tinjauan pustaka hpp

36
BAB I PENDAHULUAN Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian ibu. Semua wanita yang sedang hamil lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post-partum dan turunannya. Walaupun frekuensi kematian ibu telah menurun sangat pesat di negara-negara maju, namun perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab kematian utama di negara-negara miskin dan berkembang. Maternal mortality rate yang berhubungan langsung dengan kehamilan di Amerika Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Statistik nasional mencatat bahwa kira-kira 8% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh karena perdarahan postpartum (Berg, 1996). Di negara-negara maju, perdarahan postpartum biasanya termasuk peringkat 3 teratas penyebab mortalitas ibu, bersama-sama dengan embolism dan hipertensi. Di negara-negara berkembang, beberapa negara memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita per 100.000 kelahiran hidup, dan statistik WHO mencatat bahwa 25% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh karena perdarahan postpartum, atau mencapai lebih dari 100.000 kematian ibu per tahun (Abouzahr, 1998) Frekuensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan.

Upload: rakesardeva

Post on 11-Feb-2016

243 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

haemoragig post partum

TRANSCRIPT

Page 1: tinjauan pustaka HPP

BAB IPENDAHULUAN

Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian ibu. Semua wanita yang

sedang hamil lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post-partum

dan turunannya. Walaupun frekuensi kematian ibu telah menurun sangat pesat di negara-

negara maju, namun perdarahan postpartum tetap merupakan penyebab kematian utama

di negara-negara miskin dan berkembang.

Maternal mortality rate yang berhubungan langsung dengan kehamilan di

Amerika Serikat adalah sekitar 7-10 wanita per 100.000 kelahiran hidup. Statistik

nasional mencatat bahwa kira-kira 8% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh

karena perdarahan postpartum (Berg, 1996). Di negara-negara maju, perdarahan

postpartum biasanya termasuk peringkat 3 teratas penyebab mortalitas ibu, bersama-sama

dengan embolism dan hipertensi. Di negara-negara berkembang, beberapa negara

memiliki angka kematian ibu lebih dari 1000 wanita per 100.000 kelahiran hidup, dan

statistik WHO mencatat bahwa 25% dari kematian tersebut adalah disebabkan oleh

karena perdarahan postpartum, atau mencapai lebih dari 100.000 kematian ibu per tahun

(Abouzahr, 1998)

Frekuensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan

adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di

negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 8%.

Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut: atonia uteri (50%-

60%), retensio plasenta (16%-17%), sisa plasenta (23%-24%), laserasi jalan lahir (4%-

5%), kelainan darah (0,5-0,8%)

Page 2: tinjauan pustaka HPP

BAB IIISI

2.1 DEFINISIDefinisi dari perdarahan postpartum masih sangat subjektif dan problematis. Perdarahan

postpartum didefinisikan sebagai hilangnya darah lebih dari 500 ml setelah kelahiran

pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah kelahiran dengan sectio cesarean (Baskett,

1999). Hilangnya darah dalam 24 jam pertama disebut sebagai perdarahan postpartum

primer, sedangkan hilangnya darah setelah 24 jam dari kelahiran disebut perdarahan

postpartum sekunder.

Perkiraan hilangnya darah selama proses kelahiran adalah sangat subjektif dan

sangat tidak akurat. Penelitian-penelitian menemukan bahwa banyak petugas-petugas

penolong persalinan secara konsisten meremehkan jumlah darah yang sebenarnya hilang.

Beberapa proposal lain menyatakan dengan memakai patokan turunnya hematokrit

sebanyak 10% untuk mendefinisikan perdarahan postpartum, tetapi perubahan ini

tergantung dari waktu pemeriksaan dan jumlah resusitasi cairan yang diberikan.

(Cunningham, 2001).

Pertimbangan lain adalah perbedaan kapasitas dari setiap individual untuk

merespons hilangnya darah. Seorang wanita yang sehat mengalami peningkatan volume

darah sebanyak 30-50% pada kehamilan tunggal dan lebih toleran terhadap kehilangan

darah daripada wanita yang menderita anemia, gangguan jantung, ataupun dehidrasi dan

preeklampsia. Oleh karena itu, banyak peneliti menyarankan untuk menegakkan

diagnosis perdarahan postpartum dengan berapapun jumlah darah yang hilang yang

mengancam stabilitas hemodinamik dari ibu.

2.2 ETIOLOGIPerdarahan postpartum dapat disebabkan oleh banyak faktor potensial, namun yang

paling sering adalah oleh karena atonia uteri, yaitu kegagalan dari uterus untuk

berkontraksi dan beretraksi setelah kelahiran plasenta. Perdarahan postpartum pada

kehamilan sebelumnya adalah faktor resiko utama dan setiap usaha harus dilakukan

untuk mengetahui keparahan dan penyebabnya. Pada suatu penelitian di Amerika Serikat,

Page 3: tinjauan pustaka HPP

induksi dan augmentasi kelahiran, chorioamnioitis, penggunaan MgSO4 dan riwayat

perdarahan postpartum sebelumnya, semuanya berhubungan dengan peningkatan resiko

terjadinya perdarahan postpartum. (Jackson, 2001).

Sebuah penelitian population-based yang baru-baru dipublikasikan (Shinner,

2005) mendapatkan faktor resiko yang menyebabkan perdarahan post-partum adalah

retensio plasenta, distosia pada kala II, plasenta akreta, laserasi, kelahiran dengan bantuan

instrumen, bayi besar, hipertensi, induksi kelahiran, dan augmentasi kelahiran dengan

oksitosin.

