tauhid sebagai konsep ketuhanan dlm islam

Upload: kiki-soraya

Post on 17-Jul-2015

746 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAUHID SEBAGAI KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM(Tauhid Sebagai Pandangan Dunia Seorang Muslim)

DISUSUN OLEH: RESKI SORAYA - D42111251 DINUL FITRIAH - D42111257 ZAINAL BASRI - D42111262

PRODI INFORMATIKA JURUSAN ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

BAB I Pendahuluan A. Beberapa Istilah Penting dalam Konsep Ketuhanan Islam Ada beberapa keyword dalam memahami konsep ketuhanan dalam Islam, diantaranya kata Allah, ahad, dan tauhid. Pada bahasan ini akan dikonsentrasikan pada pemerian terhadap makna yang terkandung dalam kata Allah, ahad dan tauhid. Secara etimologis kata Allah ( ) diderivasi dari kata ilah ( ) yang berarti menyembah ( .) Kata Allah ( ) juga dapat diderivasi dari kata alih ( ) yang berarti ketenangan ( ,) kekhawatiran ( ) dan rasa cinta yang mendalam (.) Ketiga makna kata alih( ) mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan (Ibnu Asyur, vol I, 1884: 162). Hanya saja kata alih kurang begitu popular untuk menggambarkan zat ketuhanan, kata alih tersebut hanya

menggambarkan keadaan sang hamba dalam interaksinya dengan yang disembah. Sedangkan kata ilahmemiliki tendensi yang positif untuk dijadikan sebagai derivasi dari kata Allah ( .) Sebab kata Allah dapat berarti penyembahan. Demikian juga bentuk plural dari katailah ( ) adalah aalihah ( ) yang berarti berhala yang dijadikan sesembahan. Selain itu menurut Abu Haitsam sesuatu tidak dapat disebut sebagai ilah sampai sesuatu itu disembah atau dijadikan sesembahan (Ibnu Manzhur: 114). Kata ilah ( ) ini selanjutnya mendapatkan tambahan ( ,) karena tuntutan gramatikal bahasa Arab maka huruf hamzah yang ada pada kata ilah ( ) dilebur dan diganti dengan huruf lam yang bertasydid. Adapun kata ilah ( ) sendiri berakar dari induk kata wilah ( ) yang dapat berarti sebagai: (a) sebuah bentuk kesedihan yang mendalam yang dapat menghilangkan akal sehat, (b) rasa bimbang yang disebabkan oleh tebalnya rasa cinta, (c) sebuah bentuk kasih sayang (Mujam, 1333). Arti sederhana dari kata wilah () adalah rengekan seorang anak kecil kepada ibunya ketika dia butuh sesuatu (Ibnu Manzhur, 115). Namun bagaimana kata ilah ( ) berevolusi menjadi sebuah kata yang mengekspresikan sebuah entitas ketuhanan? Makna yang dikandung baik itu dari kata ilah ( ) ataupun induk kata tersebut wilah ( ) setidaknya mampu mengungkapkan sebuah ekspresi seorang hamba kepada tuannya. Kata wilah ( ) mampu mengekspresikan rasa butuh seorang hamba kepada tuannya atas tuntutan kehidupannya, atau pengungkapan kelemahan sang hamba kepada tuannya, sehingga mengharuskan hamba untuk berlindung dalam kebesaran sang tuan. Kata wilah ()

pada intinya menyiratkan makna kebutuhan yang lemah terhadap perlindungan dari yang kuat, seperti kebutuhan perlindungan dari seorang anak kepada ibunya. Kata wilah ( ) inilah yang menjadi akar kata yang digunakan untuk mengungkapkan ekspresi ketuhanan dalam bahasa Arab. Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilahah ( .)Kata ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab. Kata ilahah ( )selanjutnya digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah satunya adalah kata ulahah ( ) yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilahah ( )juga tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan. Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilahah ( )karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari (Ibnu Manzhur: 115). Dapat disimpulkan bahwa kata ilah ( ) dan kata Allah ( ) pada awalnya berasal dari kata wilah (,) yang berarti ketundukan, pengagungan, dan ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilah ( ) diderivasikanlah kata ilahah ( )yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya berevolusi menjadi kata Allah. Sedangkan dalam terminologi Islam, kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan (Ridho, 1947: 46). Hal serupa juga disampaikan oleh Ibnu Asyur ketika memberikan defenisi terhadap kata Allah. Ibnu Asyur berkata, bahwa kata Allah adalah nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian (Ibnu Asyur, 1884: 162). Kata penting selanjutnya dalam konsep ketuhanan Islam adalah kata ahad dan tauhid. Kata ahad memiliki peran yang sangat penting dalam mengekspresikan keesaan Tuhan yang mutlak. Kata ahad berfungsi untuk menggambarkan sebuah bentuk ketunggalan atau keesaan yang senantiasa kekal dalam ketunggalannya dan tak ada sesuatu pun yang berkongsi dalam ketunggalan dan keesaannya itu, bahkan kata ahad merupakan sebuah bentuk kata numerik yang menafikan pluralitas (Ibnu Manzhur: 35). Dari kata ahad selanjutnya melahirkan istilah tauhid yang menjadi ciri dan karakteristik dasar dalam konsep ketuhanan Islam. Tauhid bermakna sebagai -

