vol iv no 11 i p3di juni 2012

20
Kontroversi Pemberian Grasi terhadap Corby Novianti *) Abstrak Pemberian grasi 5 (lima tahun) terhadap warga negara Australia Schapelle Leigh Corby oleh Presiden menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Walaupun pemberian grasi tersebut merupakan hak prerogatif presiden sesuai dengan pasal 14 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, namun pemberian grasi tersebut dinilai kurang tepat karena kejahatan narkotika merupakan suatu kejahatan serius dan Indonesia merupakan negara peserta Konvensi PBB dan telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 7 Tahun 1997. H U K U M Pendahuluan Pemberian grasi kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai kontroversi. Grasi tersebut dinilai menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan narkotika dan obat terlarang di Indonesia. Corby merupakan terpidana narkotika asal Australia yang divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram ganja pada tahun 2004. Grasi yang tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 22/G Tahun 2012 dan ditetapkan pada 15 Mei 2012 tersebut menuai kontroversi dan kritik keras dari berbagai pihak, seperti akademisi hukum, politisi, tokoh masyarakat, kalangan pelajar, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang gencar memerangi perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kontroversi muncul saat publik melihat bahwa pemberian grasi kepada “Ratu Marijuana” Corby, terpidana kasus narkotika warga negara asing baru pertama kali dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dan grasi serupa tidak pernah diberikan kepada WNI yang menjadi terpidana narkoba. Kontroversi Pemberian Grasi Kontroversi pemberian grasi 5 (lima tahun) terhadap warga negara Australia Schapelle Leigh Corby terus berlanjut. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menilai kebIjakan Presiden yang memberikan grasi terhadap Corby sah-sah saja asal dilakukan dengan prosedur yang benar. Yang menjadi masalah adalah transparansi dan konsistensi, di mana kebijakan pemerintah tersebut bertolak belakang. Di satu sisi memperketat pemberian remisi terhadap *) Peneliti Madya Bidang Hukum Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] Vol. IV, No. 11/I/P3DI/Juni/2012 - 1 -

Upload: yulia-indahri

Post on 05-Aug-2015

75 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kontroversi Pemberian Grasi terhadap Corby (Novianti) Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Krisis Suriah (Adirini Pujayanti) Aspek Psikososial Perlindungan Hutan (Elga Andina) Kebijakan Impor Sapi terhadap Perkembangan Sub-sektor Peternakan di Indonesia (Iwan Hermawan) Kebijakan Pemulihan Keamanan di Papua (Riris Katharina)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

Kontroversi Pemberian Grasi terhadap Corby

Novianti*)

Abstrak

Pemberian grasi 5 (lima tahun) terhadap warga negara Australia Schapelle Leigh Corby oleh Presiden menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Walaupun pemberian grasi tersebut merupakan hak prerogatif presiden sesuai dengan pasal 14 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, namun pemberian grasi tersebut dinilai kurang tepat karena kejahatan narkotika merupakan suatu kejahatan serius dan Indonesia merupakan negara peserta Konvensi PBB dan telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 7 Tahun 1997.

H U K U M

Pendahuluan

Pemberian grasi kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Leigh Corby, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai kontroversi. Grasi tersebut dinilai menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan narkotika dan obat terlarang di Indonesia. Corby merupakan terpidana narkotika asal Australia yang divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram ganja pada tahun 2004. Grasi yang tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 22/G Tahun 2012 dan ditetapkan pada 15 Mei 2012 tersebut menuai kontroversi dan kritik keras dari berbagai pihak, seperti akademisi hukum, politisi, tokoh masyarakat, kalangan pelajar, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang gencar memerangi perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kontroversi

muncul saat publik melihat bahwa pemberian grasi kepada “Ratu Marijuana” Corby, terpidana kasus narkotika warga negara asing baru pertama kali dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dan grasi serupa tidak pernah diberikan kepada WNI yang menjadi terpidana narkoba.

Kontroversi Pemberian Grasi

Kontroversi pemberian grasi 5 (lima tahun) terhadap warga negara Australia Schapelle Leigh Corby terus berlanjut. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menilai kebIjakan Presiden yang memberikan grasi terhadap Corby sah-sah saja asal dilakukan dengan prosedur yang benar. Yang menjadi masalah adalah transparansi dan konsistensi, di mana kebijakan pemerintah tersebut bertolak belakang. Di satu sisi memperketat pemberian remisi terhadap

*) Peneliti Madya Bidang Hukum Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Vol. IV, No. 11/I/P3DI/Juni/2012

- 1 -

Page 2: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 2 -

narapidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme. Namun, di sisi lain malah mengabulkan grasi lima tahun kepada Corby.

Selain itu, terkait dengan pemberian grasi terhadap Corby, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hikmahanto Juwana, mengatakan Presiden perlu menjelaskan proses dikabulkannya grasi lima tahun Schapelle Corby. Menurut Hikmahanto, pertemuan pejabat Duta Besar Australia, David Angel, dengan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, yang dilansir media terungkap bahwa Australia tidak turut campur dalam pemberian grasi Corby. “Tanpa diberikan grasi Corby pun, para tahanan nelayan akan dipulangkan ke Indonesia, sehingga hal itu memunculkan kecurigaan lebih mendalam mengapa Presiden sampai memberikan grasi kepada Corby”. Bahkan, menurut Hikmahanto, dari pernyataan pejabat Dubes tersebut seolah pemerintah Australia tidak mempermasalahkan seandainya Presiden SBY tidak memberi grasi kepada Corby.

Sikap pemerintah Australia dapat dipahami karena Australia seperti Indonesia merupakan negara peserta Konvensi PBB 1988 terkait larangan terhadap perdagangan narkotika yang menganggap perdagangan narkotika sebagai suatu kejahatan serius. Oleh karena itu, mereka memahami jika Corby tidak diberikan grasi. Ada pun yang diperjuangkan sejak awal oleh pemerintah Australia sebenarnya bukan grasi melainkan kemungkinan Corby menjalani sisa masa hukuman di Australia.

Hal senada juga diungkapkan oleh pakar hukum tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, tidak sepantasnya, pengedar narkotika seperti Corby ditukar dengan pemberian keringanan sejumlah nelayan Indonesia yang melanggar batas wilayah Australia. Daripada memberikan Grasi, menurut Yusril pemerintah bisa saja melakukan ekstradisi, ataupun “Transfer of Prisoner,” yang perangkat hukumnya sebagian telah tersedia di Kementerian Hukum dan HAM. Transfer of Prisoner sendiri adalah saat warga negara Australia telah dipidana di Indonesia, ditukar dengan warga negara Indonesia yang

dipidana di Australia. Menurut Yusril Presiden sepenuhnya bertanggung jawab atas pemberian grasi Corby, karena sesuai perundang-undangan yang baru, permohonan grasi disampaikan ke presiden, dan presiden akan meminta rekomendasi dari berbagai kementerian.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani menilai, pemberian grasi bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang mencanangkan moratorium pemberian remisi untuk pelaku kejahatan narkoba. Pemerintah pun dinilai kurang sensitif.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan, pemberian grasi tersebut tanpa “deal” atau kesepakatan tertentu antara pemerintah Indonesia dan Australia. Marty menjelaskan, tidak ada proses atau upaya diplomasi antara pemerintah RI dan Australia, terkait dengan keluarnya kebijakan grasi kepada terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Pemerintahan kedua negara juga tidak mengenal kesepakatan tukar-menukar tahanan seperti biasa terjadi dalam kondisi perang (exchange of prisoner of war). “Memang ada istilah yang umum dikenal, yaitu transfer orang terhukum (transfer of sentenced person) antarnegara. Akan tetapi Indonesia tidak pernah punya atau membuat kesepakatan semacam itu dengan negara mana pun sampai sekarang Marty menambahkan, penerapan TSP biasanya dilakukan dan disepakati dengan pertimbangan kemanusiaan dan diputuskan oleh pengadilan berdasarkan permintaan yang bersangkutan (terpidana). Setiap negara pasti akan melakukan upaya terbaik demi melindungi warga negaranya dari ancaman hukuman serius di negara lain, seperti juga dilakukan pemerintah RI. Namun, semua dilakukan secara hukum (proses grasi) bukan melalui tawar-menawar,

Menanggapi kemungkinan grasi Corby memengaruhi hubungan bilateral kedua negara, pengamat politik Universitas Jember, Joko Susilo, menduga pemberian grasi tersebut memiliki tujuan tertentu untuk meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara. Dalam aspek politik,

Page 3: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 3 -

kebijakan pemberian grasi terhadap seorang WNA tentu berimplikasi terhadap hubungan bilateral kedua negara, namun konsekuensi itu harus memiliki nilai penting bagi Indonesia. .Joko menegaskan pemberian grasi tersebut harus ada imbal balik politik yang jelas karena konsekuensi yang ditanggung pemerintah cukup besar dalam mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga harus ada manfaat politik yang menguntungkan Indonesia dalam hubungan internasional. Secara tidak langsung bisa memberikan dampak yang positif dalam hubungan bilateral, namun yang mengetahui persis adalah pemerintah.

