tpp blok 20 dera

73
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6 juta membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita kecacatan sementara (30%) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih kurang 12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat menyebabkan : 1. Angka kematian yang tinggi. 2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar. 3. Kecacatan sementara dan permanen. Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem musculoskeletal 1

Upload: tri-anggun-utami

Post on 18-Feb-2016

248 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Z

TRANSCRIPT

Page 1: Tpp Blok 20 Dera

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera

oleh salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,

kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk

Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6

juta membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya

mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita

kecacatan sementara (30%) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang

per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih

kurang 12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat

menyebabkan :

1. Angka kematian yang tinggi.

2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar.

3. Kecacatan sementara dan permanen.

Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal

berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem

musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam

kehidupan kita (Rasjad C, 2003).

Walaupun cedera musculoskeletal umumnya jarang menyebabkan

kematian, tapi dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan

banyak waktu. Jadi dalam hal ini, cedera muskuloskeletal akan meningkatkan

angka morbiditas dibanding angka mortalitas (Salter, R. B. , 1999).

Trauma masih merupakan penyebab kematian paling sering di empat

dekade pertama kehidupan, dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

yang utama di setiap negara (Gad et al, 2012). Sepuluh persen dari kematian di

seluruh dunia disebabkan oleh trauma (Maegel, 2010). Diperkirakan bahwa pada

tahun 2020, 8,4 juta orang akan meninggal setiap tahun karena trauma, dan trauma

1

Page 2: Tpp Blok 20 Dera

akibat kecelakaan lalu lintas jalan akan menjadi peringkat ketiga yang

menyebabkan kecacatan di seluruh dunia dan peringkat kedua di negara

berkembang (Udeani, 2013).

Di Indonesia tahun 2011 jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 108.696

dengan korban meninggal sebanyak 31.195 jiwa (BPS, 2011).

Mengingat masalah trauma memerlukan perhatian yang serius dan sangat

penting untuk diketahui oleh mahasiswa kedokteran, maka dari itu kami akan

melakukan Tugas Pengenalan Profesi yaitu mengunjungi pasien trauma /Pasca

Trauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana mekanisme dan patofisiologi trauma yang ditemukan pada

kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang ?

1.2.2. Bagaimana manifestasi klinis yang dialami pasien trauma yang ditemukan

pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang ?

1.2.3. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien trauma yang

ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang ?

1.2.4. Apa saja penatalaksanaan yang diberikan pada pasien trauma yang

ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang ?

1.2.5. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan pada pasien trauma yang

ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang trauma ?

1.2.6. Bagaimana prognosis pasien trauma yang ditemukan pada kunjungan pasien

trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang trauma ?

2

Page 3: Tpp Blok 20 Dera

1.3. Tujuan

1.3.1. Mengetahui mekanisme dan patofisiologi trauma yang ditemukan pada

kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang.

1.3.2. Mengetahui manifestasi klinis yang dialami pasien trauma yang ditemukan

pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang.

1.3.3. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien trauma

yang ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah

Sakit Bhayangkara Palembang.

1.3.4. Mengetahui penatalaksanaan yang diberikan pada pasien trauma yang

ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang.

1.3.5. Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan pada pasien trauma yang

ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang trauma.

1.3.6. Mengetahui prognosis pasien trauma yang ditemukan pada kunjungan

pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang

trauma.

1.4. Manfaat

1.4.1. Untuk mahasiswa yang melakukan kegiatan agar dapat menambah ilmu

pengetahuan dan sebagai bahan pembanding antara teori yang di dapat

selama kuliah dan praktek di lapangan.

1.4.2. Untuk masyarakat dapat berguna sebagai sumber bacaan untuk

meningkatkan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kesehatan.

3

Page 4: Tpp Blok 20 Dera

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trauma Thoraks

Kurang lebih 20% kematian akibat trauma terjadi karena trauma thorak.

Banyak kematian bisa dicegah seandainya kasus teridentifikasi dan tertangani

lebih dini sewaktu proses evaluasi trauma. Eksplorasi dan intervensi bedah perlu

dilakukan pada sekitar 10-15% pasien trauma thoraks. Sebab-sebab tersering

kematian langsung pasca-trauma umumnya berkaitan dengan cedera pembuluh

darah utama atau obstruksi jalan nafas utama (Sean, 2006).

1. Fraktur Iga

Fraktur iga sederhana merupakan kejadian yang relative sering pada kasus

trauma tumpul thoraks, dengan insidens sekitar 50%. Fraktur iga sederhana

paling sering terjadi di daerah rawan benturan atau pada angulus costae

posterior, bagian iga yang strukturnya paling lemah. Fraktur paling sering

terjadi pada iga 4-9. Pada fraktur iga harus diwaspadai adanya trauma intra-

abdomen penyerta bila dijumpai fraktur pada iga 9-12, mengingat iga-iga ini

terletak diatas hati dan limpa. Fraktur pada iga 1-2, yang terlindungi dengan

baik oleh struktur lain, biasanya mengindikasikan trauma tumpul dengan

gaya sangat kuat yang menghantam dada psien, adanya fraktur ini

mengingatkan kecendrungan cedera intrathorak yang bermakna. Fraktur iga

lebih sering terjadi pada pasien dewasa karena rangka iga orang dewasa

tidak selentur rangka iga anak-anak (Sean, 2006).

Evaluasi Klinis tujuan utamanya adalahuntuk mendeteksi apakah terdapat

tanda-tanda adanya cedera thoraks yang mendasari, seperti pneumothorak,

hemothoraks kontusio paru, atau trauma vaskuler yang bermakna. Temuan

klinis khas pda fraktur iga berupa nyeri tekan setitik (point tenderness) di

lokasi fraktur, peningkatan intensitas nyeri sewaktu bernafas atau

menggerakkan badan, krepitus di titik nyeri tekan, ekimosis, kekakuan atau

spame otot pada daerah dinding dada yang sakit. Pembacaan foto thorak PA

4

Page 5: Tpp Blok 20 Dera

posisi tegak dan oksimetri denyut harus dikerjakan pada setiap pasien

dengan kecurigaan fraktur iga (Sean, 2006).

Tatalaksana, sasaran utama dalam penatalaksanaan fraktur iga sederhana

ialah penanganan nyeri yang adekuat, nyeri yang tidak ditangani dengan

adekuat dapat menyebabkan gangguan ventilasi pasien dan penurunan

ventilasi ini dapat menyebabkan atelektasis dan mungkin dapat

menyebabkan pneumonia. Pengunaan sabuk iga dan berbagai jenis alat

pengikat dinding dada bukan merupakan ajuran rutin. Sekalipun berguna

untuk meredakan gejala, alat-alat ini membatasi pergerakan normal dinding

dada dan ventilasi sehingga menimbulkan resiko tambahan menyebabkan

atelaktasis. Pada beberapa kasus, blok saraf intercostals diindikasikan untuk

membantu mengatasi nyeri yang luar biasa (Sean, 2006).

