resume buku hukum perikatan

41
TEMPAT HUKUM PERIKATAN DALAM KUH PERDATA Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih di dalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum. A. Pembagian Hukum Perdata Menurut Doktrin 1. Hukum Pribadi (personrecht); Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya. 2. Hukum Keluarga (familierecht); Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya 3. Hukum Kekayaan (vermogenrecht); Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta

Upload: bayusuntia

Post on 17-Jan-2016

571 views

Category:

Documents


64 download

DESCRIPTION

karya: J.Satrio

TRANSCRIPT

TEMPAT HUKUM PERIKATAN DALAM KUH PERDATA

Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih di dalam

lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain

mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Perikatan dapat lahir dari suatu

perjanjian dan Undang-undang. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum.

A. Pembagian Hukum Perdata Menurut Doktrin

1. Hukum Pribadi (personrecht);

Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang

manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek

hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan

hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.

2. Hukum Keluarga (familierecht);

Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum

yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti

perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan

anak,perwalian,curatele,dan sebagainya

3. Hukum Kekayaan (vermogenrecht);

Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum

seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti

perjanjian,milik,gadai dan sebagainya. Terbagi menjadi:

- Hak Kekayaan Absolut: Hak kebendaan yakni hak atas nenda-

benda immaterial.

- Hak Kekayaan Relatif: Hak yang ada pada subjek yang muncul

dalam perilatan.

4. Hukum Waris (erfrecht):

Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau

harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan

perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang

meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

B. Pembagian/Sistematika dalam K.U.H.Perdata (Burgerlijk Wetboek)

- Buku I : Tentang Orang/Pribadi.

- Buku II : Tentang Benda .

- Buku III : Tentang Perikatan.

- Buku IV : Tentang Bukti dan Daluarsa.

C. Perikatan dan Hak-Hak KekayaanHak-hak mengenai harta kekayaan yang menjadi objek dalam

Perikatan terbagi menjadi:

1. Hak Kekayaan yang Absolut Dapat ditinjau dari segi pasifnya, yaitu

semua orang harus menghormati pemilik hak kekayaan absolut

tersebut. Hak absolut dibedakan menjadi hak kebendaan (hak milik,

hak gadai atau hak hipotik) dan hak-hak atas benda immateriil.

2. Hak Kekayaan yang Relatif Hak kekayaan yang hanya bisa ditujukan

kepada orang-orang tertentu dan ia muncul dari perikatan, sehingga

orang menyebutnya ius in personam.

3. Hubungan Antara Hak Relatif dan Hak Kebendaan Hak relatif atau hak

pribadi (persoonlijkrecht) adalah kebalikan dari hak kebendaan

sebagai sebgaian dari hak yang absolut.

BAB II

PERUMUSAN

A. Perumusan Menurut Doktrin

Pada umumnya sebelum orang membicarakan sesuatu, ia memberikan

lebih dahulu pembatasan mengenai objek. Dalam hal ini pembuat UU yang lalai

ataupun sengaja tidak memberikan perumusan mengenai perikatan. Dengan

demikian perikatan menurut doktrin meliputi baik segi aktif/kreditur(orang yang

berpiutang) maupun pasif/debitur (orang yang berutang).

B. Unsur-Unsur Perikatan

1. Hubungan Hukum;

Hubungan hukum adalah hubungan yang didalamnya melekat hak

pada salah satu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang artinya hubungan yang

diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan

dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup

berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. Pengingkaran

terhadap hubungan- hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat

hukum.

Hubungan Hukum di sini berbeda dengan hak kebendaan. Pada

perikatan, kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela

sebagaimana mestinya, maka kreditur dapat meminta bantuan hukum

sekalipun bukan executive riil. Hubungan yang diatur oleh

hukum;Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan

kewajiban di lain pihak. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan

kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya.

2. Hubungan Antara Kreditur dan Debitur (Subjek Hukum);

Pada setiap perikatan selalu terdapat 2 pihak yaitu kreditur sebagai

pihak yang berhak atas suatu prestasi dan debitur sebagai pihak yang

wajib berprestasi. Pada terdapat 2 unsur yakni schuld dan haftung.

