tugas tari

Upload: juniriyanto

Post on 16-Jul-2015

351 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hudoq, Tarian Magis Pengusir Hama ala Suku Dayak Bahau

Masyarakat Dayak Bahau di Kutai Barat, Kalimantan Timur, punya cara tersendiri agar roh-roh jahat menjauh dari hasil panen mereka. Saksikanlah Tari Hudoq yang penuh tradisi, musik, serta kostum yang unik. Sehabis menanam padi pertama kali, 13 orang Dayak Bahau berganti kostum untuk kemudian menyerahkan diri kepada para leluhur. Mereka mengenakan sebuah topeng kayu yang bentuknya serupa muka burung, dengan cat warna merah dan kuning yang dominan. Konon, dua warna itu adalah kesukaan para dewa. Sementara itu, tubuh mereka perlahan dibalut oleh ikatan daun pisang. Daun ini merupakan lambang kesejukan dan kesejahteraan. Jadilah mereka seperti manusia setengah burung, sesuai dengan mitos yang turun-temurun di suku itu. Masyarakat setempat percaya, Hudoq adalah roh-roh yang ditugaskan untuk menemui manusia. Namun karena wujudnya yang menyeramkan, mereka diperintah untuk mengenakan baju samaran. Kostum itulah hasilnya. Jumlah 13 melambangkan 13 dewa yang dipercaya sebagai pelindung tanaman padi, yang disebut Hunyang Tenangan. Sementara itu, seseorang Dayung yang dipercaya punya kekuatan supranatural, mulai melakukan ritual pertama yang disebut Napoq. Dalam ritual ini, Dayung berkeliling kampung sambil membunyikan gong kecil untuk menyapa para roh penjaga desa. Ia melakukan hal ini ditemani oleh dua orang asisten. Setelah berkeliling, saatnya Dayung

menjamu para Hudoq dengan ritual makan siang. Ritual ini dilakukan dengan cara menyuapi para penari. Mereka, tentu saja sudah dirasuki roh para leluhur ketika selesai mengenakan kostum masing-masing. Sang Dayung lalu mulai melakukan komunikasi langsung. Percaya atau tidak, mereka berkomunikasi dengan bahasa Dayak kuno yang sangat santun dan halus. Hanya sang Dayung yang mengerti bahasa itu! Dari komunikasi verbal ini, diketahui kelanjutan hasil cocok tanam saat itu. Sang Dayung pun meminta agar para Hudoq melindungi tanaman mereka dari serangan hama, binatang buas, dan fenomena alam yang ganas. Inilah esensi dari Tari Hudoq, yaitu permintaan warga setempat untuk mengusir roh jahat dari hasil panen mereka. Upacara kemudian dilanjutkan dengan ritual menarik nyawa padi. Sambil berbaris dalam satu jajar, para Hudoq menarik nyawa padi tujuh kali. Hal ini dilakukan sambil membaca mantera. Setelah itu barulah ritual tari bisa dilakukan. Biasanya, mereka menari di tengah lapangan atau sawah yang tengah ditanami padi. Dengan ritme cukup tinggi, para Hudoq melakukan gerakan maju sambil menghentakkan kaki dan tumit diiringi gerakan tangan mengibas. Layaknya seekor burung yang sedang terbang. Selain untuk ritual tahunan, Tari Hudoq juga biasa dilakukan sebagai atraksi pagelaran budaya. Anda bisa datang sendiri ke pemukiman suku Dayak Bahau ini untuk melihat sendiri Tari Hudoq yang berbalut magis