Untuk mempermudah mengingat penyebab dari perdarahan postpartum, singkatan

4T sering digunakan, yaitu: Tonus, Tissue, Trauma, dan Thrombosis.

2.2.1 TONUS

Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan retraksi otot-otot pada myometrium dapat

menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hipovolemik.

Overdistensi uterus, baik absolut ataupun relatif, adalah faktor resiko utama untuk

terjadinya atoni. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh karena multifetal gestasi,

macrosomia, polyhidramnion, atau kelainan kongenital (seperti hidrocephalus);

abnormalitas struktural uterus; atau kegagalan dalam melahirkan plasenta.

Kontraksi miometrium yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh karena

kelelahan karena prolonged labor maupun oleh karena proses kelahiran yang terlalu

cepat, terutama jika dilakukan dengan rangsangan. Hal ini juga dapat disebabkan oleh

karena inhibisi oleh obat-obatan seperti agen anestesi golongan halotan, nitrat, NSAID,

MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipine. Penyebab lain adalah plasenta yang

terletak pada segmen bawah uterus, toxin bakteri (seperti chorioamnionitis,

endomyometritis, septicemia), hipoksia karena hiperperfusi atau Couvelaire uterus pada

abruptio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif.

2.2.2 TISSUE

Kontraksi uterus dan retraksi memicu terjadinya pelepasan dan ekspulsi plasenta.

Pelepasan yang komplit dan ekspulsi plasenta menyebabkan berlanjutnya retraksi dan

oklusi optimal pembuluh-pembuluh darah endometrium.

Page 4: tinjauan pustaka HPP

Retensio beberapa bagian plasenta sering terjadi jika plasenta memiliki

succenturiate atau lobus tambahan. Setelah lahirnya plasenta dan perdarahan minimal

terjadi, plasenta harus diinspeksi untuk mencari adanya pembuluh darah fetal yang

muncul dari tepi plasenta dan terputus pada ujung membran. Hal ini merupakan tanda

adanya lobus tambahan yang mungkin masih tersisa.

Plasenta biasanya mengalami retensio pada kehamilan preterm (terutama <24

minggu) dan perdarahan yang signifikan biasanya terjadi. Hal ini harus menjadi

pertimbangan pada semua kelahiran pada masa-masa awal gestasi, baik yang terjadi

spontan maupun dirangsang. Penggunaan misoprostol untuk terminasi kehamilan

trimester kedua ternyata dapat menurunkan frekuensi terjadinya retensio plasenta jika

dibandingkan dengan penggunaan teknik intrauterin prostaglandin.

Kegagalan pelepasan lengkap plasenta terjadi juga pada plasenta akreta dan

variannya. Pada kondisi ini, plasenta telah menginvasi melebihi tempat melekatnya dan

menempel secara abnormal. Perdarahan yang signifikan dari daerah normal tempat

melekatnya plasenta sebelumnya mungkin menandakan adanya akreta parsial. Komplit

akreta dimana seluruh permukaan plasenta melekat secara abnormal, atau invasi yang

lebih luas pada plasenta inkreta atau perkreta, mungkin tidak secara langsung

menyebabkan perdarahan yang banyak, namun dapat berkembang bersamaan dengan

usaha yang lebih agresif untuk memisahkan plasenta.

Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan tentang resiko terjadi

perdarahan postpartum yang gawat, termasuk kemungkinan diperlukannya transfusi dan

histerektomi. Darah dapat menyebabkan terjadi distensi pada uterus dan menghambat

kontraksi yang efektif.

2.2.3 TRAUMA

Kerusakan pada traktus genitalis dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi dalam

usaha melahirkan bayi. Kelahiran melalui sectio cesarea rata-rata menyebabkan

kehilangan darah dua kali lipat daripada kelahiran pervaginam. Beberapa penyebab

perdarahan postpartum yang dapat terjadi karena trauma antara lain adalah:

a. Ruptur Uteri

Page 5: tinjauan pustaka HPP

Ruptur uterus sering terjadi pada pasien dengan scar dari operasi sectio

cesarea sebelumnya. Semua uterus yang telah mengalami prosedur yang

menyebabkan terjadinya disrupsi total maupun parsial dinding uterus harus

dipertimbangkan beresiko untuk mengalami ruptur uterus pada kehamilan yang akan

datang. Hal ini meliputi fibroidektomi, uteroplasti untuk kelainan kongenital, reseksi

cornual atau cervical, dan perforasi uterus saat dilatasi, kuret, biopsi, histeroskopi,

laparoskopi, atau pemasangan IUD.

Ruptur uteri adalah kejadian yang jarang terjadi tetapi merupakan kegawatan

obstetrik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi, dengan angka insiden kira-

kira 1 dari 1514 kehamilan (0.07%). Di negara-negara maju, angka ruptur uteri pada

wanita normal tanpa parut uterus adalah 1 dari 7440 kehamilan (0.013%).

Sebagian besar ruptur uteri terjadi pada wanita yang memiliki parut uterus,

yang sebagian besar adalah karena riwayat kelahiran melalui sectio cesarean. Satu

parut bekas SC angka resiko terjadinya ruptur uteri sebanyak 0.51%, sedangkan

wanita dengan dua atau lebih parut uterus resikonya meningkat menjadi 2%.

Kelompok wanita yang juga beresiko terjadi ruptur uteri antara lain adalah wanita

yang menjalani penutupan histerotomi satu lapis, jarak kehamilan yang pendek

setelah kelahiran sebelumnya melalui sectio cesarean, kelainan kongenital pada

uterus, fetus dengan macrosomia, sejarah pemakaian prostaglandin, dan kegagalan

percobaan kelahiran pervaginam (trial of labor).

