tbr bells palsy.doc

43
BAB I PENDAHULUAN Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang disebabkan oleh kerusakan nervus facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah (unilateral). Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell. Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia (Mardjono, 2005). Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat sembuh sempurna, namun pada beberapa di antara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa (sequelae). Pada 71% kasus dapat sembuh sempurna dan 84% dapat berfungsi normal kembali seperti semula. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Spasme dilaporkan dalam beberapa kasus tetapi etipatogenesisnya belum jelas. Ketika kelemahan tidak lengkap, 94% pasien dapat sembuh sempurna dalam waktu 4 bulan setelah onset. Tetapi apabila kelemahan lengkap, pasien dapat sembuh sempurna sekitar 61%. Keparahan kelemahan mempengaruhi prognosis. Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan 1

Upload: irma-widyaningtyas

Post on 31-Jan-2016

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TBR bells palsy.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang disebabkan

oleh kerusakan nervus facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu

sisi wajah (unilateral). Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer

yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma

paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu

oleh Sir Charles Bell. Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang

paling sering di dunia (Mardjono, 2005).

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat

sembuh sempurna, namun pada beberapa di antara mereka kelumpuhannya

sembuh dengan meninggalkan gejala sisa (sequelae). Pada 71% kasus dapat

sembuh sempurna dan 84% dapat berfungsi normal kembali seperti semula.

Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Spasme dilaporkan dalam

beberapa kasus tetapi etipatogenesisnya belum jelas. Ketika kelemahan tidak

lengkap, 94% pasien dapat sembuh sempurna dalam waktu 4 bulan setelah onset.

Tetapi apabila kelemahan lengkap, pasien dapat sembuh sempurna sekitar 61%.

Keparahan kelemahan mempengaruhi prognosis. Permasalahan yang ditimbulkan

Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan

psikologis sehingga dapat merugikan penderita, permasalahan kapasitas fisik

(impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah

sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur

dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan

permasalahan fungsional (functional limitation) berupa gangguan fungsi yang

melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan

menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah (Mardjono, 2005).

Managemen terapi untuk Bell’s palsy bertujuan untuk memperoleh

kesembuhan yang sempurna dan menurunkan gejala sisa pada kasus yang tidak

dapat sembuh secara spontan

1

Page 2: TBR bells palsy.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BELL’S PALSY

1. Definisi

Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang

disebabkan oleh kerusakan nervus fasialis yang menyebabkan paralisis

atau kelumpuhan pada nervus fasialis perifer. Biasanya gangguan ini

terjadi mendadak atau akut, bersifat unilateral dan penyebabnya tidak jelas

atau idiopatik. Kelumpuhan pada Bell’s palsy termasuk ke dalam LMN

(lower motor neuron) (McCaul, 2014).

2. Etiologi

Etiologi bell’s palsy hingga saat ini masih tidak jelas, tetapi

berdasarkan beberapa bukti penyebabnya tersering adalah virus herpes

simpleks Tipe 1 yang menyebabkan edema pada nervus fasialis,

Reaktivasi Varicella Zooster Virus (VZV) dapat menyebabkan Bells’s

Palsy pada 30% kasus, penyebab lain antara lain Hereditar, iskemia dan

gangguan autoimun (McCaul, 2014) :

1. Neoplasma : setelah pengangkatan tumor otak atau tumor lain

2. Trauma: fraktur basal tengkorak, luka ditelinga tengah dan menyelam

3. Neurologis : Syndrom Guillain Barre

4. Metabolik : kehamilan, diabetes mellitus, hipertensi

5. Toksik: alcohol, talidomid, tetanus, karbonmonoksida.

3. Anatomi Nervus Fasialis

Saraf fasialis mengandung 4 serabut yaitu (Lumbantobing, 2007) :

a. Serabut somatomotorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.

levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah

b. Serabut viseromotorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

2

Page 3: TBR bells palsy.doc

c. Serabut viserosensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di

dua pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somatosensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan

rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh

nervus trigeminus (N.V).

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi

seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus

intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian

anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius

eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan akan melintasi nervus lingual,

yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani

dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke

nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi

kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar

sublingual dan submaksilar melalui korda timpani (Lowis, 2012).

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus

abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan

melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons

di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan

(jukstaposisi) pada dasar ventrikel VI, maka nervus VI dan VII dapat

terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis

keluar dari otak di sudut serebello-pontin masuk ke meatus akustikus

internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan

dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut

ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena

sangat dekat dengan genu. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis

fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan

cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda

timpani. Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis di bawah ganglion

genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina,

yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di distal yang mempersarafi

m. stapedius yang terhubung oleh korda timpani (Lowis, 2012).

3

Page 4: TBR bells palsy.doc

Gambar 1. Skema perjalanan nervus fasialis (Lowis, 2012).

Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan

bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis, foramen mental pada

segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Lalu nervus fasialis

keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus dan melintasi

kelenjar parotis yang lalu akan terbagi menjadi lima cabang (Lowis, 2012).

4. Patofisiologi

Etiologi dari Bell’s palsy sampai saat ini masih idiopatik. Namun,

diperkirakan penyebabnya adalah edema dan iskemia akibat penekanan

(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai

saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin

(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang

terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi,

sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy, karena telah

diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian

otopsi. Murakami et al juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain

Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang

menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural.

Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensorik

dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi

4

Page 5: TBR bells palsy.doc

reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin

(Monnel, 2009).

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses

inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar

foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara

unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang

menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi

kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan

nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang

mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar

sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,

adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus

fasialis bisa mendapat gangguan. Paparan udara dingin seperti angin

kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga

sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus

fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan

menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di

pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di

foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi

di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus

longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan

disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah

lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan

dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan

2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab

utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus

herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes

zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Hal ini terjadi

karena efek HSV yang akan menghancurkan sel-sel ganglion yang

kemudain menyebar ke cairan endoneural. Virus ini juga akan menyerang

5

Page 6: TBR bells palsy.doc

sel schwann sehingga terjadi inflamasi yang menyebabkan saraf

membengkak dan mengalami kompresi. Kompresi lama-kelamaan akan

menyebabkan iskemi dan kematian sel-sel saraf atau demyelinisasi

sehingga akan bermanifestasi menjadi Bell’s palsy. Karena menyerang

nervus fasialis, Bell’s palsy bermanifestasi sebagai kelumpuhan LMN dan

bersifat perifer, bukan sentral (Monnel, 2009).

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah

dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura

palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata

terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa

diangkat. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada

karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum

sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang

mensyarafi muskulus stapedius (Monnel, 2009).

Gambar 2. Perbedaan lesi nervus fasialis dan supranukelus (Monnel, 2009)

5. Manifestasi klinis

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat

6

Page 7: TBR bells palsy.doc

bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh

muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala

kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokasi kerusakan (Djamil, 2009) :

a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.

Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat

Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi

Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan

sekresi air liur masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (di dalam

kanalis fasialis).

Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan

lidah dan gangguan salivasi.

c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu

hiperakusis.

d. Lesi setinggi ganglion genikulatum

Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung

dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).

e. Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi

foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun

penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah Herpes

Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis (Djamil, 2009).

7

Page 8: TBR bells palsy.doc

Gambar 3. Gejala Klinis Bell’s Palsy

6. Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan

adanya parese dari nervus facialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak

dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis

dan augesia juga dapat ditemukan.Harus dibedakan antara lesi UMN dan

LMN.Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.

a. Anamnesis.

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa

bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua

keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi

wajah.

Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio

mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan

paralisis, tetapi paralisis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25%

pasien.

Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air

mata mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis

oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang

8

Page 9: TBR bells palsy.doc

dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan

cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang

gangguan rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan

rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang

terlibat.

Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada

hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

b. Pemeriksaan fisik.

Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan

fisik. Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan

kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika

semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan

motoneuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain

juga dapat terlibat. Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus

cranialis yang menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan

fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian

lateral.

Kelemahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis

tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah)

pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas

wajah pada sisi yang diserang.

Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas;

di atas nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah

mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya

mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator

diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti mengenai

pola paralisis wajah.

Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan

biasanya normal.

9

Page 10: TBR bells palsy.doc

Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang

tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang

mengalami komplikasi.

c. Pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk

menegakkan diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula

darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah

pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar

serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat

menentukan dari mana virus tersebut berasal.

d. Pemeriksaan radiologi.

Bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan

ke diagnosis Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan

lagi, karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan

mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan

ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu.

MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya

Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki

riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.

Tabel 1. Perbedaan Parese Nervus VII Sentral dengan Parese

Nervus VII Perifer

Sentral (UMN) Perifer (LMN)

Menunjukan gigiMencong ke arah

yang sehatMencong ke arah

yang sehat

Mencucu / bersiulMencong ke arah

yang sakitMencong ke arah

yang sakitMenutup mata + -Mengerutkan dahi + -Mengangkat alis + -Meniup sekuat-kuatnya

- -

NyerocosDisisi yang

lumpuhDisisi yang

lumpuh

10

Page 11: TBR bells palsy.doc

7. Penatalaksanaan

Terapi Farmakologis

a. Kortikosteroid.

Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari

selama 7 hari yaitu pada saat fase akut (diberikan pada saat onset

kurang dari 2 minggu).

Tabel 2. Prednison

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) sebagaianti inflamasi, yang menurunkan kompresi nervus facialis di kanalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg BB/hari peroral selama 7 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari.