Tarian Dabus

Tarian Dabus merupakan sejenis traditional. Tarian ini berasal dari dan mengandungi unsur keagamaan yang berkait dengan kepahlawanan Sayidina Ali. Tarian ini dipercayai mula dimainkan di negeri Perak sejak 300 tahun yang lalu. Ada beberapa pendapat yang mempertikaikan kemasukkan senitari dabus ke bumi Perak. Satu pendapat mengatakan dabus dipercayai dibawa masuk terus ke Perak oleh Ahmad Mahyuddin yang berasal dari Parsi (Baghdad) sekitar tahun 1785. Beliau merupakan anak murid kepada tuan guru Muhammad Abil Hassan al-Rifai. Tarian ini mula berkembang di Pasir Panjang Laut, Sitiawan, Lumut, dan juga di Sungai Nipah Baroh serta Sungai Balai Baroh, Teluk Intan, Perak. Pendapat kedua mengatakan permainan dabus telah di bawa ke Indonesia melalui Pasai di Aceh sebelum dikembangkan ke Pasir Panjang, Perak oleh Nakhoda Lembang yang berguru daripada saudagar Fakir Muhammad dari India, yang juga anak murid kepada tuan guruMuhammad Abil Hassan al-Rifai. Dan satu lagi pendapat mengatakan Ahmad Mahyuddin yang berguru dengan

Muhammad Abil Hassan al-Rifai telah bertemu dengan Nakhoda Lembang dari Batu Bara, Aceh yang berguru dengan Fakir Muhammad dari pada tahun 1785, telah bersama-sama memperkembangkan kesenia dabus ke Perak di Pasir Panjang seawal tahun 1700.

Siwa Nata Raja Dewa Tarian, Tarian Peleburan

A rti kata Siwa Nata Raja : Siwa artinya manifestasi dari Tuhan, Nata artinya berkesenian dalam perspektif Hindu, Raja artinya maha besar atau maha kuasa, Siwa Nata Raja artinya berkesenian dalam rangka pemujaan kemahakuasaan Tuhan.

Setiap Tahun di Bali kita disuguhkan dengan suatu perhelatan akbar berupa pesta kesenian Bali. Dan tak asing lagi bahwa di dalamnya akan ada suatu simbul dari pesta kesenian Bali yakni Siwa Nata Raja, selalu terpampang di atas candi bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya Denpasar. Rupanya banyak diantara kita belum mengetahui apa itu Siwa Nata Raja yang menjadi simbul tersebut. Siwa Nata Raja dalam filosofi India dikatakan sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian tersebut mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian, khususnya kesenian di Bali. Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari religius masyarakat Hindu di Bali. Upacara yadnya yang diselenggarakan di pura-pura juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan lain-

lainnya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap religius dari para umat penganut hindu di Bali. Pregina atau penari dalam semangat ngayah atau bekerja tanpa pamrih mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang Siwa yang pada hakekatnya adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan). Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Para seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Dalam artian adalah Siwa Nata Raja bersemayam dalam setiap insan di dunia ini. Dalam mitologinya, tarian-tarian diciptakan oleh Dewa Brahma,dan sebagai dewa tarian adalah Dewa Siwa dikenal dengan sebutan Siwa Nata Raja. Beliau memutar dunia ini dengan suatu gerakan-gerakan mistis yang disebut dengan mudra, yang memiliki kekuatan gaib. Dimana setiap gerakan tangan dan gerakan tubuhya memiliki kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa. Namun didasari atas gerakan mudra tersebut, sehingga tarian tersebut memiliki kekuatan sekala dan niskala atau kekuatan nyata dan tidak nyata. Namun hanya beberapa saja dari gerakan mudra itu yang dapat dijumpai dalam tarian Bali. Namun demikian ciri khas tarian bali dan nilai artistic magisnya yang bersifat sekala dan niskala tetap kita jumpai, walaupun tidak sepenuhnya dalam bentuk mudra. Seniman Bali lebih banyak seniman karya, dan sedikit yang menjadi seniman filsafat. Sebagai seniman karya, seniman Bali mampu menghasilkan sebuah karya seni yang bagus, dan bahkan monumental. Namun tidak banyak yang dapat mengapresiasikan karyanya. Lain halnya dengan seniman filsafat, dimana seorang seniman lebih berorientasi pada pengertian dari karyanya. Walaupun seringkali karya tersebut kurang diminati oleh penikmatnya. Tetapi demikian seniman Bali sebagai seniman karya. Mereka akan merasa bangga apabila hasil karyanya dapat menghibur hati orang lain. Mereka tidak banyak mengejar filosofi dari karya seninya tersebut. Mungkin pula karena ketidakmengertian para pencipta tari Bali akan jenis dan arti dari gerakan mudra yang berasal dari tarian kosmis Dewa Siwa tersebut. Disamping itu yang namanya mudra di Bali sangatlah sakral, hanya boleh digunakan oleh para sulinggih yaitu orang suci umat Hindu. Bagi masyarakat Hindu Bali, konsep dan filosofi Siwa Nata Raja tidak saja perlu diketahui dan dipahami, tetapi juga dipakai sebagai landasan filsafat di dalam berkesenian. Hindu Bali yang Siwaistis, menempatkan Siwa sebagai Dewa tertinggi, Maha Kuasa, pencipta seni, dan sekaligus sebagai tujuan dari kreatifitas seni. Visualisasi popular dari Siwa adalah Lingga-Yoni. Bentuk antromorfik dari Siwa dapat digambarkan menjadi dua bentuk, yaitu pertama aspek ugra atau ghora artinya menyeramkan, kedua aspek somya artinya damai. Lingga-Yoni melahirkan aspek Siwa dan Sakti. Dari Siwa, segala bentuk seni di dunia ini berkembang, oleh karena itu Siwa dipuja oleh para seniman. Dewa Siwa yang pertamakali melahirkan seni tersebut. Sebagai pencipta tarian, Siwa berwujud Nrtyamurti. Siwa juga mengajarkan kesenian kepada Dewa-Dewa dan umat manusia. Siwa juga disebut Adi Guru atau guru pertama kesenian. Siwa juga sebagai guru yoga, musik, dan jnana (ilmu pengetahuan).

