silsilah kerajaan sakya

64
Silsilah Kerajaan Sakya Pada zaman dahulu di daerah Majjhima (daerah tengah dari Jambudipa), suku Bangsa Ariyaka yang datang dari utara Pegunungan Himava (Himalaya) membentuk sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakya. Kata Sakya diambil karena pada saat itu banyak sekali Hutan Pohon Sakka di sekitar daerah tersebut. Suatu masa tibalah masa kepemerintahan bagi Raja Okkaka di kerajaan tersebut. Beliau memiliki 4 orang Pangeran (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura) serta 5 orang Putri. Pada suatu hari, Ratu (istri Raja Okkaka, yang juga masih saudara kandungnya) meninggal dunia. Kemudian Raja menikah lagi dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Raja sangat gembira, sehingga Beliau melepaskan kata-kata yang menjadi bumerang baginya sendiri. Raja mengucapkan janji kepada Ratu (istri Raja Okkaka yang baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu. Dalam kesempatan itu, Ratu memohon kepada Raja agar anak laki-lakinya diangkat menjadi Putra Mahkota (pewaris kerajaan). Mendengar permohonan Ratu itu, Raja Okkaka menjadi kaget dan menolak untuk meluluskannya. Namun Ratu terus merengek dan mengingatkan Raja akan janjinya yang pernah beliau ucapkan. Karena malu, maka Raja pun akhirnya meluluskan permohonan Ratu tersebut. Raja Okkaka kemudian memanggil keempat Pangeran dan

Upload: sebastian-djoni

Post on 28-Dec-2015

185 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Agama Buddha

TRANSCRIPT

Silsilah Kerajaan Sakya

Pada zaman dahulu di daerah Majjhima (daerah tengah dari Jambudipa), suku

Bangsa Ariyaka yang datang dari utara Pegunungan Himava (Himalaya)

membentuk sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakya. Kata Sakya diambil

karena pada saat itu banyak sekali Hutan Pohon Sakka di sekitar daerah tersebut.

Suatu masa tibalah masa kepemerintahan bagi Raja Okkaka di kerajaan tersebut.

Beliau memiliki 4 orang Pangeran (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan

Sinipura) serta 5 orang Putri. Pada suatu hari, Ratu (istri Raja Okkaka, yang juga

masih saudara kandungnya) meninggal dunia. Kemudian Raja menikah lagi

dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Raja

sangat gembira, sehingga Beliau melepaskan kata-kata yang menjadi bumerang

baginya sendiri. Raja mengucapkan janji kepada Ratu (istri Raja Okkaka yang

baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu. Dalam kesempatan

itu, Ratu memohon kepada Raja agar anak laki-lakinya diangkat menjadi Putra

Mahkota (pewaris kerajaan). Mendengar permohonan Ratu itu, Raja Okkaka

menjadi kaget dan menolak untuk meluluskannya. Namun Ratu terus merengek

dan mengingatkan Raja akan janjinya yang pernah beliau ucapkan. Karena malu,

maka Raja pun akhirnya meluluskan permohonan Ratu tersebut.

Raja Okkaka kemudian memanggil keempat Pangeran dan memerintahkan

mereka untuk membawa semua saudari kandung mereka untuk pergi ke suatu

daerah lain dan membangun negeri baru. Keempat Pangeran beserta kelima Putri

kemudian mohon diri dari Ayahandanya, dan bersama rombongan dalam jumlah

yang besar, mereka pergi ke sebuah hutan lain yang banyak ditumbuhi Pohon

Sakka, di lereng Gunung Himalaya. Di dekat daerah tersebut ada seorang petapa

bernama Kapila yang tinggal di sana. Karena itulah, maka kota yang dibangun itu

diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat). Di kerajaan itulah, mereka menikah

di antara sesama saudara, kecuali Putri yang tertua menikah dengan Raja dari

Devadha. Empat pasangan yang pertama merupakan leluhur dari Kerajaan Suku

Sakya, dan satu pasangan lainnya merupakan leluhur dari Kerajaan Koliya.

Pada suatu waktu ketika Raja Jayasena memerintah di Kapilavatthu, beliau

memiliki seorang Pangeran bernama Sihahanu dan seorang Putri bernama

Yasodhara. Setelah Raja Jayasena meninggal, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di

Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kancana, yaitu adik dari Raja Anjana

(Kerajaan Devadha). Mereka memiliki lima orang Pangeran yang diberi nama

Suddhodana, Sukkodhana, Amitodhana, Dhotodana dan Ghanitodana serta dua

orang Putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu

Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadha dan memiliki dua

orang Pangeran yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani serta dua orang

Putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (Gotami).

Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana pun naik tahta dan

menikahi Putri Maya. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana,

kemudian menikah dan mempunyai putra yang bernama Ananda. Amitodhana

mempunyai dua orang putra yang bernama Mahanama dan Anurudha, serta

seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama

Amita, menikah dan mempunyai seorang putra bernama Devadatta dan seorang

putri yang bernama Yasodhara.

Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama

Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka

masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45

tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya.

Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu

ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya.

Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang

mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di

Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut

memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan

kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian

diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah

seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya

memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk

selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya

terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya

segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun

dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa

mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang

bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di

dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan

memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil.

Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di

dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap

ke depan.

Ratu Maha Maya bermimpi tentang seekor gajah putih

Sepuluh bulan (Penanggalan Candra Sengkala) kemudian, di Bulan Vaisak, Ratu

Maya mohon izin dari Raja Suddhodana untuk dapat bersalin di rumah ibunya (di

Kerajaan Devadha). Dalam perjalanannya itu, Ratu Maya beserta seluruh

rombongan tiba di Taman Lumbini (sekarang bernama Rumminde di Pejwar,

Nepal). Di taman itu, mereka berhenti dan Ratu Maya pun beristirahat. Ratu Maya

berjalan-jalan di taman itu dan berhenti di bawah Pohon Sala. Pada saat itulah

Ratu Maya merasa akan segera melahirkan. Maka dengan cepat para dayang

membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan Pohon Sala, dan

dalam sikap berdiri seperti itulah Ratu Maya melahirkan seorang bayi laki-laki.

Kejadian itu terjadi tepat pada purnamasidhi (Bulan Purnama yang bulat

sempurna) di Bulan Vaisak pada tahun 623 SM. Sekali lagi terjadilah gempa bumi

dashyat yang singkat. Empat Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala

emas. Para Dewa turut bergembira atas kelahiran sang bayi, meski mereka semua

tidak dapat terlihat oleh mata manusia biasa. Kemudian dari langit turun air dingin

dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi segar. Sang bayi sendiri

juga sudah bersih karena tidak ada darah atau noda lain yang melekat pada

tubuhnya ketika dilahirkan. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh

langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara. Setelah itu, sang bayi

pun kemudian berbicara :

       “Aggo ‘ham asmi lokassa,

         jettho ‘ham asmi lokassa,

         settho ‘ham asmi lokassa,

         ayam antima jati,

         natthi dani punabbhavo”

Yang artinya :

       “Akulah Pemimpin dalam dunia ini,

         Akulah Tertua dalam dunia ini,

         Akulah Teragung dalam dunia ini,

         inilah kelahiranku yang terakhir kali,

         tak akan ada tumimbal lahir lagi”

Pada masa itu, ada seorang petapa bernama Asita (yang juga dikenal sebagai

Kaladevala) yang berdiam di Gunung Himalaya. Ketika sedang bermeditasi, ia

diberitahukan oleh para dewa dari Alam Tavatimsa, bahwa telah lahir seorang

bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Buddha. Maka pada hari itu juga,

Petapa Asita pun berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi

tersebut. Setelah melihat sang bayi, Petapa Asita melihat adanya 32 tanda luar

biasa di bayi itu. 32 tanda (Mahapurissa) tersebut adalah :

1. Telapak kaki rata (suppatitthita-pado). 

2. Pada telapak kakinya terdapat cakra dengan seribu ruji, lingkaran dan pusat

dalam bentuk sempurna.

3. Tumit yang bagus (ayatapanhi).

4. Jari-jari panjang (digha-anguli).

5. Tangan dan kaki yang lembut serta halus (mudutaluna).

6. Tangan dan kaki bagaikan jala (jala-hattha-pado).

7. Pergelangan kaki yang agak tinggi (ussankha-pado).

8. Kaki yang bagaikan kaki kijang (enijanghi).

9. Kedua tangan dapat menyentuh atau menggosok kedua lutut tanpa

membungkukkan badan.