Konsep Hak Prerogratif

Prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare (diminta sebelum meminta yang lain). Dalam prakteknya, kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.

Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, seperti Amerika Serikat), seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.

Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik.

Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Oleh karenanya, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo Wahjono menyatakan pendapatnya yang memberikan kesimpulan bahwa hak prerogatif yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain.

Penutup

Pemberian grasi 5 (lima tahun) terhadap warga negara Australia Schapelle Leigh Corby merupakan hak prerogatif presiden sesuai dengan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Namun, dalam kebijakan pemberian grasi sebaiknya juga menggunakan pertimbangan hukum dan tidak hanya menggunakan pertimbangan politik semata, karena kejahatan perdagangan narkoba merupakan kejahatan yang serius. Pemberian grasi tersebut memberikan kesan bahwa penegakan hukum di Indonesia untuk narkoba sangat lemah. Selain itu, PBB telah mengeluarkan konvensi tentang Pemberantasan Narkotika dan Psikotropika tahun 1988 dan Indonesiai telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 7 Tahun 1997. Dengan demikian sejalan dengan pendapat Hakim Agung, Gayus Lumbuun, yang menyatakan, untuk menguji apakah

Page 4: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 4 -

pemberian grasi tersebut telah tepat sesuai dengan Undang-Undang Grasi atau belum, masyarakat dapat mengajukan gugatan tersebut ke PTUN. Sebab, hak preogratif presiden, adalah kewenangan yang diberikan melalui undang-undang dan tidak bersifat absolut.

Rujukan1. “Grasi Corby Atas Pertimbangan

Hukum,” Kompas, 22 Mei 2012.2. “Grasi Corby, Catatan Hitam Pemerintah

SBY,” Kompas, 25 Mei 2012. 3. “Tak Ada Upaya Diplomasi Terkait

Corby,” Kompas, 3 Juni 2012.4. “Kontroversi Grasi Corby Teru

Berlanjut,” http://rimanews.com/read/20120529/64150/, diakses 31 Mei 2012.

5. “Kasus Corby Gunakan Pertimbangan Hukum Bukan Politik,” http://www.antarajatim.com/lihat/berita/88809/, diakses 1 Juni 2012.

6. “Australia: Corby Urusan Indonesia,” http://nasional.vivanews.com/news/read/319882, diakses 2 Juni 2012.

7. “Wajar Grasi Corby Dipertanyakan,” http://nasional.vivanews.com/news/read/316611, diakses 2 Juni 2012.

8. “Yusril: Tak Pantas Pecandu Narkoba Dibarter Dengan Nelayan,” http://id.berita.yahoo.com/, diakses 2 Juni 2012.

9. “Australia Tak Berkepentingan dengan Grasi Corby,” http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?, diakses 3 Juni 2012.

Page 5: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Krisis Suriah

Adirini Pujayanti*)

Abstrak

Masyarakat internasional mengucilkan Suriah setelah krisis politik yang telah berlangsung lebih dari 14 bulan di negara tersebut menewaskan lebih dari 7.500 orang warga negaranya. Puncak kemarahan dunia adalah terjadinya ‘Tragedi Houla’ di Provinsi Homs, dengan korban lebih dari 100 orang warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak akibat pembantaian pihak militer. Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga saat ini belum berhasil mencari solusi damai atas masalah Suriah, sehingga upaya mengatasi krisis politik di Suriah melalui cara intervensi militer mulai dipertimbangkan. Terkait dengan krisis Suriah, Indonesia juga perlu mengambil kebijakan secara bijaksana dengan mempertimbangkan keberadaan WNI yang ada di Suriah.

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pendahuluan

Houla, kota kecil di daerah pedesaan pertanian miskin di provinsi Homs Suriah menjadi perhatian dunia, setelah terjadi tragedi pembantaian lebih dari 100 orang penduduk sipil oleh militer pada Jumat 25 Mei 2012 lalu. Kemarahan dunia muncul karena mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak yang dibunuh dengan cara sangat kejam. Ada bukti kuat milisi shabbiha yang pro pemerintah terlibat dalam pembantaian tersebut. Pemantau PBB menemukan bukti-bukti keterlibatan militer berupa peluru artileri, tank, termasuk bangunan yang hancur oleh senjata berat dalam tragedi Houla. Kecaman dan kemarahan dunia atas tragedi Houla diikuti dengan pengusiran negara-negara Barat terhadap para diplomat Suriah. Suriah membalas tindakan tersebut dengan

pengusiran duta besar dan staf kedutaan 17 negara, termasuk AS dengan persona non grata (tidak diinginkan).

Belum reda keprihatinan dan kecaman dunia terhadap Suriah, kembali terjadi pembunuhan missal di Al-Kubeir wilayah Hama, salah satu pusat konflik senjata antara pasukan pemerintah dan oposisi. Pihak oposisi memperkirakan korban meninggal lebih dari 55 orang warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak. Milisi shabbiha kembali dituduh sebagai pelakunya dan Pemerintah Assad kembali membantah tuduhan tersebut. Upaya pemantau PBB untuk datang ke Hama gagal karena dihalangi dengan tembakan dari pihak pemerintah dan oposisi. Pemerintahan Bashar al Assad terus menyalahkan teroris dan pihak ekstremis atas pertumpahan darah yang terjadi di Suriah dan menyatakan pihak asing

*) Peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 5 -

Vol. IV, No. 11/I/P3DI/Juni/2012

Page 6: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 6 -

memiliki agenda untuk menghancurkan pemerintahan dan negaranya.

Jalan Buntu Perdamaian

Utusan khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah, Kofi Annan, mengalami kebuntuan untuk menghentikan pertikaian di Suriah, setelah usul enam agenda perdamaian yang diajukannya gagal diterapkan. Dewan HAM PBB mengadakan pertemuan pembahasan khusus membahas pelanggaran HAM di Suriah atas permintaan negara anggotanya. Sementara, Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB kembali bersidang dalam sebuah rapat tertutup untuk mengajukan usul baru bagi Suriah. Sebagai langkah lanjut, Annan menyiapkan rencana baru dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat sipil, perwakilan oposisi, negara yang pro maupun kontra kepada Pemerintahan Assad untuk duduk bersama mencari solusi damai bagi Suriah.

Intensitas perang saudara di Suriah akan semakin meningkat karena Tentara Pembebasan Suriah (FSA) telah memberi tenggat waktu kepada Pemerintahan Assad untuk memenuhi rencana perdamaian internasional yang diajukan PBB. Pemerintahan Assad mengizinkan relawan Palang Merah Internasional masuk ke negaranya, namun menolak gencatan senjata. Presiden Assad menegaskan, kesuksesan usulan perdamaian PBB-Liga Arab sangat tergantung keberhasilan pemerintahannya memberantas apa yang disebutnya sebagai aksi teroris dan penyelundupan senjata. Pemerintahan Assad selama ini masih mendapat dukungan dari Rusia, China dan Iran. Kedua negara meyakini solusi atas krisis Suriah dapat tercapai melalui cara dialog damai dalam perundingan. Mereka tidak mendukung penjatuhan rezim Assad secara paksa karena dikawatirkan akan memicu gelombang balas dendam dari kaum Sunni terhadap minoritas Alawite pendukung Assad yang kini memimpin posisi penting di pemerintahan dan militer.