Intevensi pembedahan setelah terjadinya ruptur uteri dalam waktu kurang dari

10-37 menit sangat penting untuk meminimalkan resiko cedera perinatal pada fetus.

Namun kelahiran dalam jangka waktu ini tidak menjamin tidak terjadi hipoksia dan

asidosis metabolik pada fetus.

Ruptura uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat

berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada

kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada

bagian bawah uterus. Pada robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula.

Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal itu

dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara ruptura uteri

dan kolpaporeksis. Apabila pada ruptura uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut

Page 6: tinjauan pustaka HPP

robek, hal itu dinamakan ruptura uteri kompleta; jika tidak ruptura uteri inkompleta.

Pinggir ruptura biasanya tidak rata; letaknya pada uterus melintang, atau membujur,

atau miring dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Ada kemungkinan pula terdapat

robekan dinding kandung kencing.

Tanda awal yang paling penting dan konsisten pada ruptur uteri adalah adanya

bradikardi fetus yang berlangsung lama dan persisten. Tanda-tanda lain antara lain

adalah nyeri abdomen, kelainan pada perjalanan persalinan, dan perdarahan per

vaginam.

Mekanisme Ruptur Uteri

Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: korpus uteri dan serviks

uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila

kehamilan sudah kira-kira ± 20 mg, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari

ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini.

Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari

Bandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari di atas

simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya

ruptura uteri mengancam (RUM).

Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus.

Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti, karena adanya lokus minoris

resistens (LMR).

Rumus mekanisme terjadinya ruptura uteri: R = H + O

dimana:

R = Ruptura

H = His kuat (tenaga)

O = Obstruksi (halangan)

Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap

dan cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab

partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan

hebatnya (his kuat), rnaka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas, menjadi

Page 7: tinjauan pustaka HPP

bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu

terjadilah robekan pada SBR tadi.

Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring

apparatus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum latum,

ligamentum sacrouterina, dan jaringan parametra.

Menurut cara terjadinya ruptura uteri diadakan perbedaan antara: 1) ruptura

uteri spontan; 2) ruptura uteri traumatik; 3) ruptura uteri pada parut uterus.

Ruptura uteri spontan

Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus

yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju

karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang

dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada

suatu saat regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan

miometrium: terjadilah ruptura uteri. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap

terjadinya ruptura uteri ialah multiparitas; di sini ditengah-tengah miometrium sudah

terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi

kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Oleh banyak penulis

dilaporkan pula bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan

timbulnya ruptura uteri. Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu

biasanya melakukan tekanan keras ke bawah terus-menerus pada fundus uteri; hal ini

dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang sudah regang dan

mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang

terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan

ruptura uteri.

Gejala-gejala

Sebelum terjadi ruptura uteri umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala

ruptura uteri membakat. Ia gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan

nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada

perabaan dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai mendekati pusat, ligamenta

Page 8: tinjauan pustaka HPP

rotunda tegang. Pada saat terjadinya ruptura uteri penderita kesakitan sekali dan

merasa seperti ada yang robek dalam perutnya; tidak lama kemudian is menunjukkan

gejala-gejala kolaps dan jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan;

pada ruptura uteri kompleta untuk sebagian mengalir ke rongga perut dan untuk

sebagian keluar per vaginam. Seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam

rongga perut; pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau

teraba tinggi dalam jalan lahir. Pada ruptura uteri inkompleta perdarahan yang

biasanya tidak seberapa banyak, berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir

keluar. Janin umumnya tetap tinggal di uterus. Pada pemeriksaan ditemukan seorang

wanita pucat dengan nadi yang cepat dan dengan perdarahan pervaginam. Segera

setelah ruptura uteri terjadi, dan janin masuk ke dalam rongga perut, is dapat diraba

dengan jelas pada pemeriksaan luar, dan di sampingnya ditemukan uterus sebagai

benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut menunjukkan meteorismus kadang-

kadang disertai defense musculaire dan janin lebih sukar diraba. Pada ruptura uteri

kompleta kadangkadang juga pada pemeriksaan vaginal, robekan dapat diraba,

demikian pula usus dalam rongga perut melalui robekan.

Ruptura uteri traumatik

Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,

kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi

pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup

tahan terhadap trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang

dinamakan ruptura uteri violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen

bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya

ruptura uteri. Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang

dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan

besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah

tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang

sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui

apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri violenta tidak berbeda dari

ruptura uteri spontan.

Page 9: tinjauan pustaka HPP

Ruptura uteri pada parut uterus

Ruptura uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio

sesarea; peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk

mengangkat mioma (miomektomi), dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut

karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea,

parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura

uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal

ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah

uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih balk, sehingga

parut lebih kuat. Ruptura uteri pada bekas parut seksio sesarea klasik juga lebih sering

terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan mulai, sedang peristiwa tersebut pada

parut bekas seksio sesarea profunda umumnya terjadi pada waktu persalinan. Ruptura

uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan

lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam

hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun

jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan

terjadilah ruptura uteri. Di sini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat

ruptura uteri inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka

dan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan

untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-

kadang masih ada.

Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat

bekas luka. Jika arteria besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan

syok janin dalam uterus meninggal pula.

b. Partus Kasep

Partus kasep adalah suatu keadaan persalinan yang mengalami kemacetan dan

berlangsung lama sehingga menimbulkan komplikasi baik pada ibu dan ataupun janin

Partus kasep menurut Harjono adalah merupakan fase terakhir dari suatu partus yang

Page 10: tinjauan pustaka HPP

macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala-gejala seperti dehidrasi,

infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan kematian janin dalam rahim.

1. Komplikasi pada ibu

Edema vagina / vulva .

Edema porsio.

Ruptur uteri.

Banyak penulis melaporkan dan sepakat bahwa kebiasaan yang dilakukan

oleh dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptur uteri. Pada persalinan yang kurang

lancar, dukun-dukun biasanya melakukan tekanan-tekanan keras ke bawah terus

menerus pada fundus uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah

rahim yang sudah teregang dan mengakibatkan ruptur uteri.

- Febris, yaitu temperatur rektal 37.6 C.

- Dehidrasi.

- Tanda infeksi intrauterin.

2. Komplikasi pada janin

Kaput suksedanium yang besar, karena kepala janin tertekan terlalu lama.

Fetal distess, yang ditandai dengan gerak anak yang berkurang,

takikardi/bradikardi, dan air ketuban yang bercampur mekonium

Kematian janin

Trauma dapat terjadi setelah terjadinya kelahiran yang lama, terutama jika

pasien pada pasien terdapat cephalopelvic disproportion (CPD) baik relatif maupun

absolut dan uterus telah dirangsang dengan oksitosin maupun prostaglandin.

Menggunakan monitor tekanan intrauterin dapat mengurangi resiko ini.

c. Laserasi Jalan Lahir

Laserasi serviks sering terjadi pada kelahiran dengan bantuan forceps, dan

serviks harus selalu diinspeksi setelah kelahiran dengan menggunakan teknik ini.

Kelahiran pervaginam dengan bantuan alat (forceps atau vacuum) tidak boleh

dilakukan tanpa adanya dilatasi serviks yang lengkap. Laserasi pada serviks dapat

terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan lahirnya bayi

walaupun belum terjadi bukaan lengkap. Sangat jarang dimana serviks diinsisi pada

Page 11: tinjauan pustaka HPP

posisi jam 2 dan 10 untuk memfasilitasi kelahiran kepala yang terjebak pada saat

kelahiran sungsang (insisi Duhrssen).

Laserasi pada dinding samping vagina sering terjadi pada kelahiran dengan

bantuan forceps, dan dapat juga terjadi secara spontan, tertutama jika terdapat

presentasi ganda dimana terdapat tangan bayi bersamaan dengan kepala. Laserasi

mungkin dapat terjadi saat manipulasi untuk melahirkan distosia bahu. Laserasi

sering terjadi pada daerah yang menutupi spina ischiadica. Frekuensi laserasi dinding

samping vagina dan serviks sekarang mungkin telah berkurang, berhubung dengan

telah jarangnya digunakan forceps midpelvis dan khususnya prosedur rotasi

midpelvis.

Trauma pada dinding vagina bagian bawah dapat terjadi spontan maupun oleh

karena episiotomi. Laserasi spontan biasanya melibatkan fourchette posterior.

Trauma juga dapat terjadi oleh karena manipulasi fetus baik internal maupun

eksternal. Resiko tertinggi kemungkinan berhubungan dengan versi internal dan

ekstraksi bayi kembar yang kedua. Namun ruptur uteri juga dapat terjadi sekunder

dari versi eksternal.

Trauma dapat terjadi sekunder dari usaha untuk mengeluarkan plasenta yang

mengalami retensio baik secara manual maupun dengan instrumentasi. Uterus harus

selalu dikendalikan dengan tangan pada abdomen saat melakukan prosedur tersebut.

Injeksi salin/oksitosin melalui vena intraumbilikal dapat mengurangi perlunya teknik

pengeluaran yang lebih invasif.

2.2.4 THROMBOSIS

Beberapa saat memasuki periode postpartum, gangguan sistem koagulasi dan platelet

tidak selalu langsung menyebabkan perdarahan yang masif. Hal ini disebabkan oleh

karena efisiensi dari kontraksi dan retraksi uterus untuk mencegah perdarahan (Baskett,

1999). Deposisi fibrin di tempat melekatnya plasenta dan clots di dalam pembuluh darah

yang mensuplai darah ke plasenta memegang peranan penting dalam beberapa jam

setelah partus, dan abnormalitas pada sistem ini dapat menyebabkan perdarahan post

partum sekunder.

Page 12: tinjauan pustaka HPP

2.3 PATOFISIOLOGISelama kehamilan volume darah ibu meningkat hingga kira-kira 50% (dari 4 Liter

menjadi 6 Liter). Volume plasma meningkat lebih dari volume total RBC, menyebabkan

menurunnya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume darah

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perfusi unit uteroplasenta dan untuk menyediakan

cadangan untuk kehilangan darah saat kelahiran. (Cunningham, 2001).

Saat aterm, perkiraan aliran darah menuju ke uterus adalah sekitar

500-800ml/menit, yaitu sekitar 10-15% dari cardiac output. Sebagian besar aliran ini

melewati plasenta bed dengan tahanan rendah. Pembuluh darah uterus yang menyuplai

plasenta bed menembus suatu anyaman serat-serat myometrium. Saat serat-serat otot ini

berkontraksi setelah kelahiran, retraksi uterus lalu terjadi. Retraksi adalah sifat unik dari

otot-otot uterus untuk mempertahankan ukurannya yang pendek setelah terjadinya

kontraksi yang terus menerus. Pembuluh-pembuluh darah lalu terjepit dan terpelintir oleh

anyaman otot ini dan dalam keadaan normal, aliran darah dengan cepat akan teroklusi.

