tindak pidana korporasiolehprof.mardjono

25
1 Mardjono Reksodiputro TINDAK PIDANA KORPORASI DAN PERTANGGUNGJAWABANNYA Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia Makalah ini merupakan penyempurnaan dari sebuah makalah lama yang pernah saya sampaikan di Auditorium PTIK pada Upacara Dies Natalis PT1K Ke-47 dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolistan Angkatan XXVIIIISoekamo Djojonegoro, pada 17 Juni 1993.Duapuluh tahun yang lalu, RKUHP baru saja diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh (Maret 1993) yang kemudian meneruskannya kepada Menteri Kehakiman Oetojo Oesman (April 1993). 1 Pada waktu makalah Pidato Dies PTIK ini disampaikan, belum banyak tulisan di Indonesia tentang pertanggungjawaban korporasi 2 . Tentu lain halnya sekarang (tahun 2014), karena itu saya merasa bahwa pengertian tentang “pertanggungjawaban pidana korporasi” dan “kejahatan korporasi”sudah sangat dikenal dalam dunia ilmu hukum di Indonesia. Namun,yang mengherankan saya adalah tidak adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung yang memberi pencerahan bagaimana pengadilan harus menangani kasus-kasus di mana perbuatan perorangan (natural person) harus dipertanggungjawabkan oleh korporasi (legal person).Sebaliknya banyak sekali peraturan perundang-undangan kita menyatakan bahwa tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya dapat dilakukan oleh korporasi dengan meningkatkan ancaman pidananya 3 . 1 Oleh Menteri Kehakiman Oetojo dan Dirjen Bagir Manan, konsep ini ditahan selama 5 tahun dengan alasan perlu lebih disempurnakan (?) dan kemudian tibalah lengsernya Presiden Suharto dan Menteri-menterinya (1998), sehingga RKUHP ini terkatung-katung dan terlupakan selama 19 tahun. 2 Tulisan yang ada adalah dari Agustinus Pohan (1988); Mardjono Reksodiputro (1989) dan Muladi dan Dwidja Priyatno (1991). Sesudah itu telah banyak tulisan, disertasi dan buku diterbitkan, antara lain buku yang diterjemahkan dari sejumlah karangan Prof.D.Schaffmeister, Prof N.Keijzer, dan Mr E.PH.Sutorius dalam Penataran Konsorsium Ilmu Hukum (1995) yang memuat karangan “Kepelakuan Pidana Badan Hukum” (hal.272 – 290) dan tentu saja buku yang merupakan terjemahan buku Prof D.Hazewinkel-Suringa dan Prof Jan Remmelink, yang memuat Sub-bab khusus (2.3.3) tentang Korporasi sebagai subyek tidak pidana (hal.97 – 113). 3 Yang tertua adalah UU No.7Drt 1955 jo UU No.1 1961 tentang Tindak Pidana Ekonomi, sesudah itu antara lain kita lihat: UU No.10/1995 (Kepabeanan); UU No.11/1995 (Cukai); UU.No.22/1997 (Narkotika);UU No.23/1997 (Lingkungan Hidup); UU No.24/1999 (Lalu-lintas Devisa); UU No.31/1999 (Korupsi); UU

Upload: dyan-bona

Post on 17-Jan-2016

68 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hdhdthhdyh

TRANSCRIPT

Page 1: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

1

Mardjono Reksodiputro

TINDAK PIDANA KORPORASI

DAN PERTANGGUNGJAWABANNYA

Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia

Makalah ini merupakan penyempurnaan dari sebuah makalah lama yang pernah saya

sampaikan di Auditorium PTIK pada Upacara Dies Natalis PT1K Ke-47 dan Wisuda Sarjana

Ilmu Kepolistan Angkatan XXVIIIISoekamo Djojonegoro, pada 17 Juni 1993.Duapuluh

tahun yang lalu, RKUHP baru saja diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh

(Maret 1993) yang kemudian meneruskannya kepada Menteri Kehakiman Oetojo Oesman

(April 1993).1

Pada waktu makalah Pidato Dies PTIK ini disampaikan, belum banyak tulisan di Indonesia

tentang pertanggungjawaban korporasi2. Tentu lain halnya sekarang (tahun 2014), karena

itu saya merasa bahwa pengertian tentang “pertanggungjawaban pidana korporasi” dan

“kejahatan korporasi”sudah sangat dikenal dalam dunia ilmu hukum di Indonesia.

Namun,yang mengherankan saya adalah tidak adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung

yang memberi pencerahan bagaimana pengadilan harus menangani kasus-kasus di mana

perbuatan perorangan (natural person) harus dipertanggungjawabkan oleh korporasi (legal

person).Sebaliknya banyak sekali peraturan perundang-undangan kita menyatakan bahwa

tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya dapat dilakukan oleh korporasi dengan

meningkatkan ancaman pidananya3.

1 Oleh Menteri Kehakiman Oetojo dan Dirjen Bagir Manan, konsep ini ditahan selama 5 tahun dengan alasan perlu lebih disempurnakan (?) dan kemudian tibalah lengsernya Presiden Suharto dan Menteri-menterinya (1998), sehingga RKUHP ini terkatung-katung dan terlupakan selama 19 tahun.

2 Tulisan yang ada adalah dari Agustinus Pohan (1988); Mardjono Reksodiputro (1989) dan Muladi dan Dwidja Priyatno (1991). Sesudah itu telah banyak tulisan, disertasi dan buku diterbitkan, antara lain buku yang diterjemahkan dari sejumlah karangan Prof.D.Schaffmeister, Prof N.Keijzer, dan Mr E.PH.Sutorius dalam Penataran Konsorsium Ilmu Hukum (1995) yang memuat karangan “Kepelakuan Pidana Badan Hukum” (hal.272 – 290) dan tentu saja buku yang merupakan terjemahan buku Prof D.Hazewinkel-Suringa dan Prof Jan Remmelink, yang memuat Sub-bab khusus (2.3.3) tentang Korporasi sebagai subyek tidak pidana (hal.97 – 113).

3 Yang tertua adalah UU No.7Drt 1955 jo UU No.1 1961 tentang Tindak Pidana Ekonomi, sesudah itu antara lain kita lihat: UU No.10/1995 (Kepabeanan); UU No.11/1995 (Cukai); UU.No.22/1997 (Narkotika);UU No.23/1997 (Lingkungan Hidup); UU No.24/1999 (Lalu-lintas Devisa); UU No.31/1999 (Korupsi); UU

Page 2: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

2

Pengantar

Sebagai sarjana yang lebih banyak menekuni masalah Kriminologi daripada Hukum Pidana

dan Hukum Acara Pidana, maka pendekatan saya tidaklah terlalu yuridis4. Perrnasalahan

yang ingin dibahas disini adalah berubahnya wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang

disebabkan oleh perkernbangan pembangunan nasional kita. Malahan ada benarnya bilarnana

dikatakan bahwa masyarakat yang lebih rnakrnur dan ciri negara yang ingin rneratakan

pernbangunan, telah rnembuka dimensi-dimensi baru tentang kejahatan dan pelakunya.

Perubahan yang akan dibahas di sini adalah tentang tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi suatu kesatuan yang disamakan

dengan rnanusia.

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Rancangan KUHP Nasional) yang telah

diserahkan kepada Menteri Kehakirnan Ismail Saleh,SH5, pada tanggal 17 Maret 1993 dan

akhirnya sampai di DPR Desember 2012 (setelah 19 tahun !), telah rnempertirnbangkan

perubahan ini. Salah satu contoh tentang hal ini adalah diakuinya dalam hukum pidana

umum, bahwa korporasi dapat merupakan subyek hukum pidana. Hal ini berbeda dengan apa

yang dikenal sekarang dalarn KUHP kita yang berasal dari jaman Hindia Belanda (mulai

berlaku tahun 1918; dan dengan segala perubahannya sarnpai 8 Maret 1942 kemudian

dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dengan UU No. 73 tahun

1958). Dari penafsiran urnum yang berlaku berdasarkan sifat KUHP, maka yang dapat

menjadi pelaku kejahatan hanyalah manusia. Dan berdasarkan pasal 59 KUHP kita, pengurus

korporasilah yang harus bertanggung­jawab. Hal ini berbeda dengan Rancangan KUHP

Nasional yang telah memungkinkan suatu korporasi menjadi subyek hukum pidana dan

dimintakan langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apabila Rancangan ini nani

menjadi kenyataan sebagai peraturan perundang-undangan Indonesia, maka akan mulai

No.23/2002 (Perlindungan Anak); UU No.27/2003 (Panas Bumi); UU No.29/2004 (Praktik Kedokteran); UU No.21/2007 (Perdagangan Orang); UU No.44/2008 (Pornografi); UU No.8/2010 (Pencucian Uang).