Di lain pihak, AS mulai menyerukan intervensi militer internasional di Suriah. Dalam pandangan AS, jika DK PBB tidak

mengambil tindakan tegas, negara-negara anggota bisa bertindak tanpa PBB. Gerakan negara-negara Barat yang dipimpin AS terus mengkaji opsi, di antaranya intervensi militer atas nama masyarakat internasional. AS telah memimpin latihan perang di Jordania dekat perbatasan Suriah dengan melibatkan 11.000 tentara dari 19 negara. Latihan perang bertajuk “Singa Siaga” ini menjadi persiapan untuk intervensi militer cepat di Suriah, dan mencegah senjata kimia dan biologi di negara tersebut jatuh ke tangan teroris jika rezim Assad tumbang.

Kebijakan Indonesia

Sikap Indonesia dalam krisis Suriah sangat jelas, menolak kekerasan terhadap masyarakat sipil dan mendukung solusi damai yang mencerminkan aspirasi rakyat Suriah. Indonesia mendukung upaya PBB dalam mencari solusi damai dan menekankan perlu dilakukan suatu konferensi internasional yang bersifat inklusif untuk menyatukan pandangan masyarakat internasional dalam masalah Suriah. Indonesia pernah menarik Duta Besar di Suriah di awal tahun ini sebagai bentuk kecaman terhadap aksi kekerasan yang terus terjadi di negara tersebut. Namun, Pemerintah Indonesia kembali mengirim Dubes Indonesia ke Suriah menyusul keberadaan personel TNI dan Polri yang tengah bertugas sebagai tim peninjau PBB di Suriah untuk memastikan keamanan dan kenyamanan mereka. Indonesia tidak akan mengusir perwakilan Suriah di Jakarta, dengan keyakinan dalam situasi yang terus memburuk kedua negara justru harus mempertahankan komunikasi untuk menyampaikan keprihatinan Indonesia terhadap Suriah. Pemerintah Indonesia menunjukan keprihatinan terhadap pembunuhan warga sipil yang terus terjadi dengan memanggil Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia, Basam al-Khatib terkait tragedi Houla.

Namun Komisi I DPR menilai, Pemerintah tidak tegas dalam mengambil kebijakan politik terhadap Suriah. Indonesia harus lebih aktif dalam upaya penyelesaian konflik di negara Timur Tengah. Sebagai

Page 7: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 7 -

negara demokratis dan negara berpenduduk Islam terbesar, Indonesia dapat berperan penting dalam menyikapi perkembangan di Suriah. Melihat kekerasan sistemik yang berkelanjutan di Suriah Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap politik yang lebih tegas dan mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab untuk memberikan sanksi berat kepada Pemerintahan Bashar Al-Assad.

Pemerintah Indonesia memilih untuk berperan aktif dalam proses penghentian kekerasan dengan menjadi bagian dari tim peninjau PBB. Indonesia merupakan salah satu dari sejumlah negara yang diminta PBB untuk mengirimkan tim pemantau ke Suriah. PBB menilai Indonesia memiliki tenaga yang kompeten mengawasi gencatan senjata antar dua pihak bertikai di Suriah. Saat ini ada 16 perwira Indonesia baik dari Kepolisian atau TNI yang bertugas sebagai pemantau di Suriah. Tim Pemantau PBB berjumlah sekitar 300 personel. Dimulai dengan Tim Pendahulu yang terdiri dari 30 orang pemantau, termasuk 6 personel dari Indonesia. Kemudian Tim Pemantau PBB di tahap kedua akan diperkuat sehingga berjumlah 300 personel dari berbagai negara. Dalam tahap kedua ini Indonesia pun tengah menyiapkan 10 personel tambahan.

Kebijakan Indonesia untuk tetap mempertahankan hubungan diplomasi dengan Suriah dilakukan dengan pertimbangan jumlah warga negara Indonesia yang berada di negara tersebut cukup besar. Melihat intensitas kekerasan di Suriah yang terus meningkat, keamanan WNI di negara tersebut kini menjadi perhatian Kementerian Luar Negeri. Data dari Kantor Imigrasi Suriah menyatakan terdapat sekitar 80.000 WNI di negaranya. Namun KBRI hanya mempunyai data 12.000 WNI terdiri dari diplomat, ekspatriat, mahasiswa, dan selebihnya adalah TKI informal. Konsentrasi terbanyak warga Indonesia ada di ibukota Damaskus dan Allepo yang merupakan kota bisnis terbesar kedua di Suriah. Sejak bulan Januari lalu, Pemerintah Indonesia telah mulai melakukan evakuasi secara bertahap terhadap WNI di Suriah yang kondisi keamanannya telah terancam. Evakuasi

bertahap dilakukan karena banyak WNI terutama Tenaga Kerja Indonesia Pekerja Laksana Rumah Tangga (TKI PLRT) yang belum terdata. Selama ini KBRI kesulitan melakukan pendataan untuk mengetahui jumlah pasti mereka. Kontak dengan TKI hanya dapat dilakukan melalui hubungan telepon yang semakin sulit dilakukan karena putusnya jaringan komunikasi. Upaya menjalin kontak langsung dengan para TKI tidak dapat dilakukan tanpa surat persetujuan Kemenlu Suriah ke daerah konflik.

Dalam evakuasi sembilan tahap hingga 31 Mei lalu telah 233 WNI yang dipulangkan ke Tanah Air. Proses evakuasi hanya dapat dilakukan melalui jalan darat dengan kendaraan roda empat karena rel kereta api telah hancur dan jalur penerbangan sudah ditutup. KBRI berharap WNI segera keluar dari daerah-daerah konflik karena saat ini perbatasan ke negara Yordania masih bisa dilalui. Dari Yordania para WNI tersebut akan diterbangkan ke Tanah Air. Evakuasi WNI, khususnya TKI dilaksanakan setelah semua proses yang berkaitan dengan peraturan pemerintah Suriah untuk pemulangan mereka diselesaikan. Hal ini tidak mudah dilakukan karena pada umumnya paspor TKI dipegang oleh majikan. TKI harus mendapat izin dari majikan untuk pulang dan memastikan kontrak kerja sudah berakhir dan tak tersangkut kasus kriminalitas. Sedangkan WNI yang menjadi mahasiswa di sejumlah universitas di Damaskus memilih bertahan demi menyelesaikan pendidikan mereka. Menurut mereka krisis Suriah tersebut tidak berpengaruh pada mahasiswa asing, terutama yang berasal dari Asia Tenggara.

Penutup

Melihat situasi keamanan Suriah yang semakin tidak kondusif, Pemerintah Indonesia, khususnya kementerian luar negeri, harus segera mematangkan rencana evakuasi besar-besaran WNI di Suriah, termasuk alokasi dananya. Kemenlu harus bisa menetapkan eskalasi situasi di Suriah yang akan dijadikan patokan untuk proses evakuasi besar-besaran WNI. Pemulangan

Page 8: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 8 -

bertahap WNI harus direncanakan secara matang, dengan menyiapkan titik tempat berkumpul dan jalur evakuasi yang aman.

Pemerintah Indonesia memiliki pengalaman ketika menghadapi krisis politik di Sudan, Libya, dan Mesir. Ketiadaan data selalu menjadi alibi pemerintah Indonesia yang menyebabkan evakuasi lambat. Kemenlu dan Kemenakertrans harus bekerja sama, karena semestinya Kemenakertrans bisa segera menginstruksikan seluruh Disnaker di seluruh Indonesia untuk membuka pengaduan bagi keluarga buruh migran di Suriah. Dalam kesepakatan kerja TKI selama ini tak diatur soal force majeure (peristiwa di luar dugaan, seperti perang dan bencana alam), KBRI harus mengupayakan agar gaji dan hak-hak TKI terpenuhi sebelum mereka pulang.

Rujukan:1. “Insiden Houla Titik Balik Krisis,”

Kompas, 30 Mei 2012.2. “Annan-Assad Diskusikan Perdamaian

Suriah,” Republika, 30 Mei 2012.3. “Syrian Diplomats Around the World

Expelled,” The Jakarta Post, 30 Mei 2012.

4. “PBB Gagal Hentikan Suriah,” Republika, 31 Mei 2012.

5. “12.000 WNI di Suriah,” Kompas, 31 Mei 2012.

