen menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan P4. Hal ini terjadi karena liat yang terangkut melalui proses selektivitas
erosi pada umumnya bermuatan negatif, sehingga diduga peningkatan selektivitas
erosi pada kemiringan yang lebih rendah tidak diikuti oleh peningkatan
konsentrasi ion fosfat yang terangkut bersama sedimen. Adapun pada perlakuan
P4 yang memiliki kemiringan yang lebih terjal yang mana proses selektivitas erosi
tidak terjadi secara sempurna terutama pada kejadian AP yang tinggi, maka ion
fosfat banyak yang terangkut bersama matriks tanah yang tererosi.
Perlakuan umur tanaman/kemiringan tidak berpengaruh nyata terhadap ER
K dan ER C-organik (Tabel 18). Hal ini disebabkan unsur K sangat mudah
mengalami pelindian baik pada kemiringan tinggi maupun pada kemiringan
rendah, dan kemungkinan kadar K dan C-organik tanah pada semua perlakuan
tidak berbeda satu sama lain (Tabel 17). Selanjutnya perlakuan tindakan
konservasi tidak berpengaruh nyata terhadap ER P dan ER C-organik, tetapi
berpengaruh nyata terhadap ER N dan K. Perlakuan T1 memiliki ER N dan K
yang nyata lebih tinggi (masing-masing 1,64 dan 2,08) dibandingkan dengan
perlakuan T2 dan T3. Hal ini disebabkan oleh rendahnya erosi yang terjadi pada
perlakuan T1, sehingga konsentrasi hara N dan K dalam sedimen akibat
selektivitas erosi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan residunya yang tertinggal
di dalam tanah.
Nilai ER yang dilaporkan oleh hasil-hasil penelitian sebelumnya bervariasi
tergantung dari perlakuan dan kondisi tanah serta iklim setempat. Hasil penelitian
Dariah (2004) dengan perlakuan strip rumput alami pada pertanaman kopi
menghasilkan ER N total; P; K; dan C-organik masing-masing 1,33; 0,45; 1,97;
dan 1,03. Selanjutnya hasil penelitian Jaya (1994) pada daerah Citere
Pengalengan menunjukkan bahwa ER N total berkisar 1,0017 hingga 2,8913 dan
ER P berkisar 1,0029 hingga 2,7299.
82
Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan pH tanah
Data KTK dan pH tanah disajikan pada Tabel Lampiran 22. Analisis
ragam terhadap KTK dan pH tanah disajikan masing-masing pada Tabel
Lampiran 28. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata
terhadap KTK dan tidak berpengaruh nyata terhadap pH tanah. Tidak terdapat
interaksi yang nyata antara perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan
perlakuan tindakan konservasi terhadap KTK dan pH tanah. Rata-rata data
pengamatan KTK dan pH tanah dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05) pada
berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Kapasitas tukar kation dan pH tanah pada berbagai perlakuan umur
tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan KTK (me 100g-1) pH Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2) 5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3) 25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1) Kakao + p. gogo - kedelai (T2) Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
14,81ba 13,62b 16,39a 17,09a
14,05b 13,94b 18,44a
tn
5,07a 5,10a 4,87a 5,00a
4,98a 4,97a 5,08a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Hasil uji lanjut terhadap rata-rata perlakuan menunjukkan bahwa
perlakuan umur tanaman/kemiringan P4 mamiliki KTK yang nyata lebih tinggi
(17,09 me 100g-1) dibandingkan dengan perlakuan P2 (13,62 me 100g-1), tetapi
tidak berbeda nyata dengan P1 (14,81 me 100g-1) dan P3 (16,39 me 100g-1) (Tabel
19). KTK yang tinggi pada perlakuan P4 diduga disebabkan kadar bahan organik
tanah yang relatif lebih tinggi pada perlakuan tersebut (Tabel 17) dan berbeda
nyata dengan perlakuan P1, P2, dan P3. Bahan organik dalam hal ini bersumber
83
dari bagian tanaman kakao di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan
tanah, yang mana umur tanaman kakao pada perlakuan P4 adalah lebih dari
2 tahun (25 – 27 bulan). Bagian tanaman di atas permukaan tanah dapat berupa
daun yang jatuh atau hasil pangkasan berupa daun dan ranting yang dikembalikan
pada tanah sebagai bahan organik, sedangkan bagian tanaman di bawah
permukaan tanah dapat berupa akar yang mati yang juga merupakan sumber
bahan organik tanah. Perlakuan P2, meskipun memiliki umur tanaman kakao
yang sama dengan P4, tetapi dengan tekstur tanah lempung berpasir (Tabel 9)
kemungkinan menjadi penyebab lebih rendahnya KTK tanah pada perlakuan
tersebut.
Perlakuan tindakan konservasi T3 memiliki nilai KTK yang nyata lebih
tinggi (18,44 me 100g-1) dibandingkan dengan perlakuan T1 dan T2. KTK pada
perlakuan T2 nyata lebih rendah (13,94 me 100g-1) dibandingkan dengan T3, tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuanT1. Adanya pembenaman hasil pangkasan
A. pintoi pada perlakuan T3 rata-rata sebanyak 5,8 ton ha-1 (bobot segar) (Tabel
Lampiran 17) meningkatkan kadar bahan organik tanah pada perlakuan tersebut
(Tabel 17) sehingga mempengaruhi KTK tanah setelah 6 bulan sejak dilakukan
pembenaman pertama. Rendahnya KTK tanah pada perlakuan T2 disebabkan
bahan organik yang rendah pada perlakuan tersebut, yang mana jerami padi gogo
yang dikembalikan sebagai mulsa nampaknya tidak dan atau belum
mempengaruhi peningkatan bahan organik tanah. Di samping itu, sisa panen
tanaman kedelai yang dikembalikan pada pertanaman dengan disebar di atas
permukaan tanah juga belum terdekomposisi pada saat dilakukan pengambilan
sampel tanah pada akhir penelitian. Baik perlakuan umur tanaman/kemiringan
maupun perlakuan tindakan konservasi tidak berpengaruh nyata terhadap pH
tanah, meskipun ada perbedaan KTK.
Pengaruh perlakuan yang tidak nyata terhadap pH tanah diduga
disebabkan daya sangga tanah yang tinggi terhadap pH. Tanah-tanah yang
memiliki daya sangga yang tinggi adalah tanah-tanah yang memiliki derajat
perubahan H yang besar, yakni tanah-tanah yang memiliki aluminium dapat
ditukar (Aldd) yang tinggi.
84
Pertambahan diameter batang, diameter tajuk, dan tinggi tanaman kakao
Pertambahan diameter batang merupakan selisih antara pengukuran
diameter batang pada awal penelitian dengan pengukuran diameter batang pada
akhir penelitian, demikian pula dengan diameter tajuk dan tinggi tanaman. Data
pertambahan diameter batang, diameter tajuk, dan tinggi tanaman disajikan pada
Tabel lampiran 22. Analisis ragam disajikan masing-masing pada Tabel
Lampiran 28. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur
tanaman/kemiringan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan diameter
batang, diameter tajuk, dan tinggi tanaman kakao, demikian pula dengan
perlakuan tindakan konservasi, kecuali terhadap tinggi tanaman. Tidak terdapat
interaksi yang nyata antara perlakuan umur tanaman/kemiringan dengan
perlakuan tindakan konservasi terhadap pertambahan diameter batang, diameter
tajuk, dan tinggi tanaman kakao. Rata-rata pertambahan diameter batang,
diameter tajuk, dan tinggi tanaman dengan hasil uji lanjut DMRT (P < 0,05) pada
berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Pertambahan diameter batang, diameter tajuk, dan tinggi tanaman pada
berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan tindakan konservasi
Perlakuan Pert. diameter batang (cm)
Pert. diameter tajuk (cm)
Pert. tinggi tanaman (cm)
Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2)5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3)25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi Kakao + Gulma (T1)Kakao + p. gogo - kedelai (T2)Kakao + p. gogo-kedelai + strip A. pintoi (T3)Interaksi
0,44b 3,06a 0,38b 3,01a
1,68a 1,67a 1,81a
tn
31,97c 51,81a 34,94b 54,14a
39,87b 42,75b 47,03a
tn
4,97a 2,37c 4,02b 2,67c
3,55a 3,26a 3,70a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05
Perlakuan umur tanaman/kemiringan P2 memiliki pertambahan diameter
batang yang nyata lebih tinggi (3,06 cm) dibandingkan dengan P1 dan P3, tetapi
tidak berbeda nyata dengan P4. Perlakuan P3 memiliki pertambahan diameter
batang yang nyata lebih rendah (0,38 cm) dibandingkan dengan P2 dan P4, tetapi
85
tidak berbeda nyata dengan P1 (Tabel 20). Pertambahan diameter batang yang
tinggi pada perlakuan P2 dan P4 disebabkan umur tanaman kakao yang lebih tinggi
(25 – 27 bulan) pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan dengan P1 dan P3
(5 – 7 bulan). Kemungkinan hal ini disebabkan karena maristem lateral pada
tanaman dengan diameter batang yang lebih besar akan menghasilkan sel-sel baru
yang lebih banyak, sehingga pertambahan diameter batang pada tanaman tersebut
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman yang memiliki diameter batang
yang lebih kecil.
Pertambahan diameter tajuk nyata lebih tinggi pada perlakuan P4 (54,14
cm) dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P3, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan P2, sedangkan pertambahan diameter tajuk pada perlakuan P1 nyata
lebih rendah (31,97 cm) dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P4, tetapi tidak
berbeda nyata dengan P3 (Tabel 20). Sama halnya dengan pertambahan diameter
batang, pertambahan diameter tajuk yang tinggi pada perlakuan P4 disebabkan
umur tanaman kakao yang lebih tinggi pada perlakuan tersebut (25 – 27 bulan)
dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P3 (5 – 7 bulan).
Pertambahan tinggi tanaman nyata lebih tinggi pada perlakuan P1 (4,97
cm) dibandingkan dengan perlakuan P2, P3, dan P4. Perlakuan P3 meskipun
memiliki pertambahan tinggi tanaman yang nyata lebih rendah (4,02 cm)
dibandingkan dengan perlakuan P1, namun perlakuan P3 memiliki pertambahan
tinggi tanaman yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P2 (2,37
cm) dan P4 (2,67 cm). Tingginya pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan P1
dan P3 disebabkan pada perlakuan tersebut umur tanaman kakao lebih rendah
(5 – 7 bulan) dibandingkan dengan P2 dan P4, sehingga masih memungkinkan
mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pucuk tanaman. Adapun
pada perlakuan P2 dan P4 dengan umur tanaman kakao 25 – 27 bulan, pengukuran
tinggi tanaman dilakukan hanya sampai percabangan pertama, sehingga
pertambahan tinggi tanaman relatif kecil. Sebagaimana diketahui bahwa bagian
tanaman yang menghasilkan sel-sel baru yang mengakibatkan suatu tanaman
bertambah tinggi adalah maristem pucuk (Gardner et al., 1985).
Perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap pertambahan
diameter tajuk, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter
86
batang dan tinggi tanaman (Tabel 20). Perlakuan T3 memiliki pertambahan
diameter tajuk yang nyata lebih tinggi (47,03 cm) dibandingkan dengan perlakuan
tindakan konservasi T1 dan T2 (39,87 cm dan 42,75 cm). Jika dilihat kadar hara
dan C-organik tanah pada Tabel 17, perlakuan T3 memiliki kadar hara N, P, K,
dan C-organik yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan T1 dan T2,
sehingga diduga hal ini menyebabkan pertambahan diameter tajuk tanaman kakao
pada perlakuan T3 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain,
meskipun belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan
diameter batang dan tinggi tanaman.
Pertumbuhan dan hasil padi gogo dan kedelai
Variabel pertumbuhan tanaman semusim yang diamati adalah anakan
produktif padi gogo. Keadaan tanaman padi gogo sejak fase vegetatif sampai fase
generatif keluarnya malai menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang
cukup baik, namun setelah memasuki fase pengisian biji, terjadi serangan hama
burung pipit yang sulit dihindari karena serangan terjadi menjelang malam hari.
Karena hasil yang dicapai cukup rendah atau tidak sesuai dengan potensi
produksi, sehingga dilakukan estimasi. Berdasarkan pengamatan langsung di
lapangan, kerusakan yang terjadi sangat berat dan menyebabkan kehilangan hasil
yang cukup tinggi (rata-rata sekitar 75%). Jika diberikan skor berdasarkan
kerusakan akibat burung pipit dalam Sistem Standar Evaluasi untuk Padi (Standar
Evaluation Sistem for Rice atau SES) (IRRI, 1996), maka kerusakan yang terjadi
masuk ke dalam skor 9 dengan tingkat kerusakan 26 – 100%.
Data pengamatan anakan produktif padi gogo, hasil padi gogo dan kedelai
pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel Lampiran 22. Analisis ragam
disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 28. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan umur tanaman/kemiringan berpengaruh
nyata terhadap hasil kedelai, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap anakan
produktif dan hasil padi gogo, sedangkan perlakuan tindakan konservasi tidak
berpengaruh nyata terhadap hasil kedelai tetapi berpengaruh nyata terhadap
anakan produktif dan hasil padi gogo. Rata-rata anakan produktif padi gogo, hasil
87
kedelai, dan hasil padi gogo dengan uji lanjut DMRT (P < 0,05) disajikan pada
Tabel 21.
Tabel 21. Anakan produktif padi gogo, hasil kedelai, dan hasil padi gogo pada
berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan dan perlakuan tindakan konservasi
Perlakuan Anakan
produktif padi gogo (buah)
Kedelai (ton ha-1)*
Padi gogo (ton ha-1)*
Umur kakao / kemiringan
5 – 7 bulan / 10 – 15% (P1) 25 – 27 bulan / 10 – 15% (P2)5 – 7 bulan / 40 – 45% (P3)25 – 27 bulan / 40 – 45% (P4)
Tindakan konservasi
Kakao + Gulma (T1)Kakao + p. gogo - kedelai (T2)Kakao + p. gogo - kedelai + strip A. pintoi (T3)
Interaksi
11,33a 10,50a 10,67a 10,50a
- 10,00b 11,50a
tn
1,50a 1,39ba 1,24bc 1,16c
- 1,26a 1,39a
tn
1,73a 1,62a 1,64a 1,53a
- 1,49b 1,77a
tn Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji DMRT 0,05 tn = interaksi tidak berpengaruh nyata pada taraf uji F 0,05 * = bobot kering panen
Rata-rata anakan produktif dan hasil padi gogo pada Tabel 21 tidak
berbeda nyata pada perlakuan umur tanaman/kemiringan, namun tidak demikian
halnya dengan hasil kedelai. Perlakuan P1 memberikan hasil kedelai nyata lebih
tinggi (1,50 ton ha-1) dibandingkan dengan perlakuan P3 (1,24 ton ha-1) dan P4
(1,16 ton ha-1). Tingginya hasil yang diperoleh pada perlakuan P1 disebabkan
pada perlakuan tersebut penutupan tajuk kakao relatif rendah, yakni rata-rata 5%
(Tabel Lampiran 16), sehingga proses fotosintesis tanaman kedelai tidak
terhambat oleh naungan tajuk kakao. Adapun hasil padi gogo yang tidak berbeda
nyata pada perlakuan umur tanaman/kemiringan, diduga karena varietas yang
digunakan (situ bagendit) merupakan varietas yang agak tahan naungan
(komunikasi personal dengan staf peneliti BPTP Sultra), sehingga hasil yang
diperoleh tidak berbeda nyata pada penutupan tajuk kakao yang berbeda.
Rata-rata anakan produktif dan hasil padi gogo pada Tabel 21 berbeda
nyata pada perlakuan tindakan konservasi, tetapi terhadap hasil kedelai tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlakuan T3 memiliki rata-rata anakan
88
produktif dan hasil padi gogo yang nyata lebih tinggi (11,50 buah dan 1,77 ton ha-1)
dibandingkan dengan perlakuan T2 (10 buah dan 1,49 ton ha-1). Tingginya hasil
yang diperoleh pada perlakuan T3 disebabkan kadar hara tanah yang lebih tinggi
(Tabel 17) dengan sifat fisik yang lebih baik (Tabel 7 dan 8) dibandingkan dengan
perlakuan T2. Adapun hasil kedelai yang tidak berbeda nyata pada perlakuan
tindakan konservasi, diduga karena tanaman kedelai dapat menambat nitrogen
dari udara, sehingga kebutuhan nitrogen terutama untuk pertumbuhan vegetatif
pada semua perlakuan tercukupi. Dengan demikian, peranan strip tanaman
A. pintoi dalam menambat nitrogen dari udara pada perlakuan T3 tidak
menyebabkan adanya perbedaan hasil yang diperoleh karena tanaman kedelai
yang ditanam pada perlakuan T2 meskipun tanpa strip tanaman A. pintoi tetap
dapat menambat nitrogen dari udara.
Hasil kedelai yang diperoleh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-
rata hasil yang diperoleh petani (1 ton ha-1). Rendahnya hasil pada tingkat petani
disebabkan pemeliharaan yang kurang memadai dan kebanyakan petani tidak
melakukan pemupukan dalam proses produksinya, terutama fosfat dan kalium.
Analisis neraca air untuk penentuan pola tanam
Analisis neraca air dilakukan untuk mengetahui ketersediaan air untuk
tanaman sehingga dapat ditentukan pola tanam yang tepat. Ketersediaan air
ditentukan berdasarkan pada CH lebih besar dari evapotranspirasi tanaman (CH >
ETc). CH yang digunakan adalah CH efektif (Tabel Lampiran 24), yaitu jumlah
CH setelah dikurangi dengan banyaknya CH yang mengalir sebagai AP (rata-rata
CH yang mengalir sebagai AP di lokasi penelitian adalah 20 %). Ketika CH >
ETc, maka jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman pada setiap fase
pertumbuhannya akan terpenuhi (surplus). Sebaliknya jika CH < ETc, maka
jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman pada setiap fase pertumbuhannya tidak
terpenuhi (defisit). Perhitungan ketersediaan air untuk tanaman padi gogo dan
kedelai dilakukan berdasarkan tatabuku Thornwaite dan Mather (1975) melalui
pengisian tabel dengan satuan tinggi kolom air dalam mm (Tabel Lampiran 25
dan 26). Berdasarkan data pada Tabel Lampiran 25 dan 26, dapat digambarkan
89
periode surplus dan defisit air untuk tanaman padi gogo dan kedelai sebagaimana
disajikan pada Gambar 19 dan 20.
Gambar 19. Surplus dan defisit air untuk tanaman padi gogo Ketersediaan air untuk tanaman padi gogo (Gambar 19) mulai terjadi pada
November dekade ketiga – Juli dekade pertama, kecuali pada Mei dekade kedua
dan Juni dekade ketiga terjadi defisit (periode surplus selama 7 bulan).