4 Pendekatan serupa adalah antara lain dari D.Soedjono (1989); J.E.Sahetapy (1994); Susanto (1995); Arief Amrullah (2006); Yusuf Shofie (2011) dan Etty Utju R.Koesoemahatmadja (2011)

5 Lihat catatan no.1 – kelambatan dari dari Menteri Oetojo (Orde Baru) ingin diperbaiki oleh Menteri Kehakiman Muladi dengan mengajukan Rancangan KUHP Nasional ini ke Sekretariat Negara pada masa Presiden Habibie (awal Era Reformasi), namun gagal karena perubahan iklim politik ke Presiden Gus Dur.

Page 3: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

3

berubah pulalah pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia. Marilah kita masuki

permasalahan ini secara historis dan sistematis.

Sejarah singkat

Para perancang KUHP yang sekarang berlaku (yang nama resminya adalah Wetboek van

Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) menyatakan pada waktu itu, bahwa sebaiknya untuk

Hindia-Belanda diberlakukan satu KUHP saja, yang berlaku bersama untuk golongan Eropa

dan golongan Indonesia (Bumiputera) dan Timur-Asing. Model yang diambil adalah KUHP

yang berlaku di Belanda sejak 1886 (yang menggantikan Code Penal, yang sebelum 1886

berlaku di Belanda). Perlunya kesatuan KUHP untuk Hindia-Belanda ini, mengalami

perbedaan pendapat. Pendapat yang menentang kesatuan (unifikasi) menyatakan, bahwa

kesederhanaan masyarakat Bumiputera belum memungkinkan mereka dapat menyesuaikan

diri pada asas-asas hukum yang berlaku untuk golongan Eropa di Hindia Belanda. Sebaliknya

mereka yang mendukung kesatuan berpendapat, bahwa dalam perkembangan kekuasaan

administrasi Belanda di Hindia­Belanda, KUHP untuk golongan Bumiputera dan Timur-

Asing (mulai berlaku 1873), dalam praktek peradilan, telah disamakan (dengan beberapa

perkecualian) dengan KUHP untuk golongan Eropa (mulai berlaku 1866).6 Dengan alasan-

alasan tambahan, bahwa sejak tahun 1873 "hukum pidana bumiputera" atau "hukum pidana

adat" telah dihapuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka antara tahun 1909-1913

disusunlah rancangan KUHP yang berlaku untuk semua golongan, dengan mempergunakan

sebagai contoh KUHP Belanda 1886, dan kemudian diajukan kepada pemerintah di Belanda

pada tahun 1914. Rancangan ini, dengan beberapa perubahan, diumumkan di Hindia-Belanda

pada bulan Desember 1915, dan kemudian pada tanggal 31 Oktober 1917, dinyatakan akan

berlaku mulai tanggal 1 Januari 1918 di Hindia-Belanda. Inilah riwayat singkat KUHP

yang sekarang berlaku di wilayab Republik Indonesia.

Dalam rancangan KUHP Hindia-Belanda 1918 tersebut, maka pasaI 59 samasekali tidak

mengaIami perubahan daIam sejarah pembentukannya. Rumusannya tepat sama dengan 6 Lihat Geschiedenis van het Wetboek van Strafreht voor Nederlandsch Indie, Amsterdam:J.H.de Bussy,1918; G.A.van Hamel,1927, Inleiding tot de studie van het Nederlandsche Strafrecht, Haalem: De Erven F.Bohn; dan buku Menteri Kehakiman Belanda H.J.Smidt, 1878, Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht (dipergunakan tahun 1880 oleh Menteri Kehakiman Mdderman di Parlrmen Belanda). [lihat selanjutnya Catatan A di akhir makalah ini].

Page 4: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

4

pasal 51 lama KUHP Belanda 1886. Pasal 59 (dan pasaI 51) ini memuat suatu aIasan

penghapus pidana untuk pengurus yang tidak terlibat daIam terjadinya tindak pidana.

Sejak semula pasaI ini telab mengundang pertanyaan: "apakah suatu kesatuan-orang atau

korporasi (seperti pribadi hukum atau "zakelijk lichaam", perkumpulan orang atau

"collectieve persoon", serta badan hukum dan komunitas) dapat merupakan subyek

hukum pidana. Jawaban yang diberikan oleh para ahli menunjukkan tidak adanya

kesepakatan. Namun untuk KUHP Belanda (1886) memang dianut pendapat, bahwa

tidak mungkin dalam hukum pidana umum suatu korporasi menjadi subyek dari suatu

tindak pidana. Yang dapat meniadi subyek hukum pidana hanyalah manusia.

Perkecualiannya adalah apabila haI tersebut diatur secara khusus daIam suatu

undang­undang di luar KUHP Belanda. Permasalaban ini sudah dapat dibaca daIam buku

pelajaran hukum pidana daIam tahun 1920-an.7 Karena hubungan yang ada antara KUHP

Hindia-Belanda dengan KUHP Belanda, maka di Indonesia dianut pula pendapat yang sama.

Penafsiran terhadap Pasal 59 KUHP

Karena itu dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia, dan demikian pula diikuti oleh

pelaksanaan peradilan pidana Indonesia, selalu dikatakan bahwa beban "tugas mengurus"

(zorgplicht) suatu "kesatuan­orang" atau korporasi harus berada pada pengurusnya.

Korporasi bukan subyek tindak pidana. Dengan begitu, maka apabila pengurus tidak

memenuhi kewajiban yang merupakan beban "kesatuan-orang" atau korporasi itu, maka

mereka yang bertanggungjawab menurut hukum pidana. Di dalam praktek, ajaran pertama

ini masih menimbulkan permasalahan. Pertanyaan yang timbul adalah, bagaimana kalau

ketentuan pidana yang bersangkutan memang telah mernberikan kewajiban kepada seeorang

pemilik perusahaan atau pengusaha, sedangkan pemilik atau pengusahanya adalah suatu

korporasi, akan tetapi ketentuan pidana tersebut tidak menyatakan bahwa penguruslah yang

harus bertanggungjawab. Siapakah yang harus dianggap sebagai pelaku tindak pidana itu?

Untuk mengatasi hal tersebut, maka timbul ajaran kedua yang menyatakan bahwa

"korporasi dapat diakui sebagai pelaku (dader), tetapi pertanggungjawaban pidananya 7 Lihat pula pendapat Jan Remmelink,2003, Hukum Pidana.Komentar atas pasal-pasal terpenting KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia, 97-99, yang menyatakan bahwa dari tinjauan sejarah, maka KUHP Belanda pada awalnya menolak pertanggungjawaban korporasi berdasarkan ungkapan universitas delinquere non potest – korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana. [lihat selanjutnya pula Catatan B di akhir makalah ini ].

Page 5: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

5

(penuntutan dan pemidanaan) berada pada pengurus", Oleh karena itu pasal 59 KUHP

kita (=pasal 51 lama KUHP Belanda) harus ditafsirkan menurut ajaran kedua ini, yaitu

bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, hanya saja pertanggungjawaban

pidananya dibebankan kepada pengurus. Yang dapat dihapus pidananya hanyalah pengurus

yang dapat membuktikan dirinya tidak terlibat, sedangkan pengurus yang lain dapat dipidana.

Namun belum tentu pengurus ini adalah pelaku menurut hukum pidana. Apabila ketentuan

pidana yang bersangkutan memberikan kewajiban kepada pengusaha yang berupa korporasi,

maka korporasi inilah yang menurut hukum pidana harus dianggap sebagai pelaku.8 Apabila

dianut penafsiran seperti ini, maka seharusnya di pendidikan tinggi hukum dan di

pengadilan kita, pandangan bahwa KUHP kita hanya mengenal manusia sebagai subyek

hukum pidana haruslah diubah.

