reorientasi reorientasi_pembelajaran_bahasa_inggris_di_indonesiapembelajaran bahasa inggris di...

31
ORIENTASI BARU PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA (Rekonstruksi Peran Bahasa Inggris dalam Akselerasi Pembangunan Daya Saing Global Sumber Daya Insani Bangsa) Didi Suherdi Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia Orientasi Pembelajaran Bahasa Inggris dari Masa ke Masa Pembelajaran bahasa asing, terutama bahasa Inggris telah diajdikan alat strategis dan strategi pembangunan sumber daya insani dalam berbagai kurun waktu dalam sejarah pendidikan berbagai bangsa di dunia ini. Perubahan intensitas tantangan zaman dan tuntutan kepentingan profesionalitas hidup telah menyebabkan perubahan yang sangat dinamis dalam orientasi pembelajaran bidang ini. Makalah ini akan mengetengahkan pembahasan kritis mengenai orientasi baru dalam pembelajaran bahasa Inggris yang kini mulai memasuki babak awal dalam dunia pendidikan kita. Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami secara komprehensif dan fasilitatif, pembahasan akan disajikan dalam perspektif realis-idealis. Dengan kata lain, orientasi-orientasi tersebut akan disajikan dalam dua kelompok besar, yakni: pembelajaran yang berorientasi produk (yang cenderung realis) dan pembelajaran yang menekankan proses (yang cenderung idealis). Pembelajaran Berorientasi Produk Pembelajaran berorientasi produk umumnya bersumber pada teori-teori psikologi behaviorisme, yang berpangkal pada eksperimen klasik Pavlov, karya Thorndike mengenai belajar berimbalan, dan studi-studi Watson dan Rayner yang menerapkan prinsip-prinsip Pavlov kepada kelainan-kelainan psikologis manusia, dan karya Skinner yang dianggap sebagai rujukan penting dalam bidang ini dan aplikasinya dalam pendidikan (Joyce, Weil, dan Calhoun, 2000: 318).

Upload: rhazes-avicenna

Post on 13-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIA

TRANSCRIPT

Page 1: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

ORIENTASI BARU PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI INDONESIA

(Rekonstruksi Peran Bahasa Inggris dalam Akselerasi

Pembangunan Daya Saing Global Sumber Daya Insani

Bangsa)

Didi Suherdi

Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris

Universitas Pendidikan Indonesia

Orientasi Pembelajaran Bahasa Inggris dari Masa ke Masa

Pembelajaran bahasa asing, terutama bahasa Inggris telah diajdikan alat strategis dan strategi

pembangunan sumber daya insani dalam berbagai kurun waktu dalam sejarah pendidikan

berbagai bangsa di dunia ini. Perubahan intensitas tantangan zaman dan tuntutan kepentingan

profesionalitas hidup telah menyebabkan perubahan yang sangat dinamis dalam orientasi

pembelajaran bidang ini. Makalah ini akan mengetengahkan pembahasan kritis mengenai

orientasi baru dalam pembelajaran bahasa Inggris yang kini mulai memasuki babak awal dalam

dunia pendidikan kita. Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami secara komprehensif

dan fasilitatif, pembahasan akan disajikan dalam perspektif realis-idealis. Dengan kata lain,

orientasi-orientasi tersebut akan disajikan dalam dua kelompok besar, yakni: pembelajaran yang

berorientasi produk (yang cenderung realis) dan pembelajaran yang menekankan proses (yang

cenderung idealis).

Pembelajaran Berorientasi Produk

Pembelajaran berorientasi produk umumnya bersumber pada teori-teori psikologi

behaviorisme, yang berpangkal pada eksperimen klasik Pavlov, karya Thorndike mengenai

belajar berimbalan, dan studi-studi Watson dan Rayner yang menerapkan prinsip-prinsip

Pavlov kepada kelainan-kelainan psikologis manusia, dan karya Skinner yang dianggap

sebagai rujukan penting dalam bidang ini dan aplikasinya dalam pendidikan (Joyce, Weil,

dan Calhoun, 2000: 318).

Page 2: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Kaum behavioris beranggapan bahwa manusia merespon variabel-variabel dalam

lingkungan mereka melalui efek pengkondisian. Kekuatan-kekuatan eksternal ini memancing

individu untuk mengembangkan atau menghindari perilaku-perilaku tertentu. Kalau sebuah

perilaku telah dipelajari, perilaku tersebut dapat diperkuat atau diperlemah oleh respon-

respon lingkungan. Model pembelajaran-model pembelajaran yang paling populer dalam

kelompok ini antara lain Model Belajar Tuntas (MBT) dan Pengajaran Berprograma (PBP).

MBT dirancang pertama kali oleh Carroll (1971) dan Bloom (1971) untuk memberikan cara

yang efisien dan menarik untuk meningkatkan kemungkinan jumlah siswa yang dapat

mencapai penampilan yang memuaskan dalam semua mata pelajaran (Joyce, Weil, dan

Calhoun, 2000: 323). Sementara itu, PBP merupakan sebuah sistem untuk merancang bahan-

bahan belajar mandiri. PBP dianggap sebagai aplikasi langsung tulisan-tulisan Skinner

(Joyce, Weil, dan Calhoun, 2000: 331-332). Meskipun PBP telah mengalami banyak

pengembangan dan modifikasi, sebagian besar adaptasi mempertahankan ciri-ciri dasarnya,

yakni: (1) urutan bahan, baik berupa pertanyaan maupun pernyataan; (2) respon siswa, yang

dapat berupa pemberian jawaban, mengerjakan isian, atau pemecahan masalah; (3) ruang

untuk konfirmasi cepat terhadap respon, baik pada program yang sama maupun pada lokasi

terpisah.

Dalam pengajaran bahasa, model pembelajaran-model pembelajaran dalam kelompok ini

umumnya memiliki ciri-ciri yang oleh Krashen (1981) disebut “proses belajar” (learning),

seperti terikat oleh prosedur formal, berorientasi produk/penampilan, dan diurutkan

berdasarkan urutan kesulitan tatabahasa. Peran guru sangat dominan dalam menentukan arah

dan prosedur belajar. Peran ini sangat menonjol terlihat dalam kegiatan tubian dan substitusi

yang sangat lazim ditemukan dalam pendekatan-pendekatan ini. Di antara pendekatan yang

paling populer dalam kelompok ini adalah pendekatan dengar-ucap (Audiolingual

Approach).

Pendekatan dengar-ucap lahir dari dua aliran pemikiran yang sejajar dalam bidang

psikologi dan linguistik. Dalam bidang psikologi, pendekatan ini berakar pada aliran

behaviorisme dan neo-behaviorisme, sedangkan dalam bidang linguistik pendekatan ini

berakar pada aliran struktural atau deskriptif (Hadley, 2001). Metode pembelajaran yang

lahir dari pendekatan ini diberi nama yang sama, yakni metode dengar ucap, yang juga

Page 3: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

dikenal dengan nama-nama berikut: Keterampilan-keterampilan Fungsional (Functional

Skills), Informasi kunci Baru (New Key), dan Metode Amerika (Benseler dan Schulz, 1980).

Metode ini dikembangkan atas dasar “hukum-hukum belajar empiris” yang meliputi:

1) Hukum dasar hubungan (the fundamental law of contiguity) yang berbunyi “jika dua

pengalaman terjadi bersamaan, ingatan kepada salah satunya akan membantu untuk

mengingat atau menguatkan yang lainnya.”

2) Hukum latihan (the law of exercise) yang berbunyi “semakin sering sebuah respon

dilatihkan, semakin baik respon tersebut terpelajari dan semakin lama dapat diingat.”

3) Hukum intensitas (the law of intensity) yang berbunyi “semakin kuat sebuah respon

dilatihkan, semakin baik respon tersebut terpelajari dan semakin lama dapat diingat.”

4) Hukum asimilasi (the law of assimilation) yang berbunyi “masing-masing kondisi

baru yang menantang cenderung memancing respon (yang sama) yang sudah

dihubungkan dengan kondisi-kondisi menantang serupa di masa lalu.”

5) Hukum akibat (the law of effect) yang berbunyi “jika sebuah respon disertai atau

diikuti oleh kondisi yang memuaskan, respon tersebut akan diperkuat. Jika sebuah

respon disertai kondisi yang menjengkelkan, respon tersebut akan dihindari (Lado,

1964: 37).

Kelima hukum tersebut mendasari lima ciri dasar metode dengar-ucap berikut:

1) Tujuan pengajaran bahasa kedua adalah “mengembangkan jenis kemampuan yang

sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh penutur asli.”

2) Bahasa ibu harus dihindari dalam kelas; harus diciptakan “sebuah pulau budaya.”

3) Siswa belajar bahasa melalui teknik stimulus-respon (S-R). Siswa harus belajar

bahasa tanpa memperhatikan cara bahasa disusun. Mereka hendaknya tidak diberi

kesempatan untuk memikirkan jawaban-jawaban mereka. Memorisasi dialog dan

tubian pola merupakan alat penguasaan respon-respon terkondisi.

