rengreng griffin
TRANSCRIPT
GRIFFIN
Perpsektif Interpretatif dan Obyektif dalam Penelitian Ilmu Komunikasi
A theory is not just an explanation it is a way of packaging reality, a way
of understanding it. Human beings always represent reality symbolically, and we
are always operating in the realm of theory. A theory is a system of thought, a
way of looking, we can never ‘view” reality purely. Instead, we must use a set of
concept and symbols to define what we see, and our theories provide the lenses
with which we observe and experience the world.(Teori tidak hanya dipahami
sebagai sebuah penjelasan semata, akan tetapi lebih dari itu sebuah teori
merupakan sebuah sistem mengenai cara berfikir dan bagaimana memahami dan
melihat sesuatu, serta teori merupakan jalan untuk mengemas realitas dan
bagaimana caranya memahaminya. Dengan memakai teori, maka kita akan
mampu menjelajahi dan memahami dunia berserta dengan fenomena – fenomena
yang terjadi didalamnya).
Berbicara mengenai teori, Griffin dalam bukunya A First Look at
Communication Sciene membagi dua perspektif utama dalam memahami
fenomena - fenomena sosial yang diilakukan lewat sebuah penelitian khususnya
dalam kajian ilmu komunikasi. Yakni perspektif obyektif dan perspektif
interpretatif.
Baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif, keduanya
berada dalam jalur ilmu sosial, namun demikian terdapat perbedaan sebagaimana
yang diungkapkan Littlejohn bahwa perspektif interpretative ditandai dengan
adanya sebuah pemahaman atau interpretasi yang kreatif dari peneliti yang artinya
juga membuka sisi – sisi subyektifitas peneliti. Mengingat ilmu komunikasi
merupakan salah satu ilmu yang berada dalam jalur ilmu sosial atau humanitis,
maka kedua perspektif ini secara langsung memberikan pengaruh yang cukup
besar dalam kajian ilmu komunikasi.
Meskipun kedua perspektif ini dapat diterapkan dalam penelitian
komunikasi, akan tetapi baik itu perspektif obyektif maupun perspektif
interpretatif memiliki sejumlah perbedaan dalam beberapa hal, antara lain dalam
hal metode penelitian yang digunakan, pengambilan kesimpulan penelitian serta
bagaimana posisi peneliti ketika memulai penelitian.
Para penganut aliran interpretative meyakini bahwa kebenaran bersifat
subjektif dan makna dapat dipahami dari hasil interpretasi subyektif, serta
meyakini bahwa teks memiliki makna yang beragam tergantung dari subyek yang
menginterpretasikannya.
Perspektif interpretatif juga meyakini bahwa realitas dipandang sebagai
bentukan dari interaksi manusia yang penuh dengan makna atau meaningfull
social action. Maka dari itu, realitas dipahami sebagai pemaknaan (meaning)
dimana hanya bisa ditafsirkan atau verstehen dan hendak dilukiskan secara
mendalam. Pandangan ini sesuai dengan filsafat rasionalitas yang memandang
bahwa individu dengan rasionalitasnya mampu menemukan kebenaran, bahkan
filsafat ini meyakini bahwa kebenaran tersebut sebenarnya sudah ada dalam diri
manusia itu sendiri, karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu
pengetahuan kemudian berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan tadi
maka ilmu pengetahuan itu tidak bersifat objektif dan tidak bersifat universal.
Ilmu pengetahuan semata menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok
manusia dalam konteks tertentu.
Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi supaya teori interpretatif
dapat dikatakan baik, antara lain; Pertama, harus mampu menawarkan gagasan –
gagasan baru dan memberikan pemahaman baru pula yang bermanfaat bagi dunia.
Kedua, teori interpretatif harus mampu membawa nilai – nilai kemanusiaan
kearah nilai yang terbuka. Ketiga, mampu membangkitkan semangat estetis.
Artinya bahwa hal ini akan mampu membangkitkan imajinasi para peneliti dalam
menginterpretasikan sesuatu. Keempat, teori interpretatif dikatakan baik jika hasil
penelitiannya banyak disepakati dan didukung oleh pihak lain dari disiplin ilmu
sejenis, meskipun pada dasarnya dihasilkan dari interpretasi subyektif akan tetapi
dukungan dari pihak lain dapat membuat hasil penelitian tersebut terlihat teruji
validitasnya. Kelima, bahwa teori interpretatif bisa dikatakan baik jika hasilnya
dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat.
sekarang kita sedikit membahas mengenai perspektif obyektif. perpsektif
ini meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran diluar sana, hanya ada satu realitas
diuar sana yang tengah menanti kita untuk mengungkapkannya dengan
menggunakan panca indera yang kita miliki. Bagi penganut perspektif ini, prinsip
seing is believing dipegang teguh. Mereka juga percaya jika satu prinsip telah
berhasil diketahui dan telah dinyatakan valid, maka selamanya ia akan diyakini
sebagai kebenaran selama kondisi dan situasinya relative sama.
Berkaitan dengan perilaku manusia, perspektif ini menyakini bahwa
perilaku manusia merupakan hasil bentukan dari factor luar yang sifatnya
memaksa dan berada di luar kesadarannya. Perilaku terbentuk dari hasil hubungan
antara stimulus – respon.
Penganut aliran ini menjunjung tinggi prinsip – prinsip obyektifitas
semenjak mereka meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran di luar sana. Para
penganutnya berupaya untuk membuat sebuah hukum universal yang mampu
menjawab berbagai macam fenomena perilaku manusia yang hadir dalam
berbagai situasi. Yakni dengan cara menguji hipotesis atau membuat hipotesis dan
kemudian membuktikannya atau mengujinya. Dalam pengujiannya ini, metode
penelitian yang secara umum digunakan adalah dengan menggunakan metode
eksperimen dan survey yang kerap digunakan dengan jenis penelitian kuantitatif.
