vol. v, no. 08 ii p3di april 2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 08/II/P3DI/April/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 POLEMIK PASAL PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) Dian Cahyaningrum *) Abstrak Pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres yang tercantum dalam RKUHP telah menimbulkan polemik dalam masyarakat. Pihak yang setuju dicantumkannya pasal tersebut dalam RKUHP berargumen bahwa Presiden dan Wapres merupakan simbol negara oleh karenanya perlu dilindungi. Sementara pihak yang tidak setuju khawatir pencantuman pasal tersebut dalam RKUHP dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, khususnya hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat apalagi pasal yang serupa dalam KUHP telah dicabut oleh MK. Sebagai salah satu solusi, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres sebaiknya tetap dicantumkan dalam RKUHP namun perlu dijadikan sebagai delik materiil dan diatur secara jelas perbuatan/tindakan yang dikategorikan sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres sehingga pelanggaran HAM dapat dihindari. A. Pendahuluan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini dipergunakan merupakan warisan dari Kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 No. 732. WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana. WvS yang telah berumur lebih dari seabad tersebut sudah banyak ketinggalan zaman, sementara norma-norma hukumnya di negeri asalnya (Belanda) sudah mengalami banyak perubahan. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berinisiatif untuk melakukan penggantian KUHP peninggalan Belanda dengan mengajukan Rancangan KUHP (RKUHP) ke DPR pada tanggal 11 Desember 2012. Berkas revisi KUHP dengan surat R-88/Pres/12/2012 tersebut memuat 766 pasal. Jika dibandingkan dengan WvS, revisi KUHP menambah sekitar 197 pasal. Selain pasalnya yang cukup banyak, RKUHP *) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: yulia-indahri

Post on 14-Dec-2014

63 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) (Dian Cahyaningrum)Indonesia dan Kerja Sama Internasional dalam Penanggulangan Bencana Alam (Simela Victor Muhamad)Fenomena Kecemasan pada Siswa Saat Menghadapi Ujian Nasional (Sulis Winurini)Opsi Kebijakan Dua Harga BBM Bersubsidi (T. Ade Surya)Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Calon Legislatif pada Pemilu 2014 (Debora Sanur Lindawaty)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 08/II/P3DI/April/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

POLEMIK PASAL PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP)

Dian Cahyaningrum*)

Abstrak

Pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres yang tercantum dalam RKUHP telah menimbulkan polemik dalam masyarakat. Pihak yang setuju dicantumkannya pasal tersebut dalam RKUHP berargumen bahwa Presiden dan Wapres merupakan simbol negara oleh karenanya perlu dilindungi. Sementara pihak yang tidak setuju khawatir pencantuman pasal tersebut dalam RKUHP dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, khususnya hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat apalagi pasal yang serupa dalam KUHP telah dicabut oleh MK. Sebagai salah satu solusi, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres sebaiknya tetap dicantumkan dalam RKUHP namun perlu dijadikan sebagai delik materiil dan diatur secara jelas perbuatan/tindakan yang dikategorikan sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres sehingga pelanggaran HAM dapat dihindari.

A. Pendahuluan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini dipergunakan merupakan warisan dari Kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 No. 732. WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

WvS yang telah berumur lebih dari seabad tersebut sudah banyak ketinggalan zaman, sementara norma-norma hukumnya di negeri asalnya (Belanda) sudah mengalami banyak perubahan. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berinisiatif untuk melakukan penggantian KUHP peninggalan Belanda dengan mengajukan Rancangan KUHP (RKUHP) ke DPR pada tanggal 11 Desember 2012. Berkas revisi KUHP dengan surat R-88/Pres/12/2012 tersebut memuat 766 pasal. Jika dibandingkan dengan WvS, revisi KUHP menambah sekitar 197 pasal. Selain pasalnya yang cukup banyak, RKUHP

*) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 2 -

juga memuat sejumlah isu krusial, di antaranya penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden (Wapres).

B. Pasal Penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden

Dalam RKUHP, norma hukum yang mengatur mengenai penghinaan Presiden dan Wapres terdapat dalam Pasal 265 dan Pasal 266. Pasal 265 RKUHP secara lengkap berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” Denda yang dimaksud sebagai Kategori IV adalah sebagaimana termaktub dalam ketentuan RKUHP dengan nilai paling banyak dari denda yang diusulkan pemerintah yaitu Rp300 juta. Sedangkan Pasal 266 RKUHP menyebutkan “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Pasal 265 dan Pasal 266 RKUHP secara substansi sama dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang juga mengatur mengenai delik pidana penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Untuk lebih jelasnya Pasal 134, pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Pasal 134:Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 136 bis:Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 315, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku

di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Pasal 137:(1) Barangsiapa menyiarkan,

mempertunjuk-kan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semcam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut.

Sebelumnya banyak orang yang telah didakwa dan dipidana karena telah melanggar pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang diatur dalam KUHP. Beberapa orang di antaranya Sri Bintang Pamungkas yang terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995 dan divonis 10 bulan penjara. Nanang dan Mudzakir (aktivis mahasiswa) dihukum satu tahun penjara karena didakwa menghina Presiden yaitu menginjak foto Megawati dalam sebuah unjuk rasa di depan Istana Merdeka, pada tahun 2003. I Wayan Suardana (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) dihukum 6 bulan penjara karena dianggap menghina Presiden Yudhoyono dalam sebuah unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, pada tahun 2005. Berpijak pada beberapa fakta tersebut, pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dianggap membelenggu kebebasan untuk menyatakan pendapat.

Pada 2006, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP telah diajukan uji materi (judicial review) oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan

Page 3: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 3 -

Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi. Pada 6 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan uji materi tersebut melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pertimbangan MK mengabulkan uji materi tersebut karena Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dapat menghambat proses ketatanegaraan. Penyebabnya adalah tidak jelasnya rumusan sebuah perbuatan yang dimaksud sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Dalam pertimbangannya, MK mencontohkannya bilamana ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut dapat dipandang sebagai penghinaan. Oleh karena itu sebagai negara hukum-demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak relevan lagi ketiga pasal tersebut menegasi prinsip persamaan di depan hukum. Menurut MK, Indonesia juga merupakan negara hukum yang demokratis, berbentuk Republik, berkedaulatan rakyat, serta menjunjung hak asasi seperti yang diatur dalam UUD Tahun 1945. Pemberlakuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berakibat mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, serta prinsip kepastian hukum.

C. Polemik Pencantuman Pasal Penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden

Wicipto Setiadi, Kepala BPHN dan anggota Tim Perumus RKUHP, mengemukakan bahwa dasar pertimbangan Tim Perumus RKUHP merumuskan kembali pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dalam RKUHP adalah untuk melindungi Presiden dan Wapres yang merupakan personifikasi atau simbol kenegaraan. Pembuatan pasal tersebut tidak mengarah pada sesuatu yang disebut sebagai perilaku anti demokrasi. Oleh karena itu menurut Wicipto, semua orang diperkenankan

untuk mengkritik Presiden dan Wapres asal tidak disertai dengan penghinaan.

Pencatuman pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres dalam RKUHP menimbulkan polemik di masyarakat. Beberapa pihak yang setuju antara lain pakar hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Zulfirman, yang berpendapat bahwa Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, juga menjadi simbol negara Indonesia yang berdaulat. Di sisi lain, Presiden juga lekat dengan kepentingan negara dan kekuasaan negara sehingga perlu norma hukum yang mengatur tentang martabat dan kehormatannya agar tetap terjaga dengan baik.

Pakar lain yang setuju adalah Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, yang berpendapat bahwa Pasal 265 RKUHP tidak perlu dicabut dan harus tetap dipertahankan karena secara universal aturan tentang penghinaan terhadap kepala negara maupun simbol-simbol kenegaraan hingga kini masih tetap dipertahankan. Namun, yang perlu dievaluasi adalah bentuk deliknya yang semula delik formil menjadi delik materiil sehingga perbedaan pendapat dan freedom of opinion tidak merupakan kriminal atau pidana. Menurut Indriyanto, Pemerintah telah melaksanakan amanat putusan MK karena telah mengubah delik pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang semula formil menjadi materiil.

Sementara pihak yang tidak setuju di antaranya adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, berpendapat bahwa pencantuman pasal penghinaan kepada Presiden dalam RKUHP dianggap telah melanggar konstitusi dan legalitasnya dipertanyakan karena MK telah mencabut pasal serupa dalam KUHP. Selain Neta S Pane, beberapa anggota DPR-RI juga tidak sependapat jika pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dimasukkan dalam RKUHP, di antaranya Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III dari FPDIP yang menilai pasal penghinaan kepada Presiden akan menghidupkan politisi “penjilat” selain juga dapat menurunkan kualitas demokrasi.