2. Pneumothoraks

Pneumothoraks adalah pengumpulan udara yang abnormal didalam rongga

pleura, yang dapat disebabkanoleh trauma tumpul dan trauma tembus,

bahkan bisa juga terjadi secara spontan. Pneumothorak dapat menyebabkan

kolapsnya paru (dalam drajat apapun) pada sisi thoraks yang sakit serta

berpotensi mengurangi oksigenasi dan ventilasi. Pneumothorak terbuka,

dikanal juga sebagai pneumothoraks komunikan, disebabkan oleh trauma

tembus ysng merusak integritas dinding dada dan pleura pasien,

mengakibatkan udara masuk ke rongga pleura sehingga menimbulkan

kolaps paru. Pneumaothorak sederhana, tertutup, atau non-komunikan, yang

dapat terjadi akibat trauma tumpul, ditandai dengan dinding dada yang intak.

Pneumothoraks desak terjadi kalau ada katup jaringan satu-arah yang dapat

terbentuk akibat trauma yang menembus dinding dada atau parenkim paru.

Selama proses pernafasan, udara terdorong masuk ke rongga pleura, tetapi

tidak bisa keluar lagi. Makin lama proses ini berlangsung, tekanan

intrapleura di sisi yang sakit makin meninggi sehingga menimbulkan

desakan pada paru. Struktur-struktur mediastinal terdesak dan tergeser ke

sisi thoraks kontralateral, desakan mediastinum ini menurunkan aliran balik

darah yang menuju jantung sehingga curah jantung berkurang. Sebagian

5

Page 6: Tpp Blok 20 Dera

paru sisi kontralateral juga terdesak sehingga makin mengurangi oksigenasi

dan ventilasi. Situasi ini bisa dengan cepat mengakibatkan henti jantung dan

henti nafas bila tidak segera terdeteksi dan tertangani (Sean, 2006).

Evaluasi klinis gambaran klinis pada pasien dapat bevariasi, dari

asimptomatik hingga dispnea berat tergantung pada luas bagian paru yang

kolaps atau jaringan yang cedera. Di sisi dada yang sakit, dapat ditemukan

perlemahan suara nafas dan bunyi perkusi hipersonor. Pneumothoraks desak

ditandai dengan deviasi trakea, distensi vena jugularis, gawat nafas,

takikardia, hipotensi, hilangnya suara nafas di sisi dada yang sakit, bunyi

hipersonor pada perkusi, dan sianosis. Oksigen sungkup, oksimeter denyut,

dan monitor jantung harus dipasang pada semua pasien yang dicurigai

mengalami pneumothoraks (tipe apapun), pemeriksaan foto thoraks juga

mesti dikerjakan sesegera mungkin (Sean, 2006).

Tatalaksana awal untuk pneumothoraks desak berupa dekompresi cepat pada

sisi dada yang sakit dengan menusukkan jarum ukuran 14 di sela iga kedua

pada linea midclavikularis. Dekompresi dikatakan berhasil bila udara

terdorong ke luar lewat jarum diikuti perbaikan gejala pasien. Setelah itu,

untuk tatalaksana definitive, selang torakostomi mesti dipasang dan di

sambungkan ke sistem penyalur sekat air (WSD). Pada kasus pneumothorak

terbuka atau komunikans, penatalaksanaan awal harus berupa pemasangan

balut tekan steril yang menutupi defek jaringan pada dinding dada pasien.

Dari keempatsisi balut tekan ini, hanya tiga sisi yang ditempelkan sehingga

berfungsi seperti katup : memungkinkan keluarnya udara sewaktu ekspirasi

dan mencegah masuknya udara saat inspirasi (Sean, 2006).

2.2 Trauma esofagus

Jarang terjadi pada trauma tumpul. Luka tusuk yang merobek esofagus akan

menyebabkan kematian karena mediastinitis. Keluhan pasien berupa nyeri tajam

yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak nafas,

sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat. (Primary care

foundation, 2011).

6

Page 7: Tpp Blok 20 Dera

2.3 . Trauma Kepala

2.3.1 Definisi Trauma Kapitis

Secara anatomi kepala terdiri dari kulit kepala (scalp) (Snell, 2006). Tulang

tengkorak, meningen, otak, Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap

kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan

gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial

baik temporer maupun permanen (Asrini, 2008).

2.3.2. Mekanisme dan Patofisiologi Trauma Kapitis

a. Akselerasi

Bila kepala yang bergerak ke suatu arah atau kepala sedang dalam keadaan

tidak bergerak , tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan gerakan

kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah

tersebut.  Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat, jaringan

otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah yang sama.

Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Pada

peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar tengkorak serta

terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak.

Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan laserasi pada bagian bawah

jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena–vena kecil

yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (bridging veins) (Anonim,

2013).

b. Deselerasi.

Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh

suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan

terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan) secara

mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya, jaringan otak

masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya karena

menabrak tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang

sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan serupa

seperti pada mekanisme akselerasi (Anonim, 2013).

7

Page 8: Tpp Blok 20 Dera

c. Rotasi

Batang otak (brain stem) terletak di bagian tengah jaringan otak dan

berjalan vertikal ke arah foramen magnum sehinga otak seolah-olah terletak

pada sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya

mendadak yang membentuk sudut terhadap arah gerak kepala, misalnya

pada bagian frontal atau pada bagian oksipital maka otak akan terputar pada

sumbunya. Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian

bawah jaringan otak dan kerusakan pada batang otak (Anonim, 2013).

2.3.3 Klasifikasi Trauma Kapitis

Cidera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yaitu

berdasarkan mekanisme, beratnya dan morfologi (ATLS, 2004).

a. Mekanisme cidera kepala

Cidera otak dibagi atas cidera tumpul dan cidera tembus. Cidera

tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh

atau pukulan benda tumpul. Sedangkan cidera tembus disebabkan oleh luka

tembak ataupun tusukan (Asrini, 2008).

b. Beratnya cidera kepala

GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan secara umum dalam

deskripsi beratnya penderita cidera otak (Asrini, 2008).

Berdasarkan beratnya cidera kepala dibagi menjadi 3 yaitu :

1) Cidera kepala ringan

GCS antara 15-13, pasien stabil dan sadar, tidak ada muntah, dapat

mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala dan pemeriksaan

lainnya normal (Asrini, 2013).

2) Cidera kepala sedang

GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam,

dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan, dua atau lebih

episode muntah, sakit kepala persisten, kejang singkat (kurang dari

2menit) satu kali segera setelah trauma, dapat mengalami luka lecet,

8

Page 9: Tpp Blok 20 Dera

hematoma, atau laserasi di kulit kepala dan pemeriksaan lainnya

normal (Asrini, 2013).

3) Cidera kepala berat

GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai

kontusio, laserasi atau adanya hematoma dan edema serebral. terdapat

kebocoran LCS dari hidung atau telinga, tanda-tanda neurologis lokal

(pupil anisokoria), terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan

intracranial berupa herniasi unkus yaitu dilatasi pupil ipsilateral akibat

kompresi nervus okulomotor, herniasi sentral yaitu kompresi batang

otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi, trauma kepala yang

berpenetrasi dan dapat terjadi kejang (selain kejang singkat satu kali

segera setelah trauma) (Asrini, 2013).

Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)

Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan 4

Mata membuka setelah diperintah 3

Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1

Best Motor Response

Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (decorticate) 3

Ekstensi (decerebrasi) 2

Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun 1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar 5

Salah menjawab pertanyaan 4

Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai 3

9

Page 10: Tpp Blok 20 Dera

Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya 2

Tidak ada jawaban 1

Jumlah 1

5

c. Morfologi cidera kepala

1) Fraktur Cranium

Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linier atau bintang/stelata dan dapat pula terbuka atau tertutup.