Selanjutnya, mulai Juli dekade kedua – November dekade kedua terjadi defisit air
untuk tanaman padi gogo (periode defisit selama 5 bulan). Surplus terjadi ketika
curah hujan melebihi jumlah air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
evapotranspirasi tanaman. Hal ini berimplikasi terhadap peningkatan stock air
tanah yang ditunjukkan oleh tidak adanya penurunan kadar air tanah (ΔKAT = 0)
sebagaimana disajikan pada Tabel Lampiran 25, dan akhirnya terjadi surplus atau
tersedianya air untuk pertumbuhan tanaman padi gogo. Sebaliknya, defisit terjadi
ketika jumlah curah hujan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
evapotranspirasi tanaman, sehingga tanaman akan memanfaatkan stock air tanah
yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar air tanah. Dengan demikian, akan
terjadi defisit atau kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi
tanaman. Besarnya defisit yang terjadi merupakan selisih antara nilai
evapotranspirasi tanaman (ETc) dengan nilai Evapotranspirasi aktual (ETA)
(Tabel Lampiran 25).
-20-10
01020304050
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des.
Bulan dan dekade
Surp
lus d
an d
efisi
t unt
u p
adi g
ogo
(mm
)Surplus dan defisit
90
Gambar 20. Surplus dan defisit air untuk tanaman kedelai Hasil analisis neraca air yang dasjikan pada Gambar 20 menunjukkan
bahwa surplus untuk tanaman kedelai terjadi mulai November dekade kedua –
Agustus dekade ketiga, kecuali pada Juni dekade ketiga terjadi defisit.
Selanjutnya, mulai September dekade pertama – November dekade pertama
terjadi defisit, kecuali pada Oktober dekade kedua terjadu surplus (periode surplus
selama 9 bulan 2 dekade dan defisit selama 2 bulan 1 dekade). Dibandingkan
dengan periode ketersediaan air untuk padi gogo, periode ketersediaan air untuk
tanaman kedelai lebih lama 2 bulan 2 dekade. Hal ini disebabkan kebutuhan air
untuk memenuhi evapotranspirasi tanaman kedelai lebih rendah dibandingkan
dengan tanaman padi gogo yang ditunjukkan oleh nilai Kc tanaman kedelai yang
lebih rendah (Tabel Lampiran 7).
Berdasarkan data ketersediaan air (Tabel Lampiran 25 dan 26) dan
erosivitas hujan atau EI30 bulanan (Tabel Lampiran 12) dapat dilakukan penentuan
pola dengan mempertimbangkan segala hal yang berhubungan dengan kadar air
dan kemampuan hujan untuk menyebabkan erosi. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah waktu pengolahan tanah yang tepat supaya tidak terjadi pengangkutan
tanah yang tinggi melalui erosi, waktu tanam yang tepat supaya tidak terjadi
kelebihan air pada saat perkecambahan benih yang dapat menyebabkan kecambah
rusak, dan panen tidak dilakukan pada saat terjadi curah hujan yang tinggi.
Adapun periode ketersediaan air dan alternatif pola tanam untuk tanaman padi
gogo dan kedelai disajikan pada Gambar 21 dan 22.
-200
20406080
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Juni Juli Agust.Sept. Okt. Nov. Des.
Bulan dan dekade
Surp
lus d
an d
efisi
t air
untu
kede
lai (
mm
)
Surplus dan defisit
91
Padi gogo
Bulan dan dekadeJan. Feb. Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des.
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
S/Da
S -b S D S D S D -b -b S Jumlah
S/D (mm)
4 16 22 31 43 3 0 2 27 11 5 18 20 10 1 9 9 12 7 14 2 5 1 2 3 1 1 0,2 0,1 0,1 0 0 12 6 29 1
Kedelai Bulan dan dekade
Jan. Feb. Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des. 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
S/D
S D S D S D S Jumlah
S/D (mm)
24 35 48 50 62 4 6 9 51 33 21 35 38 12 17 10 10 12 27 1 15 6 11 5 5 16 8 3 9 3 0,3 5 36 30 44 0,4
Ket: a = Surplus/defisit b = tidak terjadi surplus maupun defisit dengan nilai surplus dan defisit sama dengan 0 (nol) Gambar 21. Surplus dan defisit air untuk padi gogo dan kedelai Alternatif pola tanam dan EI30
Bulan dan Dekade Nov. Des. Jan. Feb. Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt.
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Alternatif I
Pers. lahan Padi gogo
Sebar mulsa jerami
Kedelai Kedelai Bera
EI30 63,8 96,7 102,5 91,5 86,8 82,.9 58,2 58,5 50,3 22,8 5,5 35,2 Bulan dan Dekade
Alternatif II
Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bera Pers. lahan Padi gogo Kedelai Kedelai Bera
EI30 35,2 63,8 96,7 102,5 91,5 86,8 82,.9 58,2 58,5 50,3 22,8 5,5 Gambar 22. Pola tanam alternatif pada lokasi penelitian
Gambar 21 menunjukkan periode surplus dan defisit yang disertai jumlah
surplus dan defisit pada setiap dekade. Khusus dekade kedua Maret dan dekade
pertama - kedua November, tidak terjadi surplus maupun defisit yang ditunjukkan
oleh jumlah S/D sama dengan 0 (nol). Ketika terjadi defisit air, tidak dilakukan
penanaman atau lahan diistirahatkan (bera) untuk menghindari terjadinya
kegagalan panen akibat kekeringan. Oleh karena itu, penentuan pola tanam
didasarkan pada waktu terjadinya surplus dan defisit air untuk masing-masing
tanaman.
92
Alternatif pola tanam yang pertama pada Gambar 22 adalah penanaman padi gogo pada November dekade ketiga - Maret dekade kedua, kemudian penanaman kedelai dua kali berturut-turut pada April dekade pertama - Oktober dekade kedua. Adapun persiapan lahan untuk penanaman padi gogo dilakukan pada November dekade pertama dan kedua ketika tidak terjadi surplus dan defisit dengan EI30 yang cukup rendah (63,8). Hal ini dilakukan untuk (i) menghindari kehilangan tanah yang tinggi oleh erosi akibat pembongkaran tanah pada saat persiapan lahan, (ii) supaya pada saat nilai EI30 meningkat (102,5) pada bulan Januari, persentase penutupan tajuk padi gogo sudah cukup tinggi, dan (iii) supaya fase pematangan dan panen padi gogo dilakukan pada saat jumlah surplus cukup rendah sehingga dicapai kualitas hasil padi gogo yang tinggi. Selanjutnya setelah panen padi gogo, karena jumlah surplus untuk kedelai masih cukup tinggi (51 mm) sehingga periode Maret dekade ketiga dimanfaatkan untuk menyebar mulsa jerami, dan penanaman kedelai dilakukan pada dekade berikutnya (April dekade pertama) yang mana jumlah surplus sudah lebih rendah (33 mm) untuk menghindari pembusukan kecambah kedelai akibat kadar air tanah yang tinggi.
Alternatif pola tanam yang pertama masih berpeluang menyebabkan erosi karena penutupan tajuk padi gogo belum maksimal (umur padi gogo 40 hari) pada EI30 yang tinggi di bulan Januari, demikian pula dapat menyebabkan rendahnya hasil kedelai pada penanaman kedelai yang kedua akibat defisit air sebelum pengisian polong maksimal (umur kedelai dua bulan) (Gambar 22). Oleh karena itu, dibuat alternatif pola tanam yang kedua dengan memajukan waktu tanam padi gogo pada November dekade pertama – Februari dekade ketiga, dilanjutkan dengan dua kali penanaman kedelai (Maret dekade pertama – September dekade kedua), meskipun persiapan lahan dilakukan pada kondisi defisit air. Dengan demikian, baik pada alternatif pola tanam yang pertama maupun pada alternatif pola tanam yang kedua, penanaman dapat dilakukan tiga kali setahun.
Analisis usahatani
Sistem pengelolaan tanaman yang berbeda akan berpengaruh terhadap
tingkat kelayakan suatu usahatani. Analisis usahatani dilakukan untuk
menentukan layak atau tidak layak usahatani tersebut dilakukan. Dalam
penelitian ini, analisis usahatani dilakukan menggunakan rata-rata produksi padi
gogo dan kedelai yang diperoleh pada perlakuan tindakan konservasi T2 dan T3
93
tanpa membedakan perlakuan umur tanaman/kemiringan (Tabel Lampiran 29).
Menurut Soekartawi (2002), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam
analisis usahatani dan standar hidup layak, yaitu (a) penerimaan usahatani yang
merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, (b) biaya
usahatani yang merupakan nilai semua masukan atau keluaran yang dipakai dalam
satu musim tanam selama proses produksi, dan (c) pendapatan usahatani yang
merupakan selisih total penerimaan terhadap total pengeluaran dalam suatu
usahatani. Dalam hal ini pengeluaran biaya tenaga kerja juga diperhitungkan
dengan asumsi bahwa anggota keluarga petani adalah pekerja usahatani yang
harus diberi upah. Hasil analisis usahatani disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Hasil analisis usahatani padi gogo dan kedelai sebagai tanaman sela di
antara tanaman kakao pada lahan berlereng
Perlakuan Penerimaan usahatani
Biaya usahatani
Pendapatan usahatani
Standar KHL minimum
T2 T3
-------------------------Rp. ha-1---------------------------- 9.280.000 10.490.000
3.975.000 4.560.000
5.305.000 5.930.000
8.100.000
Hasil analsis usahatani pada Tabel 22 menunjukkan bahwa sistem
pengelolaan tanaman yang mengintegrasikan tanaman semusim (padi gogo dan
kedelai) sebagai tanaman sela pada pertanaman kakao muda memberikan
pendapatan yang lebih rendah dari standar KHL minimum. Hal ini dibuktikan
oleh pendapatan bersih yang diterima petani pada perlakuan T2 dan T3 masing-
masing sebesar Rp. 5.305.000 dan Rp. 5.930.000 per ha per KK per tahun, yang
mana nilai tersebut lebih rendah dari standar KHL (Rp.8.100.000). Namun
demikian, jika pengusahaan tanaman tersebut dilakukan pada skala yang lebih
luas (misalnya 2 ha per KK), maka pendapatan usahatani dapat melebihi standar
KHL minimum, sehingga layak diterapkan oleh petani. Kelayakan sistem ini juga
ditunjukkan pada hasil analisis B/C ratio pada Tabel Lampiran 30. Berdasarkan
hasil analisis yang diperoleh, B/C ratio pada perlakuan T2 dan T3 masing-masing
2,33 dan 2,30. Ini menunjukkan bahwa usahatani yang mengintegrasikan tanaman
semusim (padi gogo dan kedelai) sebagai tanaman sela pada pertanaman kakao
muda cukup menguntungkan.
94
Pembahasan Umum
Perlakuan tindakan konservasi yang diterapkan dimaksudkan untuk
mengendalikan AP dan erosi serta memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
Pengendalian erosi tanah dan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah dilakukan
dengan peningkatan penutupan permukaan tanah oleh tajuk tanaman, dan
penanaman strip tanaman searah kontur yang dimaksudkan untuk menghambat
laju AP dan erosi. Erosi tanah oleh AP merupakan suatu proses yang terdiri dari
tiga tahapan, yaitu (i) penghancuran permukaan tanah oleh butir-butir hujan,
(ii) pengangkutan partikel tanah oleh AP, dan (iii) pengendapan sedimen di daerah
cekungan atau terbawa pada laut lepas. Apabila proses erosi berlangsung terus
dengan nilai erosi di atas nilai TSL, maka solum tanah akan semakin menipis
dengan sifat fisik, kimia, dan biologi yang semakin memburuk dan pada akhirnya
tidak mampu lagi mendukung produksi tanaman yang menguntungkan. Oleh
karena itu, diperlukan suatu tindakan konservasi tanah yang dapat mengendalikan
erosi tanah sampai ≤ TSL. Dalam hal ini, kondisi tanah dan iklim setempat sangat
berpengaruh terhadap keefektifan suatu tindakan konservasi sehingga keputusan
adopsi suatu tindakan konservasi sebaiknya disesuaikan dengan kondisi tanah dan
iklim pada daerah yang akan diberi perlakuan tindakan konservasi tersebut atau
dengan kata lain penerapan teknologi spesifik lokasi.
Perlakuan tindakan konservasi T1 dengan gulma dibiarkan tumbuh
menutup permukaan tanah pada gawangan kakao, nyata lebih efektif dalam
mengendalikan AP dan erosi tanah (masing-masing 2715,44 m3 ha-1 th-1 dan 12,95
ton ha-1 th-1). Erosi yang rendah pada perlakuan T1 sesuai dengan hasil penelitian
Hafif et al. (1992) pada tanah Typic Kandiudox lereng 8-15% di Jambi, bahwa
permukaan tanah yang dipertahankan tertutup mucuna dan mulsa sisa panen
memiliki erosi 3,8 kali lebih rendah dan AP 1,2 kali lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa penutup tanah dan mulsa. Kondisi ini menunjukkan pentingnya
melindungi permukaan tanah dari tumbukan langsung air hujan, karena tetesan
hujan menghancurkan permukaan tanah menjadi butiran-butiran kecil yang
sebagian langsung terangkut bersama AP dan sebagian akan mengisi pori-pori
tanah sehingga menghambat infiltrasi.
95
Perlakuan T1 dengan gulma dibiarkan tumbuh pada gawangan kakao nyata
meningkatkan indeks stabilitas agregat pada perlakuan P2 yang memiliki
penutupan tajuk kakao yang nyata lebih tinggi (rata-rata 36%) pada kemiringan
yang lebih rendah (10 – 15%) dibandingkan dengan perlakuan tindakan
konservasi dengan penanaman tanaman semusim di antara tanaman kakao, baik
tanpa strip A. pintoi (T2) maupun dengan strip A. pintoi (T3) dengan indeks
stabilitas agregat perlakuan kombinasi P2T1 adalah 116,74. Indeks stabilitas
agregat yang nyata lebih tinggi pada perlakuan kombinasi P2T1 tidak terlepas dari
agregasi yang baik dari perakaran, baik perakaran gulma maupun perakaran
tanaman kakao yang sudah berumur lebih dari dua tahun, demikian pula karena
sumbangan bahan organik dari tanaman tersebut. Disamping itu, kemiringan yang
lebih rendah (10 – 15%) memungkinkan erosi yang lebih rendah (Tabel 3)
sehingga lapisan atas tanah yang memiliki sifat fisik yang baik tetap terpelihara.
Peranan bahan organik terhadap stabiltias agregat ditunjukkan oleh hasil
penelitian Schjonning et al. (2002), bahwa tanah-tanah yang dikelola secara
organik dalam jangka waktu yang lama memiliki stabilitas agregat yang nyata
lebih tinggi (rata-rata 87) dibandingkan dengan tanpa pengelolaan secara organik
(rata-rata 68). Menurut Suriadikarta (2002), bahan organik memiliki muatan-
muatan yang dapat menyatukan butiran primer menjadi butiran sekunder, dan
getah-getah berupa polisakarida sebagai hasil sekresi jazad renik berperan sebagai
perekat organik yang menyatukan dan mengikat butiran sekunder satu sama lain,
dan selanjutnya butiran sekunder yang lebih besar dipersatukan oleh benang-
benang kapang atau akar-akar halus sehingga terbentuk struktur tanah remah dan
stabil. Dalam kaitannya dengan pengolahan tanah, pada tanah yang memiliki
struktur tanah yang gembur, tidak diperlukan pengolahan intensif untuk
menghindari tingginya kehilangan tanah oleh erosi.
Pengolahan tanah yang dilakukan pada saat persiapan penanaman tanaman
padi gogo dan rendahnya penutupan permukaan tanah pada fase awal
pertumbuhan tanaman tersebut menyebabkan erosi yang terjadi pada perlakuan
tindakan konservasi T2 dan T3 (masing-masing 21,76 ton ha-1 th-1 dan 31,18 ton
ha-1 th-1) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan T1. Erosi yang terjadi pada fase
awal pertumbuhan tanaman padi gogo lebih tinggi dibandingkan dengan erosi
96
yang terjadi pada fase awal pertumbuhan tanaman kedelai. Hal ini terjadi karena
pengolahan tanah tidak dilakukan pada saat persiapan penanaman tanaman kedelai
mengingat BD tanah masih memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman kedelai
yang baik (rata-rata 1,05 g cm-3), dan adanya pengembalian jerami padi gogo yang
digunakan sebagai mulsa pada saat penanaman kedelai. Sebagaimana hasil
penelitian Liu et al. (2001), bahwa perlakuan dengan penanaman searah kontur
tanpa pengolahan tanah memberikan erosi 1,7 kali lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan penanaman searah kontur dengan pengolahan tanah.
Selanjutnya hasil penelitian Suwardjo et al. (1989) pada lereng 14% menunjukkan
bahwa perlakuan dengan mulsa dan olah tanah minimum memberikan erosi 9 kali
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa yang dilakukan
pengolahan tanah. Selain mulsa, strip tanaman searah kontur dapat menghambat
laju AP sehingga mengurangi jumlah tanah yang terangkut bersama AP.
Erosi dan AP pada perlakuan tindakan konservasi T3 nyata lebih rendah
(masing-masing 3674,88 m3 ha-1 th-1 dan 21,76 ton ha-1 th-1) dibandingkan dengan
perlakuan T2, dan erosi pada perlakuan T3 juga lebih rendah dibandingkan dengan
TSL (22,44 ton ha-1 th-1) Hal tersebut disebabkan oleh adanya strip tanaman
A. pintoi pada perlakuan T3 yang berperan menghambat laju AP. Laju AP yang
rendah memberi kesempatan untuk air dapat terinfiltrasi ke dalam tanah, demikian
pula daya gerus AP terhadap partikel tanah menjadi berkurang. Peranan strip
tanaman dalam menghambat laju AP permukaan dan erosi juga ditunjukkan oleh
penelitian Udawatta et al. (2002), bahwa strip rumput jenis legum yang ditanam
searah kontur memiliki erosi 1,1 kali lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
agroforestri tanpa strip tanaman searah kontur. Adapun pengertian pertanaman
strip menurut Santoso (2004) adalah pertanaman berlajur yang mana penanaman
dua jenis tanaman atau lebih di dalam strip-strip secara berselang-seling antara
tanaman pokok dan tanaman penutup tanah yang diterapkan pada lahan berlereng
15 - 40%.
Erosi tanah yang rendah akan memberikan nilai faktor C yang rendah,
demikian pula sebaliknya dengan erosi yang tinggi maka nilai faktor C menjadi
tinggi. Hal ini berarti bahwa nilai erosi berkorelasi positif dengan nilai faktor C.