6. “Friends and Critics See A Threat to Annan’s legacy,” IHT, 31 Mei 2012.

7. “U.N. Rights Body to Meet on Syria Killings,” IHT, 31 Mei 2012.

8. “Ultimatum Pemberontakan untuk Rezim Al-Assad,” Media Indonesia, 1 Juni 2012.

9. “Aksi militer Dimungkinkan,” Kompas, 1 Juni 2012

10. “Assad Bantah Terlibat di Houla,” Kompas, 4 Juni 2012.

11. “UE Tekan Rusia Soal Suriah,” Kompas, 5 Juni 2012.

12. “Uni Eropa Kepung Putin Soal Suriah,” Republika, 5 Juni 2012.

13. “Suriah Usir Duta Besar AS,” Suara Pembaruan, 6 Juni 2012.

14. “Annan Pursues New Syria Plan,” The Wall Street Journal, 7 Juni 2012.

15. “Puluhan Warga Hama Dibantai,” Kompas, 8 Juni 2012.

16. “KBRI Kesulitan Kontak WNI,” Kompas, 11 Juni 2012.

Page 9: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

Aspek Psikososial Perlindungan Hutan Elga Andina*)

Abstrak

Kualitas fisik sangat mempengaruhi aspek sosial dan psikologis suatu masyarakat. Pengaturan pelindungan hutan saat ini masih belum mampu memecahkan masalah-masalah alih fungsi lahan, eksploitasi, dan lemahnya kontrol Pemerintah terhadap penyelewengan. Oleh karena itu DPR RI mengusulkan Rancangan Undang Undang Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai revisi Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Yang perlu ditekankan dalam pembahasan peraturan ini adalah fokus terhadap ide luhur pemeliharaan kesejahteraan rakyat, yang belum terlaksana oleh aturan pendahulunya. Oleh sebab itu, penyusunan undang undang ini harus mempertimbangkan dampak psikologis yang diakibatkannya.

K E S E J A H T E R A A N S O S I A L

Pendahuluan

Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Tahun ini Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan tema “Green Economy: Does it include you?” Disesuaikan dengan konteks Indonesia, maka tema ini menjadi Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan. Makna mendasar dari tema ini adalah urgensi seluruh umat manusia, baik secara individu, kelompok maupun negara, untuk mengubah pola konsumsi dan produksi atau gaya hidup menuju perubahan perilaku yang berkelanjutan. Tema ini juga dimaksudkan untuk mengangkat momentum United Nations Conference on Sustainable Development atau dikenal Rio+20 yang akan diselenggarakan pada pertengahan bulan Juni 2012.

Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan merupakan bentuk aktif dari kecemasan akan keberlangsungan hidup umat manusia. Lingkungan merupakan sumber daya alam hayati yang penting untuk menjaga kualitas hidup. Namun, kualitas dan kuantitas sumber daya ini semakin lama semakin menurun karena berbagai alasan, termasuk bencana alam dan ulah manusia. Oleh karena itu pengendalian kerusakannya menjadi isu signikan yang harus diperhatikan negara.

Dalam konteks yang lebih luas, sumber daya alam hayati meliputi seluruh kawasan vegetatif, termasuk hutan. Kementerian Kehutanan dalam Statistik Kehutanan tahun 2008 menyebutkan bahwa luas daratan kawasan hutan di Indonesia mencapai 133.694.685,18 ha dari 192.257.00 ha luas keseluruhan daratan di Indonesia. Ini berarti bahwa hampir 70% tanah air kita merupakan hutan.

*) Peneliti bidang Psikologi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 9 -

Vol. IV, No. 11/I/P3DI/Juni/2012

Page 10: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 10 -

Urgensi pentingnya hutan bagi kehidupan manusia tidak dapat dielakkan. Sebagai produsen oksigen, hutan menjadi paru-paru dunia. Penyerapan CO2 oleh tumbuhan memberi andil dalam mengurangi pencemar CO2 di udara. Jaringan tumbuhan menyimpan CO2 untuk kemudian diubah menjadi oksigen. Sebatang pohon selama hidupnya diprediksi dapat menyerap 7.500 gram karbon. Jika dalam satu hari sebatang pohon mampu menyerap 20 hingga 36 gram CO2 per hari, maka suatu kawasan dengan 1000 pohon dapat menyerap 13,14 ton per tahun. Oleh karena itu, Indonesia perlu merasa bersyukur dengan banyaknya hamparan hutan dari Sabang sampai Merauke.

Namun, keuntungan ini semakin lama terkikis seiring meningkatnya kerusakan hutan. Pengeksploitasian lahan memang bukan hal baru dan sudah berlangsung sejak negeri ini masih muda. Pada tahun 1997 World Resource Institute menyimpulkan penyusutan hutan asli Indonesia mencapai 72%. Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat dibanding tahun 1980. Bahkan, menurut data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang dirilis di tahun 2003, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, seluas 59,62 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.

Kerusakan hutan terjadi di seluruh pelosok tanah air. Dari Aceh dilaporkan bahwa hutan Aceh terus menyusut dari tahun ke tahun, lembaga sipil yang bekerja di bidang lingkungan mencatat, antara tahun 1980 hingga 2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar. Sebanyak 32.657 hektar hutan dibabat setiap tahun dan hingga tahun 2008, luas hutan Aceh tinggal 61,42%. Republika juga merilis berita penyusutan hutan di Jambi, yaitu hampir satu juta hektar dalam kurun waktu lima tahun. Ironisnya, luas hutan Jambi diketahui mencapai 2,1 juta hektar.

Eksploitasi Sumber Masalah

Minimal ada tiga penyebab menyusutnya cakupan hutan kita. Pertama, alih fungsi hutan yang tidak tepat guna. Deforestrasi besar-besaran telah dimulai sejak jaman Orde Baru yang membuka kesempatan bagi pengusaha untuk mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan bentuk usaha lainnya tanpa batas.

Kedua, eksploitasi tanpa tanggung jawab. Penebangan hutan yang tidak tepat, disertai lemahnya usaha peremajaan hutan menyebabkan hutan terus tergerus. Hutan terus menyusut sementara aktivitas penanaman kembali tidak seiring dengan penggundulan hutan.

Ketiga dan yang paling penting adalah tumpulnya peraturan yang terkait masalah kehutanan. Pengaturan pengelolaan hutan saat ini dibatasi oleh PP Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun, tidak satupun peraturan yang sanggup membatasi pelanggaran di sektor kehutanan, baik dalam hal konsep peraturan, maupun aplikasinya di lapangan. Pengamat menemukan bahwa kejahatan hutan terorganisir terus berlangsung dengan memberikan keuntungan sepihak pada pengusaha.

Ketiga hal di atas sesuai dengan penelitian Hofstede (2005) mengenai klasifikasi budaya Indonesia. Secara umum, budaya Indonesia digambarkan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan jenjang kekuasaan, rendah sentimen individualismennya (negara kolektif), rendah/sedang dalam tingkat kecenderungannya dalam menghadapi situasi yang tak pasti dan tergolong rendah atau sedang maskulinitasnya (negara feminin). Dengan kata lain, Indonesia rentan terhadap penyelewengan kekuasaan dalam kerangka Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Page 11: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 11 -

Dampak Psikososial Kerusakan Hutan

Dampak kerusakan hutan lebih banyak dirasakan masyarakat kecil yang tinggal di pedalaman. Beberapa dampak sosial kerusakan hutan di antaranya:1. Kehilangan mata pencaharian. Masih banyak masyarakat yang

menggantungkan penghidupan pada hasil hutan. Dalam laporan Badan Pusat Statistik pada bulan Februari 2012, masih ada 39.328.915 penduduk yang menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Kerusakan hutan juga mempengaruhi peningkatan hama.

2. Kehilangan lahan hidup. Masih banyak penduduk yang hidup

di daerah hutan. Penebangan liar dan kebakaran hutan adalah dua hal yang menyebabkan menyempitnya lahan hidup mereka. Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan, dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran.

3. Menurunnya kualitas kesehatan. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam

negara di lingkup ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap yang diekspor dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997–1998. Penyakit yang disebabkan kebakaran hutan misalnya adalah Bronchitis dan ISPA.

