tipologi arsitektur tradisional minahasa berdasarkan etnik ... · nitas dataran tinggi, ... nitas...
TRANSCRIPT
TEMU ILMIAH IPLBI 2015
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 217
Tipologi Arsitektur Tradisional Minahasa Berdasarkan Etnik
Tolour dan Tonsea
Vicky H. Makarau
Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi Manado
Abstrak
Minahasa tidak mengenal penduduk asli, tidak berasal dari satu asal, fakta sebaran etnik yang ada,
bahasa, corak budaya berbeda–beda. Peradaban Minahasa dipengaruhi kedatangan bangsa Portugis,
Spanyol, Belanda dan Cina dengan misi penyebaran agama dan perdagangan. Akulturasi orang
Minahasa dengan bangsa pendatang tidak secara sporadis dan merata, sebagian hanya menjadi
daerah pengaruh, bahkan tidak dipengaruhi, mengindikasikan adanya persamaan dan perbedaan
budaya demikian pula aspek kondisi geoklimatologis yang pada kenyataan juga memiliki perbedaan.
Arsitektur rumah tradisional Minahasa sebagai repesentatif dalam konteks ke Minahasa-an yang luas
(rumah panggung), perlu dieksplorasi guna pengungkapan Tipologi Arsitektur Tradisional
berdasarkan etnik, lewat proses observasi, akses data sekunder, kajian pustaka, analisis dan
interpretasi.
Kata-kunci : Tipologi arsitektur, etnik Minahasa
Pengantar
Dulu Minahasa tidak mengenal etnik, ber-
jalannya waktu adanya pengetahuan tentang
tanah, batas wilayah pemerintahan, bahasa,
karakteristik masyarakat. Minahasa dapat dibuat
suatu pembagian yang dibedakan dari empat
kewedanan utama yang terdiri dari: Daerah
Tombulu, Daerah Tonsea, Daerah Tolour dan
Daerah Toumpakewa tidak termasuk kewedanan
tambahan Bantik, Tonsawang, Ratahan, Pasan
serta Ponosakan bagian selatan, merupakan sub
etnik minoritas sebagaimana bahasa dan tata
kramanya berbeda.
Arsitektur tradisional Minahasa (rumah pang-
ung) salah satu hasil dari buah karya kebu-
dayaan ke Minahasa-an. Tradisi mendirikan se-
buah bangunan disadari merupakan sebuah
tradisi berarsitektur yang telah dilakukan oleh
para leluhur sejak jaman dahulu. Arsitektur sua-
tu etnik selalu berhubungan dengan keper-
cayaan yang dianut, iklim dan kondisi alam
setempat serta mata pencaharian (Purwestri,
2007:1). Dalam buku Vernacular Architecture
(Turan), Arsitektur vernakular adalah arsitektur
yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur
rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan
berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun
oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and
error), menggunakan teknik dan material lokal
serta merupakan jawaban atas setting lingku-
ngan tempat bangunan tersebut berada dan
selalu membuka untuk terjadinya transformasi.
Penelitian ini difokuskan pada etnik “Tolour” dan
“Tonsea”, Tolour sebagai representatif komu-
nitas dataran tinggi, Tonsea representatif komu-
nitas dataran rendah dan pesisir, dilain hal
kontak budaya (akulturasi) cendrung berbeda,
sedemikian perkembangan corak kebudayaan
berbeda.
Rumusan masalah : a) Apakah dengan adanya
perbedaan kondisi geoklimatologis dan kebu-
dayaan, berimplikasi adanya perbedaan prosesi
kultural, makna dan simbol dalam pembangunan
rumah tradisional. b) Jika ada perbedaan atau
Tipologi Arsitektur Tradisional Minahasa berdasarkan Ethnik Tolour dan Tonsea
E 218 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
ada kesamaan prosesi kultural, makna dan
simbol apakah berimplikasi adanya perbedaan
dan kesamaan perwujudan Tipologi arsitektur
bangunan tradisional etnik Tolour dan Tonsea.