Korporasi sebagai subyek tindak pidana

Perkembangan selanjutnya berada di luar KUHP kita. Di atas telah dikemukakan bahwa

perkecualian dari asas bahwa hanya manusia yang merupakan subyek hukum pidana, dapat

dilakukan dalam ketentuan pidana di luar KUHP. Perkecualian ini merupakan dasar dari

ajaran ketiga, yaitu bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana dan sekaligus

bertanggungjawab atas tindakan tersebut. Di Belanda, perkecualian ini diterapkan dalam

tahun 1950 melalui undang-undang delik ekonomi (Wet op de Economische Delicten), yang

kemudian diambil aIih daIam peraturan perundang-undangan Indonesia pada tahun 1955 (UU

No. 7 Drt/1955, tentang tindak pidana ekonomi). Sejak 13 Mei 1955 ini, maka khusus untuk

tindak pidana ekonomi, telah dijadikan subyek hukum pidana yang dapat dituntut dan

dipidana: "badan hukum, perseroan, perserikatan yang lainnya atau yayasan" (pasal 15).

Dalam tahun 1976 Belanda melangkah lebih jauh lagi dan merubah sama sekali pasal 51

mereka, sehingga pasal yang baru menyatakan dengan tegas bahwa dalam hukum pidana

umum (KUHP) Belanda "tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijke personen)

dan badan hukum (rechtspersonen)". Apabila nanti Rancangan KUHP Nasional diterima

8Menurut Remelink (hal.100) perubahan dengan maksud untuk memungkinkan Korporasi dipandang sebagai pelaku dimulai pada hukum pidana fiskal, karena adanya “kewajiban yang dibebankan oleh hukum fiskal kepada pemilik,penyewa atau yang menyewakan … yang sering kali berbentuk korporasi”.Uraian perubahan ini juga dijabarkan dalam Schaffmeister, Keijzer, Sutorius,1995,Hukum Pidana,Editor Penerjemahan J.E.Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum, Yogyakarta:Liberty, hal.272-283 dan 423-434. [lihat selanjutnya Catatan C pada akhir makalah ini ].

Page 6: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

6

menjadi peraturan perundang-undangan Indonesia, dan memuat ketentuan bahwa korporasi

dapat merupakan subyek hulcum pidana, maka ajaran ketiga di atas telah masuk pula dalam

hukum pidana umum Indonesia.9

Dengan (akan) diterimanya korporasi sebagai subyek hukum pidana, maka hal ini berarti

telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).

Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana

dari korporasi ini. Asas utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya

kesalahan (schuld) pada pelaku. Bagaimanakah kita harus mengkonstruksikan kesalahan dari

suatu korporasi ? Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatannya

yang melawan hukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawabannya menurut

hukum pidana.10 Perbuatan melawan hukum ini dilakukan oleh suatu korporasi. Ini sekarang

telah dimungkinkan. Tetapi bagaimana kita mempertimbangkan tentang

pertanggungjawabannya? Dapatkah dibayangkan pada korporasi terdapat unsur kesalahan

(baik kesengajaan atau dolus ataupun kelalaian atau culpa)? Dalam keadaan pelaku adalah

manusia, maka kesalahan ini dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness)

dan karena itu berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana halnya dengan

pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi?

Dalam kenyataan kita mengetahui bahwa korporasi berbuat atau bertindak melalui manusia

(yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan yang pertama adalah, bagaimana

konstruksi hukumnya bahwa perbuatan pengurus (atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai

perbuatan korporasi yang melawan hukum (menurut hukum pidana?. Dan pertanyaan kedua

adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat dinyatakan 9 Lihat Agustinus Pohan,1988,”Korporasi sebagai Subyek dalam Hukum Pidana” (Penataran di FH Universitas Lampung); Mardjono Reksodiputro,1989,”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi” (Seminar Nasional di FH Universitas Diponegoro); Muladi dan Dwidja Priyatno,1991, Pertanggung jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum Bandung; Sutan Remy Sjahdeini,2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers; Eddy O.S.Hiariej (Editor),2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara; Yusuf Shofie, 2011, Tanggung Jwab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya Bakti.

10 Dalam perkembangan pendididkan ilmu hukum pidana di Indonesia terdapat dua aliran ajaran. Pertama (monistis), berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana (sebagai unsur subyektif-terdapat pada pelaku) melekat pada perbuatan melawan hukumnya (unsur obyektif), sedangkan pendapat kedua (dualistis) memisahkannya. Dengan ajaran dualistis lebih mudah menerima bahwa korporasi dapat bertanggungjawab pidana, atas perbuatan melawan hukum organ korporasi.

Page 7: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

7

mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana?

Pertanyaan kedua menjadi lebih sulit apabila dipahami bahwa hukum pidana kita mempunyai

asas yang sangat mendasar yaitu, bahwa: "tidak dapat diberikan pidana, apabila tidak ada

kesalahan (dalam arti celaan)".

Kedua pertanyaan di atas untuk Indonesia mungkin dianggap masih belum dijawab dengan

memuaskan oleh dan untuk kalangan ahli hukum. Dikatakan mungkin, karena sebenarnya

sudah cukup banyak pendapat kalangan ilmu hukum yang membicarakannya secara lisan

(misalnya melalui seminar) maupun tulisan (makalah ataupun dalam buku teks). Tetapi yang

mengherankan adalah bahwa sangat sedikit sekali yurisprudensi perkara pidana Indonesia

(sekurang-kurangnya yang dikumpulkan dan dicatat), dimana korporasi menjadi terdakwa.

Tidak pula mengenai tindak pidana ekonomi, padahal kemungkinan menuntut dan memidana

korporasi telah dimungkinkan sejak tahun 1955 (hampir 40 tahun yang lalu!)11 Keanehan ini

mengundang pertanyaan apakah kalangan penegak hukum di Indonesia, khususnya

kepolisian dan kejaksaan, sudah siap menerima korporasi sebagai tersangka dan terdakwa

di sidang pengadilan?. Sebagai indikator belum tertariknya kalangan penegak hukum

menguji kemungkinan suatu korporasi menjadi tersangka ataupun terdakwa adalah bahwa

permasalahan inipun tidak pernah terungkap pada waktu kalangan hukum (para teoretisi

maupun praktisi) menperdebatkan penyusunan KUHAP 1981 lebih dari tigapuluh tahun yang

lalu! Bukankah dalam KUHAP seharusnya diatur siapa yang mewakili apabila korporasi

menjadi tersangka dan terdakwa ? Apakah dengan demikian harus disimpulkan bahwa

wajah pelaku kejahatan di Indonesia tidak megalami perubahan yang berarti sejak

tahun 1955, ketika undang-undang tindak pidana ekonomi dinyatakan berlaku di

Indonesia? Atau dengan perkataan lain apakah dalam pembangunan selama masa Orde

Lama (1955 – 1967) dan Orde Baru (1967 – 1998) korporasi tidak memainkan peranan

penting dalam kualitas kejahatan yang terjadi di negara kita?(7Dan bagaimana sekarang

11Lihat misalnya dalam Mardjono Reksodiputro, 2007, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Lembaga Kriminologi UI, hal.46-73 dan Mardjono Reksodiputro, 2007, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi UI. hal.136-155.Mungkin masih ada beberapa kasus yang kurang terkenal, tetapi yang saya kenal adalah kasus PT Newmont Minahasa Raya, di mana Terdakwa-1 adalah Perseroan Terbatas dan Terdakwa-2 adalah Presiden Direkturnya. Sayang, JPU dan Pengadilan tidak memberi pendapat hukum mengenai mengapa suatu korporasi dapat didakwa melakukan perbuatan tindak pidana.

Page 8: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

8

dalam masa Era Reformasi yang sudah berjalan -/+ 15 tahun ? Marilah kita membahas

pertanyaan ini dahulu secara singkat.

White Collar Crime & Corporate Crime

Tindak pidana korporasi, menurut pendapat kami, adalah sebagian dari "white collar

criminality" (WCC). Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939, dengan

batasan: "suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial-ekonomi atas,

dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya". Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara

lain menyangkut pengertian tentang apa 'yang sebenarnya dimaksudkan dengan "crime of

corporations", karena dalam rumusan di atas, yang dimaksud dengan: " ... oleh seseorang ...

dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya", adalah pengurus perusahaan (management).

