rengreng griffin

46
GRIFFIN Perpsektif Interpretatif dan Obyektif dalam Penelitian Ilmu Komunikasi A theory is not just an explanation it is a way of packaging reality, a way of understanding it. Human beings always represent reality symbolically, and we are always operating in the realm of theory. A theory is a system of thought, a way of looking, we can never ‘view” reality purely. Instead, we must use a set of concept and symbols to define what we see, and our theories provide the lenses with which we observe and experience the world.(Teori tidak hanya dipahami sebagai sebuah penjelasan semata, akan tetapi lebih dari itu sebuah teori merupakan sebuah sistem mengenai cara berfikir dan bagaimana memahami dan melihat sesuatu, serta teori merupakan jalan untuk mengemas realitas dan bagaimana caranya memahaminya. Dengan memakai teori, maka kita akan mampu menjelajahi dan memahami dunia berserta dengan fenomena – fenomena yang terjadi didalamnya). Berbicara mengenai teori, Griffin dalam bukunya A First Look at Communication Sciene membagi dua perspektif utama dalam memahami fenomena - fenomena sosial yang diilakukan lewat sebuah penelitian

Upload: duryatin-amal

Post on 02-Aug-2015

452 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rengreng GRIFFIN

GRIFFIN

Perpsektif Interpretatif dan Obyektif dalam Penelitian Ilmu Komunikasi

A theory is not just an explanation it is a way of packaging reality, a way

of understanding it. Human beings always represent reality symbolically, and we

are always operating in the realm of theory. A theory is a system of thought, a

way of looking, we can never ‘view” reality purely. Instead, we must use a set of

concept and symbols to define what we see, and our theories provide the lenses

with which we observe and experience the world.(Teori tidak hanya dipahami

sebagai sebuah penjelasan semata, akan tetapi lebih dari itu sebuah teori

merupakan sebuah sistem mengenai cara berfikir dan bagaimana memahami dan

melihat sesuatu, serta teori merupakan jalan untuk mengemas realitas dan

bagaimana caranya memahaminya. Dengan memakai teori, maka kita akan

mampu menjelajahi dan memahami dunia berserta dengan fenomena – fenomena

yang terjadi didalamnya).

Berbicara mengenai teori, Griffin dalam bukunya A First Look at

Communication Sciene membagi dua perspektif utama dalam memahami

fenomena - fenomena sosial yang diilakukan lewat sebuah penelitian khususnya

dalam kajian ilmu komunikasi. Yakni perspektif obyektif dan perspektif

interpretatif.

Baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif, keduanya

berada dalam jalur ilmu sosial, namun demikian terdapat perbedaan sebagaimana

yang diungkapkan Littlejohn bahwa perspektif interpretative ditandai dengan

adanya sebuah pemahaman atau interpretasi yang kreatif dari peneliti yang artinya

juga membuka sisi – sisi subyektifitas peneliti. Mengingat ilmu komunikasi

merupakan salah satu ilmu yang berada dalam jalur ilmu sosial atau humanitis,

maka kedua perspektif ini secara langsung memberikan pengaruh yang cukup

besar dalam kajian ilmu komunikasi.

Meskipun kedua perspektif ini dapat diterapkan dalam penelitian

komunikasi, akan tetapi baik itu perspektif obyektif maupun perspektif

interpretatif memiliki sejumlah perbedaan dalam beberapa hal, antara lain dalam

Page 2: Rengreng GRIFFIN

hal metode penelitian yang digunakan, pengambilan kesimpulan penelitian serta

bagaimana posisi peneliti ketika memulai penelitian.

Para penganut aliran interpretative meyakini bahwa kebenaran bersifat

subjektif dan makna dapat dipahami dari hasil interpretasi subyektif, serta

meyakini bahwa teks memiliki makna yang beragam tergantung dari subyek yang

menginterpretasikannya.

Perspektif interpretatif juga meyakini bahwa realitas dipandang sebagai

bentukan dari interaksi manusia yang penuh dengan makna atau meaningfull

social action. Maka dari itu, realitas dipahami sebagai pemaknaan (meaning)

dimana hanya bisa ditafsirkan atau verstehen dan hendak dilukiskan secara

mendalam. Pandangan ini sesuai dengan filsafat rasionalitas yang memandang

bahwa individu dengan rasionalitasnya mampu menemukan kebenaran, bahkan

filsafat ini meyakini bahwa kebenaran tersebut sebenarnya sudah ada dalam diri

manusia itu sendiri, karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu

pengetahuan kemudian berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan tadi

maka ilmu pengetahuan itu tidak bersifat objektif dan tidak bersifat universal.

Ilmu pengetahuan semata menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok

manusia dalam konteks tertentu.

Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi supaya teori interpretatif

dapat dikatakan baik, antara lain; Pertama, harus mampu menawarkan gagasan –

gagasan baru dan memberikan pemahaman baru pula yang bermanfaat bagi dunia.

Kedua, teori interpretatif harus mampu membawa nilai – nilai kemanusiaan

kearah nilai yang terbuka. Ketiga, mampu membangkitkan semangat estetis.

Artinya bahwa hal ini akan mampu membangkitkan imajinasi para peneliti dalam

menginterpretasikan sesuatu. Keempat, teori interpretatif dikatakan baik jika hasil

penelitiannya banyak disepakati dan didukung oleh pihak lain dari disiplin ilmu

sejenis, meskipun pada dasarnya dihasilkan dari interpretasi subyektif akan tetapi

dukungan dari pihak lain dapat membuat hasil penelitian tersebut terlihat teruji

validitasnya. Kelima, bahwa teori interpretatif bisa dikatakan baik jika hasilnya

dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

Page 3: Rengreng GRIFFIN

sekarang kita sedikit membahas mengenai perspektif obyektif. perpsektif

ini meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran diluar sana, hanya ada satu realitas

diuar sana yang tengah menanti kita untuk mengungkapkannya dengan

menggunakan panca indera yang kita miliki. Bagi penganut perspektif ini, prinsip

seing is believing dipegang teguh. Mereka juga percaya jika satu prinsip telah

berhasil diketahui dan telah dinyatakan valid, maka selamanya ia akan diyakini

sebagai kebenaran selama kondisi dan situasinya relative sama.