Tujuan penelitian:a) Dipahaminya implikasi
perbedaan dan kesamaan prosesi kultural, ma-
kna dan simbol pembangunan rumah tradisional
etnik Tolour dan Tonsea, b). Dipahaminya
implikasi perbedaan dan kesamaan tipologi
arsitektur bangunan tradisional etnik Tolour dan
Tonsea
Metode
Metode penelitian digunakan deskripsi dan
rasionalistik, deskriptif berusaha menggambar-
kan dan menginterpretasi objek sesuai dengan
apa adanya (Best 1982). Rasionalistik merup-
akan metode dimana peneliti bertindak sebagai
instrumen utama, peneliti melakukan interview
secara mendalam dan mendetail secara silang
dan berulang untuk dapat mengetahui perkem-
bangan sosial budaya, dan bangunan tradisional
sebagai produk dari budaya serta perubahan -
perubahan yang mungkin terjadi (Moehadjir
1996). Metode Analisis menggunakan deskriptif
analisis dan rasionalistik kualitatif. deskriptif
analisis menggunakan penjelasan data berupa
kondisi objek penelitian yang telah diperoleh
melalui hasil survey lapangan, berupa hasil
pengamatan dan wawancara. Rasionalistik –
kualitatif peneliti mengumpulkan data apa ada-
nya tanpa dipengaruhi, wawancara yang ter-
struktur, tercatat, verifikasi akurasi data terus
dilaksanakan tahap demi tahap penelitian, data
konstekstual, terintegrasi dan relevansi. Subjek
diteliti berkedudukan sama dengan peneliti,
bukan sebagai objek
Analisis dan Interpretasi
Arsitektur tradisional Minahasa adalah arsitektur
yang tumbuh dari rakyat, lahir dari masyarakat
etnik dan berakar pada tradisi masyarakat etnik,
adaptasi dengan alam dan berusaha untuk
menyatu dengan alam. Norma, adat, iklim,
budaya, kepercayaan dan bahan setempat
memberikan warna tersendiri dalam pengem-
bangan asitektur tradisional atau arsitektur
rakyat. Perjalanan panjang melalui try and error
dengan local genius mampu menampilkan jati
diri arsitektur ke Minahsa-an (rumah panggung)
yang memiliki harmonisasi terhadap lingkungan
karena melalui proses adaptasi yang panjang.
Perkembangan rumah tradisional Minahasa ber-
awal dari nenek moyang dengan bangunan
sederhana dari pepohonan, dan berkembang
dibangun dengan kolong kemudian berkembang
sampai bentuk-bentuk yang langsung diatas
tanah yang identik dengan perkembangan ru-
mah tradisional Minahasa. Perkembangan rumah
tradisional Minahasa sejalan dengan perkem-
bangan pola pikir masyarakat. Masyarakat me-
nempatkan diri sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari alam, Amos Rapoport (1969)
bahwa aspek budaya dan iklim sangat mem-
pengaruhi bentuk arsitektur. Budaya dan iklim
merupakan aspek perhatian para leluhur dalam
menentukan bentuk bangunan.
Diyakini rumah tradisional sebagai wujud
arsitektur yang telah mengalami percobaan
percobaan (Rapoport,1969), juga setiap tradisi
etnik memiliki perbedaan-perbedaan sesuai
dengan alam dimana berdirinya bangunan terse-
but. Etnik Minahasa Tolour komunitas berada di
dataran tinggi sedangkan Tonsea berada data-
ran rendah sebagian area pesisir, dalam per-
kembangan kebudayaan memiliki pola akul-
turasi corak budaya berbeda, dengan sendirinya
dapat dinyatakan aspek budaya dan iklim
berbeda, kolerasinya berbedanya pende-katan
masyarakat dalam membangun rumah sebagai
artefak buah karya budaya (arsitektur tradi-
sional) yang memiliki ungkapan makna sosial
budaya masyarakat etnik setempat. Makna
dipengaruhi oleh nilai nilai budaya itu sendiri,
nilai nilai ditentukan oleh lingkungan masyarakat,
yang terdiri dari lingkungan alami dan ling-
kungan fisik buatan dan lingkungan social.