Sehubungan dengan polemik tersebut, sebagai alternatif solusi adalah pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres tetap perlu

Page 4: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 4 -

dicantumkan dalam RKUHP. Namun, harus menjadi delik materiil dan harus jelas perbuatan/tindakan apa yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Jika masih tetap menjadi delik formil dan tidak jelas perbuatan/tindakan yang dikategorikan sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres, tidak mustahil akan diajukan kembali ke MK karena dianggap melanggar hak asasi setiap warga negara untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat yang telah dijamin dalam UUD Tahun 1945.

D. Penutup

Sampai saat ini Indonesia masih menggunakan dan memberlakukan KUHP warisan Kolonial Belanda (WvS) yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga perlu diganti. RKUHP memuat banyak pasal (766 pasal) dan terdapat beberapa pasal krusial yang menimbulkan polemik dalam masyarakat diantaranya pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Beberapa pihak setuju pasal tersebut dicantumkan dalam RKUHP karena Presiden dan Wapres sebagai simbol negara harus dilindungi, terlebih ketentuan tersebut berlaku universal. Sementara pihak yang tidak setuju, khawatir pasal tersebut dapat melanggar HAM untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat dan pasal serupa dalam KUHP telah dicabut

oleh MK. Alternatif solusi untuk mengatasi polemik tersebut adalah pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres tetap perlu dicantumkan dalam RKUHP, namun harus menjadi delik materiil dan rumusan perbuatan/tindakan apa yang dikategorikan sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres, harus jelas.

Rujukan:1. “Debat Panas Pasal Penghinaan Presiden dan

Wakil Presiden,” Forum, No. 50/15-21 April 2013, hal. 12-15.

2. “Bukan Membatasi Orang untuk Mengkritik,” Forum, No. 50/15-21 April 2013, hal. 16-17.

3. “Seimbangkan Nilai Kebebasan dan Persamaan,” Forum, No. 50/15-21 April 2013, hal. 22.

4. “Pasal Penghinaan Kepala Negara Harus Dipertahankan,” Pelita, 15 April 2013.

5. “Reformasi KUHP Kembalinya Pasal Penghinaan Presiden,” Pelita, 15 April 2013.

6. “Caci Maki dan Hinaan Resiko Kepala Negara,” Media Indonesia, 4 April 2013.

Page 5: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 08/II/P3DI/April/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

INDONESIA DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGGULANGAN

BENCANA ALAMSimela Victor Muhamad*)

Abstrak

Bencana alam (natural disaster) kini telah menjadi salah satu isu hubungan internasional yang semakin menarik perhatian banyak negara. Hal ini dapat dipahami karena tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu melaksanakan penanggulangan bencana alam sendirian, terlebih sifat bencana itu sendiri yang tidak mengenal batas. Kerja sama internasional pun banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk merespons masalah bencana alam. Semua pihak perlu mendukung hal ini, termasuk parlemen (DPR-RI) melalui pelaksanaan tugas dan fungsinya.

A. Pendahuluan

Media massa belakangan ini kembali menyajikan berita memilukan tentang bencana alam di berbagai kawasan dunia, antara lain gempa bumi berkekuatan 7,8 SR yang mengguncang satu kota di perbatasan Iran-Pakistan pada 16 April 2013, dan gempa bumi berkekuatan 7,0 SR di Provinsi Sichuan, China barat daya pada 20 April 2013. Gempa bumi berkekuatan besar tersebut telah menelan begitu banyak korban jiwa. Dari gempa bumi di perbatasan Iran-Pakistan, dilaporkan sedikitnya 35 orang tewas di kota Mashkeel, Provinsi Baluchistan, di bagian barat daya Pakistan yang berbatasan dengan Iran, selain telah menghancurkan ratusan rumah dan menggoyang gedung-gedung sejauh India dan negara-negara Teluk Arab.

Sementara dari Gempa Bumi di Provinsi Sichuan, China, dilaporkan jumlah korban tewas dan hilang (hingga 22 April 2013) melampaui 200 orang. Hampir 5 tahun silam, kawasan itu juga diguncang gempa. Bahkan, gempa yang terjadi pada 12 Mei 2008 kala itu, lebih dahsyat, yakni berkekuatan 7,9 SR dan korban tewas pun jauh lebih banyak (90.000 orang). Indonesia pun pernah memiliki pengalaman hampir serupa, yakni ketika gempa bumi berkekuatan 6,2 SR melanda kawasan Yogyakarta yang menewaskan 6.000-an orang. Sebelumnya musibah banjir dan badai yang terjadi di beberapa negara, dan tsunami beberapa waktu lalu di Jepang dan Indonesia, juga telah menimbulkan korban (jiwa dan luka-luka) tidak sedikit. Bencana alam yang terjadi di berbagai kawasan dunia tersebut sudah tentu menjadi keprihatinan masyarakat internasional.

*) Peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 6 -

Adanya keprihatinan masyarakat internasional tersebut menunjukkan, bencana alam yang terjadi di suatu negara atau kawasan telah menjadi isu internasional, bahkan menjadi agenda pembahasan di berbagai forum internasional, seperti di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan forum-forum antar-parlemen, misalnya di Inter-Parliamentary Union (IPU), Asia-Pacific Parliamentary Forum (APPF), dan ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA). Kerja sama internasional pun banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk merespons masalah bencana alam.

B. Bencana Alam sebagai Isu Hubungan Internasional

Bencana alam (natural disaster) kini telah menjadi salah satu isu hubungan internasional yang semakin menarik perhatian banyak negara. Hal ini dapat dipahami mengingat hampir semua negara di dunia tidak dapat dilepaskan dari masalah bencana alam di tengah isu perubahan iklim dan lingkungan yang semakin terdegradasi. Di tambah pula, tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu melaksanakan penanggulangan bencana alam sendirian, terlebih sifat bencana itu sendiri yang tidak mengenal batas. Ini artinya, penanggulangan bencana alam dapat dikaji berdasarkan perspektif hubungan internasional. Berdasarkan perspektif hubungan internasional, penanggulangan bencana alam dapat dilihat antara lain dari bagaimana interaksi antarnegara atau aktor-aktor non-negara dalam penanggulangan bencana. Interaksi antarnegara biasanya terwujud dalam bentuk kerja sama internasional yang dilakukan secara bilateral, regional maupun multilateral.

Secara bilateral, kerjasama dilakukan di antara satu negara dengan negara lainnya berdasarkan kepentingan nasional dari kedua negara tersebut untuk menanggulangi bencana alam sebagai concern bersama, di antaranya terkait isu kemanusiaandan keinginan untuk berbagi pengalaman di antara kedua negara. Secara regional, kerja sama dilakukan di antara negara-negara sekawasan karena adanya kepentingan bersama untuk menanggulangi dan mengurangi dampak bencana alam di kawasan, mengingat

secara geografis keberadaan negara mereka berdekatan atau dalam satu kawasan yang sama.

Secara multilateral, kerja sama antarnegara dilakukan secara lebih luas dengan melibatkan banyak negara di dunia, dari kerja sama ini diharapkan terbangun komitmen bersama yang lebih luas dan lebih kuat di antara negara-negara di dunia dalam menanggulangi bencana alam, mengingat bencana alam telah menjadi fenomena global sebagai akibat dari perubahan iklim dan kualitas lingkungan hidup dunia yang semakin menurun. Kerja sama atau komitmen multilateral ini antara lain dilakukan melalui badan-badan fungsional PBB. Kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana biasanya dilakukan secara cepat, baik oleh aktor negara maupun non-negara tanpa mempertimbangkan batas-batas negara, terlebih ketika diketahui banyak korban berjatuhan. Mereka memberikan bantuan baik materi maupun pangan dan obat-obatan, tanpa mempedulikan apakah negara itu negara musuh atau pun negara sahabat.

Misalnya, ketika terjadi tsunami di Jepang pada bulan Maret 2011, Korea Utara yang selama ini dikenal tidak memiliki hubungan baik dengan Jepang mengirimkan bantuan bagi korban bencana di negeri sakura tersebut. Begitu juga ketika Badai Nargis menerpa Myanmar pada bulan Mei 2008, yang menewaskan sedikitnya 351 orang, sejumlah negara barat, yang sebelumnya memboikot bantuan ekonomi ke negeri tersebut, secara cepat juga menawarkan bantuan kemanusiaan. Indonesia yang pernah mengalami bencana tsunami di Aceh pada Desember 2004 juga banyak mendapatkan bantuan internasional.

