stress dan aksis hpa

32
REFERAT STRESS DAN AKTIVITAS AKSIS HPA Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSD. Dr. Soebandi Jember Pembimbing : dr. H. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S Oleh : Yuyun Mawaddatur Rohmah (082011101034) Andjasti Restuningtyas (092011101076) LAB/SMF SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSD. DR SOEBANDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

Upload: yuchan135

Post on 27-Nov-2015

279 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

REFERAT

SSTTRREESSSS DDAANN AAKKTTIIVVIITTAASS AAKKSSIISS HHPPAA

Disusun untuk melaksanakan tugas

Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Ilmu Penyakit Saraf

RSD. Dr. Soebandi Jember

Pembimbing :

dr. H. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S

Oleh :

Yuyun Mawaddatur Rohmah (082011101034)

Andjasti Restuningtyas (092011101076)

LAB/SMF SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSD. DR SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2014

1

REFERAT

SSTTRREESSSS DDAANN AAKKTTIIVVIITTAASS AAKKSSIISS HHPPAA

Disusun untuk melaksanakan tugas

Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Ilmu Penyakit Saraf

RSD. Dr. Soebandi Jember

Pembimbing :

dr. H. Eddy Ario Koentjoro, Sp.S

Oleh :

Yuyun Mawaddatur Rohmah (082011101034)

Andjasti Restuningtyas (092011101076)

LAB/SMF SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSD. DR SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2014

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ 1

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4

2.1 Anatomi dan Fisiologi ...................................................................................... 5

2.1.1 Hipotalamus ...................................................................................... 5

2.1.2 Kelenjar Hipofisis ............................................................................. 8

2.1.3 Kelenjar Adrenal ............................................................................. 11

2.2 Stres ................................................................................................................ 15

2.2.1 Definisi ............................................................................................ 15

2.2.2 Klasifikasi stres ................................................................................ 16

2.2.3 Etiologi Stres .................................................................................... 17

2.2.4 Mekanisme Stres .............................................................................. 17

2.2.5 Gejala Stres ...................................................................................... 19

2.3 Hubungan Aksis HPA dengan Stres ............................................................... 19

2.3.1 Stres dan Psikopatofisiologik ........................................................... 24

2.3.2 Nilai Prognostik Aktivitas HPA ....................................................... 26

2.3.3 Neuron Degenerasi pada Hiperkortisolisme .................................... 27

2.4 Manajemen Stres ............................................................................................. 28

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I PENDAHULUAN

Stres sering merupakan pemicu yang penting untuk munculnya berbagai

kelainan psikiatri, misalnya depresi, kecemasan dan skizofrenia. Stres dapat

berasal dari luar maupun dari dalam tubuh dalam bentuk fisik (infeksi, neoplasma)

atau psikik (kehilangan sesatu yang dicintai atau yang sangat berharga atau

berhadapan dengan ancaman ). Stres didefinisikan sebagai setiap perubahan fisik

atau psikik yang mengubah keseimbangan atau homeostasis organism. Stres

merupakan suatu ancaman terhadap homeostasis organisme yang membangkitkan

berbagai macam respons adaptasi agar organisme tetap hidup. Respon yang timbul

akibat stres dapat berasal dari susunan saraf otonom maupun saraf somatik, sistem

hormon maupun sistem imun tubuh.

HPA adalah singkatan dari Hipotalamus-Pituitari-Adrenal. Ketiganya ada

di dalam tubuh manusia dan memiliki kerja yang saling timbal balik satu sama

lain. Hipotalamus dapat mengaktifkan kerja kelenjar pituitari dan kemudian akan

mempengaruhi korteks adrenal di ginjal dan membentuk kortisol.

Berkaitan dengan stres, sebetulnya respon akivitas HPA ini harus

ditelusuri lebih tinggi lagi, diatas hipotalamus yaitu sistem limbik oleh karena

berhubungan dengan emosi dan tingkah laku organisme ketika menghadapi stres.

Bagian sistem limbik yang terlibat dalam respon aksis HPA ini adalah

hipotalamus. Paraventriculer nucleus (PVN) ini memproduksi hormon

corticotropin releasing factor (CRF) yang dikeluarkan ke pembuluh darah dan

portahipotalamus pituitari. Selanjutnya CRF mempengaruhi kelenjar pituitari

anterior untuk merangsang pelepasan hormon adrenocorticotropin (ACTH) ke

alam peredaran darah. Bila mencapai kelenjar kortek adrenal ACTH akan

merangsang pelepasan hormon korteks adrenal. Selagi ada stres akan menjadi

peningkatan kegiatan aksis HPA dalam bentuk peningkatan CRF, ACTH kortisol.

Akan tetapi, bila stres berlaku maka aktivitas aksis HPA akan menurun kembali

seperti sebelum ada stres. Hal ini terjadi berkat adanya umpan balik negatif lewat

kortisol yang mencapai hipotalamus dan atau hipokampus dimana di dapatkan

reseptor spesifik untuk hormon korteks adrenalis. Sebaliknya bila kadar kortisol

4

darah sangat rendah maka akan terjadi umpan balik yang positif sehingga sekresi

CRF meningkat dan selanjutnya aktivias HPA meningkat. Jadi kegiatan aksis

HPA dijaga pada tingkatan tertentu oleh mekanisme umpan balik lewat hormon

kortisol.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1.1 Hipotalamus

Hipotalamus merupakan bagian dari system saraf pusat yang paling

kompleks karena kaya dengan hubungan dengan telensefalon, sistem limbik, dan

batang otak. Hipotalamus, mewakili kurang dari 1 persen, massa otak, namun

bagian ini mengatur sebagian besar fungsi vegetatif dan fungsi endokrin tubuh,

juga aspek perilaku emosional.

Hipotalamus terletak pada lantai otak, mengelilingi bagian bawah ventrikel

ketiga. Batas anterior adalah kiasma optika; batas posterior adalah korpus

mamilaris; batas lateral adalah sulcus lateral; dan batas ventrodorsal adalah tuber

cinereum (dasar hipotalamus yang membulat dan memanjang kearah kaudal

hingga tangkai hipofisis). Bentuk hipotalamus memang tidak beraturan, namun

dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu: (1) area hipotalamus dorsal; (2)

area hipotalamik anterior; dan (3) area preoptikus. Hipotalamus adalah kumpulan

nukleus-nukleus spesifik dan serat serat terkait yang terletak dibawah thalamus.