4) Tubian pola harus diajarkan tanpa penjelasan pada permulaan program. Pelatihan

yang tuntas harus mendahului penjelasan apa pun, dan pembahasan tatabahasa harus

dibuat sesingkat mungkin.

Page 4: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

5) Dalam mengembangkan “empat keterampilan”, urutan pemerolehan bahasa ibu harus

diikuti.

Pada prakteknya, pendekatan dengar-ucap memaksa siswa untuk terus-menerus berada

pada tingkat pemula karena mereka tidak pernah diminta untuk mengatakan apa pun yang

mereka belum lihat atau belum mereka simpan dalam memori sebelumnya (Hadley, 2001:

112). Pendekatan ini tidak mendorong kreasi pada diri siswa kecuali dalam skala yang sangat

minimal. Para siswa baru diberi kesempatan untuk berekspresi bebas setelah pada tahun

kedua. Meskipun demikian, pendekatan ini pun memiliki sisi positif yang tidak dapat

diabaikan. Penggunaan bahasa sehari-hari dalam dialog yang secara sosiolinguistik tepat

merupakan ciri khas yang tidak pernah dicakup dalam pendekatan-pendekatan yang

dikembangkan lebih dahulu. Selain itu, pengambilan fokus kepada keterampilan lisan telah

menghasilkan pelafalan yang baik dan kemampuan bercakap yang tepat, paling tidak ketika

mereka ditanya mengenai sesuatu yang mereka kenali. Pendekatan ini juga telah memberikan

penekanan kepada pengajaran budaya dan mempersiapkan para siswa untuk dapat

menghadapi situasi-situasi sehari-hari dalam masyarakat bahasa target.

Pendekatan lain dalam tradisi ini adalah pendekatan kode kognitif. Pendekatan ini

berkeyakinan bahwa manusia bukanlah komputer yang hanya dapat memproduksi sesuai

dengan input yang dimasukkan. Manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan

konstruksi baru, bahkan termasuk konstruksi yang belum pernah mereka dengar atau fikirkan

sebelumnya.

Pendekatan lain dalam kelompok ini yang relevan dengan penelitian ini adalah

pendekatan berdasarkan jenre (Genre-based Approach). Pendekatan ini dikembangkan

berdasarkan pemikiran-pemikiran para linguis sistemik, terutama Halliday (Kelly, 1989).

Pendekatan ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap pendekatan proses, terutama dalam

pengajaran menulis. Para kritikus pendekatan proses di sekolah dasar menganggap bahwa

pendekatan ini terlalu menekankan penulisan narasi pribadi. Martin dan Rothery (1980,

1981), yang meneliti perkembangan jenre-jenre utama dalam tulisan anak-anak,

menunjukkan bahwa penguasaan menulis ekspositori tidak berkembang dari kemampuan

menulis narasi. Menurut mereka kekurangan pengalaman dalam menulis jenre-jenre

ekspositori ini akan menyebabkan kekurangberhasilan siswa dalam menulis teks-teks yang

Page 5: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

diperlukan bagi keberhasilan akademik (misalnya, esei-esei sejarah dan geografi, laporan

ilmiah, dst.)

Gambar 2.3 Siklus Langkah-langkah PBM dalam GBA

Pendekatan ini dikembangkan atas kenyataan bahwa anak-anak belajar berbicara melalui

proses interaksi yang di dalamnya makna dikonstruksi bersama oleh orang dewasa dan si

Page 6: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

anak (Halliday, 1975). Oleh karena itu, pendekatan ini menekankan peran orangtua dan guru

dalam memberikan „model‟ untuk ditiru si anak. Melalui teknik skafolding (Hammond,

1986), teks tertulis dapat dinegosiasikan oleh guru dan siswa dalam kelas; dengan demikian,

teks tersebut merupakan hasil dari sebuah usaha bersama.

Ideologi yang mendasari pemikiran para pendukung pendekatan ini adalah bahwa

penguasaan bentuk-bentuk jenre yang lazim digunakan dalam pendidikan dan masyarakat

pada umumnya akan „memberdayakan‟ mereka yang menggunakannya. Dalam kaitan ini,

Martin (1985: 61) berargumen bahwa untuk menghilangkan praktek-praktek diskriminatif,

para siswa harus diajari tulisan-tulisan keberdayaan (writing of power) sedini mungkin.

Untuk dapat memahami bentuk pendekatan dalam kelas, pada bagian ini juga akan

disajikan langkah-langkah PBM dan rinciannya dalam Gambar 2.3.

Pembelajaran Berorientasi Proses

Berbeda dengan model pembelajaran-model pembelajaran dalam pembelajaran

berorientasi produk, model pembelajaran-model pembelajaran dalam kelompok ini berakar

pada pemikiran-pemikiran para teorisi sosial, yang menekankan hakikat sosial manusia, cara

manusia mempelajari perilaku sosial dan cara interaksi sosial berperan memperkuat

keberhasilan belajar akademik (Joyce, Weil, dan Calhoun, 2000: 29). Pada prakteknya,

prinsip-prinsip tersebut berwujud pengembangan masyarakat belajar kooperatif. Asumsi-

asumsi yang mendasari praktek tersebut telah disarikan Joyce, Weil, dan Calhoun (2000: 33-

34), yakni:

1) Sinergi yang dihasilkan dalam latar kooperatif menghasilkan motivasi yang lebih kuat

daripada yang dihasilkan lingkungan-lingkungan individualistik dan kompetitif.

Karenanya, kelompok sosial yang integratif lebih dari sekedar kumpulan bagian-

bagiannya. Perasaan terhubungkan menghasilkan energi positif.

2) Anggota kelompok kooperatif belajar dari sesamanya. Masing-masing siswa

mendapat bantuan yang lebih banyak daripada dalam tatanan yang menghasilkan

kesendirian.

Page 7: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

3) Interaksi antar anggota menghasilkan kerumitan kognitif di samping kerumitan sosial,

menciptakan lebih banyak kegiatan intelektual yang mendukung belajar daripada

belajar sendiri.

4) Kerjasama meningkatkan perasaan positif terhadap sesama, mengurangi keterasingan

dan kesepian, membangun hubungan, dan memberikan pandangan-pandangan kokoh

orang lain.

5) Kerjasama meningkatkan citra-diri bukan hanya melalui peningkatan belajar

melainkan juga melalui rasa dihargai dan diperhatikan oleh orang lain dalam

lingkungannya.

6) Para siswa dapat merespon terhadap pengalaman dalam menjalankan tugas-tugas

yang memerlukan kerjasama melalui peningkatan kemampuan kerja mereka secara

bersama-sama. Dengan kata lain, semakin besar siswa diberi kesempatan untuk

bekerja sama, semakin baik kepiawaian mereka dalam bekerja sama. Kemampuan ini

membantu keterampilan sosial umum mereka.

7) Para siswa, termasuk murid-murid sekolah dasar, dapat belajar dari latihan untuk

meningkatkan kemampuan kerjasama mereka.

Penelitian mengenai model pembelajaran-model pembelajaran ini menunjukkan bahwa

model pembelajaran kooperatif meningkatkan prestasi belajar secara signifikan. Secara garis

besar, Joyce, Weil, dan Calhoun (2000) mengelompokkan penelitian model pembelajaran-

model pembelajaran sosial ke dalam tiga alur. Pertama, penelitian-penelitian yang dilakukan

oleh David dan Roger Johnson dan kawan-kawan. Kedua, penelitian-penelitian yang

dilakukan oleh Robert Slavin, dan ketiga, penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Shlomo,

Yael Sharan dan Rachel Hertz-Lazarowitz di Israel. Penelitian Johnson, Johnson, dan kawan-

kawan (1974, 1981, 1990) mengkaji efek tugas-tugas kooperatif dan struktur-struktur

penghargaan terhadap belajar. Penelitian Johnson dan Johnson (1975, 1981) mengenai

mengajar-sebaya telah memberikan informasi mengenai efek perilaku kooperatif terhadap

tugas-tugas belajar tradisional dan terhadap nilai-nilai dan perilaku antar kelompok serta

sikap. Model pembelajaran mereka menekankan pengembangan saling ketergantungan

positif atau kerjasama yang juga mengakui perbedaan-perbedaan individual.

Page 8: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Telaah ekstensif yang dilakukan Slavin (1983) meliputi kajian berbagai pendekatan yang

melibatkan manipulasi kompleksitas tugas-tugas dan eksperimen-eksperimen sosial dengan

berbagai tipe pengelompokan. Dia melaporkan penggunaan kelompok-kelompok heterogen

yang diberi tugas-tugas yang menuntut koordinasi para anggota kelompok, baik dalam kaitan

dengan belajar maupun dengan hubungan antar kelompok. Penelitian tersebut telah

menghasilkan sejumlah strategi yang menggunakan struktur-struktur penghargaan ekstrinsik

dan intrinsik.

Sementara itu, penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Shlomo, Yael Sharan dan

Rachel Hertz-Lazarowitz di Israel berkonsentrasi kepada penelitian-penelitian kelompok

yang merupakan pokok bahasan model pembelajaran sosial yang paling kompleks.