10. Kemaluan terbungkus selaput (kosohitavattha-guyho).

11. Kulitnya bagaikan perunggu berwarna emas (suvannavanno).

12. Kulitnya sangat lembut dan halus, sehingga tidak ada debu yang dapat

melekat pada kulit.

13. Pada setiap pori kulit ditumbuhi sehelai bulu roma.

14. Rambut yang tumbuh pada pori-pori berwarna biru-hitam.

15. Potongan tubuh yang agung (brahmuiu-gatta).

16. Tujuh tonjolan (sattussado), yaitu pada kedua tangan, kedua kaki, kedua

bahu dan badan.

17. Dada bagaikan dada singa (sihapubbaddha kayo).

18. Pada kedua bahunya tak ada lekukan (citantaramso).

19. Tinggi badan sama dengan panjang rentangan kedua tangan, bagaikan

Pohon Nigroda (beringin).

20. Dada yang sama lebarnya (samavattakkhandho).

21. Indria perasa sangat peka (rasaggasaggi).

22. Rahang bagaikan rahang singa (siha-banu).

23. Empat puluh buah gigi (cattarisa-danto).

24. Gigi-gigi yang sama rata (sama-danto).

25. Antara gigi-gigi tak ada celah (avivara-danto).

26. Gigi putih bersih (susukka-datho).

27. Lidah sangat panjang (pahuta-jivha).

28. Suara bagaikan suara brahma, seperti suara Burung Karavika.

29. Mata biru (abhinila netto).

30. Bulu mata lentik, bagaikan bulu mata sapi (gopakhumo).

31. Di antara alis-alis mata, tumbuh sehelai rambut halus, putih bagaikan kapas

yang lembut.

32. Kepala bagaikan berserban (unhisasiso).

Setelah melihat sang bayi, Petapa Asita kemudian memberi hormat kepada bayi

tersebut. Hal ini juga diikuti oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat,

Petapa Asita kemudian tertawa gembira, namun kemudian menangis. Petapa Asita

kemudian menjelaskan bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Namun

karena saat ini Petapa Asita sudah berusia lanjut, maka ia menjadi sedih karena

mungkin ia tidak bisa menunggu sampai bayi itu kelak menjadi dewasa dan

memberikan ajarannya. Petapa Asita juga mengatakan bahwa Pangeran kelak

akan meninggalkan istana untuk pergi bertapa, jika setelah melihat empat

peristiwa, yaitu:

1. Orang tua (lanjut usia).

2. Orang sakit.

3. Orang mati.

4. Petapa yang tenang indrianya.

Pada hari yang sama dengan kelahiran sang bayi itu, ada 7 peristiwa penting

lainnya yang juga terjadi di sekitar Kerajaan Sakka, yaitu:

1. Kelahiran Putri Yasodhara, anak dari Amita (adik perempuan dari Raja

Suddhodana).

2. Kelahiran Pangeran Ananda dari Sukkodana (adik laki-laki dari Raja

Suddhodana).

3. Kelahiran Kanthaka, seekor kuda putih di istana.

4. Kelahiran Channa, seorang anak dari orang dalam istana.

5. Kelahiran Kaludayi, seorang anak dari orang dalam istana.

6. Tumbuhnya Pohon Bodhi (dalam Bahasa Latin disebut Ficus Religiosa).

7. Munculnya Nihikumbhi (kendi untuk tempat penyimpanan harta pusaka) ke

permukaan tanah.

Lima hari setelah kelahiran sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak

keluarganya bersama 108 orang Brahmana untuk berpesta dan merayakan

kelahiran anak pertamanya. Di antara para Brahmana, ada 8 orang yang mahir

dalam meramal nasib, yaitu: Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondanna, Bhoja,

Suyama dan Sudatta. Semuanya meramal jika kelak sang bayi akan menjadi

seorang Cakkavati (Raja dari semua raja di dunia) atau menjadi Buddha. Tapi

hanya Kondanna (Brahmana termuda) yang dengan tegas mengatakan bahwa sang

bayi kelak pasti akan menjadi Buddha. Karena itulah, maka nama yang diberikan

kepada sang bayi adalah “Siddhattha”, yang berarti “tercapailah segala cita-

citanya”. Karena terlahir dari keluarga Gotama, maka nama lengkap dari bayi itu

adalah Siddhattha Gotama (Sanskrit: सि�द्धा�र्थ� गौ�तम). Tujuh hari setelah Pangeran

Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dengan tenang dan

bertumimbal lahir di Alam Deva Tavatimsa. Pangeran Siddhattha kemudian

dirawat oleh Putri Pajapati (adik kandung Ratu Maya), yang akhirnya dinikahi

oleh Raja Suddhodana. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang putra bernama Nanda

dan seorang putri bernama Rupananda.

Kisah masa kanak-kanak Pangeran Siddhattha

Ketika Pangeran Siddhattha menginjak usia kanak-kanak, Raja Suddhodana

mengajaknya ke perayaan membajak yang sudah menjadi tradisi Kerajaan Sakka.

Raja juga turut membajak bersama para petani dengan memakai alat bajak yang

terbuat dari emas. Perayaan berlangsung sangat menarik, sehingga para dayang

yang bertugas untuk menjaga Pangeran Siddhattha malah meninggalkannya. Di

sana, Pangeran kecil pun melihat satu fenomena kehidupan yang cukup

membuatnya heran. Di sana Pangeran melihat seekor cacing yang dimakan oleh

seeokor katak, kemudian katak itu dimangsa oleh seekor ular, dan kemudian ular

itu diterkam oleh seekor burung untuk kemudian dimakannya. Pangeran pun

tertegun dengan kejadian itu. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa kebahagiaan di

kehidupan hanyalah sementara, karena kelak akan tiba saatnya menderita.

Pangeran juga merasa heran kenapa banyak makhluk yang harus menderita seperti

ini, dan terus menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa ketakutan dan

kesenangan semu. Pangeran lalu merenungkannya di bawah pohon jambu pada

tengah hari saat itu. Ketika para dayang kembali, mereka terheran melihat

Pangeran Siddhattha sedang duduk bersila dan tidak menghiraukan sekelilingnya.

Mereka lantas melaporkan hal ini kepada Raja. Raja Suddhodana pun lekas

menengok putranya bersama semua orang di perayaan itu. Raja Suddhodana dan

orang-orang pun terheran ketika melihat Pangeran Siddhattha. Mereka juga

melihat keajaiban, dimana jatuhnya bayangan pohon jambu tidak mengikuti arah

sinar matahari, namun tetap memayungi Pangeran Siddhattha yang sedang

bermeditasi. Melihat kejadian ini, untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi

hormat kepada anaknya.

Pangeran Siddhattha Kecil duduk bersila di bawah pohon jambu

Ketika Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga

buah kolam di halaman istana untuk ditanami Bunga Teratai. Satu kolam ditanami

bunga teratai berwarna biru (Upalla), satu kolam ditanami bunga teratai berwarna

merah (Paduma), dan kolam lainnya dengan bunga teratai berwarna putih

(Pundarika). Raja juga memesan wewangian, pakaian, dan tutup kepala dari

Negeri Kasi, yang waktu itu merupakan negeri penghasil barang bermutu tinggi.

Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran Siddhattha dengan

sebuah payung yang indah kemanapun Pangeran pergi, baik siang maupun malam

sebagai lambang keagungannya. Setelah usianya cukup, Pangeran Siddhattha pun

dibawa pada seorang guru bernama Visvamitta. Pangeran diberikan pelajaran

berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddhattha dapat memahami semua

pelajaran dalam waktu yang singkat, sehingga tidak ada lagi yang dapat diajarkan

kepadanya.

