vol. v, no. 13/i/p3di/juli/2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 13/I/P3DI/Juli/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 PROSES PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN Prianter Jaya Hairi *) Abstrak Pengesahan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terwujud melalui suatu proses yang panjang. Semangatnya adalah mengganti UU No. 8 Tahun 1985 yang sudah tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 hasil amandemen. Kini, dengan disahkannya RUU Ormas, maka sebanyak lebih dari 139 ribu Ormas di Indonesia diharapkan dapat lebih tertib dan jelas tujuannya. Pansus RUU Ormas bahkan masih berupaya mengakomodasi aspirasi dari berbagai kalangan hingga menit-menit akhir sebelum disahkan. Pertemuan konsultasi dengan Ormas keagamaan pada 26 Juni 2013 bahkan menghasilkan perubahan dan penyempunaan terhadap setidaknya tujuh pasal yang dianggap krusial. Meski begitu sampai dengan disahkan tetap saja ada penolakan dari beberapa pihak. Penolakan dapat disikapi secara hukum dengan pengajuan judicial review ke mahkamah konstitusi. A. Pendahuluan Pengesahan RUU Ormas sempat mengalami penundaan. Rapat Paripurna DPR- RI pada tanggal 25 Juni 2013 sebelumnya menunda pengesahan RUU tersebut. Baru pada Rapat Paripurna DPR-RI 2 Juli 2013, melalui mekanisme pemungutan suara (voting), RUU Ormas pada akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Pengambilan keputusan dengan jalan voting dilakukan karena pengambilan keputusan dengan cara musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi. Sesuai dengan Pasal 272 Tata Tertib DPR-RI, ditentukan bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR-RI pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat, namun dalam hal cara pengambilan keputusan musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Saat pengambilan keputusan, sebanyak tiga fraksi menolak pengesahan RUU tersebut, yakni Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sementara itu enam Fraksi lainnya menyatakan setuju RUU Ormas disahkan, yakni Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Golkar (FPG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), *) Peneliti Muda bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: yulia-indahri

Post on 29-Oct-2015

89 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Proses Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Prianter Jaya Hairi)Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN Regional Forum (ARF) di Brunei Darussalam (Sita Hidriyah)Upaya Meminimalisir Dampak Gempa (Yulia Indahri)Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (Iwan Hermawan)Pengawasan Program Internet Kecamatan (Ahmad Budiman)

TRANSCRIPT

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 13/I/P3DI/Juli/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PROSES PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

Prianter Jaya Hairi*)

Abstrak

Pengesahan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terwujud melalui suatu proses yang panjang. Semangatnya adalah mengganti UU No. 8 Tahun 1985 yang sudah tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 hasil amandemen. Kini, dengan disahkannya RUU Ormas, maka sebanyak lebih dari 139 ribu Ormas di Indonesia diharapkan dapat lebih tertib dan jelas tujuannya. Pansus RUU Ormas bahkan masih berupaya mengakomodasi aspirasi dari berbagai kalangan hingga menit-menit akhir sebelum disahkan. Pertemuan konsultasi dengan Ormas keagamaan pada 26 Juni 2013 bahkan menghasilkan perubahan dan penyempunaan terhadap setidaknya tujuh pasal yang dianggap krusial. Meski begitu sampai dengan disahkan tetap saja ada penolakan dari beberapa pihak. Penolakan dapat disikapi secara hukum dengan pengajuan judicial review ke mahkamah konstitusi.

A. PendahuluanPengesahan RUU Ormas sempat

mengalami penundaan. Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Juni 2013 sebelumnya menunda pengesahan RUU tersebut. Baru pada Rapat Paripurna DPR-RI 2 Juli 2013, melalui mekanisme pemungutan suara (voting), RUU Ormas pada akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang.

Pengambilan keputusan dengan jalan voting dilakukan karena pengambilan keputusan dengan cara musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi. Sesuai dengan Pasal 272 Tata Tertib DPR-RI, ditentukan bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR-RI pada dasarnya

dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat, namun dalam hal cara pengambilan keputusan musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Saat pengambilan keputusan, sebanyak tiga fraksi menolak pengesahan RUU tersebut, yakni Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sementara itu enam Fraksi lainnya menyatakan setuju RUU Ormas disahkan, yakni Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Golkar (FPG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP),

*) Peneliti Muda bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 2 -

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB). Hasil pemungutan suara menunjukkan posisi 311 anggota setuju dan 50 anggota menolak.

Setalah proses pengambilan keputusan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa Pemerintah menyambut baik usul inisiatif DPR-RI melakukan perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, karena sejalan dengan arah reformasi dalam membangun sistem tata kelola organisasi yang baik, sehat, mandiri, profesional, transparan dan akuntabel sesuai prinsip demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam kesempatan itu pula Mendagri menjelaskan, saat ini jumlah Ormas yang terdaftar di instansi pemerintah adalah sebanyak 139.557 Ormas, dengan rincian yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri sebanyak 65.577 Ormas, terdaftar pada Kementerian Sosial 25.406 Ormas, di Kementerian Hukum dan HAM 48.886 Ormas, dan Ormas asing yang terdaftar di Kementerian Luar Negeri 108 Ormas. Jumlah tersebut bahkan belum termasuk Ormas yang higgga saat ini belum terdaftar pada pemerintah maupun pemerintah daerah.

Lebih lanjut Mendagri menjelaskan, Ormas merupakan aset bangsa, yang berpotensi sebagai kekuatan masyarakat yang perlu dikelola agar memberikan kontribusi positif bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan mempertimbangkan dinamika dan perkembangan Ormas serta memantapkan kehidupan demokrasi maka melalui inisiatif DPR-RI, UU No. 8 Tahun 1985 dirasa perlu dilakukan perubahan dan penggantian karena tidak sesuai lagi dengan UUD 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan.

Pandangan Pemerintah yang disampaikan Mendagri serta hasil pengambilan keputusan DPR-RI memang tidak sepenuhnya mendapat dukungan semua kalangan. Penolakan disahkannya RUU Ormas terjadi baik di dalam maupun di luar gedung DPR-RI. Bahkan jauh hari sebelum RUU ini disahkan, sebanyak 96

ormas yang tergabung dalam Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia telah menyatakan menolak pengesahan RUU Ormas. Ancaman judicial review juga telah disampaikan oleh berbagai kalangan yang kontra, sebagai wujud dari perlawanan terhadap pengesahan RUU Ormas, salah satunya oleh Koalisi Masyarakat Sipil.

B. Upaya Penyempurnaan Beberapa Pasal Krusial

Ketentuan hukum dan pasal-pasal krusial dalam RUU Ormas telah banyak mengalami perubahan pascapertemuan konsultasi tanggal 26 Juni 2013. Pertemuan tersebut didasarkan pada hasil keputusan Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 Juni 2013 yang mengagendakan pertemuan konsultasi dengan Ormas-ormas keagamaan.

Pertemuan konsultasi tersebut kemudian dipimpin langsung oleh Ketua DPR-RI Marzuki Alie, dengan didampingi oleh Wakil Ketua DPR-RI Taufik Kurniawan, dan Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain. Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, pengurus PBNU, pengurus Persekutuan Gereja di Indonesia, pengurus Konferensi Waligereja Indonesia, dan lembaga persahabatan Ormas Islam.

Dari hasil pertemuan tersebut, Panitia Khusus RUU Ormas kemudian telah menindaklanjutinya dengan dilakukannya perubahan dan penyempurnaan terhadap draf RUU Ormas. Pasal-pasal yang sifatnya represif kemudian dihilangkan.

Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain dalam laporannya pada Paripurna DPR-RI menyampaikan bahwa pada Pasal 7 RUU, mengenai bidang kegiatan yang semula dikategorisasi, maka dalam draf terbaru kategorisasi tersebut telah dihilangkan dan ketentuan mengenai bidang kegiatan bagi Ormas diserahkan kepada kebijakan masing-masing Ormas, yakni sesuai dengan AD/ART yang dimiliki oleh Ormas. Maka dari itu, dengan digantikannya Pasal 7 RUU tersebut,

- 3 -

Ormas menjadi bebas untuk melaksanakan kegiatan apapun sesuai dengan AD/ART yang disepakati internal Ormas.

Selanjutnya pada Bab IX Pasal 35 RUU, mengenai keputusan organisasi telah dihapus. Semula diatur bahwa keputusan Ormas di setiap tingkatan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat sesuai dengan AD dan/atau ART. Pasal ini dihapus karena ketentuan mengenai pengambilan keputusan organisasi merupakan hak dari anggota masing-masing Ormas, dan hal itu diatur dalam mekanisme yang terdapat dalam AD/ART Ormas tersebut.