Besarnya efek belajar kooperatif dirangkumkan Joyce, Weil, dan Calhoun (2000)

berdasarkan laporan Johnson dan Johnson (1999). Dari ratusan studi selama bertahun-tahun

diperkirakan bahwa rerata ukuran efek strategi-strategi belajar kooperatif terhadap belajar

sebesar 0,61. Ini berarti bahwa berdasarkan tes-tes akademik, rerata para siswa yang terlibat

dalam belajar kooperatif (dan bukan kompetitif) berada sedikit di atas persentil ke-70 para

siswa yang diajari dalam suasana-suasana kompetitif. Rolheiser-Bennett (1986)

membandingkan efek-efek derajat struktur kooperatif yang dituntut oleh sejumlah

pendekatan (Joyce, Showers, dan Rolheiser-Bennett, 1989). Dalam tes-tes baku mata

pelajaran (seperti membaca dan matematika), pendekatan-pendekatan pengajaran kerjasama

yang sangat terstruktur menghasilkan ukuran efek 0,28, bahkan sejumlah studi menghasilkan

angka yang mendekati satu simpang baku. Dalam ujian berdasarkan-tolok-ukur, reratanya

mencapai 0,48, bahkan implementasi-implementasi terbaik mencapai angka sekitar 1

simpang baku. Model pembelajaran-model pembelajaran kooperatif yang lebih rinci

mencapai rerata ukuran efek sedikit di atas 1 simpang baku, sebagian bahkan melampaui 2

simpang baku. Rata-rata siswa berada di atas persentil ke-90 siswa dalam kelompok kontrol.

Efek-efek terhadap berfikir tingkat tinggi bahkan lebih besar, reratanya mencapai sekitar 1,25

simpang baku dan dalam sejumlah studi bahkan mencapai 3 simpang baku.

Dalam pengajaran bahasa, model pembelajaran-model pembelajaran dalam kelompok ini

ditandai oleh ciri-ciri yang oleh Krashen (1981) disebut ciri-ciri „proses pemerolehan‟

(acquisition), antara lain, bersifat alamiah dan informal, menekankan pentingnya proses, dan

Page 9: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

disajikan dalam bentuk komunikasi alamiah. Guru berperan fasilitator bagi kegiatan belajar

para siswa. Peran ini sangat menonjol pada kegiatan-kegiatan komunikatif antar siswa dan

diskusi kelompok. Pendekatan yang paling populer dalam kelompok ini adalah pendekatan

komunikatif (pendekatan komunikatif) dan pendekatan-pendekatan yang berdasarkan teori-

teori pemerolehan bahasa.

Pendekatan komunikatif bersumber dari tulisan-tulisan para linguis terapan Inggris

seperti Wilkins, Widdowson, Brumfit, Candlin, dll., di samping para pendidik Amerika

seperti Savignon. Pendekatan ini menekankan konsep-konsep nosional-fungsional dan

kompetensi komunikatif sebagai konsep-konsep sentral dalam pembelajaran bahasa

(Richards dan Rodgers, 1986: 65). Meskipun pada awalnya hanya berwujud

rekonsepsualisasi silabus pembelajaran dalam kerangka nosional-fungsional, pendekatan

komunikatif telah dikembangkan sehingga mencakup berbagai prinsip bagi pengembangan

kompetensi komunikatif (Hadley, 2001: 116). Untuk memberikan gambaran umum mengenai

pendekatan komunikatif, di bawah ini akan disajikan enam prinsip utama pendekatan

komunikatif yang diterjemahkan dari Hadley (2001):

1) Makna sangat penting dan kontekstualisasi merupakan prinsip dasar dalam pendekatan

komunikatif.

2) Upaya-upaya siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dianjurkan sejak awal

pembelajaran. Sistem bahasa yang baru paling baik dipelajari melalui perjuangan

mengkomunikasikan makna dan melalui negosiasi melalui interaksi dengan orang lain.

3) Pengurutan bahan ajar ditentukan oleh isi, fungsi, dan makna yang akan memelihara

minat siswa.

4) Penggunaan bahasa ibu secara bijaksana diizinkankan jika dianggap mungkin, dan

terjemahan boleh digunakan jika dipandang perlu dan bermanfaat.

5) Kegiatan dan strategi belajar beragam sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhan

siswa.

6) Kompetensi komunikatif, dengan penekanan kepada kefasihan dan penggunaan bahasa

yang berterima, merupakan tujuan pembelajaran.

Page 10: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Menurut Richards dan Rodgers (1986: 72), pendekatan komunikatif tidak mengambil

teori pembelajaran bahasa tertentu sebagai landasannya, ada sejumlah premis teoretis yang

dapat disimpulkan dari pendekatan ini:

1) Prinsip komunikasi: kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi meningkatkan

belajar.

2) Prinsip tugas: kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyelesaian tugas-tugas dunia-

nyata meningkatkan belajar.

3) Prinsip Kebermaknaan: para siswa harus dilibatkan dalam penggunaan bahasa yang

bermakna dan otentik untuk menjamin terjadinya proses belajar.

Kegiatan-kegiatan kelas yang dianggap dapat menggambarkan pendekatan komunikatif

antara lain permainan bahasa secara interaktif, kegiatan-kegiatan penyampaian informasi,

kegiatan-kegiatan berdasarkan tugas, dan praktek komunikasi fungsional (Richards dan

Rogers, 1986), bermain peran, simulasi, permainan-permainan interaksi sosial, penggunaan

bahasa “di luar kelas” (Savignon, 1983, 1997), dsb. Dari uraian di atas jelaslah bahwa

pendekatan komunikatif tidak terikat oleh sebuah metodologi atau rancangan kurikuler

tertentu, melainkan merupakan perwujudan sebuah pendekatan luwes terhadap pembelajaran

yang responsif terhadap kebutuhan dan kecenderungan minat siswa (Hadley, 2001: 118).

Nunan (1989) melaporkan bahwa metode-metode pengajaran bahasa asing dan bahasa

kedua yang didasari Pengajaran Bahasa Komunikatif menunjukkan adanya manfaat dalam

pengubahan fokus dari latar kelas yang berpusat pada guru kepada latar yang berpusat pada

siswa. Lebih lanjut, Nunan menyebutkan bahwa dalam pengajaran bahasa komunikatif,

pembelajaran menggambarkan kebutuhan siswa, kegiatan-kegiatan yang dilakukan

mendorong siswa aktif dalam komunikasi (yang melibatkan tukar informasi dan negosiasi

makna).

Dalam metode-metode ini, guru bertugas menciptakan situasi-situasi yang dapat

mendorong komunikasi. Peran siswa adalah sebagai komunikator: para siswa berinteraksi

satu sama lain, secara aktif terlibat dalam negosiasi makna, mengungkapkan diri melalui

tukar-menukar gagasan dan pendapat, dan bertanggung jawab atas kegaiatan belajar mereka

sendiri. Karena itu menurut Breen (1991), Larsen-Freeman (1986), Nunan (1988), pengajaran

Page 11: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

bahasa komunikatif menghendaki peran aktif siswa dalam PBM dan tanggung jawab yang

lebih tinggi terhadap kegiatan belajar mereka masing-masing. Candlin dan Breen menyebut

peran siswa dalam pengajaran bahasa komunikatif sebagai "negotiator between the self, the

learning process, and the object of learning" yang berarti bahwa "he should contribute as

much as he gains, and thereby learn in an independent way" (Breen & Candlin, 1980: 110).

Sementara itu, pendekatan-pendekatan yang berkembang berdasarkan teori-teori

pemerolehan bahasa kedua (pemerolehan bahasa kedua) meliputi pendekatan-pendekatan

yang saling berkaitan erat dan memiliki sejarah pengembangan yang saling bersambung.

Sebagai contoh, dari kerangka besar teori kompetensi komunikatif (communicative

competence) telah lahir teori-teori berikut: hipotesis masukan Krashen (1982), teori cernaan

dan pemrosesan masukan (VanPatten, 1990, 1996), yang berkait dengan hipotesis interaksi

Long (1983) yang juga berkait dengan teori interlanguage Selinker (1972) dan hipotesis

keluaran Swain (1985, 1995), bahkan sampai pada teori daerah rentang perkembangan

Vygotsky (1978) dan kompetensi interaksi Mehan (1979).

Secara garis besar semua pendekatan tersebut memiliki benang merah yang sama, yakni

menekankan peran interaksi dan negosiasi makna, yakni proses modifikasi interaksi oleh para

mitra percakapan untuk membantu mengatasi hambatan komunikasi (Long, 1983a, 1983b;

Long 1996; Porter, 1986). Dalam pendekatan-pendekatan ini, peran interaksi dalam proses

pemerolehan bahasa kedua telah mendapat aksentuasi.

Sejumlah penelitian mengenai signifikansi interaksi dan negosiasi makna telah dilakukan

para pendukung pendekatan-pendekatan dalam kelompok ini. Karya seminal Long (1980)

telah dijadikan fokus penelitian ekstensif antara lain oleh peneliti-peneliti berikut: Gass dan

Varonis (1985, 1994), Pica (1987, 1991, 1994), Pica dan Doughty (1985, 1988).

