tbr ensefalopati hipertensi

35
TEXT BOOK READING ENSEFALOPATI HIPERTENSI Pembimbing: Dr.Untung Gunarto, Sp.S Oleh Yenisa Rahma Pradiasty G1A209150 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Upload: naeksepeda

Post on 26-Nov-2015

89 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

5

TRANSCRIPT

TEXT BOOK READINGENSEFALOPATI HIPERTENSI

Pembimbing: Dr.Untung Gunarto, Sp.S

Oleh

Yenisa Rahma PradiastyG1A209150FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

PURWOKERTO

2010BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hipertensi merupakan kelainan kardiovaskular yang masih banyak dijumpai dalam masyarakat. Prevalensi hipertensi dalam masyarakat Indonesia cukup tinggi meskipun tidak setinggi di Negara-negara yang sudah maju yaitu sekitar 10%. Hipertensi mengenai lebih dari 50 juta penduduk Amerika. Dari seluruh kasus kedaruratan kedokteran, 27% diantara penyebabnya adalah hipertensi krisis, 23% diantara kasus hipertensi krisis mengalami kerusakan target organ. Pada penelitian, 16% dari pasien yang mengalami kerusakan target organ deisebabkan oleh hipertensi ensefalopati.

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 27% dari populasi HT, terutama pada usia 4060 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 0 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini. Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan secara garis besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini menjadi 2 golongan yaitu: hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak).

Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan keduanya berbeda.

Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik >120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggidan terjadi dalam waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau HT ringan/sedang. Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, namun para kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang jatuh dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis HT bersifat reversibel. Dalam menanggulangi krisis HT dengan obat anti hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi TD dan aliran darah, pengobatan yang selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang menyertai, pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti hipertensi, variasi regimen pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek samping yang minimal. Dalam makalah ini akan dibahas klasifikasi, aspek klinik, prosedur diagnostik dan pengobatan krisis hipertensi.Penanganan penderita hipertensi di Indonesia masih belum baik dan drop out terapi masih cukup tinggi, sehingga tidak mengherankan bila komplikasi hipertensi masih sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Hipertensi yang tidak diobati dengan baik akhirnya menyebalkan komplikasi pada target organ yaitu jantung, mata, ginjal, dan otak (serebrovaskular). Komplikasi hipertensi pada otak dapat bersifat akut atau kronik. Komplikasi hipertensi pada otak yang sifatnya akut biasanya karena kenaikan tekanan darah yang cepat dan mendadak seperti pada ensefalopati hipertensi. Dengan pengawasan yang adekuat, kurang dari satu persen pasien berlanjut menjadi krisis hipertensi. Krisis hipertensi diklasifikasikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Ensefalopati hipertensi bisa termasuk ke dalam hipertensi emergensi maupun hipertensi urgensi, tergantung dari gejala klinik yang ada. Ensefalopati hipertensi merupakan kondisi yang sangat serius, biasanya memberikan gejala adanya nyeri kepala, gangguan penglihatan, kejang-kejang, bahkan penurunan kesadaran, dengan disertai adanya kelainan defisit neurologis.

Kerusakan organ target yang terjadi secara akut maupun seiring dengan perkembangan penyakit hipertensi, misalnya kerusakan otak, ginjal, atau jantung dalam kondisi hipertensi berat berkaitan dengan hipertensi emergensi.

Ensefalopati hipertensi menggambarkan munculnya gejala neurologis yang berkaitan dengan status hipertensi maligna pada hipertensi emergensi. Gejala klinis bersifat reversible dengan terapi permulaan yang dilakukan secara cepat dan tepat. Pada evaluasi pasien dengan ensefalopati harus disingkirkan kelainan sistemik dan berbagai kelainan serebrovaskular yang mungkin ditemukan pada pasien dengan penemuan klinis yang sama.B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penulisan Text Book Review ini adalah untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis, serta agar pembaca dapat mengenali, menganalisa dan membuat diagnostic yang tepat pada kasus-kasus ensefalopati hipertensi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ensefalopati berasal dari kata encephalon yang berarti otak sedangkan ensefalopati itu sendiri berarti setiap penyakit degenerative pada otak. Ensefalopati hipertensi merupakan hipertensi yang sangat berat hingga menimbulkan efek tambahan berupa ganguan fungsi otak. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang berat yang sering kali berlanjut dengan konsekuensi diabilitas apabila tekanan darah tidak secara tepat dilakukan penatalaksanaan.