Schuld merupakan kewajiban debitur untuk melakukan sesuatu

terhadap kreditur, sedang haftung merupakan kewajiban debitur

mempertanggung jawabkan harta kekayaan debitur sebagai pelunasan

schuld. Dalam hal perjanjian hutang piutang, schuld merupakan utang

debitur kepada kreditur. Setiap debitur memiliki kewajiban untuk

menyerahkan prestasi kepada kreditur, oleh karena itu debitur

mempunyai kewajiban untuk membayar pelunasan hutang.

Sedangkan, haftung  merupakan harta kekayaan debitur yang

dipertanggung jawab sebagi pelunasan hutang tersebut. debitor 

tersebut berkewajiban untuk membiarkan kreditur untuk mengambil

harta kekayaannya sebanyak hutang yang dimiliki oleh debitur untuk

pelunasan hutang tersebut apabila debitur tidak memenuhi

kewajibannya untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Setiap

kreditur yang memiliki piutang kepada debitur memiliki hak menagih

atas pembayaran pelunasan piutang tersebut jika debitur tidak

memenuhi prestasinya untuk pelunasan pembayar hutangnya. Di dalam

Hukum Perdata, disamping memiliki hak menagih (vorderingerecht),

kreditur memiliki hak untuk menagih kekayaan debitur sebasar piutang

yang miliki oleh si debitur tersebut (verhaalarecht).

Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur bahwa

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”( Pasal

1131 KUHPerdata). Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasal

tersebut mengandung asas bahwa kekayaan debitor dipertanggung

jawabkan sebagai penulasan hutangnya kepada kreditur. Namun,

terdapat penyimpangan antara schuld dan haftung, yakni ditinjau dari:

a. Segi aktif dan pasif:

- Schuld tanpa Haftung.

Seorang debitur mempunyai schuld maupun hafting, tetapi

yang berhutang atas dasar penjudian tidak dapat dituntut

pelunasan hutangnya melalui sarana hukum, hukum tidak memberi

bantuan hukum kepada kreditur seperti itu sehingga disebut “tidak

mempunyai haftung”.

Hal ini dapat dijumpai dalam perikatan alam (natuurlijke

verbentenis). Dalam perikatan alam sekalipun debiror memiliki

hutang (schuld) kepada kreditur, namun jika Debitur tidak

melaksanakan prestasinya, kreditor tidak dapat menuntu

pemenuhannya. Contohnya dapat ditemukan dalam hutang yang

timbul karena perjudian. Sebaliknya  jika debitor memenuhi

prestasi, debitor tidak dapat menuntut pengembalian apa yang telah

dibayarkan.

- Schuld dengan Haftung terbatas.

Dalam hal ini debitur tidak bertanggung jawab dengan

seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas sampai dengan

jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh: ahli waris yang

menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk

membayar schuld daripada pewaris samapai schuld jumlah harta

kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut.

- Haftung tanpa Schuld atau Haftung dengan Schuld pada pihak lain.

Seorang pihak ketiga memberi jaminan kebendaan seperti

gadai dan pemberi hipotik untuk hutang debitur, benda tertentu

miliknya yang diberikan sebagai jaminan dapat dieksekusi jika

debitur lalai memnuhi kewajiban perikatannya dengan baik.

Jika pihak ke tiga menyerahkan barangnya untuk

dipergunakan sebagai jaminan oleh debitur kepada kreditur maka

walupun dalam hal ini pihak ke tiga tidak memiliki hutang kepada

Kreditor akan tetapi pihak ke tiga tersebut bertanggung jawab atas

hutang debitor dengan barang yang dipakai sebagia jaminan. Hal

ini dapat dikatakan sebagi bourtogh (pertanggungan). Contoh: A

mengadakan perjanjian hutang piutang dengan B akan tetapi C

bersedia menjaminkan barang yang dimilikinya untuk pelunasan

hutang yang dimiliki oleh A terhadap B walaupun C tidak memiliki

hutang terhadap B.

b. Subjek Perikatan:

- Subjek Kreditur

Pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang

memiliki utang (kewajiban).

