rancang bangun model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan peternakan (studi kasus...

301

Click here to load reader

Upload: edoqu

Post on 20-Nov-2014

6.626 views

Category:

Education


45 download

DESCRIPTION

Desertasi Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi) oleh Nugroho Ananto

TRANSCRIPT

Page 1: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

NUGROHO ANANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2012

RANCANG BANGUN MODEL KELEMBAGAAN INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN

PETERNAKAN (STUDI KASUS SWASEMBADA DAGING SAPI)

Page 2: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)
Page 3: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

ABSTRACT

NUGROHO ANANTO. Institutional Integration Model for Livestock Development Planning, Case Study on Beef Self-Sufficiency. Supervised by ERIYATNO, MARIMIN, and ARIEF DARYANTO.

Beef self-sufficiency is part of national food security priorities stated in Presidential Regulation No.5/2010 on National Medium Term Development Plan 2010-2014, while for long-term development period based on Presidential Regulation No. 32/2011. The Ministry of Agriculture has issued General Guidelines for Beef Self-Sufficiency in 2010 which set a target of 90% fulfillment from domestic supply. Technically problems faced in achieving self-sufficiency are disparity between production and consumption, vulnerability of local cattle market to global markets influences, and low productivity of local cattle. This gap is observed from increasing amount of beef imports from 11.8 thousand tons in 2004 increased to 64.1 thousand tons in 2009. In addition, other challenge is implementation of self-sufficiency policy that involves various stakeholders with their roles and functions, in interacting systems as component of process, interrelation in running process, and interconnections within the system framework running dynamically according to the changing time and environmental conditions. These conditions have implications for the importance of alignment between planning and implementation in focused and consistent way through the coordination and synergy among development actors such are ministries, agencies, local governments, and businesses involved. This study aims to develop integrative model of institutional policies wich facilitate relationship across stakeholders in achieving self-sufficiency goals. Synthesis of policy model development requires multi-disciplinary skills, therefore the systems thinking approach was used with knowledge of experts as the thinking of respondents. This research are using several method of analysis network process (ANP), strategic assumption surfacing and testing (SAST), and interpretive structural modeling (ISM) which is the soft system methodology (SSM). The study produces model with a viable system approach, emphasizing the importance of the role of relational capital in institutional relationships, as well as monitoring and evaluation. It is suggested that self-sufficiency policies and implementation programs should be carried out on small and medium-scale farms. In particular, the activities undertaken by individual farmers and production cooperatives at village level should be concentrated on Bali and Nusa Tenggara Corridor as proposed in the Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Development 2011-2025.

Keywords: Beef self-sufficiency, system thinking, thinking respondent, ANP, SAST, ISM, soft system methodology, viable system model, relational capital

Page 4: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

RINGKASAN

NUGROHO ANANTO. Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan, Studi Kasus Swasembada Daging Sapi. Dibawah Bimbingan ERIYATNO, MARIMIN, dan ARIEF DARYANTO.

Swasembada daging sapi merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sedangkan untuk periode pembangunan jangka panjang telah ditetapkan pula Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Kementerian Pertanian telah menerbitkan Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 yang menetapkan sasaran swasembada dengan pemenuhan 90% kebutuhan nasional berasal dari sumber sapi lokal Indonesia. Secara teknis permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian swasembada adalah kesenjangan produksi daging domestik dengan konsumsi, pasar sapi lokal rentan pengaruh pasar global, dan produktivitas sapi lokal yang masih rendah. Kesenjangan ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah impor daging sapi sebesar 11,8 ribu ton pada tahun 2004 bertahap naik menjadi 64,1 ribu ton pada tahun 2009. Selain hal tersebut tantangan lainnya adalah pelaksanaan swasembada yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi, terkait dalam sistem yang saling berinteraksi sebagai komponen sebuah proses, interrelasi dalam menjalankan proses, dan interkoneksi dalam kerangka sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan kondisi lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan kelembagaan integratif dan dapat memfasilitasi hubungan lintas pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan swasembada. Sintesis dalam pengembangan model kebijakan ini diperlukan keahlian multi disiplin, sehingga digunakan pendekatan system thinking dengan basis pengetahuan dari para pakar sebagai thinking respondents. Pengolahan hasil menggunakan metoda analysis network process (ANP), strategic assumption surfacing and testing (SAST), dan interpretative structural modeling (ISM) yang merupakan perangkat soft system methodology (SSM). Dengan menggunakan teknik ANP disimpulkan bahwa keberhasilan swasembada daging sapi nasional memerlukan prasyarat utama, yaitu integrasi perencanaan pembangunan sektor pertanian dalam swasembada daging sapi, penataan peran kelembagaan dan koordinasi pelaksanaan program, serta pengembangan kapasitas dan peningkatan sarana prasarana yang menjadi fokus utama pemerintah. Melalui teknik SAST, ditemukenali asumsi pencapaian swasembada daging sapi nasional memerlukan kebijakan tataniaga yang kondusif, keseimbangan supply -demand, dan koordinasi tingkat kebijakan juga merupakan hal yang penting dan besar pengaruhnya. Penggunaan teknik ISM untuk sembilan elemen sistem, disimpulkan pada tahap perencanaan program swasembada daging sapi nasional, Kementerian PPN/Bappenas bersama Kementerian Keuangan memiliki daya dorong paling tinggi, sedangkan pelaku usaha dan masyarakat peternak adalah pemangku kepentingan yang paling terpengaruh. Kondisi yang menjadi prasyarat dicapainya perencanaan swasembada daging sapi secara terintegrasi, yaitu tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah industri peternakan, kejelasan kebijakan program sektoral peternakan rakyat, dan ketersediaan anggaran bagi

Page 5: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

penyelenggaraan pembibitan, pemulia-biakan serta pengembangan wilayah peternakan rakyat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, lembaga yang paling besar peran dan pengaruhnya adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Penelitian menghasilkan model dengan pendekatan viable system, menekankan pentingnya peran relational capital dalam hubungan kelembagaan, serta monitoring dan evaluasi. Selain hal tersebut juga menyarankan agar kebijakan dan pelaksanaan program swasembada dilaksanakan dengan memperhatikan keberpihakan pada peternakan skala kecil dan menengah, khususnya kegiatan yang diusahakan oleh peternak perorangan maupun koperasi produksi pada tingkat desa difokuskan pada Koridor Bali dan Nusatenggara sebagaimana ditetapkan dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011 - 2025.

Kata kunci: swasembada daging sapi, system thinking, thinking responden, ANP, SAST, ISM, soft system methodology, viable system model, relational capital.

Page 6: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dalam pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 7: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

RANCANG BANGUN MODEL KELEMBAGAAN INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN

PETERNAKAN (STUDI KASUS SWASEMBADA DAGING SAPI)

NUGROHO ANANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Manajemen Bisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2012

Page 8: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

Penguji pada Ujian Tertutup :

1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

2. Dr. Ir. Machfud, MS

Tanggal Ujian Tertutup : 10 Januari 2012

Penguji pada Ujian Terbuka :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya Noorachmat, M.Eng.

2. Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP

Tanggal Ujian Terbuka : 27 Januari 2012

Page 9: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)
Page 10: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya

sehingga disertasi dengan judul; “Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi

Perencanaan Pembangunan Peternakan - Studi Kasus Swasembada Daging Sapi” ini dapat

diselesaikan. Disertasi ini disusun dengan melakukan penelitian di Kementerian

PPN/Bappenas dengan pendekatan sistem lukan menggunakan teknik ANP, SAST, dan ISM.

Dengan pendekatan dan teknik ini dapat disusun suatu sistem perencanaan pembangunan

yang terintegrasi dengan yang melibatkan para pemangku kepentingan dalam melaksanakan

peran dan fungsi yang saling terkait.

Penulis sadar bahwa proses penelitian ini memerlukan waktu yang lama, namun pada

sisi lain mendapatkan hikmah yang sangat berharga, karena mendapatkan bimbingan yang

sangat intens. Dalam proses ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.

Eriyatno, MSAE dalam pembelajaran ilmu sistem dan riset kebijakan yang menjadi basis

dalam penelitian ini dan sekaligus telah memperkuat cara pandang dan cara berpikir penulis

dengan basis kesisteman. Demikian pula kepada Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc sebagai anggota

Komisi pembimbing yang secara periodik memberikan bimbingan, dan kepada Dr.Ir. Arief

Daryanto, MEc, ditengah kesibukannya sebagai Ketua Program Studi Manajemen Bisnis

masih memberikan perhatian dan bimbingan selama proses disertasi ini.

Penghargaan disampaikan juga kepada Dr. Ir. Dida H. Salya, MA yang mendorong

dan membuka kesempatan hingga proses pembelajaran dan penelitian ini dapat difasilitasi

oleh Kementerian PPN/Bappenas. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para pakar

atas kontribusi dalam panel pakar, indepth interview yang berperan sebagai thinking

respondents dalam penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan kepada Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi atas dukungan dan fasilitasi hingga terlaksananya

seminar, FGD, dan diskusi yang sangat mendukung penelitian ini.

Jakarta, Februari 2012

Page 11: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)
Page 12: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

i

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .................................................... ix

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Tantangan yang Dihadapi .................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 5 1.5 Kebaruan Penelitian ............................................................................. 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Sektor Pertanian .......................................................... 7 2.2 Perencanaan Pembangunan Nasional .................................................. 17 2.3 Kajian Penelitian Sebelumnya ............................................................. 24 2.4 Perancangan Kebijakan ........................................................................ 33 2.5 Pendekatan Sistem ............................................................................... 38 2.6 Teori Validasi Model ........................................................................... 55

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 59 3.2 Sasaran, Waktu dan Ruang Lingkup Penelitian .................................... 60 3.3 Disain dan Tahapan Penelitian ............................................................. 62 3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi ........................................... 64 3.5 Metode Analisis Data .......................................................................... 66 3.6 Pilihan Validasi Model ....................................................................... 75

Page 13: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

ii

4 ANALISIS SITUASIONAL 4.1 Swasembada Daging Sapi Nasional ..................................................... 77 4.2 Perencanaan Pembangunan Nasional Sektor Pertanian ....................... 87 4.3 Koordinasi dan Sinergi Program Lintas Kementerian dan Lembaga... 96 4.4 Keselarasan Peraturan Perundangan .................................................... 99 4.5 Kinerja Proses Penyusunan Kebijakan ................................................ 102 4.6 Perumusan Permasalahan .................................................................... 106

5 ANALISIS KEBIJAKAN 5.1 Pendekatan Pengembangan Kebijakan ................................................ 111 5.2 Pendekatan Sistem Klaster dalam Swasembada Daging Sapi ............. 114 5.3 Analisis dan Sintesis Hasil ANP .......................................................... 120 5.4 Asumsi Model Kebijakan Hasil SAST ................................................ 133 5.5 Struktur Sistem Elemen Model Integrasi Perencanaan Hasil ISM ...... 139

6 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 6.1 Perencanaan Pembangunan Sub Sektor Peternakan ............................ 169

6.2 Model Integrasi Perencanaan dan Implementasi Swasembada Daging

Sapi ............. ........................................................................................

173

6.3 Model Kelembangaan dalam Program Swasembada Daging Sapi ...... 183 6.4 Kemitraan Strategis Dalam Swasembada Daging Sapi ……………… 190 6.5 Pengukuran Kinerja Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi .. 195 6.6 Penguatan Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Nasional ......... 197 6.7 Implikasi Dalam Pola Perorganisasian ................................................ 199

7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan .......................................................................................... 207 7.2 Saran ..................................................................................................... 209

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 211

LAMPIRAN ......................................................................................................... 219

Page 14: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

Perbedaan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan ............................. 8 2.

Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia ............................................................ 9 3.

Perencanaan dalam Keragaman Teori Politik ............................................... 21 4.

Besar Biaya Logistik terhadap Total Biaya yang Dikeluarkan ..................... 39 5.

Porsi Biaya Logistik terhadap PDB .............................................................. 39 6.

Taksonomi Mode Kordinasi dalam Rantai Pasok ......................................... 41 7.

Matriks Klasifikasi Sistem ............................................................................ 44 8.

Teknologi Manajemen pada Sistem Pengambilan Keputusan ...................... 45 9.

Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Indonesia ....................... 49 10.

Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Negara lain .................... 50 11.

Disain dan Tahapan Penelitian ..................................................................... 63 12.

Jenis Data dan Sumber Data Primer ............................................................. 64 13.

Jenis dan Sumber Data Sekunder .................................................................. 65 14.

Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen pada Teknik ISM ...................... 71 15.

Metodologi PPA 74 16.

Pemenuhan Permintaan Daging .................................................................... 77 17.

Kondisi Impor Daging Sapi dan Jeroan ........................................................ 78 18.

Evaluasi dan Perbaikan Pelaksanaan Program Swasembada Daging Sapi ... 80 19.

Kegiatan Operasional dalam Swasembada Daging Sapi .............................. 80 20.

Skenario Produksi Domestik dan Impor dalam Swasembada Daging Sapi .. 81 21.

Skenario Proyeksi Perkembangan Populasi, Produksi, dan Konsumsi ........ 81 22.

Ringkasan Anggaran Pembiayaan Swasembada Daging Sapi ..................... 82 23.

Hasil Sensus PSPK 2011 : Populasi Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Menurut Propinsi .........................................................................................

84

24.

Perkembangan Populasi Sapi Menurut Pulau 2003 – 2011 ........................... 85 25.

Substansi Inti dan Kegiatan Prioritas Terkait Swasembada Daging Sapi dalam Prioritas Ketahanan Pangan (Buku I: RPJMN 2010-2014) ...............

90

26.

Peran Kementerian dan Lembaga dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Buku II: RPJMN 2010-2014) ..............................................................

93

27.

Sinergi Antara Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014) .............................................................

94

28.

Fokus Pengembangan Wilayah dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014) .............................................................

95

Page 15: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

iv

29.

Identifikasi Inisiatif Kementerian dan Lembaga Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi .............................................................................

97

30.

Peraturan Perundangan Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ..... 100 31.

Kebijakan Menteri Keuangan Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ...............................................................................................................

101

32.

Kebijakan Menteri Pertanian Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ...............................................................................................................

101

33.

Kebijakan Kementerian dan Lembaga lain Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi .............................................................................

102

34.

Proyeksi Pengembangan Sapi di Indonesia .................................................. 115 35.

Rekapitulasi Koefisien Kendall’s ................................................................ 120 36.

Urutan Prioritas Faktor Hasil ANP .............................................................. 121 37.

Faktor Prioritas Utama bagi Pencapaian Swasembada Daging Sapi ........... 123 38.

Pengelompokan Prioritas Utama Dalam Klaster Strategi ............................ 124 39.

Asumsi Strategis Faktor Kondisi................................................................... 134 40.

Asumsi Strategis Kondisi Permintaan............................................................ 134 41.

Asumsi Strategis Kondisi Industri Pendukung ............................................. 135 42.

Asumsi Strategis Kondisi Persaingan Struktur Strategi ............................... 135 43.

Asumsi Strategis Kondisi Pemerintah ......................................................... 135 44.

Asumsi Strategis Kondisi Kesempatan ......................................................... 136 45.

Matrik Gabungan Hasil Analisis Menggunakan Teknik ANP, SAST, dan ISM ...............................................................................................................

171

46.

Matrik Hasil Sintesis dalam Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan ........................................................

172

47.

Peran Kelembagaan pada Sistem 1 – Implementasi .................................... 176 48.

Peran Kelembagaan pada Sistem 2 – Koordinasi ......................................... 177 49.

Peran Kelembagaan pada Sistem 3 – Kontrol Operasional .......................... 178 50.

Peran Kelembagaan pada Sistem 3* – Audit Kinerja ................................... 180 51.

Peran Kelembagaan pada Sistem 4 – Pengembangan .................................. 180 52.

Peran Kelembagaan pada Sistem 5 – Kebijakan .......................................... 182 53.

Mekanisme Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif ................................ 185 54.

Mekanisme Kooordinasi Kelembagaan Tingkat Strategig-Taktikal.............. 186 55.

Mekanisme Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional ......................... 187 56.

Mekanisme Pelaksanaan Aktivitas Pada Praktek Nyata................................ 189 57.

Peran Para pelaku Dalam Kemitraan Swasembada Daging Sapi 192 58.

Pengukuran Kinerja Kelembagaan................................................................. 197

Page 16: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Kerangka Pikir PSDS 2014 .......................................................................... 16 2.

Kegiatan Pokok dan Kegiatan Operasional PSDS 2014 ............................... 17 3.

Interaksi Faktor Pemicu dalam Integrasi Sistem Agrikultur ........................ 26 4.

Kerangka Analisis Kebijakan Publik ............................................................ 34 5.

Pemetaan Tipologi Pemangku Kepentingan ................................................. 36 6.

Integrasi Strategis dalam Penciptaan Nilai Tambah ..................................... 38 7.

Model Referensi Proses Bisnis SCOR ......................................................... 42 8.

Rantai Pasik Daging Sapi di Indonesia ......................................................... 43 9.

Kerangka Kerja dari Intelektual Organisasi .................................................. 46 10.

Model Pengukuran Kinerja Kelembagaan..................................................... 47 11.

Siklus Pembelajaran Soft Systems Methodology ........................................... 49 12.

Rekayasa Variasi .......................................................................................... 51 13.

Viable System Model .................................................................................... 52 14.

Penyederhanaan Proses Pemodelan .............................................................. 56 15.

Peta Lingkungan Swasembada Dagung Sapi Nasional ................................ 59 16.

Diagram Input-Output Swasembada Daging Sapi ....................................... 60 17.

Disain dan Tahapan Penelitian ..................................................................... 62 18.

Jaringan Umpan Balik dalam ANP ............................................................... 66 19.

Pemeringkatan Asumsi Strategis dalam SAST ............................................. 69 20.

Kerangka Analisis Menggunakan Berlian Porter ......................................... 70 21.

Kerangka Analisis Menggunakan Pendekatan ISM ..................................... 72 22.

Prinsip Utama dalam Metode PPA ............................................................... 74 23.

Struktur Pemikiran dalam RPJMN 2010-2014 ............................................. 88 24.

Alur Pengembangan Bidang SDA dan LH ................................................... 92 25.

Kinerja Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ......... 103 26.

Kinerja Koordinasi antar Pemerintah Daerah ............................................... 104 27.

Kinerja Koordinasi antar Lembaga ............................................................... 104 28.

Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi antar Lembaga/Instansi ................. 105 29.

Kebutuhan Perbaikan Proses Penyusunan Kebijakan Lintas Sektor ............ 105 30.

Analisis Proses Kebijakan dalam Swasembada Daging Sapi ....................... 113 31.

Jumlah Penduduk dan Permintaan Daging Sapi ........................................... 116 32.

Kerangka Kebijakan Swasembada Daging pada Program ANP.................... 117 33.

Hasil Pairwised Comparations Kerangka ANP ........................................... 119

Page 17: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

vi

34.

Urutan Prioritas Faktor Hasil ANP ............................................................... 122 35.

Hasil Analisis Klaster Input Lingkungan ...................................................... 125 36.

Hasil Analisis Klaster Pasokan ..................................................................... 127 37.

Hasil Ananlisis Klaster Kebutuhan ............................................................... 128 38.

Hasil Analisis Klaster Langkah Solusi ......................................................... 129 39.

Hasil Analisis Klaster Strategi ...................................................................... 131 40.

Pemeringkatan Asumsi Strategis dengan Teknik SAST ............................... 132 41.

Matrik Reachability Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ................. 141 42.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ...................................................................

142

43.

Struktur Sistem Elemen Kelompok Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ..................................................................................................

143

44.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kebutuhan Program .........................................................................................................

145

45.

Struktur Sistem Elemen kebutuhan Program ................................................ 146 46.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kendala Program .........................................................................................................

148

47.

Struktur Sistem Elemen Kendala Program ................................................... 149 48.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Perubahan yang Dimungkinkan ......................................................................................

151

49.

Struktur Sistem Elemen Perubahan yang Dimungkinkan ............................. 153 50.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Tujuan Program .........................................................................................................

154

51.

Struktur Sistem Elemen Tujuan Program ..................................................... 155 52.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Tolok Ukur Pencapaian Tujuan ........................................................................................

157

53.

Struktur Sistem Elemen Tolok Ukur Pencapaian Tujuan .............................. 159 54.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan untuk Implementasi Perubahan ........................................

161

55.

Struktur Sistem Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan untuk Implementasi Perubahan ......................................................................................................

162

56.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Ukuran Penilaian Hasil Pelaksanaan Aktivitas ..........................................................

164

57.

Struktur Sistem Elemen Ukuran Penilaian Hasil Pelaksanaan Aktivitas ..... 165 58.

Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kelompok yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program ...................................................

167

59.

Struktur Sistem Elemen Kelompok yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program .........................................................................................................

168

Page 18: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

vii

60.

Model Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi Nasional ......... 175 61.

Model Kelembagaan dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ........... 184 62.

Pola Pikir Kemitraan Strategis dalam Swasembada Daging Sapi ................. 194 63.

Pengukuran Kinerja Dalam Pencapaian Swasembada Daging Sapi ............. 196 64.

Integrasi Optimum dari Tiga Fokus Pembangunan Nasional ........................ 199 65.

Pengorganisasian Intra- Organisasi Pada Kementerian PPN/BAPPENAS .. 201 66.

Hubungan Inter - Organisasi dalam Swasembada Daging Sapi ................... 203 67.

Intelektualitas Organisasi Kementerian/ Lembaga Dalam Program Swasembada Daging Sapi..............................................................................

205

Page 19: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

Contoh Kuesioner ANP ……………………………………………………. 221

2.

Prosedur Kerja Pengolahan Data Menggunakan ANP dengan Piranti Lunak Super Decisions……………………………………………………………..

223

3.

Contoh Kuesioner SAST .............................................................................. 231

4.

Contoh Kuesioner ISM................................................................................. 232

5.

Hasil Pengolahan ISM dengan software ISM …………………………….. 234

6.

Hasil-hasil ISM , SSIM Final yang telah memenuhi aturan transivitas ...... 254

7.

Gambaran Umum Responden Stakeholder Poll : Persepsi dan Kebutuhan Masyarakat terhadap Proses Penyusunan Kebijakan dan Perencanaan di Indonesia ......................................................................................................

258

8.

Data Responden Pakar untuk penetapan prioritas menggunakan ANP ...... 262

9.

Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Swasembada Daging 2014”, diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas .........................................................................

264

10.

Data Responden Pakar dalam SAST Swasembada Daging Sapi…………… 268

11.

Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan Pengembangan Peternakan Berbasis Ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada Daging 2014” oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian .........

269

12.

Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging Sapi” oleh Kementerian Riset dan Teknologi ...............................................

272

13.

Data Responden Pakar dalam ISM .............................................................. 274

14.

Data Responden Indepth Interview Swasembada Daging Sapi .................... 275

15.

Tatakelola Penelitian dan Langkah Penyelerasan Penggunaan 3 Metoda Penelitian ......................................................................................................

276

Page 20: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

ix

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

1. ANP : Analitycal Network Process

Merupakan generalisasi dari AHP. Kelebihan ANP dari metodologi yang lain adalah kemampuannya untuk membantu dalam melakukan pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan

2. ASUH : Aman Sehat Utuh Halal

Adalah sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan dengan kondisi:

- Aman, tidak mengandung bahaya-bahaya biologis, kimiawi dan fisik atau bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia;

- Sehat, Mengandung bahan-bahan yang dapat menyehatkan manusia (baik untuk kesehatan);

- Utuh, tidak dikurangi atau dicampur dengan bahan lain; - Halal, sesuai dengan syariat agama Islam;

3. CATWOE : Customer, Actor, Transformation Process, World View, Owner, Environment

CATWOE adalah singkatan untuk mengkategorikan berbagai pemangku kepentingan:

- Customer, penerima manfaat dari proses bisnis tingkat tertinggi dan bagaimana hal ini mempengaruhi mereka?

- Actor , yang terlibat dalam situasi ini, yang akan terlibat dalam pelaksanaan solusi dan apa yang akan mempengaruhi keberhasilan mereka?

- Transformation Process, proses atau sistem yang terpengaruh oleh isu tersebut?

- World View, gambaran besar dan apa dampak yang lebih luas dari masalah?

- Owner, pemilik proses atau situasi yang sedang diselidiki dan peran apa yang akan mereka mainkan dalam larutan?

- Environment, kendala dan keterbatasan yang akan berdampak solusi dan keberhasilan?

Page 21: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

x

4. FGD : Focus Group Discussion

Adalah diskusi terfokus dari suatu group untuk membahas suatu masalah tertentu, dalam suasana informal dan santai. Jumlah pesertanya bervariasi antara 8-12 orang, dilaksanakan dengan panduan seorang moderator.

5. ISM : Interpretative Structural Modeling

Metode yang digunakan untuk menganalisis sistem yang kompleks dengan bantuan komputer yang memungkinkan untuk dapat melihat peta hubungan antara elemen-elemen yang terlibat.

6. K/L : Kementerian/Lembaga

7. K/L/D : Kementerian/Lembaga/Daerah

8. Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional

Forum antar pelaku dalam rangka menyusun perencanaan pembangunan

9. MP3EI : Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Merupakan perencanaan pembangunan dalam periode 2011 – 2025, bagi 6 koridor ekonomi (sumatera, jawa, kalimantan, sulawesi, bali-nusatenggara, papua dan kep maluku) masing-masing dengan fokus kegiatan utama.

10. OIQ : Organizational Intelligence Quotient

Tingkat Kecerdasan Organisasi

11. OIt : Decision/Reaction Time

Waktu respon dalam pengambilan keputusan

12. OIs : Processing Speed

Kecepatan penyelesaian tugas, dan tetap menjaga kolaborasi

13. OIq : Quantitative Knowledge

Kemampuan analisis, sintesis, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah

Page 22: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

xi

14. OIrwr : Reading/Writing/Recording Ability

Kemampuan melakukan pertukaran informasi intra dan inter-organisasi dalam format terpadu

15. OIv : Visual Processing

Kemampuan mengolah, menyajikan data/informasi dalam bentuk gambar pola, grafis, animasi/bentuk visual lainnya

16. OImr : Working Memory and Retrieval

Kemampuan menyimpan dan mengolah data, serta menyajikan dalam laporan

17. PSDS : Program Swasembada Daging Sapi Nasional

18. PPN : Perencanaan Pembangunan Nasional

19. Rakorbangpus : Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional

Merupakan bagian dari proses perencanaan pembangunan nasional dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang dilaksanakan dalam setiap tahun.

20. RENSTRA : Rencana Strategis

Perencanaan Program dan Anggaran Kementerian/Lembaga untuk jangka waktu 5 tahunan

21. RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

Perencanaan Program dan Anggaran Propinsi/Kabupaten/ Kota untuk jangka waktu 5 tahunan

22. RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Perencanaan Program dan Anggaran Negara Republik Indonesia untuk jangka waktu 5 tahunan

23. RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

Perencanaan Program dan Anggaran Negara Republik Indonesia untuk jangka waktu 25 tahunan

24. SAST : Strategic Assumption Surfacing and Testing

Merupakan teknik untuk menganalisis asumsi strategis dari para pakar yang dikelompokan dalam tingkat kepentingan dan tingkat kepastian

Page 23: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

xii

25. SCOR : Supply Chain Operation Reference

Merupakan suatu referensi model yang digunakan untuk mengukur kinerja dari rantai pasok.

26. SSM : Soft System Methodology

Metodologi sistem lunak merupakan kerangka kerja pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi atau masalah yang sulit untuk didefinisikan, dengan membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam atas situasi atau masalah sesuai fenomena yang dihadapi

27. UU SPPN : Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Suatu kesatuan tatacara yang mengatur perencanaan pembangunan untuk menghasilkan perencanaan pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara dan masyarakat pada tingkat pusat maupun daerah

28. VSM : Viable Systems Model

Model sistem yang layak merupakan representasi dari sistem yang diatur sedemikian rupa untuk dapat beradaptasi dan memenuhi tuntutan lingkungan yang berubah. Sistem ini terdiri dari lima sub sistem yang berinteraksi dan dapat dipetakan dalam struktur organisasi.

Page 24: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Perencanaan Pembangunan

Perencanaan pembangunan sebagai ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk

mengidentifikasi kondisi dan permasalahan riil yang dihadapi, mengantisipasi

perkembangan lingkungan strategik, mengembangkan berbagai skenario mengenai

berbagai kemungkinan yang terjadi, mendapatkan solusi atas masalah-masalah yang

dihadapi bangsa dan berbagai alternatif kebijakan untuk mewujudkan cita-cita dan

tujuan bernegara, maka keberadaan dan perannya sangat diperlukan dalam

penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.

Kathleen (2001) menekankan pentingnya kerangka kerja strategis dan

koordinasi dalam proses perencanaan yang harus dilaksanakan oleh lembaga

perencana, sebagai berikut:

1. Melaksanakan koordinasi dalam pengembangan dan pemeliharaan kebijakan

kerangka kerja strategis bagi organisasi, terkait dengan proses perencanaan

anggaran yang secara sistematis merefleksikan, perilaku dan pendekatan

lintas sektor;

2. Bekerjasama lintas fungsi dalam organisasi untuk mengembangkan

kebijakan yang dapat mengatasi hambatan lintas-fungsi (misal:

tanggungjawab bersama dan penyederhanaan proses);

3. Meninjau ulang fokus riset dan aktivitas evaluasi lintas-organisasi untuk

lebih menyelaraskan mereka dengan kebijakan kerangka kerja strategis;

4. Memastikan fokus strategis yang kuat dalam proses pengajuan anggaran

melalui proposal yang dihasilkan dari diskusi, pengembangan mekanisme

yang lebih baik melalui pemantauan penggunaan anggaran dalam

pelaksanaan program;

5. Menyediakan keahlian dan diseminasi pengetahuan dalam kebijakan sosial

dalam arti yang luas yang relevan dengan kegiatan organisasi;

6. Membangun hubungan kemitraan yang erat, baik dengan pemangku

kepentingan internal dan eksternal untuk membangun kesepahaman atas

kebijakan kerangka kerja strategis dan dalam pencapaian tujuan organisasi.

Page 25: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

2

Selaras dengan pendapat tersebut melalui Undang-Undang No. 25 Tahun

2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dalam Bab II,

pasal 2 ayat (4) menjelaskan bahwa : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

bertujuan untuk: (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b)

menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah,

antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

(c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (e)

menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,

dan berkelanjutan.

1.1.2 Swasembada Daging Sapi Nasional sebagai Program Nasional

Swasembada daging sapi merupakan program pembangunan untuk sub

sektor peternakan yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan

nasional. Keberhasilan PSDS 2014 diharapkan tidak hanya dapat memberikan

kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan pendapatan

dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional. Beberapa

landasan hukum pelaksanaan swasembada daging sapi sebagai sebuah program

pembangunan nasional antara lain adalah:

1. Bagian dari prioritas pembangungan ketahanan pangan nasional sesuai

Peraturan Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014);

2. Pengarahan Bapak Presiden RI kepada para Menteri dan Gubernur se-

Indonesia dalam Rapat Kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi

Nasional, yang dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010;

3. Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025)

telah ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan

difokuskan pada Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara;

4. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS 2014) yang

diterbitkan berdasarkan Permentan No. 19/Permentan/OT.140/2/2010,

tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi 2014;

Page 26: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

3

Dalam hubungan itu semua, tantangan mendasar yang timbul dalam

perencanaan pembangunan adalah bagaimana menjaga konsistensi antara dasar

negara sebagai falsafah bangsa dalam bernegara yang merupakan ‘pemersatu jiwa

dan pikiran bangsa’ dengan pilihan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan, dan antar keduanya dengan strategi, kebijakan, program,

kegiatan-kegiatan, dan kinerja pembangunan (Bappenas, 2009).

Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas dipandang perlu untuk dilakukan

penelitian, khususnya berkaitan pola pengorganisasian perencanaan pembangunan

nasional yang terintegrasi dengan menggunakan studi kasus program swasembada

daging sapi nasional, agar dapat mendukung tercapainya amanat dalam UU SPPN

khususnya pada Bab II, pasal 2, ayat (4), bagian (b) menjamin terciptanya integrasi,

sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi

pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.

1.2 Tantangan yang Dihadapi

Pelaksanaan swasembada daging sapi nasional akan melibatkan berbagai

pemangku kepentingan dengan masing-masing peran dan fungsi, saling terkait

sebagai sebuah sistem yang (1) saling berinteraksi sebagai komponen sebagai

sebuah proses; (2) interrelasi dalam menjalankan proses sebagai sebuah sistem; dan

(3) interkoneksi diantara sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan

kondisi lingkungannya.

Sebagai sebuah sistem yang harus berjalan berbasis pada multi pemangku

kepentingan dan multi disiplin telah diantisipasi dalam RPJMN 2010-2014 maupun

Blue Print PSDS 2014, dalam RPJMN 2010-2014 dinyatakan bahwa pelaksanaan

program “Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk

mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,

peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam”

merupakan tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam

pelaksanaan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, antara lain

adalah : (1) Menteri Pertanian; (2) Menteri Pekerjaan Umum; (3) Menteri

Komunikasi dan Informatika; (4) Menteri Perhubungan; (5) Menteri Perindustrian;

(6) Menteri Keuangan; (7) Menteri Negara Riset dan Teknologi; (8) Menteri

Page 27: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

4

Kesehatan; (9) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (10) Kepala Badan Penerapan &

Pengkajian Teknologi; (11) Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Keterkaitan dalam lintas kementerian, lembaga maupun antara pusat dan

daerah juga dinyatakan dalam Blue Print PSDS 2014. Keberhasilan pencapaian

swaaembada daging sapi nasional memerlukan dukungan dan partisipasi dari

berbagai pemangku kepentingan, antara lain: (1) Kementerian Pertanian; (2)

Kementerian Keuangan; (3) Kementerian Perdagangan; (4) Kementerian

Perindustrian; (5) Kementerian Dalam Negeri; (6) Kementerian Koperasi dan UKM;

(7) Kementerian Daerah Tertinggal; (8) Kementerian BUMN; (9) Kementerian Riset

dan Teknologi; (10) Kementerian Pendidikan; (11) BATAN; (12) LIPI; (13)

Perbankan; dan (14) 33 Propinsi yang terdiri dari 20 prpinsi sebagai lokasi prioritas

serta 13 propinsi sebagai lokasi pendukung.

Menjadi jelas bahwa dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan

program swasembada daging sapi nasional merupakan gambaran dari sebuah sistem

yang kompleks dan dinamis yang harus dikelola dengan baik, agar dapat dicapai

pola koordinasi lintas pemangku kepentingan menuju sinergi program dan anggaran

untukfokus dalam mencapai sasaran swasembada daging sapi nasional.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian rancang bangun model kelembagaan integrasi perencanaan

pembangunan peternakan ini adalah:

1. Melakukan analisis situasional berkaitan dengan kondisi lingkungan

pembangunan peternakan, khususnya berkaitan dengan pencapaian

swasembada daging sapi;

2. Melakukan analisis kebijakan untuk menemukenali kesenjangan yang terjadi

dalam implementasi kebijakan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan

upaya swasembada daging sapi;

3. Membangun model kelembagaan yang integratif dalam perencanaan

pembangunan peternakan khususnya terkait dengan upaya pencapaian

swasembada daging sapi, meliputi pola pengorganisasian, penataan peran,

dan pengukuran kinerja kelembagaan.

Page 28: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

5

1.4 Manfaat Penelitian

Model kelembagaan yang integratif dalam perencanaan pembangunan sektor

pertanian, khususnya terkait dengan upaya pencapaian swasembada daging sapi

yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

berbagai pemangku kepentingan antara lain:

1. Bagi Kementerian PPN/Bappenas:

a. Diperoleh metode yang efektif dalam pola pengorganisasian proses

perencanaan pembangunan nasional;

b. Diperoleh kerangka pikir dan alur proses perencanaan pembangunan dan

disertai dengan peran dan fungsi yang harus dilakukan dalam konteks

intra-organization maupun inter-organization;

2. Bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah:

a. Diperoleh kerangka pikir dan alur proses perencanaan pembangunan

dengan peran, fungsi dan pengaruh terhadap tercapainya efektivitas

proses perencanaan pembangunan;

b. Teridentifikasinya faktor-faktor dominan yang mempengaruhi

efektivitas proses perencanaan pembangunan, dan inisiatif strategis yang

dapat dilakukan untuk mengatasinya ;

3. Bagi kalangan Perguruan Tinggi dan masyarakat ilmiah:

a. Adanya referensi yang dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat

(causal-link) secara sistematis untuk meningkatkan efektivitas proses

perencanaan pembangunan nasional;

b. Adanya referensi baru berupa penilitian kebijakan dengan metode,

sistem pakar dan soft system methodology, khusunya dalam bidang

penelitian proses perencanaan pembangunan nasional;

1.5 Kebaruan Penelitian

Penelitian ini akan dapat memberikan kontribusi kebaruan dalam bentuk,

antara lain:

1. Rumusan atau desain model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan

nasional yang efektif, meningkatkan integrasi pembangunan antara pusat dan

daerah, maupun sinkronisasi antarsektor pembangunan;

Page 29: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

6

2. Teridentifikasinya faktor dominan yang melibatkan peran dan fungsi

pemangku kepentingan yang mempengaruhi efektivitas proses perencanaan;

3. Model kelembagaan terintegrasi dalam pengorganisasian perencanaan

pembangunan swasembada daging sapi, dengan penjabaran kerangka kerja

pada tingkat kelembagaan (strategik) dan taktikal-operasional.

Page 30: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Sektor Pertanian

2.1.1 Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan

Sen (1981) berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang

kerap beragumentasi bahwa ketidak-tahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah

soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai

kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukkan bahwa ketidak-tahanan pangan

dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements

failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung

padi”.

Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada

produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara

bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi

tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar

internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan

pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada

hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens, 2000).

Cowan dalam Lassa (2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian

formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan yang

terjadi di beberapa negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahanan

pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya 40% didapatkan dari

impor pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh.

Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan

pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan

akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan

produktif. Hanani (2009a) menjelaskan perbedaan antara swasembada pangan dan

ketahanan pangan seperti dijelaskan dalam Tabel 1.

Page 31: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

8

Tabel 1. Perbedaan swasembada pangan dan ketahanan pangan

Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan (1) (2) (3)

Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu Sasaran Komoditas pangan Manusia Strategi Subsitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses

pangan, dan penyerapan pangan Output Peningkatan produktivitas

pangan Status gizi (penurunan: kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)

Outcome Kecukupan pangan oleh domestik

Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)

Sumber : Hanani (2009)

Lassa (2006) dan Hanani (2009a) telah melakukan studi pustaka atas 200

definisi dan 450 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan. Berikut disajikan

beberapa definisi ketahanan pangan yang sering menjadi acuan sebagai berikut:

1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975: ketahanan pangan adalah

“ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu ... - untuk

menjaga keberlanjutan konsumsi pangan - ... dan menyeimbangkan fluktuasi

produksi dan harga.”

2. FAO 1992: Ketahanan pangan adalah “situasi dimana semua orang dalam

segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan

bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.

3. World Bank 1996: Ketahanan pangan adalah: “akses oleh semua orang pada

segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”

4. Oxfam 2001: Ketahanan pangan adalah kondisi etika: “setiap orang dalam

segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan

kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna

tercantum di sini, yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan

akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).

5. FIVIMS 2005: Ketahanan pangan adalah: kondisi ketika ”semua orang pada

segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan

yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary

needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan

sehat.

6. Indonesia – UU No. 7/1996: Ketahanan pangan adalah: “Kondisi dimana

terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari

Page 32: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

9

ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan

atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli.

7. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai

akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi

untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan

pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi (Hanani, 2009a) adalah: (1)

Berorientasi pada rumah tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan

tersedia dan dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan

individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi pada pemenuhan gizi; (5)

Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.

2.1.2 Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan di Indonesia

Lassa (2006) menyatakan bahwa Indonesia bergumul dengan upaya mencapai

swasembada pangan sejak 1952 hingga hari ini. Pencapaian swasembada pangan

1984 tidak mampu dijaga secara berkelanjutan. Susilo Bambang Yudhoyono gencar

mempromosikan “revitalisasi pertanian”, dengan upaya mencapai swasembada beras

maupun non-beras. Melalui pengarus-utamaan pangan alternatif seperti jagung,

singkong, di samping beras. Karena itu, di atas kertas, ada peningkatan kualitas

kebijakan dibandingkan rezim kepresidenan sebelumnya. Revitalisasi pertanian

termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai

tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan akses atas pangan yang lebih

baik. Sejarah kebijakan pangan di Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan tahun

2005 (Lassa, 2006) dapat dikemukakan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia

Orde Rezim Pemerintahan

Kebijakan Pangan Catatan

(1) (2) (3) (4) Orde lama (pasca kemerdekaan)

Soekarno 1952-1956

Swasembada beras melalui program kesejahteraan Kasimo

- 1950-1952: BAMA (Yayasan Bahan Makanan)

- 1953-1956: YUBM (Yayasan Urusan Bahan Makanan)

Soekarno 1956-1964

Swasembada beras melalui program sentra padi

- 1956:YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi)

- 1963: Subsitution Jagung - 1964: PP No. 3-Food Material Board - 1964: Bimas dan “Panca Usaha” Tani

Page 33: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

10

Tabel 2 (lanjutan) Orde Rezim

Pemerintahan Kebijakan

Pangan Catatan (1) (2) (3) (4)

Pemerintahan Transisi 1965-1967

- 1996: Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS)

- 1967: dibubarkannya KOLOGNAS - 1967:14/05, Badan Urusan Logistik

(BULOG) didirikan dan berfungsi sebagai pembeli beras tunggal

Orde baru (orde pembangunan)

Soeharto Repelita 1 &2: 1969-1979

Swasembada beras

- 1969: Tambahan tugas Bulog: Manajemen Stok Penyangga Pangan Nasional – dan penggunaan neraca pangan nasional sebagai standar ketahanan pangan.

- 1971: Tambahan tugas Bulog sebagai pengimpor gula dan gandum

- 1973: Lahirnya Serikat Petani Indonesia - 1974: Tambahan tugas Bulog:

Pengadaan daging untuk DKI Jakarta - 1974: Penggunaan Revolusi Hijau untuk

mencapai swasembada beras - 1977: Tambahan Tugas Bulog: Kontrol

impor kacang kedelai - 1978: Penetapan harga dasar jagung,

kedelai, kacang tanah dan kacang hijau Soeharto Repelita 3&4: 1979-1989

Swasembada beras

- 1978:Kepres 39/1978, pengembalian tugas Bulog sebagai kontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir dll.

- 1984: Medali dari FAO atas tercapainya swasembada pangan.

Soeharto Repelita 5,6,7: 1989-1998

Swasembada beras

- 1995: Penganugerahan pegawai Bulog sebagai PNS

- 1997: Perubahan fungsi Bulog untuk mengontrol hanya untuk harga beras dan gula pasir

- 1998: Penetapan harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau

Reformasi (Transisi)

Habibie 1998/1999

Swasembada beras

1998/1999: Penjualan pesawat IPTN yang ditukar dengan beras Thailand

A. Wahid 1999/2000

Swasembada beras

2000: Penugasan tugas Bulog untuk management logistic beras (penyediaan, distribusi dan kontrol harga)

Reformasi (setelah 2000)

Megawati 2000/2004

Swasembada beras

- 2003: Privatisasi Bulog - 2004: No-Option Strategy kecuali

swasembada beras S. Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2009)

“Revitalisasi Pertanian”

2005: “revitalisasi pertanian”- komitmen (janji) untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija

Sumber : Lassa (2006), dikelola sendiri dari Mears 1984, Mears dan Moeljono 1981 dan berbagai sumber.

Page 34: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

11

2.1.3 Pembangunan Sub Sektor Peternakan

Ketahanan pangan nasional merupakan salah satu pondasi utama

pembangunan nasional lima tahun ke depan. Dalam RPJMN 2010-2014 program

aksi bidang pangan merupakan prioritas ke 5 dari pembangunan nasional, dengan

tema : “Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk

mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,

peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.

Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan Indeks

Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada tahun 2014”. Pelaksanaan program aksi ini

merupakan tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Masih dalam kerangka program aksi tersebut, untuk program kerja bidang

pangan dapat diidentifikasikan beberapa substansi inti/kegiatan prioritas yang terkait

langsung dengan sub sektor peternakan adalah sebagai berikut:

1. Koordinasi bidang pengembangan urusan perikanan dan peternakan, dengan

sasaran meningkatnya koordinasi kebijakan, serta indikator jumlah

rekomendasi pembangunan peternakan dan veteriner, diseminasi, promosi dan

publikasi;

2. Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner, dengan sasaran

meningkatnya inovasi teknologi peternakan veteriner mendukung program

percepatan produksi swasembada; serta dengan indikator : (1) jumlah SDG

peternakan, TPT dan veteriner yang dikonservasi dan dikarakterisasi; (2)

jumlah galur baru ternak dan TPT yang dihasilkan; (3) jumlah inovasi

peternakan, TPT dan veteriner yang dihasilkan dan dialihkan/ didesiminasikan

kepada pengguna;

3. Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan

sumber daya lokal, dengan sasaran dan indikator sebagai berikut :

a. Sasaran peningkatan kualitas dan kuantitas benih dan bibit ternak, dengan

indikator peningkatan kuantitas semen (dosis);

b. Sasaran penguatan kelembagaan pembibitan dengan good breeding

practices, dengan indikator peningkatan produksi embrio;

c. Sasaran penerapan standar mutu benih dan bibit ternak, dengan indikator

peningkatan kuantitas bibit sapi;

Page 35: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

12

d. Sasaran penerapan teknologi pembibitan, dengan indikator peningkatan

kuantitas bibit unggas lokal;

e. Sasaran pengembangan usaha dan investasi pembibitan, dengan indikator

peningkatan kuantitas bibit kambing dan domba;

4. Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya

lokal, dengan sasaran meningkatnya populasi dan produksi ternak ruminansia,

serta dengan indikator : (1) pengembangan ternak potong (ekor); (2)

pengembangan sapi perah (ekor); (3) pengembangan integrasi tanaman ternak

(unit); (4) pengembangan ternak ruminansia;

5. Peningkatan produksi ternak non ruminansia dengan pendayagunaan sumber

daya lokal, dengan sasaran meningkatnya pendayagunaan sumber daya lokal

ternak non ruminansia, serta dengan indikator : (1) pengembangan kelompok

non unggas; (2) pengembangan pakan ternak; (3) pengembangan alsin ternak;

2.1.4 Tantangan Pembangunan Sub Sektor Peternakan

Pada negara-negara berkembang, meningkatnya jumlah penduduk, urbanisasi

dan peningkatan pendapat per kapita akan memicu peningkatan konsumsi daging

dan produk ternak lain, hal ini memberikan peluang mendorong peningkatan

produksi untuk produk produk peternakan. Kondisi ini memerlukan upaya

intensifikasi yang akan melibatkan cara-cara baru dalam sistem produksi, teknologi,

serta pemasaran.

Selain membawa peluang, hal tersebut juga juga menimbulkan berbagai

kendala. Pengembangan usaha peternakan komersil dan terintegrasi secara besar-

besaran akan mematikan usaha peternakan rakyat, sehingga dapat memperburuk

kemiskinan di wilayah pedesaan. Usaha peternakan yang dikelola dengan baik,

secara dinamis akan dapat menjadi katalisator dalam merangsang pertumbuhan

ekonomi pedesaan. Untuk itu diperlukan peran pemerintah melalui kebijakan yang

pro aktif, baik untuk sektor swasta maupun publik. Steinfeld (2003) mengemukakan

beberapa hal yang dapat menjadi perhatian dalam upaya fasilitasi oleh pemerintah,

antara lain:

1. Meninjau ulang kebijakan yang tidak selaras dengan upaya peningkatan

produsen dalam ekonomi skala kecil;

Page 36: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

13

2. Membangun kapasitas institusional dan infrastruktur yang akan

memungkinkan produsen berskala kecil di pedesaan untuk meningkatkan

kemampuan bersaing, serta mengembangkan usaha peternakan secara

terintegrasi;

3. Memfasilitasi terciptanya lingkungan yang kondusif, melalui investasi sektor

publik yang dapat mendorong peningkatan produksi melalui perbaikan tingkat

efisiensi dan produktivitas, dan

4. Secara efektif mengurangi ancaman lingkungan, hewan dan risiko kesehatan

manusia bagi manusia.

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan peningkatan

pendapatan telah meningkatkan permintaan produk-produk peternakan, hal ini

mendorong dinamika sektor peternakan di negara-negara berkembang. Sementara

itu bagi negara maju sektor peternakan relatif mengalami stagnasi, disisi lain mereka

memiliki sistem produksi yang terus meningkat efisiensinya dan lebih ramah

lingkungan. Persaingan bisnis peternakan masa depan akan bertumpu pada

ketersediaan sumber daya alam terutama lahan dan air. Produksi ternak akan

semakin terpengaruh oleh pembatasan karbon dan perundangan yang mengatur

kesejahteraan lingkungan dan hewan. Permintaan produk peternakan di masa depan

bisa dikontrol oleh faktor-faktor sosio-ekonomi seperti masalah kesehatan manusia

dan perubahan nilai-nilai sosial-budaya (Thornton, 2010).

2.1.5 Permasalahan Pembangunan Sub Sektor Peternakan

Daryanto (2009) menyatakan empat permasalahan mendasar yang

memerlukan perhatian khusus dalam pembangunan peternakan, adalah:

1. Keterpaduan yang sinergis dari kebijakan lintas sektoral untuk menwujudkan

kesejahteraan masyarakat peternak belum optimal. Fenomena sektor sentris

(egosektoral) masih mewarnai penyelenggaraan pembangunan peternakan.

Pada masa mendatang, perlu dibangun kerjasama lintas sektoral terkait

pertanian, peternakan (interlinkages), baik yang berada di hulu maupun di

hilir. Perlu komitmen nasional atau adanya konvergensi nasional diantara

komponen bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), bahwa sektor pertanian

termasuk peternakan merupakan landasan kokoh bagi pembangunan nasional.

Page 37: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

14

2. Kebijakan makro ekonomi baik di bidang moneter, fiskal, perdagangan dan

investasi belum sepenuhnya berpihak kepada peternakan dan lebih bias kepada

sektor industri jasa. Pemerintah seharusnya mampu menciptakan iklim usaha

yang kondusif, sehingga mampu merangsang investor baik domestik maupun

asing;

3. Kebijakan dari sektor-sektor non-peternakan yang secara konsisten

memfasilitasi dan mendukung pembangunan peternakan antara lain dukungan

agroindustri, dukungan permodalan, dan lainnya. Keterbatasan dukungan

sektor non-peternakan tersebut akan mengurangi efisiensi yang pada akhirnya

akan menurunkan daya saing sektor peternakan;

4. Inkonsistensi antar kebijakan dan peraturan yang dapat berpengaruh langsung

terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan peternak. Masih pada kesempatan yang disampaikan pula lima fenomena yang terjadi

pada kebijakan pemerintah yang kurang kondusif bagi pengembangan sektor

peternakan. Fenomena ini diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya

agripesimisme, yaitu: (1) kebijakan pemerintah yang bersifat “double squeeze”; (2)

kebijakan pemerintah yang bersifat “price scissors”; (3) salah mengartikan proses

perubahan struktural dalam perekonomian; (4) belanja publik yang belum memadai;

dan (5) adanya penurunan bantuan donor bagi sektor pertanian-peternakan dan

pembangunan perdesaan.

2.1.7 Swasembada Daging Sapi Nasional

Penetapan sebagai Program Nasional

Penetapan swasembada daging sapi sebagai sasaran pencapaian dari program

pembangunan nasional untuk sub sektor peternakan dinyatakan dalam beberapa

kebijakan pemerintah baik yang tertuang dalam dokumen perencanaan maupun

dalam pengarahan Bapak Presiden RI dalam berbagai kesempatan.

Dalam Rapat Kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional,

yang dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010, Bapak Presiden RI memberikan

pengarahan kepada para Menteri dan Gubernur se-Indonesia bahwa sasaran

pencapaian ketahanan pangan dan air (direktif ke 7) adalah: (1) revitalisasi pangan

gelombang 2 selesai pada 2014, dengan target (a) memantapkan swasembada beras,

(b) swasembada jagung, gula, dan daging sapi; (2) hilirisasi industri pangan; (3)

Page 38: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

15

memantapkan Indonesia sebagai pemasok pangan dunia (fee the world), serta (4)

komoditas strategis makin cukup (Bappenas, 2010).

Hal tersebut diatas selaras dengan target pencapaian pada prioritas

pembangunan ke-5 dalam ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada

Peraturan Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014). Kondisi ketahanan pangan nasional yang

akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, bergizi seimbang,

dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Pencapaian ketahanan pangan nasional

memerlukan dukungan penuh dari revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang ada, untuk prioritas bidang

Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan

Kehutanan telah ditetapkan 5 (lima) fokus prioritas, yaitu : (1) Peningkatan Produksi

dan Produktivitas untuk Menjamin Ketersediaan Pangan dan Bahan Baku Industri

dari Dalam Negeri; (2) Peningkatan Efisiensi Sistem Distribusi dan Stabilisasi Harga

Pangan; (3) Peningkatan Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi Pangan; (4) Peningkatan

Nilai Tambah, Daya Saing, dan Pemasaran Produk Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan; serta (5) Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pertanian, Perikanan, dan

Kehutanan. Secara lebih spesifik dinyatakan bahwa sasaran utama pembangunan

nasional, ditetapkan sasaran pembangunan kesejahteraan rakyat, secara spesifik

untuk bidang pangan, telah ditetapkan target yang harus dicapai adalah sebagai

berikut (Bappenas, 2010):

1. Produksi padi : tumbuh 3,22 persen per tahun

2. Produksi jagung : tumbuh 10,2 persen per tahun

3. Produksi kedelai : tumbuh 20,05 persen per tahun

4. Produksi gula : tumbuh 12,55 persen per tahun

5. Produksi daging sapi : tumbuh 7,30 persen per tahun

Untuk merealisasikan sasaran pencapaian swasembada daging sapi sebagai

program nasional, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Permentan No.

19/Permentan/OT.140/2/2010, tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi

2014, dilengkapi dengan Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014

(PSDS 2014) dengan beberapa kali penyempurnaan. PSDS 2014 ini merupakan

tindak lanjut program swasembada daging yang pernah dicanangkan pada tahun

2005 dan tahun 2010. Gambar 1 menjelaskan bahwa keberhasilan PSDS 2014 tidak

Page 39: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

16

terlepas dari kontribusi kementerian/lembaga yang melakukan peran dalam

mendukung swasemabada, pencapaian swasembada diharapkan tidak hanya dapat

memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan

pendapatan dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Sumber : Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014

Gambar 1. Kerangka pikir PSDS 2014

Selaras dengan visi pembangunan nasional yang tertuang dalam UU No. 17

tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025,

melalui Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025) telah

ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan difokuskan pada

Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara. Pengembangan kegiatan ekonomi utama

peternakan pada koridor ini akan difokuskan pada pengembangan kawasan

agribisnis dengan industri utama pengolahan daging sapi (food animal industry) dan

industri pendukung yaitu industri tepung tulang, kulit, pupuk organik dan biogas

(non food animal industry). Produk peternakan tidak hanya dikonsumsi secara lokal,

namun didistribusikan ke konsumen wilayah lain.

Page 40: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

17

Pengertian Swasembada Daging Sapi Nasional

Sesuai dengan pernyataan dalam Blue Print PSDS 2014 bahwa untuk skenario

most likely bahwa:

- swasembada daging sapi nasional dapat memenuhi 90% kebutuhan

dalam negeri secara konsisten dan berkelanjutan -

Pada skenario ini, diperlukan upaya khusus yang bersifat terobosan dalam rangka

meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, menerbitkan regulasi yang

kondusif dan menerapkan sistem perkarantinaan yang kuat. Gambar 2 menjelaskan

langkah yang dilakukan untuk mencapai swasembada daging adalah dengan

melaksanakan 5 kegiatan pokok dan 13 kegiatan operasional.

Sumber : Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014

Gambar 2. Kegiatan pokok dan kegiatan operasional PSDS 2014

2.2 Perencanaan Pembangunan Nasional

2.2.1 Pengertian Perencanaan Pembangunan

Perencanaan pembangunan merupakan fungsi manajemen pemerintahan yang

dilaksanakan oleh lembaga negara untuk mengemban tugas perjuangan mencapai

tujuan bernegara yang secara jelas tercantum dalam konstitusi negara.

Pendapat para ahli di bidang perencanaan pembangunan, dapat kita jumpai

beberapa rumusan mengenai makna perencanaan pembangunan dan lingkup

kegiatan pekerjaan perencanaan pembangunan, sebagai berikut:

Page 41: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

18

1. Myrdal (1957) menyatakan bahwa rencana merupakan suatu pemrograman

dari suatu strategi pemerintahan dalam pembangunan nasional dengan

menggunakan sistem intervensi dan mekanisme pasar.

2. Nitisastro (1963) berpandangan bahwa “Perencanaan pada asasnya berkisar

pada dua hal. Pertama adalah penentuan secara sadar mengenai tujuan-

tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar

nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan; dan yang kedua

adalah di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai

tujuan-tujuan tersebut. Baik untuk penentuan tujuan yang meliputi jangka

waktu tertentu maupun bagi pemilihan cara-cara tersebut diperlukan ukuran

atau kriteria-kriteria tertentu yang terlebih dahulu harus dipilih”.

3. Seiring dengan itu, Lewis menyatakan bahwa perencanaan pembangunan

disusun berdasar kerangka pemikiran filosofi mengenai bagaimana

pembangunan berlangsung; dan hanya sebagian merupakan aplikasi

ekonomi, bagian lainnya merupakan kompromi politik (Lewis, 1951).

4. Besarnya pengaruh faktor non-ekonomi terhadap aktivitas ekonomi, dan

menekankan pencapaian tujuan ekonomi seperti pertumbuhan harus disertai

upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial seperti peningkatan

kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan; juga menekankan perlunya

kepedulian terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup,

dan sistem kelembagaan (Salim, 1976).

5. Tjokroamidjojo (1995) dari pengalamannya yang panjang di bidang

perencanaan dan birokrasi pemerintahan menulis kesimpulan bahwa dalam

perencanaan pembangunan perlu diketahui lima hal pokok berikut: (1)

Permasalahan-permasalahan pembangunan yang dikaitkan dengan sumber-

sumber pembangunan ekonomi dan non ekonomi yang dapat diusahakan; (2)

Tujuan dan sasaran rencana yang ingin dicapai; (3) Kebijakan dan cara untuk

mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-

sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik; (4)

Penerjemahan kedalam program-program atau kegiatan-kegiatan yang

konkrit; dan (5) Jangka waktu pencapaian sasaran dan tujuan.

Page 42: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

19

2.2.2 Konsep Perencanaan Strategis

Djunaedi (2000) menyatakan bahwa keragaman corak perencanaan (planning

styles) dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: keragaman corak perencanaan

yang umum ditemui dalam praktek dan corak perencanaan dengan keragaman teori

politik.

Secara umum, keragaman perencanaan pembangunan yang ada dalam praktek

saat ini, yaitu: perencanaan komprehensif (comprehensive planning); perencanaan

induk (master planning); perencanaan strategis (strategic planning); perencanaan

ekuiti (equity planning); perencanaan advokasi (advocacy planning); dan

perencanaan inkrimental (incremental planning).

1. Perencanaan komprehensif, proses perencanaan dilakukan secara sekuensial,

Hasil perencanaan bersifat rinci, jelas, dan berupa rancangan pengembangan

fisik atau tata ruang. Setelah rencana selesai, maka dilakukan proses

pengesahan oleh pihak legislatif, dan kemudian dilakukan implementasi

rencana (aksi/tindakan);

2. Perencanaan induk, umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu

arsitektur. Perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai

kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak

fleksibel-seakan masa depan sangat pasti;

3. Perencanaan strategis, memfokuskan secara efisien pada tujuan yang

spesifik, dengan meniru pendekatan perusahaan swasta yang diterapkan pada

gaya perencanaan publik. Perencanaan strategis tidak mengenal standar

baku, dan prosesnya mempunyai variasi yang tidak terbatas;

4. Perencanaan ekuiti, mengikuti pendapat perencanaan advokasi bahwa akar-

akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi, tapi tidak

sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit untuk

membantu pihak-pihak yang tidak beruntung. Hasil perencanaan ekuiti dapat

sama atau mendekati dengan hasil perencanaan komprehensif atau

perencanaan strategis bila partisipasi -kelompok minoritas- telah terwadahi

dengan memuaskan;

5. Perencanaan advokasi, memiliki faham bahwa perencanaan haruslah dapat

mendorong pluralisme yang berimbang dengan cara mengadvokasi

(“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak mampu menyalurkan

Page 43: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

20

aspirasinya. Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi

kepentingan yang plural di masyarakat;

6. Perencanaan inkrimental, perencanaan dilakukan secara inkrimental

(sepotong demi sepotong) menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-

hasil berurutan” untuk mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.

Pendekatan inkrimental meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari

kebijakan ekonomi dan politik pragmatis.

Sedangkan untuk corak dengan keragaman politik, memiliki empat macam

tipologi, yaitu: perencanaan tradisional, perencanaan demokratis, perencanaan

ekuiti, dan perencanaan inkremental.

1. Perencanaan tradisional merupakan produk dari teori politik teknokratik

(Fainstein dan Fainstein, 1996:273), beranggapan bahwa dengan

menerapkan pendekatan ilmiah lewat teknologi akan dapat diatasi masalah

yang dihadapi;

2. Perencanaan demokratis, menekankan pada partisipasi. Pendapat dari

mayoritas merupakan pendapat yang paling benar. Dalam perencanaan

demokratis, maka tujuan dan cara harus berdasarkan pada kepentingan atau

pendapat mayoritas tersebut; (Fainstein dan Fainstein, 1996: 275).

3. Perencanaan ekuiti, menekankan pada program-program substantif. Fokus

ini bergeser dari “siapa yang berwenang (menetapkan tujuan dan cara)“

menjadi “siapa mendapat apa”. Dalam hal ini, perencana ekuiti berupaya

memberikan pilihan yang lebih luas bagi sekelompok warga masyarakat.

Perencanaan ekuiti tidak selalu demokratis, dalam arti tidak selalu

mempunyai pendukung mayoritas dalam masyarakat, tapi mereka membela

keadilan bagi kelompok masyarakat tertentu (tertinggal, minoritas, tertindas);

4. Perencanaan inkrimental (meskipun beberapa pihak menganggap

pendekatan inkrimental bukan termasuk perencanaan). Melakukan

perencanaan dalam jangka pendek, sepotong demi sepotong bersambung,

bukan dipikirkan secara jangka panjang. Pelaku perencanaannya juga bukan

hanya satu instansi atau lembaga tapi seluruh unsur atau kelompok-kelompok

masyarakat. Terdapat dua macam perencanaan inkrimental, yaitu: (a)

Page 44: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

21

disjointed incremental tanpa memikirkan kesinambungan, dan (b) jointed

incremental memikirkan kesinambungan (jointed) antar potongan-potongan.

Dari pembahasan tipologi perencanaan, dan dikaitkan dengan keragaman

corak perencanaan dalam praktek dan teori politik dapat ditarik kesesuaian seperti

pada Tabel 3.

Tabel 3. Perencanaan dalam keragaman teori politik (Djunaedi, 2000)

Keragaman Praktek Perencanaan

Pembangunan

Perencanaan dalam Keragaman Teori Politik

Tek

nokr

atik

be

rdas

arka

n pe

mik

iran

rasi

onal

Dem

okra

tik

didu

kung

may

orita

s pe

ndud

uk

Sosia

lis

mew

adah

i pl

ural

ism

&

konf

lik so

isal

Lib

eral

pl

ural

ism

& ti

dak

terik

at m

asa

lalu

/mas

a de

pan

Perencanaan Induk Perencanaan Komprehensif Perencanaan Strategis Perencanaan Ekuiti Perencanaan Advokasi Perencanaan Inkrimental

Sumber: Djunaedi (2000)

2.2.3 Peran Lembaga Perencana Pembangunan

Lembaga perencana dalam suatu negara harus dapat melaksanakan fungsi

dasar sebagai berikut: (1) mengumpulkan data dan informasi yang dilakukan melalui

riset berkaitan dengan potensi dan permasalahan negara, untuk menyiapkan

perencanaan jangka panjang yang akan diajukan dan disetujui oleh pemerintah.

Perencanaan jangka panjang tersebut harus mencakup program dan aktivitas dari

berbagai lembaga pemerintah untuk menghindarkan terjadinya duplikasi yang

menimbulkan in efisiensi; (2) membantu pemerintah untuk menyiapkan peraturan

perundangan, khususnya hal yang bersifat teknis; (3) berperan sebagai “clearing

house of information” dari berbagai lembaga pemerintah, antar pemerintah daerah,

dan antara pusat dan daerah; (4) memberikan bimbingan teknis dan nasehat untuk

membantu pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah perencanaan dan

penyusunan program (William, 1952).

Lembaga perencana sebaiknya tidak dibebani tugas dalam fungsi administratif,

hal ini membuat lembaga tersebut menjadi ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan

setiap rencana atau program. Bila lembaga perencana dibebani pula dengan fungsi

Page 45: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

22

administratif atau pengawasan, maka fungsi perencanaan itu sendiri akan menjadi

tidak optimal (Millett, 1946). Bagi lembaga perencana melaksanakan kegiatan

perencanaan adalah tugas utama dalam sepanjang waktu yang membutuhkan

konsentrasi penuh.

Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global, nasional dan lokal

memberikan persoalan yang begitu kompleks dan sulit diprediksi. Globalisasi

memberikan dampak terhadap kebebasan aliran informasi dan keleluasaan aliran

barang dan jasa. Selain itu globalisasi juga memberikan dampak terhadap

munculnya isu-isu lintas bidang (cross-cutting issues) seperti: lingkungan, HAM,

korupsi, good governance, demokrasi, kemiskinan dan lain-lain. Sehingga persoalan

yang semula merupakan isu domestik dapat berubah menjadi isu internasional.

Untuk menghadapi situasi seperti itu diperlukan suatu upaya sistematis untuk

mempertahankan kepentingan bangsa dan negara. Bappenas (2004) telah melakukan

penelitian tentang tingkat efektivitas kinerja lembaga ini dalam melaksanakan peran

dan fungsinya sebagai lembaga perencanaan, yang meliputi: yang meliputi: (1)

Menyiapkan rancangan rencana pembangunan; (2) Melakukan koordinasi

perencanaan; (3) Menyusun APBN/APBD; (4) Menyusun kebijakan pinjaman dan

bantuan LN; (5) Melakukan penilaian rencana pembangunan; (6) Melakukan

penelitian kebijakan dan penilaian kinerja pembangunan; (7) Meningkatkan

kapasitas institusi perencanaan.

Penelitian tersebut dilakukan dengan melakukan jajak pendapat para

pemangku kepentingan dalam penyusunan kebijakan maupun pelaksanaan

kebijakan, dengan sampling unit adalah orang atau individu yang dianggap mewakili

kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) dalam perencanaan

pembangunan yang meliputi wakil-wakil dari: (1) Masyarakat Madani (Civil

Society), (2) Wakil-wakil Rakyat Terpilih (Elected Representatives), (3) Masyarakat

Profesional Sektor Publik (Public Sector Professional Community), (4) Masyarakat

Internasional (International Community) and (5) Pegawai Pemerintah (Government

Officials).

2.2.4 Bauran Kebijakan dalam Pembangunan Sektor Pertanian

Vietor (2007) menyatakan bahwa negara bersaing untuk membangun. Ini

adalah salah satu hasil (konsekuensi) dari globalisasi. Mereka (negara-negara)

Page 46: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

23

bersaing untuk memperebutkan pasar, untuk teknologi, untuk keahlian (skills) dan

investasi. Mereka bersaing untuk tumbuh dan meningkatkan standar hidup

masyarakatnya. Ditekankan bahwa pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas

kebijakan keuangan dan kebijakan fiskal semata, tetapi harus juga menciptakan dan

membantu perkembangan seluruh institusi yang penting dan kritikal yang dapat

memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Optimalisasi pertumbuhan ekonomi dapat

dicapai bila diterapkan bauran kebijakan (policy mix) yang terkoordinasi antara satu

kebijakan dengan kebijakan lainnya (Vietor, 2007).

Bauran kebijakan merupakan koordinasi antar kebijakan-kebijakan

pembangunan regional dan sektoral yang terkait dengan kebijakan fiskal,

perdagangan, perindustrian, pertambangan, tenaga kerja, pertanian, dan kebijakan

lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidakselarasan dalam

bauran kebijakan pembangunan regional dan pembangunan sektoral merupakan hal

yang menghambat peningkatan kinerja pembangunan atau peningkatan daya saing

nasional.

Dalam pembangunan sektor pertanian bauran kebijakan sebagaimana

dikemukakan oleh Arifin (2007) menekankan bahwa para analis dan perumus

kebijakan harus memahami bahwa agribisnis sebagai satu rangkaian kesatuan

sistem. Selanjutnya juga dikemukakan rekomendasi 5 (lima) strategi kebijakan agar

dapat dilaksanakan dengan seksama dan sistematis (Arifin, 2007).

1. Sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agro-industri, bahkan pada skema

kebijakan makro ekonomi karena seluruh elemen moneter dan fiskal amat

terkait dengan pembangunan pertanian;

2. Sektor pertanian harus memperoleh tingkat bunga yang layak dan terjangkau

bagi sebagian besar petani dan pelaku usaha agribisnis;

3. Sektor pertanian memerlukan pengelolaan dan target laju inflasi yang cukup

untuk menurunkan tingkat keragaman suku bunga yang dihadapi komoditas

pertanian. Dalam bahasa yang berbeda, pertumbuhan sektor pertanian

seharusnya tertolong oleh laju inflasi yang rendah;

4. Sektor pertanian jelas memerlukan dana publik, yang dapat diterjemahkan

menjadi langkah pemihakan pemerintah untuk menggulirkan aktivitas

ekonomi, memberikan subsidi tepat sasaran dalam pembangunan pertanian.

Sektor pertanian sangat tergantung pada investasi infrastruktur publik;

Page 47: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

24

5. Sektor pertanian mensyaratkan land-policy reform yang tepat dan terukur,

yang mampu mengkombinasikan peningkatan aset lahan yang dikuasai petani

dan perbaikan akses dan pemberdayaan kapasitas petani itu sendiri;

Hanafie (2010) mengemukakan bahwa tujuan umum politik pertanian di

Indonesia adalah untuk memajukan sektor pertanian yang dalam pengertian lebih

lanjut meliputi : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian; (2)

peningkatan produksi pertanian; dan (3) peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan

petani, serta pemerataan tingkat pendapatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas,

maka ruang lingkup politik pertanian meliputi: (1) Kebijakan produksi; (2)

Kebijakan subsidi; (3) Kebijakan investasi; (4) Kebijakan harga; (5) Kebijakan

pemasaran; (6) Kebijakan konsumsi;

2.3 Kajian Penelitian Sebelumnya

2.3.1 Pengembangan Peternakan Berwawasan Agribisnis

Saputra (2009) menyatakan beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan

dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis, antara lain:

1. Strategi pengembangan usaha ternak sapi potong melalui penerapan kawasan

peternakan terpadu (klaster) yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-

subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu

hingga hilir serta jasa penunjang;

2. Strategi peningkatan koordinasi dengan semua pihak yang terkait

(stakeholder) dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA),

perkembangan teknologi dan informasi dan jumlah rumah tangga yang

banyak untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong.

3. Strategi peningkatan sumber daya manusia (SDM) peternak, penyuluh,

inseminator, paramedis) melalui pola pembinaan kelompok peternak,

pelatihan-pelatihan, magang dan sudi banding dalam upaya meningkatkan

motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari

SDM peternakan.

4. Strategi penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang

berkesinambungan yang dikontrol dengan baik oleh Dinas Kesehatan Hewan

dan Peternakan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Page 48: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

25

Sedangkan untuk penerapan strategi tersebut diberikan saran agar

pengembangan kawasan terpadu peternakan sapi potong dilakukan secara bertahap

dan berkesinambungan, sehingga mengarah pada wilayah yang berkembang,

mandiri dan memiliki nilai ekonomis. Selain hal tersebut pengidentifikasian daerah

pembibitan maupun penggemukan sapi potong dilaksanakan dengan memperhatikan

ketersediaan sapi ptotong (Saputra, 2009).

2.3.2 Investasi Sektor Pertanian dan Disparitas Ekonomi Antar Wilayah

Purnamadewi (2010) melakukan kajian dampak perubahan produktivitas

sektoral berbasis investasi terhadap disparitas ekonomi antar wilayah dan kondisi

makroekonomi di Indonesia diperoleh kesimpulan antara lain:

1. Prioritas alokasi investasi ke kelompok sektor pertanian dan industri berbasis

pertanian yang didukung pembangunan infrastruktur atau melalui penerapan

strategi Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI) yang

didukung dengan pembangunan infrastruktur dapat menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus dapat menurunkan

disparitas ekonomi antar wilayah;

2. Pada kondisi tingkat disparitas ekonomi antar wilayah yang tinggi, peran

pemerintah pusat sangat diperlukan untuk secara konsisten memprioritaskan

alokasi dana pembangunan ke kelompok sektor pertanian, industri berbasis

pertanian dan infrastruktur dengan prioritas ke wilayah-wilayah dengan

pendapatan perkapita atau wilayah-wilayah dengan sumber PDRB utama

dari sektor pertanian;

3. Untuk pemerintah daerah yang masih memiliki pendapatan perkapita relatif

rendah harus lebih intensif dan sunggunh-sungguh untuk menciptakan iklim

investasi yang kondusif, dan perlu memfokuskan kebijakan yang dapat

mendorong peningkatan produktivitas yang besar agar sektor pertanian

semakin kuat dan dapat mendorong ekspor.

2.3.3 Peranan Investasi Infrastruktur pada Perekonomian Indonesia

Permana (2010) telah melakukan analisis peranan dan dampak investasi

infrastruktur terhadap perekonomian Indonesia, menyimpulkan bahwa infrastruktur

memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi daripada keterkaitan kedepannya

Page 49: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

26

yang berarti bahwa infrastruktur lebih berperan dalam meningkatkan output sektor

lain untuk digunakan sebagai input dibandingkan dengan kemampuannya dalam

meningkatkan output sektor lain yang menggunakan input dari infrastruktur, dan

Semua sektor kategori infrastruktur memberikan dampak multiplier yang positif

terhadap sektor perekonomian lainnya. Kajian tersebut menyarankan bahwa apabila

tujuan utama pembangunan infrastruktur adalah untuk meningkatkan total

penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian maka prioritas investasi sebaiknya

ditujukan pada pengembangan infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan

(Permana, 2010).

2.3.4 Interaksi dalam Integrasi Sistem Agrikultur

Pertanian di Amerika mengalami perubahan yang dramatis pada abad ke-20,

yang semula hampir independen dari kebijakan pemerintah, struktur pertanian telah

terjadi perubahan substansial yang dipengaruhi berbagai kondisi. Hal ini dapat

disebabkan berbagai faktor, seperti kebijakan pemerintah, mekanisasi

pertanian, biaya bahan bakar berbasis fosil, peningkatan konsolidasi dan integrasi

vertikal pasar dan peningkatan kesadaran sosial berkaitan dengan lingkungan hidup

dalam praktek pertanian. Interaksi faktor pemicu dalam integrasi Sistem Agrikultur

yang terjadi dapat diilustrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Interaksi faktor pemicu dalam integrasi sistem agrikultur

Page 50: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

27

Sistem pertanian dipengaruhi pemicu (driver) eksternal yaitu sosial, politik,

ekonomi, lingkungan, dan teknologi. Pemicu ini dapat menimbulkan pengaruh

positif maupun negatif terhadap kondisi sistem pertanian dalam menghadapi

tantangan masa depan. Untuk kesejahteraan petani, sistem pertanian harus

dikembangkan untuk dapat menghadapi tantangan masa depan (Hendrickson,

2008).

2.3.5 Penetapan Kebijakan dalam Kompleksitas Kondisi Ekonomi

Dalam menghadapi kondisi ekonomi dalam sistem yang komplek para

pembuat kebijakan harus benar-benar mempertimbangkan beberapa hal yang

penting, yaitu: (1) saling ketergantungan dari berbagai aktor pelaku ekonomi secara

konsisten telah menimbulkan berbagai agregat perilaku, hal ini dapat mengakibatkan

lingkungan ekonomi yang terjebak dalam stagnansi yang tidak diinginkan mencakup

tingkat patologi-sosial, maupun pemilihan teknologi rendah; (2) konsekuensi dari

sebuah kebijakan secara kritikal akan saling terkait dengan kebijakan yang lain dan

menimbulkan efek secara nonlinier, sehingga cukup sulit untuk dilakukan evaluasi

efektivitas dari kebijakan tersebut (Durlauf, 1998).

Alappatt (2005) menjelaskan bahwa dalam bidang ekonomi, pemikiran

mensejahterakan masyarakat yang dikembangakan Gandhi dari prinsip swadeshi,

secara tidak langsung telah membangun kembali tatanan ekonomi India yang

sebelumnya telah hancur oleh sistem kolonialisme. Pembangunan ekonomi yang

menekankan pada sistem desentralisasi dan penataan kembali industri kecil di

pedesaan India ini, dinilai telah mampu memberikan kontribusi yang cukup penting

bagi perbaikan kondisi ekonomi rakyat India. karakteristik utama dari swadeshi

yang dikembangakan Gandhi mencakup beberapa hal, diantaranya:

1. Gerakan swadeshi secara tidak langsung mensyaratkan adanya boikot

terhadap barang-barang produksi luar negeri. Hal ini dilakukan bukan hanya

semata-mata karena barang tersebut berasal dari negeri asing, tetapi karena

hingga saat ini keberadaan produksi asing itu dinilai telah membahayakan

kepentingan nasional bangsa India.

2. Swadeshi juga bermakna produksi dan menghasilkan secara mandiri, karena

boikot tidak dapat terus berlangsung dalam melindungi kepentingan

Page 51: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

28

nasional, tanpa adanya produksi barang-barang dari dalam negeri yang

dibutuhkan oleh rakyat India.

3. Swadeshi juga berarti bahwa mendukung industri dalam negeri merupakan

kewajiban utama bagi setiap warga India. Hal ini harus terus berlangsung

meskipun India telah meraih kemerdekaannya, karena hanya dengan cara

inilah industri pedesaan di India dapat terlindungi. Dimana keberadaan

industri pedesaan ini merupakan hal yang sangat vital bagi eksistensi dan

kebebasan dalam menyediakan lapangan kerja bagi jutaan rakyat India yang

tinggal di pedesaan.

4. Semangat swadeshi memiliki implikasi bahwa setiap individu harus siap

membatasi dirinya sendiri untuk hanya memakai barang dan jasa yang

dihasilkan oleh lingkungan terdekatnya.

