technology development of horticultural production perhorti

19
0 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI HORTIKULTURA Dr. Sudarmadi Purnomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jalan Raya Karangploso Km 4, PO Box 188 Malang, Jawa Timur e mail : [email protected] Seminar Nasional PERHORTI 2012 Fakultas Pertanian UPN “VETERAN” Jawa Timur, 13-14 Nopember 2012 Tema : Membangun Sinergitas Stake Holders untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Hortikultura

Upload: sudarmadip

Post on 27-Nov-2015

20 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Technology development

TRANSCRIPT

Page 1: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

0

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI HORTIKULTURA

Dr. Sudarmadi Purnomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jalan Raya Karangploso Km 4, PO Box 188 Malang, Jawa Timur e mail : [email protected]

Seminar Nasional PERHORTI 2012 Fakultas Pertanian UPN “VETERAN” Jawa Timur, 13-14 Nopember 2012 Tema : Membangun Sinergitas Stake Holders untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Hortikultura

Page 2: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

1

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI HORTIKULTURA

Sudarmadi Purnomo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jalan Raya Karangploso Km 4, PO Box 188 Malang, Jawa Timur

e mail : [email protected]

Abstrak Percepatan pengembangan teknologi produksi hortikutura tidak lepas dari kiat dalam penderasan teknologi kepada pengguna, melalui diseminasi dan difusi teknologi. Ada tiga subsistem simpul diseminasi, yaitu (1) subsistem pengadaan teknologi, (2) subsistem penyampaian teknologi dan (3) subsistem penerimaan teknologi. Sudah banyak teknologi hortikultura yang dihasilkan oleh litbang hortikultura tetapi yang mampu diadopsi dan terdifusi kepada pengguna tidak lebih dari 15%. Dalam kerangka penderasan teknologi ini, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian telah dan sedang meningkatkan jangkauannya lebih luas melalui berbagai channel, yang kemudian terkenal dengan spektrum diseminasi multi channel (SDMC). Sejalan dengan agenda nasional untuk revitaslisasi perdesaan menjadi desa yang modern dan pusat agribisnis, simpul-simpul diseminasi tersebut dikemas dalam bentuk model pengembangan agribisnis perdesaan melalui inovasi, dan terintegrasi dengan kebijakan pengembangan hortikultura dalam peningkatan daya saing dan nilai tambah produk. Ciri teknologi yang dikembangkan, antara lain (1) menjadi solusi bagi permasalahan agribisnis hortikultura yang menerapkan GAP/SOP, (2) memenuhi permintaan pasar, (3) mudah diadaptasikan pada berbagai kondisi lingkungan budaya, social, ekonomi, biofisik, (4) berdampak nyata terhadap pendapatan keluarga tani, (5) memperoleh dukungan pengetahuan dan keahlian teknis yang memadai, (6) memperoleh dukungan input yang memadai, (7) tidak memiliki dampak negatif. Tentu semua ini bermuara menumbuhkan usaha produktif, yang berdaya saing, dengan sasaran utama kelembagaan petani dan pelaku agribisnis. Penyiapan inovasi diawali dengan eksplorasi kebutuhan teknologi spesifik lokasi, yang kegiatannya dapat berupa, (a) temu informasi teknologi, (b) temu institusi atau road show, (c) mimbar sarasehan, (e) media komunikasi kerjasama dan penjaringan umpan balik. Kemudian dirumuskan dalam rencana pengkajian dan diseminasi, dan berturut-turut menghasilkan materi dan metode diseminasi yang efisien, dikomukasikan dalam berbagai media, antara lain (1) siaran TV/layar tancap/CD/ VCD, (2) up-load Web, (3) seminar, (4) aplikasi teknologi, (5) demontrasi teknologi, (6) pameran, (7) gelar teknologi, (8) media cetak, (9) jaringan kemitraan, (10) klinik agribisnis, (11) visitor plot, (12) visitor disply, (13) siaran radio, (14) studi banding, (15) perpustakaan model, (16) magang, (17) temu lapang/teknologi, (18) temu bisnis (tatap muka/on-line), dan (19) pendampingan teknologi. Sistem evaluasi diseminasi teknologi melalui pengukuran dengan parameter, (1) Keuntungan nisbi, (2) Kesesuaian teknologi kepada aspek-aspek biofisik, sosial budaya, keberadaan kelembagaan input produksi dan pasar, (3) Kerumitan : tingkat kerumitan dalam tahapan penerapan inovasi teknologi oleh petani hortikultura, (4) Kemudahan diuji coba : kemudahan inovasi teknologi untuk di uji coba di lapang, (5) Kemudahan untuk diamati : kemudahan hasil penerapan inovasi teknologi untuk diamati secara visual oleh kelembagaan petani. Melalui proses dan sistem tersebut diharapkan mampu mengadakan teknologi yang dapat diadopsi oleh pemangku kepentingan dalam memasok produk bermutu aman dikonsumsi secara konsisten. Kata kunci : diseminasi, pengembangan, teknologi, hortikultura

Page 3: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

2

Technology Development of Horticultural Production

Sudarmadi Purnomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

Jalan Raya Karangploso Km 4, PO Box 188 Malang, Jawa Timur

e mail : [email protected]