Berkaitan dengan perilaku manusia, perspektif ini menyakini bahwa

perilaku manusia merupakan hasil bentukan dari factor luar yang sifatnya

memaksa dan berada di luar kesadarannya. Perilaku terbentuk dari hasil hubungan

antara stimulus – respon.

Penganut aliran ini menjunjung tinggi prinsip – prinsip obyektifitas

semenjak mereka meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran di luar sana. Para

penganutnya berupaya untuk membuat sebuah hukum universal yang mampu

menjawab berbagai macam fenomena perilaku manusia yang hadir dalam

berbagai situasi. Yakni dengan cara menguji hipotesis atau membuat hipotesis dan

kemudian membuktikannya atau mengujinya. Dalam pengujiannya ini, metode

penelitian yang secara umum digunakan adalah dengan menggunakan metode

eksperimen dan survey yang kerap digunakan dengan jenis penelitian kuantitatif.

….

….

Dua Pendekatan yang Melandasi Penelitian Komunikasi

Ada 2 Metode Penelitian komunkasi yang saat ini digunakan, yaitu

Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian Kualitatif. Penelitian

Kuantitatif dilandasi oleh pendekatan objektif, sedangkan Penelitian Kualitatif

dilandasi oleh pendekatan subjektif /interpretif.

Pendekatan Objektif Sebagai Landasan Metode Penelitian Kuantitatif

Page 4: Rengreng GRIFFIN

Pendekatan objektif/ilmiah diterapkan dalam penelitian yang sistematis,

terkontrol, empiris dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan yang diasumsikan

di antara fenomena alam. Pendekatan ini memandang bahwa kebenaran dapat

ditemukan bila kita dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika

melakukan penelitian atau mengambil jarak dari objek yang diteliti. Jadi

penelitian yang dilakukan harus bebas nilai, artinya terlepas dari interpretasi atau

penilaian dari si peneliti. Metode penelitian cendrung menganggap manusia itu

seperti mesin atau hewan yang prilakunya bisa diramalkan sehingga bisa

digeneralisasikan. Penelitian ini bersifat deduktif, artinya berfikir dari umum ke

khusus. Peneliti mengambil kesimpulan umum terlebih dahulu untuk melakukan

generalisasi yang disebut sebagai hipotesis untuk kemudian diuji kebenarannya.

Sebagai ilustrasi, hipotesis yang menyatakan bahwa “Tayangan

kekerasan di televisi menimbulkan perilaku agresif pada penontonnya,” sehingga

dapat disimpulkan, “Semakin sering anak-anak menonton tayangan kekerasan di

televisi, maka perilaku anak akan semakin agresif.” Disini terlihat hubungan

sebab akibat dimana terdapat 2 variabel (yang tentunya ini merupakan ciri dari

Metode Penelitian Kuantitatif), yaitu variabel bebas dan variabel terikat.

Tayangan kekerasan di televisi sebagai variabel bebas yang mempengaruhi

perilaku agresif anak sebagai variabel terikat. Jadi disini jelas terlihat bahwa

menurut pendekatan pendekatan objektif sebagai landasan dari metode penelitian

kuantitatif, perilaku manusia sebagai objek penelitian dapat diramalkan sehingga

dapat digeneralisasikan. Penelitian Kuantitatif ini bertujuan menguji teori.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kuantitatif ini

bersifat deskriptif dengan menggunakan wawancara yang berstruktur, survei

korelasional, eksperimen yang menekankan pada pencarian penjelasan kausal dan

mekanistik atas fenomena komunikasi.

Pendekatan Subjektif Sebagai Landasan Metode Penelitian Kualitatif

Page 5: Rengreng GRIFFIN

Menurut pendekatan subjektif bahwa perilaku manusia itu sangat unik

dan tidak bisa diramalkan karena manusia memiliki kehendak bebas. Berbeda

dengan sesuatu (benda) yang hanya sekedar bergerak atau hewan yang bertindak

hanya karena insting. Jadi manusialah yang yang menciptakan struktur, bukan

struktur yang menentukan perilaku manusia. Ini berarti manusia aktif bertindak

dalam membetuk realitas. Manusialah yang menstruktur dunia, bukan dunia yang

menstruktur manusia. Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial bersifat

majemuk, tidak tunggal, sehingga tidak bisa digeneralisasikan. Beberapa prinsip

pendekatan subjektif diantaranya:

* Setiap manusia itu unik, tidak persis sama dengan yang lain sehingga

perilaku mereka tidak bisa diuraikan secara kausal dan karenanya tidak dapat

diramalkan

* Bila terdapat tatanan kausal dalam fenomena perilaku manusia,

tatanan tersebut begitu kompleks sehingga penemuan tidak tercapai secara

permanen

* Dalam ilmu alam, fakta sekarang selalu didahului oleh fakta yang

lalu, namun perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh perilaku masa lalu tapi

juga tujuan masa depan

* Bila perilaku manusia merupakan bagian dari tatanan kausal dari

peristiwa-peristiwa dan prinsipnya dapat diramalkan, akan sia-sia berusaha

membuat pilihan antara kebaikan dan kejahatan, serta meminta orang untuk

mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Kaum subjektifis merasa, mengelola perilaku manusia sebagai materi

untuk diteliti secara ilmiah terhambat oleh keterlibatan langsung peneliti dalam

perilaku yang mereka ingin jelaskan dan oleh karena penelitian tidak bisa lepas

dari interpretasi peneliti secara subjektif. Penelitian Kualitatif tidak bertujuan

menguji teori, melainkan untuk menghasilkan model atau teori baru

Page 6: Rengreng GRIFFIN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini bersifat

deskriptif dengan menggunakan wawancara yang mendalam (tidak berstruktur),

pengamatan berperan serta, analisis dokumen, studi kasus, studi historis-kritis

dengan penafsiran sujektif.