Untuk memastikannya harus dilakukan CT scan dengan teknik bone

window untuk memperjelas garis frakturnya. Tanda-tandanya antara

lain raccoon eyes, ekimosis retroaurikule (battle sign), rhinorrhea,

otorrhea, paresis nervus facialis dan gangguan pendengaran (Asrini,

2008).

2) Lesi intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difus, walaupun

kedua jenis ini sering terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi fokal

adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural dan perdarahan

intracerebral (Asrini, 2013).

a) Perdarahan Epidural (Epidural Hemorrhage–EDH)

Perdarahan ini disebabkan karena fraktur di daerah temporal

yang memutuskan arteri meningea. Darah dengan segera akan

terkumpul di rongga di antara duramater dan tulang tengkorak.

Darah ini akan menekan jaringan otak ke arah medial dan

menyebabkan penekanan terhadap nervus III sehingga pupil akan

melebar (midriasis) dan perangsangan cahaya pada pupil mata ini

tidak akan menggerakkan musculus ciliaris (rangsang cahaya

negatif). Epidural hematoma harus segera di operasi

(craniotomy) (Asrini, 2013).

Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematoma ialah

adanya lucid interval. Pada waktu baru terjadi trauma kapitis,

10

Page 11: Tpp Blok 20 Dera

penderita tetap berada dalam keadaan sadar bahkan masih

mampu menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam kemudian

(biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai menurun, kedua

pupil akhirnya berdilatasi penuh dan rangsang cahaya pada kedua

mata menjadi negatif dan penderita meninggal (Asrini, 2013).

Tenggang waktu antara kejadian trauma kapitis dan mulai

timbulnya penurunan kesadaran disebut lucid interval. Kedua

pupil yang berdilatasi penuh dengan rangsang cahaya yang

negatif menujukkan keadaan yang disebut herniasi tentorial.

Herniasi tentorial terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial

dimana batang otak terdesak kearah caudal dan akhirnya

terperangkap oleh tentorium (Asrini, 2013).

b) Perdarahan Subdural (Subdural Hemorrhage–SDH)

Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan otak dan di

bawah duramater biasanya di daerah parietal. Perdarahan ini

dapat terjadi karena mekanisme rotasi maupun mekanisma

aselerasi–deselerasi kepala sehingga memutuskan bridging veins

(vena-vena yang menghubungkan permukaan jaringan otak dan

duramater) atau pecahnya pembuluh– pembuluh cortical jaringan

otak baik arteri maupun vena yang berada pada permukaan otak

(Asrini, 2013).

Bila terjadi akut segera setelah trauma kapitis ini menunjukkan

suatu trauma kapitis yang cukup berat. Kasus perdarahan

subdural akut (acute SDH) memerlukan tindakan operasi segera

(Asrini, 2013).

Pada perdarahan subdural manifestasi klinik timbul setelah 2–3

minggu setelah trauma kapitis, terdapat sakit kepala, kelemahan

anggota gerak sesisi dan bahkan penurunan kesadaran. Keadaan

ini disebut perdarahan subdural kronis (chronic SDH). Dengan

melakukan operasi membuang darah tersebut, penderita akan

segera pulih kembali (Asrini, 2013).

11

Page 12: Tpp Blok 20 Dera

c) Perdarahan Intracerebral (Intracerebral Hemorrhage–ICH)

Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah di dalam

jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan kesadaran .

Tergantung dimana letak perdarahan, operasi dapat menolong

penderita tetapi biasanya dengan cacat yang menetap (Asrini,

2013).

Perdarahan juga dapat terjadi di dalan sistem ventrikel disebut

perdarahan intraventrikular (Intraventricular Hemorrhage–IVH).

Darah akan menyumbat sistem ventrikel sehingga liquor

cerebrospinal tidak dapat mengalir dan terkumpul di dalam

sistem ventrikel dan menyebabkan sistem ventrikel melebar dan

mengandung banyak cairan sehingga terjadi  hydrocephalus. Bila

perdarahan cukup banyak maka seluruh fungsi jaringan otak akan

terganggu (Asrini, 2013).

Sedangkan yang termasuk lesi difus adalah sebagai berikut :

a) Diffused Axonal Injury (DAI)

Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik

akson secara cepat. Lebih dari 48 jam kerusakan lebih lanjut

terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang

menyebabkan influís Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade

fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dapat berperanan

dalam hal ini. Dengan adanya gen APOE tergantung dari tingkat

keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan

sampai kematian (Asrini, 2013).

DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan

kecacatan menetap dan vegetative state, 35-50% berakhir dengan

kematian. Dalam proses biomekanis DAI terjadi karena adanya

proses deselerasi (Asrini, 2013).

b) Iskemia serebral

Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan

disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang

12

Page 13: Tpp Blok 20 Dera

terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah

tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya

autoregulasi, Penyebab iskemia serebral adalah lesi massa yang

menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh

darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.

Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion

basalis dan batang otak (Asrini, 2013).

c) Komusio serebri 

Komusio serebri merupakan bentuk trauma kapitis ringan,

dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain

mungkin termasuk pusing. Berdasarkan atas lokasi benturan, lesi

dibedakan atas koup kontusio dimana lesi terjadi pada sisi

benturan dan tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam

biasanya terjadi lesi koup, sedang bila kepala dalam keadaan

bebas bergerak akan terjadi kontra koup (Asrini, 2013).

2.3.4 Pembagian Trauma Kapitis

a. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan ada riwayat

trauma kapitis, tidak pingsan, gejala sakit kepala dan pusing dan umumnya

tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan

cukup istirahat (Harsono, 2005).

b. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung

tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala yang tidak disertai kerusakan

jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin

muntah dan tampak pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar

pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada

commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde yaitu

hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya

kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di

13

Page 14: Tpp Blok 20 Dera

lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto

tengkorak, EEG dan pemeriksaan memori (Harsono, 2005).

c. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam

jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata meskipun

neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk

terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu

juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi

yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala.

Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat sehingga

menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis

difus. Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dan karena itu

kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi

contusio di daerah coup, contrecoup dan intermediate menimbulkan gejala

deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan

kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali penderita biasanya

menunjukkan organic brain syndrome (Harsono, 2005).

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang

beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh

darah cerebral terganggu sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah

menjadi rendah dan nadi menjadi lambat atau menjadi cepat dan lemah.

Juga karena pusat vegetatif terlibat maka rasa mual, muntah dan gangguan

pernafasan bisa timbul (Harsono, 2005).

Pemeriksaan penunjang seperti CT-scan berguna untuk melihat letak lesi

dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan

antiserebral edema, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan

perawatan 7-10 hari (Harsono, 2005).

d. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan

piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan

14

Page 15: Tpp Blok 20 Dera

subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat

dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung (Harsono, 2005).

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan

oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur

depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh

deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis (Harsono, 2005).

e. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa

posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang

terkena.

1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala hematom kacamata

tanpa disertai subkonjungtival bleeding, epistaksis dan rhinorrhoe.

2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala hematom

retroaurikuler, ottorhoe dan perdarahan dari telinga

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya

harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah

infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih

dari 6 hari (Harsono, 2005).

