refarat toxoplasmosis serebral

19
BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN Referat : UNIVERSITAS HASANUDDIN Desember 2013 TOKSOPLASMOSIS SEREBRAL Disusun Oleh : MohdAfiq b. Husin C11109839 Ahmad Badrul AminC11109827 NurHidayahbintiAbdRahim C11109850 NurulRaihanAbdKadirC11109856 Pembimbing dr. Citra Dewi Supervisor dr.Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: jefrizalzain

Post on 21-Jan-2016

457 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refarat Toxoplasmosis Serebral

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN Referat :

UNIVERSITAS HASANUDDIN Desember 2013

TOKSOPLASMOSIS SEREBRAL

Disusun Oleh :

MohdAfiq b. Husin C11109839

Ahmad Badrul AminC11109827

NurHidayahbintiAbdRahim C11109850

NurulRaihanAbdKadirC11109856

Pembimbing

dr. Citra Dewi

Supervisor

dr.Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S, FINS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: Refarat Toxoplasmosis Serebral

I. PENDAHULUAN

Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang

pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses

serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii jugadapatmenimbulkanradang pada kulit,

kelenjar getahbening, jantung, paru,mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat

didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang

kurang masak.

Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan

berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang

merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini

merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler yang menginfeksi

sebagian besar populasi dunia dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi

otak pada pasien dengan HIV-AIDS. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan

dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS.

Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses

reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/µL atau

apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/µL tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya

atau malignansi. Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya

akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan

terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara

berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi.(1) Faktor resiko untuk terkena infeksi

toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya.

Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih

serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.[2]

Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A.

Page 3: Refarat Toxoplasmosis Serebral

II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada

ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan

dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik.Pada

umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada

perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari

makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang

merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa

secara praktis juga penting dalam penyebarannya.[9]

Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:

kucing 35-73 %,

babi 11-36 %,

kambing 11-61 %

anjing 75 %

ternak lain kurang dari 10 % .[9]

III. ETIOLOGI

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa olehkucing, burung dan

hewan lainyang dapat ditemukan pada tanahyang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada

daging mentahataukurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam sistemkekebalan, ia

menetap di dalamtubuhtetapi sistem kekebalan pada orangyang sehat dapat melawan parasit

tersebut hingga tuntasdandapatmencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi

bilamemakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandungoocyst (bentuk infektif

dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yangterkontaminasi ataukontak langsung dengan feses

kucing. Selain itudapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dantransplantasi

organ. Infeksi akut pada individu yangimmunokompeten biasanya asimptomatik. Pada

manusia denganimunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dariinfeksilaten. Yang

akan mengakibatkan timbulnya infeksiopportunistik dengan predileksi di otak.[6]

Page 4: Refarat Toxoplasmosis Serebral

Gambar 1 : Siklus Hidup Toxoplasmosis

Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis

Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuktrofozoit, kista, danOokista:

Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapatmenginvasi semua sel

mamalia yang memiliki inti sel.Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut

dariinfeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalamjaringan akan membelah

secara lambat dan disebutbradizoit.[6]

Gambar 2: Tachyzoit

Page 5: Refarat Toxoplasmosis Serebral

Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringandengan jumlah ribuan

berukuran 10-100 um. Kistapenting untuk transmisi dan paling banyak terdapatdalam

otot rangka, otot jantung dan susunan syarafpusat.[6]

Gambar 3 : Kista

Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yangberukuran 10-12 um. Ookista

terbentuk di sel mukosausus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feceskucing.

Dalam epitel usus kucing berlangsung siklusaseksual atau schizogoni dan siklus atau

gametogenidan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces

kucing. Kucing yangmengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresiakan

mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista initertelan oleh pejamu perantara seperti

manusia, sapi,kambing atau kucing maka pada berbagai jaringanpejamu perantara

akan dibentuk kelompok-kelompoktrofozoit yang membelah secara aktif. Pada

pejamuperantara tidak dibentuk stadium seksual tetapidibentuk stadium istirahat yaitu

kista. Bila kucing makantikus yang mengandung kista maka terbentuk

kembalistadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.[6]

Gambar4:Ookista

IV. PATOMEKANISME

Page 6: Refarat Toxoplasmosis Serebral

Penularanpadamanusia dimulaidengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh

terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secaraberturut-turut.

Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat

peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitumencapai

jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjanghidup pejamu,danberpredileksi untuk

menetap pada otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.

Pada manusiadengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dariinfeksi

laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksioportunistik denganpredileksi di otak.

Tissue cyst menjadi rupturdan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini

akanmenghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.[5][8]

Gambar5 :Patogenesis Toxoplasmosis

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapatmenjadi prediktor

kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas

fungsionaldankualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utamayaitu sel limfosit

T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4

adalah : sel monosit, selmakrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan

sellangerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatanvirus kepermukaan

sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematianseldengan meningkatkan tingkat

Ookista (Daging mentah)

Tachyzoit (usus)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal, myocard, retina)

Immunocompromized

→reaktivasi

Page 7: Refarat Toxoplasmosis Serebral

apoptosispada sel yangterinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV

jugaberdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainanpada saraf. Infeksi

oportunistik dapat terjadi akibat penurunankekebalantubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi

tersebudapatmenyerang sistem saraf yang membahayakanfungsi dan kesehatanselsaraf.

Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistikseperti toxoplasmosissangat

kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-

gamma; kegagalanaktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi

HIVmenunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro danpenurunan

ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT gondii.[10][16]

Gambar5 :ResponImun

V. GAMBARAN KLINIS

Tachyzoit

Aktivasi CD4 sel T

ekspresi CD154

sel dendritik dan makrofag

IL-12

Sel T→INF-y

Respon antitoxoplasmik

Page 8: Refarat Toxoplasmosis Serebral

Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan

dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis

dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa

maupun anak-anak umumnya ringan.

Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot,

sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,

supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia,

muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat

terjadi kejang.[4]

Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan

patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada

toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.

Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk

ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah

pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo,

afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien

menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung

kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan

sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita

mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4]

Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal

nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau

pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala

klinis awal.

Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan

mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma.

Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi

beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.[4]

VI. DIAGNOSIS

Page 9: Refarat Toxoplasmosis Serebral

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T

gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek

toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi

empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi

HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi

empirik.[1][13]

Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.

Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii

yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak

tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent

antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG

mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti

bodi IgM hilang dalam beberapa minggu  setelah infeksi.[13][15]

Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toxoplasmosis

cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan

intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan

serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan

elevasi protein.[1]

            Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii 

dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada

cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis

yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat

infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR

pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.[1][11]

Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh

atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan

hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena

keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi

parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari

Page 10: Refarat Toxoplasmosis Serebral

hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral

ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.[1][15]

Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan

menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan

beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia

basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita

toxoplasmosis cerebral. Karakteristik toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi

gambarn abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat

memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain,

namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran

khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.[14] Pada T1 –

weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung

dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas

sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon

terhadap pengobatan toxoplasmosis karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa

lesi.[1][15]

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi

empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama 2 minggu, kemudian

dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologik,

diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di

teruskan.Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah

diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu,

diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.[1]

VII. PENATALAKSANAAN

Page 11: Refarat Toxoplasmosis Serebral

Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin(obat anti malaria)

dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini

menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma gondii karena dapat

menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin

haruslah ditambah untukmencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk

regimen kombinasi ini adalah penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan

untuk ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain,

tetapi para ibu haruslah diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya

hiperbilirubinemia dan kernikterus.[1] Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang

intoleransi terhadap sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam

menangani kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim

dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin dengan

pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi

terhadap sulfonamid.[1][2]

Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas antiprotozoa

yang spektrumnya luas . Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap takizoit toksoplasma

in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam konsentrasi yang tinggi.

