regionalisme sejarah perkembangan integrasi eropa
TRANSCRIPT
Regionalisme: Sejarah Perkembangan Integrasi Eropa
Bab I
Pendahuluan
Dalam kajian ilmu Hubungan Internasional, regionalisme menjadi pembahasan yang
mulai mendapatkan perhatian dikalangan para ilmuwan hubungan internasional. Mulai dari
perang dunia pertama yang kemudian menjadikan para ilmuwan HI menelurkan teori liberalisme
yang menekankan pada aspek kerjasama internasional, interdependensi, kerjasama, dan
perdamaian yang dikarenakan kondisi internasional pada waktu itu sedang dilanda perang. Kaum
liberal percaya bahwa pada dasarnya manusia menginginkan damai, sehingga, kerjasama adalah
pilihan terbaik untuk mencapai tujuan damai tersebut. seperti halnya ide Woodrow Wilson
meyakini bahwa melalui organisasi internasional yang didesai secara rasional dan cerdas adalah,
adalah mungkin untuk mengakhiri perang dan mencapai perdamaian.[1] Ide-ide liberalisme ini
kemudian terwujud atas usulan Woodrow Wilson dengan berdirinya Liga Bangsa-Bangsa pada
tanggal 20 Januari 1919.[2]
Akan tetapi berdirinya Liga Bangsa-Bangsa ini tidak bertahan lama, hanya selang
beberapa tahun, yaitu pada 1939 terjadi perang dunia kedua yang dipelopori oleh Jerman. Hal ini
terjadi karena ketidak mampuan organisasi internasional dalam menangkal kekuatan Jerman
yang sedang maju. Akan tetapi peristiwa ini tidak membuat pesimis kaum liberal, mereka tetap
meyakini bahwa manusia pada dasarnya menginginkan perdamaian, dan organisasi internasional
tetap menjadi faktor pendukung untuk mewujudkan perdamaian karena dengan terbentuknya
organisasi internasional maka akan tercipta interaksi transnasional.
Seperti yang dikatakan Karl Deutsch, bahwa derajat hubungan transnasional yang tinggi
anatara berbagai masyarakat mengakibatkan hubungan damai yang memuncak lebih dari sekedar
ketiadaan perang (Deutsch 1957). Keadaan tersebut menuju pada komunitas keamanan:
“sekolompok masyarakat yang telah menjadi terintegrasi”. Integrasi berarti bahwa “rasa
komunitas” telah dicapai; masyarakat bersepakat bahwa konflik dan masalah mereka dapat
diselesaikan tanpa mengarah pada kekuatan fisik skala besar (Deutsch 1957:5).[3]
Berakhirnya perang dunia kedua telah merubah warna dalam studi hubungan
internasional, khusunya dalam kaitannya dengan integrasi dan regionalisme. Pada masa ini,
muncul teori neo-liberalisme yang mengasumsikan bahwa kerjasama yang dibangun tidak lagi
hanya untuk mereduksi perang dan menciptakan perdamaian, akan tetapi lebih dari itu, untuk
memenuhi kepentingan bersama melalui kerjasama ekonomi. Teoritisi kaum liberal terinspirasi
oleh proses integrasi yang sedang berlangsung di Eropa Barat pada tahun 1950an. Mereka
melihat bahwa integrasi adalah suatu kerjasama yang lebih intensif, yaitu aktivitas-aktivitas
fungsional lintas batas seperti perdagangan, investasi, dan lain-lain.[4]
Ditahun 1970-an Robert Keohane dan Joseph Nye mengembangkan pemikiran dari Karl
Deutsch. Mereka berpendapat bahwa hubungan anatar negara-negara barat (termasuk jepang)
dicorakkan oleh interdependensi kompleks (Complex Interdependence): ada banyak bentuk
dalam hubungan antar masyarakat sebagai tambahan pada hubungan politik pemerintah,
termasuk kaitan transnasional di antara perusahaan-perusahaan bisnis.[5]
Sebelum memasuki pembahasan mengenai integrasi yang terjadi di Eropa, menurut
penulis dibutuhkan pemahan tentang latarbelakang mengenai sejarah integrasi itu sendiri yang
kemudian tersistematiskan dalam regionalisme. Sehingga pemahaman mengenai integrasi Eropa
lebih mudah dipahami.