Abstract

Development acceleration of horticultural production technology cannot be separated from the issue within acceleration of technology transfer to users through the dissemination and diffusion. There are three subsystems of dissemination, namely (1) provision of technology, (2) delivery of technology and (3) technology acceptance. There have been a lot of horticultural technologies produced by R & D in horticulture but not more than 15% of them were diffused or adopted by the users. Within the framework of this technology acceleration, IAARD of the Ministry of Agriculture has been and is increasing its scope through various channels, which is popularly called multi-channel dissemination spectrum (SDMC). In line with the national agenda for rural revitalization into modern village and agribusiness centers, those dissemination subsystems are packed up in a model of rural agribusiness development through innovation, and integrated within horticulture development policy in improving competitiveness and value added of the products. Characteristics of the developed technology, among others, (1) a solution to the problems of horticultural business which applied GAP/SOP, (2) meet the market demand, (3) easily adapted to various environmental conditions including cultural, social, economic and biophysical, (4) significantly impact the income of farmers’ families, (5) accessible to support of technical knowledge and skills, (6) accessible sufficient input support, (7) have no negative impact. Of course, all of these were expected to grow agribusinesses which are competitive, among targeted farmers and agribusiness actors. Preparation of innovation begins with an exploration of specific technology needs, which could be in the form of, (a) technology information meeting, (b) institutional meeting or road show, (c) workshop, or (e) co-operation and networking of communication media feedback. Further, it was formulated in the assessment and dissemination plan, and consecutively will produce effective materials of dissemination and methods; communicated through some medias such as (1) TV broadcasting / outdoor display / CD / VCD, (2) up-load websites, (3 ) seminars, (4) technological applications, (5) technology demonstration, (6) exhibition, (7) technology expose, (8) printed media, (9) networking, (10) agribusiness clinics, (11) visitor plot, (12) visitor display, (13) radio broadcasting, (14) comparative studies, (15) library model, (16) internship, (17) technology field day, (18) interactive business meeting and on-line, and (19) technology mentoring. The evaluation system of technology dissemination is carried out through the following measurement parameters, (1) Relative benefit, (2) Compliance of technology to the following aspects such as biophysical, socio-cultural, institutional existence of production inputs and markets, (3) Complexity: the complexity of the implementation stage of technological innovations by farmers horticulture, (4) Ease tested: ease of technological innovations to be tested in the field, (5) Easy to be observed: the ease of application of the results of technological innovation to be observed visually by the farmer institution. Those process and system is expected to be able to produce technologies that can be adopted by stakeholders in supplying quality products safe to consume consistently. Keywords: dissemination, development, technology, horticulture

Page 4: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

3

I. PENDAHULUAN Komoditas hortikultura yang menjadi binaan Direktorat Jenderal Hortikultura menurut Keputusan Menteri Pertanian 511/2006 terdiri dari 323 jenis, berturut-turut untuk sayuran, buah-buahan, florikultura dan biofarmaka terdiri 80 jenis, 60 jenis, 117 jenis dan 66 jenis. Prioritasi telah dilakukan, yaitu untuk sayuran antara lain kentang, cabai, bawang merah, tomat, kubis, sawi, petsai, bawang daun dan jamur; untuk buah-buahan antara lain mangga, manggis, jeruk, durian, rambutan, salak, semangka, nenas, melon; florikultura antara lain krisan, anggrek, mawar, sedap malam, pakis, palem dan melati; sedangkan biofarmaka antara lain temulawak, jahe dan kencur. Tetapi diantara sejumlah tersebut yang seringkali menjadi pokok perhatian terkait dengan kecukupan pangan dan gizi pangan adalah kelompok sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan asupan kalori, FAO memperkirakan Penderita Gizi Kurang di Dunia pada tahun 2005 – 2007 yang menimpa negara-negara India 238 juta jiwa, China 130 juta jiwa, Pakistan 43,4 juta jiwa, Kongo 41,9, Bangladesh 41,7 juta jiwa, Ethiopia 31, 6 juta jiwa, Indonesia 29,9 juta jiwa disebabkan oleh (1) rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi beraneka ragam pangan, sayur dan buah (2) Pola konsumsi pangan yang masih didominasi oleh kelompok padi-padian terutama beras (Pananrang, 2012). Tabel 1 di bawah ini disajikan keadaan kualitas konsumsi pangan per kapita per hari penduduk Indonesia berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) pada tahun 2011.

Tabel 1. Keadaan Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Indonesia berdasarkan PPH

Sumber: Susenas 2011, BPS dalam BKP 2012 Keterangan:Angka Kecukupan Energi 2000 kkal/kap/hari (Widya Karya Pangan dan Gizi VIII, 2004)

- Energi : dalam kkal - Gram : untuk berat jenis pangan menurut kelompok - AKG : Angka Kecukupan Gizi

Skor PPH Indonesia baru mencapai 77,3 dari PPH ideal 100 dengan AKG sebesar 96,3% karena kecukupan energinya baru mencapai 1.952 kkal/kap/hari dari 2.000 kkal/kap/hari. Kelompok pangan yang konsumsinya berlebihan, antara lain beras yang idealnya idealnya 275 gram, dikonsumsi 316 gram dan minyak minyak dan lemak, yang idealnya 20 gram, dikonsumsi 22,8 gram. Kelompok pangan yang konsumsinya sangat kurang sayuran dan buah-buahan yang baru dikonsumsi 197,3 gram dari yang seharusnya 250 garm. Perihal yang sama pada kelompok pangan umbi-umbian dan pangan hewani.