Dosis pediatrik 1 mg/kg BB/hari peroral selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal; diabetes mellitus yang tak terkontrol.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

11

Page 12: TBR bells palsy.doc

b. Agen antiviral.

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang

menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir

semua ahli percaya pada etiologi virus.Penemuan genom virus

disekitar nervus facialis memungkinkan digunakannya agen-agen

antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy.Oleh karena itu, zat

antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan

farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya.Acyclovir 400 mg

selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s

palsy.Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari

onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.(1,9)

Tabel 3. Antiviral

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi secara selektif.

Dosis dewasa 400 mg per oral 5 kali/hari selama 10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.> 2 tahun :20 mg/kg BB per oral selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas, penderita gagal ginjal.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang bersifat nefrotoksik.

c. Neurotropik

Sohobion mengandung vitamin B kompleks. Penambahan

vitamin B kompleks setiap hari secara rutin baik untuk penyembuhan.

Yaitu untuk meningkatkan sirkulasi (sirkulasi berkurang pada otot

12

Page 13: TBR bells palsy.doc

yang tidak aktif) dan bisa memperlambat atrofi otot, membantu

pembuatan asam amino yang diperlukan pada pembuatan sel baru,

dapat membantu mengurangi inflamasi dan memperkuat sistem imun.(1)

Terapi Non Farmakologis

a. Perawatan mata.

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-pasien dengan Bell’s palsy.

Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan

terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,

lubrikan, dan pelindung mata.(3,4)

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk

mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.

Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat

terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.

Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien

terbangun.

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas

dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara

yang mengalami kontak langsung dengan kornea.

b. Perbanyak istirahat terutama pada keadaan akut.

c. Jika telah melewati masa akut (lebih dari 2 minggu), penatalaksanaan

ditujukan ke fisioterapi. Tujuan fisioterapi adalah untuk

mempertahankan tonus otot kembali normal. Cara yang sering

digunakan adalah dengan mengurut/masase otot wajah.

Sebagian kasus paralisis fasial idiopatik dapat sembuh spontan.

Manajemen bertujuan untuk meminimalkan kemungkinan

resolusi/penyembuhan yang tidak sempurna dan menurunkan resiko terjadinya

sequele, yang mana terjadi pada kelemahan fasialis derajat sedang sampai

berat, sinkinesis, disfungsi otonom (spasme fasialis dan crocodile tears) dan

terjadinya kontraktur. Selain itu kita harus melindungi kornea dari trauma dan

13

Page 14: TBR bells palsy.doc

paparan akibat mata tidak dapat untuk menutup dengan sempurna

(McCaul,2014)

B. PREDNISOLON

Kortikosteroid merupakan suatu jenis hormon steroid yang

diproduksi oleh korteks kelenjar adrenal yang sering. Berdasarkan aktivitas

biologisnya, kortikosteroid dibagi menjadi dua jenis yaitu glukokortikoid dan

mineralokortikoid. Glukokortikoid (contoh : kortisol) berperan mengatur

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat antiinflamasi

dengan menghambat lepasnya fosfolipid, serta dapat pula menekan kinerja

eosinofil sehingga akan mengurangi reaksi alergi (Barret, 2010).

Sementara itu, mineralokortikoid (contoh : aldosteron) berfungsi

untuk menyeimbangkan kadar elektrolit dan air dengan cara meretensi garam

dan air di ginjal. Selama ini sudah banyak jenis obat-obatan yang disintesis

sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami, terutama jenis

glukokortikoid. Di antaranya yaitu, prednisolon, prednison dan methyl

prednisolon. Obat-obatan ini telah banyak digunakan dan memiliki manfaat

yang cukup besar sebagai pilihan terapi (Barret, 2010).

1. Dosis dan Sediaan

Prednisolon jarang digunakan di Indonesia, yang sering

digunakan yaitu Prednison. Perbedaan antara kedua obat ini adalah

Prednisolon merupakan bentuk aktif dari prednison. Di dalam tubuh,

prednison akan dimetabolisme terlebih dulu oleh hepar sehingga

terkonversi menjadi bentuk aktifnya yaitu prednisolon. Setelah

terkonversi, barulah efek biologis dari obat ini akan bekerja sehingga efek

kedua obat ini sama. Namun, penggunaan prednisolon lebih aman pada

penderita gangguan hepar (Czock, 2005).

Prednisolon tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 10-40 mg

maupun syrup dengan dosis 5-25 mg / 5ml. Namun untuk penggunaannya

dalam Bell’s palsy yang sering digunakan adalah dalam bentuk tablet.

Nama dagang Prednisolon di antaranya yaitu Pediapred, Orapred dan

14

Page 15: TBR bells palsy.doc

Prelone. Di Indonesia sendiri, yang umum digunakan adalah Prednison.