Bab II
Kerangka Teori
Dalam studi Hubungan Internasional, Regionalisme memiliki irisan studi yang sangat
erat dengan ‘Studi Kawasan (Area Studies)’. Oleh karena itu, definisi tentang regionalisme akan
banyak mengambil dari definisi-definisi yang berkembang dalam Studi Kawasan. Menurut
Mansbach, regionatau kawasan adalah “Pengelompokan regional diidentifikasi dari basis
kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling
menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional”.(Raymond F.
Hopkins dan Richard W. Mansbach:1973).
Sementara itu, menurut Coulumbis dan Wolfe, dalam bukunya yang
berjudul Introduction to International Relation, Power and Justice, terdapat empat cara atau
kriteria yang bisa dipergunakan untuk mendefinisikan dan menunjuk sebuah kawasan
atau region yang sebenarnya sangat ditentukan oleh tujuan analisisnya. Keempat kriteria tersebut
adalah:[6]
1. Kriteria geografis: mengelompokan negara berdasarkan lokasinya dalam benua, sub-
benua, kepulauan dan sebagainya seperti Eropa dan Asia.
2. Kriteria politik/militer: mengelompokan negara-negara dengan berdasarkan pada
keikutsertaannya dalam berbagai aliansi, atau berdasarkan pada orientasi ideologis dan
orientasi politik, misalnya blok sosialis, blok kapitalis, NATO dan Non-Blok.
3. Kriteria ekonomi: mengelompokan negara-negara berdasarkan pada kriteria terpilih
dalam perkembangan pembangunan ekonomi, seperti, GNP, dan output industri,
misalnya negara-negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang atau
terbelakang.
4. Kriteria transaksional: mengelompokan negara-negara berdasarkan pada jumlah
frekuensi mobilitas penduduk, barang, dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan
berita. Contoh ini dapat pada wilayah Amerika, Kanada, dan Pasar Tunggal Eropa.
Kemudian, Bruce Russet[7] juga mengemukakan kriteria suatu region, yaitu:
1. Adanya kemiripan sosiokultural;
2. Sikap politik atau perilaku eksternal yang mirip, yang biasanya tercermin pada voting
dalam sidang-sidang PBB;
3. Keanggotaan dalam organisasi-organisasi supranasional atau antar pemerintah;
4. Interdependensi ekonomi, yang diukur dengan kriteria perdagangan sebagai proporsi
pendapatan nasional; dan
5. Kedekatan geografik, yang diukur dengan jarak terbang antara ibukota-ibukota negara-
negara tersebut.
Selain itu, perlu ada pemahaman mengenai proses integrasi, menurut Martin Griffiths,
integrasi dapat didefinisikan dalam empat hal yaitu:[8]
1. Pergerakan menuju kerjasama antar negara;
2. Transfer otoritas kepada institusi supranasional;
3. Peningkatan penyamaan nilai-nilai; dan
4. Perubahan menuju masyarakat global, pembentukan komunitas masyarakat politik yang
baru.
Sebagian para ahli menganggap integrasi sebagai sebuah ‘proses’, ketika beberapa unit
melebur menjadi satu unit atau minimalnya beberapa fungsi tertentu dari beberapa unit
bergabung di bawah satu atap koordinasi.[9] dalam suatu proses akan melahirkan suatu hasil,
maka hasil dari suatu integrasi adalah terciptanya komunitas politik dan masyarakat yang
terintegrasi. Lebih jauh lagi, proses integrasi akan meningkatkan rasa saling ketergantungan
terhadap sistem yang lebih luas lagi.
Kerangka teori ini akan mempermudah kita dalam memahami integrasi yang terjadi di
Eropa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa integrasi dapat terjadi karena beberapa
hal. Secara garis besar, kedekatan emosional adalah faktor dominan dalam pelaksanaan proses
integrasi, sepertihalnya kemiripan budaya, kedekatan letak geografis, dan perkembangan sejarah
yang sama. Selain itu ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya proses integrasi, yaitu
persamaan dalam sikap politik dan kepentingan, interdependensi ekonomi, dan keuntungan yang
akan diraih melalui kerjasama.