Kepedulian dan solidaritas adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, dan hal inilah tampaknya yang mendasari terjadinya kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana alam, baik itu dilakukan melalui kerja sama antarnegara (G to G) maupun melalui lembaga internasional. Dalam perspektif hubungan internasional, hal ini dapat dimaknai sebagai bagian dari implementasi prinsip-prinsip human security (keamanan manusia), salah satunya community security (keamanan komunitas), yang harus mendapatkan perhatian utama dalam kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana.

Page 7: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 7 -

C. Indonesia sebagai Negara Rawan Bencana

Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, sudah tentu akan terlibat dalam berbagai bentuk kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations-International Strategy for Disaster Reduction/UN-ISDR), menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan risiko terjadinya bencana alam terbesar. Dalam peta rawan bencana internasional, bencana alam di Indonesia menempati posisi tertinggi untuk bahaya tsunami, tanah longsor dan erupsi gunung berapi .Sementara terhadap risiko bencana alam di Indonesia berupa gempa bumi, negeri ini menduduki peringkat ke-3 di dunia. Kerawanan bencana alam di Indonesia berupa banjir menduduki peringkat ke-6 di dunia.

Kerawanan terhadap bencana alam di Indonesia ditengarai terkait dengan kondisi geologi Indonesia. Posisi geografis Indonesia berada di ujung pergerakan 3 lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dilalui jalur cincin gunung api dunia. Sebagian besar gunung berapi yang berada dalam jalur cincin api dunia yang melintasi Indonesia masih aktif. Kondisi ini menyebabkan Indonesia rawan terhadap erupsi gunung berapi dan juga berpotensi memicu gempa bumi.

Potensi bencana alam di Indonesia juga ditimbulkan dari garis pantai Indonesia yang panjang sehingga rawan terhadap tsunami. Data BNPB juga menyebutkan bahwa 2/3% wilayah Indonesia adalah rawan bencana alam. BNPB juga telah memetakan 282 Kabupaten di Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana alam. Indonesia dipetakan memiliki berbagai jenis bencana. Jenis bencana alam di Indonesia yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Berdasarkan data BNPB dan UN-ISDR, Indonesia berada pada ranking pertama dari 265 negara di dunia, terhadap risiko bencana tsunami. Jumlah penduduk yang akan terkena dampak tsunami diperkirakan mencapai 5.402.239 jiwa.

Indonesia juga menempati urutan pertama dalam hal bencana tanah longsor, dibandingkan dengan 162 negara lainnya. Sebanyak 197.372 orang diperkirakan tinggal di kawasan rawan tanah longsor. Sementara untuk bencana alam berupa gempa bumi, Indonesia adalah urutan ke-3 dari 153 negara dengan potensi jumlah penduduk terdampak sebanyak 11.056.806 orang. Dalam hal bencana alam banjir, Indonesia juga masih menempati posisi tinggi, yaitu peringkat ke-6 dari 162 negara dan sebanyak 1.101.507 orang diprediksi menjadi korban dari bencana ini.

D. Indonesia dan Kerja Sama Internasional

Sebagai negara yang rawan bencana, kerja sama internasional sudah tentu menjadi bagian dari upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Berdasarkan data BNPB, kerja sama internasional yang dilakukan Indonesia, antara lain: Kerja sama RI-Australia di bidang Pengurangan Risiko Bencana melalui peningkatan kapasitas penanggulangan bencana di tingkat lokal dan nasional; Kerja sama RI-UNDP dalam rangka menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih aman dari ancaman bencana melalui pengurangan risiko bencana; Kerja sama BNPB-Palang Merah Perancis untuk Penguatan Kapasitas Penanggulangan Bencana melalui pembangunan Pusat Pengendali Operasi di tiga wilayah di Indonesia (Yogyakarta, Bali dan Jambi); MoU RI-Turki on Disaster Management.

Indonesia dan Jepang, sebagai dua negara yang memiliki persoalan yang sama terkait bencana, juga telah menandatangani Japan-Indonesia Joint Statement “Partners for New Challenges” pada tahun 2005, yang di dalamnya meliputi kerja sama penanggulangan bencana. Kerja sama internasional yang paling fenomenal dan pernah dilakukan tentunya adalah pasca gempa dan tsunami dahsyat menerjang Aceh. Gempa dan tsunami Aceh telah menggerakkan dunia dalam satu jalur bantuan dan kerja sama, di mana pada saat itu sumbangan negara-negara asing deras mengalir melalui Multi Donor Fund (MDF) atau pun lembaga swadaya mandiri lainnya. Sementara untuk di kawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia bersama dengan

Page 8: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 8 -

Negara-negara ASEAN lainnya telah mendirikan dan dapat memanfaatkan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) yang berkantor pusat di Jakarta.

Sementara, pada tanggal 22-25 April 2013, di Padang, Sumatera Barat, Indonesia (melalui BNPB) menjadi tuan rumah International Table Top Exercise (TTX) Mentawai Megathrust Disaster, yang merupakan forum pelatihan peningkatan kapasitas dan kesiapan penanggulangan bencana terkait potensi megathrust 8,9 SR di Mentawai. Isu megathrust Mentawai berkekuatan 8,9 SR, bermula dari penelitian ahli geologi Institut Teknologi California, Kerry Sieh tahun 1994, dan penelitian mendalam geolog LIPI, Danny Hilman Natawijaya. Forum pelatihan yang dilaksanakan di Sumatera Barat ini juga ditujukan untuk membangun sinergisitas lintas sektoral, penguatan mekanisme komando, komunikasi dan koordinasi sipil-militer, dan penguatan mekanisme penanggulangan bencana alam yang melibatkan pelaku multi nasional. Dari forum ini diharapkan juga lahir Standard Operating Procedure (SOP), untuk kemudian diterapkan dalam gladi posko dan gladi lapangan tahun 2014 mendatang.

E. Penutup

Kerja sama internasional telah menjadi bagian penting dalam penanggulangan bencana alam, terlebih ketika itu memberikan kemanfaatan yang besar bagi keamanan manusia dan negara. Indonesia, sebagai negara rawan bencana, sudah tentu juga perlu memperkuat kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana alam. Semua pihak perlu mendukung hal ini, termasuk parlemen (DPR-RI) melalui pelaksanaan tugas dan fungsinya, antara lain dengan mengawasi pelaksanaan kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan bencana alam dan memastikan bahwa kerja sama tersebut tidak disusupi oleh kepentingan-kepentingan asing yang dapat merugikan kepentingan nasional Indonesia. DPR-RI juga perlu memonitor tindak lanjut resolusi-resolusi terkait dengan penanganan bencana yang dihasilkan oleh forum-forum antarparlemen (seperti IPU dan AIPA), sejauh mana implementasinya di Indonesia.

Rujukan:1. “New Dimensions of Human Security,” UNDP

Reports (1990-2013), http://www.hdr.undp.org/en/reports/global/hdr1994/, diakses 18 April 2013.

2. “Korea Utara Kirim Bantuan bagi Korban Bencana di Jepang,” VoA Indonesia, 23 Maret 2011, http://www.m.voaindonesia.com/a/91281.html, diakses 20 April 2013.

3. “Australia dan Kanada Harapkan Jasa Baik Indonesia untuk Myanmar,” Tabloid Diplomasi, Edisi Mei 2008, http://www.tabloiddiplomasi.org./previous-issue/australia-dan-kanada-harapkan-jasa-baik-indonesia-untuk-myanmar.html, diakses 20 April 2013.

4. “Korban Tewas dan Hilang Gempa Sichuan Lewati Angka 200,” Kompas. 22 April 2013, hal. 8.

5. “Potensi Ancaman Bencana,” Beranda BNPB, 09 Oktober 2012, http://www.bnpb.go.id/page/read/6/potensi-ancaman-bencana, diakses 21 April 2013.

6. “International Strategy for Disaster Reduction,” The United Nations Office for Disaster Risk Reduction, http://www.unisdr.org/who-we-are/international-strategy-for-disaster-reduction, diakses 21 April 2013.

7. David A. McEntire, “International Relations and Disasters: Illustrating the Relevance of the Discipline to the Study and Profession of Emergency Management,” Department of Public Administration, University of North Texas, http://www.training.fema.gov/emiweb/downloads/Chapter-International Studies.pdf, diakses 19 April 2013.

8. “Indonesia’s Natural Disaster Risks, Costs Rise: UN,” theJakartaGlobe.com, 19 April 2013, http://www.thejakarta.globe.com, diakses 19 April 2013.

9. “Kunjungan PM Jepang Shinzo Abe Momentum Peringatan Hubungan Diplomatik Indonesia-Jepang,” Press Release Setneg, 18 Januari 2013, http://www.setneg.go.id, diakses 21 April 2013.