2.3.5 Manifestasi Klinis Trauma Kapitis

a. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala ringan

Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat, sakit

kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan muntah, gangguan

tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri dan

letargi (Anonim, 2013).

b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala berat

Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di

otak menurun atau meningkat, perubahan ukuran pupil (anisokoria), triad

cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

(Anonim, 2013).

c. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosis

15

Page 16: Tpp Blok 20 Dera

Battle sign (warna biru atau ekimosis di belakang telinga di atas os

mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),

periorbital ekimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung),

rinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), ottorhoe (cairan

serebrospinal keluar dari telinga) (Anonim, 2013).

2.3.6 Diagnosis Trauma Kapitis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan sebagai berikut :

a. Periksa kesadaran penderita (GCS)

b. Pemeriksaan pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.

Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah

abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya

penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu

terhadap cahaya merupakan akibat dari cedera kepala (Asrini, 2008).

c. Periksa jalan nafas penderita

d. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf

perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa

(Asrini, 2008).

e. Pemeriksaan scalp dan tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar.

Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan adanya fraktur yang

bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar (Asrini, 2008).

f. Pemeriksaan penunjang yaitu :

1. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari

dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan dapat mengidentifikasi

fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat

digunakan bila CT scan tidak ada (Asrini, 2008).

2. CT-Scan

16

Page 17: Tpp Blok 20 Dera

CT scan harus dilakukan secepat mungkin, segera setelah hemodinamik

normal.

CT scan penting dalam memperkirakan prognosis cedera kepala berat

(Asrini, 2008).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam

menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan

batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan

bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer atau terdapat lesi

batang otak pada pemeriksaan MRI mempunyai prognosa yang buruk

untuk pemulihan kesadaran walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal

normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Asrini, 2008).

2.3.7 Penatalaksaan Trauma Kapitis

a. Penatalaksanaan non operatif

1. Primary survey dan resusitasi

Primary survey dan resusitasi berupa airway dan breathing. Terhentinya

pernafasan sementara sering terjadi pada cidera otak dan dapat

mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera

dilakukan pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen

100%. Kemudian sirkulasi, hipotensi biasanya disebabkan oleh cidera otak

itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana medula oblongata sudah

mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan

syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan

stabilisasi untuk mencapai euvolemia. Pemberian cairan untuk mengganti

volume yang hilang (Lindsay, 1997).

2. Secondary survey

Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakukan untuk deteksi dini

adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal

(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya

(Lindsay, 2997).

17

Page 18: Tpp Blok 20 Dera

3. Terapi medikamentosa

Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah terjadinya

kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cidera. Prinsip

dasarnyaadalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk

pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali (Lindsay,

1997).

a) Cairan intravena

Bertujuan untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan

normovolemi. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan

garam fisiologi yaitu Ringer laktat (Lindsay, 1997).

b) Hiperventilasi

Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan

menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi

yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia

otak akibat terjadinya vasokontriksi serebri berat sehingga menimbulkan

gangguan perfusi otak. PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih.

Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg) (Lindsay,

1997).

c) Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial yang

meningkat. Dosis yang dipakai 1g/kgBB diberikan secara bolus intravena.

Indikasi karena pemakaian manitol adalah deteriosasi neurologis yang akut

seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran.

Manitol menurunkan tekanan atau volume cairan cerebrospinal dengan

cara meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini, air dari cairan

otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam ruangan ekstrasel

(Lindsay, 1997).

d) Furosemid atau lasix

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosisnya

adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan

18

Page 19: Tpp Blok 20 Dera

dengan manitol karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang

efek osmotik serum manitol (Lindsay, 1997).

e) Barbiturat

Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat lain.

Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi (Lindsay,

1997).

f) Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan 15%

pada cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi terjadinya

kejang dalam minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara

intravena dengan kecepatan pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan

biasanya 100mg/8 jam (Lindsay, 1997).

b. Penatalaksanaan operatif

1. Luka kulit kepala

Hal yang terpenting adalah membersihkan luka sebelum melakukan

penjahitan. Debridement yang tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka

kepala. Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan,

kauterisasi atau ligasi pembuluh darah besar. Jahit, pasang klips atau staples.

Inspeksi apakah ada fraktur tengkorak atau benda asing (Lindsay, 1997).

2. Fraktur impresi tengkorak 

Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup kulit

kepala yang laserasi (Lindsay, 1997).

3. Lesi massa intrakranial

Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Burrhole pada kranium untuk

eksplorasi atau evakuasi hematom (Lindsay, 1997).

c. Teknik operasi

1. Kraniotomi atau trepanasi

Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala

yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.

Secarasementara membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya

bisadilakukan pengeluaran dari bekuan darah SDH atau EDH. Bone flap di

19

Page 20: Tpp Blok 20 Dera

dapat dengan mengebor empat titik pada kranium dan membuat garis linear

yang menghubungkan empat titik tersebut sehingga terbentuk bone flap

(Lindsay, 1997).

2. Burrhole

Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada tempat lesi atau tempat

adanya bekuan darah EDH dan mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan

hanya membuat satu lubang pada tempat lesi (Lindsay, 1997).

2.3.8 Komplikasi Trauma Kapitis

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dalam jangka pendek dapat berupa

hematom epidural, hematom subdural, perdarahan intraserebral dan oedema

serebri. Sedangkan untuk komplikasi jangka panjang dapat berupa gangguan

neurologis seperti gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N.

VIII, disfagia dan kadang terdapat hemiparese, sindrom pasca trauma seperti

palpitasi, hidrosis, konsentrasi berkurang, mudah tersinggung, sakit kepala,

kesulitan belajar, mudah lupa, dll (Harsono, 2005).

2.3.9 Prognosis Trauma Kapitis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar terutama

pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki

nilai prognostik yang besar yaitu pada pasien dengan skor GCS 3-4 memiliki

kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada

pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5

– 10% (Harsono, 2005).

2.4 Trauma Abdominal

2.4.1 Pengertian

Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional

(dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera

fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah

penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun.

20

Page 21: Tpp Blok 20 Dera

Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma

tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,

2001).

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma

tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,

2001). Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan

atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan /penatalaksanaan

lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).

2.4.2 Etiologi dan klasifikasi

1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga

peritonium).Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.

2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).

Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau

sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).

2.4.3 Patofisiologi

Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau

sabuk pengaman (set-belt)-trauma abdomen- :

1. Trauma tumpul abdomen

a. Kehilangan darah.

b. Memar/jejas pada dinding perut.

c. Kerusakan organ-organ.

d. Nyeri

iritasi cairan usus

2.trauma tembus abdomen

a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

b. Respon stres simpatis

c. Perdarahan dan pembekuan darah

d. Kontaminasi bakteri

e. Kematian sel

21

Page 22: Tpp Blok 20 Dera

  1 & 2 menyebabkan :

Kerusakan integritas kulit

Syok dan perdarahan

Kerusakan pertukaran gas

Risiko tinggi terhadap infeksi

Nyeri akut (FKUI, 1995).

2.4.4 Tanda dan gejala

1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga

peritonium):

a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

b. Respon stres simpatis

c. Perdarahan dan pembekuan darah

d. Kontaminasi bakteri

e. Kematian sel

2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).

a. Kehilangan darah.

b. Memar/jejas pada dinding perut.

c. Kerusakan organ-organ.

d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding

perut.

e. Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).

2.4.5 Komplikasi

Segera : hemoragi, syok, dan cedera, lambat : infeksi (smeltzer, 2001).

2.4.6. Pemeriksaan Diagnostik

22

Page 23: Tpp Blok 20 Dera

1. Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus

besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan

kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.

2. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.

3. Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.

4. Ivp/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma

saluran kencing.

5. Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang

diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut

yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan

menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding

perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan

menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.

6. lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan

memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan

kedalam rongga peritonium (fkui, 1995).

2.4.6 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE

2. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.

3. Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin

yang keluar (perdarahan).

4. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika

terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps

visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara

bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga

perut) (fkui, 1995).

Manajemen keperawatan

a. Pengkajian

pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan

secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).

23

Page 24: Tpp Blok 20 Dera

Pengkajian pasien trauma abdomen (smeltzer, 2001) adalah meliputi :

1. Trauma tembus abdomen

a. Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ;

kekuatan tumpul (pukulan).

b. Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk,

memar, dan tempat keluarnya peluru.

c. Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga

perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal

keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya

dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).

d. Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi,

nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus,

hipotensi dan syok.

e. Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi

cedera yang berkaitan.

f.Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.

2. Trauma tumpul abdomen

a. Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak

akurat, atau salah). Dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal

sebagai berikut :

• metode cedera.

• waktu awitan gejala.

• lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita

ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain

yang digunakan.

• waktu makan atau minum terakhir.

• kecenderungan perdarahan.

• penyakit danmedikasi terbaru.

• riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.

• alergi.

24

Page 25: Tpp Blok 20 Dera

b. Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi

masalah yang mengancam kehidupan.

Penatalaksanaan kedaruratan

1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi)

sesuai indikasi.

2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat

menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan

menimbulkan hemoragi masif.

a) pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem

saraf.

b) jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.

c) gunting baju dari luka.

d) hitung jumlah luka.

e) tentukan lokasi luka masuk dan keluar.

3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera

abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.

4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan

dilakukan.

a) berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka

dada.

b) pasang kateter iv diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan

memperbaiki dinamika sirkulasi.

c) perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ;

ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.

d) dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat

perdarahan.

5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu

mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga

peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.

6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin

basah untuk mencegah nkekeringan visera.

25

Page 26: Tpp Blok 20 Dera

a) fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.

b) tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik

dan muntah.

7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya

hematuria dan pantau haluaran urine.

8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine,

pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai

hematokrit, dan status neurologik.

9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat

ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.

10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium

pada kasus luka tusuk.

a) jahitan dilakukan disekeliling luka.

b) kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.

c) agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah

penetrasi peritonium telah dilakukan.

11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.

12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat

menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri

eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan

terapeutik (infeksi nosokomial).

13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,

kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau

hematuria.

2.5 Trauma Spinal (Tulang Belakang)

Kejadian kerusakan syaraf akibat trauma ganda ternyata lebih sering

daripada yang diperkirakan. Kerusakaan yang sering terjadi adalah pada syaraf

jari, plexus brachialis dan sumsum tulang belakang (medula spinalis) (Primary

care foundation, 2011).

Prioritas pengelolaan selalu mengikuti Primary Survey serta urutan ABCDE :

26

Page 27: Tpp Blok 20 Dera

1. A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang leher

(cervical spine)

2. B-Breathing, bantuan pernafasan

3. C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan darah

4. D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat

5. E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara lengkap semua

kerusakan pada tubuh dan ekstremitas. Pemeriksaan korban trauma tulang

belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa melakukan fleksi,

ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).

6. Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling”

Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line

immobilization, memasang stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan

kepala.

7. Transportasi korban dilakukan dalam posisi netral Bila terdapat trauma

tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan sumsum tulang

belakang, periksalah :

a. Apakah ada nyeri tekan.

b. Deformitas dan tanda “step-off” posterior

c. Pembengkakan

Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah :

a. Kesukaran bernafas (pola nafas diafragma, pola nafas paradoksal)

b. Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani)

c. Hipotensi dengan bradikardia. (Primary care foundation, 2011).

2.6. Trauma Ekstemitas

2.6.1 Manifestasi klinis

27

Page 28: Tpp Blok 20 Dera

Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan yaitu nyeri terus menerus,

hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,

pembengkakan lokal dan perubahan warna (Usman, 2013).

2.6.2 Klasifikasi Trauma Ekstremitas

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.

Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau

terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (Usman,

2013).

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis baik yang bersifat total maupun yang parsial. Tulang mempunyai

daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai. Apabila trauma melebihi

dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang). Penyebab terjadinya

fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang

abnormal (Usman, 2013).

Adapun jenis-jenis fraktur sebagai berikut :

1) Complete fraktur (fraktur komplet) yaitu patah pada seluruh garis tengah

tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi

tulang.

2) Closed frakture (simple fracture) yaitu tidak menyebabkan robeknya kulit

dan integritas kulit masih utuh.

3) Open fracture (compound frakture/ komplikata/ kompleks) yaitu fraktur

dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol

sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

Fraktur terbuka digradasi menjadi grade I luka bersih dengan panjang

kurang dari 1 cm, grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak

yang ekstensif dan grade III sangat terkontaminasi, dan mengalami

kerusakan jaringan lunak ekstensif.

4) Greenstick yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi

lainnya membengkok.

28

Page 29: Tpp Blok 20 Dera

5) Transversal yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.

6) Oblik yaitu fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

7) Spiral yaitu fraktur memuntir seputar batang tulang.

8) Komunitif yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

9) Depresi yaitu fraktur dengan frakmen patahan terdorong ke dalam (sering

terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).

10) Avulsi yaitu tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada

perlekatannya.

11) Epifisial yaitu fraktur melalui epifisis.

12) Impaksi yaitu fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

lainnya (Usman, 2013).

2.6.3 Pembagian Trauma Ekstremitas dan Penatalaksanaannya

1) Patah tulang tertbuka dan Trauma Sendi

Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan

lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami cedera dan beratnya kerusakan

jaringan lunak ini akan berbanding lurus dengan energi yang menyebabkannnya.

Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri, menyebabkan patah tulang terbuka

mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi

(ATLS, 2004).

Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma  dan pemeriksaan fisik

ekstremitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa

kerusakan luas otot, serta kontaminasi. Pengelolaan didasarkan atas riwayat

lengkap kejadian dan pemeriksaan trauma. Jika terdapat luka terbuka didekat

sendi, harus dianggap luka ini  berhubungan dengan alat masuk  kedalam sendi

dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau

cairan untuk membuktikan   rongga sendi berhubungan dengan   luka atau tidak.

Cara terbaik membuktikan hubungan luka terbuka dengan sendi adalah eksplorasi

bedah dan pembersihan luka (ATLS, 2004) .

29

Page 30: Tpp Blok 20 Dera

Adanya patah tulang  atau  trauma sendi terbuka harus segera dapat

dikenali. Setelah deskripsi luka atau trauma jaringan lunak  serta menentukan ada 

atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma syaraf maka segera dilakukan

imobilisasi (ATLS, 2004).

2) Trauma vaskuler termasuk amputasi traumatika

Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskuler yang

menyertai trauma tumpul, remuk, trauma tembus ekstremitas. Pada mulanya

ekstremitas mungkin masih tampak hidup karena sirkulasi kolateral yang

mencukupi aliran secara retrograd. Trauma vaskuler parsial menyebabkan

ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi melemah.

Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat, dan nadi tak teraba

(ATLS, 2004).