Atovaqoune sering digunakan dalam kombinasi obat-obat lain. Menurut penelitian

atovaqoune menjadi lebih efektif apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti

pirimetamin, sulfodiazin, klindamisisn atau claritromisin.[2]

Regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral akut

Terapi pilihan dan lama pengobatan Regimen Alternatif

Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial,

dilanjutkan dengan 50–75 mg/hari secara

oral), sulfadiazine (1000–1500 mg

4 kali/hari), and leucovorin (10–20 mg/hari)

Lama pengobatan :6 minggu

Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial,

dilanjutkan dengan 50–75 mg/day secara

oral) and klindamisin(600 mg intravena

[IV] atau oral 4 kali sehari).

TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV

atau oral 2 kali sehari.

Atovaquone* (1500 mg oral2 kali sehari)

+ pirimethamin (50–75 mg/hari) dan

leucovorin (10– 20 mg/hari).

Atovaquone* (1500 mg oral dua kali

Page 12: Refarat Toxoplasmosis Serebral

sehari) + sulfadiazin (1000–1500 mg 4

kali sehari).

Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali sehari)

Pirimethamin (50–75 mg/hari) dan

leucovorin (10–20 mg/hari) +

azithromisin (900–1200 mg/hari oral)

Untuk pasien yang sakit berat dan tidak bisa

toleransi terhadap medikasi oral, TMP (10

mg/kg/hari) and SMX (50 mg/kg/hari) IV.

TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

*Atovaquone harus diambil bersama makanan.

Regimen profilaksis

Indikasi Terapi pilihan Regimen alternatif

Profilaksis primer 1 kekuatan-ganda dua TMP-

SMX (160 mg TMP/ 800 mg

SMX) tablet setiap hari

1 kekuatan tunggal

TMP/SMX tablet setiap

hari.

Dapsone 50 mg tiap hari

+ pirimethamin 50 mg

tiap minggu dan

leucovorin 25 mg tiap

minggu.

Atovaquone 1500 mg tiap

hari.

Profilaksis sekunder Sulfadiazine (500–1000 mg

oral 4x/tiap hari) +

Klindamisin (300–450

mg oral tiap 6–8 jam) +

Page 13: Refarat Toxoplasmosis Serebral

pirimethamin (25–50 mg/hari

oral) dan leucovorin (10–25

mg/hari oral).

pirimethamin (25–50

mg/hari oral) dan

leucovorin (10–25

mg/hari oral)

Atovaquone (750 mg tiap

6–12 jam) dengan atau

tanpa pirimethamin (25

mg/hari oral)+leucovorin

(10 mg/hari oral)

TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang menyebabkan

pasien tidak mau meneruskan pengobatannya. Keadaan ini bisa ditangani dengan pemberian

antihistamin secara bersamaan. Sulfadiazin juga bisa menyebabkan nefropati karena kristal.

Pada pasien yang kritis, yang tidak bisa mengambil obat secara oral, trimethoprim(TPM)

intravena 10mg/kg setiap hari bersama sulfamethoxazole (SMX) 50mg/kg setiap hari dapat

diberikan.[1]

Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa ditoleransi.

Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis yang berat dan ada

bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90% pasien memberi respon

terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan sulfadiazine. Perbaikan klinis secara

cepat dapat dilihat setelah memulai terapi yang tepat pada toksoplasmosis serebral akut.

Setelah beberapa hari, 3.5% pasien menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1%

menunjukkan perbaikan neurologis setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi

bisa dilihat pada minggu ketiga terapi. Pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi

dalam jangka waktu 10 hingga 14 hari, biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit

limfoma. Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan kondisi klinis yang

memburuk dalam waktu 48jam atau pasien yang pada foto radiologinya terdapat perubahan

garis tengah (midline shift) dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone

(4mg setiap 6jam) paling sering diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari.