- Subjek Debitur

Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau

pihak yang memiliki piutang (hak).

3. Harta Kekayaan:

Hukum perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan

(vermogensrecht) dan bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah

Hukum Benda. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan itu

merupakan perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran

dapat ”dinilai dengan uang”.

Pandangan klasik mengatakan bahwa suatu hubungan dapat

dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai

dengan sejumlah uang. Sedangkan pandangan baru berpendapat bahwa

sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang,

tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu

diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum

pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan

Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang, jika kerugian

yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi

nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan pembatasan, karena

dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat hubungan-

hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat

badaniah akibat perbuatan seseorang.

Jadi kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan

sebagi suatu kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan.

Namun, walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi

bukan berarti bahwa ”dapat dinilai dengan uang” adalah tidak relevan,

karena setiap perbuatan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu

merupakan perikatan.

4. Isi Perikatan;

a. Suatu prestasi tertemtu.

Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi

merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah

suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat

kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul

apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada

suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan

hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada

salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau

kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).

Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat

adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan

hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.

Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum

yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai

sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll.

b. Bentuk prestasi.

Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) :

- Memberikan sesuatu;

- Berbuat sesuatu;

- Tidak berbuat sesuatu

Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang,

memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik

atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya

membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A

membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya, untuk

tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga

prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

debitur. Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :

1. Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas

pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban

(schuld).

2. Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa

memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi

kewajiban tsb (Haftung)

c. Syarat Prestasi.

- Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;

- Objeknya diperkenankan oleh hukum;

- Dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang

sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta

kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna

pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi

kewajibannya membayar hutang tersebut.

Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk

itu kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di

dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih

hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi

kewajiban membayar hutangnya maka kreditur mempunyai hak

menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada debitur itu

(verhaalsrecht).

BAB III

Sistematika K.U.H.Perdata Tentang Perikatan

A. Tinjauan Umum

Buku III BW mengatur mengenai hukum perikatan. Bagian umum terdiri

dari empat, dan bagian khusus terdiri dari lima belas bab. Bagian umum bab

pertama mengatur ketentuan-ketentuan untuk semua perikatan, baik yang timbul

dari persetujuan maupun undang-undang,. Bertentangan dengan judulnya yang

berbunyi: “Tentang perikatan-perikatan pada umumnya”, Bab I mengandung

banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Sebagian

besar dari bab ini ditujukan kepada pembagian perikatan-perikatan. Hal ini

mengoper secara hurufiah Code Perancis, sedangkan ketentuan-ketentuan tersebut

dalam Code diperuntukkan bagi perikatan yang timbul dari persetujuan.

Dalam Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan

yang timbul dari persetujuan.

Dalam Bab III yang berjudul: “Perikatan-perikatan yang timbul dari

undang-undang” hanya terdapat dua ketentuan umum, yaitu pasal 1352 dan pasal

1353 dan selanjutnya mengatur tiga perikatan-perikatan khusus yang terjadi

karena undang-undang, yaitu perwakilan sukarela, pembayaran yang tidak

terutang dan perbuatan melawan hukum. Menurut Pitlo, tiga perikatan khusus

tersebut seharusnya ditempatkan dalam persetujuan-persetujuan tertentu.

Bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-

perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan

atau undang-undang.

Bab V sapai dengan Bab XVIII dan Bab VII A mengatur mengenai

persetujuan-persetuan bernama (tertentu). Dalam bab ini terdapat persetujuan-

persetujuan yang seringkali dibuat dalam masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-

menyewa, pemberian kuasa dan sebagainya. Selain itu terdapat juga persetujuan-

perserujuan yang tidak begitu penting artinya bagi masyarakat.: tukar-menukar,

pinjam pakai, bunga tetap, dan bunga abadi. Beberpa persetujuan diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang: perseroan, asuransi, komisioner, makelar

dan pengangkutan.