Negosiasi makna sering menghasilkan pemahaman bersama (Pica, 1987, Pica, et. al.,

1989; Scarcella & Higa, 1981) dan menyediakan kesempatan untuk memperoleh masukan

terpahami yang secara unik dimodifikasi untuk kepentingan suasana-suasana individual para

pelajar (Gass dan Varonis, 1985; Long, 1983b; Pica, 1991, Pica & Doughty, 1985) serta

memungkinkan para siswa memodifikasi kontribusi mereka dalam percakapan sehingga

dapat dipahami lawan bicaranya. Dengan kata lain, negosiasi makna dapat memungkinkan

para pelajar memanipulasi keluaran terpahami (Swain, 1985, 1995). Melalui proses negosiasi

Page 12: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

makna, para pelajar juga menerima umpan balik mengenai hasil usaha mereka dalam

menguasai bahasa yang tengah mereka pelajari. Ketiga faktor ini—masukan terpahami,

keluaran terpahami, dan umpan balik—merupakan unsur-unsur penting dalam pemerolehan

bahasa kedua (Long, 1996; Pica, 1994).

Pentingnya negosiasi makna juga telah mendorong munculnya sejumlah penelitian terkait

mulai dari penelitian kondisi-kondisi belajar yang meningkatkan interaksi (Pica, 1994), yang

meliputi efek pemitraan penutur asli-non penutur asli, kemahiran, jenis tugas, gender, dan

faktor-faktor sosiolinguistik lainnya terhadap jumlah strategi negosiasi yang digunakan

(Misalnya, Pica dan Doughty, 1985, 1988) hingga pengukuran keluaran-keluaran proses

tersebut. Studi-studi Loschky (1989, 1994), Gass dan Varonis (1994), dan Mackey (Oliver,

1998) menemukan adanya keterkaitan langsung antara modifikasi-modifikasi interaksi

seperti yang terjadi dalam interaksi negosiatif dengan pemerolehan bahasa kedua.

Memadukan Orientasi Proses dan Produk

Studi mutakhir mengenai karakteristik belajar siswa telah menegaskan kompleksitas

keragaman para siswa dalam sebuah kelas dan menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan

masing-masing siswa secara optimal (Joyce, Weil, dan Calhoun, 2000). Kenyataan ini

mendorong para guru dan pendidik untuk berupaya menerapkan pendekatan-pendekatan

yang memadukan sejumlah model pembelajaran sehingga mengurangi jumlah siswa yang

merasa terpinggirkan oleh model pembelajaran yang dipilih guru ketika guru hanya

menggunakan sebuah model pembelajaran tunggal. Seperti ditegaskan oleh Joyce, Weil, dan

Calhoun (2000), pengembangan repertoir model pembelajaran para guru dimaksudkan untuk

memberikan kemampuan kepada para guru agar dapat menangani masalah siswa-siswa

mereka dengan segala keragamannya. Oleh karena itu, sejalan dengan karakteristik

MABKBIA yang dikembangkan di antara dua titik kebijaksanaan, yakni kewajiban

mengembangkan kompetensi optimal dan kewajiban memelihara motivasi siswa, pada bagian

ini akan dibahas hasil telaah kepustakaan yang relevan dengan pemaduan kedua titik

tersebut. Untuk itu, peneliti telah melakukan telaah atas kepustakaan yang membahas

pemaduan model pembelajaran-model pembelajaran berorientasi proses (untuk kemudahan

selanjutnya akan disebut model ajar proses) dengan model pembelajaran-model pembelajaran

Page 13: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

berorientasi produk (untuk kemudahan selanjutnya akan disebut model ajar produk) dalam

pengajaran bahasa, yang hasilnya akan disajikan di bawah ini.

Perdebatan para pendukung akademik model ajar proses dengan para pendukung model

ajar produk telah berlangsung sangat ekstensif (Reid, 1987). Meskipun demikian, perdebatan

ini tampaknya tidak menghasilkan manfaat yang menggembirakan, baik bagi pembaca umum

maupun bagi para praktisi kelas (Kelly, 1989: 87). Para pendukung model ajar proses

beranggapan bahwa belajar bersifat eksploratoris dan para siswa „menemukan‟ makna dalam

penjelajahannya (Dumbrell, 1981; Graves, 1983; Hill, 1984; Murray, 1968), sementara para

pendukung model ajar produk beranggapan bahwa keterampilan-keterampilan “yang

bergengsi” tidak muncul dengan sendirinya, melainkan harus diajarkan secara eksplisit

(Burns, 1990; Derewianka, 1990; Hammond, 1990; Martin, 1985). Martin, Christie, dan

Rothery (dalam Reid, 1987) mempermasalahkan kegiatan ekploratif seperti yang dilakukan

dalam model ajar proses. Secara lebih khusus, mereka mengajukan pertanyaan berikut:

“Does allowing children to choose their own topics, biting one‟s tongue in conferences and

encouraging ownership, actually encourage the development of children‟s writing?”

Martin, Christie, dan Rothery mengemukakan bukti bahwa PBM model ajar proses di

Nothern Territory (Australia) telah menggiring semua siswa kepada sebuah jenre yang sama

yakni bercerita. Penelitian Martin dan Rothery mengenai penggunaan model ajar proses di

daerah barat Sydney dan Delpit (1986), seorang pendidik Orang Kulit Hitam Amerika yang

membandingkan kemajuan para siswa kulit hitam dengan siswa kulit putih, juga

menghasilkan simpulan yang serupa.

Sebaliknya, ideologi kaum pendukung model ajar produk untuk memberdayakan para

siswa, terutama kaum marjinal, dianggap naif oleh para pendukung model ajar proses. Graff

(1981) dan Pattison (1982) seperti dikutip Kelly (1989), misalnya, mengemukakan bahwa

dalam sejarah kemelekhurufan terbukti bahwa kemelekhurufan itu sendiri tidak menjamin

akses terhadap kekuasaan dan status atau kemajuan ekonomi. Mereka beranggapan bahwa

para siswa memerlukan suasana yang menyebabkan mereka dapat belajar untuk menjadi diri

sendiri. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan penemuan mandiri (self-discovery) sangat penting

dalam konteks pendidikan.

Page 14: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Belajar dari apa yang muncul dan terjelaskan dalam perdebatan di atas, penulis melihat

bahwa masing-masing kubu memiliki kelebihan-kelebihan yang sangat kentara dan

bermanfaat bagi pemahaman hakikat pengajaran dan pengajaran bahasa khususnya. Oleh

karena itu, sejalan dengan keprihatinan Kelly (1989), penulis melihat bahwa pemaduan

unsur-unsur menonjol dari kedua kubu akan lebih bermanfaat daripada mengambil masing-

masing pendekatan secara terpisah padahal telah jelas memiliki sisi kelemahan seperti yang

telah terungkap dalam perdebatan di atas. Dalam hal ini, Kelly (1989: 88) menyatakan:

It would be very sad to see the universal adoption of a style in which

conformity to genre is considered to be more important than development of

individual growth. In the long run, it could erode all the gains which have

been achieved and signal a return to more repressive and conformist attitudes

in education.

Pada pengajaran literasi dan pengajaran bahasa pertama, kecenderungan pengembangan

model pembelajaran yang memadukan kedua sisi ini, yakni sisi eksplisit dan implisit, mulai

mendapatkan sambutan, terutama di kalangan mereka yang ingin mensinergikan kelebihan-

kelebihan kedua sisi tersebut. Untuk mendapatkan gambaran lengkap namun singkat,

kepustakaan yang relevan mengenai kecenderungan tersebut akan disajikan secara ringkas

pada bagian berikut.

Pada dasawarsa terakhir, sejalan dengan kelahiran pemikiran Bahasa sebagai Keutuhan

(Whole Language), kepustakaan dalam bidang model pembelajaran bahasa diwarnai oleh

perdebatan antara dua kubu (Robinson, McKenna, dan Wedman, 2000), yakni model

pembelajaran-model pembelajaran yang dianggap konvensional, atau sering juga disebut

model pembelajaran dekoding kognitif tersurat, atau para pembaca juga mengenalnya dengan

nama model pembelajaran-model pembelajaran mekanistik, dengan kubu model

pembelajaran-model pembelajaran berdasarkan pandangan bahasa sebagai keutuhan (BsK).

Para pendukung kubu pertama beranggapan bahwa belajar mengenal huruf dan bentuk

(learning to break the code) sangat penting dalam pengajaran membaca tahap awal dan

mengenal huruf sangat diduga akan sangat efektif jika guru menggunakan pengajaran yang

sistematik (Pressley, Rankin, Yokoi, 1998). Data menunjukkan bahwa pengajaran seperti itu

Page 15: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

meningkatkan kemampauan membaca (Adams, 1990), terutama bagi para siswa yang

mengalami kesulitan jika pelajaran kurang eksplisit (Mather, 1992; Pressley dan Rankin,

1994, seperti dikutip Robinson, McKenna, dan Wedman, 2000).

