syaikhul islam dan ilmu kalam

44
Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam Revivalisasi Konstruktif Konsep-konsep Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Ditulis Oleh: Nidlol Masyhud, Lc. PENGANTAR Salah satu diskursus paling krusial dalam kajian-kajian keislaman adalah pembahasan tentang konsep-konsep Aqidah dan Ilmu Kalam. Wacana yang biasanya lebih terfokus ke permasalahan “teologis” ini, merupakan lahan kajian paling vital dalam rentang sejarah keilmuan di dunia Islam. Tidak lain, karena memang konsep-konsep di tataran ini merupakan basis fundamental bagi aneka sistem epistemologi dan konsep metolodogi serta muatan-muatan materi yang terdapat dalam segala cabang keilmuan Islam selanjutnya. Oleh karenanya, kajian di titik paling dasar bagi keilmuan Islam ini sejatinya adalah kajian di wilayah yang “paling menentukan” terkait dengan dasar-dasar agama, keimanan, wawasan ketuhanan, serta konsepsi kenabian. Seperti sudah jamak diketahui, kajian-kajian Aqidah dalam sejarah Umat Islam tidak hanya berkutat pada pendalaman-pendalaman atas ajaran-ajaran Quran dan Sunnah seputar Aqidah, akan tetapi juga selalu terkait dengan polemik antar sekte. Kemunculan Khawarij di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., telah mencuatkan diskursus polemis tentang apa yang kemudian dikenal sebagai “mas'alatu'l asmâ' wa'l ahkâm”. Tumbuhnya aliran Syi'ah di era yang sama, juga telah menggulirkan permasalahan laten mengenai “khilâfah wa'l imâmah” yang sampai zaman ini masih terus berlanjut. Munculnya aliran Qadariyyah di masa-masa akhir era Shahabat ra., juga telah mengangkat permasalahan “takdir” menjadi diskursus polemis yang menyebabkan lahirnya Sekte Jabariyyah di ekstrim yang bertentangan. Sebagaimana eksistensi aliran Syi'ah pemuja Ahlul Bait yang kemudian berkembang menjadi Rafidlah juga telah mencuatkan aliran lain di titik sebaliknya, yaitu Nashibah. Begitu juga dengan Khawarij, eksistensi sekte ini telah memicu munculnya aliran Murji'ah di ekstrim yang berseberangan, serta aliran Mu'tazilah di titik yang lebih dekat dengan Khawarij dengan melalui konsep barunya, “al-manzilah bayna'l manzilatayn”. Di tangan Muktazilah ini jugalah, segugusan konsep yang kemudian dikenal sebagai “Ilmu Kalam” mulai memasuki wilayah Aqidah Islam. Ilmu yang postulatnya diserap dari doktrin- 1 | Page

Upload: mohamad-lutfi

Post on 29-Jun-2015

254 views

Category:

Documents


36 download

TRANSCRIPT

Page 1: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Syaikhul Islam dan Ilmu KalamRevivalisasi Konstruktif Konsep-konsep Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ahDitulis Oleh: Nidlol Masyhud, Lc.

PENGANTAR

Salah satu diskursus paling krusial dalam kajian-kajian keislaman adalah pembahasan tentang konsep-konsep Aqidah dan Ilmu Kalam. Wacana yang biasanya lebih terfokus ke permasalahan “teologis” ini, merupakan lahan kajian paling vital dalam rentang sejarah keilmuan di dunia Islam. Tidak lain, karena memang konsep-konsep di tataran ini merupakan basis fundamental bagi aneka sistem epistemologi dan konsep metolodogi serta muatan-muatan materi yang terdapat dalam segala cabang keilmuan Islam selanjutnya. Oleh karenanya, kajian di titik paling dasar bagi keilmuan Islam ini sejatinya adalah kajian di wilayah yang “paling menentukan” terkait dengan dasar-dasar agama, keimanan, wawasan ketuhanan, serta konsepsi kenabian.

Seperti sudah jamak diketahui, kajian-kajian Aqidah dalam sejarah Umat Islam tidak hanya berkutat pada pendalaman-pendalaman atas ajaran-ajaran Quran dan Sunnah seputar Aqidah, akan tetapi juga selalu terkait dengan polemik antar sekte. Kemunculan Khawarij di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., telah mencuatkan diskursus polemis tentang apa yang kemudian dikenal sebagai “mas'alatu'l asmâ' wa'l ahkâm”. Tumbuhnya aliran Syi'ah di era yang sama, juga telah menggulirkan permasalahan laten mengenai “khilâfah wa'l imâmah” yang sampai zaman ini masih terus berlanjut. Munculnya aliran Qadariyyah di masa-masa akhir era Shahabat ra., juga telah mengangkat permasalahan “takdir” menjadi diskursus polemis yang menyebabkan lahirnya Sekte Jabariyyah di ekstrim yang bertentangan. Sebagaimana eksistensi aliran Syi'ah pemuja Ahlul Bait yang kemudian berkembang menjadi Rafidlah juga telah mencuatkan aliran lain di titik sebaliknya, yaitu Nashibah. Begitu juga dengan Khawarij, eksistensi sekte ini telah memicu munculnya aliran Murji'ah di ekstrim yang berseberangan, serta aliran Mu'tazilah di titik yang lebih dekat dengan Khawarij dengan melalui konsep barunya, “al-manzilah bayna'l manzilatayn”. Di tangan Muktazilah ini jugalah, segugusan konsep yang kemudian dikenal sebagai “Ilmu Kalam” mulai memasuki wilayah Aqidah Islam. Ilmu yang postulatnya diserap dari doktrin-doktrin Filsafat dan dogma-dogma kosmologis Yunani ini kemudian mencuatkan paham-paham baru yang berseberangan dengan konsepsi-konsepsi teologis dalam Al-Quran. Hal ini melahirkan pertentangan sengit antara penganut Muktazilah dengan para Ulama. Dan konflik aqidah di tubuh Umat pun semakin menjadi tajam.

Polemik aqidah tersebut mencapai puncaknya ketika di masa akhir era Tabi'in (pasca kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz rh.), muncul Ja'd bin Dirham yang menyuarakan penafian sifat-sifat Allah Swt. Kemudian aliran ini digelorakan lagi dengan kuat oleh Jahm bin Shafwan di daerah Timur (Khurasan) dengan sekaligus menafikan segala macam asmâ' atau sebutan untuk Allah Swt. Karena Jahm merupakan konseptor utamanya, aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan “Jahmiyyah”. Konsep-konsepnya mempunyai pertalian yang kuat dengan beberapa doktrin filsafat dan paganisme klasik yang menyatakan bahwa Tuhan atau Prima Kausa adalah entitas mutlak yang sama sekali tidak memiliki properti afirmatif apapun. Paham ini berakar pada teologi klasik yang menjadi anutan kelompok Shabi'ah penyembah dewa-dewa kosmik sejak zaman Nabi Ibrahim as.

Paham Jahmiyyah kemudian memberikan pengaruh pada konsepsi teologis Muktazilah sehingga mereka menganut penafian shifât dengan tetap menetapkan asmâ'. Di ekstrim yang berseberangan, lahir aliran

1 | P a g e

Page 2: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Musyabbihah yang menyamakan sifat-sifat Allah Swt. dengan sifat-sifat makhluk. Sebagian kalangan dari aliran ini, mencoba untuk memberikan pendekatan yang lebih ringan dengan menyatakan bahwa Tuhan itu jism tapi berbeda dengan jism-jism lainnya yang makhluk. Mereka mendefinisikan jism sebagai “al-qâ'im bi nafsihi” (entitas yang independen). Aliran ini kemudian dikenal sebagai Sekte Mujassimah yang dipelopori oleh seorang penganut paham Syi'ah, Hisyam ibnul Hakam.

Di masa pemerintah Al-Ma'mun, Jahmiyyah dan Muktazilah menemukan peluang untuk berkuasa dan berkembang pesat. Dan karena salah satu rukun paham Muktazilah adalah “al-amr bi'l ma‘rûf wa'n nahyu ‘ani'l munkar” yang berarti “pemaksaan paham dengan kekerasan”, maka gerakan penyebaran paham ini menyebabkan konflik tajam yang dikenal dalam Sejarah sebagai “mihnatu khalqi'l qur'ân”. Saat berada di pesisir Tharsus, Al-Ma'mun mengirimkan instruksi ke wakilnya di Baghdad untuk mengundang-undangkan kewajiban menganut paham “khalqu'l qur'ân” (“keterciptaan Al-Quran”). Karena tidak ada satu ulama pun yang setuju, Al-Ma'mun kembali mengirimkan instruksi susulan dengan ancaman eksekusi fisik bagi siapapun yang menentang undang-undang ini. Mayoritas tokoh Baghdad kemudian menuruti kewajiban ini atau pura-pura mengikuti. Hanya tinggal tujuh orang yang tetap menolak. Kemudian setelah ketujuh tokoh ini ditangkap, semuanya menyerah kecuali dua ulama yang tetap konsisten untuk menentang pernyataan bahwa Al-Quran itu makhluk, yaitu Ibnu Nuh dan Imam Ahmad bin Hanbal rh. Karena Al-Ma'mun sudah meninggal sebelum bertemu dengan Imam Ahmad, kekhalifahan akhirnya dipegang oleh Al-Mu'tashim dan selanjutnya diteruskan oleh Al-Watsiq. Dalam masa ketiga khalifah ini, perdebatan dan pertentangan mengenai khalqu'l qur'ân terus-menerus menajam dan memanas. Berbagai kemenangan argumentatif para Ulama atas Ibnu Abi Du'ad dan para penganut Jahmiyyah serta Muktazilah lainnya ternyata tidak menghentikan pemaksaan paham khalqu'l qur'ân, bahkan penyiksaan fisik terhadap Imam Ahmad juga terus ditingkatkan untuk memaksanya berubah pendapat. Tapi Ahmad tetap konsisten dengan pendiriannya hingga akhirnya sepeninggal Al-Watsiq tampuk kekhalifahan berada di tangan Al-Mutawakkil Billah. Sejak masa Al-Mutawakkil ini, otoritas politis Jahmiyyah serta Muktazilah pun tumbang dan hegemoni ideologisnya sebagai sekte pun menyurut secara tajam. Dengan kembali terangkatnya para Ulama—terutama Ahlul Hadits—sebagai panutan publik, kondisi sosiologis Umat Islam pun kembali stabil. Aneka sekte serta aliran pemikiran yang tidak mendasarkan konsepsi ideologisnya pada tradisi Umat Islam semenjak masa Rasulullah saw. (tradisi Salaf), termarjinalkan oleh Umat sebagai “Ahlu'l Ahwâ'” atau “Ahlu'l Bid'ah” (Ahlul Bid'ah Wal Furqah), yang merupakan lawan dari “Ahlu's Sunnah” atau “Al-Jamâ'ah” (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah).

Hanya saja, di kalangan Ahlus Sunnah sendiri juga muncul perkembangan baru yang cukup signifikan. Beberapa pegiat Dialektika seperti Husain Al-Karabisi membuat konsep baru mengenai Al-Quran, dengan menyatakan “alfâdhunâ bi'l qur'âni makhlûq”. Paham ini kemudian ditandingi oleh paham baru lainnya yang berseberangan, dengan pernyataan bahwa “alfâdzunâ bi'l qur'âni ghairu makhlûq”. Kedua paham ini kemudian dikenal sebagai Al-Lafdhiyyah. Yang pertama adalah “Al-Lafdhiyyah An-Nâfiyah”, sedang yang kedua adalah “Al-Lafdhiyyah Al-Mutsbitah”. Dua-duanya ditentang oleh para Ulama. Tapi anehnya, beberapa ulama besar—semisal Imam Ahmad dan Imam Bukhari—justru menjadi sasaran dari penisbahan salah satu paham ini.

Permasalahan dan pertentangan tentang Al-Quran ini semakin meningkat ketika salah seorang pegiat Dialektika lainnya, Ibnu Kullab, membuat sebuah konsep lagi tentang “qidamu'l kalâm”. Konsepsi ini semula

2 | P a g e

Page 3: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

digunakan oleh Ibnu Kullab untuk membantah Muktazilah, akan tetapi paham baru yang dilahirkannya justru berujung pada pernyataan bahwa Al-Quran yang ada di mushaf itu bukanlah kalam Allam yang sebenarnya, akan tetapi hanya merupakan “hikâyah ‘an kalâmillâh”. Paham ini berakar pada basis teologi yang diserap dari Muktazilah, bahwa Allah Swt. tidak melakukan perbuatan apapun. Bagi teologi ini, yang ada pada Tuhan hanyalah sifat-sifat azali yang sama sekali tidak terkait dengan “irâdah” (kehendak Tuhan). Sementara, “perbuatan” adalah sesuatu yang terlaksana atas “kehendak”. Sehingga, bagi teologi ini, “kalam Tuhan” adalah sebuah sifat azali yang tidak terjadi atas kehendak Tuhan, akan tetapi sudah ada bersama dzat Tuhan dan tidak mungkin Tuhan berbicara secara langsung. Paham ini membuat Ibnu Kullab meniscayakan pernyataan bahwa Al-Quran dan semua kitab suci maupun ucapan-ucapan Allah lainnya yang diwahyukan atau diperdengarkan ke makhluknya itu hanyalah “pengungkapan atas ‘“kalam azali” dan tidak pernah dikatakan langsung oleh Allah Swt. Jadi, bagi paham yang kemudian dikenal sebagai Kullabiyyah ini, Kalam Allah yang sebenarnya itu hanyalah “makna” dan bukan “huruf” ataupun “suara”.

Sebagai reaksi frontal atas Kullâbiyyah, muncullah aliran Sâlimiyyah yang membuat pernyataan baru lainnya sebagai hasil hibridasi antara paham Muktazilah dan Kullâbiyyah. Sâlimiyyah menyatakan bahwa Kalam Tuhan itu merupakan huruf dan suara, akan tetapi ia azali. Jadi, bagi Sâlimiyyah, Al-Quran adalah huruf dan suara yang azali dan merupakan sifat tak terpisahkan dari Allah Swt. Dalam menetapkan bahwa Al-Quran itu huruf dan suara, Sâlimiyyah menggunakan argumentasi-argumentasi Muktazilah, dan dalam menetapkan bahwa Al-Qur'an itu azali, mereka menggunakan argumentasi-argumentasi Kullâbiyyah.

Peristiwa historis besar selanjutnya, terjadi dengan tampilnya Abul Hasan Al-Asy'ari pada awal abad keempat hijriyah. Murid Al-Jubba'i yang semula merupakan salah satu analis andalan Muktazilah ini, menyatakan diri telah bertaubat dari Muktazilah dan “dakhala fi-‘l Islâm”. Ia kemudian menulis berbagai bantahan terhadap ajaran-ajaran Muktazilah dengan menggunakan paradigma yang hampir serupa dengan paham Kullâbiyyah. Dalam perjalanan selanjutnya, Abul Hasan mulai semakin mendekati konsep-konsep Ahlus Sunnah meskipun tidak sampai keluar total dari basis-basis ideologi Ilmu Kalam pengaruh Muktazilah atau Kullâbiyyah. Dalam buku-buku pamungkasnya seperti Al-Ibânah dan Al-Maqâlât, Abul Hasan menyatakan afiliasi diri kepada Imam Ahmad rh. dan menyatakan sebagai penganut paham yang sesuai dengan “Ahlus Sunnah Wal Hadîts”. Dengan kehadiran Abul Hasan dan karya-karyanya ini, muncullah sebuah aliran baru yang bernama “Asy'ariyyah”. Kemunculan Asy'ariyyah ini seiring dengan munculnya aliran lain di wilayah Timur yang berpaham agak serupa, yaitu “Mâturidiyyah”, pengikut Abu Manshur Al-Maturidy.

Tokoh Asy'ariyyah selanjutnya yang paling populer, adalah Abu Bakr Al-Bâqillâny. Di masa Al-Bâqillâny ini, Asy'ariyyah memiliki hubungan yang cukup harmonis dengan kalangan Muhadditsin dan Hanâbilah. Akan tetapi, tokoh-tokoh Asy'ariyyah selanjutnya ternyata kemudian menggunakan paradigma yang berbeda, khususnya Asy'ariyyah yang tinggal di daerah Khurasan seperti Ibnu Fûrak. Dan selanjutnya di tangan Al-Juwayniy, paham Asy'ariyyah ini menjadi semakin mendekati konsep-konsep Muktazilah. Keharmonisan antara aliran ini dengan para Hanâbilah memudar tajam di masa Abul Qâsim Al-Qusyayry yang merupakan murid utama Ibnu Fûrak. Kejadian yang dikenal sebagai “fitnatu'l Qusyayry” ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud bin Sabaktatin. Sejak saat itu, aliran Asy'ariyyah menjadi terpisah secara kontras dengan Ahlus Sunnah Wal Hadits yang semula dituju oleh Abul Hasan sebagai titik afiliasinya. Para penganut tetap Asy'ariyyah bersikukuh menyatakan bahwa alirannya sesuai dengan Ahlus Sunnah dengan

3 | P a g e

Page 4: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

bukti kitab “Al-Ibânah”, akan tetapi kalangan Hanâbilah dan beberapa Fuqâhâ' Syâfi'iyyah menyatakan mereka sebagai “Ahlul Kalâm” yang telah menyempal dari paham Salaf dan Ahlus Sunnah.