2.3.6 Membangun Kemandirian Ekonomi dalam Kehidupan Masyarakat

Penelitian yang dilakukan oleh Isenberg (2010) menemukenali sembilan

faktor kunci untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan revolusi entrepreneur

barbasis pada komunitas masyarakat, sebagai berikut:

1. Berhentilah meniru Silicon Valley. Membangun ekosistem inovasi di

wilayah-wilayah harus seuai dengan kondisi sumber daya fisik dan nonfisik

yang ada dalam suatu wilayah. Negara bekerja sama dengan sektor swasta

harus menciptakan ekosistem ini dengan terencana dan desain secara

sistemik organik, serta memperhitungkan empat elemen utama: (1)

kepemimpinan inovatif, (2) budaya inovatif, (3) sumber permodalan yang

kondusif, dan (4) pelanggan yang terbuka (termasuk keterbukaan mereka

dalam melibatkan dan dilibatkan pada dalam proses inovasi);

2. Ekosistem kewirausahaan inovatif harus sesuai dengan kondisi lokal

(kontekstual). Membangun kemampuan inovasi dengan memperhatikan

konteks potensi perwilayahan (lokal), termasuk pendapat calon

pelanggan/konsumen/pengguna dan para pemangku kepentingan lainnya;

3. Melibatkan dunia usaha merupakan prinsip keberhasilan revolusi

entrepreneurial. Pendekatan top-down yang dilakukan pemerintah secara

sendirian tidak dapat membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan.

Keterlibatan dunia usaha dalam proses inovasi nasional sedini mungkin,

Page 52: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

29

dimulai dari persiapan formulasi atau formasi strategi sistem (ekosistem)

inovasi nasional, implementasi, pengendalian dan/atau perubahannya.

4. Memberikan dukungan pada potensi yang tinggi dalam penciptaan nilai

tambah. Dalam menghadapi kondisi keterbatasan sumberdaya perwilayahan,

maka kewirausahaan harus ditekankan pada potensi penciptaan nilai tambah

yang tinggi. Pengembangan dapat diakaitkan dengan paradigma

pembangunan kewirausahaan berbasis discovery dan creation. Kriteria

kelayakan usaha tidak terbatas hanya untuk menilai tinggi rendahnya potensi

kewirausahaan inovatif. Para pengambil keputusan pendanaan/pemodalan

ventura baru harus berdasarkan tinggi rendahnya potensi keberhasilan

penciptaan nilai sosial dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan membedakan

antara sustaining innovation dan disruptive innovation (Christensen, 2006).

5. Promosi keberhasilan (walaupun sedikit) dapat menumbuhkan inspirasi

dan membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang kondusif.

Sukses-sukses awal kewirausahaan akan mengurangi persepsi bahwa

berwirausaha itu sulit dan penuh risiko. Dukungan pemerintah dan media

harus besar untuk mengangkat kesuksesan-kesuksesan wirausaha. Perlu

dilakukan kampanye keberhasilan secara luas, mengadakan lomba inovasi

dan kewirausahaan secara sistematis. Umumkan pemenangnya di mana-

mana untuk membangun suasana dan persepsi kondusif. Situasi itu dapat

mengubah lingkungan yang tadinya kaku tanpa penghargaan menjadi

kondusif mengapresiasi aktivitas berwirausaha. Peran media tidak hanya

dalam mengumumkan pemenang tetapi juga dalam mengubah perilaku.

6. Pemerintah harus memperhitungkan faktor-faktor lokal seperti budaya

lokal, iklim, dan selera lokal. Pemerintah memakai pendekatan antropologi

dan etnografi untuk memahami kondisi dan konteks lokal.

7. Pola pendanaan yang ketat. Adalah pandangan yang salah bahwa jika

pemerintah atau pihak manapun memberi kemudahan secara berlebihan

kepada wirausaha-wirausaha potensial dengan uang berlimpah yang mudah

diperoleh, secara dini mereka harus dipaparkan dengan tantangan pasar.

Ekosistem inovasi dan kewirausahaan harus dibangun dalam situasi

kelangkaan untuk melatih kekuatan, efektivitas, dan daya tahan pengelolaan

usaha.

Page 53: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

30

8. Jangan merekayasa kluster secara berlebihan. Biarkan kluster tumbuh

secara organik. Kluster secara organik terbentuk karena lingkungan yang

ada mendukung secara sosial dan fisik. Pembentukan kluster secara sepihak

tanpa memperhatikan isi dan konteks lokal atau wilayah setempat akan

menghasilkan hampa bahkan kerugian. Pemerintah sebaiknya melihat arah

kecenderungan (potensi) kewirausahaan wilayah-wilayah tertentu. Berbasis

pemetaan itu, pemerintah membantu mengoptimalkan kerja sama berbagai

pihak dalam membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang

kondusif dalam lingkup dukungan kepemimpinan, budaya, sumber

permodalan, dan masyarakat yang terbuka.

9. Melaksanakan reformasi hukum, birokrasi, dan kerangka regulasi.

Kunci kesembilan ini menjadi puncak pembangunan ekosistem inovasi dan

kewirausahaan perwilayahan atau bahkan suatu negara. Peter Drucker

(1985) mengingatkan pentingnya inovasi sosial untuk membangun sosietas

entrepreneurial. Pertama penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi

prioritas. Reformasi dan penataan kebijakan harus mendukung aktivitas

entrepreneurial yang menciptakan lapangan pekerjaan sebesar mungkin

sehingga dapat membangun kedaulatan ekonomi dan kemandirian

komunitas. Kedua, pemerintah berani memperbaiki atau bahkan menghapus

kebijakan dan peraturan yang sudah tidak relevan dan tidak menunjang era

inovasi dan kewirausahaan.

2.3.6.1 Strategi Nasional dalam Pengembangan Kewirausahaan di Kanada

Upaya percepatan dalam menumbuhkan kewirausahaan adalam masalah

yang bersifat multi dimensi dan komplek, tidak ada satu alat analisispun yang dapat

menangkap secara pasti dapat menjelaskan faktor-faktor yang secara tepat dapat

mendorong pertumbuhan dan pengembangan kewirausahaan. Berdasarkan sintesis

yang dikembangkan dari hasil penelitan dan analisis yang telah dilakukan, telah

dapat ditemukenali kondisi kunci yang diperlukan untuk membangun lingkungan

yang kondusif bagi pertumbuhan kewirausahaan.

Page 54: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

31

1. Pengembangan jejaring dan peningkatan kapasitas SDM, meliputi:

a. Mengembangkan akses menuju pasar dan pelanggan, serta kesediaan

untuk memberikan masukan bagi produk maupun jasa yang

dihasilkan agar dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan kualitas,

maupun memenuhi ekspektasi pasar dan pelanggan;

b. Membangun kapasitas dan kemampuan manajerial, penguatan

kemampuan manajerial dan pengambangan sistem akan sangat

dibutuhkan pada saat kegiatan usaha mulai berkembang;

c. Menetapkan klaster untuk fokus pada kegiatan yang berpotensi dan

pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat difasilitasi perguruan tinggi,

litbang, maupun pelaku usaha untuk menjadikan sebagai pusat

unggulan (center of excellence);

d. Mengawali dengan inkubator dan bekerjasama dengan industri

merupakan faktor kunci untuk menguatkan hubungan antara industri,

penyandang dana, wirausaha yang dapat memfasilitasi tercapainya

praktek terbaik;

2. Dukungan permodalan, meliputi:

a. Ketersediaan sumber permodalan yang dapat mendukung dalam

setiap tahap pengembangan;

b. Ketertarikan penyandang dana yang dipicu oleh potensi ekspor dari

produk yang dihasilkan;

c. Sumber pandanaan yang lain yang dapat diperoleh dari lembaga

keuangan maupun dari kebijakan insentif yang kondusif (pajak,

asuransi, kolateral, bentuk program pemerintah lainnya)

3. Kerangka kebijakan publik, meliputi:

a. Kebijakan perpajakan untuk memberikan insentif bagi para investor

dan pelaku usaha yang berpartisipasi dalam pengembangan

kewirausahaan;

b. Kebijakan publik untuk mendukung penelitian dan pengembangan

melalui kebijakan perpajakan dan bentuk insentif lain untuk dapat

mendukung dicapainya inovasi yang mendorong pengembangan

kewirausahaan;

Page 55: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

32

c. Pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah, penggunaan

(pengadaan) produk dan jasa dari usaha kewirausahaan oleh

pemerintah sebagai pelanggan awal (early customer) akan sangat

membantu pengembangan usaha kewirausahaan;

d. Kebijakan yang berpihak pada pengembangan kewirausahaan, hal ini

dapat dilakukan dalam lingkup sistem hukum, hak kekayaan

intelektual, serta kebijakan lain yang mendukung iklim kondusif bagi

pengembangan kewirausahaan;

4. Tatanilai sosial-budaya, meliputi:

a. Budaya kewirausahaan, mempromosikan karir kewirausahaan dan

memberikan toleransi pada kesalahan, serta penghargaan atas

“kegagalan” pada risiko yang dialami oleh pelaku kewirausahaan

akan mendorong pertumbuhan wirausaha baru dan potensi kegiatan

usaha lainnya;

b. Kepemimpinan politik yang mengedepandan keberpihakan pada

pengembangan kewirausahaan sangat penting bagi penciptaan

regulasi yang kondusif;

c. Mempromosikan keberhasilan yang telah dicapai oleh para wirausaha

yang sukses dapat menginspirasi dan memicu semangat wirausaha

lainnya maupun pertumbuhan wirausaha baru;

2.3.6.2 Penciptaan Generasi Masa Depan Usaha Inovasi Teknologi di Malaysia

Para wirausaha merasakan bahwa pemerintah memegang peran yang penting

dalam inovasi dan kewirausahaan. Pada saat ini pemerintah telah memiliki kebijakan

insetif bagi pengembangan teknologi dan kreativitas. Bahkan di Amerika pada saat

ni pemerintah masih memberikan dukungan kepada wirausahawan dalam bentuk

iniistif-inisiatif, termasuk dukungan pendanaan bagi wirausahawan pemula. Bahkan

dinegara manapun pemerintah harus tetap mendukung pengembangan iklim

kondusif bagi pengembangan wirausahawan baru, khususnya dalam penyediaan

modal.

Beberapa praktek kebijakan di Malaysia yang dilaksaksanakan untuk

memberikan dukungan pertumbuhan usaha inovasi teknologi, antara lain:

Page 56: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

33

1. Jenis dukungan yang tepat – berbasis pada sistem prestasi, dukungan

diberikan kepada para wirausahawan, inovator, perusahaan, lembaga

berdasarkan prestasi yang dicapai dan kelayakan dalam memberikan nilai

tambah bagi bangsa;

2. Kebijakan harus “membuka jalan rintisan”, kebijakan harus dapat

memfasilitasi para inovator dan wirausahawan untuk dapat maju pada semua

sektor kegiatan usaha;

3. Kebijakan yang terintegrasi, pembuatan kebijakan dengan melibatkan para

pelaku usaha yang terkait langsung dengan memperhatikan kepentingan

dalam penciptaan nilai tambah;

4. Inovasi adalah proses multi disiplin – bukan aktivitas dalam silo, berbagai

lembaga harus berkolaborasi dan bekerjasama dengan baik untuk

memastikan bahwa mereka telah memberikan yang terbaik bagi para

wirausahawan dan pelaku usaha untuk dapat mencapai hasil yang terbaik;

5. Indikator kinerja lembaga dan organisasi harus berorientasi pada

pertumbuhan kewirausahaan, ini adalah saat yang tepat bagi semua

lembaga dan orgaisasi pemerintah yang terlibat dalam inovasi kewirausahaan

untuk berkolaborasi dan berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih

bermakna yang terukur dalam indikator kinerja yang terintegrasi;

6. Kurangi monopoli dan promosikan inovasi, monopoli tidak baik bagi

negara karena akan “membunuh” inovasi, menghambat kewirausahaan,

meningkatkan harga, serta menumbuhkan korupsi. Bagi sebuah negara bila

benar-benar menginginkan inovasi sebagai masa depan suatu bangsa, maka

harus menghapuskan praktek monopoli sebagai agenda nasional;

2.4 Perancangan Kebijakan

2.4.1 Analisis Kebijakan Publik

Beberapa tujuan dalam analisa proses kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Memahami proses kebijakan yang telah dikembangkan dan

diimplemetasikan.

2. Memahami tujuan dan motif di balik kebijakan, dan sejauh mana kebijakan

itu berkaitan dengan livelihood dan/atau kemiskinan.

Page 57: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

34

3. Memahami dampak kebijakan terhadap livelihood. Sejauh mana kebijakan

itu benar-benar memenuhi tujuan mereka.

4. Memahami area intervensi dalam proses kebijakan terkait dengan

perkembangan, baik pengembangan kebijakan dan dampak livelihood.

Tujuan dan proses analisisi kebijakan dilustrasikan dalam kerangka analisis

kebijakan seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Karangka analisis kebijakan publik (Baginski, 2002)

Analisa proses kebijakan pada Gambar 4 diatas bekerja secara sistematis

tentang bagaimana fungsi kebijakan itu dipraktekkan. Sehubungan dengan hal ini,

langkah-langkah yang disajikan di atas sangatlah membantu apabila strukturnya

dilakukan dalam kerangka analitis dan dinamis yang berhubungan dengan kebijakan

pengembangan maupun implementasi. Meski langkah-langkahnya cukup logis dan

menjelaskan strukturnya, analisa juga harus menangkap unsur kontingensi dan

aspek-aspek yang melekat pada proses kebijakan tersebut. Model tersebut dapat

dilihat dalam kerangka analisis bahwa setiap aspek dalam analisas proses harus

dipahami, juga interaksinya.

Proses kebijakan tidak bisa dijelaskan dalam paradigma lama yang

„rasional‟ (misalnya proses kebijakan yang berjalan lancar pasti menghasilkan

kebijakan yang paling rasional, dan jika ada masalah, itu karena implementansinya).

Pada kenyataannya, membentuk kebijakan itu cukup sulit, dan prosesnya lama,

melibatkan negosiasi dan kekuatan-kekuatan diantara pemangku kepentingan.

Page 58: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

35

Salah satu aspek paling penting dalam proses kebijakan - seperti yang

diilustrasikan diatas - adalah proses yang berlangsung berulang-ulang dan terus

berkelanjutan, dan terus menerus tergantung kepada review dan inisiasi-inisiasi baru.

Melalui upaya untuk melaksanakan kebijakan tersebut, maka situasi dan isu-isu baru

terus bermunculan yang menuntut refleksi dan penyesuaian, bahkan reformulasi

dalam kebijakan itu. Dalam pengulangan ini, ada juga artikulasi kompleks dan

umpan balik dimana analisa harus tetap dilakukan.

2.4.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan

Dalam buku tersebut Freeman (1984) menekankan untuk membangun

sebuah pendekatan manajemen yang mempertimbangkan lingkungan eksternal

dengan suatu perhitungan dan pendekatan secara sistematis. Berkaitan dengan hal

tersebut dikemukakan tiga tingkatan analisis yang dapat digunakan untuk

memetakan pemangku kepentingan, yaitu: (1) tingkat analisis rasional, pada tingkat

ini kita harus memahami hal-hal yang merupakan kepentingan atau ekspektasi yang

menjadi ‘pertaruhan’ para pemangku kepentingan pada saat berhubungan dengan

organisasi; (2) tingkat analisis proses, adalah analisis untuk memahami bagaimana

organisasi baik secara implisit atau eksplisit mengelola hubungan dengan para

pemangku kepentingan, serta apakah proses ini sesuai dengan rasional peta

pemangku kepentingan organisasi. Menurut Freeman, ada proses strategis yang

bekerja cukup baik dapat diperkaya dengan kepedulian terhadap berbagai pemangku

kepentingan; (3) tingkat analisis transaksional, adalah langkah untuk memahami

himpunan transaksi atau tawar-menawar antara organisasi dan pemangku

kepentingan, serta menyimpulkan apakah negosiasi ini cocok dengan peta pemangku

kepentingan dan proses organisasi bagi para pemangku kepentingan. Menurut

Freeman kesuksesan transaksi dengan para pemangku kepentingan terbangun oleh

kesepahaman atas legitimasi dari pemangku kepentingan dan berlangsungnya proses

secara rutin yang menggambarkan kepedulian terhadap kepentingan mereka.

2.4.3 Dinamika Hubungan Pemangku Kepentingan

Konsep dinamika pemangku kepentingan diperkenalkan oleh Freeman

(1984) dan Alkhafaji (1989). Mitchel dan rekan (1997) mengemukakan model

pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan tiga atribut hubungan: kekuatan

(power), legitimasi (legitimacy), dan kepentingan (urgency). Dengan

Page 59: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

36

mengkombinasikan atribut tersebut dihasilkan tipologi pemangku kepentingan

(Gambar 5). Menurut mereka bila pemangku kepentingan memiliki hanya satu

atribut, maka disebut ‘latent stakeholder’ dan tidak menonjol. Jika satu-satunya

atibut yang dimiliki adalah kekuatan, maka disebut ‘dormant stakeholder’, bila

hanya legitimasi, disebut ‘discretionary stakeholder’, dan bila hanya kepentingan

disebut dengan ‘demanding stakeholder’.

Gambar 5. Pemetaan tipologi pemangku kepentingan (Mitchel, 1997)

Pemangku kepentingan memberikan arti yang lebih menonjol, bila memiliki

dua atribut sekaligus. Pemangku kepentingan ini disebut sebagai ‘expectand

stakeholder’. Dalam kelompok ‘expectand stakeholder’, yang memiliki atribut

kekuatan dan legitimasi disebut sebagai ‘dominant stakeholder’, untuk yang

memiliki legitimasi dan kepentingan disebut ‘dependent stakeholder’, sedangkan

yang memiliki atribut power dan kepentingan disebut ‘dangerous stakeholder’.

Pemangku kepentingan masuk dalam tipologi yang sangat menonjol bila

memiliki tiga atribut sekaligus. Tipologi ini disebut sebagai ‘definitive stakeholder’.

Lebih lanjut kualitas dan tingkat dinamika dari pemangku kepentingan dapat

ditunjukkan dengan pola perubahan dan pergeseran pemangku kepentingan dari satu

tipologi ke tipologi yang lain.

Page 60: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

37

2.4.4 Integrasi dalam Penciptaan Nilai Tambah

Burgelman (2001) mendiskripsikan lima bentuk integrasi strategis yang dapat

digunakan sebagai pendekatan dalam penciptaan nilai tambah (Gambar 6):

1. Integrasi ambisi berlebihan (overambitious integration), suatu kondisi bahwa

kemampuan organisasi tidak memungkinkan untuk melakukan trade-off antara

ruang lingkup dan sasaran pencapaian secara maksimal;

2. Integrasi minimal (minimal integration), kondisi ini memungkinkan organisasi

menetapkan lingkup dan sasaran sesuai dengan batasan atau sumberdaya yang

dimiliki;

3. Integrasi berbasis ruang lingkup (scope-driven integration), integrasi yang

ditetapkan berdasarkan potensi maksimum yang dapat dicapai dalam ruang

lingkup (scope), dengan mempertimbangkan keterbatasan yang dihadapi

dalam pencapaian sasaran (reach);

4. Integrasi berbasis pencapaian sasaran (reach-driven integration), ditetapkan

berdasarkan maksimum sasaran yang ingin dicapai, dengan

mempertimbangkan keterbatasan yang dihadapi dalam lingkup (scope);

5. integrasi strategis yang kompleks (complex integration), dilakukan dengan

mengupayakan secara maksimal baik dari sisi pencapaian (reach), maupun

lingkup (scope);

Page 61: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

38

Gambar 6. Integrasi dalam penciptaan nilai tambah (Burgelman, 2001)

2.5 Pendekatan Sistem

2.5.1 Sistem Manajemen Rantai Supply

2.5.1.1 Sistem Logistik Nasional

Menurut Council of Supply Chain Management Professional (CSCMP) yang

berkedudukan di Amerika Serikat: “Manajemen logistik adalah bagian dari

manajemen rantai suplai yang merencanakan, menerapkan dan mengendalikan

tingkat efisiensi dan efektifitas dari arus dan penyimpanan barang, jasa dan

informasi yang terkait, dari hulu-ke-hilir dan sebaliknya, mulai dari titik asal barang

tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk

dapat memenuhi persyaratan dan permintaan dari pelanggan” (Menko

Perekonomian, 2008).

Banyak masalah strategis dalam sektor logistik nasional teridentifikasi dari

hasil berbagai seminar, diskusi, bahkan riset yang terkait dengan sektor logistik.

Dalam praktek nyata pada dunia usaha, permasalahan tersebut dapat dilihat dengan

membandingkan kinerja sistem logistik pada beberapa negara sperti terlihat pada

Tabel 4 dan Tabel 5.

Page 62: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

39

Tabel 4. Besar biaya logistik terhadap total biaya yang dikeluarkan

Indonesia Malaysia Filipina Singapura Jepang (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Besar biaya logistik dari total biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha

17% 8% 7% 6% 5%

Sumber: Infobanknews (2011)

Tabel 5. Porsi biaya logistik terhadap PDB

Indonesia Korea Selatan Filipina Amerika

Serikat (1) (2) (3) (4) (5)

Porsi biaya logistik terhadap PDB 27% 16,3% 10,6% 9,9%

Sumber: Infobanknews (2011)

Pandangan dari pelaku industri penyedia jasa logistik (LSP) nasional

terhadap permasalahan tersebut (Kajian Gefeksi, 2008) menggambarkan sebagian

dari keseluruhan permasalahan tersebut dan seberapa jauh pengaruh mereka kepada

efektifitas dan efisiensi logistik nasional, dan pada gilirannya juga kepada daya

saing nasional. Permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Rendahnya penegakan hukum/peraturan, masih belum terintegrasinya

payung hukum yang kuat di sektor logistik merupakan permasalahan utama

dalam pertumbuhan dan kepastian hukum bisnis jasa logistik.

2. Rendahnya koordinasi lintas sektoral, lemahnya koordinasi antar

departemen, antar asosiasi, dan antar instansi diperparah dengan belum

adanya payung hukum dan peraturan perundangan yang kurang kuat.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh bermacam pihak tersebut sering tidak

terkoordinasi, sehingga penerapan di lapangannya sering menimbulkan

kesulitan dna bahkan gagal.

3. Sistem perdagangan yang kurang mendukung, sebuah fakta yang sangat

ironis adalah bahwa di dalam perdagangan internasional perusahaan-

perusahaan Indonesia sama sekali tidak memiliki bargaining position yang

memadai untuk turut mengendalikan sistem perdagangan (kontrak), termasuk

dampaknya terhadap manajemen logistik nasional.

4. Kurangnya dukungan infrastruktur dan sistem, yang meliputi: (a) belum

adanya ”hub port” nasional, (b) buruknya manajemen interkoneksi atau

sistem intermodal antara infrastruktur pelabuhan, transportasi dan

Page 63: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

40

pergudangan, (c) rendahnya kapabilitas aringan, teknologi informasi dan

pengetahuan;

5. Rendahnya kompetensi SDM dan lembaga pendidikan bidang logistik,

sebuah sistem logistik yang efisien dan terintegrasi sangat dibutuhkan untuk

menopang industri secara keseluruhan. Sistem ini baru bisa bekerja apabila

terdapat ketersediaan Sumber Daya Manusia yang tepat sasaran.

2.5.1.2 Koordinasi Membangun Integrasi Rantai Pasok

Untuk memaksimalkan potensi penciptaan nilai tambah melalui keunggulan

kompetitif, perusahaan (lembaga) perlu mengembangkan koordinasi, baik secara

intern maupun dengan pihak-pihak diluar lembaga (Dyer dan Singh, 1998).

Koordinasi antar lembaga-lembaga independen, seperti: pemasok bahan baku,

pemrosesan, distributor, maupun penyedia jasa logistik dan penjualan, merupakan

kunci untuk memperoleh fleksibilitas yang diperlukan dalam mencapai kinerja

integrasi rantai pasok, khususnya untuk memberikan respon maupun menghadapi

cepatnya perubahan kondisi pasar.

Simatupang dan Wright (2002) mengemukakan adanya empat modus yang

dapat diidentifikasikan dalam dimensi koordinasi yaitu:

a. Koordinasi sinkronisasi logistik (logistic synchronization), yang

bertanggungjawab untuk memastikan keselarasan antara aktivitas proses

logistik untuk pengiriman produk dan layanan yang dibutuhkan atau

diinginkan pelanggan (Fisher, 1997);

b. Koordinasi berbagi informasi (information sharing), mewujudkan koherensi

informasi, agar para pelaku dapat saling bekerjasama serta memahami aturan

berdasarkan informasi yang diperolehnya (Lee,2000);

c. Koordinasi penyelarasan insentif (incentive alignment), memotivasi para

pelaku untuk mencapai keuntungan dalam proses rantai pasok, dengan cara

menyediakan berbagai mekanisme untuk mendistribusikan manfaat dan risiko

yang terkait dengan fungsi-fungsi logistik (Lee, 2000; Simatupang dan

Sidharan, 2002);

d. Koordinasi pembelajaran bersama (collective learning), kesepakatan berkaitan

dengan tindakan (how) untuk mengatasi masalah yang memerlukan inisiasi

dan pengetahuan lintas fungsi/batas (Senge, 1990).

Page 64: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

41

Tabel 6. Taksonomi mode koordinasi dalam rantai pasok

Koordinasi Mutualistis Komplementer Koherensi

Fokus koordinasi

Keterkaitan operasional

Sinkronisasi logistik (obyek: produk/jasa dan proses logistik)

Pertukaran informasi (obyek: informasi)

Keterkaitan organisasional

Penyelarasan insentif (obyek: keuntungan dan resiko)

Pembelajaran kolektif (obyek: pengetahuan dan kapabilitas)

Sumber: Simatupang & Wright (2002)

2.5.1.3 Manajemen Rantai Pasok Produk Pertanian

Marimin (2010) menjelaskan bahwa manajemen rantai pasok produk

pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena: (1)

produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan, dan

pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan

ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk

ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Seluruh faktor tersebut harus

dipertimbangkan dalam disain manajemen rantai pasok produk pertanian karena

kondisi rantai pasok produk pertanian lebih kompleks darpada rantai pasok pada

umumnya. Selain hal tersebut rantai pasok pertanian juga bersifat probabilistik dan

dinamis (Marimin dan Maghfiroh, 2010).

Berdasarkan konsep supply chain terdapat tiga tahapan dalam aliran material.

Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical

supply, manufaktur mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan kepada

konsumen akhir membentuk sistem physical distribution.

2.5.1.4 Referensi Operasi Rantai Pasok

Metode SCOR (supply chain operations reference) merupakan metode

sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti teknik bisnis,

benchmarking, dan praktek terbaik (best practices) untuk diterapkan di dalam rantai

pasokan. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut diwujudkan dalam kerangka kerja

yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkat kinerja manajemen rantai

pasokan tertentu. Gambar 7 menunjukan bahwa pada dasarnya model SCOR

didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu:

Page 65: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

42

a. Pemodelan proses, referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasokan

agar lebih mudah diterjemahkan dan dianalisis. Meliputi lima proses yang

terintegrasi, yaitu: perencanaan (plan), pengadaan (source), produksi (make),

distribusi (distribution), dan pengembalian (return). Sebagai proses tambahan

pada masing-masing proses tersebut dapat dilakukan suatu tindakan (enable).

b. Pengukuran performa/kinerja rantai pasokan, referensi untuk mengukur

performa suatu rantai pasokan sebagai standar pengukuran. Model SCOR

menyediakan lebih dari 150 indikator penilaian yang mengukur performa

proses rantai pasokan (www.wikipedia.org). Kriteria yang digunakan dalam

pengukuran performa rantai pasokan tersebut disebut dengan atribut performa,

meliputi: reliabilitas rantai pasokan, responsivitas rantai pasokan, fleksibilitas

rantai pasokan, biaya rantai pasokan, dan manajemen asset rantai pasokan.

c. Penerapan best practice (praktek-praktek terbaik), referensi untuk

menentukan praktek terbaik yang dibutuhkan. Model SCOR menyediakan

praktek-praktek terbaik yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam

penerapannya. Praktek-praktek tersebut haruslah memenuhi kriteria, antara

lain adalah: keterkinian, terstruktur, terbukti, dapat diulang, memiliki metode

yang jelas, serta memberikan imbas yang positif ke arah kemajuan.

Gambar 7. Model referensi proses bisnis SCOR

2.5.1.5 Rantai Pasok Daging Sapi

Rantai pasok daging sapi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam lima

tahap yang dimulai dari tahap produksi yang dilakukan oleh peternak tradisional

atau peternak kecil, selanjutnya masuk pada tahap distribusi ternak sapi, baik untuk

antar kabupaten maupun antar propinsi (Gambar 8). Pada tahap pemotongan ternak

Page 66: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

43

sapi, rumah potong hewan selain mendapat pasokan dari sapi lokal yang berasal dari

perdagangan antar kebupaten maupun antar propinsi, juga mendapatkan pasokan

sapi yang berasal dari luar negari (import). Pemeliharaan untuk waktu tertentu

dilakukan untuk sapi import sampai saat pemotongan dilakukan (USAID, 2007).

Tahap keempat adalah pemrosesan yang dilakukan sampai daging siap

dipasarkan, baik dalam bentuk potongan daging maupun bentuk produk olahan

dalam berbagai merk dagang. Produk olahan dalam bentuk bakso (meat ball)

diperkirakan membutuhkan 60% dari seluruh produksi daging nasional. Pada tahap

akhir adalah pemasaran, daging yang ada di pasaran dapat berasal dari rumah

potong hewan, pemrosesan daging, maupun daging import. Para pedagang daging

(retail) ataupun konsumen besar (hotel, rumah makan, atau institusi) memperoleh

pasokan dari pasar daging atau pedagang besar, yang selanjutnya para pedagang

tersebut menjual kepada konsumen.

Gambar 8. Rantai pasok daging sapi di Indonesia

Page 67: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

44

2.5.2 Pengorganisasian dan Pengukuran Kinerja

2.5.2.1 Pendekatan dalam Pengambilan Keputusan

Ditinjau dari komponen input, proses, dan output, suatu sistem dapat

diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu sistem analisis, sistem disain, dan sistem

kontrol. Tabel 7 mengilustrasikan ketiga kategori tersebut.

Tabel 7. Matriks klasifikasi sistem

Sistem Input Proses Output (1) (2) (3) (4)

Analisis ()

Karakteristik sudah diketahui

() Karakteristik sudah

diketahui

() Karakteristik perlu

dianalisis/direkayasa/ diatur

Desain ()

Karakteristik sudah diketahui

() Karakteristik perlu

dianalisis/direkayasa/ disintesis

() Karakteristik sudah

diketahui

Kontrol

() Karakteristik perlu

dianalisis/direkayasa/ diatur

() Karakteristik sudah

diketahui

() Karakteristik sudah

diketahui

Sumber: Marimin (2007)

Dapat ditemukenali karakteristik kesalahan dalam pengambilan keputusan

yang spesifik untuk setiap strata, sebagai berikut :

a. Untuk tingkat direktif (S1), sumber kesalahan keputusan adalah kehilangan

kesempatan (opportunity loss) yang disebabkan pemisahan yang tidak tepat

antara tujuan organisasi khususnya program jangka panjang, dengan evolusi

lingkungan sistem yang aktual;

b. Tingkat strategis (S2), kesalahan dalam kekeliruan pendayagunaan (disutility).

Hal ini merupakan konsekuensi dari ketidaksinambungan pada struktur

perencanaan yang semestinya disesuaikan secara relatif pada kejadian aktual;

c. Tingkat taktis (S3), sumber kesalahan berwujud pada ketidak seimbangan

(disequilibrium). Hal ini disebabkan perubahan-perubahan pada instrument

pengendali;

d. Tingkat operasional (S4), kesalahan tampak dalam bentuk munculnya

keragaman (variance) yang disebabkan karena perbedaan nyata antara hasil

yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya dalam mekanisme

transformasi input-output;

Page 68: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

45

Karakteristik dari setiap tingkat dalam hirarkhi manajemen pengambilan keputusan

tersebut dijelaskan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Teknologi manajemen pada sistem pengambilan keputusan

Kategori/Kelas Keputusan Teknologi Manajerial Proses Keputusan (1) (2) (3)

S1 :

Direktif Untuk mengelola integritas organisasi jangka panjang

- Skema penelitian lapang - Program pemecahan model

heuristik - Prosedur keputusan

Perencanaan jangka panjang

S2 :

Strategis Untuk mengelola integritas komponen dan adaptasi awal kecenderungan lingkungan

Status stokastik : - Model teori peluang - Analisa program kualitatif/

logic

Perencanaan perihal tak terduga

S3 :

Taktis Untuk memadukan parameter-parameter organisasional dengan kendala-kendala eksogenus yang mutakhir

Status terbatas : - Instrument pengendali dan

keputusan berdasar statistik - Model probabilistic untuk

metode ekonometrik - Teori keputusan parametrik

Pemeliharaan keseimbangan

S4 : Operasional Untuk mengelola efisiensi dan prediksi pada tingkat

Status diskrit : - Hitungan algoritmik - Teknik penelitian

operasional

Pengendalian proses

Sumber: Marimin (2004)

2.5.2.2 Metafora Organisasi Morgan (2008) membedah pemahaman tentang kehidupan organisasi dengan

menggunakan istilah metaphor yang berarti menyamakan. Dalam arti kesamaan cara

kerja dan aktivitasnya. Morgan menyampaikan 8 metafora organisasi. yaitu: (1)

organisasi sebagai mesin (organization as machine), (2) Organisasi itu seperti

makhluk hidup (organization likes organism). (3) Organisasi adalah otak

(organization as brain). (4) Organisasi adalah budaya (organization as culture). (5)

Organisasi sebagai system politik (as political system). (6) Organisasi sebagai

psychic prison. (7) Organisasi itu perubahan yang terus menerus (flux and

transformation) dan (8) organisasi adalah alat untuk menguasai (instrument of

domination).

2.5.2.3 Modal Intelektual Organisasi Studi tentang aplikasi manajemen modal intelektual telah dilakukan di

beberapa negara baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Studi

ini dilakukan di negara maju seperti Inggris (Brooking, 1996; Roos et al., 1997),

Kanada (Bontis, 1997; Miller, 1999), Amerika Serikat (Stewart, 1997), sedangkan

Page 69: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

46

dinegara berkembang dilakukan di Taiwan (Tsan dan Chang, 2003) dan Malaysia

(Bontis dan Richardson, 2000). Jung (2009) menggambarkan kerangka kerja dari

intelektual organisasi seperti dalam Gambar 9.

Sumber: Jung (2009)

Gambar 9. Kerangka kerja dari intelektual organisasi

Modal intelektual yang mencakup sumber daya manusia, modal

organisasional, dan modal relasional merupakan aset intangible yang berperan

penting sebagai sumber daya untuk mencapai keunggulan kompetitif yang

berkelanjutan. Melalui pengelolaan modal intelektual secara tepat organisasi dapat

mengembangkan sumber daya yang dimiliki untuk menunjang pencapaian tujuan

dan sasaran organisasi. Untuk mencapai kesuksesan dalam mengelola modal

intelektual perlu pengintegrasian aset intelektual dengan strategi pengembangan

organisasi dan adaptasi dengan perubahan internal maupun eksternal yang sangat

dinamis.

2.5.2.4 Pengukuran Kinerja Pencapaian, dibanyak organisasi, diukur dalam bentuk uang – kriteria

kesuksesan adalah sejauh mana keuntungan dapat dimaksimalkan. Namun, oleh

Beer (1984), ini tidak dianggap sebagai hal yang memuaskan karena pencapaian itu

mengabaikan seberapa baik organisasi mempersiapkan masa depan dengan

melakukan investasi dan pengembangan. Oleh sebab itu Beer mengadopsi 3 jenis

pencapaian (aktualitas, kapabilitas dan potensialitas) dimana hal tersebut

digabungkan dengan tiga indeks (produktivitas, efektivitas dan kinerja) sebagaimana

Page 70: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

47

dijelaskan pada Gambar 10 yang menjelaskan ukuran kinerja yang komprehensif

dalam hubungannya dengan semua jenis sumber-sumber yang ada dalam organisasi.

Sumber: Jackson (2003)

Gambar 10. Model pengukuran kinerja kelembagaan

Tiga tingkat pencapaian didefinisikan dengan jelas sebagai berikut:

1. Aktualitas adalah apa yang sekarang kita lakukan, dengan sumber daya yang

ada dan dengan kendala-kendala yang ada.

2. Kapabilitas adalah apa yang dapat kita lakukan sekarang jika kita benar-

benar berusaha untuk itu, dengan sumber-sumber yang ada dan dengan

kendala yang ada.

3. Potensialitas adalah apa yang bisa kita lakukan dengan mengembangkan

sumberdaya serta menghapus kendala, meski masih beroperasi dalam batas-

batas yang masih dapat ditoleransi.

Oleh sebab itu, indeks adalah:

1. Produktivitas: Ratio aktualitas dan kapabilitas

2. Efektivitas: Ratio kapabilitas dan potensialitas

3. Kinerja: Rasio aktualitas dan potensialitas, juga produk laten dan

produktivitas

2.5.3 Pendekatan Soft System Methodology (SSM)

2.5.3.1 Siklus Pembelajaran dalam SSM

Dalam SSM terdapat berbagai teknik yang digunakan dalam menganalisis

penelitian kebijakan. Mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang sangat

multi disipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan

komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu metoda saja. Selain hal

tersebut peneliti juga harus menyadari bahwa setiap teknik (complementarism)

Page 71: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

48

memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dengan menggunakan kombinasi

teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan

meminimalisasi bias dalam penelitian.

Checkland (1981) dalam Jakson (2003), “Systems Thinking, Creative Holism

for Managers”, yang dikembangkan oleh Eriyatno (2007), bahwa implementasi

SSM dapat dilakukan dalam 7 (tujuh) siklus, seperti pada Gambar 11:

1. Situasi permasalahan yang tidak terstruktur, dimana peneliti harus mendalami situasi yang dihadapi (problem situation);

2. Situasi permasalahan yang ditemu kenali, upaya pemahaman masalah secara

kreatif dalam bentuk “rich picture”, belum dalam pola kesisteman;

3. Pendefisian sistem yang relevan, tahap ini merupakan wilayah human activity

systems. Pada tahap ini ditentukan sistem, metode dan teknik yang akan

digunakan dalam pendekatan SSM sesuai tujuannya, dilakukan pertimbangan

terhadap 6 (enam) hal yang disingkat CATWOE (Customers, Actors,

Tranformation process, World view, Owner, Environmental Constraints);

4. Model konseptual, tahap penyusunan model konseptual dengan cara berfikir

system. Tahap 3 (CATWOE) merupakan basis untuk menghasilkan model

yang inovatif (lebih baik) dari model (kondisi) yang telah ada;

5. Perbandingan antara “model konseptual” dan “situasi permasalahan yang

ditemu kenali”, pada tahap ini dilakukan eksplorasi atas “model konseptual”

dan “situasi permasalahan yang ditemu kenali”, dan disusun bahan diskusi

dengan semua kemungkinan alternatif pemecahan masalah;

6. Identifikasi hal yang diinginkan secara sistematis dan perubahan yang layak

secara efektif, merupakan langkah untuk memilih alternatif yang terbaik

(optimal) berkaitan dengan pemenuhan kepentingan aktor atas perubahan yang

akan diambil, serta cara dan metode perubahan yang akan dilakukan;

7. Tindakan untuk memperbaiki keadaan, adalah tahap penerapan model kreatif

yang dihasilkan dalam praktek nyata sebagai upaya untuk memperbaiki

permasalahan yang ada.