Di lain pihak, kubu BsK beranggapan bahwa perkembangan linguistik dan perkembangan

kognitif diduga dirangsang oleh pengalaman membaca teks yang baik dan usaha menyusun

makna baru (Goodman, 1990). Menurut mereka, pengajaran keterampilan apa pun harus

dilakukan dalam konteks membaca secara alamiah dan individual. Hal ini sesuai dengan

model-model perkembangan psikolinguitsik. Mereka juga berkeyakinan bahwa

perkembangan literasi merupakan hasil alamiah imersi dalam lingkungan literasi yang

bermutu tinggi. Dengan demikian pembelajaran melalui pendekatan diskrit tidak akan

menghasilkan kemampuan yang optimal.

Persaingan kedua kubu yang tampak berseberangan tersebut telah mendorong sejumlah

penelitian. Penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pengalaman-

pengalaman BsK telah merangsang kegiatan literasi para siswa dan mengembangkan sikap

positif terhadap literasi di samping juga meningkatkan pemahaman mengenai hakikat

membaca dan menulis (Graham dan Harris, 1994; Morrow, 1990, 1991, 1992; Neuman dan

Roskos, 1990). Meskipun demikian, ternyata BsK tidak begitu berpengaruh terhadap prestasi

membaca awal jika diukur oleh tes baku dekoding, kosakata, pemahaman, dan menulis

(Graham dan Harris, 1994; dan Stahl, McKenna, dan Pagnucco, 1994, seperti dikutip

Robinson, McKenna, dan Wedman, 2000). Sebaliknya, program-program pengajaran tersurat

mengenai kesadaran fonemik, fonik, dan analisis huruf-bunyi telah meningkatkan

kemampuan dalam tes baku dan terbukti lebih unggul dibandingkan BsK (Adams, 1990;

Pflaum, et. al., 1980).

Kenyataan di atas telah mendorong sebagian guru dan penulis serta peneliti

mengembangkan model pembelajaran berimbang (Balanced Model). Di antara para

pendukung model pembelajaran berimbang ini adalah Tompkins (1997), Cassidy dan

Wenrich (1998), Pressly, Rankin, dan Yokoi (1998), dan Robinson, McKenna, dan Wedman

(2000). Model pembelajaran berimbang, menurut Robinson, McKenna, dan Wedman (2000:

8), dapat berarti pendekatan eklektik atau pendekatan multi-segi. Istilah ini merupakan

kebalikan dari penekanan kepada hanya satu pendekatan atau satu metode sebagai

Page 16: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

pendekatan atau metode yang paling dominan.

Cassidy and Wenrich (1998) melakukan sebuah survei terhadap 25 orang pemuka literasi

nasional dan internasional untuk mengidentifikasi topik-topik penting dalam praktek dan

penelitian membaca. Semua responden mengidentifikasi pengajaran membaca berimbang

sebagai topik yang “paling menarik”. Penelitian dalam bidang model pembelajaran

berimbang baru dimulai dan penerbitan temuannya dalam kepustakaan pun relatif belum

banyak (Robinson, McKenna, dan Wedman, 2000).

Dari telaah kepustakaan di atas, jelaslah pengembangan model pembelajaran berganda

sangat relevan dengan perkembangan pemahaman mengenai hakikat belajar dan

pembelajaran, terutama mengenai keragaman latar belakang siswa. Meskipun demikian,

bentuk berganda yang diperlukan tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik dominan

kelas-kelas tempat guru mengajar.

Meredefinisikan Kompetensi Berbahasa

Setelah mengenal orientasi pembelajaran bahasa Inggris dari masa ke masa, anda akan segera

mendalami pembelajaran bahasa Inggris dalam perspektif dan orientasi terkini di negeri kiita. Akan

tetapi agar dapat mengenalnya dengan lebih baik dan lebih mendalam, terutama dalam kaitan

dengan peran dan kedudukan bahasa Inggris pada sebuah kurikulum sekolah masa kini, pada

bagian ini anda akan diajak mendalami salah satu standar yang menjadi salah satu dokumen inti

yang melandasi perspektif baru ini tersebut, yakni Standar Isi (Isi Permendiknas No. 22 Tahun

2006), yang selanjutnya akan disingkat menjadi SI. Hasil telaah penulis atas seluruh isi SI, terutama

standar kompetensi (selnjutnya akan disingkat SK) dan kompetensi dasar (selnjutnya akan

disingkat KD) yang terkandung di dalamnya, penulis memandang perlu memperkenalkan anda

kepada konsep kompetensi komunikatif. Oleh karena itu, topik ini akan dibahas pada bagian awal

sajian ini.

Untuk membahas kompetensi komunikatif dan kompetensi-kompetensi terkait yang

membentuknya, gambar skematik yang telah dikembangkan dan dijelaskan Celce-Murcia, Dornyei,

dan Thurrell (1995: 10) akan disajikan dalam Gambar 2.1.

Page 17: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Gambar 2.1: Model Kompetensi Komunikatif

Lingkar di tengah menunjukkan inti kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi wacana (KW).

Kompetensi wacana disebut sebagai intinya sebab ketika orang berkomunikasi, ia terlibat dalam

wacana, bukan sekedar bertukar kata. Buktinya meskipun kita penutur asli Bahasa Indonesia,

terkadang kita tidak mengerti apa yang dibicarakan orang karena tidak mengerti wacananya, atau

konteks yang melandasi pembicaraan tersebut. Misalnya, tidak semua orang memahami

pembicaraan mengenai bursa efek. Hal itu terjadi bukan karena pembicaraan itu menggunakan

bahasa asing, melainkan wacana yang digunakan dalam bahasa Indonesia bagi perdagangan efek

memiliki ciri-ciri spesifik yang dikenali hanya oleh orang-orang yang terlibat khusus dalam bidang

tersebut.

Pada kaki sebelah kiri terdapat KL, singkatan dari kompetensi linguistik. Seorang individu yang

menguasai kompetensi linguistik memiki penguasaan yang baik terahadap kosa kata, pelafalan,

makna, dan tata bahasa dengan baik. Seorang guru yang berhasil mengajari para siswanya

menguasai aspek-aspek tersebut pada dasarnya telah menunaikan seperlima dari keseluruhan

amanahnya. Jika siswa tersebut telah memiliki kemampuan menggunakan unsur-unsur tersebut

dalam komunikasi nyata seperti berbelanja, berkenalan, dsb., ia telah menguasai KT (kompetensi

tindakan). Kompetensi lain yang membentuk kompetensi komunikatif adalah kompetensi

sosiobudaya (KSb). Ini berarti bahwa, seorang siswa bukan hanya dituntut menguasai unsur-unsur

kebahasaan dan kemampuan menerapkannya dalam tindak komunikasi, melainkan juga mampu

KSt

KW

KL KT

KSb

KST

Page 18: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

melakukan tindak-tindak komunikasi tersebut dalam konteks sosio budaya yang tepat. Terakhir,

seorang siswa juga dituntut untuk mampu mempertahankan laju komunikasinya hingga berhasil

mencapai tujuan komunikasi yang diinginkannya. Kompetensi ini disebut kompetensi strategis

(KST). Keempat kompetensi ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi penciptaan kompetensi

wacana (KW). Keberhasilan mengembangkan kelima kompetensi tersebut merupakan syarat bagi

keberhasilan membangun kompetensi komunikatif.

Memahami Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bahasa Inggris

Setelah mengenal dan memahami kompetensi komunikatif dengan seluruh sub-kompetensi

yang membentuknya, kini saatnya anda menggunakan pengetahuan dan pemahaman tersebut

untuk memahami dan mendalami SK dan KD yang telah ditetapkan pemerintah untuk masing-

masing tingkat dan jenjang persekolahan. Sebagai contoh, pada bagian ini akan disajikan SK dan

KD SMA/MA, seperti yang tertera dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006.

Langkah pertama yang harus anda lakukan adalah memahami landasan dan latar belakang

pengorganisasian standar isi yang memberikan arah bagi anda dalam memahami standar isi

secara keseluruhan. Pokok-pokok pikiran yang terpenting dalam bagian ini adalah keniscayaan

orientasi pembelajaran bahasa Inggris kepada pembentukan kemampuan berwacana melalui

empat keterampilan berbahasa untuk optimalisasi kontribusi para siswa dalam masyarakat kelak.

Pokok pikiran lain yang penting untuk anda catat adalah bahwa bahasa Inggris harus menjadi

pendukung pengembangan kemampuan siswa dalam semua kegiatan pengembangan diri dan

pengembangan daya saing global mereka. Pokok pikiran terakhir yang harus anda garis bawahi

adalah tingkat literasi yang diharapkan dari para siswa SMA/MA adalah tingkat informasional,

yakni kemampuan untuk mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa. Ekspektasi ini

sangat wajar mengingat mereka diharapkan dapat melanjutkan studi mereka ke jenjang

perguruan tinggi, yang persiapannya menuntut kemampuan literasi seperti ini.

Langkah selanjutnya yang perlu anda tempuh adalah tujuan dan lingkup pembelajaran bahasa

Inggris di SMA/MA. Seperti telah terungkap dalam latar belakang, pembelajaran bahasa Inggris

di SMA/MA ditujukan untuk 1) mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam bentuk lisan

dan tulis untuk mencapai tingkat literasi informational, 2) memiliki kesadaran tentang hakikat

dan pentingnya bahasa Inggris untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam masyarakat global,

3) mengembangkan pemahaman peserta didik tentang keterkaitan antara bahasa dengan budaya.