sebuah konsep ketuhanan- yang menghilangkan segala bentuk gambaran yang ada dalam pemahaman, khayalan ataupun fantasi terhadap pandangan tentang ketuhanan ataupun yang berkaitan dengan zat Tuhan (Jurjani, 2002: 73). Selain tauhid, ada istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan konsep ketuhanan Islam, yaitu monotheisme. Dalam kamus Oxford, kata monotheism berarti, the belief that there is only one God (Hornby, 1995: 753).

BAB II Tauhid Sebagai Konsep Ketuhanan dalam Islam

A. Filsafat Ketuhanan Dalam Islam Siapakah Tuhan itu Perkataan ilah, yang diterjemahkan Tuhan, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu: [QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23] Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.? Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Firaun untuk dirinya sendiri: [QS 28 (Al-Qashash):38] Dan Firaun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Firaun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut: Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut: Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya

tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)

Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang

dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat la ilaaha illa Allah. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu tidak ada Tuhan, kemudian baru diikuti dengan penegasan melainkan Allah. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.

B. Pengertian Tauhid Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (afal). Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid Itiqadi ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid Itiqadi amali suluki (keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa marifat (pengetahuan), Itiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), alqashdu (tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan sesorang tidak dapat diterima disisi Allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19). Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-quran al-karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah,

pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapat tiga unsur yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani). Ikrar mengesakan Allah terdapat pada rukun Islam pertama yang disebut juga sebagai kalimat syahadat. Adapun bunyinya yaitu sebagai berikut: Asyhadu Allah ilaaha illa Allah C. Tauhid Dalam Konsep Ketuhanan Islam Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan makna dari kata kunci dalam memahami konsep ketuhanan Islam, kata tersebut adalah kata Allah, ahad dan tauhid. Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Islam, maka metode yang paling membantu adalah dengan menyimak tafsiran para ilmuwan Islam ketika mereka berinteraksi dengan kata-kata ini. Basis dari segala pandangan teologis para ilmuwan Islam, berporos dari cara mereka menafsirkan dan menginterpretasikan kata Allah dan kata ahad. Sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya. Dalam tafsirnya, Razi berpendapat, bahwa kedua kata tersebut ketika digabungkan maka akan melahirkan dua bentuk makna yang simetris satu sama lain. Kata Allah melahirkan makna positif, yaitu penetapan sifat kesempurnaan, keagungan, dan kebesaran kepada zat Tuhan. Dengan menggunakan kata Allah, berarti mengisyaratkan bahwa zat Tuhan merupakan zat yang paling agung, paling sempurna dan paling berkuasa. Namun keagungan, kesempurnaan dan kebesarannya belum mampu memberikan makna yang signifikan jika, dalam benak manusia belum jelas, apakah keagungan, kesempurnaan dan kebesaran itu hanya dimilikiNya sendiri, atau ada zat lain yang berkongsi denganNya dalam kepemilikan terhadaps sifat-sifat

tersebut. Dengan menambahkan kata ahad, maka segala kemungkinan tersebut ditepis, dan bahkan sifat ini justru semakin menambah kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan. Dia sendiri dalam keagungan yang tak butuh kepada apa pun. Dia tunggal dalam kesempurnaan dan tak bergantung terhadap apapun. Dia esa dalam kebesaranNya yang tak satupun mampu menandingiNya. Sehingga kesempurnaan, kemuliaan dan kebesaranNya merupakan sesuatu yang mutlak. Dengan adanya sifat Ahad ini, akan menambah kemutlakan terhadap otoritas Tuhan. Dia adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan atribut ketuhanan di semesta raya ini. eksistensi yang hakiki hanya dimiliki oleh Tuhan, sedangkan keberadaan sesuatu yang lain hanyalah merupakan pancaran dari keberadaan Tuhan. Segala sesuatu membutuhkan Tuhan untuk eksistensinya, namun Tuhan tak membutuhkan apa-apa dalam mewujudkan eksistensinya (Razy, vol XXXII, 1981: 180). Jika ditelisik secara filosofis makna kalimat ( ,)sebagaimana yang