Di sisi konsep epistemologis, kegiatan studi Ilmu Kalam di kalangan Asy'ariyyah ternyata semakin menguat dan mengental semenjak masa Al-Juwayny. Ilmu Kalam yang semula dilarang oleh para Aimmah ini pun akhirnya menjadi basis metodologi bagi para penganut Asy'ariyyah. Selanjutnya, banyak bermunculan para Mutakallimin andalan yang merupakan tokoh-tokoh sekaligus referensi utama di kalangan Asy'ariyyah, seperti Abu Hâmid Al-Ghazzâly, Abu Bakr Ibnul ‘Araby, Asy-Syahrastâny, Abu ‘Abdillah Ar-Râzy, dan Abul Hasan Al-Âmidiy. Di antara tokoh-tokoh ini, Ar-Râzi merupakan tokoh paling penting yang sekaligus adalah konseptor utama atas sistem metodologi dan doktrin-doktrin Asy'ariyyah di kalangan Mutaakhkhirin. Dan karena di masa-masa itu rata-rata kondisi politik cukup mendukung hegemoni Asy'ariyyah, karya-karya para tokoh Ilmu Kalam ini kemudian menjadi panutan utama bagi segelombang besar masyarakat, termasuk beberapa pegiat Syarah Hadits, Fiqh Madzhab, dan Tafsir Al-Quran. Meskipun dalam sejarahnya, para Mutakallimin ini banyak sekali yang mengalami proses regresi meninggalkan Ilmu Kalam dan mengikuti apa yang dianggapnya sebagai keyakinan Salaf. Sementara itu, di kalangan Hanâbilah terjadi fenomena yang berbeda. Pengaruh para Mutakallimin Hanâbilah seperti Abu Ya'lâ dan Ibnu ‘Aqîl masih sangat tidak sebanding dengan para Muhadditsin dan Fuqâhâ'. Apalagi, Ibnu 'Aqil dan Abu Ya‘lâ juga mengalami perubahan besar dalam konsepsi teologisnya dan Abu Ya‘la pun berubah menjadi lebih dekat ke Ahlul Hadits dan akhirnya berseberangan semakin kontras dengan konsep-konsep Ta'wil ala Ilmu Kalam. Semua fenomena ini, membuat wilayah diskursus teologi dalam Aqidah Islam menjadi semakin buram dan membutuhkan penyegaran baru yang mencerahkan. Keruntuhan Khilafah Abbasiyyah di Baghdad akibat serangan Tartar juga menimbulkan krisis politik dan sosiologis yang cukup signifikan di kalangan Umat Islam. Kajian-kajian keislaman akhirnya lebih terkesan stagnan dengan berbagai perubahan ini. Kajian-kajian Fiqh lebih berorientasi ke lingkar-lingkar Madzhab, dan wilayah Ushul Fiqh seolah menjadi anak turunan dari Ilmu Kalam dan Bahasan Nahwu. Kajian-kajian Suluk pun lebih terpetakan pada takekat-tarekat Tashawwuf yang yang dibarengi juga dengan muncuatnya paham Wahdatul Wujud di beberapa kalangan. Studi Hadits pun menjadi seolah terpisah dengan bahasan Aqidah dan Ushul Fiqh, dan kegiatan penafsiran Al-Quran pun seolah menjadi lahan pengaplikasian aneka konsep-konsep luar dari berbagai disiplin ilmu lain seperti I'rab, Fiqih, Tarikh, Tashawuf, dan bahkan Ilmu Kalam dan Filsafat.

Di tengah-tengah situasi yang serba kompleks itulah, Ahmad bin Abdil Halim dilahirkan. Tokoh yang kemudian dikenal sebagai Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah ini lahir di kota Harran dan kemudian di masa kecilnya, hijrah bersama keluarga ke kota Damaskus, salah satu kota Islam yang paling dinamis dalam dunia keilmuan di masa itu. Di tempat tinggalnya yang baru ini, Ibnu Taimiyyah mulai melejitkan aktivitas ilmiahnya dengan belajar pada sekitar dua ratus syaikh dalam berbagai disiplin keilmuan, dengan bermodalkan pada talenta yang prima, kecerdasan yang brilian, serta komitmen ibadah yang tinggi dan semangat yang terus membara. Segala faktor ini mengantarkannya pada pencapaian prestasi-prestasi cemerlang dalam tempo yang sangat singkat. Materi-materi Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Lughah, Tarikh, dan bahkan Matematika, Mantiq, Kalam, serta Filsafat telah mumpuni ia kuasai menjelang usia baligh. Sehingga di umur yang masih sangat belia itu, Ibnu Taimiyyah sudah mampu terjun dalam dunia nadhar dan istidlâl untuk mengkoreksi berbagai kekeliruan konsep, argumen, dan materi yang terdapat di ideologi-ideologi sekte hasil pengaruh Ilmu Kalam dan Filsafat; juga untuk mendemonstrasikan secara pasti, bahwa konsep-konsep teologis yang paling rasional

4 | P a g e

Page 5: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

adalah yang dinyatakan oleh Al-Quran, As-Sunnah, dan para Aimmah. Proses ini terus berlanjut dan menyempurna sampai ketika ia menjadi mufti serta mulai menulis buku pada usia 17 tahun, memegang masyîkhah Madrasah Sakariyyah pada usia ke-21, dan melakukan berbagai ekspedisi ilmiah di daerah-daerah Syam dan Mesir, terutama di Damaskus, Gazza, Alexandria, dan Kairo. Juga ketika berperan sebagai tokoh dan mujahid penting dalam beberapa perjuangan di medan perang menghadapi tentara Tartar. Ibnu Taimiyyah pun akhirnya tersohor sebagai mujaddid sekaligus mujahid terbesar abad itu. Revivalisasinya di kajian-kajian Aqidah termasuk poin paling dominan dalam gerakan reformasi besar-besaran yang dikerahkan oleh tokoh ensiklopedik ini. Sejarawan besar Mesir, Taqiyyuddin Al-Maqrizy menggambarkan peranan Ibnu Taimiyyah pasca dominasi politis Asy'ariyyah tersebut dalam maqnum opus-nya, Al-Mawâ'idh wa'l I‘tibâr bi dzirki'l Khuthath wa'l Âtsâr (II/308-309) :

“Itulah faktor yang menyebabkan madzhab Asy'ariyyah menjadi populer dan tersebar di wilayah-wilayah Islam, di mana sekarang rata-rata madzhab-madzhab telah dilupakan dan tidak lagi dikenal, sehingga tidak ada lagi madzhab lain yang menyelisihinya (Asy'ariyyah) selain madzhab Hanâbilah—pengikut Imam Ahmad bin Hanbal ra. Mereka tetap berpegang pada pedoman Salaf yang tidak menyetujui takwil terhadap nash-nash shifat. Sampai kemudian setelah tahun tujuhratusan hijriyah, tersohorlah di Damaskus dan sekitarnya Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad ibnu Abdil Halim Ibnu Taimiyyah Al-Harrany. Iapun bergerak untuk memenangkan madzhab Salaf, melawan kuat madzhab Asy'ariyyah, dan melakukan pengingkaran tegas terhadap mereka serta kaum Rafidhah dan kalangan Shufiyyah.”

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalânîy juga menyatakan dalam taqrîdh-nya atas buku Ar-Raddu'l Wâfir karya Qadhi Ibnu Nâshiruddin : “Popularitas ke-imam-an Syekh Taqiyyuddin lebih terang daripada matahari. Julukannya sebagai ‘Syaikhul Islam' pada zaman itu terus awet sampai sekarang dari lisan-lisan yang suci, dan akan terus lestari di masa mendatang sebagaimana sebelumnya. Tidak akan ada yang mengingkari hal tersebut kecuali orang yang tidak mengetahui kadarnya, atau orang yang memang sengaja menjauhi kejujuran. Maka alangkah keliru orang yang melakukan hal tersebut dan memperbanyak pencelaannya! Hanya Allah Ta'ala sematalah tempat kita bermohon agar melindungi kita dari kejelekan-kejelekan jiwa kita dan sampah-sampah lidah kita”.

PROPERTI DAN SUMBANGSIH

Seperti didedahkan oleh para sejarawan, ada banyak potensi dan karakteristik unggul yang dianugerahkan dalam diri Ibnu Taimiyyah yang menjadi modal utama bagi pembentukan khazanah intelektual dan lejitan pergerakannya yang demikian dahsyat itu dalam perjalanan hidupnya. Secara umum, karakteristik utama Ibnu Taimiyyah ini bisa diungkapkan dalam beberapa poin berikut : kecerdasan yang prima, daya hafal yang optimal, lingkupan studi yang maksimal, ibadah yang kuat dan mendalam, kecekatan yang tangkas, akhlaq dan kesederhanaan yang menawan, ketangguhan dan ketabahan yang menakjubkan, keberanian dan kepahlawanan yang sangat menggemparkan, serta kedermawanan dan kelapangan dada yang luar biasa. Ini semua ditambah dengan fisik yang dan vitalitas yang prima serta lingkungan keluarga yang terdidik dan terhormat. Ayahnya, Abul Mahâsin Abdul Halim yang menjadi Qadhi Hanâbilah dan kakeknya, Abul Barakât Majduddîn Abdussalâm termasuk faqih terbesar di Dunia Islam pada masa itu.

Ibnu Taimiyyah selesai menghafalkan Al-Quran pada usia pembelajaran tulis-menulis dan berhitung ketika masih nyantri di Kuttâb, lalu berlanjut dengan mempelajari Hadits, Fiqih, Lughah, Aqidah, Ushul Fiqih, Tarikh,

5 | P a g e

Page 6: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Tafsir, serta Matematika, Mantiq, Kalam, Astronomi, Kristologi, Filsafat, dan Milal wa Nihal pada usia yang masih sangat belia. Kecerdasannya yang prima membuat ia bisa menguasai Al-Kitâb karya Imam Nahwu Sibawaih hanya dalam beberapa hari. Juga menghafal dengan sempurna berbagai buku Hadits yang besar-besar termasuk Musnad Imam Ahmad sebagai hasil simâ' dan murâja'ah beberapa kali. Buku besar fiqih “Al-Muhallâ” karya Ibnu Hazm, juga merupakan salah satu materi hafalannya.

Sebelum memasuki usia baligh, Ibnu Taimiyyah sudah sering menghadiri berbagai madrasah, sanggar kajian, dan forum-forum diskusi. Uniknya, di tempat-tempat ini ia justru lebih sering menjadi nara sumber dan debator handal yang mengalahkan pakar-pakar senior. Lalu sejak usia tujuh belas tahun (tahun 677H), ia mulai menulis buku dan dinobatkan sebagai mufti oleh Ahmad bin Ni'mah Al-Maqdisy. Kemudian, sejak usia dua puluh satu tahun (tahun 681H), Ibnu Taimiyyah mulai mengajar dan menggantikan ayahnya mengelola masyikhah di Darul Hadits As-Sakariyyah. Selanjutnya, di usia tiga puluh tahun (tahun 691H) ia telah menjadi pakar Tafsir yang paling terkemuka di masa itu yang menjadi rujukan berbagai kalangan. Dan selepas pulang haji pada tahun 692H, Ibnu Taimiyyah mulai tersohor sebagai “Mujtahid Mutlak” dan “Syaikhul Islam”.

Di masa-sama selanjutnya, Ibnu Taimiyyah mulai melakukan ekspedisi ke berbagai daerah untuk keperluan dakwah dan penggalangan jihad. Ia berangkat ke Mesir pertama kali pada awal abad kedelapan hijriyah tahun 700H, lalu kembali ke Damaskus dan berangkat lagi ke Mesir lalu tinggal di sana sejak tahun 705H. Di perjalanan kedua ini, Ibnu Taimiyyah mulai banyak dihadapkan dengan berbagai kalangan yang menentangnya; baik dari para pejabat, para qadli, mutakallimin, fuqoha', mutashawwifah, maupun dengan kalangan penganut Isma'iliyyah, para pendeta Nasrani, dan para panglima Tartar. Tercatat dalam Sejarah, Syaikhul Islam pernah tujuh kali dimasukkan dalam penjara, baik di Damaskus, di Alexandria, maupun di Kairo. Juga tercatat jelas berbagai prestasi gemilang yang telah disumbangkannya pada Umat Islam secara internal maupun eksternal, seperti peneloran berbagai karya-karya besar yang menakjubkan di berbagai bidang pengetahuan, pengunggulan konsep-konsep aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam berbagai forum diskusi dan pengadilan termasuk yang terjadi di tengah perjalanannya ke Mesir di kota Gazza, juga berbagai aksi kepahlawanan di medan jihad yang telah digelorakannya antara lain dalam Perang Syaqhab, Perang Kasruwan, dan ceramahnya di hadapan Raja Tartar Qazan yang sangat legendaris. Di samping itu, kehadiran Ibnu Taimiyyah di berbagai penjara juga telah membuat tempat-tempat tersebut menjadi ramai oleh para pelajar dan para sarjana yang meminta fatwa. Kehadirannya di penjara-penjara itu juga membuahkan serangkaian “ishlâh sijnîy” yang membuat para residivis kriminal bertaubat dan enggan untuk keluar dari penjara meskipun telah habis masa tahanan.

Dalam perjalanan yang penuh dengan berbagai tantangan itu, Ibnu Taimiyyah justru melahirkan karya-karya besar yang sangat kompleks, padat kualitas, dan rata-rata belum ada tandingannya. Sebut saja misalnya Dar'u't Ta‘ârudl Bayna'l ‘Aqli wa'n Naqli, Minhâju's Sunnati'n Nabawiyyah, Naqdlu't Ta'sîs, Ar-Risâlâh Ash-Shafadiyyah, Ar-Raddu ‘Alâ'l Manthiqiyyîn, Al-Fatâwâ Al-Mishriyyah, At-Tis‘îniyyah, As-Sab‘îniyyah, Kitâbu'l Îmân Al-Kabîr, Al-Fatâwâ Al-Hamawiyyah, Al-Istiqâmah, Ar-Risâlah At-Tadmuriyyah, Iqtidlâ'u'sh Shirâtha'l Mustaqîm, Ash-Shârimu'l Maslûl, Kitâbu'n Nubuwwât, dan Al-Jawâbush-Shahîh li Man Baddala Dîna'l Masîh. Dalam salah satu perhitungannya, Imam Jarah wa Ta'dil Syamsuddin Ad-Dzahaby menemukan seribu judul karya Ibnu Taimiyyah dalam volume sekitar lima ratus jilid, kemudian setelah itu ditemukan lagi berbagai karya lainnya yang tersebar di berbagai daerah. Mengomentari fenomena menakjubkan ini, Ibnu Abdil Hadi menyatakan : “Saya tidak pernah mengenal seorang tokoh umat pun, baik yang klasik maupun yang modern,

6 | P a g e

Page 7: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

yang berhasil menyusun seperti susunan Ibnu Taimiyyah ataupun menulis seperti tulisan-tulisannya. Tidak juga ada yang mendekati kualitasnya. Padahal, mayoritas karya-karyanya itu ia diktekan langsung dari hafalannya. Dan banyak di antara karya-karya itu yang ia tulis ketika di dalam penjara, di saat tidak tersedia buku-buku untuk referensi” (Al-‘Uqûdu'd Durriyyah: 26).

Uniknya lagi, mayoritas buku-buku berkualitas ini tidaklah ditulis Ibnu Taimiyyah semenjak awal, tapi ditulisnya secara spontan sebagai jawaban atas pertanyaan fatwa, sambutan atas permintaan yang mendesak, komentar atas karya lain yang menyebar, atau penjelasan untuk permasalahan yang sedang aktual. Padahal waktu harian Ibnu Taimiyyah juga banyak terforsir untuk kegiatan-kegiatan lain seperti ibadah, mengajar, diskusi, dan berjihad. Ini semua ditopang oleh daya hafal, telenta kecerdasan, dan ketangkasan menulis yang luar biasa. Seperti diungkapkan Ibnul Qayyim, dalam satu hari Ibnu Taimiyyah bisa menghasilkan karya tulis yang membutuhkan waktu satu minggu untuk bisa disalin ulang oleh para pentaskrip. Tidak heran, jika kemudian dalam usianya yang singkat itu pena dan lidah tokoh ini telah menghasilkan ratusan ribu halaman buku.

Kepakaran Ibnu Taimiyyah memang sangat kompleks dan mendalam. Frekuensi Ibadah dan daya gerakan yang dikerahkannya juga membuat berbagai kalangan menjadi tercengang. Adz-Dzahaby mengatakan : “Wawasannya dalam TAFSIR adalah yang paling prima; hafalannya terhadap HADITS beserta RIJAL dan shahih-dla'ifnya tidak ada yang bisa menandingi; transmisinya terhadap FIQIH dan madzhab para Shahabat dan Tabi'in—apalagi Madzahib Arba'ah—juga tidak ada duanya. Adapun mengenai wawasan tentang MILAL WA NIHAL, USHULUDDIN dan ILMU KALAM, maka aku tidak pernah mengetahui orang yang sepadan dengannya. Dia mengenal segugus wawasan bagus tentang kata-kata (gharib) Lughah. Kemampuan BAHASA ARAB-nya juga sangat kuat. Dan wawasannya mengenai SEJARAH maupun SIRAH sungguh sangat menakjubkan. Adapun KEBERANIAN, JIHAD, dan pergerakannya, maka tidaklah mungkin untuk dilukiskan dan digambarkan. Dia juga merupakan salah satu DERMAWAN murah hati yang legendaris dan menjadi idola. Dalam dirinya, terkandung jiwa ZUHUD dan qana'ah yang (membuatnya) sederhana dalam hal makanan dan pakaian”.

Di tempat lain, Imam Adz-Dzahabi menyatakan : “Ajaib dalam kecerdasan dan kegesitan fikirannya; pionir dalam pengetahuan akan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ikhtilaf; lautan dalam ilmu-ilmu naqli; di masanya, dia adalah anak tunggal zaman dalam hal keilmuan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma'ruf, nahi munkar, dan kemelimpahan karya … Maka jika disebutkan TAFSIR, dialah pembawa benderanya; jika disejajarkan para FUQAHA, dialah mujtahid mutlak mereka; jika para HUFFADH HADITS itu hadir, maka dialah yang layak bicara dan yang lain terdiam … jika disebut nama-nama MUTAKALLIMIN, maka dialah yang menonjol dan menjadi referensi mereka; dan jika Ibnu Sina memimpin barisan FALASIFAH, dialah yang menghempaskan dan mengalahkan mereka. Dia juga memiliki wawasan yang mendalam mengenai NAHWU, SHARAF, dan LUGHAH. Dia lebih agung dari apa yang bisa dilukiskan oleh lisanku atau yang coba digambarkan oleh penaku!” (Al-Jâmi': 254-255).

Juga salah satu ungkapan populer Imam Adz-Dzahaby : “kullu hadîtsin lâ ya'rifuhu ‘bnu Taimiyyati, fa laysa bi hadîts!”. Juga yang ini : “Kalaulah aku bersumpah di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim, maka aku akan bersumpah bahwa aku tidak pernah melihat orang seperti dia! Oh, sungguh tidak! Bahkan diapun tidak pernah melihat orang yang ilmunya seperti dirinya”. Karakteristik prima dan rangkaian perjalanan hidup Ibnu Taimiyyah yang penuh berkah ini membuat namanya menjadi sangat populer dan dielukan. Pelaksanaan

7 | P a g e

Page 8: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

shalat janazah untuknya selepas wafat menjadi saksi atas kebesaran posisi tokoh ini di kalangan Umat dan Ulama. Shalat jenazah di Damaskus yang dihadiri oleh sekitar enam puluh ribu laki-laki dan lima ribu perempuan ini dinyatakan para Sejarawan sebagai shalat jenazah terbesar di Dunia Islam pasca Imam Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Padahal Ibnu Taimiyyah meninggal dalam kondisi sepi di penjara di dalam Benteng Damaskus, sedangkan Imam Ahmad meninggal di tengah masyarakat luas ketika sudah lama terbebas dari kekangan pemerintah. Jumlah penduduk Damaskus yang ada itupun hanya sekian persen dari jumlah penduduk di kota Baghdad. Peristiwa besar ini mengingatkan ucapan hikmah Imam Ahmad, “Baynanâ wa bayna Ahli'l Bida' Yawmu'l Janâzah!”.