Bagian umum mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum

perikatan, sedangkan bagian khusus membahas lebih lanjut ketentuan-ketentuan

pokok tersebut untuk hal-hal khusus. Dalam ketentuan-ketentuan khusus

adakalanya terdapat ketentuan-ketentuan yang hanya mengulangi apa yang telah

diatur dalam bagian umum. Selain itu terdapat pula ketentuan-ketentuan yang

merupakan pengecualian dai ketentuan-ketentuan pokok.

Seringkali dari ketentuan-ketentuan khusus dapat ditarik suatu ketentuan

pokok yang dapat dipergunakan bagi semua perikatan yang terjadi dari hubungan-

hubungan yang sejenis.

Bagian V lama Bab VI, yang berdasarkan S.1879-256 dinyatakan berlaku

bagi golongan pribumi dan yang dismakan diganti dengan Bab VII A berdasarkan

S.1926-335 jis 458, 565 dan S.1927-108. akan tetapi menurut pasal VI ketentuan-

ketentuan penutup) dari S.1926-335, bagian V lama masih dinyatakan berlaku

bagi golongan Pribumi, Tionghoa, dan Timur Asing lainnya.

Walaupun banyak persetujuan yang belum diatur dalam UU, akan tetapi

karena azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas

untuk membuat persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU, maka tidak

tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat persetuan-persetujuan

tersebut.

Peraturan per-UU-an mengenai hukum persetujuan bersifat menambah

(aavullend recht), yang artinya pihak-pihak dalam membuat persetujuan bebas

untuk menyimpang dari ketentuan yang tersebut dalam BW. Mengenai kebebasan

pihak-pihak untuk membuat persetujuan-persetujuan diadakan beberapa

pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa,

ketertiban umum dan kesusilaan.

B. Hubungan Antara Ketentuan Umum dengan ketentuan khusus

Ketentuan khusus merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan

umum. Dengan kata lain pada asasnya ketentuan khusus didahulukan terhadap

kepentingan umum.

C. Hubungan Antara Ketentuan Umum dengan Beberapa Asas Hukum

Perdata

Dalam kaitan hubungan antara ketentuan umum dengan beberapa asas

hukum perdata itu terdapat beberapa asas, yaitu:

1. Asas Kebebasan Berkontrak : Pasal. 1338: 1 KUHPerdata.

2. Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.

3. Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.

- Pengecualian dimuat dalam Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal

1317 KUHPerdata

- Perluasannya yaitu dimuat dalam Pasal 1318 KUHPerdata.

Asas Pacta Suntservanda atau asas kepastian hukum: 1338: 1

KUHPerdata.

Ketentuan Umum dan Kebebasan Berkontrak 1338 BW

Kebebasan Berkontrak dan Hukum yang Menambah

BAB IV

PEMBAGIAN PERIKATAN

A. Perikatan Berdasarkan Sumbernya

Perikatan jika dilihat dari sumbernya itu berasal dari dua sumber, yakni

Undang-Undang dan Perjanjian. Dijelaskan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul

dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan

orang.

2. Perjanjian Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena

undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu Suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri

terhadap satu orang lain atau lebih.

B. Berdasarkan Isi

Berdasarkan Isi/ Prestasi Perikatannya dalam Pasal 1234 KUH Perdata

adalah sebagai berikut:

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu;

2. Perikatan untuk melakukan sesuatu;

3. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu.

C. Manfaat Pembagian dan Pembagian Perikatan Menurut Doktrin

Adala tentang masalah eksekusi, yaitu eksekusi rill pada perikatan untuk

melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu serta eksekusi riil tidak langsung.

Pembagian perikatan menurut doktrin adalah sebagai berikut:

1. Perikatan perdata dan alamiah;

2. Perikatan pokok/principal;

3. Perikatan accessoir

4. Perikatan primair dan perikatan sekunder;

5. Perikatan sepintas dan perikatan yang memakan waktu;

6. Perikatan yang positif dan perikatan yang negative;

7. Perikatan yang sederhana dan perikatan yang kumulatif;

8. Perikatan fakultatif dan perikatan alternative;

9. Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dibagi-bagi;

BAB VI

PRESTASI DAN WANPRESTASI

Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan

sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak

yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term”

dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :

1. Memberikan sesuatu;

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.

Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya

prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak

terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang

bersangkutan.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak

pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk

memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak

pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat

terjadi karena:

1. Kesengajaan;

2. Kelalaian;

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force

majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi

prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).

A. Kewajiban Prepatoir

Kewajiban prepatoir perikatan untuk memberikan sesuatu disebutkan

dalam Pasal 1253 BW. Yaitu kewajiban penyerahan di sini dikaitkan karena

hubungan obligator tertentu yang biasa timbul karena adanya perjanjian obligator

ataupun karena ditentukan UU.

B. Kesalahan dan Kesengajaan serta Wujud Wanprestasi

1.Kesalahan (1236 BW):

- Kesengajaan (opzet)

- Kelalaian (onachtzaamheid)

2. Kesengajaan

Orang melakukan sesuatu tindakan atau mengambil suatu sikap yang

menimbulkan kerugian, memang diniati dan dikehendaki.

3. Wujud Wanprestasi

-Debitur sama sekali tidak berprestasi

-Debitur keliru berprestasi

-Debitur terlambat berprestasi

BAB VI

AKIBAT WANPRESTASI

A. Akibat Wanprestasi Pada Umumnya

Dalam Pasal 1236 dan 1243 menyebutkan bahwa dalam hal debitur

lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, maka kreditur berhak

menuntut ganti rugi yang berupa ongkos dan bunga. Kemudian pada pasal

1237 mengatakan bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek

perikatan menjadi tanggungan debitur. Lalu pada pasal 1266 perjanjian

merupakan timbal balik, kreditur berhak menuntut pembatalan perjanjian

dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi dan tidak

mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa

ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya

perkara.sebagai contoh seorang debitur (si berutang) dituduh melakukan

perbuatan melawan hukum, lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan

sesuai bunyi yang telah disepakati dalam kontrak, jika terbukti, maka

debitor harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi + bunga + biaya

perkaranya). Meskipun demikian, debitor bisa saja membela diri dengan

alasan :

1. Keadaan memaksa (overmacht/force majure);

2. Kelalaian kreditur sendiri;

3. Kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Menurut kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan,

cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan

demikian, Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur

(berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah

ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul

karena:

1. Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri.2. Adanya keadaan memaksa (overmacht).

B. Tuntutan Ganti Rugi

Pada Pasal 1243 s/d 1252 mengatur lebih lanjut mengenai masalah ganti

rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi mewajibkan penggantian

kerugian berupa ongkos maupun bunga. Karena penuntutan kerugian telah diakui

dan diatur dalam UU maka dalam pelaksanaannya kreditur dapat minta bantuan

penguasa menurut cara yang telah ditentukan Hukum Acara Perdata, yaitu melalui

sarana eksekusi atas harta benda milik debitur.

C. Perhitungan Kerugian dalam Suatu Daftar

Menghitung ganti rugi meliputi banyak pos, baik yang benar-benar sudah

dikeluarkan, maupun kerugian yang masih ada di atas kertas (keuntungan yang

diharapkan). Total kerugian merupakan gabunga perhitungan yang cukup

kompleks, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi

dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan yang dinamakan

prosedur daftar kerugian (schadestaatprocedure).

BAB VII

MASALAH BUNGA SEBAGAI GANTI RUGI

A. Bunga Moratoir Kompensatoir

Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang,

sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi

kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus pada

Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan: “Dalam tiap-tiap

perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang,

penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan,

hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak

mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus”( Pasal 1250 BW).

Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar

6% (enam) persen setahun, hal ini dilihat dari S.1848: No. 22. Pada prinsipnya,

Bunga Moratoir ini tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur,

namun untuk pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar terhitung mulai dari

diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal yang mana undang-undang

menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum. Demikian ketentuan Pasal 1250

paragraf (3) KUHPerdata. Kesimpulan dari Bunga Moratoir adalah bunga yang

diharapkan menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi

Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti

kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir.