….
….
Dua Pendekatan yang Melandasi Penelitian Komunikasi
Ada 2 Metode Penelitian komunkasi yang saat ini digunakan, yaitu
Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian Kualitatif. Penelitian
Kuantitatif dilandasi oleh pendekatan objektif, sedangkan Penelitian Kualitatif
dilandasi oleh pendekatan subjektif /interpretif.
Pendekatan Objektif Sebagai Landasan Metode Penelitian Kuantitatif
Pendekatan objektif/ilmiah diterapkan dalam penelitian yang sistematis,
terkontrol, empiris dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan yang diasumsikan
di antara fenomena alam. Pendekatan ini memandang bahwa kebenaran dapat
ditemukan bila kita dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika
melakukan penelitian atau mengambil jarak dari objek yang diteliti. Jadi
penelitian yang dilakukan harus bebas nilai, artinya terlepas dari interpretasi atau
penilaian dari si peneliti. Metode penelitian cendrung menganggap manusia itu
seperti mesin atau hewan yang prilakunya bisa diramalkan sehingga bisa
digeneralisasikan. Penelitian ini bersifat deduktif, artinya berfikir dari umum ke
khusus. Peneliti mengambil kesimpulan umum terlebih dahulu untuk melakukan
generalisasi yang disebut sebagai hipotesis untuk kemudian diuji kebenarannya.
Sebagai ilustrasi, hipotesis yang menyatakan bahwa “Tayangan
kekerasan di televisi menimbulkan perilaku agresif pada penontonnya,” sehingga
dapat disimpulkan, “Semakin sering anak-anak menonton tayangan kekerasan di
televisi, maka perilaku anak akan semakin agresif.” Disini terlihat hubungan
sebab akibat dimana terdapat 2 variabel (yang tentunya ini merupakan ciri dari
Metode Penelitian Kuantitatif), yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Tayangan kekerasan di televisi sebagai variabel bebas yang mempengaruhi
perilaku agresif anak sebagai variabel terikat. Jadi disini jelas terlihat bahwa
menurut pendekatan pendekatan objektif sebagai landasan dari metode penelitian
kuantitatif, perilaku manusia sebagai objek penelitian dapat diramalkan sehingga
dapat digeneralisasikan. Penelitian Kuantitatif ini bertujuan menguji teori.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kuantitatif ini
bersifat deskriptif dengan menggunakan wawancara yang berstruktur, survei
korelasional, eksperimen yang menekankan pada pencarian penjelasan kausal dan
mekanistik atas fenomena komunikasi.
Pendekatan Subjektif Sebagai Landasan Metode Penelitian Kualitatif
Menurut pendekatan subjektif bahwa perilaku manusia itu sangat unik
dan tidak bisa diramalkan karena manusia memiliki kehendak bebas. Berbeda
dengan sesuatu (benda) yang hanya sekedar bergerak atau hewan yang bertindak
hanya karena insting. Jadi manusialah yang yang menciptakan struktur, bukan
struktur yang menentukan perilaku manusia. Ini berarti manusia aktif bertindak
dalam membetuk realitas. Manusialah yang menstruktur dunia, bukan dunia yang
menstruktur manusia. Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial bersifat
majemuk, tidak tunggal, sehingga tidak bisa digeneralisasikan. Beberapa prinsip
pendekatan subjektif diantaranya:
* Setiap manusia itu unik, tidak persis sama dengan yang lain sehingga
perilaku mereka tidak bisa diuraikan secara kausal dan karenanya tidak dapat
diramalkan
* Bila terdapat tatanan kausal dalam fenomena perilaku manusia,
tatanan tersebut begitu kompleks sehingga penemuan tidak tercapai secara
permanen
* Dalam ilmu alam, fakta sekarang selalu didahului oleh fakta yang
lalu, namun perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh perilaku masa lalu tapi
juga tujuan masa depan
* Bila perilaku manusia merupakan bagian dari tatanan kausal dari
peristiwa-peristiwa dan prinsipnya dapat diramalkan, akan sia-sia berusaha
membuat pilihan antara kebaikan dan kejahatan, serta meminta orang untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Kaum subjektifis merasa, mengelola perilaku manusia sebagai materi
untuk diteliti secara ilmiah terhambat oleh keterlibatan langsung peneliti dalam
perilaku yang mereka ingin jelaskan dan oleh karena penelitian tidak bisa lepas
dari interpretasi peneliti secara subjektif. Penelitian Kualitatif tidak bertujuan
menguji teori, melainkan untuk menghasilkan model atau teori baru
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini bersifat
deskriptif dengan menggunakan wawancara yang mendalam (tidak berstruktur),
pengamatan berperan serta, analisis dokumen, studi kasus, studi historis-kritis
dengan penafsiran sujektif.
Rentang Pendekaan Objektif dan Interpretif
Meski masih banyak dipertentangkan, tapi sekedar sebagai perbandingan
dapat disimak pendapat Bavelas yang mencoba menggambarkan perbedaan kedua
metode ini sebagai berikut:
Penelitian Kuantitatif Penelitian Kualitatif
Angka-angka Tanpa angka-angka
Parametik Nonparametik
Statistik Nonstatistik
Empiris Tidak empiris
Objektif Subjektif
Deduktif Induktif
Pengujian hipotesis Penjelajahan (Exploratory)
Eksperimental Noneksperimental
Laboratorium Dunia nyata
Artifisial Alamiah
Dapat digeneralisasikan Tidak dapat digeneralisasikan
Sumber: Deddy Mulyana dan Solatun dalam bukuya:”Metode Penelitian
Komunikasi”
Sedangkan rentang perspektif subjektif – perspektif objektif menurut
Morgan dan Smircich, adalah sebagai berikut:
Sementara pemetaan Teori Komunikasi dalam rentang Perspektif
Objektif dan Perspektif Subjektif/interpretif menurut Griffin:
Sumber: Em Griffin. A First Look at Communication Theory, Edisi ke-3,
NY, 1997
Beberapa pakar ada yang tidak sependapat dengan pemetaan di atas
Misalnya Prof. Dr. Deddy Mulyana, menilai teori interaksi simbolik masuk pada
perspektif subjektif karena manusia secara aktif memaknai simbol-simbol yang
mereka buat untuk berinteraksi antara satu sama lain.