Gram Energi % AKG

Skor PPH

Gram Energi % AKG

Skor PPH

1. Padi-padian 316.0 1,236 61.8 25.0 275.0 1,000 50.0 25.0 2. Umbi-umbian 40.0 53 2.6 1.3 100.0 120 6.0 2.5 3. Pangan hewani 95.9 168 8.4 16.8 150.0 240 12.0 24.0 4. Minyak dan lemak 22.8 204 10.2 5.0 20.0 200 10.0 5.0 5. Buah/biji berminyak 6.0 33 1.7 0.8 10.0 60 3.0 1.0 6. Kacang-kacangan 22.7 56 2.8 5.6 35.0 100 5.0 10.0 7. Gula 22.2 81 4.1 2.0 30.0 100 5.0 2.5 8. Sayur dan buah 197.3 83 4.2 20.8 250.0 120 6.0 30.0 9. Lain-lain 61.2 39 1.9 - - 60 3.0 -

Total 1,952 96.3 2,000 100.0 Skor PPH 77.3 100.0

No Kelompok PanganTh. 2011 PPH Ideal

Page 5: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

4

Menurut WHO tingkat konsumsi sayuran di Indonesia sebesar 45,44 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 sudah meningkat dibandingkan dengan data tahun 2006, yaitu sebesar 34,15 kg/kapita/tahun (data Susenas), namun tingkat kosumsi ini masih berada di bawah standar FAO untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, yaitu minimal 65 kg/kapita/tahun. Jika konsumsi dihitung sebesar 45,44 kg/kapita/tahun dan ekspor sayuran pada tahun 2010 sebesar 170.294.319 ton maka total kebutuhan mencapai 10.968.716.172 ton yang jauh di atas angka ketersediaan (Tabel 2). Capaian produksi buah-buahan 2010 dibandingkan dengan perencanaan target produksi ada senjang hampir 3 juta ton (Tabel 3). Tetapi jika konsumsi hanya 27,89 kg/kapita/tahun maka kebutuhan buah hanya 6.640.337 ton sehingga meskipun tidak mencapai target produksi, pada buah-buahan ada sisa 9.394.001 ton. Konsumsi buah harus ditingkatkan hingga syarat minimal FAO, yaitu sebesar 75 kg/kapita/tahun atau dibutuhkan 17.823.100 ton mendekati target 18.853.000 ton atau kurang 2,8 juta ton dari ketersediaan buah-buahan (Tabel 2) Tabel 2. Ketersediaan dan kebutuhan sayuran dan buah-buahan Indonesia, 2010 No. Ketersediaan

Komponen Sayuran Buah-buahan 1 Produksi (ton) 8.127.643.910 15.590.375 2 Impor (ton) 586.051.972 543.963 3 Total ketersediaan (ton) 8.713.695.882 16.034.338 4 Konsumsi (ton) 10.798.421.853 6.627.825 5 Ekspor (ton) 170.294.319 12.512 6 Total yang termanfaatkan (ton) 10.968.716.172 6.640.337 7 Sisa (rusak, of grade, olahan)

(ton) (?) 9.394.001

Sumber : Sumber : BPS dan Pusdatin Diolah, 2012 Berdasarkan data Statistik dan sumber dari Direktorat Jendral Hortikultura 2010, bahwa beberapa komoditas hortikultura mengalami peningkatan produktivitas, antara lain Jeruk Besar (40,98%), Nanas (23,39%), Duku (13,35%), Manggis (10,23%) dan durian (9,32%). Sayuran meliputi, tomat (13,35%), cabe rawit (12,14%), dan buncis (9,68%), gladiol (60,86%), dracaena (44,36%), anyelir (43,35%), krisan (31,87%) sedap malam (28,02%), melati ( 24,26%), heliconia (60,69%), anggrek (9,10%), lidah buaya 314,04%, mengkudu (51,65%), mahkota dewa (19,89%). Tetapi kenaikan provitas belum mencukupi target produksi, karena kemungkinan besar oleh besarnya kehilangan hasil dan penurunan luas tanam. Pilihan strategi pengembangan agribisnis hortikultura melalui penumbuhan kawasan agribisnis terpadu menjamin peningkatan produksi, kualitas hasil, kontinuitas pasokan, nilai tambah, dan daya saing komoditas hortikultura. Dalam Panduan Umum Dukungan Pengembangan Agribisnis Hortikultura (2011) menyatakan bahwa penumbuhan kawasan agribisnis hortikultura akan terjadi (a) penghimpunan pasar tenaga kerja yang trampil dan terspesialisasi secara sektoral dan geografis, (b) pemusatan dukungan input dan jasa-jasa, dan (c) difusi teknologi dan gagasan secara cepat. Sementara itu kawasan memiliki ciri : (a) komunalitas, keserupaan, kebersamaan, kesatuan yaitu bahwa bisnis-bisnis beroperasi dalam bidang-bidang “serupa” atau terkait satu dengan lainnya dengan fokus pasar bersama atau suatu rentang aktivitas bersama, (b) konsentrasi yaitu bahwa terdapat pengelompokan bisnis-bisnis yang dapat dan benar-benar melakukan interaksi, dan (c) konektivitas yaitu bahwa terdapat organisasi yang saling terkait (interconnected/linked/ interdependent organizations) dengan beragam jenis hubungan yang berbeda. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura yang memiliki karakteristik komunalitas, konsentrasi dan konektivitas memerlukan pendekatan kerangka kerja yang bersifat holistik.

Page 6: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

5

Salah satu pendekatan holistik yang relevan untuk digunakan sebagai kerangka kerja pengembangan kawasan, terutama berkaitan dengan sasaran pencapaian keunggulan kompetitif, adalah pendekatan rantai nilai.Strategi diseminasi yang efisien dan efektif merupakan komponen penting untuk menjamin akselerasi adopsi teknologi inovatif di dalam kawasan.

II. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

Di dalam Peraturan Menteri Pertanian 03/2005 yang dimaksud pengembangan teknologi adalah kegiatan pengujian kesesuaian teknologi pertanian spesifik lokasi pada berbagai kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan setempat untuk menghasilkan model-model pengembangan dan paket teknologi pertanian spesifik lokasi. Hirarki dengan penelitian, pengkajian, pengembangan dan penerapan penelitian hingga sampai kepada pengembangan usaha agribisnis disajikankan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hirarki penelitian, pengkajian, pengembangan dan penerapan penelitian

Pengkajian teknologi pada kontek alur Gambar 1 dimaksudkan untuk memperoleh inovasi dengan menerapkan komponen teknologi pada kondisi agroekosistem spesifik. Modifikasi teknologi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi setempat perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan daya guna teknologi yang akan dikembangkan, dimana pengembangannya melalui model atau percontohan. Teknologi yang lolos dari proses pengkajian selanjutnya dikembangkan melalui proses diseminasi teknologi dengan melibatkan pemangku kepentingan kunci (key stakeholders) terkait, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Diseminasi adalah proses mengkomunikasikan teknologi hasil penelitian menggunakan beberapa metode penyuluhan melalui mediapenyuluhan, dengan tujuan mengubah perilaku sasaran agar sasaran menjadi lebih modern.Perubahan akibat diseminasi diharapkan terjadi pada aspek kognitif (pengetahuan - P), afektif (sikap - S) dan psikomotorik (keterampilan - K). Perubahan tersebut menuju ke arah yang sesuai dengan konsep dan cara yang benar. Dalam konteks pembangunan pertanian, diseminasi diartikan

Page 7: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

6

secara praktis sebagai cara dan proses penyampaian hasil-hasil pengkajian teknologi kepada masyarakat atau pengguna untuk diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat atau pengguna. Hasil pengkajian teknologi yang didiseminasikan adalah inovasi yang didalamnya mengandung ilmu pengetahuan baru atau cara baru untuk menerapkan pengetahuan dan teknologi ke dalam produk atau proses produksi.

Ada tiga sub sistem simpul diseminasi, yaitu (1) Subsistem pengadaan (generating

subsystem)inovasi pertanian, (2) Subsystem penyampaian (delivery subsystem) inovasi pertanian, dan (3) Subsistem penerimaan (receiving subsystem) inovasi pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011a; 2011b) menyajikanna simpul-simpul diseminasi tersebut dalam bentuk model pengembangan perdesaan melalui inovasi (MP3MI) dimana dalam meningkatkan jangkauannya melalui spektrum diseminasi multi channel (SDMC). Secara garis besar disajikan dalam bentuk Gambar 2.

Gambar 2. Spectrum Diseminasi Multi Channel (Sumber: BBP2TP, 2011)

Page 8: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

7

Aspek penting lokus dari channel-channel tersebut menurut Iqbal (2007) adalah para pemangku kepentingan, yang secara garis besar, dapat dibedakan atas tiga kelompok , yaitu (1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan; (2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka ini dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal; dan (3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.Oleh karena itu, analisis pemangku kepentingan biasanya berhubungan dengan beberapa elemen seperti eksistensi kelompok masyarakat, dampak, dan konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan program pembangunan.

Wujud model yang dibangun adalah visualisasi atau peragaan dari inovasi yang

dikembangkan. Tampilan model berbentuk unit percontohan berskala pengembangan berwawasan agribisnis. Sifat model bersifat dinamis dalam arti pemodelan senantiasa mengikuti dinamika perkembangan kebijakan inovasi, mengakomodasi peluang penggunaan input atau proses yang berpengaruh terhadap output. Muatan pertanian perdesaan dalam model ini memiliki konteks penyebarluasan inovasi yang berorientasi pada suatu kawasan seragam secara biofisik dan sosial ekonomi, serta secara komparatif memiliki keunggulan sumberdaya alam. Percontohan dilaksanakan berbasis inovasi pertanian yang memiliki perspektif pengembangan agribisnis.

Dukungan penyediaan teknologi bagi pengembangan hortikultura sangat penting

dalam rangka peningkatan daya saing produk hortikultura. Penyiapan ini biasanya diawali dengan eksplorasi kebutuhan teknologi spesifik lokasi, yang kegiatannya dapat berupa, (a) temu informasi teknologi, (b) temu institusi atau road show, (c) mimbar sarasehan, (e) media komunikasi kerjasama dan penjaringan umpan balik. Kemudian dirumuskan dalam rencana pengkajian dan diseminasi yang berturut-turut dihasilkan materi dan metode diseminasi yang dikomukasikan dalam berbagai media, antara lain (1) siaran TV/layar tancap/CD/VCD, (2) aplikasi teknologi, (3) demontrasi teknologi, (4) pameran, (5) gelar teknologi, (6) koran/media cetak, (7) jaringan kemitraan, (8) klinik agribisnis, (9) visitor plot, (10) visitor display, (11) siaran RKIP Wonocolo, (12) studi banding, (13) perpustakaan model, (14) magang, (15) Field farm day/temu lapang, (16) temu bisnis (tatap muka/on-line), (17) pasar lelang. Proses penyiapan dan media komunikasi disajikan pada Gambar 3.