Susunan serat-serat otot ini sering dikenal sebagai ‘living ligatures’ atau ‘physiologic

sutures’ dari uterus.

Atonia uteri adalah kegagalan dari serat-serat myometrium untuk berkontraksi

dan retraksi. Hal ini adalah penyebab utama terjadinya perdarahan postpartum dan

biasanya terjadi segera setelah kelahiran bayi hingga 4 jam setelah kelahiran. Trauma

pada traktus genitalis (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada saat kehamilan

menghasilkan perdarahan yang lebih banyak daripada keadaan tidak hamil karena

peningkatan aliran darah ke jaringan-jaringan ini.

2.4 GEJALA KLINISWalaupun gejala klinis yang tampak pada perdarahan postpartum paling sering terjadi

secara dramatis, namun perdarahan dapat terjadi secara lambat dan terlihat tidak berarti

tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya darah hingga batas kritis dan terjadi

shock. Perawatan rutin pada periode postpartum harus meliputi observasi dan

dokumentasi vital sign dan kondisi, hilangnya darah pervaginam, dan tonus dan ukuran

uterus. Uterus harus secara periodik dimasase untuk mengeluarkan clots yang

terakumulasi di uterus maupun di vagina.

Page 13: tinjauan pustaka HPP

Presentasi yang umum dari perdarahan postpartum adalah adanya perdarahan

pervaginam yang masif yang secara cepat akan menyebabkan timbulnya tanda-tanda

shock hipovolemik. Hilangnya darah secara cepat ini merefleksikan kombinasi dari

tingginya aliran darah uterus dan penyebab yang paling sering dari perdarahan

postpartum yaitu atonia uterus. Perdarahan biasanya terlihat pada introitus, dan hal ini

terjadi jika plasenta telah lahir. Jika plasenta masih in situ, maka sejumlah darah yang

signifikan mungkin tertahan di dalam uterus di belakang plasenta yang baru terpisah

sebagian, pada membran, atau keduanya.

Bahkan setelah lahirnya plasenta, darah dapat terakumulasi pada uterus yang

atonik. Untuk alasan ini, maka ukuran dan tonus uterus harus terus dimonitor pada kala

III dan juga pada kala IV, setelah lahirnya plasenta. Jika penyebab perdarahan bukan oleh

karena atonia uterus, maka hilangnya darah mungkin berlangsung lebih lambat dan

gejala-gejala klinis hipovolemia baru tampak setelah beberapa waktu. Perdarahan yang

berasal dari trauma mungkin tersamar dalam bentuk hematoma pada retroperitoneum,

broad ligament atau traktur genitalia bagian bawah, atau cavum abdomen. Gejala klinis

hipovolemia dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Jumlah darah

yang Hilang (ml)

Tekanan darah

(sistolik)

Gejala dan Derajat shock

500-1000

(10-15%)

Normal Palpitasi, takikardi,

pusing

Dapat dikompensasi

1000-1500

(15-25%)

Sedikit turun

(80-100 mmHg)

Lemas, takikardi,

berkeringat

Ringan

1500-2000

(25-35%)

Turun sedang

(70-80 mmHg)

Pucat, oliguri,

gelisah

Sedang

2000-3000

(35-50%)

Turun drastis

(50-70 mmHg)

Kolaps, sesak napas,

anuria

Berat

2.5 DIAGNOSIS

Page 14: tinjauan pustaka HPP

Perdarahan postpartum biasanya bermanifestasi sangat cepat, sehingga prosedur

diagnostik yang dapat dilakukan umumnya terbatas pada pemeriksaan fisik dari struktur

yang terlibat.

Asesmen tonus uterus dan ukurannya dikerjakan dengan meletakkan satu tangan

pada fundus dan mempalpasi bagian anterior dari uterus. Adanya uterus yang lunak baik

dengan perdarahan pervaginam berat ataupun meningkatnya ukuran uterus menandakan

adanya atonia uterus. Adanya atonia uterus dan perdarahan biasanya mencegah diagnosis

perdarahan postpartum oleh sebab yang lain, oleh karena ketidakmampuan untuk

memvisualisasikan organ yang lain. Untuk alasan ini dan oleh karena hilangnya darah

dengan cepat sekunder karena atonia, manajemen dan kontrol atonia adalah yang paling

utama.

Jika plasenta telah dilahirkan, dari pemeriksaan mungkin ditemukan adanya

bagian yang mengalami retensio. Jika belum dilahirkan atau jika gumpalan darah

mengalami retensi atau fragmen plasenta menyebabkan distensi plasenta dan perdarahan

terus terjadi, maka eksplorasi manual dan pengeluaran harus segera dilakukan. Tindakan

ini juga sekaligus terapeutik dengan jalan mengosongkan uterus dan memungkinkan

terjadinya kontraksi, juga untuk membantu diagnosis adanya plasenta akreta dan ruptur

uterus. Laserasi vagina dan serviks juga dapat dipalpasi pada pemeriksaan ini.

Jika atonia uterus telah diatasi dan perdarahan dari yang bersumber dari uterus

minimal, pemeriksaan yang teliti dilakukan pada traktus genitalis bagian bawah untuk

mencari sumber perdarahan pada area ini. Palpasi dan inspeksi juga dapat dilakukan

untuk menemukan hematoma. Serviks dan vagina harus seluruhnya diinspeksi.

2.6 PENCEGAHAN PERDARAHAN POSTPARTUMMencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan

terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu

bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang

baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat

dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.

Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan da-

rah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan

Page 15: tinjauan pustaka HPP

keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban

pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir

diberikan 1 ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (=sintometrin

intravena). Hasilnya biasanya memuaskan.

2.7 TERAPITerapi medis: penanganan pasien dengan perdarahan postpartum terdiri dari 2 komponen

utama, yaitu:

1) Resusitasi dan manajemen perdarahan obstetrik dan, kemungkinan juga shock

hipovolemik

2) Identifikasi dan manajemen dari penyebab perdarahan.

Penanganan perdarahan postpartum yang berhasil memerlukan kedua hal tersebut di atas

dilakukan secara simultan dan sistematis.

2.7.1 MANAJEMEN PERDARAHAN OBSTETRIK

Pasien dengan perdarahan postpartum memerlukan tindakan agresif untuk

mengembalikan dan memelihara volume darah yang beredar (dan sekaligus tekanan

perfusi) pada struktur-struktur vital. Semua unit medis yang terlibat dalam penanganan

ibu hamil harus memiliki protokol untuk manajemen perdarahan obstetrik.

Diagnosis perdarahan postpartum ditegakkan dengan observasi jumlah perdarahan

dan keadaan klinis pasien. Jumlah darah yang hilang dan tingkat kesadaran pasien dan

vital signs dimonitor secara kontinyu. Setelah diagnosis ditegakkan, segera beritahu

petugas yang diperlukan. Tingkat keparahan dan penyebab perdarahan menentukan juga

petugas khusus mana yang perlu dipanggil, tetapi minimal 1 dokter spesialis kandungan

dan 1 petugas anestesi diperlukan. Bidan dan perawat yang memiliki skill dan

berpengalaman sangat penting. Memberitahu pusat penyedia darah juga penting,

sehingga ketersediaan produk darah dapat segera terpenuhi jika diperlukan dengan

segera. Pastikan ketersediaan ruang operasi.

Resusitasi Cairan

Page 16: tinjauan pustaka HPP

Resusitasi cairan pada wanita yang mengalami perdarahan obstetrik kadang-kadang

dilakukan terlalu konservatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena:

1) perdarahan yang terjadi sering dianggap remeh

2) wanita biasanya mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi hilangnya darah

saat dalam keadaan sehat dan karena keadaan hipervolemia saat kehamilan

3) pertimbangan dalam over resusitasi yang ditakutkan dapat menyebabkan edema

pulmoner

4) kegagalan untuk mengetahui gangguan keseimbangan cairan tubuh

Segera laksanakan resusitasi cairan. Meninggikan kaki dapat meningkatkan

venous return dan konsisten dengan posisi yang digunakan untuk melakukan diagnosa

dan menangani penyebab perdarahan. Berikan oksigen dan peroleh akses ke intravena.

Semua line intravena (IV) dimulai sejak di ruang bersalin dan jika mungkin digunakan

kanula dengan ukuran yang sufisien jika perdarahan postpartum menjadi berat. IV line

dengan ukuran 14G dapat memasukkan 2 kali lipat cairan jika dibandingkan dengan 18G

dalam periode waktu yang sama. Saat inpartu, pasang setidaknya 1 IV line pada ibu

dengan resiko perdarahan postpartum, dan pertimbangkan pemasangan IV line kedua

pada ibu dengan resiko yang sangat tinggi.

Lakukan resusitasi awal dengan volume besar cairan kristaloid, seperti normal

saline (NS) ataupun ringer lactate (RL), melalui jalur intravena perifer. Akses vena

sentral tidak diperlukan pada sebagian besar pasien dengan perdarahan postpartum,

namun jika diperlukan tindakan ini tidak boleh ditunda. Ambil darah untuk pemeriksaan

dasar. NS adalah cairan yang cocok digunakan oleh karena harganya yang murah dan

kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan tranfusi darah. Resiko hiperkloremik

asidosis sangat jarang terjadi pada perdarahan postpartum. Jika lebih dari 10 Liter

kristaloid digunakan, maka pertimbangkan untuk menggunakan larutan RL.

Cairan yang mengandung dextrose, seperti dextrose 5% dalam air, tidak memiliki

peran berarti dalam penanganan perdarahan postpartum. Hilangnya 1 Liter darah

memerlukan penggantian 4-5 Liter kristaloid karena sebagian besar kristaloid yang

masuk tidak ditahan dalam ruang intravaskuler melainkan masuk ke ruang interstisial.

Hal ini akan menyebabkan edema beberapa hari setelahnya. Ginjal yang sehat dengan

mudah akan mengeksresikan cairan yang berlebihan ini. Lakukan pemberian awal

Page 17: tinjauan pustaka HPP

kristaloid yang tidak terbatas, dengan tujuan infus adalah mengganti volume yang hilang

dalam beberapa menit. Perdarahan postpartum hingga 1500 mL pada wanita hamil yang

normal dapat ditangani dengan pemberian kristaloid saja jika penyebab perdarahan dapat

dihentikan. Hilangnya darah umumnya memerlukan tambahan tranfusi PRBC.

Karena sebagian besar volume kristaloid akan berpindah ke ruang interstisial,

maka penggunaan koloid untuk resusitasi telah diteliti. Koloid sebagian besar akan

tertahan di ruang intravaskuler, yang termasuk albumin, dextran, hidroxyethyl starch

(HES), dan gelatin yang dimodifikasi. Volume koloid yang banyak (>1000-1500

mL/hari) dapat menyebabkan efek samping pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid

yang telah diteliti memiliki kelebihan terhadap NS, dan karena harganya yang mahal dan

efek samping yang disebabkannya, maka kristaloid lebih direkomendasikan untuk

resusitasi.