Dalam penelitian ini, perlakuan tindakan konservasi T1 memiliki nilai erosi yang
97
nyata lebih rendah sehingga nilai faktor C pada perlakuan tersebut juga nyata
lebih rendah (0,25) dibandingkan dengan perlakuan yang lain, sebaliknya
perlakuan tindakan konservasi T2 dengan nilai erosi yang nyata lebih tinggi juga
memiliki nilai faktor C yang nyata lebih tinggi (0,55) dibandingkan dengan
perlakuan T1 dan T3. Rendahnya nilai faktor C pada perlakuan T1 disebabkan
rendahnya persentase tanah terbuka atau tingginya penutupan tanah oleh gulma
dan tajuk tanaman, stabilitas agregat yang nyata lebih tinggi (Tabel 8), dan
jaringan akar halus yang banyak dari gulma-gulma yang dibiarkan tumbuh
menutup permukaan tanah. Sebagaimana dikemukakan oleh Kadaroesman (1995)
bahwa terdapat enam subfaktor yang mempengaruhi nilai faktor C, yaitu
(i) persentase tanah yang terbuka, (ii) persentase dan tinggi penutupan tajuk
tanaman, (iii) rekonsolidasi tanah, (iv) kadar bahan organik, (v) jaringan akar
halus, dan (vi) pengikatan sisa tanaman.
Nilai faktor C yang nyata lebih tinggi pada perlakuan T2 dan T3
dibandingkan dengan perlakuan T1, terutama disebabkan oleh penanaman
tanaman semusim yang mana dilakukan pengolahan tanah pada saat persiapan
penanaman. Selain itu, penutupan tajuk yang rendah pada fase awal pertumbuhan
tanaman semusim juga memicu meningkatnya nilai C. Fenomena ini didukung
oleh hasil penelitian Wardoyo (1994) bahwa rata-rata nilai faktor CP pada petak
erosi dengan tanaman semusim di antara tanaman tebu 1,3 kali lebih tinggi
dibandingkan nilai faktor CP pada petak erosi dengan tanaman tebu tanpa
tanaman semusim. Tingginya nilai faktor C dengan adanya integrasi tanaman
semusim dapat diturunkan dengan perlakuan tindakan konservasi menggunakan
strip tanaman searah kontur. Terbukti dari nilai faktor C perlakuan tindakan
konservasi T3 yang diperoleh pada penelitian ini, lebih rendah dibandingkan
perlakuan T2.
Nilai faktor C suatu jenis tanaman diperlukan untuk prediksi erosi
skala petak. Model prediksi erosi skala petak yang sudah banyak digunakan di
Indonesia adalah Universal Soil Loss Equation (USLE), yang mana nilai faktor C
merupakan salah satu komponen penyusun model tersebut. Agar tidak terjadi
degradasi lahan oleh erosi akibat penggunaan lahan untuk suatu tanaman tertentu,
maka dalam perencanaan penggunaan lahan pertanian perlu dilakukan prediksi
98
erosi untuk menentukan pilihan tindakan konservasi yang tepat. Dengan
memasukkan nilai-nilai faktor erosi termasuk di dalamnya nilai faktor C, dapat
diperhitungkan apakah teknik pengendalian erosi yang akan diterapkan cukup
efektif atau tidak dengan cara membandingkan nilai erosi yang diperoleh dengan
nilai TSL. Hasil perbandingan antara erosi terprediksi dengan TSL menjadi acuan
untuk menilai efektif atau tidak efektif tindakan konservasi yang akan diterapkan.
Apabila nilai erosi terprediksi masih lebih tinggi dari TSL, maka perlu dianalisis
faktor erosi mana yang masih berpeluang untuk dikurangi pengaruhnya melalui
perbaikan tindakan konservasi. Dalam hal ini, nilai faktor pengelolaan tanaman
(nilai faktor C) berpeluang besar untuk dilakukan perubahan. Oleh karena itu,
diperlukan banyak penelitian terhadap berbagai teknik konservasi tanah dan air
yang menghasilkan data mengenai nilai faktor C agar tersedia banyak pilihan
pengelolaan tanaman untuk menentukan cara pengelolaan mana yang paling
efektif mengurangi erosi.
Erosi dan AP permukaan yang nyata lebih rendah pada perlakuan tindakan
konservasi T1 dibandingkan dengan T2 dan T3, menyebabkan jumlah hara N, P, K,
dan C-organik yang terangkut bersama erosi dan AP pada perlakuan tersebut juga
nyata lebih rendah. Semakin tinggi AP dan erosi maka akan semakin banyak hara
yang terangkut dari pertanaman. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
kesuburan tanah, dan pemupukan yang dilakukan juga menjadi tidak efisien.
Dalam penelitian ini, kehilangan hara dan C-organik yang nyata lebih tinggi
melalui sedimen dan AP terdapat pada perlakuan T2 yang memiliki AP dan erosi
yang juga nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Sebaliknya perlakuan T1 memiliki kehilangan hara yang nyata lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan T2 dan T3. Kehilangan hara dan C-organik yang
nyata lebih tinggi pada perlakuan T2 dibandingkan dengan T1, selain disebabkan
oleh AP dan erosi yang nyata lebih tinggi pada perlakuan T2 (Tabel 3), juga
karena ada residu pupuk yang bersumber dari pemupukan tanaman semusim
seperti perlakuan T3. Besarnya jumlah hara yang terangkut bersama erosi juga
ditunjukkan pada penelitian Suganda et al. (1997) pada pertanaman sayuran jenis
tanah Hapludand di Cipanas, bahwa pada bedengan searah kontur dengan erosi
sebesar 40,50 ton ha-1 terjadi kehilangan hara 146 kg N ha-1, 58 kg P2O5 ha-1, dan
99
13 kg K2O ha-1, sementara pada bedengan searah lereng dengan erosi 65,10 ton
ha-1 memiliki kehilangan hara 241 kg N ha-1, 80 kg P2O5 ha-1, dan 18 kg K2O ha-1
Kehilangan hara yang terjadi menyebabkan terjadinya penurunan
kesuburan tanah. Jika diperhatikan hasil analisis kadar hara dan C-organik tanah
pada awal penelitian (Tabel Lampiran 1) dan hasil analisis kadar hara dan
C-organik tanah pada akhir penelitian (Tabel 17), nampak bahwa pada semua
perlakuan mulai terjadi penurunan kesuburan tanah, terutama perlakuan tindakan
konservasi T1. Namun demikian, perlakuan tindakan konservasi T3 nampaknya
lebih memberikan harapan untuk dapat mempertahankan kesuburan tanah, yang
mana perubahan kadar hara dan C-organik tanah pada akhir penelitian jauh lebih
kecil dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 17).
Perlakuan tindakan konservasi T3 yang memiliki erosi dan nilai faktor C
serta kehilangan hara yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan T1, ternyata
memiliki sifat fisik dan kimia tanah yang lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan T1 dan T2. Perbaikan terhadap sifat fisik tanah pada perlakuan T3
diperankan oleh tiga faktor, yaitu (i) pembenaman bahan organik pada piringan
kakao yang bersumber dari hasil pangkasan A. pintoi, (ii) penutupan tanah oleh
tanaman semusim dan mulsa jerami padi gogo, dan (iii) penghambatan AP dan
erosi oleh strip tanaman A. pintoi. Pembenaman bahan organik ke dalam tanah
mencegah pengangkutan bahan organik yang tinggi melalui AP dan erosi
sehingga kadar bahan organik tanah meningkat. Hal ini akan berimplikasi
terhadap penurunan BD tanah dan meningkatnya jumlah air yang terinfiltrasi ke
dalam tanah dengan meningkatnya porositas. BD pada perlakuan T3 (1,001 g cm-3)
nyata lebih rendah dibandingkan dengan T1 dan T2. Sesuai dengan hasil
penelitian Indrawati (1998), bahwa pembenaman kompos/bahan organik pada
tanah regosol Mojosari terbukti mengurangi bobot isi tanah rata-rata 30% di
lapisan permukaan dan 16% di lapisan 20-45cm. Semakin rendah bobot isi tanah,
maka volume pori semakin tinggi sehingga kemampuan tanah menginfiltrasikan
air semakin tinggi. Namun demikian, kapasitas infiltrasi konstan yang diperoleh
dalam penelitian ini belum menunjukkan perbedaa yang nyata, demikian pula
terhadap sifat fisik tanah yang lain, yakni kemampuan tanah memegang air pada
berbagai pF dan distribusi ukuran pori.
100
Perbaikan sifat tanah pada perlakuan T3, tidak hanya menyangkut sifat
fisik tanah, tetapi juga terhadap sifat kimia tanah. Jika dilihat dari hasil analisis
terhadap tekstur tanah, perlakuan T3 memiliki persentase liat yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan T1 dan T2, namun KTK pada perlakuan T3 nyata lebih
tinggi (18,44 me 100g-1) dibandingkan dengan perlakuan T1 (14,05 me 100g-1)
dan T2 (13,94 me 100g-1). Kemungkinan hal ini juga disebabkan oleh kadar bahan
organik yang relatif tinggi pada perlakuan tersebut (2,0%). Sebagaimana
diketahui bahwa bahan organik memiliki kemampuan pertukaran kation dan anion
yang sangat tinggi, yang mana ionisasi gugus fungsional asam organik yang
menyusun bahan organik menghasilkan sumber muatan negatif yang banyak
sehingga memiliki kemampuan retensi dan pertukaran kation yang tinggi. Hasil
penelitian Nursyamsi et al. (1995) menunjukkan bahwa pemberian pupuk
kandang 10 ton ha-1 dan pupuk hijau setaria sp. 5 ton ha-1 meningkatkan kadar
C-organik, N-organik, dan KTK tanah.
Perlakuan T3 meskipun memiliki sifat fisik dan kimia yang lebih baik dan
berbeda tidak nyata dengan T1, tetapi erosi yang dihasilkan pada perlakuan T3
masih lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan T1. Hal ini kemungkinan
disebabkan penutupan gulma yang dipertahankan sepanjang waktu pada
gawangan kakao lebih efektif menghambat AP dan erosi dibandingkan dengan
strip tanaman A. pintoi. Selain itu, tindakan pembenaman hasil pangkasan
A. pintoi disekeliling piringan kakao juga dapat meningkatkan erosi tanah pada
perlakuan tersebut. Namun demikian, erosi pada perlakuan T3 masih berada di
bawah nilai TSL. Hal ini berarti bahwa kehilangan tanah pada perlakuan T3
masih dapat diimbangi oleh pembentukan tanah, sehingga erosi yang terjadi pada
perlakuan tersebut tidak sampai menyebabkan terjadinya degradasi tanah akibat
erosi. Oleh karena itu, meskipun perlakuan tindakan konservasi T3 memiliki erosi
yang nyata lebih tinggi dari pada perlakuan tindakan konservasi T1, tetapi dengan
adanya tambahan pendapatan petani yang bersumber dari tanaman semusim, maka
tindakan pengelolaan konservasi T3 lebih disarankan dibandingkan dengan
perlakuan T1.
Erosi dan AP yang mengangkut sejumlah hara dan bahan organik dari
pertanaman, demikian pula sifat fisik dan kimia tanah sangat berpengaruh
101
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Tetapi dalam penelitian ini,
perbaikan sifat fisik dan kimia tanah oleh perlakuan tindakan konservasi T3 belum
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kakao, kecuali
diameter tajuk (Tabel 20). Adapun terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
semusim, perlakuan tindakan konservasi berpengaruh nyata terhadap anakan
produktif dan hasil padi gogo, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil
kedelai. Namun demikian, hasil padi gogo dan kedelai yang diperoleh pada
perlakuan tindakan konservasi T2 dan T3 (Tabel 21), berdasarkan hasil analisis
usahatani (Tabel 22) dapat memberikan tambahan pendapatan kepada petani
meskipun belum memenuhi standar kebutuhan untuk dapat hidup layak minimum.
Hal ini disebabkan pengusahaan tanaman dilakukan pada luasan yang sempit
(1 ha).
Pendapatan usahatani tanaman semusim yang diterima oleh petani sesuai
dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar Rp. 5.305.000 per
hektar pada perlakuan T2 dan Rp. 5.930.000 per hektar pada perlakuan T3 (Tabel
22). Pendapatan tersebut lebih rendah dari pada standar Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) minimum (Rp. 8.100.000), sehingga dapat disimpulkan bahwa penanaman
tanaman padi gogo dan kedelai di antara tanaman kakao dengan perlakuan T2 dan
T3 belum dapat memberikan penghidupan yang layak secara minimum kepada
petani. Namun demikian, untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp. 5.930.000
pada perlakuan T3, erosi yang terjadi lebih rendah dari nilai TSL, sehingga
penanaman tanaman padi gogo dan kedelai dapat berlanjut sampai kanopi kakao
saling menutup. Dengan demikian, perlakuan T3 merupakan alternatif terbaik
yang dapat diterapkan oleh petani, karena selain dapat menekan erosi sampai di
bawah TSL, juga dapat memberikan tambahan pendapatan kepada petani sampai
tanaman kakao berproduksi.
102
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Perlakuan tindakan konservasi pada lahan kakao dengan gulma dibiarkan
tumbuh pada gawangan kakao muda menimbulkan aliran permukaan dan
erosi yang nyata lebih rendah (aliran permukaan 2715,44 m3 ha-1 th-1 dan erosi
12,95 ton ha-1 th-1) dari pada perlakuan tindakan konservasi dengan
penanaman padi gogo dan kedelai yang disertai strip tanaman A. pintoi,
namun tidak memberikan tambahan pendapatan kepada petani.
2. Perlakuan tindakan konservasi dengan penanaman padi gogo dan kedelai di
antara tanaman kakao muda yang disertai strip tanaman A. pintoi
menimbulkan erosi yang lebih rendah (21,76 ton ha-1 th-1) dari pada nilai erosi
yang diperbolehkan (22,44 ton ha-1 th-1), dan meningkatkan pertambahan
diameter tajuk kakao, anakan produktif dan hasil padi gogo serta memberikan
tambahan pendapatan kepada petani yang bersumber dari tanaman padi gogo
dan kedelai.
3. Kualitas sifat fisik dan kimia tanah pada perlakuan tindakan konservasi
dengan penanaman padi gogo dan kedelai di antara tanaman kakao yang
disertai strip tanaman A. pintoi pada umumnya lebih baik dibandingkan
dengan tanpa strip tanaman A. pintoi dan perlakuan gulma yang dibiarkan
tumbuh pada gawangan kakao.
4. Tanaman kakao muda (5 - 7 bulan dan 25 - 27 bulan) pada lahan dengan
kemiringan 10 - 15% menimbulkan erosi yang lebih rendah (15,99 ton ha-1 th-1
dan 19,77 ton ha-1 th-1) dari pada nilai erosi yang diperbolehkan, sedangkan
pada lahan dengan kemiringan 40 – 45% menimbulkan erosi lebih besar dari
pada nilai erosi yang diperbolehkan.
103
5. Nilai faktor C tanaman kakao umur 25 – 27 bulan nyata lebih rendah (0,37)
dibandingkan dengan umur tanaman kakao 5 – 7 bulan (0,43), dan perlakuan
tindakan konservasi dengan gulma dibiarkan tumbuh pada gawangan kakao
memberikan nilai faktor C tanaman kakao yang nyata lebih rendah (0,25)
dibandingkan perlakuan tindakan konservasi dengan penanaman tanaman padi
gogo dan kedelai yang disertai strip tanaman A. pintoi (0,39) dan tanpa strip
A. pintoi (0,55).
6. Tidak terdapat pengaruh interaksi yang nyata antara perlakuan tindakan
konservasi dengan perlakuan umur tanaman kakao/kemiringan terhadap aliran
permukaan dan erosi serta sifat fisik dan kimia tanah, kecuali terhadap indeks
stabilitas agregat dan kehilangan hara N melalui aliran permukaan. Perlakuan
tindakan konservasi secara umum menurunkan kehilangan N pada perlakuan
umur tanaman kakao 5 – 7 bulan dan 25 – 27 bulan pada lahan dengan
kemiringan 10 – 15%.
7. Perlakuan tindakan konservasi dengan penanaman padi gogo dan kedelai di
antara tanaman kakao muda yang disertai strip tanaman A. pintoi merupakan
alternatif terbaik yang dapat diterapkan oleh petani.
Saran
1. Dalam penelitian ini belum dilakukan kajian sosial ekonomi untuk
mengetahui respon petani terhadap tindakan konservasi yang diterapkan di
lokasi penelitian, sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya lebih
menekankan pada aspek sosial ekonomi
2. Penelitian berbagai tindakan konservasi selanjutnya disarankan lebih
diarahkan pada kemiringan 40-45%.
3. Usaha peningkatan bahan organik tanah dengan pembenaman hasil pangkasan
A. pintoi perlu dikaji lebih lanjut untuk mempelajari apakah hasil pangkasan
tersebut perlu dibenamkan atau hanya disebar di atas permukaan tanah guna
menghindari terangkutnya partikel-partikel tanah dari agregat yang hancur
pada proses pembenaman.
4. Nilai faktor C yang diperoleh pada penelitian ini perlu diteliti lebih lanjut
untuk dapat digunakan dalam prediksi erosi dengan USLE.
104
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Razak. 2006. Kakao Indonesia siap geser Pantai Gading. WWW.Nafed.go.id. Badan Pengembangan Ekspor Nasional, 09/05/2006
Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola
tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian semusim. Pem. Penelitian Tanah dan Pupuk, 4: 41 – 46
______________. dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan
berlereng. Hal. 103 – 145 dalam Teknologi pengelolaan lahan kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Anonim. 1996. Sulawesi Tenggara dalam angka. BPS Sultra ______. 2001. Potensi lahan kering di Indonesia (http://www.deptan.go.id/luas
lahan _kering_2001.html ______. 2005. Inventarisasi dan penelitian pengelolaan tanah: Laporan tahunan
2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor Baharudin, D. Sahara, S. Ruku, R. Supendy, M. Syafaruddin, dan Sahardi. 2002.
Pengkajian peningkatan produktivitas lahan pertanaman kakao melalui diversifikasi komoditas pada agroekologi lahan kering iklim basah. BPTP Sultra, Kendari
Barzegar, A.R., M.A. Asoodar, A. Khadish, A.M. Hashemi, S.J. Herbert. 2003.
Soil physical characteristics and chickpea yield responses to tillage treatments. Soil & Tillage Research, 71: 49 - 57
Bharati, L., K.H. Lee, T.M. Isenhart, R.C. Schlutz. 2002. Soil-water infiltration
under crops, pasture, and established riparian buffer in Midwestern. Agroforestry System, 56: 249 – 257
Bols, P.L. 1978. The iso-erodent map of Java and Madura. Report Belgian
Technical Assistance Project ATA 105-Soil Research Institut, Bogor, Indonesia
Box, J.E., Jr. and R. Russel Bruce. 1996. The effect of surface cover on
infiltration and soil erosion. 107 to 123p in Soil Erosion, Conservation, and Rehabilitation. Marcel Dekker Inc. Printed in the United State of Amerika
105
Bremner, J.M. 1965. Inorganic forms of nitrogen. p.1179-1237. In: Methods of soil analysis, part 2, C.A black (ed-in-chief). Agronomy series No.9. Am. Soc. Agronomy, Inc., Publ., Madison, WI.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1982. The Nature and Properties of Soils.