Sejak kecil, Pangeran Siddhattha mempunyai rasa welas asih yang tinggi kepada

semua makhluk. Pangeran sering bermain di taman dan memberikan makanan

kepada berbagai jenis hewan. Pada suatu hari, Pangeran Siddhattha berjalan di

taman bersama dengan saudara sepupunya yang bernama Devadatta. Devadatta

melihat serombongan belibis terbang. Dengan segera ia mengambil busur dan

kemudian memanah ke serombongan belibis tersebut. Anak panahnya tepat

mengenai salah satu belibis itu. Pangeran Siddhattha kemudian langsung

menghampiri tempat belibis itu jatuh, dan kemudian dengan hati-hati mencabut

anak panah yang menancap di sayap belibis itu. Pangeran lalu meremas beberapa

lembar daun untuk mengobati belibis itu. Devadatta mendesak Pangeran

Siddhattha untuk menyerahkan belibis itu, namun Pangeran Siddhattha

menolaknya. Perkara ini kemudian dibawa ke tempat Dewan Para Bijaksana. Di

sana dibuat satu keputusan yang mengesahkan Pangeran Siddhattha berhak atas

belibis tersebut, karena atas dasar pemikiran bahwa hidup adalah milik orang yang

berusaha mempertahankannya, bukan milik orang yang berusaha

menghancurkannya.

Pangeran Siddhattha menyelamatkan seekor belibis yang dipanah oleh Devadatta

Pangeran Siddhattha menikmati kehidupan sebagai Putra Mahkota

Saat Pangeran berusia 16 tahun, Raja Suddhodana membangun tiga istana super

mewah untuk Pangeran Siddhattha. Satu istana untuk musim dingin (Ramma),

satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan

(Subha). Raja Suddhodana lalu mengirimkan undangan kepada para orangtua

yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana

Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun semua

orangtua itu tidak mempedulikannya. Mereka menganggap Pangeran Siddhattha

adalah seorang yang tidak mempunyai bakat kesenian maupun ilmu peperangan.

Sugesti itu menciptakan persepsi bahwa Pangeran Siddhattha mungkin kelak tidak

bisa melindungi istrinya. Ketika Pangeran mengetahui hal ini, Pangeran pun

memohon kepada Raja Suddhodana untuk mengadakan satu sayembara yang

mempertandingkan berbagai ilmu kesenian dan ilmu peperangan. Semua tamu

undangan yang sebelumnya pun dipanggil kembali; beserta semua anak laki-laki

dan pangeran-pangeran dari negeri lain, turut memeriahkan sayembara itu. Dalam

kontes bakat seni, ternyata Pangeran Siddhattha berhasil menujukkan bakat

seninya. Salah satunya adalah menciptakan pantun. Dalam berbagai ilmu

peperangan, misalnya menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang, hingga

bertarung; Pangeran Siddhattha juga menunjukkan kehebatannya. Khusus dalam

menggunakan busur panah, Pangeran Siddhattha dipastikan menang telak. Semua

orang tidak bisa membentangkan busur tersebut, karena busur itu sangat besar dan

berat. Namun Pangeran Siddhattha dapat menggunakannya dan berhasil

melepaskan anak panah yang menembus batang Pohon Tala. Setelah

menunjukkan semua kehebatannya, semua hadirin sangat kagum pada Pangeran

Siddhattha. Di antara kurang lebih 40.000 gadis cantik, Pangeran Siddhattha

menjatuhkan pilihannya pada gadis yang bernama Yasodhara, yang merupakan

sepupunya (adik kandung Devadatta, anak dari Bibi Amita). Pada penutupan

acara, Devadatta mempertunjukkan kekuatannya dengan menantang seekor gajah

liar. Gajah jantan yang besar itu dibunuh Devadatta hanya dengan sekali pukul

dan sekali tendang. Pangeran Siddhattha sangat iba melihat hal ini. Kemudian ia

sendiri menyeret mayat gajah itu dengan kakinya sampai sejauh 8 yojana (1

yojana = 8 mil), untuk kemudian dikuburnya.

Pangeran Siddhattha memeragakan keterampilannya dalam seni memanah

Setelah Pangeran Siddhattha menikah dengan Putri Yasodhara, kekhawatiran Raja

Suddhodana menjadi berkurang. Dengan pernikahan ini, Raja berharap agar

Pangeran lebih diikatkan kepada hal-hal duniawi. Selanjutnya Raja masih harus

tetap menjaga Pangeran agar tidak melihat empat peristiwa, supaya Pangeran

kelak tidak akan pergi dari istana untuk bertapa. Sejak kecil sampai sekarang,

Pangeran tidak pernah diizinkan berjalan-jalan di kota yang penuh dengan

berbagai macam keadaan yang menderita. Setiap pengawal maupun dayang yang

sakit, maka dia harus diganti. Semua pengawal dan dayangnya adalah orang yang

muda dan kuat. Semua dinding istana dibuat menjadi lebih tinggi, dan setiap pintu

dijaga oleh pengawal kepercayaan Raja. Dengan demikian Pangeran Siddhattha

dan Putri Yasodhara terus memadu cinta mereka di tiga istana super mewah itu,

dan selalu dikelilingi para dayang dan para pengawal yang memberikan pelayanan

sebaik-baiknya. Dengan melakukan hal ini, Raja Suddhodana merasa puas dan

berharap kelak Pangeran Siddhattha akan menggantikan dirinya sebagai Raja

Negeri Sakka.

Pangeran Siddhattha melihat empat peristiwa

Meski dilimpahi banyak kemewahan, namun Pangeran Siddhattha tetap tidak puas

karena hidup terpisah dari dunia luar. Maka pada suatu hari Pangeran menghadap

Raja Suddhodana dan berkata:

“Ayahanda, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata-

cara kehidupan penduduk yang kelak akan kupimpin.”

Karena permohonan ini wajar, maka Raja pun mengatakan:

“Baik, anakku. Engkau boleh keluar dari istana untuk melihat para penduduk

hidup di kota. Tapi aku harus membuat persiapan sehingga sesuatunya baik dan

dapat menerima kedatanganmu.”

Setelah itu Raja memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk menghias kota.

Semua orang yang sakit dan lanjut usia diasingkan ke tempat tersembunyi. Setelah

semua siap, Raja pun mengizinkan Pangeran untuk keluar istana. Pangeran

Siddhattha keluar istana bersama dengan kuda kesayangannya yang bernama

Kanthaka, dan seorang teman sekaligus kusirnya yang bernama Channa. Ia

bahagia melihat kehidupan kota yang indah. Segalanya terlihat begitu

menyenangkan. Namun tiba-tiba muncul seorang lanjut usia yang menghampiri

mereka. Rambutnya berwarna putih, kulitnya kering dan berkeriput, matanya

sudah hampir buta, badannya kurus, pakaiannya compang-camping, giginya sudah

ompong, dan ia pun berjalan dengan badan terbungkuk dan kelihatan lemah

sekali. Orang tua itu meminta makan pada Pangeran. Namun karena Pangeran

sangat tercengang, maka Pangeran tidak bisa menjawab apa-apa. Ketika orang tua

itu pergi, Pangeran bertanya kepada Channa:

“Siapa itu, Channa? Dia pasti bukan manusia! Mengapa ia bungkuk sekali?

Mengapa badannya kurus dan gemetaran? Kenapa semua rambutnya putih, dan

bukan hitam seperti kita? Ada apa dengan matanya? Dan kemana semua giginya?

Jika benar dia seorang manusia, apa ada orang yang terlahir dalam keadaan seperti

tu?”

Channa pun menjawab :

“Saat masih muda, keadaan orang itu sama seperti kita. Namun karena ia sudah

tua sekali, maka kedaannya berubah menjadi seperti apa yang Tuanku lihat tadi.

Sebaiknya Tuanku melupakannya saja, karena semua orang pasti akan menjadi

tua. Hal itu tidak dapat dielakkan.”

Pangeran tertegun mendengar jawaban dari Channa. Mereka kemudian kembali ke

istana. Di istana, Pangeran kemudian merenungkan hal ini dengan saksama. Ia

tidak dapat menerima kenyataan hidup bahwa semua orang, tanpa memandang

status maupun latar belakang, pastilah akan menjadi tua. Malam itu ternyata

diadakan sebuah pesta besar di istana. Namun Pangeran tampak terdiam dan

memandang ke arah para penari yang cantik sambil berkata dalam hatinya:

   

“Suatu saat kalian semua akan menjadi tua dan kecantikanmu semua akan

memudar…”

Setelah pesta usai, Pangeran masuk ke kamar, dan pikiran itu masih melekat

dalam dirinya. Di sana Pangeran terus membayangkan bahwa semua orang akan

menjadi tua, dan menjadi buruk rupa. Usia tua, mungkin adalah hal yang biasa

bagi kebanyakan orang. Namun bagi Pangeran Siddhattha, kondisi ini sangatlah

mengerikan. Setelah persoalan ini diketahui Raja Suddhodana, Raja menjadi

cemas. Ia kemudian lebih sering mengadakan pesta besar dan selalu mengirimkan

dayang-dayang cantik untuk menghibur Pangeran Siddhattha.