Dari sudut pandang psikologis, lemahnya perhatian terhadap perlindungan hutan memberikan peluang untuk terus merusak hutan. Tidak ada hukum yang jelas merupakan penguatan negatif (reinforcement) yang menyebabkan perilaku pelanggaran menjadi budaya. Menurut Mohammad Kemal Darmawan perusakan lingkungan menghasilkan 3 dampak perilaku:

1. Egosentrisme, yaitu lebih banyak mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi.

2. Illusions positif, yaitu orang tidak tergerak untuk melakukan pencegahan kerusakan, namun yakin bahwa ia dapat memiliki kesadaran akan pentingnya pemeliharaan lingkungan. Dengan kata lain, mereka seolah mengkhayalkan diri mereka dapat menyelematkan bumi hanya dengan mengakui perlunya pemeliharaan tanpa harus melakukannya.

3. Perebutan kepentingan, yaitu ketika para pihak yang berselisih percaya bahwa mereka tidak dapat memperoleh keinginannya melalui kerjasama dengan pihak lain. Dengan demikian, perselisihan dan perebutan kepentingan bagi pemanfaatan sumber daya alam menjadi semakin tajam, dan pada akhirnya kepentingan dari sumber daya alam itu sendiri tidak pernah diperhatikan kelestariannya.

Munculnya RUU P2H

Mengingat pentingnya pelindungan hutan bagi kehidupan masyarakat, maka Komisi IV DPR RI mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) sebagai ganti Undang-Undang Kehutanan yang dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang P2H telah dimulai sejak tahun dua tahun lalu. Setelah melewati tiga masa sidang, masih belum ada kesepakatan antara Komisi IV DPR dengan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Padahal, jika hingga akhir tahun ini tidak ada kesepakatan, maka rancangan undang-undang itu akan dibatalkan.

Perbedaan pendapat mengenai Kelembagaan Badan Pemberantasan Perusakan Hutan (BPPH) akhirnya menemukan titik terang. Kemenhut dan DPR RI pada dasarnya telah sepakat bahwa lembaga yang dibentuk melalui RUU P2H ini bersifat independen dan ad hoc. Namun, pengertian independen yang

Page 12: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 12 -

diinginkan Komisi IV berbeda dengan yang dimaksudkan Kemenhut. Menurut Komisi IV, ketua badan P2H tidak boleh dijabat oleh menteri. Hal ini penting untuk menjamin independensi lembaga tersebut. Selanjutnya, penetapan anggota badan P2H dilakukan melalui tes kompetensi (fit & proper test) oleh DPR atas usulan Presiden. Hal ini masih belum disetujui Kemenhut yang menganggap ketua badan haruslah menteri secara ex-officio untuk menyederhanakan birokrasi dan memudahkan koordinasi.

Aspek Psikologis yang Harus Diakomodir

Sebuah peraturan yang efektif selalu menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat. Oleh karena itu, perancangan undang-undang di atas harus memperhatikan aspek psikologis yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Pengaturan tidak boleh bertitik tolak pada materi semata, tapi juga kepuasan hidup masyarakat yang diaturnya.

Hal ini selaras dengan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menuntut upaya kesehatan lingkungan untuk menciptakan tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental/jiwa, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Berdasarkan definisi tersebut, sangat jelas diuraikan bahwa kita harus memandang kesehatan manusia secara utuh, sehingga indikator “sehat” tidak saja didasarkan pada keadaan fisik yang sehat semata tetapi juga sehat secara mental/jiwa, spiritual dan sosial dengan porsi yang seimbang. Dengan demikian tersirat bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan (integral) dari kesehatan secara umum dan merupakan salah satu unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup setiap manusia.

Rekomendasi

Mengingat panjangnya proses pembahasan Rancangan Undang-Undang, maka RUU P2H perlu didorong penyelesaiannya dengan melibatkan praktisi kehutanan dan masyarakat umum. Lebih jauh lagi, pengembangan pembahasan pengaturan ini menuntut DPR RI untuk mempertimbangkan dampak psikologis yang mempengaruhi masyarakat sekitar lingkungan hutan.

Rujukan:1. Badan Pusat Statistik, Februari 2012,

Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia.

2. Dermawan, Mohammad Kemal, 2010, Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional, http://www.djpp.depkumham.go. id /hukum-lingkungan/839-perilaku-merusak-lingkungan-hidup-perspektif-individu-organisasi-dan-institusional.html, diakses 12 Juni 2012.

3. Draf Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Kesehatan Jiwa.

4. Hofstede, Geert Jan & Hofstede, Gert Jan., 2005, Cultures and Organization: Software of the Mind, McGraw Hill.

5. Kementerian Lingkungan Hidup. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2012 Istana Negara Republik Indonesia, http://www.menlh.go.id/peringatan-hari-lingkungan-hidup-sedunia-2012-istana-negara-republik-indonesia/, diakses 12 Juni 2012.

6. Departemen Kehutanan, 2009, Statistik Kehutanan Indonesia 2008, Jakarta: Departemen Kehutanan.

7. Potret Buram Hutan Indonesia, http://www.isai.or.id/?q=node/10, diakses 12 Juni 2012.

8. Ironisnya, Hutan Jambi Menyusut Hingga 50 Persen, http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/02/09/lz3qoc-ironis-hutan-jambi-menyusut-hingga-50-persen, diakses 12 Juni 2012.

9. Fenomena Kerusakan Hutan di Indonesia, 2011, http://greendom-afc.blogspot.com/2011/10/fenomena-kerusakan-hutan-indonesia.html, diakses 12 Juni 2012.

Page 13: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

Kebijakan Impor Sapi terhadap Perkembangan Sub-sektor Peternakan

di IndonesiaIwan Hermawan*)

Abstrak

Pada tahun 2012 kuota impor daging sapi mencapai 20%, sedangkan kuota impor sapi bakalan 30%. Kuota tersebut terus dikurangi untuk mendukung Program Swasembada Daging Sapi tahun 2014, dengan 90% kebutuhan daging sapi dapat dipenuhi di dalam negeri. Kebijakan impor daging sapi ‘terkendala’ dengan sistem importasi ‘country based’ yang sarat isu kesehatan hewan. Sedangkan kebijakan impor sapi bakalan dikeluhkan dengan bobot sapinya. Hal ini berkaitan dengan multiplier effect, mengingat usaha pembibitan sapi kurang menarik untuk dikembangkan di dalam negeri. Oleh sebab itu untuk mengembangkan sub-sektor peternakan sapi, maka impor daging sapi 10% sebaiknya diarahkan untuk pasar yang tersegmentasi dan impor sapi bakalan perlu dikaji kembali bobot sapinya guna memberikan value added peternak di dalam negeri.

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Pendahuluan

Program Swasembada Daging Sapi ditargetkan tercapai pada tahun 2014, dengan 90% kebutuhan daging sapi dipenuhi di dalam negeri. Hal ini berarti 10% kebutuhan daging Indonesia masih membuka peluang impor. Saat ini kuota maksimal impor daging sapi sebesar 20%. Menurut Menteri Pertanian, Suswono, swasembada daging sapi bukan hanya dilihat dari konsumsi berdasarkan volume impor sapi, tetapi berdasarkan persentase impor sapinya. Selain itu menurut Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, impor daging sapi masih diperlukan karena ada beberapa jenis daging yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Hasil penelitian Tim Peneliti Konsumsi Daging Nasional dari Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2012 total konsumsi daging sapi sebesar 448.800 ton atau 1,87 kg per kapita per tahun. Kebutuhan tersebut dipenuhi dari stok di dalam negeri sebesar 376.510 ton dan sisanya impor 72,290 ton atau setara 441.600 ekor sapi. Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) meramalkan defisit 68.900 ton daging sapi atau setara 420.891 ekor sapi. Sedangkan impor daging sapi tahun depan akan berkurang 38,7%, dari 93.000 ton menjadi 57.000 ton.