Macmillan, New York. Craswel, E.T., J.V. Remeji, L.G. Nallana. 1984. Soil Erosion Management.
Australian Centre For International Agriculture Research Dariah, A. 2004. Tingkat erosi dan kualitas tanah pada lahan usahatani berbasis
kopi di Sumberjaya Lampung Barat. Disertasi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Donahue, R.L., R.W. Miller, J.C. Shicklune. 1983. Soil. An Introduction.
Englewood Cliffs, Prentice-Hall, New Jersey Elrashidi, M.A., M.D. Mays, A. Fares, J.L. Harder, D. Schroeder, S.D. Peaslee,
C.A. Seybold, and Pam VanNestle. 2005a. Loss of nitrate-nitrogen by runoff and leaching for agricultural watersheds. Soil Sci. 170 (12): 969 – 984
_______________________, J.L. Harder, D. Schroeder, P. Brakhage, S.D.
Peaslee, C.A. Seybold, and C. Schaecher. 2005b. Loss of phosphorus by runoff for agricultural watersheds. Soil Sci. 170 (7): 543 - 558
Erfandi, D., I P.G. Widjaja-Adhi, dan M. Ramli. 1993. Pengelolaan sistem
usahatani lahan masam tropika basah. Hlm. 17-28 dalam Prosiding pertemuan teknis penelitian tanah dan agroklimat. Bogor, 18-21 Februari 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor
Foth, H.D. 1990. Fundamentals of Soil Science. John Wiley, New York Gachene, C.K.K., J.P. Mbuvi, N.J. Jarvis, and H. Linner. 1998. Maize yield
reduction due to erosion in a high potential area of Central Kenya highlands. African Crop Science Journal, 6(1): 29 – 37
Gardner, F.P., R. Brent Pearce, and Roger L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop
Plants. The Iowa State University Press Hafid, N. 2001. Aliran permukaan dan erosi tanah pada sistem pertanaman
kentang dan kubis rakyat di Malino. Tesis Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Hafif, B., D. Santoso, M. Suharjo, dan I G. P. Wigena. 1992. Beberapa cara
pengolahan tanah untuk pengendalian erosi. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk. 10: 54 - 60
106
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S. Nugroho, R. Saul, M.A. Diha, Go Bang Hong, dan H.H. Balley. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Universitas Lampung, Lampung
Hammer, W.I. 1981. Second soil conservation consultant report.
AGOF/INS/78/006. Tech. Note No. 10. Center for Soil Research, Bogor, Indonesia
Haridjaja, O. 1996. Pemanfaatan bahan organik dalam menunjang pembangunan
pertanian lahan kering yang berwawasan lingkungan. Makalah disajikan pada Konferensi Nasional III PSL. Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan Indonesia (BKPSL) Denpasar, 22 – 24 Oktober 1996
__________. 2005. Pentingnya konservasi sumberdaya lahan. Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Save Our Land For The Better Environment”. HMIT-IPB, Bogor, 10 Desember 2005
Harmsen, G.W., and G.J. Kolenbrander. 1965. Soil inorganic nitrogen. p.43-92.
In: Soil nitrogen, W.V. Bartholomew and F.E Clark (eds). Agronomy series No. 10. Am.Soc.Agronomy, Inc. Publ., Madison, WI.
Hazairin Zubair. 1988. Pengaruh berbagai tegakan vegetasi terhadap redistribusi
curah hujan. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Henny, H. 1995. Efektivitas sistem penanaman dalam strip mengendalikan aliran
permukaan dan erosi pada usahatani lahan kering. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Hillel, D. 1980a. Fundamental of Soil Physics. Academic Press, Inc. London _______. 1980b. Application of Soil Physics. Academic Press, Inc. London Horton, R.E. 1940. An approach toward a physical interpretation of infiltration-
capacity. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 5: 399 - 417
Indrawati. 1998. Pengelolaan lengas tanah dalam usahatani lahan kering. Hlm.
179 -186 dalam Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Buku 2. HITI, KOMDA Jawa Timur 1998.
International Rice Research Institute (IRRI). 1996. Standard Evaluation System
for Rice. Manila, Philippines Jaya, A. 1994. Dinamika aliran permukaan, erosi, serta kehilangan hara dalam
aliran permukaan pada daerah tangkap Citere, Pengalengan. Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
107
Kadaroesman Achlil, M.E. 1995. Lahan kritis. BTP DAS Surakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan
Kartasapoetro, G., A.G. Kartasapoetro, M.M. Sutedjo. 1989. Teknologi
Konservasi Tanah dan Air. Bina Aksara. Jakarta Liu, G., M.J. Lindstrom, X. Zhang, Y. Li, and J. Zhang. 2001. Conservation
management effects on soil erosion in the Sichuan Basin,China. J. of Soil and Water Conservation, 56(2): 144 – 147
Marwan, H.M. 1985. Pengaruh pengelolaan tanaman dan pemakaian bahan
organik terhadap erosi. Disertasi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Nursyamsi, D., D. Sopandi, D. Erfandi, Sholeh, I P.G. Widjaja-Adhi. 1995.
Penggunaan bahan organik, pupuk P dan K untuk meningkatkan produktivitas tanah podsolik (Typic Kandiudults). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Nomor:2 Tahun 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
Odhiambo, H.O., C.K. Ong, J.D. Deands, J. Wilson, A.A.H. Khan, J.I. Sprent.
2001. Roots, soil water and crop yield: tree crop interactions in a Semi-Arid Agroforestry System in Kenya. Plant and Soil, 235: 221 – 233
Olness, A. and D. Archer. 2005. Effect of organic carbon on available water in
soil. Soil Sci. Am .J. 170 (2): 101 – 107
Pandey, C.B., A.K. Singh, D.K. Sharma. 2000. Soil properties under Acacia
nilotica trees in a traditional agroforestry system in Central India. Agroforestry system, 49: 53 – 61
Pramiyadi, W.H. 1983. Peta iso – eroden pulau Sulawesi. Skripsi Jurusan Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Rachim, D.A. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Jurusan tanah, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Sahardi, M. 2000. Studi karakteristik anatomi dan morfologi serta pewarisan sifat toleransi terhadap naungan pada padi gogo (Oryza sativa L.). Disertasi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Sajogyo dan Sajogyo, P. 1990. Sosiologi Pedesaan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta
108
Santoso, D., J. Purnomo, IG.P. Wigena, dan Enggis Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi tanah vegetatif. Hal. 77 – 108 dalam Teknologi konservasi tanah pada lahan berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
Schjonning, P., S. Elmholt, L.J. Munkholm, K. Debosz. 2002. Soil quality aspects of humid sandy loams as influenced by organic and conventional long-term management. agriculture, Ecosystems and Environment, 88: 195 – 214
Schroth, G., W.G. Teixeira, R. Seixas, L.F. da Silva, M. Schaller, J.L.V. Macedo,
W. Zech. 2000. Effect of five tree crops and a cover crop in multi-strata agroforestry at two fertilization levels on soil fertility and soil solution chemistry in Central Amazonia. Plant and Soil, 221: 143 – 156
_________, J. Lehmann, M.R.L. Rodrigues, E. Barros, J.L.V. Macedo. 2001.
Plant-soil interaction in multistrata agroforestry in the humid tropics. Agroforestry System, 53: 85 – 102
Shukle, M.K. and R. Lal. 2005. Erosional effect on soil physical properties in an on-farm study on alfisols in west Central Ohio. Soil Sci. Am. J. 170 (6): 445 - 456
Singer, M.J., N.M. Donald. 1987. Soils, An Introduction. Macmillan, New York
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Stevenson, F.J. 1986. Sycles of Soil, Carbon, Nitrogen, Phosphorus, Sulfur,
Micronutrients. John Wiley & Sons, Inc., New York, NY.
____________. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. 2nd ed.
John Wiley & Sons, Inc., New York, NY.
Subagyo, T., S. Mangoensoekarjo. 1993. Pendayagunaan lahan alang-alang
(Imperata cylindrical L. Raeuschel) untuk tanaman perkebunan. Hal 113 – 123 dalam Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usahatani berkelanjutan. Departemen Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
Subagyono, K., U. Haryati, S.H. Tala’ohu. 2004. Teknologi konservasi air pada
lahan kering. Hal. 151 – 158 dalam Teknologi konservasi tanah pada lahan berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
109
Suganda, H., M.S. Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi, dan produksi sayuran pada andisol. J. Tanah dan Iklim, 15: 38 – 50
Sunanto, H. 1992. Coklat: Budidaya, Pengelolaan Hasil, dan Aspek Ekonominya.
Kanisius, Yogyakarta Suriadikarta, D.A., Tini Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2002.
Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. Hal. 183 – 238 dalam Teknologi pengelolaan lahan kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
Sutono, S., M.S. Djunaedi, D. Erfandi, U. Kurnia. 2005. Pengangkutan hara oleh
erosi, aliran permukaan, perkolasi, dan tanaman cabai rawit. Hal. 97 – 121 dalam Prosiding seminar nasional inovasi teknologi sumberdaya tanah dan iklim, 14 – 15 September 2004. Departemen Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah an Agroklimat, Bogor
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The use of crop residu
mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk, 8: 31 - 37
Tan, K.H. 1982. Principles of Soil Chemistry. Marchel Dekker, Inc., 270
Medison Avenue, New York, NY. _________. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker, Inc., New York.
NY. _________. 1996. Soil Sampling, Preparation, and Analysis. Marcel Dekker, Inc.
United State of America Thornthwaite, C.W. and J.R. Mather. 1975. Instruction and tables for computing
potential evapotranspiration and water balance. Punli. In Clim. Vol. X No. 3. Cerlperton, New Jersey, 311p
Thornthwaite, C.W. 1948. An approach toward a rational classification of
climate. Geograph. Rev., 38: 55 - 94 Truman, C.C., and R.G. Williams. 2001. Effect of peanut cropping practices and
canopy cover conditions on runoff and sediment yield. J. Soil and Water Conservation, 56(2): 152 – 159
Udawatta, R.P., J.J. Krstansky, G.S. Henderson, H.E. Garrent. 2002.
Agroforestry practices, runoff, and nutrient loss: A paired watershed comparison. J. Environ. Q., 31: 1214 – 122
110
Utomo, W.H. 1989. Konservasi Tanah di Indonesia. Suatu Rekanan dan Analisa. Rajawali Press, Jakarta
Van Genuchten, M. 1980. A close form equation for predicting conductivity of
unsaturated soil. Soil Sci. Soc. Am .J. 45: 892 - 898
Wahab, A., M. Sjafaruddin, Sahardi. 2002. Status bahan organik tanah pada
perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Hal. 451 – 459 dalam Prosiding seminar nasional BPTP Sultra, Kendari 6 – 7 Agustus 2002
Wardoyo. 1994. Pengaruh tanaman tebu lahan kering terhadap erosi di Dayu-
Karanganyer. J. Pengelolaan DAS, 1(1): 16 - 23 Weesies, G.A., S.J. Livingston, W.D. Hosteter, and D.L. Schters. 1994. Effect of
soil erosion on crop yield in Indiana: Result of a 10 year study. J. Soil and Water Cons. 49 (6): 597 - 600
Wibawa, G. 1994. Pola tanam padi gogo, jagung, dan tanaman lainnya sebagai
tanaman sela karet muda. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Pertanian Jambi, Makalah 30: 27p
Wischmeier, W.H., D.D Smith. 1965. Predicting rainfall erosion losses – A guide
to conservation planning. USDA, Agricultural Handbook, No. 282, pp 41
Wischmeier, W.H., D.D Smith. 1978. Predicting rainfall erosion losses – A guide
to conservation planning. USDA, Agricultural Handbook, No. 537, pp 58
Yahya, S., K. Indrasuara. 2000. Pemanfaatan legum penutup tanah dan seresah
kakao untuk meningkatkan efisiensi pemberian OST pada pembibitan kakao. J. Comm. Ag. 5(2): 53 – 60
Zuzel, J.F. and J.L. Pikul, JR. 1993. Effect of straw mulch on runoff and erosion
from small agricultural plots in Northeastern Oregon. Soil Sci. 156 (4): 111 - 117
111
Tabel Lampiran 1. Data sifat fisik dan kimia profil tanah pada awal penelitian
Profil Hori- zon
Kedala-man tanah
(cm)
Pasir Liat C-org. N tot. P2O5 K2O KTK KB pH H2O
BD
------- % ------- mg 100g-1 me 100g-1 %
g cm-3 1
(kem
iring
an
15%
, um
ur k
akao
25
– 2
7 bu
lan)
Ap
AB
Bt1
Bt2
BC
0 – 17
17 – 43
43 – 67
67 – 90
90 - 112
61,92
20,50
12,77
11,59
12,18
17,67
19,19
33,29
43,77
38,72
2,19
1,09
0,64
0,45
0,23
0,21
0,10
0,07
0,05
0,05
57,30
41,17
31,97
26,70
29,54
16,25
14,18
14,99
11,42
9,48
14,33
13,47
15,23
16,18
14,04
32,83
27,89
33,18
29,27
20,21
5,1
5,3
5,5
5,4
5,3
1,035
1,135
1,244
1,331
1,427
2 (k
emiri
ngan
45%
, um
ur k
akao
5 –
7
bula
n)
A
Bt1
Bt2
BC
0 – 17
17 – 37
37 – 72
72 - 105
24,31
13,06
10,50
10,02
21,52
37,74
40,45
34,93
2,23
0,93
0,42
0,20
0,23
0,11
0,04
0,05
56,32
45,07
29,56
25,33
16,35
14,86
20,81
9,94
15,77
15,38
17,27
13,18
32,97
28,24
30,11
19,15
5,0
5,2
5,4
5,1
1,022
1,272
1,342
1,387
Tabel Lampiran 2. Data curah hujan stasiun Kendari (1998 - 2007)
Bulan Tahun Rata-rata1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Januari 56 116 121 899 95 137 0 143 101 174 184,2Februari 31 268 35 896 56 177 134 191 314 151 225,3Maret 18 188 29 383 66 175 130 451 138 210 177,8April 139 68 110 183 76 226 284 305 183 159 173,2Mei 65 95 105 118 66 239 128 182 182 248 141,8Juni 17 148 0 286 63 97 165 64 65 359 123,3Juli 50 104 0 74 65 154 77 129 240 193 106,6Agustus 0 198 0 93 0 100 5 68 168 167 77,7September 0 41 0 21 60 8 1 8 18 57 19,4Oktober 0 80 0 64 63 49 5 250 68 - 54,7November 51 83 0 20 40 415 38 272 80 - 99,9Desember 123 78 366 30 71 407 152 233 113 - 157,2Total 551 1464 766 3055 631 2184 1119 2255 1668 1720 1541,2Rata-rata 46 122 64 255 53 182 93 188 139 191 133,2
Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kendari
112
Tabel Lampiran 3. Deskripsi profil pewakil (profil 1) pada kemiringan 15% dengan umur tanaman kakao 25 – 27 bulan
Tempat pengamatan : Desa Amosilu, Kec. Besulutu, Kab. Konawe Klassifikasi : Tipik Hapludult, halus, aktif, isohipertermik Landform : Teras angkatan Bentuk wilayah : Bergelombang Lereng : 15% Bahan induk : Batuan sedimen Drainase : Agak baik Permeabilitas : Agak lambat
No. Lapisan
Horison Kedalaman (cm)
Uraian
I
II
III
IV
V
Ap
AB
Bt1
Bt2
BC
0 – 17
17 – 43
43 – 67
67 – 90
90 – 110
Coklat gelap (10YR 3/4); nyata, bergelombang; lempung berpasir; gumpal bersudut, lemah, sedang; agak lekat dan agak palstis (basah), gembur (lembab), lunak (kering); perakaran halus dan sedang banyak, perakaran kasar sedikit; rekasi tanah masam (pH 5,1) Cokelat (10YR 4/6); nyata, rata; lempung berdebu; gumpal bersudut, kuat, sedang; agak lekat dan agak plastis (basah), agak teguh (lembab), agak keras (kering); perakaran halus dan sedang cukup, perakaran kasar sangat sedikit; reaksi tanah masam (pH 5,3) Cokelat kekuningan (10YR 5/8); nyata, rata; lempung liat berdebu; gumpal membulat; kuat, sedang; lekat dan plastis (basah), teguh (lembab), keras (kering); perakaran halus sedikit; reaksi tanah agak masam (pH 5,5) Cokelat terang kekuningan (10YR 6/8); berangsur, tidak rata; liat; gumpal membulat; lekat dan plastis (basah), teguh (lembab), sangat keras (kering); perakaran halus sedikit; reaksi tanah agak masam (5,4) Cokelat terang kekuningan (10YR 6/8); berangsur, tidak teratur; lempung liat berdebu; gumpal membulat; sangat lekat dan plastis (basah), teguh (lembab), sangat keras (kering); reaksi tanah agak masam (5,3)
Catatan: Epipedon : okrik Sub horizon : argilik Terdapat plintit ± 1%
113
Tabel Lampiran 4. Deskripsi profil pewakil (profil 2) pada kemiringan 45% dengan umur tanaman kakao 5 – 7 bulan
Tempat pengamatan : Desa Amosilu, Kec. Besulutu, Kab. Konawe Klassifikasi : Tipik Hapludult, halus, aktif, isohipertermik Landform : Teras angkatan Bentuk wilayah : Berbukit Lereng : 45% Bahan induk : Batuan sedimen Drainase : Agak baik Permeabilitas : Agak lambat
No. Lapisan
Horison Kedalaman (cm)
Uraian
I
II
III
IV
A
Bt1
Bt2
BC
0 – 17
17 – 47
47 – 72
72 – 105
Cokelat (10YR 4/6); jelas, rata; lempung; gumpalbersudut; lemah, sedang; agak lekat dan agak plastis (basah), Agak teguh (lembab), lunak (kering); perakaran halus dan sedang banyak, perakaran kasar cukup; reaksi tanah masam (5,0) Cokelat kekuningan (10YR 5/8); nyata, rata; lempung liat berdebu; gumpal bersudut; kuat, sedang; agak lekat dan agak plastis (basah), teguh (lembab), sangat keras (kering); perakaran halus dan sedang cukup, perakaran kasar sedikit; reaksi tanah agak masam (5,2) Cokelat terang kekuningan (10YR 6/8); nyata, bergelombang; lempung berdebu; gumpal membulat; kuat, sedang; lekat dan plastis (basah), agak teguh (lembab), keras (kering); perakaran halus dan sedang sedikit; reaksi tanah agak masam (5,4) Cokelat terang kekuningan (10YR 6/8); berangsur, tidak teratur; lempung liat berdebu; gumpal membulat; sangat lekat dan plastis (basah), teguh (lembab), keras (kering); reaksi tanah agak masam (5,1)
Catatan: Epipedon : okrik Sub horizon : argilik
114
Tabel Lampiran 5. Deskripsi varietas padi gogo (situ bagendit)
Nomor seleksi : S4325D-1-2-3-1 Asal persilangan : Batur/2*S2823-7D-8-1-A Golongan : Care Umur tanaman : 110 – 120 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 99 – 105 cm Anakan produktif : 12 – 13 batang Warna kaki : Hijau Warna batang : Hijau Warna telinga daun : Warna putih Warna lidah daun : Warna putih Warna daun : Hijau Muka daun : Kasar Posisi daun : Tegak Daun bendera : Tegak Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang Kerebahan : Sedang Tekstur nasi : Pulen Kadar amilosa : 22% Bobot 1000 butir : 27,5 g Rata-rata hasil : 4,0 ton ha-1 pada lahan kering 5,5 ton ha-1 pada lahan basah Potensi hasil : 6,0 ton ha-1 Ketahanan terhadap penyakit : Agak tahan terhadap blas Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain III&IV Pemulia : Z.A. Simanulang, Aan A. Darajat, Ismail BP., dan N. Yunani Tim peneliti : Mukelar Amr, Atito D., Y. Samaullah Teknisi : Meru, U. Suanang, Karmita, dan Sukarno Dilepas : Tahun 2003 Sumber: Perbenihan padi varietas unggul (kebun percobaan BPTP di Wawotobi)
115
Tabel Lampiran 6. Deskripsi varietas kedelai (Wilis)
Asal persilangan : Darvos dan Orba
Umur tanaman : 88 – 100 hari
Potensi hasil : 1,5 – 2,5 ton ha-1
Ketahanan terhadap penyakit : Toleran terhadap karat daun Sumber: Manwan et al. (1996)
Tabel Lampiran 7. Nilai koefisien tanaman (Kc) padi gogo dan kedelai pada setiap fase pertumbuhan No.
