stomata #3 40pp

40
EDISI III/ DESEMBER 2013 Sekitar Sastra dan Lainnya

Upload: stomata

Post on 26-Mar-2016

296 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Dari Redaksi untuk Edisi III Akhir tahun yang gempita. Desember. Sesederhana itulah sajak: di dalamnya bisa turun hujan. Bisa terjadi letusan Merapi yang begitu rindu. Cuma istilah-istilah sederhana dari representasi pengalaman manusia. si penyair yang mengungkapkan hasrat-hasratnya dengan cara lain. Pada edisi ini, kita akan menemui Ulfatin Ch dalam sajak-sajaknya yang lirih. di halaman lain, ada Jokpin yang riang. Ia hanya ingin menjadi puisi yang tak dikenal siapa penulisnya. Orang-orang ini hanya berhasrat menulis, itu saja. sebisa mungkin. Rasanya, itu harapan setiap penyair, tukas Jokpin. Saksikan juga bagaimana Hamsad Rangkuti menuliskan hal-hal kecil di sekitar rakyat, tetapi itu ditulisnya dengan mendalam dan detail. Cara menulis yang umum, tapi dikuasainya dengan mahir. Rasa-rasanya edisi ini belum, masih belum cukup menjadi jembatan bagi orang-orang yang berhasrat menulis. Ada semacam gundah; sampai dimanakah? Selamat Membaca.

TRANSCRIPT

Page 1: Stomata #3 40pp

EDISI III/ DESEMBER 2013

Sekitar Sastra dan Lainnya

Page 2: Stomata #3 40pp

Edisi III | Tahun I | Desember 2013

Sampul:Anwar HusainJudul: Ambarkhana IWatercolour on Paper, 30” x 22”http://www.indiaart.com/

Redaksi

Irsyad Ridho, Hamzah Muhammad, Lutfy Mairizal Putra, Larissa Huda, Amar Ar-risalah, Watip, Mussab Askarullah, Rahmat Mustakim, Donni Ahmadi

KomikRidwan

Penata LetakLarissa Huda

KontributorAbi Rafdi, Abu Wafa, M. Aji S., Rianto, Bella Purnama, Komarudin, Ghea Artha.

[email protected]

Twitter@stomata_

Kontak: Hamzah Muhammad (08561662215) Lutfy Mairizal (085697340277)

Catatan untuk KontributorSTOMATA menerima sumbangan tulisan bebas berupa esai, kritik, cerpen, dan sajak maksimal 7000 karakter tanpa spasi lengkap dengan catatan atau referensi yang jelas. Selain itu juga menerima sketsa, foto, atau ilustrasi dengan format hitam-putih atau warna dengan tema bebas.

Dari Redaksi

Akhir tahun yang gempita. Desember. Sesederhana itulah sajak: di dalamnya bisa turun hujan. Bisa terjadi letusan Merapi yang begitu rindu. Cuma istilah-istilah sederhana dari representasi pengalaman manusia. si penyair yang mengungkapkan hasrat-hasratnya dengan cara lain. Pada edisi ini, kita akan menemui Ulfatin Ch dalam sajak-sajaknya yang lirih. di halaman lain, ada Jokpin yang riang. Ia hanya ingin menjadi puisi yang tak dikenal siapa penulisnya.

Orang-orang ini hanya berhasrat menulis, itu saja. sebisa mungkin. Rasanya, itu harapan setiap penyair, tukas Jokpin. Saksikan juga bagaimana Hamsad Rangkuti menuliskan hal-hal kecil di sekitar rakyat, tetapi itu ditulisnya dengan mendalam dan detail. Cara menulis yang umum, tapi dikuasainya dengan mahir.

Rasa-rasanya edisi ini belum, masih belum cukup menjadi jembatan bagi orang-orang yang berhasrat menulis. Ada semacam gundah; sampai dimanakah? Apakah kita akan menjadi puisi yang tak dikenal siapa penulisnya? Barangkali masih terlalu dini buat mereka yang gemar menulis. Ini Cuma edisi sederhana. Tetapi, ini pelan-pelan memecah batas-batas ekspresi dan apresiasi mahasiswa. Akhir kata, selamat menunaikan ibadah puisi.

Selamat membaca.

Daftar IsiSAJAK: Mawar Hitam 1 & 2, Sembilan, Manusia Tercipta, Orang Gila di Jendela, Romantisme Hujan (3-5) | KRITIK: Puisi yang Dingin dan Kata Hujan (6) | LIPUTAN: G-Sastrasia: Seminar Nasional di Bulan Bahasa, Lukisan Aisul dan Kemungkinan Spiritual (9)| KAMPUS: Kampus,Sastra, dan Ruang Terbatas (12)| NOSTALGIA: Puing Kenangan (16)| ESAI: Membaca Hamsad Rangkuti (21)| CERPEN: Alann Klitckhof (24)| BUKU: Membaca Kembali Karl May di Dunia Seribu Pilihan (28) | FILM: Pertaruhan CInta,Kepercayaan, dan Kesetiaan (31) | TOKOH: Joko Pinurbo (34) | ALI TOMPEL (39) | AGENDA (40)

Page 3: Stomata #3 40pp

SSAJAKS

3

Ketika rindu ranumIa jelma menjadi sembilu

Seperti berpeluh kasihBidadari imaji

Hitam kasih menyayatKemesraan damai

Bunga-bunga batu mawar hitamSeketika menumbuhi beranda asmara kita

2013

Kurasakan angin gersang yang kau tiupMerangkak ke sela-sela jendela kulitku

Kau congkel mata iniDengan air matamu

Kau tinggalkan genggam ini Pada bingkai kita

Bahkan, kau patahkan kaki ini untukSekedar menengokmu

Kau tinggalkan perih di bahukuAda jarak antara bibir dan langkah kita

2013

Mawar HitamM. Aji Saputra

Jika boleh berkhayal,Aku ingin menghidupkan angka tigaSayapnya bisa membawa terbang kemana-mana

Namun, ketika raporku ada angka tigaIbu marah, terlebih ayah“kau harus dapat angka sembilan,Jika tidak, kau tidak aku sekolahkan lagi.”

Rapor berikutnya, meningkat dapat enamIbu sedikit bangga, berbeda dengan ayah“Sembilan! Bukan enam!”Aku hendak membela, “enam sama saja dengan enam jika diputar.” Tapi tak bisa di depan ayah

aku belajar lebih tekun dan giatdan akhirnya, ada angka sepuluh di raporkuibu langsung sumringah, ayah lagi-lagi marah“Aku minta sembilan! Apa kau ingin menjadi Tuhan!”

2013

SEMBILANAbu Wafa

M. Aji SaputraMawar Hitam 2

M. AJI SAPUTRA. Mahasiswa JBSI angkatan 2012. Mahasiswa yang pada awalnya minim sastra, kini menyukai beragam kegiatan apresiasi sastra.

Page 4: Stomata #3 40pp

S SAJAKS

4

“Manusia tercipta dari tanah liat.”Guru agama menjelaskan di depan kelasSepulang sekolah, lantas aku ke pengrajinnyaAku tunggu manusia tercipta dari sana

“Dari mana saja kau? Magrib baru pulang?”Penantianku sia-sia, malah kena marah ayahIbu di belakangnya, memegang pundaknya, menenangkanAku malu menjawabnya, namun mungkin ayah tahu jawabannya

“Aku hanya ingin tahu bagaimana manusia tercipta.”Ibu terlonjak kaget, ayah hanya menyuruhku pergi mengajimungkin di surau aku bisa mulai mengerti

“Aku punya kaset yang bisa menjelaskannya.”Setelah Isya, aku ke rumah temanku,hendak meminjamlarut malam, diam-diam aku menontonnyadiam, sambil menelan ludah

seminggu kemudian, ayah marah besar“Kau apakan gadis itu! orang tuanya barusan dari sini!”wajahku memar, ibu diam saja memandangi ayahdengan bibir berdarah, aku terlunta menjawab,“aku hanya ingin tahu bagaimana manusia tercipta.”

2013

Manusia TerciptaAbu Wafa

Abu Wafa

Orang Gila

di Jendela

ABU WAFA. Mahasiswa UNESA PBSI 2010. TInggal di Jalan Lidah

Wetan. Pegiat Komunitas Sastra di Kampus. Lahir di Surabaya.

Aku menatap cermin lekat-lekatAda orang gila menatapku lekat-lekatSembari menuding ke luar jendelaTak seorang ada di sana“anak-anak sudah pulang main petak umpat. Hari sudah petang.”

Esoknya, aku melamun di bingkai jendelaAda orang gila melotot ke arahku tanpa jedaSembari mengendarai motor ugal-ugalanBanyak motor dan mobil di jalan“awas, kau bisa tertabrak, kau bisa mati mendadak.”

Siangnya, aku naik motor amat pelan, lama melihat spionAda orang gila menari di belakangSembari menjulurkan lidah, menertawakanSeorang wanita menabrakku tanpa sengaja“bangkitlah, mari kita ke kamar!”

Senjanya, aku meradang di dalam kamar, menatap kacaAda orang gila senggama mesra dengan wanitaSembari mendesah mencoba macam gayaSeorang mengetuk pintu, aku terhenyakSeorang bidan menimang anak“ini anakmu hasil persetubuhanmu. Maaf, jika kuberi nama Sajak.”

2012

Page 5: Stomata #3 40pp

SSAJAKS

5

ibu tak bosan mengajariku hal paling sederhana: “jika menunggu hujan reda menjadi begitu melelahkan, ubahlah ia menjadi perkara yang mudah kau ikhlaskan.” suatu hari aku sedang mencicipi sore yang basahsembari memungut potongan puisi yang melupa katadimana bangku taman dan waktu adalah sisa kecemasan yang sia-sia. tak lama berselang, seorang anak kecil lugu duduk tepat di sampingkuaku menerka mungkin enam tahun usianyanampak tangan mungilnya sibuk menghapus butir airmata yang bermuara di lesung pipinyalalu ia bercerita tentang kesedihan yang baru saja mendekap dirinya,“dahulu aku bertanya pada ibu mengapa ia melarangku bermain hujan”ibu tersenyum dan menjawabku pelan, “kamu akan sakit bila bermain hujan!”. “lalu aku memutuskan tidak melempar tanya lagi.ibu teramat mengasihiku, maka ia tak menginginkan aku sakit.sejak saat itu aku mengganggap hujan sebagai sebuah penyakit yang harus aku hindari. meski terlanjur suka, aku memutuskan untuk menikmati hujan hanya dari balik jendela.” “dan siang tadi hujan turun lagiaku dalam perjalanan pulang sekolah, menerobos rintikannya dan aku basah kuyup. aku kedinginan sampai tulang-tulang. aku menggigil menggigit bibirku yang membiru.aku takut ibu akan marah besar”. lalu aku membelikan anak kecil itu sepotong es krim sambil mengusap lembut punggungnyaperlahan senyum mengukir di bibir

mungilnya dan menjelma menjadi tawa.“tapi hujan juga punya sisi baik, bisa melarutkan kebahagian dan kesedihan secara bersamaan,” katanya lagilalu ia berlari menuju tengah taman dan bermain dekat sebuah air mancur kolamtawanya seolah tak mengandung apapun selain kebahagiaan,tak ada lagi sisa kesedihannya barusan kemudian aku kehabisan kata, pikiran menerawang jauh ke awan.aku menoleh ke pundakku; apakah di sana ia juga menyaksikan gerimis yang selama ini turun?aku tahu kamu selalu lebih dulu berada di bawah atap sebelum awan hitam memuntahkan isinyaaku tahu kamu selalu punya payung semisal hujan tak mampu kau hindarkanaku tahu kamu selalu menyiapkan mantel tebal semisal hawa dingin menyergapmu tanpa aba-aba.tapi tahukah kamu hujan tak perlu selalu dicemaskania datang tiba-tiba bersama awan kelabu dan beranjak pergi sesukanya bersama pelanginamun semisal aku juga sudah lelah menunggunya reda,akan kuubah saja dirinya menjadi perkara yang mudah direlakan; mudah diikhlaskan.

2013

Romantisme HujanJoshua Ogesta S.

JOSHUA OGESTA SIBURIAN. Mahasiswa tingkat akhir Sastra Inggris

UNJ yang puitis. Melakoni George dalam Of Mice and Men, John Steinbeck

yang dipentaskan Theatre of English Department 5 Oktober 2013.

Page 6: Stomata #3 40pp

K KRITIKK

6

Sketsa: ‘Hujan’ oleh Abi Rafdi (2013)

Kalau dalam puisi Hujan Bulan Juni, penyair Sapardi Djoko Damono (SDD), menahan rasa

kerinduannya lewat suatu bulan yang tidak pernah bisa menjanjikan hujan turun (bulan Juni), maka Ulfatin Ch menahan rasa kerinduannya lewat “puisi yang dingin”. Sebagaimana “puisi yang dingin” –merepresentasikan pada rasa kerinduannya– terhimpun dalam suatu kumpulan puisi terakhir Ulfatin (kala di tahun 2013) yang diberi nama, Kata Hujan.

“Puisi yang dingin”, bisa kita pahami sebagai sebuah metafora dari rindu seorang Ulfatin yang ditahan, dan tidak mungkin disampaikan. Seperti halnya Hujan Bulan Juni. Karena itu, “puisi yang dingin” meruangkan pada perasaan rindu Ulfatin –dalam Kata Hujan– tersebut. Dengan berdiksi yang sederhana.

