tumor sinus paranasal

39
26 BAB I PENDAHULUAN Kanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung. Rongga hidung merupakan sebuah ruang di belakang hidung di mana udara yang melewatinya masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah daerah yang dipenuhi udara yang mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus maksila), di atas dan di antara mata (sinus etmoid dan sinus frontal), dan di belakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker sinus maksila merupakan tipe paling sering kanker sinus paranasal. Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari 1% seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga tidak dapat ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang | Bagian/SMF Radiologi

Upload: muhamad-paisal

Post on 30-Jun-2015

903 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tumor sinus Paranasal

26

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai

dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung. Rongga hidung

merupakan sebuah ruang di belakang hidung di mana udara yang melewatinya

masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah daerah yang dipenuhi udara yang

mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus maksila), di atas dan di antara mata

(sinus etmoid dan sinus frontal), dan di belakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker

sinus maksila merupakan tipe paling sering kanker sinus paranasal.

Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor

yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari

1% seluruh tumor ganas.

Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal

hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat

menentukan jenisnya.

Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan

seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga

tidak dapat ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus

paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka

kesembuhannya masih sangat rendah.

Rongga hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal yaitu sinus

maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Kedelapan sinus ini

bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai

tumor ganas hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena

keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam

keadaan dini.

Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain:

tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji. Gejala

dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri

lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 2: Tumor sinus Paranasal

26

Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung termasuk:

pemeriksaan fisik, pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes pencitraan, dan

biopsi.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 3: Tumor sinus Paranasal

26

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI HIDUNG

Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian seperti puncak hidung,

dorsum nasi, pangkal hidung (bridge), kolumela, ala nasi dan lubang hidung (nares

anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os

nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari

beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung.

Rongga Hidung (Kavum Nasi)

Rongga hidung mempunyai bentuk sebagai sebuah terowongan dari depan ke

belakang dan di tengah-tengah dipisahkan oleh septum nasi. Lubang bagian depan

disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkannya dengan nasofaring.

Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat

dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit

yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrissae).

Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

dinding lateral, dinding inferior dan dinding superior.

Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid, (2)

vomer, (3) krista nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian tulang

rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadran-gularis) dan (2) kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum

pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 4: Tumor sinus Paranasal

26

Dinding lateral

Bagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan

dibelakangnya terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding lateral

hidung.

Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka inferior,

kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior,

sedangkan yang paling kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya

rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat pada maksila dan

labirin etmoid.

Konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Ruang yang terletak diantara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung

disebut meatus inferior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis.

Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus,

hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus semilunaris yang

merupakan celah terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid

anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan

dinding lateral rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoid.

Dinding inferior

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os

maksila dan os palatum.

Dinding superior

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

PENDARAHAN

| Bagian/SMF Radiologi

Page 5: Tumor sinus Paranasal

26

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmikus, sedangkan a. oftalmikus

berasal dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksila

interna. Yang penting ialah a. sfenopalatina dan ujung a. palatina mayor. Bagian

depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada  bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang

disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial

dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

PERSARAFAN

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.

etmoid anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.

oftalmikus (n. V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.

maksila melalui ganglion sfenopalatinum.

Ganglion sfenopalatinum, disamping memberikan persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau autonom pada mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari

n. petrosis profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit

diatas dari ujung posterior konka media.

SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus

etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga didalam

tulang yang sesuai dengan namanya dan semuanya mempunyai muara (ostium)

didalam rongga hidung.

Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus

frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung. Sinus

maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang

dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid

anterior pada usia kurang lebih 8 tahun. Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada

| Bagian/SMF Radiologi

Page 6: Tumor sinus Paranasal

26

usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus

ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

A B

C D

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal posisi (A) Water , (B) Caldwell, (C) lateral

dan (D) Axial

2.2 EPIDEMIOLOGI

| Bagian/SMF Radiologi

Page 7: Tumor sinus Paranasal

26

Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari

seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung

dan Tenggorokan di mana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%.