Page 72: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

49

Sumber : Eriyatno, Riset Kebijakan, hal 75.

Gambar 11. Siklus pembelajaran dalam Soft Systems Methodology

SSM merupakan pendekatan sistemik yang dapat digunakan dalam

penyelesaian masalah yang komplek, tidak terstruktur, dan melibatkan berbagai

variabel dengan karakteristik dan perspektif yang bervariasi. Pendekatan SSM telah

banyak digunakan baik dalam riset ilmiah maupun dalam upaya untuk

menyelesaikan permasalahan konkrit yang dengan basis empiris serta melibatkan

berbagai pemikiran berbagai ahli dalam disiplin ilmu yang berbeda. Sebagai

ilustrasi beberapa penilitan di Indonesia yang telah menggunakan pendekatan SSM

dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan untuk penelitian yang telah dilakukan di

negara lain dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 9. Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Indonesia

No Judul Penelitian Dilakukan oleh (1) (2) (3)

1. Rancangan Kebijakan Pengelolaan Budaya Organisasi Untuk Meningkatkan Kapabilitas Bank Sntral

Widyo Gunadi Bulletin Penelitian Universitas Mercubuana No. 24. Maret 2011: 37-49

2. Disain Lembaga Pembiayaan Pertanian Nasional Subsektor Tanaman Pangan Menggunakan Pendekatan Interpretative Structural Modeling (ISM)

Imam Teguh Saptono Jurnal Manajemen dan Agribisnis. Vol. 7 No. 2 Oktober 2010: 84-96

Page 73: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

50

Tabel 9 (lanjutan) No Judul Penelitian Dilakukan oleh (1) (2) (3)

3. Keunggulan Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri Kecil Tradisional dengan Pendekatan Berbasis Sumber Daya: Studi Kasus Pengusaha Industri Kecil Logam Kiara Condong, Bandung

Widjajani. Yudoko Jurnal Teknik Industri Vol. 10. No. 1. Juni 2008: 50-64

4. Penatakelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik Melalui Pendekatan Metodologi Sistem Lunak : Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan

Martin. Winarno. Purnomo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 5 No. 3 September 2008: 179-202

5. Rancang Bangun Operasional Teknologi Informasi Bank Sentral Melalui Sistem Outsourcing

Tjiptorogo Dinarjo Disertasi Doktor pada Program Studi Manajemen Bisnis IPB

Tabel 10. Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Negara lain

No Judul Penelitian Dilakukan oleh (1) (2) (3)

1. Systems thinking in innovation project management: A match that works

Maria Kapsali, International Journel of Project Management. 29 (2011) 396-407

2. Operational Research, Systems Thinking and Development Of Management Sciences Methodologies in US and UK

Alberto Paucar-Caceres, Scientific Inquiry, vol. 9, No.1, June, 2008: 3-18

3. The Application of Systems Thinking and Systems Theory to Systems Engineering

Adams., Mun. 26th ASEM National Conference Proceedings, October 2005

4. Five case studies applying Soft Systems Methodology to Knowledge Management

Tayyab Maqsood Doctoral Candidate, CRC for Construction Innovation, RMIT University, Melbourne, Victoria, Australia

5. A Soft Systems Methodology for Transforming Organisations to Product-Service Systems (Application In Defence and Construction Industry)

Maged Morcos and Michael Henshaw 7 th Annual Conference on Systems Engineering Research 2009 (CSER 2009)

2.5.3.2 Viable System Model (VSM) VSM merupakan perwujudan berbagai macam hukum dan prinsip cybernetik

yang disebut Beer (1984) sebagai hal penting untuk meningkatkan kinerja

organisasi. Tidak mengherankan apabila hal ini ditemukan dalam pendekatan yang

disebut sebagai organisasi cybernetik. Namun demikian perlu diingat bahwa VSM

Page 74: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

51

itu sendiri hanya sebagai model – bukan metodologi – dan dapat digunakan untuk

tujuan lain.

Gambar 12. Rekayasa variasi

Titik awal kita untuk memahami VSM haruslah mengenai konsep “variasi”

dan hukum variasi dari (Ashby, 1956): “hanya variasi yang dapat menghancurkan

variasi”. VSM merupakan bagian canggih atas implikasi hukum Ashby yang

diperlukan untuk berbagai macam organisasi. Proses penting yang dihadapi

organisasi harus diselesaikan – yaitu sentralisasi versus desentralisasi. Seperti yang

diperlihatkan dalam Gambar 12, manajemen lebih tertarik untuk mengontrol operasi

daripada menyadari tujuan yang disepakati. Di saat yang sama, apabila operasi

tersebut responsif terhadap perubahan dalam lingkungan, mereka akan

membutuhkan kapasitas maksimum untuk bertindak dalam cara otonom. Sebaliknya,

apabila manajemen terlalu banyak membatasi variasi operasi, maka organisasi

menjadi tidak adaptif terhadap perubahan lingkungan. Dilain pihak apabila

manajemen terlalu sedikit melakukan kontrol terhadap operasi, maka tujuan

organisasi akan meleset dan tidak akan mencapai tujuan. Oleh karena itu VSM

menjelaskan solusi kepada manajer dimana otonomi maksimal diberikan kepada

operasi sejalan dengan sistem sehingga mencapai tujuan.

Tujuan selanjutnya adalah memusatkan perhatian pada “sistem fokus”,

dengan menggunakan VSM pada model rekursi tiga tingkatan. Penerapan VSM

dalam organisasi terdiri dari lima elemen (sistem 1 sampai 5), yang disebut:

implementasi (implementation), koordinasi (coordination), operational control

(termasuk managemen pendukung), pengembangan (development) dan kebijakan

(policy). Fungsi-fungsi yang ditangani oleh lima elemen ini, dijalankan pada semua

sistem yang diharapkan dapat berkelanjutan (Gambar 13).

Sistem 1, memiliki kebebasan penuh untuk berhubungan dengan

lingkungannya. Oleh karena itu, sistem tersebut harus dirancang – sesuai dengan

VSM – dengan kebijakan, perkembangan, operational control, koordinasi dan

Page 75: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

52

fungsi-fungsi implementasi sendiri mereka sendiri. “ledakan” elemen B, dengan

manajemen lokal 1B dan lingkungan yang mendukung

Gambar 13. Viable system model (Jackson, 2003)

Bagian-bagian sistem 1 didesain untuk dapat dijalankan secara mandiri.

Mereka dapat merespon perubahan dalam lingkungannya sesuai dengan prioritas

mereka sendiri. Manajemen lokal 1B misalnya – berdasarkan keputusan manajemen

lebih tinggi - setuju dengan tujuannya untuk menjalankan operasi B sendiri, dan

menerima umpan balik atas informasi dan kinerja, lalu mengambil tindakan korektif

yang diperlukan.

1. Otonomi atas bagian-bagian itu merupakan dasar untuk menyebarkan

kepemimpinan dan kontrol terhadap seluruh sistem. Satu-satunya pembatasan

otonomi pada elemen sistem 1 berasal dari persyaratan bahwa mereka harus

terus berfungsi sebagai sebuah bagian dari keseluruh organisasi.

Page 76: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

53

2. Oleh sebab itu mereka menerima konfirmasi atas tujuan dan sasaran mereka

dari sistem 5, disempurnakan menjadi target oleh sistem 3, turun secara

vertikal ke saluran perintah dan tunduk pada koordinasi dan audit oleh sistem

2 dan 3.

3. Mereka menyampaikan laporan kinerja pada sistem 3.

Mudah melihat VSM sebagai hierarki dan pembatasan sistem 1 merupakan

„kendala‟. Namun pandangan itu keliru. VSM memang perlu naik turun sehingga

jelas terlihat bahwa sistem 1 adalah bagian terpenting. Sementara itu sistem 2

sampai 5 – yang kadang-kadang disebut juga “metasistem” - memfasilitasi operasi

sistem 1. Elemen B tidak menyadari tujuannya jika ditolak oleh tindakan dari A,C

atau D, yang juga memerlukan koordinasi atau sistem 2. Tidak ada gunanya bagi B

untuk terus mengejar tujuan yang ada. Misalnya, jika perubahan besar dalam seluruh

lingkungan membuatnya tidak relevan – maka kebutuhan akan pengembangan

didorong oleh sistem 4. Sementara itu sistem 2-5, dirancang untuk menjadi

fasilitator. Bahaya akan muncul apabila sistem 2–5 mengambil alih hidupnya sendiri

dan mulai berperan seperti apa yang diperankan pada sistem 1 sebagai bagian

operasi dalam sebuah organisasi. Sistem 2-5 tidak diijinkan untuk menjadi sistem

yang menjamin kelangsungan hidup. Otonomi elemen sistem 1 terlindungi dengan

sangat baik. VSM menjelaskan bahwa kontrol terhadap manajemen dijalankan oleh

koordinasi dan audit daripada otoritas yang berada di bawah garis perintah diatas.

Sistem 2 adalah fungsi koordinasi karena sistem 2 terdiri dari berbagai

macam peraturan dan regulasi untuk memastikan bahwa bagian-bagian sistem 1

tetap berada dalam jalurnya. Hal ini juga termasuk persyaratan-persyaratan hukum

yang perlu dipatuhi. Sistem 2 digunakan untuk memastikan keharmonisan antara

elemen-elemen sistem 1. Jika sebuah divisi mempekerjakan karyawan dimana

kondisi dan persyaratannya berbeda dengan apa yang biasa digunakan dalam B,C

dan D, ini akan menimbulkan merusak keseluruhan sistem 1 dan memiliki dampak

yang buruk.

Sistem 3(*) adalah pembantu dari sistem 3, memenuhi ketentuan-ketentuan

audit untuk memastikan bahwa target yang ditentukan oleh sistem 3, serta peraturan

dan regulasi yang dikeluarkan oleh sistem 2, dipatuhi. Saluran ini memberikan akses

langsung pada sistem 3, dan secara berkala, masuk dalam sistem operasional.

Page 77: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

54

Melalui cara ini, sistem 3 dalam melakukan pengecekan lebih cepat atas kinerja,

kualitas, kepatuhan terhadap regulasi keuangan, maintenance, dan lainnya.

Peran sistem 3 yang tepat adalah mengontrol operasi sistem 1 dan

manajemen service (fungsi-fungsi seperti sumberdaya manusia dan keuangan).

Sistem 3 memiliki tanggungjawab untuk menjalankan organisasi sehari-hari,

memastikan bahwa ketentuan diimplementasikan dengan tepat.

1. Sistem 3 muncul dalam bentuk perintah, dan harus menghasilkan rencana yang

terkoordinasi, lalu mengalir ke garis bawah – menuju sistem 1. Ini melibatkan

„tawar menawar sumberdaya‟ dengan bagian-bagian sistem 1. Segera setelah

hal ini selesai dilakukan, maka secepat mungkin (khususnya di area-area

pendukung) untuk langsung melakukan operasi melalui koordinasi dan audit.

2. Terkadang, dalam rangka menerima informasi dari sistem 4,3* atau 2

diperlukan langkah-langkah kontrol yang lebih hierarkis. Sistem 3 juga harus

membuat laporan atas setiap informasi yang diperlukan oleh sistem 5.

Dalam sebuah organisasi, sistem 1,2 dan 3 membuat Beer menyebutnya

“manajemen otonom” karena dapat menjaga stabilitas internal dan mengoptimalkan

kinerja dalam sebuah kerangka kerja yang baik tanpa referensi yang lebih tinggi dari

manajemen. Meski demikian manajemen otonom tidak memiliki pandangan yang

menyeluruh atas lingkungan organisasi sehingga tidak mampu menanggapi ancaman

dan peluang yang timbul. Sistem itu juga tidak memiliki kapasitas pembelajaran

ganda. Jadi itulah mengapa sistem 4 dan 5, diperlukan.

Sistem 4, pengembangan, adalah tempat dalam sebuah organisasi dimana

informasi internal yang diterima dari sistem 3 diubah bersama-sama dengan

informasi lingkungan organisasi, lalu disajikan dalam bentuk pengambilan

keputusan. Beer mengatakan bahwa sistem 4 adalah „ruang operasi‟ perusahaan,

„lingkungan keputusan‟ yang riil.

1. Sistem 4 harus dapat menangkap semua informasi yang relevan tentang

lingkungannya secara total. Apabila organisasi ingin menyesuaikan diri

dengan variasi lingkungan yang dialaminya, diperlukan sebuah model yang

memuat prediksi-prediksi masa depan.

2. Sistem 4 membentuk model ini lalu mengkomunikasikan informasi ini kepada

sistem 3 jika tindakan cepat dibutuhkan, atau kepada sistem 5 jika memiliki

Page 78: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

55

implikasi jangka panjang. Sistem 4 juga membantu organisasi

memperkenalkan dirinya sendiri kepada lingkungan.

3. Umumnya, sistem 4 merupakan rumah bagi aktivitas-aktivitas seperti

perencanaan, marketing, riset dan pengembangan serta hubungan

kemasyarakatan.

Sistem 5, kebijakan, bertanggung-jawab atas arah organisasi secara

keseluruhan. Sistem 5 merumuskan kebijakan berdasarkan informasi yang diterima

oleh sistem 4 lalu mengkomunikasikannya ke bawah – kepada sistem 3 – untuk

diimplementasikan oleh setiap divisi.

1. Tugas pentingnya adalah menyeimbangkan antara konflik internal dan

permintaan eksternal. Di sini diperlukan kesimbangan pada sistem 3 – yang

mewakili komitmen manajemen otonom untuk melanjutkan operasi – dan

sistem 4 yang hubungannya dengan lingkungan cenderung keluar dan

berorientasi masa depan.

2. Sistem 5 harus memastikan bahwa – bila diperlukan - organisasi harus

menyesuaikan dengan lingkungan eksternal, namun masih mempertahankan

keuntungan yang dapat diperoleh dari stabilitas internal.

3. Sistem 5 juga harus menterjemahkan identitas dan tujuan seluruh sistem ke

dalam sistem yang lebih luas. Dalam peran ini, sistem 5 bertindak sebagai

manajemen lokal dari elemen tertentu di sistem 1 dalam sebuah sistem yang

lebih luas.

2.6 Teori Validasi Model

Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk

menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang

sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang

meyakinkan dan valid. Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang

iteratif untuk penyempurnaan model yang dibangun Penyederhanaan proses validasi

bagi pemodelan dapat dilihat pada Gambar 14.

Page 79: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

56

Gambar 14. Penyederhanaan Proses Pemodelan (Sargent, 1998)

Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent

(1998), terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu:

1. Animation, penampilan secara grafis/visual dalam periode waktu tertentu;

2. Comparison to other models, membandingkan dengan model lain yang telah

valid;

3. Degenerate test, pengujian perilaku model berdasarkan dengan peubah nilai

input dan parameter internal;

4. Event validity, pengujian dengan membandingkan dengan “peristiwa” pada

sistem yang nyata;

5. Extreme condition test, pengukuran kemampuan struktur model untuk

beroperasi pada kondisi yang ekstrim;

6. Face validity, pengukuran validitas dengan meminta pendapat para pakar

yang berpengetahuan tentang sistem, apakah model yang diajukan telah

berperilaku yang wajar. Teknik ini dapat digunakan dalam menentukan

apakah logika dalam model konseptual dianggap benar dan hubungan input-

outputmodel beroperasi secara wajar;

7. Fixed values, (menggunakan konstanta) digunakan dalam berbagai input dan

parameter internal sebuah model;

8. Historical data validation, membangun sistem (lanjutan) berdasarkan data

historikal yang telah ada (misal untuk sistem cuaca);

Page 80: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

57

9. Historical methods, validasi dapat dilakukan dengan tiga pendeketan

yaitu: rasionalisme, empirisme, dan ekonomipositif;

10. Internal validity, beberapa ulangan (berjalan) dari model stokastik yang

dibuat untuk menentukan jumlah (internal) variabilitas stokastik;

11. Multistage validity, menggabungkan tiga metode historis dari rasionalisme,

empirisme, dan ekonomi yang positif ke dalam suatu proses dengan cara:

(1) mengembangkan asumsi model pada teori pengamatan, pengetahuan

umum, (2) memvalidasi dengan cara empiris, serta (3) membandingkan

(input-output) dengan sistem yang nyata;

12. Operational graphic, penampilan grafis sebagai model bergerak dalam

periode waktu, dalam bentuk perilaku dinamis dari indikator kinerja secara

visual ditampilkan model simulasi model bergerak dalam kurun waktu;

13. Parameter variability-sensitivity analysis, perubahan nilai-nilai

parameter input dan internal model untuk menentukan efek terhadap

perilaku model dan output;

14. Predictive validation, memprediksi (perkiraan) perilaku sistem, dan

kemudian dibuat perbandingan antara perilaku sistem dan perkiraan model

untuk menentukan apakah mereka adalah sama;

15. Traces, penelusuran perilaku berbagai entitas untuk menentukan apakah

logika dalam model telah benar;

16. Turing test, dengan meminta pendapat pakar apakah mereka dapat

membedakan antara sistem dan keluaran model yang dihasilkan;

Page 81: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

58

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 82: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

59

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan swasembada daging sapi nasional akan melibatkan berbagai

pemangku kepentingan dengan masing-masing peran dan fungsi (Gambar 15), saling

terkait sebagai sebuah sistem yang (1) saling berinteraksi sebagai komponen sebagai

sebuah proses; (2) interrelasi dalam menjalankan proses sebagai sebuah sistem; dan

(3) interkoneksi diantara sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan

kondisi lingkungannya.

Gambar 15. Peta lingkungan swasembada daging sapi nasional

Mempertimbangkan luasnya lingkup dalam pencapaian swasembada daging

sapi nasional, maka penelitian ini akan ditekankan pada hal-hal yang terkait dengan :

1. Bagaimanakah pola pengorganisasian perencanaan pembangunan

swasembada daging sapi nasional yang terintegrasi lintas kementerian,

lembaga dan daerah agar dapat dicapai hasil pembangunan yang optimal;

2. Bagaimanakah koordinasi dan penataan peran kementerian, lembaga dan

daerah untuk dapat mencapai sinergi program dan anggaran agar dapat

dicapai swasembada daging sapi yang berkesinambungan;

3. Bagaimanakan mengukur pencapaian kinerja kementerian, lembaga dan

daerah baik sebagai satuan kerja kementerian/lembaga/daerah maupun

sebagai sebuah sistem yang terintegrasi;

Berbagai pemangku kepentingan yang terlibat akan menjalankan peran dan

fungsinya untuk mencapai swasembada daging sapi dalam diagram input-output

Page 83: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

60

terlihat bahwa (1) manajemen perencanaan, (2) koordinasi dan integrasi pelaksanaan

program, dan (3) identifikasi masalah monitoring dan evaluasi) dan tindakan

korektif, merupakan komponen dari blok manajemen pengendalian untuk mengatasi

timbulnya output yang tidah dikehendaki (Gambar 16).

Gambar 16. Diagram input-output swasembada daging sapi

3.2 Sasaran, Waktu dan Ruang Lingkup Penelitian

3.2.1 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ditetapkan di beberapa Kementerian/Lembaga/Daerah dan

pemangku kepentingan yang terkait secara terseleksi. Penetapan tersebut dilakukan

dengan beberapa pertimbangan antara lain:

a. Kementerian PPN/Bappenas dan atau lembaga perencana sebagai menjadi

“vocal point” dalam :

- Implementasi UU No. 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. Khususnya terkait dengan (a) mendukung

Page 84: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

61

koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya

integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang,

antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

- Sebagai pengambil kebijakan dan program dalam rencana pembangunan

nasional baik jangka panjang (RPJPN), menengah (RPJMN) maupun

tahunan (RKP).

b. Kementerian Pertanian dan atau SKPD Pertanian adalah lembaga yang

melaksanakan tugas pokok dan fungsi terkait langsung dengan sub-sektor

peternakan, sekaligus sebagai lembaga yang secara langsung terkait dengan

sektor pembangunan yang menjadi sasaran program;

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 15 bulan, dimulai dengan

melakukan studi pustaka, penyusunan proposal, serta selanjutnya mengikuti

persyaratan akademis maupun teknis untuk memenuhi persyaratan penilitian ilmiah

hingga penulisan dan pertanggungjawaban hasil melalui ujian disertasi.

3.2.3 Ruang Lingkup Penelitian

Dengan uraian diatas maka lingkup penelitian ini akan ditekankan pada hal-

hal yang terkait dengan:

1. Bagaimanakah pola pengorganisasian perencanaan pembangunan

swaembada daging sapi nasional yang terintegrasi lintas kementerian,

lembaga dan daerah agar dapat dicapai hasil pembangunan yang optimal;

2. Bagaimanakah koordinasi dan penataan peran kementerian, lembaga dan

daerah untuk dapat mencapai sinergi program dan anggaran agar dapat

dicapai swasembada daging sapi yang berkesinambungan;

3. Bagaimanakan mengukur pencapaian kinerja kementerian, lembaga dan

daerah baik sebagai satuan kerja kementerian/lembaga/daerah maupun

sebagai sebuah sistem yang terintegrasi;

Dengan lingkup diatas maka untuk penajaman hasil penelitian dilakukan

batasan lingkup penelitian dan hasil yang akan dikontribusikan sebagai berikut:

1. Memberikan solusi atas tantangan dan permasalahan pada aspek manajerial

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional yaitu koordinasi

Page 85: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

62

antarinstansi, antarsektor, serta antarpemangku kepentingan. Hal ini selaras

dengan berbagai saran dan rekomendasi dalam berbagai forum diskusi pakar1

maupun kajian yang ada2

2. Upaya pencapaian swasembada daging sapi nasional dengan pemberdayaan

peternakan skala kecil dan menengah yang berbasis sumberdaya lokal

;

3

3.3 Disain dan Tahapan Penelitian

;

Penelitian menggunakan pendekatan soft systems methology dilaksanakan

dalam 4 klaster, bahwa secara keseluruhan terdiri dari 7 tahapan kegiatan seperti

dijelaskan pada Gambar 17.

Gambar 17. Disain dan tahapan penelitian

Dalam garis besar masing-masing klaster dan tahapan pelaksanaan penelitian

dapat diuraikan pada Tabel 11.

1 Forum diskusi pakar: (1) Bappenas: Jakarta, 28 Juni 2010; (2) Menko Bidang Perekonomian: Surabaya, 6 Oktober 2011; (3) Kementerian Ristek: 19 Oktober 2011; 2 Naskah Kebijakan: Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014; 3 Kerangka pikir PSDS 2014;

Page 86: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

63

Tabel 11. Disain dan tahapan penelitian

Tahapan Kondisi dan Faktor yang Memerlukan Perhatian

(1) (2) In

put

1 Permasalahan yang tidak terstruktur

• Definisi swasembada daging sapi; • Pola konsumsi (demand) – produksi (supply) (saat ini

dan yang akan datang); • Populasi sapi nasional; • Pola koordinasi lintas K/L dan daerah;

2 Permasalahan yang terungkap

• Model (definisi) swasembada daging berbasis konsumsi protein;

• Pola konsumsi (demand) – produksi (supply) saat ini dan yang akan datang berbasis model konsumsi protein;

3

Mencari sumber relevan untuk sistem yang dibangun

• Rantai pasok peternakan sapi/ daging sapi • Faktor kunci enabler (pakan, obat-obatan, pembibitan,

dan lainnya); • Pemangku kepentingan (peran dan fungsi, serta

ekspektasi) • Pola konsumsi protein (khususnya protein cq. daging

sapi) • Pola pertumbuhan dan penyebaran penduduk, dalam

kaitan kecenderungan peningkatan demand daging sapi;

Ana

lisis

Kes

enja

ngan

4 Model-model konseptual

• Model demand – supply daging sapi berbasis konsumsi protein nasional;

• Kecenderungan pertumbuhan protein nasional ekivalen : (1) berat daging/ekor sapi; (2) kebutuhan pakan; (3) kebutuhan obat; (4) pola produksi bakalan/bibit sapi;

• Pola pengorganisasian lintas K/L dan daerah

5 Perbandingan model dengan dunia nyata

• Praktek di Indonesia dan negara lain (sebagai pembanding)

• Praktek perdagangan dalam negeri dan importasi • Pola (fluktuasi) konsumsi daging sapi (puasa, hari raya,

idul qurban, lainnya)

Val

idas

i

6

Pembahasan untuk perubahan yang diinginkan

• Perdagangan dalam negeri dan importasi • Pola pengorganisasian/ peran kelembagaan • Pola kerjasama pemerintah,dunia usaha, litbang, dan

lembaga keuangan • Insentif program untuk membangun iklim kondusif

Alte

rnat

if D

esig

n

7 Aksi untuk perbaikan

• Integrasi dan sinkronisasi perencanaan swasembada sapi lintas K/L dan Daerah;

• Kemitraan pemerintah (pusat – daerah), dunia usaha, lembaga keuangan dan masyarakat;

Page 87: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

64

3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi

Penelitian ini fokus pada aspek kebijakan untuk mencapai perencanaan

pembangunan swasembada daging sapi nasional yang terintegrasi lintas

kementerian, lembaga dan daerah, serta koordinasi dan penataan peran kementerian,

lembaga dan daerah untuk dapat mencapai sinergi program dan anggaran. Oleh

karena itu memerlukan data an informasi yang lengkap yang meliputi data primer

dan sekunder.

Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner atau wawancara

langsung dengan responden ataupun panel pakar, jenis dan sumber data primer dapat

dilihat pada Tabel 12. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur,

dokumentasi yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang terkait dengan bidang

penelitian, jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 12. Jenis dan sumber data primer

No Sumber data Jenis data yang dibutuhkan

Teknik pengumpulan

(1) (2) (3) (4)

1.

Responden dari instansi pemerinta : Para pakar, pengambil keputusan, dan atau ahli, yang terkait dengan upaya swasembada daging sapi Hal-hal yang terkait secara

langsung maupun tidak langsung, terutama yang berkaitan dengan : a. Input lingkungan; b. Input terkendali; c. Input tak terkendali; d. Output dikehendaki; e. Output tak dikehendaki; f. Manajemen pengendalian

Kuesioner, survey pakar; Wawancara (in-

depth interview); Panel pakar

(focus group discussion); Observasi

lapang;

2.

Responden dari pelaku usaha : Para pelaku usaha yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan rantai nilai kegiatan usaha sapi dan atau daging sapi

3.

Responden dari pemangku kepentingan lain yang terkait: Para pemangku kepentingan lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan upaya swasembada daging sapi

Page 88: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

65

Tabel 13. Jenis dan sumber data sekunder

No Sumber data Jenis data yang

dibutuhkan Teknik

pengumpulan (1) (2) (3) (4)

1.

Instansi pemerintah : Dokumen, data dan informasi dalam berbagai bentuk yang terkait dengan pelaksanaan upaya swasembada daging sapi Hal-hal yang terkait secara

langsung dengan : a. Input lingkungan; b. Input terkendali; c. Input tak terkendali; d. Output dikehendaki; e. Output tak dikehendaki; f. Manajemen

pengendalian

Peraturan perundangan yang terkait; Data statistik, Data dan informasi

dalam berbagai bentuk;; Dokumen

perencanaan program dan anggaran (Renstra K/L, RPJMD, lainnya); Berbagai hasil

kajian; Berbagai bentuk

hasil monev; Data dan informasi

lain yang dimungkinkan;

2.

Pelaku usaha : Dokumen, data dan informasi dalam berbagai bentuk terkait dengan rantai nilai kegiatan usaha sapid an atau daging sapi

3.

Pemangku kepentingan lain yang terkait : Dokumen, data dan informasi dalam berbagai bentuk yang terkait dengan pelaksanaan upaya swasembada daging sapi

Indepth interview dan/atau survai pakar/ahli dilakukan untuk memperoleh

pendapat/pemikiran maupun pengetahuan yang dimiliki oleh pakar yang berkaitan

dengan swasembada daging sapi. Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan

atau responden didasarkan atas pertimbangan dan kriteria :

a. Keberadaan, kemudahan dan kesediaan untuk diwawancarai

b. Reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar

c. Keahlian dan pengalaman pakar yang menunjukkan kemampuan untuk

memberikan saran yang benar dan dapat membantu pemecahan masalah.

Dalam memecahkan suatu masalah, seorang pakar memiliki karakteristik efektif,

efisien dan sadar terhadap keterbatasannya. Alternatif sumber pengetahuan dapat

ditemukan melalui pengamatan kinerja seorang ahli maupun publikasi ilmiah

(Eriyanto & Sofyan 2007).

Dalam penelitian ini diperoleh masukan pemikiran dari para pakar yang

mewakili pemangku kepentingan yang telah direncanakan, yaitu:

Page 89: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

66

a. Anggota DPR RI dengan lingkup tugas yang terkait dengan sektor pertanian;

b. Aparatur pemerintah dari kementerian/lembaga terkait secara langsung

maupun tidak langsung dengan swasembada daging sapi, antara lain:

Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian

Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Badan Pengkajian

dan Penerapan Teknologi

c. Akademisi dengan lingkup keahlian peternakan atau terkait dengan sektor

peternakan;

d. Pelaku usaha dalam bidang peternakan atau yang terkait dengan sektor

peternakan;

e. Insan pers atau media dengan bidang tugas (desk) bidang pertanian atau yang

terkait dengan sektor peternakan;

3.5 Metode Analisis Data

3.5.1 Analitycal Network Process (ANP)

ANP merupakan gabungan dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari

hierarki kontrol atau jaringan dari kriteria dan subkriteria yang mengontrol interaksi.

Bagian kedua adalah jaringan pengaruh-pengaruh diantara elemen dan cluster.

Sebagai ilustrasi jaringan feedback pada Gambar 18 memperlihatkan kerangka

umum untuk analisis. Jaringan ini memiliki 5 buah cluster yaitu: (1) Tujuan; (2)

Aspek, memiliki empat elemen; (3) Masalah, memiliki sepuluh elemen; (4)

Pemecahan, memiliki lima elemen, dan (5) Strategi, memiliki tiga elemen;

Gambar 18. Jaringan umpan balik dalam ANP (Ascarya, 2005)

Page 90: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

67

Ascarya mengemukakan bahwa dalam penelitian yang menggunakan ANP sebagai

metode dapat menggunakan 5 (lima) tahapan atau langkah (Ascarya, 2005) sesuai

dengan tiga fungsi utama ANP ditambah dengan langkah-langkah pelengkap yang

diperlukan, yaitu:

a. Mengumpulkan data dan informasi mengenai permasalahan yang akan

diteliti selengkap mungkin dari para ahli yang menguasai permasalahan

tersebut. Hal ini diperlukan untuk memahami permasalahan yang ada secara

mendalam agar kerangka model yang dikembangkan sebisa mungkin

mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Beberapa teknik yang dapat

dilakukan untuk tujuan ini antara lain dengan mengadakan focus group

discussion (FGD) dan indepth interview dengan responden yang benar-benar

menguasai masalah dari berbagai kalangan, seperti pelaku, pakar, akademisi,

dan lain sebagainya. Tanpa pemahaman masalah yang mendalam akan sulit

untuk menstruktur kompleksitas dari masalah yang ada.

b. Dekomposisi atau analisis untuk menstruktur kompleksitas masalah, yang

akan menghasilkan kerangka ANP dari permasalahan yang telah dipahami

secara mendalam, lengkap dengan semua cluster, elemen, dan

hubunganhubungannya.

c. Merancang kuesioner sesuai dengan kerangka ANP yang telah dibuat, yang

nantinya disebarkan kepada para ahli yang benar-benar menguasai masalah

untuk pengukuran menggunakan skala rasio. Dalam metode ANP, data yang

diperlukan dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, satu data yang

diperoleh merupakan konsensus dari sekelompok responden yang

dikumpulkan secara bersamaan. Kedua, pengumpulan data dilakukan secara

terpisah untuk masing-masing responden. Dalam kasus ini metode ANP

membolehkan menggunakan modus atau rata-rata untuk mendapatkan satu

angka skala prioritas. Contoh kuesioner ANP yang digunakan dalam penelitian

ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

d. Memproses dan mensintesis data yang telah dikumpulkan melalui kuesioner

dengan kerangka ANP menggunakan perangkat lunak ANP. Tatacara

pemrosesan hasil ANP disajikan dalam Lampiran 2.

Page 91: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

68

e. Menganalisis output yang dihasilkan, yang selanjutnya dipergunakan sebagai

dasar untuk memberikan policy recommendation yang sesuai untuk mengatasi

masalah yang ada.

3.5.2 Strategy Assumption Surfacing and Testing (SAST)

SAST adalah suatu metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

yang saling terkait dan rumit, dengan ketidak jelasan tentang tujuan, adanya konflik

kepentingan, serta ketidak pastian lingkungan mupun kendala sosial. Tahapan yang

digunakan dalam penggunaan metode SAST adalah sebagai berikut (Eriyatno,

2007):

a. Tahapan pembentukan kelompok (Group Formation) yang bertujuan untuk

membentuk kelompok dengan peserta yang memiliki criteria advocates of

articular strategies; vested interest; personality type;manager from different

functional areas; manager from different organizational levels; time

orientation (short/long term perspective). Sebagai contoh dalam penelitian

kebijakan kami adalah pakar kebijakan, pakar usaha kecil, pakar lingkungan,

praktisi (pengusaha kecil dan pengusaha menengah atau besar sejenis) dan

tokoh masyarakat.

b. Tahap Pengedepanan (memunculkan) asumsi (Assumption Surfacing),

dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi yang paling signifikan melalui

diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan dan strategi yang diinginkan.

Dalam tahap ini peserta melakukan analisis terhadap beberapa parameter

melalui Focuss Group Discussion (FGD) sehingga diperoleh asumsi-asumsi

dasar secara signifikan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan.

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk mendukung pencapaian hasil

dalam tahap ini antara lain:

a) “Who is affected by the strategy ?”

b) “Who has can interest in it?”

c) “who can affect its adoption, execution of implementation ? “

d) “Who cares about it?”

Sebagai contoh dalam penelitian ini adalah parameter tersebut meliputi

perilaku pemangku kepentingan dalam hal (1) ketersediaan input bahan baku,

(2) pembibitan sapi, (3) pembesaran sapi, (4) penggemukan sapi; (5)

Page 92: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

69

perdagangan sapi dan daging sapi, serta pelaksanaan kebijakan yang ada,

peran serta masyarakat dan peran pemerintah. Sebagai ilustrasi disertakan

contoh kuesioner SAST yang digunakan dalam penelitian ini pada Lampiran 3.

Selanjutnya hasil analisis berupa alternatif asumsi dinilai tingkat kepentingan

dan kepastiannya dengan menggunakan Tingkat Peningkatan Asumsi dengan

melibatkan beberapa pakar. Pada penerapan Tingkat Peringkatan Asumsi

diajukan pertanyaan kepada masing-masing pakar tentang: seberapa penting

pengaruh asumsi tersebut terhadap keberhasilan atau kegagalan strategi yang

dimaksud? (memakai skala jawaban “paling tidak penting “ sampai “paling

penting”) ; dan juga seberapa penting); dan juga seberapa jauh keyakinan

bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan?” (memakai skala jawaban “paling

tidak pasti” sampai “ paling pasti”). Hasil pemeringkatan ditampilkan dalam

sumbu kartesius seperti pada Gambar 19.

Gambar 19. Pemeringkatan asumsi strategis dalam SAST (Jakcson, 2007)

c. Tahap Pembahasan Dialektik, dimaksudkan untuk membuat kasus

kemungkinan strategi terbaik yang diinginkan, melalui diskusi pakar. Proses

ini dilakukan melalui perdebatan terbuka dalam diskusi untuk membahas : (1)

asumsi-asumsi mana yang berbeda, (2) asumsi-asumsi mana yang dianggap

oleh setiap anggota kelompok sebagai asumsi yang paling bermasalah. Proses

“modifikasi asumsi” ini tetap berlanjut selama masih dapat diraih kemajuan

melalui proses perdebatan terbuka. Untuk membangun kerangka dialektik

Page 93: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

70

dapat digunakan pendekatan dari model yang ada atau kerangka kerja yang

dianggap sesuai. Dalam hal ini akan digunakan pendekatan model Berlian

Porter, seperti pada Gambar 20.

Gambar 20. Kerangka analisis menggunakan Berlian Porter (Porter, 1990)

d. Tahap Sintetis, untuk mencapai kompromi atas asumsi-asumsi yang dapat

menghasilkan strategi baru yang harus mampu menjembatani atau

mengungguli strategi lama.

Menurut Mason keuntungan dalam metoda SAST ini terletak pada dialectical

approach banyak alternatif/strategi para pakar yang dibangun dalam perencanaan

berdasarkan pada bukti yang baik. Disini juga sekaligus merupakan kekurangannya

dimana banyaknya asumsi yang dikemukakan tidak dapat tercover seluruhnya,

selain itu juga adanya pendapat yang sangat berlawanan dapat berpengaruh pada

upaya untuk menghasilkan rencana yang aman untuk menghindari kritik.

3.5.3 Interpretative Structural Modeling (ISM)

Saxena et al (1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis

program dapat dibagi menjadi Sembilan elemen utama :

1. Sektor masyarakat yang terpengaruh

2. Kebutuhan dari program

3. Kendala utama program

4. Perubahan yang diinginkan

5. Tujuan dari program

6. Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan

Page 94: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

71

7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan

8. Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas

9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program

Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi

sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara sub-

elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan

berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam

terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-

elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno

(2003), hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Contoh

kuesioner ISM yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4,

sedangkan hasil pengolahan ISM disajikan dalam Lampiran 5.

Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti

pada Tabel 14. Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural

Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol :

V jika eij = 1 dan eji = 0

A jika eij = 0 dan eji = 1

X jika eij = 1 dan eji = 1

O jika eij = 0 dan eji = 0

Tabel 14. Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM

No Jenis Hubungan Interpretasi (1) (2) (3)

1. Pembandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah dari B A 20% lebih berat dari B

2. Pernyataan (definitive) A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B

3. Pengaruh (influence) A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B

4. Keruangan (spatial) A adalah selatan/utara B A di atas B A sebelah kiri B

5. Kewaktuan (temporal/time scale) A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B

Sumber : Eriyatno (2003)

Page 95: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

72

Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen

ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i

dan elemen ke-j. Hasil penelitian ini kemudian dibuat dalam Structural Self

Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan

mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya

dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas,

ditampilkan dalam Lampiran 6.

Sumber: Saxena (1990)

Gambar 21. Kerangka analisis menggunakan pendekatan ISM

Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah

untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk

menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk

mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam

empat sektor :

Page 96: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

73

Sektor 1 : Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang

berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, mungkin

sedikit berhubungan walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen yang

berada pada sector ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau

dipengaruhi oleh sub elemen lain.

Sektor 3 : Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang

berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar

sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen tersebut akan

memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya

bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen pada

sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas yang memiliki

kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen lain dalam sistem.

3.5.4 Participatory Prospective Analysis (PPA)

PPA adalah pendekatan/teknik untuk prakiraan (foresight) atau prospek dari

suatu kebijakan dengan cara membangun asumsi dan tujuan, menyediakan pilihan

kemudian memilih tindakan. PPA makin banyak digunakan baik bisnis maupun

pemerintahan karena membiarkan asumsi “business as usual” menyebabkan banyak

kerugian. Dengan PPA dapat diantisipasi problem agar tidak berkembang lebih jauh

hingga sulit diberikan solusinya. Disadari bahwa analisa sebuah prospek adalah

pekerjaan yang sulit dan bersifat probability, sehingga tujuan utamanya bukanlah

menjamin masa depan (Bourgeois, 2004).

Dalam metode PPA para pakar melaksanakan peran yang sangat strategis.