Ulfatin telah menyinggung di awal catatan pengantar: tema, kata, dan bahasa sederhana yang dipilihnya untuk menguraikan sepanjang perjalanan di kehidupannya tersebut. Dengan begitu, Ulfatin secara sadar, berkeinginan untuk –puisinya– dapat mengisi ruang-ruang kosong hati dan jiwa kita. Seperti halnya saat ia berkata: mencoba memungut rindu/ yang terlanjur beku. (“Kata Hujan”: 2012)

Dalam istilah yang “sederhana” itu, Ulfatin –menurut Sapardi Djoko Damono (SDD)– dinyatakan sebagai bentuk representasi dari perempuan penyair

tahun 1940-an. Sebutlah saja S. Rukiah dan St. Nuraini. Yang teruntuk SDD sendiri: mereka cenderung mengungkapkan perasaan-perasaan kecil yang sangat rumit di mana cara pengungkapannya mencakup sistem perlambangan pribadi yang tidak konvensional dan tradisional. Kesehinggaannya, puisi-puisi Ulfatin adalah

Puisi Yang Dingin dan

Rahmat Mustakim

Kata Hujan

Page 7: Stomata #3 40pp

KKRITIKK

7

puisi yang sulit diuraikan dan dihayati. (SDD: 1996)

Terlepas dari itu, mari kita menengok kembali kepada “puisi yang dingin”. Kata Hujan telah sebegitu mengakrabi ke-diri-annya dengan hujan, yang dingin. Simaklah petikan “Pada Hujan” berikut:

Berapa kali aku bilang pada hujan/jangan turun di bulan Juni//rinduku akan gugur setelah itu//Sementara bunga-bunga tak kan tumbuh lagi//Ia menunggu kemarau, hujan menunggu waktu//sampai habis rasa jemu sampai hilang rasa rindu (2012)

Pada dasarnya, bulan Juni adalah fragmen waktu untuk musim kemarau. Bukan tanpa sebab, akan terasa rancu bila kita merelasikan dengan menginginkannya turun hujan. Dan nyatanya, Ulfatin mengelak akan-hal-itu. Demikian ia utarai dari sebentuk rasa gelisahnya. Simbolisme bunga menunjuk: akan sosok yang dirindukannya. Sementara takdir senantiasa tidak pernah kita ketahui kekuasaannya. Maka dalam puisinya yang mengandung rindu akan “hujan” ini, dapat kita sanding suatu predikat bahwa Ulfatin adalah pribadi yang agak “penakut”. Dengan ketentuan: ia tidak berkeinginan untuk kenangan buruknya teringat kembali. Sampai habis rasa jemu sampai hilang rasa rindu.

Akan tetapi di balik itu, ada dimensi diri kegundahgulanaannya di pengecualian yang-lain. Bisa kita lihat pengungkapannya dalam puisi yang bertajuk “Cinta Berpaling”. Ketika Ulfatin menyangkal tegas: Cintaku yang hilang/ sepuluh tahun tak berbilang/ di hutan malang/ Dan jika kukenang, sayang. Predikat “penakut” mungkin bisa kita lepas-cabutkan keberadaannya di puisi-puisi yang terhimpun dalam Kata Hujan. Sementara itu, ada sedikit alasan yang buat kita menyesal kemudian, bila kita sepenuhnya melupakan kenangan itu.

Kenangan. Setiap insan takkan bisa

menangkup kehadirannya. Yang sekejap, yang lamanya tiba. Inilah wujud dari objek yang sebenarnya. Bukan tidak menampak di sepasang bola mata. Siapa pun itu, akan merindui hal yang kecengengan ini. Meski penolakan kecil terjadi dalam “Anomali Rindu”. Menurut perpuisian Ulfatin, Jika sunyi dan kehadiran. Maka hujan akan mengulumnya dalam sebuah sajak. Dengan kata lain, sebagian besar kamar-kamar kerinduan pada Kata Hujan adalah kompleks dari labirin-labirin kehadiran kenangannya yang bernada sunyi –yang tiada bersekat.

Mengapa saya bilang “bangunan” itu adalah sebagian besar? Musababnya, tidak semua puisi yang Ulfatin himpun di Kata Hujan berpekik suaranya untuk “menggemakan rindu”. Dalam tiga puisi yang di antaranya “Erupsi Rindu”, “Pijaran Api” dan “Rindu yang Patah”; ia sangat iba terhadap keadaan di tanah kediamannya sendiri. Dan karenanya ia dilahirkan di Pati, Jawa Tengah. Maksud saya, di tahun ketika dikarangnya ketiga puisi tersebut (2010), Yogyakarta tengah bersuasana genting: gunung Merapi meletus di bulan yang mendekati akhir tahun.

Untuk itu, dalam ketiga puisi tersebut: kesedihannya tertuang. Barangkali, stadiumnya tengah berstatus siaga. Dengan berpangkalkan pada asumsi: menandakan gunung berapi yang sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana. Manakala dalam catatan “Pijaran Api”, Ulfatin dengan ratapannya yang bersahaja, berbilang:

Aku menatapmu dari ketinggian vulkanik//beribu-ribu jiwa meneteskan air mata//hingga tengadah//tak tersampai mata airku//Aku menatapmu dari pijaran api//dari letusan rindu yang dihembuskan angin//dari guguran lava yang dialirkan sungai//Sepanjang apa menunggu//hingga pintu//aku mengetuknya//Aku

Page 8: Stomata #3 40pp

K KRITIKK

8

menatapmu selepas malam//selepas isya//adakah yang terhapus setelah itu//selain jejak yang diguyur hujan abu (2010)

Puisi ini –dengan kondisinya yang “gerah”– berusaha mengungkapkan hubungan antara manusia dan alam, antara manusia dan Tuhan, dan mungkin, antara manusia dengan manusia itu sendiri. Seperti inilah kesan yang ditangkap oleh SDD terhadap penyair ini (Ulfatin Ch). Ya, baginya (SDD), Ulfatin menciptakan sejumlah ungkapan dan sistem perlambangan yang sangat pribadi. Sehingga realita secara gamblang timbul di atas permukaan puisi.

Atau “kegerahannya” dalam dua puisi yang tersisa lain –masih dalam konteks gunung meletus– bisa kita temukan dalam puisi “Rindu yang Patah”. Puisi ini terbagi menjadi enam bagian. Yang ke-tiap-annya mengisyaratkan pada penyoalan waktu yang berbeda. Mari kita simak beberapa baris puisi di part pertama:

1)//Jam 00//(...)//Aku bangun, debu-debu sudah berloncatan memenuhi jalan//atap rumah dan pohon-pohon seperti tak bertenaga//–vulkanikkah yang rindu//hingga hujan abu–//Malam diam//gemuruh merapi berhamburan//tapi, kami masih saja tiarap mengulur waktu//meminjam seismograf untuk memastikan ‘suaramukah itu’//(...) (2010)

Situasi dalam puisinya yang mengerikan ini, serta-merta berakibat dari rasa pengalaman yang sesungguhnya benar-benar ia alami. Seperti Ulfatin bercerita dalam Diary-nya. Sikap kesabarannya bisa kita baca di sini, semenjak lirihnya –di part kedua– ia berkata: Aku belajar menanam diri/ seperti layaknya pohon liar yang tumbuh di hutan/ Tapi gemuruh di dadaku tak pantas menangiskan/ air mata.

Dalam kenyataan ini pula, Ulfatin secara “puisi yang dingin” menghubungkan realitas yang pada akhirnya menjelma kenangan. Saya menyinggung kembali. Pada part empat yang berbunyi: Dan satu-satunya jembatan buat kami dihempas lahar/ entah, dengan apa kami menyambung kembali/ mengingat segala yang tak teringat/ mengenang segala yang hilang. Dengan catatan, pemaksudan jembatan di sini: Jembatan Kali Gendol yang putus. Ah, luka. Entah seberapa banyak-sedikitnya darah yang terkeluar, kita pasti akan merasakan kesakitan yang cukup merana. Cukupkanlah kita hanya berpeluk kepada puisi yang menyembuhkannya. Tentunya, dengan seizin Tuhan yang maha kuasa.

Setiap doa adalah puisi. Dan setiap puisi adalah doa. Supaya doa terijabah, maka kita harus menyanjungkan upaya Ulfatin –dalam perpuisiannya– untuk betul-betul kita apresiasi. Supaya kota Yogyakarta ditabahkan untuk berbenah kembali; supaya kota Jakarta ditabahkan untuk hidup kembali; supaya Indonesia ditabahkan untuk berkorupsi kembali. Ah, tidak-tidak. Dan barangkali, ini ke-semoga-an yang tercatat beberapa kali: negara ini bisa bebas dari tikus got yang berperut buncit! Dan kejahatan-kejahatan lain yang mengiris hati rakyat!

Akhir kalam, sosok Ulfatin Ch sangat pantas kita posisikan namanya di deretan yang paling atas di antara kalangan angkatannya, 2000. Tentu, dengan catatan: penyair perempuan. Sebagai seorang penyair perempuan yang telah melahirkan anaknya yang entah ke berapa. Dan dinamakannya: Kata Hujan. Sementara itu, bidan memberikannya vaksin vitalitas yang terbentuk ketika hujan turun dan berkata: Tes tes tes/ kata hujan mencintai kamu.

Page 9: Stomata #3 40pp

LLIPUTANL

9

UNJ, Rawamangun. Oktober lalu diadakan seminar nasional yang bertajuk Semangat Patriotik untuk Bahasa dan Sastra Indonesia dan Bahasa Indonesia dalam Pergaulan Dunia. Ini merupakan rangkaian pertama dari acara G-Sastrasia yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Seminar berlangsung pada tanggal 21 Oktober, menghadirkan dua pembicara –sastrawan terkemuka, yaitu Joko Pinurbo dan Sitok Srengenge. Dimulai pada pukul 10 pagi bertempat di Aula Daksinapati lantai 1 gedung FIP, Universitas Negeri Jakarta dengan dihadiri oleh para peserta yang sebagian besar berasal dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

G-Sastrasia merupakan acara tahunan dalam menyambut bulan bahasa yang bertujuan untuk mengembangkan minat serta bakat mahasiswa dalam bidang bahasa, sastra, seni, dan budaya. Seminar yang dimoderatori oleh Amar Ar Risalah dan Mahfuz Imam ini sebenarnya lebih mirip dengan diskusi umum karena kedua sastrawan ini mengharapkan adanya interaksi aktif yang terjalin di antara mereka dan para peserta seminar.

Dalam sesi pertama, pembahasan menarik dari Sitok Srengenge mengenai melawan korupsi dengan sesuatu yang jarang sekali terlintas di kepala kita, yaitu dengan puisi. “yang membaca sastra dapat membahayakan kekuasaan” ungkapnya singkat yang mungkin juga menjadi curahan hati sang penyair terhadap relasi puisi dan politik di Indonesia. Sitok menjelaskan mengenai keadaan bahasa Indonesia pada era sekarang ini yang kian mengalami

G-SASTRASIA: Seminar Nasionaldi Bulan Bahasa

Ghea Artha

kemunduran. Beberapa pertanyaan dan tanggapan mengalir dari para peserta seminar, salah satunya adalah yang berkaitan dengan kefasihan berbahasa Indonesia pada masyarakat di wilayah pedalaman dan ibukota. Selain itu, penyair yang juga lulusan JBSI, IKIP Jakarta ini, memberikan tanggapannya mengenai minat baca generasi muda terhadap karya sastra yang sangat minim, padahal menurutnya, generasi muda sekarang ini sangat berpotensi mencip- takan manusia yang cerdas akan sastra.

Joko Pinurbo atau penyair yang akrab disapa Jokpin juga memberikan jawaban ter- hadap beberapa pertanyaan. Ia mengatakan bahwa bahasa Indonesia sebenarnya belum bisa menjadi bahasa yang digunakan dalam skala internasional, sebab kita sebenarnya masih belum fasih berbahasa sendiri, tergagap-gagap dengan bahasa asing, dan begitu juga dengan bahasa daerah.

“Para pembaca buku sastra justru sebagian besar tidak berasal dari yang belajar sastra”, sindirnya dalam kekhasan suaranya yang pelan ketika memberi tanggapan dari salah satu pertanyaan peserta.

Page 10: Stomata #3 40pp

L LIPUTANL

10

Ini sebenarnya adalah hal yang paling menohok bagi para peserta yang sebagian besar adalah calon pendidik dan calon peneliti bahasa Indonesia. Ini juga yang selanjutnya terkait dengan beberapa pertanyaan yang kembali muncul dari para peserta seminar mengenai bagaimana membangun minat dalam mengenal karya sastra.

Di akhir acara, kesimpulan yang dapat diraih adalah bagaimana caranya kita bisa

melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang kita cintai dan yang kita bisa, sehingga keduanya menjadi hal yang padu tidak didasarkan atas keterpaksaan. Salah satu caranya ialah membangun semangat patriotik dan minat baca terhadap karya sastra yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia di dunia. Sebagai penutup, dua penyair ini juga membacakan beberapa puisi milik mereka. (GA)

Lukisan Aisul dan Kemungkinan Spiritual

November, 2103. Di Taman Ismail Marzuki selama 20-26 dibuka sebuah pameran ukisan di Galeri Cipta III dengan teman ENERGY POETRY – Visual Art Exposition. Pekaryanya adalah seorang seniman kelahiran Siduarjo, 21 Desember 1958 bernama lengkap Aisul Yanto.

Dalam catatan pengantar yang ditulisnya sendiri, Aisul menceritakan bahwa beberapa dekade terakhir ia sedang gandrung dengan pemakaian hitam-putih sebagai warna dasar lukisannya. Ia sebut itu dengan sebuah ‘tantangan’. Sebab, katanya lagi, ada kejujuran mengekspresikan relung-relung dalam kepurbaan kita, yang mempunyai manka tentang nilai suatu pribadi yang ada.

Aisul sejenak mengajak kita, rupanya. Melepaskan kedirian dari pernak-pernik hidup modern yang serba kerlap-kerlip, tumpah warna. Ia seperti membujuk dengan halus: supaya kita, yang bagian dari masyarakat Indonesia, melirik balik kepada kebudayaan lampau yang pernah berjaya. Maka, disebutkannya era Majapahit sebagai locus inspirasinya dalam melukis. “Aku terkagum-kagum….ragam hias

seni (mem)batik pada era Majapahit yang hampir punah.” Tak berlebihan, di sini ia mengeluhkan, “Hingga kini tinggal sedikit seniman batik yang mengerjakan hal tersebut.”

Lagi-lagi, Aisul ingin menekankan bahwa hitam-putih bukan sebatas warna yang lawas –yang purba. Melainkan, di sanalah terletak energi spiritual yang bergerak konstan, maupun dinamis. Berbekal sentuhan abstraksi yang dilakukannya, ia coba membuat semacam intisari penjiwaan melalui guratan-guratan sketsa dan olesan-olesan cat yang sangat intim. Sejarah, mungkin bagi Aisul, tidak lain sebagai modal utama manusia untuk bisa mencapai pemahaman atas kepribadiannya, yakni sesuatu yang disebut inner pada setiap masing-masing persimbolan yang unikum.