Meskipun WCC memang ditujukan kepada pelaku manusia (natuurlijk persoon), namun pada

akhirnya yang dianggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus dimintakan

pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat manusia yang

bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian ditambah dengan unsur

"penyalahgunaan kepercayaan" (violation of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini

adalah yang diberikan oleh masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima

kepercayaan masyarakat, untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara

jujur dan beritikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan

yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan atau kolusi), telah

menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.

Kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan

keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar.

Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat

dihitung, yaitu misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang

berlaku. Dua kategori besar dapat diambil sebagai contoh. Yang pertama adalah, penipuan

terhadap masyarakat (defrauding the public), seperti: penentuan harga secara tidak wajar

(fixing prices) dan berbohong tentang mutu atau khasiat barang (misrepresenting products).

Sedangkan kategori yang lain adalah membahayakan masyarakat (endangering the public),

seperti dalam hal pencemaran.dan perusakan lingkungan atau membahayakan keselamatan

Page 9: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

9

dan kesehatan pekerja. Semua kegiatan ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi

(perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.12

Pendapat kami yang menyatakan bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian

dari WCC, adalah untuk membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan

pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi

atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas.13 Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian

tindak pidana korporasi dalam uraian ini, misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan

yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel

reparasi kendaraan bermotor yang berskala kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul

sehubungan dengan pertanggungjawaban dan kesalahan, justru ditimbulkan oleh

perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan

perekonomian kita selama masa Presiden Suharto dan sekarang dalam Era Reformasi,

yang telah menumbuhkan berbagai perusahaan besar, maka hukum, termasuk hukum

pidana, dituntut untuk turut berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan

kemajuan yang telah dicapai itu, yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.

Permasalahan hukum pidana, sebagaimana telah disampaikan pada awal uraian ini, justru

disebabkan oleh karena perbuatan tindak pidana korporasi ini selalu dilakukan secara

rahasia, sukar diketahui dan seringkali para korbanpun tidak mengetahui kerugian yang

dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah "puncak gunung es" saja. Karena hanya

sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi yang dapat diungkapkan untuk diajukan ke

pengadilan, maka menuntut pertanggungjawaban korporasi akan memberikan efek

pencegahan yang lebih besar, ketimbang meminta pertanggungjawaban dari pengurusnya14.

12 Lihat misalnya Susanto, 1995, Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro dan Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia.

13 Dalam perkuliahan saya membedakan antara WCC (Kejahatan Kerah-Putih) yang merupakan kejahatan individual yang dilakukan oleh manajemen atau organ korporasi, dengan Kejahatan Oleh Organisasi (KOO), yaitu Corporate Crime yang memerlukan corporate criminal liability – dan saya bedakan lagi dari Kejahatan Terorganisasi (KTO), yaitu Organized Crime yang dilakukan oleh Mafia,Yakusa,Triad,dsb-nya.

14 Dengan menghukum Korporasi dengan denda bernilai tinggi, maka kita akan mengenai keuangan Korporasi dan secara tidak-langsung para Pemegang Saham, agar mereka mengawasi pemilihan manajemen korporasi yang taat hukum melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Manipulasi Pajak Perusahaan yang banyak terjadi di Indonesia (a.l.Kasus Gayus Tambunan), harus berani menghukum korporasinya dan manajemennya !

Page 10: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

10

Tentunya tidak ditutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang yang

langsung bertanggungjawab atas perbuatan korporasi tersebut.

Konstruksi hukum

Kebijaksanaan dalam penegakan hukum pidana (politik kriminal; criminal policy) untuk

menuntut pertanggungjawaban korporasi, memerlukan perkembangan dalam ilmu hukum

pidana yang lebih maju dari keadaan sekarang. Dua pertanyaan di bagian muka uraian ini

masih harus dijawab. Yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang

harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada

korporasi.Saya tidak dapt memberikan uraian ilmiah mendalam dalam permasalahan (ilmu)

hukum ini. Cukup kiranya dikemukakan alur pikiran utama yang berhubungan dengan pasal-

pasal baru yang menyangkut korporasi dalam Rancangan KUHP Nasional.15

Bagiamana dapat kita katakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh satu atau lebih

anggota pengurus korporasi, atau oleh seorang pegawai korporasi, atau oleh seorang yang

bukan pegawai korporasi tetapi mempunyai kuasa dari pengurus korporasi, adalah

perbuatan yang harus dianggap sebagai perbuatan korporasinya sendiri? Atau secara

singkat, bilamanakah dapat kita katakan bahwa korporasi bersangkutan telah melakukan

tindak pidana ?

Suatu pendapat yang rupanya merujuk ke bahan pustaka hukum pidana Inggris

mempergunakan "teori identifikasi”. Rupanya perbuatan pengurus atau pegawai suatu

korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri.

Sayangnya tidak ada penjelasan mendalam lebih lanjut tentang asas ini.16 Karena pengertian

korporasi dan badan hukum (rechtspersoon) adalah suatu konsep hukum perdata, maka

sebaiknya pada awal pun dicari pemahaman dari asas di atas dalam hukum perdata. Pada

15Dalam buku Remmelink, 2003, op.cit. permasalahan ini dibahas secara mendalam (hal. 97 – 113) dan di bahan penataran Schaffmeister dkk, 1995, op.cit.- lihat catatan no.7 dan 8 di atas.

16 Rujukan yang dimaksud adalah dalam buku Muladi dan Dwidja Priyatno,op.cit. hal.91 – 92, ajaran identifikasi ini hanya disebut, tanpa rujukan. Remmelink op.cit. hal.106-107 menjelaskannya sebagai tindakan fungsional dan merujuk pada putusan Ijzerdraad – Kawat-duri HR Februari 1954. Schaffmeister dkk op.cit. juga mempergunakan istilah pembuat-pidana fungsional (hal.275-276 dan 279 – 283).

Page 11: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

11

mulanya dalam hukum perdata juga terjadi perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum

dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen). Namun, melalui asas

kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (billijkheid) sebagai dasar utama, maka ilmu hukum

perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat dianggap bersalah melakukan

perbuatan melawan hukum, lebih-Iebih dalam lalu lintas perekonomian. Ajaran ini

mendasarkan diri pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat

dipertanggung jawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak

melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan badan

hukum bersangkutan. Dengan demikian, maka badan hukum juga tidak dapat melepaskan diri

dari kesalahan yang dilakukan oleh pengurus. Kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) dari

pengurus harus dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari badan hukum sendiri.17

Menurut saya, cara berpikir dalam hukum perdata ini harus dapat diambil alih ke dalam

hukum pidana.

Dalam ilmu hukum pidana Indonesia gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering

dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader). Dalam

literatur ilmu hukum pidana sekarang, diingatkan bahwa dalam lingkungan sosial-ekonomi

seorang pembuat tidaklah perlu selalu melakukan perbuatan tindak pidana itu secara fisik.

Dapat saja perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawainya. Karena perbuatan korporasi selalu

diwujudkan melalui perbuatan rnanusia, maka pelimpahan pertanggungjawaban dari

perbuatan manusia ini menjadi perbuatan korporasi, dapat dilakukan apabila perbuatan

tersebut dalam lalu-lintas kehidupan-bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi

yang bersangkutan. Ini yang dikenal dalam bahan pustaka hukum pidana sebagau "pelaku

fungsional" (functionele dader)18. Dengan konstruksi yang dipinjam dari hukum perdata di

atas, ditambah dengan ajaran mengenai "pelaku fungsional", maka bagi penegak hukum di

Indonesia seharusnya tidak ada permasalahan hukum lagi untuk mengajukan suatu

17 Dalam hukum perdata dikenal juga beberapa ajaran tentang Badan Hukum, organische leer, fictie leer dan vereenzelviging leer (yang terakhir ini mirip dengan ajaran identifikasi). Lihat juga Remmelink op.cit.hal.104 dan Schaffmeister dkk op.cit.(Pertumbuhan Secara Bertahap – hal.274 – 278 dan 425 -429). [lihat selanjutnya Catatan D pada akhir makalah ini ].