Rentang Pendekaan Objektif dan Interpretif

Meski masih banyak dipertentangkan, tapi sekedar sebagai perbandingan

dapat disimak pendapat Bavelas yang mencoba menggambarkan perbedaan kedua

metode ini sebagai berikut:

Penelitian Kuantitatif Penelitian Kualitatif

Angka-angka Tanpa angka-angka

Parametik Nonparametik

Statistik Nonstatistik

Empiris Tidak empiris

Objektif Subjektif

Deduktif Induktif

Pengujian hipotesis Penjelajahan (Exploratory)

Eksperimental Noneksperimental

Laboratorium Dunia nyata

Page 7: Rengreng GRIFFIN

Artifisial Alamiah

Dapat digeneralisasikan Tidak dapat digeneralisasikan

Sumber: Deddy Mulyana dan Solatun dalam bukuya:”Metode Penelitian

Komunikasi”

Sedangkan rentang perspektif subjektif – perspektif objektif menurut

Morgan dan Smircich, adalah sebagai berikut:

Sementara pemetaan Teori Komunikasi dalam rentang Perspektif

Objektif dan Perspektif Subjektif/interpretif menurut Griffin:

Sumber: Em Griffin. A First Look at Communication Theory, Edisi ke-3,

NY, 1997

Beberapa pakar ada yang tidak sependapat dengan pemetaan di atas

Misalnya Prof. Dr. Deddy Mulyana, menilai teori interaksi simbolik masuk pada

Page 8: Rengreng GRIFFIN

perspektif subjektif karena manusia secara aktif memaknai simbol-simbol yang

mereka buat untuk berinteraksi antara satu sama lain.

….

Berbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok

tradisi komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau

penelitian komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan.

Setiap teori menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum

dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu objektif dan

interpretatif.

1. Objektif

Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif

(objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan

kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat dunia sedemikian rupa sehingga

peneliti lain yang menggunakan cara atau metode melihat yang sama akan

menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau

penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis

sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences).

Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian

empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan disini bahwa apa

yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif

masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.

2. Interpretatif

Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan

humanistic scholarship. Jika metode objektif (penelitian kuantitatif/kualitatif)

bertujuan membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian

interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya

untuk mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti

maka para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif

Page 9: Rengreng GRIFFIN

individu. Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah

cukup untuk dapat menjelaskan 'misteri' pengalaman manusia sehingga diperlukan

unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada

dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus

umum.

Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi oleh Robert Craig tersebut,

yang manakah dari ketujuh tradisi teori komunikasi tersebut yang memiliki sifat

objektif dan yang manakah yang bersifat interpretatif. Dalam hal ini, kita dapat

menggunakan pandangan Griffin melalui peta tradisi teori komunikasi sebagai

berikut:

Sumber: EM Griffin, dan Glen McClish (special consultant), A First

Look At Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003. Hal 33.

Berdasarkan peta tersebut di atas maka kelompok teori komunikasi yang

paling objektif adalah Sosisopsikologi sedangkan kelompok teori yang paling

subjektif interpretatif adalah fenomenologi, sosiokultural dan kritis. Pertanyaanya

sekarang adalah:

SEBERAPA JAUH PANDANGAN SUBJEKTIF DAPAT MASUK KE

DALAM PENELITIAN INTERPRETATIF?

Dalam hal ini terdapat dua pandangan subjektif yaitu:

1) Pandangan subjektif dari objek penelitian yaitu manusia

Page 10: Rengreng GRIFFIN

a. Dalam penelitian interpretatif, tidak ada batasan mengenai seberapa

jauh pandangan subjektif objek penelitian dapat masuk ke dalam penelitian karena

tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana objek penelitian

memandang dirinya dan lingkungannya. Dalam penelitian kualititatif keterangan

narasumber yang salah atau keliru dapat diabaikan, namun penelitian interpretatif

tidak mempersoalkan benar atau salah.

b. Dalam penelitian interpretatif, peneliti berupaya mengumpulkan data

mengenai objek penelitian (manusia) melalui pengamatan (observasi), wawancara

dan sebagainya. Dalam hal ini, peneliti haruslah bersikap seobjektif mungkin.

Dengan kata lain, sebagaimana penelitian objektif, peneliti harus membangun

konsensus terlebih dulu mengenai apa yang akan diteliti atau diamatinya (fokus

penelitian).

2) Pandangan subjektif peneliti.

Setelah data diperoleh secara cermat dan objektif, maka data tersebut

harus dijelaskan dan diinterpretasikan, dan disinilah pandangan subjektif peneliti

dapat masuk, sebagaimana dikemukakan Littlejohn dan Foss: "Once behavioral

phenomena are accurately observed, they must be explained and interpreted -and

here's where the humanistic part come in".

Salah satu bentuk laporan di bidang komunikasi yang sering dibuat dan

seringkali diklaim sebagai penelitian interpretatif adalah apa yang disebut dengan

analisis wacana (discourse analysis) dan analisis bingkai (framing analysis).

§ Analisa wacana memfokuskan perhatian pada percakapan (lisan atau

teks) untuk mengetahui kondisi struktur sosial yang ada melalui percakapan

misalnya antara ibu dan anak, antara buruh pabrik dll) dengan mengidentifiaksi

berbagai kategori, ide, pandangan dan sebagainya berdasarkan transkrip

percakapan yang diamatinya.

Page 11: Rengreng GRIFFIN

§ Analisa framing memfokuskan perhatian pada bagaimana media massa

mengelola ide dan isi berita dan menunjukkan apa yang menjadi isu melalui

pemilihan, penekanan, penyisihan dan uraian berita.

….

Perpsektif Interpretatif dan Obyektif dalam Penelitian Ilmu Komunikasi

A theory is not just an explanation it is a way of packaging reality, a way of

understanding it. Human beings always represent reality symbolically, and we are

always operating in the realm of theory. A theory is a system of thought, a way of

looking, we can never ‘view” reality purely. Instead, we must use a set of concept

and symbols to define what we see, and our theories provide the lenses with

which we observe and experience the world.(Teori tidak hanya dipahami sebagai

sebuah penjelasan semata, akan tetapi lebih dari itu sebuah teori merupakan

sebuah sistem mengenai cara berfikir dan bagaimana memahami dan melihat

sesuatu, serta teori merupakan jalan untuk mengemas realitas dan bagaimana

caranya memahaminya. Dengan memakai teori, maka kita akan mampu

menjelajahi dan memahami dunia berserta dengan fenomena – fenomena yang

terjadi didalamnya).