Fungsi-fungsi hipotalamus:

a. Pusat otonom

Hipotalamus merupakan pusat primer sistem otonom. Stimulasi

hipotalamus anterior dan medial menyebabkan aktifitas parasimpatik

(trophotropic) meningkat dengan terjadinya berkeringat, vasodilatasi, salivasi,

hipotoni, nadi turun, kontraksi vesika urinaria, dan peristaltik meningkat.

Stimulasi hipotalamus posterior dan lateral menyebabkan peningkatan aktivitas

simpatik (ergotropic) dengan terjadinya midriasis, hipertensi, takikardi, takipneu,

peristaltik menurun dan hiperglikemia.

b. Pusat pengatur suhu

Hipotalamus anterior sensitif terhadap suhu darah, dan mengatur pelepasan

panas dengan jalan berkeringat banyak,vasodilatasi pembuluh darah kulit dan

pada binatang dengan napas cepat dan dangkal. Sehingga apabila hipotalamus

anterior ini rusak, dapat terjadi hipertermi. Hipotalamus posterior peka terhadap

6

penurunan suhu, dan mengatur mekanisme penyimpanan panas dengan jalan

menaikkan aktivitas viseral, otot somatik dengan menggigil. Kerusakan

hipotalamus posterior menyebabkan terjadinya poikilotermi.

c. Pusat makan

Nukleus ventromedialis merupakan pusat kenyang, kerusakan lokal

nucleus ventromedialis bilateral menyebabkan hiperfagi. Nukleus hipotalamus

lateralis merupakan pusat makan (feeding center). Kedua nukleus ini disebut

appestat.

d. Pusat ekspresi emosi

Nukleus ventromedialis dan lateralis berperan dalam respon takut dan

marah. Pada binatang percobaan marah dapat ditimbulkan dengan merusak kedua

nukleus ventromedialis atau merangsang nukleus lateralis. Namun efek ini tidak

timbul bila sebelumnya kedua amigdala dihilangkan.

e. Pusat tidur dan terjaga

Lesi bilateral hipotalamus anterior menyebabkan insomnia pada binatang

percobaan sedangkan lesi hipotalamus posterior menyebabkan arousable

hipersomnolen.

f. Pusat hadiah dan hukuman (reward dan punishment)

Stimulasi nukleus ventromedialis menyebabkan rasa tidak enak

(unpleasant feeling) sedang, stimulasi nucleus preoptikus menyebabkan rasa

menyenangkan (good feeling).

g. Pusat keseimbangan air

Nukleus supraoptikus berperan dalam mengatur keseimbangan cairan

tubuh. Kerusakan nukleus ini atau kerusakan pada hubungannya dengan hipofisis

menyebabkan diabetes insipidus. Kenaikan tekanan osmosis pada darah yang

menuju nukleus supraoptikus menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik

(vasopresin). Pengaturan sekresi hormon endokrin oleh kelenjar hipofisis anterior

Perangsangan area tertentu hipotalamus juga menyebabkan kelenjar hipofisis

anterior menyekresikan hormon-hormonnya. Kelenjar hipofisis anterior menerima

suplai darahnya terutama dari darah yang mula-mula mengalir melalui

hipotalamus bagian bawah dan selanjutnya memasuki sinus-sinus vaskuler

7

hipofisis anterior. Sebelum aliran darah yang melewati hipotalamus mencapai

hipofisis anterior, berbagai nukleus hipotalamus menyekresikan hormon-hormon

pelepas dan hormon-hormon penghambat ke dalam darah. Selanjutnya hormon-

hormon ini diangkut dalam darah menuju hipofisis anterior, tempat mereka

mempengaruhi sel-sel glandular untuk mengatur pelepasan hormon-hormon

hipofisis anterior. Badan sel neuron yang menyekresi hormon pelepas dan hormon

penghambat ini terutama terdapat di dalam nukleus medial basal hipotalamus.

Akson dari nukleus ini selanjutnya berproyeksi pada eminensia mediana, yang

merupakan pembesaran area tangkai hipofisis (infundibulum) dan akson ini

bermula dari tepi inferior hipotalamus. Di tempat inilah ujung-ujung saraf

menyekresikan hormon pelepas dan hormon penghambatnya. Selanjutnya

hormon-hormon ini diabsorbsi ke dalam kapiler darah di eminensia mediana dan

diangkut ke dalam darah ke bawah sepanjang infundibulum menuju sinus-sinus

vaskular hipofisis anterior. Hampir semua sekresi kelenjar hipofisis diatur baik

oleh hormon atau sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus. Sekresi dari kelenjar

hipofisis posterior diatur oleh sinyal-sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus

dan berakhir pada hipofisis posterior. Sebaliknya sekresi kelenjar hipofisis

anterior diatur oleh hormon-hormon yang disebut hormon (atau faktor) pelepas

hipotalamus dan hormon (faktor) penghambat yang disekresikan ke dalam

hipotalamus sendiri dan selanjutnya dijalarkan ke hipofisis anterior. Di dalam

kelenjar hipofisis anterior, hormon pelepas dan hormon penghambat ini bekerja

terhadap sel kelenjar dan mengatur sekresi kelenjar tersebut. Hipotalamus

selanjutnya menerima sinyal-sinyal dari hampir semua sumber yang mungkin

dalam sistem saraf. Jadi hipotalamus dianggap sebagai pusat pengumpul informasi

mengenai kesehatan dalam tubuh, dan sebaliknya sebagian besar dari informasi ini

digunakan untuk mengatur sekresi sebagian besar hormon hipofisis yang sangat

penting.