Masyarakat etnik Tolour dan Tonsea dengan
lingkungannya selalu mengalami dina-mika atau
perubahan yang menimbulkan adanya peru-
bahan pula pada nilai-nilai budaya. Selanjutnya
bahwa perubahan nilai-nilai budaya tersebut
melahirkan karya arsitektural sebagai buah
karya budaya yang selalu berubah.
Vecky H Makarau
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 219
Kata lain, perkembangan karya arsitektural
selalu mengikuti perkembangan nilai-nilai buda-
ya yang terdapat pada masyarakat yang
melahirkan perkembangan pada lingkungan fisik
dan sosial mereka.
Budaya dalam arti yang luas dianggap sebagai
pengetahuan dan nilai nilai yang diturunkan dari
generasi ke generasi dalam kelompok sosial
(Coleman, 2005). Masyarakat tiap daerah atau
tiap etnik memiliki kemampuan dan kreatifitas
yang berbeda dalam beradaptasi dengan ling-
kungan dan mengolah kebudayaan baru. Sede-
mikian bervariasinya hasil-hasil dari budaya itu,
antara lain beragamnya kekhasan arsitektur
sebagai perlambang budaya, perwujudan ben-
tuk, fungsi dan maknanya senantiasa diatur,
diarahkan, dan di tanggapi atau diberlakukan
oleh pemilik menurut kebudayaan yang dianut.
Arsitektur dibangun untuk mampu menjawab
kebutuhan manusia dan mengangkat derajat
hidup menjadi lebih baik, sehingga tidak ter-
lepas dari perkembangan kebudayaan, arsi-
tektur itu sendiri adalah buah dari pada budaya
(MarioSalvador/Ruskin-1974:12).
Kebudayaan adalah manifestasi kepribadian
masyarakat yang tercermin pada wadah aktifitas
yang berwujud arsitektur. Kebudayaan Etnik
Minahasa sendiri bukan sesuatu yang padu dan
bulat, tetapi tersusun berbagai rona elemen
budaya yang bervariasi, yang satu berbeda
dengan yang lain karena perjalanan sejarahnya
dan kondisi geoklimatologis yang berbeda.
Arsitektur sebagai tempat tinggal cendrung
dipengaruhi oleh adat, sehingga dalam pem-
buatannya tak lepas dari unsur adat atau
budaya.
Dalam konteks hubungan arsitektur etnik
Minahasa dan kebudayaan, dapat dipandang
arsitektur sebagai muara manifestasi berbagai
nilai budaya yang ada pada masyarakat etnik
tertentu, arsitektur sebagai artefak yang meng-
komunikasikan kondisi budaya masyarakat di-
mana artifak itu berada. Arsitektur sebagai
wujud fisik baik dalam skala bangunan tunggal
maupun lingkungan buatan yang dapat difahami
sebagai artefak memiliki makna dan nilai
tertentu. Dalam kata lain arsitektur tradisional
etnik merupakan perlambang budaya yang
memiliki wujud berbeda dalam masyarakat etnik
yang berbeda, arsitektur tentu berkaitan dengan
budaya etnik, yang memiliki sistem lambang,
makna serta kognitif, bersamaan arsitektur
memiliki fungsi yang luas yakni fungsi kebu-
dayaan, oleh karenanya dalam kenyataan dapat
dijumpai adanya symbol-symbol arsitektur yang
menandai makna budaya yang terkandung
didalamnya.