Berbicara mengenai teori, Griffin dalam bukunya A First Look at Communication

Sciene membagi dua perspektif utama dalam memahami fenomena - fenomena

sosial yang diilakukan lewat sebuah penelitian khususnya dalam kajian ilmu

komunikasi. Yakni perspektif obyektif dan perspektif interpretatif.

Baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif, keduanya berada

dalam jalur ilmu sosial, namun demikian terdapat perbedaan sebagaimana yang

diungkapkan Littlejohn bahwa perspektif interpretative ditandai dengan adanya

sebuah pemahaman atau interpretasi yang kreatif dari peneliti yang artinya juga

membuka sisi – sisi subyektifitas peneliti. Mengingat ilmu komunikasi merupakan

salah satu ilmu yang berada dalam jalur ilmu sosial atau humanitis, maka kedua

Page 12: Rengreng GRIFFIN

perspektif ini secara langsung memberikan pengaruh yang cukup besar dalam

kajian ilmu komunikasi.

Meskipun kedua perspektif ini dapat diterapkan dalam penelitian komunikasi,

akan tetapi baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif memiliki

sejumlah perbedaan dalam beberapa hal, antara lain dalam hal metode penelitian

yang digunakan, pengambilan kesimpulan penelitian serta bagaimana posisi

peneliti ketika memulai penelitian.

Para penganut aliran interpretative meyakini bahwa kebenaran bersifat subjektif

dan makna dapat dipahami dari hasil interpretasi subyektif, serta meyakini bahwa

teks memiliki makna yang beragam tergantung dari subyek yang

menginterpretasikannya.

Perspektif interpretatif juga meyakini bahwa realitas dipandang sebagai bentukan

dari interaksi manusia yang penuh dengan makna atau meaningfull social action.

Maka dari itu, realitas dipahami sebagai pemaknaan (meaning) dimana hanya bisa

ditafsirkan atau verstehen dan hendak dilukiskan secara mendalam. Pandangan ini

sesuai dengan filsafat rasionalitas yang memandang bahwa individu dengan

rasionalitasnya mampu menemukan kebenaran, bahkan filsafat ini meyakini

bahwa kebenaran tersebut sebenarnya sudah ada dalam diri manusia itu sendiri,

karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu pengetahuan kemudian

berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan tadi maka ilmu pengetahuan itu

tidak bersifat objektif dan tidak bersifat universal. Ilmu pengetahuan semata

menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok manusia dalam konteks

tertentu.

Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi supaya teori interpretatif dapat

dikatakan baik, antara lain; Pertama, harus mampu menawarkan gagasan –

gagasan baru dan memberikan pemahaman baru pula yang bermanfaat bagi dunia.

Kedua, teori interpretatif harus mampu membawa nilai – nilai kemanusiaan

kearah nilai yang terbuka. Ketiga, mampu membangkitkan semangat estetis.

Artinya bahwa hal ini akan mampu membangkitkan imajinasi para peneliti dalam

menginterpretasikan sesuatu. Keempat, teori interpretatif dikatakan baik jika hasil

penelitiannya banyak disepakati dan didukung oleh pihak lain dari disiplin ilmu

Page 13: Rengreng GRIFFIN

sejenis, meskipun pada dasarnya dihasilkan dari interpretasi subyektif akan tetapi

dukungan dari pihak lain dapat membuat hasil penelitian tersebut terlihat teruji

validitasnya. Kelima, bahwa teori interpretatif bisa dikatakan baik jika hasilnya

dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

sekarang kita sedikit membahas mengenai perspektif obyektif. perpsektif ini

meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran diluar sana, hanya ada satu realitas

diuar sana yang tengah menanti kita untuk mengungkapkannya dengan

menggunakan panca indera yang kita miliki. Bagi penganut perspektif ini, prinsip

seing is believing dipegang teguh. Mereka juga percaya jika satu prinsip telah

berhasil diketahui dan telah dinyatakan valid, maka selamanya ia akan diyakini

sebagai kebenaran selama kondisi dan situasinya relative sama.

Berkaitan dengan perilaku manusia, perspektif ini menyakini bahwa perilaku

manusia merupakan hasil bentukan dari factor luar yang sifatnya memaksa dan

berada di luar kesadarannya. Perilaku terbentuk dari hasil hubungan antara

stimulus – respon.

Penganut aliran ini menjunjung tinggi prinsip – prinsip obyektifitas semenjak

mereka meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran di luar sana. Para penganutnya

berupaya untuk membuat sebuah hukum universal yang mampu menjawab

berbagai macam fenomena perilaku manusia yang hadir dalam berbagai situasi.

Yakni dengan cara menguji hipotesis atau membuat hipotesis dan kemudian

membuktikannya atau mengujinya. Dalam pengujiannya ini, metode penelitian

yang secara umum digunakan adalah dengan menggunakan metode eksperimen

dan survey yang kerap digunakan dengan jenis penelitian kuantitatif.

….

….

Chapter I

Berbicara tentang Teori

1. Perbandingan Antara Pendekatan Glenn Dan

Marty Dalam Menganalisa Coca-Cola Diet

Komersil;

• Glenn Menggunakan Perspektif Objectif.

Page 14: Rengreng GRIFFIN

Ruang lingkup yang dibahas adalah efek media.

Glenn bermaksud menemukan bagaimana pesan

media massa mempengaruhi pikiran masyarakat,

nilai-nilai; perasaan, sikap, dan perilaku. Dalam riset

efek media, Glenn tertarik akan suatu gathering

support untuk prinsip umum yang menerapkan ke

seberang iklan.

• Marty Menggunakan Perspektif Interpretif.

