refarat gerd

43
PENDAHULUAN Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofageal) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang. Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan keadan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan banyak, tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus. Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang menghasilkan gejala heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks kandungan asam lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik, dan Barret’s esophagus dan gejala ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan batuk. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua umur, umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia- Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati

Upload: mahdiahandini

Post on 08-Nov-2015

108 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Refarat GERD

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofageal) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan keadan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan banyak, tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus.Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang menghasilkan gejala heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks kandungan asam lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik, dan Barrets esophagus dan gejala ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan batuk.Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua umur, umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di korea). Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensi GERD meningkat pada orang tua 40 tahun. GERD terjadi pada sebagian umum laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk esophagitis adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk Barrett esofagus adalah 10:1.Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.1

A. Anatomi EsophagusPada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter, sfingter esophagus bagian atas (Upper Esophageal Sphincter/UES) pada otot cricopharingeus dan sfingter esophagus bagian bawah (Lower Esophageal Sphincter/LES) pada gastroesophageal junction (GEJ). Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan. Sfingter esophagus bagian bawah bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke esophagus.2Dinding esophagus seperti juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri dari 4 lapisan yaitu : mukosa, submokasa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini mengalami perubahan mendadak pada berbatasan esophagus lambung (garis Z) dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esophagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel-sel sekretori yang menghasilkan mucus. Mukus mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melinduni mukosa dari cedera akibat zat kimia.3Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot pada 5% bagian atas esophagus merupakan otot rangka sedangkan otot pada separuh bagian bawah merupakan otot polos. Bagian yang diantaranya itu terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan saluran cerna lainnya, bagian luar esophagus tidak memiliki lapisan serosa maupun selaput peritoneum, melainkan lapisan luar yang terdiri dari lapisan ikat jarang yang menghubungkan esophagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.3Persarafan esophagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang dianggap merupakan saraf motorik esophagus. Fungsi serabut simpatis kurang diketahui. Selain persarafan ekstrinsik tersebut terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsic diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus Aurbach atau Myenterikus) dan berperan untuk mengatur peristaltik esophagus normal.3Distribusi darah esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang-cabang arteri tiroidea inferior dan subclavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteri bronchial. Sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh arteri gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena-vena esophagus daerah leher mengalirkan darah ke vena azygous dan hemiazygous dan dibawah diafragma, vena esofagia masuk ke dalam vena gasrika sinistra.3

Gambar 1: anatomi esofagus

Gambar 2: histologi esofagus

B. Fisiologi Menelan

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi, (4) mencegah masuknya maknan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.4Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan fase esofageal.4,5

a. Fase Oral

Fase oral terjadi secara sadar . Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah. 4,5Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan pada bagian atas dinding posterior faring (Passavants ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. 4,5

b. Fase FaringealFase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. 4,5Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika dan m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini juga terjadi penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus. 4,5

c. Fase EsofagealFase esofageal adalah fase perpindahan bolus makann dari esofagus ke lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus. 4,5Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. 4,5Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhhi oleh kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan di dorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esophageal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali. 4,5Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut. Normalnya, esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik : peristaltik primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai dari faring danmenyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari proses menelan. Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai10 detik. Makanan yang ditelan seseorangdengan posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih cepat dari gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat aadanya efek gravitasi tambahan yang menarik makananke bawah. 4,5Jika gelombang peristaltik gagal mendorong semua makanan yang telah masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke dalam lambung.4,5Bila gelombang peristaltik esofagus mendekat ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik. Selanjutnya, seluruh lambung, dan dalam jumlah yang lebih sedikit, bahkan duodenum menjadi terelaksasi sewaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang didorong ke esofagus selama proses menelan. 4,5Pada ujung bawah esofagus, meluas sekitar 3cm di atas perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar, atau disebut juga gastroesofageal.. Normalnya, sfingter ini tetap berkontriksi secara tonik dengan tekanan intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30mmHg, berbeda dengan bagian tengah esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan melewati esofagus, terdapat relaksasi reseptif dari sfingter esofagus bagian bawah yang mendahului gelombang peristaltik, yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan ke dalam lambung. Kadang sfingter tidak berelaksasi dengan baik, sehingga mengakibatkan keadaan yang disebut akalasia. 4,5Kontriksi tonik dari sfingter esofagus bagian bawah akan membantu untuk mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal. Faktor lain yang membantu mencegah refluks adalah mekanisme seperti-katup pada bagian esofagus yang pendek yang terletak agak dekat lambung. Peningkatan tekanan intraabdomen akan mendesak esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, penutup seperti-katup pada esofagus bagian bawah ini akan membantu mencegah tekana intraabdomen yang tinggi yang berasal dari desakan isi lambung kembali ke esofagus. 4,5

C. DefenisiPenyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas1Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.GERD terdiri dari dua tipe, yakni : NERD ( Non-erosive Reflux disease ) dan ERD ( Erosive Reflux Disease )6D. Etiopatogenesis

Penyakit GERD bersifat multifaktorial1,7. GERD dapat merupakan gangguan fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).8 Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus.8 Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.1 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.7Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).1Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter esofagus bawah.1,7 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.7 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg .1 Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.8 Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.7Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme 1 :1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:1

Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.1 Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain 1,7, 1. Adanya hiatus hernia2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus SEB5. Makanan berlemak dan alkohol.Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung 1,7.

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB1.

Bersihan asam dari lumen esofagus Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus 1 .Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal1.Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif1.

Ketahanan Epitelial Esofagus.Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk melindungi mukosa esofagus 1. Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari1 :1. Membran sel2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO24. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.

Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas1.Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi1.Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang ada 1.Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD . Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks7.

Peran Sfingter Atas EsofagusSEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.8

Patofisiologi Refluks EkstraesofagusDua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme tersebut antara lain.1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.8

E. Manifestasi KlinikGejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di dada atau epigastrium . Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau heartburn. Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water brash. Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus atau faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit. Pada beberapa kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit menelan saat memakan makanan padat. Hal ini mungkin sudah terjadi striktur atau keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus. Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi esofagus yang berat.1GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. 1Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay).9 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.1Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir kental, mulut kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama 8 minggu, bila gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi THT.8

F. DiagnosisDiagnosis GERD umumnya didasarkan pada kombinasi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, tes diagnostik yang tepat. Pasien yang datang pada ahli THT seringkali tidak disertai gejala refluk tipikal seperti dada panas dan regurgitasi. Menentukan tes yang potensial untuk menegakkan diagnosis GERD dengan gejala tipikal atau tipikal, ada 3 kategori tujuan pemeriksaan.41. Ada/tidaknya refluka. pemeriksaan radiologi untuk menentukan hiatus hernia.b. Pemeriksaan manometri: menentukan tonus spingter gastro esofagus.c. Pemeriksaan endoskopi: esofagoskopi, laringoskopi.2. Kerusakan esofagus akibat refluka. Tes perfusi asam (Bernstein)b. Endoskopi: esofagoskopi, laringoskopic. Biopsi mukosa esofagusd. Barium esofagrogram3. Mengukur refluka. Barium esofagogramb. Scintiscan gastroesofagusc. Tes refluk asam standard. Monitor pH lumen esofagus 24 jam

Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan keharusan bagi pasien GERD, mengingat lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak menunjukkan kelainan pemeriksaan endoskopi. Selain itu, karena mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak semua daerah memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna atas, penggunaan endoskopi sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Setelah diagnosis ditegakkan, PPI dosis standar dapat diberikan selama 1 atau 2 minggu. Pada penderita dengan gejala tipikal. Tes PPI bersifat sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis GERD yang mempunyai gejala tipikal, strategi ini dapat menghemat biaya secara nyata dan mengurangi penggunaan tes diagnostik yang invasive. 4 Beberapa tahun ini, teknologi endoskopi telah berevolusi disertai resolusi tinggi dan adanya magnifikasi kromoendoskopi digital. Teknologi ini secara praktis berguna untuk mendeteksi berbagai lesi halus sepanjang saluran gastrointestinal mulai dari kerongkongan ke usus. Selain dapat mendeteksi perubahan halus refluk esofagitis, alat ini terbukti bermanfaat dalam deteksi dini epitel Baret yang merupakan daerah target biopsi pada daerah yang dicurigai metaplasia usus ke lambung.4

1. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD).Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrets esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.