18 Kriteria pelaku fungsional untuk korporasi pertama kali diajukan oleh B.V.A.Roling dalam “De Strafbaarheid van de Rechtspersoon”,TvS 1959,Jilid LXVI – dan dapat juga dilihat dalam karangan A.L.J. van Strien, “Het daderschap van de rechtspersoon bij milieudelicten” dalam buku M.G.Faure cs, 1991, Zorgen van Heden, Gouda Quint, hal.257 – 288. [lihat juga selanjutnya Catatan E pada akhir makalah ini ].

Page 12: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

12

korporasi sebagai tersangka dan terdakwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sejauh

hal itu dibenarkan oleh undang-undang (misalnya undang-undang tindak pidana ekonomi).

Cukuplah kalau dapat dibuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu

dalam lalu-lintas kehidupan-bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang

bersangkutan. Kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan

korporasi.19

Tadi sudah dikatakan bahwa perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan

manusia. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan manusia yang dapat dipertanggungjawabkan

kepada korporasi dapat dipisahkan antara: pengurus, orang di luar badan pengurus tetapi

mempunyai wewenang mewakili korporasi berdasarkan anggaran dasar, dan mereka yang

mewakili korporasi secara lain. Mengenai pengurus dan orang lain yang mewakili sesuai

anggaran dasar korporasi, konstruksi hukum yang disarnpaikan di atas dapat dipergunakan.

Tetapi bagaimana dengan mereka yang mewakili korporasi secara lain. Mengenai yang

terakhir ini, dalam praktek sering terjadi bahwa pelaku secara fisik adalah orang (dapat

manusia atau korporasi lain) yang secara organisatoris tidak mempunyai hubungan sama

sekali dengan korporasi yang dituduhkan melakukan tindak pidana. Dalam hal ini maka

konstruksi hukum perdata mengenai "perwakilan" (vertegenwoordiging) dan "pemberian

kuasa" (lastgeving) juga dapat dipergunakan. Dan karena itu melalui konstruksi hukum

"siapa secara nyata memimpin atau memberi perintah" (feitelijke leidinggever en

opdrachtgever), yaitu orang dalam korporasi, maka perbuatan "orang lain" tersebut juga

dapat dipertanggung jawabkan kepada korporasi yang bersangkutan.20

Masih dapat dipermasalahkan pula, apakah alasan penghapus pidana (atau kesalahan)

dapat juga diajukan oleh korporasi ? Dan selanjutnya apakah alasan penghapus pidana

19 Lihat Remmelink op.cit. hal.107 – 108 dan Schaffmeister op.cit. hal.275 -276 dalamkaitan dengan asas AVAS (Afwezigheid Van Alle Schuld) – “Melk en Water arrest” dan hal.434 – 436 dalam “Koppelbazen BV arrest”. [lihat selanjutnya juga Catatan F di akhir makalah ini ].

20Lihat Schaffmeister dkk op.cit. hal.286-288 tentang “tanggungjawab pemberi perintah dan/atau pemberi pimpinan yang nyata” dan juga Remmelink op.cit. hal.108 -109 juga mempermasalahkan “kemungkinan pegawai rendahan perusahaan dapat memainkan peranan penting, sehingga melalui tindakan tersebut korporasi juga memnuhi unsur kesengajaan” dan “kemungkinan tersebenarnya dan terpenuhinya unsur-unsur delik oleh sejumlah orang yang berbeda”. Menurut saya hal ini dan juga tentang pemberian kuasa (misalnya kepada kantor hukum atau kantor akuntan) MA Indonesia harus memberikan pendapat untuk menjadi yurisprudensi tetap/baku. [lihat pula selanjutnya Catatan G pada akhir makalah ini ].

Page 13: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

13

(kesalahan) yang dapat diajukan oleh pelaku manusia (pengurus, pegawai atau kuasa) yang

sebenarnya melakukan perbuatan itu untuk korporasi, dapat pula diajukan oleh korporasi

dalam pembelaannya ? Mengenai pertanyaan pertama jawabannya adalah positif, juga bagi

korporasi harus berlaku asas "tidak dapat diberikan pidana apabila tidak ada kesalahan".

Pengertian kesalahan pada korporasi namun jangan dibayangkan serupa dengan keadaan

batin (psyche) manusia. Untuk korporasi pengertian kesalahan harus dilihat dari dicelanya

perbuatan tertentu, karena korporasi mempunyai kemungkinan (dalam situasi perbuatan

tertentu) untuk bertindak lain (tindakan alternatif) sedangkan tindakan alternatif tersebut

secara wajar dapat diharapkan untuk dilakukan oleh korporasi (dalam situasi perbuatan

bersangkutan). Karena tidak dipilihnya tindakan alternatif tersebut, maka korporasi dapat

dicela atau disalahkan.21 Mengenai pertanyaan kedua dapat diterima pendapat, bahwa alasan

penghapus pidana (kesalahan) harus dicari pada korporasi sendiri dan bukan melalui pelaku

manusia (pengurus, pegawai, atau kuasa) yang sebenarnya bertindak. Dengan demikian

apabila pelaku manusia (yang mewakili korporasi) tersebut dapat mengajukan alasan

penghapus pidana (kesalahan), maka belum tentu hal tersebut dapat diajukan oleh korporasi

sebagai pembelaannya.

----------

PERKEMBANGAN DI LUAR INDONESIA

Perkembangan di Belanda22

Pasal yang mengatur pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi yang lama adalah pasal

51-lama (sejak 1886) dan diperbaharui menjadi pasal 50a (sejak 1965).Tahun 1976 pasal

tersebut diperbaharui kembali menjadi pasal 51-baru, yang menyatakan:

“1.There are two categories of criminal offenders: natural persons and legal entiries;

21 Tidak dipilihnya alternatif untuk tidak melanggar melanggar hukum, dianggap sebagai penerimaan (acceptance) atau persetujuan korporasi atas pilihan tersebut .

22 Disarikan dari karangan Prof.Nico Keijzer,2013,Criminal Liability of Corporations Under the Law of the Netherlands, tidak diterbitkan, dikirim dengan e-mail 15 Juni 2013- sebagai teks makalah yang telah dipresentasikannya di Jakarta di muka forum Satgas REDD UKP4 pada tanggal 20 Mei 2013.

Page 14: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

14

2.Where a criminal offense is committed by a legal entity, criminal proceedings may be

instituted and such penalties and measures as prescribed by law, where applicable, may be

imposed:

(1)against the legal entity; or

(2)against those who have ordered the commission of the criminal offence, and against

those in control of the unlawful conduct; or

(3)against the persons mentioned under (1) and (2) jointly.

3.In the application of the preceding section, the following are deemed to be equivalent to

legal entities : unincorporated companies, partnerships, ship owning firms and special

funds.”

Berdasarkan perumusan di atas ini, maka kata “Barangsiapa (Hij die …)” dalam setiap

perumusan delik harus dibaca sebagai termasuk korporasi.23

Hoge Raad (HR) dalam tahun 2003 telah memberikan ikhtisar tentang case law yang lalu,

sehubungan dengan kriteria untuk pelaku-korporasi, dengan berpendapat bahwa pelaku

tersebut harus dapat memenuhi satu atau lebih faktor berikut :

“-Has there been an act or omission of someone who either because of his employment or for

other reasons was working for the legal entity ?;

-Did the conduct fit in the normal business of the legal entity ?;

-Was the conduct beneficial to the business of the legal entity ?;

-Was the legal entity able to decide whether the conduct should take place or not ?;

-Was, as appears from the actual course of things, this conduct or similar conduct accepted

or usually accepted by the legal entity ? (Acceptance includes: not properly taking care of

preventing such conduct, as cold reasonably be demanded from the legal entity”.

Sehubungan dengan mens rea dikatakan oleh Keijzer : “In the case law it has been

accepted,…, that also corporations may act intentionally or negligently.We then use the

words in a slightly different sense than in relation to natural persons: they do not refer to a

23Menurut UU No.8/2010 tentang Pencucian Uang, Korporasi adalah Kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Page 15: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

15

psychological state of the human mind but they only contain judgements regarding the

conduct of the corporation”. Untuk menjelaskan lebih lanjut Keijzer mengutip KUHP

Australia (1995) Paragraf 12.3-(1):”If intention, knowledge or recklessness is a fault element

in relation to a physical element of an offense, that fault element must be attributed to a body

corporate that expressly, tacitly or impliedly authorized or permitted the commission of the

offense”. Dengan penjelasan ini, - menurut saya - Keijzer ingin menjelaskan bahwa Belanda

tidak lagi mempermasalahkan apakah korporasi dapat punya mens rea – yang penting adalah

bahwa perbuatan itu “diakui” atau “diterima” (accepted) sebagai perbuatan korporasi oleh

lalu-lintas (bisnis) di masyarakat (Kasus Department Store Bijenkorf – diputus HR tahun

1952).