BAGIAN II. PRINSIP DAN METODOLOGI

Ada beberapa prinsip dan metode tegas yang dipakai Ibnu Taimiyyah sebagai basis paradigmanya dalam melakukan kajian keilmuan dan juga dalam fiqih dakwah serta gerakan praksisnya. Prinsip dan metode yang telah membentuk struktur pemikiran dan bangunan mental dalam diri Ibnu Taimiyyah ini bisa ditelusuri dengan mudah dalam karya-karya tulisnya serta dalam berbagai catatan peristiwa perjalanan hidupnya. Di sini akan sedikit kita ulas empat poin saja dari prinsip-prinsip dan metodologi tersebut:

1. Keluasan Observasi dan Ketelitian Analisa

Potensi yang sekaligus menjadi prinsip utama Ibnu Taimiyyah dalam melakukan kajiannya ini merupakan basis metodologi yang sangat menonjol. Cakupan ilmu, wawasan, serta referensi Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai kajian yang pernah ada sebelum zamannya: Filsafat/Kalam/Aqidah, Fiqih/Ushul Fiqih, Tashawwuf/Suluk/Akhlaq, Ulumul Quran/Tafsir, Hadits/Atsar/Musthalah/Rijal, Lughah/Nahwu/Balaghah, Tarikh/Sirah/Tarajum, Siyasah/Idarah, maupun juga Matematika, Mantiq, Astronomi, Geografi, Kimia, Kedokteran, dan lain sebagainya. Di tiap ilmu ini, Ibnu Taimiyyah tidak hanya mencukupkan diri pada wawasan yang singkat dan global, tapi menyelaminya sampai ke akar-akar konsep dan menelisiki berbagai perbedaan pandangan yang ada beserta argumentasi dan tokoh penganut serta latar belakang psikologis, metodologis, dan sosiologis masing-masing pendapat. Ketika Ibnu Taimiyyah berbicara mengenai sebuah disiplin ilmu, ia mengalahkan para pakar yang membidangi spesialisasi ilmu tersebut. Bahkan saking mendalamnya, ketika fokus berbicara spesifik mengenai sebuah ilmu tertentu, seolah-olah kepakarannya hanya terbatas di bidang ilmu itu saja. Az-Zamlikany menyatakan: “Jika beliau ditanya mengenai sebuah disiplin ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya akan mengira bahwa beliau hanya pakar di bidang itu saja, dan akan memastikan bahwa tidak ada orang lain yang di bidang itu kepakarannya seperti beliau. Ketika para Fuqaha dari berbagai kelompok berkumpul bersama beliau, mereka semuanya mendapatkan wawasan baru mengenai madzhab mereka masing-masing yang belum mereka ketahui sebelumnya. Beliau dikenal tidak pernah kalah ketika berdebat dengan siapapun. Dan beliau tidak pernah berbicara mengenai satupun disiplin ilmu, baik ilmu syari'ah maupun yang lainnya, melainkan beliau pasti mengungguli para pegiat dan peminat bidang ilmu itu. Beliau juga memiliki prestasi yang gemilang dalam kualitas penulisan karya, bagusnya pengungkapan, penyusunan, pembagian, dan penjelasan.”

Demikian juga halnya jika Ibnu Taimiyyah berbicara secara luas untuk sebuah permasalahan tertentu. Berbagai referensi serta sudut pandang dari aneka aspek dan disiplin keilmuan itu akan menghimpun menjadi satu untuk saling menimbang dan menguatkan. Ketika berbicara mengenai masalah asmâ' wa shifât misalnya, Ibnu

8 | P a g e

Page 9: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Taimiyyah mengkajinya dari sisi tawtsîqu'n nushûsh, fiqhu'n nushûsh, muthâla‘atu'l âtsâr, kemudian observasi terhadap aqwâl para Aimmah, opini-opini Falasifah, konsep-konsep Mutakallimin, pandangan-pandangan Shufiyyah, dan berbagai macam pendapat dari pelbagai kalangan beserta argumentasi dan dasar-dasar pemikirannya. Aneka pemikiran ini kemudian dikomparasikan oleh Ibnu Taimiyyah dan dianalisa satu persatu secara kritis menggunakan penalaran yang obyektif serta pengkajian yang holistik mencakup sekian banyak aspek dan sudut pandang. Kemudian Ibnu Taimiyyah juga menelisik ke dalam efek-efek praktis yang ditimbulkan oleh perbedaan pemikiran ini dalam dunia aplikatif, setelah sebelumnya juga menelusuri akar permasalahan dan latar belakang sosio-psikologis yang mendasari tumbuhnya aneka konsep dan paradigma yang melahirkan berbagai opini dan pemikiran tersebut.

Pemersiapan sebuah kajian dengan materi yang kaya, referensi yang luas, serta observasi yang menyeluruh dan teliti ini, tentu merupakan sebuah prinsip penting dalam memulai kajian yang berkualitas. Dan inilah yang diterapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kajian-kajiannya, terutama dalam kajian aqidah yang menyangkut pemahaman terhadap Al-Quran. Ia mengungkapkan, “Untuk memahami dengan tepat sebuah ayat, kadang-kadang saya perlu menelaah terlebih dahulu lebih dari seratus referensi tafsir baik yang bersanad maupun tidak (baru kemudian saya memastikan pemahaman mana yang paling benar)”. Begitu juga dalam kajian-kajian teologis yang menjadi persilangan pendapat berbagai macam kalangan. Ibnu Taimiyyah memperluas skup observasinya bukan hanya ke kalangan Mufassirin, Muhadditsin, Fuqoha, Mutakallimin, Shufiyyah, dan Falasifah di Dunia Islam; akan tetapi juga sampai memanjang ke belakang hingga mengjangkau Filsafat Yunani pra-Aristoteles dan melebar ke samping hingga meliputi Filsafat Turki, Persia, dan India. Juga mengkomparasikannya dengan aneka doktrin dan berbagai agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Budha, dan Zoroaster. Dari semua pandangan milal wa nihal ini, doktrin-doktrin dari berbagai sekte dan kelompok yang terdapat di Dunia Islam merupakan fokus utama dari kajian-kajian Ibnu Taimiyyah.

Keluasan referensi dan ketelitian observasi itu, bisa kita lihat misalnya dalam buku Dar'u't Ta‘ârudl. Dalam buku yang termasuk paling istimewa di Dunia Teologi sepanjang perjalanan sejarah ini, Ibnu Taimiyyah menelusuri dan melakukan analisa untuk referensi-referensi Teologi dalam kuantitas yang sangat dahsyat. Ia melakukan komparasi dan analisa terhadap berbagai pandangan aneka kalangan, mulai dari para Aimmah dan Muhadditsin seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnul Mubarak, Abdul Aziz Al-Kinany, Abu Nu'aim Al-Ashbahany, Al-Bukhary, Abu Utsman Ash-Shabuny, Ibnu Khuzaimah, Utsman Ad-Darimy, Al-Khaththaby, dan Ibnu Abdil Barr; para Fuqoha dari berbagai madzhab terutama Syafi'iyyah dan Hanabilah; para Masyayikh Shufiyyah seperti Abu Sulaiman Ad-Darany, Al-Junayd, Sahl At-Tustury, Abu Utsman An-Naisabury, dan Abdul Qadir Al-Jailany; para Mutakallimin dari kalangan Jahmiyyah klasik, Muktazilah, Kullabiyyah, Karramiyyah, Asy'ariyyah, Hisyamiyyah, Syi'ah, Hanabilah, dll. terutama Ibnu Kullab, Abu ‘Ali Al-Jubba'iy, Al-Asy'ary, Abdul Jabbar Al-Hamadzany, Al-Baqillany, Abul Husein Al-Bashry, Ibnu ‘Aqil, Ibnu Tawmart, Ibnu Furak, Ibnul Haisham, Ibnu Hazm, Ibnuz Zaghuny, Al-Juwainy, Al-Ghazzaly, Asy-Syahrastany, Ar-Rozy, Al-Amidy, Al-Armawy, Al-Abhury; para Falasifah baik yang berada di Dunia Islam seperti Al-Farabi Ibnu Sina, Ikhwan Ash-Shafa, Abul Barakat, Ath-Thusy, dan Ibnu Rusyd, maupun Aristoteles dan para Falasifah yang hidup sebelum dan setelahnya; juga dari kalangan Falasifah Tashawwuf seperti Sahruwardy, Ibnu Sab'in, Ibnu ‘Araby, dan At-Tilmisany; serta dari kalangan Bathiniyyah dan Qaramithah. Uniknya, keluasan materi dan ketelitian analisa ini ternyata muncul dalam sebuah buku yang semula hanya dimaksudkan untuk menjawab kritis sebuah kaedah: “taqdîmu'l ma‘qûlât ‘alâ's sam‘iyyât” yang banyak dijadikan sebagai qanûn kully oleh Ar-

9 | P a g e

Page 10: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Razy dll. Dalam melakukan observasi dan analisa di buku ini dan di buku-bukunya yang lain, Ibnu Taimiyyah melakukan penukilan pernyataan-pernyataan itu secara tekstual dan cermat dari referensi-referensi aslinya dengan penuh amânah ‘ilmiyyah—sebagaimana diakui sendiri oleh para peneliti Ilmu Kalam semisal Ali Sami An-Nasysyar, Ahmad Ash-Shubhy, dan Jalal Muhammad Musa.

Dengan materi yang sangat kaya ini, analisa-analisa Ibnu Taimiyyah ditopang oleh penggunaan nalar kritis, opini argumentatif, dan pandangan sosio-historis yang obyektif. Pertentangan sengit yang sempat terjadi antara opini Ibnu Sina, Abul Barakat, Ath-Thusy, dan Ar-Razy dikaji secara mendetail dengan jawaban dalam berbagai wujûh (poin argumentasi) mulai dari yang global sampai dan detail.

Begitu juga dengan kritik Al-Ghazzaly dalam Tahâfutu'l Falâsifah dan kritik balik Ibnu Rusyd dalam Tahâfutu't Tahâfut, serta permasalahan “argumentasi keberadaan Pencipta” yang banyak dibahas terutama oleh Ar-Razy dalam berbagai bukunya dan Al-Amidy dalam karya besarnya, Abkâr'l Afkâr. Analisa mendetail terhadap poin-poin argumentasi Ibnu Taimiyyah ini memang merupakan karakteristik yang sangat menonjol dalam karya-karyanya. Sebut saja misalnya buku Tis'îniyyah, di buku tersebut Ibnu Taimiyyah meruntuhkan doktrin “kalâm nafsîy qadîm” menggunakan sembilan puluh wujûh argumentasi di mana tiap satu persatu dari wujûh ini mengandung pemerian-pemerian dalil dan logika yang bisa dikembangkan lebih jauh. Fenomena ini juga bisa dengan mudah kita temukan dalam buku-buku besarnya semisal Minhâju's Sunnah, Al-Jawâbu'sh Shahîh, Naqdlu't Ta'sîs, Ash-Shafadiyyah, An-Nubuwwât, dan Ar-Raddu ‘Ala'l Manthiqiyyîn. Singkat kata, ada dua prinsip utama yang dipakai Ibnu Taimiyyah dalam metodologi kajian komparatifnya, yaitu (1) keluasan observasi, dan (2) ketelitian analisa. Yang pertama akan menghimpun sebanyak mungkin aneka sudut pandang yang pernah ada dan segala kemungkinan yang bisa dijadikan solusi untuk sebuah permasalahan, dan yang kedua akan memberikan titik terang untuk menentukan pilihan pendapat yang paling benar dengan argumentasi-argumentasi yang kuat dan saling kompak. Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Cara paling baik untuk menceritakan perbedaan adalah dengan menghimpun aneka pendapat yang ada dalam permasalahan tersebut, kemudian menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah dari aneka pendapat itu. Juga menyebutkan efek dan akibat dari perbedaan yang ada itu agar pertentangan tidak berlarut-larut dan tidak terjadi debat kusir … Adapun orang yang menceritakan perbedaan pendapat tapi tidak menghimpun aneka pendapat yang ada secara menyeluruh, maka dia kurang, sebab bisa jadi pandangan yang benar justru ada pada pendapat yang tidak ia sebutkan. Begitu juga dengan orang yang menceritakan perbedaan begitu saja tanpa menunjukkan mana pendapat yang benar. Ini juga kurang. Maka jika ia kemudian sengaja membenarkan pendapat yang salah, ia berarti telah sengaja melakukan kedustaan. Dan jika ia tidak sengaja, berarti ia telah keliru.” (Muqaddimah fî Ushûli't Tafsîr).

2. Integralitas Konsep dan Konsistensi Pemikiran

Para pembesar Mutakallimin biasanya memiliki ambiguitas paradigma dalam memandang satu dan lain permasalahan. Basis pandangan serta hasil kajiannya biasanya saling berbeda antara ketika membahas Ilmu Kalam dengan ketika berbicara mengenai Fiqih atau Tashawwuf. Bahkan juga antara satu buku Teologi dengan buku Teologi lainnya. Atau antara satu fase masa hidup dengan fase masa berikutnya. Dan inilah yang menyebabkan para pemuka Ilmu Kalam seperti Al-Karabisy, Al-Asy'ary, Al-Juwainy, Al-Ghazaly, Asy-Syahrastani, Ar-Razi, dan Al-Amidy mengalami inkonsistensi pemikiran dan kemudian melakukan regresi pendapat atau menyerah begitu saja di akhir hayatnya. Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah, paradigma yang

10 | P a g e

Page 11: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

dipakai olehnya ketika mengkaji permasalahan-permasalahan teologis juga adalah paradigma yang sama yang digunakannya dalam mengkaji Tafsir, Fiqih, Hadits, Suluk, dan Siyasah. Ada sebuah integralitas konsep besar-besaran yang mendasari pemikiran Ibnu Taimiyyah. Dan kekompakan epistemologis serta metodologis inilah yang kemudian melahirkan konsistensi sikap dan pandangan dalam diri Ibnu Taimiyyah semenjak muda sampai meninggal. Konsistensi ini dirangkaikan oleh pandangan holistik akan keselarasan antara wahyu, rasio, sains, intuisi, dan realita yang merupakan poros-poros pengetahuan dalam sistem epistemologinya, di mana tidak ada pertentangan faktual antara yang naqly dengan yang ‘aqly, antara yang sam‘y dengan yang hissy, dan antara yang syar'îy dengan yang dzawqy serta antara “Teks” dengan “Maslahat”. Integralitas konsep ini menyebabkan kajian-kajian Ibnu Taimiyyah selalu kaya oleh sudut pandang dari berbagai macam sisi yang saling menguatkan. Analisa-analisanya di bidang Filsafat misalnya, juga terwarnai oleh kajian Tafsir, Fiqhul Hadits, Ushul Fiqih, Sejarah, dan A‘mâlu'l Qulûb. Kajian-kajian Fiqihnya juga terwarnai oleh ulasan-ulasan Epistemologi, Aqidah, Ilmu Jiwa, dan Politik. Begitu juga dengan paparan-parapannya dalam menafsiri ayat-ayat Al-Quran atau mensyarah teks-teks Hadits dan ucapan-ucapan Salaf. Nafas Ibnu Taimiyyah dalam kegiatan semacam ini sangatlah panjang dan pandangannya melebar ke berbagai segmen serta sudut pandang yang satu sama lain saling menjelaskan.

Basis Epistemologi Ibnu Taimiyyah dibangun dengan konsep bahwa ilmu pengetahuan manusia itu diperoleh melalui tiga sumber utama yang banyak dijelaskan oleh Al-Quran, yaitu as-sam‘u, al-basharu, dan al-fuâdu. Ketiga hal ini merepresentasikan tiga akar epistema, yaitu Informasi (al-khabar), Indera (al-hiss), dan Rasio (al-‘aql). Sumber yang reliabel dari kegiatan keilmuan yang berbasis tiga akar ini wujudnya adalah informasi yang valid (naql mushaddaq) atau kajian yang akurat (bahts muhaqqaq). Selain kedua hal ini, yang ada adalah karangan palsu (hadzayân musarwaq). Dan dari semua materi sumber keilmuan yang ada di dunia, meteri yang diberikan oleh Kalâmu'llâh, Sunnatu'r Rasûl, dan Ijmâ‘u'l Ummah adalah yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Sebab informasi yang paling valid adalah informasi yang diberikan oleh ketiga sumber ini, dan kajian yang paling akurat adalah juga kajian yang disajikan oleh ketiga sumber ini. Sedangkan di luar tiga sumber ini, semuanya masih mengandung kemungkinan salah informasi, invaliditas pengamatan, atau keluputan penalaran. Jadi Quran, Sunnah, dan Ijma' merupakan basis pengetahuan yang merupakan pondasi utama dalam Sistem Epistemologi. Segala opini, pandangan, dugaan, kehendak, asumsi, intuisi, postulat, aksioma, madzhab, perasaan, dan apapun corong keilmuan yang berasal dari selain ketiga sumber ini harus diuji dengan kaedah-kaedah dan meteri-materi yang terdapat di dalamnya: “Agama umat Islam dibangun di atas komitmen terhadap Kitab Allah, Sunnah Nabi, dan Konsensus Umat. Tiga pondasi ini adalah pondasi yang valid. Kemudian semua permasalahan yang dipertikaikan oleh sesama anggota umat, dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada siapapun yang berhak menetapkan seseorang tertentu untuk menjadi panutan mutlak Umat Islam dan menjadi poros penilaian selain Rasulullah saw. Dan tidak ada siapapun yang berhak menetapkan sebuah ucapan/kredo untuk menjadi poros peniliaian selain Ucapan Allah, Ucapan Rasul-Nya, dan Ijma' Umat. Bahkan tindakan yang demikian itu adalah tindakan para pembuat bid'ah, yang menetapkan seseorang/afiliasi tertentu maupun ucapan/konsep tertentu (selain Quran, Sunnah, dan Ijma') sebagai poros pegangan tempat ia membangun afiliasi atau penolakan (terhadap anggota Umat Islam yang lainnya).” (Al-Fatâwâ: XX/164)

Dalam banyak kesempatan, Ibnu Taimiyyah juga mendemonstrasikan secara argumentatif, bahwa meteri-materi keilmuan yang disajikan oleh Quran dan Sunnah adalah materi-materi yang sangat rasional dan sama

11 | P a g e

Page 12: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

sekali tidak menyimpan kontradiksi. Apalagi materi-materi yang dilengkapi dengan argumentasinya sebagaimana banyak terdapat dalam ayat-ayat yang berbicara tentang dalil-dalil Tauhid, Kerasulan Nabi, dan Adanya Hari Kebangkitan. Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyyah juga menggunakan nalar kritis dan analisa rasionalnya untuk menguji dan membuktikan bahwa doktrin-doktrin Filsafat dan Ilmu Kalam—yang bertentangan atau berakibat pada penentangan materi-materi teologis yang disajikan oleh Quran dan Sunnah—adalah doktrin-doktrin yang secara konseptual tidak valid serta mengandung banyak kontradiksi, dan secara aktual tidak banyak memberi manfaat serta bahkan menimbulkan efek negatif yang berkepanjangan.