Beberapa hari kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon kepada Raja

Suddhodana agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavatthu, namun kali

ini tanpa terlebih dahulu mengumumkan hal ini pada penduduk. Raja

mengizinkannya dengan berat hati, karena dia tahu sudah tidak ada gunanya lagi

untuk melarang Pangeran. Pangeran Siddhattha dan Channa pergi dengan

berpakaian ala bangsawan agar tidak dikenal oleh penduduk sewaktu berada di

kota. Hari itu pemandangan kota berbeda dari sebelumnya. Tidak ada orang-orang

yang mengelu-elukan Pangeran Siddhattha, tidak ada bendera-bendera, bunga-

bunga, dan lainnya. Semua penduduk berpakaian biasa-biasa saja, dan tidak

banyak yang memakai pakaian yang bagus. Pangeran melihat semua orang sedang

sibuk bekerja. Ada seorang pandai besi yang tubuhnya berkeringat karena sedang

membuat pisau. Ada orang yang sedang mencelup pakaian sehingga

menghasilkan kain yang beraneka warna. Ada tukang kue yang sedang membuat

kue, hingga ada seorang penjual daging. Tiba-tiba Pangeran dikejutkan dengan

seorang yang sedang merintih-rintih sambil bergulingan di tanah. Tangan orang

itu terus memegangi perutnya. Di muka dan sekitar badannya terdapat bercak-

bercak berwarna ungu. Matanya lesu dan nafasnya terputus-putus. Untuk kedua

kalinya, Pangeran Siddhattha melihat hal yang membuat hatinya sedih.

Pangeran menghampiri orang itu, meletakkan kepala orang itu di pangkuannya,

kemudian bertanya dengan suara yang menghibur:

“Apa yang terjadi padamu? Mengapa engkau merintih-rintih?”

Orang itu tidak sanggup menjawab dan hanya menangis tersedu-sedu. Kemudian

Channa pun berkata kepada Pangeran Siddhattha:

“Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya

beracun. Ia menderita demam pes sehingga seluruh tubuhnya terasa terbakar. Oleh

karena itu dia merintih-rintih dan tidak bisa berbicara.”

“Tapi, apa ada orang yang juga menderita penyakit seperti dia?”

“Ada, dan mungkin Tuanku adalah orang selanjutnya jika Tuanku berdekatan

dengannya selama ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya

kembali, sebab sakit pes itu sangat menular.”

“Channa, masih adakah penyakit lain selain demam pes ini?”

“Ada, Tuanku. Ada ratusan penyakit lain yang bahkan lebih hebat dari sakit pes.”

“Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat

terserang penyakit? Apakah penyakit datangnya secara mendadak?”

“Benar, Tuanku. Semua makhluk dapat terserang penyakit. Penyakit itu datangnya

secara tak terduga. Ada penyakit yang bisa disembuhkan, namun ada beberapa

penyakit yang sepertinya tidak dapat disembuhkan, Tuanku.”

Mendengar penjelasan ini, hati Pangeran menjadi sedih sekali. Maka Pangeran

Siddhattha dan Channa akhirnya kembali ke istana. Di istana, Pangeran kembali

merenungkan hal ini. Kejadian ini membuat Raja menjadi sedih sekali. Beberapa

hari kemudian, Pangeran Siddhattha mohon kepada Raja untuk diperkenankan

kembali melihat-lihat Kapilavatthu. Raja pun menyetujuinya, karena dia tidak

ingin membuat Pangeran menjadi lebih sedih.

Ketika Pangeran Siddhattha dan Channa baru berjalan-jalan tidak terlalu jauh,

mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti

sebuah usungan yang diangkat oleh empat orang. Di atas usungan itu berbaringlah

seseorang yang lanjut usia. Badannya kurus sekali dan nampak menderita

penyakit, namun ia tidak bergerak sama sekali. Usungan itu diletakkan di atas

tumpukkan kayu dekat tepi sungai yang kemudian api pun dinyalakan. Orang itu

diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakar semua bagian

tubuhnya.

“Channa, ada apa dengan orang itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan

membiarkan dirinya dibakar oleh api?”

“Dia sudah tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”

“Mati?! Channa, jadi itu yang dinamakan mati? Kapan pastinya orang itu akan

mati? Apa semua orang pasti akan mati?”

“Benar, Tuanku. Semua makhluk pasti akan mati. Kapan pastinya itu tidak dapat

ditentukan, karena semua makhluk dapat mati kapan saja dan di mana saja.”

Kali ini Pangeran Siddhattha benar-benar tercengang. Ia tidak bisa berkata apa-

apa lagi. Hatinya hancur ketika membayangkan semua makhluk di dunia ini pasti

akan mati. Kemudian mereka kembali ke istana, dan Pangeran Siddhattha kembali

merenungkan persoalan ini. Pangeran bertekad untuk mencari obat agar semua

makhluk dapat menghindari usia tua, sakit dan mati.

Ketika Pangeran Siddhattha mengunjungi Kota Kapilavatthu untuk keempat

kalinya, Pangeran pergi beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran

Siddhattha melihat seorang petapa berjubah kuning datang menghampirinya.

Pangeran memberi salam pada petapa itu, kemudian menanyakan kegunaan dari

mangkuk yang dibawa oleh petapa itu. Petapa itu menjawab:

“Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa yang mengasingkan diri dari

keduniawian. Aku sedang berusaha mencari obat agar semua makhluk terhindar

dari usia tua, sakit dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan

kemurahan hati dari orang-orang yang mempunyai rasa cinta kasih. Selain dari

itu, aku tidak menginginkan benda-benda maupun hal lainnya di dunia ini yang

bersifat tidak kekal dan tidak memuaskan ini.”

Pangeran kaget karena petapa ini ternyata memiliki cita-cita yang sama dengan

dirinya.

“O, petapa suci, di manakah obat itu dapat ditemukan?”

“Pangeran yang mulia, aku mencari obat itu di dalam ketenangan dan kesunyian

hutan-hutan yang jauh dari keramaian dunia. Sekarang maafkan aku, karena aku

harus melanjutkan perjalanan. Pencerahan dan kebahagiaan bisa dicapai.”

Pangeran merasa bahagia sekali, dan berkata dalam hati:

“Aku juga harus menjadi petapa seperti dia.”

Pangeran Siddhattha melihat empat peristiwa

Ketika Pangeran sampai di depan istana, para dayang menyambutnya dan

memberitahukan bahwa Putri Yasodhara kini sudah melahirkan seorang bayi laki-

laki. Mendengar hal ini Pangeran sangat gembira. Namun sekilas kemudian

wajahnya menjadi pucat. Pangeran kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan

berkata:

   “Rahulajato, bandhanang jatang.”

Yang artinya

   “Satu jeratan telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”

Karena itulah anak Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara diberi nama Rahula

(rahula = jerat). Dalam perjalanannya kembali ke istana, Pangeran bertemu

dengan Kisa Gotami. Kisa Gotami sangat kagum pada Pangeran, dan ia pun

berkata :

   “Nibbuta nuna sa mata,

     Nibbuta nuna so pita,

     Nibbuta nuna sa nari,

     Yassa yang idiso pati.”

Yang artinya :

   “Tenanglah ibunya,

     Tenanglah ayahnya,

     Tenanglah istrinya,

     Yang mempunyai suami seperti Anda.”

   

Hati Pangeran tergetar mendengar kata “Nibbuta” yang berarti “tenang”

(padamnya semua nafsu) ini. Karena itulah Pangeran pun menghadiahkan sebuah

kalung emas yang sedang dipakainya kepada Kisa Gotami.

Pangeran Siddhattha meninggalkan istana

Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja Suddhodana mengadakan satu pesta

yang sangat mewah. Tapi Pangeran Siddhattha tampak terdiam dan tidak

berbahagia. Dengan berhati-hati Pangeran pun mendekati Raja, kemudian

memohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan mati di pedalaman

hutan. Hal ini membuat Raja menjadi marah besar. Kemudian Pangeran

Siddhattha mengganti permohonannya menjadi suatu permintaan yang mustahil

bisa dilakukan oleh semua orang atau pribadi manapun.