Jika teori ini dikaitkan dengan integrasi Eropa, maka kita dapat memahami
latarbelakang negara-negara Eropa dalam berintegrasi. Sudah jelas bahwa mereka (negara-negara
di Eropa) berada dalam satu wilayah yang sama (benua Eropa), mereka juga memiliki sejarah
yang sama yaitumengalami masa-masa kelam dalam kaitannya dengan peperangan, yaitu perang
salib, perang dunia pertama dan perang dunia kedua yang juga melibatkan negara-negara di
Eropa. Kemiripan budaya dan agama juga mempengaruhi proses integrasi di Eropa yaitu yang
sebelumnya Islam telah masuk ke beberapa negara Eropa kemudian Kristen kembali mengambil
alih pengaruhnya di Eropa, hal ini dapat menggambarkan bagaimana Eropa telah memiliki
perkembangan sejarah dan budaya yang sama. Pada perkembangan selanjutnya, kesamaan tujuan
dari negara-negara Eropa untuk menciptakanperdamaian yang dipengaruhi oleh pemikiran
liberalisme sangat menentukan bagi kemajuan integrasi di Eropa. Bahwa dalam pandangan
liberalisme perdamaian akan tercipta melalui kerjasama internasional, dan kerjasama
internasional tersebut kemudian membentuk organisasi internasional yang menciptakan hukum
internasional demi keteraturan dalam tatanan dunia internasional.
Kesamaan tujuan untuk damai ini merangsang negara-negara Eropa untuk membentuk
kerjasama dengan tujuan menghindari terjadinya perang, hal ini tidak lepas dari
pengalaman ataspeperangan yang pernah berlangsung di Eropa. Integrasi Eropa diawali dengan
kerjasama ekonomi dan pada perkembangan selanjutnya membentuk organisasi supranasional
yang sekarang ini dikenal dengan Uni Eropa.
Bab III
Perkembangan Integrasi di Eropa
a. Sejarah Terbentuknya Uni Eropa
Pengalaman buruk mengenai peperangan membuat bangsa Eropa mengembangkan
berbagai kemungkinan untuk melakukan kerjasama guna menghindarkan berulangnya
peperangan di kawasan ini. Terdapat beberapa organisasi regional yang tumbuh dikawasan ini
sebagai wujud keseriusan bangsa Eropa untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih damai.
Tahapan mencapai integrasi Eropa seperti sekarang melalui proses yang cukup panjang
dimulai dari pembentukan European Coal and Steel (ECSC), European Economic
Community (EEC), dan European Atomic Community (Euratom), kemudian berkembang
menjadi European Union (Uni Eropa) seperti saat ini.
Langkah awal integrasi Eropa sudah dimulai secara legal formal melalui
pembentukancustoms unions Benelux antara Belgia, Netherland (atau Belanda) dan Luxemburg
yang mulai beroperasi pada Januari 1948. Selanjutnya Menteri Luar Negeri Perancis, Robert
Schuman, mengusulkan penyatuan produksi dan perdagangan batu bara dan baja antara Perancis
dan Jerman dengan pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC). Tujuannya
adalah untuk menyatukan produksi dan transportasi batu bara dan baja dari negara-negara Eropa
yang meratifikasi perjanjian kerjasama tersebut dari kontrol nasional ke pengawasan
supranasional. Ide dibalik itu adalah mengikat Jerman secara ekonomi dan politik untuk
menghindari munculnya Jerman sebagai ancaman terhadap perdamaian di kawasan
tersebut. Schuman Plann menjadi kenyataan ketika 18 April 1951, negara Perancis, Jerman
Barat, Italia, Belgia, Belanda, dan Luxemburg menandatangani European Coal and Steel
Community yang mulai diberlakukan tanggal 23 Juli 1952 hingga tahun 2002. Kemudian
perjanjian ini dikenal dengan perjanjian Paris 1952. Hasilnya adalah pembentukan ECSC dan
penghapusan rivalitas antara Jerman dan Peranci serta menjadi langkah awal pembentukan
‘Federasi Eropa’.[10]
Pada langkah selanjutnya, The Inner Six berambisi untuk melakukan perluasan Integrasi
-perluasaan wilayah dan perluasan kesemua bidang ekonomi-. Ide ini terwujud pada 25 Maret
1957, dengan ditandatanganinya perjanjian Roma yang mengesahkan terbentuknya European
Economic Community (EEC) dan European Atomic Energy Community (EAEC, namun lebih
dikenal Euratom). Kedua perjanjian tersebut berlaku tahun 1958. Masing-masing organisasi itu
digabungkan berdasarkan traktat Brussels di bawah payung European Communities (EC).