Penyempurnaan juga dilakukan terhadap Pasal 47 ayat (2) dan Ayat (3) RUU, yakni penambahan syarat pendirian Ormas yang didirikan oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, yaitu salah satu jabatan ketua, sekretaris atau bendahara harus dijabat oleh Warga Negara Indonesia. Menurut Haramain, langkah ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian kita dalam melakukan seleksi, agar Ormas yang didalamnya terdapat unsur asing bisa lebih produktif dan tidak kontraproduktif kegiatannya di Indonesia.

Pasal lainnya yakni Pasal 52 huruf d. Pansus RUU Ormas menyempurnakan penjelasan Pasal 53 huruf d yang menjelaskan mengenai kegiatan politik. Pada awalnya penjelasan kegiatan politik adalah kegiatan yang mengganggu stabilitas politik dalam negeri, penggalangan dana untuk jabatan politik, propaganda politik, ikut serta dalam demonstrasi atau ikut memengaruhi pengambilan keputusan politik. Setelah diubah, menjadi berbunyi “kegiatan politik adalah kegiatan yang mengganggu stabilitas politik dalam negeri, penggalangan dana untuk jabatan politik atau propaganda politik.”

Selanjutnya Pasal 59 Ayat (1) huruf a mengenai ketentuan larangan yang terdapat dalam pasal ini, semula terdapat kerancuan dalam penormaannya. Pansus telah melakukan penyempurnaan sehingga rumusannya menjadi larangan untuk menggunakan bendera atau lambang Negara Republik Indonesia (RI) menjadi bendera atau lambang Ormas. Pengaturan ini juga terkait dengan ketentuan larangan yang terdapat dalam Pasal 57 huruf

c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Perubahan juga dilakukan terhadap Pasal 59 ayat (5) RUU. Ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut dihilangkan kemudian digabungkan dalam ketentuan Pasal 60 Ayat (2) huruf d RUU sehingga rumusannya menjadi “melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Latar belakang munculnya pasal ini adalah untuk mengantisipasi agar pemerintah dan aparat penegak hukum bisa mengantisipasi jika ada kegiatan Ormas yang dianggap diluar dari kewenangannya seperti tindakan sweeping dan lain-lain.

Demikian pula dengan Pasal 65 Ayat (3) RUU, berkenaan dengan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap Ormas lingkup provinsi atau kabupaten/kota. Semula dalam penjatuhan sanksi tersebut, pemerintah daerah meminta persetujuan kepada Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda), namun karena di lingkungan kabupaten/kota belum terdapat forum tersebut maka ketentuannya disempurnakan menjadi: “dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap Ormas lingkup provinsi atau kab/kota, kepala daerah wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD, Kepala Kejaksaan, dan Kepala Kepolisian sesuai dengan tingkatannya.” Mengenai hal ini, Haramain menjelaskan, yang disebut sanksi penghentian sementara kegiatan adalah sanksi yang melibatkan publik, sementara kegiatan yang sifatnya hanya internal seperti rapat harian, pleno, masih bisa dilakukan oleh Ormas. Sanksi ini penting untuk mengantisipasi kemungkinan mudarat dan efek negatif dari sebuah kegiatan Ormas yang melibatkan publik, penghentian sementara diatur maksimal enam bulan.

Sementara itu Pasal 83 huruf b RUU dilakukan penyempurnaan kalimat. Pasal ini memberikan penghargaan atas Ormas yang berdiri sebelum proklamasi Kemerdekaan RI dan masih konsisten mempertahankan NKRI. Penghargaan atas Ormas tersebut adalah

- 4 -

dengan mengakui Ormas-ormas tersebut sebagai aset bangsa dan Ormas-ormas tersebut tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan UU ini.

C. Penutup

RUU Ormas akan membawa era baru dalam pengorganisasian keormasan di Indonesia, namun bukan era dibelenggunya kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, melainkan era ditertibkannya hal-hal dalam kehidupan keormasan. Hal tersebut dilakukan semata-mata demi melindungi kepentingan nasional.

RUU Ormas tidak mungkin dibentuk dengan tujuan membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul. Mengenai kebebasan menyampaikan pendapat bahkan telah dijamin oleh Konstitusi dan juga sudah diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

RUU Ormas dibentuk dengan harapan, organisasi masyarakat yang ada di Indonesia ke depan menjadi lebih jelas tujuannya dan lebih teratur pengorganisasiannya. Selain itu, segala kegiatan dan pengaturan organisasinya dapat lebih mudah untuk dipertanggungjawabkan.

DPR-RI dan pemerintah telah berupaya mengakomodir berbagai pendapat masyarakat. Akan tetapi, penolakan dari sebagian kalangan terhadap RUU Ormas tetap terjadi. Ini merupakan suatu kewajaran dalam era demokrasi. Wacana yang muncul untuk menyikapi RUU Ormas juga masih dalam batas-batas yang bijaksana, yakni cara yang konstitusional dan berlandaskan hukum, termasuk di antaranya dengan jalan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Rujukan:1. “Inisiatif DPR Ubah UU Omas Diapresiasi

Pemerintah Karena Sejalan Arah Reformasi,” www.dpr.go.id, diakses 3 Juli 2013.

2. “Kategorisasi Ormas Dihilangkan,” www.dpr.go.id, diakses 3 Juli 2013.

3. “Masyarakat Sipil Siapkan Uji Materi,” Bisnis Indonesia, 3 Juli 2013.

4. “DPR Setujui RUU Ormas,” Suara Pembaruan, 2 Juli 2013.

5. “Pengesahan RUU Ormas Bernuansa Politis,” www.republika.co.id, diakses 3 Juli 2013.

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 13/I/P3DI/Juli/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PERTEMUAN TINGKAT MENTERI LUAR NEGERI ASEAN

REGIONAL FORUM (ARF) DI BRUNEI DARUSSALAM

Sita Hidriyah*)

Abstrak

ASEAN berupaya membangun masyarakat dinamis dan tangguh menjelang tahun 2015. Semangat Komunitas ASEAN 2015 adalah terciptanya masyarakat ASEAN sebagai identitas tunggal yang memiliki rasa kekeluargaan dan saling bekerja sama. Komunitas ASEAN yang diharapkan dapat mulai berjalan pada 2015 masih menghadapi jalan terjal dan berliku. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya gesekan kepentingan antaranggota. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut, di antaranya dengan cara memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara ASEAN dan mitra dialog untuk menuju saling pengertian dan kerja sama konstruktif. Hal itu menjadi inti pertemuan Menteri Luar Negeri dalam Forum Regional ASEAN dengan negara mitra yang diselenggarakan di Brunei Darussalam akhir Juni 2013. Adanya pertemuan ASEAN tersebut diharapkan bermanfaat dalam mempererat kerja sama di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.

A. Pendahuluan

Pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) ke-46 telah berlangsung di Bandar Seri Begawan akhir Juni 2013. Selain negara ASEAN, pertemuan tersebut juga menghadirkan negara mitra yaitu 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat (AS), Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara (Korut),

Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh, dan Sri Lanka.

ARF merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan. ARF menyepakati bahwa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti

*) Peneliti bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 6 -

isu keamanan non-tradisional. Pertemuan ini menjadi forum untuk menyamakan pandangan dengan tujuan menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan.

Brunei sebagai tuan rumah mengusung slogan “Masa Depan Kita Sama” dan menilainya sebagai peran masyarakat di negara-negara anggota ASEAN untuk menciptakan keamanan politik, ekonomi, budaya, dan sosial di kawasan. Topik diskusi pada ARF kali ini mencakup isu-isu yang terkait dengan peta jalan untuk komunitas ASEAN, arah masa depan ASEAN, dan hubungan eksternal ASEAN. Isu-isu yang dibahas dalam pertemuan tersebut antara lain seperti integrasi regional dan kerja sama, keamanan regional, pengelolaan sengketa maritim serta asap lintas batas. ASEAN saat ini tengah memasuki periode baru dengan banyaknya kepentingan internasional dan meningkatnya minat dari berbagai negara terhadap organisasi ini. Pada ARF kali ini, diharapkan pembahasan isu-isu yang menjadi permasalahan dapat menghasilkan kesepakatan serta jalan keluar yang nantinya dapat memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara ASEAN dan mitra dialog untuk menuju saling pengertian, dialog politik, dan kerja sama konstruktif.