Keragaman hubungan arsitektur dan budaya
melahirkan keragaman wujud arsitektur dan
budaya berhuni, rumah tradisional lebih dari
keberadaan sekedar objek, namun memiliki
ekspresi dari totalitas budaya dan peradaban
etnik tertentu (Amos Rapoport;1963). Rumah
dan lingkungan merupakan suatu ekspresi
masyarakat tentang budaya, termasuk didalam-
nya agama, keluarga, struktur sosial dan
hubungan sosial antar individu. Esensi lain
dalam banyak keberadaan faktor budaya menja-
di sangat penting sebagai faktor yang menen-
tukan bentuk hunian, sedangkan iklim meru-
pakan media modifikasi bentuk rumah tradi-
sional.
Bila kita berbicara budaya etnik dalam arsitektur
tradisonal Minahasa lebih khusus etnik Tolour
dan Tonsea mencakup yakni; apa ciri yang
diungkapkan dan bagaimana ciri tersebut diung-
kapkan. Karya arsitektur akan selalu men-
cerminkan budaya dari teritorial komunitas,
sekurang kurangnya mencerminkan tata nilai
yang mereka anut, sedemikian jika kita cermat
mengamati karya arsitektur tradisional maka
lambat laun akan mengenali budaya masyarakat
setempat. Dalam konteks pembangunan rumah
tradisional berdasarkan etnik bagaimana prosesi
kultural pra bangun dan pasca bangun, makna
terkandung dan tipologi arsitektur sebagai karya
budaya masyarakat etnik Minahasa.
Prosesi Budaya Pembangunan Rumah,
Konteks Ke-Minahasa-an, Cara konstruksi
bangunan tradisional Minahasa, yang dikenal
dengan ikakan (kearah kanan), sama dengan
aturan di Kedang, seperti yang digambarkan
oleh Barnes (1974:68, dikutip oleh Waterson
2000: 125, yaitu: Semua tiang dan balok vertikal
dalam bangunan harus juga meles-tarikan arah
Tipologi Arsitektur Tradisional Minahasa berdasarkan Ethnik Tolour dan Tonsea
E 220 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
alami penggalan dari mana dibuat dan bagian-
bagian lebi besar yang diletakan secara
horizontal harus ditempatkan sesuai dengan
perintah wanapun, terarah kekanan. Dimaksud-
kan bahwa ujung-ujung dari papan dan tiang
semuanya harus terarah berlawanan dengan
arah jarum keliling persegi empat dari bangunan
itu.
Schefold (2003;46-7) menerangkan arti dari
bagi penanganan yang berbeda dari pemakaian
dari pangkal dan ujung kayu; Secara eksklusif
hal itu merujuk pada makna-makna konseptual
tata kosmologi dan dari cara-cara mana
konstruksi suatu bangunan dapat disesuaikan
dengannya sehingga itu bisa membawa berkat
bagi sipemilik. Pentingnya aturan itu sedemikian
berasal dari ide bahwa aliran-aliran kekuatan
berkat harus diarahkan atas cara yang
menguntungkan.
Prosesi Kultural dan Makna, setiap segi
kehidupan masyarakat Minahasa jaman dulu,
senantiasa diawali dengan ritual poso, ber-
dasarkan beberapa sumber yang masih perlu
lagi divalidasi untuk mendapatkan infor-masi
yang valid prosesi kultural dan makna dalam
rangka pra pembangunan rumah baru dan
pasca pembangunan, etnik Tolour dan Tonsea,
ada beberapa hal yang memiliki kesamaan dan
perbedaan demikian pula makna /symbol yang
terkandung didalamnya. Prosesi kultural dan
makna dalam konteks ke Minahasa-an men-
dirikan rumah harus diawali dengan ritual poso
yang disebut “Menganan” dalam bahasa
Tonsawang Dumahes, yaitu keluarga yang
akan mendirikan rumah baru, Semua proses
dilakukan dengan maksud melindungi rumah
dari berbagai kemungkinan terjadi malapetaka.