Kriteria mengenai “being in control of the commission of the offense” menurut Keijzer ada

beberapa:

“ a)He omits to take such measures, and knowingly accepts the considerable risk that such

prohibited conduct will occur;

b)Ordering the offense to be committed – generally considered a special form of being in

control;

c) It is not a requirement, for being considered having been in control of the commission

the offense, that one holds a specific position in the organization of the corporation –

even outsiders, people who did not appear on her pay-roll, have been deemed in

controle of offenses committed by a corporation.”

Adanya beberapa teori/model tentang cara menjelaskan pertanggungjawaban pidana

korporasi, membuat Keijzer mencoba membedakannya dengan teori/model/ajaran HR (yang

diberinya nama legal-reality model. Dikatakannya :

“A difference with:

-the vicarious-liability model – is that the Dutch view the corporation herself is the actor;

-the strict-liability model – is that under Dutch law, corporations can commit all kinds of

offenses, including crimes with an element of mens rea (intent or negligent);

-the aggregation model – is that under Dutch law the liability may be based on the conduct

Page 16: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

16

of the corporation herself, e.g. her not complying with licence conditions;

-the identification model – is that under Dutch law the courts are not required to establish

which organ has made a certain decision or committed a certain act;

-the corporate culture model – is that the culture of a corporation is under Dutch law not

more than one element next to others on which basis it may be decided whether the

the corporation has committed a certain offense.

Hal terakhir yang dibicarakan Keijzer adalah tentang kekebalan badan-badan Negara,

dikatakannya: “According to the present Dutch case law, decentralized governmental bodies

are immune from prosecution regarding conduct concerning the performance of exclusively

governmental task. Dan dalam sebuah kasus pencemaran lingkungan tahun 1996, HR telah

memutuskan bahwa :”civil servants are immune from prosecution for having been in control

of the offense committed by the State or committed by a decentralized governmental body

which itself enjoys immunity from prosecution for that offense”. Yurisprudensi ini mungkin

akan berubah, karena ada rencana mengubah ayat 3 pasal 51 KUHP Belanda, menjadi:

“3.Public legal entities are subject to prosecution on equal terms as other legal entities.”

Dan ayat 3 lama, menjadi ayat 4 dari pasal 51 KUHP Belanda.

----------

Mencari dalam sistem hukum Common Law Countries (Amerika Serikat)

Masalah kesalahan dan pertanggungjawaban pidana korporasi dapat pula dipecahkan dengan

cara lain. Terdapat pandangan bahwa meskipun korporasi tidak mungkin mempunyai

kesalahan, akan tetapi pemidanaan korporasi harus dimungkinkan.24

Dikatakan oleh LaFave:

“Contrary to the early common law view, it is now generally conceded that a corporation

may be held criminally liable for conduct performed by an agent of the corporation acting

24 Lihat Wayne R.LaFave & Austin W.Scott,Jr, Criminal Law – Hornbook Series,1972, West Publishing Co, hal. 218 – 236 (Laibility Without Fault: Strict Liability – Vicarious Liability – Enterprise Liability).

Page 17: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

17

in its behalf within the scope of his employment….Under the better view, called the

“superior agent” rule, corporate criminal liability for other than strict-liability regulatory

offenses is limited to situations in which the conduct is performed or participated in by the

board of directors or a high managerial agent”25

=Pada dasarnya pemikiran ini datangnya dari para ahli hukum Anglo-Amerika (common law

countries - CLC) dengan mempergunakan konsep "strict liability". Konsep ini khusus

dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana yang melanggar kesejahteraan masyarakat

(public welfare offenses). Dan umumnya pelanggaran-pelanggaran besar terhadap

ketentuan-ketentuan tentang kesejahteraan masyarakat dilakukan oleh korporasi.

Kewajiban negara modern untuk secara lebih luas melindungi kesejahteraan masyarakatnya,

menimbulkan berbagai pengaturan mengenai misalnya: bidang keselamatan dan kesehatan di

tempat kerja dan tempat pemukiman,serta dalam pengolahan makanan dan obat-obatan, dan

sebagainya. Meskipun pengaturan dapat disertai sanksi perdata ataupun sanksi administratif,

namun terdapat kecendrungan kuat untuk mengaturnya pula melalui ketentuan-ketentuan

(sanksi) pidana. Yang terakhir inilah yang sering dinamakan "administrative penal law" atau

" verwaltungsstrafrecht ".Untuk bidang hukum pidana inilah, konsep "strict liability"

umumnya dipergunakan.

Alasan penggunaannya a.l.adalah :

“The reason usually given for strict-liability crimes is that in some areas of conduct it is

difficult to obtain convictions if the prosecutions must prove fault…”26 Penggunaannya

adalah umumnya untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman ringan atau dengan

mempertimbangkan besarnya kerugian pada masyarakat (seriousness of harm to the

public).Terdapat perbedaan pendapat tentang apakah tindak pidana yang tidak

mensyaratkan mens rea adalah konsitusional. Inti perbedaan pendapat berkisar pada perlu

adanya sifat blameworthy (tercela) pada perbuatan yang dilarang tersebut, untuk dapat

diancam pidana.

25 Loc.cit. hal.228

26 Loc.cit. hal.218

Page 18: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

18

Dalam hal sistem hukum kita tidak mengenal ajaran "strict liability" (tanggungjawab mutlak;

absolute liability), maka mungkin dapat dipergunakan ajaran "fait materiel", Dalam kedua

ajaran itu tidaklah penting adanya unsur kesalahan dalam perbuatan korporasi. Ajaran "fait

materiel" dikenal di Indonesia melalui bahan pustaka hukum Belanda. Tidak demikianlah

halnya dengan ajaran "strict liability", namun demikian konsep ini mulai diperkenalkan juga

dalam tulisan-tulisan hukum Indonesia. Konsep "strict liability" ini dalam hukum Anglo-

Amerika mengajarkan adanya pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault)

dan ditujukan kepada tindak pidana yang tidak membutuhkan "mens rea" (keadaan batiniah

yang salah). Karena itu konsep ini hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan

(regulatory offenses) yang hanya mengancamkan pidana denda, seperti pada kebanyakan

"public welfare offenses". Yang menarik untuk kalangan hukum pidana di Indonesia adalah

bahwa Rancangan KUHP telah mengambil alih pula konsep ini.

Pengambilan konsep yang berasal dad sistem hukum yang berlainan akarnya ke dalam sistem

hukum di Indonesia (melalui Belanda kita menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau

dari civil law countries), merupakan tindakan yang berani. Tetapi hal ini memerlukan pula

ketekunan dari para ahli hukum pidana Indonesia untuk kemudian menjelaskan konsep ini,

dengan mengkaitkannya pada asas-asas yang sudah melembaga dalam hukum pidana

Indonesia. Hanya mengatakan bahwa ajaran "strict liability" adalah serupa dengan ajaran

"fait materiel" tidaklah cukup. Menarik pula bagaimana sistem peradilan pidana Indonesia,

khususnya Mahkamah Agung Indonesia, dan pula pembuat undang-undang di Indonesia,

akan bereaksi terhadap ketentuan dalam Rancangan KUHP Nasional nantinya.

----------

=Masih mengenai pengambilan konsep dari sistem hukum Anglo­Amerika ke dalam sistem

hukum pidana kita oleh Rancangan KUHP Nasional, adalah konsep "vicarious liability".