Dengan menggunakan metode yang benar dan mengedepankan pengetahuan,

keahlian serta pengalaman yang dimiliki untuk mengeksplorasi seluruh variabel-

variabel dalam prioritas tertentu untuk menetapkan kebijakan (policy) saat ini yang

dapat membangun nilai tambah seperti yang diharapkan pada masa mendatang.

Secara umum dapat dikemukakan delapan tahapan dan pendekatan dalam

pelaksanaan metode PPA pada Tabel 15.

Page 97: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

74

Tabel 15. Metodologi PPA

No Tahapan Pendekatan (1) (2) (3)

1. Pendifinisian batasan sistem Persiapan awal dan diskusi kelompok 2. Identifikasi variable Brainstorming 3. Pendefinisian variable kunci Diskusi kelompok yang terstruktur 4. Analisis bersama (saling membangun

dari berbagai pandangan) Analisis struktur dan kelompok kerja

5. Interpretasi hubungan pengaruh/ dalam pola keterkaitan

Penggunaan grafik dan tabel untuk mendukung kelompok kerja

6. Pendifinisian kondisi variable yang terbangun

Analisis morphologi dan diskusi kelompok

7. Pengembangan skenario Brainstorming 8. Implikasi strategik dan langkah

antisipasi Diskusi secara terstruktur

Gambar 22. Prinsip utama dalam metode PPA

Dalam melaksanakan tahapan dan pendekatan tersebut diatas, dapat

dikemukakan beberapa prinsip yang terbagi dalam tiga kategori yang harus dipenuhi

dalam pelaksanaan PPA (Gambar 22), yang meliputi:

1. Prinsip-prinsip terkait objective of the method, yang meliputi effectiveness

dan participations;

2. Prinsip-prinsip terkait feature of the method, yang meliputi consistency,

reproducibility, dan transperancy;

Page 98: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

75

3. Prinsip-prinsip terkait finalities of the method, yang meliputi capacity

building, plausibility, dan relevance;

3.6 Pilihan Validasi Model

Proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentifikasi

berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang

dirumuskan (Eriyanto dan Sofyar, 2007). Proses uji validasi pada penelitian

kebijakan dilakukan terhadap 2 aspek, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk

kebijakan. Validasi produk kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau

dilakukan dengan membandingkan produk kebijakan hasil penelitian terhadap

kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Untuk verifikasi proses

perumusan kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam

pengembangan kebijakan.

Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent (1998)

adalah face validity. Proses validasi dilakukan dengan menggunakan pendapat

pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta kebenaran logika dan

teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan input-output model

secara masuk akal. Disamping itu, uji validitas juga dilakukan terhadap kinerja

beberapa teknik yang digunakan seperti ANP, SAST dan ISM

Page 99: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

76

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 100: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

77

4 ANALISIS SITUASIONAL

4.1 Swasembada Daging Sapi Nasional

4.1.1 Kondisi Saat Ini

Swasembada daging sapi telah direncanakan dan diupayakan pencapaiannya

dalam 3 periode pembangunan yaitu: periode tahun 2001-2004, 2005-2009 dan

2010-2014. Abdullah (2010) menyatakan bahwa kegagalan dalam pencapaian

sasaran swasembada disebabkan oleh adanya perubahan beberapa considered

variable secara signifikan, antara lain:

Peningkatan Konsumsi Daging Sapi:

a. Konsumsi daging sapi perkapita meningkat drastis, pada tahun 2006 sebesar

0.33kg/kap menjadi 0.53kg/kap pada tahun 2007; dan pada tahun 2010

meningkat menjadi 2.4 kg/kap (data Warta Bisnis), atau 2.72 kg/kap (data

Ditjenak);

b. Peningkatan konsumsi daging sapi secara total pada tahun 2006 sebesar

399.660 ton, menjadi 590.200 ton – 654.400 ton pada tahun 2010;

c. Pemotongan ternak pada tahun 2006 sebanyak 1,7 juta ekor, pada tahun 2010

menjadi diperkirakan 3,93 jt-4,36 jt (Warta Bisnis, 2010).

Untuk memenuhi permintaan daging yang semakin meningkat, pemerintah

melakukan peningkatan produksi daging lokal mapun melakukan inpor selama

periode tahun 2005-2009 secabagaimana dijelaskan Tabel 16.

Tabel 16. Pemenuhan permintaan daging (Ditjennak, 2010)

No Uraian Tahun (000 ton)

2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Produksi daging lokal 217.38 259.54 210.77 233.63 250.81

2. Impor 111.29 119.17 124.80 150.42 142.80 a. Bakalan 55.09 57.14 60.80 80.38 72.80 b. Daging 56.20 62.04 64.00 70.04 70.00

TOTAL 328.67 378.71 335.57 384.05 393.61

Page 101: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

78

Faktor Pendorong Peningkatan Konsumsi:

a. Peningkatan jumlah kelompok masyarakat menengah berpendapatan lebih

baik sehingga meningkatkan kemampuan untuk mengkonsumsi daging sapi ;

b. Perubahan pola makan dan aktivitas di masyarakat terutama masyarakat

perkotaan;

c. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam menyajikan olahan daging;

d. Penyempurnaan pohon industri berbasis daging sehingga meningkatkan akses

masyarakat terhadap daging;

Diversifikasi Olahan dan Peningkatan Akses Konsumsi:

a. Jangkauan distribusi produk asal daging meningkat;

b. Pengolahan daging menjadi bakso, sosis, dan lainnya diperkirakan sebesar 70-

85%;

c. Import jeroan untuk substitusi daging sebagai bahan pembuat bakso;

Dapat dilihat pada Tabel 17, bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (2004 – 2009) telah

telah terjadi peningkatan impor daging sapi lebih dari 5 kali lipat.

Tabel 17. Kondisi Impor Daging Sapi dan Jeroan (Ditjennak, 2010)

No Uraian Tahun (000 ton)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1. Daging Sapi 11,8 21,5 25,9 50,2 57,2 64,1 2. Jeroan (Offal) 36,5 34,7 36,5 13,8 12,9 10,6

Jumlah 48,3 56,2 62 64 70,1 74,7 Kenaikan (%) 16,36 11,03 2,56 9,53 6,56 Jeroan : Daging (%) 75,3 61,7 58,5 21,5 18,4 14,19

4.1.2 Kilas Balik Pelaksanaan Program Swasembada Daging

Program swasembada daging sapi pernah dicanangkan sebagai sasaran

pembangunan pada sub sektor peternakan dalam dua periode perencanaan

pembangunan jangka menengah, yaitu “Program Kecukupan Daging Sapi” pada

periode tahun 2000 – 2004 dan “Program Percepatan Swasembada Daging Sapi” pada

tahun 2006 – 2009. Berikut adalah ulasan yang dapat memberikan gambaran tentang

pelaksanaan program swasembada daging sapi pada dua periode pembangunan

tersebut.

Page 102: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

79

1. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2004

Dalam Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi

Daging Sapi (Yusdja, 2004), swasembada daging yang dicanangkan tahun 2000 dan

berakhir pada 2004 tidak berhasil karena tidak tercapainya tiga sasaran utama dari

program tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa ada lima penyebab

ketidakberhasilan tersebut, yaitu: (1) Kebijakan program yang dirumuskan tidak

disertai dengan rencana operasional yang rinci; (2) Program-program yang dibuat

bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin

dicapai; (3) Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak

memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi pada komoditas

unggulan; (4) Implementasi program-program tidak memungkinkan untuk

dilaksanakan evaluasi dampak program; (5) Program-program tidak secara jelas

memberikan dampak pada pertumbuhan populasi secara nasional.

2. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2010

Program swasembada daging 2010 sulit dicapai (Daryanto, 2007), secara

umum kendala yang dihadapi masih berkisar pada permasalahan yang tidak jauh

berbeda dengan pelaksanaan swasembada daging sapi tahun 2004. Namun secara

lebih spesifik ditekankan bahwa keberhasilan program revitalisasi pembangunan

peternakan sangat tergantung pada keberhasilan penguatan kelembagaan, antara lain

adalah (1) menghindarkan (kalau bisa meniadakan) hambatan-hambatan koordinasi

antara Departemen Pertanian dengan departemen-departemen lain yang terkait; (2)

menghindarkan hambatan koordinasi antar unit atau bentuk “pengkotak-kotakan” di

dalam Departemen Pertanian sendiri;

3. Pembelajaran yang Dapat Diperoleh

Ketidakberhasilan dalam dua periode pembangunan sebelumnya merupakan

pembelajaran sebagai bekal dalam penyempurnaan program swasembada daging

sapi untuk periode pembangunan 2010 – 2014. Perencanaan dan pelaksanaan

program swasembada daging sapi 2014 akan memperhatikan ruang perbaikan agar

kegagalan pada periode pelaksanaan sebelumnya tidak terulang (Caturoso, 2010).

Evaluasi dan perbaikan pelaksanaan program swasembada daging sapi dapat dilihat

secara rinci pada Tabel 18.

Page 103: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

80

Tabel 18. Evaluasi dan perbaikan pelaksanaan PSDS Periode Program Kondisi Kritikal

(1) (2)

Tahun 2000 – 2004 “Program Kecukupan Daging Sapi”

1. Program tidak secara sistematis disusun 2. Tidak ada penetapan target pertahun 3. Tidak ada dukungan dana dan SDM untuk mencapainya 4. Lebih berupa jargon-jargon dan belum didukung oleh

instansi lain

Tahun 2005 – 2009 “Program Percepatan Swasembada Daging Sapi”

1. Program telah memiliki target tahunan dan di susun sistematis

2. Belum ada dukungan anggaran yang memadai atau tidak pintar mencari dana

3. Belum melibatkan instansi terkait pusat dan daerah Tahun 2010 – 2014 “Program Swasembada Daging Sapi

1. Program sudah jelas, terukur dalam Blue Print PSDS 2. Didalamnya ada keterkaitan peternak, swasta dan pemerintah 3. Dukungan anggaran sudah ada tetapi belum memadai 4. Belum menjadi suatu gerakan baru berupa program

Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014 (diolah)

4.1.3 Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014

Swasembada daging sapi ditetapkan sebagai program melalui Peraturan

Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum

Program Swasembada Daging Sapi 2014. Swasembada daging sapi dilakukan

dengan melaksanakan 5 kegiatan pokok yang dijabarkan dalam 13 kegiatan

operasional (Tabel 19).

Tabel 19. Kegiatan operasional dalam swasembada daging sapi Kegiatan Pokok Kegiatan Operasional

(1) (2)

1. Penyediaan bakalan/daging sapi lokal

1 Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal

2 Pengembangan pupuk organik dan biogas 3 Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman 4 Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH

2.

Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal

5 Optimalisasi IB dan INKA 6 Penyediaan dan pengembangan pakan dan air

7 Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan

3. Pencegahan pemotongan sapi betina produktif

8 Penyelamatan sapi betina produktif

4. Penyediaan bibit sapi 9 Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan

usaha pembibitan 10 Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC 11 Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (KUPS)

5. Pengaturan stock daging sapi di dalam negeri

12 Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi

13 Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging

Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014

Page 104: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

81

1. Sasaran Pencapaian Swasembada Daging Sapi

Dalam blueprint disajikan rencana pelaksanaan swasembada daging dalam

tiga skenario, (a) pesimistic, dimana Indonesia hanya akan mampu memenuhi 47.6%

dari total kebutuhan sapi dan daging; (b) most likely, dimana Indonesia telah mampu

mengurangi impor sapi dan daging sampai 10% saja; (c) optimistic, dimana

Indonesia akan dapat mengekspor sapi dan daging karena ada kelebihan 10% dari

total kebutuhan di dalam negeri. Perjalanan untuk mencapai tingkat keberhasilan

berdasarkan tiga skenario tersebut dari tahun ke tahun diilustrasikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Skenario produksi domestik dan impor

Tahun Produksi domestik (%) Impor (%) Pesimistic Most likely Optimistic Pesimistic Most likely Optimistic

2009 63.5 63.5 63.5 36.5 36.5 36.5 2010 52.1 70.2 78.9 47.9 29.8 21.1 2011 50.8 75.5 85.9 49.2 24.5 14.1 2012 49.6 80.5 92.9 50.4 19.5 7.1 2013 48.6 85.3 100.9 51.4 14.7 - 0.9 2014 47.6 90.0 110.0 52.4 10.0 - 10.0

Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014.

Sedangkan perkembangan populasi sapi dan produksi dagingnya dari tahun

2009 s/d 2014 sebagaimana disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Skenario proyeksi perkembangan populasi, produksi dan konsumsi

Tahun Produksi domestik Impor

Pesimistic Most likely Optimistic Pesimistic Most likely Optimistic

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

2009

Populasi (ooo ekor) 12.610,10 12.610,10 12.610,10 580,00 580,00 580,00

Populasi (ton) --- --- --- 72,80 72,80 72,80 Produksi (ton) 250,80 250,80 250,80 70,00 70,00 70,00 Konsumsi (ton) 250,80 250,80 250,80 142,80 142,80 142,80

2010

Populasi (ooo ekor) 12.813,50 12.794,90 12.748,00 565,58 260,00 40,80

Populasi (ton) --- --- --- 100,25 46,44 7,36 Produksi (ton) 209,96 282,90 317,90 92,90 73,76 77,84 Konsumsi (ton) 209,96 282,90 317,90 193,15 120,20 85,20

2011

Populasi (ooo ekor) 13.123,00 13.169,50 13.031,90 593,86 196,90 12,20

Populasi (ton) --- --- --- 105,19 35,29 2,19 Produksi (ton) 212,66 316,10 358,50 100,70 67,21 57,44 Konsumsi (ton) 212,66 316,10 358,50 205,89 102,50 59,63

2012

Populasi (ooo ekor) 13.456,20 13.521,60 13.384,30 623,53 149,00 3,60

Populasi (ton) --- --- --- 110,45 27,27 0,68 Produksi (ton) 215,61 349,70 403,40 108,30 57,43 30,32 Konsumsi (ton) 215,61 349,70 403,40 218,75 84,70 31,00

Page 105: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

82

Tabel 21 (lanjutan) Tahun Produksi domestik Impor

Pesimistic Most likely Optimistic Pesimistic Most likely Optimistic (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

2013

Populasi (ooo ekor) 13.814,10 13.870,50 654,73 654,73 112,80 1,10

Populasi (ton) --- --- --- 116,01 20,34 (0,28) Produksi (ton) 218,81 384,20 454,20 115,70 45,96 (3,42) Konsumsi (ton) 218,81 384,20 454,20 231,71 66,30 (3,70)

2014

Populasi (ooo ekor) 14.197,70 14.231,00 14.423,00 687,46 85,40 ---

Populasi (ton) --- --- --- 121,85 15,38 --- Produksi (ton) 222,28 420,40 513,80 122,90 31,22 (46,80) Konsumsi (ton) 222,28 420,40 513,80 244,75 46,60 (46,80)

Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014.

2. Pembiayaan Pelaksanaan Program Swasembada Daging Sapi

Sumber dana Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 diharapkan

berasal dari pemerintah (APBN dan APBD), swasta dan masyarakat. Pembiayaan

yang bersumber dari APBN, secara ringkas untuk masing-masing skenario disajikan

pada tabel 22.

Tabel 22. Ringkasan anggaran pembiayaan swasembada daging sapi (dalam juta rupiah)

Skenario 2010 2011 2012 2013 2014 Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

A Pesimistic 300.180 450.270 472.784 496.423 521.244 2.240.900 B Most likeley 2.191.830 1.983.180 2.083.830 2.137.180 2.248.530 10.644.550 C Optimistic 3.911.060 3.762.960 3.964.260 4.070.960 4.293.660 20.002.900

Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014, Bab VIII (diolah)

Dalam blueprint disebutkan bahwa untuk skenario most likely dan optimistic,

besaran anggaran pembiayaan tersebut digunakan untuk membiayai 13 kegiatan

operasional dan operasional kegiatan pusat/propinsi/kabupaten/ kota/kecamatan.

4.1.4 Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011

1. Landasan Hukum Pelaksanaan PSPK 2011

Kegiatan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Tahun 2011 atau

sering disebut dengan PSPK2011, dalam pelaksanaannya dilakukan melalui

kerjasama antara Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Kementerian Pertanian dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Kerjasama tersebut

dilandasi oleh Nota Kesepahaman No.03001/HK.110/F/03/2011 dan No. 06/KS/3-

III/2011, tanggal 3 Maret 2011, tentang Kerjasama Pengembangan Statistik

Page 106: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

83

Peternakan dan Perjanjian Kerjasama Swakelola PPK PSPK2011, Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Direktorat Statistik Peternakan,

Perikanan dan Kehutanan, BPS No.93/KPTS/RC.010/F.1.2.1/03/2011 dan

No.08/KS/4-III/2011.

Cakupan PSPK2011 sesuai dengan perjanjian kerjasama dilakukan di seluruh

wilayah Indonesia yakni di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6.699 kecamatan, dan

77.548 desa/kelurahan, yang diperkirakan melibatkan sebanyak 110.000 orang

petugas. Pendataan lengkap ini merupakan kali ke dua sesudah Sensus Inventarisasi

Hewan Tahun 1967, atau 44 tahun berselang. Persiapan pendataan yang mencakup

koordinasi, rekrutmen petugas, pelatihan, dan penyiapan instrumen pendataan telah

dilakukan. Sedangkan pelaksanaan pendataan di lapangan dilakukan pada tanggal 1

Juni s/d 30 Juni 2011, kemudian diikuti kegiatan lanjutan lainnya seperti pengolahan

dan penyajian tabulasi data, yang ditargetkan selesai pada akhir Bulan November

2011.

2. Rilis Hasil Awal Pelaksanaan PSPK 2011

Berdasarkan hasil PSPK2011 populasi sapi potong di Indonesia pada tahun

2011 tercatat 14,8 juta ekor. Secara regional/pulau, populasi sapi potong adalah sbb:

a. Pulau Jawa sebanyak 7,5 juta ekor atau 50,74 persen dari total populasi

sapi potong di Indonesia;

b. Pulau Sumatera sebanyak 2,7 juta ekor atau 18,40 persen;

c. Pulau Bali dan Nusa Tenggara 2,1 juta ekor atau 14,19 persen;

d. Pulau Sulawesi 1,8 juta ekor atau 11,97 persen;

e. Pulau Kalimantan, serta Maluku dan Papua dengan jumlah populasi

masing-masing kurang dari 0,5 juta ekor.

Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi sapi potong

terbesar di Indonesia sebanyak 4,7 juta ekor atau 31,93 persen dari populasi sapi

potong di Indonesia disusul kemudian Jawa Tengah 1,9 juta ekor. Provinsi lain yang

memiliki populasi sapi potong cukup besar, yaitu lebih dari 0,5 juta ekor tercatat

berturut turut adalah Sulawesi Selatan 984 ribu ekor atau 6,65 persen, Nusa

Tenggara Timur (NTT) 778,2 ribu ekor atau 5,26 persen; Lampung 742,8 ribu ekor

atau 5,02 persen; Nusa Tenggara Barat (NTB) 685,8 ribu ekor atau 4,63 persen; Bali

Page 107: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

84

637,5 ribu ekor atau 4,31 persen; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor atau 3,66

persen dari populasi sapi potong Indonesia (Tabel 23).

Tabel 23. Hasil sensus PSPK 2011 menurut propinsi

Provinsi Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Populasi % Populasi % Populasi %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Sumatera 2 724 364 18,40 2 388 0,40 512 816 39,30 1. Aceh 462 840 3,13 31 0,01 131 494 10,08 2. Sumatera Utara 541 688 3,66 897 0,15 114 289 8,76 3. Sumatera Barat 327 009 2,21 489 0,08 100 310 7,69 4. Riau 159 855 1,08 172 0,03 37 716 2,89 5. Jambi 119 877 0,81 81 0,01 46 535 3,57 6. Sumatera Selatan 246 295 1,66 154 0,03 29 143 2,23 7. Bengkulu 98 953 0,67 244 0,04 19 969 1,53 8. Lampung 742 776 5,02 201 0,03 33 124 2,54 9. Kep. Bangka

Belitung 7 733 0,05 119 0,02 222 0,02

10. Kepulauan Riau 17 338 0,12 - 0,00 14 0,00 Jawa 7 511 972 50,74 592 436 99,21 363 008 27,82 11. DKI Jakarta 1 691 0,01 2 728 0,46 192 0,01 12. Jawa Barat 422 980 2,86 139 973 23,44 130 089 9,97 13. Jawa Tengah 1 937 550 13,09 149 931 25,11 75 674 5,80 14. DI Yogyakarta 375 548 2,54 3 523 0,59 1 205 0,09 15. Jawa Timur 4 727 303 31,93 296 262 49,61 32 705 2,51 16. Banten 46 900 0,32 19 0,00 123 143 9,44 Bali dan Nusra 2 101 521 14,19 194 0,03 257 587 19,74 17. Bali 637 473 4,31 139 0,02 2 181 0,17 18. Nusa Tenggara

Barat 685 810 4,63 18 0,00 105 391 8,08

19. Nusa Tenggara Timur

778 238 5,26 37 0,01 150 015 11,50

Kalimantan 437 273 2,95 365 0,06 41 541 3,18 20. Kalimantan Barat 153 186 1,03 223 0,04 3 173 0,24 21. Kalimantan Tengah 54 648 0,37 - 0,00 6 491 0,50 22. Kalimantan Selatan 138 691 0,94 110 0,02 23 843 1,83 23. Kalimantan Timur 90 748 0,61 32 0,01 8 034 0,62 Sulawesi 1 771 848 11,97 1 741 0,29 110 393 8,46 24. Sulawesi Utara 86 770 0,59 22 0,00 - 0,00 25. Sulawesi Tengah 230 682 1,56 8 0,00 3 271 0,25 26. Sulawesi Selatan 983 985 6,65 1 690 0,28 96 505 7,39 27. Sulawesi Tenggara 213 736 1,44 - 0,00 2 492 0,19 28. Gorontalo 183 853 1,24 8 0,00 13 0,00 29. Sulawesi Barat 72 822 0,49 13 0,00 8 112 0,62 Maluku dan Papua 258 075 1,74 11 0,00 19 671 1,51 30. Maluku 73 975 0,50 - 0,00 17 568 1,35 31. Maluku Utara 60 840 0,41 - 0,00 863 0,07 32. Papua Barat 41 464 0,28 - 0,00 1 0,00 33. Papua 81 796 0,55 11 0,00 1 239 0,09

INDONESIA 14 805 053 100,00 597 135 100,00 1 305 016 100,00 Sumber : Ditjennak, Hasil awal PSPK 2011

Page 108: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

85

3. Perkembangan Populasi Sapi (Potong dan Perah) dan Kerbau

Perkembangan populasi sapi (sapi potong dan sapi perah) di Indonesia dalam

delapan tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan data hasil

Sensus Pertanian tahun 2003 (ST03) populasi sapi di Indonesia tercatat 10,2 juta

ekor. Jika populasi tahun 2003 ini dibandingkan dengan hasil awal PSPK2011

dimana populasi sapi di Indonesia mencapai 15,4 juta ekor, maka rata-rata

pertambahan per tahun populasi sapi selama 2003–2011 sekitar 653,1 ribu ekor

dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,32 persen per tahun (Tabel 24).

Tabel 24. Perkembangan populasi sapi menurut pulau 2003-2011

Regional/Pulau Tahun Perkembangan rata-rata per tahun

20034 2011 5 (000 ekor) % (1) (2) (3) (4) (5)

Sumetera 1.304.132 2.726.752 177,8 9,66 Jawa 5.989.657 8.104.408 264,3 3,85 Bali dan Nusra 1.427.524 2.101.715 84,3 4,95 Kalimantan 297.936 437.638 17,5 4,92 Sulawesi 981.204 1.773.589 99,0 7,68 Maluku dan Papua 176.846 258.086 10,2 4,84

INDONESIA 10.177.299 15.402.188 653,1 5,32 Sumber : Kementerian Pertanian, 2011

4.1.5 Prasyarat Keberhasilan Swasembada Daging Sapi

Untuk kepentingan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat maupun bagi

ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, selayaknya swasembada daging atau

bentuk swasembada lainnya, khususnya berkaitan dengan pangan sebaiknya tidak

hanya dibatasi pada pencapaian masa pembangunan dalam periode tertentu.

Ketahanan pangan adalah kondisi yang mutlak diperlukan oleh bangsa Indonesia,

dan harus diperjuangkan untuk dapat mencapainya.

Upaya untuk mengoperasionalisasikan revitalisasi peternakan guna

meningkatkan kinerja peternakan umumnya dan kesejahteraan peternak khususnya,

diperlukan institutional arrangement. Penguatan kelembagaan yang efektif dan

efisien dalam implementasinya memerlukan koordinasi dan konsistensi antara

perencanaan dan pelaksanaan program, baik yang bersifat intra-sectoral dan inter-

sectoral dan juga adanya kebijakan-kebijakan yang saling melengkapi antar

depertemen terkait (Daryanto, 2007).

4 Data sensus pertanian 2003 (STO3) 5 Data hasil awal PSPK 2011

Page 109: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

86

1. Prasyarat keberhasilan menurut blueprint

Blueprint swasembada daging sapi menyatakan bahwa untuk mencapai

tingkat keberhasilan memerlukan sembilan prasyarat yang harus dipenuhi. Dalam

implementasinya, program swasembada daging sapi harus dilaksanakan secara

komprehensif dan penuh tangung jawab dengan melibatkan semua pihak mencakup

pemerintah pusat dan daerah, swasta serta masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan

dukungan dan komitmen yang kuat, dalam hal kebijakan, pendanaan, dan regulasi

serta pelaksanaannya.

2. Penguatan kebijakan dan program swasembada daging sapi

Dalam naskah kebijakan (Kementerian PPN/Bappenas, 2010) yang disusun

dengan tujuan untuk dapat menjembatani blueprint swasembada daging sapi 2014

dengan kebijakan dan program yang lebih operasional. Bahwa untuk melengkapi

kebijakan yang telah ada, dalam naskah kebijakan ini dikemukakan rumusan

kebijakan dan strategi yang mempunyai prioritas tinggi dan menengah. Untuk

kebijakan dan strategi dengan prioritas tinggi adalah sebagai berikut :

1. Pembibitan dan pemuliabiakan sapi nasional, melalui: (a) pemurnian

sapi lokal, dan (b) pengembangan bangsa sapi komersial Indonesia;

2. Terobosan peningkatan populasi sapi, melalui: (a) pengembangan

kawasan terpadu sapi potong, dan (b) pengembangan wilayah baru

peternakan di pulau terpisah;

3. Ketahanan pakan nasional, melalui: (a) pembentukan institusi penyangga

penyediaan bahan baku pakan, dan (b) pengembangan sistem joint

produksi antar wilayah, dan (c) pemetaan dan revitalisasi padang

penggembalaan; serta

4. Kelembagaan penyelamatan dan penjaringan bibit, melalui: (a)

strukturisasi usaha pembibitan sapi potong, (b) pembentukan komite

penjaringan sapi betina produktif dan bibit unggul, (c) penataan sistem

koordinasi.

Page 110: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

87

Sedangkan untuk kebijakan dan strategi dengan prioritas menengah

mencakup beberapa hal sebagai berikut:

1. Kebijakan pasar, tarif dan suku bunga, melalui: (a) kebijakan impor, dan

(b) kebijakan pasar;

2. Ketahanan pakan nasional, melalui: (a) pengembangan zona produksi

hijauan pakan, (b) subsidi harga bahan baku pakan, (c) pengembangan

sistem mekanisasi pakan, (d) strukturisasi tata niaga bahan baku pakan,

dan (e) pemberlakuan tarif ekspor bahan baku pakan; serta

3. Kelembagaan Penyelamatan dan Penjaringan Bibit, melalui: (a)

ekstensifikasi kelembagaan keuangan mikro bagi peternak.

4.2 Perencanaan Pembangunan Nasional Sektor Pertanian

4.2.1 Pola pikir RPJMN Tahun 2010 – 2014

Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengungkap hal sebagai berikut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan

penjabaran dari Visi, Misi, dan Program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, perwilayahan dan lintas perwilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Agar dapat memenuhi amanat ini, RPJMN 2010-2014 disusun dalam tiga

buku yang merupakan satu kesatuan yang utuh dengan masing-masing memuat

hal-hal sebagai berikut (Gambar 23):

a. Buku I: Prioritas Nasional, memuat strategi, kebijakan umum, dan kerangka

ekonomi makro yang merupakan penjabaran dari Visi, Misi, dan Program

Aksi serta sebelas prioritas pembangunan nasional dari Presiden-Wakil

Presiden.

b. Buku II: Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan, memuat rencana

pembangunan yang mencakup bidang-bidang kehidupan masyarakat

Page 111: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

88

sebagaimana yang tertuang dalam RPJPN 2005—2025 dalam rangka

mewujudkan visi pembangunan nasional yang tercantum dalam Buku I.

c. Buku III: Pembangunan Berdimensi Perwilayahan : Memperkuat Sinergi

Antara Pusat-Daerah dan Antardaerah, memuat rencana pembangunan

perwilayahan yang disusun dengan tema: “Memperkuat Sinergi Antara

Pusat dan Daerah dan Antardaerah” dalam rangka mewujudkan visi

pembangunan nasional yang tercantum dalam Buku I

Gambar 23. Struktur pemikiran dalam dokumen RPJMN 2010-2014

Dengan demikian, RPJMN 2010-2014 menjadi pedoman bagi

kementerian/lembaga dalam menyusun Rencana Strategis kementerian/lembaga

(Renstra-KL) dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam

menyusun/menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam

rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional.

4.2.2 Program aksi di bidang pangan

Dari 11 prioritas nasional yang ada dalam buku I RPJMN Tahun 2010 –

2014, prioritas ke 5 adalah program aksi di bidang pangan, dengan tema:

“Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk

mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,

peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.

Page 112: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

89

Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan

Indeks Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada tahun 2014”.

Pelaksanaan program aksi ini merupakan tanggungjawab Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam pelaksanaan program aksi tersebut diatas

melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, antara lain adalah : (1)

Menteri Pertanian; (2) Menteri Pekerjaan Umum; (3) Menteri Komunikasi dan

Informatika; (4) Menteri Perhubungan; (5) Menteri Perindustrian; (6) Menteri

Keuangan; (7) Menteri Negara Riset dan Teknologi; (8) Menteri Kesehatan; (9)

Menteri Negara Lingkungan Hidup; (10) Kepala Badan Penerapan & Pengkajian

Teknologi; (11) Kepala Badan Pertanahan Nasional;

Dalam matrik prioritas nasional, tertuang bahwa koordinasi oleh

Kementerian Koordinator Bidang Perenonomian yang terkait langsung dengan

bidang peternakan adalah:

a. Substansi inti/kegiatan prioritas : (3) Koordinasi bidang pengembangan

urusan perikanan dan peternakan;

b. Sasaran : meningkatnya koordinasi kebijakan;

c. Indikator : presentase rekomendasi kebijakan bidang pengembagan urusan

perikanan dan peternakan yang diimplementasikan;

Untuk penanganan tugas tersebut telah pula didukung unit kerja struktural dengan

lingkup tugas menyiapkan koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan serta

mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang pertanian dan kelautan. Secara

hirarkhi struktur organisasi tersebut adalah: Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan

Kelautan, Asisten Deputi Urusan Perikanan dan Peternakan, dan Bidang Produksi

dan Distribusi Peternakan.

Berdasarkan matriks tersebut, secara lebih spesifik lingkup koordinasi yang

terkait langsung bidang peternakan dapat disajikan dalam Tabel 25.

Page 113: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

90

Tabel 25. Substansi inti dan kegiatan prioritas terkait swasembada daging sapi dalam prioritas ketahanan pangan (Buku I: RPJMN 2010-2014)

No Substansi Inti/ Kegiatan Prioritas Sasaran

(1) (2) (3)

3. Penelitian dan pengembangan : Peningkatan upaya penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi

1. Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner

Meningkatkan inovasi teknologi peternakan dan veteriner mendukung program percepatan produksi swasembada daging sapi (P2SDS)

12. Litbang ketahanan pangan

Kebijakan peningkatan dukungan litbang untuk ketahanan pangan khususnya pengembangan pupuk ekologis dan benih unggul-adaptif terhadap lingkungan suboptimal, teknologi panen, teknologi pengelolaan lahan marjinal untuk produksi pangan

4. Investasi, pembiayaan, dan subsidi : Dorongan untuk investasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau, serta sistem subsidi yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang teruji, pupuk, teknologi dan sarana pasca panen yang sesuai secara tepat waktu, tepat jumlah, dan terjangkau

10.

Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan sumber daya lokal

- Peningkatan kualitas & kuantitas benih dan bibit ternak - Penguatan kelembagaan perbibitan dengan good breeding

practices - Penerapan standar mutu benih dan bibit ternak - Penerapan teknologi perbibitan - Pengembangan usaha dan investasi perbibitan

11.

Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendaya-gunaan sumber daya lokal

- Meningkatnya populasi dan produksi ternak ruminansia

13. Pelayanan perijinan dan investasi

Peningkatan penerimaan penyiapan bahan analisa, fasilitas proses teknis permohonan ijin, pendaftaran di bidang pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian, benih/bibit, produk ternak dan pangan segar serta penyiapan bahan pemantauan dan evaluasi

5. Pangan dan gizi: Peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan melalui pola pangan harapan

1.

Penjaminan pangan asal hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan non pangan

- Penguatan peran dan fungsi lembaga otoritas veteriner - Kesadaran masyarakat akan resiko residu dan cemaran pada

produk hewan serta zoonosis terbangun. - Peningkatan penerapan kesrawan di RPH/RPU

6. Adaptasi perubahan iklim : Pengambilan langkah-langkah kongkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim

2.

Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendaya-gunaan sumberdaya lokal

Meningkatnya populasi dan produksi hasil olahan ternak ruminansia terkait dengan dampak perubahan iklim

Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku I (diolah)

4.2.3 Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian

Kebijakan umum dalam peningkatan ketahanan pangan adalah meningkatkan

ketahanan dan kemandirian pangan serta kecukupan gizi masyarakat secara luas.

Selain itu, diarahkan pula untuk melanjutkan dan meningkatkan revitalisasi

Page 114: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

91

pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk mewujudkan daya saing produk

pertanian, perikanan, dan kehutanan, dan peningkatan pendapatan petani, dan

kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Dalam buku II RPJMN Tahun 2010-2014, pada Bab X Sumberdaya Alam

dan Lingkungan Hidup dijelaskan alur pembangunan bidang sumber daya alam dan

lingkungan hidup, yang meliputi: fokus, prioritas bidang, dan dampak yang pada

akhirnya akan mencapai sasaran peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan

kualitas lingkungan hidup (Gambar 24).

Page 115: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

92

Sumber: RPJMN 2010-2014, Buku II, Bab X

Gambar 24. Alur pembangunan bidang SDA dan LH

Page 116: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

93

Analisis berdasarkan kata kunci “peternakan” dan “pertanian”, yang

dilakukan atas matriks rencana tindak pembangunan jangka menengah 2010-2014

setiap kementerian/lembaga, dapat diperoleh gambaran keterlibatan peran

kementerian/lembaga selain kementerian pertanian dalam pelaksanaan program

swasembada daging sapi (Tabel 26).

Tabel 26. Peran kementerian/lembaga dalam pelaksanaan swasembada daging sapi (Buku II: RPJMN 2010-2014)

No Kementerian/Lembaga Program/Kegiatan Prioritas/Sasaran/Indikator (dengan kata kunci : “Peternakan” dan “Pertanian”)

(1) (2) (3)

1. Kementerian Koordinator Perekonomian

Koordinasi kebijakan bidang pengembangan urusan perikanan dan peternakan

2. Kementerian Keuangan Penyediaan anggaran secara tepat waktu dan tepat jumlah untuk menunjang program di bidang pangan, pertanian, dan industri perdesaan sesuai dengan persetujuan

3. Kementerian Dalam Negeri

- Pengembangan usaha ekonomi masyarakat, melalui fasilitasi usaha di bidang pertanian dan pangan yang berada di perdesaan melalui bintek CPPD

- Koordinasi dan pemberian stimulan kepada kelompok masyarakat pengelola CPPD

4. Kementerian Perindustrian Revitalisasi dan pertumbuhan industri aneka dan alat pertanian

5. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

- Pembangunan kelompok usaha peternakan di kawasan transmigrasi

- Meningkatnya kemampuan dalam penerapan teknologi tepat guna dan penyerapan informasi pasar di kawasan transmigrasi

- Berkembangnya lahan usaha (lahan produktif) produksi pertanian di permukiman/ kawasan transmigrasi

6. Kementerian Pembangunan Daerah Teringgal

Pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi pusat produksi/pusat pertumbuhan daerah tertinggal dengan: - Melaksanakan kegiatan perbaikan usaha pertanian dan usaha

lainnya - Pembiayaan untuk meningkatnya kualitas dan nilai tambah

produksi pertanian, perikanan, perkebunan

7. Kementerian Pendidikan Diklat pendidik dan tenaga pendidikan bagi peningkatan kompetensi dan profesionalisme bidang pertanian dan perikanan

8. Kementerian Pemberyaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis yang responsif gender

9. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

- Pengembangan dan termanfaatkannya teknologi pengolahan hasil perikanan dan peternakan

- Rekomendasi, alih teknologi, prototipe, pengujian pada pengolahan hasil ikan dan ternak

- Pengembangan dan termanfaatkannya teknologi informasi dan komunikasi pada pertanian untuk mendukung ketahanan pangan

10. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

- Penelitian bioteknologi peternakan modern - Terbangunnya fasilitas litbang bioteknologi peternakan modern

11. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)

- Pengembangan aplikasi teknologi isotop dan radiasi - Diperolehnya aplikasi teknologi isotop dan radiasi di bidang

peternakan, kesehatan dan industri

Page 117: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

94

Tabel 26 (lanjutan) No Kementerian/ Lembaga Program/Kegiatan Prioritas/Sasaran/Indikator

(dengan kata kunci : “Peternakan” dan “Pertanian”) (1) (2) (3)

13. Badan Pusat Statistik Penyediaan dan pengembangan statistik peternakan, perikanan, dan kehutanan

Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku II (diolah)

4.2.4 Sinergi Antara Pusat Dan Daerah Dan Antardaerah

Perencanaan pembangunan dengan fokus pada sinergi antara pusat dan

daerah dan sinergi antardaerah disusun dalam buku III RPJMN Tahun 2010-2014.

Analisis berdasarkan kata kunci “peternakan”, yang dilakukan atas matriks matriks

sinkronisasi pusat dan daerah dalam pencapaian prioritas nasional, dapat diperoleh

gambaran peran kementerian/lembaga dalam pelaksanaan program/kegiatan pada

wilayah pelaksanaan sebagai sasaran dalam lingkup prioritas ketahanan pangan

(prioritas 5), hasil analisis ditampilkan dalam Tabel 27.

Tabel 27. Sinergi antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan swasembada daging sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014)

No Substansi Inti/

Kegiatan Prioritas terkait dengan pertanian, sub sektor

peternakan

Instansi Pelaksana

Sasaran Pelaksanaan di Wilayah

Sum

ater

a

Jaw

a B

ali

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Nus

a Te

ngga

ra

Mal

uku

Papu

a (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

1. Pengawasan penyaluran kredit Kementerian Keuangan

2 Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner

Kementerian Pertanian

3. Pengelolaan dan penyediaan benih ternak

Kementerian Pertanian

4. Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal

Kementerian Pertanian

5.

Penjaminan pangan asal hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan non-pangan.

Kementerian Pertanian

6.

Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal.