Page 9: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

8

Gambar 3.Proses penyiapan materi dan media komunikasi dalam pengembangan teknologi Sumber : Diolah dari Infotekno LabDis Wonocolo, BPTP Jawa Timur

Page 10: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

9

Menurut Badan Litbang Pertanian (Panduan MP3MI) (2011) ciri-ciri teknologi yang dikembangkan antara lain (1) menjadi sousi bagi permasalahan, (2) memenuhi permintaan pasar, (3) dapat diadaptasikan pada berbagai kondisi lingkungan budaya, social ekonomi biofisik, (4) berdampak nyata terhadap pendapatan keluarga tani, (5) memperoleh dukungan pengetahuan dan keahlian teknis yang memadai, (6) dukungan input memadai, (7) tidak memiliki dampak negatif. Pendekatannya melalui kelembagaan tani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, KTNA, HKTI, KWT, Dasa Wisma, PKK, KOWANI dan lain-lain. Pendekatan ini penting karena (1) sasaran diseminasi jelas (CP/CL), (2) group orang (kerjsama, ekonomi, belajar), (3) tempat pembuktian lapangan, (4) dapat melakukan gerakan missal, (5) media untuk dapat meningkatkan ketrampilan secara kelompok. Pada umumnya pendekatan kelompok itu memerlukan endampingan yang kontinyu dimana masalah kelompok dinamis, berbeda antar waktu, antar kelompok dan lintas sektoral. Pendekatan kelompok selain penelitian dan pengkajian, memperkuat kelompok tani, memperkuat kelembagaan penyuluhan di lokasi penerapan model. Di dalam memberikan dukungan teknologi perlu memperhatikan beberapa aspek, di antaranya jenis teknologi yang akan dikembangkan, kondisi biofisik, sosial budaya, komunitas pengguna, sinergisme instansi yang terlibat, dan metode penyampaian (delivery system). Informasi semua aspek tersebut perlu diketahui dan dirumuskan secara mendalam guna penyusunan strategi dan rencana diseminasi teknologi di lapangan. Dengan perencanaan yang sistematis, maka proses diseminasi dapat dilakukan secara efektif dan adopsi teknologi dapat berjalan dengan cepat. Informasi kondisi biofisik diperlukan untuk mengetahui kespesifikan lahan dan agroklimat di lokasi yang menjadi target pengembangan teknologi. Demikian pula informasi tentang sosial budaya sangat dibutuhkan untuk menentukan strategi penyampaian teknologi yang tepat sesuai kebiasaan dan norma yang berlaku di dalam komunitas target. Sementara informasi tentang aspek sinergisme kelembagaan diperlukan untuk mengefektifkan dan mengefisienkan proses penyampaian teknologi sesuai tupoksi masing-masing melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.

Page 11: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

10

III. IMPLEMENTASI DALAM PROGRAM DAN KEGIATAN

Salah satu agenda nasional yang tertuan dalam RPJN Tahun 2005–2025 (Muslim, 2012) adalah indrustrialisasi dan modernisasi ekonomi perdesaan. Ini mengisyaratkan pertumbuhan ekonomi ke depan dari berawal dari desa. Dalam situasi perkembangan ekonomi yang tidak menentu dan tidak adanya kepastian hukum, pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada daerah untuk melaksanakan peningkatan investasi. Upaya penataan dan pengembangan investasi merupakan suatu hal yang menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh daerah. Pengalaman di negara-negara maju, ada sembilan instrumen dasar yang seringkali menjadi pertimbangkan dalam penataan dan pengembangan investasi di daerah. Ke sembilan instrumen tersebut, adalah (1) pusat perizinan satu atap, (2) penumbuhkan pembiayaan model ventura, (3) pusat pengembangan usaha kecil, (4) sistem pemasaran, promosi dan program pariwisata berkelompok, (5) penguatan program penelitian dan pengembangan, (6) penumbuhan pusat inkubasi, (7) pengembangan teknologi dan bisnis park, (8) pengusahaan kawasan, dan (9) Pengembangan wirausaha. Instrumen ini diadopsi dalam penumbuhan agribisnis berbasis kawasan di perdesaan, termasuk penumbuhan dan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura.

Strategi dasar pengembangan kawasan diawali dari optimalisasi potensi

komoditas unggulan yang telah berkembang di wilayah tertentu dan kemudian secara terfokus dan terarah dikembangkan dengan basis pendekatan agribisnis dengan memperhatikan keterkaitan hulu-hilir secara berkesinambungan. Pengembangan kawasan hortikultura ini tidak berdiri sendiri, namun lebih merupakan keterpaduan dari berbagai program dan kegiatan pengembangan antar sektor/subsektor, antar institusi, dan antar pelaku yang telah ada di daerah, yang terfokus di kawasan. Pada hakekatnya pengembangan kawasan merupakan kerjasama dari setiap pelaku, termasuk di dalamnya adalah kontribusi dari berbagai sektor terkait, seperti perindustrian, perdagangan, koperasi dan UKM, PU dan lainnya, pusat penelitian, perguruan tinggi, swasta, asosiasi, perbankan, dan lainnya.

Keberhasilan dalam pengembangan kawasan hortikultura menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (2011) dapat ditunjukkan oleh indikator-indikator, (1) Meningkatnya produktivitas dan kualitas produk hortikultura yang dicirikan oleh diterapkannya praktek budidaya yang baik (GAP) dan prosedur baku budidaya (SOP), serta teregistrasinya kebun dan lahan usaha hortikultura; (2) Tertatanya manajemen rantai pasokan yang dicirikan dengan terdistribusikannya secara proporsional keuntungan dalam setiap mata rantai pasar; (3) Terjalinnya kemitrasetaraan antara kelompok tani dengan pengusaha; (4) Meningkatnya jumlah investor untuk mengembangkan usaha hortikultura di kawasan, yang dicirikan oleh pengelolaan usaha hortikultura berskala kebun; (5) Berkembangnya industri pengolahan hasil komoditas hortikultura unggulan yang merupakan usaha peningkatan nilai tambah produk segar; (6) Meningkatnya penggunaan benih bermutu; (7) Meningkatnya jumlah dan kualitas kelembagaan petani/champion (kelompok tani, kelompok wanita tani, gapoktan, koperasi, kelompok usaha, asosiasi, karang taruna tani); (8) Meningkatnya kualitas lingkungan dengan diterapkannya aspek konservasi lahan, pola tanam dan penanganan PHT dalam pengelolaan OPT. Tentu semua ini bermuara menumbuhkan usaha produktif, yang dibangun harus memiliki (1) daya saing artinya efisiensi, mutu, harga, mampu bersaing, (2) berkerakyatan artinya melibatkan masyarakat luas, (3) berkelanjutan artinya semakin besar dari waktu ke waktu, dan (4) desentralistis artinya bersifat lokal sesuai dg kondisi wilayahnya, dan (5) amanah, artinya penuh wawasan ramah lingkungan.