Kesuksesan keenam negara tersebut membuat Denmark, Irlandia, dan Inggris mencalonkan diri
sebagai anggota komunitas tersebut dan menjadi anggota tetap pada tahun 1972. Kemudian
disusul dengan masuknya Yunani pada tahun 1981 serta Spanyol dan Portugis pada 1 Januari
1986.[11]
Ketika terjadi krisis ekonomi dunia pada tahun 1980an, hal ini memaksa anggota EC
melakukan berbagai perbaikan guna merespons perubahan yang terjadi. Dengan dasar proposal
yang diajukan oleh Jacques Delors (Ketua EC) pada 1985, EC merencanakan pembentukan pasar
tunggal (common atau single market). Pada 28 Februari 1986, ditandatangani The Single
European Act (SEA), ratifikasi oleh semua anggota pada 21 Maret 1987 dan pelaksanaannya
pada 1 Juli 1987.[12]
Peristiwa runtuhnya Tembok Berlin, diikuti dengan penyatuan Jerman Barat dan Jerman
Timur tanggal 3 Oktober 1990, terlepasnya Kontrol Uni Soviet, serta diikuti dengan pengaruh
demokratisasi di negara-negara Eropa Tengah dan Timur serta disintegrasi Uni Soviet pada
Desember 1991, mengubah interaksi negara-negara Eropa dengan mempererat hubungan dan
menegosiasikan traktat baru yang pokok-pokok utamanya disetujui pada Pertemuan Dewan
Eropa tanggal 9 dan 10 Desember 1991. Puncak negosiasi tersebut melahirkan Treaty on
European Union (TEU) yang ditandatanganidi Maastricht pada tanggal 7 Februari 1992 dan
mulai berlaku tanggal 1 November 1993. Traktat ini mengubah European
Community (EC) menjadi European Union (EU).
Dalam perkembangan untuk penyempurnaan Uni Eropa telah melalui proses dengan
terjadinya beberapa perjanjian, yaitu:[13]
1. Treaty on European Union di Maastricht pada 7 Februari 1992;
2. Treaty of Amsterdam di Amsterdam pada 17 Juni 1997;
3. Nice Treaty di Nice pada 7-9 Desember 2000;
4. Lisboa Treaty di Lisboa pada 13 Desember 2007;
b. Keanggotaan Uni Eropa
Uni Eropa telah menjadi ketertarikan bagi negara-negara Eropa yang belum bergabung,
sehingga merangsang mereka untuk mencalonkan sebagai anggota Uni Eropa. Hal ini
membuatbeberapa perjanjian yang diamandemen seringkali berkaitan dengan penambahan
anggota. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:[14]
1. 1957, Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Luxemburg dan Belanda (6 anggota awal).
2. 1973, Denmark, Irlandia dan Inggris.
3. 1981, Yunani.
4. 1986, Portugal dan Spanyol.
5. 1995, Austria, Finlandia dan Swedia.
6. 2002, Republik Ceko, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Siprus,
Republik Slovakia dan Slovenia.
7. 2007, Bulgaria dan Romania.
Sementara itu, Turki yang juga mengajukan untuk menjadi anggota Uni Eropa masih
alot dipertimbangkan keanggotaannya. Amggota Uni Eropa menuntut Turki untuk melakukan
reformasi politik dan ekonomi dalam negerinya agar memenuhi criteria standar Uni Eropa
(Copenhagen criteria). Namun hingga Maret 2010, Turki dan Uni Eropa baru menyepakati 12
bidang koordinasi Dario 35 bidang yang harus disepakati oleh setiap anggota Uni Eropa,
sementara 8 bidang lainnya ditundakan pembahasannya karena keadaan konflik di Cyprus.[15]
kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Defisit pemerintahan tidak boleh melampaui 3% dari GDP. Jika melampaui harus
dilakukan penurunan secara substansial dan terus-menerus hingga mencapai 3%.