Transfusi Darah

Segera siapkan transfusi darah jika perdarahan terjadi terus menerus dan diperkirakan

telah melebihi 2000 mL atau keadaan klinis pasien mencerminkan keadaan ke arah shock

walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang agresif. Data dari berbagai sumber

mendapatkan bahwa hanya 1 dari 16-40 wanita yang mengalami perdarahan postpartum

memerlukan transfusi jika manajemen aktif kala tiga digunakan, sedangakan jika

manajemen ekspektasi digunakan didapatkan 1 dari 9 wanita memerlukan tranfusi.

Whole blood sudah jarang ditemukan pada sebagian besar tempat, dan untuk

banyak alasan, maka PRBC digunakan bersamaan dengan komponen-komponen darah

lainnya dan diberikan jika ada indikasi. Sebagian besar unit medis harus memiliki akses

terhadap PRBC O-type Rh-negatif yang belum dicrossmatch untuk persiapan mengatasi

perdarahan yang sangat masif. Sediakan darah yang telah dicrossmatch untuk tranfusi

dalam 30 menit. Petugas medis harus mengetahui kemampuan unit penyedia darah untuk

menyediakan darah sesuai dengan waktu, tipe dan jumlah yang diperlukan dalam keadaan

darurat. Komunikasi yang baik dengan unit transfusi sangat penting.

Tujuan dari tranfusi adalah segera melakukan transfusi 2-4 U PRBC untuk

menggantikan kapasitas pengangkutan oksigen yang hilang dan untuk mengganti volume

cairan yang hilang. Gunakan infus set dengan filter khusus, dan gunakan penghangat

Page 18: tinjauan pustaka HPP

darah jika infus rate >100mL/min atau total volume yang ditransfusikan tinggi. Resiko

dari transfusi antara lain adalah infeksi, reaksi transfusi, dan perkembangan antibodi

atipikal. Resiko terjadinya hipotermia dicegah dengan penggunaan penghangat darah.

Respons terhadap Resusitasi

Monitor tingkat kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, dan urine output selama dilakukan

resusitasi. Urine output sebanyak 30 mL/jam mengindikasikan perfusi ginjal yang

adekuat. Monitor juga CBC count, koagulasi, dan gas darah untuk melihat status asam-

basa. Pulse oximetry juga sangat berguna untuk memonitor perfusi jaringan dan saturasi

oksigen. Auskultasi paru dapat membantu mendeteksi terjadinya edema pulmoner atau

perkembangan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada pasien kritis yang

mengalami perdarahan terus menerus, pemasangan central venous line dapat berguna

dalam resusitasi. Pemasangan arterial line juga dapat membantu monitoring tekanan

darah. Tetapi hanya sedikit pasien dengan perdarahan postpartum yang memerlukan

monitoring invasif seperti itu.

2.7.2 MANAJEMEN FAKTOR PENYEBAB PERDARAHAN POSTPARTUM

a. Atonia Uteri

Tergantung pada banyaknya perdarahan dan derajat atonia uteri, dibagi dalam 3

tahap:

Tahap I Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara

pemberian uterotonika, mengurut rahim (massage), dan memasang gurita.

Tahap II Bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya

berikan infus dan transfusi darah dan dapat dilakukan:

- perasat (maneuver) Zangemeister

- perasat (maneuver) Fritch

- kompresi bimanual

- kompresi aorta

- tamponade utero-vaginal

- jepitan arteri uterina dengan cara Henkel.

Page 19: tinjauan pustaka HPP

Tamponade utero-vaginal walaupun secara fisiologis tidak tepat, hasilnya masih

memuaskan, terutama di daerah pedesaan di mana fasilitas lainnya sangat minim atau

tidak ada.

Tahap III Bila semua upaya di atas tidak menolong juga, maka usaha terakhir

adalah menghilangkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dua cara, yaitu dengan

meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.

b. Trauma traktus genitalis:

Trauma pada traktus genitalis adalah penyebab perdarahan postpartum yang paling

mungkin jika uterus berkontraksi baik. Gunakan analgesia yang tepat serta cahaya

dan posisi yang baik dalam bekerja.

Visualisasikan secara langsung dan inspeksi serviks dengan bantuan ring

forceps. Anterior lip dijepit dan serviks diinspeksi dengan menggunakan ring forceps

kedua yang diletakkan pada arah jam 2, diikuti dengan gerakan memutar sehingga

semua sirkumferensial dapat diinspeksi. Laserasi kecil dan tidak berdarah pada

serviks tidak memerlukan penjahitan. Jahit semua perdarahan yang lebih panjang dari

2 cm.

Gunakan benang absorbable (catgut atau polyglycolic), dengan jahitan jelujur

interlocking (Feston) untuk semua repair kecuali untuk kulit perineum. Pastikan

semua jahitan dimulai diatas apex dari robekan. Jika apex tidak dapat

divisualisasikan, jahit setinggi mungkin lalu gunakan untuk menarik sehingga apex

robekan dapat terlihat. Laserasi diobservasi perdarahannya setelah robekan selesai

dijahit.

Laserasi pada liang vagina harus divisualisasikan dengan baik dan sejauh

mana laserasi yang terjadi harus diketahui sebelum melakukan repair. Laserasi yang

terletak tinggi pada liang vagina dan tampak ekstensi dari serviks kemungkinan dapat

melibatkan uterus atau menuju ke broad ligament atau hematoma retroperitoneal.