Ensefalopati hipertensi atau Hypertensive encephalopathy (HE) adalah sindrom klinik akut reversibel yang dipresipitasi oleh kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba sehingga melampaui batas otoregulasi. Pada saat tekanan darah melampaui ambang batas otoregulasi serebral, maka akan terjadi gangguan aliran darah serebral (iskemia otak). Manifestasi klinisnya berupa sakit kepala, mual, muntah, kejang, peningkatan status mental (pada beberapa kasus dapat berlanjut menjadi koma), papil edema dan perdarahan retina.Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan, sebagai berikut :

1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).

2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.

3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >120130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.

Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.

4. Hipertensi ensefalopati: kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.B. Faktor Risiko

1. Ras

Frekuensi ensefalopati hipertensi dilaporkan terjadi pada hipertensi dalam populasi umum. Hipertensi lebih sering terjadi pada orang kulit hitam, dan peningkatan frekuensinya juga dilaporkan pada kelompok etnik minoritas. Insiden ensefalopati hipertensi rendah pada orang kulit putih.

2. Usia

Ensefalopati hipertensi lebih sering terjadi pada individu dengan umur pertengahan yang memiliki riwayat hipertensi lama.3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dilaporkan menderita hipertensi di bandingkan dengan jenis kelamin perempuan.

C. Etiologi

Penyebab ensefalopati hipertensi yang paling sering adalah peningkatan tekanan darah secara drastic pada pasien dengan hipertensi kronis. Berbagai faktor predisposisi pasien terhadap peningkatan tekanan darah juga dapat menimbulkan gejala klinis yang sama yaitu antara lain:

1. Hipertensi maligna dengan penyebab yang beraneka ragam2. Glomeluronefritis akut

3. Krisis hipertensi yang disebabkan katekolamin (Monoamine oxidase inhibitor-tyramin interaction)4. Cocaine-hydrochloride atau keracunan alkaloid

5. Keracunan phencyclidine

6. Keracunan timbale pada anak

7. Cyclosporine dosis tinggi pada transplantasi bone-marrow pada anak-anak

8. Prosedur femoral lengthening

9. Gigitan kalajengking pada anak

10. Acute renal artery occlusion karena thrombosis atau embolism

11. Penyakit aterotrombotik renal12. Pengobatan rekombinan eritropoetin

13. Transplatasi ateri renal sklerosis

14. Acute renal allograft rejection

15. Paroxysmal hypertension pada akut atau kronik cedera medulla spinalis

16. Post-coronary artery bypass atau post-carotid endarterectomy hypertension.

D. PatofisiologiProses patofisiogi terjadinya ensefalopati hipertensi:

Terdapat 2 teori yang dapat menerangkan hal tersebut yaitu:

1. Reaksi otoregulasi yang berlebihan (the overregulation theory of hypertensive encephalopathy).

Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah otak dan iskemi. Vasospasme dan iskemi menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis fibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan sawar darah otak sehingga dapat timbul edema otak.

2. Kegagalan otoregulasi (the breaktrough theory of hypertensive encephalopathy).

Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi dan mendadak menyebabkan kegagalan otoregulasi sehingga tidak terjadi vasokontriksi tetapi justru vasodilatasi. Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental (sausage string pattern), tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotel yang dilatasi terganggu sehingga menyebabkan ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya menimbulkan edema otak.