Kementerian Pertanian

7. Terlaksananya sinkronisasi kebijakan terkait tata ruang dan pertanahan

Kementerian/ Lembaga: Dalam Negeri, KUM & HAM, Pertanian, BPN, Kehutanan, Setneg,

Page 118: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

95

Tabel 27 (lanjutan)

No Substansi Inti/

Kegiatan Prioritas terkait dengan pertanian, sub sektor

peternakan

Instansi Pelaksana

Sasaran Pelaksanaan di Wilayah

Sum

ater

a

Jaw

a B

ali

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Nus

a Te

ngga

ra

Mal

uku

Papu

a

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

8. Penyusunan RPP tentang perubahan peruntukan kawasan hutan

Kementerian/ Lembaga: Dalam Negeri, KUM&HAM, LH, Pertanian,PU, PDT, Kehutanan, Nakertrans, Kelautan &Perikanan, Setneg, BPN

9.

Pengembangan fasilitas laboratorium litbang bioteknologi peternakan modern untuk mendukung perbaikan kualitas dan produktivitas bibit unggul ternak nasional

LIPI

10.

Keanekaragaman pangan (pengembangan bahan pangan nabati selain beras dan dukungan litbang untuk pengembangan peternakan

LIPI

Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku III (diolah)

Sedangkan fokus untuk pengembangan wilayah, berkaitan dengan

pelaksanaan program swasembada daging sapi dapat dikemukakan dalam Tabel 28.

Tabel 28. Fokus pengembangan wilayah dalam pelaksanaan swasembada daging sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014)

No Wilayah Strategi Pengembangan Fokus Prioritas/Kegiatan Prioritas (1) (2) (3) (4)

1. Jawa Timur

Mengembangkan peternakan sapi perah dan sapi potong

Prioritas Nasional: - Litbang peternakan dan veteriner - Pengendalian dan penanggulangan penyakit

hewan menular strategis dan penyakit zonosis

Prioritas Pulau: - Peningkatan investasi dalam pengembangan

ternak - Pengembangan ketersediaan pakan - Penyiapan SDM peternak

2. Bali

3. Kalimantan Barat

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan dengan pengembangan kegiatan ekonomi lokal

Prioritas Pulau: Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal 4. Kalimantan

Timur

Page 119: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

96

Tabel 28 (lanjutan) No Wilayah Strategi Pengembangan Fokus Prioritas/Kegiatan Prioritas (1) (2) (3) (4)

5. Nusa Tenggara Barat Meningkatkan produktivitas

budidaya peternakan

Prioritas Pulau: - Peningkatan penguasaan teknologi

budidaya peternakan - Pengembangan insentif bagi konsolidasi

usaha peternakan skala mikro dan kecil 6. Nusa Tenggara Timur

Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku III (diolah)

4.3 Koordinasi dan Sinergi Program Lintas Kementerian dan Lembaga

Dalam blueprint swasembada daging sapi 2014 disebutkan bahwa

pelaksanaan program akan melibatkan 13 kementerian dan lembaga, serta

melibatkan juga 20 propinsi prioritas dan 13 propinsi pendukung. Hal tersebut

menggambarkan bahwa keterlibatan melalui koordinasi dan sinergi program dari

kementerian, lembaga, dan daerah akan sangat menentukan tingkat kesuksesan

pencapaian swasaembada daging sapi, tidak sebatas pencapaian untuk tahun 2014,

namun mengarah pada pencapaian swasembada secara berkelanjutan.

Kondisi yang Diperlukan dalam Sinergi dan Koordinasi

1. Kondisi mendasar dapat dicapainya koordinasi dan sinergi program lintas

kementerian, lembaga, dan daerah, dalam lokus otoritas kementerian, lembaga,

dan daerah kondisi tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok dasar, yaitu: (1)

prasyarat pencapaian sinergi dan koordinasi pada lingkup intra-organisasi, dan

(2) prasyarat pencapaian sinergi dan koordinasi pada lingkup inter-organisasi.

Secara mendasar sinergi dan kordinasi tersebut dapat dilakukan apabila dalam

kementerian/lembaga tersebut telah memiliki perangkat organisasi yang sesuai,

antara lain: adanya unit organisasi/unit kerja yang menjalankan fungsi yang

sesuai atau terkait, dan adanya kebijakan, program atau kegiatan yang tertuang

dalam dokumen perencanaan, serta tersedianya dukungan sumberdaya (SDM,

fasilitas, dana) yang dapat didedikasikan dalam pelaksanaan program atau

kegiatan. Analisis atas peran kementerian dan lembaga yang tercantum dalam

Blueprint Swasembada dapat dilihat pada Tabel 29.

Page 120: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

97

Tabel 29. Identifikasi inisiatif kementerian dan lembaga terkait pelaksanaan swasembada daging sapi

No Kementerian/ Lembaga/Daerah

Unit Organisasi/ Unit Kerja

Kebijakan/Program/Kegiatan

(1) (2) (3) (4) 1. Kementerian

Pertanian Dirjen Peternakan

a. Berbagai kebijakan terkait peternakan Kegiatan Prioritas: Pencapaian swasembada daging sapi.

b. Blueprint PSDS 2014 c. Renstra Ditjennak

2. Kementerian Keuangan

Dirjen Anggaran

a. Ketahanan Pangan b. Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan

revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.

c. Anggaran untuk menstimulus usaha peternakan 3. Kementerian

Perdagangan - Dirjen

Perdagangan Luar Negeri

- Dirjen Perdagangan Dalam Negeri

a. Berbagai kebijakan terkait perdagangan ternak, produk turunan dan produk lain terkait

b. Iklim investasi Pertanian c. Revitalisasi Kredit Usaha Rakyat d. Pengembangan UKM: perluasan OVOP e. Pengendalian distribusi dan pemasaran

ternak&produknya di dalam dan di luar negeri 4. Kementerian

Perindustrian - Dirjen

Industri Kecil dan Menengah

- Dirjen Industri Agro

a. Kesinambungan swasembada pangan b. Pencanangan program peningkatan daya saing

dan nilai tambah produk pertanian dengan pemberian insentif bagi tumbuhnya industri perdesaan berbasis produk

c. Penyediaan dana penjaminan untuk KUR dalam APBN sebesar Rp. 2 triliyun/tahun

d. Perluasan One Village One Product (OVOP) 5. Kementerian

Dalam Negeri a. Program Peningkatan Keberdayaan

Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan b. Dukungan terhadap pemda yang wilayahnya

mengembangkan usaha peternakan 6. Kementerian

Koperasi dan UKM Pembinaan KUKM pertanian dan peternakan

7. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal

Sasaran Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal: a. Munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi

pada daerah yang saat ini dikategorikan tertinggal

b. Berkurangnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara daerah tertinggal dengan lain

8. Kementerian BUMN

BUMN yang bergerak dalam bidang pertanian dan peternakan

Sesuai arah pengembangan BUMN dan corporate plan

Page 121: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

98

Tabel 29 (lanjutan)

No Kementerian/ Lembaga/Daerah

Unit Organisasi/ Unit Kerja

Kebijakan/Program/Kegiatan

(1) (2) (3) (4) 9. Kementerian Riset

dan Teknologi - Deputi - Staf Ahli

Pangan dan Pertanian

Kebijakan Inovasi Pokok: a. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung

litbang Iptek dan meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya UKM: misalnya reformasi kelembagaan

b. Iptek/inovasi; peningkatan kualitas SDM dan insentif non-struktural; pengembangan pusat pusat unggulan (center of excellence); dan pengembangan kapasitas teknologis dan bantuan teknis (technical assistance) bagi dunia usaha (terutama pelaku UKM). Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi:

c. Riset Unggulan Bersama (7 bidang fokus + 11 Prioritas Nasional KIB II): sistem insentif, riset strategis, riset tematik

10. Kementerian Pendidikan

Fakultas dan jurusan peternakan

Penelitian dasar di bidang peternakan

11. BATAN Laboratorium terkait sektor pertanian

Teknologi budidaya pertanian terpadu (biocyclofarm, hama, ternak dan tanah).

12. LIPI Laboratorium terkait sektor pertanian

Penelitian dasar dan terapan terkait pertanian dan peternakan

13. Perbankan Dukungan kredit bagi pertanian

Pemberian pinjaman modal yang bunganya disubsidi pemerintah/ pemberian pinjaman modal melalui skema lain

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Kendala dan Upaya Pencapaian Sinergi dan Koordinasi

Upaya mensikronkan RPJMN dengan RPJMD adalah keinginan yang baik

namun sulit dilakukan (Darwanto, 2011). Tujuan perencanaan pembangunan

nasional adalah melaksanakan program prioritas pada skala nasional (pertumbuhan

ekonomi, pengangguran, isu-isu MDGs, ketimpangan antar wilayah, dan

sebagainya). Analogi dengan itu, tujuan perencanaan pembangunan daerah adalah

untuk melaksanakan program prioritas pada skala daerah. Prioritas pembangunan

pada skala nasional tentunya tidak sama dengan prioritas pembangunan pada skala

daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah-nya

sudah memberikan petunjuk mengenai kewajiban masing-masing tingkatan

pemerintahan.Pada kesempatan yang sama juga dikemukakan beberapa upaya yang

dapat dilakukan untuk mengoptimalkan keselarasan antara RPJMN dan RPJMD,

antara lain dengan cara sebagai berikut:

Page 122: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

99

a. Pemerintah pusat harus konsekuen melaksanakan program dan kegiatan

yang sesuai dengan tingkatan pemerintahannya, dan tidak ada

program/kegiatan kementerian/lembaga yang sama dengan program/

kegiatan pemda.

b. Memperlakukan pemda sebagai mitra pembangunan daripada sebagai

pelaksana program pusat di daerah. Hal ini berarti pusat perlu

memberikan informasi kepada pemda mengenai RPJMN dan RKP,

demikian juga kementerian/lembaga perlu memberikan informasi

mengenai program/kegiatan mengenai Renstra dan Renja. Selanjutnya

pemda dapat memanfaatkan informasi ini untuk menyusun RPJMD dan

RKPD sesuai kepentingan daerahnya, serta dengan mempertimbangkan

kepentingan nasional.

c. Pusat menyediakan ruang untuk menampung aspirasi rakyat dan pemda.

Hal ini dapat dilakukan dengan (1) mengadakan pertemuan-pertemuan

khusus membahas rencana pembangunan nasional antara presiden dengan

para kepala daerah, (2) mengakomodasi secara rasional usulan DPR dan

DPD saat membahas RPJMN/RAPBN, (3) menyelenggarakan konsultasi

publik untuk membahas rencana dan isu pembangunan, (4) membuka

forum komunikasi melalui internet untuk menampung pendapat publik

mengenai rancangan rencana, dan lainnya.

d. Tujuan pembangunan nasional yang memerlukan keterlibatan pemda

untuk mencapainya diupayakan dengan membuat kebijakan khusus

disertai dana dan petunjuk pelaksanaan dan pertangggungjawaban.

Misalnya, untuk mencegah konversi sawah menjadi permukiman,

pemerintah pusat dapat membuat peraturan untuk membatasi konversi

lahan tersebut disertai dengan pemberian kompensasi bagi pemda atau

kepada pemilik lahan.

4.4 Keselarasan Peraturan Perundangan

Dalam berbagai forum diskusi yang dihadiri oleh para pemangku

kepentingan terkait, baik dari wakil pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi,

pelaku usaha peternakan dan pelaku usaha pendukung peternakan, maupun yang

diselenggarakan oleh beberapa kementerian maupun lembaga, hampir selalu

Page 123: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

100

memunculkan pembahasan berkaitan kebijakan atau peraturan perundangan, antara

lain:

1. Ketidakharmonisan peraturan perundangan atau kebijakan, sehingga kurang

kondusif terhadap pelaksanaan program swasembada daging sapi;

2. Ketidak konsistenan pelaksanaan peraturan perundangan atau kebijakan yang

telah ada;

3. Perlunya dukungan (belum adanya) peraturan perundangan atau kebijakan

untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang merupakan inisiatif strategis

yang dianggap kritikal bagi kesuksesan pencapaian swasembada daging sapi

secara berkelanjutan;

Peraturan perundangan dan kebijakan tersebut, selain dalam lingkup

kewenangan Kementerian Pertanian, juga merupakan lingkup kewenangan

kementerian atau lembaga lain, dan juga daerah baik propinsi, kabupaten maupun

kota. Beberapa peraturan perundangan dan kebijakan yang teridentifikasi berkaitan

dengan pelaksanaan swasembada daging sapi seperti dalam Tabel 30 sampai dengan

Tabel 33.

Tabel 30. Peraturan perundangan terkait pelaksanaan swasembada daging sapi

No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3)

1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan 2. Keputusan Presiden No. 22 Tahun

1990 Pembinaan Usaha Peternakan Ayam

3. Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000

Standardisasi Nasional

4. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001

Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 - Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001

Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

6. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1977

Usaha Peternakan

7. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 -Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001

Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Page 124: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

101

Tabel 31. Kebijakan menteri keuangan terkait pelaksanaan swasembada daging

No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3)

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2005

Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010 Tahap Kedua

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 131/PMK.05/2009

Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS)

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.011/2011 - Tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006

Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.011/2011 - Tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006

Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.011/2011 - Tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006

Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel 32. Kebijakan menteri pertanian terkait pelaksanaan swasembada daging

No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3) 1. Keputusan Menteri Pertanian

Nomor 242/Kpts/OT.210/4/2003 Pendaftaran dan Labelisasi Pakan Menteri Pertanian

2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006

Sistem Perbibitan Ternak Nasional

3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006

Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak

4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/10/2006

Pedoman Pemeliharaan Unggas Di Pemukiman

5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 44/Permentan/OT.140/5/2007

Pedoman Berlaboratorium Veteriner Yang Baik (Good Veterinary Laboratory Practice)

6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/9/2007

Pedoman Pengawasan Mutu Pakan

7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 28/Permentan/OT.140/5/2008

Pedoman Penataan Kompartemen dan Penataan Zona Usaha Perunggasan

8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2008

Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak

9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/1/2008

Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong

10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/4/2009

Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pakan

11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/PERMENTAN/OT.140/4/2009

Pemasukan Dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan Dari Luar Negeri

12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/PERMENTAN/PD.400/9/2009

Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi

13. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010

Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant)

Page 125: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

102

Tabel 32 (lanjutan) No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3) 14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor

16/PERMENTAN/OT.140/1/2010 Pedoman Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar

15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010

Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014

16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21/PERMENTAN/OT.140/2/2010

Pemasukan Hewan Babi dan Produknya Ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel 33. Kebijakan kementerian dan lembaga lain terkait pelaksanaan swasembada daging

No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3)

1. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/9/2011

Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan

2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-DAG/PER/9/2009

Ketentuan Umum di Bidang Impor

3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2008

Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Daging

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008

Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah

5. Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 57/KEP/BSN/5/2008

Penetapan 8 (delapan) Standar Nasional Indonesia

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

4.5 Kinerja Proses Penyusunan Kebijakan

Globalisasi memberikan dampak terhadap kebebasan aliran informasi dan

keleluasaan aliran barang dan jasa. Selain itu globalisasi juga memberikan dampak

terhadap munculnya isu-isu lintas bidang (cross-cutting issues) seperti: lingkungan,

HAM, korupsi, good governance, demokrasi, kemiskinan dan lain-lain. Sehingga

persoalan yang semula merupakan isu domestik dapat berubah menjadi isu

internasional. Selain hal tersebut, proses demokratisasi melahirkan beragam

pendapat dan kehendak muncul ke permukaan didalam masyarakat yang heterogen.

Untuk menghadapi situasi seperti itu diperlukan suatu upaya sistematis untuk

mempertahankan kepentingan bangsa dan negara.

Perubahan lain terjadi pada sistem perencanaan dan penganggaran

pembangunan – seiring dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut

memberikan perubahan yang signifikan terhadap sistem perencanaan dan

penganggaran pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan secara

bijaksana sistem perencanaan yang dapat menjamin keselarasan pembangunan antar

daerah dengan tidak mengurangi wewenang yang telah diberikan.

Page 126: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

103

Berkaitan dengan hal tersebut, telah dilakukan penelitian yang bertujuan

untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi masyarakat terhadap kinerja

proses penyusunan kebijakan saat ini serta kebutuhan (tuntutan) masyarakat atas

kinerja proses penyusunan kebijakan kedepan (PPN/Bappenas, 2004). Responden

berasal dari berbagai kalangan, yaitu: (1) pegawai pemerintahan: 41,8 persen

(pemerintah pusat dan daerah), (2) masyarakat madani: 41,8 persen (LSM,

perguruan tinggi/lembaga penelitian, dunia usaha, media masa/ pers, konsultan

individu), (3) wakil rakyat terpilih: 5,5 persen, (4) lembaga internasional: 7,7 persen,

dan (5) masyarakat profesional sektor publik: 3,3 persen. Secara umum gambaran

responden dalam penelitian persepsi masyarakat ditampilkan dalam Lampiran 7.

4.5.1 Kinerja Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Berkaitan dengan koordinasi antara Pusat dan Daerah sebanyak 68,1 persen

menjawab pernah mengikuti atau mengetahui adanya forum koordinasi pusat dan

daerah misalnya seperti yang dilakukan dalam Musyawarah Perencanaan

Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), dan 30,8 persen menjawab tidak pernah

mengikuti atau mengetahui.

Sebanyak 46,2 persen menilai bahwa kinerja koordinasi antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah berjalan kurang baik, bahkan sebanyak 11 persen

menilai kinerja koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat

tidak baik. Hanya 8,8 persen saja yang menyatakan koordinasi sudah baik dan

sangat baik. Sedangkan 33 persen menyatakan koordinasi sudah cukup berjalan

(Gambar 25).

11,0

46,2

33,0

8,8

1,1

0 10 20 30 40 50

Sangat Tidak Baik

Kurang Baik

Cukup

Baik

Sangat Baik

Sumber: Bappenas, 2004

Gambar 25. Kinerja koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

Page 127: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

104

Berdasarkan pertanyaan mengenai alasan yang mempengaruhi koordinasi

antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagian besar responden atau 42 persen

menyatakan bahwa keseimbangan kepentingan antara Pusat dan Daerah harus

menjadi perhatian dalam rangka melakukan koordinasi (Gambar 26).

25,0

42,7

32,3

0 10 20 30 40 50

Komunikasi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah

Keseimbangan antara kepentingan

Pemerintah Pusat dan Daerah

Pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah

Sumber: Bappenas, 2004

Gambar 26. Kinerja koordinasi antar pemerintah daerah

4.5.2 Kinerja Koordinasi antar Lembaga/Instansi

Sebanyak 52,7 persen menilai bahwa kinerja koordinasi antar

lembaga/intansi berjalan kurang baik, bahkan sebanyak 16,5 persen menilai kinerja

koordinasi antar lembaga/instansi berjalan sangat tidak baik. Hanya 6,6 persen

responden yang menyatakan koordinasi sudah baik. Sedangkan 24,2 persen

menyatakan koordinasi sudah berjalan cukup baik (Gambar 27).

16,5

52,7

24,2

6,6

Sangat Tidak Baik

Kurang Baik

Cukup

Baik

Sangat Baik

Sumber: Bappenas, 2004

Gambar 27. Kinerja koordinasi antar lembaga

Page 128: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

105

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja koordinasi antar daerah,

sekitar 38,7 persen responden menjawab bahwa egoisme sektor menjadi faktor yang

mempengaruhi kinerja koordinasi. Selain itu koordinasi antar lembaga dipengaruhi

oleh kinerja dari lembaga perencana yang memiliki fungsi untuk mengkoordinasikan

antar lembaga (Gambar 28).

38

22,5

34,2

4,5

Adanya egoisme masing-masing sektor

Perbedaan dalam menentukan prioritas

antar lembaga/instansi

Tidak berjalannya fungsi koordinasi dalam

lembaga perencana

Ketersediaan dana

Sumber: Bappenas, 2004

Gambar 28. Faktor yang mempengaruhi koordinasi antar lembaga/instansi

4.5.3 Perbaikan Proses Penyusunan Kebijakan Lintas Sektor

Berdasarkan jawaban responden terhadap perlunya perbaikan dalam proses

penyusunan kebijakan (policy making process), dapat dilihat bahwa hampir semua

jawaban yang disampaikan dalam pertanyaan memiliki persentase yang hampir

sama. Artinya bahwa responden melihat perlunya perbaikan dalam setiap

mekanisme koordinasi yang ada baik antara pusat-daerah, antar daerah dan antar

lembaga. Selain itu dibutuhkan peningkatan peran lembaga perencana dalam

melakukan koordinasi (Gambar 29).

22,9

17,3

Mekanisme koordinasi Pusat dan Daerah

Mekanisme koordinasi antar lembaga

Mekanisme koordinasi antar Daerah

Peningkatan Peran Koordinasi Lembaga

Perencana

Sumber: Bappenas, 2004

Gambar 29. Kebutuhan perbaikan proses penyusunan kebijakan lintas sektor

Page 129: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

106

Hasil penjaringan persepsi pemangku kepentingan ini merupakan masukan

yang sangat berarti dalam penyempurnaan sistem penyusunan kebijakan dan

perencanaan, pemantapan peran dan fungsi lembaga perencanaan kedepan serta

bahan awal untuk melihat persepsi dan kebutuhan masyarakat terhadap proses

penyusunan kebijakan, khususnya dalam koordinasi dan sinergi dalam perencanaan

dan pelaksanaan pembangunan nasional.

4.6 Perumusan Permasalahan

Secara umum perumusan permasalahan dapat dilakukan dengan

mengelompokkan potensi permasalahan dalam lingkup intra-organisasi, yaitu

permasalahan yang timbul pada internal organisasi K/L itu sendiri. Kelompok

berikutnya adalah potensi permasalahan yang dihadapi pada lingkup inter-

organisasi, yaitu permasalahan yang terjadi lintas K/L/D maupun dengan para

pelaku pembangunan lainnya.

Selain hal tersebut diatas besar kemungkinan adanya permasalahan yang

timbul dari faktor lingkungan strategis antara lain politik, ekonomi, sosial, teknologi

dan lingkungan hidup. Permasalahan yang timbul dari kondisi ini relatif sulit untuk

dapat diatasi oleh inisiatif pada tingkat K/L/D.

1. Permasalahan Koordinasi Lintas Fungsi/UnitKerja/Unit Organisasi

Dalam sebuah organisasi, pelaksanaan kegiatan tatakelola secara umum

dapat dikatakan mengikuti siklus majamenen PDCA dari Deming, yaitu plan, do,

check, action ataupun siklus ataupun siklus POAC, planning, organizing, actuating,

dan controlling. Dikaitkan dengan pelaksanaan sasaran swasembada daging sapi,

praktek pelaksanaan siklus tersebut dalam internal organisasi sangat berkaitan erat

dengan kondisi sebagai berikut:

a. Apakah keterlibatan K/L didukung dengan mandat, kebijakan yang jelas

dan memiliki kekuatan hukum;

b. Adakah fungsi organisasi dalam bentuk unit kerja atau unit organisasi

dalam K/L tersebut yang mendapatkan penugasan (tupoksi) dalam

penanganan program swasembada daging sapi sesuai dengan lingkup

tanggungjawabnya;

Page 130: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

107

c. Apakah fungsi perencanaan dalam K/L mengacu pada produk

perencanaan pada hirarkhi yang lebih tinggi (misal: RPJMN 2010-2014),

yang berkaitan dengan pelaksanaan program swasembada daging sapi,

dan memuat dalam produk perencanaan K/L yang bersangkutan;

d. Apabila muatan perencanaan telah mencantumkan kegiatan yang

berkaitan dengan program swasembada daging sapi, maka :

- Bagaimanakah kebijakan K/L dalam pelaksanaan program/

kegiatan tersebut? Apakah menggunakan pendekatan “proyek”

yang dilaksanakan hanya untuk satu atau dua tahun, atau

pendekatan yang bersifat “berkelanjutan”, dilaksanakan secara

kontinyu;

- Seberapa besarkah dukungan sumberdaya yang dialokasikan

untuk pelaksanaan program/kegiatan tersebut (SDM, anggaran,

fasilitas, mesin dan peralatan, dan sebagainya);

e. Seberapa efektifkah koordinasi lintas fungsi/unit kerja/unit organisasi

dalam K/L yang terkait dengan penanganan program swasembada

daging sapi sesuai dengan lingkup tanggungjawabnya;

Dari kondisi tersebut diatas dapat diidentifikasikan potensi permasalahan

intra-organisasi dalam lingkup K/L adalah sebagai berikut :

a. Rencana strategis, RPJMD atau produk perencanaan K/L/D yang

bersangkutan tidak memuat program/kegiatan yang berkaitan dengan

pelaksanaan swasembada daging sapi, baik yang terkait langsung

maupun tidak langsung;

b. Alokasi sumberdaya yang kurang memadai dalam pelaksanaan

program/kegiatan, serta pendekatan pelaksanaan yang bersifat “proyek”

dan kurang mempertimbangkan penciptaan nilai tambah secara

keberlanjutan atau jangka panjang;

c. Lemahnya koordinasi lintas fungsi/unit kerja/unit organisasi dalam

K/L/D, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pada proses

pemantauan dan evaluasi;

d. Tidak efektifnya upaya tindak lanjut untuk melakukan tindakan

perbaikan yang dapat meminimalisasi (meniadakan) kesenjangan antara

Page 131: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

108

perencanaan dan pelaksanaan, melalui tindakan taktis-operasional pada

pelaksanaan program/kegiatan, maupun perbaikan perencanaan untuk

periode berikutnya;

2. Permasalahan Koordinasi Lintas Kementerian/Lembaga/Daerah

Pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi adalah kegiatan

yang bersifat cross-cutting issues atau bersifat lintas K/L/D. Dengan demikian

keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi akan sangat tergantung pada

kualitas koordinasi dan sinergi program lintas kementerian/lembaga/daerah. Dalam

beberapa forum panel pakar, seminar/ diskusi, maupun depth interview yang

membahas hal-hal yang berkaitan dengan program swasembada daging sapi,

dikemukakan bahwa sesuai peran dan fungsi atau lingkup otoritas (locus of control)

Kementerian Pertanian dalam mewujudkan swasembada daging hanya sebatas 30

persen. Sementara kunci keberhasilan yang 70 persen lainnya adalah wilayah locus

of concern atau ada pada peran dan fungsi K/L/D dan/atau pelaku pembangunan

lainnya.

Analisis situasional potensi permasalahan dalam koordinasi lintas K/L/D

dapat diidentifikasikan dalam dua kategori, yaitu pada tahap perencanaan dan tahap

pelaksanaan atau implementasi dapat dikemukakan sebagai berikut:

Tahap Perencanaan :

1. Belum optimalnya forum lintas sektor yang mempertemukan K/L/D untuk

mempersiapkan perencanaan pembangunan (planning to plan) bagi prioritas

pembangunan nasional (RPJMN Buku I), sehingga dapat diperoleh gambaran

yang jelas berkaitan dengan peran dan tanggungjawab masing-masing

K/L/D;

2. Belum optimalnya koordinasi perencanaan implementasi tingkat tinggi (high

level implementation plan), yang dalam hal ini adalah: Kementerian

PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator

Perekonomian;

3. Kondisi diatas dapat menyebabkan ketidakselarasan antara penetapan sasaran

prioritas pembangunan nasional dalam penjabaran pada rencana strategis

masing-masing K/L, maupun RPJMD pada pemerintah daerah;

Page 132: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

109

4. Ketidakselarasan tersebut akan berdampak pada ketidaksesuaian dalam

penetapan alokasi sumberdaya (terutama anggaran), baik yang berasal dari

APBN, APBD maupun sumber pendanaan dari sumber lainnya;

Tahap Pelaksanaan :

1. Belum optimalnya forum koordinasi dan sinergisme sebagai bagian dari

upaya dalam mengintegrasikan pelaksanaan program/kegiatan lintas K/L/D;

2. Adanya “ego sektoral”, sehingga K/L hanya terfokus pada peran dan fungsi

secara “stand-alone” tanpa koordinasi dengan K/L yang terkait;

3. Belum optimalnya forum pemantauan dan evaluasi (monev) yang bersifat

lintas K/L/D, sehingga dapat dilakukan identifikasi permasalahan dan

diambil tindakan pencegahan atau perbaikan untuk mencegah penyimpangan

yang terjadi (problem identification and corrective action);

3. Permasalahan Ketidakselarasan Peraturan Perundangan/Kebijakan

Pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi oleh K/L, serta

keterlibatan para pelaku pembangunan lainnya tidak dapat dilepaskan dari sejumlah

peraturan perundangan maupun bentuk kebijakan lain baik dari tingkat pusat

maupun daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam praktek pelaksanaannya dapat

ditemukan adanya peraturan perundangan atau kebijakan yang mendukung

pelaksanaan program/kegiatan, atau yang bersifat value creator/value enhancer.

Namun pada saat yang sama juga dijumpai cukup banyak peraturan perundangan

atau kebijakan yang “menghambat” pelaksanaan program/kegiatan atau bersifat

value destroyer.

Dari kondisi tersebut diatas dapat diidentifikasikan potensi permasalahan

yang muncul karena ketikaselarasan/disharmoni peraturan perundangan dan

kebijakan, antara lain sebagai berikut :

1. Adanya peraturan perundangan (undang-undang, peraturan pemerintah,

instruksi presiden, keputusan presiden) yang berpotensi menimbulkan

distorsi dalam pelaksanaan program/kegiatan;

2. Adanya kebijakan (peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan daerah,

keputusan kepala daerah, atau lainnya) yang tidak selaras dengan

pelaksanaan program/kegiatan dan mengakibatkan iklim yang kurang

kondusif;

Page 133: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

110

3. Belum adanya turunan kebijakan atas peraturan perundangan/ kebijakan yang

sudah ada sebelumnya, sehingga tidak ada pedoman umum, petunjuk

pelaksanaan, maupun petunjuk teknis dalam pelaksanaan program/kegiatan;

4. Masih adanya “arogansi” sektoral atau daerah/regional/wilayah, hingga

menimbulkan iklim yang kurang kondusif dalam pelaksanaan

program/kegiatan;

5. Kurang efektifnya upaya harmonisasi peraturan perundangan/ kebijakan

melalui koordinasi dan sinkronisasi lintas K/L/D;

Page 134: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

111

5 ANALISIS KEBIJAKAN

5.1 Pendekatan Pengembangan Kebijakan

Proses kebijakan tidak bisa dipisahkan dari birokrasi, sosial politik, serta tren

perubahan. Misalnya, perubahan pada sistem ekonomi dan perdagangan pada tingkat

global maupun nasional. Khususnya pada tingkat nasional maupun lokal seperti

demokratisasi, desentralisasi yang membawa dampak cukup besar dalam arah

pengembangan berbagai sektor pembangunan.

Analisis kebijakan berkaitan dengan swasembada daging sapi, dilakukan

dengan beberapa tujuan sebagai berikut:

a. Memahami proses kebijakan yang telah dikembangkan dan di

implemetasikan.

b. Memahami tujuan dan motif di balik kebijakan, dan sejauh mana kebijakan

itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat (masyarakat konsumen dan

pelaku usaha yang terkait dengan rantai nilai peternakan) .

c. Memahami dampak kebijakan terhadap masyarakat. Sejauh mana kebijakan

itu benar-benar memenuhi tujuan mereka.

d. Memahami area intervensi dalam proses kebijakan terkait dengan

perkembangan, baik pengembangan kebijakan dan dampak kepada

masyarakat.

Untuk memahami proses pengembangan kebijakan, harus dilakukan langkah

identifikasi dan pemahaman hal yang benar-benar terjadi dan melibatkan interaksi

maupun tanggapan pelaku pada saat memformulasikan kebijakan, juga hasil-hasil

“kebijakan makro” yang dirumuskan. Hal tersebut termasuk juga:

a. Memahami peran dan fungsi kementerian/lembaga/daerah dan organisasi

masyarakat sipil terkait dengan pengembangan kebijakan dan implementasi.

b. Mengidentifikasi kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan

utama dalam proses pengembangan kebijakan di semua tingkatan, kekuatan

dan peran para pemangku kepentingan dalam proses kebijakan dan

bagaimana hal tersebut telah dipraktekkan.

Page 135: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

112

c. Strategi yang dipakai oleh para pemangku kepentingan untuk

merepresentasikan peran dan fungsi mereka dalam proses kebijakan dan

untuk memenuhi (atau mengalihkan) intensinya dalam implementasi.

d. Pemangku kepentingan utama yang memiliki peran terhadap proses, juga

terhadap pola pelaksanaan.

e. Tindakan kolektif yang dilakukan oleh para pelaku usaha, organisasi

masyarakat sipil, dan komunitas lain serta hubungan mereka pencapaian

tujuan dan nilai tambah yang diperolehnya.

Model analisis kebijakan (Blaikie, 2001) diatas menggambarkan bahwa

setiap aspek dalam analisas proses harus dipahami, juga interaksinya. Model

tersebut memadukan unsur-unsur negara dan masyarakat yang berorientasi pada

kebijakan dan implementasinya. Gambar 30 menunjukan kerangka analisis

kebijakan dalam swasembada daging sapi.

Page 136: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

113

Gambar 30. Analisis proses kebijakan dalam swasembada daging sapi

Page 137: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

114

5.2 Pendekatan Sistem Klaster dalam Swasembada Daging Sapi

Seperti telah dibahas dalam Bab 2, bahwa perilaku dasar organisasi yang

rumit dapat direpresentasikan seperti halnya tubuh manusia yang dikontrol oleh

sistem syaraf yang merupakan sistem terkaya dan paling fleksibel, maka pemikiran

tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Beer, 1984 dalam VSM (viable system

model). VSM menggambarkan esensi sistem “organisasi” dibanding strukturnya,

dan merupakan perwujudan dari berbagai macam hukum prinsip cybernetik sebagai

hal penting untuk meningkatkan kinerja organisasi (Jackson, 2003).

5.2.1 Faktor-faktor yang terkait dalam Swasembada Daging Sapi

Dengan memperhatikan prinsip dan hukum VSM, hasil studi literatur, serta

depth interview maka dapat dirumuskan pemahaman lingkungan yang berpengaruh

terhadap pencapaian swasembada daging sapi yang dikelompokkan dalam lima

klaster, dan masing masing klaster terdiri dari beberapa node atau variabel.

Pengelompokkan dalam jenis klaster dilakukan dengan mempertimbangkan

klasifikasi sistem dalam input-output (Marimin, 2007), selanjutnya untuk

pendekatan sifat dan karakteristik hierarki permasalahan manajemen (direktif,

strategik, taktikal, dan operasional) digunakan dalam penetapan faktor/node yang

tersebar pada masing-masing klaster (Marimin, 2004). Klaster dan faktor/node

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Klaster Input Lingkungan

Faktor/node pada klaster ini merupakan faktor-faktor lingkungan yang

memberikan pengaruh pada pencapaian tujuan yang sifatnya tetap dan diluar kontrol

dari sistem swasembada daging sapi. Klaster input lingkungan memiliki enam

faktor, yaitu : nilai tukar (kurs rupiah), tarif impor, suku bunga bank, intervensi

program pada sektor peternakan, kebijakan perdagangan (dalam/luar negeri),

kebijakan pembangunan yang mendukung sektor peternakan.

2. Klaster Supply/Ketersediaan

Daging sapi yang bersifat demand driven, sampai saat ini masih bermasalah

dalam pemenuhannya. Kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi

daging sapi lokal terjadi tiap tahun, yang diduga karena adanya peningkatan jumlah

masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas.

Page 138: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

115

Impor daging yang selama ini dilakukan tidak lain untuk mengisi excess

demand agar harga tertinggi (ceiling price) dapat dijangkau oleh masyarakat.

Penetapan harga tertinggi bertujuan untuk melindungi konsumen, ternyata di sisi

lain dapat menjadi disinsentif bagi peternak untuk memelihara sapi.

Berbagai upaya pokok untuk mencapai angka suplai 90% dari kebutuhan

daging nasional6

Tabel 34. Proyeksi pengembangan sapi di indonesia

. Upaya tersebut bertitik tolak pada pendekatan peningkatan

populasi sapi dalam negeri, yang didukung oleh populasi sapi tahun 2010 menjadi

base line. Pengembangan sapi Indonesia yang diproyeksikan akan terus meningkat

hingga tahun 2014 seperti pada Tabel 34.

Bangsa sapi 2010 2014 kenaikan (%)

komposisi 2014 (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

Lokal lain 2,029,709 2,328,277 14.71 15.02 Bali 4,313,415 5,027,833 16.56 32.43 Peranakan Ongole 2,541,829 2,851,538 12.18 18.39

Brahman 717,546 1,391,985 93.99 8,89 Simental 1,257,380 1,342,240 6.75 8,86 Limosin 2,210,948 2,558,275 15.71 16,50

Sumber : Blue Print P2SDS 2014

Klaster ketersediaan mencermati kondisi yang menjadi prasyarat dalam

menjaga ketersediaan secara berkelanjutan. Klaster ini memiliki sembilan faktor

sebagai berikut: harga daging sapi dalam negeri, harga daging sapi impor, harga

ternak sapi dalam negeri, harga ternak sapi impor, populasi ternak sapi, teknologi

inseminasi buatan (IB), harga pakan sapi dan obat, ketersediaan sarana prasarana

peternakan, penyakit ternak.

3. Klaster Demand/Permintaan

Konsumsi dan penawaran daging berfluktuasi, dan cenderung meningkat

lebih cepat bila dibandingkan dengan peningkatan populasi. Berdasarkan model

ramalan untuk tahun 2009-2013 pada Gambar 31 tampak bahwa konsumsi daging

tumbuh dengan laju yang lebih cepat bila dibanding dengan penawaran. Fenomena

ini dapat memacu peningkatan harga daging, dan selanjutnya akan merangsang 6 Sesuai sasaran pencapaian swasembada daging sapi nasional, dalam Blueprint PSDS 2014

Page 139: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

116

peternak rakyat untuk menjual sapinya, termasuk sapi betina produktif

(PPN/Bappenas, 2010).

Gambar 31. Jumlah penduduk dan permintaan daging sapi

Klaster permintaan memiliki tujuh faktor, antara lain: harga daging sapi

dalam negeri, harga sumber protein non daging sapi, pendapatan per kapita, jumlah

penduduk (tingkat populasi), tingkat asupan protein dari daging sapi, gaya hidup,

selera makan, pola permintaan musiman (Idul fitri, qurban, natal, tahun baru dan

lainnya).

4. Klaster Langkah Solusi

Upaya pencapaian swasembada daging sapi menghadapi banyak tantangan

dan permasalahan, baik dari aspek teknis, ekonomi, sosial maupun kebijakan-

kebijakan pendukungnya. Koordinasi antarinstansi, antarsektor, serta

antarpemangku kepentingan (stakeholder) juga masih sangat lemah, sehingga hal ini

perlu mendapat perhatian untuk diselesaikan pada masa yang akan datang.

Faktor dalam klaster langkah solusi menggambarkan berbagai langkah atau

inisiatif yang harus dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk keberhasilan

pencapaian swasembada daging sapi. Pada klaster ini memiliki 6 faktor sebagai

berikut: koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga dan lainnya),

integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah),

keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan

pengawasan, pemberian insentif bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat

dalam rantai sektor peternakan, bentuk kemitraan strategis, pengembangan dan

peningkatan sarana dan prasarana.

Page 140: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

117

5 Klaster Strategi

Klaster strategi terdiri dari lima faktor sebagai berikut: penataan peran

kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha &

masyarakat); pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan

masyarakat; fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan

berdasarkan program prioritas; optimalisasi pelaksanaan insentif bagi pemberdayaan

pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai sektor peternakan; pelaksanaan

monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan.