Prednison tersedia dalam tablet dengan dosis 10-40 mg. Sebagai terapi

bagi penderita Bell’s palsy, dosis pemberian prednison yaitu maksimal 40-

60 mg/hari dan prednisolon maksimal 70 mg peroral selama enam hari

diikuti empat hari tappering off setiap 10 mg (Gilden, 2004).

2. Mekanisme kerja

Prednisolon adalah derivat dari kortisol yang merupakan bentuk

aktif dari prednison. Prednisolon memiliki rumus molekular C21H28O5

dengan berat molekul sebesar 360.444 g/mol, waktu paruhnya sekitar 2-3

jam. Prednisolon terutama diekskresi melalui urin. Obat ini merupakan

bentuk aktif sehingga tidak berpengaruh terhadap fungsi metabolisme

hepar. Obat ini memiliki efek glukokortikoid yang dominan dengan sedikit

efek mineralokortikoid. Glukokortikoid menyebabkan berbagai efek

metabolik. Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya dengan protein

reseptor spesifik yang terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau

organ sasaran, membentuk kompleks hormon-reseptor. Kompleks

hormon-reseptor ini kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi

ekspresi gen-gen tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein

tertentu. Protein inilah yang akan mengubah fungsi seluler organ sasaran,

sehingga diperoleh, misalnya efek glukoneogenesis, meningkatnya asam

lemak, redistribusi lipid, meningkatnya reabsorpsi natrium, meningkatnya

reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif, dan efek anti radang. Oleh

karena itu, obat ini dapat berperan sebagai antiinflamasi dan

imunosupresan. Seperti telah dibahas sebelumnya, Bell’s palsy terjadi

karena adanya inflamasi dan edema pada nervus fasialis sehingga efek

antiinflamasi dapat mengurangi manifestasi klinisnya (Czock, 2005).

3. Efek samping obat

Cara pemberian prednisolon merupakan hal yang harus

diperhatikan karena sebagai salah satu jenis kortikosteroid, penggunaan

obat ini akan menimbulkan efek samping yang berbahaya terutama jika

digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping sistemik obat

ini di antaranya yaitu (Czock, 2005) :

15

Page 16: TBR bells palsy.doc

a. Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal

Penggunaan yg lama(>2 minggu) dan penghentian secara mendadak

dapat menimbulkan inusifiensi adrenal akut.

b. Cushing syndrome

Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu katabolisme lemak

sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang

timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan lemak

supraklavikular, ekstremitas kurus, striae, acne dan hirsutism.

c. Hiperglikemia dan glikosuria

Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme

glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim

glukosa-6-pospat

d. Penurunan absorpsi kalsium intesinal

Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison

menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah

signifikan.

e. Keseimbangan nitrogen negatif

Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan

ekstrahepatik, yang digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis.

Hal ini menyebabkan tingginya kadar asam amino dalam plasma,

peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen negatif.

f. Mudah terkena infeksi

Efek antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya

penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan

prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan

sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan,

namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi.

g. Tukak peptik

Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada

pengobatan dengan kortikosteroid.

h. Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis)

16

Page 17: TBR bells palsy.doc

Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara

menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama

malah menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast)

dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis.

i. Miopatik

Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat

menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan

kelemahan dan miopatik.

j. Hiperkoagubilitas darah

Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah

ditemukan terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang

memudahkan terjadinya trombosis intravaskular.

k. Pertumbuhan terhambat

Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang

menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan

kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang

meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid

juga menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya

menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga menghambat

pertumbuhan.

l. Peningkatan tekanan darah

Efek retensi sodium yang mengakibatkan retensi air dan peninggian

tekanan darah.

m. Glaukoma (steroid-induced glaucoma)

Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi

glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons protein

trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga

menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan

terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous

humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan

menyebabkan akumulasi.

17

Page 18: TBR bells palsy.doc

C. ACYCLOVIR

Acyclovir merupakan analog asiklik dari deoksiguanosin yang

memiliki efek antivirus terutama terhadap virus herpes termasuk herpes

simplex 1 dan 2, cytomegalovirus, Ebstein-Barr virus dan varicella-zoster.

Rumus molekulnya adalah C8H11N5O3 dengan berat molekul sebesar 225.046

g/mol. Acyclovir memiliki sifat fisikokimia berupa serbuk kristal putih

dengan kelarutan 2.5 mg/ml dalam air pada suhu 24oC (McEvoy, 2004).

Secara komersial, obat tersedia juga dalam bentuk injeksi dengan

bentuk acyclovir natrium dengan bentuk serbuk kristal putih, larut dalam air.

Maksimum kelarutan obat adalah >100 mg/mL pada air dengan suhu 25°C,

tetapi pada pH psiologis dan suhu normal tubuh 37°C obat hampir tidak

mengalami ionisasi. Acyclovir natrium mengandung 4.2 mEq natrium per

gram acyclovir (McEvoy, 2004).