2. Utang pemerintah tidak boleh melampaui 60% dari GDP. Jika tidak, rasio utang harus
diturunkan secara signifikan hingga bergerak ke level 60%.
3. Negara anggota harus mencapai stabilitasrata-rata nilai tukar sedikitnya selama dua
tahun menurut aturan yang ditetapkan oleh mekanisme rata-rata nilai tukar Eropa yang
menunjukkan level fluktuasi yang diperbolehkan.
4. Rata-rata nominal suku bunga jangka panjang yang diajukan oleh negara-negara
pengaju(applicant states) tidak boleh melebihi 2% rata-rata tingkat suku bunga.[16]
c. Struktur Organisasi Uni Eropa
Perkembangan Integrasi Eropa dapat dilihat dari terbentuknya Organisasi Uni Eropa
yang telah mampu mengatur segala aktivitas yang berlangsung antara negara-negara anggota Uni
Eropa. Setiap anggota telah sepakat untuk menyerahkan sebagian urusannya untuk diatur oleh
organisasi supranasional Uni Eropa, dan organisasi supranasional tersebut akan mengatur
kehidupan yang berlangsung di kawasan Eropa demi terciptanya ‘harmonisasi kepentingan’
seperti yang telah dicita-citakan liberalism. karena dengan begitu, tidak akan ada lagi konflik
kepentingan, dan perang akan dapat terhindarkan.
Untuk mengatur kehidupan yang kompleks itu, dibutuhkan struktur organisasi yang
kuat agar setiap aktivitas di kawasan Eropa mampu dikendalikan oleh organisasi supranasional.
Dan Uni Eropa telah memiliki struktur organisasi yang kuat dengan terbukti bertahannya Uni
Eropa sampai saat ini, dan strukteur Uni Eropa tersebut adalah sebagai berikut:
1. European Council (Dewan Eropa)
Dewan Eropa merupakan badan yang paling Supranasional dari seluruh badan yang ada
dalam tubuh Uni Eropa. Anggotanya terdiri dari kepala negara atau pemerintahan negara-negara
anggota Uni Eropa ditambah Presiden European Commission. Sistem kepresidenan ini berotasi
di antara para anggota. Dewan ini berperan dalam menginterpretasikan serta mengaplikasikan
perundangan yang berlaku di Uni Eropa dengan keputusan yang mengikat seluruh anggota Uni
Eropa.[17]
Dewan Eropa terdiri dari 15 orang hakim dan 9 orang advocate-general, ditunjuk untuk
masa jabatan enam tahun melalui persetujuan di antara negara-negara anggota Uni Eropa denga
kriteria ‘seseorang yang benar-benar independen tanpa keraguan sama sekali’.[18]
para hakim dari 15 negara memilih seorang president of the court atau pimpinan para
hakim dengan masa jabatan 1 tahun yang kemudian dipilih yang lain secara bergantian. Tugas
pentingnya adalah mengalokasikan kasus ke majelis, memilih judge rapporteur atau hakim
pelopor untuk masing-masing kasus, serta menetapkan jadwal untuk berbagai tahapan prosedur
serta waktu untuk hearingatau dengan pendapat.
Sedangkan kesembilan advocate-general berperan untuk mengumpulkan kasus-kasus
sebelum para hakim Mahkamah Eropa menetapkan keputusan serta juga memberikan saran legal
terhadap kasus tersebut.
2. European Commission[19]
European Commission merupakan badan eksekutif Uni Eropa. Komisi ini terdiri dari
27 komisioner. Mereka ditunjuk untuk jangka waktu empat tahun. Komposisi jumlah komisi ini
didasarkan pada komposisi jumlah penduduk. Sekretariatnya berada di Brussels: ‘The
Berlaymont Building’.
Komisi ini bertindak sebagai kabinet. Presiden komisi dipilih oleh European
Council setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan European Parliament. Menjabat selama
dua tahun dan bergantian diantara ke-15 negara tersebut. Setiap negara diwakili oleh 1 orang
komisioner yang membawahi badan administratif yang disebut Direktorat Jenderal.