B. Bunga Konvensional

Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak

dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata,

dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga ini

diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan

karenanya mengikat para pihak. Hal ini didasari pada asas kebebasan berkontrak

yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya’.

Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini timbul

berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat ditentukan bersama

oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran bunga menurut undang-

undang. Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini

para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam bentuk

tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipanPasal 1767 KUHPerdata:

“…Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut

undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.

Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara

tertulis.”(1767 BW)

C. Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir

Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga

Konvensional dan bukan Bunga Moratoir. Yang membedakan antara Bunga

Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan perlunya pembuktian

atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian A, Bunga Moratoir tidak

perlu dibuktikan adanya kerugian oleh Kreditur.

Sedangkan, untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus ada

kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada dasarnya diberikan

untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-bunga yang telah dikeluarkan

oleh Kreditur sebagai akibat dari wansprestasinya debitur.

D. D.Bunga Berbunga

Pasal 1251 mengatakan bahwa bunga dari uang pokok yang dapat ditagih

dapat pula menghasilkan bunga, baik karena suatu permintaan di muka Pengadilan

maupun karena persetujuan khusus, asal saja permintaan atau persetujuan tersebut.

BAB VIII

MASALAH RESIKO

Resiko disini terbagi menjadi empat macam, yakni:

1. Masalah resiko pada umumnya;

2. Resiko perjanjian sepihak;

3. Resiko perjanjian timbal-balik;

4. Resiko perjanjian jual-beli.

Pada dasarnya setiap orang memikul sendiri resiko atas kerugian yang

menimpa miliknya, kecuali dilimpahkan. Berdasarkan pasal 1237, benda yang

harus diserahkan menjadi tanggungan kreditur. Masalah resiko secara umum

dalam praktik ketentuan umum tentang resiko tidak banyak berperan sebab

banyak diatur dalam perjanjian khusus yang prinsipnya didahulukan terhadap

ketentuan umum.

Resiko Perjanjian Sepihak. Pasal 1237 mengatakan bahwa pada perikatan

suatu benda tertentu maka sejak perikatan lahir benda tersebut menjadi

tanggungan dari kreditur. Mengenai Resiko Perjanjian Timbal Balik Sekalipun

UU tidak memberikan ketentuan yang tegas mengenai masalah resiko timbal

balik, tetapi dengan berpegang teguh pada keadilan dan kepantasan. Perjanjian

timbal balik resiko ada debitur, kecuali UU menetapkan sebaliknya atau lain.

Resiko Perjanjian Jual Beli .Ketentuan pada pasal 1460 mengingatkan kita

pada SEMA No. 3/1963, maka harus ditinjau tiap-tiap keadaan, apakah tidak

sepantasnya pertanggungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah

dijanjikan dijual tapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak.

BAB IX

MASALAH OVERMACHT

A. Tinjauan Umum

Pembuat UU dalam pasal 1244 memberikan ketentuan tentang adanya

ganti rugi karena tidak dilaksanakannya atau tidak pada waktu yang tepat

dilaksanakannya perikatan, yang terjadi disebabkan oleh “tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya (debitur)” dengan ada itikad buruk. Sedang

pasal 1245 berbicara kerugian yang timbul karena berhalangnya debitur untuk

memenuhi prestasinya yang diwajibkan oleh “kejadian memaksa” atau lantaran

suatu “kejadian yang tidak disengaja”.

B. Unsur-Unsur Peristiwa dalam Keadaan Overmacht Memaksa dan

Ajarannya

Tentang Keadaan Memaksa:

1. Teori Overmacht yang Objektif:

Debitur baru bias mengemukakan adanya keadaan memaksa

(overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak

mungkin untuk berprestasi sebagaimana mestinya. Teori ini didasarkan

pada pasal 1444 yang menjelaskan mengenai halangan apa saja yang

membebaskan debitur dari kewajibannya.