10. Ahmad Arif, “Membangun Solidaritas ASEAN untuk Bencana,” 14 Desember 2012, http://www.nasional.kompas.com/read/2012/12/14/, diakses 20 April 2013.

Page 9: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 08/II/P3DI/April/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

FENOMENA KECEMASAN PADA SISWA SAAT

MENGHADAPI UJIAN NASIONAL

Sulis Winurini*)

Abstrak

Ujian Nasional (UN) yang sempat mengalami pro kontra beberapa tahun lalu, kini kembali menimbulkan masalah yaitu pelaksanaan teknis yang kacau akibat keterlambatan percetakan naskah soal dan lembar jawaban serta pendistribusiannya. Pada tahun ajaran ini, ada 11 provinsi yang mengalami penundaan pelaksanaan UN hingga beberapa kali. Pihak yang paling dirugikan adalah siswa sebagai peserta UN. Peristiwa ini mempengaruhi psikis siswa dan dikhawatirkan menghambat keberhasilan dalam mengerjakan UN. Kehandalan UN sebagai alat ukur prestasi akademik siswa kembali dipertanyakan. Banyak siswa diasumsikan terhambat mengeluarkan kemampuan mereka yang sesungguhnya akibat permasalahan psikis yang mereka rasakan.

A. Pendahuluan

Ujian Nasional (UN) Tahun Ajaran 2012/2013 seharusnya dilaksanakan serentak pada hari Senin, 15 April 2013. Namun sejumlah permasalahan teknis menyebabkan UN ditunda di beberapa tempat sampai hari Kamis, 18 April 2013, dan kembali ditunda hingga Jumat, 19 April 2013. Beberapa media menyebutkan, pelaksanaan UN tahun ini adalah yang terburuk.

UN tidak dapat digelar secara serentak karena sebagian soal terlambat dicetak. Harian Detik Pagi Online melaporkan, tak kurang dari 1.1 juta siswa di 3.601 SMA/MA dan 1.508 SMK di 11 provinsi tidak dapat mengerjakan UN pada 15 April 2013 dan terpaksa menunggu

hingga Kamis, 18 April 2013. Permasalahan teknis lainnya juga muncul, misalnya soal yang tertukar dan distribusi soal yang kacau. Ada naskah soal yang seharusnya untuk siswa SMA ternyata dikirim ke SMK, ada naskah soal yang seharusnya Bahasa Inggris ternyata tertukar dengan naskah soal Bahasa Indonesia. Ada pula naskah soal yang seharusnya tertuju ke Bali dan Sulawesi Tengah ternyata terkirim ke Sulawesi Tenggara. Kemudian, kondisi soal dan lembar jawaban juga kurang bagus. Lembar jawaban yang terlalu tipis dan hasil cetakan yang kurang bagus menyebabkan peserta mengalami kesulitan mengisi lembar jawaban. Baik peserta maupun pengawas menjadi khawatir lembar jawaban tidak dapat dipindai dengan baik.

*) Peneliti bidang Studi Psikologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 10 -

Pelaksanaan UN susulan di hari Kamis, 18 April 2013, ternyata juga bermasalah dalam hal distribusi dan kekurangangan naskah soal serta lembar jawabannya. Banyak sekolah terpaksa menggandakan naskah soal dan lembar jawaban supaya UN tetap terselenggara di hari Kamis, 18 April 2013. Akibatnya, siswa terpaksa menunggu beberapa jam untuk dapat mengerjakan UN. Selain itu, banyak sekolah lainnya bersikukuh tidak menyelenggarakan UN hingga naskah soal dan lembar jawaban tersedia, tanpa harus digandakan. Kasus demikian terjadi di Samarinda. Walikota Samarinda dengan tegas melarang sekolah di wilayahnya menggandakan naskah soal dan lebih memilih menunda kembali pelaksanaan UN. Banyak sekolah di kota lain mengalami hal yang sama, misalnya di Kota Kupang dan Kota Bitung.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, persiapan UN memberikan tekanan besar baik kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai penyelanggara, sekolah, maupun bagi siswa. Padahal Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1) Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; 2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan dan; 4) Pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

UN jelas menimbulkan permasalahan psikologis bagi para peserta atau calon peserta UN. UN dianggap kurang sahih menilai pencapaian akhir siswa karena banyak siswa kesulitan mengeluarkan kemampuan yang maksimal pada saat UN akibat kekhawatiran yang berlebih. Akibatnya, hasil yang diperoleh saat UN tidak menggambarkan kemampuan yang sebenarnya. Contoh kasus, ada siswa yang memiliki prestasi bagus di sekolah, bahkan sudah mendapat tawaran masuk perguruan tinggi tanpa tes, justru mengalami kegagalan pada saat UN. Selain itu, kasus bunuh diri di Semarang serta Situbondo yang disinyalir terjadi karena para pelaku tidak mampu menanggung beban psikologis setelah gagal dalam UN. Ada lagi kasus ratusan siswa SMAN 1 Sambung Macan, Sragen yang histeris saat diberikan motivasi menjelang pelaksanaan UN. Mereka menangis karena khawatir tidak lulus UN, bahkan ada dua siswa jatuh pingsan akibat tidak kuat menahan emosi.

Atas permasalahan UN, pemerintah telah melakukan beberapa perbaikan. Pemerintah membuat formula pembobotan nilai akhir kelulusan yang baru. Nilai akhir kelulusan siswa merupakan kombinasi dari nilai sekolah dan nilai UN, yaitu dengan bobot 40% untuk nilai sekolah dan bobot 60% untuk UN. Sementara nilai sekolah diperoleh dari gabungan 40% nilai rapor dan 60% nilai Ujian Sekolah (US). Pembobotan ini dibuat untuk menunjukkan adanya keseimbangan antara peran sekolah dan peran pemerintah. Jadi, UN akan bermanfaat, baik bagi sekolah maupun pemerintah. Bagi sekolah, UN akan menjadi acuan untuk menunjukkan prestasi pembelajaran, sedangkan bagi pemerintah, UN akan menjadi acuan untuk perbaikan kualitas sekolah terkait sarana prasarana, sumber daya manusia, dan sejenisnya. Formula tersebut mulai digunakan pada Tahun Ajaran 2010/2011 dan tetap digunakan pada Tahun Ajaran 2012/2013.

Berbeda dengan UN Tahun Ajaran 2010/2011, pada Tahun Ajaran 2012/2013, pemerintah tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk mengikuti ujian ulangan apabila gagal UN. Ujian ulangan akan diberikan kepada siswa apabila siswa tersebut sakit atau berhalangan hadir ketika UN berlangsung. Selain itu, hasil UN dan nilai akhir akan menjadi syarat wajib bagi siswa SMA jika ingin mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SNMPTN) 2013. Artinya, meskipun kelulusan siswa tidak hanya mengacu pada UN, namun UN tetap memiliki peran penting bagi siswa yang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Oleh karenanya, siswa akan tetap memberi perhatian yang serius terhadap pelaksanaan UN.

Selain perbaikan-perbaikan tersebut, pada tahun ini pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp331,8 triliun atau naik 6.7% dibanding anggaran 2012. Dengan begitu, pemerintah berharap bisa meningkatkan kualitas pendidikan serta memperluas jangkauan pemerataan pendidikan.

Melalui berbagai perbaikan, pemerintah dan masyarakat berharap agar UN bisa direspon secara wajar oleh siswa. Artinya, siswa bisa tetap serius mengerjakan UN tanpa harus merasa cemas berlebihan hingga mengalami sakit fisik atau melakukan tindak kecurangan. Lebih dari itu, siswa bisa mengeluarkan kemampuan yang maksimal pada saat UN sehingga hasil

Page 11: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 11 -

yang diperoleh benar-benar menggambarkan kemampuan mereka yang sesungguhnya. Tampak bahwa respon siswa terhadap UN merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena menyangkut hasil akhir yang akan mereka peroleh.

B. Pelaksanaan UN Tahun Ajaran 2012/2013

Setidaknya ada empat kendala yang menghambat pelaksanaan UN tahun ini, yaitu: 1) Soal yang tertukar; 2) Soal tidak sampai di tempat ujian tepat pada waktunya; dan 3) Kualitas naskah soal dan lembar jawaban yang buruk.