Siwa dalam wujud Siwa Nata Raja adalah Siwa dalam postur menari. Gerakannya sangat indah, ritmis dan eksostis mistik yang menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya dalam ritmis tersebut sangat harmonis dan melahirkan keindahan. Gerakan dalam Siwa Nata Raja adalah juga merupakan simbolisasi dari Panca Aksara. Panca Aksara membentuk tubuh Siwa. Tangan yang memegang api adalah Na, kaki yang menindih raksasa adalah Ma, tangan yang memegang kendang adalah Si, tangan kanan dan kiri yang bergerak adalah Wa, tangan yang memperlihatkan abhaya mudra adalah Ya. Panca Aksara adalah kekuatan yang dapat menghapus noda dan dosa. Si Wa Ya Na Ma, adalah mantra. Si mencerminkan Tuhan, Wa adalah anugerah, Ya adalah jiwa, Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan, Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa. Tarian Siwa melambangkan pergerakan dunia spirit. Dalam tarian tersebut, semua kekuatan jahat dan kegelapan menjadi sirna. Tujuan Siwa menari adalah untuk kesejahteraan dan keselamatan alam semesta, membebaskan roh dari belenggu mala. Siwa bukanlah sebagai penghancur tetapi sebagai regenerator (proses regenerasi). Siwa adalah sebagai manggala data atau pemberi kesucian, dan ananda data yakni sebagai pemberi kebahagiaan. Siwa menciptakan alam semesta dengan cara menari. Secara konseptual Siwa Nata Raja sebagai wujud nyata diterapkan dalam aktivitas keagamaan di Bali yang selanjutnya mengalir menjadi bentuk-bentuk kesenian. Gerakan tangan atau mudra tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan anggota badan. Pada upacara yadnya terdengar weda mantra sang sulinggih, suara genta, kidung-kekawin atau nyanyian sakral, gamelan atau musik, tarian, banten atau sesajen yang ditata indah pada dasarnya perwujudan rasa seni yang dipersembahkan kepada Tuhan. Salah satu dari pertunjukan seni dalam rangka pemujaan kehadapan Dewa Siwa adalah pertunjukan seni Wayang Sapu Leger yaitu suatu paduan yang harmonis antara seni pertunjukan dengan filsafat ketuhanan. Siwa Nata Raja adalah upaya pencarian kebenaran, kesucian, keharmonisan, melalui berkesenian (satyam, siwam, sundaram). Berkesenian di dalam kaitannya dengan Hindu di Bali adalah sebuah langkah pemujaan untuk menyatu dengan pencipta seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Berkesenian adalah sebuah upaya mencari kepuasan bhatin, mencari kesenangan, mencari keseimbangan, mencari pembebasan dalam penyatuan dengan sang pencipta, yakni sumber dari seni itu sendiri yakni Sang Hyang Siwa.