B. Sengketa Laut China Selatan

Ketegangan di kawasan Asia Tenggara beberapa tahun terakhir meningkat seiring dengan menajamnya sengketa Laut China Selatan. ASEAN menyadari perlu suatu upaya serius agar Asia Tenggara tidak terjerumus ke dalam konflik bersenjata yang bisa mengancam perdamaian dunia. AS menekan China dan negara-negara anggota ASEAN untuk membuat kemajuan dalam upaya mengurangi ketegangan di Laut China Selatan.

Sengketa Laut China Selatan telah berada dalam proses pembahasan kode tata perilaku/Code of Conduct (COC) antara ASEAN dan China, di mana COC itu nantinya akan mengikat secara hukum (legally binding) dan bertujuan menurunkan kemungkinan konflik atau insiden serta ketegangan di

kawasan sengketa itu. Pertemuan ini menekan China untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di perairan Laut China Selatan dengan menekankan pentingnya penyelesaian perselisihan secara damai melalui konsultasi yang ramah dan negosiasi berdasarkan prinsip-prinsip universal yang diakui hukum internasional termasuk Konvensi PBB mengenai Hukum Laut tahun 1982. Dalam pertemuan Juli tahun lalu, para menteri luar negeri ASEAN gagal mencapai kesepakatan mengenai mengenai masalah tersebut sehingga menjadi pertemuan ARF yang berakhir tanpa mengesahkan sebuah pernyataan bersama.

Dalam pertemuan di Brunei ini tercapai komitmen kolektif para negara anggota ASEAN dan China untuk secara penuh dan efektif mengimplementasikan Deklarasi Perilaku atas Pihak (Declaration on the Conduct of Parties/DOC) di Laut China Selatan. Partisipasi Menlu China menjadi yang pertama kali menjadi ketua dalam acara tersebut melalui spektrum aktivitas yang kooperatif dalam bidang politik-keamanan, ekonomi dan sosial-budaya disambut baik.

C. Krisis Nuklir Korea

Krisis nuklir Korut menjadi fokus utama dialog para menlu ASEAN. Masalah itu sangat penting untuk dibahas mengingat lima negara anggota kelompok segi enam yaitu AS, Perancis, Rusia, China dan Inggris untuk menyelesaikan sengketa nuklir Korut, hadir dalam pertemuan di Brunei. Meski para pejabat AS dalam beberapa bulan terakhir berupaya merangkul China untuk meningkatkan tekanan kepada Korut, tapi ASEAN tetap mendesak dimulainya kembali perundingan kelompok segi enam untuk menyelesaikan krisis tersebut. Selama ini, AS dengan alasan program nuklir Korut dan sengketa di Laut China Selatan, telah menambah kehadiran militernya di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Meski negara itu mengklaim tidak memiliki kepentingan di Laut China Selatan, namun kebijakan AS untuk fokus di Asia dengan sendirinya akan membantah klaim itu.

- 7 -

Para Menlu anggota ARF telah bersepakat untuk mendesak Pyongyang melakukan denuklirisasi untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan serta berhenti melakukan sejumlah tindakan provokatif. ARF adalah satu-satunya forum dialog keamanan kawasan yang masih diikuti Korut setelah forum Pembicaraan Enam Pihak (Six Party Talks) yang terhenti sejak 2009. Sehingga diharapkan ada tindak lanjut dari Korut untuk mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan secara serius. Namun sayangnya, pihak Korut tidak mau tinggal diam dalam tekanan tersebut. Selain menyebut AS sebagai provokator sejati, Korut juga menegaskan akan mempertahankan program senjata nuklirnya sampai Washington menurunkan sikap permusuhannya kecuali AS menghapus semua kebijakan anti-Korut.

D. Kemitraan Strategis ASEAN–China dan Korea Selatan

Masalah kemitraan strategis ASEAN dengan Korsel dan China juga menjadi perhatian penting. Indonesia memimpin Konferensi antarmenteri ASEAN/The ASEAN Post Ministerial Conference (PMC) dengan Korsel yang salah satunya menyambut baik kemajuan substansial implementasi dari rencana aksi ASEAN-Korea dalam Kemitraan Strategis bagi Perdamaian dan Kemakmuran 2011–2015. Pertemuan ini mendorong upaya untuk mengoptimalkan banyak aktivitas yang diadakan pusat promosi kerja sama ASEAN-Korsel khususnya area perdagangan dan investasi, kebudayaan, pariwisata, dan hubungan masyarakat dan informasi termasuk dalam mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah.

Pusat ASEAN-Korsel telah mencanangkan kerja sama dengan Pusat ASEAN-Jepang dan Pusat ASEAN-China dan berharap masing-masing kerja sama itu dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan dari masing-masing. China dan ASEAN telah bertukar pendapat seputar hubungan dan kerja sama. ASEAN menganggap China sebagai mitra kerja sama strategis dimana

hubungan ASEAN dengan China mencakup semua bidang, yang tidak boleh terpengaruh oleh beberapa permasalahan tertentu. Perkembangan hubungan baik China-ASEAN terus diupayakan meningkat demi menciptakan stabilitas dan perdamaian regional.

E. Kabut Asap Indonesia

Masalah kabut asap yang berasal dari Indonesia menjadi topik yang disorot serius pada ARF kali ini. Negara-negara kawasan Asia Tenggara kembali mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi serta menerapkan Traktat Polusi Kabut Asap Lintas Negara (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Brokered). Traktat tersebut bertujuan menghentikan polusi kabut asap lintas negara akibat kebakaran hutan dengan cara memaksa negara peratifikasi mencegah, memonitor upaya pencegahan, dan saling bertukar informasi tentang kebakaran hutan. Indonesia sendiri belum meratifikasi semenjak kesepakatan tahun 2002 dikarenakan terbentur persetujuan pada parlemen. DPR-RI menolak traktat tersebut karena belum ada batas jelas kewenangan negara tetangga dalam membantu memadamkan api tanpa melanggar batas negara.

Langkah yang akhirnya ditempuh Menlu se-Asia Tenggara menyepakati pembentukan satuan kerja untuk menginvestigasi dan mencari solusi guna mengatasi masalah kabut asap yang muncul dari kebakaran lahan di Indonesia. Satuan kerja terdiri atas para pejabat tinggi dari ketiga negara yang terkena dampaknya, yaitu Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Satuan kerja nantinya akan melaporkan temuan mereka ke masing-masing pimpinan negara. F. Penutup

Dalam era globalisasi yang penuh tantangan ini, ASEAN harus terus bebenah diri menghadapi konfigurasi geopolitik internasional yang semakin tidak menentu. Mekanisme konferensi ASEAN selayaknya

- 8 -

bermanfaat dalam mendorong lebih lanjut kerja sama di kawasan Asia Tenggara maupun di kawasan yang lebih luas. Sebagaimana yang tertera dalam komunike bersama seusai konferensi, ASEAN harus dapat mewujudkan target pembangunan komunitas bersama sebelum tahun 2015. Komunike tersebut juga mengatakan bahwa ASEAN perlu mengevaluasi kembali mekanisme operasinya, guna menyesuaikan diri dengan perubahan terbaru konfigurasi geopolitik, agar ASEAN dapat terus memainkan peran dominan dalam mekanisme kerja sama regional.

Komunitas ASEAN 2015 juga merupakan ajang perjuangan posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Indonesia adalah ekonomi terbesar di ASEAN. Pemerintah harus segera melakukan introspeksi dan melakukan pembenahan serius dalam menyongsong kehadiran Komunitas ASEAN agar dapat meraih manfaat nyata bagi rakyat. DPR-RI mendorong Pemerintah Indonesia menjadi penggerak utama kemajuan ASEAN di berbagai bidang. Asia Tenggara dengan keunggulan geografisnya dapat berperan penting dalam menciptakan perdamaian kawasan dan peningkatan kerja sama ekonomi. Terbukti dengan mitra dialog ASEAN yang semakin bertambah dalam beberapa tahun terakhir. ASEAN harus terus membenahi organisasinya agar dapat menjadi pusat kerja sama berbagai pihak di kawasan.

Dalam upaya menjaga stabilitas perdamaian kawasan, ASEAN perlu mengambil sikap yang jelas terkait sengketa kawasan perairan Laut China Selatan, mengingat beberapa negara anggota ASEAN terlibat dalam konflik Perairan Laut China Selatan dengan China. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara besar diharapkan mampu memberikan solusi tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut secara damai. Persengketaan yang

melibatkan China dan sejumlah negara ASEAN menguji sejauh mana peran Indonesia untuk membangun rasa solidaritas kawasan dan mencegah terjadinya eskalasi konflik. DPR-RI perlu mengingatkan Pemerintah untuk cekatan berdiplomasi dalam mengatasi masalah ini sesuai semangat persatuan.