Dengan basis epistemologi inilah, Ibnu Taimiyyah membangun struktur metodologi dan keilmuannya dalam segala bidang dan disiplin ilmu. Sehingga kitapun bisa menyaksikan integralitas kepribadian dan konsistensi pemikiran yang terbebas dari fanatisme buta maupun subyektifitas timpang dalam kajian-kajiannya, terutama kajian-kajian yang berkisar pada permasalahan Aqidah dan Teologi: “Adapun Aqidah, maka hal ini tidak diambil dari opiniku. Tidak juga dari orang yang lebih besar dariku. Akan tetapi diambil dari Allah dan Rasul-Nya, serta dari ijma' para Salaf. Maka apa saja yang dinyatakan oleh Al-Quran, wajib kita meyakininya. Begitu juga dengan apa yang sudah tsâbit dalam hadits-hadits shahih seperti dalam Shahîhu'l Bukhârîy dan Shahîhu Muslim.” (munâdharah Al-Wâsithiyyah);

“Dan aku sampai detik inipun tidak pernah mengajak seseorang dalam perkara Ushuluddin untuk mengikuti madzhab hanbaly ataupun madzhab selain hanbaly. Dan akupun tidak pernah memperjuangkan hal itu. Tidak juga aku nyatakan dalam ucapan-ucapanku. Yang aku sebutkan adalah aqidah yang sesuai dengan kesepakatan Ulama Salaf dan Aimmah Umat.” (Al-Fatâwâ: III/229);

“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah madzhab klasik yang sudah populer sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi'i, dan Imam Ahmad. Sebab madzhab ini adalah madzhab para Shahabat r.a. yang mereka ambil dari Nabi mereka Saw.” (Minhâju's Sunnah: II/601).

Modal besar berupa integralitas konsep dan konsistensi pemikiran ini kemudian melahirkan rasa tsiqah yang tinggi dan menancap dalam di jiwa Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang ditunjukkannya ketika menantang para pembesar waktu itu dalam munâdharah Al-Wâsithiyyah: “Aku beri kalian tenggat waktu tiga tahun! Jika ada yang bisa mendatangkan satu kata pun dari para ulama di tiga kurun pertama yang bertentangan dengan apa yang aku sebutkan (di buku Al-Wâsithiyyah ini), maka aku akan meralat hal tersebut, dan aku harus mendatangkan nukilan-nukilan dari seluruh kalangan baik Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, Hanbaliyyah, Asy'ariyyah, maupun Ahlul Hadits, Shufiyyah, dan lain sebagainya yang menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tiga kurun pertama yang sesuai dengan apa yang telah aku nyatakan!”. Dan sampai wafat maupun sampai zaman kini, ternyata tidak ada yang berhasil memenuhi tantangan Ibnu Taimiyyah tersebut.

3.Proporsionalitas Penilaian dan Kemoderatan Sikap

Kedua poin prinsipil di atas, diimbangi pula oleh Ibnu Taimiyyah dengan proporsionalitas dalam memberikan penilaian dan kemoderatan dalam bersikap. Dua hal ini berbasi pada ajaran “al-‘ilmu wa'l ‘adlu”. Ilmu yang kuat akan melahirkan penilaian yang inshâf dan obyektif, sedangkan keadilan yang kuat akan menjauhkan diri dari ifrâth dan tafrîth. Dua prinsip ini sering sekali ditekankan oleh Ibnu Taimiyyah dalam karya-karyanya dan dalam peristiwa-peristiwa aktual di perjalanan hidupnya : “Berbicara mengenai (penilaian terhadap) orang

12 | P a g e

Page 13: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

lain, haruslah atas dasar ilmu dan keadilan, bukan atas dasar ketidaktahuan dan kedzaliman sebagaimana perilaku para Ahlul Bid'ah.” (Minhâju's Sunnah: IV/337);

“Dan karena pengikut para nabi itu adalah penganut Ilmu dan Keadilan, maka ucapan (penilaian) para penganut Islam dan Sunnah terhadap para penganut Kufur dan Bid'ah itu adalah atas dasar pengetahuan dan keseimbangan, bukan atas dasar dugaan dan ambisi diri” (Al-Jawâb Ash-Shahîh: I/107); “Maka kita harus mengimani semua yang datang dari Allah dan menetapkan kebenaran. Kita tidak mengikuti ambisi dan tidak juga berbicara tanpa dasar ilmu. Kita harus mengikuti jalan Pengetahuan dan Keadilan. Dan itulah jalan ittiba' Kitab dan Sunnah. Adapun orang yang menerima sebagian kebenaran dan mengingkari sebagian yang lain, maka perbuatannya tersebut merupakan penyebab perpecahan dan pertentangan” (Majmû' Fatâwa: IV/450).

Proporsionalitas penilaian ini membuat Ibnu Taimiyyah selalu menghindari perilaku generalisasi yang serampangan. Penilaiannya terhadap sesama pegiat satu disiplin ilmu tertentu atau sesama penganut sebuah aliran tertentu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan latar belakang metodologis dan sosio-historis masing-masing orang. Ibnu Taimiyyah akan mempertajam penyikapan terhadap para pemimpin Bid'ah yang jelas-jelas secara sadar menentang ajaran-ajaran Islam, dan akan melunak serta mempertimbangkan berbagai macam apologi untuk tokoh-tokoh yang sekedar “terpengaruh” atau mengikuti konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan bid'ah secara tidak sadar. Penyikapannya terhadap orang-orang yang belum mengerti juga sangat kontras dengan penyikapannya terhadap orang-orang yang sudah mengerti. Demikian juga antara yang diam-diam saja dengan yang sudah melakukan propaganda, dan antara penilaian secara umum dengan penilaian secara spesifik : “Tidak semua orang yang menyelisihi Aqidah ini kemudian pasti akan ‘celaka'. Sebab penyelisih itu bisa saja merupakan seorang mujtahid yang akan diampuni kesalahannya oleh Allah. Atau ilmu yang sampai kepadanya belum mencapai tingkatan hujjah. Atau dia juga memiliki banyak kebaikan lain yang dengannya Allah menutupu kesalahannya … Substansi dari pernyataan ini adalah bahwa barangsiapa yang meyakini Aqidah tersebut, maka dia akan selamat dalam hal Aqidah. Adapun orang yang menyelisihinya, ia bisa jadi selamat dan bisa jadi juga tidak selamat.”;

“Karena itu, para tokoh Ilmu dan Sunnah tidaklah serta merta mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka, meskipun orang-orang tersebut telah mengkafirkan mereka. Sebab pengkafiran adalah sebuah vonis syar'i, maka seseorang tidak boleh membalas perbuatan tersebut dengan yang serupa. Sebagaimana orang yang berusta atas nama Anda dan berzina dengan keluarga Anda juga tidak boleh Anda balas dengan balik berdusta atas nama dia dan berzina dengan keluarganya, sebab dusta dan zina itu terlarang karena hak Allah. Begitu juga dengan pengkafiran, perbuatan ini juga terlarang karena hak Allah. Maka kita tidak boleh mengkafirkan siapapun kecuali orang-orang yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. ” (Ar-Raddu ‘Ala'l Bakry: II/492);

“Semua orang yang pernah berkumpul denganku tahu persis bagaimana sikapku, bahwa aku termasuk orang yang paling getol melarang tindakan pengkafiran, pemfasikan, maupun pengecapan maksiat terhadap seseorang secara spesifik, kecuali jika memang telah diketahui dengan jelas bahwa telah ditegakkan atasnya sebuah hujjah risâliyyah (persidangan atau argumentasi tegas yang spesifik) di mana orang yang menentangnya memang sudah bisa dinyatakan sebagai kafir, fasik, ataupun pelaku maksiat. Dan telah aku tegaskan bahwa Allah Swt. akan mengampuni kekeliruan (tidak sengaja) yang terjadi di umat ini, baik kekeliruan dalam permasalahan informatif (keyakinan) maupun kekeliruan dalam permasalahan praksis

13 | P a g e

Page 14: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

(perbuatan) … Dan telah aku jelaskan kepada mereka bahwa riwayat-riwayat dari Salaf yang menyatakan bahwa ‘barang siapa yang mengatakan demikian atau demikian berarti telah kafir' itu adalah pernyataan yang benar. Akan tetapi harus dibedakan antara menghukumi kafir secara global (terhadap sebuah perkataan) dengan mengarahkan vonis kafir pada seseorang secara spesifik.” (Fatâwâ: III/230)

Prinsip ini juga membuat Ibnu Taimiyyah selalu mengakui dan menerima kebenaran dari manapun datangnya, serta menolak kekeliruan dari manapun hal itu berasal. Kemudian juga mengakui jasa-jasa para penganut bid'ah tersebut dalam usahanya memperjuangkan Islam menghadapi musuh dari luar: “Semestinya, setiap hal baik yang dilakukan kalangan manapun harus dipuji sebagaimana keadaan itu memang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Quran dan Sunnah. Dan setiap hal buruk yang dilakukan oleh kalangan manapun juga harus dicela sebagaimana keadaan itu telah dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Quran dan Sunnah.” (Al-Istiqâmah: I/221);

“Banyak juga kalangan mubtadi'ah baik Rafidhah, Jahmiyyah, maupun yang lainnya yang pergi ke negeri-negeri kaum kafir dan kemudian di tangan mereka, banyak orang kafir yang masuk Islam. Orang-orang muallaf ini pun mendapatkan manfaat dari jasa mereka dan kemudian menjadi orang muslim yang menganut bid'ah. Dan hal ini tentu lebih baik daripada mereka tetap menjadi kafir” (Daqâiqu't Tafsîr: II/143);

“Allah Ta'ala telah memerintahkan kita untuk tidak mengatakan selain kebenaran dan tidak mengatakan sesuatu melainkan atas dasar ilmu. Dan Dia telah memerintahkan kita untuk berlaku adil serta seimbang. Maka jika ada orang Yahudi atau Nasrani, apalagi orang Rafidhi, yang mengatakan sesuatu kepada kita di mana sesuatu itu mengandung kebenaran, kita tidaklah boleh untuk meninggalkannya atau menolaknya secara keseluruhan. Akan tetapi kita harus menerima kebenaran yang ada di dalam perkataannya dan menolak kekeliruan yang ada di dalamnya.” (Minhâju's Sunnah: II/342);

Pandangan yang proporsional ini juga diterapkannya dalam memandang Asy'ariyyah sebagai sebuah sekte yang berisi orang-orang terkemuka yang tentunya jauh lebih baik daripada Mu'tazilah dan Syi'ah, apalagi Jahmiyyah dan Falasifah; “Maka mereka merupakan kalangan sekte Kalam yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Ahlul Hadits. Bahkan, mereka terhitung sebagai bagian dari Ahlus Sunnah jika dibandingkan dengan Mu'tazsilah, Rafidhah, dll. Bahkan merekalah tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama'ah di daerah-daerah yang para tokoh bid'ahnya adalah Mu'tazilah, Rafidhah, dan sejenisnya” (Naqdlu't Ta'sîs: II/87);

“Kullabiyyah dan Asy'ariyyah lebih baik daripada mereka (Jahmiyyah, Najjariyyah, dan Dlarariyyah) dalam permasalahan Shifat. Sebab mereka menetapkan shifat-shifat ‘aqliyyah, dan para pemuka mereka juga secara umum menetapkan shifat-shifat khabariyyah” (Ar-Risâlâh At-Tadmuriyyah);

“Asy'ariyyah itu lebih baik daripada Muktazilah dan Rafidhah di mata orang-orang yang paham apa yang ia katakan dan takut kepada Allah dalam apa yang ia ucapkan” (Minhâju's Sunnah: I/313); “Kemudian tidak satupun dari mereka (para pemuka Asya'irah), melainkan semuanya pernah punya jasa terpuji untuk Islam dan kebaikan-kebaikan yang bagus. Mereka juga punya jasa dalam membantah banyak pelaku Ilhad dan Bid'ah, serta dalam membela banyak Ulama Sunnah dan Aimmah Agama sebagaimana jamak diketahui oleh siapapun yang mengenal mereka dan menilai mereka secara proporsional dan atas dasar pengetahuan. ” (Dar'u't Ta‘ârudl: I/283);

14 | P a g e

Page 15: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Dan proporsionalitas serta kecermatan penilaian inipun juga diterapkan Ibnu Taimiyyah untuk kalangan Muktazilah, Syi'ah, dan Falasifah itu sendiri: “Dan tidak diragukan lagi bahwa Muktazilah itu lebih baik dibandingkan Rafidhah dan Khawarij … Mereka (Muktazilah) itu suka menetapi kejujuran sebagaimana Khawarij dan tidak suka melakukan kedustaan sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah; di samping mereka juga tidak membolehkan tuntutan merdeka dan memisah dari negara Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij. Dan mereka mempunyai jasa dalam menulis buku-buku Tafsir Al-Quran serta dalam membela Rasulullah Saw. Mereka juga memiliki banyak kebaikan yang membuat mereka lebih utama dibandingkan Khawarij dan Rafidhah” (Daqâ'idu't Tafsîr: II/144);

“Dan di dalam kalangan Rafidhah ada pula yang rajin beribadah, menjaga wara', dan menempuh kezuhudan. Akan tetapi dalam hal itu mereka tidak sampai seperti sesama kalangan Ahlul Ahwâ' (ekstrim) lainnya. Sebab kalangan Muktazilah lebih cerdas dari mereka dan lebih dalam ilmunya serta lebih kuat keberagamaannya. Kedustaan dan kejahatan di kalangan Muktazilah juga lebih ringan daripada yang terdapat di kalangan Rafidhah. Kalangan Syi'ah Zaidiyyah juga lebih baik dari kalangan Rafidhah ini serta lebih dekat kepada kejujuran, ilmu, dan keadilan. Dan di antara sesama Ahlul Ahwa' yang ekstrim itu, tidak ada yang lebih kuat kadar kejujuran dan keberagamaannya dari kalangan Khawarij.” (Minhâju's Sunnah: V/157);

“Ibnu Sina tumbuh hidup di antara kalangan Mutakallim yang menafikan shifat (Muktazilah), sedangkan Ibnu Rusyd tumbuh di antara kalangan Kullabiyyah, dan Abul Barakat tumbuh di Baghdad di antara kalangan Ulama' Sunnah. Sehingga kadar jauh-dekatnya masing-masing orang ini dari kebenaran adalah sesuai dengan kadar jauh-dekatnya masing-masing orang ini dari tradisi yang (diwariskan oleh) Rasulullah (yang mereka ketahui melalui orang-orang di sekitarnya)” (Dar'ut Ta‘ârudl: VI/248);

“Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Abul Barakat dan para Falasifah yang seperti mereka itu lebih dekat kepada tradisi yang shahîh dan rasio yang valid dibandingkan para Falasifah mulhid yang secara dusta telah menafikan Ilmu Allah” (Dar'u't Ta‘ârudl: X/82);

Begitu juga halnya dalam memandang para ulama populer yang biasa diasosiasikan ke dalam barisan Ahlus Sunnah wal Hadits tapi ternyata juga masih menganut beberapa konsep-konsep teluran Ilmu Kalam. Ibnu Taimiyyah (Dar'u't Ta‘ârudl: 3/303) memilah penilaian terhadap kalangan ini secara spesifik dan tidak melakukan generalisasi. Sebab ada (1) kalangan yang tidak begitu menyelami kajian-kajian rasional dan lebih banyak taklid—karena husnu'dh-dhon—kepada para konseptor Mutakallimin; baik (a) yang dominan taklidnya seperti Ibnu Hibban, Abu Sa'd As-Samman Al-Mu‘tazily, Abu Dzar Al-Harawy, Abu Bakr Al-Bayhaqy, Al-Qadly ‘Iyadl, Ibnul Jauzy, dan Ali Al-Maqdisy; (b) yang kemudian melakukan kajian langsung semisal Ibnu Hazm, Abul Walid Al-Baji, dan Abu Bakr Ibnul ‘Araby; maupun (c) yang berangkat dari konsep-konsep dasar Ilmu Kalam dan berusaha memadukannya dengan teks-teks Quran dan Sunnah tanpa bisa membedakan antara riwayat yang shahih dengan yang dla‘îf semisal Ibnu Furak, Abu Ya'la, dan Ibnu ‘Aqil. Dan ada juga (2) yang punya pengalaman besar dan merupakan konseptor utama dalam Ilmu Kalam seperti Abul Hasan Al-Asy'ary beserta murid-muridnya semisal Abu Bakr Al-Baqillany dan Abu Ishaq Al-Isfirayiny.Demikian juga halnya dalam memandang aneka buku. Ibnu Tamiyyah, misalnya, mengatakan secara klasifikatif (Sarhu'l ‘Aqîdah Al-Asfahâniyyah: I/184) bahwa terdapat perjenjangan kualitas isi dalam buku-buku sesuai coraknya: (1) Buku-buku Tashawwuf dan Fiqih yang mencampur antara riwayat-riwayat shahîh dan dla‘îf serta opini-opini shahîh dan dla‘îf; (2) buku-buku Kalam yang kuantitas kekeliruan isi-isi ajarannya lebih besar; serta (3) buku-buku

15 | P a g e

Page 16: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Filsafat yang lebih didominasi oleh pandangan-pandangan bâthil dan bahkan ajaran-ajaran kekufuran. Dan dalam penyikapannya secara aktual ketika berhadapan dengan para tokoh Kalam dan para pengiikut sekte-sekte Kalam, Ibnu Taimiyyah membedakan antara posisi berdebat dan berbantahan yang tentunya membutuhkan ketegasan dan perincian, dengan ketika dalam posisi berdakwah dan mengajarkan kebenaran sebagaimana bisa kita telaah secara langsung dalam surat-surat personalnya ke beberapa tokoh waktu itu.