Pelaksanan “Menganan” biasanya pada waktu
subuh atau masih dalam keadaan sunyi,
waktunya dilaksanakan pada saat “ end oleos”
(hari baik), yang biasanya ditentukan oleh
Walian, (J. Turang dkk, Roy E Mamengko dan
Edmon Ch. Moningka). Pembuatan rumah
memiliki persyaratan khusus, bagian pangkal
balok dan papan harus berada di bawah,
bagian ujungnya berada diatas. Penempatan
pintu masuk dan pintu keluar, tidak pada satu
garis simetris dan letanya tidak boleh berada
ditengah atau membelah dua ruangan. Tiang
raja bubungan, tidak boleh berada ditengah
atau membelah dua ruangan dan pada saat
meletakan tiang raja, biasanya disirami dengan
minuman tradisional cap tikus (tuak) atau nira.
Naik Rumah Baru, J.Turang (Op,Cit, Hal 255)
ketika pembangunan rumah sudah selesai,
sebelum pemilik rumah menempati, sebelumnya
dilakukan ritual “ Sumolo”, yaitu ucapan syukur
naik rumah baru. Sebelum keluarga pemilik
memohon kepada salah satu tua- tua adat untuk
tinggal dirumah baru, dalam rangka menunggu
petunjuk dari “Empung Wailan Wangko” tentang
baik dan tidaknya rumah baru tersebut, apakah
sudah memenuhi syarat sebagai “ Wale Leos
(rumah yang baik) untuk ditempati. Jika
petunjuk belum memungkinkan ditempati, maka
perlu adanya perbaikan melalui ritual khusus
dan tempat tempat yang dilakukan perbaikan
disiram dengan “cap tikus” atau “saguer”. Tiba
pada saat Sumolo, keluarga dan para tua tua
adat dan undangan hadir, menempati halaman
rumah baru, kemudian seorang “Walian”
memimpin pelaksanan “Rumamey” (upacara
pengucapan syukur) mempersembahkan korban.
Kesemua prosesi maknanya guna penangkal
bencana dari luar. Usai Rumamey, dilanjutkan
dengan Marambak (tarian naik rumah baru)
diikuti oleh seluruh hadirin. Dalam Marambak,
sambil bersuka cita semua penari menhentak
hentak kakinya ke lantai, dengan tujuan untuk
menguji kekuatan konstruksi rumah. Diakhir
acara Sumolo, seluruh hadirin melakukan pesta
makan dan minum bersama sebagai ungkapan
syukur dari keluarga yang akan menempati
rumah baru.
Tipologi rumah tradisional berdasarkan etnik
Tolour dan Tonsea, pada dasarnya ada yang
berbeda dan ada yang sama, namun demikian
perlu penelitian lebih lanjut yang lebih khusus
eksplorasi lebih dalam dari sejumlah nara
sumber guna adanya informasi yang lebih valid.
Tipologi rumah tradisional Minahasa dalam
Konteks ke Minahasa-an menurut Padtbrugge
(1866;321) rumah tradisional Minahasa didiri-
kan menggunakan tiang tiang kayu keras yang
tinggi (2,5-4m); sesuai dengan rekaman Walla-
ce pada abad ke -19 menunjukan hal yang
sama. Bagian bawah lasimnya diperuntukan
Vecky H Makarau
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 221
bagi hewan lokal. Bagian tengah terdiri dari
gang umum dan rangkaian kamar kamar di
kedua sisi bagi 5-7 rumah tangga, setiap kamar
memiliki tempat tidur dan tungku api (awu),
terpisah satu dengan yang lain dengan tikar
atau kain yang digantungkan dengan tali me-
lintasi ruangannya. Gang tengah berfungsi
sebagai ruang umum dan penyim-panan padi;
kotak kotak padi yang besar, juga dipe-
rgunakan tempat tidur untuk anak anak dan
tamu (Lundstrom 1981:28).