8

Gambar 2.1 Anatomi Hipotalamus dan Hipofisis

2.1.2 Kelenjar Hipofisis

Kelenjar hipofisis (pituitari) ini terletak pada dasar tengkorak pada bagian

tulang sphenoid yang disebut sella tursika (Turkish Saddle). Bagian anterior yaitu

tuberkulum sella tursika, diapit oleh dua tonjolan posterior sayap tulang sphenoid

yaitu prosesus klinoideus anterior, dorsum sellae membentuk dinding posterior,

pada sudut atasnya menonjol ke prosesus klinoideus posterior. Kelenjar dilapisi

oleh dura dan atapnya dibentuk oleh lipatan dura yang melekat pada prosesus

klinoideus, yaitu diafragma sellae. Dalam keadaan normal, membrane

arakhnoidea dan cairan serebrospinal tidak dapat masuk sella tursika dengan

adanya diafragma sellae. Tangkai hipofisis dan pembuluh darahnya melewati

lubang pada diafragma ini. Dinding lateral kelenjar secara tidak langsung

berhadapan dengan sinus kavernosus dan dipisahkan oleh duramater. Kiasma

optikum terletak 5-10 mm diatas diafragma sellae dan didepan tangkai kelenjar.

Hipofisis memiliki dua lobus yang secara anatomis dan fungsional

berbeda, hipofisis posterior dan hipofisis anterior. Hipofisis posterior terdiri dari

jaringan saraf dan karenanya dinamai neurohipofisis. Hipofisis anterior terdiri dari

9

jaringan epitel kelenjar dan karenanya juga dinamai adenohipofisis (adeno artinya

“kelenjar”). Hipofisis anterior dan posterior hanya memiliki kesamaan lokasi.

Besarnya kelenjar hipofisis berbeda-beda, dimana lobus anterior terdiri

dari dua pertiga bagian. Ukuran hipofisis kira kira 15 X 10 X 6 mm dan beratnya

500-900 mg. pada kehamilan ukurannya bisa dua kali lipat. Karena bentuk sella

tursika menyesuaikan diri dengan bentuk dan ukuran kelenjar, maka struktur

tulang ini berbeda beda.

Kelenjar hipofisis anterior merupakan kelenjar yang mempunyai banyak

sekali pembuluh darah dengan sinus kapiler yang sangat luas di sepanjang sel-sel

kelenjar. Hampir semua darah yang memasuki sinus ini mula-mula akan melewati

ruang kapiler (capillary bed) pada bagian bawah hipotalamus. Darah kemudian

melewati pembuluh porta hipotalamus-hipofisis kecil ke sinus hipofisis anterior.

Bagian paling bawah dari hipotalamus yang disebut eminensia mediana yang di

bagian inferior berhubungan dengan tangkai hipofisis. Arteri kecil menembus ke

dalam substansi eminensia mediana dan kemudian pembuluh-pembuluh darah

tambahan yang lain kembali ke permukaan eminensia, bersatu untuk membentuk

pembuluh-pembuluh darah porta hipotalamus-hipofisis. Pembuluh-pembuluh

darah ini sebaliknya akan berjalan ke bawah sepanjang tangkai hipofisis untuk

mengalirkan darah ke sinus hipofisis anterior.

10

Gambar 2.2 Hubungan Hipotalamus dan Kelenjar Pituitari Anterior

Neuron-neuron khusus di dalam hipotalamus mensintesis dan mensekresi

hormon pelepas hipotalamus dan hormon penghambat yang mengatur sekresi

hormon hipofisis anterior. Neuron-neuron ini berasal dari berbagai bagian

hipotalamus dan mengirimkan serat-serat sarafnya menuju ke eminensia mediana

dan tuber sinereum, jaringan hipotalamus yang menyebar menuju ke tangkai

hipofisis. Bagian ujung serat-serat saraf ini berbeda dengan ujung serat-serat saraf

umum yang ada di dalam sistem saraf pusat di mana fungsi serat ini tidak

menghantarkan sinyal-sinyal yang berasal dari satu neuron ke neuron yang lain

namun hanya mensekresi hormon pelepas dan hormon penghambat hipotalamus

saja ke dalam cairan jaringan. Hormon-hormon ini segera diabsorbsi ke dalam

kapiler sistem porta hipotalamus-hipofisis dan langsung diangkut ke sinus

kelenjar hipofisis anterior.

11

Hormon pelepas dan hormon penghambat berfungsi mengatur sekresi

hormon hipofisis anterior. Untuk sebagian besar hormon hipofisis anterior, yang

penting adalah hormon pelepas. Hormon-hormon pelepas dan penghambat

hipotalamus yang terpenting adalah Hormon-pelepas tiroid (TRH), yang

menyebabkan pelepasan hormon perangsang tiroid. Hormon-pelepas kortikotropin

(CRH), yang menyebabkan pelepasan adrenokortikotropin. Hormon pelepas

hormon pertumbuhan (GHRH), yang menyebabkan pelepasan hormon

pertumbuhan, dan hormon prnghambat hormon pertumbuhan (GHIH), yang mirip

dengan hormon somatostatin dan menghambat pelepasan hormon pertumbuhan.

Hormon-pelepas gonadotropin (GnRH), yang menyebabkan pelepasan dari dua

hormon gonadotropik, hormon lutein dan hormon-perangsang folikel. Hormon

penghambat prolaktin (PIH), yang menghambat sekresi prolaktin.

Sebagai tambahan, terhadap hormon-hormon hipotalamus ini, sebenarnya

masih ada hormon-hormon lain yang merangsang sekresi prolaktin, dan beberapa

hormon penghambat hipotalamus yang menghambat beberapa hormon hipofisis

anterior lainnya. Sebelum diangkut ke kelenjar hipofisis anterior, semua atau

hampir semua hormon hipotalamus disekresi oleh ujung serat saraf yang terletak

di dalam eminensia mediana. Perangsangan listrik pada daerah ini merangsang

ujung-ujung saraf dan pada dasarnya menyebabkan pelepasan semua hormon

hipotalamus.

2.1.3 Kelenjar Adrenal

Kedua kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kira-kira 4

gram, terletak di kutub superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas dua

bagian yang berbeda, yakni medula adrenal dan korteks adrenal. Medula adrenal,

yang merupakan 20 persen bagian kelenjar terletak di pusat kelenjar, dan secara

fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis; mensekresi hormon-hormon

epinefrin dan norepinefrin sebagai respons terhadap rangsangan simpatis.