Peran dan fungsi European Commission adalah sebagai berikut:
1. Memperkenalkan semua kebijakan termasuk draft lengkap dari proposal untuk
perundangan Uni Eropa.
2. Bertanggung jawab untuk meletakkan kebijakan Uni Eropa agar dilaksanakan sesaat
setelah disetujui untuk dilaksakan.
3. Mengawasi pelaksaan dari kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan.
4. Berperan sebagai suara hati dari Uni Eropa, memastikan semua kewajiban Uni Eropa
terpenuhi.
d. The council of Ministers
Dewan ini berkedudukan di Brussels, namun melakukan pertemuan di Luxemburg.
Dewan ini memungkinkan pemerintahan dari negara anggota ikut serta dalam pengambilan
keputusan di Uni Eropa dan merupakan badan pengambilan keputusan utama. Pimpinan dewan
berotasi diantara negara-negara setiap enam bulan. Dewan ini terdiri dari satu orang menteri
sebagai wakil dari masing-masing negara anggota.
Fungsi dari dewan ini adalah:
1. Hak atas inisiatif
2. Kekuasaan legislative
3. Mengawasi European Commission
4. Hak untuk menunjuk anggota dari lembaga-lembaga lain, seperti komite sosial dan
ekonomi dan Mahkamah Auditor.
e. European Perliament
Merupakan badan legislative Uni Eropa. Pemilihan anggota parlemen dilakukan
melalui hak pilih universal secara langsung setiap lima tahun. Anggotanya berjumlah 626 kursi,
hal ini berdasarkan komposisi jumlah penduduk dari masing-masing negara anggota.
European Parliament memiliki peranan penting, yaitu:
1. Peran Legislatif, tidak membuat undang-undang, akan tetapi berperan dalam menyusun
usulan-usulan peraturan dalam Uni Eropa, memberikan petunjuk serta arahan terhadap
proposal yang diberikan oleh European Commission untuk melakukan perubahan
dalam proposal jika dirasa penting.
2. Peranan dalam Pengaturan Anggaran Belanja.
3. Peran sebagai Kekuatan Pendorong Politik, ini merupakan bagian penting dalam
parlemen, sebagai badan yang dipilih secara langsung, mewakili 344 juta suara.
4. Peran Pengawas, parlemen memiliki kekuatan untuk membubarkan seluruh komisi, serta
dapat menyediakan suara dua per tiga dari mayoritas yang dibutuhkan untuk dicapai.
Dengan memiliki struktur utama dalam organisasi Uni Eropa seperti yang telah
dijelaskan diatas, maka badan supranasional dapat secara maksimal untuk mengatur setiap
aktivitas dalam kawasan ini. Sehingga dalam berinteraksi secara transnasional maupun domestic
masyarakat Eropa dapat berhubungan dengan baik satu sama lain, apabila ada pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi, maka dengan segera badan supranasional menyikapi tindakan tersebut
melalui prosedur yang telah diatur dalam Uni Eropa.
Bab IV
Kesimpulan dan Analisa
Integrasi Eropa telah melalui proses yang panjang untuk sampai pada tahapan
pembentukan Uni Eropa saat ini. Perlu beberapa tindakan untuk menyatukan pemahaman tantang
perdamaian sehingga konsep integrasi yang dicita-citakan liberalism dapat diterima oleh negara-
negara di kawasan Eropa. Dalam sejarahnya, Eropa adalah kawasan yang sangat berpotensi
terjadinya konflik, hal ini dikarenakan peradaban yang tinggi sehingga setiap golongan ingin
menunjukkan eksistensinya dan menganggap masing-masing dari mereka adalah yang terbaik.
Cara menunjukkan eksistensinya itu adalah dengan cara memperlihatkan kekuatan mereka
masing-masing.