disebutkan oleh Ibnu Sina, bahwa Allah Ahad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam segala aspek, dan tak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi, sebagai mana yang ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana yang nampak dalam dunia materi. Keesaan ini juga menegasikan dan mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak kebersahajaan Yang Satu. Demikian juga, Ahad mengindikasikan bahwa tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya (Ibnu Asyur, vol XXX, 1884: 614). Seluruh keyakinan dan kepercayaan ini merupakan landasan yang paling fundamental dalam pembentukan dan konstruksi akidah tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Bahkan seluruh ajaran risalah kenabian berporos pada konsep tauhid ini. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa dalam konsep ketuhanan Islam, Tuhan merupakan Zat yang Tunggal dalam wujud, kesempurnaan, kemuliaan dan keagungan. Keesaan Tuhan merupakan syarat yang absolut dalam konsep ketuhanan Islam. Otoritas ontologis tertinggi terletak pada Zat Tuhan. Sehingga tak ada sesuatu pun yang mampu menyamai atau bahkan berkongsi dengan Tuhan dalam kepelimikan atribut-atribut ketuhanan. D. Paradigma Keyakinan Tauhid Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur

mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma was-shifat). 1. Tauhid Rububiyah Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul Ala al-Maududi ia dapat bearti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 3740). Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seleuruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertia sebagaimana di bawah ini: 1) Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya. 2) Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan. 3) Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan. 4) Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubah sebagi pusat tempat mereka berhimpun di sekelilingnya. 5) Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan. 6) Raja yang dipertuan. Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allahlah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satusatunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya sematamata. 2. Tauhid Mulkiyah

Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-quran yang menjelaskan bahwa allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya. Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlak milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satusatunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah). a) Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah) Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja symbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang sangat tidak menentukan system kehidupan atau system pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena sudah tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi sebagai

pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Quran banyak menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS albaqarah (2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59. b) Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah) Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainya. Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-quran bahwa hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-Anam (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, zalimun, dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS Al-maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut zalim manakala merugikan oran lain. c) Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah) Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-Anam (6): 162). 3. Tauhid Uluhiyah Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-maluh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsipprinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan

hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepadaNya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendifinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22). 4. Tauhid Sifatiyah (al-Asma wa al-Sifat) Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Quran dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya. Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari): a) Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma wassifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain. b) Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.

Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan tathil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11). Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu: a) Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah. Lihat QS al-Araf (7): 180.

b) Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan afal (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS asSyura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4. c) Mengimani al-Asma was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan bagaimananya (kaifiyat). d) Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut. e) Di samping istilah al-Asma al-husna ada lagi istilah ismullah al-azam yaitu nama-nama allah swt yang dirangkai dalam doa. Rasulullah saw mengatakan bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-azam, doanya akan dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah). E. Jejak Historis

BAB III Kesimpulan Ada beberapa keyword dalam memahami konsep ketuhanan dalam Islam, diantaranya kata Allah, ahad, dan tauhid. Dalam terminologi Islam, kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan (Ridho, 1947: 46). Kata ahad memiliki peran yang sangat penting dalam mengekspresikan keesaan Tuhan yang mutlak. Kata ahad berfungsi untuk menggambarkan sebuah bentuk ketunggalan atau keesaan yang senantiasa kekal dalam ketunggalannya dan tak ada sesuatu pun yang berkongsi dalam ketunggalan dan keesaannya itu, bahkan kata ahad merupakan sebuah bentuk kata numerik yang menafikan pluralitas (Ibnu Manzhur: 35). Kata ahad memiliki peran yang sangat penting dalam mengekspresikan keesaan Tuhan yang mutlak. Kata ahad berfungsi untuk menggambarkan sebuah bentuk ketunggalan atau keesaan yang senantiasa kekal dalam ketunggalannya dan tak ada sesuatu pun yang berkongsi dalam ketunggalan dan keesaannya itu, bahkan kata ahad merupakan sebuah bentuk kata numerik yang menafikan pluralitas (Ibnu Manzhur: 35). Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma was-shifat). 1) tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul alamain). 2) Tauhid Mulkiyah mengandung arti bahwa Allah SWT adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). 3) Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkanNya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27).

4) Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Quran dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.