Ada pergumulan batin yang sekelebat dapat dirasakan penikmat lukisannya. Sekalipun Aisul melakukan pendekatan yang non-figuratif, alias tanpa-bentuk yang baku. Kerupaan dalam lukisan Aisul, bisa jadi kesemrawutan yang ingin menempuh kompleksitasnya secara otonom. Tercermin dalam karyanya Energi #1 sampai Energi

Hamzah Muhammad

Page 11: Stomata #3 40pp

LLIPUTANL

11

#4: Aisul seperti ingin menyampaikan permenungan spiritualitas manusia terwujud apabila ia sanggup mengentalkan pengalaman hidup. Lukisan-lukisannya tersebut, secara sekilas, memunculkan aura magis yang meminta untuk tidak dipahami secara visual saja.

Menanggapi hal tersebut, Gerson Poyk –sastrawan angkatan 60an ini– mengindikasikan dalam ulasannya kalau karya lukis Aisul bersinggungan dengan ranah filosofis. “Dengan energy spiritual yang disebut intuisi menyetop kefanaan menjadi keabadian berupa sketsa dan lukisan.” Betul adanya, ternyata tenaga vital dalam jiwa seseorang, pada umumnya, bukan tangga-tangga kehidupan yang teratur, bukan seperti barisan tentara yang rapi, ia ibarat riak-riak air yang sedang mendidih. Energi tersebut datang, berputar-putaran dan kemudian pergi berputar-butaran dalam gerak-gerik seniman yang air jiwanya mendidih. Ada pergolakan seni dalam karya Aisul. Yaitu,

seni yang disetujui Plato sebagai muosike: seni berbasi praconceptual intelek, sang akal.

Struktur pun dibongkar-pasang. Dalam lukisan Aisul, kita bisa menemukan diagram kerucut terbalik. Ujung kerucut paling atas ibarat jiwa (soul). Dalam kerucut pertama (kerucut luar) yang ibarat intelek terisi kerucut kedua yang merupakan imajinasi yang terpancar dari ngi dalam kerucut yang pertama (intelek). Dalam kerucut kedua (imajinasi) terpancarar kerucut ketiga yang berakhir pada citra-citra luaran. Di sanalah, akhirnya, alam tak sadar dan naluri-naluri otomatis bergejolak.

Di samping lukisan, Aisul nyatanya juga mempresentasikan sketsa-sektsa hitam-putih yang katan “buah kerja mengiri inspirasi untuk menjadi kesatuan”. Bagaimanapun juga, Aisul telah mengngatkan kita: kesenian berarti permenungan atas pengembaraan sejarah umat manusia.

Page 12: Stomata #3 40pp

KKAMPUSK

12

Kampus memang terkenal dengan segudang ilmunya, bagai sebuah cawan yang terisi penuh oleh air

dan siap kapanpun menumpahkan air bagi yang membutuhkannya. Ya, ialah kampus, sebuah wadah yang menampung tiap induvidu yang haus akan ilmu. Biacara suasana kampus tak jauh berbeda dengan sekolah, sama-sama belajar dan menuntut ilmu, hanya saja ada beberapa hal yang berbeda, ada beberapa kampus yang memberi izin untuk mahasiswanya beraktifitas di kampus setelah jam kuliah berakhir berbeda dengan sekolah yang harus meninggalkan area sekolah ketika jam belajar berakhir. Aktifitas setelah jam kuliah berakhir inilah yang dimanfaatkan beberapa mahasiswa. Ada yang bersantai untuk sekedar nongkrong, bernyanyi-nyanyi, bermain musik adapula yang ngobrol, membicarakan berita terkini semisal penemuan tabrak lari oleh seorang anak oknum polisi, konser metallica, atau kasus-kasus korupsi yang melanda negeri kita.

Tetapi ada pula sekumpulan mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta khususnya, yang menghabiskan waktunya setelah jam kuliah berakhir untuk sekadar minum kopi, menghabiskan berbatang-batang rokok sembari berdiskusi hingga larut, membicarakan sastra serta dunianya. Sebagian besar mahasisiwa ini pun berada di jurusan yang sama –Jurusan Bahasa dan

KampusSastra dan Ruang Terbatas

Sastra Indonesia. Dengan penerangan lilin yang secukupnya maka diskusi pun telah resmi dibuka. Memang terdapat banyak tempat yang tersedia penarangan yang lebih memadai, tetapi sekumpulan mahasiswa ini beranggapan bahwa cahaya lilin ini ialah unsur estetik dari sebuah diskusi tanda sebuah kesakralan telah dimulai.

Bicara sastra adalah bicara tentang masyarakat, karena sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. (Wellek dan Warren, 1956:94)

Masyarakat di sini berarti luas, dan barangkali tidak terbatas definisi di kamus. Untuk sebuah perkumpulan diskusi mahasiswa rasa-rasanya terlalu berat untuk hal yang tak terbatas ini dan akhirnya masyarakat yang dipilih pun hanya masyarakat di sekitaran kampus.

Doni Ahmadi

-- Setelah Dua Edisi

Page 13: Stomata #3 40pp

KAMPUS

13

KK

Awal mulanya para pegiat diskusi ini hanya iseng nongkrong, nongkrong yang tidak hanya sekedar nongkrong hingga larut lalu pulang, melainkan nongkrong yang menghasilkan karya. Karya-karya yang dihasilkan pun tidak sedikit, mereka menyatukannya dalam sebuah wadah digital –blog, facebook dan lainnya. Sayang wadah yang tersedia ini tidak sepenuhnya maksimal untuk memajukan kegian bersastra di sekitaran mereka.

S e t i d a k n y a , sastra memang sangat berpengaruh untuk masyarakat, begitu pula di sini, sekumpulan mahasisiwa pegiat diskusi, mereka percaya dan beranggapan di saat kita mengenal sastra maka kita akan lebih mengenal sekitar dan mencoba m e n g e n a l k a n bahkan memajukan sastra dan lainnya untuk sekitar. Berawal dari sebuah gagasan liar tercetuslah sebuah ide untuk m e n g a d a k a n suatu malam yang dihabiskan untuk bersastra, diisi dengan nuansa sastra, apresiasi sastra dan lainnya.

Mereka mena-makannya dengan “Malam Sastra”, dengan dekorasi yang sederhana, sosialisasi yang singkat, tema yang bisa dikatakan seadanya dan tidak mengatasnamakan organisasi apapun kegiatan ini mendapat respon positif dan antusias yang cukup banyak. Mahasiswa yang biasanya kupu-kupu (istilah bagi mahasiswa yang selesai kuliah lalu pulang) pun tampak bahkan berapresiasi di panggung malam sastra ini. Memang kebanyakan dari mereka yang berapresiasi di sini diisi dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tetapi untuk penonton mereka membukanya untuk semua kalangan. Malam Sastra pun kini ditetapkan agar tetap eksis, yaitu selalu ada

Leah SaulnierThe Thinking Capwww.fineartamerica.com

Page 14: Stomata #3 40pp

KKAMPUSK

14

setahun sekali di bulan oktober. Kegiatan ini pun sudah berlangsung dua kali terhitung sejak 19 Oktober 2012, malam sastra pun sudah menjadi agenda resmi mahasiswa pegiat diskusi ini.

Di sini kita dapat melihat bahwa sebenarnya banyak mahasiswa yang ingin berkesenian khususnya bersastra tetapi tidak tersedianya wadah bagi mereka dengan kata lain masih terbatasnya ruang. Memang kampus menyediakan organisasi-organisasi kesenian seperti perkumpulan teater dan unit kesenian tetapi rasa-rasanya kurang memadai terlebih bagi mahasiswa yang ingin berkarya tetapi tidak terikat. Dengan kata lain mahasiswa ini adalah tipikal individu yang mengikuti standar mood mereka, disaat mereka ingin berkarya mereka berkarya dan disaat mereka sedang sibuk dengan hal lain mereka tidak berkarya.

Dalam organisasi biasanya tiap organisasi itu menuntut target dan konsisitensi dari tiap anggotanya, memang konsistensi dan target itu penting dalam segala hal tetapi disini harus digarisbawahi bahwa organisasi ini bukan organisasi umum tetapi organisasi kampus yang beranggotakan mahasisiwa, yang berarti tiap anggota itu masih terikat dengan kegiatan-kegiatan perkuliahan yang berarti masih belum seratus persen untuk terjun ke dunia kesenian, khususnya sastra.

Di hadapan itu semua, masalah utama adalah keterbatasan, keterbatasan ruang untuk berkarya, berapresiasi dan lainya. Selain itu majalah tentang kesenian dan kesusastraan pun sangat minim di sini. Dikalangan masyarakat luarpun masih sangat terbatas untuk mendapatkan majalah sastra, majalah sastra di Indonesia memang sangat minoritas dan bisa dihitung jari.

Dari pikiran kumpulan mahasiswa pegiat sastra di dalam jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia maupun jurusan lain

serta seorang dosen yang risau akan sastra. Terbitlah buletin sastra dan lainnya, buletin itu ialah Stomata. Stomata bukanlah buletin pertama yang ada dikampus ini, dulu pernah ada majalah “Aku” yang diterbitkan oleh jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi nomor terakhirnya terbit di tahun 2005. Rekam jejak historis itu jauh dari masa yang kini. Lalu ada “Gesafo” (Antologi esai Lifosa) dan “Malf ” (Majalah Lingkar Forum) namun itupun rasa-rasanya kurang karena baik Gasafo maupun Malf hanya terbit satu periode kepengurusan, yaitu setahun sekali baru terbit. Stomata pun belajar mengambil apa yang pernah ada di kampus, kemudian menjadikannya semangat yang dapat dirasakan oleh banyak mahasiswa di kampus. Yakni, semangat bersastra yang kreatif dan kritis.

Adapun asalmula nama ini diambil dari satu bidang daun. Tapi, apalah arti sebuah nama, sebut Shakespeare. Mungkin itulah yang barangkali enggan dituliskan di sini. Secara ilmiah Stomata, berfungsi sebagai organ respirasi. Stomata mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan O2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stomata terletak di epidermis bawah.

Toh, seperti penjabaran di atas. Semoga kebermanfaatan stomata dalam menyehatkan hijaunya kampus kita. Sehingga sastra senantiasa berfotosintesis tiada akhir, tak peduli malam tak peduli siang. Ia bisa jadi tempat perputaran –keluar masuknya– gagasan sekitar sastra dan lainnya.

Hadirnya buletin Stomata ini pun berangkat dari kekhawatiran yang menggebu-gebu dari mahasiswa yang mencintai sastra. Sebetulnya tidak begitu muluk-muluk kehendak ini. Tapi, melihat

Page 15: Stomata #3 40pp

KAMPUS

15

KKperkembangan kesenian di kampus, khususnya sastra: rasanya media alternatif dalam bentuk bacaan menjadi sebuah urgensi. Dengan keperluan itu, keinginan yang subjektif mulai merambah ke harapan yang lebih objektif. Sealigus ingin menjawab mitos: apakah sastra itu mesti dinikmati oleh mahasiswa jurusan sastra (Indonesia)? Itu hanya anasir kecilnya.

Awalnya ini jadi batu ganjalan. Dan memang betul, beberapa kali pertemuan tak membuahkan hasil. Rekan-rekan yang tadinya sepakat pun satu per satu pergi. Mungkin ini karena tidak dimulai dengan kejelasan aturan mainnya, seperti anggaran rumah tangga yang konvensi daripada sebuah kelompok/komunitas kesenian. Dua tahun berlalu, cita-cita itu ditanam, ditabung. Dan barulah di tahun 2013, Stomata terbit untuk nomor perdananya.

Dengan berbekal spirit yang sama, dan bagaimana caranya mahasiswa di kampus Universitas Negeri Jakarta supaya dekat dengan dunia literasi. Maka, berakrablah dengan pundi-pundi yang ada di kampus: Tembok, Bengkel Sastra, Teater Zat, Lifosa, dll. Harapannya, Stomata bisa membuka kembali dialog kesenian khususnya sastra, seperti yang pernah bengkel sastra lakukan dan berhenti ditengah jalan yaitu Forum Sastra Jumatnya. Rasanya tak berlebihan jika berasumsi bahwa di kampus: diperlukan orang-orang yang tidak melulu kreatif dalam berkarya, tapi kritis.

Saling silang pikiran ini yang digencarkan. Tapi, rubrik seperti puisi/sajak, cerpen pun tetap dipertahankan. Sedikit demi sedikit dijajal dengan adanya rubrik seperti esai dan kritik sastra. Sebab, selama ini dirasakan respon apresiatif atas sastra masih kurang, apalagi respon yang kritis-mendalam.

Stomata pun kini menjadi wadah untuk mengapresiasi karya sastra yang

selama ini mendapatkan ruang terbatas. Setiap mahasiswa yang ingin berapresiasi dengan menuliskan karyanya pun bebas mengirimkan karyanya kesini, dengan catatan tak ada honorarium bagi tulisan yang dicetak, karena dana yang didapatkan untuk memuat buletin ini pun berasal dari sumbangan mahasiswa yang cinta akan sastra. Stomata sudah mencapai edisi tiga dan sudah memuat lebih dari puluhan karya sastra yang dibuat oleh mahasiswa.

Barangkali media ini masih terlalu dini untuk masyarakat yang dikatakan oleh Wellek dan Warren, tetapi setidaknya buletin ini sudah memutus terbatasnya ruang berekspresi bagi kalangan mahasiswa yang ingin berkarya dan berapresiasi melalui sastra. Sehingga tak ada lagi ruang terbatas dalam sastra dan wadah apresiasinya. Selamat berkarya.

Andrew QuartermainOil on boad, 21 x 15 cm

www.andrew-quartermain.co.uk

Page 16: Stomata #3 40pp

NOSTALGIA

16

NN

Belajar

NAMA-NAMA

Zaldy Armendaris namanya. Aku masih belum tahu apa nama Tionghoanya. Mungkin dia sendiri

sudah tidak mau memakainya lagi. Nama Zaldy-nya sudah terlanjur melekat erat di benak para penggemar komik romannya, tidak terkecuali aku sendiri.

Waktu itu tahun 1985. Aku sedang dilanda rasa kurang sreg dengan namaku sendiri, nama yang diberikan Ayah dengan bangga. Aku merasa namaku terlalu berbau Semit, seperti aroma kari kambing yang dihidangkan orang-orang di kampungku pada setiap Lebaran Haji. Sampai-sampai aku menghentikan juga kesukaanku pada menu itu hanya karena ia terlanjur punya asosiasi dengan nama Semitku. Masalahnya hanyalah aku merasa namaku itu kurang bernuansa kota. Tapi, apa yang terpikir di benakku waktu itu tentang nama yang bernuansa kota? Aku sendiri tidak terlalu ngeh sampai kubertemu dengan sebuah nama yang tertera di sampul sebuah komik: “Zaldy”.