“Ayahanda, kalau aku tidak diberikan izin, maka mohon kiranya Ayahanda

berkenan memberikan delapan macam anugerah kepadaku.”

“Tentu saja, anakku. Aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan

permintaanmu kali ini.”

“Kalau begitu, mohon Ayahanda memberikan kepadaku :

1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.

2. Anugerah supaya tidak menderita penyakit.

3. Anugerah supaya tidak mati.

4. Anugerah supaya Ayahanda tetap bersamaku.

5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama dengan semua

kerabat dapat tetap bersamaku.

6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap berjaya seperti sekarang.

7. Anugerah supaya mereka yang hadir pada pesta kelahiranku dapat

memadamkan semua nafsu keinginannya.

8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, sakit dan mati pada

semua makhluk.”

Mendengar pernyataan tersebut, Raja menjadi kaget dan kecewa. Raja kemudian

membujuk Pangeran Siddhattha dengan berkata:

“Anakku, usiaku sekarang sudah tua. Tunggu dan tangguhkan kepergianmu saja

setelah aku mangkat.”

“Ayahanda, relakan kepergianku justru sewaktu Ayahanda masih hidup. Aku

berjanji bila sudah berhasil, aku akan kembali ke Kapilavatthu untuk

mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayahanda.”

Perdebatan terus berlangsung, sampai Pangeran merasa frustasi dan pergi ke

kamarnya. Raja memerintahkan para dayang yang cantik untuk menyusul

Pangeran dan menghiburnya, agar Pangeran dapat melupakan niatnya itu.

Dayang-dayang cantik masuk ke kamar dan menghibur Pangeran Siddhattha.

Karena Pangeran kelelahan, maka dia pun terlelap di kamar itu. Para dayang pun

berhenti menghibur Pangeran dan ikut tertidur di kamar itu. Pada tengah malam,

Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat para

dayang itu tergeletak dan tidur simpang-siur dalam berbagai posisi. Ada yang

terlentang, ada yang terkelungkup, ada yang mulutnya menganga, ada yang air

liurnya mengalir keluar, ada yang menggigau, dan masih banyak lagi. Pangeran

merasa dirinya berada di pekuburan sehingga membuatnya merasa jijik. Karena

hal itulah, maka Pangeran memutuskan untuk meninggalkan istana malam itu

juga. Pangeran memanggil Channa dan menyuruhnya untuk menyiapkan

Kanthaka. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat anak dan

istrinya sebelum pergi untuk bertapa. Yasodhara sedang tidur nyenyak dan

memeluk Rahula. Wajah Rahula berpaling dan menghadap ke arah dekapan

ibunya, sehingga wajahnya tidak dapat terlihat. Pangeran ingin menggeser sedikit

sehingga wajah Rahula dapat terlihat. Namun hal itu diurungkan karena takut

kalau Yasodhara terbangun dan rencananya bisa gagal. Pangeran Siddhattha pun

berkata dalam hati:

“Biarlah malam ini aku tidak dapat melihat wajah anakku, tapi nanti setelah aku

berhasil mendapatkan obat itu, aku akan datang kembali dan dengan puas melihat

wajah anak dan istriku.”

Pangeran Siddhttha melihat istri dan anaknya yang sedang tertidur

Setelah itu Pangeran pun meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka

diikuti oleh Channa yang mengikuti dari belakang sambil memegangi ekor

Kanthaka. Pangeran Siddhattaha dengan mudah melewati semua penjaga pintu

gerbang dan gerbang kota, karena mereka semua sedang tertidur lelap. Setelah

sampai di luar perbatasan kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya

untuk melihat Kota Kapilavatthu terakhir kalinya (di tempat itu, sekarang sudah

didirikan sebuah cetiya yang diberi nama Kanthakanivattana-cetiya). Kemudian

perjalanan dilanjutkan dengan melintasi perbatasan Negeri Sakka, Koliya dan

Malla hingga menyeberangi Sungai Anoma. Di sana Pangeran Siddhattha turun

dari kuda, melepaskan semua jubah dan perhiasannya untuk diserahkan kepada

Channa. Pangeran mencukur kumisnya, membersihkan tubuhnya dan memotong

rambutnya dengan pedang, dan kemudian pedang itu dilemparkan ke atas. Rambut

yang tersisa sepanjang dua anguli (dua jari), sekitar dua inchi. Rambut ini pun

tetap tak bertambah panjang sampai seumur hidup Pangeran Siddhattaha.

Kemudian Pangeran membawa 8 perlengkapan seorang bhikkhu yang sudah

dipersiapkan sebelumnya. 8 perlengkapan itu adalah jubah luar, jubah dalam, kain

bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum dan saringan air. Setelah

itu Pangeran menyuruh Channa untuk kembali istana.

Pangeran Siddhattha bersama Channa dan Kanthaka kabur dari istana

“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah

hamba ikut bersama Tuanku.”

“Jangan, Channa. Bawa semua pakaian dan perhiasan ini kembali dan berikan

kepada Ayahanda. Sampaikan pesan kepada Ayahanda, Yasodhara, Ibunda dan

semua orang untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku pasti akan menemukan obat

yang dapat menghentikan usia tua, sakit dan mati. Setelah aku memperolehnya,

aku akan membagikannya kepada semua makhluk di dunia ini.”

Channa memberi hormat dan mohon diri untuk kembali ke istana. Tapi Kanthaka

tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka dan mengusap-usap dan

menepok-nepok lehernya dengan penuh rasa kasih sayang.

“Ayolah, Kanthaka. Ikutlah pulang bersama dengan Channa. Tunggulah sampai

aku berhasil menemukan obat itu. Aku pasti akan membaginya padamu.”

Kanthaka pun ikut dengan Channa, tapi baru berjalan tidak seberapa jauh,

Kanthaka berhenti dan menengok ke belakang untuk melihat Pangeran terakhir

kalinya. Kanthaka sedih sekali hingga air matanya pun mengalir membasahi

kedua matanya. Tidak lama kemudian, Kanthaka tiba-tiba terjatuh dan meninggal

dunia. Setelah meninggal dunia, Kanthaka pun terlahir di Alam Dewa Tusita.

Mengetahui bahwa Pangeran Siddhattha, Channa dan Kanthaka menghilang dari

istana, Raja Suddhodana mengutus semua pengawal pergi mencari mereka.

Kemudian ada sekelompok pengawal yang bertemu dengan Channa yang sedang

berjalan sendirian. Mereka membawa Channa pulang ke istana, dan kemudian

Channa menceritakan semuanya kepada Raja Suddhodana, Ratu Pajapai Gotami,

Putri Yasodhara dan seluruh anggota kerajaan.

Channa menyerahkan semua peninggalan Pangeran Siddhattha kepada Raja

Suddhodana dan menyampaikan salam perpisahannya kepada Ratu Pajapati,

Yasodhara dan seluruh anggota kerajaan. Channa juga memberitahukan bahwa

saat ini Pangeran Siddhattha sedang berada di tepi Sungai Anoma di Negeri

Malla. Meskipun Raja sangat kecewa, namun ia tahu bahwa kepergian Pangeran

Siddhattha ini sesuai dengan ramalan dari Petapa Asita dan Kondanna. Kini Raja

hanya bisa berharap-harap cemas agar Pangeran dapat berhasil menjadi Buddha.

Sejak saat itu, Raja menyuruh orang kepercayaannya untuk mengikuti dan

melaporkan setiap hal yang dikerjakan oleh Pangeran Siddhattha. 