…
….
Berbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok
tradisi komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau
penelitian komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan.
Setiap teori menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum
dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu objektif dan
interpretatif.
1. Objektif
Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif
(objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan
kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat dunia sedemikian rupa sehingga
peneliti lain yang menggunakan cara atau metode melihat yang sama akan
menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau
penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis
sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences).
Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian
empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan disini bahwa apa
yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif
masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.
2. Interpretatif
Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan
humanistic scholarship. Jika metode objektif (penelitian kuantitatif/kualitatif)
bertujuan membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian
interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya
untuk mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti
maka para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif
individu. Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah
cukup untuk dapat menjelaskan 'misteri' pengalaman manusia sehingga diperlukan
unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada
dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus
umum.
Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi oleh Robert Craig tersebut,
yang manakah dari ketujuh tradisi teori komunikasi tersebut yang memiliki sifat
objektif dan yang manakah yang bersifat interpretatif. Dalam hal ini, kita dapat
menggunakan pandangan Griffin melalui peta tradisi teori komunikasi sebagai
berikut:
Sumber: EM Griffin, dan Glen McClish (special consultant), A First
Look At Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003. Hal 33.
Berdasarkan peta tersebut di atas maka kelompok teori komunikasi yang
paling objektif adalah Sosisopsikologi sedangkan kelompok teori yang paling
subjektif interpretatif adalah fenomenologi, sosiokultural dan kritis. Pertanyaanya
sekarang adalah:
SEBERAPA JAUH PANDANGAN SUBJEKTIF DAPAT MASUK KE
DALAM PENELITIAN INTERPRETATIF?
Dalam hal ini terdapat dua pandangan subjektif yaitu:
1) Pandangan subjektif dari objek penelitian yaitu manusia
a. Dalam penelitian interpretatif, tidak ada batasan mengenai seberapa
jauh pandangan subjektif objek penelitian dapat masuk ke dalam penelitian karena
tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana objek penelitian
memandang dirinya dan lingkungannya. Dalam penelitian kualititatif keterangan
narasumber yang salah atau keliru dapat diabaikan, namun penelitian interpretatif
tidak mempersoalkan benar atau salah.
b. Dalam penelitian interpretatif, peneliti berupaya mengumpulkan data
mengenai objek penelitian (manusia) melalui pengamatan (observasi), wawancara
dan sebagainya. Dalam hal ini, peneliti haruslah bersikap seobjektif mungkin.
Dengan kata lain, sebagaimana penelitian objektif, peneliti harus membangun
konsensus terlebih dulu mengenai apa yang akan diteliti atau diamatinya (fokus
penelitian).
2) Pandangan subjektif peneliti.
Setelah data diperoleh secara cermat dan objektif, maka data tersebut
harus dijelaskan dan diinterpretasikan, dan disinilah pandangan subjektif peneliti
dapat masuk, sebagaimana dikemukakan Littlejohn dan Foss: "Once behavioral
phenomena are accurately observed, they must be explained and interpreted -and
here's where the humanistic part come in".
Salah satu bentuk laporan di bidang komunikasi yang sering dibuat dan
seringkali diklaim sebagai penelitian interpretatif adalah apa yang disebut dengan
analisis wacana (discourse analysis) dan analisis bingkai (framing analysis).
§ Analisa wacana memfokuskan perhatian pada percakapan (lisan atau
teks) untuk mengetahui kondisi struktur sosial yang ada melalui percakapan
misalnya antara ibu dan anak, antara buruh pabrik dll) dengan mengidentifiaksi
berbagai kategori, ide, pandangan dan sebagainya berdasarkan transkrip
percakapan yang diamatinya.
§ Analisa framing memfokuskan perhatian pada bagaimana media massa
mengelola ide dan isi berita dan menunjukkan apa yang menjadi isu melalui
pemilihan, penekanan, penyisihan dan uraian berita.
…
….
Perpsektif Interpretatif dan Obyektif dalam Penelitian Ilmu Komunikasi
A theory is not just an explanation it is a way of packaging reality, a way of
understanding it. Human beings always represent reality symbolically, and we are
always operating in the realm of theory. A theory is a system of thought, a way of
looking, we can never ‘view” reality purely. Instead, we must use a set of concept
and symbols to define what we see, and our theories provide the lenses with
which we observe and experience the world.(Teori tidak hanya dipahami sebagai
sebuah penjelasan semata, akan tetapi lebih dari itu sebuah teori merupakan
sebuah sistem mengenai cara berfikir dan bagaimana memahami dan melihat
sesuatu, serta teori merupakan jalan untuk mengemas realitas dan bagaimana
caranya memahaminya. Dengan memakai teori, maka kita akan mampu
menjelajahi dan memahami dunia berserta dengan fenomena – fenomena yang
terjadi didalamnya).
Berbicara mengenai teori, Griffin dalam bukunya A First Look at Communication
Sciene membagi dua perspektif utama dalam memahami fenomena - fenomena
sosial yang diilakukan lewat sebuah penelitian khususnya dalam kajian ilmu
komunikasi. Yakni perspektif obyektif dan perspektif interpretatif.
Baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif, keduanya berada
dalam jalur ilmu sosial, namun demikian terdapat perbedaan sebagaimana yang
diungkapkan Littlejohn bahwa perspektif interpretative ditandai dengan adanya
sebuah pemahaman atau interpretasi yang kreatif dari peneliti yang artinya juga
membuka sisi – sisi subyektifitas peneliti. Mengingat ilmu komunikasi merupakan
salah satu ilmu yang berada dalam jalur ilmu sosial atau humanitis, maka kedua
perspektif ini secara langsung memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
kajian ilmu komunikasi.
Meskipun kedua perspektif ini dapat diterapkan dalam penelitian komunikasi,
akan tetapi baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif memiliki
sejumlah perbedaan dalam beberapa hal, antara lain dalam hal metode penelitian
yang digunakan, pengambilan kesimpulan penelitian serta bagaimana posisi
peneliti ketika memulai penelitian.
Para penganut aliran interpretative meyakini bahwa kebenaran bersifat subjektif
dan makna dapat dipahami dari hasil interpretasi subyektif, serta meyakini bahwa
teks memiliki makna yang beragam tergantung dari subyek yang
menginterpretasikannya.
Perspektif interpretatif juga meyakini bahwa realitas dipandang sebagai bentukan
dari interaksi manusia yang penuh dengan makna atau meaningfull social action.
Maka dari itu, realitas dipahami sebagai pemaknaan (meaning) dimana hanya bisa
ditafsirkan atau verstehen dan hendak dilukiskan secara mendalam. Pandangan ini
sesuai dengan filsafat rasionalitas yang memandang bahwa individu dengan
rasionalitasnya mampu menemukan kebenaran, bahkan filsafat ini meyakini
bahwa kebenaran tersebut sebenarnya sudah ada dalam diri manusia itu sendiri,
karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu pengetahuan kemudian
berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan tadi maka ilmu pengetahuan itu
tidak bersifat objektif dan tidak bersifat universal. Ilmu pengetahuan semata
menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok manusia dalam konteks
tertentu.
Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi supaya teori interpretatif dapat
dikatakan baik, antara lain; Pertama, harus mampu menawarkan gagasan –
gagasan baru dan memberikan pemahaman baru pula yang bermanfaat bagi dunia.
Kedua, teori interpretatif harus mampu membawa nilai – nilai kemanusiaan
kearah nilai yang terbuka. Ketiga, mampu membangkitkan semangat estetis.
Artinya bahwa hal ini akan mampu membangkitkan imajinasi para peneliti dalam
menginterpretasikan sesuatu. Keempat, teori interpretatif dikatakan baik jika hasil
penelitiannya banyak disepakati dan didukung oleh pihak lain dari disiplin ilmu
sejenis, meskipun pada dasarnya dihasilkan dari interpretasi subyektif akan tetapi
dukungan dari pihak lain dapat membuat hasil penelitian tersebut terlihat teruji
validitasnya. Kelima, bahwa teori interpretatif bisa dikatakan baik jika hasilnya
dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat.
sekarang kita sedikit membahas mengenai perspektif obyektif. perpsektif ini
meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran diluar sana, hanya ada satu realitas
diuar sana yang tengah menanti kita untuk mengungkapkannya dengan
menggunakan panca indera yang kita miliki. Bagi penganut perspektif ini, prinsip
seing is believing dipegang teguh. Mereka juga percaya jika satu prinsip telah
berhasil diketahui dan telah dinyatakan valid, maka selamanya ia akan diyakini
sebagai kebenaran selama kondisi dan situasinya relative sama.
Berkaitan dengan perilaku manusia, perspektif ini menyakini bahwa perilaku
manusia merupakan hasil bentukan dari factor luar yang sifatnya memaksa dan
berada di luar kesadarannya. Perilaku terbentuk dari hasil hubungan antara
stimulus – respon.
Penganut aliran ini menjunjung tinggi prinsip – prinsip obyektifitas semenjak
mereka meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran di luar sana. Para penganutnya
berupaya untuk membuat sebuah hukum universal yang mampu menjawab
berbagai macam fenomena perilaku manusia yang hadir dalam berbagai situasi.
Yakni dengan cara menguji hipotesis atau membuat hipotesis dan kemudian
membuktikannya atau mengujinya. Dalam pengujiannya ini, metode penelitian
yang secara umum digunakan adalah dengan menggunakan metode eksperimen
dan survey yang kerap digunakan dengan jenis penelitian kuantitatif.
….
….
Chapter I
Berbicara tentang Teori
1. Perbandingan Antara Pendekatan Glenn Dan
Marty Dalam Menganalisa Coca-Cola Diet
Komersil;
• Glenn Menggunakan Perspektif Objectif.
Ruang lingkup yang dibahas adalah efek media.
Glenn bermaksud menemukan bagaimana pesan
media massa mempengaruhi pikiran masyarakat,
nilai-nilai; perasaan, sikap, dan perilaku. Dalam riset
efek media, Glenn tertarik akan suatu gathering
support untuk prinsip umum yang menerapkan ke
seberang iklan.
• Marty Menggunakan Perspektif Interpretif.
Menurutnya iklan Coca-cola diet baik dipahami
sebagai suatu alegori. Alegori adalah suatu cerita
simbolis di mana ada dua pihak yang berarti luas dan
bermakna lebih spesifik. Intinya, dalam iklan tersebut
terdapat implikasi teks yang visual tampak bersih.
24
2. Pendekatan Objektif Dari Glenn Dan Interpretive
Dari Marty Telah Mendekati Ke Studi Komunikasi
Dengan Jelas Berbeda Pada Titik Awal, Metoda,
Dan Kesimpulannya.
• Menurut Glenn, seorang ilmuwan yang bekerja
keras dapat menjadi sasaran. Seluruh bab pengantar
ini menurut Glenn akan menggunakan terminologi
yang dapat diolah lagi.