Ekstremitas yang avaskuler secara akut harus segera dapat dikenal dan

ditangani segera. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan

nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat sensitive terhadap keadaan tanpa

oksigen. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran

darah pada ekstremitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi di

sertai fraktur, harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai

(ATLS, 2004).

Jika terdapat gangguan vaskuler ekstremitas trauma setelah dipasang bidai

atau gips, tanda-tandanya adalah menghilangnya atau melemahnya pulsasi. Bidai,

gips dan balutan yang menekan harus dilepaskan dan vaskularisasi dievaluasi

(ATLS, 2004).

3) Sindroma Kompartemen

Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat dimana otot dibatasi

oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagi

lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan

bawah, tangan, dan paha. Sindroma kompartemen terjadi bila tekanan diruang

osteofasial menimbulkan iskemia dan berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi

karena peningkatan isi kompartemen akibat udema yang timbul akibat

30

Page 31: Tpp Blok 20 Dera

revaskularisasi sekunder dari ekstremitas yang iskemi, atau karena penurunan isi

kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalnya dari balutan yang

menekan (ATLS, 2004).

Gejala dan tanda sindroma kompartemen adalah nyeri bertambah dan

khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot, parestesi di

daerah distribusi saraf ferifer yang terkena, menurunnya sensasi atau hilangnya

fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut, tegang serta bengkak di

daerah tersebut. Pulsasi di daerah distal biasanya masih teraba. Kelumpuhan atau

parase otot dan hilanngnya pulsasi (disebabkan oleh tekanan kompartemen

melebihi tekanan sitolik) merupakan tindak lanjut dari sindroma kompartemen

(ATLS, 2004).

Penatalaksanaannya yaitu dibuka semua balutan yang menekan gips dan

bidai. Penderita harus diawasi dan diperiksa setiap 30 sampai 60 menit. Jika tidak

terdapat perbaikan, fasciotomi diperlukan. Sindroma kompartemen merupakan

keadaan yang ditentukan oleh waktu. Jika terlambat melakukan fasiotomi

menimbulkan mioglobinemia, yang dapat menimbulkan menurunnya fungsi ginjal

(ATLS, 2004).

4)    Trauma Neurologi akibat fraktur-dislokasi

Fraktur atau dislokasi dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan

hubungan anatomi atau dekatnya posisis saraf dengan persendian, misalnya

nervus iskhiadikus dapat tertekan oleh dislokasi posterior sendi panggul  atau

nervus aksillaris oleh dislokasi posterior sendi bahu. Kembalinya fungsi hanya

akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara cepat (ATLS, 2004).

Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan depormitas  dari ekstremitas.

Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita, setiap saraf ferifer

yang besar di periksa fungsi motorik dan sensorik (ATLS, 2004).

Ekstremitas yang cedera harus segera di immobilisasi dalam posisi

dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika terdapat indikasi dan dokter

yang menangani mempunyai kemampuan reposisi dapat dicoba secara berhati-hati

setelah reposisi (ATLS, 2004).

5) Kontusio dan laserasi

31

Page 32: Tpp Blok 20 Dera

Kontusio dan laserasi sederhana harus diperiksa untuk menyingkirkan

trauma vaskuler dan saraf. Secara umum laserasi memerlukan penutupan luka. Jika

laserasi meluas  sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk

membersihkan  luka dan memeriksa struktur-struktur dibawahnya yang rusak.

Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi

menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Penderita tidak dapat

mempergunakan ootot itu dan terjadi penurunan fungsi karena nyeri (ATLS, 2004).

Kontusio diobati dengan istirahat dan pemakaian kompres dingin pada

fase awal. Hati-hati akan luka kecil terutama akibat crush injury, jika ekstremitas

menderita beban sangat besar dan sangat perlahan, vaskularisasi akan terganggu

dan kerusakan otot akan  terjadi walaupun ditemukan luka yang hanya kecil saja.

(ATLS, 2004)

2.6.4 Komplikasi Trauma Ekstremitas

Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu apabila tidak ditangani dengan

segera maka akan menimbulkan kerusakan yang permanen. Selain itu juga dapat

menyebabkan adanya kemungkinan infeksi (Usman, 2013).

2.6.5 Prognosis Trauma Ekstremitas

Prognosis pada kasus trauma ekstremitas yaitu tergantung berat ringannya

trauma dan tatalaksana yang diberikan. Jika ditatalaksana dengan baik dan tepat

maka prognosisnya akan baik pula (dubia ad bonam) (Usman, 2013).

2.7. Trauma Pelvis

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan

jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun

terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien

dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang

mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.

Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur

32

Page 33: Tpp Blok 20 Dera

pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis

berkekuatan-tinggi rangkaian besar (Hak,2009).

Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan

intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis

membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah

umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,

penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat

dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli

bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan

untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat

pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama

terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan

adalah penting bagi semua dokter yang terlibat (Hak,2009).

2.8 Pasca Trauma ( Rehabilitasi, Gejala Sisa, Dampak, Psikologi,

Pengobatan)

2.8.1 Trauma kepala

A. Gejala sisa

Kecacatan post trauma kapitis yang sering ditemukan adalah gangguan

kortikal luhur. Pemeriksaan kortikal luhur sering tidak dilakukan karena

belum didasari adanya gangguan fungsi kortikal luhur ini. Padahal banyak

gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur ini yang dapat menurunkan

kualitas hidup post trauma kapitis. Cedera kepala dapat menimbulkan

berbagai sequelae jangka pendek maupun jangka panjang meliputi

gangguan kognitif, behavioral, dan keterbatasan fisik. Berbagai gejala

dapat dijumpai mulai dari yang tidak jelas terlihat sampai gangguan

intelektual dan emosional berat. Gejala neuropsikiatri yang berhubungan

dengan cedera kapitis meliputi gangguan kognitif, gangguan mood,

anxiety, psikosis,atensi, bahasadan gangguan behavioral (Zainuddin dkk,

2014).

B. Rehabilitasi

33

Page 34: Tpp Blok 20 Dera

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu

lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi

psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik

a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada

lengan atas dan bawah tubuh.

b. Perlengkapan splint dan kaliper

c. Transplantasi tendon

2.Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya

dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.

Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari

ketidakpastian financial, social serta seksual yang semuanya

memerlukan semangat hidup.

3.Rehabilitasi Sosial

a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,

perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur

sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.

b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan

masyarakat) ( Nasution, 2010).

BAB III

METODE PELAKSANAAN

34

Page 35: Tpp Blok 20 Dera

3.1. Tempat Pelaksanaan

Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

3.2. Waktu Pelaksanaan

Hari dan Tanggal : , September 2014.

3.3. Subjek Tugas Mandiri

Mengunjungi pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang.

3.4. Instrumen Kegiatan

Instrumen kegiatan merupakan peralatan untuk mendapatkan data sesuai

dengan tujuan kegiatan. Dalam kegiatan ini peralatan yang digunakan untuk

pengambilan data beserta pendukungnya adalah:

1. Alat Tulis

Alat tulis digunakan untuk mencatat hasil ekplorasi kasus

trauma/pascatrauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

2. Kamera handpone

Kamera digunakan untuk dokumentasi, yakni sebagai bukti bahwa

mahasiswa telah melaksanakan tugas pengenalan profesi.

3. Komputer/Laptop

Komputer / Laptop digunakan sebagai sarana pembuatan proposal dan

laporan akhir kegiatan.