Pangeran Siddhattha memotong rambutnya sebagai tanda pelepasan duniawi

Bertapa di Hutan Uruvela

Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran Siddhattha lalu pergi ke kebun mangga di

Anupiya dan berdiam di sana sampai tujuh hari. Suatu pagi Pangeran berjalan ke

arah Rajagaha untuk pindapata (berjalan dengan mangkuk dan menerima

pemberian makanan dari para penduduk). Di sana Pangeran (Petapa Gotama)

menolong sekawanan domba-domba yang akan disembelih oleh satu kelompok

aliran kepercayaan di Pandavapabbata. Pangeran lalu menjelaskan betapa hal itu

adalah kesia-siaan, dan akhirnya penyembelihan domba itu pun tidak sampai

terjadi. Raja Bimbisara terkesima dengan kebijaksanaan Petapa Gotama. Raja

Bimbisara pun mengundang Petapa Gotama untuk tinggal di kerajaannya dan

membabarkan ajarannya kepada banyak orang. Tetapi Petapa Gotama menolaknya

dan menjawab:

“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat mencintai orang tuaku, istriku,

anakku, Anda sendiri, dan semua makhluk di dunia ini. Aku belum mencapai

Pencerahan Sempurna. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua,

sakit dan mati. Karena itulah aku masih ingin melanjutkan perjalananku.”

Raja Bimbisara kemudian menjawab:

“Kalau itu menjadi keputusanmu, aku juga tidak akan memaksa. Tapi berjanjilah

bila Anda sudah mendapatkan obat itu, maka jangan lupa untuk mengunjungi

Rajagaha kembali.”

Dan Petapa Siddhattha mengiyakan permintaan Raja Bimbisara itu:

“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”

Dari Rajagaha, Petapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan sampai di

tempat Petapa Alara Kalama. Di tempat ini Petapa Gotama berguru pada Petapa

Alara Kalama. Petapa Gotama diajari tentang cara-cara bermeditasi dan

pengertian tentang Hukum Kamma dan konsep Tumimbal Lahir (proses

penerusan kehidupan). Dalam waktu yang singkat, ia sudah menyamai kepandaian

gurunya. Petapa Gotama merasa semua pengetahuan yang diajarkan gurunya ini

masih belum bisa mengakhiri usia tua, sakit dan mati. Maka Petapa Gotama pun

mohon diri dan melanjutkan pengembaraannya. Di tempat lain, Pertapa Gotama

bertemu dengan Pertapa Uddaka Ramaputta dan ia pun melatih diri bersamanya.

Uddaka Ramaputta terkenal sebagai petapa yang hebat di zaman itu. Di sana

Petapa Gotama dan Petapa Uddaka Ramaputta mengembangkan cara bermeditasi

yang paling tinggi sehingga dapat mencapai keadaan “bukan-pencerapan dan

bukan bukan-pencerapan”. Dalam waktu yang singkat, Petapa Gotama berhasil

mencapai tingkat kemampuan yang tinggi. Karena itu Petapa Gotama diminta

untuk menjadi mitra dan membantu untuk mengajarkan semua ilmunya kepada

murid-murid Uddaka Ramaputta yang banyak sekali. Karena semua pengetahuan

yang ia miliki sekarang masih juga belum berhasil mengakhiri usia tua, sakit dan

mati, maka Petapa Gotama pun mohon diri dan kembali meneruskan

pengembaraannya.

Petapa Gotama mendapat bimbingan dari Petapa Alara Kalama

Petapa Gotama kemudian sampai di Senanigama, di Uruvela. Di tempat ini Petapa

Gotama bertemu dengan 5 orang petapa lain yang bernama Bhaddiya, Vappa,

Mahanama, Assaji dan Kondanna. Mereka menerapkan cara ekstrim agar dapat

mengendalikan batin dan kesadaran mereka, yang mereka percaya dapat

menyelami kebenaran sejati guna menemukan cara menghindari usia tua, sakit

dan mati. Mereka berlima bersama Petapa Gotama berlatih dengan menyiksa diri.

Petapa Gotama melaksanakan latihan dengan cara yang paling ekstrim di antara

mereka semua. Petapa Gotama menjemur dirinya di bawah terik matahari pada

hari siang, dan pada waktu tengah malam ia berendam di sungai dalam waktu

yang sangat lama. Ia juga merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit

mulutnya sehingga keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Dengan sakit yang

demikian hebatnya, Petapa Gotama berusaha agar batinnya tidak melekat, selalu

waspada, tenang serta fokus. Setelah beberapa lama, Petapa Gotama kemudian

menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar dari hidung atau mulut,

namun keluar sedikit demi sedikt dari lubang telinga sehingga mengeluarkan

suara yang mendesis. Petapa Gotama juga berpuasa dengan mengurangi

makanannya dari hari ke hari, hingga hanya memakan sebutir nasi dalam waktu

satu hari. Karena hal inilah maka kesehatan tubuhnya sangat memburuk.

Badannya kurus sekali. Saking kurusnya, bahkan jika perut bagian depan ditekan

dengan jari tangan, maka bagian punggung bawah pun akan muncul tonjolan

akibat dari bagian perut depan yang ditekan tersebut. Kulit dan dagingnya sudah

tersisa sedikit sekali. Ia bagaikan tengkorak hidup. Warna kulitnya berubah

menjadi gelap kehitam-hitaman dan banyak rambutnya yang rontok. Ia juga tidak

sanggup berdiri karena kakinya sangat lemah. Hal ini diketahui oleh orang

kepercayaan Raja Suddhodana yang kemudian melaporkannya kepada Raja. Raja

dan seluruh anggota istana menangisi keadaan Petapa Gotama. Namun mereka

tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap agar Petapa Gotama dapat dengan

segera menjadi Buddha.

Petapa Gotama menerapkan latihan ekstrim sehingga kesehatan tubuhnya

memburuk

Petapa Gotama pun berpikir jika cara yang ia terapkan sekarang adalah tidak

benar. Ia merasa bahwa untuk melatih diri agar batin tidak lagi melekat dan selalu

waspada pada setiap saat tidak harus dilakukan dengan cara seperti ini. Petapa

Gotama pun mandi di sungai, kemudian berjalan dengan tertatih-tatih ke

gubuknya untuk beristirahat. Namun ketika berjalan tidak seberapa jauh dari

sungai, Petapa Gotama jatuh pingsan. Pada waktu itu ada seorang anak

penggembala kambing bernama Nanda yang menemukannya. Ia kemudian

memberi air susu kambing kepada Petapa Gotama sehingga dia pun menjadi

siuman kembali. Petapa Gotama selalu dirawat oleh Nanda dan diberikan berbagai

makanan bergizi sehingga perlahan pun kesehatannya pulih kembali. Hal ini

diketahui oleh lima orang petapa yang lain. Mereka menganggap Petapa Gotama

sudah gagal, maka mereka pergi meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di

Benares.

Saat kesehatan Petapa Gotama sudah pulih, ia kembali melakukan pertapaannya.

Petapa Gotama merenungkan tentang cara-caranya selama ini, dan berusaha untuk

mencari jalan yang benar agar dapat menemukan cara menghindari usia tua, sakit

dan mati. Ketika ia sedang merenungkan hal ini, lewatlah serombongan penari

ronggeng yang berjalan sambil berbincang-bincang. Salah satu dari penari

ronggeng itu kemudian berkata:

“Kalau kecapi dipetik terlalu keras, maka talinya akan putus sehingga lagunya

hilang. Kalau dipetik terlalu lemah, maka suaranya tidak akan harmonis. Orang

yang dapat memainkan kecapi dengan baik adalah orang yang dapat memetik

kecapi dengan tepat, sehingga lagunya harmonis.”

Petapa Gotama mendapat inspirasi setelah mendengar pembicaraan

serombongan penari ronggeng

Mendengar ucapan salah satu penari ronggeng itu, Petapa Gotama mendapatkan

pencerahan situasional. Ia kemudian menemukan jalan yang akan diterapkan guna

mencapai Penerangan Agung atau Pencerhana Sempurna. Kemudian Petapa

Gotama pun menggunakan jalan tengah yang ia temukan untuk mencapai

Pencerahan Sempurna itu. 

Di dekat tempat itu tinggallah seorang wanita muda kaya-raya yang bernama

Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya

untuk mendapatkan anak laki-laki dapat tercapai. Hari itu Sujata mengutus

pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon tersebut. Sujata

pun kaget ketika pelayannya datang kembali dengan tergesa-gesa dengan

memberitahukan bahwa dewa pohon itu saat ini muncul. Mendengar hal ini Sujata

gembira sekali. Sujata dengan menggendong bayinya kemudian bersama pelayan-

pelayannya membawa berbagai masakan yang lezat untuk pergi ke tempat pohon

itu. Sujata melihat dewa pohon itu sedang bermeditasi dan kelihatannya sangat

agung. Ia tidak tahu bahwa orang yang dia anggap sebagai dewa pohon itu adalah

Petapa Gotama. Kemudian Sujata dengan hati-hati mempersembahkan semua

makanan kepada Petapa Gotama, yang dikiranya sebagai dewa pohon. Petapa

Gotama menerima persembahan itu, dan setelah habis menyantapnya ia pun

bertanya:

“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”

“Tuanku yang agung, makanan ini aku persembahkan sebagai ucapan terima

kasihku karena Tuanku telah mengabulkan permohonanku untuk mendapatkan

anak laki-laki.”