• Menurut Marty, seorang kritikus retoris yang
mengerjakan ilmu interpretive.
3. Menemukan Kebenaran Melawan Menciptakan
Multipe Kenyataan.
“What’s truth?” Para ilmuan mengasumsikan
bahwa kebenaran adalah bentuk tunggal. Kenyataan
"diluar sana" penantian untuk menemukan sesuatu
melalui panca indera penglihatan, suara, sentuhan,
perasa, dan penciuman. Para ilmuwan juga mencari
kebenaran interpretive, tetapi mereka jauh lebih
bersifat sementara tentang kemungkinan menyatakan
kenyataan yang bersifat objektif.
5. Metode Penelitian : Eksperimen, Survei, Analisis
Tekstual, dan Etnografi.
Suatu mengadakan percobaan untuk
menetapkan suatu cause-and-effect secara berurutan
dengan sistematis dalam menggerakkan satu variabel
dalam situasi yang terkendalikan untuk mengetahui
efeknya pada variabel lain. Menggunakan daftar
pertanyaan atau melaksanakan wawancara, penelitian
survei bersandar pada data laporan diri untuk
menemukan orang-orang yang berpikir, merasakan,
atau berniat untuk melakukan sesuatu. Metodologi
survei juga membantu ilmuwan dalam mengesahkan
teori. Tujuan dari analisa tekstual adalah untuk
menguraikan dan menginterpretasikan karakteristik
suatu pesan. Ahli teori komunikasi menggunakan istilah
ini untuk mengacu pada ungkapan yang simbolis lisan
atau pun bukan lisan/tulisan. Etnografi adalah bukan
suatu ilmu pengetahuan yang bersifat percobaan dalam
mencari hukum, akan tetapi suatu interpretive dalam
mencari maksud tertentu.
….
….
Halaman 17
Para Ilmuwan klasik yang meyakini paham filsafat determinisme, yakin bahwa
teori dan riset itu bisa dan harus bebas nilai, dan karenanya para ilmuwan dalam
kelompok ini harus menjadi ilmuwan yang obyektif serta netral, tidak dipengaruhi
oleh nilai-nilai (agama, norma dan lain sejenisnya) dalam proses kerja ilmiahnya.
Jika tidak maka riset yang dilakukannya akan menghasilkan bad science. Menurut
Peursen (1985 : 4), pendirian bahwa ilmu itu obyektif serta netral, sebetulnya
merupakan alat untuk mempertahankan keadaan dan cara berfikir, pendirian yang
dipengaruhi oleh ideologi konservatif. Ilmuwan dalam kelompok ini
diistilahkannya dengan positivistis.
Meskipun begitu, ada yang berbeda paham dalam menilai posisi nilai tersebut
dalam proses bekerjanya ilmu. Mereka ini adalah ilmuwan dari kelompok
interpretif/humanis (istilah Griffin) atau ritual (istilah Mc Quail). Ilmuwan
demikian meyakini bahwa manusia itu memiliki kemauan bebas dan karenanya
ilmuwan tidak bebas nilai dalam melakukan proses kerja ilmu. Kelompok
ilmuwan yang diistilahkan Peursen (1985 : 4) dengan ilmuwan ideologis ini
(istilah yang juga digunakan oleh Neuman (2000 :5), dianut oleh para Marxis dan
Neo Marxis, tapi di antara mereka ada juga yang bukan Marxis dan Neo-Marxis.
Dalam kaitan kelompok ideologis atau interpretif dimaksud, Griffin (2003 : 9-10)
sendiri berkomentar, bahwa para sarjana tersebut menyebutkan diri mereka
dengan variasi nama yang membingungkan. Ada yang menyebut henneneuticists,
poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada
yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Teoritisi James Anderson dari
Universitas Utah, seorang yang berberspektif postmodernisme, sebagaimana
dikutip Griffin, mengemukakan penilaiannya dengan suatu pengandaian berlalu
lintas terhadap keragaman nama tadi : “Dengan jumlah yang sangat besar dari
komunitas interpretif ini, maka nama-nama suka tertukar, patroli perbatasan
menjadi sia-sia dan pelanggaran terus berkelanjutan. Para anggota, bagaimanapun,
sering melihat perbedaan-perbedaan yang nyata sifatnya.” Keluhan terhadap
kalangan ideologis ini, juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dari Robert Ivie,
editor senior pada Quaterly Journal of Speech, dan karenanya ia menyarankan
bahwa kritik-kritk retorikal hendaknya dilakukan dengan menggunakan teori
dengan cara ini : “Kita tidak bisa melakukan kritik retorikal realitas sosial tanpa
memanfaatkan suatu panduan teori retorikal yang menjelaskan secara umum
kepada kita tentang apa yang harus dicari di dalam kenyataan sosial, apa yang
harus diperbuat terhadap kenyataan sosial itu, dan whether to consider it
significant.“ (dalam Griffin, 2003 : 14).
Dengan telaah aksiologis tadi, kiranya memberikan pengertian bahwa melalui
wacana nilai telah memunculkan perspektif yang berbeda dalam cara memperoleh
ilmu pengetahuan, dengan mana juga mengelompokkan akademisi ke dalam dua
bagian, kelompok scientific/obyektive/ positivistis dan
interpretif/humanis/ideologis. Menurut Griffin (2003 : 10), pemisahan pandangan
sarjana interpretif dan ilmuwan obyektive ini mencerminkan asumsi yang kontras
tentang bagaimana cara pemerolehan pengetahuan, inti dari sifat manusia,
pertanyaan-pertanyaan mengenai nilai, tujuan utama teori, dan methode
penelitian.