Situasi dan kondisi penyelenggaraan UN ini menjadi salah satu sumber stres bagi siswa. Hill (1980) pernah melakukan penelitian yang melibatkan 10.000 siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Amerika. Hasil penelitian menunjukkan, sebagian besar peserta tes gagal mengeluarkan kemampuan yang sesungguhnya karena kecemasan yang dipicu oleh situasi dan suasana tes. Sebaliknya, para siswa memperlihatkan hasil yang lebih baik ketika unsur-unsur yang menyebabkan mereka berada di bawah tekanan psikologis dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Hasil penelitian ini mengisyaratkan, siswa yang menguasai materi yang diujikan berpeluang gagal memperlihatkan kemampuan yang sesungguhnya karena kecemasan yang dialami saat menghadapi tes.

Ketika kesalahan teknis terjadi maka kekhawatiran berlebih bisa muncul dalam diri peserta, yang akhirnya membuat konsentrasi mereka menjadi buyar. Misalnya kasus lembar jawaban yang tipis. Selain harus hati-hati dan memakan waktu yang lama di dalam proses pemindahan jawaban, peserta menjadi takut untuk menghapus jawaban apabila ada kesalahan. Situasi dan kondisi ini membuat mereka semakin tegang dan akan semakin terasa bagi mereka yang awalnya sudah mengalami kecemasan akibat beban pikiran dan bayangan mengenai kemungkinan yang akan terjadi apabila gagal di dalam UN. Hal ini bisa dipahami karena ada banyak risiko yang ditanggung oleh peserta apabila gagal di dalam UN, antara lain tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, merasa malu, mengalami

kerugian waktu, dan kerugian biaya karena harus mengikuti ujian lagi.

Terkait penundaan UN pada tahun ini, banyak peserta merasa kecewa dan mengalami stres, contoh siswa di Pulau Wakatobi. Mereka berharap bisa mengikuti UN sesuai jadwal karena sudah melakukan persiapan untuk itu. Pada kenyataannya, harapan mereka tidak terpenuhi dan masa stres mereka menjadi lebih panjang karena adanya jeda waktu penundaan. Selain mengganggu konsentrasi, perasaan-perasaan seperti kecewa dan kesal akan mempengaruhi kepercayaan mereka terhadap penyelenggaraan UN. Suasana dan kondisi UN menjadi tidak kondusif dan terkesan kurang serius karena penundaan dan kesalahan teknis yang terjadi berkali-kali. Hal ini mengganggu antusiasme peserta dalam mengerjakan UN. Persepsi mereka terhadap keseluruhan penyelenggaraan UN juga menjadi negatif. Akibatnya, perasaan khawatir akan terus menghantui mereka hingga hasil UN diumumkan.

Selain permasalahan tersebut, banyak kalangan meragukan keamanan soal ujian karena adanya perbedaan waktu pelaksanaan ujian. Perbedaan “treatment” yang diberikan oleh pemerintah menimbulkan persepsi tidak adil bagi siswa, baik yang mengalami penundaan maupun yang tidak. Siswa yang mengalami penundaan akan terbebani karena adanya banyak dugaan kebocoran soal. Persepsi mengenai ketidakadilan juga muncul di dalam benak siswa yang tidak mengalami penundaan karena adanya peluang pelanggaran di dalam penyelenggaraan UN susulan.

C. Penutup

Hasil UN berguna untuk membandingkan kemampuan akademik siswa di sekolah secara nasional. Oleh karena itu kesalahan dalam pengukuran harus diminimalisir, salah satunya dengan mensterilkan penyelenggaraan UN dari hal-hal yang bisa mengganggu pengerjaan UN. Stres dan kecemasan berlebih adalah hal-hal yang bisa menghambat siswa dalam mengeluarkan kemampuan mereka yang sesungguhnya di dalam UN. Salah satu sumber stres di dalam UN adalah situasi dan kondisi penyelenggaraan UN.

Pemerintah berperan untuk memastikan penyelenggaraan UN berjalan sebagaimana

Page 12: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 12 -

mestinya. Namun dalam kenyataan, UN pada tahun ini mengalami banyak kendala, salah satunya penundaan UN di 11 provinsi. Beberapa implikasi negatif bisa dirasakan oleh siswa karena situasi dan kondisi seperti ini mengganggu konsentrasi siswa dan bisa memperbesar peluang kesalahan di dalam pengukuran.

Menanggapi permasalahan ini, Komisi X DPR-RI yang bermitra dengan Kemendikbud, melalui Panja UN, perlu menjalankan fungsi pengawasannya, yaitu dengan mengundang Mendikbud ke DPR-RI untuk dimintai penjelasan. Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi kinerja Mendikbud terkait pelaksanaan UN sehingga permasalahan dapat teridentifikasi dengan jelas dan solusi bisa ditemukan.

Pihak-pihak terkait harus bertanggung jawab dan mekanisme penyelenggaraan UN harus ditelaah secara dalam supaya tidak terjadi kesalahan yang sama di masa mendatang. Keinginan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap UN perlu dilakukan agar kisruh pelaksanaan UN yang berimplikasi merugikan siswa, sekolah, orang tua, dan negara tidak lagi terjadi.

Rujukan:1. Alawiyah, Faridah. (2010). Evaluasi dan

Pemetaan Mutu Pendidikan Melalui Ujian Nasional. Jurnal Aspirasi Vol. 1 No. 2 2010. Jakarta: P3DI.

2. Maisaroh, Ekka Nur, Falah, Falasifatul. (2011). Religiusitas dan Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional (UN) Pada Siswa Madrasah Aliyah. Jurnal Proyeksi Vol. 6 No. 2 2011, 78-88. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung.

3. Trisandhya, Mitra. (2005). Psikosomatis Pada Mahasiswa Yang Akan Menempuh Ujian Skripsi Ditinjau Dari Kecemasan

Menghadapi Ujian. Jurnal Psikologi Sosial Vol. 11 No. 3 2005, 22-29. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

4. “Sosialisisi UN 2013,” http://www.slideshare.net/qeyoto/bsnp-sosialisasiun2013, diakses 3 April 2013.

5. “Ujian Nasional Jalan Terus…” h t t p : / / e d u k a s i . k o m p a s . c o m / r e a d /xml/2009/11/25/18595698, diakses 3 April 2013.

6. “Motivator Bikin Ratusan Siswa Menangis Takut UN,” http://www.metrotvnews.com/metronews/video/2013/03/02/6, diakses 3 April 2013.

7. “Semrawutnya UN Hari Pertama,” h t t p : / / k a m p u s . o k e z o n e . c o m /r e a d / 2 0 1 3 / 0 4 / 1 5 / 3 7 3 / 7 9 1 9 7 3 /semrawutnya-un-hari-pertama, diakses 16 April 2013.

8. “Mengurung Diri Setelah Gagal UN, Edy Akhirnya Bunuh Diri,” http://nasional.kompas.com/read/2008/12/01, diakses 3 April 2013.

9. “Yang Tetap dan Yang Berubah Dalam UN 2013,” http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/31, diakses 3 April 2013.

10. “Formula,” http://www.ujian-nasional.info/p/kelulusan.html, diakses 3 April 2013.

11. “Menteri Nuh Didesak Mundur,” http://edisi.harian.detik.com, Selasa, 16 April 2013 Edisi No. 797/Tahun ke-2, h. 1, diakses 16 April 2013.

12. “Meski sudah ditunda ujian nasional masih kacau, apa sebabnya?” http://fokus.news.viva.co.id/news/read/406327, diakses 19 April 2013.

13. “Siswa-siswa Wakatobi Stres UN Ditunda,” http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/04/18, diakses 20 April 2013.

14. “DPR Segera Panggil Mendikbud Soal UN,” http://www.indonesiaheadlines.com/news, diakses 20 April 2013.

Page 13: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 13 -

Vol. V, No. 08/II/P3DI/April/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

OPSI KEBIJAKAN DUA HARGA BBM

BERSUBSIDIT. Ade Surya*)

Abstrak

Pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi dengan opsi kebijakan dua harga demi mengurangi beban subsidi energi pada APBN. Opsi diambil selain untuk meminimalkan dampak kenaikan inflasi, juga untuk membuat subsidi energi dapat lebih tepat sasaran. Namun implementasi dari kebijakan ini ditengarai akan sulit. Pemerintah harus melakukan pengawasan ekstra agar tidak timbul penyelewengan di lapangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi pemerintah juga harus menyiapkan infrastruktur pendukung agar kebijakan ini dapat berjalan lancar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam apakah opsi kebijakan dua harga BBM bersubsidi ini merupakan opsi terbaik yang dapat dilakukan atau tidak.

A. Pendahuluan

Beban subsidi, khususnya subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah terasa semakin memberatkan. Besarnya pengeluaran subsidi energi tersebut sudah mencapai sekitar 20% dari seluruh pengeluaran negara dan lebih dari 26% dari pengeluaran pemerintah pusat pada tahun anggaran 2013. Tercatat, alokasi anggaran subsidi mencapai Rp316,1 triliun di mana alokasi anggaran yang akan disalurkan untuk subsidi energi sebesar Rp274,7 triliun, yaitu untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp193,8 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp80,9 triliun.

