refarat dka

42
DERMATITIS KONTAK ALERGI (A. Fatimah Muliasari, Magfirah, Ayu Rizkiawaty) A. PENDAHULUAN Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan pembatas dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa kira-kira 1,5m 2 dengan berat kurang lebih 15% berat badan. Keadaan tersebut menjadikan kulit menjadi organ yang esensial dan vital. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. 1,2 Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi. Namun sama halnya dengan organ-organ tubuh manusia yang lain, kulit juga dapat terserang. 1,2 Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan 1

Upload: mohamad-rifaie-ramli

Post on 29-Oct-2015

398 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Dermatitis Kontak allergi merupakan

TRANSCRIPT

Page 1: Refarat DKA

DERMATITIS KONTAK ALERGI

(A. Fatimah Muliasari, Magfirah, Ayu Rizkiawaty)

A. PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan

pembatas dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa kira-kira 1,5m2

dengan berat kurang lebih 15% berat badan. Keadaan tersebut menjadikan kulit

menjadi organ yang esensial dan vital. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan

sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada

lokasi tubuh.1,2

Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengaturan

suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan

keratinisasi. Namun sama halnya dengan organ-organ tubuh manusia yang lain,

kulit juga dapat terserang. 1,2

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,

skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,

bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan

menjadi kronis. 1,2

Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi

yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu,

Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA); keduanya

dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan

kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses

sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang telah

mengalami sensitisasi terhadap suatu allergen.2,3

DKI lebih sering terjadi dibandingkan dengan DKA. DKI merupakan efek

toksik yang lokal ketika kulit kontak dengan bahan iritan kimia seperti sabun,

bahan pelarut, asam dan alkali. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe

1

Page 2: Refarat DKA

lambat yang didapat ketika kulit kontak dengan bahan kimia pada orang yang

sebelumnya telah tersensitasi. Respon kulit terhadap DKA dan DKI tergantung

pada bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari kontak dan kelemahan individu.

Bahan kimia yang menyebabkan dermatitis kontak ditemukan pada barang

perhiasan, produk untuk perawatan diri, tanaman, pengobatan topikal ataupun

sistemik. Gambaran klinik antara DKA dan DKI sulit dibedakan, dibutuhkan tes

tempel untuk membantu mengidentifikasi alergen atau meniadakan alergen yang

dicuriga. 2,3

DKA dan DKI membutuhkan pemahaman dari proses perjalanan penyakit,

kemampuan mengenali bagaimana mekanisme DKA dapat muncul, membutuhkan

perhatian yang tajam dan ketepatan dalam menilai kemungkinan suatu alergen,

seperti kemampuan tes tempel, dalam menginterpretasi dan edukasi pasien. 2,3

B. DEFINISI

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang

timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. DKA terjadi

akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik

yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah

tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas

tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan

sel limfosit T.3,4

DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang telah

mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini merupakan

hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat dari bahan

material atau zat kimia lain yang terkait3,4

2

Page 3: Refarat DKA

C. EPIDEMIOLOGI

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita

dermatitis kontak alergi lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang kulitnya

sangat peka (hipersensitif). DKA dapat mengenai semua umur dan frekuensi

secara umumnya sama pada pria dan wanita kecuali pada beberapa allergen

spesifik.4,5

Di negara amerika serikat organisasi kesihatan seperti The National Health

and Nutrition Examination Survey (NHANES) memperkirakan prevalensi

dermatitis kontak adalah sebanyak 13,6 kasus per 1000 penduduk, hasil ini di

dapatkan dengan menggunakan pemeriksaan fisik oleh ahli dermatologi dengan

populasi pasien sampel yang dipilih secara acak. Penelitian yang dilakukan di

Swedia menemukan bahwa prevalensi dermatitis kontak alergi pada daerah

tangan adalah 2,7 kasus per 1000 penduduk. Sebuah penelitian di Belanda

menemukan bahwa prevalensi dermatitis kontak alergi pada tangan adalah 12

kasus per 1000 penduduk. 4,5

Tidak ada predileksi ras ada untuk dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak

alergi yang disebabkan nikel lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria di

kebanyakan Negara di dunia. Dermatitis kontak alergi dapat juga terjadi pada

neonatus. Pada orang tua, perjalanan dermatitis kontak alergi bersifat delayed,

namun kondisinya lebih kronis. Hubungi alergi terhadap obat-obatan topikal lebih

sering terjadi pada orang tua di sekitar umur 70 tahun. 4,5

Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring

dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang

dipakai masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di

masyarakat sangat sedikit, sehingga beberapa angka yang mendekati kebenaran

belum didapat. Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak

80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat

menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup

tinggi yaitu berkisar antara 50-60 %. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan

3

Page 4: Refarat DKA

frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat

kerja4,5

D. ETIOLOGI

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum

diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya

(sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang

terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi

kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari)1,2

Alergen Sumber Penularan

Nikel sulfat Logam, logam pada pakaian, perhiasan,

agen katalisator

Neomisin sulfat Biasanya terkandung dalam cream, obat

salep

Balsam of Peru Pengobatan topical

Campuran wewangian Kosmetik, wewangian

Thimerosal Antiseptik

Sodium gold tiosulfat Obat-obatan

Formaldehida Desinfektan, plastic

Quaternium-15 Desinfektan

Cobalt klorida Semen, galvanisasi, minyak industri,

agen pendingin

Basitrasin Obat salep, bedak

Metildibromoglutaronitril

fenoksilatanol

Kosmetik, bahan pengawet

Campuran karba Karet, lateks

Etilneurea melamin-formaldehida resin Tekstil

Thiuram Karet

p-Fenil diamin Pewarna tekstil yang hitam atau gelap,

4

Page 5: Refarat DKA

tinta printer

Parahidroksibenzoic acid ester Bahan pengawet pada makanan

Propilene glycol Bahan pengawet, kosmetik

Prokain, benzokain Anastesi lokal

Sulfonamide Obat-obatan

Turpentin Bahan pelarut, semir sepatu, tinta

printer

Garam merkuri Desinfektan, impregnasi

Krom Semen, antioksidan, minyak industri,

korek api, kulit

Cinnamic aldehihida Wewangian, parfum

Tabel 1.

Allergen utama penyebab Dermatitis Kontak Dan Beberapa Allergen

Umum Lainnya. Dikutip dari kepustakaan nomor 6

E. PATOGENESIS

Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV yaitu hipersensitivitas

tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed/ cytotoxic type cell mediated

hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.

Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan

berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin.

Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor,

macrophages inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha dan

interpheron gamma. Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama

sel T dan makrofag di tempat antigen.6,7

5

Page 6: Refarat DKA

Gambar 1. Mekanisme Hipersensitivitas tipe IV. Dikutip dari

kepustakaan nomor 7

Patogenesisnya melalui 2 fase ialah fase induksi (fase sensitisasi) dan fase

elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit

mengenal dan memberi respons, memerlukan waktu 2-3 minggu. Fase elisitasi

ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai

timbul gejala klinis. 6,7

Fase Sensitisasi 2,7,8

Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini

terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan

kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka.

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan

ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara

kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-

DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan

istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan

menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga

6

Page 7: Refarat DKA

mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan

sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan

mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu

(misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan

II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh

keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan

molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I

dan II.

TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada

epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel

Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening

setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans

mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,

yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel

Langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah

diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk

mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan

menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel

ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah

bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi

tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.

Menurut konsep ‘danger’ signal, bahwa sinyal antigenik murni suatu

hapten cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya

menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak

bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak

sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan

kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi

sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik

sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi

iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.

7

Page 8: Refarat DKA

Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai

resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.

Fase Elisitasi 2,7,8

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari

antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam

kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan

merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF

(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit

memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi

dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan

mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi

vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam

kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai

dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa

mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,

kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan

2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi

menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit.

Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak

degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang

molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,

seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau

meredakan peradangan. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

8

Page 9: Refarat DKA

Gambar 2: Fase Elisitasi dari Reaksi Hipersentivitas karena ‘contact-

sensitizing agent. Dikutip dari kepustakaan nomor 8

Gambar 3: Patofisiologi dari Dermatitis Kontak. Dikutip dari kepustakaan

nomor 8

9

Page 10: Refarat DKA

Perubahan histologik pada keadaan dermatitis terjadi pada epidermis dan

dermis, bergantung pada stadiumnya. Pada stadium akut kelainan di epidermis

berupa spongiosis, vesikel atau bula, edema intrasel, dan eksositosis terutama sel

mononuclear. Dermis sembab, pembuluh darah melebar, serbukan sel radang

terutama sel mononuclear, kadang eosinofil juga ditemukan, bergantung pada

penyebab dermatitis. Perubahan histologik pada stadium subakut hampir seperti

stadium akut, spongiosis, jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal

(akantosis ringan), tertutup krusta, stratum korneum mengalami parakeratosis

setempat; eksositosis berkurang; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih

jelas, serbukan sel radang masih jelas, fibroblast mulai meningkat jumlahnya.3,9

Epidermis pada stadium kronis menebal (akantosis), stratum korneum

menebal (hiperkeratosis dan parakeratosis setempat), rete ridges memanjang,

kadang ditemukan spongiosis ringan, tidak lagi terlihat vesikel, eksositosis sedikit,

pigmen melanin terutama di sel basal bertambah. Papila dermis memanjang

(papilomatosis), dinding pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama

sekitar pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama sekitar pembuluh

darah bersebukan sel radang mononuclear, jumlah fibroblast bertambah, kolagen

menebal. 3,9

Gambar 4: Gambaran Mikroskopis Dermatitis Kontak Alergi.

Dikutip dari kepustakaan nomor 3.

10

Page 11: Refarat DKA

F. MANIFESTASI KLINIS

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada

setiap orang. DKA akan bertambah parah selama alergen terus kontak dengan

kulit. Ada beberapa tipe dari dermatitis kontak alergi:10,11

1. Akut10,11

Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada

reaksi yang hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta.

Eritema→papul→ vesikel→ erosi→ krusta→ skuama

2. Subakut10,11

Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil,

merah, dan berkelompok.

3. Kronik10,11

Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang

mendalam dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan

papul yang kecil, padat, berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.

Papul→ skuama→ likenifikasi→ ekskoriasi

G. DAERAH PREDELEKSI

1. Tangan dan lengan. Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena

banyak faktor, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang

paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sekitar

dua pertiga dari seluruh kasus dermatitis kontak melibatkan tangan yang

merupakan tempat penting untuk dermatitis kontak alergi dan iritan.

Dermatitis dengan gambaran bergaris-garis pada jari, punggung tangan,

dan lengan bawah biasanya disebabkan karena tanaman. Pada pekerjaan

yang basah (kontak lama dengan air), misalnya memasak makanan,

11

Page 12: Refarat DKA

mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis

tangan lebih tinggi. Lengan terkena allergen yang sama seperti tangan,

tetapi biasanya belakangan. Jika sarung tangan digunakan saat bekerja,

lengan bawah biasanya merupakan tempat utama dari dermatitis

okupasional. 1,3,4,12,13

Gambar 5 :Dermatitis kontak alergi pada di lengan dan Telapak tangan

dikutip dari kepustakaan nomor 3.

2. Wajah. Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar allergen. Dermatitis

pada wajah dapat terjadi sendiri atau berhubungan dengan eksema pada

tangan. Semua allergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka,

kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Dermatitis kontak

pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat

topikal, allergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan

allergen lain yang kontak dengan tangan. Dermatitis yang terjadi karena

kosmetik biasanya diawali dengan kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak

12

Page 13: Refarat DKA

wanita yang segera mengganti produk kosmetik mereka pada tahap ini dan

tidak menemui dokter spesialis. 1,3,4,12,13

Gambar 6: ‘seborrhoeic dermatitis-like’ dermatitis kontak alergi di wajah

akibat dari hipersensifitas terhadap phosphorus sesquisulphide. Dikutip dari

kepustakaan nomor 1

3. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis

kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca

mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar

dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya.

Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang

terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin

menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah

pada dermatitis kontak kronik. 1,3,4,12,13

13

Page 14: Refarat DKA

Gambar 7: Dermatitis kontak alergi di daerah telinga akibat dari reaksi

hipersensitifitas terhadap nikel. Dikutip dari kepustakaan nomor 11.

4. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat

warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan

pelembut atau pewangi pakaian. 1,3,4,12,13

Gambar 8 : Dermatitis kontak alergi di daerah badan disebabkan oleh reaksi

hipersensitifitas terhadap nikel di sabuk gesper. Dikutip dari kepustakaan

nomor 11.

