skenario 3 nabila

22
NABILA (1102010197) SKENARIO 3 BLOK EMERGENCY STEVEN JOHNSON SYNDROME Definisi Suatu kumpulan gejala klinisi erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. (Djuanda) Etiologi Infeksi Virus Jamur Bakteri Parasit Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, Vaksinia Koksidiodomikosis, Histoplasma Streptokokus, Staphylococcus haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonella Malaria Obat Salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik Makanan Coklat Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab. Antibiotik 1. Sulfonamide: Cotrimoxazole (Bactrim, Cotrim) 2. Betalactam: Penicillin, Cephalosporin, Quinolon Antivirus 1. Non-NRTI: Nevirapine Antikonvulsan 1. Carbamazepine (Tegretol) 2. Phenytoin (Dilantin, Kutoin) 3. Phenobarbital (Cibital) 4. Valproic acid (Depakene) 5. Lamotrigine (Lamictal)

Upload: nisrina-fariha

Post on 18-Jan-2016

37 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario 3 Nabila

NABILA (1102010197)

SKENARIO 3 BLOK EMERGENCY

STEVEN JOHNSON SYNDROME

Definisi

Suatu kumpulan gejala klinisi erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.

Sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. (Djuanda)

Etiologi

InfeksiVirusJamurBakteriParasit

Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, VaksiniaKoksidiodomikosis, HistoplasmaStreptokokus, Staphylococcus haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonellaMalaria

Obat Salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik

Makanan CoklatFisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X

Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis

yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.

Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.

Antibiotik1. Sulfonamide: Cotrimoxazole (Bactrim, Cotrim)2. Betalactam: Penicillin, Cephalosporin, Quinolon

Antivirus1. Non-NRTI: Nevirapine

Antikonvulsan1. Carbamazepine (Tegretol)2. Phenytoin (Dilantin, Kutoin)3. Phenobarbital (Cibital)4. Valproic acid (Depakene)5. Lamotrigine (Lamictal)

Anti Inflamasi Non Steroid1. Golongan Oxicam: Meloxicam (Movi-cox), Piroxicam (Feldene)

Allopurinol (Zyloric) Kortikosteroid

Patofisiologi

Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.

Page 2: Skenario 3 Nabila

a. Reaksi hipersensitif tipe III

Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi

aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan

menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen

antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan.

Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada

beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi

ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan

jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai

memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini

menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

b. Reaksi hipersensitif tipe IV

Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen

yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu

antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat

lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Manifestasi Klinis

Gejala prodromal berkisar antara 1 – 14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada,

muntah pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut

Kulit berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak

dalam 1 – 14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah

vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama

(Hipersensitivitas Tipe IV)(Hipersensitivitas Tipe III)

Alergi Obat

Antigen antibodi aktivitas komplemen

Akumulasi Netrofil

Melepaskan Enzim

Kerusakan enzim & menyebabkan kerusakan jaringan

Limfosit T tersensitisasi

Pengaktifan sel T

Penghancuran sel-sel

Page 3: Skenario 3 Nabila

Mata: konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka,

pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler

merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi

kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya

ocular cicatrical pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

Diagnosis & Diagnosis Banding

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pf, dan pemeriksaan lab. Anamnesis dan pf ditujukan terhadap kelainan yang

dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor penyebab.

Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam dan hasil biopsi

yang sesuai dengan SJS

Pemeriksaan lab ditujukan untuk mencari hubungan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.

Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah:

a. Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED)

- Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan

- Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi

- Hitung jenis: peningkatan eosinofil

b. Pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun)

- Kadar IgG dan IgM dapaat meninggi

- C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar

c. Biakan kuman serta resistensi dari darah dan tempat lesi

d. Pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

- Hasil biopsi menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel

rambut dan perubahan dermis

- Histopatologik: dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema

intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah

dermis superfisial.

- Imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil

pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang

berumur kurang dari 24 jam.

Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan Steven Johnson Syndrome:

Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN)

SJS sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)

Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena

Eritem Multiformis (EM) Steven Johnson Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis

Lesi Makula/papula dengan vesikel

ditengahnya

Pola sasaran tembak klasik,

bagian tengahnya cerah dan

EM dengan lebih banyak

keterlibatan membran mukosa

dan blistering

Lesi atipikal, bercak sirkuler

Keterlibatan membran

mukosa yang berat

Lesi atipikal-sekitar 50%

Page 4: Skenario 3 Nabila

cincin sekitarnya gelap (lesi

target)

Bilateral dan simetris

EM minor-tanpa keterlibatan

mukosa, bula, ataupun gejala

sistemik

EM mayor-ada keterlibatan

mukosa, bula, dan gejala

sistemik, biasanya oleh karena

obat

Terdapat tanda Nikolsky

kemerahan dengan ungu gelap

ditengahnya

Demam tinggi

Lepasnya epidermal <10%

Terdapat tanda Nikolsky

tidak ada lesi target

Eritem menyebar kemudian

nekrosis dan lepasnya

epidermis >30%

Lokasi Membran mukosa (oral,

genital, konjungtival)

Ekstremitas dengan muka >

badan

Telapan tangan dan kaki

Keseluruhan dengan

keterlibatan muka dan badan

lebih banyak

Telapak kaki dan kaki

sebagian

Keseluruhan

Kuku juga bisa terlepas

Organ lain /

komplikasi

Ulkus kornea, keratitis, uveitis

anterior, stomatitis, vulvitis,

balanitis

Lesi di trakea, faring dan

laring

Komplikasi: jaringan parut,

eruptive nevomelanocytic nevi,

jaringan parut di kornea,

kebutaan, fimosis

Nekrosis tubuler dan gagal

ginjal akut, erosi epitel dari

trakea, bronkus dan saluran

pencernaan

Gejala

tambahan

Demam, lemas, lesu Prodormal 1-3 hari yang

mengawali erupsi dengan

adanya demam dan gejala-gejala

flu

Demam tinggi >38°C

Etiologi Obat-obatan (sulfonamide,

AINS, antikonvulsan,

penisilin, allopurinol)

Infeksi (herpes dan

mikoplasma)

Idiopatik 50%

50% terdapat hubungan

dengan obat-obatan

Terjadi hingga 1-3 minggu

setelah paparan obat dengan

onset cepat

80% karena obat-obatan

<5% oleh karena infeksi

virus, imunisasi

Patologi /

patofisiologi

Infiltrat PMN perivaskular,

edema dari dermis bagian atas

Sel sitotoksik menyerang sel

epidermis

Tidak ada infiltrat dermis

Nekrosis dan pelepasan

epidermis di atas membrana

basalis

Sama seperti SJS

Differential

diagnosis

EM minor-urtikaria, viral

exanthem

Demam scarlet, erupsi

fototoksik, GVHD, SSSS,

Demam scarlet, erupsi

fototoksik, GVHD, SSSS,

Page 5: Skenario 3 Nabila

EM mayor- SSSS, pemphigus

vulgaris, pemphigoid bulosa

dermatitis eksfoliatif dermatitis eksfoliatif

Prognosis Lesi selama 2 minggu Mortalitas <5%

Pertumbuhan kembali

epidermis selama 3 minggu

Kematian pada 30% kasus

oleh karena kehilangan cairan,

infeksi sekunder

Tatalaksana

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yangdicurigai penyebab reaksi.Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.Orangdengan SJS/TEN biasanya dirawat inap.Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawatluka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi.Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkanspesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairandengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan.Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,2004)

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertamamemberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat inimenekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi padaOdha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapiyang diberik an biasanya adalah :

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan

lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian s e l a m a 3 h a r i

0 , 2 - 0 , 5 m g / k g B B t i a p 6 j a m . P e n g g u n a a n s t e r o i d s i s t e m i k m a s i h kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak   bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,n a m u n a d a j u g a y a n g m e n g a n g g a p s t e r o i d m e n g u n t u n g k a n d a n m e n y e l a m a t k a n nyawa.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-1 2 t a h u n 1 5 m g / d o s i s , d i b e r i k a n 3 k a l i / h a r i . S e d a n g k a n u n t u k Setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5 10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase. T e r a p i i n f e k s i s e k u n d e r d e n g a n a n t i b i o t i k a y a n g j a r a n g m e n i m b u l k a n

a l e r g i ,   b e r s p e k t r u m l u a s , b e r s i f a t b a k t e r i s i d a l d a n t i d a k b e r s i f a t n e f r o t o k s i k , m i s a l n y a klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan : Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam,

untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya  perlekatan

konjungtiva Komplikasi

Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi -Esophageal strictures

Page 6: Skenario 3 Nabila

Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis vagina Pulmonari – pneumonia Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder  Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock

Prognosis

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian

berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak

memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

SJS yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang terlibat) memiliki tingkat kematian

sekitar 5%. Risiko kematian dapat diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah

indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan organ / kegagalan, menggaruk

kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri adalah skalayang mengukur tingkat keparahan penyakit.

Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen untuk kematian tinggi

secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat kematian untuk pasien tertentu.

Parameter SCORTEN Skor Individual SCORTEN (Jumlah skor

individual)

Prediksi tingkat

kematian (%)

Usia > 40 hari Ya = 1, Tidak = 0 0 – 1 3,2

Keganasan Ya = 1, Tidak = 0 2 12,1

Takikardi (> 120x/menit) Ya = 1, Tidak = 0 3 35,8

Keterlibatan luas permukaan

kulit >10%

Ya = 1, Tidak = 0 4 58,3

Serum urea >10mmol/l

(>28mg/dl)

Ya = 1, Tidak = 0 > 5 90

Serum glukosa >14mmol/l

(>252md/dl)

Ya = 1, Tidak = 0

Serum bicarbonate <20mmol/l

(<20mEq/l)

Ya = 1, Tidak = 0

Karena tingkat kematian yang tinggi maka pasien dengan SJS membutuhkan penanganan yang cepat, seperti

pengenalan tanda dan gejala untuk penegakkan diagnosa, identifikasi dan penghentian obat penyebab serta terapi

suportif.

OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS

Definisi

Sumbatan pada saluran napas atas (laring) yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu

Etiologi dan Manifestasi Klinis

Page 7: Skenario 3 Nabila

Disebabkan oleh trauma, tumor, infeksi akut, kelainan kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plika vokalis, pangkal lidah jatuh ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera atau narkose maupun karena benda asing.

Obstruksi jalan napas bagian atas ditandai dengan sesak napas, stridor inspiratore, ortopne, pernapasan cuping hidung dan cekung didaerah jugularis-supraklavikula-interkostal. Pasien juga akan sianotik dan gelisah.

Kongenital

Atresia koane

Stenosis supraglotis dan infraglotis

Kista duktus tireoglosus

Kista bronkiegen yang besar

Laringokel yang besar

Tumor

Hemangioma

Higroma kistik

Papiloma laring rekuren

Limfoma

Tumor ganas tiroid

Karsinoma sel skuamosa laring, faring

atau oesofagus

Radang

Laringotrakeitis

Epiglotitis

Hipertrofi adenotonsiler

Angina ludwig

Abses parafaring atau retrofaring

Lain-lain

Benda asing

Edema angioneurotik

Traumatik

Ingesti kaustik

Patah tulang wajah dan mandibula

Cedera laringotrakeal

Intubasi lama: edema/stenosis

Dislokasi krikoaritenoid

Paralysis n. Laringeus rekurens

bilateral

Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah:

Serak (disfoni) sampai afoni

Sesak napas (dispnea)

Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi

Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal.

Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat

Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

Muka pucat dan menjadi sianosis karena hipoksia

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan, diantaranya adalah:

Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop dapat dilakukan secara direk dan

indirek

Page 8: Skenario 3 Nabila

Nasoendoskopi

X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas. Apabila sumbatan berupa benda

logam maka akan tampak gambaran radiolusen. Pada epiglotitis didapatkna gambaran thumb like

Foto polos sinus paranasal

CT-Scan kepala dan leher

Biopsi

Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium:

1. Stadium I: adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang

2. Stadium II: retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya

retraksi di daerah epigastrium. Pasien mulai gelisah

3. Stadium III: retraksi selain di daerah suprasternal, epigastrium juga di infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien

sangat gelisah dan dispnea

4. Stadium IV: retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis, jika keadaan

ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada

keadaan ini penderita tampaknya tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia.