Korteks adrenal mensekresi kelompok hormon yang berbeda, yakni

kortikosteroid. Hormon ini seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid, dan

semuanya mempunyai rumus kimia yang sama. Ada dua jenis hormon

12

adrenokortikal yang utama, yakni mineralokortikoid dan glukokortikoid, yang

disekresikan oleh korteks adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga

mensekresi sedikit hormon kelamin, terutama hormon androgen, yang efeknya

pada tubuh hampir mirip dengan hormon kelamin pria testosteron. Disebut

mineralokortikoid karena hormon ini terutama mempengaruhi elektrolit (mineral)

cairan ekstraseluler, terutama natrium dan kalium. Disebut glukokortikoid karena

hormon ini mempunyai efek yang penting dalam meningkatkan konsentrasi

glukosa darah. Glukokortikoid ini juga mempunyai efek tambahan pada

metabolisme protein dan metabolisme lemak yang sama pentingnya untuk fungsi

tubuh dengan efek glukokortikosteroid pada metabolism karbohidrat.

Dari korteks adrenal dapat dikenali lebih dari 30 jenis steroid, namun

hanya dua jenis yang berguna untuk fungsi endokrin manusia: aldosteron, yang

merupakan mineralokortikoid yang utama, dan kortisol, yang merupakan

glukokortikoid yang utama. Korteks adrenal terdiri atas 3 lapisan yang relatif

berbeda. Aldosteron disekresi oleh zona glomerulosa, yang merupakan lapisan

permukaan yang paling luar dan paling tipis. Kortisol dan beberapa

glokokortikoid lain disekresikan oleh zona fasikulata, yakni lapisan tengah, dan

zona retikularis, yang merupakan lapisan terdalam. Keadaan-keadaan yang

meningkatkan pengeluaran aldosteron juga menyebabkan hipertrofi zona

glomerulosa namun tidak akan mempengaruhi kedua zona yang lain. Sebaliknya,

faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya sekresi kortisol dan adrenal

androgen menyebabkan hipertrofi zona fasikulata dan zona retikularis namun

sangat sedikit atau sama sekali tidak mempengaruhi zona glomerulosa; keadaan

ini dapat terjadi bila ada perangsangan kelenjar oleh hormon adrenokortikotropik

(ACTH) dari kelenjar hipofisis anterior.

Semua hormon adrenokortikal merupakan senyawa steroid. Hormon ini

terutama dibentuk dari kolestrol yang diabsorbsi secara langsung dari sirkulasi

darah yakni dengan proses endositosis melewati membran sel. Membran ini

mempunyai reseptor spesifik untuk lipoprotein densitas rendah yang mengandung

kolesterol dengan konsentrasi sangat tinggi, dan proses pelekatan lipoprotein ini

dengan membran akan meningkatkan proses endositosis. Sejumlah kecil

13

kolesterol juga disintesis di dalam sel-sel korteks dari asetil koenzim A. Asetil

koenzim A juga dipergunakan untuk membentuk hormonhormon adrenokortikal.

Pada dasarnya semua tahap pembentukan ini terjadi dalam kedua organel sel

berikut, mitokondria dan retikulum endoplasma, beberapa langkah tadi terjadi

dalam salah satu organel dan beberapa tahap lain terjadi dalam organel lain. Setiap

tahap dikatalisis oleh enzim spesifik. Perubahan satu enzim dalam skema ini dapat

menyebabkan terbentuknya jenis dan jumlah hormon yang sangat berbeda.

Kortisol merupakan glukokortikoid utama yang berperan penting dalam

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, membantu aktivitas hormon lain

serta membantu mengatasi stres. Beberapa fungsi kortisol diantaranya :

- Efek metabolik

Efek keseluruhan dari pengaruh metabolik kortisol adalah meningkatkan

konsentrasi glukosa darah dengan mengorbankan simpanan protein dan lemak.

Secara spesifik, kortisol melaksananan fungsi-fungsi berikut: Merangsang

glukoneogenesis hati, yang mengacu pada perubahan sumber-sumber non

karbohidrat (yaitu asam amino) menjadi karbohidrat di hati. Glukoneogenesis

adalah faktor penting untuk mengganti simpanan glikogen hati dan

mempertahankan kadar glukosa darah yang normal di antara waktu makan.

Penggantian ini penting karena otak hanya dapat menggunakan glukosa sebagai

bahan bakar metaboliknya, namun jaringan saraf sama sekali tidak bisa

menyimpan glikogen. Menghambat penyerapan dan penggunaan glukosa oleh

banyak jaringan, kecuali otak, sehingga glukosa dapat digunakan oleh otak yang

mutlak memerlukannya sebagai bahan bakar metabolik. Merangsang penguraian

protein di banyak jaringan terutama otot. Dengan menguraikan sebagian protein

otot menjadi asam-asam amino konstituennya, kortisol meningkatkan konsentrasi

asam amino darah. Asam asam amino yang dimobilisasi ini siap digunakan untuk

glukoneogenesis atau dipakai di tempat lain yang memerlukannya. Meningkatkan

lipolisis, penguraian simpanan lemak di jaringan adipose, sehingga terjadi

pembebasan asam-asam lemak ke dalam darah. Asam-asam lemak yang

dimobilisasi ini dapat digunakan sebagai bahan bakar metabolik alternative bagi

14

jaringan yang dapat memanfaatkan sumber energi ini sebagai pengganti glukosa,

sehingga glukosa dapat dihemat untuk otak.

- Efek permisif

Kortisol sangat penting karena sifat permisifnya. Sebagai contoh kortisol

harus ada dalam jumlah yang adekuat agar katekolamin dapat memicu

vasokonstriksi. Seseorang yang tidak memiliki kortisol, jika tidak diobati, dapat

mengalami syok sirkulasi pada situasi-situasi stres yang memerlukan

vasokonstriksi luas yang segera.