Dari kelompok keganasan hidung dan sinus paranasal ini ± 20% merupakan

keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi lagi yaitu 91,4%), ± 24% keganasan

hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus sfenoid dan frontal hanya 1%.

Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-

laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1.

Rifki mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di

10 kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3-

25,3% dari keganasan THT dan berada di peringkat kedua setelah tumor ganas

nasofaring.

2.3 ETIOLOGI

Faktor resiko untuk keganasan pada sinus paranasal sudah lama diteliti.

Penyebabnya rumit, multifaktorial dan agak kontroversial. Diperkirakan penyebab

squamous cell carcinoma dan adenocarcinoma pada suatu daerah berhubungan

paparan debu nikel, gas mustard, thorotrast, isopropil oil, diklorodietil sulfida.

Paparan debu kayu khususnya dapat meningkatkan resiko squamous cell carcinoma

21 kali dan adenocarcinoma 874 kali. Banyak dari faktor-faktor ini ditemukan pada

industri furnitur, industri pengolahan kulit hewan, dan industri tekstil. Riwayat

sosial dan pekerjaan harus ditanyakan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala

yang mengarah ke keganasan pada sinus paranasal.

Infeksi virus dan hubungannya terhadap keganasan merupakan hal yang

menarik tetapi belum cukup diteliti. Studi pendahuluan mempelihatkan bahwa

peningkatan ekspresi dari epidermal growth factor reseptor (EGFR) dan

transforming growth factor-alpha (TGF-alpha) mungkin berhubungan dengan

paparan awal karsinogen yang menyebabkan papilloma inverting. Infeksi Human

papilloma virus (HPV) dan Epstein-Barr virus (EBV) mungkin juga merupakan awal

dari proses panjang yang menyebabkan perubahan papilloma inverting menjadi

ganas.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 8: Tumor sinus Paranasal

26

Karsinogen eksogen primer yang bekerja langsung sebagai persenyawaan

semula atau metabolit atau konjugat terhadap substrat seluler atau mengganggu

aktivitas enzim atau bersenyawa dengan putih telur serta membentuk alergen.

Karsinogen eksogen sekunder bekerja secara tidak langsung melalui suatu

mekanisme sekunder dan merubah beberapa bahan normal sel atau cairan jaringan

yang berakibat pertumbuhan kanker.

Golongan karsinogen yang merubah fungsi kualitatif dan kuantitatif organ-

organ tertentu yang berakibat sekresi organ-organ tersebut mengandung bahan-

bahan karsinogen. Dalam hal ini, nikel berperan sebagai karsinogen eksogen

sekunder.

Karsinogen di tempat kerja tidak menyebabkan gambaran histopatologi

kanker yang khusus, demikian juga dengan kanker nasal yang secara histopatologik

rumor epitel yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.

Lokasi tumor sinus primer yang terbanyak berasal dari sinus maksila (60 %),

kemudian rongga hidung (30 %) dan sinus etmoid (10 %). Jarang sekali tumor

primer berasal dari sinus frontal dan sfenoid. Pada kanker sinus akibat kerja yang

berhubungan dengan nikel, belum didapatkan data mengenai lokasi yang tersering

dijumpai.

2.4 PATOLOGI

Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas.

Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar

80% kasus.

Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus

berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas

(60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung,

dan sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang.

Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada

presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke

nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya,

nodus yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 9: Tumor sinus Paranasal

26

2.5 GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi

primer dan arah dan perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan

gejala hidung berupa obstruksi dan epiataksis. Tumor etmoid juga muncul dengan

gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala orbita seperti proptosis dan epifora,

dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis cenderung muncul

semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul terlambat

pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis.

Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor

antrum. Tumor didalam rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara

kebetulan melibatkan nervus infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah,

atau perdarahan secara alternatif menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada

pasien dewasa yang tidak hipertensif membutuhkan investigasi radiologis, namun

radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari untuk memberi resolusi inflamasi

apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih lebih baik CT-scan

harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda dan gejala pasti

menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis.

Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan

tumor selalu terlihat jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan

tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa

secara histologis semua bahan yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior

melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke dokter gigi baik

dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala

akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan

epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan

sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan

limfadenopati servikal teraba. Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan

basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi

trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan otot pterigoid. Penyebaran ke

nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi tuba eustachius.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 10: Tumor sinus Paranasal

26

Penyebaran superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan meningkatkan

volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat.

2.6 JENIS TUMOR

Papilloma

Meski pun papilloma merupakan suatu lesi yang jinak pada kebanyakan

kasus, dapat juga menjadi ganas pada beberapa kasus, pemerikasaan fisik

menunjukkan massa berwarna merah kehitam-hitaman pada cavum nasi.

Berlawanan dengan suatu polip yang reaktif, papilloma ini biasanya unilateral. Jadi,

kapan pun seorang ahli bedah memeriksa pasien dengan massa polipoid unilateral,

seorang ahli bedah harus memiliki indeks data yang tinggi untuk papilloma. Lebih

dari 90% dari papiloma menyatu dengan dinding lateral, meskipun dapat juga

tumbuh di sinus maxilla, frontal, atau, ethmoidal. Seluruh bentukan lesi biasanya

tidak dapat ditentukan dengan imaging radiografik. Biopsy amat sangat dianjurkan.

Rata-rata 10% dari papilloma merupakan bentuk dari squamos cell carcinoma.

Pemeriksaan histologis menunjukkan hiperplasi multilayer epitel skuamous ke

kolumnar dengan atau tanpa atipia.

Squamous cell carcinoma

Squamous cell carcinoma merupakan 80% dari seluruh keganasan yang ada

di cavum nasi dan sinus paranasal. Mencakup juga karsinoma verrucous, basaloid

squamous cell carcinoma, spindle cell carcinoma, dan transitional atau cylindrical

cell carcinoma. Terminologi dari squamous cell carcinoma digunakan untuk

menunjukkan keganasan yang merupakan gambaran standar yang diketahui untuk

mewakili keadaan ini.

Gambaran yang tampak sangat variatif dan dapat mencakup massa nasal atau

obstruksi, rinorrhea, epistaxis, neuripati, atau nyeri. Lesi ini dapat membedakan

gambaran wajah yang dapat dideteksi menyebabkan ketidaksimetrisan atau

proptosis. Sering juga terjadi gangguan penglihatan dan parestesia. Bisa juga terjadi

fenomena maloklusi dengan massa yang timbul dari dasar maksila dan palatum

durum.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 11: Tumor sinus Paranasal

26

Pada evaluasi klinis, penampakan menentukan stadium tumor. Awalnya

hanya sebatas massa yang kecil atau ulkus kecil. Pada tahap lanjut dapat ditemukan

ditemukan ulkus yang besar, nekrosis, tepi yang menebal, dan invasi ke tulang dan

jaringan lunak. Biopsi diperlukan untuk mengklasifikasikan lesi. Granulomatosis

Wegener danenyakit nonneoplastik lainnya dapat juga memberikan tanda, gejala dan

penampakan SCCA. Pemeriksaan histology dapat menunjukkan lembaran, pita dan

sel skuamous, sel polyhedral atau sel bulat ke oval individual dengan derajat

keratinisasi yang bervariasi.

Prognosis menjadi semakin baik pada pasien dengan kanker yang berasal

dari etmoid, lesi awal yang diterapi dengan radiasi dan pembedahan dan pada pasien

dengan rawayat inverted papilloma. Tidak seperti SCCA kepala dan leher yang lain,

keterlibatan nodus limfatikus adalah sangat jarang dan tidak dianjurkan untuk

melakukan diseksi nodus limfatikus selektif. Kelangsungan hidup selama 5 tahun

keseluruhan adalah 60-64%.