4.Kematangan Karakter dan Spirit Perbaikan

Di saat mendadak dikeroyok oleh sekian banyak orang di bawah pimpinan Ibnu Makhluf, Ibnu Taimiyyah justru tetap tenang tak bergeming. Dan dengan tegas bertanya balik kepada Ibnu Makhluf, “Bagaimana mungkin Anda akan menjadi hakim untuk saya sedangkan Anda sedang bertikai dengan saya?!”. Ketika Ibnu Makhluf mendadak marah dan kebingungan menjawab, Ibnu Taimiyyah justru memberinya kesempatan: “Baiklah. Saya rela Anda menjadi hakim untuk persidangan ini!”. Begitu juga ketika kembali ke Mesir dari Syam hasil persidangan Syawal 707H, ketiga hakim yang berwenang menghukumi Ibnu Taimiyyah waktu itu—Badruddin Ibnu Jama'ah, Syamsuddin At-Tunisi, dan Nuruddin Az-Zawawi—kebingungan karena harus menuruti kehendak pemerintah untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah sementara tidak ada bukti apapun untuk tuntutan yang diajukan. Maka spontan Syaikul Islam memilihkan sebuah keputusan untuk mereka : “Saya akan pilih saja untuk dipenjara demi kemaslahatan semua orang!”.

Kematangan mental ini sering sekali nampak dalam situasi-situasi yang sangat menegangkan. Seperti ketika dengan tegas selepas Shalat Istikharah beliau menantang para penyihir Batha'ihiyyah untuk sama-sama masuk ke kobaran api demi membuktikan siapa yang benar dan sesuai dengan sunnah. Tapi akhirnya, kelompok tersebut hanya bisa mundur dan beralasan bahwa “karâmah” mereka hanya bisa ditunjukkan di hadapan bangsa Tartar dan bukan di hadapan tokoh Islam. Kemantapan karakter dalam diri Ibnu Taimiyyah juga sangat nampak dalam situasi pertempuran yang sangat menegangkan. Semangatnya untuk membangkitkan gelora jihad kepada para penguasa Syam dan Mesir kala itu diiringi dengan datang langsung untuk “menceramahi” Qazan, seorang panglima Tartar yang terkenal sangat ganas. Dan Qazan pun hanya diam terheran-heran. Firasatnya yang tajam juga membuahkan ke-tsiqah-an kuat bahwa dalam perang Syaqhab, kemenangan akan diraih oleh Umat Islam. Ibnu Taimiyyahpun bersumpah untuk kemenangan itu dan mengatakan “innakum fî hâdzihi'l kurrati manshûrûn!”. Ketika disuruh untuk mengatakan “insyâallah”, Ibnu Taimiyyah menyahut, “insyâallâhu tahqîqan lâ ta‘lîqan!”. Sejarahpun mencatat, bahwa dalam perang ini, bangsa Tartar terhempas habis-habisan dan selepas itu tidak pernah lagi mengjangkau Syam maupun Mesir. Stabilitas jiwa seperti ini ternyata terbangun dari sebuah keyakinan kuat akan hakekat kemapanan:

“Apakah gerangan yang ingin dilakukan oleh orang-orang yang memusuhiku?! Sementara taman syurgaku ada di dalam dadaku. Di mana saja aku berada ia selalu bersamaku, dan tak pernah meninggalkanku. Jika aku dibunuh, maka pembunuhan itu adalah kesyahidan bagiku. Jika aku dipenjara, maka penjara itu adalah ketenangan untukku. Jika pun aku diusir, maka pengusiran itu akan menjadi perjalanan tamasya bagi diriku.”

Dengan kematangan jiwanya inilah, Ibnu Taimiyyah menyadari penuh bahwa usaha yang ia kerahkan haruslah difokuskan pada usaha-usaha yang memang sangat dibutuhkan dan berpotensi untuk menghasilkan perbaikan yang berarti. Semua buku-buku Ibnu Taimiyyah tidak ditulisnya tanpa alasan, akan tetapi karena memang merupakan sebuah tuntutan kondisi yang sangat diperlukan:

16 | P a g e

Page 17: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

“Dan adapun mengenai buku-buku, aku tidak pernah memulai menulisnya kepada siapapun secara langsung untuk mengajaknya mengikuti sesuatupun mengenai hal itu. Akan tetapi buku-buku itu aku tulis sebagai jawaban untuk orang yang bertanya kepadaku, baik dari warga Mesir maupun luar Mesir … Maka kemudian aku menjawab mereka dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan aqidah Salaful Ummah.” (munâdharah Al-Wâsithiyyah).

Mayoritas buku-buku, risalah-risalah, dan fatwa-fatwa yang dicantumkan dalam Majmû‘ Fatâwâ-nya adalah jawaban-jawaban untuk berbagai pertanyaan dan permintaan dari aneka daerah. Begitu juga dengan buku-buku besarnya seperti Al-Jawâbu'sh Shahîh, Dar'u't Ta‘ârudl, Minhâju's Sunnah, Naqdlu't Ta'sîs, As-Shafadiyyah, Ar-Raddu ‘Ala'l Manthiqiyyîn, dan At-Tis‘îniyyah yang kesemuanya merupakan kritik untuk sebuah buku lain yang mengandung kekeliruan atau penjelasan untuk sebuah permasalahan penting yang belum diulas orang secara mendetail dan akurat. Aspek prioritas ini pulalah yang menyebabkan Ibnu Taimiyyah menolak untuk menulis buku Tafsir rinci yang menyeluruh ataupun untuk mengkodifikasikan ijtihad-ijtihad Fiqih-nya secara terangkai dalam sebuah karya sebagaimana diminta oleh Ibnu Risyayyaq. Karena Ibnu Taimiyyah melihat bahwa karya-karya Tafsir dan Fiqih yang menyeluruh telah cukup banyak, maka Ibnu Taimiyyah memfokuskan penekanan pada ayat-ayat yang pemahamannya masih cukup kontroversial di antara berbagai kalangan dan pada permasalahan-permasalahan Fiqih yang masih sangat debatable antar madzhab-madzhab yang ada semisal permasalahan talak tiga, talak yamin, qadlâ' shalat, berbekam ketika puasa, ziyarah kubur, manasik haji, dan tawafnya wanita haidh. Nalar prioritas dan spirit perbaikan ini juga membuat Ibnu Taimiyyah bekerja keras untuk menyatukan perbedaan dan pertentangan yang terjadi di masanya antara sesama Umat Islam dalam bingkai Al-Quran dan As-Sunnah:

“Orang-orang tahu bahwa sebelumnya ada kesenjangan serta ketidakharmonisan antara Hanbaliyyah dengan Asy'ariyyah. Dan aku termasuk orang yang paling getol memperjuangkan terwujudnya persatuan dan keharmonisan hati antar sesama muslim, seraya mengikuti ajaran yang diperintahkan kepada kita berupa keteguhan memegang agama Allah. Akupun berusaha menghilangkan kesenjangan yang ada di antara perasaan mereka, dan aku jelaskan kepada mereka bahwa Al-Asy'ari adalah termasuk pembesar Ilmu Kalam yang berafiliasi ke Imam Ahmad serta yang berusaha untuk membela dan memperjuangkannya … Para imam klasik Hanbaliyyah seperti Abu Bakr Abdul Aziz dan Abul Hasan At-Tamimi juga menyebutkan ucapan Al-Asy'ari dalam buku-buku mereka. Bahkan posisi Al-Asy'ari bagi mereka waktu itu adalah seperti posisi Ibnu ‘Aqil di kalangan Muta'akhkhirin Hanbaliyyah. Hanya saja Ibnu ‘Aqil punya kelebihan spesialisasi di bidang Fiqih dan Ushul Fiqih, sedangkan Al-Asy'ari punya kelebihan kedekatan konsepsi aqidah dengan Imam Ahmad dibanding Ibnu Aqil. Sebab semakin dekat seseorang dengan Salaf, semakin kuat pula wawasan ‘aqly dan naqly-nya … Dan begitu aku tunjukkan pernyataan aqidah Al-Asy'ary kepada orang-orang Hanbaliyyah, mereka pun berkata : ‘Ini lebih bagus daripada yang dinyatakan oleh Ibnu Qudamah!'. Orang-orang pun akhirnya bahagia dengan terwujudnya kembali nilai keharmonisan antara kedua kalangan ini.” (Al-Fatâwa: III/227 dst.)

Ibnu Taimiyyah juga dikenal sebagai cendekiawan yang memiliki basis spiritual yang sangat kuat, baik dalam melakukan Ibadah maupun dalam memandang sesuatu peristiwa. Ia terbiasa duduk berjam-jam untuk berdzikir selepas Shalat Shubuh sampai pertengahan siang. Ibnu Qoyyim pernah bertanya mengenai hal ini, dan ia pun menjawab ringan : “Inilah sarapanku. Jika tidak aku konsumsi sarapan ini, maka kekuatanku akan meruntuh!”. Maka tidak heran, jika kemudian basis ibadah dan spiritual yang kuat ini melahirkan fikiran cemerlang yang selalu melihat sisi-sisi positif dari setiap kejadian dan peristiwa yang dihadapinya. Ketika diputusi hukuman penjara, Ibnu Taimiyyah justru membaca ayat (Al-Hadîd:13) yang artinya “dan mereka kemudian ditutupi oleh pagar yang berpintu, di mana di dalamnya terhadap rahmat dan dari arah luarnya adalah siksaan”. Dan ketika dibebaskan oleh Sultan dengan sangat mulia serta diajak berunding untuk menghabisi mantan musuh-musuhnya, Ibnu Taimiyyah justru menentang rencana tersebut dan mengatakan:

17 | P a g e

Page 18: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

“Kalau Anda menghabisi mereka, maka Anda tidak akan punya lagi orang-orang yang sehebat mereka!”. Ia bahkan menyatakan: “Kalaulah seseorang itu layak berterima kasih kepada orang yang telah berbuat jahat kepadanya, maka aku pasti akan berterima kasih kepada semua orang yang menyebabkan peristiwa (pemenjarahannya) ini terjadi!”.

Fikiran Ibnu Taimiyyah menelisik ke sisi positif dari hukuman penjara, yaitu tersedianya waktu yang sangat luang untuk berkonsentrasi ibadah, tadabbur Al-Quran, dan menulis buku-buku; tiga hal yang memang merupakan taman syurga bagi para mukmin sejati. Fikiran dan sikap positif ini telah memberinya sebuah hasil brilian berupa perolehan ilmu mengenai makna-makna mendalam dari ayat-ayat Al-Quran yang “kâna aktsaru'l ‘ulamâ' yatamannawnahâ”, juga memberikannya hasil karya-karya hebat penuh manfaat dalam kadar kuantitas dan kualitas yang sangat prima. Bahkan ketika semua buku, kertas, tinta, dan alat-alat tulis yang tersedia di kamar penjaranya di Damaskus dikeluarkan dengan paksa oleh pemerintah, Ibnu Taimiyyah justru menjadikan momen-momen terakhir dari usianya tersebut untuk konsentrasi beribadah dan mengkhatamkan Al-Quran sampai lebih dari 80 kali. Dan selepas datangnya ajal sampai era sekarang, nilai spiritual yang telah dibangun dan diteladankannya terus terpampang cerah dalam bentang panjang sejarah Umat Islam.

BAGIAN III. KARYA-KARYA AQIDAH

Banyak karya-karya Ibnu Taimiyyah yang memfokuskan kajian pada permasalahan-permasalahan Aqidah. Kebanyakan buku-buku itu berangkat dari sebuah permasalahan besar yang spesifik, lalu diperkaya dengan pemaparan historis sekian banyak pendapat berbagai kalangan beserta argumentasi masing-masing, kemudian diperdalam dengan analisa mendetail dan komparasi yang tajam atas berbagai argumentasi tersebut, lalu ditunjukkan pendapat yang paling kuat dengan mendemonstrasikan hujjah-hujjah universal maupun spesifiknya disertai dengan jawaban atas berbagai istisykâlât dan i‘tirâdlât. Di sela-sela kajian itu, Ibnu Taimiyyah juga sering memeprkayanya dengan berbagai istithrâdât ke berbagai aspek, atau memberi ihâlât (referensi) ke karya-karya yang lain yang sebelumnya sudah populer.

Berikut beberapa buku utama Ibnu Taimiyyah yang berkisar pada tema-tema Aqidah :

1. Kitâbu'l Îmân. Buku ini ada dua macam, Al-Îmân Al-Kabîr dan Al-Îmân Al-Awsath. Keduanya membahas tentang hakekat iman dan kaitannya dengan amal. Buku ini merupakan kajian untuk masalah al-asmâ' wa'l ahkâm yang sangat erat dengan kritik dan koreksi terhadap konsep-konsep ala Murji'ah dan Khawârij.

2. Naqdlu'l Manthiq dan Nashîhatu Ahli'l Îmân fi'r Raddi ‘Alâ Manthiqhi'l Yûnân (atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ar-Raddu ‘Alâ'l Manthiqhiyyûn). Buku spektakuler ini merupakan analisa mendetail sekaligus kritik konstruktif terhadap berbagai konsep-konsep dan doktrin-doktrin Logika dalam Ilmu Manthiq, yang dalam zaman modern bisa disaksikan sebagian manifestasinya para reformasi logika aristotelian yang terjadi di Barat sejak masa Francis Bacon.

3. Ar-Risâlah Ash-Shafadiyyah. Buku besar ini menjawab konsepsi ala Falasifah, Qaramithah, dan Bathiniyyah yang menyatakan bahwa kenabian dan mukjizat para Nabi adalah berangkat dari “potensi-potensi psikologis prima” dan bukan berasal dari wahyu sebagaimana diyakini Umat Islam. Tema utama lainnya dari buku ini adalah bantahan terhadap doktrin Filsafat mengenai qidamu'l ‘âlam dan teori emanasi.

4. Kitâbu'n An-Nubuwwât. Tema utama buku ini hampir serupa dengan Ash-Shafadiyyah. Akan tetapi, materi kajiannya lebih terfokus pada kajian atas konsepsi Mutakallimin tentang permasalahan “mukjizat” dan argumentasi kenabian yang banyak menjadi polemik panjang antara berbagai sekte Ilmu Kalam. Buku ini juga mengulas beberapa kajian mengenai argumentasi kosmologis keberadaan Pencipta ala Mutakallimin.

18 | P a g e

Page 19: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

5. Dar'u Ta‘ârudli'l ‘Aqli wa'n Naqli (atau Bayân Muwâfaqati Sharîhi'l ‘Aqli li Shahîhi'n Naqli, atau juga dikenal dengan “Al-‘Aqlu wa'n Naqlu”). Inilah buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang berbicara tentang berbagai permasalahan Aqidah terkait dengan Filsafat, Ilmu Kalam, dan Tashawwuf. Dalam nûniyyah-nya, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebut buku ini sebagai “tidak ada duanya di dunia”. Ratusan referensi Kalam dan Filsafat dari berbagai aliran dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan dianalisa detail secara rasional seraya melakukan komparasi dengan ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah, dan berbagai atsar Salaf maupun buku-buku dari para Aimmah, Fuqaha', dan Muhadditsin. Buku ini menegaskan keselarasan antara naql shahîh (tradisi yang valid) dengan 'aql sharîh (rasio yang akurat) dan merontokkan postulat fiktif taqdîmu'l ‘aqli ’alâ'sy syam‘î seraya menegaskan konsep metodologis “taqdîmu'sh shahîhi ’alâ's saqîm wa tarjîhu'sh sharîhi ‘alâ'sy subuhât”.

6. Minhâju's Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdli Kalâmi'sy Syî‘ah wa'l Qadariyyah. Ini buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengulas tentang doktrin-doktrin Syi'ah dan Rafidlah. Buku yang merupakan jawaban dan koreksi terhadap buku berjudul Minhâjul Karâmah tulisan Ibnul Muthahhar Al-Hilly ini juga mengandung banyak sekali konsep-kosep Epistemologi, Metodologi, Adabu'l Bahtsi wa'l Munâdharah, Fiqih Dakwah, dan berbagai pedoman pergerakan serat kajian sosio historis terhadap berbagai fenomena sosial, politik, militer, dan budaya yang menyelimuti Umat Islam berbagai zaman. Sebagian porsi buku ini juga diisi oleh kajian serupa yang disoroti oleh Dar'u't Ta‘ârudl.

7. Bayânu Talbîsi'l Jahmiyyah fî Ta'sîsi Bida‘ihimu'l Kalâmiyyah (yang lebih dikenal sebagai Naqdlu't Ta'sîs atau Naqdlu Asâsi't Taqdîs). Ini buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengkritisi kaedah-kaedah dan doktrin-doktrin Ilmu Kalam secara terperinci. Buku ini mengulas konsep-konsep Ilmu Kalam kalimat perkalimat secara analitis dari buku Asâsu't Taqdîs yang ditulis oleh Ar-Razi. Meskipun buku ini belum sepenuhnya selesai ditulis, berbagai kajian yang dipaparkannya sudah sangat mendalam dan meluas mencakup kajian terhadap berbagai buku-buku Kalam lainnya di tema yang sama.

8. At-Tis‘îniyyah. Ini buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengulas permasalahan “Kalam Allah”. Buku yang ditulis Ibnu Taimiyyah di hari-hari terakhirnya ini berisi sembilan puluhan argumentasi untuk membantah doktrin “Kalâm Nafsî” ala Kullâbiyyah dan Asy‘ariyyah. Meskipun manuskripnya tidak ditemukan secara lengkap, versi cetakan tiga jilid buku ini telah memuat berbagai hujjah tajam dan revivalisasi kajian yang menunjukkan secara obyektif bahwa kredo Salaf “Al-Qur'ânu Kalâmullah Ghairu Makhlûq” tanpa menyatakannya qadim dan tanpa menafikan huruf-hurufnya adalah konsepsi yang paling rasional dan paling sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

9. Al-Istiqâmah. Buku ini terutama berbicara tentang Sunnah dan Bid'ah dalam masalah-masalah ‘amaliyyah. Jadi isi buku ini lebih ditujukan kepada kalangan Shufiyyah, terutama kalangan penganut “Tashawwuf Falsafy”. Buku ini terutama juga memberikan banyak komentar, kritik, dan koreksi terdalah Risâlah Qusyairiyyah, salah satu buku paling populer dalam dunia Tashawwuf Mutaakhkhirin.