Rumah tradisional Minahasa terjadi perubahan
drastis sesudah gempa bumi hebat pada 5
Januari 1845, dan suatu epedemi kolera dan
disentri pada tahun 1851-1854 (Buddingh
1860). Pemerintah Belanda menata kembali
desa dan melarang pembangunan rumah ru-
mah panggung besar. Bentuk dan ciri-ciri khas
rumah adat Minahasa masih tetap menon-jol
yang secara umum dapat dalam konteks
keruangan digambarkan;
- Mulanya rumah rumah di Minahasa
merupakan bangunan dengan denah segi
empat yang besar dan luas, atap tinggi
tanpa loteng.
- Kontruksi bangunan terbentuk rumah
panggung yang didirikan diatas batu atau
balok kayu sebagai dasar tiang-tiang, ba-
gian bawah terdapat kolong yang ber-
fungsi sebagai tempat pedati, lumbung
hasil pertanian, sering juga sebagai tempat
ternak. Bentuk rumah ini disebut “ Wale
Toktolan” (Tombulu) atau “Bale Wetotol”
(Tonsawang).
- Dibagian depan terdapat dua buah tangga
yang saling berlawanan arah (samping kiri
dan kanan), dengan pemahaman apabila
ada roh jahat akan naik dari salah satu
tangga, maka ia akan berjalan lurus
dengan langsung turun kembali pada
tangga yang lainnya.
- Bagian tengah terdiri dari gang umum dan
rangkaian kamar kamar di kedua sisi bagi
5-7 rumah tangga, setiap kamar memiliki
tempat tidur dan tungku api (awu), ter-
pisah satu dengan yang lain dengan ti-kar
atau kain yang digantungkan dengan tali
melintasi ruangannya. Gang tengah
berfungsi sebagai ruang umum dan
penyimpanan padi; kotak kotak padi yang
besar, juga dipergunakan tempat tidur un-
tuk anak anak dan tamu (Lundstrom
1981:28).
- Depan bagian tengah, terdapat serambi
sebagai ruang tamu atau tempat perca-
kapan keluarga
Sistem Struktur :
- Pondasi batu, jenis batu kali atau batu
cadas memiliki permukaan yang stabil
(permukaan bawah berhubungan dengan
permukaan tanah, permukaan atas ber-
hubungan dengan struktur kolom kayu
bangunan.
- Bagian bawah (pondasi, tiang penyanggah
dan lantai, Sistem modular kolom kayu
umumnya persegi dengan dimensi panjang
yang berbeda atau sama (bujur sangkar),
terbentuk dari ukuran ruang atau ukuran
balok pengikat. Sistem struktur bangunan
rangka batang, balok dan kolom sebagai
struktur utama. Kekakuan yang diperoleh
dari rangkaian beberapa kolom yang diikat/
disatukan oleh media balok utama dan
balok pendukung.
- Sambungan kolom balok takikan dan pasak/
pen, dimensi kolom lebih luas dari balok.
Balok terdiri dari balok utama (pengikat
kolom) dan balok penunjang sebagai media
perletakan lantai, membentuk grid searah
pada bentang yang lebih kecil, jarak
dipengaruhi jenis kayu, dimensi dan taha-
nan lendutan papan. Sambungan balok
pendukung dengan balok induk sistem ta-
kikan dan pen, balok induk ditakik kemu-
dian dimasukan balok pendukung dengan
kedudukan permukaan yang sama, dengan
demikian papan lantai berada di atas balok
induk dan balok penunjang. Bentuk lain
balok penunjang diletakkan diatas balok
induk yang ditakik sedikit kemudian di pen,
papan lantai berada diatas balok penunjang.