1. Dosis dan sediaan

Acyclovir dapat digunakan secara oral maupun injeksi, tersedia

dalam bentuk tablet dengan dosis 200 mg dan 400 mg, maupun vial

dengan dosis 25 mg/ml. Acyclovir memiliki beberapa nama produk

dagang di antaranya adalah Avirax, Alti-Acyclovir, Vipral, Virorax, Zovir,

Zovirax, Cyclovir, Acivir, Acivirax. Penggunaan obat ini untuk medikasi

bagi penderita Bell’s palsy biasanya dilakukan secara oral. Dosis

pemberian acyclovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari

melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara

untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang

dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari (Gilden, 2004).

Selain acyclovir, obat dengan bahan aktif yang sama juga dapat

dipergunakan dengan penyesuaian dosis, misalnya seperti Valacyclovir.

Dosis pemberian valacyclovir yang dalam darah kadarnya 3-5 kali lebih

tinggi, untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3

kali selama lima hari (Gilden, 2004).

2. Mekanisme kerja

Acyclovir merupakan pro drug yang untuk dapat berefek harus

dimetabolisme terlebih dahulu menjadi bentuk aktif. Acyclovir memiliki

18

Page 19: TBR bells palsy.doc

bioavailabilitas yang rendah bila diberikan dalam bentuk oral yaitu hanya

sekitar 15-20%, dengan waktu paruh 2-4 jam. Obat diekskresikan melalui

ginjal oleh filtrasi glomerular dan sekresi tubular, terutama dalam bentuk

tidak berubah, dan hanya sekitar 10% sebagai metabolit yang tidak aktif.

Obat ini dimetabolisme secara minimal di hepar sehingga tidak banyak

berpengaruh terhadap fungsi hepar (Rakel, 2003).

Mekanisme kerja acyclovir dimulai dengan terjadinya fosforilasi

acyclovir oleh enzim timidin kinase yang spesifik untuk virus. Senyawa ini

kemudian diubah lagi menjadi senyawa di- dan trifosfat oleh enzim kinase

yang berasal dari sel hospes yang terinfeksi oleh virus. Acyclovir trifosfat

akan menghambat sintesis DNA virus melalui dua mekanisme yaitu

menghambat deoksiguanosin trifosfat (dGTP) yang berperan sebagai suatu

subsrat untuk DNA polymerase. Penghambatan ini dilakukan secara

kompetitif, dengan cara mengikatkan diri pada cetakan DNA membentuk

kompleks yang tidak mudah lepas, dan pada akhirnya memutus

pembentukan rantai DNA virus (Rakel, 2003).

Gambar 3. Mekanisme kerja Acyclovir (Rakel, 2003)

3. Efek samping Obat

Penggunaan obat ini memiliki efek samping sistemik yang minimal.

Pada sistem saraf pusat dilaporkan terjadi malaise (perasaan tidak nyaman)

sekitar 12% dan sakit kepala (2%). Pada sistem pencernaan

(gastrointestinal) dilaporkan terjadi mual (2-5%), muntah (3%) dan diare

(2-3%). Acyclovir pada wanita hamil hanya diberikan apabila

pertimbangan manfaat lebih besar dari pada risiko yang mungkin timbul.

Penggunaan Acyclovir pada wanita hamil masuk dalam kategori B. Efek

teratogenik dari Acyclovir tidak diteliti pada studi dengan hewan

percobaan. Acyclovir terbukti dapat melewati plasenta manusia. Tidak ada

19

Page 20: TBR bells palsy.doc

penelitian yang cukup dan terkontrol pada wanita hamil, maka

direkomendasikan penggunaan acyclovir untuk wanita hamil disertai

peringatan dan diberikan jika benar-benar-benar diperlukan. Acyclovir

juga dapat masuk ke dalam air susu ibu, karena itu penggunaan pada ibu

menyusui harus disertai peringatan (Rakel, 2003).

20

Page 21: TBR bells palsy.doc

BAB III

MANAJEMEN PADA BELL’S PALSY

Bell’s palsy adalah kondisi gangguan neurologis berupa paralisis nervus

fasialis perifer yang umum terjadi dengan penyebab yang masih belum jelas

sehingga dikategorikan sebagai idiopatik. Beberapa penyebab yang dicurigai

sebagai faktor terjadinya penyakit ini di antaranya adalah infeksi virus dan proses

autoimun, akan tetapi hal ini masih diperdebatkan dan masih terus diteliti.

Berdasarkan studi epidemiologi, setiap tahunnya terdapat 11-30 kasus Bell’s palsy

dari 100.000 orang dan kebanyakan berasal dari rentang usia 30-45 tahun. Gejala

Bell’s palsy terjadi secara mendadak selama beberapa jam dan mencapai

puncaknya setelah 72 jam (Lo, 2010).