Tanaman
Fase pertumbuhan
Awal Vegetatif Generatif Pematangan Total 1 2
Padi gogo Umur (hari) Kc Kedelai Umur (hari)
30 1,10
20 0,45
35 1,10
30 0,45
35 1,25
30 1,05
20 1,10
20 0,45
120
100
Sumber: Doorenbus dan Fruit (1975) Doorenbus dan Kassam (1986) Tabel Lampiran 8. Klasifikasi indeks stabilitas agregat No. Indeks stabilitas Kriteria 1 2 3 4 5 6
> 200 80 – 200 66 – 80 50 – 66 40 – 50
< 40
Sangat stabil sekali Sangat stabil
Stabil Agak stabil
Kurang stabil Tidak stabil
Sumber: Penuntun praktikum fisika tanah
116
Tabel Lampiran 9. Data curah hujan harian lokasi penelitian pada bulan Januari – September 2007
Tanggal Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September ---------------- CH (mm) -----------------
1 13,1 4,4 4,1 11,0 0,0 10,6 0,6 0,0 12,82 28,6 3,8 2,1 0,0 7,5 39,8 17,4 0,0 3,93 16,2 1,3 1,7 9,2 32,6 13,3 0,0 24,3 9,14 0,0 1,7 0,0 0,0 15,5 7,1 0,0 0,0 2,45 3,2 0,0 0,0 5,7 0,0 9,1 24,9 0,0 3,26 26,5 0,0 31,2 1,4 40,6 7,1 0,4 0,0 14,47 16,9 10,5 5,2 2,2 42,2 15,0 22,1 0,0 8,48 5,2 0,0 3,1 0,0 0,0 60,1 1,2 0,0 0,09 0,0 15,7 2,4 0,0 0,0 50,4 1,5 4,7 0,0
10 1,7 3,8 39,6 20,8 0,0 2,9 0,8 17,7 0,011 16,6 15,3 5,2 9,7 1,8 37,1 0,0 15,0 0,012 3,6 2,1 0,0 0,0 2,3 2,1 0,0 22,5 0,013 0,0 1,8 17,3 3,6 1,4 10,7 3,4 18,6 0,014 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 15,3 8,0 15,9 0,015 1,6 20,8 0,0 5,5 0,0 24,8 1,6 0,0 0,016 0,0 19,3 5,8 5,2 0,0 9,7 9,1 0,0 0,017 0,0 4,9 0,0 0,0 3,1 26,5 0,4 14,0 0,018 3,1 9,1 5,3 0,0 3,4 0,0 2,8 16,2 0,019 9,1 16,4 0,0 16,1 5,3 1,0 0,6 0,0 0,020 1,4 6,2 4,2 0,0 0,0 0,4 34,9 1,1 0,021 1,3 1,3 0,0 4,0 0,0 1,3 10,6 3,5 0,022 1,7 1,5 6,0 5,2 0,0 0,7 5,0 1,8 0,023 0,0 2,0 1,3 0,0 32,5 2,0 8,4 3,0 3,324 0,0 0,0 1,4 8,6 2,4 0,0 0,8 8,6 0,025 4,4 0,0 29,6 21,4 2,1 0,0 0,0 0,0 0,026 3,2 0,0 32,0 13,5 1,9 4,8 0,6 0,0 0,027 7,6 4,0 3,2 4,6 27,4 0,0 19,0 0,0 0,028 1,9 5,5 0,0 5,5 17,2 0,0 0,4 0,0 0,029 1,2 9,6 5,0 0,0 2,1 1,6 0,0 0,030 2,1 0,0 1,3 6,2 4,6 17,2 0,0 0,031 3,3 0,0 3,0 0,0 0,0
Jumlah 173,7 151,3 210,4 159,5 248,2 358,6 193,5 166,8 57,5Rata-rata 5,6 5,4 6,8 5,3 8,0 12,0 6,2 5,4 1,9
Tabel Lampiran 10. Nilai EI30 lokasi penelitian pada saat pelaksanaan penelitian
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9Rain 17,37 15,13 21,04 15,95 24,82 35,86 19,35 16,68 5,75Days 17,63 15,75 12,90 13,33 11,65 20,83 20,16 6,32 2,13Max 2,86 2,08 3,96 2,14 4,22 6,01 3,49 2,43 1,44EI30 bulanan 171,18 66,09 152,18 77,35 201,67 288,92 104,27 124,04 43,20R* 1228,90
Ket: * nilai R (indeks erosivitas hujan tahunan) merupakan penjumlahan dari EI30 bulanan (indeks erosivitas hujan bulanan)
117
Tabel Lampiran 11. Rata-rata curah hujan harian stasiun Kendari sepuluh tahun terakhir (1998 – 2007)
Tanggal Bulan Jan. Feb. Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des.
CH (mm) 1 3.2 3.1 7.0 7.2 8.0 3.4 0.6 1.5 0.0 0.0 0.0 3.1 2 4.1 8.7 4.5 11.0 0.0 24.4 0.6 2.8 0.0 0.0 1.4 1.4 3 3.2 10.8 22.1 3.0 4.9 0.8 0.0 3.3 3.6 0.0 2.5 4.3 4 2.7 5.5 2.4 3.8 3.5 2.7 0.7 1.5 0.0 0.0 1.4 35.3 5 7.4 14.5 2.3 0.0 4.6 1.1 4.4 1.5 0.0 4.2 0.0 2.9 6 2.9 5.4 0.0 2.7 8.2 0.9 2.6 6.0 0.0 3.1 1.4 3.7 7 10.7 2.4 1.3 15.4 3.7 2.4 2.0 1.2 1.4 1.1 5.9 0.0 8 9.0 4.8 1.5 1.5 7.2 5.8 3.6 1.3 0.0 0.0 0.0 3.6 9 4.3 13.9 0.0 3.5 19.9 1.6 8.4 0.0 1.8 1.3 4.3 3.8
10 2.7 7.3 3.7 7.2 1.0 2.8 23.1 1.8 0.0 2.9 1.6 4.0 11 21.2 2.1 7.3 3.2 1.4 5.6 0.6 0.0 1.1 0.0 3.6 0.0 12 4.5 4.5 17.3 1.3 2.1 3.6 1.4 0.0 0.8 0.0 0.0 7.8 13 0.0 7.5 2.9 3.0 3.6 2.2 0.8 1.4 0.0 1.2 10.2 32.5 14 4.3 10.5 1.8 2.2 1.3 11.2 0.8 1.3 0.0 2.0 1.3 1.7 15 5.9 0.0 3.5 22.4 0.0 1.9 3.2 1.2 0.0 0.0 1.8 7.2 16 3.4 8.5 2.4 1.2 1.5 0.9 0.0 7.1 1.6 2.3 1.3 5.8 17 5.4 23.3 2.5 2.4 3.2 5.6 2.0 9.8 0.0 0.0 2.1 7.7 18 5.8 15.6 4.3 3.3 14.2 6.5 4.1 1.6 0.0 22.8 1.6 3.1 19 8.8 14.8 3.1 2.2 1.3 10.0 1.3 2.0 0.7 1.3 1.6 3.8 20 4.9 4.6 5.8 0.0 1.6 1.4 1.4 2.6 0.8 0.0 1.5 2.4 21 5.8 1.7 3.8 3.1 4.4 2.7 4.7 0.0 0.0 2.4 5.2 3.9 22 5.3 7.9 4.3 1.9 1.9 2.0 1.2 5.2 0.0 0.0 1.6 1.8 23 30.6 1.8 5.9 2.0 1.4 2.7 13.8 1.2 0.0 0.0 2.8 2.4 24 10.4 13.4 27.5 29.7 2.7 3.7 1.9 0.0 3.4 0.0 2.0 2.0 25 5.1 5.4 3.1 4.3 0.0 0.8 1.6 0.0 0.8 9.2 0.0 3.9 26 7.8 2.9 4.5 2.8 11.8 3.3 0.7 1.3 0.0 0.0 4.7 13.1 27 0.0 1.8 3.3 3.4 4.1 0.8 1.0 3.1 0.0 0.0 7.1 2.0 28 7.1 7.5 9.7 4.6 2.2 0.8 0.0 7.7 0.0 1.5 31.2 0.0 29 4.3 5.0 5.3 2.5 0.0 1.5 2.1 0.0 1.3 3.5 1.4 30 11.9 7.7 1.5 4.2 0.0 5.6 0.0 0.0 0.0 4.0 1.5 31 0.0 4.2 1.9 1.3 3.2 2.4 2.6 2.9
Jumlah 202.5 210.3 174.5 154.9 128.1 111.5 94.5 71.5 18.1 58.9 105.1 168.8 Rata-rata 6.5 7.5 5.6 5.2 4.1 3.7 3.0 2.3 0.6 1.9 3.5 5.4
Tabel Lampiran 12. Nilai EI30 bulanan Bulan Jan. Feb. Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des. RAIN 20.25 21.03 17.45 15.49 12.81 11.16 9.45 7.15 1.81 5.89 10.51 16.88DAYS 25.29 26.04 27.13 26.13 25.29 26.13 26.13 19.2 3.23 7.26 20.83 25.29MAXP 3.06 2.34 2.75 2.98 1.99 2.44 2.31 0.77 0.36 2.28 3.12 3.53
EI30 102.5 91.47 86.79 82.92 58.16 58.52 50.26 22.84 5.523 35.18 63.76 96.66
118
Tabel Lampiran 13. Perhitungan nilai Tolerable Soil Loos (TSL)
Diketahui:
• Kedalaman efektif: 110 cm
• Sub order: udult
• Nilai faktor kedalaman 0,8 (Tabel Lampiran 5)
• Kedalaman ekivalen 1100 mm x 0,8 = 880
• Umur guna tanah: 400 th (waktu yang cukup untuk memelihara kelestarian
tanah
• Bulk Density: 1,02 Mg m-3
Penyelasaian:
= 2,2 x 10-3 m th-1
Untuk menentukan besarnya nilai erosi yang diperbolehkan per hektar per tahun,
maka nilai TSL dikali dengan luas tanah per hektar kemudian dikali dengan nilai
Bulk Density tanah sebagai berikut:
2,2 x 10-3 m x 10.000 m2 x 1,02 Mg m-3 = 22,44 Mg ha-1 th-1
= 22,44 ton ha-1 th-1
Jadi besarnya nilai erosi yang masih dapat dibiarkan pada lokasi penelitian
adalah 22,44 ton ha-1 th-1
ahgunaumurekivalenKedalamanTSLtan
=
12,2400880 −== thmmTSL
119
Tabel Lampiran 14. Nilai faktor kedalaman tanah 30 sub order tanah (Hammer, 1981)
Taksonomi tanah (sub order)
Harkat kemerosotan sifat fisik dan kimia
Nilai faktor kedalaman tanah
Fisik Kimia Aqualf*) Udalf*) Ustalf Aquent Arent Fluvent*) Orthent Psamment Andept*) Aquept*) Tropept Alboll Aquoll Rendoll Udoll Ustoll Aquox Humox Orthox*) Ustox Aquod Ferrod Humod Orthod Aquult Humult Udult Ustult Udert Ustert
S S S S R R R R R R R T S S
R R R R R R R R R R S R S S R R
R R R R R R R R R S R S R R R R T R T T T S R S T R T T R R
0,90 0,90 0,90 0,90 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,95 1,00 0,75 0,90 0,90 1,00 1,00 0,90 1,00 0,90 0,90 0,90 0,95 1,00 0,95 0,80 1,00 0,80 0,80 1,00 1,00
Keterangan: *) berdasarkan deskripsi penuh profil tanah dan data laboratorium - Tanah-tanah dalam suatu sub order mempunyai keragaman yang besar. Penilaian ini adalah untuk tanah-
tanah yang umum terdapat di Indonesia saja
120
Tabel Lampiran 15. Erosi tanah pada setiap pengamatan (ton ha-1) P1 P2 P3 P4 T1 T2 T3 8Des 1,67 1,15 2,48 1,97 1,53 1,93 1,62 8Des 1,02 2,00 2,06 2,25 1,11 1,48 1,59 8Des 1,89 1,78 2,59 2,10 1,19 1,84 1,86 18Des 1,10 1,50 2,38 1,24 1,68 2,28 1,88 18Des 1,55 1,09 1,13 1,32 1,14 1,69 1,62 18Des 1,10 1,21 1,24 1,45 1,52 2,04 1,64 11Januari 1,99 1,75 2,59 2,22 1,24 2,84 2,51 11Januari 1,97 1,84 2,61 2,17 1,18 2,48 2,53 11Januari 1,59 1,67 2,71 2,15 0,94 2,33 2,37 27Januari 1,74 1,95 2,31 2,09 1,42 2,72 2,43 27Januari 1,66 1,45 2,42 1,97 1,27 2,45 2,42 27Januari 1,28 1,44 2,59 2,00 1,35 2,42 2,02 17Februari 1,55 1,30 2,71 2,24 1,21 2,57 2,05 17Februari 1,50 1,21 1,98 2,05 0,95 2,22 2,15 17Februari 1,65 1,18 2,63 2,02 1,12 2,62 2,13 21Februari 1,63 1,26 2,40 2,09 1,10 2,44 2,05 21Februari 1,68 1,32 2,31 2,11 1,14 2,62 1,81 21Februari 1,89 1,31 2,54 2,07 1,25 2,67 1,33 18Maret 2,13 1,23 2,32 2,00 1,36 2,62 1,78 18Maret 1,32 1,23 2,13 2,22 1,30 2,38 1,67 18Maret 1,17 1,25 1,95 2,04 1,20 2,05 1,47 14April 1,00 0,89 1,86 0,99 0,91 1,71 0,93 14April 0,88 0,86 1,97 1,14 1,11 1,63 0,90 14April 1,09 0,91 1,71 1,77 0,79 2,08 1,24 15Mei 0,91 0,48 1,55 0,91 0,83 1,26 0,80 15Mei 0,93 0,60 1,41 1,18 0,89 1,42 0,78 15Mei 0,97 0,59 1,43 1,45 0,66 1,60 1,06 29Mei 1,01 0,65 1,40 0,69 0,44 1,55 0,82 29Mei 0,87 0,49 1,04 0,97 0,40 1,49 0,64 29Mei 0,92 0,44 1,42 0,85 0,28 1,63 0,82 7Juni 0,89 0,51 1,19 0,72 0,30 1,39 0,79 7Juni 0,97 0,57 1,63 0,82 0,39 1,60 1,00 7Juni 1,12 0,67 1,13 1,16 0,38 1,72 0,97 11Juni 1,28 0,83 1,59 1,20 0,42 1,99 1,27 11Juni 1,00 0,77 1,16 1,16 0,28 1,89 1,06 11Juni 1,32 0,89 1,34 1,08 0,38 2,08 1,00 18Juni 1,04 0,63 1,46 0,89 0,39 1,74 0,89 18Juni 1,22 0,84 1,45 1,05 0,37 1,93 1,13 18Juni 1,09 0,71 1,33 1,68 0,34 2,01 0,94 8Juli 0,80 0,58 0,98 0,92 0,31 1,48 0,66 8Juli 0,77 0,68 1,06 0,92 0,25 1,57 0,91 8Juli 0,96 0,60 1,37 0,89 0,37 1,63 0,86 21Juli 0,61 0,43 0,80 0,71 0,29 1,13 0,57 21Juli 0,57 0,46 0,80 0,71 0,20 1,04 0,73 21Juli 0,67 0,40 0,86 0,68 0,25 1,13 0,57 4Agustus 0,67 0,33 0,91 0,64 0,22 1,14 0,55 4Agustus 0,56 0,42 0,77 0,79 0,27 1,06 0,58 4Agustus 0,59 0,42 0,74 0,50 0,23 0,91 0,53 15Agustus 0,46 0,34 0,63 0,50 0,18 0,92 0,36 15Agustus 0,37 0,29 0,63 0,45 0,17 0,69 0,40 15Agustus 0,36 0,32 0,38 0,54 0,15 0,69 0,36 7September 0,13 0,08 0,14 0,18 0,07 0,25 0,07 7September 0,12 0,08 0,18 0,12 0,06 0,21 0,10 7September 0,11 0,08 0,20 0,13 0,05 0,24 0,09
121
Tabel Lampiran 27. Rekapitulasi hasil analisis ragam terhadap variabel pengamatan pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan (P) dan perlakuan tindakan konservasi (T)
Peubah
Kuadrat Tengah (KT) Perlakuan Umur tanaman
kakao/kemiringan (P)
Tindakan konservasi
(T)
Interaksi(P*T)
Aliran permukaan (m3 ha-1 th-1) % hujan yang mengalir sebagai AP Erosi (ton ha-1 th-1) Rasio erosi/hasil tanaman kedelai Rasio erosi/hasil tanaman padi gogo Erosi pada setiap pengamatan (ton ha-1 th-1) Nilai faktor C Bulk density Porositas total Indeks stabilitas agregat Kadar air pada pF 1,00 Kadar air pada pF 2,00 Kadar air pada pF 2,54 Kadar air pada pF 4,20 Pori drainase sangat cepat Pori drainase cepat Pori drainase lambat Pori air tersedia Kapasitas infiltrasi konstan Tekstur (Pasir) Tekstur (debu) Tekstur (liat) Kehilangan N total melalui erosi Kehilangan NH3 melalui AP Kehilangan NO3 melalui AP Kehilangan NO2 melalui AP Kehilangan P2O5 melalui erosi Kehilangan PO4 melalui AP Kehilangan K2O melalui erosi Kehilangan K total melalui AP Kehilangan C-organik melalui erosi Kehilangan C-organik melalui AP
9778508,37**286,52**248,94**221,13**
85,86**P1=0,69**; P2=0,76**;P3=1,57**; P4=1,44**;
0,0168**0,0063**
9,04**1984,61**
101,30*37,68tn
89,71*35,53tn
54,68tn
36,22tn
22,77tn
7,33tn
1,23tn
3464,54**2941,39**
46,42tn
9755,47**0,038**
403,61**0,089**63,39**
421,44**17,97**
29520,81**137633,51**
11165911,52**
327,43**998,19**449,89**499,59**T1=0,70**;T2=1,38**;T3=1,32**;0,1336**0,0104**14,81**
4836,63**12,06tn
8,45tn
4,03tn
3,06tn
53,57tn
38,85tn
8,49tn
19,29tn
0,08tn
96,68tn
131,66tn
3,16tn
2155,05**0,033**
620,85**0,044**96,17**
571,09**39,40**
35622,07**289267,38**
178712,53tn
4,94tn
6,61tn
8,73tn
7,01tn
-
-
-
0,0002tn
0,0002tn
0,33tn
579,03**
28,24tn
42,86tn
39,65tn
1,61tn
28,33tn
10,38tn
14,70tn
31,03tn
0,86tn
175,59tn
84,80tn
20,63tn
360,70tn
0,003*61,39**0,017*2,84tn
12,05tn
2,44tn
468,64tn
9380,36tn
Ket: ** = berpengaruh sangat nyata * = berpengaruh nyata tn = tidak berpengaruh nyata
122
Tabel Lampiran 28. Rekapitulasi hasil analisis ragam terhadap variabel pengamatan pada berbagai perlakuan umur tanaman/kemiringan (P) dan perlakuan tindakan konservasi (T)
Peubah
Kuadrat Tengah (KT) Perlakuan Umur tanaman
kakao/kemiringan (P)
Tindakan konservasi
(T)
Interaksi (P*T)
Kadar N total tanah Kadar P2O5 tanah Kadar K2O tanah Kadar C-organik tanah Kadar N total sedimen Kadar P2O5 sedimen Kadar K2O sedimen Kadar C-organik sedimen Kadar N AP Kadar PO4 AP Kadar K total AP Kadar C-organik AP Enrichment rasio N Enrichment rasio P Enrichment rasio K Enrichment rasio C Kapasitas tukar kation (KTK) tanah pH tanah Pertambahan diameter batang kakao Pertambahan diameter tajuk kakao Pertambahan tinggi tanaman kakao Anakan produktif padi gogo Hasil padi gogo Hasil kedelai
0,0044**33,095tn
9,82tn
0,29**0,1181**
303,793**112,69**
0,30tn
0,000054tn
0,286tn
30,74tn
0,0063tn
2,41**0,36*0,24tn
0,026tn
21,95*0,10tn
20,65**1164,82**
13,19**0,94tn
0,04tn
0,14*
0,0107*69,936*71,74**
0,23*0,0108*32,414tn
28,32tn
0,13tn
0,000050*0,260tn
35,58tn
0,0030tn
0,64tn
0,01tn
0,71**0,190tn
79,06**0,04tn
0,07tn
156,04**0,58tn
13,50*0,46*0,10tn
0,0003tn
5,070tn
2,59tn
0,06tn
0,0030tn
34,964tn
22,15tn
0,13tn
0,000066**0,835tn
20,66tn
0,0091tn
0,10tn
0,07tn
0,05tn
0,121tn
2,46tn
0,09tn
0,02tn
8,55tn
0,47tn
0,28tn
0,01tn
0,03tn
Ket: ** = berpengaruh sangat nyata * = berpengaruh nyata tn = tidak berpengaruh nyata
Tabel Lampiran 29. Hasil analisis usahatani untuk menentukan kelayakan usahatani berdasarkan standar kebutuhan hidup layak minimum
Perlakuan Penerimaan
usahatani Biaya
usahatani Pendapatan usahatani