Perbedaan perspektif yang kontras dari dua kelompok ilmuan tadi, di sisi lain
sekaligus juga dapat menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kualitas teori
komunikasi. Dalam scientific/objektive theory, tolok ukur yang membuatnya
menjadi sebuah teori yang bagus terdiri dari lima standard; 1. penjelasan data; 2.
Perkiraan terhadap peristiwa-peristiwa yang akan datang; 3. kesederhanaan relatif
(relative simplicity); 4.Hipotesis yang dapat diuji, a good objektive theory is
testable. dan 5. Kegunaan praktis teori. A good objektive theory is useful.
Sementara dalam interpretive/ humanistic theory, ukuran kebagusannya adalah : 1.
New understanding of people; 2. Clarification of values; 3. Aesthetic appeal; 4.
Community of Agreement dan kle 5. Reform of Society (Lihat, Griffin, 2003 : 39-
47).
Bagi akademisi ilmu komunikasi, pemahaman terhadap kedua pendekatan beserta
standard kebaikannya itu, tentu menjadi penting karena bisa membantunya, antara
lain dalam memutuskan pendekatan yang akan dijadikan sebagai petunjuk dalam
melakukan studi –studi komunikasi.
Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang
bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam
berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya
pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan
istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya
menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut
“ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan
cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.
Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya
pemikiran teoritis, maka kodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago
School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori
komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian
dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode
survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha
dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam,
yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya
adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai
pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para
Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max
Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, adalah para
pemikir yang meyakini bahwa ilmu itu tidak bebas nilai dan pandangan mereka
ini banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu
tersebut, perspektif teoritisnya terutama dibedakan oleh soal pengakuan value
dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.
Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam
proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan
yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan
istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari
model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang
menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional
atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya
ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni
model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses
seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan
Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan
transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific
(Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang
digambarkan oleh Mc Quail.
Guna tidak membingungkan dan memudahkan akademisi komunikasi dalam
memahami perbedaan di antara kedua model, dalam bukunya Griffin mencoba
menganalogikan dua akademisi yang dimintanya menanggapi fenomena cita-cita
anak mengenai pekerjaan dalam Iklan Superbowl itu, dengan dua perancang mode
pakaian. Glenn yang Objective mungkin akan menjahit suatu mantel yang pantas
untuk semua orang pada berbagai kesempatan dengan baik, satu ukuran cocok
untuk semua. Di pihak lain maka Marty yang interpretif/humanis mungkin
mengaplikasikan prinsip dari desain fhasion-nya ke gaya suatu mantel yang dibuat
untuk perorangan, untuk klien tunggal - satu orang satu tipe pakaian, kreasi
tertentu yang khas untuk seseorang. Glenn mengadopsi suatu teori dan kemudian
mengujinya untuk melihat apakah itu bisa mencakup semua orang. Sementara
Marty menggunakan teori untuk membuat perasaan yang unik dari event-event
komunikasi.(Griffin, 2003 :14) ........ Ahli teori obyektif pada umumnya
mengedepankan efektifitas dan partisipasi ditempatkan di belakang. Ahli teori
Interpretif cenderung memusatkan pada partisipasi dan mengurangi peran ke-
efektivitas-an (Griffin, 2003 :14). Jadi, ada perbedaan yang kontradiktif di antara
ilmuwan obyektif dan interpretif dalam cara memperoleh pengetahuan ilmu.
Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut“ideologi” sebagai landasan
epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka
ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang
dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau jenis-
jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual
Domains of Communication Theory.
Untuk gagasan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima:
1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori
interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis
pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile
Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam
falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada
perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan
pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam
ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang
sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian
genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks, misalnya
seperti teks pada iklan cita-cita anak dalam iklan seperti dicontohkan Griffin,
sebagaimana disinggung sebelumnya. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah
para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis,
deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang
menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis
teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max
Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.
Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan
berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan
yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang
melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut
pandang (angel) terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan
dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada
masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran
yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai
obyek forma dari ilmu komunikasi.
Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre
itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories
dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh
landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang
dipelopori A. Comte (1798-1857) (Poedjawijatna, 1983 :94). Dengan demikian,
komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke
komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model
transmisinya.
Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and
functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural
berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi,
terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian
dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa
kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama
dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai
tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science.
Diketahui pula, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif,
dinilai sangat berperan dalam kedua genre ketika ilmu komunikasi berupaya
menemukan kebenarannya.
Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka
pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive
theories dan crical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini
berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang
memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan
sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-
manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya
dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan
komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan
komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan
partisipan. Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan
sebagai sebuah proses pertukaran makna.
Ragam perspektif yang ada di dalam melihat teori komunikasi di atas kiranya
mengindikasikan kalau upaya menemukan tori komunikasi yang sifatnya
mengandung makna seumum-umumnya (meta theory) itu begitu sulit. Dalam
kaitan ini Littlejohn berpendapat bahwa memang ini menjadi salah satu
kelemahan ilmu, termasuk ilmu komunikasi. Kelemahan ini dimungkinkan karena
daya tangkap indra manusia terbatas, dan karenanya ilmu hanya bisa
mengobservasi fenomena-fenomena indrawi yang bersifat fragmentaris. Kalaupun
ada ilmuwan yang berupaya mencoba mempelajari secara non fragmentaris,
sebagaimana halnya dilakukan oleh disiplin ilmu filsafat dengan cara berfikir
kritis, ekstrim dan universal, maka upaya ini sudah ke luar dari tradisi ilmu
pengetahuan dalam menemukan kebenarannya yang nota bene bertolak dari data
empirik. Jadi, upaya ilmu filsafat tadi, tetap saja tidak dapat menolong ilmu untuk
dapat menelaah obyeknya secara non fragmentaris.
Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang tebatas sifatnya, terbatas pada obyek
formanya dan karenanya pula para filsuf menyebutnya dengan ilmu-ilmu khusus,
atau ilmu tentang ada khusus, kata Poedjawijatna. Namun, sebagai ilmu khusus
maka ilmu pengetahuan juga berupaya mempelajari obyek formanya itu melalui
pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh ilmu filsafat. Tujuannya tak lain
adalah agar mendapatkan pengetahuan yang seumum-umumnya tentang obyek
forma yang dipelajari. Upaya ini sendiri dilakukan ilmu melalui salah satu cabang
ilmunya sendiri, yakni filsafat ilmu pengetahuan sebagai pure science-nya sebuah
ilmu pengetahuan. Melalui telaah aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi,
filsafat ilmu komunikasi berusaha menemukan kebenaran seumum-umumnya
tentang obyek forma ilmu komunikasi, human communication. Meskipun
demikian, dalam prosesnya kebenaran mutlak tetap saja bukan menjadi sesuatu
yang mesti diwujudkan sebagai titik akhir dari proses. Upaya yang tidak mungkin
dilakukan sehubungan dengan keterbatasan manusia inipun, seyogyanya disadari
sebagai embrio yang menjadikan sesama ilmuwan bisa saling menghargai dalam
upaya angel masing-masing dalam menemukan kebenaran ilmu komunikasi. Lagi
pula, seperti dinyatakan Anderson, "kebenaran adalah perjuangan, bukan status ".
Jadi, tidak ada kebenaran indrawi yang berhenti pada satu titik, kecuali kebenaran
dogmatis agama yang berasal dari Tuhan.
Kebenaran ilmu pun begitu, seperti halnya dengan ilmu komunikasi. Dalam kaitan
kelemahan ilmu yang demikian, Littlejohn (2005, 17) berkomentar, “All theories
are abstactions. They always reduce experience to a set of categories and as a
result always leave something out. A theory focuses on certain things and ignores
others. This truism is important because it reveals the basic inadequacy of any one
theory. No single theory will ever reveal the whole “truth” or be able to totally
address the subject of investigation. Theories are also created by people, not
ordained by God. When scholars examine something in the world, they make
choices- about how to categorize what they are observing, what to name the
concepts upon which they have focused, how broad or narrow their focus will be,
and so on. Thus, theories represent various ways observers see their environments
more than they capture reality than a record of scholars’ conceptualizations about
that reality. (2005, 17).
Secara praktis, ketiga komponen yang menjadi fokus telaah dalam asumsi
filosofis sebelumnya, sebenarnya terkandung di dalam semua pengetahuan,
termasuk pengetahuan biasa. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta
sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan
dilaksanakan. Namun, dari semua pengetahuan, pengetahuan ilmu merupakan
pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya telah jauh
lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Lihat, Suriasumantri, 1984 :
33).
Apa yang dikatakan Suriasumantri itu, khusus terkait dengan ilmu komunikasi
misalnya, maka berdasarkan indikasi yang ada memang relevan dengan
pernyataan Suriasumantri tadi. Pada aspek ontologis, maka indikasinya berupa
cukup jelasnya obyek kajian ilmu komunikasi itu, yakni proses human
communication yang dikatakan Littlejohn sebelumnya terjadi dalam lima
tingkatan ; interpersonal, kelompok, publik, organisasi, dan massa. Pada aspek
epistemologis, indikasinya berupa terdapatnya beberapa pendekatan dalam
menelaah obyek kajian ilmu komunikasi ; misalnya berdasarkan perspektif
scientific/obyektive versus interpretif-humanistic, atau transmisi versus ritual.
Sementara pada aspek aksiologis, indikasinya berupa kemunculan dua kubu dalam
akademisi komunikologi dalam kaitan value dengan ilmu, yakni kubu free value
(neutral) yang tergabung dalam kelompok
positivistis/obyektif/scientifis/tradisional/konservatif dan kubu not free value
(tidak bebas nilai) atau yang mengakui eksistensi free will dalam diri manusia
yang tergabung dalam kelompok interpretif/humanis/ritual/ideologis.
Akan tetapi, berkaitan dengan pernyataan Suriasumantri tentang “dilaksanakan
secara konsekuen dan penuh disiplin”, tadi, maka berdasarkan fenomena
akademik mengindikasikan kalau pernyataan ini masih relatif banyak tidak
berkesesuaian. Ini terlihat dari rancangan atau penelitian yang dibuat, atau skripsi
maupun tesis yang dibuat akademisi komunikasi.
Bentuk-bentuk karya ilmiah yang nota bene mengandung asumsi-asumsi filosofis
ilmu tersebut, dengan mana elemen ontologis tercermin melalui masalah pokok
penelitian, epistemologis tercermin melalui methode penelitian dan elemen
aksiologis tercermin melalui tujuan dan manfaat penelitian, kerap terlihat tidak
memiliki konsistensi (taat asas) di antara ketiga unsur tadi. Inkonsistensi atau
pengingkaran asas ini biasanya lebih sering muncul dalam kaitan komponen
ontologis dan epistemologis. Sebagai contoh misalnya disain riset yang dilakukan
Lembaga Riset Inpendam Yogyakarta terhadap fenomena konflik sosial dalam
kaitannnya dengan komunikasi. Inkonsistensi terjadi ketika lembaga tersebut tidak
menggunakan mainstream ilmu komunikasi dalam menelaah konflik sosial,
melainkan dengan mainstream sosiologi an sich. Contoh lain yang paling sering
terjadi adalah pada pembuatan skripsi. Dalam menelaah efek media massa
misalnya, berdasarkan rumusan masalahnya sudah jelas khalayak media
diposisikan sebagai individu aktif. Namun dalam proses pembuatan kerangka
teori, hipotesis, methode dan instrumennya, bukan bersandar pada perspektif
paradigma khalayak aktif melainkan pada perspektif khalayak pasif, atau
bersandar pada teori efek media yang linier.