2. Teori Overmacht yang Subjektif

Unsur dari teori ini adalah unsur ketidaksalahanlah yang pokok,

sedang syarat ketidakmampuan disingkirkan. Prinsipnya kalau debitur

sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi ia tetap tidak dapat berprestasi,

maka tidak dipenuhinya kewajiban prestasi tidak dapat lagi

dipersalahkan kepadanya dan karenanya ia tidak perlu mengganti rugi,

kalau seandainya kreditur menderita rugi karenanya.

BAB X

PERIKATAN BERSYARAT

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya

digantungkan pada syarat tertentu. Berikatan bersyarat diatur dalam Buku III Bab

bagian V yang meliputi Pasal 1253 s/d Pasal 1267 K.U.H.Perdata. Suatu perikatan

adalah bersyarat jika berlakunya atau hapusnya perikatan tersebut berdasarkan

persetujuan digantungkan kepada terjadiya atau tidaknya suatu peristiwa yang

akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam menentukan apakah syarat tersebut

pasti terjadi atau tidak harus didasrkan kepada pengalaman manusia pada

umumnya. Menurut ketentuan Pasal 1253 K.U.H.Perdata bahwa perikatan

bersyarat dapat digolongkan ke dalam: perikatan bersyarat menangguhkan dan

perikatan bersyarat yang menghapuskan.

A. Perikatan Besryarat yang Menangguhkan

Perikatan besyarat yang menangguhkan perikatan baru berlaku

setelah syaratnya dipenuhi. Misanya: A akan menjual rumahnya jika A

naik jabatan jadi direktur. Jika syarat tersebut dipenuhi (A menjadi

direktur) maka persetujuan jual beli mulai berlaku. Jadi A harus

menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya. Jika syarat belum

dipenuhi maka reditur tidak dapatmenuntut pemenuhan dan debitur tidak

wajib memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasinya sebelum

syarat dipenuhi maka terjadi pembayaran tidak terutang dan debitur dapat

menuntut pengembaliannya.

Mengenai risiko pada perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1264

K.U.H.Perdata dimana menurut ayat 2 nya, jika barangnya musnah di luar

kesalahan debitur kedua belah pihak dibebaskan dari kewajibannya

masingmasing. Sedangkan dalam ayat 3 nya, ditentukan bahwa jika

barangnya merosot harganya bukan dikarenakan kesalahan debitur maka

kreditur dapat memilih membatalkan perikatan atau menuntut penyerahan

barangnya tanpa mendapat pengurangan harga yang telah diperjanjikan.

B. Perikatan Bersyarat yang Menghapuskan

Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika

syaratnya dipenuhi. Jika perikatan telah dilaksanakan seluruhnya atau

sebagaian maka dengan dipenuhi syarat perikatan maka:

- Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak

terjadi perikatan

- Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya. Sedangkan Perikatan

dengan ketentuan waktu adalah perikatan yang pemenuhan

prestasinya digantungkan pada waktu yang tertentu.

C. Contoh Penerapan Perikatan dengan Syarat dalam Praktek

Perikatan ini diatur dalam Buku III Bab I bagian 6 meliputi Pasal

1268 s/d 1271 K.U.H Perdata. Perikatan dengan ketentuan waktu adalah

perikatan yang berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau

peristiwa tertentu yang akan terjadi dan pasti terjadi. Waktu dan peristiwa

yang telah ditentukan dalam perikatan dengan ketentuan waktu itu pasti

terjadi sekalipun belum diketahui bila akan terjadi. Ada kalanya telah

ditentukan waktunya secara pasti, misalnya penyerahan barang pada

tanggal 8 Desember 2008. Tetapi mungkin juga penentuan waktunya tidak

pasti, misalnya matinya A. Dalam hal ini peristiwanya pasti terjadi, namun

tidak diketahui kapan saatnya.

Pada umumnya jika peristiwanya belum tentu terjadi maka ini

termasuk ke dalam perikatan bersyarat. Ada kemungkinan bahwa yang

dimaksud oleh para pihak adalah perikatan dengan ketentuan waktu

sekalipun perumusannya menunjukan kepada perikatan bersyarat.