Page 19: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Dengan rumusan tujuan seperti itu, hendaklah disadari bahwa standar isi yang nanti akan anda

dalami harus dipandang sebagai instrumen bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Secara umum,

pencapaian indikator-indikator SK dan KD bahasa Inggris harus mengantar siswa menjadi

individu yang mampu mengakses informasi dan pengetahuan, menggunakannya untuk

mengembangkan daya saing diri dan memahami budaya dirinya dan budaya bangsa lain dalam

pergaulan internasional.

Langkah terakhir dalam kaitan dengan Standar Isi adalah memahami seluruh rangkaian SK

dan KD secara komprehensif serta memetakannya untuk kemudahan pengorganisasiannya dalam

pengembangan silabus dan RPP nanti. Secara terinci, muatan SK dan KD yang tercakup dalam

Standar Isi dapat dilihat pada Lampiran LSI. Sebagai contoh, pada bab ini akan disajikan sebuah

upaya pendalaman SK dan KD untuk Semester 1 Kelas X. Berdasarkan contoh tersebut, anda

dapat melakukan hal serupa pada SK dan KD untuk semester-semester selanjutnya. Cobalah

anda baca SK dan KD pada Semester 1 Kelas X. Dalam bagian ini ada 6 SK dengan perincian 2

untuk keterampilan mendengarkan, 2 untuk keterampilan berbicara, 1 untuk keterampilan

membaca, dan 1 untuk keterampilan menulis. Perhatikan keenam SK tersebut sekali lagi.

Kemampuan seperti apakah yang dapat anda bayangkan yang dapat dikuasai siswa setelah

selesai semester ini. Dapatkah anda membayangkan seorang siswa yang mampu berbahasa lisan

dan bahasa tulis bahasa Inggris untuk komunikasi sehari-hari? Untuk lebih jelasnya, anda lihat

rumusan-rumusan KD yang terkait.

Tentu tidak terlalu sulit membayangkan seorang siswa yang dapat saling bertegur sapa

dengan kawannya, berkenalan dengan orang yang belum mereka kenal, saling mengucapkan

selamat berpisah, menyetujui ajakan/tawaran/undangan, menerima janji, dan membatalkan janji,

mengungkapkan perasaan bahagia, menunjukkan perhatian, menunjukkan simpati, dan memberi

instruksi serta bercerita mengenai pengalamannya di masa lalu, mengenai boneka dan binatang

piaraan, mengenai benda dan mahluk hidup di sekitar dirinya, berdongeng, dan memberi

petunjuk pembuatan atau penyelesaian tugas-tugas sederhana.

Penguasaan ungkapan-ungkapan yang terkait dengan perilaku-perilaku komunikatif di atas

boleh jadi tergolong mudah. Begitu pun dengan penguasaan tindak tuturnya. Akan tetapi, karena

praktek pembelajaran yang berbasis kompetensi nyata sangatlah jarang, anda mungkin akan

mengalami sedikit kesulitan, terutama pada masa-masa awal implementasinya. Namun, lama

Page 20: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

kelamaan anda akan terbiasa dengan praktek baru ini. Selain itu, bekal kemampuan yang ada

pada anda akan membantu anda menunaikan tugas mengajar dengan baik. Kuncinya, anda mau

mencobanya.

Selain itu, bayangkan pula bahwa siswa tersebut juga memiliki kemampuan untuk membaca

papan petunjuk, memo, undangan, dll.; dongeng, fabel, legenda, dsb.; deskripsi benda, orang

atau binatang; cerita pengalaman masa lalu, buku biografi, atau sejarah; dan petunjuk

penggunaan, pemasangan atau pembuatan sesuatu. Tentu kemampuan seperti ini pun bukan hal

yang mustahil. Jika ini terjadi dengan baik, kita akan menyaksikan siswa-siswa kelas satu

SMA/MA yang terpuji. Mampu berbahasa Inggris dalam melakukan tindak komunikasi-tindak

komunikasi sederhana dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Kini anda telah mendapatkan bayangan seluruh kemampuan yang harus dikuasai para siswa

dalam semester 1. Berdasarkan pemahaman tersebut, kini perhatikan SK dan KD tersebut satu

per satu. Kita mulai dengan SK pertama, yakni: „Memahami makna dalam percakapan

transaksional dan interpersonal dalam konteks kehidupan sehari-hari‟. Teks yang akan harus

dipahami siswa terbatas kepada teks interpersonal dan teks transaksional. Selain itu, juga terbatas

kepada konteks kehidupan sehari-hari. Penelaahan KD-KD yang tercakup pada SK ini akan lebih

memperjelas batas-batas kompetensi yang dicakup dalam SK ini. KD pertama berbunyi

„Merespon makna yang terdapat dalam percakapan transaksional (to get things done) dan

interpersonal (bersosialisasi) resmi dan tak resmi yang menggunakan ragam bahasa lisan

sederhana secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dan

melibatkan tindak tutur: berkenalan, bertemu/berpisah, menyetujui ajakan/tawaran/undangan,

menerima janji, dan membatalkan janji‟.

Dari rumusan KD pertama dapat kita lihat dengan lebih cermat bahwa kemampuan yang

harus dicapai siswa berupa kemampuan memahami makna percakapan transaksional dan

interpersonal, resmi maupun tak resmi, serta akurat, lancar dan berterima. Adapun tindak tutur

yang harus dicakup meliputi tindak tutur-tindak tutur berkenalan, bertemu/berpisah, menyetujui

ajakan/tawaran/undangan, menerima janji, dan membatalkan janji. Dengan kata lain, ada

sejumlah dimensi yang harus anda perhatikan: jenis teks (transaksional dan interpersonal),

konteks penggunaan (resmi dan tak resmi), kualitas penampilan komunikasi (akurat, lancar, dan

berterima), tindak tutur (berkenalan, bertemu/berpisah, menyetujui ajakan/tawaran/undangan,

Page 21: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

menerima janji, dan membatalkan janji), dan lingkup konteks penggunaan (dalam kehidupan

sehari-hari).

Melalui pendalaman seperti ini, anda akan dapat membayangkan langkah-langkah dan

latihan-latihan seperti apakah yang akan membantu para siswa menguasai KD ini. Mari kita

runut dari akhir. Anda dapat mulai membayangkan atau bahkan mencari teks-teks yang dapat

digunakan untuk menunaikan tindak tutur-tindak tutur yang tercakup (berkenalan,

bertemu/berpisah, menyetujui ajakan/tawaran/undangan, menerima janji, dan membatalkan

janji). Selanjutnya, anda bayangkan bagaimana mengembangkan akurasi, kelancaran, dan

keberterimaan dalam merespon makna yang terdapat dalam percakapan yang melibatkan tindak

tutur-tindak tutur tersebut, baik dalam penggunaan resmi maupun tak resmi. Dalam kaitan

dengan akurasi, anda dapat merencanakan latihan-latihan yang dapat menjamin kualitas akurasi

bahasa siswa mulai dari akurasi pemahaman pelafalan, pemilihan diksi, dan tata bahasa hingga

struktur retorika; merencanakan langkah-langkah pengembangan kelancaran penyimakan makna

dan keberterimaannya.

Bagaimana dengan KD kedua? KD ini juga memuat dimensi yang sama. Perbedaan antara

KD kedua dengan KD pertama hanya terletak pada tindak tutur yang dicakupnya, yakni

„mengungkapkan perasaan bahagia, menunjukkan perhatian, menunjukkan simpati, dan memberi

instruksi‟.

Kini anda dapat melihat peta kompetensi yang dicakup dalam SK pertama, seperti yang

tertuang dalam KD kesatu dan kedua. Pada dasarnya, anda diharapkan dapat membawa siswa

kepada kemampuan memahami makna yang terkandung dalam teks-teks interpersonal dan

transaksional dalam tindak tutur berkenalan, bertemu/berpisah, menyetujui

ajakan/tawaran/undangan, menerima janji, dan membatalkan janji, mengungkapkan perasaan

bahagia, menunjukkan perhatian, menunjukkan simpati, dan memberi instruksi.

Selain SK tersebut, dalam semester yang sama, anda juga dituntut membantu para siswa

menguasai SK berikut: „Memahami makna teks fungsional pendek dan teks monolog sederhana

berbentuk recount, narrative dan procedure dalam konteks kehidupan sehari-hari‟. Pada SK ini

juga ada dua KD, yakni „Merespon makna secara akurat, lancar dan berterima dalam teks lisan

fungsional pendek sederhana (misalnya pengumuman, iklan, undangan dll.) resmi dan tak resmi

dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari‟ dan Merespon makna dalam teks monolog

Page 22: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

sederhana yang menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam

berbagai konteks kehidupan sehari-hari dalam teks: recount, narrative, dan procedure’. Jelas,

pemahaman siswa akan lebih lengkap dengan SK dan KD ini. Pemahaman mereka bukan hanya

berkait dengan teks-teks interpersonal dan transaksional, melainkan juga dengan teks-teks

fungsional dan monolog. Dengan kata lain, semua jenis teks yang lazim digunakan seorang

individu muda dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari telah tercakup. Melalui kegiatan-

kegiatan pembelajaran mendengarkan dan menyimak, seorang siswa akan memperoleh pajanan

terhadap teks-teks yang tercakup. Melalui pajanan ini, mekanisme alat pemerolehan bahasanya

akan „memunguti‟ input dan mengolahnya menjadi „intake‟ serta menyimpannya dalam memori.