Tekanan darah yang mendadak naik dan sangat tinggi dapat menyebabkan fenomena sosis atau tasbih (sausage or bead-string phenomenon) dan dilatasi paksa (forced arterial dilatation). Tekanan darah yang mendadak tinggi ini menerobos respon vasokontriksi (breaktrough of autoregulation) dan menyebabkan rusaknya sawar darah otak dengan pembocoran fokal dari cairan melalui dinding arteri yang sudah terentang berlebihan (overstretched and dilated arteries) serta pembentukan edema otak (edema hidrostatik). Pada keadaan ini autoregulasi tidak bekerja lagi, Aliran darah otak (ADO) mengikuti secara pasif tekanan perfusi dan timbul ensefalopatia hipertensif. Lesi arteri yang khas adalah nekrosis lapisan media otot dengan penimbunan butir darah merah dan adanya zat merah muda pada pengecatan degan eosin. Ini dinamakan nekrosis hialin atau fibrinoid.E. Manifestasi klinisHampir seluruh pasien memiliki riwayat hipertensi, dimana mereka sebelumnya tidak memiliki riwayat hipertensi berdasarkan catatan medic sebelumnya, riwayat pengobatan dan komplikasi medikasi. Pasien akan mencari pengobatan bila:1. Pasien biasanya memilliki gejala neurologis yang meragukan dan mungkin menunjukkan gejala sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan, kejang, mual, dan muntaha. Sakit kepala biasa terjadi pada bagian anterior dan biasanya bersifat menetap. Mulai muncul gejala biasanya terjadi lebih dari 24-48 jam dengan progresi neurologis lebih dari 24-48 jsm.

2. Pasien juga memiliki gejala yang diakibatkan oleh kerusakan target organ lainnya, contoh dari gejala ini antara lain:

a. Gejala kadiovaskular dari diseksi aorta, gagal jantung kongestif, angina, palpitasi, denyut jantung ireguler dan dispneu.

b. Hematuria renal dan gagal ginjal akut.

F. Pemeriksaan PenunjangSelain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini terjadi karena tingginya tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin meningkat. Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritmia.Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :1. Pemeriksaan yang segera seperti :

a. darah : darah rutin, BUN, creatinine, elektrolit, KGD.b. urine : Urinalisa dan kultur urine.c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koronerd. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana ).2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama ) :

a. Sangkaan kelainan renal : IVP, Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi renald ( kasus tertentu ).b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.c. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).d. (USG) untuk melihat struktur gunjal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien

G. Diagnosis

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.

AnamnesaHal yang penting ditanyakan :

1. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

2. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

3. Usia : sering pada usia 40 60 tahun.

4. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ).

5. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).

6. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).

7. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

8. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.Pemeriksaan fisik :

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD (baring dan berdiri) mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1. Pemeriksaan yang segera seperti :

a. Darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.

b. Urine : Urinalisa dan kultur urine.

c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

d. Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah pengobatan terlaksana).

2. Pemeriksaan lanjutan:a. Sangkaan kelainan renal: IVP, Renald angiography (kasus tertentu), biopsi renald (kasus tertentu).

b. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi: Spinal tab, CAT Scan.

c. Bila disangsikan Feokhromositoma: urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid (VMA).

H. Penatalaksanaan

Tujuan pengelolaan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah secara cepat dan seaman mungkin untuk menyelamatkan jiwa penderita. Akan tetapi tetap harus diingat bahwa tekanan darah yang terlalu rendah akan menyebabkan hipoperfusi otak maupun jantung. Untuk menghindari hal ini sebaiknya tekanan darah diastolik tidak lebih rendah dari 100 mmHg atau penurunan mean arterial blood pressure (MAP) tidak lebih dari 25% dalam waktu antara beberapa menit sampai 6 jam. Diperlukan perawatan di rumah sakit karena menggunakan obat anti hipertensi secara parenteral.

Khusus untuk hipertensi dengan komplikasi stroke hemoragik dipakai konsensus bahwa tekanan darah harus diturunkan untuk menurunkan risiko pembesaran hematom dan perdarahan ulang. Dianjurkan tekanan darah turun < 20%, sedangkan JNC VI menganjurkan kontrol tekanan darah 160/100 mgHg.