- Peran dalam adaptasi terhadap stres

Kortisol berperan penting dalam adaptasi terhadap stres. Stres mengacu

pada respon umum nonspesifik tubuh terhadap setiap faktor yang mengalahkan,

atau akan mengalahkan, kemampuan kompensatorik tubuh dalam

mempertahankan homeostasis. Jenis-jenis rangsangan pengganggu berikut ini

menggambarkan beragamnya faktor yang dapat menimbulkan respon stres: fisik

(trauma, pembedahan, panas atau dingin hebat), kimia (penurunan pasokan O2,

ketidakseimbangan asam-basa), fisiologis (olahraga berat, syok perdarahan,

nyeri), psikologis atau emosi (rasa cemas, ketakutan, kesedihan), dan sosial

(konflik pribadi, perubahan gaya hidup. Semua jenis stres adalah perangsang kuat

untuk sekresi kortisol. Walaupun peran pasti kortisol dalam adaptasi terhadap

stres belum diketahui, penjelasan berikut ini mungkin memadai walaupun bersifat

spekulatif. Manusia primitif atau hewan yang terluka atau mengahadapi situasi

yang mengancam nyawa akan menunda makan. Efek kortisol yang menyebabkan

perubahan dari simpanan protein dan lemak menjadi penambahan simpanan

karbohidrat dan peningkatan ketersediaan glukosa darah akan membantu

melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa terpaksa ini. Di samping itu,

asam-asam amino yang dibebaskan oleh penguraian protein akan dapat digunakan

untuk memperbaiki jaringan yang rusak apabila terjadi cedera fisik. Dengan

demikian, terjadi peningkatan ketersediaan glukosa, asam amino, dan asam lemak

untuk digunakan apabila diperlukan.

15

Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus-Pituitari-Kelenjar Adrenal

2.2 STRES

2.2.1 Definisi

Stres adalah suatu reaksi tubuh dimana mengganggu equilibrium

(homeostasis) fisiologi normal. Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor

psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara

bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan

yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap

stres; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus

yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, 2003). Jadi stres adalah

suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik

16

(badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak

terkontrol.

Konsep milieu interieur (lingkungan internal tubuh), yang pertama kali

diajukan oleh Fisiologis Perancis, Claude Bernard. Dalam konsep ini, ia

menggambarkan prinsip-prinsip keseimbangan dinamis. Dalam keseimbangan

dinamis, kekonstanan, kondisi mapan (situasi) di lingkungan badan internal,

sangat penting untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, perubahan dalam

lingkungan eksternal atau kekuatan eksternal yang mengubah keseimbangan

internal harus bereaksi dan mengkompensasi supaya organisme dapat bertahan

hidup. Contoh kekuatan eksternal adalah seperti suhu, konsentrasi oksigen di

udara, pengeluaran energi, dan keberadaan predator. Selain itu, penyakit stres juga

mengancam keseimbangan lingkungan internal tubuh.

Ahli saraf Walter Cannon menciptakan istilah homeostasis untuk lebih

menentukan keseimbangan dinamis yang telah dijelaskan Bernard. Dia juga

adalah yang pertama untuk memperkenalkan bahwa stresors dapat berupa

emosional maupun fisik. Melalui eksperimen, dia menunjukkan respons "fight or

flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya,

Cannon juga mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan

neurotransmitters dari kelenjar adrenal, pars medula. Medula adrenal

mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai

adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan

neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight",

misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain.

Seterusnya, Hans Selye, seorang ilmuwan awal yang mempelajari stres, melanjut

pengamatan Cannon. Beliau mengatakan bahawa selain daripada respons tubuh,

semasa stres kelenjar pituitari juga memainkan peranan. Dia menggambarkan

kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam

respon fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang

dikenal sebagai korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah

tegangan dari fisika dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama

yang terjadi di setiap bagian tubuh, fisik atau psikologis." Dalam eksperimennya,

17

Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus yang terkena

tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus gastrointestinal

dan atrofi sistem imun. Beliau menerangkan ini sebagai suatu proses adaptasi

umum (penyesuaian) atau sindrom stres. Ia menemukan bahwa proses ini adaptif,

penyesuaian yang sesuai dan normal untuk organisme dalam menangkal stres.

Proses adaptif yang berlebihan, dapat merusak tubuh.

2.2.2 Klasifikasi Stres

Menurut Hans Selye dalam Girdano (2005) mengatakan bahwa terdapat

dua jenis stres, yaitu eustres dan distres. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap

stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal

tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan

dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance

yang tinggi. Ini adalah semua bentuk stres yang mendorong tubuh untuk

beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika tubuh

mampu menggunakan stres yang dialami untuk membantu melewati sebuah

hambatan dan meningkatkan performa, stres tersebut bersifat positif, sehat, dan

menantang.

Di sisi lain, distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat

tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk

konsekuensi individu terhadap penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran

(absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan,

dan kematian. Distres adalah semua bentuk stres yang melebihi kemampuan untuk

mengatasinya, membebani tubuh, dan menyebabkan masalah fisik atau psikologis.

Ketika seseorang mengalami distres, orang tersebut akan cenderung bereaksi

secara berlebihan, bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal.

2.2.3 Etiologi Stres

Penyebab stres dikenali sebagai stresor. Antara penyebabnya adalah,

fisik,psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri individu, seperti

suara, polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik

18

yang terpaksa. Pada stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu biasanya

yang bersifat negatif seperti frustasi, kecemasan (anxiety), rasa bersalah, kuatir

berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu, rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa

rendah diri, sedangkan stresorsosial yaitu tekanan dari luar disebabkan oleh

interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial yang bersifat

traumatik yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang dicintai,

kehilangan pekerjaan, pensiun, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah dan

lain-lain.

2.2.4 Mekanisme stres

Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres:

1) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang

mengurangi intensitas respons stres.

2) Prediktabilitas: Stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang

tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.

3) Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi Stresor saat ini dapat

meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.

4) Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat anxietas

dapat menambah atau mengurangi respons stres.

Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya

mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem

korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari

hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang

berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan

denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal

ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah.

Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat

kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah

hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang

dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi

pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula

19

darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan

sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui

aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik

berperan dalam respons fight or flight.

2.2.5 Gejala stres

Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan,

kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam

(kebencian), sensitif dan hiperreaktivitas, memendam perasaan, penarikan diri,

depresi, komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan

dan ketidakpuasan kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan

kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya

rasa percaya diri. Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres adalah:

meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami

penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh:

adrenalin dan noradrenalin), gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan

lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan, kelelahan

secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic

fatigue syndrome), gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang

ada, gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah,

ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko

tinggi kemungkinan terkena kanker.