Page 12: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

11

Dalam meningkatkan daya saing, maka harus mengetahui apa yang diinginkan konsumen terhadap produk hortikultura. Pemasok secara konsisten mampu mensuplai produk bermutu dan dapat menunjukkan produk yang dihasilkannya adalah aman dikonsumsi. Diagram disajikan pada Gambar 4. Untuk itu harus menerapkan seluruh rantai pangan dengan jaminan mutu melalui standar operasional prosedur (SOP). Dalam Permentan 48/2009 disajikan cara-cara budidaya buah dan sayuran dengan benar (GAP), termasuk prosedur sertifikasinya untuk memperoleh sertifikat produk Prima 1 (produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, mutu baik, dengan cara produksi ramah linkungan; Prima 2 (Produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan mutu baik; dan/atau Prima 3 (Produk aman konsumsi).

Gambar 4. Hubungan antar sistem jaminan mutu dalam sub sistem produksi hortikultura

Berdasarkan uraian di atas maka dalam upaya mengoptimalkan produksi, produktivitas, mutu dan daya saing produk hortikultura, Dirjend Hortikultura (2008) memfokuskan kepada enam pilar, yaitu (1) Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura, (2), Penerapan Budidaya Pertanian yang Baik (Good Agriculture Practices/GAP) & Standard Operating Procedure (SPO), (3) Penerapan Manajemen Rantai Pasokan (supply chain management/SCM), (4) Fasilitasi Terpadu Investasi Hortikultura, (5) Pengembangan Kelembagaan Usaha, dan (6) Peningkatan Konsumsi dan Akselerasi Ekspor. Berbagai program yang mendukungnya, antara lain (1) dari sektor pembiayaan usahatani melalui PUAP, (2) di sektor penguatan kelembagaan penyuluh mrlalui program FEATI, (3) di sektor perbaikan perduksi dan produktivitas melalui program SL-GAP/KPAH, Prima Tani, KRPL, SP-ASP, (4) di sektor pemasaran melalui program penumbuhan pasar desa, (5) di sektor perbaikan keberagaman konsumsi bergizi seimang dan aman melalui program KRPL.

Di antara sub sistem pada Gambar 4 menurut Prnomo dkk., (2009) yang dapat dilakukan oleh BPTP Jawa Timur dalam pendampingan model sekolah lapang, antara lain mengadakan demplot teknologi baik pada sub sistem on maupun off farm, penyediaan informasi teknologi dan prototipe tepat guna spesifik lokasi sebagai materi penyuluhan, pelatihan penyuluh pendamping, pendampingan teknologi dan kelembagaan, dan advokasi (Tabel 3). Wilayah sasaran disesuaikan dengan komoditas dan luas tanam, sedangkan sasaran kelompok tani/Gapoktan.

Page 13: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

12

Tabel 3. Wujud pendampingan dan bentuk kegiatan

No Wujud pendampingan

Bentuk kegiatan

1 Demplot teknologi

Demplot VUB-Horti Teknologi budidaya berbasis GAP/SPO Teknologi pascapanen berbasis GHP/GMP

2 Materi inovasi untuk penyuluhan

Menyiapkan, menyusun dan mencetak dalam bentuk leaflet, brosur, dan juknis teknologi budidaya & pascapanen untuk setiap topik per komoditas

3 Pendampingan teknologi & kelembagaan

Penyusuna SPO Penyuluhan penguasaan inovasi hortikultura melalui penerapan (GAP/GHP/GMP)/SPO Menumbuhkembangkan kelembagaan Poktan/Gapoktan dan unit usaha bersama (KUBA)/kelembagaan PAH Akses informasi inovasi hortikultura; pemasaran; permodalan

4 Pelatihan

Nara sumber pada pelatihan penyuluh pendamping & pengurus Poktan

5 Advokasi

Penyusunan RUK/RAB & pengelolaan rantai pasok Fasilitasi kemitraan usaha dengan pelaku bisnis (pengolahan, pemasaran, ekspor)

Dengan mengadopsi pendekatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) tanaman pangan, yang pelaksanaannya di lapangan digerakkan oleh Tim Inti Pelaksana Khusus (TIPK) SL di tingkat BPTP Jawa Timur yang bersinergi dengan Tim PAH Provinsi, Tim Koordinator wilayah dan anggotanya bersinergi dengan Tim Pengembangan Agribisnis Hortikultura tingkat Kota/Kabupaten dibantu oleh penyuluh pendamping (PPL/KCD/POPT/ PBT) di lapangan.