Pada isu bencana asap lintas batas, Pemerintah Indonesia harus fokus pada upaya memadamkan api dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terjadi kembali. DPR-RI dapat mendorong pemerintah untuk terus melakukan upaya kerja sama mengatasi masalah ini dengan tetap memperhatikan kedaulatan bangsa. Hal ini penting karena dengan keterbatasan infrastruktur di Indonesia, negara lain dapat menginterpretasikan pelanggaran kedaulatan sampai ada pemberian batas yang jelas antarnegara dengan membantu memadamkan api tanpa melanggar batas negara.

Rujukan:1. “AS Menekan China,” Kompas, 2 Juli

2013.2. “Korea Utara Ditekan di ARF,” Kompas, 3

Juli 2013.3. “Menlu ASEAN Sepakat Bentuk

Satgas Kabut Asap,” http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/07/02/229555/, diakses 5 Juli 2013.

4. “Menlu Tiongkok Temui Menlu-menlu ASEAN,” http://indonesian.cri.cn/201/2013/07/02/1s139707.htm, diakses 5 Juli 2013.

5. “Sepuluh Ton Garam Sudah Disebar di Langit Riau,” Republika, 26 Juni 2013.

6. “Filipina Kembali Serang China: Indonesia Didesak Segera Ratifikasi Traktat Polusi Lintas Negara,” Kompas, 1 Juli 2013.

7. “Ratifikasi Asap Lintas Batas Masih Panjang,” Kompas, 4 Juli 2013.

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 13/I/P3DI/Juli/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

UPAYA MEMINIMALISIR DAMPAK GEMPA

Yulia Indahri*)

Abstrak

Sebagai negeri rawan bencana, Indonesia harus siap menghadapi musibah yang datang. Kesiapsiagaan menghadapi bencana akan mengurangi dampak yang ditimbulkan. Kepemimpinan aparat negara di seluruh tingkat merupakan hal penting dalam sistem nasional penanggulangan bencana. Langkah antisipasi dalam pengambilan keputusan serta langkah cepat ketika bencana telah terjadi harus menjadi pertimbangan bagi para pemimpin melalui pengaturan penataan ruang yang lebih baik dengan berbasis mitigasi bencana.

A. Pendahuluan

Aceh kembali digoncang gempa. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa berkekuatan 6,2 skala Richter tersebut berpusat pada posisi 4,70 LU, 96,61 BT, 35 km barat daya Kabupaten Bener Meriah, dengan kedalaman 10 kilometer pada 2 Juli 2013 pukul 14.37:03 WIB). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menginformasikan bahwa gempa di Provinsi Aceh ini menelan korban 40 orang meninggal, 4 hilang, 141 orang luka berat, 15.919 unit rumah rusak, dan 623 unit bangunan fasilitas umum rusak. Korban di Kabupaten Bener Merian dah Kabupaten Aceh Tengah dirinci dalam Tabel.

Sebagian besar korban luka berat dirawat di RSUD Datu Beru dan sebagian rawat jalan. Beberapa korban yang luka serius, yaitu empat orang anak, telah diterbangkan ke RS Banda Aceh dari Bener Meriah untuk mendapatkan

*) Peneliti bidang Studi Masyarakat dan Sosiologi Perkotaan pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Tabel Rincian Dampak Gempa

Dampak Kab. Bener Meriah

Kab. Aceh Tengah

Kor

ban

jiwa

Meninggal 9 orang 26 orangLuka 109 orang 166 orang

Mengungsi 12.500 orang 3.500 orang

Rusa

k Rumah 789 unit 3.503 unitFasum 8 fasum 75 unit

Titik pengungsian 15 20

Sumber: BNPB, 8 Juli 2013

- 10 -

perawatan yang lebih baik. Semua korban sudah diidentifikasi nama, usia, dan alamat, dan sampai saat ini pemutakhiran data terus dilakukan agar tidak terjadi kesimpangsiuran.

Gubernur Aceh menyatakan, pada minggu pertama di dua minggu masa tanggap darurat akan difokuskan pada upaya pencarian dan penyelamatan korban, perawatan dan pengobatan bagi korban luka-luka dan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, seperti kebutuhan sandang, permakanan, air bersih, obat-obatan, sanitasi, penampungan sementara dan pelayanan kesehatan. Masa tanggap darurat ini selanjutnya akan dievaluasi sesuai kondisi di lapangan.

Mengingat kebutuhan mendesak yang diperlukan pengungsi dalam beberapa hari pertama adalah tempat tinggal dan kebutuhan pangan, maka Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) telah memberikan bantuan kepada BPBA Bener Meriah dan BPBA Aceh Tengah berupa beras, mi instan, air mineral, minyak goreng, sarden, saus sambal, gula, kecap, selimut, kelambu, dan daster/pakaian wanita. Dinas Sosial di kedua kabupaten juga telah mengeluarkan masing-masing dua ton beras untuk penanganan awal. Selain itu, Kementerian Sosial mengirimkan bantuan termasuk tenda gulung, tenda keluarga, tenda pengungsi, matras dan genset. Helikopter milik TNI AU dari Riau ke Aceh ikut dikirimkan untuk penanganan penyelamatan dan pencarian korban. Sebanyak 1.524 personel gabungan TNI/Polri siap dikerahkan ke Aceh untuk membantu rangkaian kegiatan di minggu pertama.

Kepala BNPB menekankan pengadaan tenda dan selimut yang harus segera dipenuhi mengingat banyak masyarakat yang masih trauma untuk tinggal di rumah. Selain itu, daerah bencana adalah daerah berudara dingin, terutama di malam hari, karena berada di pegunungan.

B. Penyebab Gempa

Gempa awal Juli 2013 ini merupakan gempa yang dipicu gempa sebelumnya. Setelah gempa besar yang memicu tsunami pada

tahun 2004 lalu, Aceh sebenarnya lebih riskan terhadap gempa yang berpusat di daratan. Gempa laut memang berbahaya karena bisa menimbulkan tsunami, tetapi gempa darat juga bisa sangat merusak dan menimbulkan longsor, seperti yang terjadi di Tahiti pada tahun 2010 yang menewaskan 200.000 jiwa dan gempa di Yogyakarta tahun 2006 yang menewaskan lebih dari 5.000 orang.

Pakar gempa Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menjelaskan bawa ketika gempa 2004 terjadi, energi yang sangat besar terlepas. Energi ini meningkatkan regangan di wilayah sekitarnya. Di daratan, energi ini akan mempercepat siklus gempa. Frekuensi gempa daratan yang bersumber dari segmen Aceh telah meningkat tajam. Sebelumnya, dari tahun 1980 hingga 2004, hanya ada 12 gempa bermagnitudo di atas 5. Namun, setelah tahun 2004, sudah tercatat ada 33 gempa bermagnitudo di atas 5. Bila sebelumnya hanya ada 1 gempa dalam 2 tahun, kini ada 3 gempa yang merusak dalam setahun. Artinya, pasca-2004, gempa daratan di Aceh meningkat enam kali lipat.

Pengaturan umum untuk meminimalisir dampak gempa disandarkan pada pedoman Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-gedung yang mengatur standar bangunan tahan gempa. Selain itu, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sudha memuat arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana mengingat secara geografis Indonesia berada pada kawasan rawan bencana. Pemerintah dan DPR-RI pun telah mengesahkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Produk hukum di bawahnya antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan Kepala Badan.

Tetapi sangat disayangkan, hingga saat ini belum ada undang-undang atau peraturan daerah yang khusus, tegas, dan masif untuk meminimalisasi dampak gempa dari sisi teknis bangunan. Kita semua menyadari bahwa masalah kebencanaan harus ditangani secara serius. Kebencanaan merupakan permasalahan

- 11 -

yang sangat komprehensif dan multi dimensi. Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus meningkat setiap tahun, pemikiran terhadap penanggulangan bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak. Oleh karena itu, secara periodik, Indonesia harus terus membangun sistem nasional penanggulangan bencana yang solid.

Keberadaan BNPB sebagai pendamping koordinasi dalam penanggulangan bencana dengan dukungan BPBD dari berbagai dinas di daerah sudah seharusnya dapat dibuktikan dengan tidak ada lagi keluhan dari warga korban gempa mengenai kelambanan pendistribusian bantuan. Seharusnya tidak ada lagi warga yang menempati tenda-tenda darurat yang dibangun dengan peralatan seadanya. Selanjutnya, BNPB juga diharapkan berkoordinasi dengan pihak lain dalam pembangunan infrastruktur dalam proses rekonstruksi agar tepat sasaran dan bukan justru membangun di tempat yang rawan.