Kemudian Pertapa Gotama menengok ke arah bayi itu dan meletakkan tangannya

di dahi bayi itu. Petapa Gotama pun berkata:

“Semoga hidupmu selalu diliputi berkah dan keberuntungan. Aku bukanlah dewa

pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi seorang petapa

untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada

semua makhluk yang berada dalam jalan kegelapan. Aku yakin dalam waktu

dekat aku akan memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini, persembahan

makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan

segar kembali. Karena itulah, maka engkau pasti akan mendapatkan berkah yang

sangat besar akibat persembahanmu ini. Tetapi, adikku yang baik, apakah engkau

sekarang bahagia dan semua kehidupanmu sudah terpuaskan dari segala sisinya?”

“Tuanku yang agung, aku tidak menuntut banyak di kehidupan ini. Sedikit tetesan

air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk Bunga Lily, meskipun belum

cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah puas dapat hidup bersama

dengan suamiku dan membesarkan anak ini. Setiap hari dengan senang aku

mengurusi semua pekerjaan rumah tangga, memberi sesajen kepada para dewata,

serta tidak lupa kami sekeluarga selalu berbuat baik dan menolong orang yang

memang membutuhkan pertolongan. Kami sekeluarga tahu bahwa keberuntungan

selalu datang dari perbuatan baik, dan kemalangan selalu datang dari perbuatan

jahat. Oleh karena itulah, apa yang musti kami sekeluarga takuti meski tiba

saatnya kematian datang nanti?”

“Kau sudah memberikan penjelasan sederhana yang mengandung saripati

kebajikan sangat tinggi di dalamnya. Meski kau tidak mempelajari semua segi

dunia ini, namun kau dan sekeluargamu tahu jalan kebenaran dan menyebarkan

keharuman sampai ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapatkan

kepuasan, maka semoga aku pun juga akan mendapatkan apa yang aku cari.”

“Semoga Tuanku yang agung berhasil mencapai apa yang Tuanku cari selama

ini.”

Petapa Gotama pun melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk

kosong. Di tepi sungai Neranjara, Petapa Gotama mengucapkan tekadnya

(adhitthana) dalam hati:

“Jika memang jalan yang aku jalani ini benar dan akan membawaku pada

Pencerahan Sempurna, biarlah mangkuk ini mengalir melawan arus sungai.”

Satu keajaiban pun terjadi, karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.

Hal ini membuat Petapa Gotama mendapatkan semangat baru dan kepercayaan

yang sangat tinggi.

Petapa Gotama menerima persembahan makanan dari Sujata

Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna (Penerangan Agung)

Petapa Gotama melanjutkan perjalanannya, dan pada sore hari akhirnya ia tiba di

Gaya. Ia memilih untuk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi. Kemudian ia

menyiapkan tempat di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang

diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Ia kemudian bertekad dan

berkata dalam hati:

“Dengan disaksikan oleh Bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-

tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak

bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Pencerahan Sempurna dan

merealisasi Nibbana.”

Sotthiya mempersembahkan rumput kering untuk digunakan sebagai alas

bermeditasi bagi Petapa Gotama

Kemudian Petapa Gotama melaksanakan meditasi anapanasati, yaitu meditasi

dengan menggunakan objek keluar-masuknya nafas. Tidak lama kemudian, semua

pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Muncullah semua pikiran

akan keinginan pada benda-benda dan hal-hal duniawi yang dapat memuaskan

nafsu, tidak menyukai penghidupan yang suci dan bersih, perasaan lapar dan haus

yang luar biasa, rasa malas dan ketidakinginan berbuat apa-apa, rasa kantuk yang

berat, takut terhadap makhluk-makhluk halus dan gangguan dari hewan-hewan di

hutan, gelisah, goyah saat merasakan perubahan kondisi dan cuaca di lingkungan

hutan, keragu-raguan terhadap Dhamma, kebodohan (ketidaktahuan), keras

kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan kesombongan serta memandang

rendah orang lain. Semua pikiran tidak baik itu mucul bersama dan datang silih-

berganti. Dengan ketenangan dan kesabaran yang luar biasa, Petapa Gotama

berusaha agar tidak terhanyut dalam pikiran tersebut. Namun ia berusaha tetap

memandangnya dengan kesadaran penuh sebagai sesuatu yang muncul dan lenyap

karena ada sebab dan akibat di dalamnya. Petapa Gotama terus menyelami semua

gejolak ini. Petapa Gotama pun memberantas sikap-sikap tidak baik yang

merintangi Pembebasan, yaitu:

Kerinduan terhadap duniawi (Kamachanda-Nivarana) 

Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana) 

Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana) 

Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca-Nivarana) 

Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana) 

Ketika Petapa Gotama berhasil menyingkirkan kelima rintangan ini, maka

timbullah kegembiraan. Karena gembira maka timbullah kegiuran (piti). Karena

batin tergiur, maka seluruh tubuh terasa nyaman, kemudian Petapa Gotama

merasa bahagia. Karena bahagia maka pikirannya menjadi terpusat. Lalu setelah

terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik,

maka Petapa Gotama masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan

batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang

masih disertai vitakka (pengarah pikiran pada objek) dan vicara (mempertahankan

pikiran pada objek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta

diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “kebebasan”.

Setelah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, Petapa Gotama memasuki dan

berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang

timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara,

keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya diliputi oleh perasaan

tergiur dan bahagia yang timbul dari “konsetrasi”. Petapa Gotama telah

membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, lalu berdiam dalam keadaan yang

seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan kewaspadaan yang jelas.

Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh Para Arya

sebagai “kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan

penuh perhatian murni”. Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam

jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan

perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur. Dengan menyingkirkan

perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan

senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Petapa Gotama

kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana keempat; yaitu suatu keadaan yang

benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi).

Demikian Petapa Gotama bermeditasi di sana, memenuhi seluruh tubuhnya

dengan perasaan batin yang bersih dan jernih. 

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda,

lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama

menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari

pengetahuan (nana-dassana). Maka Petapa Gotama pun mengerti: “Tubuhku ini

mempunyai bentuk, terdiri atas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin),

berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-

menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran

dan kematian; tidak memuaskan; dan karena sifatnya tidak kekal dan tidak

memuaskan; maka tidak layak disebut sebagai 'aku' atau 'milikku'. Begitu pula

dengan kesadaran (vinnana) yang berkaitan dengannya. Dengan pikiran yang

telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk

digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan

dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh-ciptaan-batin” (mano-maya-

kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh

lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun. Dengan pikiran yang telah

terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk

digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan

dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (kesaktiaan - yang

dilandasi oleh kemampuan batin).

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari

noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa

Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-

kemampuan dibbasota (Telinga Dewa). Dengan kemampuan-kemampuan

dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, Petapa Gotama

mendengarkan suara manusia dan dewa dan semua makhluk, yang jauh maupun

yang dekat. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu,

bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat

digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya

pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan

menembus pikirannya sendiri, Petapa Gotama pun mengetahui pikiran-pikiran

makhluk lain. 

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari

noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa

Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan

tentang pubbenivasanussatinana (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau).

Petapa Gotama melihat dengan terang tentang semua kelahiran-kelahirannya

terdahulu, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. Kejadian ini terjadi pada waktu

jaga pertama, yaitu antara pukul 18.00-22.00. Dengan pikiran yang telah terpusat,

bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan,

teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan

mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya

makhluk-makhluk (cutupapata-nana) sesuai dengan tumpukan kamma mereka

masing-masing. Dan dengan kemampuan dibbacakkhunana (Mata Dewa) yang

jernih, melebihi mata manusia, Petapa Gotama melihat bagaimana setelah

makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain;

rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana

makhluk-makhluk itu muncul dan terlahir sesuai dengan perbuatan-perbuatannya.