Tatalaksana

Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran napas atas diusahakan supaya jalan napas

lancar kembali.

Tindakan konservatif: pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermitten, yang

dilakukan pada obstruksi laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan

Tindakan operatif/resusitasi: memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut (instubasi orotrakea) atau melalui hidung

(intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma yang dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III, atau melakukan

krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring stadium IV.

Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu:

1. Intubasi

Dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau hidung

Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (life saving procedure) dan dapat dilakukan tanpa atau

dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%

Indikasi intubasi endotrakea adalah:

o Untuk mengatasi obstruksi saluran napad bagian atas

o Membantu ventilasi

o Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial

o Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari lambung

Keuntungan intubasi, yaitu:

o Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut

Page 9: Skenario 3 Nabila

o Mudah dikerjakan

Kerugian intubasi, yaitu:

o Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas

o Tidak dapat digunakan dalam waktu lama

o Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7 – 10 hari

o Tidak enak dirasakan pasien

o Tidak bisa makan melalui mulut

o Tidak bisa bicara

Komplikasi yang dapat timbul yaitu: stenosis laring atau stenosis trakea

Teknik intubasi endoktrakea

o Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi

o Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui mulut sebelah

kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu

laringoskop diangkat ke atas, sehingga pita suara dapat terlihat

o Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus melalui celah antara kedua pita

suara kedalam trakea

o Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik

o Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang itu pundaknya harus

diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal

o Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan mengikuti dinding

faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal keatas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat

o Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di

trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester

2. Laringotomi (Krikotirotomi)

Page 10: Skenario 3 Nabila

Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid (krikotirotomi)

Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas. Bahayanya besar

tetapi mudah dikerjakan dan harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat\

Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah usia 12 tahun, demikian juga pada tumor laring

yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis

Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan

mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya diganti

dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam

Teknik krikotirotomi:

o Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi atlantooksipitalis

o Puncak tulang rawan tidroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan kiri

o Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago

krikoid. Membran krikotiroid terletak diantara kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan

anastetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit

o Jaringan dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah

o Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah

o Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk sementara

3. Trakeostomi

Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuat lubang sehingga terjadi hubungan

langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas

Indikasi trakeostomi adalah:

o Mengatasi obstruksi laring

o Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas

o Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus

Page 11: Skenario 3 Nabila

o Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator)

o Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas bronkoskopi

Keuntungan trakeostomi yaitu:

o Dapat dipakai dalam waktu lama

o Trauma saluran napas tidak ada

o Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat dihindari

o Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah

o Penderita dapat makan seperti biasa

o Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus

o Jalan napas lancar, meringankan kerja paru

Kerugian trakeostomi:

o Tindakan lama

o Cacat dengan adanya jaringan sikatrik

Jenis irisan trakeostomi

o Irisan vertikal di garis median leher

o Irisan horizontal

Berdasarkan jenis trakeostomi:

o Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2 – 3

o Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3 – 4

o Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4 – 5

Untuk perawatan trakeostomi, yang harus diperhatikan adalah:

o Kelembaban udara masuk

Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat

Nebulizer

Kassa steril yang dibasahi diletakkan dipermukaan stoma

o Kebersihan dalam kanul

Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½ - 1 jam pada 24 jam pertama dan tidak boleh

terlalu lama setiap suksion, biasanya 10 – 15 detik. Bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia atau

cardiac arrest

Lakukanlah berkali-kali sampai bersih

o Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali

Pengangkatan kanul dilakukan secepatnya, atau dengan indikasi berikut:

o Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita sesak

o Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu tidur, makan dan bekerja

Komplikasi:

o Waktu operasi: perdarahan, lesi organ sekitarnya, apneu dan shock

o Pasca operasi: infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada pembuluh darah,

fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea, disfagia, granulasi

Page 12: Skenario 3 Nabila

Teknik trakeostomi:

o Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30° untuk menurunkan tekanan vena di leher.

Punggung diberi ganjalan sehingga terjadi ekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi

o Dilakukan disinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol

o Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan epinefrin atau adrenalin 1/100.000.

Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap diberikan meskipun trakeostomu dilakukan secara anestesi umum

o Dilakukan insisi

o Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum, insisi ini lebih mudah dan

alir sekret lebih mudah

o Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa sternum, membentang antara kedua

tepi depan dan medial m. sternokleidomastoid, panjang irisan 4 – 5 cm

Irisan mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisial secara tumpul. Bila tampak ismus,

maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong

saja

o Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian disuntikkan anestesi lokal

kedalam trakea sehingga timbul batuk pada waktu memasang kanul

o Stoma dibuat pada cincin ttrakea 2 – 3 bagian depan, setelah dipastikan trakea dengan menusukkan jarum

suntuk dan letakkan benang kapas tersebut. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator

o Kanul difiksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan longgar agar udara ekspirasi

tidak masuk ke jaringan dibawah kulit

Page 13: Skenario 3 Nabila

4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)

Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau benda

asing berukuran besar yang terletak di hipofaring

Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan pada paru. Dilibatkan paru sebagai

sebuah botol plastik berisi udara yang tertutup oleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu, sumbatan

akan terlempar keluar

Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak

Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati dan fraktur iga

Teknik perasat heimlich:

o Penolong berdiri dibelakang pasien sambil memeluk badannya

o Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua tangan diletakkan pada perut bagian

atas

o Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan ke arah atas dengan hentakan

beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4 -5 kali benda asing akan terlempar keluar. Pada anak,

penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan

Page 14: Skenario 3 Nabila

o Pada pasien yang tidak sadar atau berbaring, dapat dilakukan dengan cara penolong berlutut dengan

kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan diletakkan dibawah tangan kiri di daerah epigastrium

o Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru akan mendorong

benda asing keluar

PERBEDAAN GAMBARAN KLINIS EM MINOR, SJS, TEN, SSSS & PV

EM MINOR SJS TEN SSSS PV

Etiologi VHS

akut

Obat Obat Eksotoksin Autoantibodi

Perjalanan

penyakit Akut Akut Akut Akut Akut

Prodormal Tidak ada /

ringan

Ada Ada, nyeri kulit Ada, demam ↑ Tidak ada

Erupsi

Simetris,

diseminata

Simetris,

konfluen

Morbiliformis,

eritem luas,

Eritem,

diseminata

Bula superfisial

seluruh tubuh

Page 15: Skenario 3 Nabila

konfluen

Predileksi Akral Akral, wajah Wajah,

punggung

Wajah, leher,

ketiak, lipat paha

Rongga mulut,

atau kulit kepala

Lesi kulit

Lesi target Lesi target, lepuh Makula, eritem,

pelepasan

epidermis

Makula, eritem,

pelepasan

epidermis

Bula kendur,

krusta

Mukosa Bebas / sedikit Jelas, 2 / lebih Jelas, 2 / lebih Bebas / jarang Jelas

Histopatologi

Keratinosit

nekrotik

setempat, edema,

infiltrat PMN di

dermis

Keratinosit

nekrotik

setempat, edema,

infiltrat PMN di

dermis tak jelas

Keratinosit

nekrotik

setempat, edema,

infiltrat PMN di

dermis tak ada /

sedikit

Lepuh intra

epidermal, celah

di stratum

granulosum, tak

ada nekrosis sel

Bula intra

epidermal

suprabasal, sel

akntolitik,

perusakan

desmosom &

tonofilamen

Gejala

konstitusi

Tidak ada /

ringan

Ada / berat Ada / berat Ada / berat Ada / berat

Organ dalam Tidak terkena Kadang-kadang Sering Kadang-kadang tidak

Lama 1 – 3 minggu 2 – 4 minggu 3 – 6 minggu 10 – 14 hari 4 – 6 minggu

Komplikasi

Tidak ada Jarang

(septikemi,

pneumoni,

perdarahan GIT,

gagal ginjal,

jantung)

Sering Jarang, selulits,

pneumoni,

septikemi

Sepsis, kaheksia

Mortalitas 0% 5 – 5% 5 – 50% 1 – 10% 50%

Penyembuhan Tanpa parut Mungkin Dapat terjadi Tanpa parut Hipo, hiper parut

(-)

Page 16: Skenario 3 Nabila