Korwil/LO + TPG + Koperindag + PPL

Kab/Kota 4

Akses market

Tanah Buruh

Akses modal

Farm Produksi Pengumpul

Sortasi, Grading,Packing House

Konsumen

Pra Prod

FreshPackagingBrandingInput

INOTEK

Input Pertanian

ADVOKASI

SL GAP-SPORegistrasiSertifikasiPelatihan

SL GHP/SOPRegistrasiSertifikasiPelatihan

ProcessinPackagingBranding

SL-PAH

Kawasan

LL-PAH

Off Farm

DEMOPLOT

DISTRIBUSI MATERI PENYULUHAN DAN PELATIHAN

Korwil/LO + TPG + Koperindag + PPL

Kab/Kota 1

Korwil/LO + TPG + Koperindag + PPL

Kab/Kota 2

Korwil/LO + TPG + Koperindag + PPL

Kab/Kota 3

Korwil/LO + TPG + Koperindag + PPL

Kab/Kota 10

TIM INTI PPKAH BPTP JATIM

Pelaks Inti

Materi

Pelaks di LapanganWujud di LapangWilayah sasaran

Gambar 5. Diagramatik alur macam materi pendampingan, wujud di lapangan, wilayah sasaran dan tim pelaksana di lapangan dengan model SL-PAH (Purnomo, 2009)

Page 14: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

13

IV. KEBUTUHAN TEKNOLOGI Macam teknologi yang utama dibutuhkan dalam sistem jaminan mutu, adalah teknologi yang mampu menjawab (1) bahwa produsen hortikultura mampu mensuplai produk bermutu secara konsisten, dan (2) mampu menunjukkan bahwa produk yang dihasilkannya aman dikonsumsi. Kemampuan itu perlu pertimbangkan-pertimbangan (1) unit skala produktif melalui manajemen yang menerapkan SOP/GAP, (2) manfaat terhadap efisiensi penerapkan teknologi, termasuk penggunaan VUB, menerapkan pancausahatani, ketersediaan sarana-prasarana produksi yang memadai, (3). manajemen produksi menuju produk diberi merek (brand) atau produk bermutu standar, (4). teknologi yang mampu membangkitkan proses pasca panen primer (pembersihan, pencucian, pengkelasan atau grading, pengkemasan, pengepakan, dan transportasi terintergrasi) merupakan bagian dari kegiatan produksi, (5) teknologi yang mampu mendukung kesiapan ekspor dengan jumlah mencapai skala ekonomi (mengisi penuh container untuk transportasi) dan memenuhi kontrak pembelian dalam kemitraan, (6) teknologi yang produknya langsung dijajakan model on-line market, (7) teknologi untuk kebutuhan penyuluhan massal, (8) teknologi membangun jaringan distribusi, pemasaran, promosi, iklan, display, radio, TV , on-line, Web dan HP dan (9) menyerap tenaga kerja melalui sistem kelompok, poktan, gapoktan, assosiasi. Lebih mikro Setyobudi (2009) menyajikan diagram macam komponen teknologi dalam sistem produksi tanaman buah (Gambar 6). Bahwa kehilangan hasil selama proses produksi dapat diatasi jika menerapkan cara panen dan pengemasan yang tidak tepat. Cara panen yang tepat akan membantu dalam pemasaran buah. Konsumen Indonesia memilih buah berdasarkan empat kriteria, yaitu (1) Citra- harga diri, (2) rupa, dicirikan oleh warna dan penampilan unik, segar, tidak cacat, (3) rasa dan aroma – selera yang cenderung manis, (4) harga – kompetitif.

Page 15: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

14

Gambar 6. Diagram macam komponen teknologi dalam sistem produksi tanaman buah (Setyobudi, 2009)

Page 16: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

15

V. SISTEM EVALUASI

Evaluasi sifat teknologi dapat dilakukan dalam dua tahapan, yaitu : (1) evaluasi sebelum penerapan inovasi teknologi di lapang, dan (2) evaluasi setelah inovasi teknologi diterapkan di lapang. Evaluasi sifat inovasi teknologi pada tahap pertama dilakukan terkait dengan rencana penerapan inovasi teknologi di lapang. Evaluasi dilakukan terhadap berbagai komponen atau paket teknologi, seperti varietas, teknologi pembudidayaan dan pengelolaan panen serta pasca panen. Evaluasi tahap pertama tersebut dilakukan untuk mendapatkan gambaran peluang keberhasilan penerapan dan adopsi inovasi teknologi di lapang. Evaluasi tahap kedua dilakukan oleh peneliti dan penyuluh serta para petani yang terlibat langsung dalam penerapan inovasi teknologi. Pemilihan petani untuk diwawancarai dilakukan secara proporsional, yaitu minimum 10% dari populasi petani yang menerapkan inovasi teknologi yang akan dievaluasi (Muharam, 2009). Evaluasi tahap kedua tersebut bertujuan menentukan nilai kuantitatif dari peluang penerapan dan adopsi suatu inovasi teknologi di lapang.