Impor sapi bakalan diperkirakan menurun pada tahun 2012. Direktur Eksekutif Apfindo, Johny Liano, mengungkapkan penurunan impor tersebut

*) Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 13 -

Vol. IV, No. 11/I/P3DI/Juni/2012

Page 14: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 14 -

disebabkan meningkatnya populasi sapi di dalam negeri. Kuota impor sapi bakalan tahun 2010 mencapai 600.000 ekor dan tahun 2011 menurun menjadi 400.000 ekor. Sedangkan pada tahun 2012 akan dikurangi hingga 30%, menjadi 280.000 ekor. Kuota impor daging beku juga memiliki kecenderungan yang sama, di mana tahun 2010 kuota impor daging beku sebesar 120.000 ton, tahun 2011 menjadi 90.000 ton, dan pada tahun 2012 akan dikurangi hingga menjadi 34.000 ton.

Permasalahan

Impor daging dan sapi bakalan pada awalnya ditujukan hanya untuk mendukung kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Di beberapa daerah hal itu justru berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan, dan sapi bakalan impor relatif lebih murah dibandingkan harga daging sapi dan sapi bakalan di Indonesia. Agroindustri sapi potong skala besar juga semakin bergeser dari feedloting menjadi kegiatan yang lebih ke hilir, yaitu impor sapi siap potong dan perdagangan daging, dengan perputaran modal yang lebih cepat dan risiko yang lebih kecil. Hal ini dapat merugikan perekonomian negara dan masyarakat karena impor daging sapi dan sapi bakalan yang tinggi menjadi disinsentif bagi kegiatan budidaya sapi potong dalam negeri. Sementara itu, di saat bersamaan akibat kebutuhan daging yang meningkat, pemotongan sapi betina lokal produktif juga terus terjadi. Hal ini menyebabkan stok bibit nasional semakin berkurang dan akhirnya pertambahan populasi sapi lokal akan terhambat.

Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 2,6 juta ekor sapi potensial dipotong dan sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Populasi itu terdiri dari 1,4 juta ekor sapi jantan dewasa, namun 10%-nya tidak dapat dipotong untuk kawin alami. Sedangkan 1,2 juta ekor sapi betina di atas usia 6 tahun juga potensial untuk dipotong, namun 50%-nya tidak dapat dipotong. Jadi total sapi yang dapat dipotong sebenarnya

hanya 1,9 juta ekor atau setara 340.000 ribu ton dan jumlah ini kurang memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Apfindo menilai sapi lokal belum siap memenuhi kebutuhan daging nasional. Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI) menambahkan ketersediaan sapi lokal tidak diikuti dengan kualitasnya. Pertumbuhan bobot sapi bakalan lokal relatif lebih lambat.

Aturan importasi sapi bakalan yang mendapat kritikan adalah bobot maksimal sapi potong. Berat badan impor sapi bakalan per ekor maksimal 350 kg dan membutuhkan waktu penggemukan 3 bulan saja, sehingga hal ini tidak meningkatkan nilai tambah subsektor peternakan di dalam negeri.

Pasar Sapi di Dalam Negeri

Daging sapi bersifat demand driven, dengan konsumen terbesar di daerah perkotaan. Penelitian Ketut Kariyasa menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan produksi dan permintaan daging sapi. Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, menargetkan konsumsi daging sapi hingga 20 kg per kapita dengan total nilai konsumsi mencapai US$ 35 miliar dalam 10 tahun. Meskipun Nusa Tenggara Timur (NTT) dikategorikan swasembada sapi, namun konsumsinya sangat sedikit. Hal ini terjadi karena daya beli masyarakatnya yang sangat rendah.

Produksi daging sapi peternak rakyat tidak banyak dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik. Hal ini karena peternak rakyat umumnya memelihara sapi hanya untuk tabungan dan memanfaatkan tenaga kerja, sehingga kurang memperhatikan rugi laba. Sedangkan produksi daging sapi peternak perusahaan banyak dipengaruhi oleh harga sapi impor. Fluktuasi harga sapi impor masih ditoleransi oleh feedlotter untuk tetap mengusahakan sapi bakalan impor. Sementara memproduksi sapi bakalan sendiri tidak menguntungkan karena biaya investasi yang besar dan turn over yang lama.

Data dari Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun

Page 15: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 15 -

2011 menunjukkan populasi sapi potong Indonesia mencapai 14,8 juta ekor. Dari jumlah tersebut, populasi sapi potong yang dapat dipotong pada tahun 2012 antara 2,3 juta ekor hingga 2,4 juta ekor. Potensial stok sapi yang dapat dipotong terdapat di Jawa, Sumatera, NTT, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan Maluku. Di sisi lain, rumah potong hewan belum banyak berperan dibandingkan tempat pemotongan hewan dan jagal. Secara umum belantik sapi mendominasi dalam perdagangan sapi, namun di Jawa Timur, perdagangan sapi telah menggunakan sistem lelang yang lebih modern.

Regulasi Importasi Sapi

Perkembangan segmen pasar daging sapi untuk memenuhi kebutuhan hotel, restoran, dan institusi (pasar khusus) telah mendorong berkembangnya agribisnis sapi potong hasil penggemukan (feedlotter). Pada umumnya sapi yang diperuntukkan bagi pasar tradisional berasal dari peternakan rakyat yang terdiri dari jenis sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Bali, sapi Madura, dan sebagian sapi Brahman Cross. Sementara sapi yang digunakan untuk mensuplai pasar khusus tersebut adalah jenis sapi Brahman Cross.

Impor produk hewan segar dengan sistem country based membuka celah masuknya produk makanan jadi berbahan dasar sapi asal negara yang dilarang impor. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengutarakan bahwa Malaysia memasok produk-produk berbahan dasar sapi ke Indonesia, yang daging sapinya berasal dari India yang notabene dilarang oleh Indonesia. Awalnya UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada Pasal 59 ayat 2 menyatakan bahwa pemasukan produk hewan segar menganut sistem country based ataupun zone based. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 137-PUU-VII/2009, impor produk hewan segar harus menggunakan sistem country based untuk

menghindari penularan penyakit hewan guna menjamin perlindungan kesehatan bagi masyarakat dan keamanan ternak, jaminan kelangsungan ekonomi peternak, masuknya daging murah dari zona yang belum bebas penyakit kuku dan mulut, dan melindungi sumber daya hewani.

Di sisi lain sistem country based membuat Indonesia ‘tampak’ tergantung pada ekspor sapi dari Australia dan New Zealand. Persatuan Dokter Hewan Indonesia menyatakan sistem zone based ‘tidak dilarang’ asal dengan syarat, yaitu adanya UU Veteriner, Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan, dan rancang bangun pengembangan sistem kesehatan hewan. Sistem zone based akan membuka peluang impor sapi dari Brasil, Kanada, India, dan Amerika Serikat. Hal ini penting karena menyangkut kebutuhan konsumsi daging nasional, yang setiap bulan mencapai 50 ribu ekor sapi, sementara stok impor sapi bakalan berjumlah 150 ribu ekor.

Selain itu Peraturan Menteri Pertanian No. 52/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan dan Pengeluaran Ternak ke Dalam dan Keluar Wilayah Negara Republik Indonesia, menyebutkan tentang berat badan sapi bakalan maksimal 350 kg, berumur tidak lebih 30 bulan, dan harus digemukan minimal 60 hari setelah dikarantina. Peraturan tersebut mendapat kritikan dari Anggota Komisi IV DPR RI, Siswono Yudhohusodo, jika berat maksimal sapi bakalan impor 250 kg maka penggemukannya mencapai 4-5 bulan. Saat ini bobot maksimal sapi bakalan impor 350 kg sehingga penggemukannya hanya 3 bulan, bahkan banyak yang langsung dipotong. Berbeda pandangan, menurut Apfindo sapi bakalan berat 350 kg berumur 1,5 tahun adalah sapi yang ideal dalam penggemukan intensif. Jika terlalu kecil bobotnya, sapi lebih berisiko sakit, luka, dan mati saat ditransportasikan dalam perjalanan panjang. Oleh sebab itu, menurut Menteri Pertanian penurunan bobot maksimal sapi bakalan impor perlu dikaji karena memberatkan pelaku usaha dalam pemeliharaannya.

Page 16: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 16 -

Penutup

Impor daging sapi dan sapi bakalan dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan daging di dalam negeri. Selain itu ada beberapa jenis daging yang memang tidak dapat diproduksi di dalam negeri, khususnya untuk melayani pasar yang tersegmentasi. Impor produk hewan segar dengan sistem country based maupun zone based masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, sistem country based relatif dapat melindungi masyarakat dan peternak terhadap penularan penyakit hewan (zoonosis). Di samping itu, sistem tersebut diharapkan dapat menstimulasi perkembangan sub sektor perternakan sapi dalam memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri.