5.2.2 Dekomposisi dan Pembuatan Kerangka Kerja ANP

Setelah seluruh informasi dikonfirmasi ulang selanjutnya dibentuk

framework yang terdiri dari klaster yang sudah disusun berdasarkan hirarki dan

hubungan networknya, yang dijelaskan pada Gambar 32.

Gambar 32. Kerangka kebijakan swasembada daging pada program ANP

Sebelum dibuat kuesioner, kerangka kerja ANP ini dikonfirmasi ulang

kepada responden ahli. Dengan bantuan piranti lunak ANP, kemudian disusun

kuesioner pairwised comparisons yang jauh lebih mudah mengisinya. Untuk

selanjutnya kuesioner ANP diisi oleh para pakar sebanyak 26 orang yang mewakili

pemangku kepentingan yang telah direncanakan (Lampiran 8) , yaitu:

1. Anggota DPR RI dengan lingkup tugas yang terkait dengan sektor

pertanian;

Page 141: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

118

2. Aparatur pemerintah dari kementerian/lembaga terkait secara langsung

maupun tidak langsung dengan swasembada daging sapi, antara lain:

Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian

Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Badan Pengkajian

dan Penerapan Teknologi

3. Akademisi dengan lingkup keahlian peternakan atau terkait dengan sektor

peternakan;

4. Pelaku usaha dalam bidang peternakan atau yang terkait dengan sektor

peternakan;

5. Insan pers atau media dengan bidang tugas (desk) bidang pertanian atau

yang terkait dengan sektor peternakan;

Selain melalui pengisian kuesioner, untuk memperoleh faktor-faktor yang

dianggap penting dalam masing-masing klaster bagi kerangka kerja ANP

diperoleh dari hasil diskusi yang dilakukan dalam seminar sosialisasi Rancangan

Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Swasembada Daging Sapi 2014 yang

diselenggarakan oleh Kementerian Negara PPN/Bappenas (Lampiran 9).

5.2.3 Pengolahan Data ANP

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Super

Decisions versi 2.0 Beta yang dibuat oleh Thomas L. Saaty dan dapat diunduh dari

alamat website-nya di www.superdecision.com.

a. Penyusunan Kuesioner dan Pengentrian Data

`Dalam pengolahan data terdapat

empat tahapan yang dilakukan untuk dapat mensintesis hasil, yaitu : pertama,

pembuatan Framework, kedua, pembuatan kuesioner pairwised comparisons, ketiga,

menguji konsistensi dan mensintesis hasil, dan keempat mencari nilai Kendall’s

Coefficient of Concordance dengan bantuan piranti lunak Minitab versi 14.01 yang

digunakan untuk menentukan tingkat kesepakatan pemilihan faktor-faktor terkait di

antara para responden.

Dalam penyusunan kuesioner ANP “pairwised comparisons” dibuat sesuai

dengan standar kuesioner ANP yang ada pada piranti lunak Super Decision versi

2.0, yang kemudian dibuat tabel matriks menggunakan program MS Word. Dengan

metode pairwised comparisons sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Page 142: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

119

Gambar 33. Hasil pairwised comparisons kerangka ANP

Pada penelitian ini jumlah matrik pairwise comparison sebanyak 87 matriks

dengan total pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 1178

pertanyaan. Setelah data primer berupa jawaban responden diperoleh kemudian data

tersebut dimasukkan ke dalam piranti lunak Super Decision versi 2.0 seperti

disajikan pada Gambar 33.

b. Penentuan Nilai Rater Agreement

Metode ANP adalah metode pengambilan keputusan dengan menggunakan

judgment para pakar melalui kuesioner perbandingan berpasangan (pairwised

comparisons). Dengan perangkat ini para pakar menjadi lebih mudah dan fokus

dalam mengambil keputusan. Untuk pengambilan data dapat dilakukan dengan

dengan dua cara: pertama, dengan membentuk Focus Group Discussion (FGD),

dimana satu pertanyaan dijawab melalui consensus oleh para responden yang terdiri

dari para pakar. Kedua, kuesioner diisi para pakar secara terpisah, kemudian

dihitung geometrics mean (rataan).

Ukuran akurasi tingkat kesepakatan para responden terhadap penentuan

prioritas kebijakan yang dipilih dapat diuji dengan menggunakan analisis rater

agreement yang ditunjukkan oleh nilai koefisien Kendall W yang diperoleh. Nilai

koefisien Kendall W adalah normalisasi dari Friedman Statistic yang digunakan

untuk mengukur kesepakatan (agreement) di antara para responden. Rentang skala

Page 143: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

120

nilai koefisien Kendall’s W antara 0 sampai dengan 1, dimana 0 (nol) berarti tidak

ada kesepakatan dan 1 (satu) yang berarti terdapat kesepakatan yang sempurna.

Untuk memudahkan perhitungan nilai koefisien Kendall W dilakukan proses

pengolahan data menggunakan bantuan program perangkat lunak pengolahan data

statistik “Minitab 14.01”. Pada Tabel 35 disajikan rekapitulasi nilai koefisien

Kendall W hasil pengolahan terhadap seluruh node (atribut) yang ada pada frame

work ANP model kebijakan swasembada sapi, yaitu sebanyak 33 node. Setiap node

diranking (dibuat peringkat) berdasarkan hasil penilaian/pendapat 26 responden

pakar hasil pengolahan ANP.

Tabel 35: Rekapitulasi koefisien Kendall’s W

Koefisien Kendall Chi-Sq DF P 0,824521 686,002 32 0,0000

Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam hal seluruh node (atribut)

pada model kebijakan swasembada daging sapi nasional menunjukkan bahwa

seluruh responden ternyata memiliki kesepakatan yang relatif tinggi yang

ditunjukkannya nilai koefisien Kendall W dengan nilai lebih dari 0,82 atau dapat

dikatakan bahwa secara signifikan terdapat kesepakatan antara responden dengan

ditunjukkannya nilai P kurang dari 0,1 atau 10%.

5.3 Analisis dan Sintesis Hasil ANP

Sintesa dari pairwised comparisons diperoleh melalui pengolahan data yang

dilakukan satu persatu oleh masing-masing responden terlebih dahulu. Dengan

bantuan piranti lunak Super Decisions data dioleh per responden untuk

menghasilkan supermatriks. Supermatriks tersebut menampilkan urutan prioritas

klaster-klaster terpenting dari faktor-faktor terkait model kebijakan swasembada

daging sapi, urutan prioritas dari alternatif pemecahan masalah dalam pembentukan

model kebijakan swasembada daging sapi, dan pilihan model strategis yang tepat

menurut masing-masing responden yang disajikan dalam Tabel 36.

Page 144: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

121

Tabel 36. Urutan faktor prioritas hasil ANP

Cluster Normalized By ClusteLimiting1 Langkah solusi 25. Keterkaitan dan Konsistensi 0,1849 0,07042 Langkah solusi 23. Koordinasi antar pelaku pembangunan 0,1565 0,06943 Strategi 33. Monitoring & evaluasi 0,1940 0,06794 Strategi 29. Penataan peran kelembagaan 0,1900 0,06655 Strategi 28. Pengembangan sarana-prasarana 0,1640 0,06246 Langkah solusi 26. Pemberian insentif 0,1588 0,06047 Strategi 31. Fokus perencanaan 0,1723 0,06038 Strategi 30. Pengembangan kapasitas kelembagaan & SDM 0,1604 0,05629 Langkah solusi 27. Bentuk kemitraan strategis 0,1217 0,0463

10 Langkah solusi 24. Integrasi, sikronisasi & sinergi program 0,1020 0,045211 Strategi 32. Optimalisasi insentif 0,1210 0,042412 Demand 16. Harga daging sapai dlm negeri 0,1995 0,013413 Demand 22. Pola permintaan musiman 0,1745 0,011514 Demand 20. Tingkat asupan protein 0,1363 0,009015 Demand 21. Gaya hidup-selera makan 0,1338 0,008816 Demand 17. Harga sumber protein non daging 0,1251 0,008417 Demand 18. pendapatan perkapita 0,1192 0,008018 Input Lingkungan 6. Kebijakan pembangunan 0,2876 0,007819 Demand 19. jumlah pddk 0,0950 0,006420 Supply 7. Harga daging lokal 0,1273 0,005421 Supply 11. Populasi ternak sapi 0,1337 0,005422 Supply 9. Harga ternak sapi dlm negeri 0,1216 0,004923 Supply 12. Teknologi IB 0,1197 0,004824 Supply 13. Harga pakan sapi dan obat 0,1186 0,004825 Input Lingkungan 5. Kebijakan dagang 0,1660 0,004526 Input Lingkungan 4. intervensi program 0,1580 0,004327 Supply 8. Harga daging impor 0,1039 0,004228 Supply 10. Harga ternak sapi impor 0,0907 0,003629 Supply 14. Ketersediaan sarana dan prasarana 0,0703 0,003430 Supply 15. Penyakit ternak 0,0602 0,002931 Input Lingkungan 2. tarif impor 0,0953 0,002632 Input Lingkungan 3. Suku bunga 0,0724 0,002033 Input Lingkungan 1. Nilai tukar 0,0717 0,0019

NilaiNode Model ANP Swasembada Daging SapiPrioritas

Pada hasil keluaran (output) piranti lunak Super Decisions 2.0 secara

keseluruhan seperti yang ditampilkan pada Tabel di atas terdapat dua nilai yaitu nilai

Normalized by cluster dan nilai Limiting. Nilai Normalized by cluster adalah nilai

prioritas pada setiap satu klaster yang bernilai total satu atau seratus persen jika

dijumlah dalam satu klaster, sedangkan nilai Limiting adalah nilai prioritas pada

seluruh prioritas node (atribut) permasalahan dan alternatif solusi atau kebijakan

antar klaster. Dalam analisa per klaster digunakan nilai Limiting karena pada

dasarnya urutan prioritas pada pilihan alternatif pada satu klaster akan menghasilkan

urutan yang sama baik menggunakan nilai Normalized by Cluster maupun

menggunakan nilai Limiting.

5.3.1 Hasil Penetapan Prioritas dengan Pemodelan ANP

Survey pakar yang dilakukan dengan metode ANP dengan 5 klaster (input

lingkungan, supply, demand, langkah solusi, dan strategi), yang terdiri dari 33

Page 145: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

122

faktor. Gabungan pendapat para pakar menggambarkan urutan prioritas dari 33

faktor yang dinilai dari keterkaitan dan besarnya pengaruh terhadap pencapaian

tujuan, yaitu Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging Sapi untuk

mencapai swasembada (Gambar 34).

Gambar 34. Urutan prioritas faktor hasil ANP

5.3.2 Faktor Prioritas Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada

Daging Sapi

Dari 33 faktor dapat diidentifikasikan 10 prioritas teratas yang merupakan

faktor kunci dalam keberhasilan pencapaian Integrasi Perencanaan Pembangunan

Swasembada Daging Sapi seperti pada Tabel 37.

Page 146: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

123

Tabel 37. Faktor prioritas utama bagi pencapaian swasembada daging sapi

Prioritas Node Normalized by cluster Limiting

(1) (2) (3) (4)

1 Keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan 0,1849 0,0704

2 Koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga, dll) 0,1565 0,0694

3 Pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan 0,1940 0,0679

4 Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha & masyarakat) 0,1900 0,0665

5 Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana 0,1640 0,0624

6 Pemberian insentif bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai sektor peternakan 0,1588 0,0604

7 Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan berdasarkan program prioritas 0,1723 0,0603

8 Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan masyarakat 0,1604 0,0562

9 Bentuk kemitraan strategis 0,1217 0,0463

10 Integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah) 0,1020 0,0452

Dalam kaitan perencanaan dan penganggaran pembangunan sektor pertanian,

khususnya dalam pencapaian swasembada daging sapi, secara hierarki dalam

pengambilan keputusan maupun tatakelola pembangunan dapat dikemukakan dalam

empat tingkatan.

Tingkat direktif, bahwa penetapan swasembada daging sapi nasional

merupakan bagian dari prioritas pembangunan ketahanan pangan yang termuat

dalam RPJM Nasional 2010-2014 (Perpres No.5/2010). Selanjutnya pelaksanaan

perencanaan pembangunan mengacu pada UU No.25/2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional, sedangkan untuk penetapan anggaran

mengikuti ketentuan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara. Selain hal

tersebut untuk hal-hal yang dalam pelaksanaannya melibatkan pemerintah daerah

propinsi, kabupaten maupun kota akan mengacu pada UU No.32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah, dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah. Berdasarkan peraturan perundangan diatas dijabarkan 3 tingkatan

hirarkhi yang secara ringkas ditampilkan dalam Tabel 38.

Page 147: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

124

Tabel 38. Pengelompokan prioritas utama dalam klaster strategi

Prioritas Faktor Limiting Hirarki (1) (2) (3) (4)

1 Keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan

0,0704

Strategik 7 Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan berdasarkan program prioritas

0,0603

10 Integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah) 0,0452

2 Koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga, dll) 0,0694

Taktikal 3 Pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan 0,0679

4 Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha & masyarakat)

0,0665

5 Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana 0,0624

Operasional 6 Pemberian insentif bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai sektor peternakan

0,0604

8 Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan masyarakat 0,0562

9 Bentuk kemitraan strategis 0,0463

Pada tingkat strategik diperlukan strategi yang dapat memberikan panduan

agar terbangun (1) keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran,

pelaksanaan dan pengawasan, dengan (2) fokus pada program prioritas, serta

melaksanakan (3) integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah,

antarfungsi pemerintah). Pada tingkat taktikal diperlukan berbagai forum lintas

kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam hal: (1) penataan peran

kelembagaan, (2) koordinasi dalam pelaksanaan peran dan fungsi, pemantauan dan

evaluasi serta (3) berbagai upaya langkah perbaikan untuk menjaga agar terbangun

sinergi dalam pencapaian sasaran swasembada daging sapi. Selanjutnya untuk

menjaga iklim yang kondusif dalam pelaksanaan tingkat operasional diperlukan

kebijakan yang dapat memfasilitasi: (1) terciptanya kemitraan strategis antarpelaku

pembangunan, (2) pengembangan SDM masyarakat peternak, pelaku usaha dalam

bidang yang terkait dengan peternakan, (3) pengembangan dan peningkatan sarana

dan prasarana yang terkait dengan sektor peternakan, serta (4) pemberian insentif

bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai sektor

peternakan.

Page 148: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

125

Mengamati karakteristik faktor-faktor yang menjadi prioritas tersebut dapat

tergambarkan hubungan yang erat antara keberhasilan pencapaian swasembada

daging sapi dengan integrasi, sinkronisasi, sinergi antardaerah, antarruang,

antarwaktu, antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah dalam

pelaksanaan upaya swasembada daging sapi. Oleh Morgan (2006) pola

pengorganisasian dengan kondisi ini digambarkan sebagai metapor organisasi

sebagai organisme (Nature intervenes–Organization as Organism), organisasi juga

terdiri atas interaksi berbagai subsistem yang antara lain meliputi lingkungan,

strategi, human-kultural, struktural, teknologi dan manajemen. Dengan demikian

sangat diperlukan adanya forum-forum antarfungsi pemerintah dalam lintas

kementerian/lembaga, maupun antara pusat dan daerah yang sejalan dengan amanat

UU SPPN Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan

nasional.

5.3.3 Analisis Prioritas pada Masing-masing Klaster

Analisis Klaster Input Lingkungan

Gambar 35. Hasil analisis klaster input lingkungan

Gambar 35 menjelaskan bahwa pada klaster input lingkungan para pakar

berpendapat bahwa 3 prioritas tertinggi adalah: kebijakan pembangunan yang

mendukung sektor peternakan (0,2876), kebijakan perdagangan dalam negeri dan

Page 149: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

126

luar negeri (0,1660), dan intervensi program pada sektor peternakan (0,1580).

Analisis atas 3 prioritas tertinggi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kebijakan pembangunan yang mendukung sektor peternakan (0,2876):

bahwa untuk keberhasilan pencapaian sasaran swasembada daging sangat

dipengaruhi oleh penetapan secara formal (sebagai kebijakan nasional)

bahwa program tersebut merupakan prioritas pembangunan nasional.

b. Kebijakan perdagangan dalam negeri dan luar negeri (0,1660): bahwa

kebijakan perdagangan atau tataniaga mempunyai pengaruh yang besar

terhadap keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan, khususnya

dalam menjaga kelancaran rantai pasok perdagangan ternak dan daging

sapi, baik bagi sapi impor maupun sapi lokal.

c. Intervensi program pada sektor peternakan (0,1580): pelaksanaan

program yang menjadi sasaran pembangunan memerlukan keterlibatan

berbagai sektor pembangunan, maupun berbagai pemangku kepentingan

sebagai pelaku pembangunan, baik pemerintah pusat dan daerah, para

pelaku usaha, maupun masyarakat. Untuk dapat “menggerakkan” para

pemangku kepentingan agar fokus, selaras dan dan dapat menciptakan

sinergi yang positf, diperlukan intervensi program dari pemerintah. Pada

umumnya intervensi program dilakukan pada level taktikal maupun

operasional.

Analisis Klaster Pasokan/Supply Penetapan prioritas pada klaster pasokan ditampilkan dalam Gambar 36,

menunjukan bahwa 3 faktor dengan nilai tertinggi sebagai prioritas dalam klaster ini

adalah: populasi ternak sapi (0,1337), harga daging dalam negeri (0,1273), dan harga

ternak sapi dalam negeri (0,1216).

Page 150: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

127

Gambar 36. Hasil analisis klaster pasokan

Dengan adanya faktor yang memiliki nilai prioritas yang sama, untuk klaster

pasokan para pakar berpendapat bahwa 5 prioritas pada klaster ini adalah:

1. Populasi ternak sapi (0,1337): Populasi ternak sapi memberikan pengaruh

yang tinggi terhadap kelangsungan tingkat pasokan daging sapi.

Ketersediaan pasokan daging sapi secara berkelanjutan dapat terjaga dengan

integrasi yang baik dalam proses budidaya, ketersediaan betina produktif,

keberhasilan proses reproduksi alamiah maupun buatan, yang pada akhirnya

menjaga ketersediaan bakalan maupun sapi siap potong. Salah satu faktor

penghambat laju peningkatan populasi adalah pemotongan sapi betina

produktif yang semakin tinggi sebagai akibat desakan untuk mencukupi

permintaan;

2. Harga daging sapi dalam negeri (0,1273): ketersediaan daging sapi dalam

negeri dengan harga yang terjangkau merupakan hal yang harus menjadi

perhatian pemerintah. Kesenjangan jumlah pasokan akan meningkatkan

harga daging sapi di pasaran, untuk itu impor dilakukan agar dapat mengisi

excess demand agar harga tertinggi masih dapat dijangkau oleh masyarakat.

Kenaikan harga daging sapi impor di dalam negeri akan diikuti oleh

kenaikan harga daging sapi lokal. Kondisi permintaan pada saat hari Raya

Idul Fitri, secara konsisten meningkatkan harga. Demikian juga pada saat

hari raya korban secara konsisten menurunkan harga daging sapi. Kebijakan

Page 151: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

128

stabilisasi harga dengan menjaga supply yang cukup dengan distribusi yang

tepat oleh pemerintah belum dapat menurunkan harga eceran daging sapi.

3. Harga ternak sapi dalam negeri (0,0049): paling tidak ada tiga masalah

utama dalam pemasaran ternak sapi di Indonesia yaitu: transprotasi ternak

antar daerah khususnya antar pulau, pungutan pemda pada ternak yang

melewati daerahnya dan banyaknya peternak yang menjual ternak pada

pedagang pengumpul desa daripada ke pasar hewan. Rendahnya harga bibit

nasional yang tidak mendatangkan insentif bagi peternak untuk menjadi

produsen bibit, karena secara bisnis tidak menguntungkan karena harga bibit

yang rendah.

Analisis Klaster Kebutuhan/Demand Untuk klaster kebutuhan disajikan dalam Gambar 37, terdapat 3 faktor yang

dianggap penting dan menjadi prioritas adalah: harga daging sapi dalam negeri

(0,1995), pola permintaan musiman (idul fitri, idul qurban, natal, tahun baru, dan

lainnya) (0,1745), dan tingkat asupan protein dari daging sapi (0,1363).

Gambar 37. Hasil analisis klaster kebutuhan

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa:

1. Harga daging sapi dalam negeri (0,1995): faktor ini juga menjadi faktor

prioritas pada klaster pasokan. Hal ini menunjukan bahwa harga daging sapi

merupakan faktor yang memberikan pengaruh besar pada tingkat

keberhasilan dalam pencapaian swasembada daging sapi;

Page 152: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

129

2. Permintaan musiman (idul fitri, idul qurban, natal, tahun baru, dan lainnya)

(0,1745): dapat dikenali bahwa tren permintaan dalam periode tahunan selalu

berfluktuasi bersamaan dengan datangnya hari raya keagamaan ataupun hari

besar lainnya.

3. Tingkat asupan protein dari daging sapi (0,1363) : peningkatan kesadaran

masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

berpengaruh pada meningkatnya kebutuhan permintaan daging khususnya

daging sapi yang semakin meningkat.

Analisis Klaster Langkah Solusi Pada klaster ini para pakar berpendapat bahwa faktor yang menjadi prioritas

adalah: keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,

dan pengawasan (0,1849), pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana

(0,1640), serta pemberian insentif bagi pembardayaan bagi pelaku usaha dan

masyarakat dalam rantai nilai sektor peternakan (0,1588).

Gambar 38. Hasil analisis klaster langkah solusi

Memperhatikan hasil pada Gambar 38 diatas, beberapa kondisi yang dapat

menggambarkan pentingnya faktor-faktor tersebut bagi keberhasilan pencapaian

swasembada daging sapi, antara lain:

1. Keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan (0,1849): adanya keselarasan dalam bentuk

forward linkage dan backward linkage yang dimulai dari: input –

proses/kegiatan – output/keluaran – outcome/hasil – impact/dampak. Dalam

Page 153: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

130

penerapannya keterkaitan dan konsistensi tersebut dapat diukur dengan

menggunakan tiga komponen sebagai berikut:

a. Indikator kinerja, merupakan alat ukur keberhasilan suatu program

atau kegiatan.

b. Standar biaya yang digunakan merupakan masukan pada awal tahap

perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, dan nantinya

menjadi standar biaya keluaran.

c. Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan

masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik

bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi efisiensi dan

efektivitas dari suatu program/kegiatan.

2. Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana (0,1640) :

pengembangan usaha ternak sapi potong harus didukung dengan sarana dan

prasarana untuk subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi

potong yaitu subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir, serta

subsistem jasa penunjang.

a. Subsistem hulu adalah sarana dan prasarana untuk menghasilkan dan

memperdagangkan sarana produksi ternak (sapronak), jenis usaha

pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan, dan industri

penyedia peralatan ternak;

b. Subsistem budidaya adalah sarana dan prasarana untuk mendukung

perkembangan usaha peternakan sapi potong yang sudah ada serta

menumbuhkembangkan usaha baru yang bergerak di hulu dari

agribisnis peternakan sapi potong.

c. Subsistem hilir adalah sarana dan prasarana untuk mengolah hasil

peternakan sapi potong agar sesuai dengan kebutuhan konsumen

sekaligus membuka kesempatan berusaha dan bekerja pada agribisnis

hilir peternakan sapi potong.

d. Subsistem jasa penunjang adalah dengan memfasilitasi

berkembangnya usaha-usaha agribisnis ternak sapi potong baik di

hulu, budi daya maupun hilir melalui: penguatan SDM peternakan,

penguatan kelembagaan peternakan, serta sarana dan prasarana

distribusi dan transportasi.

Page 154: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

131

3. Pemberian insentif bagi pemberdayaan bagi pelaku usaha dan masyarakat

dalam rantai nilai sektor peternakan (0,1588): Diperlukan upaya yang

menyentuh aspek sosial-ekonomi peternak secara mikro, perlu

dipertimbangkan secara khusus untuk memfasilitasi kesejahteraan peternak

dan pelaku usaha di sektor peternakan. Hal ini sekaligus untuk agar

pemenuhan kebutuhan daging sapi dan produk turunannya dapat dipenuhi

oleh hasil peternakan yang bersumber dari sapi lokal Indonesia,

mempercepat pertumbuhan dan perkembangnan ekonomi kerakyatan

berbasis peternakan sapi dan produk turunannya (pro job, pro poor, pro

growth).

Analisis Klaster Strategi Dari lima faktor strategi yang dimungkinkan, para pakar berpendapat bahwa

3 faktor yang dianggap menjadi prioritas dalam klaster ini adalah: pelaksanaan

monitoring dan evaluasi serta melaksanakan langkah perbaikan (0,1940), penataan

peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha, dan

masyarakat) (0,1900), serta fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan

pengawasan berdasarkan program prioritas (0,1723).

Gambar 39. Hasil analisis klaster strategi

Secara ringkas untuk faktor prioritas dari klaster strategis yang disajikan

dalam Gambar 39, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta melaksanakan langkah

perbaikan (0,1940): monitoring dan evaluasi kinerja merupakan proses

penilaian dan pengungkapan masalah implementasi kebijakan untuk

Page 155: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

132

memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi

efisiensi dan efektivitas dari suatu program/kegiatan. Pelaksanaan evaluasi

dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil terhadap target (dari sisi

efektivitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan sumber daya (dilihat

dari sisi efisiensi). Hasil evaluasi kinerja merupakan umpan balik (feed back)

bagi suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya.

2. Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda,

pelaku usaha, dan masyarakat) (0,1900): keberhasilan pencapaian sasaran

swasembada daging sapi nasional akan sangat ditentukan oleh “kerapihan”

penataan peran kelembagaan agar dapat dicapai koordinasi dan sinkronisasi

program dan kegiatan yang dilaksnakan dalam kerangka anggaran yang

efektif dan efisien. “Kerapihan” penataan peran dan anggaran menjadi

penting dan kritikal, mengingat :

a. Sebagai bagian dari prioritas ketahanan pangan yang termuat dalam

RPJMN 2010-2014, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

mengkoordinasikan 11 kementerian/lembaga yang melaksanakan

program dan kegiatan.

b. Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014 juga dicantumkan bahwa

pelaksanaan 13 kegiatan operasional swasembada daging sapi akan

melibatkan 14 kementerian/lembaga, 33 propinsi yang terdiri dari 20

lokasi prioritas dan 13 lokasi pendukung;

3. Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan

berdasarkan program prioritas (0,1723): pencapaian swasembada daging

sapi nasional memerlukan upaya terintegrasi yang melibatkan pemangku

kepentingan lintassektor, lintasfungsi pemerintah, antara pusat dan daerah,

serta antar pelaku pembangunan. Untuk dapat mencapai hasil yang optimal,

diperlukan integrasi perencanaan penganggaran, pelaksanaan, sesuai dengan

peran kelembagaan, serta pemantauan dan evaluasi untuk melakukan

tindakan perbaikan maupun perbaikan perencanaan (rolling plan).

Page 156: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

133

5.4 Asumsi Model Kebijakan Hasil SAST

Pembuatan kebijakan harus mempertimbangkan berbagai fakta maupun

kondisi yang nyata maupun yang bersifat sebagai potensi atau kondisi latent. Untuk

dapat memperoleh berbagai faktor yang dapat mewakili kondisi tersebut

menggunakan pendekatan strategic assumption surfacing and testing (SAST),

dengan bantuan panel pakar yang dirancang dalam sebuah focus group discussion

(Jackson, 2003). Asumsi strategis yang merupakan pendapat para pakar dilakukan

pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan dan tingkat kepastian

menggunakan. Pada riset ini pencarian asumsi strategis dilakukan melalui panel

pakar dengan responden pakar yang berpengalaman baik dalam bidang peternakan

maupun para aparatur negara pada posisi sebagai pengambil keputusan pada sektor

peternakan maupun perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, khususnya untuk

sektor peternakan. Daftar responden pakar untuk metode SAST ditampilkan dalam

Lampiran 10. Eksplorasi asumsi strategis para pakar juga dilakukan berdasarkan

hasil diskusi yang dilakukan dalam FGD tentang Kebijakan Pengembangan

Peternakan Berbasis ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada Daging

Sapi dan Kerbau Tahun 2014, yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator

Bidang Perekonomian (Lampiran 11).

5.4.1 Eksplorasi Asumsi Strategis dengan pendekatan SAST

Eksplorasi awal asumsi strategis menjabarkan komponen dari enam

faktor/kondisi yaitu: faktor kondisi, kondisi permintaan, kondisi industri pendukung,

kondisi persaingan, struktur dan strategi, kondisi pemerintah dan kondisi

kesempatan7

, yang secara berurutan disajikan dalam Tabel 39 sampai Tabel 44.

7 Struktur kuesioner dengan adaptasi dari model Diamond Porter’s

Page 157: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

134

Tabel 39. Asumsi strategis faktor kondisi

A. Faktor Kondisi

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

A1. Ketersediaan fasilitas peternakan (kandang, pengumpulan ternak) dan atau padang penggembalaan 5 2

A2. Ketersediaan sarana dan prasarana, serta kelancaran transportasi darat, laut, udara 6 2

A3. Jumlah dan sebaran fasilitas (penguasaan) teknologi inseminasi buatan (IB) 6 5

A4. Jumlah dan sebaran sarana dan prasarana rumah potong hewan (RPH) 5 2

A5. Ketersediaan sarana dan prasarana klinik hewan (ternak) 7 4

A6. Ketrampilan dan ketersediaan SDM petugas penyuluh lapangan (PPL), bagi masyarakat pelaku usaha peternakan 6 3

A7. Ketrampilan SDM peternak, dan pelaku usaha dalam rantai nilai pendukung 7 3

A8. Penguasaan teknologi peternakan (pakan, perbibitan, pemeliharaan, lainnya) 6 3

A9. Penyakit ternak yang menyebabkan penurunan produktivitas usaha peternakan 6 6

A10. Kondisi alam yang tidak kondusif dan menyebabkan kerugian bagi usaha peternakan 2 2

Tabel 40. Asumsi strategis kondisi permintaan

B. Kondisi Permintaan

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

B1. Harga daging sapi yang dapat mempengaruhi tingkat pasokan maupun tingkat konsumsi 4 4

B2. Harga daging non sapi atau sumber protein lainnya (substitusi daging sapi) yang dapat mempengaruhi jumlah permintaan daging sapi

2 2

B3. Ketersediaan dan keterjangkauan daging sapi ASUH (aman, sehat, utuh, halal) bagi masyarakat konsumen 5 3

B4. Peningkatan jumlah permintaan daging sapi secara musiman (idul qurban, hari raya keagamaan, hari besar lainnya) 7 6

B5. Gaya hidup, selera makan, trend hidup sehat (vegetarian, menghidari kolesterol, lainnya) yang mempengaruhi tingkat konsumsi daging sapi

5 4

B6. Jumlah kunjungan turis asing yang mempengaruhi tingkat konsusmsi daging sapi impor 1 1

B7. Jumlah hotel, restauran yang menyediakan menu makanan berbasis daging sapi dan mempengaruhi tingkat permintaan daging sapi impor

6 6

B8. Peningkatan variasi makanan olahan berbasis daging sapi (bakso, sosis, makanan siap saji lainnya), yang mempengaruhi tingkat konsumsi daging sapi lokal

6 6

Page 158: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

135

Tabel 41. Asumsi strategis kondisi industri pendukung

C. Kondisi Industri Pendukung

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

C1. Ketersediaan/kecukupan pakan ternak dalam jumlah dan kualitas yang memenuhi persyaratan (industri/produsen pakan) 6 4

C2. Ketersediaan/kecukupan obat-obatan dalam jumlah dan kualitas yang memenuhi persyaratan (industri/produsesn obat-obatan) 5 5

C3. Terjaganya kelangsungan ketersediaan (sustainabilitas) bibit – bakalan – sapi siap potong, yang dapat menjamin kontinuitas swasembada daging sapi

7 4

C4. Kelancaran jaringan distribusi dalam rantai pasok bagi ternak, daging sapi dan produk olahan daging sapi (jasa transportasi, perdagangan, dan sarana perdagangan)

6 2

Tabel 42. Asumsi strategis kondisi persaingan, struktur dan strategi

D. Kondisi Persaingan, Struktur dan Strategi

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

D1. Kebijakan larangan impor daging sapi, jeroan dan tulang sapi 7 7

D2. Kebijakan larangan impor sapi bakalan dan sapi siap potong 7 7

D3. Kebijakan larangan ekspor bahan baku pakan ternak sapi 7 7

D4. Masuknya produk impor daging sapi, jeroan dan tulang sapi 7 7

D5. Masuknya impor bakalan sapi dan ternak sapi potong 7 7

D6. Pengaruh/intervensi “blantik” dan bentuk “middle man” dalam perdagangan daging dan ternak sapi 7 7

D7.

Kerjasama antar wilayah dalam rantai nilai utama maupun rantai nilai pendukung usaha peternakan (sesuai dengan potensi perwilayahan) yang terfokus pada pencapaian sasaran swasembada daging sapi

5 3

Tabel 43. Asumsi strategis kondisi pemerintah

E. Kondisi Pemerintah

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

E1. Konsistensi muatan Renstra Kementerian/ Lembaga, maupun RPJMD Propinsi, Kabupaten/Kota yang terkait, dalam “menyerap” program swasembada daging sapi

6 2

E2.

Koordinasi Kementerian PPN/Bappenas (fungsi perencanaan), Kementerian Keuangan (fungsi anggaran), dan Kemenko Perekonomian (fungsi koordinasi), dalam menjaga fokus dan keselarasan pelaksanaan program dan

7 6

Page 159: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

136

E. Kondisi Pemerintah

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

kegiatan prioritas nasional

E3.

Pengaruh/intervensi “kepentingan” dari golongan/komunitas/organisasi profesi/ organisasi politik/organisasi lainnya, dalam perdagangan daging dan ternak sapi

5 4

E4. Kebijakan perdagangan yang kondusif (non tarif barier, dan bentuk lainnya) yang mendorong terciptanya nilai tambah bagi usaha peternakan

7 7

E5. Sistem informasi ternak sapi nasional secara terintegrasi 6 2

E6. Politik (kebijakan) perdagangan luar negeri (ekonomi) internasional yang “mengganggu” pencapaian sasaran swasembada daging sapi

6 2

E7. Fluktuasi nilai tukar (kurs) mata uang asing yang mempengaruhi kinerja pencapaian sasaran swasembada daging sapi

7 7

Tabel 44. Asumsi strategis kondisi kesempatan

F. Kondisi Kesempatan

Kode Asumsi Strategis Tingkat

kepentingan (x)

Tingkat kepastian

(y) (1) (2) (3) (4)

F1. Seluruh kebutuhan daging sapi nasional dapat dipenuhi oleh hasil peternakan yang bersumber dari sapi lokal Indonesia 7 3

F2. Peningkatan budidaya dan pelestarian plasma nutfah sapi lokal asli Indonesia 6 2

F3. Optimalisasi nilai tambah bagi peternak dengan pemangkasan beban biaya : pungli, komisi, calo, blantik, lainnya 5 3

F4. Pertumbuhan dan perkembangnan ekonomi kerakyatan berbasis peternakan, daging sapi dan produk turunannya (pro job, pro poor, pro growth)

5 4

5.3.2 Penetapan Konsideran Prioritas dalam Penyusunan Kebijakan

Dengan menggunakan teknik SAST dilakukan pemeringkatan terhadap

asumsi-asumsi yang ada. Secara grafis hasil pemeringkatan diposisikan dalam

kuadran kartesius seperti pada Gambar 40, sehingga mudah dikenali posisi tingkat

kepentingan dan tingkat kepastian dari setiap asumasi strategis yang ada.

Page 160: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

137

Gambar 40. Pemeringkatan asumsi strategis dengan teknik SAST

Hasil pemeringkatan menunjukan gambaran tingkat kepentingan dan tingkat

kepastian dari masing-masing asumsi yang ada. Untuk penajaman atas hal-hal yang

harus dipertimbangkan dalam proses penyusunan atau pengambilan kebijakan, maka

analisis dan sintesis dilakukan pada asumsi yang berada dalam kuadran I, yaitu

posisi yang memiliki tingkat kepentingan dan tingkat kepastian yang relatif tinggi.

Pada kuadran I tersebut dapat teridentifikasi asumsi-asumsi senagai berikut :

1. Asumsi dengan nilai 7,7 (amat sangat penting–amat sangat pasti) adalah D1,

D2, D3, D4, D5, D6, E4, E7;

2. Asumsi dengan nilai 7,6 (amat sangat penting–sangat pasti) adalah: B4;

3. Asumsi dengan nilai 6,7 (sangat penting–amat sangat pasti) adalah: E2;

4. Asumsi dengan nilai 6,6 (sangat penting–sangat pasti) adalah: A9, B7, B8;

5. Asumsi dengan nilai 6,5 (sangat penting–pasti) adalah: A3;

6. Asumsi dengan nilai 5,5 (penting–pasti) adalah: C2

Bila kita cermati lebih lanjut, asumsi strategis dengan nilai yang amat sangat

penting dan amat sangat pasti (D1, D2, D3, D4, D5, D6, E4, E7) adalah hal-hal yang

berkaitan erat dengan kebijakan tataniaga maupun proses perdagangan ternak sapi,

daging, produk turunan dan produk pendukung peternakan. Dapat diketahui bahwa

Page 161: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

138

asumsi-asumsi tersebut merupakan hal yang berada diluar kewenangan Kementerian

Pertanian. Hal ini dapat memberikan penguatan pendapat pakar yang diperoleh

melalui FGD maupun indepth interview (Lampiran 14), bahwa peran Kementerian

Pertanian keberhasilan swasembada daging sapi hanya sekitar 30 persen (value

proposition). Dapat dikemukakan pada kondisi ini kementerian dan/atau lembaga

yang memegang peranan penting adalah Kementerian Perdagangan selaku

pemegang fungsi dan peran dalam pengaturan impor maupun ekspor dan

Kementerian Koordinator Perekonomian yang menentukan besaran kuota impor.

Untuk asumsi strategis dengan nilai amat sangat penting dan sangat pasti

adalah peningkatan jumlah permintaan daging sapi secara musiman (idul qurban,

hari raya keagamaan, hari besar lainnya). Mengingat kondisi “musiman” ini adalah

hal yang rutin dan dengan pola “lonjakan” permintaan yang sangat mudah

diprediksi, maka seharusnya Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan

para pelaku usaha (termasuk peternak rakyat) seharusnya dapat berkoordinasi untuk

mengantisipasi kondisi ini, baik untuk tingkat ketersediaan ternak, daging, dan

produk turunannya, maupun keterjangkauan harga dari produk-produk tersebut.

Selain hal tersebut secara periodik dan siklikal Kementerian Pertanian dapat

mengantisipasi dengan kesiapan dukungan bibit, bakalan, dan produk pendukung

peternakan agar siap pada saat “jatuh tempo” di hari-hari tersebut.

Sedangkan untuk asumsi nilai sangat penting dan amat sangat pasti) adalah E2

atau koordinasi Kementerian PPN/Bappenas (fungsi perencanaan), Kementerian

Keuangan (fungsi anggaran), dan Kemenko Perekonomian (fungsi koordinasi),

dalam menjaga fokus dan keselarasan pelaksanaan program dan kegiatan prioritas

nasional. Hal ini memperkuat bahwa pelaksanaan upaya swasembada daging sapi

yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga, maupun para pemangku

kepentingan lainnya memerlukan dukungan “kepastian” pada tingkat kebijakan yang

lebih tinggi. Tingkat kepastian dalam hal ini adalah fokus dan keselarasan

pelaksanaan program swasembada daging sapi dalam bentuk :

1. Sesuai amanat UU SPPN No. 25/2004, Kementerian PPN/Bappenas

menjalankan tatakelola perencanaan yang dapat menjamin terciptanya

integrasi, sinkronisasi, sinergi antardaerah, antarruang, antar waktu, antar

fungsi pemerintah, antara pusat dan daerah (Bab II, pasal 2, ayat 4 titik (b).