Karsinoma Kista Adenoid

Karsinoma Kista Adenoid (ACC) berasal dari kelenjar ludah dan merupakan

keganasan sinonasal kedua yang paling sering, melibatkan sebanyak 10% dari total

kasus. Terdapat tiga subtype histologi yang berdasarkan pada pola pertumbuhan:

tubular, kribriform dan solid. Penentuan ketiga subtype ini adalah sangat penting

karena bentuk solid mempunyai prognosis yang lebih jelek jika dibandingkan

dengan bentuk kribriform atau tubular.

Nodus limfe jarang terlibat dan diseksi leher elektif tidak diindikasikan pada

kebanyakan kasus. Invasi perineural adalah sangat sering dan didapatkan pada 40-

60% kasus. Rekuren lambat dan metastasis jauh sering terjadi dapat terjadi

berdekad-dekad setelah presentasi awal.

Operasi merupakan terapi utama dan radiasi biasanya untuk stadium lanjut,

penglibatan perineural atau ditemukannya batas-batas. Kemoterapi tidak memainkan

peran dalam terapi. Walau pun tidak ada penelitian spesifik yang meneliti radioter-

api sinar neutron untuk ACC region sinunasal, penelitian yang melibatkan ACC

pada area kepala dan leher yang lain menunjukkan adanya perbaikan kada pengatu-

ran local berbanding radiasi tradisional. Tidak ada manfaat kelangsungan hidup ke-

| Bagian/SMF Radiologi

Page 12: Tumor sinus Paranasal

26

seluruhan yang ditunjukkan. Rekure sering kali terjadi, terjadi pada hingga 55% ka-

sus. Kadar kelangsungan hidup 5 tahun spesifik penyakit keseluruhan adalah 63%

dan menurut pengalaman MD Anderson adalah 70%.

Adenocarcinoma dan variannya

Adenokarsinoma pada cavum nasi dan sinus paranasal sangat lah penting dan

berhubungan dengan factor resiok tertentu termasuk paparan terhadap debu, dan ma-

teri organic lainnya.

Adenocarcinoma, baik yang grade ringan maupun berat dan menyebabkan

gejala obstruktif, rinorea, atau epistaxis. Namun, nyeri, parestesis, dan ulkus di

rongga mulut lebih sering ditemikan pada grade yang berat. Tanpa mempertim-

bangkan grade yang ada, destruksi local pada orbita dan basis kranii sering terlihat.

Metastase dari tipe ini jarang terjadi. Maka jika terjadi, paru-paru, liver, dan

tulang merupakan tempat yang paling sering terkena. Metastasis melalui nodus limfe

servikal jarang terjadi, bahkan pada tumor yang sudah sangat berat.

Terapinya adalah eksisi surgical dengan batasan luas dam radioterapi post

operatif untuk penyakit yang sudah berat atau batasan yang jelas. Kejarangan dari

metastase melalui nodus limfe menyebabkan disesksi pada leher tidak harus di-

lakukan.

Prognose dari adenocarcinoma grade ringan jauh lebih baik dari pada grade

yang berat pada area sinonasal. Adencarcinoma grade berat dilaporkan memiliki sur-

vival rate sekurang-kurangnya 35% dalam 3 tahun, sedangkan adenocarcinoma den-

gan grade ringan memiliki 5 tahun survival rate dengan rerata 80%

Melanoma Malignan

Melanaoma maligna merupakan suatu gangguan di cavum nasi dan mukosa

sinus paranasal yang jarang terjadi. Kurang dari 1% dari seluruh keganasan dan

kurang dari 4% dari seluruh keganasan yang terjadi di nasal. Umumnya, melanoma

mukosa dari kepala dan leher sebesar 55% dari seluruh melanoma mukosa, 80%

ditemukan didalam cavum nasi dan 20% didalam sinus. Melanoma jarang

bermetastase pada region anantomisnya, namun, pencarian klinis dibutuhkan untuk

meniadakan penyakit metastase. LAD positif ditemukan pada lebih dari 26% dari

pasien dengan gejala ini.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 13: Tumor sinus Paranasal

26

Verrucous carcinoma

Verucous carcinoma merupakan salah satu dari tipe skuamous karsinoma

yang digambarkan dengan gambaran jamur dengan kompleks papiler.