Gejala-gejala perilaku dari stres adalah: menunda, menghindari pekerjaan,

dan absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas,

meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan, perilaku sabotase

dalam pekerjaan, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan), mengarah ke

obesitas, perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk

penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan

berkombinasi dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan

berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi,

meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas

20

hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk

melakukan bunuh diri. Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa

untuk satu orang tidak semestinya dianggap sebagai stres oleh yang lain.

Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan berbeda pada setiap individu.

2.3 HUBUNGAN AKSIS HPA DAN STRES

HPA aksis adalah bagian utama dari sistem Neuroendokrin (Saraf pada

hormon) yang mengontrol reaksi terhadap stres dan pula memiliki fungsi penting

dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan

tubuh, suasana hati, emosi, seksualitas, dan penyimpanan penggunaan energi.

Sumbu HPA juga terlibat dalam gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pasca-

traumatic stres disorder, depresi klinis, kelelahan dan sindrom iritasi usus besar.

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Stres

21

Perangsangan sistem limbik menimbulkan efek otonom khususnya pada

perubahan tekanan darah dan pernafasan. Respon ini timbul pada perangsangan didaerah

sistem limbik, sedikit sekali bukti yang menunjukkan lokasi yang menghasilkan

respon otonom pada sistem limbik. Respon otonom merupakan bagian dari fenomena

yang lebih kompleks khususnya respon emosi dan perilaku. Perangsangan nuklei

amigdaloid menimbulkan gerakan mengunyah dan menjilat serta kegiatan lain yang

berhubungan dengan makan. Kerusakan amigdala mungkin menimbulkan hiperfagia

ringan dan kecenderungan untuk memakan segala makanan tanpa kecuali, kemungkinan

karena tidak adanya kemampuan untuk membedakan antara obyek yang dapat dimakan dan

tidak dapat dimakan.

Peningkatan kegiatan aksis HPA akibat stres dihantarkan lewat pelepasan

CRF dari sel PVT hipotalamus. Selain meningkatkan aksis HPA, CRF juga

meningkatkan aktivitas saraf simpatis lewat locus coeruleus (LC), respon imun

lewat imfosit dan perubahan behavior lewat hipokamus. Sekresi CRF dari sel

neuron PVN dikendalikan oleh beberapa jenis saraf yang terdapat disitu, antara

lain GABAergik, kolinergik, serotoninergik dan adrenegik. Pengaruh saraf-saraf

tersebut dapa dilihat daari hasil intervensi bahan atau obat yang meningkatkan dan

menurunkan kegiatan aksis HPA sebagai berikut.

Aktivitas aksis HPA meningkat Aktivitas aksis HPA menurun

- Alfa metal meta tyrosin

- FLA 63

- Resrpin

- Fentolamin

- Fenoxibenzamin

- Guanetidin

- Amfetamin

- Metamfitain

- I-dopa

- Ipronazid

- Clonidin

- Serotonin

- 5 HTP

- Ipsapiron

- Ciproheptadin

- Pendolol

- Ach

- Fisostigmin

- Atropine

- Metskoplamin

Tabel 1.1 Obat-obat yang mempengaruhi Peningkatan dan Penurunan Aksis HPA

22

Tabel 2.2 Keadaan dimana Terjadi Peningkatan dan Penurunan Aktivitas HPA

Secara singkat data intervensi obat tersebut dapat disimpulkan :

1. Pengaruh saraf adrenergik terhadap kegiatan aksis HPA adalah sebaliknya

dari pengaruh saraf kolinergik. Aksis HPA diaktifkan oleh penurunan

kegiatan saraf adrenergik atau kenaikan saraf kolinergik dan sebaliknya.

2. Pengaruh saraf serotoninergik terhadap kegiatan aksis HPA adalah mirip

dengan saraf kolinergik dan belawanan dengan saraf adrenergik.

Selain daripada itu, ditunjukkan juga pentingnya peran saraf GABAergik

terhadap aksis HPA. Stres yang menimbulkan kenaikan sekresi CRF dapat

dicegah bila sebelum dilakukan stres diberikan benzodiazepine atau bahan lainnya

yang bersifat GABA agonist. Oleh karena GABA dikenal sebagai

neurotransmitter penghambat di dalam SSP maka hambatan sekresi CRF dan

kegiatan aksis HPA merupakan bagian dari fungsinya. Pemberian obat carbolin

(GABA antagonist) menyebabkan kenaikan sekresi CRF. Stres berat dan stres

berkepanjangan dapat menurunkan fungsi GABAergik sehingga peran inhibisinya

23

berkurang dan timbul kenaikan sekresi CRF dan aktivitas aksis HPA. Keadaan ini

dialami oleh penderita kecemasan (anxiety) akibat stres yang gejalanya antara lain

kecemasan dan hiperkortisolemia. Pemberian obat gologan benzodiazepin dapat

menghilangkan kedua gejala. Peran saraf serotoninergik terhadap sekresi CRF dan

aktvitas aksis HPA agak berbeda namun mirip saraf GABAergik. Saraf

serotoninergik yang bersangkutan dengan fungsi sekresi CRF berasal dari

hipokampus. Reseptor serotonin (R=5HT) terutama dari jenis R-5HT 1A, banyak

terdapat di PVN hipotalamus dan hipokampus berdekatan dengan reseptor

glukokortikoid (GR) dan mineralokortikoid (MR). diduga akibat stres terjadi

peningkatan release serotonin dan kegiatan aksis HPA yang bila berlangsung

berkepanjangan menyebabkan jumlah reseptor menurun baik reseptor MR, GR

maupun R-5HT A1 di PVN dan hipokampus. Pemeriksaan elektrofisiologis dan

PET scan mennjukan adanya korelasi yang positif penurunan jumlah ketiga

macam reseptor tersebut. Hal yang sama mungin terjadi pada saraf adenergik,

dalam arti perannya sebagai pengatur tonus inhibisi terhadap CRF dan aktivitas

HPA.

Gambar 2.5 Fisiologi Stres

24

2.3.1 Stres dan Psikopatofisiologik

Dalam kehidupan sehari-hari orang tidak pernah bebas dari stres, fisik

maupun psikik. Persepsi orang terhadap stres yang sama bisa berbeda,

dipengaruhi faktor bawaan dan lingkungan pengalaman hidup setiap individu.