10. Iqtidlâ'u'sh-Shirâtha'l Mustaqîm fî Mukhalafati Ahli'l Jahîm. Buku ini mengkaji mengenai aturan-aturan agama yang berkaitan dengan mukhâlafatu'l yahûd wa'n nashârâ wa'l musyrikîn dalam hal-hal yang terkait dengan adat-istiadat, perayaan-perayaan keagamaan, mode dan budaya, serta berbagai perbandingan ajaran antara Islam (Ash-Shirâtha'l Mustaqîm) dan Ummatu'l Ghadlab maupun Ummatu'dl Dlalâl sebagaimana ditandaskan oleh Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan tradisi para Salaf.

11. Al-Jawâbu'sh Shahîh li man Baddala Dîna'l Masîh. Buku ini merupakan karya paling penting Ibnu Taimiyyah yang menganalisa ajaran-ajaran Nasrani dan Yahudi. Bahkan buku ini merupakan karya turats yang paling penting dan paling berkualitas dalam bidang Kristologi. Di dalam kajiannya, Ibnu Taimiyyah menelusuri akar-

19 | P a g e

Page 20: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

akar konsep ajaran Nasrani terutama yang terkait dengan permasalahan-permasalahan Teologi dan Kenabian. Dan di dalam buku ini, Ibnu Taimiyyah sekaligus menetapkan pokok-pokok pikiran argumentatif yang mendemonstasikan secara meyakinan kebenaran aqidah Tauhid dan kenabian Muhammad Saw.

12. Beberapa buku, risalah, dan fatwa (selain Kitâbu'l Îmân) yang dihimpun dalam Majmû‘ Fatâwâ Syaikhu'l Islâm Ibni Taimiyyah lainnya yang terdapat dalam enam jilid pertama dari Juz “Tawhîdul Ulûhiyyah” sampai Juz “Al-Qur'ân Kalâmu'llâh”. Dalam kapita selekta yang semula dihimpun oleh pasangan bapak-anak Ibnu Qasim dan Muhammad ini, terdapat beberapa karya utama Ibnu Taimiyyah tentang Aqidah semisal Al-‘Aqîdah Al-Wâsithiyyah, Ar-Risâlah Al-Akmaliyyah, Ar-Risâlah Al-Madaniyyah, Ar-Risâlah Ad-Tadmuriyyah, Ar-Risâlah Al-Hamawiyyah, Ar-Risâlah Al-‘Arsyiyyah, Ar-Risâlah Al-Akmaliyyah, Syarhu'l ‘Aqîdah Al-Ishfahâniyyah, Syarhu Hadîtsi'n Nuzûl, At-Tuhfatu'l ‘Irâqiyyah, Al-Furqân Bayna Awliyâ'ir Rahmân wa Awliyâ'i'sy Syaithân, Kitâbu'l ‘Ubûdiyyah, dan sebagainya.

ANTARA PENDUKUNG DAN PENENTANG

Tidak ayal lagi, tokoh multidimensi ini tentu telah menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Pemikiran dan gerakannya telah begitu berpengaruh dalam sejarah keilmuan, politik, keagamaan, dan kebudayaan Umat Islam selama beradab-abad lamanya. Di era kontemporer inipun, sosok dan pemikiran Ibnu Taimiyyah terus ramai menjadi bahan kajian dari berbagai macam golongan di berbagai bidang keilmuan dan aneka segmen pergerakan praksis.Di masa hidupnya, beberapa tokoh ulama dan pemerintah telah memberikan respon yang beraneka ragam terhadap tokoh ini. Mulai dari pengikut yang setia, murid dan pengamat yang kritis, sampai penentang aprioris dan pembenci-pembenci yang fanatik. Dalam ekspedisinya, Ibnu Taimiyyah selalu ditemani oleh kedua saudaranya, Syarafuddin Abdullah dan Zaimuddin Abdurrahman yang selalu menyiapkan keperluan-keperluan hariannya, meskipun Ibnu Taimiyyah dikenal tidak pernah memprioritaskan keperluan duniawi. Salah satu muridnya, Ibnu Rusyayyaq juga sekaligus merupakan warrâq (sekretaris) yang punya peran besar dalam penulisan dan penghimpunya buku-buku Ibnu Taimiyyah. Murid-murid dan sahabat-sahabat pilihan Ibnu Taimiyyah sendiri, rata-rata adalah juga merupakan para ulama dan aimmah paling senior di zaman itu yang kepakarannya dalam berbagai bidang sangat otoritatif sampai zaman sekarang. Sebut saja misalnya pakar Ilmu Rijal Imam Jamaluddin Al-Mizzy, pakar Jarh wa Ta'dil Syamsyuddin Adz-Dzahaby, pakar Ilmu Nasab ‘Alamuddin Al-Birzali, pakar Ilmu Jiwa Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, faqih besar Ibnu Abdil Hadi, dan mufassir sekaligus sejarawan populer, Abul Fida' Ibnu Katsir Ad-Dimasyqy. Di luar nama-nama ini, tak terhitung jumlahnya para murid dan pendukung Ibnu Taimiyyah dari berbagai madzhab yang berasal dari berbagai daerah seperti Damaskus, Giza, Alexandria, Kairo, Hama, Wasith, Jazirah, Turki, dll. Juga para penyokong dari kalangan hakim dan penguasa terutama Sultan Muhammad bin Qalawun.

Beberapa ulama dari kalangan yang memiliki kecenderungan madzhab yang berbeda dengan Ibnu Taimiyyah juga menunjukkan apresiasi yang tinggi dan kekaguman yang sangat besar terhadap ilmu dan dan pribadi Ibnu Taimiyyah, seperti Abu Hayyan Al-Andalusy, Ibnu Daqiqil ‘Id, dan Al-Qazwiny. Sedangkan yang menjadi penentang Ibnu Taimiyyah pada masa itu terutama adalah berasal dari beberapa kalangan mufti, hakim, dan pejabat pemerintah. Juga dari kalangan Asy'ariyyah, beberapa penganut Tashawwuf, dan dari tokoh-tokoh Syi'ah. Yang paling populer adalah Taqiyyuddin As-Subky, Kamaluddin Az-Zamlakani, ‘Aly Ibnu Makhluf, Badruddin Ibnu Jama'ah, Sultan Syasyankir Al-Mudhaffar, Pepris Al-Jasyinkir, Shafiyyuddin Al-Hindy, Al-Ikhna'iy, Ibnu Ya'qub Al-Bakry, Ibnu Atha' As-Sakandary, Nashr Al-Manbijy Al-Hulûly, dan Ibnu Muthahhir Al-Hully Ar-Rafidly. Penentangan As-Subky, Az-Zamlakany, dan Al-Ikhna'iy utamanya disebabkan karena fatwa Ibnu Taimiyyah mengenai permasalahan fiqih Talak dan Ziarah kubur, di mana Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa sesuai sunnah Rasulullah dan Khulafa' Rasyidin, talak tiga yang sekali ucap hanya jatuh satu talak serta talak ta'lîq itu tidak berlaku dan hanya perlu kafarâh yamîn. Ibnu Taimiyyah juga menyatakan larangan terhadap “saddu'r rihâl” (perjalanan jauh yang disengaja) untuk keperluan ibadah spesifik ke tempat-tempat

20 | P a g e

Page 21: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

khusus selain tiga masjid yang ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam hadits (Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha). Dua permasalahan fikih ini jugalah yang menjadi alasan untuk dua kali pemenjarahan Ibnu Taimiyyah yang terakhir, yaitu hampir setengah tahun di Damaskus karena masalah Talak dan dua tahun lebih di kota yang sama karena masalah Ziarah. Sedangkan penentangan Al-Bakry, Ibnu ‘Atha'illah, Ibnu Jama'ah, Nashr Al-Manbijy disebabkan oleh larangan Istighatsah kepada Rasulullah dan kritik terhadap Ibnu ‘Araby Al-Hatimy. Permasalahan ini merupakan alasan untuk tiga kali pemenjarahan Ibnu Taimiyyah ketika berada di Mesir dengan total masa tahanan yang tidak sampai satu tahun. Sementara itu, pemenjarahan Ibnu Taimiyyah yang pertama kali terjadi di Damaskus karena pertentangan dengan salah satu tokoh Nasrani yang mencela Rasulullah. Dan pemenjarahan yang kedua terjadi di Mesir selama satu setengah tahun akibat pertentangan dalam masalah Asmâ' wa Shifât, masalah yang merupakan fokus utama tulisan ini. Pemenjarahan yang diputuskan oleh hakim Ibnu Makhluf dan dimulai para tanggal 26 Ramadhan 705H ini diiringi oleh berbagai peristiwa yang seru dan diskusi yang menarik sebagaimana direkam oleh para sejarawan.

Uniknya, sebagian tokoh-tokoh ini justru mengakui secara terang-terangan akan kekaguman mereka terhadap ilmu dan perjuangan Ibnu Taimiyyah atau bahkan menyatakan penyesalannya atas manuver dan penentangan yang telah mereka lakukan. Ibnu Makhluf misalnya, menyatakan keheranannya dengan kelapagan dada Ibnu Taimiyyah, “Adakah orang yang seperti Ibnu Taimiyyah?! Ketika kami dulu berkuasa, kami tidak berhasil mencelakainya. Sementara ketika dia sudah berkuasa atas kami, dia memaafkan kami beitu saja!”. Az-Zamlikany—yang semula sangat mengagumi Ibnu Taimiyyah tapi kemudian menentangnya—juga kembali habis-habisan memuji Ibnu Taimiyyah, terutama dalam berbagai endorsment-nya atas beberapa transkrip buku-buku Ibnu Taimiyyah. Bahkan ketika diperingatkan oleh Imam Adz-Dzahaby, Taqiyyuddin As-Subky yang semula sangat terkenal penentangannya terhadap Ibnu Taimiyyah akhirnya menyatakan pengakuannya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Ad-Durar Al-Kâminah berikut ini :

“Adapun ucapan tuan mengenai Syekh (Ibnu Taimiyyah), maka hamba betul-betul memastikan kebesaran kadarnya, kedalaman lautan wawasannya, dan keluasannya dalam berbagai ilmu syar'iyyah dan ‘aqliyyah, serta ketinggian kecerdasan dan ijtihadnya di mana dalam semua itu beliau telah mencapai tingkatan yang tidak mampu lagi digambarkan. Hamba selalu mengatakan hal ini. Dan (bahkan) kadar beliau dalam diriku lebih besar dan lebih agung dari itu. Begitu juga dengan komitmennya atas tradisi Salaf serta penggaliannya yang optimal terhadap prinsip ini. Dan juga jarangnya orang seperti beliau di zaman sekarang! Bahkan di berbagai zaman!!”.

Sepeninggal Ibnu Taimiyyah, fenomena seperti ini terus berlanjut. Benturan antara pendukung dan penentang tetap kuat dan bahkan semakin menajam. Hal ini terutama dipicu oleh berbagai cercaan dari para penentang. Sebut saja misalnya penentangan-penentangan Tajuddin As-Subky (w.771) dalam Thabaqât Syâfi‘iyyah, tuduhan-tuduhan Abu Bakr Al-Hishny (w.829H) dalam Daf‘u'sy Syubah, pengkafiran oleh ‘Ala'uddin Al-Bukhori (w. 841H) terhadap semua yang menyebutnya sebagai “Syaikhul Islam”, serangan-serangan Al-Haytamy (w.974H) dalam Al-Jauhar Al-Munadhdham serta Al-Fatâwâ Al-Hadîtsiyyah, celaan-celaan ‘Abdul Ghaniy An-Nabulsy (w.1143H) dalam berbagai bukunya, dan yang paling populer adalah lontaran-lontaran Muhammad Zahid Al-Kautsary (w.1371H) dalam hampir semua tulisan dan komentarnya, Abdullah Al-Harary (Al-Habasyi) dalam Al-Maqâlât As-Sunniyyah, serta pasangan guru-murid Hasan Ali As-Saqqaf dan Sa'id Abdul Lathif Foudah. Keempat tokoh terakhir inilah utamanya yang merupakan penentang paling sengit terhadap pribadi Ibnu Taimiyyah dan berbagai pemikirannya. As-Saqqaf dan Foudah merupakan tokoh kontemporer yang paling gencar menulis penentangan-penentangan terhadap Ibnu Taimiyyah dan Aqidah Salafiyyah. Hasan As-Saqqaf menulis At-Tanbîh wa'r Radd ‘Alâ Mu‘taqadi Qidami'l ‘Âlam wa-l Hadd, At-Tandîd bi Man ‘Addada't Tawhîd, serta syarah atau ta‘liq atas Al-‘Aqîdah Ath-Thahâwiyyah, Al-‘Uluww li'dz-Dzahaby, Daf'u Syubhati't Tasybîh li'bni'l Jawzy, dan Qawâ‘idu'l ‘Aqâ'id li'l Ghazzâly. Di luar judul-judul ini, buku-buku Saqqaf yang lainnya lebih merupakan serangan dan reaksi terhadap tokoh-tokoh kontemporer. Sementara itu, Sa'id Foudah menulis Al-

21 | P a g e

Page 22: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

Kâsyif Ash-Shaghîr, Naqdlu't Tadmuriyyah, Husnu'l Mahâjjah, dan Tad‘îmu'l Mantiq. Juga Al-Farqu'l ‘Adhîm, Buhûts fî ‘Ilmi'l Kalâm dan Tahdzîb Syarhi Ummi'l Barâhîn. Akan tetapi, di antara Saqqaf dan Foudah ini kemudian terjadi pertentangan internal yang cukup sengit, terutama ketika Saqqaf mengkritik berbagai lontaran Foudah dalam Syarah Thahâwiyyah dan Tahdzîb Syarhi Ummi'l Barâhîn dengan munculnya buku Ihkâmu't Taqyîd ‘alâ Aghâlîthi Sa‘îd Al-Mukhîmah ‘alâ Tahdzîbi Syarhi's Sanûsiyyah, serta ketika Foudah menyatakan bahwa sebenarnya Saqqaf memiliki permusuhan mendalam terhadap Abul Hasan Al-Asy'ari dan aqidah asy'ariyyah semisal Kalâm Nafsîy dan konsep Kasbu'l ‘Abdi. Hal ini mirip dengan yang sebelumnya terjadi pada Al-Kautsari dengan kedua mantan muridnya, Abul Faidh Al-Ghumary dan Ahmad Al-Ghumary yang terutama diakibatkan oleh pencelaan Al-Kautsari terhadap Imam Asy-Syafi'i dan dengan Syekh Musthofa Shabry yang terutama disebabkan oleh kecenderungan Al-Kautsari terhadap beberapa doktrin teologi Muktazilah.

Ada beberapa jalur dan teknik yang digunakan oleh para penentang Ibnu Taimiyyah—sebagaimana dinyatakan antara lain oleh Dr. Abdullah Shalih Al-Ghusn dalam disertasinya yang berjudul Da‘âwâ'l Munâwi'în li Syaikhi'l Islâm - ‘Ardl wa Naqd. Mulai dari penulisan bantahan dalam karya-karya tersendiri, komentar atas salah satu karya dan pendapatnya, penciptaan citra yang buruk terhadap pribadinya, pencitraan buruk terhadap murid-murid dan para pendukung, pemutarbalikan fakta terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di masanya, sampai pemalsuan-pemalsuan dokumen dan buku-buku baik yang dinisbahkan kepada Ibnu Taimiyyah maupun kepada salah satu pendukungnya. Berbagai pola penentangan ini sudah banyak terjadi semenjak masa Ibnu Taimiyyah masih hidup, seperti tuntutan-tuntutan tak berargumen di pengadilan-pengadilan baik di Syam maupun di Mesir; pemalsuan “dokumen taubat” atas nama Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa ia “rujuk” dari aqidah sebelumnya; karangan cerita palsu tentang istiwâ' di Damaskus tahun 726H oleh Ibnu Bathuthah; serta tuduhan “tajsîm”, “larangan ziarah kubur”, “kebencian terhadap Ahlul Bait” dan berbagai tuduhan lainnya dalam masalah Aqidah. Begitu juga kemudian dengan munculnya surat peringatan palsu “Ar-Risâlah Adz-Dzahabiyyah” atas nama Imam Adz-Dzahaby dan beberapa paragraf dalam buku Zaghlu'l ‘Ilmi serta munculnya cerita diskusi fiktif antara Ibnu Taimiyyah dengan Ibnu Atha'illah pada tahun 709H mengenai masalah istighatsah dan Ibnu Araby di Masjid Al-Azhar. Dalam munâdharah Al-Wâsithiyyah sendiri, Ibnu Taimiyyah telah menyatakan:

“Aku tahu, ada banyak kalangan yang telah berdusta atas namaku. Sebagaimana sebelumnya mereka telah melakukan hal yang serupa berkali-kali. Kalau sekarang ini aku diktekan langsung kayakinan aqidahku dari hafalanku, mereka bisa saja akan menyatakan bahwa aku sedang menyembunyikan sebagiannya atau sedang bermain siasat dan menutup-nutupinya. Maka aku langsung tunjukkan saja kepada kalian teks aqidah dariku yang telah ditulis sekitar tujuh tahun yang lalu, sebelum kedatangan Tartar ke negeri Syam.”