Dikatakan oleh LaFave:

“A vicarious-liability crime is one wherein one person, though without personal fault, is

made liable for the conduct of another (usually his employee).Vicariou-lability was virtually

unknown at the common law, but not infrequently has been expressly or impliedly imposed by

Page 19: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

19

statute”27 Undang-undang yang memuat ketentuan seperti ini juga telah diperdebatkan di

Amerika Serikat: apakah ini konstitusional ? Pendapat terbesar adalah menganggap

ketentuan itu konstitusional selama majikan itu mempuyai kewenangan pengendalian atas

pelaku. Permasalahan penggunaan vicarious-liability bersamaan dengan strict-lability dapat

timbul dalam kasus seperti ini : Seorang Pegawai telah melakukan pelanggaran (menjual

alcohol pada remaja) dan Majikan turut dipermasalahkan meskipun tidak dapat dibuktikan

majikan itu lalai dalam mengendalikan kemungkinan pelanggaran tersebut (Majikan turut

bersalah berdasarkan vicarious-liability dan juga strict-liability ). Permasalahan lain yang

diajukan oleh LaFave adalah : “Corporate criminal lability is a form of vicarious-lability…it

has been termed ‘vicarious-laibility twice removed’ in that the shareholders may suffer for

the criminal acts of the corporate management … and also for those of lesser employees”.

Kerugian yang diderita oleh para Pemegang Saham (apabila korporasi dihukum “denda

“tinggi, karena pelanggaran hukum oleh manajemen) seringkali diberikan pembenaran,

bahwa hal tersebut adalah untuk “memaksa” Pemegang Saham lebih berhati-hati memilih

manajemen korporasi dalam Rapat Umum Pemegang Saham).

Perdebatan yang terjadi di Amerika Serikat dapat pula disimak dari dua pendapat berbeda

yang diajukan LaFave dibawah ini :

(A)“Unfortunately, (in) most of the court decisions … the tort principle of respondeat

superior is applied without question, so that the crimes of any employee—no matter what his

position in the corporate hierarchy—becomes the crime of the corporation. And if the crimes

requires ‘intent’, ‘knowledge’, or some other mental state, it is often said that such a

mental state by ‘subordinate, even menial, employees’ suffices”.

(B)”…generally the imposition of criminal liability on corporations for acts of any and all

employees which constitute violations of strict-liability regulatory offenses is sound….these

statutes…impose a duty upon the corporation not to act in such a way as to endanger the

health, safety or welfare of the general public …. But if the crime is one for which mens rea

is required, should the mental state of any corporate employee suffice?”

27 Loc.cit.hal. 223

Page 20: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

20

Akhirnya LaFave berpendapat : “.. the mind or brain of the corporation consist only of ‘those

officers, whether elected or appointed, who direct, supervise and manage the corporation

within its business sphere and policy wise, ‘the inner cicle’”

----------

Konsep “vicarious-liability” ini pun muncul dalam perbendaharaan ilmu hukum pidana

Indonesia berhubung dengan maksud membantu dalam masalah pertanggungjawaban pidana

korporasi. Dalam ajaran "vicarious liability" (tanggungjawab yang dialihkan; imputed

liability), maka pertanggungjawaban pidana dialihkan kepada orang lain (manusia atau

korporasi) oleh pelaku fisik, karena adanya hubungan antara orang yang

dipertanggungjawabkan dengan pelaku fisik. Dalam hukum perdata kita mengenal pula

bangunan yang serupa, dimana korporasi sebagai majikan bertanggung jawab atas kerugian

yang ditimbulkan oleh pegawainya dalam rangka pekerjaan korporasi28, yang disebabkan

oleh perbuatan melawan hukum (perdata) dari pegawai tersebut (pasal 1367 KUHPerdata

Indonesia). Namun dalam ajaran "vicarious liability" ini, maka hubungannya tidak selalu

perlu hubungan majikan dengan pegawai, karena dapat juga dengan "orang lain" yang

mewakili korporasi. Pengalihan tanggung jawab ini penting, justru karena dalam korporasi

yang besar dengan struktur organisasi yang rumit, tidak selalu jelas hubungan antara

pelaku fisik dengan korporasi yang bersangkutan. Yang penting dalam bangunan hukum

"tanggung jawab yang dialihkan" ini adalah bahwa tidak perlu terdapat kesalahan pada

pelaku fisik (dan tidak perlu pula ada kewajiban hukum), karena yang menentukan adalah

adanya kewajiban hukum (yang dilanggar) pada korporasi. Seperti juga pada ajaran "strict

liability" , maka ajaran "vicarious liability" dari sistem hukum Anglo-Amerika ini perlu

diadaptasikan (atau dicangkokkan) pada sistem hukum Indonesia yang berasal dari

sistem hukum Eropa Kontinental. Legislator telah membuka perkembangan

pertanggungjawaban pidana korporasi, namun Kepolisian dan Kejaksaan Indonesia rupanya

masih ragu-ragu dan Mahkamah Agung kita rupanya juga masih ragu-ragu atau “tertidur”.

28 Di Amerika Serikat ini dikenal juga sebagai ajaran/doktrin Respondeat Superior dalam Hukum Perdata.

Page 21: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

21

Penutup

Demikianlah telah dicoba diuraikan sejumlah catatan yang dapat membantu pemahaman atas

keinginan Rancangan KUHP Nasional menjadikan korporasi sebagai subyek hukum pidana.

Dibanding dengan Belanda (dari mana KUHP yang sekarang berlaku, bersumber), maka

Indonesia telah ketinggalan 38 (tigapuluh delapan) tahun untuk memungkinkan mendakwa

korporasi sebagai pelaku tindak pidana di dalam hukum pidana umum. Ketinggalan ini

mungkin disebabkan oleh karena belum siapnya penegak hukum kita melihat korporasi

secara mandiri sebagai pelaku kejahatan.(Mudah-mudahan bukan karena kuatnya lobby

politik perusahaan besar-konglomerasi!).Hal ini terbukti bahwa meskipun banyak peraturan

perundang-undangan di luar KUHP telah menerima korporasi sebagai subyek hukum pidana

(sejak 1955, hampir 60 tahun yang lalu!), namun belum ada yurisprudensi MA Indonesia

tentang hal ini. Keadaan ini patut disayangkan, karena dapat ditafsirkan sebagai

kekurangtanggapan para penegak hukum dan pengadilan di Indonesia memantau secara

serius perubahan wajah pelaku kejahatan di Indonesia.

Rancangan KUHP Nasional (konsep rancangan pertama Maret 1993) berusaha untuk

memperbaiki keadaan ini dengan menyatakan babwa dalam hukum pidana umum yang akan

datang, korporasi merupakan subyek tindak pidana (pasal 45· Rancangan). Karena itu,

penuntutan dapat dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap korporasi itu sendiri, atau

korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja (pasal 46 Rancangan). Namun demikian,

pertanggungjawaban pelaksana atas tindakan korporasi dibatasi sedemikian rupa, sejauh

pelaksana dalam perbuatan yang dituduhkan mempunyai kedudukan fungsional dalam

struktur organisasi korporasi (Pasal 48 Rancangan). Tidak selamanya korporasi harus

dipertanggungjawabkan (dalam hukum pidana) terhadap suatu perbuatan yang dilakukan atas

nama atau untuk korporasi. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka perbuatan tersebut

harus secara khusus termasuk dalam lingkungan usaha korporasi bersangkutan, yang

ternyata dari anggaran dasar atau ketentuan-ketentuan lainnya (Pasal 47 Rancangan). Untuk

pembelaannya, korporasi dapat mengajukan alasan­alasan penghapus pidana (atau

kesalahan) yang dapat diajukan oleh orang yang berbuat atas nama korporasi, sepanjang

alasan-alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada

korporasi (pasal 50 Rancangan). Tidak semua tuntutan pidana terhadap korporasi harus

diterima oleh pengadilan. Dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan, apakah bagian

Page 22: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

22

hukum lainnya telah memberikan perlindungan (kepada masyarakat - penulis) yang

lebih berguna dibanding dengan dipidananya suatu korporasi (pasal 49 Rancangan).

Rancangan KUHP Nasional tetap mempertahankan asas "tidak dapat diberikan pidana

apabila tidak ada kesalahan”, sebagai asas fundamental (pasal 35 Rancangan). Namun

demikian sebagai pengecualian, undang-undang .dapat menentukan bahwa untuk tindak

pidana tertentu pembuat dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur

tindak pidana oleh perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat dalam

melakukan tindak pidana tersebut (Pasal 37 Rancangan). Di samping itu, undang-undang

dapat juga menentukan bahwa dalam hal-hal tertentu orang (dalam arti yuridis – penulis) juga

bertanggung jawab atas perbuatan orang lain (pasal 36). (20)

Pembaharuan atas undang-undang hukum pidana Indonesia ini, tentunya masih akan

diperdebatkan oieh kaiangan ahli hukum Indonesia dan para anggota Dewan Perwakilan

Rakyat. Kelak kita akan mengetahui bagaimana hasil perdebatan ini.