Oleh karena itu respons setiap orang terhadap satu stres juga bisa berbeda. Seperti

telah dipaparkan sebelumnya, maka stres dapat merangsang timbulnya respons

kegiatan aksis HPA. Respons aksis HPA ini akan segera hilang dan normal berkat

adanya mekanisme umpan balik lewat kortisol yang mencapai reseptornya di

hipotalamus dan atau hipokampus. Bagaimanapun besarnya atau lamanya stres

berlangsung tidak akan terjadi gangguan homeostasis manakala mekanisme

umpan balik tersebut masih berfungsi normal. Peningkatan sekresi CRF sebagai

respons terhadap stres akan memacu kegiatan neuron LC yang selanjutnya

mengaktifkan sistem adrenergik. Umpan balik negatif dari aksis HPA ini

ditingkatkan oleh kegiatan sistem adrenergik akan mengakibatkan refleks

simpato-adrenal untuk melepaskan adrenalin dan noreadrenalinnya yang akan

mengakibatkan orang untuk bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Pada

tingkat ini gejala psikiatri yang muncul adalah reaksi cemas atau anxietas,

ditandai dengan penurunan kegiatan sistem saraf GABAergik, peningkatan sistem

saraf adrenergik dan serotoninergik dan aksis HPA.

25

Gambar 2.6 Aksis HPA dengan Stres

Stres yang berlangsung terus berkepanjangan pada suatu ketika tidak lagi

mampu dikompensasi oleh mekanisme umpan balik. Keadaan ini timbul akibat

degenerasi neuron-neuron yang rentan terhadap peningkatan kadar kortisol secara

berlebihan. Neuron yang rentan terhadap kortisol justru neuron yang mengandung

reseptor kortisol, serabut serotonin dan noradrenalin dengan akibat rusaknya

mekanisme umpan balik aksis HPA.

Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat

emosi yang terletak di saraf pusat. Dari sini, akan dialirkan ke organ tubuh melalui

saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri adalah kelenjar dan terjadilah

26

perubahan keseimbangan, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan

fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan telah

menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis

seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Aksis), HPT (Hypothalamic-

Pituitary-Thyroid Aksis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Aksis). HPA

merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti.

2.3.2 Nilai prognostik aktivitas HPA

Salah satu ciri depresi endogen adalah adanya peningkatan berlebihan

kegiatan aksis HPA. Manifestasinya adalah kenaikan kadar kortisol. ACTH dan

CRF dalam cairan tubuh. Dexamethazone supression test (DST) yang dulu

digunakan untuk membedakan reaksi depresi dengan depresi endogen ternyata

berkembang menjadi suatu cara untuk meramal prognosa dan menilai

keberhasilan pengobatan depresi. Pada penderita depresi endogen DST tidak

menimbulkan pengaruh atau hanya sedikit menekan sekresi kortisol, sedangkan

penderita reaksi depresi DST memberi penurunan drastis terhadap sekresi kortisol.

Hasil pengobatan suatu obat anti depresi ditandai dengan respons supresi yang

mendekati normal pada DST, sedangkan DST yang negatif mengindikasikan

kegagalan terapi atau sembuh sebentar kemudian kambuh dengan cepat. Obat anti

depresi golongan serotonin dan adrenergik agonis akan menurunkan aktivitas

aksis HPA disamping perbaikan klinis depresinya demikian juga halnya obat yang

bersifat atropin. Obat yang bersifat atropin like action atau kolinergik antagonis

menimbulkan perbaikan kegiatan aksis HPA dan depresinya. Yang agak aneh

adalah obat tianeptine yang merupakan obat anti depresi, juga memperbaiki

aktivitas aksis HPA, namun bekerjanya justru menaikkan uptake serotonin dari

celah sinap dibawa ke dalam sel neuron, berlawanan dengan obat konvensional.

27

2.3.3 Neuron Degenerasi pada Hiperkortisolisme

Telah lama diketahui terjadinya atrofi jaringan otak pada penderita

hiperkortisolisme oleh berbagai macam sebab. Atrofi jaringan otak manusia di

daerah hipokampus terjadi pada penderita-penderita depresi berulang, kelainan

depresi sesudah trauma, penuaan sebelum demensia, demensia, sindrom Cushing,

dan skizofrenia. Pada semua kasus tersebut, didapatkan peningkatan kadar

glukokortikoid dalam cairan tubuhnya sehingga diduga terkait sebagai penyebab

degenerasi neuron hipokampus. Peningkatan usia disertai kenaikan aktivitas aksis

HPA, terutama di atas 75 tahun, didapatkan gangguan fungsi memori dan kognisi.

Terjadi atrofi hipokampus sekitar 10-14% dapat ditunjukkan pada pemeriksaan

MRI. Hampir semua penderita depresi menunjukkan adanya defisit memori dan

belajar pada tes-tes neuropsikologi. Kenaikan kognisi ini diduga termasuk gejala

depresi yang akan membaik manakala depresinya sembuh. Ternyata kognisi tetap

jelek sesudah keberhasilan pengobatan. Disamping itu, degenerasi ditemukan

korelasi yang positif antara hiperkortisolemia dengan pengecilan volume

hipokampus pada pemeriksaan MRI dari penderita depresi.

Penderita sindrom Cushing yang mensekresi kortisol berlebihan

didapatkan gangguan kognisi dan akan membaik bila kadar kortisol direndahkan.

Pada penderita demensia alzheimer didapat kenaikan kegiatan aksis HPA, dimana

terdapat korelasi pengecilan hipokampus dari MRI dan aktivitas HPA. Degenerasi

neuron hipokampus pada penderita alzheimer terjadi 10 tahun lebih dini sebelum

gejala kegagalan intelektual terdeteksi.