Pada mayoritas kasus, sekitar 70-80% penderita Bell’s palsy memang dapat

sembuh secara spontan dalam kurun waktu 3 minggu hingga 3 bulan. Meskipun

begitu, terdapat sekitar 30% pasien Bell’s palsy yang tidak pulih jika dibiarkan

atau pemulihannya buruk dengan menyisakan gejala-gejala tertentu yang tentu

saja akan menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, umumnya

dianjurkan untuk diberikan terapi medikamentosa bagi pasien Bell’s palsy sebagai

upaya untuk mempercepat dan meningkatkan kesempurnaan pemulihan gejalanya,

terutama bagi pasien Bell’s palsy dengan onset kurang dari 72 jam (Lo, 2010).

Selama ini, terapi yang umum diberikan kepada para pasien Bell’s palsy

yaitu Prednisolon, Acyclovir, atau kombinasi keduanya. Namun, penggunaannya

sebagai pilihan terapi masih kontroversial karena bukti yang mendukung

efektivitas dari kedua obat ini, baik terpisah maupun dikombinasikan, masih

lemah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut (Lo, 2010).

Peradangan pada nervus fasialis yang menyebabkan oedema memegang

peranan penting dalam patogenesis Bell’s palsy. Pemberian anti inflamasi telah

banyak digunakan dalam pengobatan Bell’s palsy. Sebuah studi penelitian oleh

Cochrane dimana membandingkan pemberian steroid dan plasebo dengan plasebo

itu sendiri dibandingkan dengan pemberian steroid dan antiviral dengan terapi

antiviral itu sendiri. Hasil Metaanalisis menunjukkan bahwa 33% dari pasien pada

kelompok kontrol belum pulih sepenuhnya pada 6 bulan, dan 23% dari mereka

21

Page 22: TBR bells palsy.doc

yang telah memiliki pengobatan disfungsi hadresidual kortikosteroid dari saraf

wajah (RR 0,71, 95% CI0.61-0.83). Ada juga penurunan yang signifikan dalam

motorsynkinesis pada kelompok steroid (RR 0,6, 95% CI 0,44-0,81). Penelitian

lain dalam Journal American Medical Association (JAMA) yang menggunakan

metodologi yang berbeda. menyimpulkan bahwa pengobatan tunggal dengan

kortikosteroid menurunkan risiko pemulihan yang tidak diharapkan (RR 0,69,

95% CI0.55-0.87; p = 0,001). Berdasarkan data gabungan dari beberapa penelitian

menunjukkan hasil signifikan. Gejala sequele terjadi pada 56 dari 455 pasien yang

diberikan terapi steroid dan 92 dari 446 pasien yang mendapatkan terapi plasebo

(McCaul,2014).

May et al, 2014 dalam sebuah penelitian menyarankan untuk memulai

pengobatan dalam 2 hari setelah timbulnya kelemahan wajah, dan sebagian yang

lain memulai pengobatan mulai dalam 72 jam dari awal gejala kelemahan. oleh

Taverner, 31 pasien yang memulai pengobatan 9 hari onset dikaitkan dengan

penurunan pemulihan lengkap dengan pengobatan steroid. Sullivan et al.recruited

proporsi yang lebih tinggi dari pasien pada awal perjalanan penyakit tersebut yang

dan mereka menunjukkan hasil yang lebih baik .

Prednisolon sebagai salah satu jenis kortikosteroid memiliki efek

antiinflamasi. Seperti telah dibahas sebelumnya, Bell’s palsy kemungkinan besar

terjadi karena adanya edema saraf akibat inflamasi dari nervus fasialis. Saraf yang

membengkak akan menyebabkan terjadinya demyelinisasi dan kompresi oleh

bagian dari kanalis fasialis yang sempit sehingga pada akhirnya bermanifestasi

sebagai kelumpuhan LMN. Karena secara teori, dasar dari terjadinya Bell’s palsy

merupakan inflamasi, maka diharapkan penggunaan kortikosteroid dapat

mengurangi gejala klinis serta kemungkinan paralisis permanen dari nervus

fasialis yang mengalami edema. Pemberian prednisolon juga diharapkan dapat

mempercepat pemulihan gejala dengan target dalam waktu kurang dari 3 bulan.

Dosis kortikosteroid yang direkomendasikan sebagai terapi pasien Bell’s palsy

yaitu prednison maksimal 40-60 mg/hari dan prednisolon maksimal 70 mg peroral

selama enam hari diikuti empat hari tappering off setiap 10 mg. Tappering off

dilakukan untuk menghindari efek samping insufisiensi adrenal akibat

22

Page 23: TBR bells palsy.doc

penghentian mendadak dari kortikosteroid. Selain itu, efek toksik dan hal yang

perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)

yaitu berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,

supresi kekebalan tubuh, dan Cushing syndrome (Gilden, 2004).