Perang salib adalah bukti bahwa antara peradaban Islam dan Keristen merasa mereka
adalah yang paling beradab dan paling kuat. Sehingga mereka menunjukkan kekuatan mereka
masing-masing. Pada perang dunia pertama, Jerman (Prusia) merasa paling kuat dan akhirnya
melakukan ekspansi keberbagai wilayah lain untuk memperluas wilayah kekuasaannya,
kemudian mendapat perlawanan dari wilayah-wilayah jajahannya seperti Astro –Austria dan
Hongaria-, dan perang pun akihrnya pecah keberbagai wilayah lainya seperti Perancis, Inggris,
dan Italia sampai Amerika serikat pun terlibat. Begitu juga pada perang dunia kedua, Jerman
masih merasa bahwa ia adalah negara terkuat dan paling tinggi peradabannya, sehingga Jerman
tetap melakukan ekspansi ke wilayah lain yang kemudian melibatkan negara-negara besar seperti
Perancis, Inggris, Italia, Belanda, dan Amerika Serikat dan kemudian terjadi perpecahan yang
signifikan diantara negara-negara di kawasan Eropa karena masuknya pengaruh komunisme.
Kemudian pengalaman-pengalaman ini membuat ide-ide perdamaian mulai dipikirkan
kembali seperti yang pernah dipikirkan oleh Imanuel Khan tentang Perpetual Peace. Maka
muncul pemahaman tentang liberalism dengan tujuan utamanya adalah untuk menciptakan
perdamaian melalui kerjasama-kerjasama antar negara. Woodrow Wilson adalah salah satu
pemikir awal tentang liberalism yang bercita-cita untuk perdamaian dunia, melalui kerjasama
dan organisasi internasional perdamaian akan tercipta. Maka integrasi Eropa sangat dipengaruhi
oleh paham liberalism, dan Uni Eropa adalah perwujudan dari ide-ide liberalism pada tingkatan
regional.
Integrasi Eropa sudah mendekati kesempurnaan dalam menciptakan perdamaian
diwilayah regional, 27 anggota Uni Eropa telah memberikan sebagian urusannya untuk diatur
oleh lembaga supranasional. Konsep yang dibangun oleh Woodrow Wilson tentang kerjasama
yang dilakukan secara terbuka, tidak adanya batasan dalam perdagangan, persenjataan direduksi
sampai pada tingkat terendah, mengupayakan terbentuknya asosiasi bangsa-bangsa, dan setiap
negara harus berbentuk republic dan demokratis sudah mulai dipraktekkan di Eropa.
Kita dapat melihat bahwa perdagangan bebas, negara demokratis, dan kerjasama yang
bersifat terbuka di Eropa sudah mencapai kesempurnaan dengan berada dibawah payung asosiasi
antar bangsa ditingkat regional. Akan tetapi Uni Eropa belum mereduksi persenjataannya dengan
masih tegaknya organisasi militer Uni Eropa (ditambah Amerika serikat), NATO. Hal ini karena
belum adanya kesamaan ide yang menyeluruh dari negara-negara diluar Uni Eropa. Melihat
situasi saat ini dimana negara-negara sedang gencar membangun proyek nuklir yang berpotensi
terciptanya senjata berbahan dasar nuklir.
Akan tetapi pada dasarnya bahwa ide Woodrow Wilson adalah integrasi yang
menyeluruh antar bangsa di dunia dengan membentuk organisasi internasional. Pertama kali
terwujud setelah perang dunia pertama dengan terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB),
kemudian runtuh dengan pecahnya perang dunia kedua, dan setelah itu terbentuk lagi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur segala bentuk aktivitas dunia, akan tetapi hal
ini tidak cukup kuat karena PBB tidak lebih kuat untuk mengatasi negara-negara yang ada
didunia, begitupula yang terjadi dengan LBB sebelumnya.
Apabila sistem internasional telah mampu seperti yang telah dilakukan oleh Uni Eropa,
maka kerjasama dan saling ketergantungan yang tinggi akan terwujud, dan perang dunia pun
akan dapat dihindarkan, tidak adanya kecurigaan satu sama lain karena setiap kerjasama
dilakukan secara terbuka. Tentu saja untuk mewujudkan ini negara-negara harus berbentuk
republic dan bersifat demokratis. Akan tetapi hal ini akan tetap menimbulkan polemik karena
masing-masing negara memiliki pandangan yang berbeda mengenai sifat dan bentuk negara.
Untuk itu masih sulit untuk terciptanya integrasi di tatanan dunia internasional secara
menyeluruh.