Standar KHL
T2
T3
-------------------------Rp. ha-1---------------------------- 9.280.000
10.490.000
3.975.000
4.560.000
5.305.000
5.930.000
8.100.000
123
Prosedur perhitungan analisis usahatani a. Penerimaan usahatani
Perlakuan T2 Padi gogo: rata-rata produksi padi gogo 1,49 ton ha-1 musim-1 dengan harga Rp. 2000 per kg. Kedelai: rata-rata produksi 1,26 ton ha-1 musim-1 dengan harga Rp. 5000 per kg. Total penerimaan: (1490 x 2000) + (1260 x 5000) = 2.980.000 + 6.300.000 =
Rp. 9.280.000
Perlakuan T3 Padi gogo: rata-rata produksi padi gogo 1,77 ton ha-1 musim-1 dengan harga Rp. 2000 per kg. Kedelai: rata-rata produksi 1,39 ton ha-1 musim-1 dengan harga Rp. 5000 per kg. Total penerimaan: (1770 x 2000) + (1390 x 5000) = 3.540.000 + 6.950.000 =
Rp. 10.490.000
b. Biaya usahatani
Perlakuan T2
- Biaya tenaga kerja untuk pengusahaan padi gogo:
• Persiapan lahan : Rp. 30.000 HOK-1 (tiga orang selama empat hari) (padi gogo) = Rp. 360.000 • Penanaman : Rp. 25.000 HOK-1 (tiga orang selama satu hari) (padi gogo) = Rp. 75.000 • Pemupukan : Rp. 20.000 HOK-1 (dua orang selama satu hari (padi gogo) dengan dua kali pemupukan) = Rp. 80.000 • Penyiangan : Rp. 25.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari (padi gogo) degan tiga kali penyiangan) = Rp. 300.000 • Pemanenan : Rp. 30.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari) (padi gogo) = Rp. 120.000
- Biaya tenaga kerja untuk pengusahaan kedelai: • Persiapan lahan : Rp. 30.000 HOK-1 (dua orang selama empat hari) (Kedelai) = Rp. 240.000 • Penanaman : Rp. 25.000 HOK-1 (tiga orang selama satu hari) (kedelai) = Rp. 75.000 • Pemupukan : Rp. 20.000 HOK-1 (dua orang selama satu hari (kedelai) dengan dua kali pemupukan) = Rp. 80.000 • Penyiangan : Rp. 20.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari (kedelai) dengan dua kali penyiangan) = Rp. 160.000 • Pemanenan : Rp. 25.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari) (kedelai) = Rp. 100.000 Subtotal : Rp. 1.590.000
124
Perlakuan T3
- Biaya tenaga kerja untuk pengusahaan padi gogo
• Persiapan lahan : Rp. 30.000 HOK-1 (tiga orang selama empat hari) (padi gogo) = Rp. 360.000 • Penanaman : Rp. 25.000 HOK-1 (tiga orang selama satu hari) (padi gogo) = Rp. 75.000 • Pemupukan : Rp. 20.000 HOK-1 (dua orang selama satu hari (padi gogo) dengan dua kali pemupukan) = Rp. 80.000 • Penyiangan : Rp. 25.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari (padi gogo) degan tiga kali penyiangan) = Rp. 300.000 • Pemanenan : Rp. 30.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari) (padi gogo) = Rp. 120.000 • Pemangkasan strip A. Pintoi sebanyak 4 kali Rp. 25.000 HOK-1 (satu
orang selama satu hari),jadi total upah Rp. 100.000 • Pembenaman hasil pangkasan A. Pintoi sebanyak 2 Rp. 30.000 HOK-1
(tiga orang selama satu hari), jadi total upah pembenaman selama penelitian Rp. 180.000
- Biaya tenaga kerja untuk pengusahaan kedelai:
• Persiapan lahan : Rp. 30.000 HOK-1 (dua orang selama empat hari) (Kedelai) = Rp. 240.000 • Penanaman : Rp. 25.000 HOK-1 (tiga orang selama satu hari) (kedelai) = Rp. 75.000 • Pemupukan : Rp. 20.000 HOK-1 (dua orang selama satu hari (kedelai) dengan dua kali pemupukan) = Rp. 80.000 • Penyiangan : Rp. 20.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari (kedelai) dengan dua kali penyiangan) = Rp. 160.000 • Pemanenan : Rp. 25.000 HOK-1 (dua orang selama dua hari) (kedelai) = Rp. 100.000 • Pemangkasan strip A. Pintoi sebanyak 5 kali selama penelitian Rp.
25.000 HOK-1 (satu orang selama satu hari) dengan total upah pemangkasan selama penelitian Rp. 125.000
• Pembenaman hasil pangkasan A. Pintoi sebanyak dua kali selama penelitian Rp. 30.000 HOK-1 (tiga orang selama satu hari) dengan total upah pembenaman selama penelitian Rp. 180.000
Subtotal : Rp. 2.175.000
Sarana produksi untuk perlakuan T2 dan T3:
• Benih padi gogo : 30 kg ha-1 @ Rp.4.000 = Rp. 120.000 • Benih kedelai : 35 kg ha-1 @ Rp.8.000 = Rp. 280.000 • Pupuk untuk padi : urea 200 kg ha-1 @ Rp.1.500 = Rp. 300.000
SP-36 150 kg ha-1 @ Rp.2.000 = Rp. 300.000 KCl 100 kg ha-1 @ Rp.2.500 = Rp. 250.000
• Pupuk untuk kedelai : urea 50 kg ha-1 @ Rp.1.500 = Rp. 75.000 SP-36 100 kg ha-1 @ Rp.2.000 = Rp. 200.000 KCl 50 kg ha-1 @ Rp.2.500 = Rp. 125.000
125
• Pestisida untuk padi : spontan 500 ml 1 botol = Rp. 50.000 • Pestisida untuk kedelai : Decis 250 ml 3 buah @ Rp. 27.000 = Rp. 81.000
Decis 250 ml 2 buah @ Rp.27.000 = Rp. 54.000 • Hand sprayer : 1 buah = Rp. 250.000 Subtotal : Rp. 2.085.000 Lain-lain: : Rp. 300.000
Total biaya yang dikeluarkan untuk T2 adalah Rp. 1.590.000 + 2.085.000 + Rp. 300.000 = Rp. 3.975.000 Total biaya yang dikeluarkan untuk T3 adalah Rp. 2.175.000 + 2.085.000 + Rp. 300.000 = Rp. 4.560.000
c. Pendapatan usahatani
Perlakuan T2: Pendapatan usahatani = 9.280.000 – 3.975.000 = Rp. 5.305.000
Perlakuan T3: Pendapatan usahatani = 10.490.000 – 4.560.000 = Rp. 5.930.000
Jika rumah tangga petani terdiri dari lima orang, harga beras Rp. 4.500 per kg dengan nilai ambang kecukupan pangan 240 kg per orang per tahun, maka:
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) minimum = (240 kg x 5 orang x Rp. 4.500) +
50% (5.400.000) = Rp. 8.100.000
Tabel Lampiran 30. Hasil analisis usahatani untuk menentukan kelayakan berdasarkan B/C ratio
Perlakuan Penerimaan
usahatani (Rp.) Biaya usahatani
(Rp.) B/C ratio
T2 T3
9.280.000 10.490.000
3.975.000 4.560.000
2,33 2,30
Prosedur perhitungan B/C ratio a. Penerimaan usahatani
Perlakuan T2 dan T3: Sama dengan perhitungan sebelumnya (Rp. 9.280.000 dan Rp. 10.490.000)
b. Biaya usahatani Perlakuan T2
- Biaya tenaga kerja sama dengan perhitungan sebelumnya Rp. 1.590.000
- Sarana produksi sama dengan perhitungan sebelumnya Rp. 2.085.000 - Lain-lain Rp. 300.000
Perlakuan T3 - Biaya tenaga kerja sama dengan perhitungan sebelumnya Rp. 2.175.000 - Sarana produksi sama dengan perhitungan sebelumnya Rp. 2.085.000 - Lain-lain Rp. 300.000
126
Total biaya yang dikeluarkan untuk T2 adalah Rp. 1.590.000 + 2.085.000 + Rp. 300.000 = Rp. 3.975.000
Total biaya yang dikeluarkan untuk T3 adalah Rp. 2.175.000 + 2.085.000 + Rp. 300.000 = Rp. 4.560.000
c. B/C ratio
Perlakuan T2: 9.280.000/3.975.000 = 2,33
Perlakuan T3: 10.490.000/4.560.000 = 2,30
Tabel Lampiran 31. Perhitungan nilai erodibilitas tanah (K) Yang mana: K = Kepekaan tanah terhadap erosi atau erodibilitas A = Erosi tanah dari petak percobaan standar (L = 22 m; S = 9%) R = Erosivitas hujan Ket. * = rumus tersebut telah diuji pada kemiringan > 20% oleh Departemen Kehutanan ** = nilai ini didapat dari petak tanah yang baru dibuka/dibersihkan dari vegetasi alami pada tahun pertama pelaksanaan penelitian
Diketahui: Rata-rata erosi pada petak pembanding adalah 65,091 ton ha-1 th-1 (L = 10 m; S = 45%) Erosivitas hujan (R) = 1228,90 Penyelesaian:
*
922)(tan
4,16,0
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=
SLAdarspetakErosi
pembandingpetakErosi
4,16,0
945
2210091,65
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=
A
93,5091,65=
A
975,10=A
90,1228975,10
=K
01,00089,0 ==K **
Dengan demikian nilai erodibilitas = 0,01 dan termasuk ke dalam kelas erodibilitas yang sangat rendah yang berarti bahwa tanah tersebut sangat tahan terhadap erosi
RAK =
127
Gbr. Lampiran 1. Diagram segitiga tekstur USDA dengan 12 nama kelas tekstur
122
Lampiran 18. Data Aliran permukaan (AP), persentase hujan yang mengalir sebagai AP, erosi, nilai C, bulk density, porositas total, indeks stabilitas agregat, dan kadar air pF pada akhir penelitian
Perlakuan Ulangan AP % hujan erosi nilai C* BD Porositas Indeks Kadar air yang men- total s. agregat pF 1,00 pF 2,00 pF 2,54 pF
(m3 ha-1 th-1) galir sebagai AP (ton ha-1 th-1) (g.cm-3) (%) ------- (% volume) ------- P1 T1 1 2226,74 14,70 12,53 - 0,993 62,53 58,95 46,51 33,49 30,55 19
2 2391,27 16,39 10,23 - 1,037 60,87 59,26 42,48 29,42 25,56 19 3 2037,27 12,87 9,07 - 1,003 62,15 93,80 42,75 34,92 25,69 19
P1 T2 1 4761,81 31,64 29,74 - 1,051 60,34 31,35 48,39 35,60 34,37 21 2 4462,06 30,16 28,59 - 1,049 60,42 29,29 47,54 36,58 31,87 22 3 4382,30 28,93 32,57 - 1,022 61,43 34,18 43,00 42,09 34,19 19
P1 T3 1 3059,21 19,34 19,39 - 1,032 61,06 43,39 37,85 31,42 27,54 19 2 2895,92 19,50 18,28 - 1,018 61,58 47,00 43,75 28,28 25,16 16 3 3204,77 21,11 17,56 - 0,937 64,64 42,39 42,58 41,42 34,01 21
P2 T1 1 1659,47 10,97 7,69 - 0,975 63,21 93,43 49,37 37,17 30,15 23 2 1684,39 10,95 8,89 - 1,001 62,23 120,79 43,89 31,73 29,18 18 3 1646,06 10,69 8,74 - 0,949 64,19 136,01 36,92 24,43 21,01 15
P2 T2 1 3274,10 21,79 25,59 - 1,049 60,42 38,39 54,19 35,32 29,56 22 2 3134,70 20,15 21,47 - 1,030 61,13 46,57 53,66 36,84 33,12 21 3 3353,83 22,03 21,71 - 1,014 61,74 47,96 40,51 29,10 21,87 14
P2 T3 1 2384,58 15,68 15,18 - 0,941 64,49 71,07 52,53 39,56 34,04 11 2 2492,72 15,44 17,99 - 0,933 64,79 57,44 42,72 33,28 31,46 26 3 2059,13 13,27 16,65 - 1,012 61,81 60,66 54,75 41,94 36,88 14
P3 T1 1 3812,65 25,14 20,17 0,310 1,014 61,74 46,52 41,75 38,55 28,14 14 2 3295,10 23,85 16,48 0,253 1,059 60,04 47,88 44,62 40,86 24,05 13 3 3479,26 23,80 17,83 0,273 1,025 61,32 39,14 43,54 27,22 24,32 15
P3 T2 1 6166,14 40,45 41,89 0,644 1,083 59,13 33,71 37,06 22,97 21,70 13 2 4650,32 31,51 36,48 0,561 1,098 58,57 27,85 41,06 28,74 26,15 17 3 6216,51 41,29 36,68 0,563 1,071 59,58 29,39 37,23 29,52 24,96 17
P3 T3 1 4977,24 32,42 29,16 0,442 1,039 60,79 45,82 34,13 31,77 13,49 13 2 5055,52 34,14 27,05 0,397 0,945 64,34 40,76 37,95 28,95 20,15 16 3 4752,10 32,12 27,96 0,430 1,055 60,19 45,96 38,64 27,02 24,93 16
P4 T1 1 3495,48 23,52 15,22 0,237 1,043 60,64 69,86 39,18 35,00 27,29 16 2 3211,91 21,90 14,31 0,220 1,042 60,68 70,82 47,17 30,19 28,65 18 3 3645,70 25,55 14,19 0,218 1,018 61,58 62,66 37,48 30,35 29,08 21
P4 T2 1 5271,35 34,69 29,82 0,458 1,074 59,47 29,73 40,59 25,17 21,75 13 2 4858,71 32,66 32,91 0,506 1,077 59,36 35,63 42,55 27,36 22,45 16 3 5204,25 33,57 36,75 0,565 1,063 59,89 34,56 48,24 35,49 31,51 25
P4 T3 1 4374,81 28,55 24,44 0,376 1,022 61,43 61,55 49,64 33,16 30,91 16 2 4558,75 30,85 23,62 0,363 1,029 61,17 55,85 42,40 34,97 29,27 19 3 4283,86 28,24 23,83 0,351 1,044 60,60 56,13 34,44 33,08 29,26 19
= rata-rata erosi tanah pada petak tanpa tanaman (petak pembanding) untuk penentuan nilai faktor C adalah 65,091 ton.ha-1.th-1
123
Tabel Lampiran 19. Data distribusi ukuran pori, infiltrasi, dan tekstur tanah pada akhir penelitian
Perlakuan Ulangan Distribusi ukuran pori* Kapasitas Infiltrasi
konstan Tekstur
PDSC PDC PDL PAT Pasir Debu L:iat ------- (% volume) ------- (mm jam-1) ------- (%) -------
P1 T1 1 16,02 13,02 2,94 10,85 1,5 70,91 19,73 9,36 2 18,38 13,07 3,86 5,85 1,7 57,13 20,97 21,90 3 19,40 7,83 9,23 5,80 1,1 60,84 26,82 12,34
P1 T2 1 11,95 12,79 1,23 12,79 0,3 55,22 29,74 15,03 2 12,87 10,97 4,71 9,66 1,7 38,51 45,94 15,56 3 18,44 0,90 7,91 14,55 1,1 48,67 21,61 29,73
P1 T3 1 23,21 6,43 3,88 7,59 4,2 44,32 41,53 14,15 2 17,83 15,47 3,13 9,07 1,5 50,28 34,52 15,19 3 22,07 1,15 7,42 12,74 1,7 16,64 53,55 29,82
P2 T1 1 13,83 12,20 7,02 6,24 1,5 59,06 23,06 17,88 2 18,34 12,16 2,55 10,86 2,8 69,48 19,36 11,16 3 27,27 12,48 3,43 5,74 2,8 54,07 24,53 21,40
P2 T2 1 6,23 18,86 5,76 6,94 2,0 73,47 19,21 7,32 2 7,48 16,82 3,72 12,04 2,7 51,09 25,51 23,40 3 21,22 11,41 7,23 7,15 2,8 67,30 20,98 11,72
P2 T3 1 11,96 12,97 5,52 22,67 2,7 65,43 17,33 17,24 2 22,07 9,44 1,82 4,96 1,8 69,69 23,16 7,15 3 7,06 12,80 5,06 22,07 1,7 56,15 23,49 20,36
P3 T1 1 19,98 3,20 10,42 13,29 1,7 21,53 61,45 17,02 2 15,42 3,76 16,81 10,85 2,0 24,10 54,39 21,52 3 17,78 16,33 2,90 8,53 2,0 18,15 63,45 18,40
P3 T2 1 22,07 14,09 1,27 8,16 0,1 15,36 67,11 17,53 2 17,51 12,31 2,60 9,06 2,0 22,31 60,02 17,67 3 22,35 7,71 4,57 7,80 2,0 21,83 58,34 19,83
P3 T3 1 26,66 2,36 18,28 9,55 1,8 13,27 69,19 17,53 2 26,39 9,00 8,80 3,57 1,5 16,77 63,72 19,50 3 21,54 11,62 2,09 8,88 1,4 16,00 68,65 15,35
P4 T1 1 21,47 4,18 7,71 11,04 1,6 15,82 58,22 25,96 2 13,51 16,98 1,54 10,37 2,9 25,48 53,10 21,41 3 24,11 7,12 1,27 8,02 2,8 31,62 42,72 25,66
P4 T2 1 18,89 15,42 3,42 8,31 2,1 28,68 47,78 23,54 2 16,81 15,19 4,92 6,41 2,9 33,52 47,97 18,51 3 11,65 12,74 3,98 6,51 2,7 39,71 43,15 17,14
P4 T3 1 11,80 16,47 2,25 14,28 1,5 13,53 59,73 26,74 2 18,77 7,43 5,70 9,71 1,7 30,71 53,80 15,49 3 26,17 1,36 3,82 9,59 1,9 51,15 35,64 13,21
Keterangan: P = Perlakuan umur tanaman/kemiringan * = PDSC (pori drainase sangat cepat); PDC (pori drainase cepat); T = Perlakuan tindakan konservasi PDL (pori drainase lambat); PAT (pori air tersedia)
124
Lampiran 20. Data kehilangan hara N, P, K, dan C-organik melalui erosi dan aliran permukaan
Perlakuan Ulangan
Hara dan C-org. yang terangkut melalui erosi Hara dan C-org. yang terangkut melalui AP N total P2O5 K2O C-org. NH3 NO3 NO2 PO4 K total C-org.