14

Page 15: Refarat DKA

5. Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,

pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,

deterjen. Bila mengenai daerah anal mungkin disebabkan oleh obat

antihemoroid. 1,3,4,12,13

Gambar 9 : Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva

karena alergi pada cream yang mengandung neomisin. Dikutip dari

kepustakaan nomor 14

6. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh

tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,

sepatu/sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh sepatu dan kaus kaki pada

athlete’s foot, antiseptik, dan antiperspiran.

Gambar 10 : Dermatitis kontak alergi yang terjadi karena Quaternium-15,

bahan pengawet pada pelembab. Dikutip dari kepustakaan nomor 4.

15

Page 16: Refarat DKA

7. Generalisasi. Eritroderma yang terjadi menyeluruh dapat merupakan hasil

dari dermatitis kontak kronis karena lanjutan paparan alergen di

lingkungan, bahkan di rumah sakit, misalnya kontak dengan kasur yang

didesinfeksi dengan formaldehide atau pengobatan topikal yang meresap

pada sprei.1,3,4,12,13

Gambar 11: Dermatitis kontak alergi generalisata yang melibatkan hampir

90% daerah tubuh. Dikutip dari kepustakaan nomor 3

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji tempel 1,2,3,5

Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu

dilakukan uji tempel. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di

antara 70-80 % .Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di

punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya

antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan

T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.

Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara

lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat

berupa bahan kimia, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering

bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja, atau

tempat rekreasi

16

Page 17: Refarat DKA

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:

1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keadaan akut atau

berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu,

atau dapat juga mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin memburuk.

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian

kortikosteroid (topical dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan

reaksi negatif palsu (toleransi pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis

yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar karena sinar matahari (sun burn) yang

terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif

palsu.

3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi

longgar karena dapat memberi hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang

mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu

kering setelah dibuka uji tempelnya hingga pembacaan selesai.

5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.

Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembacaan

hasil uji tempel pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam. Reaksi tersebut dinilai

sebagai: 1,2,3,4,5

1+ eritema.

2+ eritema, edema, papul.

3+ eritema, edema, papul, vesikel.

4+ sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi.

5+ sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis.

17

Page 18: Refarat DKA

Gambar 12 : Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam. Dikutip dari

kepustakaan nomor 5

Gambar 13 : Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien. Dikutip

dari kepustakaan nomor 5

18

Page 19: Refarat DKA

Pemeriksaan Histopalogi. Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah

tersensitisasi, menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema

dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara

histologi tidak spesifik.1,3,13

Epidermis:13

o Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.

o Hiperplastik, akantosis yang luas.

o Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai

dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.

o Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.

Dermis:13

o Limfosit perivesikuler.

o Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi.

o Edema.

Gambar 14. Dermatitis kontak alergi. Hiperkeratosis, vesikel parakeratosis

subkorneal, spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare

dermis yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan

beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis. Dikutip dari

kepustakaan nomor 13.

19

Page 20: Refarat DKA

I. DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pertanyaan mengenai kontaktan

yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan

kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,

dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai

kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data

yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal

yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui

menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada

keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).12,14

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Misalnya di ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan

dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh

permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-

sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan

daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada

dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan

tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya.

Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut

oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada

bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi. 12,14

J. DIAGNOSA BANDING

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang

khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, atau psoriasis.

Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan. 12,14

20

Page 21: Refarat DKA

Dermatitis Kontak Iritan

Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat

(reaksi tipe cresendo).3,11,12

DKI DKA

Gejala Akut Perih, gatal   Gatal, nyeri 

Kronik Gatal/nyeri Gatal/nyeri

LesiAkut

Eritem Vesikel Erosi

Krusta Skuama

Eritema papul vesikel

erosi krusta skuama

KronikPapul, plak, fisura, skuama,

krusta

Papul, plak, skuama, krusta

Batas

dan letakAkut

Berbatas tegas, sesuai

pajanan allergen. 

Berbatas tegas, sesuai pajanan

allergen tapi bisa meluas ke

perifer; biasanya papul kecil yang

bisa menyebar luas.