C. Antisipasi

Gempa Aceh kali ini kembali menyadarkan kita, bahwa Indonesia merupakan negara rawan bencana. Bencana, terlebih gempa, bisa datang sewaktu-waktu tanpa bisa diduga sebelumnya. Secara formal, BNPB merupakan focal point pemerintah di tingkat pusat sebagai bagian dari sistem nasional penanggulangan bencana. Kepala BNPB, Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, Pihak Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum, bahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial sudah mengunjungi lokasi untuk berkoordinasi dengan bupati setempat.

Kepemimpinan aparat negara dalam pengambilan keputusan secara cepat dan tepat di wilayah terjadinya bencana alam merupakan hal penting dalam sistem penanggulangan bencana.

Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar, Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Itu artinya gempa sewaktu-waktu bisa datang seiring dengan pergeseran lempeng-lempeng tersebut. Belajar dari pengalaman gempa Aceh kali ini, ada pekerjaan

rumah yang harus segera diselesaikan bersama yaitu merelokasi beberapa desa terdampak gempa. Jika mengacu pada standar bangunan tahan gempa, Desa Bah, Desa Serempah, dan Desa Blang Mancung yang berada di Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah serta Desa Kulemparakanis dan Desa Cekal Baru di Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah merupakan desa-desa yang sudah tidak layak dibangun kembali untuk menjadi tempat pemukiman penduduk. Hampir 90 persen rumah warga rusak parah dan tidak bisa ditempati lagi. Sebagian besar korban adalah anak-anak dan warga lanjut usia yang tertimpa reruntuhan bangunan.

Belum adanya antisipasi dan kesadaran dari masyarakat akan arti penting kekuatan bangunan di daerah rawan bencana menjadi penyebab banyaknya kerusakan dan korban, karena ada indikasi bahwa mayoritas rumah warga yang rusak dan tidak bisa ditempati tersebut awalnya berdiri di atas sesar aktif Sumatera/Semangko dan dibangun tidak tahan gempa. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB menginformasikan bahwa sesar Semangko memiliki 19 segmen dan membentang sejauh 1.900 km dari Aceh hingga Lampung, melewati Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Sebelumnya, di daerah sesar tersebut pernah terjadi gempa bumi 6,0 SR pada 22 Januari 2013 di Pidie, yang menyebabkan korban satu orang meninggal dunia dan tujuh orang luka-luka.

D. Penutup

Baik pemerintah pusat maupun daerah harus segera menetapkan kebijakan untuk menjadikan bangunan tahan gempa sebagai standar dalam mendirikan bangunan. DPR-RI, melalui Komisi VIII dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. BNPB sejatinya telah melakukan sosialisasi rumah tahan gempa dan memperhatikan risiko kegempaan dalam perencanaan tata ruang. Tak hanya di Aceh, sosialisasi juga seharusnya dilakukan di daerah-daerah rawan gempa lainnya. Namun, harus diakui realisasi di lapangan sangat sulit dilakukan.

- 12 -

Keengganan warga mendirikan rumah tahan gempa dapat dimaklumi karena di samping tidak adanya kebijakan pemerintah daerah, juga karena tingginya biaya pembangunan unit bangunan tahan gempa yang umumnya akan menelan biaya 30 persen lebih mahal daripada pembangunan unit bangunan biasa. Untuk itu, agar masyarakat mau membangun rumah atau bangunan tahan gempa, pemerintah perlu turun tangan dengan memberikan subsidi, insentif, atau kemudahan perizinan.

Pemerintah kabupaten harus lebih intensif menyosialisasikan pembangunan rumah tahan gempa kepada masyarakat di wilayahnya. Selain itu, harus ada pengawasan ketat dalam rehabilitasi rumah pascagempa dan penerbitan peraturan daerah yang mengacu pada peta bencana. Perlu juga ada upaya memasyarakatkan penggunaan konstruksi rumah yang tahan gempa, termasuk penggunaan bahan-bahan lokal yang ringan, seperti bambu. Sejalan dengan itu, pembuatan rencana tata ruang dan wilayah sebaiknya memperhatikan aspek kebencanaan, sehingga unit bangunan privat dan publik tidak lagi berada di kawasan rawan bencana.

Rujukan:1. “Pengungsi Gempa Aceh Mencapai 16.000

Jiwa,” http://www.bnpb.go.id/news/read/1472/, diakses 5 Juli 2013.

2. “Meminimalisasi Dampak Gempa,” Editorial Media Indonesia, 5 Juli 2013, h. 1.

3. “Perda Rumah Tahan Gempa Mendesak Diterbitkan,” Media Indonesia, 5 Juli 3013, h. 1.

4. “Ancaman Utama Aceh Bukan Tsunami, melainkan Gempa Daratan,” http://sains.kompas.com/read/2013/07/04/1337250/, diakses 5 Juli 2013.

5. “Pasca-2004, Frekuensi Gempa Daratan di Aceh Meningkat 6 Kali Lipat,” http://sains.kompas.com/read/2013/07/04/1256007/, diakses 5 Juli 2013.

6. “Menkokesra dan Mensos Kunjungi Korban Gempa Gayo,” http://regional.kompas.com/read/2013/07/03/2123116/, diakses 4 Juli 2013.

7. “Pemerintah Siapkan Rp 40 Miliar untuk Gempa Aceh,” http://regional.kompas.com/read/2013/07/03/2013066/, diakses 4 Juli 2013.

8. “BNPB: Gempa Bisa Berdampak ke Wilayah Lain Sumatera,” http://regional.kompas.com/read/2013/07/03/1810104/, diakses 4 Juli 2013.

9. “Gubernur Aceh Kunjungi Lokasi Gempa Terparah,” http://regional.kompas.com/read/2013/07/03/1709306/, diakses 4 Juli 2013.

10. “Antara Gempa Aceh Juli 2013 dan Gempa Yogyakarta 2006,” http://sains.kompas.com/read/2013/07/03/1423284/, diakses 4 Juli 2013.

11. “Gempa Aceh Ingatkan Lagi Pentingnya Bangunan Tahan Gempa,” http://sains.kompas.com/read/2013/07/03/1250011/, 4 Juli 2013.

12. “Bagaimana Mekanisme Terjadinya Gempa Aceh Hari Ini?” http://sains.kompas.com/read/2013/07/02/2230575/, diakses 5 Juli 2013.

13. “Rilis Pers Dampak dan Penanganan Bencana Gempa Bumi 6,2 SR di Bener Meriah dan Aceh Tengah,” http://www.bnpb.go.id/news/read/1459/, diakses 5 Juli 2013.

14. “22 Meninggal, 210 Luka-luka dan Ribuan Bangunan Rusak Akibat Gempa Aceh,” http://www.bnpb.go.id/news/read/1458/, diakses 5 Juli 2013.

- 13 -

Vol. V, No. 13/I/P3DI/Juli/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

BANTUAN LANGSUNG SEMENTARA

MASYARAKATIwan Hermawan*)

Abstrak

BLSM bertujuan menjaga tingkat konsumsi kelompok miskin saat terjadi guncangan ekonomi. Di Indonesia, BLSM diberikan karena terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dengan mempertimbangkan kesehatan anggaran dan pemberian subsidi yang lebih adil. Kenaikan harga BBM akan menstimulasi kenaikan harga-harga sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Pro dan kontra terhadap program ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Keberhasilan BLSM ditentukan oleh pembangunan sektor layanan publik yang layak bagi masyarakat dan penentuan target yang dikenai bantuan tersebut, baik melalui pemutakhiran data maupun pengawasan.

A. Pendahuluan

Beberapa dekade ini, bantuan langsung kepada masyarakat (social cash transfer) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), menjadi kebijakan yang populer guna mengurangi kemiskinan di banyak negara di dunia. Bahkan lebih dari 15 tahun terakhir pemerintah di negara-negara berkembang telah melakukan program tersebut kepada hampir 0,75 hingga 1 miliar orang. Perkembangan tersebut terjadi karena: (1) adanya integrasi ekonomi global yang membawa kesempatan dan ancaman bagi rumah tangga miskin serta kelompok lainnya. Dalam hal ini bantuan langsung berperan penting untuk mengurangi

transitory poverty, khususnya saat terjadi guncangan ekonomi, (2) banyaknya bukti empiris yang menjelaskan bahwa bantuan tersebut dapat membantu masyarakat keluar dari kemiskinan yang kronis, kemiskinan antargenerasi, meningkatkan manfaat non-income, meningkatkan modal manusia, dan akselerasi kemajuan target Millennium Development Goals (MDGs), dan (3) adanya kerawanan pangan sehingga program tersebut menjadi lebih efisien dan efektif dibandingkan bantuan pangan darurat yang diberikan tiap tahun.