------- (kg ha-1 th-1) ------- ------- (kg ha-1 th-1) ------- ton ha-1 th-1
P1 T1 1 13,78 2,55 1,54 255,61 0,10 12,66 0,21 18,38 106,88 10,47 2 8,18 2,10 1,88 145,27 0,11 14,50 0,17 18,88 102,82 11,96 3 9,07 1,85 2,01 175,93 0,10 12,08 0,12 11,22 99,83 8,56
P1 T2 1 26,77 5,56 7,00 446,13 0,25 31,19 0,26 36,50 238,09 26,19 2 31,45 9,23 6,25 566,05 0,12 22,12 0,19 29,14 209,72 13,83 3 32,57 9,40 7,77 667,64 0,15 26,36 0,22 26,95 223,50 16,65
P1 T3 1 23,26 5,29 4,11 343,11 0,17 13,94 0,05 25,82 177,43 17,13 2 14,62 3,88 5,57 254,09 0,17 14,16 0,11 17,31 136,11 17,38 3 21,08 4,24 3,65 337,22 0,12 14,40 0,15 18,58 153,83 15,70
P2 T1 1 9,99 1,63 0,86 174,46 0,11 10,85 0,11 10,88 91,27 10,29 2 9,78 1,74 1,36 180,46 0,07 9,67 0,10 12,46 80,85 7,07 3 6,99 2,81 0,84 125,90 0,10 9,60 0,07 11,70 82,30 9,55
P2 T2 1 20,47 7,75 3,91 529,73 0,18 26,93 0,08 26,89 180,08 14,73 2 8,59 4,49 2,06 216,86 0,18 24,89 0,15 22,00 166,14 19,12 3 19,54 4,75 2,43 462,36 0,19 28,56 0,04 19,40 184,46 19,79
P2 T3 1 15,18 3,73 2,54 252,00 0,13 13,68 0,14 12,70 126,38 12,64 2 21,59 3,98 3,70 372,37 0,13 13,00 0,15 17,74 122,14 12,46 3 18,31 3,36 3,02 299,62 0,10 10,34 0,10 14,05 102,96 9,47
P3 T1 1 78,68 8,19 4,18 476,12 0,18 21,19 0,38 29,06 221,13 19,83 2 39,54 5,63 3,74 425,07 0,14 16,79 0,19 21,79 154,87 15,82 3 57,06 5,12 3,50 433,29 0,17 20,14 0,25 23,39 167,00 18,79
P3 T2 1 58,65 12,07 3,55 506,88 0,38 31,95 0,56 33,38 302,14 25,90 2 76,61 12,83 7,36 689,47 0,29 25,31 0,35 27,78 279,02 25,58 3 91,69 10,86 8,59 788,55 0,40 35,58 0,58 51,64 360,56 36,68
P3 T3 1 90,40 8,82 5,32 542,37 0,29 41,08 0,22 28,29 258,82 19,41 2 86,57 11,18 6,17 524,86 0,29 29,50 0,33 33,57 247,72 28,82 3 78,29 8,74 5,32 450,17 0,26 35,29 0,18 27,65 242,36 17,58
P4 T1 1 51,74 4,89 3,19 383,46 0,19 20,30 0,11 22,64 216,72 20,62 2 47,21 4,09 3,05 326,17 0,15 17,93 0,10 18,45 176,66 16,70 3 31,22 3,44 2,89 212,87 0,22 23,96 0,14 21,87 185,93 21,87
P4 T2 1 71,57 9,67 6,11 468,19 0,27 34,71 0,29 34,48 279,38 29,52 2 105,30 10,02 7,76 812,77 0,21 42,87 0,23 36,07 281,81 25,75 3 106,58 15,21 9,51 882,07 0,27 31,81 0,35 41,63 281,03 28,10
P4 T3 1 92,88 10,39 5,25 525,49 0,21 26,00 0,25 26,87 205,62 17,94 2 87,40 9,03 5,25 578,76 0,26 34,17 0,22 37,50 227,94 21,88 3 83,42 8,94 4,62 543,41 0,27 28,16 0,27 33,12 209,81 22,28
gan: P = perlakuan umur tanaman/kemiringan T= perlakuan tindakan konservasi
125
Lampiran 21. Data kadar C-organik dan N, P, K tanah, sedimen, dan aliran permukaan pada akhir penelitian
rlakuan Ulangan Kadar C-organik dan hara tanah Kadar C-organik dan hara sedimen Kadar C-organik dan hara AP
C-org. N
total P2O5 K2O C-org. N
total P2O5 K2O C-org. NH3 NO3 NO2 PO4 K
total ----- (%) ----- -- (mg 100g-1) -- ----- (%) ----- -- (mg 100g-1) -- - (%) - ------- (mg L-1) -------
T1 1 1,71 0,13 19,94 14,26 2,04 0,11 20,35 12,31 0,47 0,045 5,69 0,093 8,25 48 2 1,76 0,17 24,55 9,17 1,42 0,08 20,49 18,42 0,50 0,048 6,06 0,073 7,90 43 3 1,68 0,12 18,87 12,15 1,94 0,10 20,37 22,16 0,42 0,047 5,93 0,057 5,51 49
T2 1 1,64 0,18 19,03 18,52 1,50 0,09 18,70 23,52 0,55 0,053 6,55 0,055 7,67 50 2 1,49 0,16 24,62 15,49 1,98 0,11 32,28 21,86 0,31 0,028 4,96 0,044 6,53 47 3 1,70 0,19 25,19 17,28 2,05 0,10 28,85 23,87 0,38 0,034 6,02 0,051 6,15 51
T3 1 1,73 0,14 20,78 20,18 1,77 0,12 27,30 21,18 0,56 0,055 4,56 0,015 8,44 58 2 1,85 0,24 31,41 14,56 1,39 0,08 21,20 30,48 0,60 0,059 4,89 0,039 5,98 47 3 1,77 0,21 20,82 17,34 1,92 0,12 24,16 20,79 0,49 0,037 4,49 0,047 5,80 48
T1 1 1,98 0,14 21,23 8,37 2,27 0,13 21,24 11,21 0,62 0,065 6,54 0,066 6,55 55 2 2,02 0,17 24,15 9,65 2,03 0,11 19,58 15,27 0,42 0,040 5,74 0,059 7,40 48 3 1,99 0,15 22,18 11,52 1,44 0,08 32,18 9,60 0,58 0,059 5,83 0,043 7,11 50
T2 1 1,23 0,12 24,52 14,29 2,07 0,08 30,27 15,27 0,45 0,054 8,22 0,026 8,21 55 2 1,79 0,19 27,14 12,35 1,01 0,04 20,92 9,60 0,61 0,058 7,94 0,048 7,02 53 3 1,65 0,18 23,29 15,74 2,13 0,09 21,87 11,21 0,59 0,056 8,52 0,013 5,78 55
T3 1 1,88 0,23 32,73 15,78 1,66 0,10 24,55 16,74 0,53 0,056 5,74 0,058 5,32 53 2 2,01 0,15 23,24 13,24 2,07 0,12 22,11 20,59 0,50 0,052 5,22 0,058 7,12 49 3 1,72 0,21 29,07 18,16 1,80 0,11 20,18 18,13 0,46 0,049 5,02 0,049 6,82 50
T1 1 1,67 0,13 24,35 12,32 2,36 0,39 40,58 20,73 0,52 0,048 5,56 0,099 7,62 58 2 1,74 0,23 25,19 12,77 2,58 0,24 34,18 22,72 0,48 0,044 5,10 0,058 6,61 47 3 1,44 0,15 22,77 10,29 2,43 0,32 28,73 19,62 0,54 0,050 5,79 0,072 6,72 48
T2 1 1,43 0,15 31,21 12,25 1,21 0,14 28,82 8,48 0,42 0,061 5,18 0,091 5,41 49 2 1,89 0,21 27,08 14,26 1,89 0,21 35,18 20,18 0,55 0,063 5,44 0,076 5,97 60 3 1,82 0,18 28,83 13,50 2,15 0,25 29,62 23,43 0,59 0,065 5,72 0,094 8,31 58
T3 1 2,24 0,28 31,28 14,83 1,86 0,31 30,26 18,23 0,39 0,058 8,25 0,044 5,68 52 2 1,90 0,16 24,55 17,51 1,94 0,32 41,33 22,81 0,57 0,058 5,84 0,066 6,64 49 3 1,87 0,25 30,14 14,21 1,61 0,28 31,26 19,01 0,37 0,055 7,43 0,037 5,82 51
T1 1 1,72 0,17 25,14 13,41 2,52 0,34 32,12 20,95 0,59 0,053 5,81 0,032 6,48 62 2 2,04 0,15 20,17 14,21 2,28 0,33 28,57 21,34 0,52 0,047 5,58 0,031 5,74 55 3 2,13 0,21 20,11 9,82 1,50 0,22 24,23 20,35 0,60 0,061 6,57 0,038 6,00 51
T2 1 1,73 0,19 22,26 17,52 1,57 0,24 32,43 20,48 0,56 0,052 6,58 0,055 6,54 53 2 2,44 0,24 20,04 15,29 2,47 0,32 30,45 23,59 0,53 0,044 8,82 0,048 7,42 58 3 1,91 0,20 25,28 15,44 2,40 0,29 41,39 25,88 0,54 0,051 6,11 0,067 8,00 54
T3 1 2,15 0,25 28,47 15,14 2,15 0,38 42,52 21,46 0,41 0,049 5,94 0,057 6,14 47 2 2,12 0,23 34,18 17,73 2,45 0,37 38,24 22,22 0,48 0,057 7,50 0,049 8,22 50 3 2,78 0,28 19,91 14,89 2,28 0,35 37,51 19,37 0,52 0,062 6,57 0,062 7,57 49
gan: P = perlakuan umur tanaman/kemiringan T = perlakuan tindakan konservasi
126
Lampiran 22. Data enrichment ratio, kapasitas tukar kation, pH tanah, pertumbuhan tanaman kakao, serta pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo dan kedelai
erlakuan Ulangan Enrichment ratio KTK pH H2O
Pertumbuhan kakao Pert,& prod. tan. semusim N P K C-org. me
100g-1 DT* DB* TT* APPG** Padi Kedelai
------ cm ------ (buah) --- ton ha-1 --- T1 1 1,05 1,05 1,20 1,47 12,01 4,80 31,60 0,45 4,26 2 0,67 0,86 2,48 1,09 13,07 5,50 29,70 0,40 4,83 3 1,07 1,10 2,23 1,40 13,42 4,70 30,70 0,51 4,90
T2 1 0,67 1,01 1,54 1,25 13,01 5,10 29,70 0,38 5,83 11 1,88 1,360 2 0,83 1,33 1,71 1,54 12,07 5,30 33,20 0,32 4,50 9 1,42 1,580 3 0,67 1,16 1,68 1,43 12,01 4,80 30,20 0,48 3,40 12 1,26 1,220
T3 1 1,01 1,34 1,34 1,35 21,82 5,50 30,00 0,47 5,37 11 1,79 1,470 2 0,43 0,69 2,42 1,08 20,42 5,40 34,00 0,39 6,70 13 1,83 1,620 3 0,67 1,18 1,48 1,36 15,42 4,50 38,60 0,55 4,90 12 1,80 1,440
T1 1 1,15 1,02 2,00 1,46 13,07 4,80 49,60 2,79 1,93 2 0,81 0,83 2,08 1,21 11,42 4,90 43,30 3,11 1,87 3 0,72 1,47 1,27 1,02 12,01 4,90 47,20 2,93 2,53
T2 1 0,98 1,26 1,45 2,05 11,01 5,70 49,80 3,14 2,23 10 1,50 1,280 2 0,41 0,99 1,21 0,91 11,62 4,90 54,40 2,66 2,40 8 1,92 1,130 3 0,72 0,96 1,06 1,65 15,62 4,60 54,50 3,10 2,53 12 1,12 1,370
T3 1 0,55 0,86 1,40 1,16 17,42 5,70 50,30 3,38 2,13 11 1,44 1,620 2 0,97 1,97 1,93 1,28 18,82 5,40 57,00 3,25 2,67 10 1,83 1,440 3 0,64 0,81 1,27 1,31 11,62 5,00 60,20 3,19 3,00 12 1,56 1,230
T1 1 3,20 1,69 2,15 1,72 17,01 4,90 32,40 0,41 4,90 2 1,15 1,38 2,15 1,76 15,07 5,40 33,20 0,36 4,53 3 2,32 1,28 2,37 2,06 14,42 4,80 29,70 0,38 3,97
T2 1 1,10 0,94 1,09 1,14 16,01 4,70 35,20 0,35 3,77 12 1,30 1,270 2 1,12 1,31 1,84 1,29 17,07 4,50 32,90 0,41 3,17 9 1,63 1,020 3 1,54 1,05 2,17 1,51 12,01 4,90 35,70 0,32 4,03 8 1,54 1,280
T3 1 1,24 0,98 1,58 1,00 22,07 4,50 37,00 0,43 3,30 11 1,79 1,100 2 2,17 1,70 1,58 1,32 21,82 4,80 39,10 0,40 3,07 12 1,55 1,240 3 1,26 1,05 1,70 1,06 12,01 5,30 39,30 0,40 5,40 12 1,68 1,290
T1 1 2,16 1,30 2,02 1,81 16,01 4,90 48,70 2,83 3,37 2 2,37 1,44 1,89 1,37 15,42 5,20 51,10 2,98 2,57 3 1,19 1,23 2,59 0,99 15,62 5,00 51,20 3,05 2,97
T2 1 1,43 1,48 1,47 1,23 15,07 5,00 54,80 2,90 2,63 8 1,26 1,230 2 1,50 1,55 1,92 1,23 15,01 4,90 55,30 3,01 2,03 10 1,77 1,150 3 1,59 1,66 2,03 1,54 16,82 5,20 47,30 3,01 2,63 11 1,26 1,190
T3 1 1,63 1,51 1,73 1,19 22,82 4,80 61,00 2,61 2,33 12 1,59 0,970 2 1,76 1,14 1,54 1,38 22,62 5,10 53,90 3,29 2,77 11 1,25 1,270 3 1,36 1,91 1,63 1,01 14,42 4,90 64,00 3,40 2,70 11 1,72 0,900
gan: P = perlakuan umur tanaman/kemiringan * DT = diameter tajuk DB = diameter batang TT = tinggi tanaman T = perlakuan tindakan konservasi ** APPG = anakan produktif padi gogo
127
Tabel Lampiran 23. Suhu harian stasiun Kendari (oC)*
Tanggal Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
1 27,6 26,1 25,2 25,6 26,3 24,8 24,7 24,8 25,4 26,8 26,8 26,12 28,0 26,8 25,6 25,5 25,9 25,8 24,6 25,0 25,3 26,7 26,0 25,93 27,4 25,0 26,4 25,4 26,6 25,9 25,3 25,1 24,5 26,0 26,2 27,04 27,2 24,6 25,4 25,6 26,3 25,9 24,5 25,1 24,5 27,5 27,0 25,35 26,2 27,0 26,4 26,1 25,4 25,2 24,0 25,3 25,3 27,9 26,4 26,06 26,1 26,7 25,5 24,8 25,1 24,9 24,1 24,2 25,7 27,6 26,3 25,87 26,4 25,9 26,4 25,8 24,3 25,3 24,9 25,6 24,2 27,0 26,9 25,48 25,4 27,0 26,9 25,2 26,5 25,3 25,7 24,8 23,7 25,5 25,8 26,59 26,2 26,3 27,3 26,3 25,5 24,7 25,6 24,9 24,3 26,0 27,2 26,5