Penentangan-penentangan terhadap Ibnu Taimiyyah ini sejak zaman lalu sampai sekarang selalu mendapatkan respon balik dan reaksi kritis yang sangat ramai dari para ulama dan pengkaji. Ibnu ‘Abdil Hadi misalnya, menulis Ash-Shârimu'l Mankiy fî'r Raddi ‘Ala's Subkîy (yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Husein Al-Faqih dalam Al-Kasyfu'l Mubdîy), Yusuf As-Sarmury Al-Hanafy menulis Al-Hamiyyah Al-Islâmiyyah fi'l Intishâr li madzhabi ‘bni Taimiyyah yang isinya juga merupakan bantahan mendetail terhadap klaim-klaim As-Subky, Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqy (w.842) menulis Ar-Raddu'l Wâfir sebagai bantahan atas Ala'uddin Al-Bukhori di mana buku ini kemudian mendapatkan banyak taqrîdh (sambutan rekomendasi) oleh banyak ulama termasuk Al-Bulqîny, Ibnu Hajar Al-‘Asqâlâny, Badruddin Al-‘Ayny, dan Abul Fadhl Al-Baghdâdy. Di zaman selanjutnya, kita menemukan Khairuddin Al-Alusy (w.1317), yang menulis Jalâ'u'l ‘Aynayn fî Muhâkamati'l Ahmadayn sebagai klarifikasi obyektif atas tuduhan-tuduhan Ibnu Hajar Al-Haitamy terhadap Ibnu Taimiyyah. Juga Mahmud Syukri Al-Alusy yang menulis “Ghâyatu'l Amânîy fi'r Raddi ‘Ala'n Nabhânîy”. Kemudian ada Bahjat Al-Baythâr dan Abdurrahman Al-Mu‘allimy beserta bantahannya terhadap Al-Kautsari yang disusul oleh Abdurrazzaq Hamzah, Syamsuddin Al-Afghany, dan Muhammad Abdurrahman Al-Khumayyis. Begitu juga

22 | P a g e

Page 23: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

dengan Abdurrahman Dimasyqiyyah, Utsman Abdul Qadir Ash-Shafi, serta beberapa tokoh lainnya yang menulis bantahan untuk Abdullah Al-Habasyi. Sedangkan untuk Saqqaf dan Foudah, telah banyak ditulis berbagai buku dan makalah serta telah diadakan diskusi-diskusi di televisi dan forum-forum internet yang masih terus berlangsung sampai sekarang. Sebut saja misalnya Abdul Karim Shalih Al-Humaid dalam Al-Ithâf bi ‘Aqîdati'l Aslâf wa't Tahdzîr min Jahmiyyati's Saqqâf, Sulaiman Al-‘Ulwan dalam Al-Kasysyâf ‘an Dlalâlâti's Saqqâf, Abdurrazzaq Al-‘Abbad dalam Al-Qawlu's Sadîd fi'r Raddi ‘Alâ Man Ankara Taqsîma't Tawhîd, Abdullah Al-Khulayfy dalam serial bantahannya atas Saqqaf termasuk Al-Hamiyyah Al-Islâmiyyah fi'dz Dabbi ‘An Syaikhi'l Islâm Ibni Taimiyyah, dan Ghalib As-Saqy dalam Al-Is‘âf fi'l Kasyfi ‘an Haqîqati Hasan As-Saqqâf. Juga Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis yang menulis Naqdlu Qawli Man Tabi'a'l Falâsifah fî Da‘wâhum anna'llâha lâ Dâkhi'la'l ‘Âlam wa lâ Khârijah dan Abdul Basith Al-Gharib yang menulis Kutub wa Rasâ'il Sa‘îd Foudah fî Mîzâni'n Naqdi'l ‘Ilmîy. Respon terhadap kedua tokoh ini bahkan juga muncul dalam bentuk tantangan mubâhalah seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim Shalih terhadap Saqqaf (dan Saqqaf tidak hadir meskipun telah ditunggu selama 14 tahun). Kritik para pembantah Saqqaf dan Faoudah umumnya berporos pada tiga kelemahan yang tersebar di buku-buku kedua tokoh ini, yaitu miskinnya amânah ‘ilmiyyah dan rekayasa dalam penukilan-penukilan; istidlâl yang lemah dan argumentasi yang tidak mengena; serta berbagai klaim tuduhan, umpatan, dan bahkan pembodohan maupun pengkafiran terhadap para Aimmah. Tiga poin besar ini jugalah yang menjadi poros kritikan para penulis sebelumnya untuk Al-Kautsari dan Al-Habasyi. Dan yang cukup unik, bantahan-bantahan untuk buku-buku yang menentang Ibnu Taimiyyah itu ternyata sudah banyak ditemukan secara terperinci dan argumentatif dalam buku-buku Ibnu Taimiyyah sendiri, baik dengan mengklarifikasi ke buku yang sama yang sedang ditentang, maupun dengan mencari kajiannya di buku-buku Ibnu Taimiyyah yang lain dengan tema serupa.

Di balik semua konflik tajam ini, sejarah telah menunjukkan sebuah rantai istifâdah keilmuan, keberagamaan, dan kepribadian yang penuh berkah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Tokoh-tokoh seperti Ibnul Qoyyim, Ibnu Abdil Hadi, Ibu Katsir, Ibnu Rajab, Ibnu Abil ‘Izz, Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, Asy-Syaukani, Jamaluddin Al-Qasimy, Rasyid Ridho, Siddiq Hasan Khan, Nashir As-Sa‘dy, Thahir Al-Jazairy, Muhammad Abdurrahman ibnu Qasim, Ahmad Muhammad Syakir, dan Muhammad Shalih Al-Utsaimin adalah beberapa sampel ulama yang kerap merefer ke karya-karya Ibnu Taimiyyah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang sangat pelik. Begitu pula dengan Ibnu Hajar dan As-Sakhawi dalam beberapa hukum hadits dan As-Suyuthy dalam kritik terhadap Mantiq dan Ilmu Kalam. Meskipun ketiga tokoh terakhir ini memiliki beberapa kecenderungan konsep teologi yang berbeda dengan Ibnu Taimiyyah. Istifâdah ini pun terus berlanjut sampai zaman sekarang dalam kadar yang bertingkat-tingkat sebagaimana kita saksikan dalam buku-buku kontemporer. Baik yang tidak begitu dominan seperti Waliyyullah Ad-Dahlawy, Nashiruddin Al-Albani, Ali Sami An-Nasysyar, Hasanain Makhluf, Muhammad Hamid Al-Fiqy, Muhammad Abdul Mun‘im Al-Qi'iy, Muhammad Husein Adz-Dzahaby, Thaha Jabir ‘Ulwany, Ismail Al-Muqaddim, Yusuf Al-Qaradhawy, Abdul Karim Zaidan, dan Ahmad Hijazy As-Saqa; maupun yang sangat dominan seperti Mahmud Syukri Al-Alusy, Muhammad Bahjat Al-Atsary, Muhammad Rasyad Salim, Muhibbuddin Al-Khatib, Muhammad Husein Nashif, Zuhair Asy-Syawis, Absushshomad Syarafuddin, Bakr Abu Zaid, Musthofa Hilmi, Ahmad Manshur Al Sabalik, Muhammad Jalayand, Umar Bazamul, Musthofa Al-‘Adawy, Shafwat Nuruddin, Sifr Al-Hawaly, Abdullah Abdul Muhsin At-Turky, Abdurrahman Abdul Kholiq, Ja'far Idris, Sholah Ash-Shawy, Salman Al-‘Audah, Muhammad Abdus Sattar Nashshar, Abdur Roziq Ar-Ridlwany, dan A'idl Al-Qarny. Prinsip-prinsip dan metodologi yang telah dikonsep dan dikokohkan oleh Ibnu Taimiyyah juga sangat banyak menjadi pedoman dan spirit bagi buku-buku pergerakan yang ditulis oleh tokoh-tokoh semisal Ahmad Muhammad Ar-Rosyid, Muhammad Al-Khathib, Jasim Muhalhil, Sa'id Al-Mursy, Ali Ash-Shallaby, dan Jum'ah Amin Abdul Aziz. Pemikirannya juga menjadi bahan kajian utama dalam berbagai universitas seperti Universitas Cairo – Mesir, Universitas Ibnu Su'ud – Riyadh, dan Universitas Al-Iman – Yaman. Ini semua mengingatkan kita pada pernyataan Qadhil Qudhat As-Subky Muhammad Ibnu Abdil Barr Asy-Syafi'iy:

23 | P a g e

Page 24: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

“Demi Allah, wahai Fulan! Tidak akan ada yang membenci tokoh ini (Ibnu Taimiyyah) kecuali salah satu dari dari dua jenis orang : orang bodoh, dan orang ambisius. Orang bodoh tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Sedangkan orang ambisius, ia dipalingkan oleh hawa nafsunya sehingga tidak mau mengakui kebenaran yang telah diketahuinya.”.

BAGIAN IV. (INTI) OBYEKSI PERMASALAHAN

Permalasahan-permasalahan primer Ilmu Kalam yang menjadi obyek kajian dan kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap Mutakallimin—khususnya Asy'ariyyah—adalah tentang shifât wa af‘âl (sifat dan perbuatan Allah), fawqiyyatu'llâh (kemahatinggian Allah), Takdir dan af‘âlu'l ‘ibâd, hakekat keimanan, serta tentang mukjizat dan bukti kenabian. Mengenai permasalahan Takdir, teologi Asy'ariyyah dinilai hakekatnya tidak berbeda dengan teologi Jabariyyah yang menafikan kehendak dan kemampuan hamba untuk berbuat “sebelum” ia berbuat. Mengenai permasalahan keimanan, teologi Asy'ariyyah dinilai tidak berbeda dengan teologi Murji'ah yang hanya membatasi pengertian “Iman” sebagai “kepercayaan dalam hati”. Sedangkan mengenai mukjizat, Ibnu Taimiyyah mengkritisi pembatasan Asy'ariyyah bahwa kebenaran nubuwwah seorang nabi hanya bisa dibuktikan melalui sesuatu yang “khâriqu'l ‘âdah” (di luar kebiasaan). Pembatasan itu—menurut Ibnu Taimiyyah—adalah reduksi besar terhadap luasnya jalan untuk pembuktian kebenaran nubuwwah, apalagi konsepsi “kharqu'l ‘âdah” yang dijadikan sebagai kata kunci dari definisi “mukjizat” ini juga masih mengandung kerapuhan konseptual yang sangat berpengaruh.

Dalam masalah shifât wa af‘âl, Ibnu Taimiyyah mengkritisi perspektif teologis Asy'ariyyah yang memandang bahwa semua sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat azali permanen yang tunggal dan tidak dinamis. Perspektif ini telah menyebabkan penolakan Asy'ariyyah terhadap qiyâmu'l af‘âl bi dzâti'llâh. Sehingga bagi Asy'ariyyah, perbuatan Allah tidaklah dilakukan-Nya secara langsung, karena “perbuatan” adalah sesuatu yang tidak azali dan baru terjadi setelah “kehendak”. Dengan dasar ini, paradigma yang dianut oleh Asy'ariyyah dalam memandang af‘âl Allah adalah doktrin bahwa “al-khalqu huwa'l makhlûq” (“penciptaan” adalah “ciptaan” itu sendiri), atau: “penciptaan adalah sekedar ta‘alluq tanjîzy (perwujudan aktual secara otomatis) dari irâdah qadîmah (keinginan yang sudah azali)”. Perspektif inipun akhirnya membuahkan konsepsi baru bahwa “Kalam Allah” bukanlah “perbuatan”, melainkan sebuah “sifat azali” yang disebut “kalâm nafsîy”. Jadi bagi pendapat ini, Allah Swt. sudah menjawab pertanyaan Malaikat sebelum mereka diciptakan dan Allah sudah berbicara kepada Nabi Musa as. sebelum beliau dilahirkan.

Di sisi lain, Ibnu Taimiyyah mengkritisi paradigma Asy'ariyyah dalam berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Quran dan nash-nash Hadits mengenai shifât khabariyyah (sifat-sifat Allah hanya diketahui dari informasi teks) seperti yad, ‘ayn, istiwâ', nuzûl, ridlâ, dan ghadlab. Asy'ariyyah menyikapi teks-teks seperti ini dengan membenturkannya pada “pantangan-pantangan Kalam” yang menyebabkan salah satu dari dua sikap: pengalihan dan reduksi makna (ta'wîl), atau pencabutan dan penutupan makna (tafwîdl). Kedua sikap ini, menurut Ibnu Taimiyyah, hakekatnya adalah “tahrîf” (penyimpangan) dan “tajhîl” (penihilan) yang sama-sama merupakan bentuk ilhâd (penyelewengan) terhadap teks-teks tersebut dari kandungan pengertiannya yang asli. Hakekat pentakwilan adalah penggantian arti kata, sedangkan hakekat tafwîdl adalah pembuangan arti kata. Keduanya sama-sama bertentangan dengan pengimanan dan penetapan (itsbât). Karena pantangan “tarkîb” dalam doktrin Kalam (tidak ingin menyatakan bahwa Allah itu “tersusun”), sifat yadu'llâh dan ‘aynullâh akhirnya ditakwilkan oleh sebagian Asy'ariyyah sebagai qudratu'llâh (“kekuasaan Allah”) dan ru'yatu'llâh (“penglihatan Allah”), bukan “tangan Allah” dan “mata Allah”. Karena pantangan “tamakkun” (tidak ingin menyatakan bahwa Allah itu “menempati tempat”), sifat istiwâ' dan nuzûl akhirnya ditakwilkan sebagai istîlâ' (“berkuasa”) dan nuzûlu'r-rahmah (“turunnya rahmat”) bukan “bersemayam” dan “turunnya Allah”. Lalu karena pantangan “taghayyur” (tidak ingin menyatakan bahwa Allah itu “berubah”), sifat ridlâ dan

24 | P a g e

Page 25: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

ghadlab yang semula berarti “suka” dan “marah” akhirnya direduksi menjadi sekedar irâdatu'l itsâbah (“ingin menganugerahi”) dan irâdatu'l ‘uqûbah (“ingin menghukum”) dengan catatan bahwa “keinginan” itu adalah keinginan yang azali. Sementara itu, sebagian kalangan Asy'ariyyah klasik dan beberapa kalangan Asy'ariyyah kontemporer menghindari pentakwilan dan lebih memilih sikap tafwîdl dengan tetap menafikan pengertian asli dari kata-kata ini.

Sedangkan untuk fawqiyyatu'llâhi ‘alâ'l khalqi (“bahwa Allah itu di atas makhluk-Nya”) dan baynûnatu'llâh ‘ani'l ‘âlam (“bahwa Allah itu di luar Alam”), mayoritas kalangan Asy'ariyyah terbentur oleh pantangan “jihah” (ketakutan untuk mengatakan bahwa Allah itu ada di salah satu arah) sehingga mentakwilkan fauqiyyatu'llâh sebagai fawqiyyatu'l qahri wa'l qudrah (“lebih kuat dan lebih kuasa”) dan bukan betul-betul “di atas”. Benturan dengan pantangan ini juga membuat munculnya perspektif baru dalam teologi Asy'ariyyah yang menyatakan bahwa Allah itu “laysa dâkhila'l ‘âlam walâ khârijahu” atau “laysa muhâyitsan li'l ‘âlam walâ mubâyinan lahu” (“tidak berada di alam dan tidak juga di luar alam”). Absurditas perspektif ontologis ini masih ditambah lagi dengan pandangan bahwa proses “ru'yatullâh” (“proses Ahli Surga melihat Allah”) di Akhirat nanti tidaklah terjadi dengan penghadapan wajah mereka ke Allah, akan tetapi sekedar “ziyâdatu'l kasyfi wa'l bayân“ yang berarti sekedar penciptaan ‘gambar Allah' di mata mereka.

Permasalahan sifat dan perbuatan Allah memang merupakan problematika panjang yang menjadi fokus utama kajian teologis oleh sekian banyak pemikir dari berbagai kalangan semenjak zaman dahulu. Untuk mendedahkan permasalahan ini secara memadai, spasi rubrik ini tentu saja tidak mencukupi. Karenanya, kita akan fokuskan saja bahasan ini pada akar permasalahan yang paling inti, yaitu perbedaan pandangan kosmologis yang mendasari munculnya segala doktrin, aksioma, dan rantai perdebatan sengit ini. Akar permasalahan ini—seperti bisa kita telaah dari buku-buku Teologi—ternyata berangkat dari aktivitas paling elementer dalam dunia Ilmu Kalam, yaitu penyampaian “argumentasi tentang keberadaan Tuhan”.

Kritik Utama yang ditujukan Ibnu Taimiyyah terhadap kalangan Mutakallimin dalam poin primer ini adalah terdapatnya kelemahan dan beberapa kekeliruan dalam argumentasi mereka mengenai keberadaan Tuhan. Juga, karena argumentasi-argumentasi Mutakallimin dalam qadliyyah aqidah paling mendasar ini hanya berpuncak pada Itsbâtu'l Khâliq serta Tawhîd Rubûbiyyah dan tidak sampai menetapkan Tawhîd Ulûhiyyah. Artinya, argumentasi Ilmu Kalam dalam hal ini hanya berujung pada “penetapan dan pengesaan Tuhan-Pencipta (Al-Khâliq)”, tidak sampai “penetapan dan pengesaan Tuhan-Sesembahan (Al-Ilâh)”. Padahal sekedar menetapkan adanya “Pencipta dan Pengatur (Rabb)”, seseorang belumlah bisa dianggap sebagai muslim. Sebagaimana Kaum Musyrik Arab di masa Rasulullah saw. juga sudah menetapkan adanya pencipta langit dan bumi yang Esa, akan tetapi dengan sekedar Itsbâtu'r-Rubûbiyyah itu mereka belum bisa dianggap sebagai seorang muslim. Untuk menjadi muslim, seseorang juga harus betul-betul “berserah diri” dengan menetapkan adanya “Tuhan-Sesembahan (Al-Ilâh)” yang merupakan tujuan ibadahnya. Pengakuan dan peribadatan terhadap Sesembahan ini pun tidak akan diterima kecuali dengan menetapkan bahwa Sesembahan itu hanyalah “Satu” semata dan tidak melakukan “Syirik” (Penyekutuan dalam menyembah). Tanpa adanya Tawhîd Ulûhiyyah ini, baris pertama dari Kalimat Syahadat (lâ ilâha illallâh) tidak akan terpenuhi. Jadi di satu sisi, argumentasi Ilmu Kalam tentang keberadaan Pencipta itu lemah; dan di sisi lain, andaikan berhasilpun argumentasi tersebut tidak sampai menetapkan apa yang menjadi pilar paling utama dalam Aqidah Islam dan dakwah Rasulullah.Argumentasi Mutakallimin yang juga dikenal sebagai “dalîlu'l a‘râdl” ini menggunakan pola “argumentasi kosmologis” yang terangkai sebagai berikut : “Alam ini baharu (hâdits; berawal). Sementara, setiap yang baharu pasti punya kausa (penyebab; ‘illah) atas keberadaannya. Jadi, Alam ini pasti punya kausa”. Selanjutnya: “Kausa Alam tersebut pasti salah adalah satu dari dua kemungkinan : sesuatu yang azali (qadîm; tak-berawal), atau sesuatu yang baharu. Jika ia azali, maka itulah Tuhan. Tapi jika ia baharu, maka iapun berarti membutuhkan kausa lainnya dan seterusnya demikian sampai hanya tinggal dua kemungkinan, yaitu

25 | P a g e

Page 26: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

(1) berakhir pada kausa prima yang azali, atau (2) rangkaian (tasalsul) kausa ini terus menerus ke belakang tak-berhingga (infinity regress). Pilihan kedua pasti mustahil, sehingga yang benar hanyalah pilihan yang pertama, yaitu adanya Kausa Prima (al-‘illah al-ûlâ) yang azali. Dan itulah Tuhan”.