Acyclovir sebagai antivirus yang digunakan sebagai terapi terhadap

penyakit dengan etiologi herpes simpleks virus (HSV) dipercaya dapat

meningkatka pemulihan Bell’s palsy. Hal ini dikarenakan adanya dugaan bahwa

Bell’s palsy disebabkan oleh infeksi virus HSV. Pada beberapa penelitian,

dinyatakan bahwa virus HSV ditemukan di cairan endoneural N. VII dan ganglion

geniculatum pada penderita Bell’s palsy sehingga menimbulkan kecurigaan virus

inilah yang menjadi penyebabnya. Namun, hal ini masih diperdebatkan dan terus

diteliti lebih lanjut. Beberapa studi masih menunjukkan hasil yang bervariasi

mengenai efektivitas dari penggunaan acyclovir baik sebagai obat tunggal

maupun dikombinasikan bersama kortikosteroid pada penderita Bell’s palsy.

Sebuah penelitian retrospektif mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik

didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir / valasiklovir dan

prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon (Hato, 2007).

Penelitian lain juga menemukan bahwa kombinasi antivirus dan

kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih

besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data ini mendukung kombinasi terapi

antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset (de Almeida, 2009).

Namun, hasil analisis peneliti lain menunjukkan tidak adanya keuntungan

signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka

penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan

penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja.

Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi

kombinasi (Quant, 2009).

Dosis pemberian acyclovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari

melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk

dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam

lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sementara untuk valacyclovir yang dalam

23

Page 24: TBR bells palsy.doc

darah kadarnya 3-5 kali lebih tinggi, dosis untuk dewasa adalah 1000-3000 mg

per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari (Gilden, 2004).

Dalam penelitian pada jurnal ini, disimpulkan bahwa pemberian prednisolon

pada pasien Bell’s palsy dengan onset kurang dari 72 jam memang terbukti dapat

meningkatkan peluang untuk pulih sempurna dalam kurun waktu 3 dan 9 bulan.

Sementara itu, pada penelitian ini juga dibuktikan bahwa penggunaan acyclovir

baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan prednisolon tidak efektif

terhadap pemulihan Bell’s palsy karena tidak ada perbedaan yang signifikan jika

dibandingkan dengan outcome pada pasien yang diberi placebo (Sullivan, 2007).

Penelitian dilakukan pada 752 pasien dengan randomisasi, double blind,

placebo-controlled, factorial trial dengan dua faktor independen. Dari 752 pasien,

201 dieksklusikan karena berbagai alasan berbeda sehingga jumlah total menjadi

551 pasien. Dari 551 pasien, 134 mendapat kombinasi acyclovir dengan

prednisolon, 138 mendapat acyclovir, 138 mendapat prednisolon, dan 141

mendapat placebo. Pemberian obat dilakukan selama 10 hari dengan dosis untuk

prednisolon 2x25mg/hari dan acyclovir 5x400mg/hari. Placebo yang digunakan

adalah laktosa. Follow up dilakukan 3 bulan setelah pemberian terapi, dan jika

pemulihan masih belum sempurna akan difollow up kembali setelah 9 bulan

(Sullivan, 2007).

Penilaian terhadap pemulihan gejala dilakukan dengan skala House-

Brackmann yang merupakan sistem skoring standar untuk menilai derajat paralisis

nervus fasialis. Skala ini terdiri dari grade 1 (normal) hingga grade 6 (paralisis

total) yang dinilai terutama dari pergerakan mata, mulut dan kerutan dahi serta

pada saat istirahat. Dikatakan pemulihan yang belum sempurna jika termasuk ke

dalam grade 2 atau lebih. Pada penelitian ini gejala sekunder juga dinilai yaitu

kualitas hidup, kondisi psikologis berkaitan dengan estetika wajah, dan nyeri.

Masing-masing gejala dinilai dengan sistem skoring standar (Sullivan, 2007).

Hasil penelitian pada jurnal ini, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3

bulan terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam jumlah pasien yang

mengalami pemulihan sempurna yaitu sebesar 83% dari pasien yang

mendapatkan prednisolon dan hanya 63.6% dari pasien yang tidak mendapat

prednisolon. Dalam kurun waktu yang sama, tidak ada perbedaan angka yang

24

Page 25: TBR bells palsy.doc

signifikan antara pasien yang mendapat acyclovir dan yang tidak yaitu sebesar

71.2% dan 75.7% secara berurutan (Sullivan, 2007).

Dalam kurun waktu 9 bulan terdapat perbedaan yang cukup signifikan

dalam jumlah pasien yang mengalami pemulihan sempurna yaitu sebesar 94.4%

dari pasien yang mendapatkan prednisolon dan hanya 81.6% dari pasien yang

tidak mendapat prednisolon. Dalam kurun waktu yang sama, tidak ada perbedaan

angka yang signifikan antara pasien yang mendapat acyclovir dan yang tidak yaitu

sebesar 85.4% dan 90.8% secara berurutan (Sullivan, 2007).