Begitu besarnya alokasi untuk subsidi energi dalam APBN, akan menyebabkan semakin berkurangnya anggaran untuk pos-pos lainnya yang lebih penting, seperti anggaran pendidikan dan kesehatan masyarakat. Padahal kedua jenis pengeluaran ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas SDM bagi pembangunan nasional guna meningkatkan produktivitas dalam menghadapi persaingan regional dan global. Subsidi energi yang terlalu besar juga mengganggu tersedianya dana sosial yang diperlukan untuk membantu golongan masyarakat miskin maupun untuk membangun infrastruktur yang sangat langka dewasa ini. Tanpa SDM bermutu dan infrastruktur memadai, kita akan tetap jadi pemasok bahan mentah dan tenaga kerja kasar

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 14 -

dengan pendidikan serta keahlian rendah ke mancanegara.

Oleh karena itu, untuk menekan beban subsidi energi pada APBN dan untuk dapat menyalurkannya pada kebutuhan lain yang lebih bermanfaat, pemerintah telah membahas beberapa opsi kebijakan pengendalian BBM bersubsidi seperti menaikkan harga BBM bersubsidi, mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi berbasis teknologi informasi, membatasi pemakaian BBM bersubsidi bagi mobil berpelat hitam, hingga memproduksi bensin dengan angka oktan 90. Dari sejumlah opsi tersebut, pembahasan pemerintah mengerucut pada rencana untuk mengurangi subsidi bahan bakar bagi pengguna mobil pribadi agar subsidi lebih tepat sasaran. Alasannya, mereka yang mampu membeli kendaraan pribadi merupakan golongan masyarakat kaya sehingga tidak layak mendapat subsidi penuh.

B. Kebijakan Dua Harga BBM Bersubsidi dan Implikasinya

Wacana kenaikan harga BBM bersubsidi yang berlangsung hampir dua tahun belakangan mulai mengarah pada kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM bersubsidi bagi pengguna mobil pribadi atau mobil berpelat hitam. Dengan kebijakan ini, maka BBM bersubsidi akan memiliki dua harga yang berbeda. Rencananya, untuk kendaraan bermotor dan mobil berpelat kuning harga BBM bersubsidi akan tetap sebesar Rp4.500 per liter, sedangkan untuk mobil berpelat hitam, pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp4.500 per liter menjadi Rp6.500 sampai Rp7.000 per liter pada Mei 2013. Kenaikan harga BBM bersubsidi untuk mobil berpelat hitam ini diproyeksikan mampu menghemat anggaran hingga Rp21 triliun dan menghindari defisit APBN melebar melebihi 3%.

Kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memang tidak dapat ditunda-tunda lagi, karena diprediksikan kuota BBM bersubsidi pada tahun ini melonjak. Bahkan menurut pengamat Ekonomi, Tony Prasetiantono, Kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada tahun ini sebenarnya terhitung terlambat. Momentum yang tepat untuk memotong subsidi BBM adalah pada tahun

2012 lalu ketika inflasi dapat ditekan rendah menjadi 4,3%. Kini situasinya sudah jauh berbeda karena tanpa disangka harga hortikultura melambung tinggi yang membuat inflasi year on year mencapai 5,9%. Sehingga jika harga BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi dinaikkan menjadi Rp6.500 atau Rp7.000 per liter, akan timbul tambahan inflasi 1 hingga 1,5% yang menjadikan inflasi tahun 2013 cukup tinggi, mencapai 6,5- 7%. Namun, terlambat menaikkan harga BBM bersubsidi masih lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali.

Kuota BBM bersubsidi diproyeksikan melonjak pada tahun ini dari 46 juta kiloliter menjadi 48 juta–53 juta kiloliter. Dimana dengan proyeksi tersebut, pagu subsidi BBM berisiko turut melambung dari Rp193,8 triliun menjadi Rp201,8–Rp221,8 triliun yang tentunya akan semakin memberatkan bagi APBN. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel di bawah ini, jika harga BBM bersubsidi tetap pada harga Rp4.500 per liter maka pemerintah diperkirakan harus menambah anggaran subsidi BBM sebesar Rp10 sampai Rp30 triliun. Jika harga BBM bersubsidi dinaikkan menjadi Rp6.500 atau Rp7.000 per liter khusus untuk kendaraan mobil berpelat hitam, maka pemerintah diperkirakan dapat menghemat anggaran subsidi BBM sebesar Rp21 triliun. Jika harga BBM bersubsidi dinaikkan menjadi Rp6.500 atau Rp7.000 per liter untuk semua jenis kendaraan bermotor, maka pemerintah diperkirakan dapat menghemat anggaran subsidi BBM sebesar Rp50 triliun.

Terkait mekanisme pengawasan kebijakan dua harga BBM bersubsidi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyatakan, nantinya akan ada SPBU yang khusus menjual

Tabel Pengaruh Harga Jual BBM Bersubsidi terhadap Subsidi BBM

Proyeksi Harga Jual BBM Bersubsidi

Subsidi BBM pada APBN

Harga tetap Rp4.500 per liter

Menambah Rp10-30 triliun

Harga naik Rp6.500 atau Rp7.000 (khusus untuk mobil berpelat hitam)

Menghemat Rp21 triliun

Harga naik Rp6.500 atau Rp7.000 (untuk semua kendaraan)

Menghemat Rp50 triliun

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Page 15: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 15 -

BBM bersubsidi untuk sepeda motor dan angkutan umum, dan kemudian akan ada pula SPBU yang khusus menjual BBM bersubsidi untuk mobil pribadi. Cara ini jauh lebih mudah pengawasannya dibandingkan SPBU yang sama yang melayani penjualan BBM bersubsidi untuk mobil pribadi, motor, dan angkutan umum. Bagi wilayah yang SPBU-nya masih kurang, pemerintah akan mendorong pembangunan SPBU baru dengan menyiapkan insentif.

Untuk meminimalkan dampak dari kebijakan dua harga BBM bersubsidi ini, pemerintah telah berkomitmen memperkuat program santunan sosial seperti bantuan beras untuk rakyat miskin, program keluarga harapan (PKH), dan beasiswa bagi siswa miskin (BSM) sebagai bentuk kompensasi. Harapannya, walaupun ada kenaikan harga dan inflasi, masyarakat miskin masih tetap terlindungi.

Namun, rencana pemerintah menerapkan dua harga yang berbeda untuk BBM bersubsidi mendapat banyak tentangan dan dipertanyakan banyak pihak. Banyak kalangan menilai, implementasi kebijakan dua harga ini akan sangat sulit dan rumit, serta rawan terjadi gejolak atau kericuhan di SPBU. Walaupun pemerintah telah menyiapkan mekanisme pengawasan dengan memisahkan SPBU, tetapi tetap saja celah ataupun potensi terjadinya kecurangan masih cukup besar. Pemerintah tidak akan mampu mengawasi secara penuh bentuk-bentuk penyelewengan seperti pengisian berulang BBM bersubsidi yang harganya disubsidi penuh untuk dijual lagi kepada pengguna mobil pribadi. Selain itu, infrastruktur yang harus disiapkan pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan dua harga BBM bersubsidi ini paling tidak membutuhkan waktu 2-3 bulan. Padahal kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi harus secepatnya dilaksanakan agar dapat mengurangi beban subsidi energi pada APBN.

C. Kebijakan Alternatif dalam Mengurai Masalah Subsidi BBM

Pemerintah seperti menghindar dari kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi secara menyeluruh atau kebijakan satu harga, mengingat makin dekatnya pemilihan Presiden

2014, yang dapat berdampak berat pada ekonomi politik. Padahal, sejak 2009 hingga 2012, harga BBM terutama premium bersubsidi tetap bertahan pada harga Rp4.500 per liter. Ini berarti secara riil harga turun mengingat kenaikan harga umum atau inflasi pada periode yang sama secara akumulatif mencapai 19%.

Kebijakan satu harga BBM bersubsidi memang akan menyebabkan kenaikan inflasi dan perlambatan eknomi yang lebih besar jika dibandingkan dengan kebijakan dua harga BBM bersubsidi. Tetapi ada beberapa kelebihan jika pemerintah menerapkan kebijakan ini. Pertama, pemerintah dapat menghemat anggaran jauh lebih besar; kedua, pemerintah lebih mudah dalam mengimplementasikan dan melakukan pengawasannya; dan ketiga, meminimalkan bentuk-bentuk penyelewengan seperti penyelundupan.

Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, pemerintah seharusnya tidak perlu membuat aturan dua harga BBM bersubsidi karena mayoritas konsumen sesungguhnya sudah setuju bila harga BBM bersubsidi dinaikkan untuk semua jenis kendaraan bermotor. Alasan pemerintah yang selalu menuding kelompok miskin akan terkena dampak besar dari kenaikan BBM bersubsidi juga tidak berdasar. Karena berdasarkan penelitian, YLKI mencatat 60% pendapatan kelompok miskin justru lebih banyak dihabiskan untuk makanan, bukan BBM bersubsidi. Selain itu, dengan tidak dinaikkannya harga BBM bersubsidi untuk sepeda motor akan menimbulkan masalah lain, mengingat kelompok ini menggunakan hampir 60% dari kuota BBM bersubsidi, sehingga masih perlu dipertanyakan berapa volume BBM bersubsidi yang dihemat jika kebijakan dua harga BBM bersubsidi ini dilakukan.

Sebenarnya, opsi apapun yang diambil pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tetap akan bermanfaat positif terhadap perekonomian nasional dalam jangka panjang. Yang penting, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi harus dilakukan segera mungkin agar tidak menjadi tumpukan beban APBN yang berkepanjangan. Opsi kebijakan dua harga BBM bersubsidi pun sah-sah saja dilakukan atau diterapkan, sepanjang pemerintah dapat menjamin pengamanan di lapangan disertai kesiapan sistem pemantauan dan pengendalian

Page 16: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 16 -

BBM bersubsidi berbasis teknologi informasi, sehingga kebijakan dua harga BBM bersubsidi ini dapat berjalan dengan efektif. Namun pemerintah juga perlu mempertimbangkan opsi-opsi lainnya seperti kebijakan satu harga BBM bersubsidi, yang bisa jadi merupakan solusi terbaik terkait kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi untuk menekan subsidi energi.

Persoalan BBM bersubsidi merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh pemerintah. Hal ini dapat terjadi karena konsumsi BBM bersubsidi yang terus meningkat sedangkan produksi minyak mentah cukup rendah, ditambah harga minyak dunia yang tidak stabil. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih serius menggarap dan mendorong pengembangan energi alternatif khususnya energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang merupakan sumber energi berbahan bakar fosil. Energi terbarukan merupakan energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik seperti cahaya matahari, angin, aliran air, biofuel, gelombang air laut, panas bumi, dan lain-lain. Selama ini, pengembangan energi terbarukan berjalan lambat dan sulit salah satunya karena BBM masih disubsidi cukup besar oleh pemerintah. Padahal, jika energi terbarukan ini benar-benar dapat dikembangkan maka usaha pemerintah untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional dapat terealisasi, sekaligus mengeliminir permasalahan BBM.

D. Penutup

Kebijakan dua harga BBM bersubsidi untuk menekan subsidi energi memang dapat menyebabkan dampak inflasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan menerapkan kebijakan satu harga BBM bersubsidi untuk semua jenis kendaraan bermotor. Namun pemerintah juga perlu melakukan usaha ekstra untuk melakukan pengawasan dari implementasi kebijakan tersebut. Belum lagi pemerintah juga harus menyiapkan ketersediaan infrastruktur pendukung yang diperlukan.

Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang terkait rencana penerapan kebijakan dua harga BBM bersubsidi ini. Memang sudah saatnya subsidi energi khususnya untuk BBM dikurangi demi mengurangi tekanan terhadap APBN dan mengalihkannya ke pos lain yang lebih berdampak pada pembangunan nasional. Tetapi kenaikan harga BBM bersubsidi seharusnya diterapkan untuk semua jenis kendaraan bermotor tanpa adanya diskriminasi. Selain itu, dengan meningkatnya harga BBM, energi alternatif yang selama ini cenderung layu sebelum berkembang bisa mendapat perhatian yang lebih baik dari pemerintah maupun masyarakat.

DPR-RI sebagai lembaga negara yang salah satunya fungsinya melakukan pengawasan, harus terus mengawasi kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah terkait kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Selain itu, diharapkan DPR-RI dapat mendukung pemerintah terkait pengembangan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM.

Rujukan:1. “BBM Bersubsidi: Harga Naik Rp 2.000/

Liter,” Bisnis Indonesia, 17 April 2013.2. “Implikasi 2 Harga BBM,” http://www.

neraca.co.id/harian/article/27517, diakses 19 April 2013.

3. Nasution, Anwar, “Dampak Ekonomi Subsidi Energi,” Kompas, 16 April 2013.

4. “Pengurangan Subsidi: Harga BBM Rp 6.500 – Rp 7.000 Per Liter,” Kompas, 17 April 2013.

5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

6. Prasetiantono, A. Tony, “Terlambat Masih Lebih Baik,” Kompas, 16 April 2013.

7. “Presiden Belum Yakin: Keputusan Kenaikan Harga BBM Akhir April,” Kompas, 18 April 2013.

8. “Publik Dukung Kenaikan BBM,” Republika, 16 April 2013.

9. “Subsidi Bahan Bakar Minyak: Satu Produk, Dua Harga,” Kompas, 16 April 2013.

Page 17: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 17 -

Vol. V, No. 08/II/P3DI/April/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM DAFTAR CALON

LEGISLATIF PADA PEMILU 2014

Debora Sanur Lindawaty*)

Abstrak

UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah mengatur kuota secara tegas, Parpol diwajibkan meningkatkan jumlah kader perempuan dalam kepengurusan partai hingga 30% baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten. Sedangkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terakhir diganti menjadi UU No. 8 Tahun 2012 juga telah menyempurnakan ketentuan pencalonan anggota legislatif, yang mengharuskan adanya calon perempuan di antara nomor urut 1-3 dari daftar calon legislatif. Karena itu, sistem pemilu yang mewajibkan pemenuhan kuota keterwakilan 30% perempuan dalam daftar calon legislatif perlu dimanfaatkan oleh kaum perempuan.

A. Pendahuluan

Salah satu upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif adalah dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan terhadap proses politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada tingkat yang diharapkan. UU Parpol dan UU Pemilu adalah salah satu indikator penting dalam menjamin peningkatan keterwakilan perempuan tersebut.

Untuk semakin meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014, Ketua KPU RI, Husni Kamil Manik, serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP-PA), Linda Amalia Sari Gumelar, pada tanggal 19 Juli 2012 telah menandatangani Nota Kesepahaman atau

Memorandum of Understanding (MoU) terkait kerjasama untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam Pemilu. Nota Kesepahaman No. 14/MPP-PA/07/2012 dan No. 09/SKB/KPU/VII/2012 terdiri atas 9 bab dan 11 pasal, yang isu utamanya adalah agar tercipta percepatan pengarusutamaan gender dalam politik. Dengan Nota Kesepahaman ini, KPU dan Kemeneg PP-PA berkomitmen untuk bekerja sama meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik pada Pemilu Legislatif (Pileg), Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), dan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.

Menurut Ramlan Surbakti, isu kuota perempuan sebenarnya sudah ada sejak masa orde baru. Namun, saat itu isu belum dimasukan ke dalam UU dan hanya ada dalam kebijakan internal parpol. Baru semenjak Pemilu Tahun

*) Peneliti bidang Politik Dalam Negeri pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 18 -

2004, dengan diberlakukannya Pasal 65 UU 12 Tahun 2003, UU telah mewajibkan parpol memperhatikan keterwakilan perempuan, namun sifatnya hanya imbauan saja. Setelah diubah menjadi UU No.10 Tahun 2008 yang digunakan dalam pemilu 2009, keterwakilan perempuan sudah bersifat lebih memaksa, karena dalam mengajukan calegnya parpol harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan.

B. Peraturan Kuota 30% Perempuan

UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam hal pencalonan. Pasal 55 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi:

“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.”

Pasal 56 ayat (2) berbunyi:“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”

Demikian pula penyempurnaan UU Parpol, di mana UU No. 31 Tahun 2002 yang belum mencantumkan masalah kuota secara tegas, telah diperbaiki dengan UU No. 2 Tahun 2008, bahwa partai harus memenuhi kuota 30% caleg perempuan.

Menurut Ida Budhiati, Komisioner KPU, saat ini syarat 30% caleg perempuan telah memiliki derajat yang sama dengan persyaratan lainnya di mana jika tidak mampu terpenuhi maka dianggap tidak memenuhi syarat. Seperti halnya persyaratan yang berkaitan dengan syarat usia, kesehatan dan sebagainya, kalau tidak terpenuhi maka tidak memenuhi syarat.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 58 UU No. 8 Tahun 2012 yang berbunyi:

(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.

(2) KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.