Ada dua proposisi dalam rangkaian argumen di atas yang masih membutuhkan pembuktian, yaitu statemen bahwa “Alam ini baharu” dan statemen bahwa “rangkaian kausa tak-berhingga itu mustahil”. Kebenaran proposisi kedua dibuktikan dengan analisa bahwa jika seluruh kausa yang ada dalam rangkaian itu tidak ada yang azali, dan semuanya membutuhkan kausa di luar dirinya yang juga belum ada, maka berarti rangkaian ini tidak akan pernah memunculkan keberadaan sama sekali. Dan ini jelas-jelas bertentangan dengan realitas empiris.

Sedangkan untuk membuktikan proposisi pertama (“Alam itu baharu”), para Mutakallimin menggunakan senarai logika lainnya dengan menyatakan bahwa “Alam ini terdiri dari substansi (jawhar) dan aksiden (a'rdl). Baik substansi maupun aksiden, dua-duanya baharu. Jadi Alam ini pasti baharu”. Substansi adalah sesuatu yang menempati ruangan secara mandiri, sedangkan Aksiden adalah properti yang tidak mandiri dan melekat pada sebuah substansi. Kebaharuan aksiden, dibuktikan dengan aksioma bahwa aksiden itu selalu berganti (lâ yabqâ yamânayn). Dan untuk membuktikan kebaharuan substansi, digunakan senarai logika bahwa “Substansi itu tidak pernah terpisah dari aksiden-aksiden yang baharu dan tidak pernah mendahuluinya. Sedangkan semua yang tidak pernah terpisah dari sesuatu yang baharu, pasti ia juga baharu. Maka berarti substansi pasti baharu, sebab tidak pernah terpisah dari aksidennya yang baharu”.

Ketidakterpisahan Alam dari aksiden yang baharu, dibuktikan dengan aksioma bahwa Alam ini tidak pernah terpisah dari “gerak” atau “diam” (al-harakah wa's sukûn). Sedangkan gerak dan diam adalah dua hal yang baharu. Jadi bisa dipastikan, bahwa Alam ini tidak terpisah dari hal-hal yang baharu. Nah, kalau hal tersebut bisa diterima, maka berarti masih ada satu lagi yang perlu dibuktikan, yaitu proposisi mayornya (“bahwa semua yang tidak terpisahkan dari sesuatu yang baharu, maka pasti ia juga baharu” / “kullu mâ lâ yakhlû mina'l hawâdits, fahuwa hâdits”). Tanpa membuktikan kebenaran proposisi terakhir ini, seluruh senarai logika dalam argumentasi kosmologis di atas tidak akan bisa diterima. Dan di titik inilah terjadi pertentangan serta adu argumen yang tajam antara para Mutakallimin (terutama Muktazilah dan Asy'ariyyah) dengan kalangan Falasifah maupun yang menyatakan keazalian alam (qidamu'l ‘âlam). Di sini, Ibnu Taimiyyah berperan untuk menguji secara analitik nilai kebenaran dari klaim-klaim dan argumentasi-argumentasi kedua kelompok. Juga untuk kemudian membuktikan bahwa kedua-duanya salah secara rasional serta tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran, As-Sunnah, dan aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah. Saikhul islam menyatakan bahwa pendapat yang benar secara rasional maupun tradisional adalah pendapat ketiga yang tidak sama dengan konsepsi Mutakallimin dan tidak juga sama dengan konsepsi Falasifah. Jadi keberhasilan para Falasifah untuk memfalsifikasi (men-takdzîb/membatalkan) konsepsi Mutakallimin, tidak berarti meniscayakan kebenaran konsepsi Falasifah. Begitu juga sebaliknya, keberhasilan para Mutakallimin memfalsifikasi konsepsi Falasifah juga tidak berarti kemenangan konsepsi Mutakallimin, sebab ada “pendapat ketiga” yang merupakan sintesis dari beberapa kebenaran yang ada di konsepsi Mutakallimin dan beberapa kebenaran yang ada dalam konsepsi Falasifah.

Kembali ke argumentasi Mutakallimin di atas, untuk membuktikan proposisi mayor bahwa “kullu mâ lâ yakhlû mina'l hawâdits, fahuwa hâdits” mereka menyatakan bahwa jika Alam ini tak-baharu (azali) dan sekaligus tidak terpisahkan dari aksiden-aksidennya yang baharu, maka berarti ada rangkaian hal-hal baharu yang tak berujung di masa lampau (hawâdits lâ awwala lahâ). Sedangkan hawâdits lâ awwala lahâ itu mustahil, maka berarti proposisi “keazallian Alam” yang meniscayakan statemen ini juga mustahil. Proposisi Kalam “kullu mâ lâ yakhlû mina'l hawâdits, fahuwa hâdits” inilah yang menyebabkan para Mutakallimin akhirnya terpaksa menafikan “qiyâmu'l af‘âl al-ikhtiyâriyyah bi dzâtillâh” (bahwa perbuatan-perbuatan spesifik Allah seperti

26 | P a g e

Page 27: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

“menciptakan” dan “memusnahkan” bukanlah sesuatu yang dilakukan oleh Allah secara langsung”). Basis logika ini jugalah yang kemudian memunculkan doktrin “Kalâm Nafsîy Qadîm” yang menyatakan bahwa Kalam Allah adalah sebuah sifat azali yang tidak terjadi atas kehendak Allah, tapi sudah ada mengiringi Allah seperti sifat “hayâh”. Karenanya, menurut doktrin ini, suara yang didengar oleh Nabi Musa as. di Bukit Suci dan Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu bukanlah Kalam Allah yang sebenarnya, melainkan hanya merupakan penerjemahan (hikâyah atau ‘ibârah) dari “Kalâm Nafsîy” yang azali.

Dalam kritik dan koreksinya, Ibnu Taimiyyah menganalisa bahwa ungkapan “qidamu'l ‘âlam” (keazalian alam) dan “hawâdits lâ awwala lahâ” (hal-hal baharu yang azali) adalah dua ungkapan mujmal (tidak mendetail) yang masih mengandung ambiguitas makna. Keazalian alam dalam pengertian qidamu'n naw‘ (azalinya jinsu'l ‘âlam / “bahwa tidak ada satu masa pun di mana di situ tidak ada makhluk apapun sama sekali”) tentu berbeda dengan keazalian alam dalam pengertian qidamu'l ‘ain (azalinya entitas-entitas tertentu yang ada di alam). Ungkapan “hawâdits lâ awwala lahâ” dalam pengertian “lâ awwala li jinsihâ” (“rangkaian kemunculan makhluk atau kejadian yang tak terputus”) juga tentu berbeda dengan ungkapan serupa dalam pengertian “lâ awwala li a‘yânihâ” (“beberapa makhluk atau kejadian spesifik yang tidak pernah tidak ada”). Kedua ungkapan ini memiliki nilai kebenaran yang berbeda, jadi tidak bisa dipukul rata untuk sama-sama dimustahilkan kemungkinannya. Pernyataan pertama yang berarti “keazalian jenis alam” atau “ketidakberhinggaan rangkaian penciptaan” jelas bukan sesuatu yang mustahil, sebab kapanpun sejak zaman azali sampai zaman abadi Sang Pencipta selalu ada sehingga kemungkinan adanya ciptaan hasil kreasi-Nya juga selalu ada dan tidak pernah mustahil. Jadi tidak ada batas awal ataupun batas akhir yang spesifik untuk kemungkinan adanya makhluk, sebab sebelum batas awal tadi dan setelah batas akhir itu, Allah Swt sudah dan selalu mampu untuk menciptakan makhluk-makhluk jika Dia menghendakinya.

Ketidakjelian Falasifah dan Mutakallimin dalam membedakan antara yang universal (“nau‘”) dengan yang spesifik (“‘ain”) inilah yang menurut Ibnu Taimiyyah telah menyebabkan kedua macam doktrin yang mereka hasilkan menjadi sama-sama tidak valid dan mengandung kekeliruan konseptual. Falasifah menyatakan bahwa ada beberapa entitas spesifik dari alam ini yang tak-berawal dan azali bersama Tuhan, yaitu ‘uqûl (sepuluh intelect), nufûs (sembilan soil), dan aflâk (sembilan bola langit). Di ekstrim yang berseberangan, Mutakallimin menyatakan bahwa sejak zaman azali sampai saat momen diciptakanya makhluk yang pertama kali, Tuhan hanya sendirian dan tidak pernah ada makhluk yang pernah diciptakan-Nya sama sekali. Aliran Muktazilah dan Karramiyyah menyatakan bahwa ketiadaan makhluk sebelum momen itu adalah karena Tuhan “masih mustahil untuk melakukan penciptaan” (“mumtani‘un ‘alayh”). Sedangkan Aliran Kullabiyyah dan Asy'ariyyah menyatakan bahwa ketiadaan makhluk sebelum momen tersebut adalah karena irâdah azaliyyah Tuhan “masih mustahil mewujudkan hasilnya” (“mumtani‘un minhu”). Konsekwensi logisnya, bagi Muktazilah Tuhan di zaman azali “belum mampu untuk mencipta” dan tiba-tiba bisa mencipta pada saat penciptaan makhluk yang pertama. Sedangkan bagi Asy'ariyyah, di zaman azali irâdah Tuhan untuk mencipta belum bisa memujudkan hasil ciptaannya dan tiba-tiba bisa mewujudkan hasilnya pada saat penciptaan makhluk yang pertama. Absurditas konsepsi Asy'ariyyah ini diakibatkan oleh perspektif aksiomatik mereka yang menyatakan bahwa iradâh Allah untuk seluruh kejadian dan makhluk di sepanjang zaman adalah sifat azali yang tunggal dan tidak berbilang.

Diakui maupun tidak, kedua pendapat itu tentu saja mendasarkan kebenarannya pada kemungkinan adanya “tarjîh bilâ murajjih” (“perubahan tanpa sebab”). Dalam konsepsi Muktazilah, Tuhan yang semula tidak mampu mencipta ternyata tiba-tiba bisa mencipta. Dan dalam konsepsi Asy'ariyyah, Tuhan yang semula iradah-Nya belum bisa menghasilkan ciptaan ternyata tiba-tiba bisa mewujudkan hasilnya begitu saja tanpa adanya perubahan apapun. Absurditas logika dan irrasionalitas konsepsi Mutakallimin inilah yang membuat kalangan Falasifah menjadi punya celah besar untuk meruntuhkan bangunan Ilmu Kalam yang semula dimaksudkan oleh para pegiatnya sebagai benteng Aqidah Islam. Sehingga Ibnu Taimiyyah pun menyatakan :

27 | P a g e

Page 28: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

“falâ'l Islâma nasharûhu walâ'l ‘aduwwa kassarrûhu” (“Islam tidak berhasil mereka belakan, dan musuh tidak berhasil mereka kalahkan”). Kegagalan kalangan Mutakallimin untuk merasionalitaskan doktrin kosmologis inilah yang membuat para Falasifah menjadi mengira bahwa doktrin alternatif mereka (“qidamu'l aflâk”) adalah pandangan yang benar—meskipun sejatinya jauh lebih absurd daripada konsepsi yang ditawarkan oleh Mutakallimin.

Solusi konseptual yang disuguhkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam menjawab permasalahan legendaris yang paling mendasar dan paling menggemparkan Dunia Teologi ini adalah sebuah perspektif integral yang berbasis pada ayat-ayat Kitab Suci dan analisa rasional yang bebas syubuhât. Al-Quran menyatakan bahwa Allah Swt. memiliki sifat “fa‘âlun limâ yurîd”, “al-khallâqu'l ‘alîm”, dan “kullu yawmin huwa fî sya'nin”. Ayat-ayat ini menandaskan bahwa secara azali dan abadi, Allah Swt adalah Tuhan yang selalu Maha Mencipta dan tidak pernah tidak mampu ataupun tidak berhasil untuk mewujudkan ciptaan-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lainnya: “afaman yakhluqu ka man lâ yakhluq? Afalâ tadzakkarûn?!”. Akan tetapi, satu persatu dari masing-masing ciptaan-Nya itu tentu saja memiliki titik awal untuk keberadaannya sebab ia tidak mungkin ada sebelum dikehendaki dan diciptakan oleh Allah. Perspektif ini dinyatakan dengan gamblang oleh firman-Nya : “Innamâ amruhu idzâ arâda syai'an an yaqûla lahu ‘Kun!' fa yakûn”. Kemampuan Allah untuk menciptakan makhluk adalah sifat permanen yang selalu bisa secara sempurna untuk menghasilkan efeknya kapan saja sejak azali, dan begitu Allah memfirmankan “Kun!”, maka makhluk atau kejadian yang diciptakan oleh firman itu akan langsung ada seketika dan tidak tertunda. Akan tetapi, satu persatu dari masing-masing makhluk dan kejadian hasil penciptaan Allah ini tentunya tidak mungkin mendahului atau bersamaan dengan pemfirmanan “Kun!”. Jadi “kemungkinan adanya makhluk” itu azali dan abadi, akan tetapi satu persatu dari makhluk-makhluk ini pastilah baharu dan “pernah tidak ada”. Konsepsi ini dinyatakan Ibnu Taimiyyah sesuai dengan kredo para Salaf seperti Nu'aim bin Hammad, Ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Ad-Darimy : “lam yazal mutakalliman idzâ syâ'a matâ syâ'a wa kayfa syâ'a” dan “man lam yakun lahu fi'lun fa huwa mayyitun” atau doa “ya qadîma'l ihsân wa yâ dâima'l jûdi wa'l imtinân!”. Konsepsi ini sekaligus kompatibel dengan berbagai argumentasi eksak yang diajukan oleh Falasifah seperti “kemustahilan tarjîh bi lâ murajjih” serta yang diajukan oleh Mutakallimin seperti “kemustahilan azalinya sebuah makhluk atau efek (ma‘lûl) spesifik”. Penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat “wa kâna'llâhu ghafûran rahîman” dengan menyatakan “ay lam yazal kadzâlik” juga merupakan statemen jelas yang kongruen dengan perspektif ini.

Menyadari akan besarnya efek yang bisa ditimbulkan oleh penerimaan aksioma “kullu mâ lâ yakhlû mina'l hawâdits, fahuwa hâdits” di atas, Ibnu Taimiyyah menyatakan :

“Sesungguhnya saja, yang menyeret para Mutakallimin ini mengatakan pendapat tersebut (penafian shifâh ikhtiyâriyyah) adalah aksioma yang mereka terima dari kalangan Jahmiyyah yang menyatakan bahwa ‘setiap hal yang tidak terpisahkan dari hal-hal baharu pasti juga baharu'. Padahal aksioma ini keliru secara rasional maupun tradisional. Aksioma ini absurd dan bertentangan dengan akal maupun syariat, dan gara-gara penerimaan aksioma inilah para Falasifah serta Dahriyyah itu leluasa menyerang mereka. Jadi Islam tidak berhasil mereka bela, dan musuh Islam pun tidak berhasil mereka kalahkan. Mereka bahkan akhirnya menjadi berseberangan dengan Salaf dan Aimmah, serta merekapun menjadi berseberangan dengan rasio dan syariat. Gara-gara aksioma yang mereka jadikan pilar aqidah ini, mereka menyebabkan berkuasanya Falasifah, Dahriyyah, dan Malahidah atas orang-orang Islam. Andai saja mereka memilih untuk tetap berpegang teguh dengan ajaran yang berasal dari Rasulullah, maka mereka akan (memberikan hasil pemikiran yang) sesuai dengan tradisi sekaligus rasio, dan pilar aqidah mereka akan kuat. Akan tetapi mereka menyia-nyiakan pondasi yang sebenarnya, sehingga mereka pun tidak berhasil mencapai puncak. Pondasi itu tidak lain adalah ‘mengikuti ajaran Rasulullah' “ (Majmû‘ Fatâwâ: VII/85).

28 | P a g e

Page 29: Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

PENUTUP

Senarai gerakan revivalisasi sistematik yang telah dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tersebut adalah hadiah istimewa sekaligus modal besar bagi generasi komtemporer Umat untuk kembali kembali melakukan restrukturisasi bangunan khazanah keilmuannya. Proses analisa kritis yang konstruktif terhadap berbagai metode dan wawasan “asing” yang telah dicontohkan oleh Ibnu Taimiyyah terhadap khazanah keilmuan dari Yunani dahulu itu merupakan sampel terbaik bagi apa yang sekarang dikenal sebagai “islamisasi ilmu pengetahuan”. Akan tetapi, proses penyaringan yang membutuhkan energi ektra tersebut tentulah tidak bisa dikerjakan tanpa terlebih dahulu menggenapkan modal ilmu dan wawasan mendasar yang membuat daya saring kita menjadi akurat dan efektif. Meskipun proses pembekalan ini berat, akan tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil, apalagi jika digarap secara kolektif. Revivalisasi ilmu pengetahuan secara sederhana memang bisa dilakukan dengan membatasi sumber epistemologis kita pada referensi-referensi tradisional yang berasal dari dalam dengan pendekatan metodologis yang tidak diimpor dari luar. Akan tetapi, tuntutan perkembangan zaman telah membuat hegemoni asing berdaya infiltrasi kuat dengan sekian “barang dagang” yang dibawanya itu telah dan terus menyebar serta menyelusup secara pesat. Maka mau tidak mau, proses pertemuan khazanah Islam dengan khazanah luar itu tidak bisa dihindari. Dan dalam situasi sedemikian, adalah sebuah fardlu kifâyah bagi setiap kader dan sarjana Umat untuk berperan serta melakukan penyaringan dan revivalisasi yang akurat terhadap berbagai metodologi dan materi yang tengah menyebar di tubuh Umat. Tulisan ini, barangkali akan sedikit memberikan stimulan berarti untuk proses tersebut. Wa'llâhu'l Musta‘ân!

29 | P a g e