Kronik Terbatas Terbatas, meluas

EvolusiAkut

Sangat cepat (beberapa jam

setelah pajanan) 

Cepat (12 sampai 72 jam setelah

pajanan) 

KronikPajanan yang berulang dari

bulan sampai tahunan

Bulanan atau lebih lama lagi,

eksaserbasi setiap kali terpajan

Agen

penyebab

Tergantung pada

konsentrasi dari agen

penyebab dan pertahanan

kulit

Relatif independen dari jumlah

yang diterapkan, biasanya cukup

dengan konsentrasi sangat rendah

tetapi tergantung pada tingkat

21

Page 22: Refarat DKA

DKI DKA

kepekaan

InsidenDapat terjadi pada semua

orang 

Hanya terjadi pada orang yang

sudah tersensitisasi

Tabel 2 : Perbedaan DKI dan DKA. Dikutip dari kepustakaan nomor 11

Gambar 15 : Dermatitis Kontak Iritan akibat iritan kuat.Terlihat vesikel,

bula dan ekskoriasi. Dikutip dari kepustakaan nomor 14

Dermatitis Atopik

Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai

karena riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata

dermatitis seperti pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata

bawah (garis Dennie's), meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan

kejadian peningkatan infeksi kulit, terutama dengan Staphylococcus

aureus.Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi

dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).11,12,14

22

Page 23: Refarat DKA

Gambar 16. Hiperpigmentasi, likenifikasi, dan sisik di fossa antecubital

pada pasien dengan dermatitis atopik. Dikutip dari kepustakaan nomor 14.

Gambar 17. Dermatitis atopik : infatile. Terdapat eritema, vesikel, dan

krusta pada wajah dan lesi yang serupa pada badan dan lengan. Dikutip

dari kepustakaan nomor 14.

23

Page 24: Refarat DKA

Dermatitis Seboroik

Ditemukan pada tempat seboroik dengan kelainan khas berupa skuama

berminyak, warna kekuningan. 11,12,14

Gambar 18. Dermatitis seboroik di daerah wajah dengan plak yang berbatas

tegas dengan skuama berminyak yang berwarna kekuningan. Dikutip dari

kepustakaan nomor 14

Psoriasis

Pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar,

transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.11,12,14

Gambar 19: Psoriasis pada pasien dengan kulit agak gelap dengan

karakteristik hilangnya kemerahan pada kulit dan tampak skuama berlapis

yang berwarna putih. Dikutip dari kepustakaan nomor 14.

24

Page 25: Refarat DKA

K. PENATALAKSANAAN

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan

menekan kelainan kulit yang timbul. Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang

dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak alergi adalah sebagai

berikut:1,2,3,14,15

1. Menghindari pajanan

Identifikasi dan hilangkan agen penyebab1,2,3,14,15

2. Terapi topikal1,2,3,14,15

Kortikosteroid topikal

Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah

mengering diberi kortikosteroid topikal seperti hidrokortison 1-2 %,

triamsinolon 0,1 %, fluosinolon 0,025%, desoksimetason 2-2,5% dan

betametason-dipropionat 0,05%. Pengobatan dengan kostikosteroid

biasanya untuk dermatitis kontak alergi yang berlangsung singkat, efek

samping dari pemberian glukokortikoid ini biasanya tidak berbahaya.18

Hidrokortison sebagai obat pertama dari golongan kortikosteroid

mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : anti inflamasi, anti alergi, anti

pruritus, anti mitotik dan vasokonstriksi. Setelah itu, dikenal

kortikosteroid yang lebih poten daripada hidrokortison, yaitu

kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal sebagai fluorinated

corticosteroid. Zat-zat ini pda konsentrasi 0,025% sampai 0,1%

memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang termasuk dalam

golongan ini ialah, antara lain : betametason, betametason valerat,

betametason benzoat, fluosinolon asetonid, dan triamsinolon asetonid. 2

Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6

minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk

potensi kuat.

Kompres dingin dengan Burrow’s solution1,2,3,14,15

25

Page 26: Refarat DKA

Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel,

kompres ini diganti setiap 2-3 jam.

Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari

debris dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu

terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir

pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan

menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak dapat sembuh dan mulai

terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan

gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam

dermatosis.

3. Terapi sistemik1,2,3,14,15

Kortikosteroid

Indikasi kortikosteroid jika gelajanya berat (pasien tidak dapat

melakukan aktivitas harian, tidak dapat tidur) untuk lesi eksudatif.

Prednison awalnya diberikan 70 mg (dewasa), kemudian di tapering 5

sampai 10 mg selama 1-2 minggu.2,18

Efek terapeurik glukokortikoid yang paling penting adalah

kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis

dan untuk menekan imunitas. Mekanisme yang pasti sangat kompleks.

Namun, diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan

makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A2

secara tidak langsung (karena steroid diperantarai oleh peningkatan

lipokotrin), yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor

prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran.