Menurutnya iklan Coca-cola diet baik dipahami

sebagai suatu alegori. Alegori adalah suatu cerita

simbolis di mana ada dua pihak yang berarti luas dan

bermakna lebih spesifik. Intinya, dalam iklan tersebut

terdapat implikasi teks yang visual tampak bersih.

24

2. Pendekatan Objektif Dari Glenn Dan Interpretive

Dari Marty Telah Mendekati Ke Studi Komunikasi

Dengan Jelas Berbeda Pada Titik Awal, Metoda,

Dan Kesimpulannya.

• Menurut Glenn, seorang ilmuwan yang bekerja

keras dapat menjadi sasaran. Seluruh bab pengantar

ini menurut Glenn akan menggunakan terminologi

yang dapat diolah lagi.

• Menurut Marty, seorang kritikus retoris yang

mengerjakan ilmu interpretive.

3. Menemukan Kebenaran Melawan Menciptakan

Multipe Kenyataan.

“What’s truth?” Para ilmuan mengasumsikan

bahwa kebenaran adalah bentuk tunggal. Kenyataan

"diluar sana" penantian untuk menemukan sesuatu

melalui panca indera penglihatan, suara, sentuhan,

perasa, dan penciuman. Para ilmuwan juga mencari

Page 15: Rengreng GRIFFIN

kebenaran interpretive, tetapi mereka jauh lebih

bersifat sementara tentang kemungkinan menyatakan

kenyataan yang bersifat objektif.

5. Metode Penelitian : Eksperimen, Survei, Analisis

Tekstual, dan Etnografi.

Suatu mengadakan percobaan untuk

menetapkan suatu cause-and-effect secara berurutan

dengan sistematis dalam menggerakkan satu variabel

dalam situasi yang terkendalikan untuk mengetahui

efeknya pada variabel lain. Menggunakan daftar

pertanyaan atau melaksanakan wawancara, penelitian

survei bersandar pada data laporan diri untuk

menemukan orang-orang yang berpikir, merasakan,

atau berniat untuk melakukan sesuatu. Metodologi

survei juga membantu ilmuwan dalam mengesahkan

teori. Tujuan dari analisa tekstual adalah untuk

menguraikan dan menginterpretasikan karakteristik

suatu pesan. Ahli teori komunikasi menggunakan istilah

ini untuk mengacu pada ungkapan yang simbolis lisan

atau pun bukan lisan/tulisan. Etnografi adalah bukan

suatu ilmu pengetahuan yang bersifat percobaan dalam

mencari hukum, akan tetapi suatu interpretive dalam

mencari maksud tertentu.

….

….

Halaman 17

Para Ilmuwan klasik yang meyakini paham filsafat determinisme, yakin bahwa

teori dan riset itu bisa dan harus bebas nilai, dan karenanya para ilmuwan dalam

kelompok ini harus menjadi ilmuwan yang obyektif serta netral, tidak dipengaruhi

oleh nilai-nilai (agama, norma dan lain sejenisnya) dalam proses kerja ilmiahnya.

Jika tidak maka riset yang dilakukannya akan menghasilkan bad science. Menurut

Page 16: Rengreng GRIFFIN

Peursen (1985 : 4), pendirian bahwa ilmu itu obyektif serta netral, sebetulnya

merupakan alat untuk mempertahankan keadaan dan cara berfikir, pendirian yang

dipengaruhi oleh ideologi konservatif. Ilmuwan dalam kelompok ini

diistilahkannya dengan positivistis.

Meskipun begitu, ada yang berbeda paham dalam menilai posisi nilai tersebut

dalam proses bekerjanya ilmu. Mereka ini adalah ilmuwan dari kelompok

interpretif/humanis (istilah Griffin) atau ritual (istilah Mc Quail). Ilmuwan

demikian meyakini bahwa manusia itu memiliki kemauan bebas dan karenanya

ilmuwan tidak bebas nilai dalam melakukan proses kerja ilmu. Kelompok

ilmuwan yang diistilahkan Peursen (1985 : 4) dengan ilmuwan ideologis ini

(istilah yang juga digunakan oleh Neuman (2000 :5), dianut oleh para Marxis dan

Neo Marxis, tapi di antara mereka ada juga yang bukan Marxis dan Neo-Marxis.

Dalam kaitan kelompok ideologis atau interpretif dimaksud, Griffin (2003 : 9-10)

sendiri berkomentar, bahwa para sarjana tersebut menyebutkan diri mereka

dengan variasi nama yang membingungkan. Ada yang menyebut henneneuticists,

poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada

yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Teoritisi James Anderson dari

Universitas Utah, seorang yang berberspektif postmodernisme, sebagaimana

dikutip Griffin, mengemukakan penilaiannya dengan suatu pengandaian berlalu

lintas terhadap keragaman nama tadi : “Dengan jumlah yang sangat besar dari

komunitas interpretif ini, maka nama-nama suka tertukar, patroli perbatasan

menjadi sia-sia dan pelanggaran terus berkelanjutan. Para anggota, bagaimanapun,

sering melihat perbedaan-perbedaan yang nyata sifatnya.” Keluhan terhadap

kalangan ideologis ini, juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dari Robert Ivie,

editor senior pada Quaterly Journal of Speech, dan karenanya ia menyarankan

bahwa kritik-kritk retorikal hendaknya dilakukan dengan menggunakan teori

dengan cara ini : “Kita tidak bisa melakukan kritik retorikal realitas sosial tanpa

memanfaatkan suatu panduan teori retorikal yang menjelaskan secara umum

kepada kita tentang apa yang harus dicari di dalam kenyataan sosial, apa yang

Page 17: Rengreng GRIFFIN

harus diperbuat terhadap kenyataan sosial itu, dan whether to consider it

significant.“ (dalam Griffin, 2003 : 14).