Sanghyang, Tarian KerauhanDesa-desa di Ubud mengadakan pertunjukan seni. Hampir setiap malam ada pertunjukan seni di balai desa yang berbeda-beda. Setiap desa memiliki jenis pertunjukan andalannya masing-

masing, misal Desa A mempertunjukan tari Kecak pada hari Senin, Desa B mempertunjukkan tari Keris di hari Selasa, dst. Banyaknya turis mancanegara di Ubud (dan areal wisata lain di Bali) memungkinkan hal ini berjalan secara rutin, hal yang tidak terdapat di pulau-pulau lain di Indonesia. Kami memutuskan untuk melihat pertunjukan Tari Kecak karena paling dekat. Berdasarkan info dari hotel kami mencari Balai Desa tempat pertunjukan dilakukan. Para petugas marketing desa sudah menawar-nawarkan karcis di radius 100 meter seharga Rp 75.000 (!) yang tidak bisa ditawar lagi. Saya tidak yakin wisatawan lokal mau membayar sejumlah itu untuk melihat tari tradisional. Setelah membeli tiket kami mendapat selembar brosur tentang pertunjukan yang akan diadakan dalam berbagai bahasa.

Kursi-kursi plastik disusun melingkari pelataran didepan candi bentar yang berfungsi sebagai Gerbang keluar para penari. Kursi penonton juga disusun bertingkat diatas panggung sederhana supaya penonton bagian belakang tetap jelas menonton. Ada satu buah lampu besar menyorot pelataran yang berfungsi sebagai panggung. Selebihnya penerangan menggunakan obor bercabang-cabang ditengah panggung. Cukup mengesankan bahwa sekitar 100 kursi penonton terisi penuh padahal ini hari biasa bukan weekend. Hampir seluruh penonton wisatawan asing. Jam 19.30 tanpa basa-basi pertunjukan dimulai.

Tari pertama adalah tari Kecak yang sebetulnya merupakan fragmen dari sendratari Ramayana tanpa gamelan secara a capella. Tari ini diciptakan tahun 1930 oleh Wayan Limbak dan Walter Spies dengan inspirasi dari tari-tari Sanghyang (kerauhan) yang sudah ada. Tarian ini sengaja diciptakan untuk tontonan umum. Kalau tari-tarian Sanghyang yang asli sudah ada sebelum masa Hindu dan merupakan tarian penolak bala. Melihat para penari kecak keluar dari gerbang cukup menarik. Sekitar 50 orang penari pria kurus dan gemuk tua muda bertelanjang dada dan mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih dengan bunga diselipkan di telinga. Lalu seorang dukun mulai memercikkan air suci kepada seluruh penari. Ritual ini diulangi pada setiap tarian. Lalu mereka mulai melagukan cak cak cak sambil menggerakkan tangan bersama-sama. Penaripun muncul dengan kisah Sinta yang diculik Rahwana yang menyamar sebagai kijang emas.

Tari kedua adalah Sanghyang Dedari (bidadari). Dua orang penari cilik perempuan menari legong diiringi paduan suara ibu-ibu dan bapak-bapak bergantian. Saya kurang bisa menangkap maksud dari tarian ini, ketika anak-anak itu jatuh, lalu beri air suci oleh seorang ibu, lalu menari lagi, lalu jatuh lagi. Saya faham bahwa ini sejenis tarian kesurupan tetapi kurang berkesan. setelah saya search lagi saya baru tahu bahwa anak-anak itu menari sambil memejamkan mata karena kesurupan. Tapi dalam pertunjukan komersil tidak ada yang kesurupan.