Tabel 1. Klasifikasi Los AngelesDerajat kerusakanGambaran Endoskopi

AErosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 MM

BErosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling berhubungan

CLesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

DLesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

TingkatGambaran Endoskopi

IAdanya gambaran erosi kecil-kecil yang tidak menyatu (non-confluent) disertai bercak-bercak atau garis-garis merah, sedikit proksimal dari daerah peralihan mukosa

IIErosi memanjang, menyatu (confluent), yang tidak melingkar (non-circumferential)

IIIErosi longitudinal, menyatu , dan melingkar, mudah berdarah

IVa. adanya satu atau lebih dari satu tukak pada daerah peralihan mukosa yang bisa disertai metaplasi atau striktur.b. adanya striktur tanpa tukak atau erosi

Tabel 2. Klasifikasi Savary dan Miller

2. Esofagografi dengan Barium. Dibandingkan dengan endoskopi. pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan mukosa, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada1). stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2) hiatus hernia

3. Pemantauan pH 24 jam. Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

4. Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.

5. Manometri Esofagus. Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal.

6. Sintigrafi Gastroesofageal. Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.

7. Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/ Tes supresi asam) Acid Supression Test. Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus/lambung) dan umur >40 tahun.1

G. Diagnosis Banding71. Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis, Megaesofagus) adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui penyebabnya. 2. Gastritis (radang lapisan lambung), gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung. 3. Kanker esophagus, pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma dan adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam kerongkongan dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan (penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plaque), atau jaringan yang tidak normal (fistula).4. Ulkus Peptikum, luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi.5. Esophagitis, esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan trauma.

H. PenatalaksanaanWalaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b). menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi.1

a. Modifikasi Gaya Hidup1Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut: 1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan umuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan torus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen5. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan torus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron.

b. Terapi Medikamentosa1Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau ten-masuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cema bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton IPPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H, atau prokinetik atau bahkan antasid.Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD:11. AntasidGolongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadan HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.Dosis: sehari 4 x I sendok makan

2. Antagonis Reseptor H2Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.Dosis pemberian: Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg Ranitidin : 4 x 150 mg Famotidin : 2 x 20 mg Nizatidin : 2 x 150 mg

3. Obat-obatan prokinetikSecara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namur pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam.Metoklopramid : Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin.. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis: 3 x 10 mgDomperidon : Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.Dosis: 3 x 10-20 mg sehariCisapride : Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepatpengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding domperidon.Dosis 3 x 10 mg sehari.

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi)Dosis: 4 x 1 gram.

5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI).Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H,K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembertukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H,.Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu: Omeprazole : 2 x 20 mg Lansoprazole :2x30mg Pantoprazole :2x40mg Rabeprazole :2x 10 mg Esomeprazole : 2 x 40 mgUmumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy: selama 4 bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasikan dengan golongan prokinetik.Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu: Omeprazole 1 x 20 mg Lansoprazole 1 x 30 mg Pantoprazole 1 x 40 mg Rabeprazole 1 x 10 mg Esomeprazole 1 x 40 mgUmumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on demand therapy.Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pelayanan kesehatan lini pertama, salah saw di antaranya adalah direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk Penatalaksaan GERD di Indonesia (2004). (Skema 1)Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan memiliki fasilitas diagnostik memadai terdapat pada skema 2.

Table 3. Efektivitas Terapi Obat-obatan Tersebut di AtasGolongan ObatMengurangi gejalaPenyembuhanMencegah komplikasi

Mencegahkekambuhan

Antasid+1000

Prokinetik+2+10+1

Antagonisreseptor H2+2+2+1+1

Antagonis reseptor H2 + prokinetik+3+3+1+1

Antagonis reseptor H2 dosis+3+3+2+2

Penghambat pompa proton+4+4+3+4

Pembedahan+4+4+3+4

Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERDUmur >40 tahunUmur