Maka, dimulailah rajutan tentang urusan nama ini.

Melarikan Diri, Menemukan Diri

Komik-komik Zaldy kutemukan di rak paling pojok dari sebuah taman bacaan. Ini tentu saja bukan sebuah taman yang berisi perdu dan bunga-bunga, tapi taman dengan hiasan beragam kata: dari majalah politik sampai buku masakan, dari

roman picisan sampai sastra mahakarya, dari komik superhero sampai teka-teki silang, bahkan ada juga sisa-sisa buku pelajaran. Inilah taman bacaan satu-satunya di kampungku. Seperti halnya toko kelontong yang menyediakan barang apa saja dari kota, taman bacaan ini menumpuk peradaban kota di setiap rak dan lantainya. Berserakan, dan kau bisa memungut kata-kata sesuka yang kau mau.

Bagiku, tiada tempat melarikan diri dari kegalauan masa remaja yang seenak taman bacaan ini. Sebelumnya, waktu SD, tempat pelarianku adalah mesjid, tempatku belajar meneriakkan nama Allah dalam adzan dengan teknik paradoks yang rumit bagi seorang anak SD, yaitu bersuara dengan teriakan yang lembut. (Jauh di kemudian hari guru ngajiku pernah berujar: apabila kau ingin mendekati Allah, janganlah kau panggil nama-Nya dengan suara nyaring yang membuat kau seperti orang bodoh dan kasar, tapi jangan pula dengan suara yang terlampau lirih yang membuat kau seperti orang lemah yang tak berdaya. Aku tidak terlalu paham apa maksudnya. Kapan-kapan mungkin aku akan bercerita padamu tentang hal ini.) Pada saat lain, jika sedang kesal di mesjid karena kalah rebutan menabuh beduk, aku pindah ke tempat pelarian yang lain: pasar ikan di tepi danau, tempatku menyerok macam-macam ikan kecil kesukaanku--yang tak kutahu semua namanya--untuk langsung dilemparkan ke wajan panas milik pedagang ikan di sana dan nanti disantap tanpa perlu ditemani

Irsyad Ridho

Page 17: Stomata #3 40pp

NOSTALGIA

17

NN

nasi. Kini, waktu SMP, taman bacaan inilah yang menarikku seperti tangan seorang gadis yang risau. Dan, tanpa kusadari sepenuhnya, komik Zaldy di sini memberi ruang pelarian diri yang tepat.

Komik Zaldy memang bicara tentang anak-anak muda yang melarikan diri: mencoba melarikan diri dari asmara meski pada akhirnya tak bisa. Asmara terus menyusup, mencari jalan keluar dari kebuntuan komunikasi, dari kesalahpahaman yang disengaja, dan dari suara bebal masyarakat kota. Di penghujung cerita, sang sejoli biasanya melangkah sendiri menyusuri jalanan, mengenang asmaranya yang baru saja patah dalam balutan rasa yang hanya sendu, bukan pilu. Dalam hampir seluruh karya Zaldy, asmara memang tidak menjanjikan rasa lega. Dia tiada hendak memberimu ilusi cinta. Asmara dihadirkan dalam momen yang sesaat, selebihnya hanyalah momen panjang kesenduan. Pengakuanlah yang kemudian membuatmu merasa terbebas sejenak dari kesenduan untuk merasakan kembali momen asmara yang dulu pernah ada. Tidak heran jika komik Zaldy seringkali dimulai dengan pengakuan sang sejoli dan selanjutnya kau membuka panel demi panel cerita bersamanya.

Melalui modus kesenduan dan pengakuan itulah persoalan tentang siapa diri kerapkali turut menyusup merumitkan hubungan asmara. Aku teringat pada Kabut Pagi, salah satu komik Zaldy yang dibuatnya pada tahun 1968. Sejak panel-panel awal, kita sudah dibawa ke dalam suara batin seorang gadis yang bertanya-tanya tentang siapa dirinya sebenarnya: datang jauh-jauh dari desa yang miskin menuju kota besar, diundang pindah ke sebuah rumah mewah yang rasanya dia sudah pernah berada di situ, entah kapan. Di akhir cerita kita semua menjadi tahu bahwa gadis itu tidak lain adalah anak haram si tuan rumah mewah itu sendiri yang selama ini disembunyikan di desa. Untungnya, asmara antar-saudara kandung dapat dicegah sejak awal dan si gadis mendapatkan pasangan asmaranya yang lebih tepat. Kebahagiaan si anak haram bersama pasangannya memang terjadi di akhir cerita, tetapi itu adalah kebahagiaan yang sendu karena di belakangnya telah terbayang kehancuran keluarga asalnya sendiri, karena sang tuan (yang selama ini dipandang sebagai kepala keluarga yang ideal dari kelas menengah kota) ternyata menyimpan noda yang tak termaafkan.

Seingatku, sembari membaca Zaldy di taman bacaan kampungku saat itu, sembari terpana dengan rumah kelas menengah kota dan lampu-lampu temaram night club dan restoran mewah di dalam gambarnya, perlahan-lahan aku dirasuki perasaan janggal tentang siapakah aku sebenarnya, siapakah orang-orang kampungku, dan siapakah mereka yang jauh itu: yang tinggal di kota besar dengan rumah-rumahnya yang temaram dan nyaman itu, siapakah gadis-gadis cantik nan sendu dan siapakah pemuda-pemuda tampan yang nekat tapi tak berdaya di dalam komik itu. Sejak itu, aku seperti merasakan dua hal: rasa rendah diri kelas bawah kampung dan rasa sendu kelas menengah kota.

Dengan perasaan itulah aku di kemudian hari menghasrati kota dan pindah ke Jakarta. Tapi, racun awalnya telah dihembuskan melalui komik Zaldy

Zaldy Armendaris. Diambil dan Diolah dari

Majalah Eres via Jurnal

Kalam

Page 18: Stomata #3 40pp

NOSTALGIA

18

NNdan penawarnya sudah tiada lagi. Aku tentu tidak menyadarinya di tahun 1985 itu. Hanya gejalanya yang kualami, yaitu perasaan kurang sreg dengan namaku yang berbau Semit. Ketika kakak-kakakku yang merantau ke Jakarta akhirnya mengganti nama mereka dengan nama-nama yang bernuansa kota, aku seperti terhempas ke dalam perasaan sebagai “anak haram” dari peradaban kota. Maka, hasratpun lahir dan membiak bak laron, mendambakan lampu-lampu temaram hasil desain ruang peradaban modern. Lampu-lampu itu hanyalah metaforanya, tapi hasrat tetap membiak, tak bisa ditahan, untuk terus mendamba akan diri yang modern. Hasrat itu terus berdenyut dan menuntut: Aku tidaklah lengkap, tidaklah sempurna, jika Aku bukanlah Aku-yang-modern, Aku-yang-kota!

Jakarta: Modernitas yang Melankolis

Marcel Bonneff, seorang sejarawan komik Indonesia dari Prancis, pernah mencatat bahwa Zaldy mulai membuat komik sejak tahun 1966 di usianya yang ke-24. Namun, dari seorang kolektor komik di Jakarta, aku menemukan karya Zaldy yang bertahun 1965. Kemungkinan besar dia sudah mulai membuat komik di usia yang lebih muda lagi. Cara gambarnya mulanya masih kasar, belum membentuk

ciri khas. Beberapa tahun kemudian, kematangannya terus diasah dan makin menemukan gayanya: permainan gelap-terang dalam kontras bayangan dan cahaya yang melingkungi raut wajah sejoli yang cantik-tampan nan sendu dalam balutan pilihan pakaian yang modis di zamannya yang serasi dengan kerincian desain interior tempat mereka dihadirkan dalam pergantian sudut pengambilan gambar.

Kematangan gayanya itu rupanya terbentuk seiring dengan perpindahan suasana ideologis Jakarta, sang kota yang selalu hadir dalam komiknya. Setelah Gegeran ‘65 dan perpindahan resmi dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto pada tahun 1968, kau mungkin juga tahu, paras Jakarta memang mengalami perubahan makna. Abidin Kusno, seorang peneliti kebudayaan kota, pernah mengatakan bahwa perubahan diri Jakarta dalam masa peralihan rezim di era itu dapat diilustrasikan sebagiannya melalui bergesernya makna “jalan raya” dari sesuatu yang sebelumnya berkonotasi sebagai tempat mobilisasi massa dan kemanunggalan sosok Soekarno dengan rakyatnya, kemudian berubah menjadi tempat yang berkonotasi bahaya yang menakutkan melalui “shock therapy” yang dirancang negara Orba atas rakyatnya sendiri. Dalam proses itulah terbentuk suatu kelas

Panorama Jakarta dalam komik Zaldy,Kabut Pagi (1968)

Page 19: Stomata #3 40pp

NOSTALGIA

19

NNmenengah kota yang jinak yang menghindari wacana simbolik jalan raya a la Soekarno dan merangkul wacana pembangunan a la Orba yang meramu ideologi tentang hubungan pemimpin politik dan rakyatnya sebagai hubungan bapak dan anak di dalam sebuah rumah tangga yang sejahtera dan harmonis. Menteng dan Kebayoran adalah simbol rumah tangga baru itu.

Akan tetapi, kontradiksi-kontradiksi tentu tak dapat disembunyikan dengan mudah. Kesenjangan ekonomi antar-penduduk Jakarta mulai terlihat jelas melalui nilai status sosial yang dikandung oleh barang-barang konsumsi baru yang membanjir masuk dari luar negeri, terutama dari Jepang, pada era awal Orba sebagai konsekuensi dari perjanjian pinjaman luar negeri dengan negara-negara kaya yang tergabung dalam IGGI (Inter-Govermental Group on Indonesia). Tidak heran jika kelompok masyarakat kelas menengah dan atas pada saat itu mulai berlomba untuk mendandani diri dengan barang-barang impor, seperti televisi, kulkas, AC, kendaraan mewah, perumahan baru, berbelanja di shopping mall, berpakaian dengan mode terbaru, menghibur diri ke bioskop, night club, atau diskotik, dan bertemu dalam sosialita dan pesta. Itulah paras baru Jakarta: modernitas idaman yang menjadi kenyataan. Semua itu, kau tentu sudah tahu, tak mampu menyembunyikan kontrasnya dengan kekumuhan kehidupan kelas bawah yang menyebar di perkampungan-perkampungan di dalam Jakarta itu sendiri, dari pinggir-pinggir Ciliwung sampai ke Jakarta lama di bahu-bahu Sunda Kelapa.

Sebelum aku sendiri akhirnya sampai juga di kota ini, melalui komik Zaldy aku sudah lama belajar bahwa di balik kegembiraan pesta dan sosialita Jakarta terikut selalu sendu yang akut sebab bahkan asmara sekalipun tak mampu menyatukan dua sejoli dari kelas yang bersenjangan di kota ini. Memang, Zaldy bukanlah Pram atau Takdir Alisjahbana yang ditempa dengan gemuruh gagasan-gagasan besar tentang perubahan masyarakat sampai ke

akar-akarnya. Zaldy adalah anak zamannya sendiri yang terpukau pada Elvis, Beatles, dan The Bee Gees yang sebelumnya dilarang Soekarno; yang terpesona pada rambut gondrong ber-sideburn plus celana cutbray yang kemudian dirazia Soeharto. Maka, Jakarta di dalam panel-panel Zaldy bukanlah kota utopia sosialismenya Bung Karno dan bukan pula kota modal keluarga Orba. Bagi Zaldy, Jakarta adalah kota yang di dalam pelukannya sesuatu yang bernama modernitas harus menanggung rasa sendu, menderita melankolia.

Setelah Segalanya Luntur

Zaldy Armendaris namanya. Dia meninggal tahun 2000, tidak sempat menyaksikan Natal di penghujung abad yang berlari ini. Dalam catatan Dinas Pemakaman Umum DKI Jakarta ia terdaftar dengan nama Zaldy Purwanta. Aku masih belum tahu nama Tionghoanya. Btw, memangnya sepenting apa nama Tionghoa baginya? Mungkin Zaldy hanya akan bilang seperti Julia dalam drama Shakespeare yang terkenal itu, “Ah, apalah arti sebuah nama. Kau boleh menamai sekuntum mawar dengan nama apapun, toh ia akan tetap semanis semerbaknya.” Dia tentu pernah membaca Romeo dan Julia-nya Shakespeare tentang betapa sebuah nama yang disandang seseorang membuatnya harus meminum racun demi menyatukan asmara dengan kekasihnya di alam kubur karena keluarga besar mereka di dunia ini terlalu picik untuk bisa memahami betapa nama tidaklah sebanding dengan kepolosan cinta.

Zaldy tentu merasakan betapa pahitnya pemaksaan penggantian nama Tionghoa menjadi nama yang “berbau Indonesia” melalui peraturan negara yang rasialis di masa pergantian rezim dulu itu ketika dia baru saja memulai membuat komik. Namun, tak ada yang lebih pahit ketika dia akhirnya harus menyaksikan pula kehancuran komik Indonesia yang dicintainya setelah kegigihannya berkarya sampai awal era ‘80-an. Kini, para kolektor dan komunitas penggemar komik Indonesia mengenang era ‘60-an dan ‘70-an sebagai

Page 20: Stomata #3 40pp

NOSTALGIA

20

NNmasa kejayaan komik Indonesia. Sayang, masa itu sudah lama berlalu.

Memang, mungkin kau juga sudah tahu, sejak penghujung era ‘70an dunia perkomikan Indonesia mengalami kemunduran. Pada tahun 1977, Goenawan Mohamad pernah melaporkan perkembangan awal surutnya pasar komik Indonesia. Menurutnya, setidaknya terdapat empat faktor penyebab yang saling terkait, yaitu kalah bersaing dengan komik impor terjemahan yang harganya lebih murah dengan penampilan yang lebih menarik dan bergengsi, sifat produksi komik Indonesia yang cenderung pertukangan kecil ketimbang sebuah industri, mandeknya regenerasi para penggambar, dan tiadanya tradisi keterkaitan kuat komik (comic strip) dengan dunia pers yang sudah mapan. Semua itu pada dasarnya terjadi karena, ujarnya, “buku komik Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah ditopang oleh serangkaian prasarana sosial-ekonomi yang dengan kokoh terdapat dalam sejarah komik di Amerika Serikat sejak awal”. GM memang tidak keliru. Sejak membanjirnya komik Amerika sejak era ‘80-an dan disusul dengan serangan komik Jepang di era ‘90-an yang memang ditopang dengan infrastruktur ekonomi yang kuat dari kedua negara itu, komik Indonesia limbung tak kuat bertahan di dalam persaingan pasar. Semua ini sebenarnya adalah konsekuensi logis saja dari terbukanya Indonesia bagi kapitalisme global sejak Orde Baru.