3.5 Langkah Kerja

3.5.1. Membuat proposal

3.5.2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi

(TPP).

3.5.3. Meminta izin kepada penderita untuk melakukan Tugas Pengenalan Profesi

(TPP).

35

Page 36: Tpp Blok 20 Dera

3.5.4. Mengeksplorasi pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang.

3.5.5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

3.5.6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dari data yang

sudah didapat

3.6. Pengumpulan data

Melakukan eksplorasi dan kunjungan pasien trauma/pasca trauma di

Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

3.7. Pengolahan data

Analisis deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakukan dengan cara

membandingkan teori dan data di lapangan.

3.8 Jadwal Kegiatan

Pada tabel dibawah ini dapat dilihat jadwal pelaksanaan tugas pengenalan

profesi Blok XX .

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan TPP

No Jenis Kegiatan (Blok XX)

Minggu I Minggu II Minggu III

1. Penyusunan proposal

2. Observasi

3. Pembahasan

4. Penyusunan Laporan

5. Pleno

Palembang, September 2014

Pembimbing

36

Page 37: Tpp Blok 20 Dera

dr. Milla Fadliya Bustan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

37

Page 38: Tpp Blok 20 Dera

Identitas Pasien :

Nama Riko Iskandar

Jenis kelamin Laki-laki

Usia 25 Tahun

Alamat Sekayu

Pekerjaan Buruh Giling sawit

Observasi Mahasiswa TTP

Patofisiologi trauma Pasien mengiling sawit pukul 01.30

dikarenakan posisi mengantuk lengan

tangan kanan ikut tergiling mesin.

Paien dibawa jam 4 pagi, pada hari

kamis, 11 september 2014 dibawa ke

RS Sekayu.

Manifestasi Klinis Pemeriksaan Primer (primary survey) :

tidak didapatkan data

Pemeriksaan sekunder (secondary

survey) : tidak didapatkan data

Berdasarkan hasil anamnesis yang

didapat, pasien datang, kemudian dibius

dan dijahit lengan kanannya di RS

Sekayu kemudian di rujuk ke RS

Bhayangkara.

Pemeriksaan fisik di RS Bhayangkara Palembang

Pre operasi

Keadaan umum Compos mentis

Tanda Vital Tidak ada data

Kepala Tidak ada kelainan

Leher Tidak ada kelainan

Thoraks Tidak ada kelainan

Abdomen Tidak ada kelainan

Ekstremitas superior dextra Bengkak, nyeri, jari-jari tangan tidak

38

Page 39: Tpp Blok 20 Dera

bisa fleksi/ tidak bisa digerakkan

Data tambahan Rontgen ekstremitas superior dextra

pada dorsum manus pre operasi :

Fraktur metaphalanges dextra

Post operasi

Kepala Tidak ada kelainan

Leher Tidak ada kelainan

Thoraks Tidak ada kelainan

Abdomen Tidak ada kelainan

Ekstremitas superior dextra Kempat Jari-jari tangan tidak bisa

diangkat hanya jari jempol yang bisa

diangkat.

Data tambahan Rontgen ekstremitas superior dextra

pada dorsum manus post operasi : Open

reduksi Metaphalanges

Working Diagnosis Pre operasi: Fraktur Metaphalanges

dextra

Post operasi: open reduksi

Metaphalanges

Penatalaksanaan

Di PT Pabrik penggilingan sawit Lengan tangan dibalut dengan

menggunakan Baju, pukul 4 pagi di

bawa ke RS Sekayu.

Di Rumah sakit Sekayu Pasien datang kamis 11 september 2014

pukul 4 pagi, dilakukan rontgen

ekstremitas superior dextra pada

dorsum manus: Fraktur metaphalanges

dextra, dilakukan pembiusan dan luka

dijahit sementara.

Pasien langsung ditujuk ke RS

Bhayangkara untuk dilakukan operasi.

39

Page 40: Tpp Blok 20 Dera

Di Rumah sakit Bhayangkara Preoperasi : pasien dirawat

direncanakan tindakan operasi

Post operasi : Dipasang Pembalutan dan

sudah dilepas 2 minggu pasca operasi.

Pasien diberikan obat-obatan

1. Asam mefenamat 500 mg

2. Vitamin

dan nasehat untuk menggerakkan

secara rutin tanpa berat, kemudian

bekas operasi jangan terkena air 2-3

hari.

Komplikasi Komplikasi yang mungkin dapat

ditimbulkan pada kasus ini yaitu dapat

menyebabkan adanya kemungkinan

infeksi karena menunggu luka kering 2-

3 hari.

Prognosis Prognosis untuk kasus ini yaitu dubia ad

bonam. Fungsional 6-8 minggu.

4.2 Pembahasan

Pada observasi TPP yang dilakukan pada kelompok 6, kami melakukan

observasi pada pasien fraktrur dengan identitas pasien sebagai berikut: Riko

Iskandar (LK), 25 tahun asal sekayu yang bekerja sebagai buruh giling sawit.

40

Page 41: Tpp Blok 20 Dera

Berdasarkan hasil anamnesis yang dilakukan didapatkan pasien mengalami

trauma pada ekstremitas dexrra dengan patofisologi trauma sebagai berikut :

Pasien mengiling sawit pukul 01.30 dikarenakan posisi mengantuk lengan tangan

kanan ikut tergiling mesin. Berdasarkan teori trauma tenaga fisik atau tenaga fisik

biasanya menyebabkan fraktur atau lebih dikenal dengan istilah patah tulang

(Sylvia A.Prince, 1999).

Berdasarkan hasil anamnesis yang didapat, pasien datang, di RS Sekayu

pada pukul 04.00 dengan kondisi lengan dibungkus baju kemudian dibius dan

dijahit lengan kanannya kemudian di rujuk ke RS Bhayangkara. Dari manifestasi

klinis yang didapatkan pada pemeriksaan di RS Bhayangkara pasien mengeluh

Bengkak, nyeri, jari-jari tangan tidak bisa fleksi/ tidak bisa digerakkan.

Berdasarkan teori yang didapatkan manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,

hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,

pembengkakan lokal dan perubahan warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur

menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.

Dari data tambahan yang di dapatkan : Rontgen ekstremitas superior

dextra pada dorsum manus pre operasi : Fraktur metaphalanges dextra, Post

operasi: open reduksi Metaphalanges. Berdasarkan teori untuk klasifikasi fraktur

yang dialami pada kasus ini merupakan fraktur traumatik, terjadi karena trauma

yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak

mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. kemudian secara umum

fraktur ini dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka (compound fraktur).

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengn dunia luar

melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari

dalam), atau from without (dari luar). dari hasil rontgen post operasi sudah

dilakukan reduksi Metaphalanges

Tatalaksana yang diberikan di RS Bhayangkara adalah Preoperasi : pasien

dirawat direncanakan tindakan operasi, Post operasi : Dipasang pembalutan dan

sudah dilepas 2 minggu pasca operasi. kemudian asien diberikan obat-obatan :

Asam mefenamat 500 mg, Vitamin dan nasehat untuk menggerakkan secara rutin

tanpa berat, kemudian bekas operasi jangan terkena air 2-3 hari.

41

Page 42: Tpp Blok 20 Dera

Berdasarkan teori prinsip penanganan dan pengobatan fraktur meliputi

reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengn

rehabilitasi (smeltzer,2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fungsi

fragmen tulang pada sejajarnya dan rotasi anatomis. Tahap selanjutnya setelah

fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang

dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai teradi penyatuan. imobilisasi

dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. , metode fiksasi eksterna

meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin da tekniks gips. sedangkan

implant logam digunakan untuk fiksasi interna.