Pada dasarnya tujuan pemberian BLSM adalah untuk menjaga tingkat konsumsi kelompok miskin yang notabene

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 14 -

jarang memiliki saving atau akses terhadap pinjaman saat terjadi guncangan ekonomi. Kondisi tersebut akan semakin diperparah dengan tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakterampilan tenaga kerja dari kelompok miskin. Oleh sebab itu, dengan tingkat konsumsi yang terjaga diharapkan mereka dapat meningkatkan kapasitasnya dalam mengelola risiko.

Di Indonesia, BLSM merupakan salah program kompensasi selain dari penyaluran beras miskin (raskin), program keluarga harapan (PKH), dan bantuan siswa miskin (BSM). BLSM diberikan karena terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM khususnya premium dan solar) bersubsidi. Kenaikan harga BBM bersubsidi akan menstimulasi inflasi dan lebih lanjut, menurut Kurtubi, dapat menurunkan daya beli (purchasing power) masyarakat terhadap tingkat konsumsinya. Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengatakan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan menambah jumlah rakyat miskin hingga empat juta orang jika tanpa diberikan BLSM. Masyarakat miskin memiliki porsi pengeluaran terbesar adalah untuk pangan, sedangkan masyarakat menengah ke atas porsi pengeluaran untuk pangan relatif lebih kecil dibandingkan pengeluaran yang lain, salah satunya konsumsi BBM bagi kendaraannya. Meskipun demikian, kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak pada harga bahan pangan yang mana diangkut dengan sarana transportasi.

B. Pro dan Kontra BLSM di Indonesia

Beberapa ahli melihat BLSM dari perspektif yang berbeda. Para ahli yang pro terhadap manfaat BLSM berargumen bahwa bantuan tersebut memiliki dampak positif, antara lain: (1) menciptakan lingkungan investasi yang kondusif, (2) mendorong pengembangan modal manusia, meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas pekerja, (3) memungkinkan kelompok miskin melindungi dirinya dan asetnya, bahkan mempertahankan pendapatan jangka panjangnya, (4) mengurangi risiko sosial, (5)

memerangi diskriminasi dan membuka potensi ekonomi (bias gender dalam pendidikan), (6) mendukung partisipasi kelompok miskin dalam pasar tenaga kerja karena pencarian kerja seringkali mahal dan berisiko, (7) menstimulasi permintaan terhadap barang dan jasa lokal, (8) menciptakan manfaat bagi kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan karena reformasi ekonomi, seperti kompensasi bagi kelompok miskin dari pengurangan harga BBM.

Bagi kelompok yang kontra terhadap program BLSM, secara filosofi, BLSM telah menempatkan masyarakat sebagai pengemis dan tidak menempatkan masyarakat secara bermartabat atau berdaya. Bahkan masyarakat harus menanggung kenaikan harga-harga di sektor lainnya, misalnya biaya transportasi. Asumsi pemerintah melakukan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk menyehatkan anggaran adalah tidak tepat. Sebenarnya cara penghematan lain dapat dilakukan pemerintah, misalnya pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur, yang dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Selain itu BLSM juga diprediksikan sulit untuk mencapai tujuan awalnya. Mengacu pada bantuan tunai langsung pada tahun 2006, ternyata 60 persen bantuannya digunakan untuk membayar hutang dan membeli rokok. BLSM dapat menjadi benteng inflasi bagi masyarakat miskin jika BLSM tersebut dibelanjakan secara produktif.

Secara umum kemampuan BLSM dalam mengurangi kemiskinan tersebut sangat tergantung pada akurasi target yang dikenai bantuan tersebut. Penyaluran BLSM diakui pemerintah memiliki kendala di berbagai daerah karena data yang tidak akurat, jumlah bantuan yang belum mencukupi kebutuhan masyarakat, dan adanya rent seeker. Data yang digunakan tersebut ternyata didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 untuk data raskin. Akibatnya di lapangan terjadi perubahan data, misalnya, warga yang telah pindah tempat tinggal dan meninggal dunia. Selain itu sejumlah penyelewengan BLSM juga terjadi secara sporadis di beberapa daerah di Indonesia.

- 15 -

C. BLSM di Indonesia vs BLSM di Negara-Negara Lain

1. BLSM di IndonesiaBLSM diluncurkan oleh pemerintah

mulai 22 Juni 2013 dan diberikan kepada 15,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan besaran Rp150.000,- per bulan selama empat bulan. Tahap awal BLSM diberikan dua bulan sekaligus, yaitu Rp300.000,- di mana akan dibagikan bertahap sampai Juli. Pembagiannya fokus pada dua tempat, yaitu PT. Pos Indonesia yang telah ditunjuk dan komunitas masyarakat melalui perangkat pemerintahan. BLSM akan diberikan dalam tiga tahap. Tahap pertama di 14 kota besar, tahap kedua pada 25 Juni mencakup 33 propinsi, dan tahap ketiga per 1 Juli mencakup semua kabupaten kota. Penyaluran ini didahului dengan mencetak Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai bukti pengambilan dana BLSM dan didistribusikan oleh PT. Pos Indonesia. Untuk mendanai BLSM tersebut, alokasi anggarannya mencapai Rp9,3 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013.

Alokasi anggaran BLSM tersebut lebih rendah Rp2,3 triliun dari anggaran sebelumnya yang mencapai Rp11,625 triliun. Penghematan ini dimungkinkan karena penyaluran BLSM sebesar Rp150.000,- per bulan yang semula lima bulan dipotong menjadi empat bulan. Selisih penghematan tersebut akan dialokasikan untuk biaya penyaluran dan pengamanan BLSM sebesar Rp360 miliar, infrastruktur modal Rp500 miliar, dan tambahan kebutuhan mendesak sebesar Rp196,4 miliar. Sementara itu, alokasi terbesar dari selisih penghematan akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar yang bersifat bantuan sosial senilai Rp1,25 triliun.

2. BLSM di Negara-Negara Lain Lebih dari 30 negara, termasuk negara-

negara di Amerika Latin telah melakukan program BLSM, seperti Brasil, Kolombia, Nikaragua, dan Meksiko. Demikian juga dengan China dan Etiopia juga telah melaksanakan program yang sama. Program tersebut memiliki potensi dan kontribusi

terhadap peningkatan kehidupan dari masyarakat miskin.

Di negara-negara Asia, Saudi Arabia, Oman, Mesir, Afrika Selatan, dan bahkan di negara-negara Eropa, baik insidental (tekanan minyak dunia, krisis pangan) maupun permanen, juga memberlakukan bantuan langsung tunai. Pemerintah Hong Kong pada tahun 2011 memberikan subsidi listrik, meningkatkan tunjangan kesejahteraan, dan membagikan bantuan langsung tunai bagi setiap penduduk. Selain Filipina dan Kamboja, kini Malaysia juga memberlakukan BLSM yang bernama Bantuan Rakyat 1 Malaysia (BR1M).

India memiliki jumlah penduduk miskin lebih banyak dibandingkan negara-negara lainnya. BLSM diberlakukan 1 Januari 2013 untuk 420 penduduk miskin di India, di mana 200 juta penduduknya akan menerima BLSM pengganti subsidi bahan bakar dan pangan. Program tersebut berdasarkan model dari Meksiko dan Brasil. BLSM dipandang dapat memutus rantai korupsi birokrasi, biaya transaksi, mudah diawasi, dan membawa masyarakat pada sistem yang lebih teratur. Berbagai permasalahan muncul ketika penerima uang tunainya adalah laki-laki yang cenderung menghambur-hamburkan dibandingkan perempuan. Penelitian Bank Dunia menunjukkan hubungan langsung antara program BLSM dengan pola pemilihan suara, di mana penerima BLSM cenderung memilih partai yang memberikannya uang. Selain itu Bank Dunia juga meyakini bahwa BLSM ini bukan obat mujarab. Bantuan ini justru akan berjalan baik jika pemerintah mampu membangun dan menyediakan layanan publiknya dengan layak, seperti pendidikan dan kesehatan.

Berbagai pengalaman negara-negara lain dalam mengimplementasikan BLSM tersebut dapat menjadi masukan penting bagi Pemerintah Indonesia. Penerima BLSM diberikan dengan syarat tertentu, contohnya penerima BLSM harus perempuan, harus bekerja di sektor pertanian, harus bersekolah, dan hadir dalam pemeriksaan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah mengingat tingkat kemiskinan terbesar ada di daerah perdesaan dan bekerja di sektor pertanian.