Suatu teknologi diadopsi hingga mampu berdifusi oleh pengguna, apabila teknologi tersebut dapat memberikan dampak positif, (1) Keuntungan nisbi: perbandingan keuntungan nisbi penerapan teknologi oleh petani hortikultura, (2) Kesesuaian: kesesuaian antara inovasi teknologi dengan aspek-aspek biofisik, sosial budaya, keberadaan kelembagaan input produksi dan pasar, (3) Kerumitan : tingkat kerumitan dalam tahapan penerapan inovasi teknologi oleh petani, (4) Kemudahan diuji coba : kemudahan inovasi teknologi untuk di uji coba di lapang oleh petani baik dari segi biaya maupun resiko kegagalan, (5) Kemudahan untuk diamati : kemudahan hasil penerapan inovasi teknologi untuk diamati secara visual oleh petani. Prosedur evaluasi sifat teknologi tersebut dengan, (a) pembobotan terhadap lima sifat inovasiteknologi, (b) penentuan skala dan skor untuk setiap sifat inovasi teknologi, (c) menganalisis hasil evaluasi sifat inovasi teknologi (Purnomo, dkk., 2012). Sukses pengukuran keberhasilan adopsi teknologi menurut panduan Tim Teknis P3TIP/FEATI BBP2TP, (2011) jika: (a) Minimal 60% anggota poktan/gapoktan berperan dalam kegiatan kajian teknologi secara partisipatif, (b) Minimal 80% di antara anggota poktan/gapoktan yang menerapkan hasil pengkajian, meningkat produksinya, (c) Minimal 60% paket teknologi diterapkan oleh poktan/gapoktan dalam kegiatan penyuluhan yang dikelola petani, (d) Minimal 70% anggota poktan/gapoktan puas terhadap jasa penelitian dan pengembangan serta pengkajian teknologi pertanian, (d) Minimal pada akhir kegiatan partisipasi pemangku kepentingan mencapai 15%. Indikator-indikator suskses tetap berbasis kepada (1) Produktivitas, (2) Keberlanjutan, dan (3) Kesejahteraan.

Page 17: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

16

VI. PENUTUP

1. Tidak ada model/sistem pengembangan teknologi yang bersifat final, untuk itu diperlukan kejelian, kepekaan, tindakan konkrit dan penyiapan SDM yang visioner.

2. Inventarisasi teknologi hasil-hasil penelitian sebagai dasar penyusunan pengembangan dan perumusan sistem diseminasi yang harus terus-menerus diperbarui.

3. Standarisasi (teknologi dan produk) perlu disusun dan diterapkan secara selektif dan hati-hati: (a) variabilitas yang berkembang sangat dinamis, baik kondisi maupun kebutuhan (spesifik lokasi, bahkan spesifik petani), (b) politik pasar yang seringkali menyesatkan konsumen.

4. Orientasi teknologi masa depan yang perlu dipertimbangkan: (a) Pasar/selera konsumen, (b) Semaksimal mungkin berbahan baku lokal, (c) Ramah lingkungan dan konservatif terhadap keragaman sumberdaya, (d) Modern dan tetapi mudah beradaptasi terhadap perubahan keterbatasan SDM, SDA dan iklim, spesifikasi proses produksi, (e). Teknologi yang menjamin kontinuitas pasok, (f) Mutu produk yang unik dengan gizi/khasiat spesifik. 5. Sumber (gagasan) teknologi yang terabaikan dari kearifan lokal yang komplementer dengan kebutuhan pengguna dalam skala lebih luas. 6. Penelitian partisipatif atau kolaboratif menjadi pilihan menarik karena dapat menekan keterbatasan dana dan SDM peneliti, serta mempercepat diseminasi 7. Menyiapkan skenario perencanaan, penelitian, pengembangan, penerapan dengan basis antisipasi trend kebutuhan konsumsi yang makin mempertimbangkan keberagaman, bergizi seimbang dan aman konsumsi.

Page 18: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

17

Daftar Pustaka

Badan Ketahanan Pangan. 2012. Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan ( P2KP). Pusat Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Bahan presentasi di Biro Perencanaan tanggal 13 Pebruari 2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011a. Panduan Umum Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi (MP3MI). Kementerian Pertanian. 28 hal Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011b. Panduan Spektrum Diseminasi Multi Channel (SDMC). Kementerian Pertanian. 19 hal. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2011. Panduan Metodologi dan Analisis Data Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. ISBN 978-979-1415-70-5. 21 hal. BPS dan Pusdatin Diolah. 2012. Perkembangan Volume Ekspor Hortikultura. http://hortikultura.deptan.go.id/?q=node/413 Direktorat Jendral Hortikultura. 2008. Membangun Hortikultura Berdasarkan enam Pilar Pengembangan. Kementerian Pertanian. 28 hal. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Pedoman Umum Pellaksanaan Pengembangan Hortikultura. Kementerian Pertanian. 108 hal. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 511/Kpts/PD.310/9/2006. Tentang Jenis Komoditi Tannaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktoral Jenderal Hortikultura. 18 hal. Muharam, A. 2009. Evaluasi Sifat Inovasi Teknologi Pertanian. Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Hias, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 8 hal. Muslim, E. 2012. “Saat dunia tiada lagi sama” Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015. Workshop “Peningkatan kontribusi dalam percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. 86p. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Kpts/HK.060/1/2005 tentang Pedoman Penyiapan dan Penerapan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2011. Panduan Program Dukungan Kawasan Agribisnis Hortikultura (PDPKAH). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 42 hal. Peraturan Menteri Pertanian No 48/ Permentan/OT.140/10/2009. Tentang Pedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik (Good Agriculture Practices For Fruit and Vegetables) Purnomo, S., K.B. Andri, Baswarsiati, Suhardjo, P.B. Dorini. 2009. Panduan Teknis Pendampingan Program Pengembangan Kawasan Hortikultura Di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 8 hal.

Page 19: Technology Development of Horticultural Production PERHORTI

18

Purnomo, S., D.P. Saraswati, Handoko, Setiasih dan D. Setyorini. 2012. Kajian Pola Pendampingan Inovasi pada Program Strategis Kementerian Peratnian. Laporan Hasil Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. 86 hal. Setyobudi L., 2009. Teknik Produksi Buah Panen, Pasca Panen, Pemasaran. www.isetyobudi.com Tim Teknis P3TIP/FEATI BBP2TP. 2011. Petunjuk Teknis Pengukuran Keberhasilan P3TIP/ FEATI (Komponen C). Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 21 hal.