- Bagian tengah, kolom, balok melintang dan
dinding.Elemen struktur bagian tengah
Tipologi Arsitektur Tradisional Minahasa berdasarkan Ethnik Tolour dan Tonsea
E 222 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
terdiri dari kolom utama atas dimensinya
lebih kecil dari kolom utama (bawah), reng
balok atap, dan balok melintang tumpuan
dinding vertikal yang juga kolom pen-
dukung difungsikan sebagai elemen kosen,
pintu, jendela dan ventilasi. Pada simpul
utama struktur terjadi tiga sambungan
yakni, kolom utama, balok utama dan
kolom lantai dua, sambungan yang diberl-
akukan adalah takik dan pasak, demikian
pula antara kolom utama atas dengan balok
pengaku melintang dan reng balok atas.
- Bagian atas (atap), jenis penutup atap yang
digunakan sesuai dengan sumber daya
alam dimiliki, seperti ijuk, rumbia, alang-
alang, sirap dan lainya. Sistem struktur atap
tergantung jenis material atap, material
digunakan ada menggunakan material kayu,
bambo, rotan atau lainnya.
Ornamen ragam hias cendrung kurang pada
arsitektur Minahasa, merujuk pada karakteristik
orang Minahasa lebih focus pada persoalan-per-
soalan praktis dalam kehidupannya. Dominasi
corak ragam hias hanya bersumber dari bentuk
alami flora dan fauna, menunjukan bahwa
apresiasi masyarakat Minahasa terhadap ling-
kungan alamiahnya sebagai berkah dari sang
pencipta.
Kesimpulan
Secara jelas sebagaimana penelitian masih
dalam taraf penyelesaian seraya diperlukan
sejumlah informasi guna akurasi penelitian,
sesuai rumusan awal dapat disimpulkan ;
- prosesi kultural, makna/simbol ada beberapa
hal memiliki kesamaan dan perbedaan
demikian hal dengan
- tipologi bangunan tradisional berdasarkan
etnik Tolour dan Tonsea, juga memiliki
kesamaan dan perbedaan
Penelitian ini masih memerlukan waktu dalam
rangka perluasan dan pendalaman konteks spe-
sifikasi arsitektur tradisional berdasarkan etnik.
Guna lebih komprehensif pemahaman arsitektur
tradisional Minahasa berdasarka etnik perlu
adanya penelitian Arsitektur etnik Tombulu dan
Toumpakewa
Daftar Pustaka
Antariksa, February 2011, Pengaruh Kebudayaan dan Adat istiadat Masyarakat Dalam Pemukiman
Tradisional Anisa. 2006. Tipologi Fasad Rumah Kolonial Belanda di
Kota Lama Kudus/ Kudus Kulon’ Minahasa Masa Lalu Dan Masa Kini. Jurnal NALARs.
Graafland, N. 1898. De Minahasa, Haar Verleden en 5 (2):161-174.
Budihardjo,E. 1996. Menuju Arsitektur Indonesia. Alumni. Bandung.
Broadbent G. Bunt R, & Jencks C, Signs, Symbols and Architecture", John Wiley & Sons, Chichester,
1980
Budiharjo Eko, Jatidiri Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung, 1991.
Graafland, N. 1898. Minahasa Masa Lalu Dan Masa Kini. De Minahasa, Haar Verleden en
Graafland, N. 1869. Minahasa Negeri, rakyat dan budaya
Mamengko, R. 2002. Etnik Minahasa Dalam Akselerasi Perubahan. Telaah Historis
Mangunwijaya, Y. B.1992.Wastu Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Rapoport, A. (1969) House, Form, and Culture. New Jersey: Prentice-Hall
Supit, B. 1986. Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua,
Sinar Harapan, Jakarta. Sukada, B. 1997. Memahami Arsitektur Tradisional
dengan Pendekatan Tipologi, dalam Jati Diri Arsitektur Indonesia. Disunting oleh Eko Budihardjo. Bandung: P.T. Alumni.
Turang Jan dkk, Profil Kebudayaan Minahasa. 1997
Watuseke, F.S. 1995. Profil Rumah Adat Minahasa dan Maknanya,Makalah Musyawarah