Hipokampus berperan penting dalam proses memori deklaratif dan spatial,

disamping mengatur repon emosi dan regulasi aksis HPA. Struktur neuronnya

plastis, rentan rusak, dan banyak mengandung reseptor-reseptor kortisol. Dalam

kondisi normal reseptor akan berfungsi sebagai pengatur mekanisme umpan balik

kegiatan aksis HPA. Degenerasi neuron ini bila cukup luas akan mengganggu

fungsi kontrol mekanisme umpan balik kegiatan HPA dan selanjutnya

hiperkortisolemia menjadi lebih hebat dan degenerasi neuron akan terus

berlangsung. Kenaikan kortisol akut sesudah pemberian steroid peroral pada

manusia dan pemberian stres pada hewan menimbulkan hambatan proses

28

pembentukan memori. Pemeriksaan PET scan di hipokampus ketika

hiperkortisolemia menunjukkan uptake glukosa. Selain glukosa, kerusakan neuron

hipokampus diduga berkaitan dengan peningkatan influks kalsium dan beberapa

neurotransmitter antara lain serotonin, GABA, dan glutamat lewat reseptor

NMDA (N-Metil-D-Aspartat). Terlepas dari mekanisme terjadinya degenerasi

neuron hipokampus akibat hiperkortisolemia, proses tersebut memerlukan waktu

3-4 tahun. Bilamana gangguan kognisi muncul lebih awal biasanya masih bersifat

reversibel. Dari beberapa penelitian awal ditunjukkan fenitoin dan tianeptine

dapat memulihkan gangguan kognisi yang reversibel tersebut.

2.4 Manajemen Stres

Manajemen stres adalah kemampuan untuk mengendalikan diri ketika

situasi, orang-orang, dan kejadian-kejadian yang ada memeberi tuntutan yang

berlebihan. Berikut beberapa langkah menghadapi stres:

a. Mengenali stress

Gejalanya antara lain gejala mental, fisik, dan sosial

b. Mencari bantuan

Lingkungan seperti teman, tim konseling, kelompok dukungan serta

mendekatkan diri pada Tuhan.

Beberapa cara manajemen stres:

a. Belajar cara untuk merelaksasi tubuh Anda

b. Jangan membebani diri berlebihan, bercerita, terlalu fokus pada masalah kecil,

secara selektif, ubahlah cara anda bereaksi, dan hindari reaksi yang berlebihan

c. Ubahlah cara pandang Anda

d. Tidur cukup

e. Hindari pemakaian obat yang tidak perlu

f. Latihan relaksasi

Beberapa terapi farmakologi pada penderita anxietas:

Golongan Benzodiazepine sebagai obat anti-anxietas mempunyai ratio

terapeutik lebih tinggi dan lebih kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas

yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau phenobarbital.

29

Disamping itu, phenobarbital meng-induksi enzim mikrosomal di hepar,

sedangkan golongan benzodiazepine tidak.

Golongan Benzodiazepine = “drug of choise” dari semua obat yang

mempunyai efek anti-anxietas, disebabkan spesifitas, potensi dan

keamanannya.

Spektrum klinis Benzodiazepine meliputi efek anti-anxietas, antikonvulsan,

anti-insomnia, premedikasi tindakan operatif.

- Diazepam / Chlordiazepoxide : “broadspectrum”

- Nitrazepam / Flurazepam : dosis anti-anxietas dan anti-insomnia berdekatan

(non dose-related), lebih efektif sebagai anti-insomnia.

- Midazolam : onset cepat dan kerja singkat, sesuaikebutuhsn untuk premedikasi

tindakan operatif.

- Bromazepam, Lorazepam, Clobazam : dosis antianxietas dan anti-insomnia

berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.

Beberapa spesifikasi :

- Clobazam = 1,5 benzodiazepine = “psychomotor performance” paling kurang

terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang ingin tetap aktif.

- Lorazepam = “short half life benzodiazepine & no significant drug

accumulation at clinical dose”, untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi

hati dan ginjal.

- Alprazolam = efektif untuk anxietas antisipatorik, “onset of action” lebih cepat

dan mempunyai komponen efek anti-depresi.

- Sulpiride-50 = efektif untuk meredakan gejala somatik dari sindrom anxietas

dan paling kecil resiko ketergantungan obat.

30

KESIMPULAN

Stres dapat merangsang timbulnya respons kegiatan aksis HPA. Respons

aksis HPA ini akan segera hilang dan normal berkat adanya mekanisme umpan

balik lewat kortisol yang mencapai reseptornya di hipotalamus dan atau

hipokampus. Bagaimanapun besarnya atau lamanya stres berlangsung tidak akan

terjadi gangguan homeostasis manakala mekanisme umpan balik tersebut masih

berfungsi normal. Peningkatan sekresi CRF sebagai respons terhadap stres akan

memacu kegiatan neuron LC yang selanjutnya mengaktifkan sistem adrenergik.

Umpan balik negatif dari aksis HPA ini ditingkatkan oleh kegiatan sistem

adrenergik akan mengakibatkan refleks simpato-adrenal untuk melepaskan

adrenalin dan noreadrenalinnya yang akan mengakibatkan orang untuk bersiaga

menghadapi segala kemungkinan. Pada tingkat ini gejala psikiatri yang muncul

adalah reaksi cemas atau anxietas.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Graeff, FG dan Junior, HZ. 2010. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis in

anxiety and panic. Psychology and neuroscience 3(1): 3-8.

2. Guilliams, Thomas and Edwards, Lena. 2010. Chronic Stress and the HPA

Axis: Clinical Assessment and Therapeutic Considerations. Point Institute of

Nutraceutical Research Vol.9 (2): 1-12.

3. Joesoef, AA. 1999. Stress dan Aktivitas Aksis HPA. Majalah Aksona No. 02

Th XIV Hal: 21-27.

4. Nugroho, Taufik Eko; Pujo, Jati Listiyanto; Nurcahyo, Widya Istanto. 2011.

Fisiologi dan Patofisiologi Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal. Semarang.

Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume III, Nomor 2.

5. Olson, Kelly et al. 2011. The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis: The

Actions of the Central Nervous System and Potential Biomarkers. Anti-Aging

Therapeutics Volume XIII, 91-100. American Academy of Anti-Aging

Medicine; Chicago, IL USA. Chapter 10: 91-100.

6. Rohleder, Nicolas. The Hypothalamic–Pituitary–Adrenal (HPA) Axis In

Habitual Smokers Nicolas Rohleder, Clemens Kirschbaum. International

Journal of Psychophysiology 59: 236-243.

7. Sondeijker, Frouke et al. 2007. Disruptive Behaviors And HPA-Axis Activity In

Young Adolescent Boys And Girls From The General Population. F.E.P.L.

Sondeijker et al. Journal of Psychiatric Research 41: 570–578.