Dengan cara itu, kedua SK dan keempat KD ini secara keseluruhan dapat menyediakan landasan

bagi penguasaan dua SK dan empat KD berikutnya, yakni SK dan KD berbicara.

SK dan KD berbicara untuk semester ini mencakup jenis teks, dimensi kualitas, dan tindak

tutur yang serupa dengan yang tercakup dalam SK dan KD mendengarkan. Bedanya, pada SK

dan KD mendengarkan, siswa dituntut untuk mengembangkan kemampuan reseptif, sedangkan

pada SK dan KD berbicara mereka dituntut untuk mengembangkan kemampuan produktif.

Dengan demikian, terlihat dengan lebih lengkap, melalui penguasaan empat SK dengan delapan

KD dari dua jenis keterampilan tersebut, para siswa diharapkan dapat menguasai bahasa lisan,

baik reseptif maupun produktif, dengan menggunakan teks-teks interpersonal, transaksional,

fungsional pendek, dan monolog, secara akurat, lancar, dan berterima dalam tindak tutur-tindak

tutur yang telah disajikan di atas.

Secara garis besar isi keempat SK dan delapan KD tersebut dapat digambarkan dalam

Gembar 2.2 berikut ini.

KETERAMPILAN JENIS TEKS KUALITAS TINDAK TUTUR LINGKUP

MENDENGARKAN INTERPERSONAL AKURAT BERKENALAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI

BERBICARA TRANSAKSIONAL LANCAR BERTEMU/BERPISAH

FUNGSIONAL BERTERIMA MENYETUJUI AJAKAN/TAWARAN/ UNDANGAN

MONOLOG MENERIMA JANJI

MEMBATALKAN JANJI

Page 23: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

MENGUNGKAPKAN PERASAAN BAHAGIA

MENUNJUKKAN PERHATIAN

MENUNJUKKAN SIMPATI

MEMBERI INSTRUKSI

PENGUMUMAN

UNDANGAN

IKLAN

RECOUNT

NARRATIVE

PROCEDURE

Gambar 2.2 Cakupan SK dan KD Keterampilan Berbahasa Lisan Semester 1 Kelas X

Setelah selesai dengan kemampuan berbahasa lisan, mari kini kita lihat SK dan KD untuk

keterampilan berbahasa tulis, yakni SK dan KD untuk keterampilan membaca dan menulis.

Berbeda dengan SK dan KD pada keterampilan berbahasa lisan, pada keterampilan berbahasa

tulis cakupan jenis teks dan tindak tutur hanya terbatas kepada fungsional pendek dan esei

sederhana berbentuk recount, narrative dan procedure. Kompetensi membaca pada semester ini

tercakup dalam satu SK, yakni „Memahami makna teks tulis fungsional pendek dan esei

sederhana berbentuk recount, narrative dan procedure dalam konteks kehidupan sehari-hari dan

untuk mengakses ilmu pengetahuan‟. Berbeda dengan SK dan KD kemampuan mendengarkan,

berbicara, dan menulis yang hanya menuntut kemampuan memahami dan mengungkapkan

makna dalam keempat jenis teks dalam kehidupan sehari-hari, dalam SK dan KD membaca

tercakup pula tuntutan kemampuan untuk kepentingan „akses terhadap ilmu pengetahuan‟. Ini

berarti bahwa kemampuan memahami dan mengungkapkan makna yang harus dikembangkan

siswa dengan bentuan guru harus mampu memberdayakan diri mereka sehingga mampu

membaca teks-teks ilmu pengetahuan dan mampu memahaminya. Dengan kata lain, meskipun

tuntutan dalam bidang menulis hanya terbatas kepada teks-teks sehari-hari seperti tulisan

mengenai pengalaman para siswa, dongeng-dongeng, serta prosedur pembuatan, penggunaan

Page 24: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

atau pengoperasian hal-hal yang relatif sederhana; tuntutan dalam bidang membaca harus

mencakup teks-teks ilmu pengetahuan seperti teks-teks mengenai penemu dan penemuan,

petikan peristiwa bersejarah, berita, dst., karya sastra, dan prosedur-prosedur eksperimentasi.

Dengan mengenal karakteristik SK dan KD tersebut, anda sudah bisa membayangkan

langkah-langkah persiapan seperti apa yang anda perlukan. Sumber belajar apa saja yang harus

anda gunakan, teks apa saja yang harus anda cari dan sediakan, media pembelajaran apa yang

harus anda buat atau cari, langkah-langkah mengajar seperti apa yang anda akan kembangkan

dan jenis serta alat pengujian apakah yang akan anda gunakan. Semua langkah itu harus secara

cermat anda lakukan untuk menjamin ketercapaian kedua Sk dan keempat KD dalam siklus

tulisan ini. Secara garis besar, cakupan SK dan KD tersebut dapat digambarkan seperti yang

tertera dalam Gambar 2.3.

KETERAMPILAN JENIS

TEKS

KUALITAS TINDAK

TUTUR

LINGKUP

MENDENGARKAN FUNGSIONAL AKURAT PENGUMUMAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN AKSES TERHADAP ILMU PENGETAHUAN BERBICARA MONOLOG LANCAR UNDANGAN

BERTERIMA IKLAN

RECOUNT

NARRATIVE

PROCEDURE

Gambar 2.3 Cakupan SK dan KD Keterampilan Berbahasa Tulis Semester 1 Kelas X

Dengan memadukan kedua siklus (lisan dan tulis), kita dapat melihat gambaran lengkap

mengenai keseluruhan SK dan KD yang tercakup dalam Semester 1 Kelas X SMA/MA. Kini

gambaran dalam benak anda sudah lebih lengkap lagi sehingga anda akan memiliki kesiapan

yang lebih baik untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih baik. Sebagai seorang

profesional, anda dituntut untuk melakukan telaah dan pendalaman terhadap semua SK dan KD

yang terdapat dalam Standar Isi seperti yang tercantum dalam Lampiran LSI. Hasil telaah ini

Page 25: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

akan sangat berguna bagi anda dalam memetakan kompetensi yang harus dikuasai siswa dalam

mata pelajaran bahasa Inggris di SMA/MA. Bekal ini sangat mendasar bagi pengembangan dan

pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris. Tanpa upaya seperti ini pembelajaran bukan hanya

akan sangat fragmenter, tetapi juga akan berakibat sulitnya para siswa menguasai kompetensi-

kompetensi yang diinginkan.

Implementasi Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Konteks KTSP

Pada bagian akhir kuliah kali ini, saya akan sajikan contoh implementasi orientasi

pembelajaran bahasa Inggris dalam perspektif pencapaian kompetensi komunikatif seperti yang

telah dikemukakan di atas. Sajian langkah-langkah lengkap dengan berbagai komponennya

tertuang dalam tayangan video demonstrasi pembelajaran bahasa Inggris yang merupakan bagian

integral dari makalah ini. Oleh karena itu, sebelum melaju ke sesi Tanya jawab, mari kita

saksikan tayangannya.

BIBLIOGRAFI

Bloom, B. (1971). Mastery learning and its implications for curriculum development. In E. W.

Eisner (Ed.), Confronting curriculum reform . Boston: Little, Brown.

Brown, H. D. (1990). M & Ms for language classroom? Another look at motivation. Dalam J. E.

Alatis (Ed.), Georgetown University round table on language and linguistics. Washington

DC: Georgetown University Press.

Brown, H. D. (1994). Teaching by Principles: Interactive Language Teaching Methodology.

New York: Prentice Hall Regents.

Brown, A., and Campione, J. (1996). Psychological Theory and the Design of Innovative

Learning Environments: On Procedures, Principles, and Systems. In L. Schauble and R.

Glaser Innovations in Learning: New Environments for Education. Mahwah, N.J.: Lawrence

Erlbaum Associate.

Bruner, J. (1996). The culture of education. Cambridge MA: Harvard University Press.

Burns, A. (1990). Genre-based Approaches to Writing and Beginning Adult ESL Learners.

Prospect, 5 (3).

Canale, M. (1983). From communicative competence to communicative language pedagogy. In

Richards and Schmidt 1983.

Page 26: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Canale, M. & Swain, M. (1980). „Theoretical bases of communicative approaches to second

language teaching and testing.‟ Applied linguistics 1, 1- 47.

Cassidy, J., dan Wenrich, J. K. (1998). What‟s hot, what‟s not for 1998: Second annual survey

examines key topics in reading research and practice. Reading Today, 15 (1), 28.

Derewianka, B. (1990). Exploring how texts work. NSW: Primary English Teaching Association.

Donato, R. (1994). Collective scaffolding in second language learning. In J. P. Lantolf & G.

Appel (Eds.), Vygotskian approaches to second language research. Norwood, NJ: Ablex.