Setelah dilakukan analisis data untuk uji signifikansi hasilnya adalah

sebagai berikut. Terapi kombinasi versus prednisolon, P=0.18 (3 bulan) dan

P=0.28 (9 bulan); terapi kombinasi versus acyclovir, P=0.004 (3 bulan) dan

P=0.001 (9 bulan); acyclovir versus placebo, P=0.79 (3 bulan) dan P=0.19 (9

bulan); dan prednisolon versus placebo, P<0.001 (3 bulan) dan P=0.004 (9 bulan)

(Sullivan, 2007).

Berdasarkan hasil tersebut, terbukti bahwa prednisolon, baik sebagai obat

tunggal maupun kombinasi dengan acyclovir, secara signifikan efektif dalam

mempercepat pemulihan Bell’s palsy. Sedangkan, acyclovir terbukti tidak efektif,

baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan prednisolon, dalam

mempercepat pemulihan Bell’s palsy (Sullivan, 2007).

Jadi secara garis besar, prednisolon terbukti efektif sebagai pilihan terapi

dini bagi pasien Bell’s palsy sedangkan acyclovir dibuktikan tidak efektif

sehingga pemberian obat ini tidak dapat direkomendasikan sebagai pilihan terapi.

Namun hasil dari penelitian ini harus didukung oleh penelitian-penelitian lebih

lanjut untuk mendapatkan hasil yang konsisten sehingga dapat menjadi dasar

terapi yang kuat bagi para klinisi (Sullivan, 2007).

25

Page 26: TBR bells palsy.doc

BAB IV

KESIMPULAN

a. Bell’s palsy adalah suatu kondisi gangguan neurologis di mana terjadi

paralisis atau kelumpuhan pada nervus fasialis perifer. Biasanya gangguan ini

terjadi mendadak atau akut, bersifat unilateral dan penyebabnya tidak jelas

atau idiopatik.

b. Beberapa penyebab yang dicurigai sebagai faktor terjadinya penyakit ini di

antaranya adalah infeksi virus dan proses autoimun, akan tetapi hal ini masih

diperdebatkan dan masih terus diteliti.

c. Prednisolon adalah derivat dari kortisol yang memiliki efek glukokortikoid

yang dominan dengan sedikit efek mineralokortikoid. Obat ini dapat berperan

sebagai antiinflamasi dan imunosupresan.

d. Acyclovir merupakan analog asiklik dari deoksiguanosin yang memiliki efek

antivirus terutama terhadap virus herpes termasuk herpes simplex 1 dan 2,

cytomegalovirus, Ebstein-Barr virus dan varicella-zoster.

e. Prednisolon terbukti efektif sebagai pilihan terapi dini bagi pasien Bell’s

palsy sedangkan acyclovir dibuktikan tidak efektif sehingga pemberian obat

ini tidak dapat direkomendasikan sebagai pilihan terapi.

26

Page 27: TBR bells palsy.doc

DAFTAR PUSTAKA

Barret K, Barman M, Boitano S, Brooks H. 2010. Ganong’s Review of Medical Physiology. 23rd ed. US: The McGraw-Hill Companies

Czock D, Keller F, Rasche FM, Häussler U. 2005. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of systemically administered glucocorticoids. Clin Pharmacokinet. 44(1):61-98.

de Almeida JR, Al Khabori M, Guyatt GH, Witterick IJ, Lin VY, Nedzelski JM, et al. 2009. Combined corticosteroid and antiviral treatment for Bell’s palsy: a systematic review and metaanalysis. JAMA. 302:985-93.

Djamil Y, A Basjiruddin. 2009. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal 297-300

Gilden DH. 2004. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 351:1323-31.

Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. 2007. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol. 28:408-13.

McCaul, J. 2014. Review Evidence Based Management of Bell’s Palsy. British Medical Journal. 01;2014.

Lo B. 2010. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. p1-5.

 Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. Jakarta: IDI.

Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mardjono, M. Sidharta, P. 2005. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat. 159-163.

McEvoy, G.K. 2004. AHFS Drug Information. USA : American Society Of Health System Pharmacist. Inc.

Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903.

Quant EC, Jeste SS, Muni RH, Cape AV, Bhussar MK, Peleg AY. 2009. The benefits of steroids versus steroids plus antivirals for treatment of Bell’s palsy: a meta-analysis. BMJ. 339:3354.

27

Page 28: TBR bells palsy.doc

Rakel, David. 2003. Integrative Medicine 1st Edition. USA: Elsevier Science.

Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. 2007. Early Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bell’s Palsy. N Eng J Med. 357:1598-607.

28