10 25,9 25,2 27,1 26,1 25,8 25,6 25,7 24,7 25,1 26,9 28,2 26,511 25,9 25,7 26,3 25,0 25,2 25,5 25,5 24,5 25,8 26,3 27,1 26,012 26,3 25,9 26,4 26,7 25,3 26,4 25,5 23,7 25,9 27,3 27,5 26,313 27,5 26,3 27,3 25,7 25,5 25,3 25,7 23,7 25,9 26,6 26,1 25,714 27,2 25,2 28,1 26,5 25,6 25,5 26,0 23,8 25,3 25,7 26,0 26,215 26,1 26,1 27,6 26,1 26,4 25,5 25,2 24,3 25,2 26,8 26,8 25,416 26,1 27,0 26,8 25,9 25,6 25,7 25,1 25,0 24,7 27,9 27,3 27,317 25,8 26,1 27,4 25,8 25,6 26,3 24,6 24,8 25,3 26,3 27,6 25,218 25,7 26,2 26,8 25,8 24,5 26,2 24,5 25,7 25,0 26,9 26,5 26,019 25,9 26,4 24,7 25,7 25,8 26,3 25,5 25,7 25,7 28,2 26,8 26,020 25,8 26,3 26,5 26,5 25,5 26,7 23,6 24,9 26,5 28,3 25,3 25,521 25,2 25,9 26,3 25,3 26,1 26,2 23,8 24,4 26,2 27,7 26,5 26,422 26,4 25,3 26,3 26,4 24,2 26,0 25,2 23,9 26,1 25,7 25,9 25,423 26,9 26,7 26,0 25,8 26,0 25,5 24,4 24,5 26,4 27,6 26,3 26,524 25,0 26,2 26,5 25,4 24,6 25,7 24,7 24,9 24,4 28,0 26,1 26,325 25,9 26,7 25,0 26,5 24,7 25,7 24,0 25,5 26,4 28,4 26,3 26,926 26,7 26,7 26,0 26,4 25,3 25,1 24,4 24,5 25,7 28,3 27,1 26,127 26,9 25,9 26,6 28,0 25,6 24,6 24,7 25,3 25,4 28,1 25,9 23,828 25,9 25,2 26,5 26,5 25,5 24,7 25,4 25,1 26,2 27,8 26,1 25,629 26,7 28,0 25,9 25,2 25,5 25,0 25,8 25,7 28,4 26,9 25,630 26,5 26,4 26,1 24,3 24,6 25,8 24,8 25,9 28,2 26,2 26,831 27,0 26,8 24,7 25,2 23,7 27,6 25,6
= Data suhu harian Tahun 2005 (sumber BPTP Kendari)
128
el Lampiran 24. Curah hujan efektif stasiun Kendari 10 tahun terakhir (1998 - 2007)
ulan Dekade Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
ri 1 13,6 45,9 46,9 40,3 10,3 26,9 0,0 32,6 39,0 83,6 37,7 2 17,9 11,3 34,7 211,9 48,8 2,3 0,0 57,5 21,4 26,6 48,0 3 10,6 30,0 9,4 421,9 12,2 74,0 0,0 17,3 0,0 20,1 66,1
uari 1 23,5 106,9 0,0 292,5 39,4 41,3 17,7 33,3 44,3 30,8 57,3 2 0,0 52,5 19,7 318,8 0,9 68,4 51,5 32,9 136,9 71,9 68,7 3 35,0 41,3 38,6 60,9 21,5 22,8 31,4 76,8 7,4 10,8 31,8
t 1 13,5 51,6 8,4 11,3 18,8 33,9 56,1 80,0 28,1 67,0 33,6 2 32,2 42,2 37,2 45,8 39,7 79,2 24,5 47,3 40,2 28,4 38,1 3 13,5 46,9 0,0 243,8 20,6 18,0 17,3 211,1 14,6 62,4 59,2 1 33,5 8,4 26,3 18,8 25,3 81,8 67,7 87,6 68,1 37,7 41,5 2 8,6 24,4 50,6 47,8 15,0 19,5 60,8 45,5 34,4 30,1 30,8 3 62,1 17,8 5,6 70,3 16,9 68,3 84,5 95,9 7,1 51,8 43,9 1 11,1 37,5 24,4 24,4 13,1 113,1 56,4 55,4 64,4 103,7 45,8 2 38,0 32,8 21,6 35,6 0,0 35,7 1,7 32,1 35,2 13,0 22,5 3 0,0 0,9 32,8 28,1 29,1 30,5 38,0 48,9 9,4 69,5 26,4 1 3,9 55,3 0,0 29,1 12,2 10,4 86,7 9,8 8,9 161,5 34,4 2 5,3 48,8 0,0 120,9 10,3 37,5 37,1 16,1 30,4 95,8 36,7 3 3,6 6,6 0,0 64,7 16,9 24,8 0,3 6,9 0,0 11,7 12,6 1 29,1 34,7 0,0 35,6 0,0 95,1 37,1 51,2 43,4 51,8 34,4 2 0,0 17,8 0,0 0,0 0,9 3,6 16,2 8,0 33,8 45,6 11,6 3 8,4 25,3 0,0 19,7 32,8 17,0 4,7 37,4 66,9 47,7 23,9
tus 1 0,0 33,8 0,0 64,7 0,0 17,1 0,6 7,1 14,0 35,0 15,7 2 0,0 49,7 0,0 0,0 0,0 34,5 1,8 4,7 51,8 77,5 20,2 3 0,0 64,7 0,0 4,7 0,0 23,6 1,2 24,0 34,7 12,7 15,3
mber 1 0,0 1,9 0,0 5,6 0,0 4,5 0,0 0,3 1,5 40,6 5,0 2 0,0 26,3 0,0 5,6 3,8 1,2 0,8 0,0 0,0 0,0 3,6 3 0,0 2,8 0,0 4,7 26,3 0,2 0,0 5,9 9,0 2,5 4,9
ber 1 0,0 27,2 0,0 7,5 0,0 32,4 0,2 3,9 13,5 0,0 9,4 2 0,0 17,8 0,0 20,6 16,9 3,9 3,3 139,4 0,0 0,0 22,1 3 0,0 15,0 0,0 12,2 15,0 0,2 0,0 44,6 27,0 0,0 12,7
mber 1 0,0 14,1 0,0 4,7 3,8 9,8 0,0 60,0 30,8 0,0 13,7 2 15,9 40,3 0,0 0,0 19,7 22,7 0,0 66,5 2,3 0,0 18,6 3 22,5 7,5 0,0 10,3 6,6 279,0 28,5 77,4 15,0 0,0 46,5
mber 1 22,5 28,1 73,1 0,0 24,4 127,1 57,2 49,1 3,0 0,0 36,4 2 30,0 20,6 126,6 11,3 8,4 171,6 28,1 76,7 41,3 0,0 54,0 3 39,4 9,4 75,0 11,3 20,6 6,8 28,8 49,1 23,3 0,0 26,1
129
Tabel Lampiran 25. Neraca air tanaman padi gogo (CH > ETc) (KL = 27,94%; TLP = 18,35%; Kedalaman efektifi = 30 cm; Air tersedia = 28,8 mm)
Bulan Dekade CH ETO Kc Fase tumbuh ETc CH-ETc Water storage APWL KAT ΔΚΑΤ ETA Defisit Surplus
1 1 37,7 31,0 1,10 fase awal 34,1 3,5 83,8 0,0 28,8 0,0 34,1 0,0 3,5 2 48,0 29,6 1,10 fase awal 32,5 15,5 83,8 0,0 28,8 0,0 32,5 0,0 15,5 3 66,1 40,3 1,10 fase awal 44,4 21,8 83,8 0,0 28,8 0,0 44,4 0,0 21,8
2 1 63,0 28,9 1,10 vegetatif 31,8 31,1 83,8 0,0 28,8 0,0 31,8 0,0 31,1 2 75,3 29,2 1,10 vegetatif 32,1 43,3 83,8 0,0 28,8 0,0 32,1 0,0 43,3 3 34,6 29,0 1,10 vegetatif 31,9 2,7 83,8 0,0 28,8 0,0 31,9 0,0 2,7
3 1 36,9 29,5 1,25 veg,/generatif 36,9 0,0 83,8 0,0 28,8 0,0 36,9 0,0 0,0 2 41,7 31,6 1,25 generatif 39,5 2,2 83,8 0,0 28,8 0,0 39,5 0,0 2,2 3 64,8 30,2 1,25 generatif 37,8 27,0 83,8 0,0 28,8 0,0 37,8 0,0 27,0
4 1 45,5 27,5 1,25 generatif 34,3 11,2 83,8 0,0 28,8 0,0 34,3 0,0 11,2 2 33,7 28,6 1,00 fase akhir 28,6 5,1 83,8 0,0 28,8 0,0 28,6 0,0 5,1 3 48,0 29,6 1,00 fase akhir 29,6 18,5 83,8 0,0 28,8 0,0 29,6 0,0 18,5
5 1 50,3 27,9 1,10 fase awal 30,7 19,6 83,8 0,0 28,8 0,0 30,7 0,0 19,6 2 24,6 27,0 1,10 fase awal 29,7 -5,1 83,8 -5,1 24,1 -4,7 19,9 9,8 0,0 3 28,7 25,4 1,10 fase awal 27,9 0,8 83,8 0,0 28,8 0,0 27,9 0,0 0,8
6 1 37,8 26,5 1,10 vegetatif 29,1 8,7 83,8 0,0 28,8 0,0 29,1 0,0 8,7 2 40,2 28,5 1,10 vegetatif 31,4 8,8 83,8 0,0 28,8 0,0 31,4 0,0 8,8 3 13,5 26,6 1,10 vegetatif 29,2 -15,7 83,8 -15,7 16,7 -12,1 17,1 12,1 0,0
7 1 37,8 25,0 1,25 veg,/generatif 31,3 6,5 83,8 0,0 28,8 0,0 31,3 0,0 6,5 2 12,6 25,7 1,25 generatif 32,2 -19,6 83,8 -19,6 14,6 -14,2 18,0 14,2 0,0 3 26,0 24,9 1,25 generatif 31,2 -5,2 83,8 -24,8 12,2 -2,4 28,8 2,4 0,0
8 1 17,2 25,2 1,25 generatif 31,5 -14,3 83,8 -39,0 7,4 -4,7 26,7 4,7 0,0 2 22,0 24,1 1,00 fase akhir 24,1 -2,1 83,8 -41,1 6,9 -0,5 23,6 0,5 0,0 3 16,6 24,7 1,00 fase akhir 24,7 -8,1 83,8 -49,3 5,2 -1,7 23,0 1,7 0,0
9 1 5,4 24,7 1,10 fase awal 27,1 -21,7 83,8 -71,0 2,4 -2,8 24,4 2,8 0,0 2 3,8 27,1 1,10 fase awal 29,8 -26,1 83,8 -97,0 1,0 -1,4 28,4 1,4 0,0 3 5,1 28,2 1,10 fase awal 31,0 -25,9 83,8 -122,9 0,4 -0,6 30,4 0,6 0,0
10 1 9,4 31,6 1,10 vegetatif 34,7 -25,3 83,8 -148,2 0,2 -0,2 34,5 0,2 0,0 2 22,4 32,5 1,10 vegetatif 35,8 -13,4 83,8 -161,6 0,1 -0,1 35,7 0,1 0,0 3 12,7 35,6 1,10 vegetatif 39,2 -26,5 83,8 -188,1 0,0 -0,1 39,1 0,1 0,0
11 1 13,7 31,2 1,25 veg,/generatif 39,0 -25,3 83,8 -213,4 0,0 0,0 39,0 0,0 0,0 2 18,6 31,3 1,25 generatif 39,1 -20,5 83,8 -233,9 0,0 0,0 39,1 0,0 0,0 3 49,6 29,9 1,25 generatif 37,4 12,3 83,8 0,0 28,8 0,0 37,4 0,0 12,3
12 1 42,7 29,1 1,25 generatif 36,3 6,4 83,8 0,0 28,8 0,0 36,3 0,0 6,4 2 57,2 28,6 1,00 fase akhir 28,6 28,6 83,8 0,0 28,8 0,0 28,6 0,0 28,6 3 29,3 28,2 1,00 fase akhir 28,2 1,0 83,8 0,0 28,2 0,0 28,2 0,0 1,0
130
Lampiran 26. Neraca air tanaman kedelai (CH > ETc) (mm) = 27,94%; TLP = 18,35%; Kedalaman efektif = 40 cm; Air tersedia = 38,36 mm) n Dekade CH ETO Kc Fase tumbuh ETc CH-ETc Water
storage APWL KAT DKAT ETA Defisit Surplus
1 1 37,67 31,0 0,45 fase awal 14,0 23,7 111,8 0,0 38,36 0,0 14,0 0,0 23,7 2 48,02 29,6 0,45 fase awal 13,3 34,7 111,8 0,0 38,36 0,0 13,3 0,0 34,7 3 66,15 40,3 0,45 vegetatif 18,1 48,0 111,8 0,0 38,36 0,0 18,1 0,0 48,0
2 1 62,96 28,9 0,45 vegetatif 13,0 49,9 111,8 0,0 38,36 0,0 13,0 0,0 49,9 2 75,34 29,2 0,45 vegetatif 13,1 62,2 111,8 0,0 38,36 0,0 13,1 0,0 62,2 3 34,63 29,0 1,05 generatif 30,4 4,2 111,8 0,0 38,36 0,0 30,4 0,0 4,2
3 1 36,85 29,5 1,05 generatif 31,0 5,9 111,8 0,0 38,36 0,0 31,0 0,0 5,9 2 41,666 31,6 1,05 generatif 33,2 8,5 111,8 0,0 38,36 0,0 33,2 0,0 8,5 3 64,798 30,2 0,45 fase akhir 13,6 51,2 111,8 0,0 38,36 0,0 13,6 0,0 51,2
4 1 45,504 27,5 0,45 fase akhir 12,4 33,1 111,8 0,0 38,36 0,0 12,4 0,0 33,1 2 33,668 28,6 0,45 fase awal 12,9 20,8 111,8 0,0 38,36 0,0 12,9 0,0 20,8 3 48,012 29,6 0,45 fase awal 13,3 34,7 111,8 0,0 38,36 0,0 13,3 0,0 34,7
5 1 50,331 27,9 0,45 vegetatif 12,6 37,8 111,8 0,0 38,36 0,0 12,6 0,0 37,8 2 24,561 27,0 0,45 vegetatif 12,1 12,4 111,8 0,0 38,36 0,0 12,1 0,0 12,4 3 28,708 25,4 0,45 vegetatif 11,4 17,3 111,8 0,0 38,36 0,0 11,4 0,0 17,3
6 1 37,769 26,5 1,05 veg,/generatif 27,8 10,0 111,8 0,0 38,36 0,0 27,8 0,0 10,0 2 40,207 28,5 1,05 generatif 29,9 10,3 111,8 0,0 38,36 0,0 29,9 0,0 10,3 3 13,531 26,6 1,05 generatif 27,9 -14,3 111,8 -14,3 26,39 -12,0 15,9 12,0 0,0
7 1 37,782 25,0 0,45 fase akhir 11,3 26,5 111,8 0,0 38,36 0,0 11,3 0,0 26,5 2 12,588 25,7 0,45 fase akhir 11,6 1,0 111,8 0,0 38,36 0,0 11,6 0,0 1,0 3 25,985 24,9 0,45 fase awal 11,2 14,8 111,8 0,0 38,36 0,0 11,2 0,0 14,8
8 1 17,223 25,2 0,45 fase awal 11,3 5,9 111,8 0,0 38,36 0,0 11,3 0,0 5,9 2 21,984 24,1 0,45 vegetatif 10,8 11,1 111,8 0,0 38,36 0,0 10,8 0,0 11,1 3 16,552 24,7 0,45 vegetatif 11,1 5,4 111,8 0,0 38,36 0,0 11,1 0,0 5,4
9 1 5,445 24,7 0,45 vegetatif 11,1 -5,7 111,8 -5,7 33,1 -5,3 5,8 5,3 0,0 2 3,7575 27,1 1,05 veg,/generatif 28,5 -24,7 111,8 -30,4 17,38 -15,7 12,7 15,7 0,0 3 5,1204 28,2 1,05 generatif 29,6 -24,4 111,8 -54,8 9,19 -8,2 21,4 8,2 0,0
0 1 9,4042 31,6 1,05 generatif 33,2 -23,8 111,8 -78,6 4,95 -2,6 30,6 2,6 0,0 2 22,429 32,5 0,45 fase akhir 14,6 7,8 111,8 0,0 38,36 0,0 14,6 0,0 7,8 3 12,654 35,6 0,45 fase akhir 16,0 -3,4 111,8 -3,4 35,13 -3,2 12,8 3,2 0,0
1 1 13,667 31,2 0,45 fase awal 14,0 -0,4 111,8 -3,7 34,8 -0,3 13,7 0,3 0,0 2 18,588 31,3 0,45 fase awal 14,1 4,5 111,8 0,0 38,36 0,0 14,1 0,0 4,5 3 49,642 29,9 0,45 vegetatif 13,5 36,2 111,8 0,0 38,36 0,0 13,5 0,0 36,2
2 1 42,708 29,1 0,45 vegetatif 13,1 29,6 111,8 0,0 38,36 0,0 13,1 0,0 29,6 2 57,158 28,6 0,45 vegetatif 12,9 44,3 111,8 0,0 38,36 0,0 12,9 0,0 44,3 3 29,275 28,2 1,05 veg,/generatif 29,6 0,4 111,8 0,0 37,99 0,0 29,3 0,0 0,4
131