Dunkin, M. J., & Biddle, R. J. (1974). The Study of Teaching. New York: Holt, Reinhart, and

Winston.

Edwards, A.D., & Furlong, V.J. (1978). The language of teaching: Meaning in classroom

interaction. London: Heinemann.

Ellis, R. (1985). Understanding Second Language Acquisition, Oxford: Oxford University Press.

Ellis, R. (1990). Instructed Second Language Acquisition. Oxford: Basil Blackwell.

Graves, D. (1983). Writing: Teachers and Children at Work. Melbourne: Heinnemann

Educational Books.

Green, J. M. (1992). Making the Links. In ARIS Bulletin, 3, No. 2.

Hadley, A. O. (2001). Teaching Language in Context Third Edition. Boston, MA: Heinle and

Heinle Thomson Learning.

Hammond, J. (1986). Writing for different purposes with young ESL students. In R. D. Walshe,

P. March, and D. Jensond (Eds.). Writing and Learning in Australia. Melbourne: Dellasta

Books.

Hammond, J. (1990). Teacher expertise and leaner responsibility in literacy development.

Prospect, 5, 39-51.

Hill, K. J. (1984). The Writing Process: One Writing Classroom. Melbourne: Thomas Nelson

Australia.

Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E. (2000). Models of Teaching Sixth Edition. Boston: Allyn and

Bacon.

Krashen, S. D. (1981). Second language acquisition and second language learning. New York:

Pergamon.

Page 27: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Krashen, S. D. (1982). Principles and Practices in Second Language Acquisition. Oxford:

Pergamon.

Kumaradivelu, B. (1994). The postmethod condition: (E)merging strategies for second/foreign

language teaching. TESOL Quarterly, 28, 27-48

Kumaradivelu, B. (2001). Toward a Postmethod Pedagogy. TESOL Quarterly, 28, 27-48.

Lado, R. (1964). Language Teaching: A Scientific Approach. New York: McGraw-Hill.

Larsen-Freeman, D. E. (1986). Techniques and principles in language teaching. Oxford: Oxford

University Press.

Larsen-Freeman, D. E. (1980). Discourse analysis in second language research. Mass: Newbury

House.

Long, M. H. (1980). „Inside the “black box”: methodological issues in classroom research on

language learning.‟ Language learning 30, 1-42.

Long, M. H. (1996). The role of the linguistic environment in second language acquisition. In W.

Ritchie & T. K. Bhatia (Eds.), Handbook of second language acquisition. San Diego, CA:

Academic Press.

Love, K. & Suherdi, D. (1996). The Negotiation of Knowledge in an Adult English as a second

Language Classroom. Linguistics and Education, 8 (3).

Magnan , S. S. “Just Do It: Directing TAs Toward Task-Based and Process-Oriental Testing.”

Pp. 135-161 in Richards V. Teschner, ed., Assessing Foreign Language Proficiency of

Undergraduates. Issues in Language Program Direction. Boston: Heinle & Heinle, 1991.

Martin, J. R. (1992). English text: System and structure. Philadelphia: John Benjamins

Publishing Company.

Martin, J. R., & Rothery, J. (1980). Writing Project Report No. 1. Department of Linguistics,

University of Sydney.

Martin, J. R., & Rothery, J. (1981). Writing Project Report No. 2. Department of Linguistics,

University of Sydney.

Metropolitan East DSP Language and Social Power Project (1989). Teaching Factual Writing: A

Genre-based Approach. Sydney: Metropolitan East DSP Language and Social Power Project

Mehan, H. (1979). Learning lessons. Cambridge: Harvard University Press.

Morrow, L. M. (1990). Preparing the classroom environment to promote literacy during play.

Early Childhood Reasearch Quarterly, 5, 937-554.

Page 28: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Murray, D. (1968). A Writer Teaches Writing. Boston: Houghton Mifflin.

Musthafa, B. (1997). Literacy Activities in a Fifth-Grade Informal, Project-based Literature

Program: A Qualitative Case Study of Instructional Supports and Children‟s Learning

Engagement. A Doctoral Dissertation the Ohio State University.

Neuman, S. B., dan Roskos, K. (1990). The influence of literacy-enriched play settings on

preschoolers‟ engagement with written language. Dalam J. Zutell dan S. McCormick (Eds.),

Literacy theory and research: Analyses from multiple paradigms (hal. 179-188). Chicago:

National Reading Conference.

Neuman, S. B., dan Roskos, K. (1992). Literacy objects as cultural tools: Effects on children

literacy behaviors in play. Reading Research Quarterly, 27, 203-225.

Newman, F. M. (1990). Higher order thinking in teaching social studies: a rationale for the

assessment of classroom thoughtfulness. Journal of Curriculum Studies, 22 (1), 41-56.

Nunan, D. (1988). The Learner-Centred Curriculum. Cambridge: Cambridge University Press.

Nunan, D. (1989). Understanding Language Classroom. London: Prentice Hall.

Nunan, D. (1991a). Classroom Interaction. Sydney: National Centre for English Language

Teaching and Research.

Nunan, D. (1991c). Language Teaching Methodology A Textbook for Teachers. Hertfordshire:

Prentice Hall Interantional (UK) Ltd.

Nunan, D. (1992). Research Methods in Language Learning Cambridge Language Teaching

Library. Cambridge: CUP.

Oliver, R. (1998). Negotiation of Meaning in Child Interactions. The Modern Language Journal,

82, (3), 372-386.

Omaggio, A. C. (1983) Proficiency-Oriented Classroom Testing. Washington, DC: Center for

Applied Linguistics.

Orlich, D. C. et al. (1985). Teaching Strategies A Guide to Better Instruction. Lexington, MA: D.

C: Heath and Company.

Oxford, R. L., Nyikos, M., & Crookall, D. (1987). Learning strategies of university foreign

language students: A large-scale factor analytic study. Unpublished manuscript.

Pica, T. (1987). Second language acquisition, social interaction, and the classroom. Applied

Linguistics, 8, 3-21.

Page 29: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Pica, T. (1991). Classroom interaction, negotiation, and comprehension: Redefining

relationships. System, 19, 437-452.

Pica, T. (1994). Research on negotiation: What does it reveal about second language learning

conditions, processes and outcomes? Language Learning, 44, 493-527.

Pica, T. & C. Doughty. (1985). Input and interaction in the communicative language classroom:

a comparison of teacher-fronted and group activities. In S. Gass and C. Madden. (eds). Input

in Second Language Acquisition. Rowley, Mass.: Newbury House.

Pica, T., & Doughty, C. (1988). Variations in classroom interaction as a function of participation

pattern and task. In J. Fine (Ed.), Second language discourse: A textbook of current research.

Norwood, NJ: Ablex Publishing Corporation.

Pica, T., et. al. (1989). Comprehensible output as an outcome of linguistic demands on the

learner. Studies in Second Language Acquisition, 11, 63-90.

Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, R. I. (2001). Kurikulum Berbasis

Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Umum. Jakarta: Pusat

Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

Rivers, W. M. (1987). Teaching Foreign Language Skills. Chicago: The University of Chicago

Press.

Rivers, W. M. (1968). Teaching Foreign Language Skills. Second edition. (First edition, 1968.)

Chicago and London: University of Chicago Press.

Robinson, R. D., McKenna, M. C., dan Wedman, J. M. (Eds.) (2000). Issues and Trends in

Literacy Education Second Edition. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon.

Savignon, S. J. (1983). Communicative competence: Theory and Classroom Practice. Reading,

MA: Addison-Wesley.

Selinker, L. (1972). Interlanguage. International Review of Applied Linguistics, 10, 209-231.

Stern, H. H. (1983). Fundamental Concepts of language teaching. Oxford: Oxford University

Press.

Suherdi, D. (2007). Seri Evaluasi Pembelajaran Menakar Kualitas Proses Belajar-Mengajar.

Bandung: UPI Press.

Suherdi, D. (2008). Mikroskop Pedagogik: Alat Analisis Proses Belajar-Mengajar. Bandung:

UPI Press.

Suherdi, D. (2009). Classroom Discourse Analysis: A systemiotic Approach Revised Edition.

Bandung: Celtics Press.

Page 30: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

Swain, M. (1985). Communicative Competence: Some Roles of Comprehensible Input and

Comperehensible Output in Its Development. In S. Gass and C. Madden, eds., Input in

Second Language Acquisition. Cambridge, MA: Newbury House.

Vygotsky, L. (1978). Mind in society: The development of higher psychological process.

Cambridge, MA: Harvard University Press.

Page 31: Reorientasi REORIENTASI_PEMBELAJARAN_BAHASA_INGGRIS_DI_INDONESIAPembelajaran Bahasa Inggris Di Indonesia

NEW ORIENTATION IN THE TEACHING OF ENGLISH

IN INDONESIA

(Rekonstruksi Peran Bahasa Inggris dalam Akselerasi Pembangunan Daya

Saing Sumber Daya Insani Bangsa)

Makalah

disajikan dalam Kuliah Umum untuk Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syeh Abdurrahman Siddik

Bangka Belitung

Didi Suherdi

Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris

Universitas Pendidikan Indonesia

Pangkal Pinang, 10 November 2009