Kedekatan organ ureter pada forniks vagina lateral, dan dasar dari buli-buli pada

forniks anterior, harus dipertimbangkan dalam melakukan perbaikan, karena

penempatan jahitan yang salah dapat menyebabkan terjadinya fistula genitourinari.

Jahitan dilakukan dengan menggunakan benang absorbable, dengan teknik jelujur

Page 20: tinjauan pustaka HPP

interlocking (Feston). Jahitan harus dimulai dan diakhiri pada apex luka. Lalu,

laserasi harus diobservasi untuk melihat adanya perdarahan setelah repair selesai.

Penekanan pada luka untuk mencapai hemostasis dapat dilakukan.

c. Perdarahan pada kelahiran Cesarean:

Di masa lalu, sebagian besar perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam

adalah disebabkan oleh karena atonia uterus, namun, data terbaru menunjukkan

bahwa banyak kasus sekarang yang berhubungan dengan persalinan melalui Sectio

Cesarean.

Ruptur uteri juga telah menjadi penyebab yang lebih sering terjadinya

perdarahan postpartum yang masif yang memerlukan tindakan histerektomi.

Mayoritas kasus-kasus ini adalah pasien dengan riwayat persalinan dengan Sectio

Cesarean. Selalu lakukan konseling pada pasien dengan riwayat plasenta previa dan

terutama pasien dengan scar segmen bawah uterus (SBR) pada saat antenatal care

mengenai resiko terjadinya perdarahan postpartum dan kemungkinan perlunya

transfusi, bahkan histerektomi. Pastikan pasien-pasien ini dirawat di fasilitas dengan

sumberdaya yang mampu menangani jika komplikasi terjadi.

Manajemen perdarahan setelah sectio cesarea maupun karena ruptur uteri

tidak berbeda jauh dengan kelahiran pervaginam. Resusitasi agresif dilakukan dengan

tujuan utama mengembalikan volume sirkulasi dan kapasitas pengangkutan oksigen

serta memperbaiki hemostasis. Kompresi bimanual dapat dilakukan jika terjadi atonia

uteri. Injeksi uterotonika langsung intramyometrium dapat dilaksanakan. Vasopressin

(0.2 U dalam 1 mL NS) dapat juga langsung diinjeksikan ke myometrium, dengan

menghindari pembuluh darah. Pembuluh darah pada plasenta bed dapat diligasi

tersendiri untuk menghentikan perdarahan. Jika reproduksi tidak dikehendaki lagi,

maka segera pertimbangkan histerektomi, juga jika perdarahan dan kerusakan pada

uterus tampak sangat berat.

d. Ruptur Uteri:

Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan

cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia; dan pada

Page 21: tinjauan pustaka HPP

persalinan wanita yang pernah mengalami seksio sesarea atau pembedahan lain pada

uterus. Pada persalinan dengan kemungkinan distosia perlu diamat-amati terjadinya

regangan segmen bawah uterus dan apabila tanda-tanda itu ditemukan, persalinan

harus diselesaikan dengan segera, dengan cara yang paling aman bagi ibu dan anak.

Mengenai pencegahan ruptura uteri pada wanita yang pernah mengalami seksio

sesarea, di beberapa negara terdapat pendapat bahwa sekali seksio, seterusnya seksio.

Pendirian ini tidak dianut di Indonesia. Seorang wanita yang mengalami seksio

sesarea untuk sebab yang hanya terdapat pada persalinan yang memerlukan

pembedahan itu untuk menyelesaikannya, diperbolehkan untuk melahirkan pervagi-

nam pada persalinan berikutnya. Akan tetapi ia harus bersalin di rumah sakit, supaya

diawasi dengan baik. Kala II tidak boleh berlangsung terlalu lama dan pemberian

oksitosin tidak dibenarkan. Ketentuan bahwa tidak perlu dilakukan seksio sesarea

ulangan pada wanita yang pernah mengalami seksio sesarea tidak berlaku untuk

seksio sesarea klasik.

Di sini, berhubung adanya bahaya yang lebih besar akan timbulnya ruptura

uteri, perlu dilakukan seksio sesarea. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu

sebelum jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio

sesarea sebelum persalinan mulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37

minggu. Apabila terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik ialah laparotomi. Janin

dikeluarkan dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika

janin sudah tidak dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak

dilahirkan pervaginam, kecuali jika janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus

dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap

diagnosis ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin di lahirkan, perlu diperiksa

dengan satu tangan dalam uterus apakah ada ruptura uteri.

Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam

usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal

itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata

seperti pada ruptura parut bekas seksio sesarea, dan tidak ada tanda-tanda infeksi.

Pengobatan untuk memerangi syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan

penderita dengan ruptura uteri.

Page 22: tinjauan pustaka HPP

Histerektomi harus dipertimbangkan sebagai pilihan utama jika terjadi

perdarahan uterus yang terus menerus dan tidak dapat dihentikan, atau jika lokasi dari

ruptur uteri terletak di beberapa tempat, longitudinal, atau terletak di bagian bawah.

Page 23: tinjauan pustaka HPP

DAFTAR PUSTAKA

Sarwono P. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka. 1999.

Smith, John R. Postpartum Hemorrhage.

Available at: http://www.emedicine.com/med/topic3568.htm. E-medicine. 2006.

R. Mochtar. Sinopsis Obstetri Jilid Satu. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998

Gerard GN, Krystle QP, et.al. Uterine Rupture in Pregnancy.

Available at: http://www.emedicine.com/med/topic3746.htm. E-medicine. 2006.