Yogyakarta, 24 Februari 2014

Disampaikan dalam Pelatihan Dosen

Hukum Pidana dan Kriminologi

Catatan:

(A)-Lihat, Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch­Indie,

Amsterdam: I.H. de Bussy, 1918; bal. 8-18. Di Belanda sendiri sejak tahun 1810 yang

berlaku adalah Code Penal Perancis (dengan dimasukkannya Kerajaan Holland dalam

Kekaisaran Perancis). Tetapi mulai tabun 1870 Belanda berusaha untuk menyusun suatu

KUHP Nasional Belanda yang rancangannya selesai dalam tahun 1878 (di bawah Menteri

Kehakiman H.I. Smidt) dan dalam tahun 1880 dibicarakan dalam Parlemen Belanda (di

bawah Menteri Kehakiman Modderman). Pada bulan Maret 1881 KUHP Belanda ini

disetujui, tetapi baru berlaku sejak 1 September 1886. (Lihat, G.A. van Hamel, Inleiding

Page 23: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

23

tot de studie van het Nederlandsche Strafrecht, Cetakan Keempat, Haarlem: De Erven F.

Bohn, 1927; hal. 73-85). Karena itu dalam banyak buku pelajaran hukum pidana kita,

sering dirujuk buku sejarah KUHP Hindia Belanda di atas (yang memuat teks lengkap

rancangan KUHP Hindia Belanda 1918), buku Menteri Kehakiman H.I. Smidt,

Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht (kemudian dilanjutkan dan diperbaiki oleh

E.A. Smidt dan J. W. Smidt) dan juga rancangan perubahan dan jawaban penjelasan di

Parlemen Belanda oleh Menteri Kehakiman Modderman.

(B)-Lihat misalnya, G.A. van Hamel, loc.cit., hal. 162-163. Dalam Smidt, jilid I,

halaman 450 dikatakan: "Suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia

(natuurlijk persoon). Fiksi atau rekaan (fictie) tentang sifat badan hukum, tidak berlaku

dalam hukum pidana “(demikianlah penjelasan atas pasaI 51 lama KUHP Belanda).

(C)-Lihat pula, Ch. J. Enschede dan A. Heijder, Beginselen van Strafrecht ; Cetakan

Kedua, Kluwer Deventer, 1974; hal. 148. Yang mengakui adanya ajaran kedua, tetapi

berpendapat bahwa pasal 51 lama KUHP Belanda (=pasal 59 KUHP kita) tetap

berlandaskan asas bahwa hanya manusia yang dapat dituntut sebagai pelaku adalah J .H.

van Bemmelen, dalam Ons Strafrecht, Jilid I, Cetakan Keempat, Groningen: Tjeenk

Willink, 1971; hal. 232-249. Lihat pula, Roeslan Saleh, Tentang Tindak Pidana dan

Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta: BPHN, 1984; hal. 50-51.

(D)-Lihat, C. Asser, Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk

Recht , Jilid Kesatu, Bagian Kedua - Rechtspersoon, Cetakan Ketiga dikerjakan oleh

W.C.L. van Der Grinten: Zwolle: Tjeenk Willink , 1973, hal. 148-150. Disini

dikemukakan adanya dua ajaran, yaitu ajaran organis (organische leer) dan ajaran fiksi

(fictieleer). Namun Van Der Grinten sendiri mempergunakan asas penyatuan

(Vereenzelviging; identification). Asas ini kelihatannya mirip dengan asas "identifikasi".

(E)-Lihat, Ch. J. Enschede clan A. Heijder, op. cit.; hal. 147; lihat pula N.D. Jorg dan C.

Kelk, Strafrecht met Mate, Alphen aan den Rijn: Samsom, 1974; hal. 144-145. Kriteria

pelaku korporasi berdasarkan "pelaku fungsional" pertama kali diajukan oleh B. V.A.

Roling, dalam "De Strafbaarheid van de Rechtspersoon" , Tvs 1959, Jilid LXVI, dimana

Page 24: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

24

diberikan batasan bahwa perbuatan yang dipertangguugjawabkan kepada korporasi

haruslah masih dalam batas-batas tugas dan tujuan korporasi tersebut.

(F)- Bandingkan dengan A.L.J. van Strien, "Het daderschap van de rechtspersoon bij

milieudelicten" dalarn M.G. Faure cs, Zorgen van heden, Arnhem: Gouda Quint, 1991;

hal. 257-288. Dalam karangan ini dibahas batas-batas pemberlakuan korporasi sebagai

pelaku (dader) dengan mempermasalahkan pendapat J. Remmelink yang berorientasi

psikologis (keadaan batin manusia) , J. Ter Heide yang berorientasi sosiologis

(ontmenslijk strafrecht) dan A. C. 't Hart yang berorientasi manusia dalam arti yuridis

(contrafaktisch begrip). Dari ketiga pendapat ini, maka Remmelink yang ragu-ragu untuk

mendukung kemungkinan korporasi menjadi subyek hukum. Pembahasan ini mendukung

kriteria “pelaku fungsional" (Rolling) dengan pembatasan bahwa korporasi bersangkutan

harus mempunyai kewenangan untuk mencegah perbuatan bersangkutan (kasus

Ijzerdraad, HR 23 Pebruari 1954), tetapi berpendapat bahwa kriteria "lalu lintas

bermasyarakat" (maatschappelijk ­ verkeerscriterium) hanya dipergunakan untuk

mendukung, karena bersifat samar-samar dan terlalu umum, Namun pembahasan

tersebut juga meminta perhatian terhadap asas kesalahan (yang diakuinya dapat pula

dikonstruksikan pada korporasi) dan asas legalitas (yang melindungi subyek hukum

terhadap kekuasaan yang terlalu luas dari penguasa), Dimintakan pula perhatian adanya

perbedaan antara "functionele - delicten" dan "niet-functionele delicten", yang akan

membedakan pula unsur patut dicelanya (= unsur kesalahan) korporasi sebagai pelaku.

(G)-Bandingkan, E.J.J. Van Der Heijden, Handboek voor de Naamloze Vennootschap

naar Nederlands Recht , Cetakan Kedelapan dikerjakan oleh W.C.L. Van Der Grinten,

Zwolle: Tjeek Willink, 1968; hal, 389-391 (Verschil in vertegenwoordigingspositie) dan

hal. 391-393 (Onrechtmatige handeling).

Page 25: Tindak Pidana Korporasiolehprof.mardjono

25

RIWAYAT HIDUP

* MARDJONO REKSODIPUTRO

* Lahir di Blitar, 13 Maret 1937

* Menikah dan mempunyai tiga orang anak dan tujuh cucu;

* Sarjana Hukum Universitas Indonesia (1961) dan Master of Arts dalam bidang

Kriminologi dari University of Pennsylvania (1967);

* Bekerja di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1959, di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia jurusan Kriminologi sejak 1967, dan sejak

1 Desember 1992 gurubesar dalam ilmu hukum – pensiun sejak 1992;

* Dalam tahun 1984-1990 menjadi Dekan Fakultas Hukum UI; mulai tahun 1970 Direktur

(sekarang Kepala) Lembaga Kriminologi UI (sekarang Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum); dan sejak tahun 1982 dosen luar biasa pada Perguruan Tinggi llmu

Kepolisian – Ketua Program Magister Ilmu Kepolisian Univ.Indonesia (1996 – 2006);

* Mulai tahun 1982 anggota Panitia Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Nasional (mulai 1987 sebagai Ketua) pada Departemen Kehakiman; dan sejak

tahun 1989 Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum (sejak 2000 Ketua) pada Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;

* Sekarang (2014) Dosen di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia dan

Universitas Pancasila – dan di Program Magister Ilmu Kepolisian Univ.Indonesia serta

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Univ.Pancasila dan Sekretaris Komisi Hukum

Nasional R.I.

-00O00-