Primer (primary survey) : tidak didapatkan data, pemeriksaan sekunder

(secondary survey) : tidak didapatkan data penatalaksanaan di RS sekayu.

Prinsip pengobatan fraktur

1) penatalaksanaan awal

a) pertolongan pertama

pada penderita fraktur penting dialkukan adalah pembersihan jalan nafas,

menutup luka dengan verban bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota

gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri

sebelum diangkuat ambulans

b) penilaian klinis

sebelum menilai fraktir itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,

apakah luka itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf

apakah taruma alat-alat dalam yang lain.

c) resusistasi

kebanyakan penderita fraktur multipele tib di rumah sakit dengan syok,

sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya

sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-

obatan nyeri.

pada kasus tidak mendapatkan data mengenai tatalaksanan awal yang

didapat dikarenakan pasien adalah pasien rujukan, berdasarkan anamesis

pertolongan yang didapat belum sesuai prosedur dimana pasien

mengimobilisasi sendiri fraktir dengan baju dan tidak langsung dibawa ke

42

Page 43: Tpp Blok 20 Dera

rumah sakit, pada saat datang di rukmah sakit sekayu pertolongan pertama

yang diberikan yaitu pembiusan dan penjahitan luka dilokasi fraktur serta

pasien langsung dirujuk.

2) prinsip umum pengobatan fraktur

1) jangan membuat keadaan lebih jelek

2) pengobatan berdasarkan atas diagnostik dan prognosis yang akurat

3) seleksi pengobatan dengan tujuan khusus

Komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan pada kasus ini yaitu dapat

menyebabkan adanya kemungkinan infeksi karena menunggu luka kering 2-3

hari. berdasarkan teori komplikasi fraktur dapat terjadi dini yaitu dalam satu

minggu pasca trauma atau komplikasi lanjut kejadiannya sudah satu minggu pasca

trauma , pada komplikasi dini bisa terjadi pada tulang bisa menimbulkan infeksi

terutama pada fraktur terbuka, osteomielitis, pada jaringan lunak dan otot,

pembuluh darah, pada saraf, pada komplikasi lanjut bisa terjadi delay union

(proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan normal), non union

(secara radiologis tidak terjadi penyambungan), mal union( penyambungan fraktur

tidak normal), osteomielitis, kekakuan sendi (Solomon,1993). tetapi pada kasus

tidak tejadi komplikasi karena perawatan fraktur baik sampai luka kering.

Prognosis untuk kasus ini yaitu dubia ad bonam. berdasarkan teori

perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa di lokasi phalang 3-6 minggu

untuk waktu penyembuhannya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

43

Page 44: Tpp Blok 20 Dera

5.1.1. Patofisologi trauma dapat diakibatkan tenaga fisik biasanya

menyebabkan fraktur, pada kasus patofisiologi trauma yang dialami

pada kasus adalah trauma pada lengan kanan diakibatkan ikut

tergiling mesin pengiling sawit yang menyebabkan fraktur

metaphalanges dextra, pada kasus merupakan klasifikasi fraktur

akibat trauma, dan fraktur terbuka

5.1.2. Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit,

pembengkakan, dan kelainan bentuk , pada kasus manifestasi klinis

yaitu kesadaran compos mentis dan pada ekstermitas superior dextra

tidak bisa fleksi, bengkak, serta terdapat nyeri tekan.

5.1.3. Pada Fraktur dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan

penunjang yang dilakukan pada yaitu rontgen ekstremitas superior

dextra pada dorsum manus terdapat fraktur pada metaphalanges

dextra /open reduksi metaphalanges.

5.1.4. Penatalaksanaan yang dilakukan dalam kasus yaitu dilakukan tindakan

operasi dan terapi farmakologis.

5.1.5. Fraktur dapat menimbulkan kompikasi pada kasus tidak ditemukan

adanya tanda komplikasi akibat fraktur.

5.1.6. Prognosis pada fraktur tergantung pada tatalaksana yang dilakukan,

Prognosis untuk kasus yaitu dubia ad bonam dengan massa

penyebuhan fisiologis 3-6 minggu

5.2. Saran

5.2.1 Bagi Mahasiswa

Disarankan untuk memahami landasan teori sehingga mempermudah dalam

melakukan observasi

5.2.1 Bagi Pekerja Pabrik

44

Page 45: Tpp Blok 20 Dera

Disarankan untuk senantiasa menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) dan

berhati-hati dalam bekerja agar kecelakaan akibat kerja dapat

diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Cedera kepala. diakses 20 september 2014.

Anonim. 2013. Trauma Kepala. Medan : Universitas Sumatera Utara. diakses 20

september 2014.

45

Page 46: Tpp Blok 20 Dera

American College of Surgeons Commite On Trauma 2004. ATLS 7th edition ; 4.

diakses 20 september 2014.

Asrini. 2008. Trauma Kapitis. Medan : Universitas Sumatera Utara. diakses 20

september 2014.

Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.

BPS,2011,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter

%20I.pdf, diakses 20 september 2014.

David, j. Hak. 2009. Manajemen perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam

jiwa. Jakarta, Indonesia.

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.

FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.

Gadetal,2012,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter

%20I.pdf, diakses 20 september 2014.

Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press.

Henderson, Sean O. 2006. Kedokteran Emergensi : Trauma. EGC. Jakarta.

Indonesia. Hal 509-514.

Lindsay, Kenneth. 1997. Section IV localised Neurological Disease and Its

management A Intracranial “Head Injury” Neurology and

Neurosurgery Illustrated, Third Edition. Churcil Livingston. Diakses

pada 20 September 2013.

Maegel,2010,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter

%20I.pdf, diakses 20 september 2014.

Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.

Nasution, E.S.2010.(http://repository.usu.ac.id diakses 20 September 2014).

Noname,2014,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter

%20I.pdf, diakses 9 oktober 2014.

46

Page 47: Tpp Blok 20 Dera

Primary care foundation, 2011,

http://www.primarytraumacare.org/wp-content/uploads/2011/09/PTC_IN

DO.pdf , Diakses pada 20 September 2013.

Rasjad C,2003 Rasjad. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th

Edition. Makassar : Bintang Lamupatue.

Reeves(2001),http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/207312089/

bab2.pdf, diakses 9 oktober 2014.

R, Salter. 1999. Text Book of Disorders and Injuries. Baltimore, Maryland, United

States of

America.,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter

%20I.pdf,diakses 20 september 2014.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth

Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.

SylviaA.Prince,1999,http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/

207312089/bab2.pdf, diakses 9 oktober 2014.

Smeltzer,2002),http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/

207312089/bab2.pdf, diakses 9 oktober 2014.

Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.

Jakarta : EGC.

Udeani,2013,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter

%20I.pdf, diakses 20 september 2014

Usman. 2013. Trauma ekstremitas. Diakses pada 23 Oktober 2013.

Zainuddin, S. Z., L, Kwandou, M, Akbar. A. Muis., C, Kaelan., I.J., Ganda.

2014.Hubungan amnesia post trauma kepala dengan Gangguan

neurobehavior pada Penderita cedera kepala ringan dan Sedang

(http://repository.unhas.ac.id diakses 20 September 2014).

Lampiran

47