Dengan telaah aksiologis tadi, kiranya memberikan pengertian bahwa melalui

wacana nilai telah memunculkan perspektif yang berbeda dalam cara memperoleh

ilmu pengetahuan, dengan mana juga mengelompokkan akademisi ke dalam dua

bagian, kelompok scientific/obyektive/ positivistis dan

interpretif/humanis/ideologis. Menurut Griffin (2003 : 10), pemisahan pandangan

sarjana interpretif dan ilmuwan obyektive ini mencerminkan asumsi yang kontras

tentang bagaimana cara pemerolehan pengetahuan, inti dari sifat manusia,

pertanyaan-pertanyaan mengenai nilai, tujuan utama teori, dan methode

penelitian.

Perbedaan perspektif yang kontras dari dua kelompok ilmuan tadi, di sisi lain

sekaligus juga dapat menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kualitas teori

komunikasi. Dalam scientific/objektive theory, tolok ukur yang membuatnya

menjadi sebuah teori yang bagus terdiri dari lima standard; 1. penjelasan data; 2.

Perkiraan terhadap peristiwa-peristiwa yang akan datang; 3. kesederhanaan relatif

(relative simplicity); 4.Hipotesis yang dapat diuji, a good objektive theory is

testable. dan 5. Kegunaan praktis teori. A good objektive theory is useful.

Sementara dalam interpretive/ humanistic theory, ukuran kebagusannya adalah : 1.

New understanding of people; 2. Clarification of values; 3. Aesthetic appeal; 4.

Community of Agreement dan kle 5. Reform of Society (Lihat, Griffin, 2003 : 39-

47).

Bagi akademisi ilmu komunikasi, pemahaman terhadap kedua pendekatan beserta

standard kebaikannya itu, tentu menjadi penting karena bisa membantunya, antara

lain dalam memutuskan pendekatan yang akan dijadikan sebagai petunjuk dalam

melakukan studi –studi komunikasi.

Page 18: Rengreng GRIFFIN

Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang

bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam

berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya

pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan

istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya

menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut

“ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan

cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya

pemikiran teoritis, maka kodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago

School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori

komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian

dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode

survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha

dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam,

yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya

adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai

pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para

Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max

Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, adalah para

pemikir yang meyakini bahwa ilmu itu tidak bebas nilai dan pandangan mereka

ini banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu

tersebut, perspektif teoritisnya terutama dibedakan oleh soal pengakuan value

dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam

proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan

yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan

istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari

model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang

Page 19: Rengreng GRIFFIN

menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional

atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya

ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni

model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses

seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan

Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan

transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific

(Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang

digambarkan oleh Mc Quail.

Guna tidak membingungkan dan memudahkan akademisi komunikasi dalam

memahami perbedaan di antara kedua model, dalam bukunya Griffin mencoba

menganalogikan dua akademisi yang dimintanya menanggapi fenomena cita-cita

anak mengenai pekerjaan dalam Iklan Superbowl itu, dengan dua perancang mode

pakaian. Glenn yang Objective mungkin akan menjahit suatu mantel yang pantas

untuk semua orang pada berbagai kesempatan dengan baik, satu ukuran cocok

untuk semua. Di pihak lain maka Marty yang interpretif/humanis mungkin

mengaplikasikan prinsip dari desain fhasion-nya ke gaya suatu mantel yang dibuat

untuk perorangan, untuk klien tunggal - satu orang satu tipe pakaian, kreasi

tertentu yang khas untuk seseorang. Glenn mengadopsi suatu teori dan kemudian

mengujinya untuk melihat apakah itu bisa mencakup semua orang. Sementara

Marty menggunakan teori untuk membuat perasaan yang unik dari event-event

komunikasi.(Griffin, 2003 :14) ........ Ahli teori obyektif pada umumnya

mengedepankan efektifitas dan partisipasi ditempatkan di belakang. Ahli teori

Interpretif cenderung memusatkan pada partisipasi dan mengurangi peran ke-

efektivitas-an (Griffin, 2003 :14). Jadi, ada perbedaan yang kontradiktif di antara

ilmuwan obyektif dan interpretif dalam cara memperoleh pengetahuan ilmu.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut“ideologi” sebagai landasan

epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka

ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang

Page 20: Rengreng GRIFFIN

dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau jenis-

jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual

Domains of Communication Theory.

Untuk gagasan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima:

1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori

interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis

pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile

Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam

falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada

perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan

pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam

ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang

sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian

genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks, misalnya

seperti teks pada iklan cita-cita anak dalam iklan seperti dicontohkan Griffin,

sebagaimana disinggung sebelumnya. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah

para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis,

deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang

menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis

teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max

Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan

berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan

yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang

melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut

pandang (angel) terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan

dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada

masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran

Page 21: Rengreng GRIFFIN

yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai

obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre

itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories

dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh

landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang

dipelopori A. Comte (1798-1857) (Poedjawijatna, 1983 :94). Dengan demikian,

komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke

komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model

transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and

functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural

berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi,

terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian

dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa

kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama

dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai

tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science.

Diketahui pula, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif,

dinilai sangat berperan dalam kedua genre ketika ilmu komunikasi berupaya

menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka

pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive

theories dan crical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini

berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang

memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan

sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-

manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya

Page 22: Rengreng GRIFFIN

dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan

komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan

komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan

partisipan. Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan

sebagai sebuah proses pertukaran makna.

Ragam perspektif yang ada di dalam melihat teori komunikasi di atas kiranya

mengindikasikan kalau upaya menemukan tori komunikasi yang sifatnya

mengandung makna seumum-umumnya (meta theory) itu begitu sulit. Dalam

kaitan ini Littlejohn berpendapat bahwa memang ini menjadi salah satu

kelemahan ilmu, termasuk ilmu komunikasi. Kelemahan ini dimungkinkan karena

daya tangkap indra manusia terbatas, dan karenanya ilmu hanya bisa

mengobservasi fenomena-fenomena indrawi yang bersifat fragmentaris. Kalaupun

ada ilmuwan yang berupaya mencoba mempelajari secara non fragmentaris,

sebagaimana halnya dilakukan oleh disiplin ilmu filsafat dengan cara berfikir

kritis, ekstrim dan universal, maka upaya ini sudah ke luar dari tradisi ilmu

pengetahuan dalam menemukan kebenarannya yang nota bene bertolak dari data

empirik. Jadi, upaya ilmu filsafat tadi, tetap saja tidak dapat menolong ilmu untuk

dapat menelaah obyeknya secara non fragmentaris.

Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang tebatas sifatnya, terbatas pada obyek

formanya dan karenanya pula para filsuf menyebutnya dengan ilmu-ilmu khusus,

atau ilmu tentang ada khusus, kata Poedjawijatna. Namun, sebagai ilmu khusus

maka ilmu pengetahuan juga berupaya mempelajari obyek formanya itu melalui

pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh ilmu filsafat. Tujuannya tak lain

adalah agar mendapatkan pengetahuan yang seumum-umumnya tentang obyek

forma yang dipelajari. Upaya ini sendiri dilakukan ilmu melalui salah satu cabang

ilmunya sendiri, yakni filsafat ilmu pengetahuan sebagai pure science-nya sebuah

ilmu pengetahuan. Melalui telaah aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi,

filsafat ilmu komunikasi berusaha menemukan kebenaran seumum-umumnya

tentang obyek forma ilmu komunikasi, human communication. Meskipun

Page 23: Rengreng GRIFFIN

demikian, dalam prosesnya kebenaran mutlak tetap saja bukan menjadi sesuatu

yang mesti diwujudkan sebagai titik akhir dari proses. Upaya yang tidak mungkin

dilakukan sehubungan dengan keterbatasan manusia inipun, seyogyanya disadari

sebagai embrio yang menjadikan sesama ilmuwan bisa saling menghargai dalam

upaya angel masing-masing dalam menemukan kebenaran ilmu komunikasi. Lagi

pula, seperti dinyatakan Anderson, "kebenaran adalah perjuangan, bukan status ".

Jadi, tidak ada kebenaran indrawi yang berhenti pada satu titik, kecuali kebenaran

dogmatis agama yang berasal dari Tuhan.

Kebenaran ilmu pun begitu, seperti halnya dengan ilmu komunikasi. Dalam kaitan

kelemahan ilmu yang demikian, Littlejohn (2005, 17) berkomentar, “All theories

are abstactions. They always reduce experience to a set of categories and as a

result always leave something out. A theory focuses on certain things and ignores

others. This truism is important because it reveals the basic inadequacy of any one

theory. No single theory will ever reveal the whole “truth” or be able to totally

address the subject of investigation. Theories are also created by people, not

ordained by God. When scholars examine something in the world, they make

choices- about how to categorize what they are observing, what to name the

concepts upon which they have focused, how broad or narrow their focus will be,

and so on. Thus, theories represent various ways observers see their environments

more than they capture reality than a record of scholars’ conceptualizations about

that reality. (2005, 17).

Secara praktis, ketiga komponen yang menjadi fokus telaah dalam asumsi

filosofis sebelumnya, sebenarnya terkandung di dalam semua pengetahuan,

termasuk pengetahuan biasa. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta

sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan

dilaksanakan. Namun, dari semua pengetahuan, pengetahuan ilmu merupakan

pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya telah jauh

lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan

Page 24: Rengreng GRIFFIN

dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Lihat, Suriasumantri, 1984 :

33).

Apa yang dikatakan Suriasumantri itu, khusus terkait dengan ilmu komunikasi

misalnya, maka berdasarkan indikasi yang ada memang relevan dengan

pernyataan Suriasumantri tadi. Pada aspek ontologis, maka indikasinya berupa

cukup jelasnya obyek kajian ilmu komunikasi itu, yakni proses human

communication yang dikatakan Littlejohn sebelumnya terjadi dalam lima

tingkatan ; interpersonal, kelompok, publik, organisasi, dan massa. Pada aspek

epistemologis, indikasinya berupa terdapatnya beberapa pendekatan dalam

menelaah obyek kajian ilmu komunikasi ; misalnya berdasarkan perspektif

scientific/obyektive versus interpretif-humanistic, atau transmisi versus ritual.

Sementara pada aspek aksiologis, indikasinya berupa kemunculan dua kubu dalam

akademisi komunikologi dalam kaitan value dengan ilmu, yakni kubu free value

(neutral) yang tergabung dalam kelompok

positivistis/obyektif/scientifis/tradisional/konservatif dan kubu not free value

(tidak bebas nilai) atau yang mengakui eksistensi free will dalam diri manusia

yang tergabung dalam kelompok interpretif/humanis/ritual/ideologis.

Akan tetapi, berkaitan dengan pernyataan Suriasumantri tentang “dilaksanakan

secara konsekuen dan penuh disiplin”, tadi, maka berdasarkan fenomena

akademik mengindikasikan kalau pernyataan ini masih relatif banyak tidak

berkesesuaian. Ini terlihat dari rancangan atau penelitian yang dibuat, atau skripsi

maupun tesis yang dibuat akademisi komunikasi.

Bentuk-bentuk karya ilmiah yang nota bene mengandung asumsi-asumsi filosofis

ilmu tersebut, dengan mana elemen ontologis tercermin melalui masalah pokok

penelitian, epistemologis tercermin melalui methode penelitian dan elemen

aksiologis tercermin melalui tujuan dan manfaat penelitian, kerap terlihat tidak

memiliki konsistensi (taat asas) di antara ketiga unsur tadi. Inkonsistensi atau

pengingkaran asas ini biasanya lebih sering muncul dalam kaitan komponen

Page 25: Rengreng GRIFFIN

ontologis dan epistemologis. Sebagai contoh misalnya disain riset yang dilakukan

Lembaga Riset Inpendam Yogyakarta terhadap fenomena konflik sosial dalam

kaitannnya dengan komunikasi. Inkonsistensi terjadi ketika lembaga tersebut tidak

menggunakan mainstream ilmu komunikasi dalam menelaah konflik sosial,

melainkan dengan mainstream sosiologi an sich. Contoh lain yang paling sering

terjadi adalah pada pembuatan skripsi. Dalam menelaah efek media massa

misalnya, berdasarkan rumusan masalahnya sudah jelas khalayak media

diposisikan sebagai individu aktif. Namun dalam proses pembuatan kerangka

teori, hipotesis, methode dan instrumennya, bukan bersandar pada perspektif

paradigma khalayak aktif melainkan pada perspektif khalayak pasif, atau

bersandar pada teori efek media yang linier.