***

Dua tahun yang lalu, seorang kawan mengajakku mampir makan malam di sebuah warung bermenu khas daging kambing di bilangan Pejaten. “Warung Bang Hoody” namanya. Di sini aku menemukan Semit yang lain, yang bernuansa kota, yang tak peduli dengan siapa dan apa dirimu. Yang penting lidahmu mampu memberi apresiasi pada hasil karya masakannya sambil kongkow-kongkow dengan kawan melepas kepenatan setelah seharian dalam bekukan Jakarta. Hoody, sang koki sekaligus pemilik warung, datang menyapa dan dia

Zaldy, Di Ujung Pelangi (1972).Dok. Pribadi

kocak ternyata. Di antara derai tawa kami dan orang-orang yang datang, kudengar alunan “Sound of Love” dari The Bee Gees. Perlahan-lahan tempat ini seperti sebuah masa lalu yang amat kukenang yang kini mampu meleburkan nama Semitku dengan nuansa kota yang kudamba. Perlahan-lahan kuteringat pada “Cinta Pertama”, komik Zaldy tahun 1977. Di situ Felix, tokohnya, berucap hambar ketika pada akhirnya harus diakuinya bahwa asmaranya dengan Fanny, kekasihnya, terpaksa berjalan sendiri-sendiri: “Ini penghidupan manusia, selalu diawali dengan yang indah dan akhirnya semua akan luntur.” Maka, di antara derai tawa Hoody, alunan “Sound of Love”, dan bayangan “Cinta Pertama”, kurasakan kepahitan hidup Zaldy dan kupinjam rasa sendunya untuk berdamai dengan namaku sendiri.

Page 21: Stomata #3 40pp

ESAI

21

EE

Cerpenis F. Rahardi pernah mengeritik sekaligus memuji Hamsad Rangkuti sebagai cerpenis

yang hanya bisa memberikan satu hal saja, yakni permasalahan rakyat kecil, tapi permasalahan tersebut dikuasinya secara mendalam dan itu sungguh hebat (Kompas, 19/3/2000).

Selama ini Hamsad memang mengangkat kegetiran hidup. Mulai dari penumpang bus, sopir, penjambret, pedagang nasi uduk, transmigran, petani, lelaki buntung, pedagang ketupat, orang desa, kondektur, penjaga masjid, guru mengaji, pedagang kacang, pedagang kaki lima, penjaga pintu kereta, polisi lalu lintas, hingga tukang cukur. Hamsad paham betul, problem kemanusiaan selalu hadir dalam sejarah perjalanan suatu bangsa, termasuk Indonesia. Semua itu terdapat dalam tiga kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot, Panggilan Rasul, dan Lukisan Perkawinan.

Dalam kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot yang memuat 16 cerita pendek yang ia tulis rentang waktu 1973-2003. Dalam pengantar buku tersebut, ia menceritakan latarbelakang penulisan sejumlah cerpen tersebut. Misalnya, cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya dengan Bibirmu” lahir saat Hamsad sedang berada di geladak kapal feri Merak-Bakauhuni.

Di atas geladak tak tampak orang lain, karena hari sangat panas, selain Hamsad dan wanita muda cantik yang memandangi laut dan Hamsad memandangi perempuan itu. Imajinasi liar Hamsad bermain. Ia lihat wanita itu membuang segala yang ia miliki hingga tak mengenakan sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Padahal, wanita itu tak membuang apa-apa.

Sementara itu, cerpen “Saya Sedang Tak Menunggu Tuan” Hamsad buat setelah melawan kematian; saat ia dilarikan ke rumah sakit. Ia tulis kehidupan batin yang muncul saat kritis, sehingga gambaran kehidupan yang muncul adalah kehidupan masa lalu. Ia bertemu dengan sejumlah orang yang telah wafat. Mulai dari ibu, ayah, abang, adik, anjing, dan orang yang pernah dekat di tempat mereka pernah bersama. Kehidupan-kehidupan yang membekas dalam kehidupannya. Itulah gambaran yang muncul pada saat orang diajak ke dunia kematian. Namun, ia tak sedang menunggu dunia itu. Ia menilai masih sangat panjang pergulatan yang harus dilalui.

Hamsad tak hanya sebagai homo estheticus, tapi juga manusia sosial yang secara historis berakar dalam suatu masyarakat tertentu. Tak mengherankan, dalam mencipta karya seni ia juga mengalami pengaruh lingkungan dan zamannya, tapi ia lebih terpesona pada hal-

Membaca Hamsad Rangkuti:

Rakyat Kecil, Islam, dan AmorKomarudin

Page 22: Stomata #3 40pp

E ESAIE

22

hal yang mungkin oleh generasi-generasi sebelumnya kurang diperhatikan.

Nafas Keislaman

Tak hanya itu sebenarnya, Hamsad boleh dibilang sebagai cerpenis yang paling subur menulis tentang nafas keislaman. Ia seperti sedang menjalankan bagaimana suatu eksistensi beragama. Ia menghayati agama sebagai suatu pengalaman subjektif yang menggema dalam cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam Panggilan Rasul yang ia tulis rentang 1962- 2005.

Dari 14 cerpen dalam buku t e r s e b u t , delapan di a n t a r a n y a bicara tentang puasa dan L e b a r a n . Contohnya, “ S a l a m Lebaran”,

“Lailatul Qadar”, “Santan Durian”, “Malam Takbir”, “Antena”, “Malam Seribu Bulan”, “Hujan dan Gema Takbir”, “Reuni”. Bagi Hamsad, penulisan cerpen berlatar belakang puasa dan Lebaran muncul karena dari tahun ke tahun, segala peristiwa ibadah yang terjadi di bulan puasa itu, dalam jarak waktu yang kian lama, terasa kian indah, dan semakin mesra untuk dikenang.

Dalam “Malam Takbiran”, misalnya, Hamsad menulis, “Berhari-hari aku mendatangi rumah-rumah orang yang biasa kubersihkan pekarangan mereka. Tiap tahun aku mengecat rumah mereka menjelang Idul Fitri. Aku memangkas

pagar hidup rumah pekarangan mereka. Tetapi Lebaran ini semua tak kudapatkan. Mereka telah mengubah pagar rumah mereka menjadi tembok dan besi. Rumah mereka juga sudah dicat oleh orang lain yang bernasib sama seperti aku. Tak ada apapun yang

tersedia untuk anak-anak menyambut Lebaran.”

Sementara dalam “Lailatul Qadar” bercerita tentang pertemuan dua sahabat yang tiap Ramadan selalu menanti

kedatangan malam turunnya Al-quran. Kebiasaan itu terus dilakukan,

meski tinggal di Jakarta. Mereka percaya malam kemuliaan itu yang terwujud dalam lenturan batang pohon kelapa. Mereka teringat dengan temannya yang meminta mereka pergi

ke Monas. Barangkali wujud malam kemuliaan itu terjadi pada lenturan tugu Monas. Tugu itu merunduk di depan mereka dan mereka tinggal memungut kepingan emas itu.

Apa yang ditulis Hamsad meng-gambarkan manusia

Page 23: Stomata #3 40pp

ESAI

23

EEyang selalu berada dalam situasi yang tak mungkin dihindari. Meminjam istilah Schopenhauer, manusia adalah makhluk dalam situasi batas. Demikian juga halnya dengan situasi batas yang orang alami dengan peristiwa-peristiwa kebetulan yang berpengaruh terhadap rencana-rencana sang tokoh. Orang ingin sesuatu, tiba-tiba ada peristiwa lain yang terjadi. Peristiwa yang tak terduga sebelumnya, bisa membuat orang mengambil keputusan yang berbeda dengan apa yang sedianya dia niatkan.

Amor Fati

Selain nafas keislaman, Hamsad juga mengangkat beberapa cerpen yang bertema tentang perkawinan yang dimuat dalam cerpen “Lukisan Perkawinan” dan “Kado Perkawinan”. Kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan memuat 15 cerpen yang ditulis rentang 1973-1981.

Seperti ditegaskan Hamsad, keseluruhan cerpen itu melukiskan kehidupan perkawinan atau kehidupan rumah tangga. Semua berkaitan dengan kehidupan seorang wanita, baik itu impian, penderitaan, perjuangan, dan cita-cita mereka. Bagi Hamsad, perkawinan sejati tak ubahnya seperti dua orang kekasih berjalan di dalam kegelapan, cintalah yang akan bertindak sebagai pelita, menerangi perjalanan hidup perkawinan itu. Cinta adalah suatu pengutamaan yang luar biasa yang dituntut, baik bagi pria maupun wanita. Perkawinan menuntut rasa saling terikat yang wajar, cintalah yang bertindak sebagai benang pengikat.

Pesan itulah yang hendak disampaikan dalam ”Lukisan Perkawinan”. Sebuah cerpen yang berkisah tentang kecemburuan seorang suami terhadap istrinya dengan menuduh menjalin asmara dengan seorang pelukis. Namun, sang istri punya maksud lain: prihatin terhadap

keluarga pelukis yang miskin.

Semangat senada juga ditemukan dalam “Kado Perkawinan”. Hamsad mendedahkan konflik kejiwaan keluarga tukang cukur. Dari kado perkawinan itu terungkap siapa sebenarnya Sukri, kekasih yang telah menjadi suami Rabiah. Ia adalah seorang pegawai negeri yang berprofesi sebagai tukang cukur. Mimpi-mimpi Rabiah untuk menghapus semua predikat yang bertalian dengan tukang cukur pun lenyap. “Kau tak boleh kecewa, sayang. Semua pekerjaan itu mulia. Aku adalah tukang cukur di kantorku. Aku mencukur para pegawai di departemen. Banyak pegawai seperti aku.”

Beragam soal yang ditulis Hamsad itu memperlihatkan kekayaan imajinasi liarnya, maupun keluasan penjelajahan perasaan para tokohnya, sekaligus betapa besar cintanya terhadap cerpen. Ia sepenuhnya memikirkan cerpen dan tak nampak punya ambisi untuk menulis berbagai hal lain.

Membaca karya-karya Hamsad laksana menatap sebuah lukisan muram, sedih, mengajak orang untuk bermenung tentang penderitaan dan beban hidup yang dialami para tokohnya. Dari situ terlihat jelas keteguhan pendirian dan kepedulian Hamsad pada orang-orang kecil. Kenyataan hidup yang berat dan penuh beban dari mereka yang miskin, menderita, petaka yang tak putus, dan penuh angan-angan. Mereka menerima nasib dengan semacam rasa cinta: amor fati.

KOMARUDIN. Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra

Indonesia angkatan 1992 IKIP Jakarta.

Page 24: Stomata #3 40pp

C CERPENC

24

GERIMIS YANG MELUNCUR di papan besar bergambar Ronald McDonald yang terkenal itu menjadi gambar yang begitu membosankan bagi seorang Paman Asia berkaos biru bertuliskan “CHE” yang duduk-duduk di sebuah kedai kopi dengan jendela-jendela uniknya yang berwarna coklat dengan kaca yang kebinar-binaran.

Sebab bosannya normal saja, di manapun ia selalu bertemu dengan gambar Ronald McDonald, di papan besar, di bandara ibu kota pertama kali ia mendarat, di rumah sakit, di bus-bus sekolah, bahkan di cangkir kopi tempat di mana ia sedang duduk-duduk saja Ronald McDonald selalu ada. Ini ajaib, katanya. Di televisi Ronald mirip politikus, penyihir kapitalisme papan atas.

Ya di seberang papan besar Ronald McDonald itu, ada perempuan yang sedang ia tunggu lengkap dengan keranjangnya. Sedari tadi masuk toko kelontong sebelah Drive in.

Jika saja matahari sore ini datang memasuki celah-celah kaca jendela, bisiknya dalam hati. Pastinya cahaya itu bakal dibuatnya berbelok-belok, membentuk seperti jalan-jalan aspal yang panjang di bukit-bukit. Jalan yang terbuat dari cahaya imajinasi. Dan ia sengaja memindahkan, mengumpulkan cahaya di cangkir kopi bergambar Ronald McDonald. Kebiasaan itu lagi.

Pastinya suasana unik yang selalu membayang-bayang imajinasi palupinya saat bermain-main cahaya akan memecahkan pagi tadi yang begitu redup karena mendung. Kini Paman Asia tidak

bisa bermain cahaya sore di cangkir-cangkirnya. Hingga sorenya dilalui saja dengan duduk–duduk sambil membolak-balik buku telpon.

Lalu, seorang perempuan kulit putih keluar dari pintu toko kelontong seberang tempat duduknya. Dari jendela jua, Paman Asia melihat gerimis menyapa perempuan itu lebih dulu. Perempuan kulit putih yang membawa sebuah keranjang. Betul keranjang yang agak besar.

Perempuan itu menunggu sejenak di bawah papan besar Ronald McDonald, merapikan barang-barang di keranjangnya dan merapikan kancing baju tebalnya. Tak lupa rambutnya. Beberapa kali ia menepuk-nepuk baju tebalnya yang kotor karena debu. Suasana Drive in yang agak ramai, kebanyakan anak muda, membuatnya timbul tenggelam bersama lalu-lalang mobil-mobil.

Perempuan kulit putih itu tersenyum membuka tas kecil melambai sapu tangan kepadanya. Paman Asia membalas dengan mengangkat tangan. Tanda untuk segera duduk-duduk bersamanya.

Dari dekat, perempuan kulit putih itu mengenakan baju tebal dengan bulu-bulunya sebagai penghalang hujan dan dingin. Alisnya yang tipis, rambut yang panjang bergelombang, bibir yang tipis pula tersenyum sambil mencium pipi Paman Asia dengan mesra. Duduklah ia mengobrol-ngobrol.

“Apa yang kamu dapat?” Paman Asia memulai pembicaraan.

ALANN KLITCKHOFRianto

Page 25: Stomata #3 40pp

CCERPENC

25

“Banyak sekali,” jawabnya singkat.