Termasuk dalam pengelolaan ini adalah anamnesis riwayat hipertensi, penggunaan obat antihipertensi ataupun obat-obat lain, gejala serebral, kardiovaskular dan gangguan visus, pemeriksan fisik yang meliputi tekanan darah, funduskopi, status neurologi, status kardiopulmoner, dan status hidrasinya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah pemeriksaan kadar hematokrit dan pemeriksaan darah apus, urinalisis, pemeriksaan kimia darah yang meliputi kadar kreatinin, glukosa dan elektrolit. Di samping itu juga`pemeriksaan foto thorax dan elektrokardiogram.Dasar-dasar penanggulangan krisis Hipertensi

Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan. Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri (TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring efek samping obat.Autoregulasi Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah.

Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan. Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure (MAP) 60 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope.

Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir.Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada orang normotensi.

Penderita hipertensi denga pengobatan mempunyai nilai diantar group normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol cenderung menggeser autoregulasi kearah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 2025% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 1530 menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 23 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.Penanggulangan Hipertensi Emergensi Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera

diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah

a. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.

b. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. tentukan penyebab krisis hipertensi singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT tentukan adanya kerusakan organ sasaran

c. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.

penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal: disecting aortic aneurysm). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat. Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta. TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi.

Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ). 1. Sodium Nitroprusside: merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous. Secara i. V mempunyai onset of action yang cepat yaitu: 1 dosis 16 ug/ kg/menit.

Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.

2. Nitroglycerin: merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi biladengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 25 menit, duration of action 35 menit.

Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i. V.

Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i.V bolus. Onset of action 12 menit, efek puncak pada 35 menit, duration of action 412 jam.

Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan.

Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri.

Onset of action: oral 0,51 jam, i.v: 1020 menit duration of action: 612 jam.

Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg i.m

Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.

Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.

5. Enalapriat: merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60 menit.

Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v. 6. Phentolamine (regitine): termasuk golongan alpha andrenergic blockers.

Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.

Dosis 5 20 mg secar i.v bolus atau i.m.

Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.

7. Trimethaphan camsylate: termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis.

Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action : 1 5 menit.

Duration of action : 10 menit.

Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.

8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.

Dosis: 2080 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg/menit secarainfus i.v.

Onset of action 5 10 menit

Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.

Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai.

9. Methyldopa: termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis.

Dosis : 250500 mg secara infus i.v / 6 jam.

Onset of action : 30 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.

Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.

Onset of action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam.

Efek samping: rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethophan TD dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus di stop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.Jika pemberian parenteral tidak mungkin, dapat digunakan preparat peroral yang juga telah terbukti menurunkan tekanan darah secara cepat; yaitu: klonidin, kaptopril, labetalol dan nifedipin dengan dosis sama seperti yang digunakan pada hipertensi urgensi.

Joint National Committee on Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure merekomendasikan empat obat antihipertensi peroral untuk keadaan hipertensi urgensi yaitu klonidin, nifedipin, kaptopril dan labetalol. Klonidin dapat diberikan secara loading dose 0,1-0,2 mg dan dapat ditambah tiap jam sampai total dosis 0,6 mg. Selain itu dapat juga diberikan klonidin dosis awal 0,3 mg, diikuti 0,1mg/jam sampai 0,7 mg. Kaptopril dapat diberikan dengandosis 25-50 mg, efeknya akan terlihat setelah 30 menit, optimal setelah 50-90 menit dan bertahan selama 6 jam.Dari berbagai sediaan obat antu hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.

Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan bolus intravena. Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi tertentu. Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik.

Obat oral untuk hipertensi emergensi Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat oral seperti Nifedipine (Ca antagonist) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi. Bertel dkk (1983) mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan dengan pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang menarik adalah bahwa 4 dari 5 penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral meningkat,sedang dengan clonidine yang diselidiki menurun, walaupun tidak mencapai tahap bermakna secara statistik.

Di Medan dibagian penyakit dalam FK USU pada 1991, telah diteliti efek akut obat oral anti hipertensi terhadap hipertensi sedang dan berat pada 60 penderita. Efek akut nifedipine dalam waktu 5-15 menit. Demikian juga dengan clonidine dalam waktu 5-35 menit. Dari hasil ini diharapkan kemungkinan penggunaan obat oral anti hipertensi untuk krisis hipertensi.

Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20. Captoprial dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam Menurunkan TD.

Captoprial 25 mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila penurunan TD diastolik