Kecenderungan pengurangan kuota impor sapi bakalan telah memberikan insentif berproduksi bagi peternak. Sedangkan rencana penerapan ketentuan penurunan berat maksimal sapi bakalan impor dari 350 kg menjadi 250 kg perlu dikaji kembali agar sesuai dengan upaya peningkatan akselerasi perkembangan sub-sektor peternakan di dalam negeri.

Rujukan1. “Bobot Sapi Impor Bakal Diturunkan,”

Bisnis Indonesia, 5 Juni 2012. 2. Irawan, Ade, 2012, “Mentan: Meski

Swasembada, RI Masih Perlu Impor Sapi,” http://finance.detik.com/read/2011/07/01/181042/1672805/4/men tan-meski-swasembada-ri-masih-perlu-impor-sapi, diakses 6 Juni 2012.

3. Business News, 2011, “Indonesia Masih Perlu Impor Sapi,” http://www.businessnews.co.id/featured/indonesia-masih-perlu-impor-sapi.php, diakses 6 Juni 2012.

4. Kementerian Perdagangan, 2011, “Tinjauan Pasar Daging Sapi November 2011,” Edisi: 11/SAP/TKSPP/2011, diakses 5 Juni 2012.

5. Handoyo, 2011, “Volume Impor Sapi Bakalan Diperkirakan Turun,” http://industri.kontan.co.id/news/volume-impor-sapi-bakalan-diperkirakan-turun, diakses 5 Juni 2012.

6. Halomoan, F., R. Priyanto, dan H. Nuraeni, 2000, Karakteristik Ternak dan Karkas Sapi untuk Kebutuhan Pasar Tradisional dan Pasar Khusus. Med. Pet., 24(2): 12-17.

7. Bappenas, 2010, Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014 (Suatu Penelahaan Konkrit).Naskah Kebijakan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

8. Permana, Fidel Ali, 2012, “Impor Daging Dikurangi, tapi Pasokan Lokal Belum Siap,” http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/11/290692/4/ 2/-Impor-Daging-Dikurangi-tapi-Pasokan-Lokal-belum-Siap, diakses 6 Juni 2012.

9. Yani, Irma, 2011, Impor Sapi Berdasarkan Zone Based, Pemerintah Harus Penuhi Tiga Syarat, http://nasional.kontan.co.id/news/impor-s ap i - be rda sa r kan - zone -ba sed -pemerintah-harus-penuhi-tiga-syarat, diakses 11 Juni 2012.

10. W, P. Abrianto W, 2012, “Nasib Industri Peternakan Sapi (Feedlot) Nasional,” http://duniasapi.com/id/component/content/article/88-hotnews/2655-nas ib- indus t r i -peternakan-sapi -nasional.html, diakses 6 Juni 2012.

11. Kariyasa, Ketut, 2004, Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005. Soca, 4(3): 283-293.

12. Zuhri, Sepudin, 2012, “Sapi Lokal Sanggup Penuhi Kebutuhan Daging Domestik,” http://www.bisnis.com/articles/sapi-lokal-sanggup-penuhi-kebutuhan-daging-domestik. diakses 5 Juni 2012.

Page 17: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

Kebijakan Pemulihan Keamanan di Papua

Riris Katharina*)

Abstrak

Berbagai kasus penembakan di Papua telah menimbulkan kesan bahwa Papua tidak aman. Berbagai kebijakan yang telah dibuat untuk memulihkan keamanan di Papua terbukti belum efektif. Tulisan ini mengemukakan bahwa ada peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menghambat pemulihan keamanan di Papua. Pemerintah Pusat dinilai belum mengeluarkan kebijakan yang efektif. Sedangkan Pemerintah Daerah dinilai kurang memiliki komitmen yang kuat untuk membuat kebijakan Pemerintah Pusat berjalan efektif di Papua. Tulisan ini merekomendasikan agar segera dilakukan dialog antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang meliputi kepala daerah (gubernur dan bupati), DPRP, MRP, tokoh adat, dan mahasiswa Papua.

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Pendahuluan

Kondisi keamanan di Papua saat ini semakin tidak kondusif. Setelah pada bulan Mei 2011 TNI menyatakan mengubah pola pendekatan di Papua dari pendekatan keamanan dengan pendekatan kesejahteraan, kondisi keamanan di Papua masih mengkhawatirkan. Hal tersebut ditandai dengan berbagai kasus penembakan warga yang terjadi di Papua.

Pada tahun 2012 saja tercatat telah terjadi puluhan warga yang tewas karena ditembak. Penembakan tersebut misalnya terjadi pada tanggal 2 Februari 2012, empat orang tukang ojek ditembak, dua orang terluka dan dua orang lagi selamat. Keduanya ditembak di Kampung Kulirik, Kecamatan/Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Pelakunya orang tak dikenal.

Selanjutnya pada tanggal 7 Februari 2012 anggota Brimob Kepolisian Daerah Papua Briptu Ronald Sopamena tewas setelah baku tembak dengan kelompok orang tidak dikenal di Timika.

Pada akhir-akhir ini aksi penembakan warga kembali terjadi. Setelah penembakan seorang warga Jerman, Dietmar Dieter, yang ditembak di Pantai Base G Jayapura, Selasa 29 Mei 2012. Kemudian, Anton Arung Tambila, guru SD ditembak di Distrik Mulia, Puncak Jaya, hari yang sama. Selanjutnya terjadi konflik antara warga dan anggota Batalyon 756 di Kota Wamena, yang menewaskan anggota Batalyon 756, Pratu Ahmad Ruslan karena tusukan dan seorang warga Wamena, Eli Yosman. Pada hari Kamis, 7 Juni 2012 kembali terjadi penembakan di Kabupaten Kepulauan Yapen. Brigadir La Edi, anggota Polsek

*) Peneliti Madya bidang Administrasi Negara pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 17 -

Vol. IV, No. 11/I/P3DI/Juni/2012

Page 18: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 18 -

Angkaisera ditembak orang tak dikenal pada saat bertugas piket malam bersama lima orang rekannya. Kasus di Kepulauan Yapen ini memperlihatkan bahwa kekerasan bersenjata sudah menyebar hingga ke kawasan utara Papua. Jika sebelumnya kekerasan senjata seringkali terjadi di Jayapura, Timika, dan sejumlah wilayah pegunungan tengah, seperti Wamena, Mulia, dan Paniai.

Kebijakan Pemulihan Keamanan di Papua

Berbagai kebijakan untuk memulihkan keamanan di Papua telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain: pada bulan April 2009 dengan memperbantukan 105 personel Brimob Polda Sulsel dan Sulbar di Papua di bawah kendali operasi Polda Papua. Pasukan terdiri dari penanggulangan teror, huru-hara, penjinak bahan peledak, dan SAR.

Pada bulan Juli 2009, Polri melakukan operasi khusus di daerah tertentu untuk mengurangi eskalasi kekerasan bersenjata, di antaranya di Kabupaten Mimika dan Nabire. Pada bulan Agustus 2009, jumlah prajurit TNI Angkatan Darat yang dilibatkan dalam operasi pemulihan keamanan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, ditambah menjadi sekitar 600 orang. Pada bulan September 2010, sebanyak 140 anggota Brimob dari Satuan Pelopor II Kedunghalang, Bogor, Jawa Barat mengantikan 102 anggota Brimob yang bertugas di Kabupaten Puncak Jaya.

Pada bulan Mei 2011, TNI menyatakan mengubah pola pendekatan di Papua dari pendekatan keamanan dengan pendekatan kesejahteraan. Namun perubahan pola pendekatan dari keamanan menuju kesejahteraan hanya lip service belaka. Buktinya, pada bulan Januari 2012, kembali dilakukan pengiriman pasukan Brimob dalam rangka operasi pemulihan keamanan di Kabupaten Puncak Wijaya, menyusul konflik horizontal antarwarga terkait pemilihan kepala daerah di Kabupaten Puncak Jaya. Terakhir, pada bulan Juni 2012, Mabes Polri mengirimkan tim dari Bareskrim untuk menyelidiki kasus penembakan di Papua. Di luar Polri, hingga

saat ini dari TNI saja kekuatan nonorganik berjumlah kurang lebih 4.000 orang dan pasukan organik berjumlah kurang lebih 3.600 orang.