Tari ketiga adalah Sanghyang Jaran. Seorang lelaki menaiki kuda kepang menari-nari. Sebelumnya di pelataran dipersiapkan batok-batok kelapa yang disiram minyak tanah dan dibakar. Lalu penari kuda kepang mulai menendang-nendang dan menginjak batok kelapa menyala-nyala itu sampai bertebaran hampir mengenai penonton. Penonton berteriak ngeri dan beringsut takut kena bara.

Ketiga jenis tarian ini termasuk dalam tarian Sanghyang, yaitu tarian kerauhan (trancekesurupan) akibat spirit-spirit binatang atau yang lainnya. Setelah ketiga tarian itu selesai seorang tetua mengucapkan terimakasih dan selesailah acara ini. Para penonton pulang mencari makan malam dengan kenangan indah tentang tarian eksotis dan magis dari Pulau Bali.Tarian Warok Irama musik pengiringnya yang rancak dan cepat membangkitkan semangat membius penonton yang berada disekitarnya, dan kata-kata liriknya yang berbunyi hooke menjadi ciri khas tersendiri bagi tarian yang satu ini. Reyog lebih dikenal dengan reog, awalnya merupakan tarian tradisional daerah, Jawa Timur namun sekarang menyebar hingga kebeberapa daerah seoerti, Wonogiri, Malang dan bahkan beberapa ada yang berasl dari luar Jawa Timur, misalnya Jambi, Tanjung Pinang, Riau dll. Satu grup reyog biasanya terdiri seorang warok tua, sejumlah warok muda dan penari jathilan, penari Bujangganong dan Prabu Kiano Sewandono masing-masing seorang. Kelompok ini biasanya tampil didepan (awal) tarian. Menyusul kemudian sebuah karangan berbentuk kepala macan yang mengaum karena "diinjak" seekor burung merak yang sedang mengembangkan sayapnya. Inilah yang disebut dhadhak merak, sebuah barongan khas reyog Ponorogo yang beratnya mencapai lebih 40 kg. Kekuatan gigi dan otot-otot leher sang penari barongan inilah yang bisa membuat tarian dhadhak merak menjadi eksotik, magik, memikat, dan apalagi ketika meliuk-liuk di udara diterpa angin kencang.

Kekhasan lainnya terdapat pada seperangkat instrumen pengiringnya yang terdiri dari kempul (gong), ketuk, kenong, gendang, ketipung, sejumlah angklung, dan sebuah terompet yang lazim disebut salompret. Bunyian salompret bernada pelog ini berpadu dengan ketipung, gendong, kenong, ketuk, angklung yang bernada slendro. Nada-nada sumbang yang dihasilkan merupakan perpaduan antara laras slendro dan pelog hingga memunculkan atmosfer mistik, aneh, eksotik, sekaligus membangkitkan gairah. "Reyog" bukan "reog" Begitu terkenalnya tarian tradisional ini, hingga nama aslinya-pun diplesetkan, dari reyog menjdi reog. Bahkan Pemda Kabupaten pun latah menjadikan REOG sebgai slogan daerah tersebut. Slogan REOG yang berarti Resik, Endah, Ombu, dan Girang-gemirang hingga kini masih dijumpai di sudut-sudut kota Menurut kata "sesepuh" warok Kasal Gunapati alias Mbah Kamituwo Kucing yang benar itu reyog dan bukan reog, seperti yang tertulis di "buku kuntung" berisi Panduan Reog terbitan Pemda Dati II