Kejadian ini terjadi pada waktu jaga kedua pada pukul 22.00-02.00. 

Petapa Gotama mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya

Pada waktu jaga ketiga yaitu antara pukul 02.00-04.00, dengan pikiran yang telah

terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk

digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan

dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda

batin (asavakkhayanana)… Petapa Gotama mengetahui sebagaimana adanya

“Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya penderitaan”. Dengan mengetahui dan

melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava),

noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava).

Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya.

Dan ia pun mengetahui: “Berakhirlah kelahiran kembali, terjalanilah kehidupan

suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan setelah ini.”

Tidak ada unsur yang melekat lagi di batinnya. Petapa Gotama telah mencapai

Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana. Dan dengan disaksikan oleh

Bumi, Petapa Gotama pun akhirnya sukses menjadi Buddha (Yang Tercerahkan).

Dengan usaha sendiri hingga akhirnya sukses mencapai Pencerahan Sempurna,

dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengajarkan Dhamma kepada

orang lain guna mencapai Pencerahan, maka Petapa Gotama pun disebut sebagai

Sammasambuddha Gotama. Dengan wajah berseri dan batin yang sangat damai,

Petapa Gotama kemudian mengeluarkan pekik kemenangan:

    “Anekajati samsaram

     Sandhavissam anibbissam

     Gahakarakam gavesanto

     Dukkha jati punappunam

     Gahakaraka! Dittho’si

     Punageham na kahasi

     Sabba to phasuka bhagga

     Gahakutam vismakhitam

     Vismakharagatam cittam

     Tanhanam khayamajjhaga.”

Yang artinya

   “Dengan letih Aku mencari "pembuat rumah" ini

     Berlari-berputar dalam lingkaran tumimbal lahir

     Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada akhir

     Pembuat rumah! Sekarang telah Ku-ketahui

     Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi

     Semua atapmu telah Ku-robohkan

     Semua fondasimu telah Ku-bongkar

     Batin-Ku sekarang mencapai keadaan terbebas

     Dan berakhirlah semua nafsu keinginan.”

Kemudian secara tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi. Sebuah gempa bumi

dashyat yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Para Dewa dari berbagai

alam datang dan bersuka-ria atas keberhasilan Petapa Gotama menjadi Buddha.

Demikianlah Pengeran Siddhattha akhirnya berhasil menjadi Buddha pada usia 35

tahun di Bulan Vaisak pada tahun 588 SM.

Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Sammasambuddha

Tujuh minggu setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi

dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari

semua nafsu-keinginan dan kemelekatan; sehingga batinnya menjadi sangat

damai. Pada minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari Pohon Bodhi

dan memandanginya terus-menerus tanpa berkedip selama satu minggu penuh,

sebagai cetusan rasa terima kasih. Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan

mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara; karena

melalui Mata Dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa banyak sekali Dewa

yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Pencerahan

Sempurna. Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata

yang diciptakan-Nya. Di kamar itu Sang Buddha bermeditasi dan

menyelami abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu psikologi dan metafisika

batin. Batin-Nya sedemikian bersih sehingga seluruh tubuh-Nya mengeluarkan

kilauan cahaya biru, kuning, merah, putih dan jingga. Selama minggu kelima,

Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Ajapala Nigrodha (Pohon Beringin),

yang letaknya tidak jauh dari Pohon Bodhi. Pada minggu keenam, Sang Buddha

bermeditasi di bawah Pohon Mucalinda. Karena hujan lebat turun, tiba-tiba

datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melilitkan badannya tujuh kali

memutari dan memayungi Sang Buddha dengan kepalanya. Ketika hujan berhenti,

ular kobra itu berubah menjadi seorang anak muda. Kemudian Sang Buddha

berkata:

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang bisa

mendengar dan melihat kebenaran. Berbahagialah mereka yang bisa bersimpati

pada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah mereka yang dapat hidup

dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi nafsu-keinginan. Lenyapnya

"ikatan tentang keberadaan aku" merupakan berkah tertinggi.”

Sang Buddha dan ular kobra

Pada minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Rajayatana.

Pada hari ke-50, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha yang

sedang bermeditasi pada pagi hari. Mereka bernama Tapussa dan Bhalika. Setelah

berpuasa selama tujuh minggu, akhirnya Sang Buddha mendapatkan persembahan

makanan dari mereka berdua yang berupa beras dan madu. Persembahan dari

mereka sangat banyak. Karena sudah menjadi tradisi bagi sejak dari Para Buddha

terdahulu untuk tidak menerima persembahan makanan dengan kedua tangan,

maka dengan kesaktian-Nya, Sang Buddha menerima semua persembahan

makanan tersebut dalam satu mangkuk. Setelah Sang Buddha selesai makan,

Tapussa dan Bhalika memohon agar diterima sebagai pengikut awam. Mereka pun

diterima sebagai upasaka-upasaka (orang yang mengikuti Ajaran Buddha dan

masih hidup sebagai perumah tangga) pertama yang berlindung pada Dviratna

(Sang Buddha dan Dhamma). Kemudian mereka meminta sesuatu benda pada

Sang Buddha, agar dapat mereka bawa pulang. Sang Buddha kemudian

memberikan beberapa helai rambut (kesa dhatu = relik rambut). Mereka berdua

menerimanya dengan gembira, dan mereka pun mendirikan sebuah pagoda di

dekat tempat tinggal mereka untuk menyimpan kesa dhatu tersebut.

Setelah Tapussa dan Bhalika pergi, Sang Buddha merenungkan apakah Dhamma

yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebelum

mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau memang berkehendak untuk

membagikan “obat suci” itu kepada semua makhluk di dunia. Namun Sang

Buddha masih menimbang-nimbang perihal ini. sebab Dhamma itu sangat dalam

dan sulit dimengerti, sehingga bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keliru

ataupun menjadi satu pembabaran yang tidak dapat diterima oleh dunia.

Kemudian Sang Buddha melihat ke kolam bunga teratai yang berada di dekat-

Nya. Bunga teratai itu tumbuh di kolam yang kotor, namun ia sama sekali tidak

terjerat ke dalam kolam itu. Memang ada bunga teratai yang masih berada di dasar

kolam, ada juga yang masih berada di permukaan air kolam, namun ada juga yang

menjulang tinggi di atas permukaan air kolam. Begitu juga pada batin semua

makhluk di dunia ini. Ada yang masih tenggelam di kekotoran duniawi, ada juga

yang dapat melihat cahaya terang di atas permukaan kolam keduniawian, namun

ada yang mampu lepas sama sekali dari semua kekotoran duniawi. Atas dasar

inilah maka Sang Buddha memutuskan untuk membabarkan Ajaran-Nya kepada

khalayak ramai, dan dengan bertekad bahwa Beliau baru akan Parinibbana

(mangkat) setelah Ajaran-Nya diterima dan disukai khalayak ramai. Sang Buddha

juga tidak ingin melakukan hal ekstrim dalam rencana pembabaran Ajaran-Nya.

Beliau tidak ingin memaksa semua orang mendengarkan Dhamma. Beliau hanya

akan mencari orang-orang yang memang mampu untuk mendengar, melihat dan

mempraktikkan Dhamma. Hanya orang yang memiliki sedikit debu di matanya

yang bisa melihat Dhamma.

Perhatian Sang Buddha pertama kali ditujukan kepada Alara Kalama. Namun

karena melalui kemampuan batin-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa

seminggu yang lalu Petapa Alara Kalama sudah meninggal dunia. Kemudian

perhatian selanjutnya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun Sang Buddha

juga mengetahui bahwa Petapa Uddaka Ramaputta baru saja meninggal dunia

pada kemarin malam. Karena itulah Sang Buddha menujukan perhatian-Nya pada

kelima orang petapa yang pernah bertapa bersama-Nya dahulu.

Sang Buddha berangkat menuju Taman Rusa Isipathana di Benares. Dalam

perjalanan menuju Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang Petapa

Ajivaka bernama Upaka. Karena terpesona melihat keagungan Sang Buddha,

Upaka pun bertanya:

“Siapakah Anda? Dan siapa guru Anda?”

Sang Buddha menjawab: “Saya adalah Orang Yang Maha Tahu, dan saya tidak

mempunyai guru.”