- 16 -

D. Penutup

BLSM menjadi kebijakan yang populer guna mengurangi kemiskinan di banyak negara di dunia. Implementasi BLSM akan mendorong tingkat konsumsi masyarakat miskin terjaga dan memungkinkan mereka dapat mengelola risiko ketika terjadi guncangan ekonomi. Di Indonesia, BLSM diluncurkan untuk mengkompensasi adanya kenaikan harga BBM bersubsidi dengan mempertimbangkan kesehatan anggaran dan pemberian subsidi yang lebih adil.

Pro dan kontra terhadap program ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain di dunia. Hasil nyata program ini dapat terlihat dari pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan kualitas hidup kelompok miskin. Di sisi lain, BLSM juga bukan obat mujarab yang dapat menyelesaikan semua permasalahan kemiskinan. Sifatnya yang temporer harus didukung dengan upaya-upaya lain yang sifatnya jangka panjang, seperti pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur. Oleh sebab itu keberhasilan BLSM ditentukan oleh pembangunan sektor layanan publik yang layak bagi masyarakat dan penentuan target yang dikenai bantuan tersebut, baik melalui pemutakhiran data maupun pengawasan.

Rujukan:1. Arief, Andi. “Negara Lain pun Mengadopsi

Bantuan Langsung Tunai,” http://www.aktual.co, diakses 24 Juni 2013.

2. Bagus, Mukhtar. “Pembagian BLSM tak Tepat Sasaran,” http://ekbis.sindonews.com, diakses 5 Juli 2013.

3. “BLSM bisa Melempen, Rokok Menggerus Daya Beli Keluarga Termiskin”. Kompas, 2 Juli 2013.

4. “Badan Anggaran DPR Setujui Dana BLSM Rp. 9,3 Triliun, Disalurkan 4 Bulan,” http://setkab.go.id, diakses 24 Juni 2013.

5. “BR1M will be Given Annually: PM,” http://www.malaysia-chronicle.com, diakses 5 Juli 2013.

6. “Data Sebabkan Penyaluran BLSM Bermasalah,” http://www.hukumonline.com, diakses 5 Juli 2013.

7. Departement for International Development and UKAid. “Cash Transfers Literature Review”. Policy Division, London, 2011.

8. Easterly, W., S. Fischer. 2001. “Inflation and the Poor”. Journal of Money, Credit and Banking, 33 (2), pp. 160-178.

9. Ghosh, Jayati. 2011. “Cash Transfers as the Silver Bullet for Poverty Reduction: A Sceptical Note”. Economic and Political Weekly, XLVI (21).

10. Jamil, A. Islamy. “Ada Perbedaan Konsep Masyarakat Miskin,” Republika, 24 Juni 2013.

11. “Kenaikan BBM Tambah Jumlah Rakyat Miskin,” http://www.hukumonline.com, diakses 5 Juli 2013.

12. Kharismawati, Margareta Engge. “BLSM Mulai Dibagikan Besok,” http://bisniskeuangan.kompas.com, diakses 24 Juni 2013.

13. Nota Keuangan dn Rancangana APBN-P Tahun Anggaran 2013.

14. “Pengamat: Kenaikan Harga BBM Sebabkan Daya Beli Masyarakat Menurun,” http://rri.co.id, diakses 24 Juni 2013.

15. “Penerima BLSM Bermasalah,” Republika, 24 Juni 2013.

16. Sandi, Ayu Prima. “Selisih Anggaran BLSM untuk Infrastruktur,” http://www.tempo.co, diakses 24 Juni 2013.

17. Samson, Michael Samson. 2009. Social Cash Transfers and Pro-Poor Growth in Promoting Pro-Poor Growth, Social Protection. Paris: Organisation for Economic Cooperation and Development.

18. Sari, Sri Mas Sari. “Pemerintah Siaga Penuh,” Bisnis Indonesia, 22 Juni 2013.

19. Scott, James Scott. 2009. Social Transfers and Growth in Poor Countries. Manchester: Brooks World Poverty Institute, OECD.

20. Slesnick, D. T. 1996. “Consumption and Poverty: How Effective are In-Kind Transfers?”. The Economic Journal, 106 (439), pp. 1527-1545.

21. “Will Cash Transfers Work in India?,” http://www.bbc.co, diakses 5 Juli 2013.

- 17 -

Vol. V, No. 13/I/P3DI/Juli/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

PENGAWASAN PROGRAM INTERNET

KECAMATANAhmad Budiman*)

Abstrak

Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobile Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) bertujuan mendukung perluasan layanan akses internet bagi masyarakat luas. Namun pada penerapannya, banyak hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan. Kemanfaatan program ini belum dapat dirasakan secara maksimal oleh masyarakat. Temuan pengawasan Komisi I DPR-RI terhadap program ini, perlu dilakukan pengawasan mendalam (audit investigasi) oleh BPK-RI.

A. Pendahuluan

Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobile Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) merupakan program Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI), dengan tujuan mendukung perluasan layanan akses internet bagi masyarakat luas dan sebagai percepatan peningkatan keterjangkauan pemerataan layanan serta pemanfaatannya untuk tujuan peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah kecamatan. Program ini dimulai sejak tahun 2010 di mana pembiayaannya bersumber pada dana Universal Service Obligation (USO) yang merupakan dana kontribusi dari para penyelenggara layanan telekomunikasi

(operator) sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi.

Program PLIK/MPLIK dilaksanakan Kemkominfo berdasarkan landasan hukum yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Pasal 2 dan Pasal 6); PP No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika (Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 13 beserta Lampirannya); Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 32/PER/M.Kominfo/10/2008 tentang Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8); dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 1 Tahun 2013 tentang Penyediaan Jasa Akses Internet pada Wilayah

*) Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 18 -

Pelayanan Universal Telekomunikasi Internet Kecamatan (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13); serta Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.

Implementasi program ini menggunakan model kontrak Nett Contract yakni pemerintah membeli layanan dengan harga sebagian biaya produksi sesuai dengan estimasi besaran defisit. Melalui skema itu, risiko defisit dari penyelenggaraan menjadi tanggungan operator. Untuk kompensasinya, pendapatan operasi menjadi hak operator. Apabila pendapatan operasi lebih rendah dibandingkan biaya pembelian, defisit ditanggung operator. Sedangkan prinsip model kerjasamanya yaitu The Lowest Subsidy, Affordability dan Sustanability.

Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) Kemkominfo RI memberikan uang muka kepada pemenang lelang (penyedia jasa). Selanjutnya, pihak penyedia jasa akan membayarnya dengan cara BP3TI mengurangi uang sewa kepada pihak penyedia, setelah program dinyatakan berjalan. Kinerja PLIK/MPLIK merujuk pada Service Level Agreement (SLA) antara BP3TI dengan pemang tender (penyedia jasa).

Total nilai Kontrak Multi Years PLIK dan MPLIK selama empat tahun (48 bulan) adalah PLIK sebesar Rp1.409.890.575.748,-. Sedangkan MPLIK sebesar Rp1.592.276.923.878,-. Besarnya jumlah anggaran yang disediakan dan capaian hasil kerja yang diharapkan nantinya menyebabkan Komisi I DPR-RI perlu melakukan pengawasan terhadap implementasi program ini, apakah dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan atau justru mengalami kegagalan.

B. Pengawasan Program

Persoalan ini perlu diangkat mengingat program PLIK/MPLIK merupakan program strategis yang berdampak langsung kepada masyarakat, sehingga diperlukan pengawasan lebih mendalam terhadap implementasi program ini. Untuk itu Komisi I DPR-RI perlu menjalankan fungsi pengawasan terhadap kelancaran program tersebut. Pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi I DPR-RI adalah merupakan tindak lanjut dari hasil laporan Panitia Kerja (Panja) Pusat Layanan Internet Kecamatan/Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK/MPLIK). Panja PLIK/MPLIK dibentuk berdasarkan Keputusan Rapat Intern Komisi I DPR-RI tanggal

7 Januari 2013 dan kemudian tugas Panja lebih dispesifikasikan untuk masalah PLIK/MPLIK melalui Rapat Intern Komisi I DPR-RI tanggal 4 Februari 2013.