(3) KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.

Selanjutnya diatur pula dalam Pasal 59 UU No. 8 Tahun 2012 yang berbunyi:

(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 tidak terpenuhi, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Partai Politik Peserta Pemilu.

(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.

Sementara dalam Pasal 11 huruf b Peraturan KPU No 7 Tahun 2013, diatur, dalam daftar calon di setiap daerah pemilihan harus memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30% yang selengkapnya berbunyi:

“Dalam pengajuan bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Partai Politik wajib memperhatikan: a. ….b. Daftar bakal calon menyertakan

sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh

Page 19: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 19 -

persen) keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan.”

Sementara dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan KPU No. 7 Tahun 2013 berbunyi:

“Dalam hal partai politik telah memenuhi syarat 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan dan menempatkan sekurang-kurangnya 1 (satu) nama bakal calon perempuan dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon pada nomor urut yang lebih kecil, partai politik dinyatakan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.”

Ketentuan perundang-undangan inilah yang mengharuskan setiap parpol lebih serius dalam mempersiapkan caleg perempuannya untuk pemilu 2014 yang akan datang. Sejak dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang kuota 30% perempuan memang terlihat ada peningkatan yang signifikan pada jumlah caleg perempuan dalam pemilu 2004 dan 2009, yaitu 11,6%, pada Pemilu 2004 dan 18% pada Pemilu 2009. Peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen ini menumbuhkan optimisme bagi terciptanya kesetaraan gender di bidang politik, di mana peningkatan jumlah keterwakilan perempuan ini diharapkan akan membawa peningkatan yang signifikan terhadap kerangka the politics of presence maupun dalam kerangka the politic of ideas (kebijakan kesejahteraan ibu dan anak serta keluarga) dari kepentingan perempuan sebagai mayoritas penduduk suatu negara.

C. Pentingnya Kuota 30% Perempuan

Pada dasarnya pentingnya keterwakilan 30% perempuan di Parlemen adalah:1. Kebijakan afirmasi 30% keterwakilan

perempuan di parlemen semakin menguatkan demokrasi substansial tanpa mengurangi demokrasi prosedural dan penegakkan HAM.

2. Keterwakilan perempuan 30% di parlemen dapat mencegah terjadinya kebijakan yang merugikan perempuan.

3. Keterwakilan perempuan diparlemen dapat memiliki daya ungkit dalam membuat kebijakan yang responsif gender.

4. Keterwakilan perempuan 30% di parlemen bukanlah hadiah atau belas kasihan melainkan sebagai kompensasi dari perlakuan ketidakadilan politik yang berlangsung selama beberapa dasawarsa pasca kemerdekaan.

5. Ketewakilan perempuan 30% di parlemen dapat menjadi koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang mengabaikan hak-hak perempuan.

Sedangkan dampak yg diharapkan dari terpenuhinya keterwakilan 30% perempuan dalam legislatif adalah:1. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan

dan program pembangunan yang responsif gender yang dapat mempercepat terwujudnya masyarakat sejahtera yang berkeadilan gender.

2. Menciptakan iklim yang kondusif guna memperluas aksesibilitas perempuan dalam berbagai dimensi pembangunan

3. Mempercepat terwujudnya kualitas SDM yang berkesetaraan gender.

D. Hambatan Caleg Perempuan

Walau sudah mendapat dukungan UU, namun umumnya ada dua kendala pokok yang ditemui caleg perempuan yaitu budaya patriarki dan uang. Di beberapa daerah tertentu, akibat pengaruh kultur masyarakat yang dominan, penetrasi terhadap caleg perempuan masih rendah. Hal ini disebabkan adanya budaya yang menganggap tugas perempuan hanyalah mengurus anak.

Nahiyah J. Faraz, dosen FE Universitas Negeri Yogyakarta menilai, hambatan partisipasi perempuan dalam politik di antaranya: Hambatan ideologi dan psikologi (stereotype, partriarkhi, bias gender), hambatan sebagai sumber daya manusia (politik maskulin, pendidikan rendah, minimnya akses), hambatan kelembagaan dan struktural, dan hambatan dana.

E. Peran Parpol terkait Kuota 30% Perempuan

Walaupun kuota 30% perempuan telah terpenuhi, namun perlu diingat bahwa tujuan utama dari keterwakilan perempuan

Page 20: Vol. V, No. 08 II P3DI April 2013

- 20 -

adalah agar perempuan mampu menyuarakan kepentingannya. Ingrid Kansil, anggota DPR dari Fraksi Demokrat mendorong kaum perempuan lebih sensitif menangkap peluang politik, menjadi wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah. Sistem Pemilu yang mewajibkan pemenuhan kuota keterwakilan 30% perempuan perlu dimanfaatkan. Popong Otje Djundjunan, Anggota Pansus RUU Pemilumengatakan, tujuan utama dari kuota 30% perempuan bukan hanya untuk Pemilu 2014, melainkan harus ada upaya dari para individu untuk meningkatkan kualitas diri di bidang politik.

Dalam hal ini peran parpol ialah mempersiapkan kader perempuan yang berpotensi dan meningkatkan kualitas mereka melalui pendidikan politik yang sesuai dengan kultur masyarakat setempat, misalnya untuk wilayah perempuan nelayan, diberikan pendidikan kelautan dengan menyelipkan pendidikan politik untuk perempuan, serta pelatihan dengan mengedepankan solidaritas perempuan. Selanjutnya, upaya peningkatan keterwakilan perempuan juga harus didukung dengan meningkatkan kader perempuan sebagai pengurus partai berjumlah 30% di kepengurusan pusat, propinsi, dan kabupaten.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PPP, Fernita Darwis mengatakan, PPP mengusung 9 strategi peningkatan caleg Perempuan Pemilu 2014, di antaranya: 1) Caleg perempuan peduli terhadap isu perempuan, sehingga perempuan harus menduduki posisi strategis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan; 2) Pendidikan politik; 3) Advokasi kebijakan, di mana caleg perempuan perlu mengawal kebijakan, terlebih menyangkut hak-hak perempuan; 4) Sosialisasi; 5) Jaringan ke atas dan ke bawah, karena sosialisasi dan menjalin jaringan baik ke tingkat partai maupun ke dapil sangat diperlukan untuk mengawal aspirasi para pemilih; 6) Kualitas, karena bukan hanya caleg perempuan saja, melainkan caleg laki-laki juga banyak yang diragukan kualitasnya; 7) Popularitas; 8) Terdaftar pada nomor urut atas; 9) Terpilih dengan suara terbanyak.

F. Penutup

Untuk meningkatkan kuota dan kualitas perwakilan perempuan dalam pemilu ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.

Keterwakilan perempuan pada dasarnya tidak hanya untuk memenuhi amanat UU Pemilu, melainkan akan membuat perempuan berada di posisi strategis dalam proses pembuatan kebijakan strategis untuk mencapai sejumlah indikator pembangunan. Sedangkan terkait hambatan yang biasa ditemui, perempuan perlu mendapat pendidikan politik, diberi kesempatan oleh partai untuk menjadi pengurus partai dan juga mendapat dukungan dana baik pemerintah maupun partai untuk pendidikan politik selama perempuan itu sebagai kader, maupun dana sebagai persiapan kampanye. Selanjutnya dalam hal strategi pemenangan perempuan dalam pemilu juga perlu diperhatikan dan diperbaiki, agar perempuan nantinya tidak hanya mampu berbicara tapi mampu melakukan sesuatu dalam proses pembuatan kebijakan strategis, terutama yang menyangkut dengan isu perempuan.

Rujukan: 1. “Peningkatan Keterwakilan Perempuan Pada

Pemilu 2014,” http://wri.or.id/id, diakses 21 April 2013.

2. “Ketua KPU dan Menteri PP-PA tandatangani MOU Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Pemilu,” http://kpud-banjarkota.go.id/1/galeri-kegiatan/8-kilas-berita/94, diakses 15 Februari 2013.

3. “Penuhi Afirmasi, PPP Letakkan 22 Caleg Perempuan di Nomor Urut 1,” http://www.beritasatu.com/pemilu-2014/108685, diakses 21 April 2013.

4. “Hari Kartini, Saatnya Perempuan Masuk Dalam Sistem Politik,” http://news.okezone.com/read/2013/04/20, diakses 21 April 2013.

5. “Sembilan Jurus PPP Loloskan Caleg Perempuan,” http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/19, diakses 21 April 2013.

6. “Strategi Caleg Perempuan Dalam Pemenangan Pemilu 2014,” http://uny.ac.id/berita/strategi-caleg-perempuan-dalam-pemenangan-pemilu-2014.html, diakses 21 April 2013.