Pada pemerikasaan histologist, neoplasma maligna ringan ini terdiri dari sell

yang berdiferensiasi, epitel skuamous yang terkeratinisasi dengan gambaran

hiperplastik dan abundan.

Hal yang penting yang berhubungan dengan progessivitas dari verrucous

carcinoma menjadi karsinoma sel skuamous yang tradisional dan agresif. Verrucous

carcinoma menyebabkan kerusakan dengan invasi local tetapi tidak bermetastase

jika tidak memiliki komponen dari karsinoma sel skuamous. Pada pemeriksaan lebih

lanjut, 20% dari lesi ini menggambarkan karsinoma sel skuamous yang klasik paling

kurang pada salah satu area. Laju dari invasi local juga lebih lambat dibandingkan

dengan yang biasanya terlihat pada skuamous sel karsinoma.

Satu gambaran yang penting pada verrucous karsinoma adalah keadaan

kepala dan leher biasanya berhubungan dengan sinkoronous atau metakronous

tumor. Membentuk suatu keganasan epitel atau premalignansi pada traktus

aerodigestivus bagian atas, dengan nilai rerata sebesat 37%. Hubungan ini haru

selalu dipertimbangkan selama pemeriksaan lanjut terhadapo pasien dengan

verrucous karsinoma.

Lymphoma

Kategori dari neoplasma malignan pada sinus dan cavum nasi ini sangat

membingungkan, kurang dimengerti, controversial dan ekstensif.

Umumnya, lymphoma non-hodgkins ditemukan secara primer pada pasien

dengan usia 60an sampai 70an dan bermanifestasi dengan gejala ubstruksi. Rinorea

dan epsistaxis juga dapat tampak. Setelah tipe dari tumor ini ditegakkan, terapi

biasanya dilakukan dengan radiasi dan kemoterapi, dengan mengikuti protocol yang

tersedia. Prognosis umumnya bervariasi untuk pasien degan lymphoma non-

hodgkins dan, bergantung pada tipe dan stadium, median dari survival rate nya

mulai dari 1 tahun hingga 5 tahun.

Tipe malignansi tumor limphoid lainnya yang masih controversial adalah sel

T/natural killer-cell lymphoma. Memiliki beragam nama dalam perjalanan

| Bagian/SMF Radiologi

Page 14: Tumor sinus Paranasal

26

penyakitnya, termasuk lethal midline granuloma, midline malignant reticulosis,

lymphomas granulomatosis, angiocentric lymphoproliferatif lesions, dan

T-cell/natural cell lymphoma. Pangetahuan terkini, lesi ini mungkin dikategorikan

sebagai T-cell/natural killer-cell carcinoma.

Tumor ini merupakan lesi sinonasal yang destruktif yang berhubungan

dengan gejala obstruksif, tulang dan destruksi jaringan lunak, dan perdarahan.

Diyakini sangat erat kaitannya dengan Epstein-barr virus dan sering terjadi di asia

dan amerika latin, dengan usia pasien berkisar antara 13-80 tahun.

Terapi mencakup radiasi dengan atau tanpa kemoterapi. Regimen kemoterapi

sering menyertakan kombinasi dari cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine, dan

prednisone. Karena sangat membingungkan untuk mengelompokkan penyakit ini,

data saentifik untuk memastika prognose tidak tersedia. Sekarang, prognosis masih

dianggap buruk, dan 5 tahun survival rate kurang dari 70%.