Penggunaan steroid pada pasien HIV-AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi

Page 14: Refarat Toxoplasmosis Serebral

infeksi-infeksi oportunistik yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang

kejang tapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.[1]

Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali. Pasien-

pasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering

terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder yaitu dengan terapi

pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan

sama dengan terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif.(1)

VIII. DIAGNOSA BANDING

Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak pada

pasien dengan HIV ialah seperti berikut: [1]

o Toksoplasmosis serebral akut

o Limfoma sistem saraf pusat primer

o Tumor otak primer

o Metastasis otak

o Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel)

o Infeksi (misal : tuberkuloma)

o Infark multifokal

o Malformasi vena-arteri

Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat (CD4 T

sel <50 sel/µL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua pasien dengan gejala

lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%), leukoensefalopati multifokal

progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain

ialah tuberkulosis, stafilokokkus, streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis

dan meningovaskuler syphilis.[1]

Page 15: Refarat Toxoplasmosis Serebral

IX. PENCEGAHAN

Non farmakologi

Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin pada

pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko terjadinya

toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang

apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/µL untuk melihat apakah telah terjadi

serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara

menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan.Jadi makanan

yang dikonsumsi terutamadaging harus benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius).

Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-

sayuran harus dicuci bersih.[1]

Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran

kucing.Jika ada kotoran kucing, maka harusdibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel

telur toxoplasma gondii. Sewaktuberkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari

transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.[1]

Farmakologi

Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada pasien

dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/µL dan pada pasien

dengan CD4 T-sel <200/µL yang mempunyai infeksi oportunistik atau malignansi.

Profilaksis dengan menggunakan regimen trimetoprim-sulfamethoxazole pada pasien dengan

jumlah CD4 T sel <100/µL menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis

sebanyak 73%.Pasien-pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani

terapi fase akut mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat

terapi pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi oportunistik

termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di mana penggunaan

antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti Retro viral) berhasil

mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup pada pasien-pasien HIV.

Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi virus dan meningkatkan jumlah

CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki sistem imunitas pasien.[1]

Page 16: Refarat Toxoplasmosis Serebral

X. PROGNOSIS

Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa

menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah

terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active Anti Retroviral

Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral dapat dikurangi.[1]

Page 17: Refarat Toxoplasmosis Serebral

DAFTAR PUSTAKA

1. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult

Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24.

2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J

Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70.

3. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of

Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report. Oman Med J.

2012;27(5):411-2.

4. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral

Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort

Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6.

5. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba Health Public

Health. November 2001.

6. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation

to Toxoplasma in the Food Chain.

7. The Center for Food Security & Public Health: Toxoplasmosis. May 2005.

8. Chapter 2.9.10 TOXOLASMOSIS. OIE Terrrestrial Manual 2008

9. Ir.INDRA CHAHAYA S,Msi. EPIDEMIOLOGI “TOXOPLASMA GONDII”.

BagianKesehatanLingkunganFakultasKesehatanMasyarakat. Universitasn Sumatera

Utara.

10. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of

Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002.

11. Pereira-ChioccolaRoberta S. Nogueira, Roberto Focaccia and Vera LuciaOliveira,

Adrián V. Hernandez, Francisco Bonasser-Filho,Fabio A. Colombo, José E. Vidal,

Augusto C. Penalva de Oliveira. Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in AIDS

Patients in Brazil: Importance of Molecular and Immunological Methods Using

Peripheral Blood Samples. Journal of Clinical Microbiology. 2005.

12. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath, Fayek Al

Hilli, PhD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case Report and

Review ofPathogenesis and Laboratory Diagnosis. Bahrain Medical Bulletin. June

2009.

Page 18: Refarat Toxoplasmosis Serebral

13. Jose G. Montoya.The Journal of Infectious Diseases.Laboratory Diagnosis of

Toxoplasma gondii Infection and Toxoplasmosis, Stanford University School of

Medicine, Stanford California. 2002.

14. Dalton Silaban, KikingRitarwan, danRusliDhanu. MajalahKedokteran Nusantara

Volume 41. DepartemenNeurologi, FakultasKedokteran USU/RSUP H. Adam Malik

Medan. Juni 2008.

15. Murat Hökelek, MD, PhD; Chief Editor: Burke A Cunha, MD.

Toxoplasmosis Workup,Medscape.Diunduh

dari:http://emedicine.medscape.com/article/229969-workup

16. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma on the Brain:Understanding Host-

PathogenInteractions in Chronic CNS Infection. August 2011.