Immunosupressan1,2,3,14,15

Pada dermatitis kontak alergi yang melalui udara menghindari

allergen total mungkin mustahil, Immunosupressan dengan siklosporin

mungkin penting.

26

Page 27: Refarat DKA

Siklosporin bekerja dengan menghambat kalsineurin. Kalsineurin

adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memegang peranan penting

dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol, yaitu NFATc

(nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami defosforilasi,

NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan

gen yang bertanggungjawab dalam sintesis sitokin. Hambatan kalsineurin

akan menghambat transkripsi gen-gen tersebut.

L. PROGNOSIS

Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan

bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang. Kelompok

dermatitis iritan dan faktor konstitusional juga penting. Banyak penelitian

menyebutkan bahwa onset umur tidak penting terhadap prognosis dermatitis yang

berhubungan dengan pekerjaan, namun baru-baru ini UK studi memperlihatkan

bahwa pada orang-orang dewasa yang memiliki riwayat atopik mungkin

berkembang dan orang-orang dengan dermatitis kontak alergi kemungkinan besar

tidak memiliki waktu untuk bekerja. 1,2,3,4,5

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila

bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis

numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin

dihindari. 1,2,3,4,5

DAFTAR PUSTAKA

1. Beck M.H, Wilkinson S.M. Contact Dermatitis: Allergic In Rook’s,

Textbook of Dermatology Volume I, 7th Edition. Blackwell Publishing,

2008: Ch 20 P 819 – 48.

27

Page 28: Refarat DKA

2. Djuanda S, Sularsito S.A. Dermatitis Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta 2007: P 129-53

3. Wolff K, Lowell A, Stephen I, Gillchrest BA, Paller SA, Leffel DJ et al.

Allergic Contact Dermatitis In Fitzpatrick’s, Dermatology In Clinical

Medicine. New York. McGraw Hill Medical. 2008: Ch 120 P 1301 – 15

4. Hogan DJ, James WD. Allergic Contact Dermatitis Treatment &

Management. Nova Southeastern University College of Osteopathic

Medicine. Drugs, Disease And Procedures 2013. P. 1-17

5. Spiewak R. Patch Testing For Contact Allergy And Allergic Contact

Dermatitis. Jagieollonian University Medical College, Krakow Poland.

The Open Allergy Journal, 2008: P. 42-51

6. Taylor SJ. Contact Dermatitis And Related Disorder. In ACP Medicine

University of Texas Medical Branch. 2001 : P. 1-16

7. Shimizu H, Immunology Of The Skin In Shimizu’s Textbook of

Dermatology. Hokkaido. Hokkaido University Press, 2007: Ch 3 P. 39-47.

8. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres M, Hennino A, Nicolas JF, et al.

Allergic And Irritant Contact Dermatitis. In EJD, vol 19, n0 4, July-August

2009.

9. Frosch PJ, Menne T, Lepoittevin JP. Histopathological &

Immunohistopathological Features Of Irritant And Allergic Contact

Dermatitis. In Contact dermatitis 4th edition. Berlin. Springer-Verlag

Berlin Heidelberg, 2006 : Ch 7 P. 107-15

10. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Contact Dermatitis. In Thieme Clinical

Companions Dermatology. New York. Thieme New York Publication,

2006 : Ch 12 P. 195-203

11. Usatine RP, Riojas M. Diagnosis and Management of Contact Dermatitis.

In American Family Physician. Texas. University of Texas Health Science

Center, 2010: P. 250-54

28

Page 29: Refarat DKA

12. James WD, Berger TG, Elston DM, Contact Dermatitis and Drug

Eruptions In Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology 10th

Edition. Philadelphia. Elsevier Inc 2006: Ch 6 P 91-111

13. Gawkrodger DJ. Eruptions. In Dermatology 3rd Edition. Philadelphia.

Elsevier Inc 2003: Ch 26 P. 30-36

14. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu EM Dermatitis Dalam Penyakit Kulit Yang

Umum Di Indonesia. Pt Medical Multimedia Indonesia. 2008 : P 14-30

15. Beltrani VS, Bernstein IL, Cohen DE, Fonacier L, et al. Contact

Dermatitis: A Practice Parameter. In Annals of Allergy, Asthma &

Immunology. New York. The American Academy of Allergy, Asthma and

Immunology 2006: P.1-38

29