2.7 DIAGNOSIS

A. GEJALA KLINIS

Gallagher dan Boies yang dikutip oleh Gasal membagi gambaran gejalanya

sebagai berikut :

Hidung : obstruksi nasal kronis, rinotea, epistaksis

Muka : pembengkakan pipi, parestesia

Rongga mulut : bombans palatum, gigi goyah atau tanggal

Mata : epifora, proptosis, diplopia

Telinga : pendengaran menurun, otalgia

Lain-lain : trismus, pembengkakan kelenjar leher

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis terhadap keluhan disertai pemeriksaan

THT yang teliti, pemeriksaan visus, gerakan bola mata dan pemeriksaan fungsi

nervus kranial. Pemeriksaan radiologi dengan memakai foto biasa hasilnya kurang

memuaskan. Pemeriksaan dengan alat-alat CT scan dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) dapat memberikan hasil yang memuaskan dimana struktur tulang disekitar

sinus maksila, jaringan lunak dan orbita dapat dievaluasi.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi. Biopsi dapat dilakukan

secara transnasal baik langsung maupun dengan alat endoskopi

| Bagian/SMF Radiologi

Page 15: Tumor sinus Paranasal

26

B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

X-Ray Konvensional

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling

utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang

dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan

jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya

cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.

Tanda-tanda radiologi pada foto polos kepala adalah adanya masa pada sinus

maksilaris disertai dekstruksi tulang aktif. Ada sekelompok tumor dengan tanda-tanda

radiologik yang khas, yaitu adanya ekspansi aktif meliputi seluruh rongga sinus,

dekstruksi tulang dinding pada sinus yang diserang, tetapi secara garis besar tulang-

tulang tersebut mengalami rekalsifikasi lagi, sehingga sering tumor dianggap jinak,

tetapi secara patologis prognosisnya sangat jelek. Kelompok tumor ini adalah papiloma,

esthesioneuroblastoma, tumor kelenjer saliva minor termasuk adenokarsinoma,

ekstramedulariplasmasitoma, melanosarkoma, dan rhabdomiosarkoma.

Gambar 2: Foto Water’s menunjukkan kista yang normalnya sinus maxilla tersebut

berisi udara

| Bagian/SMF Radiologi

Page 16: Tumor sinus Paranasal

26

COMPUTERIZED TOMOGRAFI (CT)

CT scanning penting sebagai tambahan terhadap pemeriksaan radiologi dari

sinus paranasal, dan sebenarnya telah menggantikan tomografi konvensional sebagai

cara penilaian tumor, mukokel dan perluasan lesi lainnya pada sinus. CT memiliki

manfaat untuk menunjukkan baik itu dekstruksi tulang dan perluasan jaringan lunak

dari penyakit. Pada penyakit ganas ini memberikan metode yang akurat bagi

penetapan stadium tumor sebelum radioterapi atau pembedahan dan ini penting

secara postoperative untuk menunjukkan rekurensi tumor. Sebagai tambahan, ini

telah memperluas kemungkinan dari diagnose banding patologi sinus, tidak hanya

menunjukkan pola jaringan lunak dari penyakit, tetapi dengan demonstrasi yang

lebih sensitive dari kalsifikasi tumor, pada beberapa contoh dapat menjadi suatu

karakteristik.

Medium kontras

Nilai penting pada kontras atenuasi CT secara umum bisa berupa jaringan

normal dan abnormal menunjukkan peningkatan setelah pemberian medium kontras

intravena. Pada neoplasia sinus tidak hanya mengerjakan variasi peninggian derajat

dengan tumor yang berbeda-beda dengan histology, tetapi juga mempertimbangkan

variasi dalam tipe-tipe tumor dengan histology yang sama. Secara umum, medium

kontras intravena harus dicadangkan untuk pasien dengan kategori berikut:

1. Pasien dengan tumor vascular seperti angiofibroma. Disini harus dikerjakan

injeksi bolus atau infuse drip dan scanning dikerjakan selama pemberian

yang sesungguhnya dari bahan kontras untuk bisa menangkap fase vascular

dari peninggian tumor.

2. Pasien dengan dugaan penyebaran tumor kedalam fossa cranial anterior atau

medial; yaitu dimana barier darah otak terlibat. Tumor kemudian digam-

barkan berlawanan dengan gambaran otak yang tidak enhance.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 17: Tumor sinus Paranasal

26

Gambar 3 . (A) Foto CT pasien dengan kanker sinus maxilla menunjukkan

penghancuran tulang (anak panah) yang merupakan tanda utama keganasan.