……..
………….
erbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok tradisi
komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau penelitian
komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan. Setiap teori
menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum dapat
dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu objektif dan
interpretatif.
1. Objektif
Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif
(objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan
kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat dunia sedemikian rupa sehingga
peneliti lain yang menggunakan cara atau metode melihat yang sama akan
menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau
penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis
sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences).
Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian
empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan disini bahwa apa
yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif
masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.
2. Interpretatif
Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan humanistic
scholarship. Jika metode objektif (penelitian kuantitatif/kualitatif) bertujuan
membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif)
berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk
mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti maka
para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu.
Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah cukup
untuk dapat menjelaskan ‘misteri’ pengalaman manusia sehingga diperlukan
unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada
dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus
umum.
Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi oleh Robert Craig tersebut, ketujuh
tradisi teori komunikasi tersebut ada yang bersifat objektif dan yang bersifat
interpretatif. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pandangan Griffin melalui
peta tradisi teori komunikasi sebagai berikut:
Sumber:
EM Griffin, dan Glen McClish (special consultant), A First Look At
Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003. Hal 33.
….
…
1. Survei
Yakni metode penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen
pengumpulan datanya dengan tujuan memperoleh informasi tentang sejumlah
responden yang dianggap mewakili populasi tertentu. Survei ini terdiri dari:
a. Survei Deskriptif
Jenis survei yang digunakan untuk menggambarkan populasi yang sedang diteliti.
Fokus penelitian ini adalah perilaku yang sedang terjadi dan terdiri dari satu
variabel. Misalnya menggambarkan variabel sosiodemografis responden dalam
riset “Bagaimana karakteristik sosiodemogafis pembaca Kompas?”, maka peneliti
akan menggambarkan tingkat pendidikan responden, tingkat penghasilan, agama,
jenis kelamin, tempat tinggal, usia, status perkawinan dan lain-lain
b. Survei Eksplanatif (Analitik)
Jenis survei ini digunakan untuk mengetahui mengapa situasi atau kondisi tertentu
terjadi atau apa yang mempengaruhi terjadinya sesuatu. Peneliti tidak sekedar
menggambarkan terjadinya fenomena tapi menjelaskan mengapa fenomena itu
terjadi dan apa pengaruhnya. Dengan kata lain, peneliti ingin menjelaskan
hubungan antara dua variabel atau lebih dan membuat hipotesis sebagai asumsi
awal untuk menjelaskan hubungan antar variabel yang diteliti. Analisis data
menggunakan uji statistik inferensial. Misalnya seorang praktisi iklan ingin
mensurvei apakah frekwansi terpaan iklan mempengaruhi keinginan orang untuk
membeli produk yang diiklankan.
Survei Eksplanatif ini terbagi dua yaitu:
1) Komparatif: bermaksud untuk membuat komparasi (perbandingan) antara
variabel yang satu dengan lainnya yang sejenis. Misalnya: “Apakah ada perbedaan
antara tingkat kepuasan pembaca Tribun dan Batam Pos?”
2) Asosiatif: Bermaksud untuk menjelaskan hubungan (korelasi) antar variabel.
Misalnya: “Apakah ada hubungan antara terpaan media massa dengan
pengetahuan politik mahasiswa?”
2. Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti atau menganalisis isi
komunikasi secara sistematik, objektif dan kuantitatif. Sistematis berarti proses
analisis tersusun secara sistematis mulai dari penentuan isi komunikasi yang
dianalisis, cara menganalisisnya maupun kategori yang dipakai untuk
menganalisisnya. Objektif berarti peneliti harus mengesampingkan faktor-faktor
yang subjektif atau personal sehingga hasil analisis benar-benar objektif dan bila
diteliti peneleti lain hasilnya relatif sama. Analisis ini harus dikuantitatifkan ke
dalam angka-angka, misalnya “70% berita berita Kompas selama setahun adalah
bertema politik”.
Analisis isi kuantitatif lebih memfokuskan pada isi komunikasi yang tampak
(tersurat/manifest/nyata). Sedangkan untuk menjelaskan hal-hal yang tersirat
(latent), misalnya ideologi dibalik berita dilakukan analisis isi kualtatif, seperti
analisis framing, analisis wacana dan semiotika yang telah banyak berkembang di
dalam Ilmu Komunikasi.
3. Metode Eksperimen
Yaitu metode yang digunakan untuk meneliti hubungan atau pengaruh sebab
akibat dengan memanipulasi satu variabel atau lebih pada pada satu kelompok
ekperimental atau lebih, dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol
yang tidak mengalami manipulasi. Peneliti harus membagi responden dalam 2
kelompok. Kelompok yang satu dimanipulasi dengan pesan tertentu, dan
kelompok dua yang tidak dimanipulasi. Kemudian peneliti melihat efek
manipulasi tersebut terhadap kelompok satu dengan membandingkannya dengan
kelompok dua. Contoh, judul penelitian: “Pengaruh tayangan kekerasan di TV
terhadap perilaku agresif anak”. Kelompok anak yang satu disuruh menonton
tayangan kekerasan di TV, sedangkan kelompok dua disuguhi acara ringan seperti
komedi atau acara ringan lainnya. Kelompok satu disebut kelompok
eksperimental, kelompok dua disebut kelompok kontrol. Jika kekerasan diukur
dengan perilaku memukul, menendang, mencubit dan yang lainnya, bila anak-
anak yang setelah menonton tayangan kekerasan di TV ketika diamati banyak
yang memukul, menendang, mencubit, berarti terbukti bahwa acara kriminal
tersebut telah mempengaruhi perilaku agresif pada anak-anak.
…
…