Kritik terhadap Kebijakan Pemulihan Keamanan di Papua

Sekalipun berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, pada kenyataannya kondisi keamanan di Papua tidak menjadi lebih baik. Tentu menjadi pertanyaan, apa yang salah?

Berbagai pihak menilai kondisi Papua yang tetap tidak aman, sekalipun berbagai kebijakan telah dibuat, disebabkan karena pertama, pemerintah sudah tidak memiliki wibawa di Papua (Dikemukakan oleh Agustina Basik-Basik anggota Komisi II DPR RI). Kedua, ketidakmampuan Kapolda Papua, Pangdam Cendrawasih, atau pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di daerah dalam mengendalikan keamanan di Papua (Dikemukakan oleh Paskalis Kossay, anggota Komisi III DPR RI). Ketiga, masalah Papua yang sangat kompleks dan aparat intelijen belum berkoordinasi dengan baik (Dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, Anggota Komisi I DPR RI). Keempat, pemerintah daerah yang tidak efektif bekerja dan konflik pemilihan kepala daerah (Dikemukakan oleh Mahfud Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI).

Jika ditilik dari seluruh alasan yang dikemukakan di atas, ada dua pihak yang memberikan kontribusi di dalam masalah keamanan di Papua. Pertama, pihak Pemerintah Pusat yang terdiri dari Presiden - termasuk Menteri, Panglima TNI, dan Kepala Polri. Kedua, Pemerintah Daerah. Jika ditilik dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, kebijakan yang dilaksanakn saat ini masih berorientasi pada pendekatan keamanan. Hal tersebut dikemukakan oleh Agustina Basik-Basik, anggota DPR RI, pada rapat kerja Tim Pemantau Otsus Papua-Aceh dengan Menkopolkam pada tanggal 16 Februari 2012 di DPR RI. Dikemukakannya bahwa waktu itu mengenai keberadaan TNI organik dan nonorganik yang dinilai terlalu banyak dan menakutkan masyarakat di Papua.

Page 19: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 19 -

Demikian pula dengan tindakan sweeping mahasiswa Papua yang berada di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar yang dinilai menjadi ancaman bagi para mahasiswa tersebut. Pada waktu itu, Panglima TNI menjelaskan bahwa kekuatan nonorganik yang berjumlah kurang lebih 4.000 orang hanya ditempatkan di sepanjang perbatasan untuk menjaga perbatasan Papua-PNG. Sedangkan pasukan organik yang berjumlah kurang lebih 3.600 orang ditempatkan di daerah rawan di bawah kendali Kodam XVII Cendrawasih. Sedangkan tindakan sweeping dinilai tidak ada. Yang ada hanyalah operasi yustisi yang melibatkan anggota TNI. Dari dua pertanyaan tersebut sesungguhnya merupakan cermin kegelisahan masyarakat di Papua terhadap pendekatan keamanan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Jika pendekatan kesejahteraan yang diketengahkan, seharusnya TNI menarik pasukannya dari Papua, bukan menambahnya, sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat Papua, yang telah mendapat rekomendasi dari Komnas HAM.

Jika ditilik dari peran Pemerintah Daerah, memang dari kacamata Pemerintah Pusat, kelihatannya Pemerintah Daerah tidak berjalan efektif, termasuk Kapolda, Pangdam Cendrawasih, dan BIN Daerah. Namun, dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Peneliti Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI terkait dengan implementasi otonomi khusus di Papua, ditemukan kenyataan bahwa masyarakat Papua (yang diwakili oleh anggota DPR Papua dan anggota MRP) tidak lagi percaya kepada Pemerintah Pusat. Ketidakpercayaan tersebut disebabkan adanya perbedaan pandangan dalam memahami UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (Otsus). Menurut Pemerintah Pusat, Otsus harus tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih khusus. Sedangkan menurut Pemerintah Daerah Otsus berarti sepanjang diatur di dalam UU No. 21 Tahun 2001, maka ketentuan tersebut yang harus ditaati, bukan peraturan perundang-undangan yang lain. Perbedaan pandangan inilah yang mengakibatkan sampai sekarang dari 14 Perdasus yang diperintahkan oleh UU

No. 21 Tahun 2001 untuk dibentuk, baru 8 Perdasus yang dibentuk. Setelah 10 tahun lebih UU No. 21 Tahun 2001 berjalan dengan dana Otsus hingga tahun 2011 mencapai Rp28,9 triliun, ternyata masyarakat Papua yang sejahtera dan merasakan keadilan, yang merupakan tujuan dari diberikannya Otsus belum memperlihatkan hasilnya. Bukannya melakukan evaluasi terhadap otsus sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 78 UU No. 21 Tahun 2001 (setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga setelah UU ini berlaku), Pemerintah Pusat malah membuat kebijakan baru dengan menghadirkan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Sekalipun keberadaan UP4B dinyatakan sejalan dengan UU Otsus, namun kenyataannya keberadaan lembaga ini kurang dapat diterima oleh rakyat Papua.

Berbagai kondisi di atas sesungguhnya Papua harus menjadi perhatian yang serius bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melihat berbagai kondisi di atas, dialog antara Pemerintah Pusat dan rakyat Papua sudah harus segera dilaksanakan. Memang, ada kekhawatiran bahwa dialog yang dilakukan pada kondisi saat ini dapat menimbulkan hadirnya solusi referendum, berkaca pada kasus Timor Timur. Kekhawatiran tersebut bisa saja terjadi. Namun, kita harus tetap percaya bahwa rakyat Papua masih banyak yang cinta Indonesia. Oleh karena itu, bagaimanapun juga dialog sudah harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sebab dialog ini sudah lama diinginkan oleh masyarakat Papua. Dialog tersebut dapat berjalan dengan beberapa prasyarat, pertama, TNI menarik pasukannya dari Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia memberikan amnesti kepada 17 tahanan politik dari Papua.

Penutup

Kondisi keamanan di Papua yang semakin mengkhawatikan akhir-akhir ini harus disikapi secara cepat dan kritis, baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah, termasuk masyarakat Papua. Sebagaimana diakui oleh Kapolri dalam rapat kerja Tim Pemantau Otsus

Page 20: Vol IV No 11 I P3DI Juni 2012

- 20 -

Papua dan Aceh pada tanggal 16 Februari 2012, bahwa pelaku penembakan selalu menyatu dengan masyarakat - yang menimbulkan kesulitan Polri dalam menemukan pelaku penembakan – maka peran masyarakat juga menjadi penting.

Oleh karena itu, tulisan ini merekomendasikan bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan dialog dengan Pemerintah Daerah Papua, yang terdiri dari kepala daerah (gubernur dan bupati), DPRP, MRP, tokoh-tokoh adat Papua, dan mahasiswa Papua. Dialog ini penting agar tidak terjadi kesalahan persepsi terhadap kebijakan Pemerintah Pusat oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan pendekatan kesejahteraan yang didengung-dengungkan TNI haruslah dilaksanakan, bukan hanya lip service belaka.

Rujukan1. “Aktivis Papua Kecam Kehadiran

Bambang Darmono dan UP4B di Tanah Papua,” http://www.suarapapua.com/ index.php?option=com _content&view = article&id=236:aktivis-papua-kecam-kehadiran-bambang-darmono-dan-up4b-di-tanah-papua&catid=9:berita-terkini&Itemid=112&lang=en, diakses 8 Juni 2012.

2. “Buka Dialog Jakarta-Papua,” http://www.shnews.co/detile-2601-buka-dialog-jakartapapua.html, diakses tanggal 12 Juni 2012.

3. Laporan Singkat Rapat Kerja Tim Pemantau UU No. 21 Tahun2001 tentang tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan Menkopolkam, 16 Februari 2012.

4. Riris Katharina et.all, Laporan Penelitian “Implementasi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta 2011, tidak diterbitkan.

5. “Teror Menyebar, Presiden Diminta Tegas,” Kompas, 9 Juni 2012, halaman 1 dan 15.