Gambar 3. (B) inverting papilloma –

computed tomography

Transverse section through the nasal

cavity. A spindle-shaped tumor fills in the

nasal cavity. The tumor extends into the

pterygopalatine fossa (arrow) and the

posterior and medial wall of the maxillary

sinus is destroyed being suspicious for

amalignant component within the polypoid

tumor.

Gambar 4 (C) Squamous cell carcinoma - computed tomography Trarnsverse section through the

sphenoid sinus. A tumor fills in the sinus with spread into the middle cranial fossa (black arrows) and

| Bagian/SMF Radiologi

Page 18: Tumor sinus Paranasal

26

the inferior orbital fissure (open arrow).

MAGNETIK RESONANSI IMAGING

Fasilitas multi-slice. Manfaat dari tomografi magnetic resonansi melebihi metode-

metode lainnya adalah dengan fasilitas multi-slice yang berstandar pada mesin

terbaru. Ini membolehkan potongan multiple untuk diperoleh secara simultan

dengan menggunakan slice yang letaknya berdekatan 1 cm atau 0,5 cm hingga

kedalaman 12 cm. Gabungan antara penggunaan head koil (gulungan utama) dan

pencitraan 3 dimensi, ini menyediakan pencakupan total dari kepala dan leher dan

membolehkan identifikasi penyakit yang bersamaan dari tempat primer di sinus,

seperti malignansi leher. Hal ini secara jelas sebagai onkolog (ahli kanker) dalam

merencanakan pengobatan dan ini mewakili secara mayoritas lebih maju

dibandingkan CT scan.

Secara umum, tumor malignan yang berasal dari sinus, baik itu epithelial atau

mesenkimal, menghasilkan sinyal dengan intensitas medium pada rangkaian T1

weighted spin-echo dan sinyal medium hingga kuat pada gambaran T2. Pada

kontras, retained secretion menghasilkan sinyal tinggi pada rangkaian spin echo.

Perbedaan antara tumor dan sekresi yang tertahan terutama ditemukan pada

gambaran T2 weighted, retained secretion selalu memberikan sinyal yang lebih kuat

daripada tumor. Gambaran tambahan adala sinyal yang diberikan oleh tumor yang

heterogen, dimana yang ditunjukkan oleh retained secretion tanpa kecuali selalu

homogeny. Vaskularisasi dari tumor memiliki kontribusi terhadap pengurangan

| Bagian/SMF Radiologi

Page 19: Tumor sinus Paranasal

26

sinyal homogeny yang terlihat pada angiofibroma juvenile. Pada tumor jinak ini

pembuluh darah besar dapat diidentifikasi baik pada tumor dan otot di sekitarnya.

Hal itu terlihat sebagai area dengan sinyal negative atau kosong dan saat

menunjukan diagnose secara total.

Gambar 4: MRI kanker sinus maxilla dengan jelas dapat membedakaan tumor yang

membatasi sinus maxilla.

2.8 PENATALAKSANAAN

Yang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan

diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi.

Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi,

sedangkan untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana

terapi dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor.

Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganas

Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima

oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus

| Bagian/SMF Radiologi

Page 20: Tumor sinus Paranasal

26

paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali

ditemukan sudah dalam stadium lanjut.

Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan

terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil

pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima,

untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas.

Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem

TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe

regional yang terkena dan M = Metastasis.

Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem

TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian

onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium TNM

yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada rapat

gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut dapat

diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan

satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang

diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma

sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus

etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid

tidak perlu, karena sangat jarang.

GARIS OHNGREN

Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang

imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi

rahang atas menjadi struktur supero-posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-

anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus

maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya

termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang

jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 21: Tumor sinus Paranasal

26

Gambar 5: Garis Ohngren

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:

Kategori T untuk karsinoma sinus maksila

T1      : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi

tulang.

T2      : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk

palatum durum dan/atau meatus medius.