Perempuan kulit putih itu banyak menunjukan barang-barang yang ia beli dari toko kelontong. Jam tangan, jam beker, sepatu kulit, seragam tentara, dan tak lupa mainan-mainan kecil. Sementara deru-deru suara mobil yang keluar dari Drive in seperti menenun gerimis yang membuat sikap Paman Asia melaju dingin seperti ban-ban yang melaju pelan di aspal.

Percakapan mengenai barang bekas seperti ini sebetulnya selalu dinantinya.

Terutama barang bekas yang meninggalkan jejak perang. Perang dunia pertama, Perang dunia kedua, perang saudara di Afrika, jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki. Tulisan feature pasca jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki oleh Jhon Hersey dari majalah The New Yorker menjadi pengetuk hati sepasang kekasih itu pergi ke Negeri Sakura, mengantarkan kimono tua milik korban bom yang didapatinya di sebuah pameran bulan oktober di Munich Jerman.

Jam tangan, jam beker, sepatu kulit, seragam tentara, membuat mereka merasa asik membicarakan pemilik barang bekas yang dulu. Mulai dari kesan pertama apiknya barang-barang bekas itu saat dijaga pemiliknya sampai imajinasi di mana barang bekas itu sudah dilupakan akibat perang. Kenapa dilupakan? Mungkin saja bukan dilupakan, hanya tertinggal. Hanya saja semudah itukah memori manusia. Mudah lupa, mudah pula mengingat.

“Bukankah itu hal yang lucu sekaligus tragedi, layaknya kisah Alice in Wonderland?,” kata Paman Asia .

“Ya, ya.. aku pun membayangkan seperti itu,” perempuan itu menyahut dengan senyum-senyum lebarnya.

Dengan tanggap ia membungkus

barang-barang bekas agar terlihat rapi, tak lupa mengelapnya juga.“Aku menyukai pekerjan ini. Aku menyukainya,” sambil membungkus.

“Lalu adakah jejak-jejak perang yang ditinggalkan pemiliknya, tulisan-tulisan, nama, tanggal, lalu kita cari alamatnya. Ya alamatnya,” Paman Asia itu mulai bergairah.

“Tunggu dulu!” perempuan itu menyela, “Jangan lupa, bukankah kita malam ini akan mengunjungi rumah Alann Klitckhof. Benarkah alamatnya di Meriddian Flannel No 5? Surat-surat dan tamagochi ini harus sampai padanya bukan?”

Di mata Paman Asia, perempuan itu begitu cerdas. Paman Asia menyukainya.

Ada yang janggal, perempuan itu seperti sedang ragu untuk mengungkapan hal yang penting. Penting sekali. Tapi belum dapat celah karena Paman Asia sedang bergairah dengan catatan dan buku telpon.

Saat membungkus sering kali bola mata perempuan itu mencuri tatapan, melihat wajah Paman Asia yang juga sibuk membuka buku telpon. Namun senyum, kerut dahi plus alis perempuan itu yang naik seakan memberi makna berbeda. Lihat saja, saat Paman Asia membalas tatapan itu. Taktik yang selalu sama yang dilakukan oleh perempuan manapun.

MALAM SEHABIS SEHARIAN HUJAN. Pukul tujuh lebih tiga belas menit di sebuah jarum jam hitam metalik yang besar di stasiun kota ini, mereka naik taksi menuju jalan Meriddian Flannel yang basah aspalnya. Sepasang kekasih itu menuju rumah Alann Klitckhof. Tak henti-hentinya mereka membicarakan kereta yang baru saja mereka naiki.

Page 26: Stomata #3 40pp

C CERPENC

26

Taksi berhenti di sebuah rumah yang agak kecil dengan pagar putih lancip menjadikannya lebih unik dibandingkan dengan deretan rumah lain di sekitarnya. Ya itulah rumah Alann Klitckhof. Tamannya bagus. Tumbuh bunga-bunga lengkap dengan rumput-rumput yang selalu basah. Tak ada garasi. Padahal di kota ini hampir semua penduduknya mempunyai mobil. Industri mobil di negara ini sedang maju-majunya. Menurut supir taksi tadi, kredit mobil, rumah, juga sangat mudah.

Jalan mulus di depan halaman rumah Alann Klitckhof itu bakal terlihat batu-batu granit besar tertanam di halamannya, tentunya setelah melewati pintu pagar yang putih lancip lengkap dengan tempat surat

yang berdiri gagah di depan pintu pagar, sepasang kekasih itu menemui tangga kecil dengan dua-tiga langkah kaki tingginya. Setelah menaiki tangga ada sebuah bangku panjang dari kayu dengan koran-koran yang bertumpuk begitu saja barulah bisa terlihat. Oh ada juga dua kucing berbulu cantik sedang bermalas-malasan dengan makanan kucing di piring yang belum habis disantapnya. Naluri mencintai binatang perempuan itu pun muncul, mengelus-elus bulu si kucing, sementara jari telunjuk Paman Asia menekan bel.

Bel pun berbunyi. Sambil menunggu, perempuan itu tersenyum ke Paman Asia.

Perempuan itu merapikan kemeja Paman Asia. Pun topinya. Paman Asia

membalasnya dengan kecupan di kening. Tentunya mereka tetap bergandengan.

Seorang Bapak dengan kumis tebal dan kepalanya yang hampir botak membuka pintu.

“Apakah benar ini rumah Alann Klitckhof?” tanya perempuan itu dengan bahasa lokal yang terbata-bata terbalut senyum dan semangatnya.

“Ya benar, itu saudara kembarku,” jawabnya cepat.

“Silahkan masuk,” ajaknya ramah.

Sejam. Dua jam. Sepasang kekasih itu bersenda gurau dengan kembaran Alann Klitckhof yang berkisah seputar isi surat-surat dan tamagochi Alann Klitckhof.

Lukisan Badut, Minyak di atas Kanvas oleh Pelukis W. Shelton, www.ioffer.com

Page 27: Stomata #3 40pp

CCERPENC

27

“Alann Klitckhof? Si Badut lucu itu memang selalu melakukan hal-hal bodoh,” tutur Paman Bred memberitahukan kisah menarik tentang kembarannya itu.

Alann Klitckhof, ia lihai membuat tertawa siapa saja. Alann Klitckhof dikenal tenaga medis, tetangganya sering memanggilnya, “Hai Badut Medis selamat pagi!” tutur adiknya terkekeh.

Saat kota ini menjadi pusat perang, saat pesawat-pesawat tempur fasis menggempur kota, Alann Klitckhof dikenal sebagai badut medis. Ia berdandan seperti badut menghibur anak-anak korban perang sambil sibuk sana-sini membawa obat, begitu juga saat mengangkat mayat.

Di meja-meja penuh dengan makanan kecil dari gandum dan kacang-kacang, keju dan susu. Tak lupa minuman bersoda seperti coca-cola selalu hadir di negara ini.

Sepasang kekasih itu pun pulang dengan bahagianya. Mereka mendapatkan teks-teks yang menarik. Teks-teks yang mampu berbicara di radio. Menggantikan pidato-pidato yang tak berguna dari anggota parlemen yang menjijikan.

“Apa tadi kau merekamnya,” Paman Asia itu menanyainya.

“Ya, aku merekamnya. Paman Bred juga lucu. Meski Alann Klitckhof belum pulang dari perantauan sirkus kelilingnya. Bulan depan mungkin kita akan menemuinya lagi. Kata Paman Bred, Alann Klitckhof akan mengirimi kita surat. Jadi tunggu saja.”

“Surat-surat dan tamagochi itu?”

“Itu juga sudah aku titipkan kepada Paman Bred. Saat itu kau keluar mengangkat telpon dari redaktur.”

Pintu Paman Bred masih terbuka saat ia mengantar sebentar sepasang kekasih

itu meninggalkan rumahnya yang berpagar putih lancip. Sepasang kekasih itu bergegas menaiki taksi yang sudah ditelpon Paman Bred. Mengantar mereka ke stasiun kereta yang bakal berangkat pukul 11 malam ini.

Di tengah-tengah cerita kekaguman mereka dengan kereta-kereta lagi, Perempuan itu menceritakan hal yang tertunda sore tadi.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” tutur perempuan itu.

Menurut tutur penjaga toko yang ditemuinya sore tadi, toko kelontong itu akan dijualnya. Begitu juga toko-toko di sekitarnya. Perusahaan fast food memberikan penawaran yang ‘tidak biasa’. Begitu menggairahkan. Toko kelontong tadi yang dikunjunginya untuk membeli barang-barang bekas berupa jam tangan, jam beker, seragam tentara, katanya juga akan disulap menjadi sebuah taman bermain untuk anak-anak.

Bila jadi, toko itu akan tertanam di memori Perempuan itu saja saat bangunan fisik diratakan.

“Taman bermain seperti Disney, Ronald McDonald?”

“Ya betul…”

“Ini gila, sore tadi saat duduk-duduk aku sudah memikirkan hal itu,” jawab Paman Asia sambil mengangguk-angguk, membuka topinya, berjalan, berpikir tajam memasuki pintu kereta. ***

RIANTO. Mahasiswa Jurusan Geografi UNJ. Cerpennya pernah masuk dalam tiga belas nominasi Kumpulan Cerpen

“Fragmen” UKMP Malang yang diterbitkan Gramediana.com

Page 28: Stomata #3 40pp

BBUKUB

28

Karl May adalah sebuah nama besar di kesusastraan dunia. Karyanya masih memiliki gema hingga hari ini.

Sudah tak terhitung berapa banyak orang yang terinspirasi dari pembacaan atas karyanya itu. Karya Karl May menuntun pembaca ke padang penejelahan imajinatif pembaca yang liar, menegangkan, lucu, dan terkadang juga memilukan.

Di Indonesia, nama Karl May bukanlah barang baru. Bukan juga barang lama yang lapuk kesepian ditinggalkan pembacanya. Karl dan karyanya masih melekat di sanubari pembaca masyarakat Indonesia. Terus memprovokasi pembaca melalui ideologi kesetaraan antar manusia, kemerdekaan, kebenaran, pengembaraan, dan pelestarian lingkungan hidup. Semua hal itu tak saja dibicarkan secara kritis, tetapi juga indah.

Konon, remaja Indonesia tahun 1930-an mengenal lebih baik arti kemerdekan setelah membaca karya Karl May. Salah satu diantara mereka adalah Bung Hatta. Generasi lain, diantaranya adalah Seno Gumira Ajidara.

Seno merasa cerita Karl May yang dibacakan ibunya merasukinya hingga kini. Seno bahkan menganggap pengembaraan adalah tujuan hidup manusia. Ketika masih remaja, Seno memutuskan melakukan pengembaraan hingga ke Medan, Sumatera Utara. Ia sempat kecewa ketika mengetahui Karl tak menjelajah ketika menuliskan kisah Winnetou.

Lain Seno, lain pula Emil Salim. Hari Sabtu pada jam pelajaran terakhir, gurunya membacakan kisah petualangan Winnetou. Akibat ulah gurunya, Emil Salim dan beberapa temannya menjelajahi

Lutfy Mairizal Putra

MEMBACA KEMBALI KARL MAY DI DUNIA SERIBU PILIHAN

Judul : Old Shatterhand: The Wild West JourneyPenulis : Karl MayUkuran : 14 x 21 cmPenerbit : Visi Media PustakaCetakan : Pertama, September 2013ISBN : 979-065-192-9

Page 29: Stomata #3 40pp

BBUKUB

29

hutan di sekitar Bukit Surelo dan sepanjang sungai Lematang.

Mereka bertingkah bagai Old Shatterhand. Ingatan ini teringat kembali saat Emil Salim ditugaskan mengembangkan lingkungan hidup. Terlihatlah benang merah antara hubungan manusia dengan hutan seperti yang dikisahkan Karl.

Siapakah Karl May hingga ia mampu “membodohi” pembacanya dengan kisah yang tak dialaminya sendiri?

Bernama lengkap Karl Friedrich May. Lahir di Hohenstein-Ernstthal, Chemnitzer Land, Jerman, 1842. Karl kecil menderita kebutaan karena kekurangan gizi tak lama setelah lahir. Saat berumur lima tahun Karl kecil dioperasi sehingga ia bisa melihat kembali. Karl sempat dipenjara selama tujuh tahun akibat pencurian dan penipuan.

Sikap baiknya di penjara memjadikan May sebagai pengelola perpustakaan. Status barunya memberikan akses besar untuk membaca, terutama buku-buku perjalanan. Karya pertamanya yang dipublikasikan adalah Die Rose von Ernstthal yang terbit pada November 1874.

Kariernya sebagai penulis mulai bersinar saat Friedrich Ernst Fehsenfeld berniat menerbitkan ulang kumpulan kisah Son of the Bear Hunter dalam bentuk buku tahun 1891. Ceritanya yang terkumpul dalam seri Collected Travel Accounts diterbitkan tahun 1892. Publik Jerman ternyata begitu menggemari serial yang bertema petualangan itu. Karyanya yang paling populer pada masa ini adalah serial Orient Cycle dan Winnetou Trilogy.

Old Shatterhand: The Wild West Journey adalah novel terjemahan bagian pertama dari Winnetou Trilogy edisi berbahasa Inggris. Sebagai karya sastra, novel ini merupakan kisah petualangan yang indah. Seperti kebanyakan karyanya,

Karl membuat pembaca terhanyut dalam petualangan yang menegangkan.

Novel ini berkisah tentang seorang pemuda kelahiran Jerman bernama Charlie, yang akibat situasi tak menyenangkan di kampung halaman dan keinginan berpetualang, membuatnya menyeberang ke benua Amerika dan menuju ke Wild West. Cerita berpusat pada Charlie yang awalnya bekerja sebagai guru pribadi.

Kisah hidup Charlie berubah saat ia bekenalan dengan Mr. Henry, seorang pembuat senjata berdedikasi tinggi. Mr. Henry – dan orang-orang penjelah – memanggil Charlie dengan sebutan tanduk hijau. Mr. Henry menantang si tanduk hijau untuk mengetahui seberapa hijau tanduk yang dimilikinya: menembak, menjinakkan kuda, dan ilmu pengukuran.

Mr. Henry dibuat kagum dengan kemampuan Charlie. Tak disangka, Mr. Henry merancang semua ujian ini untuk mengukur kemampuan Charlie apakah ia pantas menjadi pengukur dan menjelajah bersama Sam Hawkens, Dick Stone, dan Will Parker.