Panja PLIK/MPLIK Komisi I DPR-RI telah menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Penyelengaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemkominfo, Kepala BP3TI, Dewas BP3TI, serta para pemenang lelang/perusahaan penyedia PLIK/MPLIK

Tabel Parameter Kinerja Penyedia Jasa PLIK/MPLIK

No Parameter Kinerja PLIK MPLIK Keterangan

01. Jam Operasi 8 Jam 4 Jam02. Status Off ≤ 7 Hari

< 7 Hari≤ 7 Hari< 7 Hari

Tidak dibayar.Dikenakan denda dan tidak dibayar

03. Jumlah PC 5 PC + 1 server 5 PC + 1 server

04. Tarif Maks Rp2.000,- Maks Rp2.000,-05. Bandwith 256 Kbps 256 Kbps06. Status Aset Milik Pemenang

TenderMilik Pemenang

Tender07. Jenis Kontrak Sewa Sewa Serah Setelah 48 bulan

diserahkan ke Pemda dengan persyaratan kesiapan dukungan APBD

Sumber: Laporan dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan PLIK/MPLIK dan Radio Komunitas, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemkominfo RI

- 19 -

(PT SIMS, PT Aplikanusa Lintasarta, PT Jastrindo Dinamik, PT Telkom, PT Radnet, PT Wahana Inovasi Nusantara, PT Multidata Rancana Prima dan PT Jogja Digital) serta melakukan sejumlah kunjungan ke enam daerah dan mendapatkan hasil temuan yaitu:1. Perencanaan Program PLIK/MPLIK tidak mengacu

pada perencanaan yang dijalankan tanpa didahului dengan pembangunan sistem pengawasan maupun sistem pembayaran terhadap pelaksanaan program yaitu Sistem Informasi Manajemen Monitoring Layanan Internet Kecamatan (SIMMLIK) yang berfungsi sebagai sistem penyediaan akses internet, sistem monitoring dan manajemen perangkat serta jaringan, dan pusat manajemen distribusi konten. Program PLIK MPLIK mulai dilaksanakan tahun 2010, sementara SIMMLIK dilaksanakan 2012.

2. Model Pelaksanaan Penggunaan model kerja sama Nett

Contract tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini bisa dlihat dari adanya gap cukup tinggi antara estimasi dengan realisasi penggunaan anggaran PLIK/MPLIK, sistem denda tidak serta merta membuat penyedia jasa segera menjalankan SLA dengan baik, pungutan terhadap masyarakat justru menimbulkan adanya kompetisi dengan pengusaha warnet komersiil.

3. Penempatan Lokasi Lokasi PLIK tidak selamanya ditempatkan

di daerah yang ditentukan, seperti antara lain daerah tertinggal, daerah terpencil, dearah perintisan, daerah perbatasan, dan daerah yang tidak layak secara ekonomis, serta wilayah yang belum terjangkau akses dan layanan telekomunikasi. Sebaliknya, PLIK ditempatkan di wilayah pusat kota.

4. Kondisi Peralatan Sebagian perangkat MPLIK tidak berjalan

dengan baik atau rusak. Bila terjadi kerusakan, perbaikan dilakukan tidak dengan cepat sehingga menganggu kinerja pelayanan PLIK/MPLIK.

5. Kerja Sama dengan Pemda (Kabupaten/Kota serta Camat)

Sebagian besar Bupati/Walikota dan Camat menuturkan tidak mendapatkan surat dari Kemkominfo perihal dukungan penyelenggaraan PLIK/MPLIK di daerah. Selain itu, sebagian besar pemerintah daerah tidak dilibatkan dalam koordinasi penentuan titik lokasi PLIK/MPLIK maupun pemilihan pengelola.

Menindaklanjuti berbagai temuan tersebut, Berdasarkan hasil Raker Komisi I DPR-RI dengan Kemkominfo tanggal 18 Maret 2013 berkesimpulan:1. Komisi I DPR-RI bersama Kemkominfo

sepakat bahwa Kemenkominfo akan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan program PLIK/MPLIK yang sudah berjalan dengan mengacu pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BP3TI.

2. Komisi I DPR-RI mendesak Kemkominfo untuk menuntaskan implementasi Sistem Informasi Manajemen Monitoring Layanan Internet Kecamatan (SIMMLIK) selambat lambatnya dalam waktu tiga bulan terhitung sejak pelaksanaan Raker tanggal 18 Maret 2013, sesuai dengan target dan kesanggupan dari Menkominfo.

3. Komisi I DPR-RI mendesak Kemkominfo untuk meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan terhadap program PLIK/MPLIK.

4. Komisi I DPR-RI mendesak Kemkominfo untuk melakukan penghentian sementara terhadap realisasi pembayaran program PLIK/MPLIK sampai adanya keputusan bersama antara Komisi I DPR-RI dengan Menkominfo berdasarkan kesimpulan butir 1 dan butir 2 pada Raker Komisi I DPR dengan Menkominfo tanggal 18 Maret 2013.

Selanjutnya dalam rangka mengetahui implementasi hasil kesimpulan Rapat Kerja (Raker) yang telah dilakukan bersama Kemkominfo, Komisi I DPR-RI melakukan kunjungan spesifik tahap II di Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 ketiga provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Riau, dan Provinsi Sumatera Selatan.

- 20 -

Secara garis besar, temuan yang didapat dalam kunjungan kedua, tidak jauh berbeda dengan temuan pada kunjungan pertama, antara lain: 1. MPLIK tidak beroperasi dengan

baik sesuai SLA antara lain operator/driver tidak mendapatkan dana untuk membeli BBM maupun honor dari penyedia jasa atau mitra yang ditunjuk, prosedur pengajuan/klaim penggantian dan penanganan peralatan yang rusak terbilang lama, kualitas dan kecepatan koneksi yang kurang memadai dan rentan terhadap cuaca (koneksi VSAT) sehingga akses internet sangat lamban dan kurang diminati oleh masyarakat, serta minimnya tenaga supervisor/pengawas dari pengelola/mitra pengelola MPLIK (1 orang mengawasi beberapa area kabupaten/kota).

2. Ada daerah yang pada awal penerimaan MPLIK, perangkat dan jaringan sudah dalam keadaan rusak.

3. Kurangnya koordinasi dan keseriusan pihak pengelola/mitra pengelola dalam pengoperasian MPLIK dan lebih sering menetap karena keterbatasan dana operasional.

4. Pendistribusian MPLIK belum terlaksana sesuai target. Sebagai contoh, di Kota Palarangkaraya, dari target 8 MPLIK baru terealisasi 6 unit.

5. Koordinasi dan sosialisasi program MPLIK yang melibatkan Kemkominfo, penyedia jasa, pihak yang ditunjuk oleh penyedia jasa hingga pengelola PLIK/MPLIK di daerah dengan dengan Pemerintah Daerah setempat tergolong minim.

6. Sejumlah camat berinisiatif untuk menalangi dana operasional untuk MPLIK.

7. Penempatan lokasi PLIK tidak sesuai ketentuan yang ada, namun lebih banyak ditempatkan di sekolah yang telah didukung oleh program Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional). Perangkat keras PLIK seperti komputer dan server tetap digunakan, hanya saja akses internet didukung oleh Jardiknas.

8. PLIK belum sepenuhnya berjalan dengan baik sesuai dengan SLA karena ada yang mengenakan tarif kepada pengguna

internet, koneksi internet lambat, dan ada yang sejak satu tahun yang lalu ditarik kembali karena rusak.

9. Koordinasi dan sosialisasi terkait program PLIK dengan Pemerintah Daerah masih rendah.

10. Model bisnis pengelolaan PLIK yang kurang tepat dan belum ada dukungan SOP pengawasan yang jelas, membuat pengawasan terhadap program PLIK tidak berjalan dengan baik.

C. Penutup

Implementasi program PLIK/MPLIK banyak ditemukan ketidaksesuaian sebagaimana direncanakan pada perencanaan program PLIK/MPLIK. Capaian hasil program masih jauh dari apa yang ditetapkan sebelumnya. Manajemen pengelolaan PLIK/MPLIK masih banyak masalah dan koordinasi dengan pemerintah daerah juga sangat minim. Kemanfaatan program PLIK/MPLIK masih belum dapat dirasakan secara maksimal oleh seluruh masyarakat sesuai dengan tujuan program PLIK/MPLIK

Hasil pengawasan Komisi I DPR-RI terhadap program PLIK/MPLIK perlu diteruskan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) melalui Pimpinan DPR-RI. Perlu dilakukan pengawasan lebih mendalam (audit investigasi) terhadap pelaksanaan program PLIK/MPLIK oleh BPK RI terutama dari hasil temuan pengawasan Komisi I DPR-RI terhadap program Kemkominfo mengenai PLIK/MPLIK.

Rujukan:1. Laporan dan Evaluasi Pelaksanaan

Kegiatan PLIK/MPLIK dan Radio Komunitas, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemkominfo RI.

2. Kesimpulan Raker Komisi I DPR-RI dengan Menkominfo tanggal 18 Maret 2013.

3. Laporan Kunker Panja Komisi I DPR-RI ke Enam Provinsi.

4. Laporan Kunker Komisi I DPR-RI ke Tiga Provinsi.