T3      : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila,

dasar orbita atau sinus etmoid anterior.

T4      : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah

satu dari: lamina kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid,

nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar

tengkorak.

Kategori N untuk karsinoma sinus maksila

N0      : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.

N1      : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter

terbesar 3 cm atau kurang.

N2a    : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar

lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 22: Tumor sinus Paranasal

26

N2b    : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter

terbesar tidak lebih dari 6 cm.

N2c    : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan

diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.

N3      : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.

Kategori M untuk karsinoma sinus maksila

Mx      : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.

M0      : Tidak ada metastasis jauh.

M1      : Ada metastasis jauh.

Penentuan stadium karsinoma sinus maksila

Stadium I      : T1, N0, M0

Stadium II     : T2, N0, M0

Stadium III    : T3, N0, M0 atau

: T1, T2 atau T3, N1, M0

Stadium IV    : T4, N0 atau N1, M0 atau

: semua T, N2 atau N3, M0 atau

: semua T, semua N, M1

Pengobatan

Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan

stadium tumor bila tumor ganas.

Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas

hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga

belum ada yang berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti,

juga karena standar klasifikasi dan penentuan stadium belum resmi ada. Untuk

membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus karena respon tiap

jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai

dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara

pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi

antara operasi, radioterapi dan kemoterapi.

Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus

paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah

| Bagian/SMF Radiologi

Page 23: Tumor sinus Paranasal

26

“inoperable” atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi

sesudah dibuatkan antrostomi.

Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing

mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar,

radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi

pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan

radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian tidak kembali untuk

operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau operasi

karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai

radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-

metastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada

waktu operasi.

Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor

di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah

memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi

rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Bila tumor sudah

sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus sfenoid terkena dilakukan

operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke

nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah “inoperable” dan hanya

diberikan penyinaran saja.

Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan

maksila yang dibuang. Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus

dipersiapkan sebelum operasi dan langsung dipasang pada waktu operasi karena

kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit diperbaiki kemudian.

Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada kebanyakan

operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan wajah

dengan bedah plastik.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 24: Tumor sinus Paranasal

26

Jadi, untuk penanganan tumor ganas hidung dan sinus, diperlukan kerja sama

yang baik antar berbagai disiplin ilmu, yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli

patologi, ahli bedah mata, ahli bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.

BAB III

PENUTUP

| Bagian/SMF Radiologi

Page 25: Tumor sinus Paranasal

26

Kanker rongga hidung atau sinus paranasal adalah sebuah kondisi yang

sangat mematikan dan terutama tidak nyaman dengan pembawaannya yang jelas

baik bagi pasien maupun bagi keluarganya. Keganasan pada hidung dan sinus

paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan

perbandingan 2 : 1.

Etiologi diakibatkan pemaparan terhadap lingkungan pekerjaan. Pekerja

nikel memiliki peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa.

Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar

80% kasus. Gejala klinis yang paling sering, obstruksi hidung dan epistaksis.

Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi

tumor.

Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja

hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi,

radioterapi dan kemoterapi. Pada umumnya prognosis kurang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2010. Tumor Ganas Hidung. http://ningrumwahyuni.wordpress.com.

Diunduh tanggal 6 juni 2010.

| Bagian/SMF Radiologi

Page 26: Tumor sinus Paranasal

26

Christopher. Klem, 2009. Malignant tumors of the sinuses.

http://www.emedicine.medscape.com. Diunduh tanggal 8 juni 2010

Halinda Sari Lubis, 2004. Kanker sinus Nasal Pada Pekerja Yang Terpajan

Terhadap Nikel. USU digital library

Larsson. Sven G, and. Mancuso. Anthony A. 2010. The nose, paranasal sinuses and

the facial skeleton. http://www.medyclopaedia.com. Diunduh tanggal 6 Juni

2010

Rasad, Sjahriar, 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Balai penerbit FKUI:

Jakarta.

Soepardi EA, Iskandar N, 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

| Bagian/SMF Radiologi