Charlie mendapat julukan Shatterhand dari Mr. White karena pukulan kerasnya mampu menjatuhkan Rattler, pria berbadan besar, dalam sekali pukul. Petualangan pun dimulai. Sam mengajak Charlie untuk berburu bison, menangkap dan menjinakkan bagal, serta membunuh beruang grizzly. Semua hasilnya mengejutkan Sam. Hal yang disebutkan terakhir tak dilihatnya secara langsung, namun masih membuat Sam tak percaya.

Walau tidak diterjemahkan dari edisi berbahas Jerman, dalam hal ini, penerbit memiliki usaha untuk kembali membumikan karya-karya Karl May. Meski bukan satu-satunya penerbit yang menerbitkan karya Karl May, kaum muda seperti mendapat pilihan baru dalam

Page 30: Stomata #3 40pp

BBUKUB

30

membaca ditengah gempuran novel pop.

Usaha ini tentu tak sempurna. Menurut Pandu Ganesa, seorang pecinta karya-karya Karl May, buku ini memiliki beberapa kekurangan yang cukup fatal. Pertama, perihal alasan Karl menulis tentang Winnetou yang tidak dicantumkan. May menulis untuk membela kaum Indian yang tertindas akibat kehilangan tanahnya. Seolah ini adalah fiksi biasa.

Kedua, soal ketepatan penerjemahan. Naskah fiksi yang serius dibuat menjadi populer. Pandu mencontohkan kesalahan ini seperti pada karya Pram. Belum lagi masalah hak cipta penerjemahan. Pandu menjelaskan, ada enam versi Winnetou berbahasa Inggris: pada abad 19, tahun 1970-an, tahun 1990-an, dan 3 lainnya dari abad-21.

Dalam novel ini, kita akan menemukan banyak sekali kata “tanduk hijau”. Ungkapan untuk me-nyindir seseorang minim pengalaman namum tak menyadari k e k u r a n g a n n y a . Dalam hal ini adalah aktivitas penjelajahan. Tanduk hijau selalu disematkan kepada Charlie mengingat p e n g a l a m a n pertamanya dalam menjelajah Wild West.

Charlie seperti menyadari apa yang akan terjadi. Sebelum tiba di Wild West, ia telah membaca semua seluk beluk kehidupan liar: bagaimana berbunuh bison, menangkap kawanan mustang liar dan menjinakkan

bagal, serta membunuh beruang grizzly, juga perilah seluk beluk kehidupan Indian.

Kata “tanduk hijau” seperti mengingatkan kita kepada penulisnya. Karl adalah tanduk hijau dalam dunia penjelajahan. Dalam menulis novel-novel besarnya, ia tak pernah benar-benar melakukan penjelajahan. Penjelajahan yang terjadi ketika usianya sudah tua.

Namum ke-tanduk hijau-an itu bisa diatasinya lewat literatur yang dipelajari. Penjara menjadi kembali menjadi tempat untuk sebuah proses kreatif kepenulisan. Karl membuktikan kepada pembacanya bahwa tanduk hijau, untuk urusan apapun, bisa diatasi dimulai dengan membaca. Ini dibuktikan ketika ia mennaklukan bison, menghadapi beruang grizzly, dan mencari jejak Indian.

Pada abad 21, bagaimanakah kita memperlakukan Karl May? Kaum tua mungkin sudah tak asing denganya, namun

bagaimana dengan kaum muda, sebuah golongan yang menjadi sasaran utama kebudayaan massa?

Perkembangan teknologi informasi membuat dunia memiliki begitu banyak pilihan dalam kehidupan berbudaya. Kebudayaan massa begitu cepat menyebar untuk di konsumsi masyarakat hingga kehilangan kemampuan untuk memilih. Belum lagi ditambah dengan logika yang berujung pada utilitas. Ditengah semua itu, Karl May akan tetap bertahan.

Page 31: Stomata #3 40pp

FFILMF

31

Kisah dimulai dari narasi seorang Nick Carraway (yang diperankan oleh Tobey Maguire) yang

begitu tergila-gila dengan keagungan perkembangan kota New York yang kian pesat. Nick seorang pemuda biasa yang sangat mungkin untuk tergiur dengan kegilaan kota New York. Pada tahun 1922 New York telah menjadi kota dengan sejuta impian bagi yang orang-orang di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi melonjak tajam. Semua orang-orang berlomba-lomba menjadi orang yang kaya-raya.

Harga saham yang terus melonjak naik, sehingga menciptakan banyak orang kaya baru. Kegilaan ini semakin menjadi ketika orang-orang mulai membuat pesta-pesta

semakin besar, gedung yang makin tinggi, pusat perbelanjaan makin menjamur, dan pelarangan alkohol yang tak pernah berhasil –bahkan harga jualnya kian murah.

Wall Street –sebuah istilah yang digunakan bagi ‘kepentingan finansial yang berpengaruh’ di Amerika, berhasil memanggil pemuda biasa saja ini, Nick Carraway, untuk ikut mengadu nasibnya di New York. Seseorang lulusan Yale ini mengubur impiannya sebagai seorang penulis untuk menjadi seorang penjual obligasi dengan grup Walter Chase. Nick menjadi semakin menggilai kota New York

Pertaruhan Cinta, Kepercayaan, dan KesetiaanLarissa Huda

Judul Film : The Great GatsbySutradara : Baz Luhrmann, Craig PearcePemain : Leonardo DiCaprio, Tobey Maguire, Carey Mulligan, Joel Edgerton, Isla Fisher, Adelaide Clemens, Elizabeth Debicki, Jason ClarkeGenre : Drama, RomantisTahun : 2013Adaptasi : Novel The Great Gatsby oleh F. Scott Fitzgerald

Page 32: Stomata #3 40pp

F FILMF

32

dengan segala kemegahannya.

Nick tinggal di sebuah rumah yang terletak 32 km dari kota di Long Island, tepatnya di West Egg. Ia tinggal di sebuah pondok usang yang diapit oleh vila para orang kaya baru. Secara kebetulan, Nick tinggal di sebuah istana megah milik seorang yang kaya raya dan misterius, pria itu bernama Gatsby (yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio). Seorang yang dianggap lebih kaya dari tuhan yang kerap kali mengadakan pesta besar-besaran di rumahnya.

Hampir semua orang tidak tahu siapa sebenarnya Gatsby. Orang-orang mengenalnya hanya sebatas kabar dari media yang memberitakannya, yang kenyataannya kekuasaan tak mampu membuat media menyibak fakta siapa Gatsby sebenarnya. Yang mereka ketahui soal identitas Gatsby hanyalah omong kosong.

Kekaguman Nick terhadap kota New York pelan-pelan pudar setelah ia bersahabat dengan Gatsby. Pemuda kaya raya ini telah menunjukan betapa carut-marutnya orang-orang yang ada di sekitanya ini tanpa ia mengatakannya sendiri. Gatsby telah menjadi pintu bagi Nick untuk mengetahui kebenaran yang orang-lain sama sekali tak mengetahuinya. Bagi Nick, banyak orang busuk di luar sana yang mempertaruhkan cinta, kepercayaan, bahkan kesetiaan. Yang ada hanya ada pengkianatan, kepalsuan, dan perselingkuhan.

The Great Gatsby merupakan sebuah film yang disutradarai Baz Luhrmann yang diadaptasi dari sebuah novel legendaris Amerika yang ditulis oleh F. Scott Fitzgerald di tahun 1925. Film ini sudah tiga kali diadaptasi yang sebelumnya juga pernah disutradarai oleh Herbert Brenon (1926), Elliott Nugent 1949), dan Jack

Clyaton (1974).

Film ini mengungkapkan banyak rahasia yang disampaikan lewat tokoh seorang Gatsby. F. Scott Fitzgerald menggambarkan banyak ketimpangan yang terjadi dalam kepribadian seorang Gatsby maupun keadaan sosial yang terjadi pada saat itu yang menggunakan latar New York pada tahun 1920-an. Gatsby dikisahkan sebagai seorang yang kaya raya namun misterius. Tak ada seorangpn yang tahu dari mana kekayaannya itu berasal. Namun itu tak membuat orang-orang enggan untuk absen dari setiap pesta yang diadakan Gatsby tiap malam akhir pekan. Bagi mereka, kesenangan adalah segalanya.

Namun, ini bertolak belakang dengan keadaan Gatsby yang justru hampa sama sekali dalam dirinya. Tak ada yang tahu bahwa di balik pesta yang diadakannya semalam terselip imanjinasinya bahwa Daisy (yang diperankan oleh Carey Mulligan), seorang gadis yang amat ia cintai akan hadir suatu hari. Meskipun ia tahu bahwa Daisy tekah menjadi seorang istri pemuda kaya raya yang bernama Tom Buchanan (yang diperankan oleh Joel Edgerton) yang rumahnya dengan sengaja terletak berseberangan dengannya. Imajinasi Gatsby kian menjadi nyata ketika ia tahu tetangganya itu –Nick Carraway adalah sepupu dari gadis itu. Gatsby

Page 33: Stomata #3 40pp

FFILMF

33

menjalin hubungan persahabatan yang tulus dan hangat dengan Nick Carraway.

Kisah ini juga mengangkat latar situasi masyarakat Amerika pada tahun 1920-an ini mengangkat tema seperti kebobrokan sosial, ketimpangan kelas, idealisme, dan sebagainya yang relevan pada masa Jazz Age. Hal ini digambarkan dengan ketimpangan dari kemegahan New York dan sebuah tempat yang disebut sebagai lembah abu yang mana tempat ini adalah tempat yang terpinggirkan. Sebuah tempat pembuangan New York antara West Egg dan kota besar, tempat di mana batu bara terbakar dan sisa-sisa sampah kota dibuang. Tempat ini pernah dijaga oleh Dr. T.J. Eckleburg, yang kemudian gambar matanya di pajang di kota tersebut dan disebut sebagai mata tuhan.

Kisah Gatsby menjadi dramatis ketika Daisy seorang gadis yang telah lama ia tunggu ternyata lebih memilih pergi bersama dengan Buchanan. Sebelumnya, Daisy berjanji untuk hidup dan menikah bersama Gatsby. Hal ini dilakukannya karena ia takut nama baiknya hancur karena ia telah membunuh selingkuhan suaminya,

Myrtle (yang diperankan oleh Isla Fisher). Untuk menutupi perselingkuhannya dengan Myrtle, Bucahana juga mengarang cerita pada suami Myrtle bahwa Gatsby yang telah membunuh Myrtle. Hingga akhirnya George –suami Myrtle, (yang diperankan oleh Jason Clarke) menembak Gatsby dan bunuh diri sebagai aksi balas dendamya. Media kian gencar memberitakan keburukan Gatsby yang Nick tahu bahwa semua itu adalah kebohongan yang dikarang publik.

Nick kian muak ketika para fotografer, penulis tabloid, dan media lainnya yang melimpahkan semua kesalahan pada Gatsby: Perselingkuhan dengan Myrtle, tabrak lari, korupsi, penipuan, dan sebagainya yang satupun fakta tersebut tidak ada yang benar. Semua orang datang pada Gatsby atas nama uang dan kesenangan sekaligus pada ketidak pedualiannya. Nick meninggalkan New York. Kota yang menjadi oase telah membuatnya muak. Kutipan percakapan Nick sebelum kematian Gatsby telah mewakili segalanya. –Ada orang busuk di luar sana. Kau lebih berharga dari mereka semua. Satu-satunya pujian yang ia berikan padanya.

Page 34: Stomata #3 40pp

TOKOH

34

TTJoko Pinurbo: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

Sebermula adalah etos, penghantar daya survival dalam sastra. Limapuluh tahun lalu di Sukabumi, dataran

Sunda yang jelita: Penyair ini lahir ke dunia kata-kata untuk membuktikan bahwa kerja kepenyairan adalah pekerjaan yang bukan main-main. Meski kadangkala selama prosesnya berlangsung, seringkali hidup dimaknai sebagai arena bermain –di sinilah terletak maksud yang-serius atas pemaknaan Homo Ludens.

Joko Pinurbo (degan sapaan akrab Jokpin), demikianlah kedua orangtuanya memberikan nama untuknya dengan doa. Seseorang yang di puncak kematangannya menulis puisi yang teguh, begini: Kau adalah mata, aku airmatamu. (Kepada Puisi, 2003) Demikianlah anasir tentang seorang laki-laki yang mengibaratkan puisi sebagai suaka yang otonom di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Apapun yang dicerap oleh penglihatan adalah apapun yang senantiasa diresapi dalam hati. Dengan kata lain, seorang penyair bersikeras mengasosiasikan dunia rekaannya –sebagai induk dari bahasa– dengan perenungan kembali pengalaman yang berupa pernyataan keber-ada-an yang tak pernah usai [istilah Heidegger] yaitu puisi, sekaligus prosesi penciptaannya.

Di pengujung dekade 70an, Jokpin menginjak usia remaja di tanah Yogyakarta, sebuah kota istimewa, lalulintas kebudayaan dan kesenian

Hamzah Muhammad

Semasa di bangku sekolah menengah, ia sangat menggemari betul sajak-sajak karya penyair Yudhistira ANM Massardi –yang umumnya bernuansa mbeling dengan tipikal liris. Ia ingat bagaimana puisi, ternyata bisa diselipkan unsur-unsur anekdot dan simbol-simbol yang-komikal, tanpa repot kehilangan alusi [yang oleh Goenawan Mohamad disebut: pasemon]. Jokpin mengisyaratkan bahwa karya Yudhistira ANM Massardi adalah inspirasi utamanya. Sajak Sikat Gigi, salah satu buku yang dikagumi Jokpin: menampilkan imaji yang semi-surealis, namun logis. Metafora dalam puisi Yudhistira itu segar, katanya.

Kemudian, selepas bersekolah, ia menempuh studi perkuliahan sastra Indonesia di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Sementara di Malioboro, saat itu Umbu Landu sudah tidak menetap di sana lagi. Namun, secara beruntung ia dipertemukan dengan Linus Suryadi AG –yang masyhur karena puisi epik Pengakuan Pariyem– mengangkatnya sebagai pemuda tanggung yang mencintai kata-kata, menggemari bahasa.