Misalnya akan bayar pada saat A menjadi dewasa. Ini merupakan

perikatan bersyarat, karena belum tentu jika A menjadi dewasa, sebab

mungkin ia akan mati sebelum dewasa. Tetapi mungkin sekali maksud

para pihak hanya untuk menunjukan waktu 21 tahun terhitung sejak

kelahiran A, maka dalam hal ini harus dianggap sebagaiperikatan dengan

ketentuan waktu.

Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau

ketentuan waktu harus melihat maksud dari para pihak. Perikatan dengan

ketentuan waktu dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu: ketentuan waktu

yang menangguhkan dan ketentuan waktu yang menghapuskan.

BAB XI

PERIKATAN DENGAN KETENTUAN WAKTU

Perikatan dengan ketentuan waktu yang menangguhkan diatur secara

umum dalam Pasal 1268 s/d 1271 K.U.H.Perdata. Perikatan dengan ketentuan

waktu yang menangguhkan artinya bahwa perikatannya sudah ada hanya

pelaksanaannya ditunda. Debitur tidak wajib memenuhi prestasinya sebelum

waktunya tiba, akan tetapi jika debitur memenuhi prestasinya maka ia tidak dapat

menuntut kembali.

A. Akibat Hukum dari Perikatan dengan Ketentuan Waktu

Akibat hukum dari perikatan dengan ketentuan waktu yang

menunda adalah berbeda menurut tujuannya. Pasal 1270 K.U.H.Perdata

menentukan debitur berhak membayar sebelum hari jatuhnya. Atau

dengan kata lain kreditur tidak dapat menagih sebelum waktunya maupun

menolak pembayaran.

B. Ketentuan Waktu

Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak diatur oleh

masing-masing secara umum. Memegang peranan terutama dalam

perikatanperikatan yang berkelanjutan misalnya Pasal 1570 dan Pasal

1646 sub 1 K.U.H.Perdata. Dengan dipenuhi ketentuan waktunya maka

perikatan menjadi hapus.

Misalnya seorang buruh yang mengadakan ikatan kerja selama

setahun. Setelah lewat setahun buruh tersebut tidak mempunyai kewajian

untuk bekerja lagi. Perikatan dengan ketentuan waktu yang menghapuskan

tidak berlaku surut. Jika waktunya telah dipenuhi maka debitur tidak lagi

terikat, akan tetapi prestasinya pada waktu yang lalu tidak perlu

dikembalikan.

BAB XII

PERIKATAN ALTERNATIF

Perikatan alternatif adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban

melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan

debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan

daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan. Menurut Pasal 1272

K.U.H.Perdata dalam perikatan alternatif debitur bebas dari kewajibannya, jika ia

menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan.

Misalnya A harus menyerahkan kuda atau sapinya kepada B.

Jadi prestasi dari perikatan alternatif dapat berupa memberi, berbuat atau

tidak berbuat sesuatu. Selain itu barangnya dapat ditentukan secara terperinci atau

menurut jenisnya. Tidak disyaratkan bahwa prestasi yang harus dipilih

menyangkut barang yang berlainan. Dapat saja terjadi bahwa barang yang harus

dipilih itu adalah barang yang sama akan tetapi dengan syarat yang berlainan,

misalnya harus menyerahkan beras Cianjur sebanyak 100 kg dalam waktu satu

bulan atau 120 kg setelah tiga bulan.

Perikatan Fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa

prestasi dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain. Perbedaan

antara perikatan alternatif dan perikatan fakultatif Perbedaan antara perikatan

alternatif dan perikatan fakultatif yaitu:

1. Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus

menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan

fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.

2. Pada perutangan alternatif jika benda yang satu lenyap, benda yang

lain menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika

bendanya binasa perutangannya menjadi lenyap.

BAB XIII

PERIKATAN TANGGUNG MENANGGUNG DAN TANGGUNG RENTENG