……..

………….

erbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok tradisi

komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau penelitian

komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan. Setiap teori

menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum dapat

dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu objektif dan

interpretatif.

1. Objektif

Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif

(objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan

kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat dunia sedemikian rupa sehingga

peneliti lain yang menggunakan cara atau metode melihat yang sama akan

menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau

penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis

sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences).

Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian

empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan disini bahwa apa

Page 26: Rengreng GRIFFIN

yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif

masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.

2. Interpretatif

Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan humanistic

scholarship. Jika metode objektif (penelitian kuantitatif/kualitatif) bertujuan

membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif)

berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk

mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti maka

para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu.

Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah cukup

untuk dapat menjelaskan ‘misteri’ pengalaman manusia sehingga diperlukan

unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada

dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus

umum.

Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi oleh Robert Craig tersebut, ketujuh

tradisi teori komunikasi tersebut ada yang bersifat objektif dan yang bersifat

interpretatif. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pandangan Griffin melalui

peta tradisi teori komunikasi sebagai berikut:

Sumber:

EM Griffin, dan Glen McClish (special consultant), A First Look At

Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003. Hal 33.

….

1. Survei

Page 27: Rengreng GRIFFIN

Yakni metode penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen

pengumpulan datanya dengan tujuan memperoleh informasi tentang sejumlah

responden yang dianggap mewakili populasi tertentu. Survei ini terdiri dari:

a. Survei Deskriptif

Jenis survei yang digunakan untuk menggambarkan populasi yang sedang diteliti.

Fokus penelitian ini adalah perilaku yang sedang terjadi dan terdiri dari satu

variabel. Misalnya menggambarkan variabel sosiodemografis responden dalam

riset “Bagaimana karakteristik sosiodemogafis pembaca Kompas?”, maka peneliti

akan menggambarkan tingkat pendidikan responden, tingkat penghasilan, agama,

jenis kelamin, tempat tinggal, usia, status perkawinan dan lain-lain

b. Survei Eksplanatif (Analitik)

Jenis survei ini digunakan untuk mengetahui mengapa situasi atau kondisi tertentu

terjadi atau apa yang mempengaruhi terjadinya sesuatu. Peneliti tidak sekedar

menggambarkan terjadinya fenomena tapi menjelaskan mengapa fenomena itu

terjadi dan apa pengaruhnya. Dengan kata lain, peneliti ingin menjelaskan

hubungan antara dua variabel atau lebih dan membuat hipotesis sebagai asumsi

awal untuk menjelaskan hubungan antar variabel yang diteliti. Analisis data

menggunakan uji statistik inferensial. Misalnya seorang praktisi iklan ingin

mensurvei apakah frekwansi terpaan iklan mempengaruhi keinginan orang untuk

membeli produk yang diiklankan.

Survei Eksplanatif ini terbagi dua yaitu:

1) Komparatif: bermaksud untuk membuat komparasi (perbandingan) antara

variabel yang satu dengan lainnya yang sejenis. Misalnya: “Apakah ada perbedaan

antara tingkat kepuasan pembaca Tribun dan Batam Pos?”

Page 28: Rengreng GRIFFIN

2) Asosiatif: Bermaksud untuk menjelaskan hubungan (korelasi) antar variabel.

Misalnya: “Apakah ada hubungan antara terpaan media massa dengan

pengetahuan politik mahasiswa?”

2. Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti atau menganalisis isi

komunikasi secara sistematik, objektif dan kuantitatif. Sistematis berarti proses

analisis tersusun secara sistematis mulai dari penentuan isi komunikasi yang

dianalisis, cara menganalisisnya maupun kategori yang dipakai untuk

menganalisisnya. Objektif berarti peneliti harus mengesampingkan faktor-faktor

yang subjektif atau personal sehingga hasil analisis benar-benar objektif dan bila

diteliti peneleti lain hasilnya relatif sama. Analisis ini harus dikuantitatifkan ke

dalam angka-angka, misalnya “70% berita berita Kompas selama setahun adalah

bertema politik”.

Analisis isi kuantitatif lebih memfokuskan pada isi komunikasi yang tampak

(tersurat/manifest/nyata). Sedangkan untuk menjelaskan hal-hal yang tersirat

(latent), misalnya ideologi dibalik berita dilakukan analisis isi kualtatif, seperti

analisis framing, analisis wacana dan semiotika yang telah banyak berkembang di

dalam Ilmu Komunikasi.

3. Metode Eksperimen

Yaitu metode yang digunakan untuk meneliti hubungan atau pengaruh sebab

akibat dengan memanipulasi satu variabel atau lebih pada pada satu kelompok

ekperimental atau lebih, dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol

yang tidak mengalami manipulasi. Peneliti harus membagi responden dalam 2

kelompok. Kelompok yang satu dimanipulasi dengan pesan tertentu, dan

kelompok dua yang tidak dimanipulasi. Kemudian peneliti melihat efek

manipulasi tersebut terhadap kelompok satu dengan membandingkannya dengan

Page 29: Rengreng GRIFFIN

kelompok dua. Contoh, judul penelitian: “Pengaruh tayangan kekerasan di TV

terhadap perilaku agresif anak”. Kelompok anak yang satu disuruh menonton

tayangan kekerasan di TV, sedangkan kelompok dua disuguhi acara ringan seperti

komedi atau acara ringan lainnya. Kelompok satu disebut kelompok

eksperimental, kelompok dua disebut kelompok kontrol. Jika kekerasan diukur

dengan perilaku memukul, menendang, mencubit dan yang lainnya, bila anak-

anak yang setelah menonton tayangan kekerasan di TV ketika diamati banyak

yang memukul, menendang, mencubit, berarti terbukti bahwa acara kriminal

tersebut telah mempengaruhi perilaku agresif pada anak-anak.