Tari

Rentak Bulian merupakan ritual pengobatan, dimana diambil dari Kata Rentak dan Bulian. Rentak yang maksudnya merentak atau melangkah, dan Bulian adalah tempat singgah mahluk bunian atau mahluk halus dalam bahasa daerah Indragiri Hulu. Tarian Rentak Bulian ini sangat kental dengan suasana dan unsur magis, dan sebelum ritual tari dilakukan dilakukan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama oleh penari. Ritual tersebut diantaranya sebagai berikut : 1. Penari adalah terdiri dari delapan orang muda yaitu 7 ( tujuh ) perawan dara yang cantik dan molek tidak sedang kotor (bersih dari haid), serta 1 ( satu ) orang pemuda gagah perkasa yang baligh 2. Hapal benar gerak dan laku tari 3. Setiap penari tak ada yang berdekatan bertalian darah 4. Seluruh penari mendapat izin tetua adat kampung 5. Sebelum menari, penari sudah diasapi dengan gaharu 6. Alat musik harus di keramati 7. Mayang pinang terpilih mudanya serta perapian tak boleh di mantera Acara ritual tari ini dilakukan sebelum pertunjukan tari. Apabila ritual tari ini diindahkan, biasanya akan mendapat celaka yang tak di inginkan. Dalam jalannya tari, tubuh para penari biasanya akan dalam keadaan siap menari dengan catatan sehat dan juga akan menjadi media penolak bala oleh para mahluk gaib. Biasanya pula penari pria akan dalam keadaan setengah sadar pada akhir puncak tari. Pada waktu itulah pula penari pria tersebut akan memecahkan

mayang pinang sebagai media pengobatan dengan merentak mengelilingi penari perempuan lainnya. PERLENGKAPAN TARI

Bulian : Sejenis rumah rumahan atau pondok untuk tempat ritual Perapian : Tempat untuk membakar sesaji Kapur Sirih : Alat untuk membuat balak atau tanda silang Mayang Pinang : Pohon pinang dan diukir motif melayu Baju Adat : Untuk dipakai para penari dan pemusik Alat Musik : Untuk pengiring tari

ALAT MUSIK PENGIRING TARI

Gong (alat dari besi logam sebagai pengiring ritme langkah kaki penari) Seruling (alat tiup dari buluh bambu pilihan berlubang tujuh sampai duabelas sebagai tangga nada) Ketok-ketok (dari sebongkah batang kelapa tua yang berdiameter 30-45 cm, di lubangi menyerupai kentongan pada daerah jawa) Tambur (gendang besar sebagai bass) Kerincing pada kaki penari Gendang

JALANNYA TARI Tari diawali dengan musik yang bertalu dengan langkah rentak bulian khas irama daerah setempat. Para penari berturut turut dari seorang penari laki-laki yang berada di tengah apitan dua orang penari perempuan yang membawa mayang pinang dan perapian, serta lima penari perempuan lainnya berjejer berurut di belakang penari laki laki masuk ke tengah arena tari di mana telah terletak sebuah bulian. Lahkah kaki mereka kaku dan tangan menyilang kedada depan. Penari laki laki yang bertelanjang dada dan bersayap putih adalah pemimpin gerak

dengan tatap mata yang tajam di sebut batin. Dua penari perempuan dikanan dan kiri batin adalah pengawal yang bertugas membawa kelengkapan upacara yaitu perapian di sebelah kiri, dan mayang pinang di sebelah kanan. Semua penari bergerak dipimpin batin sampai ke bulian. Dalam pada itu, sesempai di bulian batin melakukan upacara dibantu dua orang pengawal. Dari mengapikan perapian sampai dengan mengasapi mayang pinang serta membalak tubuh atau membuat tanda silang pada tubuh penari laki laki. Lima penari lain nya bergerak mengikiti ritme musik dalam posisi duduk dan mengambil sikap menyembah batin. Setelah batin selesai upacaranya maka ia akan mentilik para penari perempuan di sekitar bulian. Para penari perempuan termasuk pengawal akan mengantisipasi apabila secara tiba tiba batin dalam keadaan setengah sadar. Ketika batin dalam keadaan setengah sadar, ia akan memecahkan mayang pinang sebagai simbolik pengobatan, kemudian kembali ia mengitari penari perempuan untuk menghilangkan bala. Sang pengawal mengambil sikap menjaga para penari lainnya dari bahaya ketidaksadaran sang batin. Pengawal akan merebut mayang dan batin kembali terjaga dari keadaan setengah sadar. nya. Berikutnya , para penari akan mengitari bulian dan mengambil sikap pause atau berhenti sejenak dalam tari lalu kembali bergerak meninggalkan area tari. Dan tarian selesai