Bermodalkan keaktifannya bergiat di ranah sastra kampus ketika mahasiswa dijadikan tempaan diri sebagai tukang syair. Tak berapa lama selepas kesarjanaan, di tahun 1986, Jokpin ikut ambil bagian dalam Tugu bersama 32 penyair Yogyakarta lainnya. Di tahun berikutnya 1987, sejumlah puisinya dimuat dalam antologi bersejarah perpuisian Indonesia modern

Page 35: Stomata #3 40pp

TOKOH

35

TTyakni Tonggak, terangkum empat jilid. Dalam wawasan kebudayaan, Jokpin hidup di lingkungan Jawa, tapi daya ucapnya sangat mengesankan bahwa ia bagian dari Ibukota, Jakarta. “Saya tidak bisa menulis seperti Darmanto Jt. menulis sajak yang penuh dengan sempalan bahasa jawa bahkan bahasa asing.”

Kini di usianya yang kepala lima, Jokpin, disebut pula Penyair Asu, mengakui bahwa yang terpenting baginya sekarang adalah bagaimana konsitensi dalam mempertahankan puitika, dengan kata lain mempertahan pencapaian atau meningkatkannya lagi. Konsitensi seperti ini baginya, berharga bila dijadikan pertimbangan seorang penyair, terutama kalangan penulis muda. Jokpin berseloroh, “Mentalitas adalah konsekuensi penulis. Pun, etos kerja seorang penyair merupakan harga diri atas proses kreatifnya.”

*PengarangPengarang, engkau sungguh sabarmenunggu ide yang tanpa kabar.Dirimu sangat percaya dirimeskipun karyamu tidak banyak terbeli.

Jokpin berbagi cerita tentang puisi di atas. Seorang anaknyalah Paskasius Wahyu Wibisono yang menulis sewaktu masil kecil dimuat di majalah Bobo, tertanggal 27 November 2003: kurang lebih mencerminkan dirinya, sosok bapak yang dikagumi, disayangi. Seumpama buah dedikasi yang begitu manis, hubungan kekeluargaan yang hangat.

September 2013, prosa Joko Pinurbo – Laki-laki Tanpa Celana dimuat di kolom Cerpen. Menurutnya, ini adalah perpanjangan dari puisi yang pernah dibuatnya dengan judul yang sama. Termuat dalam Telepon Genggam (Kompas, 2003). Melalui penuturannya; “…menulis cerpen sebetulnya mudah seandainya sudah ada alur, dan plot. Tapi lebih susah lagi menulis puisi, yang tak beralur –tak disangka akhirnya. Dan ternyata persoalannya terletak pada, saya lebih terbiasa menulis puisi.”

Buku kumpulan puisinya yang telah terbit: Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Trouser Doll (terjemahan Celana; 2002),

Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004, cetak ulang 2010), Pacar Senja (Seratus Puisi Pilihan; 2005), Kepada Cium (2007), Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (cetak ulang tiga kumpulan puisi, 2007), Tahilalat (2012), dan Baju Bulan - Seuntai Puisi Pilihan (2013). Penghargaan

Sketsa:‘Jokpin’ oleh Abi Rafdi (2013)

Page 36: Stomata #3 40pp

TOKOH

36

TTyang telah diterimanya: Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2001, Hadiah Sastra Lontar 2001, Sih Award 2001, Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001, Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002, Khatulistiwa Literary Award 2005, Karya Sastra Pilihan Tempo 2012.

*

Oktober yang lalu (20/10), Joko Pinurbo menerima redaksi Stomata Hamzah Muhammad di Wisma Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun – Jakarta Timur. Selama hampir empat jam peraih anugerah buku terbaik Tempo tahun 2012 Tahilalat (2012), ini berceritera perihal kelanggengannya bersama puisi. Mulai dari proses kreatif, pandangannya atas kesusastraan Indonesia dewasa ini sampai impian-impian yang ingin diwujudkannya.

Terkait puisi terakhir Anda di Kompas (22/09) yang kesemuanya diberi judul awalan dengan Surat, apakah ini percobaan baru dalam metafora?

Seperti biasa, saya menulis Surat-surat itu dengan niatan yang sama seperti sewaktu menulis celana, telepon, atau ranjang. Benda-benda yang saya pakai tak sepenuhnya mengembalikan makna yang utuh dari kata, namun berimplikasi secara denotatif. Surat, bagi saya, adalah metafora yang ingin saya perdalam lagi kedepannya.

Tahun 2012 Anda mendapat penghargaan buku dari Tempo. Bagaimana perasaan Anda?

Saya rasa ini jadi bahan pertimbangan saya atas jerih selama ini. Yaitu, konsistensi. Saya pribadi tak mengira bisa dapat penghargaan yang skala nasional untuk Tahilalat. Sebab, puisi-puisi yang saya tulis di situ prosesnya memakan waktu selama lima tahun. Mungkin ini faktor usia, yang memperlambat laju kegesitan dalam menulis. Akan tetapi, justru di situ letak

betapa perlunya mempertahankan puitika saya selama ini.

Pernah ada resensi yang ditulis Bandung Mawardi di Tempo bulan Maret lalu, perihal Haduh, Aku Di-follow. Bagaimana tanggapan Anda?

Ya, judul tulisan itu Berpuisi, Berpetuah. Tapi, isinya tidak sepenuhnya sesuai dengan judul tadi. Berpetuah yang dimaksud adalah ibadah lewat Twitter, mungkin. Sebab, puisi saya bukan semacam maklumat keimanan. Kalau ada yang beranggapan, hidup itu pada akhirnya kesedihan. Sekarang, bagaimana caranya saya membalik logika supaya hidup itu dirayakan. Selama hidup, kita mesti bersenang-senang –meski pintu masuknya berasal dari kesedihan sekalipun. “Saya tak pernah bercita-cita menjadi penyair. Cta-cita saya adalah menjadi puisi yang tak dikenal siapa penulisnya.”

Bisakah Anda ceritakan proses penerbitan Haduh, Aku Di-follow?

Begini. Saya memang pernah suatu kali berkeinginan mengumpulkan puisi-puisi pendek saya di Twitter. Tapi, penerbit terkait mendahului kesiapan saya itu. Di Twitter, saya seperti belajar haiku [puisi pendek Jepang]. Banyak percobaan baru di sana. Tapi, ya itu sudah jadi kemauan penerbit. Saya sama sekali tidak ikut serta dalam menyeleksi tulisan mana saja yang akan turun cetak. Niat, salah satunya, adalah untuk memperkenalkan sastra kepada pembaca dari generasi muda agar mencintai sastra. Dalam hal ini puisi.

Adakah kesulitan bagi Anda untuk menulis dengan sarana elektronik ketika, ketika ber-twitter atau berkomunikasi di dunia maya?

Saya itu sebetulnya sangat sulit beradaptasi dengan teknologi. Dulu, kalau menulis puisi mesti tulis tangan. Untungnya sekarang bisa mengatasinya,

Page 37: Stomata #3 40pp

TOKOH

37

TTdan beradaptasi dengan komputer. Tapi saya belum bisa menggunakan telepon genggam canggih, seperti BB. Khawatir malah tak punya waktu menulis juga. Misalnya, saya tidak pernah melihat handphone Afrizal Malna. Tapi, dia begitu pandai mengupas budaya kaum urban –perkotaan yang metropolitan. Ini mungkin lagi-lagi soal kepekaan. Dan sementara ini, saya pikir masih cukup dengan komputer. Alasan yang paling mungkin, ya kebutuhan saat ini belum mendesak.

Melihat perkembangan teknologi, apa yang Anda risaukan?

Bahwa generasi sekarang ini hidup di tengah pembauran nilai. Bermacam-macam wacana bermunculan. Sastra, contohnya. Kegelisahan saya muncul. Tantangannya, bagaimana pengarang/penulis supaya jangan sampai kehilangan kontemplasi [tahap perenungan, red] dalam menulis, supaya karyanya tidak sekadar lewat? Sebab, di dunia maya orang-orang seperti mabuk oleh keasyikannya sendiri. Keadaan yang melenakan ini amat bahaya.

Lantas, dalam keadaan sosial tersebut. Bagaimana Anda menyiasati proses kreatif sebagai penyair?

Seringkali saya mengembalikannya pada keheningan diri. Saya memilih duduk, menenangkan pikiran. Bukan tidak peduli dengan berita korupsi di televisi, misalnya. Tapi, membuat kopi itu pilihan terbaik. Kopi adalah cara bagaimana kita berdamai dengan diri sendiri. Di rumah, tiap pagi berlangsung rutinitas ini. Sambil merokok saja, sudah dari cukup. Keduanya menjadi teman akrab saya ketika menulis. Seperti terungkap di puisinya Surat Kopi: // Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama: Namaku. // [red]

Apakah puisi itu masih perlu dicetak dalam bentuk buku, mengingat kemajuan teknologi yang serba menyediakan apa saja?

Masih perlu, tentu saja. Karena keintiman mengalami puisi saat membaca. Buat saya sendiri, buku cetak itu amat penting untuk sumber dokumentasi sejarah. Agar, masyarakat kita bisa mengulas dan melihat urutan perkembangan kepengarangan seorang penulis.

Puisi karangan Anda sendiri, mana saja yang secara pribadi Anda sukai?

Ada beberapa puisi wajib yang biasanya saya bacakan. Tentang celana dan telepon. Celana Ibu, yang mengisahkan tentang Isa yang naik ke surga dengan mengenakan celana jahitan sang ibu. Telepon Tengah Malam, yang isinya tentang kehadiran sosok ibu dalam sakit si anak. Tak semuanya itu pengalaman pribadi, tapi orang-orang juga. Saya senang menyimak cerita dari teman sejawat, dan orang-orang terdekat. Saya kira, jadi penyair harus rajin mendengar banyak hal. Supaya puisinya tidak berkisar tentang tokoh aku-penyair saja.

Dalam Celana Ibu dan Telepon Tengah Malam, racikan metafora seperti apa?

Celana, bagi saya tidak jauh berbeda dengan hujan-nya Sapardi Djoko Damono, atau Senja-nya Chairil Anwar, atau bahkan Rembulan-nya Amir Hamzah. Ia telah jadi metafora umum, yang-universal. Fenomena celana jeans yang dipakai manusia modern sekarang, saya adopsi ke dalam puisi. Sehingga pengalaman membaca puisi, berarti pengalaman merefleksikan diri.

Page 38: Stomata #3 40pp

TOKOH

38

TT

Apa yang Anda harapan bagi perkembangan sastra?

Ini problematika laten. Kita butuh orang-orang yang tekun, yang bisa memediasi antara seniman dan birokrasi. Diperlukan pemeta angkatan sastra, yang sanggup menjembatani antara institusi kesenian dan akademik. Singkat kata, saya berharap ada lagi yang seperti HB Jassin, atau Ajip Rosidi. Kita pun butuh kritikus garda depan, yang siap pasang badan. Sebagaimana HB Jassin yang pernah membela Chairil Anwar dan HAMKA.

Selain itu?

Tinggal tugas kita sebagai penulis yaitu mengeksplorasi lebih dalam lagi Bahasa

Indonesia. Inilah harta kita sesungguhnya. Galilah terus khazanah kekayaannya, demi pengucapan baru. Saya pikir, umur bahasa Indonesia kita masih sangat panjang. Sebab, secara geografis Indonesia itu luas. Di samping itu, penerjemahan sastra Indonesia perlu dirintis kembali. Kita pernah punya pengalaman di tahun 70an: Dewan Kesenian Jakarta digawangi Ajip Rosidi gencar melakukan proyek penerjemahan sastra. Beruntung, Yayasan Lontar masih mencoba bertahan, memberikan sumbangan untuk sastra Indonesia. Meski, pihak pemerintah kita minim kepeduliannya.

Terakhir, apa cita-cita Anda sebagai penyair?

Ini pertanyaan yang sulit, sebetulnya. Tetapi, mudah saja menjawabnya. Selama saya diberikan kesehatan dan waktu. Saya mau terus menulis sebisa mungkin. Rasanya ini cita-cita setiap penyair manapun. Baju Bulan (Gramedia – 2013) yang terbit tahun ini sebetulnya ingin merangkum semua puisi saya. Namun, saya keberatan dengan tawaran tersebut. Jadi hanya puisi-puisi pilihan saja. Seperti halnya Pacar Senja (Grasindo – 2005). Pasalnya, pembukuan puisi itu secara langsung atau tidak, memengaruhi psikologi penyairnya. Suatu hari nanti, kalau memang diberi kesempatan, saya berniat membukukan semua karya dibawah judul, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. *

Sketsa:‘Jokpin 2’ oleh

Bella Purnama (2013)

BELLA PURNAMA. Lahir 29 Mei 1992. Sejak 2010 aktif berkuliahan di JBSIng. Kesehariannya mendengarkan

musik She & Him dan The Beatles , dan membuat sketsa.

ABI RAFDI. Mahasiswa jurusan Seni Rupa UNJ. Beberapa kali turut pameran

rupa, dan seni di tingkat regional. Gemar fotografi.

Page 39: Stomata #3 40pp
Page 40: Stomata #3 40pp

A AGENDA

40

A

INFOKAN KEGIATAN DAN ACARA ANDA DI SINI!

Stand Up Comedy

Sabtu, 24 Januari 2014, 12.00, 16.00, 20.00 di Gedung Kesenian Jakarta.Merem Melek Production presents: ILLUCINATI TOUR JAKARTA – THE FINALE. Standup Comedy Special Show by ERNEST PRAKASA. Opening by: Arie Kriting. Email: [email protected]

Malam Anugerah

Jumat, 27 Desember 2013 19.30 WIB di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.Dewan Kesenian Jakarta menye-lenggarakan Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 dengan tema ‘Sastra Indonesia Kontemporer, Satu Dasawarsa’.

DESEMBER-JANUARI

World Music

Sabtu, 28 Desember 2013 20:00-22.00 WIB di Graha Bhakti Budaya, PKJ TIMMahagenta pada usianya yang ke 17 tahun menampilkan pertunjukan ‘Sounds from The Past’ dengan mempernsembahkan Indonesia ke kancah dunia (Presents Indonesia to The World).

Teater

30-31 Desember 2013 16:00 WIB di Graha Bhakti Budaya, PKJ TIM. HTM: Rp 50.000- Rp 100.000Teater Tanah Air yang bekerjasama dengan Pusat Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki akan mempersembahkan teater berjudul ‘Legenda Sawerigading’ karya Remy Sylado dan disutradarai Jose Rizal Manua.

mengucapkan

Selamat Menyambut Tahun Baru 2014

“For last year’s words belong to last year’s languageAnd next year’s words await another voice.”― T.S. Eliot, Four Quartets

Segenap Pegiat dan Keluarga Besar STOMATA