Page 162: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

139

2. Berdasarkan perencanaan yang ada tersebut, Kementerian Keuangan

mendukung dan mengalokasikan anggaran pada seluruh kementerian/

lembaga/daerah yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam

pencapaian swasembada daging sapi.

3. Berpegang pada perencanaan dan ketersediaan anggaran pada masing-masing

kementerian/lembaga/daerah, selanjutnya Kementerian Koordinator

Perekonomian “menjaga” proses koordinasi dan sinergi program lintas

kementerian/lembaga/ daerah;

4. Koordinasi tingkat tinggi harus senantiasa dilakukan oleh tiga kementerian ini,

baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pemantauan dan evaluasi.

Dalam perjalanannya, tindakan korektif atas pelaksanaan program

swasembada daging sapi dapat berimplikasi pada perbaikan dan tatakelola

pada aspek perencanaan, penganggaran, maupun koordinasi dan sinkronisasi

program;

5.5 Struktur Sistem Elemen Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Hasil ISM

Model kebijakan integrasi perencanaan pembangunan sektor pertanian

“swasembada daging sapi nasional” adalah untuk mewujudkan terciptanya

kemandirian pangan dengan meningkatnya ketahanan pangan rakyat, berupa

perbaikan status gizi ibu dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan,

membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan sesuai dengan

sasaran utama pembangunan nasional. Model kebijakan ini disusun berdasarkan

hasil asumsi-asumsi dasar dengan prioritas tertinggi sebagai prasyarat yang harus

diperhatikan dalam penyusunan model kebijakan integrasi pembangunan

swasembada daging sapi.

Struktur sisem elemen model kebijakan swasembada daging sapi nasional ini

dianalisis dengan metode ISM dan hasil wawancara pakar diperoleh enam elemen

utama yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan yakni : (1) Kelompok

Pemangku kepentingan yang terpengaruh, (2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala

utama, (4) Perubahan yang dimungkinkan, (5) Tujuan program, (6)

Lembaga/Kelompok yang terlibat pelaksanaan program. Selain itu ada 3 elemen

pendukung lainnya yakni: (1) Tolok ukur penilaian setiap tujuan, (2) Aktivitas yang

Page 163: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

140

dibutuhkan untuk perubahan, (3) Ukuran aktivitas untuk penilaian hasil aktivitas.

Eksplorasi dan identifikasi sub elemen dari 9 elemen ISM diperoleh melalui panel

pakar yang diselenggaran melalui seminar Pedoman Umum Swasembaga Daging

Sapi Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi

(Lampiran 12), selanjutnya daftar responden pakar untuk metode ISM ditampilkan

dalam Lampiran 13.

1. Elemen kelompok Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh pada Kebijakan Swasembada Daging Sapi

Elemen kelompok pemangku kepentingan yang terpengaruh, pada model

kebijakan swasembada daging sapi nasional terdiri dari enam sub elemen, yaitu: (1)

Kementerian Koordinator Perekonomian, (2) Kementerian Keuangan,

(3)Kementerian PPN/Bappenas, (4) Kementerian Pertanian, (5) Kementerian

Perdagangan, (6) Kementerian Kehutanan, (7) Kementerian Dalam Negeri, (8)

Kementerian BUMN, (9) Kementerian Riset dan Teknologi, (10) Pemerintah

Propinsi/Kabupaten/Kota dan (11) Pelaku Usaha (industri dan masyarakat) dalam

Rantai Nilai Peternakan Sapi. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar

sub elemen kelompok pemangku kepentingan yang terpengaruh dilakukan dengan

pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh hubungan

langsung dari tingkat hirarki kontribusi dalam kelompok pemangku kepentingan.

Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai

pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan

dilakukan berdasarkan matriks reachability pada Gambar 41.

Page 164: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

141

Gambar 41. Matrik reachability pemangku kepentingan (stakeholders) yang terpengaruh

Verifikasi pada elemen pemangku kepentingan yang terpengaruh (yang menjadi sub

elemen kunci adalah Kementerian Keuangan (1) dan Kementerian PPN/Bappenas

(2) karena memiliki daya pendorong (driver power) paling besar dengan tingkat

ketergantungan terhadap sub elemen kelompok pemangku kepentingan lainnya yang

paling rendah. Selanjutnya di rangking dua adalah Kementerian Koordinator

Ekonomi (3) yang memiliki daya pendorong besar dengan tingkat ketergantungan

diatas Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas dan pada rangking

tiga adalah Kementerian Pertanian (4), pada rangking empat adalah Kementerian

BUMN (5), Kementerian riset dan teknologi (6), Kementerian kehutanan (7),

Kementerian Perdagangan (8), Kementerian dalam negeri (9) dan Pemerintah

propinsi/kota/kabupaten (10), pada rangking lima adalah Pelaku usaha (11) yang

merupakan elemen dengan daya pendorong paling kecil dengan tingkat

ketergantungan paling tinggi terhadap kelompok pemangku kepentingan lainnya.

Posisi setiap sub elemen pada elemen pemangku kepentingan yang terpengaruh

ditampilkan pada Gambar 42.

Page 165: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

142

Gambar 42. Matriks driver power-dependence subelemen pada elemen pemangku kepentingan yang terpengaruh

Sub elemen Pelaku usaha (11) berada pada sumbu ketergantungan

(dependence)/(sektor II) dengan daya pendorong (driver power) lebih rendah

sehingga cenderung bersifat dependent, yang artinya bahwa sub elemen pelaku

usaha sangat bergantung kepada sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada

daging sapi. Pada Gambar 43 juga terlihat bahwa kelompok pemangku kepentingan

seperti Kementerian BUMN (5), Kementerian Riset dan Teknologi (6), Kementerian

Kehutanan (7), Kementerian Perdagangan (8), Kementerian Dalam Negeri (9) dan

Pemerintah propinsi/kota/kabupaten (10) adalah termasuk peubah linkage (pengait)

dari sistem (sektor III). Artinya, setiap tindakan yang diambil pada kelompok

pemangku kepentingan tersebut akan menghasilkan suksesnya kebijakan

swasembada daging sapi nasional, dan sebaliknya lemahnya perhatian pada kelima

kelompok tersebut akan mengakibatkan kegagalan program. Pada sektor IV sub

elemen yang termasuk di dalamnya adalah Kementerian Keuangan (1), Kementerian

PPN/Bappenas (2) dan Kementerian Pertanian (3). Ketiga elemen ini memiliki daya

pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap

Page 166: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

143

sub elemen yang lain. Selain itu, kedua sub elemen ini juga memiliki tingkat

ketergantungan yang paling rendah atau independent, yang berarti sebagai akibat

dari tindakan atas kelompok pemangku kepentingan lainnya.

Gambar 43. Struktur sistem elemen kelompok pemangku kepentingan yang terpengaruh

Gambar 43 menunjukkan bahwa penetapan tingkat dari setiap sub elemen

ditentukan dari ranking masing-masing sub elemen. Hasil dari riset ini diperoleh

lima tingkat hirarki dimana sub elemen perilaku usaha (6) menempati level pertama,

Kementerian Keuangan (1) dan Kementerian PPN/Bappenas (2) menempati level 5.

2. Elemen Kebutuhan Program Pengelolaan Kebijakan swasembada daging

Elemen kebutuhan program kebijakan swasembada daging sapi nasional

terdiri atas sembilan sub elemen, yaitu: (1) Kejelasan kebijakan program

swasembada daging pada tingkat nasional, (2) Kejelasan peran dan tanggungjawab

K/L/D yang terlibat dalam pelaksanaan program swasembada daging,

(3)Tercantumnya substansi program/kegiatan dalam dokumen perencanaan Renstra

K/L dan RPJMD Pemerintah Daerah, (4) Ketersediaan dana/anggaran bagi

pelaksanaan program swasembada daging, (5) Adanya instrumen monitoring &

evaluasi pada tingkat nasional serta K/L/D, (6) Proses perencanaan pembangunan

yang bersifat lintas sektor, lintas pelaku pembangunan, serta antara pusat dan

daerah, (7) Kompetensi SDM (teknis dan non teknis) pada K/L/D yang

Page 167: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

144

melaksanakan program swasembada daging, (8) Jaringan kemitraan dengan pelaku

usaha dan masyarakat dalam rantai nilai peternakan dan (9) Tataniaga yang kondusif

bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional. Penilaian pakar

terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen kebutuhan program dilakukan

dengan pendekatan V, A, X dan O juga. Pendekatan tersebut digunakan untuk

memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan terhadap kebutuhan

program. Nilai pendapat gabungan merupakan hasil agregasi pendapat para pakar.

Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan

matriks reachability.

Pada model kebijakan swasembada daging sapi nasional berdasarkan

kebutuhan program, yang menjadi elemen kunci adalah Kejelasan kebijakan

program swasembada daging pada tingkat nasional (1), Ketersediaan dana/anggaran

bagi pelaksanaan program swasembada daging (4) dan Tataniaga yang kondusif bagi

penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional (9) karena memiliki daya

pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen

kebutuhan lainnya paling rendah. Selanjutnya, sub elemen yang berada satu tingkat

dibawahnya adalah Proses perencanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor,

lintas pelaku pembangunan, serta antara pusat dan daerah (6), Pada rangking tiga,

sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Kejelasan peran dan tanggungjawab

K/L/D yang terlibat dalam pelaksanaan program swasembada daging (2) dan

Tercantumnya substansi program/kegiatan dalam dokumen perencanaan Renstra

K/L dan RPJMD daerah ((3). Sementara itu sub elemen Adanya instrumen

monitoring & evaluasi pada tingkat nasional serta K/L/D (5) dan Kompetensi SDM

(teknis dan non teknis) pada K/L/D yang melaksanakan program swasembada

daging (7) di rangking empat dan Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha dan

masyarakat dalam rantai nilai peternakan (8) berada pada rangking lima. Posisi

setiap sub elemen pada elemen kebutuhan program ditampilkan pada Gambar 44.

Page 168: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

145

Gambar 44. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen kebutuhan

program

Pada sektor II, sub elemen yang termasuk didalamnya adalah Adanya

instrumen monitoring & evaluasi pada tingkat nasional serta K/L/D (5), Kompetensi

SDM (teknis dan non teknis) pada K/L/D yang melaksanakan program swasembada

daging (7) dan Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai

nilai peternakan (8). Ketiga sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power)

rendah dan bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat

bergantung pada sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada daging sapi

nasional. Sub elemen yang termasuk dalam sektor III adalah Kejelasan peran dan

tanggungjawab K/L/D yang terlibat dalam pelaksanaan program swasembada daging

(2) dan Tercantumnya substansi program/kegiatan dalam dokumen perencanaan

Renstra K/L dan RPJMD daerah (3). Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan

satu dengan yang lainnya sehingga perlu dikaji secara seksama dalam setiap

tindakan yang diambil, karena dapat memberikan dampak/umpan balik pada peubah

lainnya. Agar pengelolaan swasembada daging sapi berjalan dengan baik, maka

sebaiknya pihak pemerintah memfokuskan tindakan terhadap kedua sub elemen

Page 169: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

146

tersebut. Sebaliknya, lemahnya perhatian terhadap kedua sub elemen tersebut akan

menyebabkan kegagalan program. Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di

dalamnya adalah Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat

nasional (1), Ketersediaan dana/anggaran bagi pelaksanaan program swasembada

daging (4) dan Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri

peternakan nasional (9). Ketiga sub elemen ini memiliki daya pendorong yang

sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang

lain. Selain itu, kedua sub elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang

paling rendah atau independent.

Gambar 45. Struktur sistem elemen kebutuhan program

Gambar 45 menunjukkan bahwa tingkatan hirarki elemen kebutuhan

program terdiri dari lima level. Sub elemen Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha

dan masyarakat dalam rantai nilai peternakan (8) pada level satu, sedangkan

Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat nasional (1),

Ketersediaan dana/anggaran bagi pelaksanaan program swasembada daging (4) dan

Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan

nasional (9) menempati level lima.

Page 170: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

147

3. Elemen kendala program pada kebijakan swasembada daging sapi

Elemen kendala program pada pengelolaan kebijakan swasembada daging

sapi terdiri dari tujuh sub elemen, yaitu : (1) Ketidak konsistenan antara perencanaan

yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran yang disediakan, (2) Program atau

kegiatan terkait swasembada daging (lintas sektor pembangunan) tidak terakomodir

dalam Renstra K/L dan atau RPJMD Pemda, (3) Pencapaian kemajuan (lintas sektor

pembangunan) pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi tidak terkait

dengan penilaian kinerja kelembagaan, (4) Tidak efektifnya koordinasi dan sinergi

lintas K/L, antara pusat dan daerah, serta dengan pelaku usaha dan masyarakat, (5)

Keterbatasan (pola) forum perencanaan pembangunan yang tidak memungkinkan

terjadinya integrasi lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan, (6)

Adanya peraturan perundangan yang “value destroyer”, dan menghambat

tercapainya swasembada daging sapi, (7) Adanya ego-sektoral ihngga K/L/D enggan

untuk “terlibat” dalam upaya integrasi program swasembada daging sapi. Penilaian

pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen kendala program dilakukan

dengan pendekatan V, A, X dan O seperti pada elemen sebelumnya. Tujuannya

sama, yaitu untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki kontribusi

dari kendala program. Nilai pendapat gabungan merupakan hasil agregasi pendapat

para pakar. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan

berdasarkan matriks reachability yang terlampir.

Hasil verifikasi pada model kendala program yang menjadi elemen kunci

adalah Ketidak konsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi

besaran anggaran yang disediakan (1) dan Adanya peraturan perundangan yang

“value destroyer”, dan menghambat tercapainya swasembada daging sapi (6) karena

memiliki daya pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub

elemen kendala program lainnya yang paling rendah. Dapat dikatakan bahwa

kendala terbesar dalam kebijakan swasembada daging sapi adalah

ketidakkonsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran

anggaran yang disediakan dan adanya peraturan perundangan yang “value

destroyer”, dan menghambat, sehingga dapat mengakibatkan kebijakan tersebut

tidak terlaksana dengan baik. Selanjutnya di ranking dua adalah Program atau

kegiatan terkait swasembada daging (lintas sektor pembangunan) tidak terakomodir

dalam Renstra K/L dan atau RPJMD Pemda (2) dan Keterbatasan (pola) forum

Page 171: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

148

perencanaan pembangunan yang tidak memungkinkan terjadinya integrasi lintas

sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan (5) yang memiliki daya

pendorong besar dengan tingkat ketergantungan lebih besar dari Ketidak

konsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran

yang disediakan dan adanya peraturan perundangan yang “value destroyer”, dan

menghambat (sub elemen 1 dan 6). Pada ranking tiga, sub elemen yang termasuk di

dalamnya adalah Tidak efektifnya koordinasi dan sinergi lintas K/L, antara pusat

dan daerah, serta dengan pelaku usaha dan masyarakat (4) dan Pencapaian kemajuan

(lintas sektor pembangunan) pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi

tidak terkait dengan penilaian kinerja kelembagaan (3). Di ranking empat adalah sub

elemen Adanya ego-sektoral sehingga K/L/D enggan untuk “terlibat” dalam upaya

integrasi program swasembada daging sapi (7).

Gambar 46. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen kendala program

Pada Gambar 46 terlihat bahwa di sektror II terdapat sub elemen Adanya

ego-sektoral hingga K/L/D enggan untuk “terlibat” dalam upaya integrasi program

swasembada daging sapi (7) dengan daya pendorong (driver power) lebih rendah

sehingga cenderung bersifat dependent, yang artinya bahwa sub elemen adanya ego-

Page 172: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

149

sektoral sangat bergantung kepada sub elemen lainnya dalam pencapaian kebijakan

swasembada daging sapi nasional. Pada sektor III sub elemen yang termasuk di

dalamnya adalah Program atau kegiatan terkait swasembada daging (lintas sektor

pembangunan) tidak terakomodir dalam Renstra K/L dan atau RPJMD Pemda (2)

dan Keterbatasan (pola) forum perencanaan pembangunan yang tidak

memungkinkan terjadinya integrasi lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku

pembangunan (5) Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan satu dengan yang

lainnya (linkages) sehingga manajemen perlu memusatkan perhatian atas setiap

tindakan/solusi yang diambil pada kedua sub elemen tersebut. Pada sektor IV sub

elemen yang termasuk di dalamnya adalah Ketidak konsistenan antara perencanaan

yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran yang disediakan (1) dan Adanya

peraturan perundangan yang “value destroyer”, dan menghambat tercapainya

swasembada daging sapi (6). Kedua sub elemen ini memiliki daya pendorong yang

sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang

lain. Selain itu, kedua sub elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang

paling rendah atau independent.

Gambar 47. Struktur sistem elemen kendala program

Page 173: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

150

Keluaran model struktural kendala program dengan teknik ISM pada Gambar

47 menunjukkan bahwa pada model kendala program terdapat empat tingkatan

hirarki. Sub elemen Adanya ego-sektoral hingga K/L/D enggan untuk “terlibat”

dalam upaya integrasi program swasembada daging sapi (7) menempati level satu

dan Ketidak konsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran

anggaran yang disediakan (1) dan Adanya peraturan perundangan yang “value

destroyer”, dan menghambat tercapainya swasembada daging sapi (6) menempati

level empat.

4. Elemen perubahan yang dimungkinkan dalam model kebijakan swasembada daging sapi.

Elemen perubahan yang dimungkinkan terdiri atas tujuh sub elemen, yaitu:

(1) Meningkatkan koordinasi (directive) antara: Kementerian PPN/Bappenas,

Kementerian Keuangan, Kementerian kordinator Perekonomian, (2) Meningkatkan

koordinasi (strategic) antara: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan,

Kementerian Dalam Negeri, (3) Meningkatkan (revitalisasi) peran Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian dalam koordinasi dan sinergi lintas sektor bagi

pelaksanaan swasembada daging sapi, (4) Koordinasi antara Kementerian

Perdagangan dan Kemenenterian Pertanian dalam kebijakan (pengaturan) impor

ternak, daging, dan produk turunannya, (5) Penataan peraturan perundangan yang

bersifat “value destroyer” terhadap upaya pencapaian sawsembada daging sapi, (6)

Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integrasi

lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan dan (7) Ketepatan,

keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran ternak sapi, serta

kecenderungan (potensi) supply – demand untuk daging dan produk turunannya.

Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen perubahan

yang dimungkinkan dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan

tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki

dukungan terhadap perubahan yang dimungkinkan. Setiap nilai pendapat pakar

individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan.

Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan

matriks reachability.

Pada model kebijakan swasembada daging sapi, perubahan yang

dimungkinkan, yang menjadi elemen kunci adalah: Meningkatkan koordinasi

Page 174: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

151

(directive) antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan,

Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian (1) karena memiliki daya pendorong

paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen perubahan lainnya

paling rendah. Selanjutnya, sub elemen yang berada satu tingkat dibawahnya adalah

Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integrasi

lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan (6). Pada rangking tiga,

sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Meningkatkan (revitalisasi) peran

Kementerian koordinator Perekonomian dalam koordinasi dan sinergi lintas sektor

bagi pelaksanaan swasembada daging sapi (3) dan Penataan peraturan perundangan

yang bersifat “value destroyer” terhadap upaya pencapaian sawsembada daging sapi

(5), pada rangking empat adalah Meningkatkan koordinasi (strategic) antara

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri (2)

dan Koordinasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian dalam

kebijakan (pengaturan) impor ternak, daging, dan produk turunannya (4).

Sementara itu sub elemen Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi

dan sebaran ternak sapi, serta kecenderungan (potensi) supply – demand untuk

daging dan produk turunannya berada di rangking 5.

Gambar 48. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen perubahan

yang dimungkinkan

Page 175: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

152

Pada Gambar 48, di sektor II, sub elemen yang termasuk didalamnya adalah

Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran ternak sapi,

serta kecenderungan (potensi) supply – demand untuk daging dan produk

turunannya (7). Sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power) rendah dan

bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat bergantung pada

sub elemen lainnya dalam perubahan kebijakan swasembada daging sapi nasional.

Sub elemen yang termasuk dalam sektor III adalah Meningkatkan (revitalisasi)

peran Kementerian koordinator Perekonomian dalam koordinasi dan sinergi lintas

sektor bagi pelaksanaan swasembada daging sapi (3) dan Penataan peraturan

perundangan yang bersifat “value destroyer” terhadap upaya pencapaian

swasembada daging sapi (5). Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan satu

dengan yang lainnya sehingga pengambilan suatu tindakan yang tepat atas kedua

sub elemen akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya perubahan kerbijakan dan

dapat memberikan dampak/umpan balik pada peubah lainnya. Pada sektor IV sub

elemen yang termasuk di dalamnya adalah Meningkatkan koordinasi (directive)

antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian

kordinator Perekonomian (1) karena memiliki daya pendorong paling besar dengan

tingkat ketergantungan terhadap sub elemen perubahan lainnya paling rendah dan

Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integrasi

lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan (6). Kedua Sub elemen

ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor

penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini juga memiliki

tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independent.

Page 176: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

153

Gambar 49. Struktur sistem elemen perubahan yang dimungkinkan

Keluaran model struktural elemen perubahan yang dimungkinkan dengan

teknik ISM, seperti pada Gambar 49 menghasilkan lima tingkatan hirarki. Sub

elemen Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran

ternak sapi, serta kecenderungan (potensi) supply – demand untuk daging dan

produk turunannya (7) pada level satu dan Meningkatkan koordinasi (directive)

antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian

kordinator Perekonomian pada level lima.

5. Elemen tujuan program dalam kebijakan swasembada daging sapi nasional

Elemen tujuan program terdiri atas enam sub elemen, yaitu: (1) Pemenuhan

seluruh atau sebagian besar kebutuhan konsumsi daging sapi dapat dipasok dari

sumber sapi dari dalam negeri, (2) Meningkatnya populasi sapi lokal (galur

murni/asli) melalui proses budidaya secara sistematis dan terencana dengan baik, (3)

Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera, disebabkan peningkatan

penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan (pro poor), (4)

Meningkatnya penciptaan nilai tambah (ekonomi nasional) yang dihasilkan dari sub

sektor peternakan dari hulu sampai hilir (pro growth), (5) Meningkatnya efektivitas

penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan dalam

Page 177: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

154

pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional, (6)Tumbuhnya

industri pangan berbasis daging sapi, maupun industri pendukung kegiatan usaha

peternakan.

Pada elemen tujuan penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar

sub elemen tujuan program dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O juga.

Pendekatan tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat

hirarki dukungan terhadap tujuan program. Setiap nilai pendapat pakar individual

dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan. Penilaian pendapat

pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matriks reachability yang

terlampir.

Gambar 50. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen tujuan program

Gambar 50 menunjukan bahwa model kebijakan swasembada daging sapi

berdasarkan tujuan program, yang menjadi elemen kunci adalah Meningkatnya

efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan

dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional (5). Hal ini

Page 178: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

155

dikarena memiliki daya pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan

terhadap sub elemen tujuan program lainnya paling rendah. Selanjutnya, sub elemen

yang berada satu tingkat di bawahnya adalah Meningkatnya populasi sapi lokal

(galur murni/asli) melalui proses budidaya secara sistematis dan terencana dengan

baik (2) dan Meningkatnya penciptaan nilai tambah (ekonomi nasional) yang

dihasilkan dari sub sektor peternakan dari hulu sampai hilir (pro growth) (4). Di

rangking tiga, sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah pemenuhan seluruh

atau sebagian besar kebutuhan konsumsi daging sapi dapat dipasok dari sumber sapi

dari dalam negeri (1) dan Tumbuhnya industri pangan berbasis daging sapi, maupun

industri pendukung kegiatan usaha peternakan (6). Sementara itu sub elemen di

rangking empat adalah Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera,

disebabkan peningkatan penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan

(pro poor) (3).

Gambar 51. Struktur sistem elemen tujuan program

Pada Gambar 51 tampak bahwa di sektor II, sub elemen yang termasuk

didalamnya adalah Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera,

disebabkan peningkatan penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan

(pro poor) (3). Sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power) rendah dan

Page 179: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

156

bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat bergantung pada

sub elemen lainnya dalam pengelolaan kebijakan swasembada daging sapi. Selain

itu, sub elemen pemenuhan seluruh atau sebagian besar kebutuhan konsumsi daging

sapi dapat dipasok dari sumber sapi dari dalam negeri (1) dan Tumbuhnya industri

pangan berbasis daging sapi, maupun industri pendukung kegiatan usaha peternakan

(6) cenderung masuk sektor II, walaupun sudah mendekati sektor III. Artinya kedua

sub elemen ini saling berkaitan dalam mendukung Meningkatnya jumlah masyarakat

peternak yang sejahtera, disebabkan peningkatan penciptaan nilai tambah pada

kegiatan usaha peternakan (pro poor). Sub elemen yang termasuk dalam sektor III

adalah Meningkatnya populasi sapi lokal (galur murni/asli) melalui proses budidaya

secara sistematis dan terencana dengan baik (2) dan Meningkatnya penciptaan nilai

tambah (ekonomi nasional) yang dihasilkan dari sub sektor peternakan dari hulu

sampai hilir (pro growth) (4). Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan satu

dengan yang lainnya sehingga perlu dikaji secara komprehensip, mengingat setiap

tindakan yang diambil pada peubah tersebut akan memberikan dampak/umpan balik

pada peubah lainnya. Pemerintah atau pihak terkait perlu untuk memfokuskan

pengambilan tindakan berdasarkan kedua tujuan program tersebut, sehingga

penerapan kebijakan swasembada daging sapi nasional dapat berjalan dengan baik.

Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Meningkatnya

efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan

dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional (5). Sub

elemen ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai

motor penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini juga

memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independent.

Keluaran model struktural elemen tujuan program dengan teknik ISM

menghasilkan empat tingkatan hirarki. Sub elemen Meningkatnya jumlah

masyarakat peternak yang sejahtera, disebabkan peningkatan penciptaan nilai

tambah pada kegiatan usaha peternakan (pro poor) (3) berada pada level satu dan

sub elemen Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta

peningkatan kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan pencapaian sasaran

swasembada daging sapi nasional (5) level empat.

Page 180: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

157

6. Elemen tolok ukur dalam pengelolaan swasembada daging sapi

Elemen tolok ukur terdiri atas delapan sub elemen, yaitu (1) Keseimbangan

jumlah populasi bibit, bakalan dan sapi siap potong dalam pemenuhan siklus supply

– demand tingkat daerah maupun nasional (2) Peningkatan jumlah dan sebaran

induk sapi galur asli Indonesia (3) Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha

peternakan rakyat, maupun pelaku usaha pendukung peternakan (pakan dan nutrisi

ternak, obat2an, mesin & peralatan) (4) Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara

positif) areal hutan, perkebunan, dan lahan bagi kegiatan peternakan (5)

Terbangunnya (meningkatnya) kerjasama usaha peternakan sapi antar wilayah

(kabupaten/kota/propinsi) (6) Meningkatnya PAD (kabupaten/kota/propinsi) yang

bersumber dari kegiatan usaha peternakan sapi (7) Terbentuknya koperasi peternak

(rakyat) sapi potong bagi pada tingkat desa/kecamatan, maupun kabupaten/kota (8)

Tataniaga perdagangan daging, sapi, dan produk pendukung peternakan yang

kondusif. Posisi setiap sub elemen pada elemen tolok ukur pencapaian tujuan

ditampilkan pada Gambar 52.

Gambar 52. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen tolok ukur

pencapaian tujuan

Page 181: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

158

Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen tolok ukur

dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan tersebut digunakan untuk

memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan terhadap tolok ukur.

Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai

pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan

dilakukan berdasarkan matriks reachability.

Pada pengelolaan swasembada daging sapi berdasarkan tolok ukur, yang

menjadi elemen kunci adalah Tataniaga perdagangan daging, sapi, dan produk

pendukung peternakan yang kondusif. (8); Meningkatnya PAD (kabupaten/kota/

propinsi) yang bersumber dari kegiatan usaha peternakan sapi (6), Terbangunnya

(meningkatnya) kerjasama usaha peternakan sapi antar wilayah (kabupaten/kota/

propinsi) (5), Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara positif) areal hutan,

perkebunan, dan lahan bagi kegiatan peternakan (4), Peningkatan jumlah dan

sebaran induk sapi galur asli Indonesia (2), Terbentuknya koperasi peternak (rakyat)

sapi potong bagi pada tingkat desa/kecamatan, maupun kabupaten/kota (7),

Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha peternakan rakyat, maupun pelaku usaha

pendukung peternakan (pakan dan nutrisi ternak, obat2an, mesin & peralatan) (3),

Keseimbangan jumlah populasi bibit, bakalan dan sapi siap potong dalam

pemenuhan siklus supply–demand tingkat daerah maupun nasional (1).

Pada Gambar 52 tampak bahwa pada sektor II, sub elemen yang termasuk

didalamnya adalah Keseimbangan jumlah populasi bibit, bakalan dan sapi siap

potong dalam pemenuhan siklus supply – demand tingkat daerah maupun nasional

(1), Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha peternakan rakyat, maupun pelaku

usaha pendukung peternakan (pakan dan nutrisi ternak, obat2an, mesin & peralatan)

(3), Terbentuknya koperasi peternak (rakyat) sapi potong bagi pada tingkat

desa/kecamatan, maupun kabupaten/kota (7) dan Peningkatan jumlah dan sebaran

induk sapi galur asli Indonesia (2). Kedua sub elemen ini memiliki daya pendorong

(driver power) rendah dan bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen

tersebut sangat bergantung pada sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada

daging sapi. Pada sektor III, sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah

Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara positif) areal hutan, perkebunan, dan

lahan bagi kegiatan peternakan (4) . Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di

Page 182: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

159

dalamnya adalah Terbangunnya (meningkatnya) kerjasama usaha peternakan sapi

antar wilayah (kabupaten/kota/propinsi) (5) Meningkatnya PAD

(kabupaten/kota/propinsi) yang bersumber dari kegiatan usaha peternakan sapi (6)

Tataniaga perdagangan daging, sapi, dan produk pendukung peternakan yang

kondusif (8). Sub elemen ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat

bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub

elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau

independent.

Keluaran model struktural tolak ukur dengan teknik ISM pada Gambar 53

menghasilkan lima tingkatan hirarki. Sub elemen Keseimbangan jumlah populasi

bibit, bakalan dan sapi siap potong dalam pemenuhan siklus supply – demand

tingkat daerah maupun nasional (1) berada pada level satu dan Tataniaga

perdagangan daging, sapi, dan produk pendukung peternakan yang kondusif (8)

berada pada level lima.

Gambar 53. Struktur sistem elemen tolok ukur pencapaian tujuan

Page 183: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

160

7. Elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk implementasi perubahan

Elemen aktivitas perubahan terdiri atas tujuh sub elemen, yaitu: (1) Fasilitasi

pemerintah bagi peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’,

maupun ‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio’. (2) Penetapan (melalui

kebijakan pemerintah) village breeding center di wilayah sumber bibit (3)

Melaksanakan insentif bagi masyarakat (kelompok) peternak dalam hal: akses

permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat

guna. (4) Membangun skema kerjasama “win-win”, antar daerah maupun dengan

pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yang efektif (5)

Kebijakan pemerintah dalam integrasi tanaman-ternak dalam suatu kawasan hutan,

perkebunan, atau kawasan lain. Untuk penggembalaan maupun bagi sumber pakan

(6) Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging

dan produk turunannya (7) Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan

usaha peternakan berbasis masyarakat.

Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen aktivitas

perubahan dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan tersebut

digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan

terhadap aktivitas perubahan. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan

agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar

individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matriks reachability.

Page 184: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

161

Gambar 54. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen elemen

aktivitas yang dibutuhkan untuk implementasi perubahan Pada Gambar 54 di sektor II, sub elemen yang termasuk didalamnya

adalah Melaksanakan insentif bagi masyarakat (kelompok) peternak dalam hal:

akses permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi

tepat guna. (3), Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan usaha

peternakan berbasis masyarakat.(7) Fasilitasi pemerintah bagi peningkatan populasi

(perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun ‘inseminasi buatan’, dan

‘transfer embrio’ (1). Pada sektor III, sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah

Penetapan (melalui kebijakan pemerintah) village breeding center di wilayah sumber

bibit (2) Membangun skema kerjasama “win-win”, antar daerah maupun dengan

pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yang efektif (4)

Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Harmonisasi lintas

K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya

(6) Sub elemen ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak

sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini

juga memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independent.

Page 185: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

162

Gambar 55. Struktur sistem elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk impelementasi

perubahan

Keluaran model struktural elemen aktivitas perubahan dengan teknik ISM

menghasilkan lima tingkatan hirarki seperti pada Gambar 55. Sub elemen

Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan

produk turunannya (6) Dan berada pada level satu adalah Melaksanakan insentif

bagi masyarakat (kelompok) peternak dalam hal: akses permodalan, penguatan

organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna. (3) berada pada

level lima.

8. Elemen Ukuran aktivitas untuk penilaian hasil aktivitas

Elemen ukuran aktivitas terdiri atas delapan sub elemen, yaitu: (1)

Terlaksananya peningkatan populasi (pembibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’,

maupun ‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio’. (2) Terbitnya kebijakan

pemerintah tentang penetapan village breeding center di wilayah sumber bibit. (3)

Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi &

Page 186: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

163

manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna. (4) Terciptanya kerjasama “win-

win”, antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya

dan pemasaran yang efektif. (5) Terbitnya kebijakan pemerintah integrasi tanaman-

ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan lain. Sebagai ladang gembala

maupun sumber pakan. (6) Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan

perdagangan ternak, daging dan produk turunannya. (7) Terbentuknya koperasi

masyarakat peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha

peternakan. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen ukuran

aktivitas dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan tersebut

digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan

terhadap ukuran aktivitas. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi

untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar individual

maupun gabungan dilakukan berdasarkan matriks reachability.

Pada pengelolaan swasembada daging sapi berdasarkan ukuran aktivitas,

yang menjadi elemen kunci adalah Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan

perdagangan ternak, daging dan produk turunannya (6). Terbitnya kebijakan

pemerintah integrasi tanaman-ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan

lain. Sebagai ladang gembala maupun sumber pakan (5). Terciptanya kerjasama

“win-win”, antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi

budidaya dan pemasaran yang efektif (4). Terbitnya kebijakan pemerintah tentang

penetapan village breeding center di wilayah sumber bibit (2). Terlaksananya

peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun

‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio’ (1). Terbentuknya koperasi masyarakat

peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha peternakan

(7). Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi &

manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna (3).

Page 187: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

164

Gambar 56. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen

ukuran penilaian aktivitas hasil pelaksanaan aktivitas

Pada Gambar 56 tampak bahwa sub elemen yang termasuk pada sektor II

adalah Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi &

manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna (3), Terbentuknya koperasi

masyarakat peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha

peternakan (7). Sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power) rendah dan

bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat bergantung pada

sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada daging sapi nasional. Pada sektor

III sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Terlaksananya peningkatan

populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun ‘inseminasi buatan’,

dan ‘transfer embrio’(1), Terbitnya kebijakan pemerintah tentang penetapan village

breeding center di wilayah sumber bibit (2). Kedua sub elemen tersebut termasuk

pada seubah linkages sehingga setiap tindakan pada ukuran-ukuran aktivitas tersebut

akan menghasilkan kesuksesan dalam pengelolaan kebijakan swasembada daging

sapi. Pada sektor IV, sub elemen yang termasuk Terciptanya kerjasama “win-win”,

antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan

pemasaran yang efektif (4), Terbitnya kebijakan pemerintah integrasi tanaman-

Page 188: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

165

ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan lain. Sebagai ladang gembala

maupun sumber pakan (5) Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan

perdagangan ternak, daging dan produk turunannya (6). Sub elemen ini memiliki

daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak

terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini juga memiliki tingkat

ketergantungan yang paling rendah atau independent.

Gambar 57. Struktur sistem elemen aktivitas penilaian hasil aktivitas

Keluaran model struktural elemen aktivitas perubahan dengan teknik ISM

pada Gambar 57 menghasilkan empat tingkatan hirarki. Sub elemen Tidak adanya

distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk

turunannya (6) berada pada level satu dan Terlaksananya program insentif: akses

permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat

guna (3) berada pada level lima.

Page 189: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

166

9. Elemen Lembaga/Kelompok yang Terlibat Pelaksanaan Program

Elemen Lembaga/Kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan program,

adalah elemen yang penting, karena menjadi subyek dari program perubahan.

Hubungan kontekstual yang diperbandingkan adalah pengaruh antar sub elemen.

Dengan demikian kata kunci (key word) dalam kuesioner pembandingan

berpasangan (pairwise comparation) adalah “lebih besar pengaruhnya”.

Elemen ini terdiri: (1) Kementerian Koordinator Perekonomian. (2)

Kementerian Keuangan (3) Kementerian Perenc. Pemb. Nasional/ Bappenas (4)

Kementerian Pertanian (5) Kementerian Perdagangan (6) Kementerian Kehutanan

(7) Kementerian Perindustrian (8) Kementerian Dalam Negeri (9) Kementerian Riset

dan Teknologi (10) Kementerian BUMN (11) Pemerintah Propinsi (12) Pemerintah

Kabupaten/Kota (13) Perguruan Tinggi (14) Lembaga penelitian dan pengembangan

(15) Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha (16) Masyarakat peternak dan koperasi

usaha peternakan.

Pada pengelolaan swasembada daging sapi berdasarkan lembaga yang terlibat,

yang menjadi elemen kunci adalah Kementerian Koordinator Perekonomian (1),

Kementerian Perdagangan (5) Kementerian Pertanian (4) karena memiliki daya

pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen ukuran

aktivitas lainnya paling rendah. Selanjutnya, sub elemen yang berada satu tingkat

dibawahnya Kementerian Kehutanan (6), Kementerian BUMN (10), Kementerian

Dalam Negeri (8) dan Pemerintah Propinsi (11). Di rangking tiga, sub elemen yang

termasuk di dalamnya adalah Kementerian Riset dan Teknologi (9) Perguruan

Tinggi (13), Kementerian Perindustrian (7). Sementara itu sub elemen Kementerian

Perenc. Pemb. Nasional/ Bappenas (3) Kementerian Keuangan (2) berada di

rangking empat Lembaga penelitian dan pengembangan (14) Pelaku usaha dan

asosiasi pelaku usaha(15), Masyarakat peternak dan koperasi usaha peternakan (16)

berada di ranking lima. Selanjutnya dari Driver Power dan Dependence dapat

disajikan matriks diagram cartecian seperti pada Gambar 58.

Page 190: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

167

Gambar 58. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen kelompok

yang terlibat pelaksanaan program

Pada sektor II, terdapat sub elemen yang terdiri dari: Lembaga penelitian dan

pengembangan (14), Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha (15), Masyarakat

peternak dan koperasi usaha peternakan (16), Kementerian PPN/ Bappenas (3),

Kementerian Keuangan (2), yang berarti sub elemen ini lebih tergantung dari sub

elemen lainnya dalam program perubahan kultur. Sektor II adalah peubah dependent

yang tergantung dari sub elemen yang lain dalam sektor ini.

Pada sektor III (linkage) terdiri dari: Kementerian Riset dan Teknologi (9)

Perguruan Tinggi (13), Kementerian Perindustrian (7). harus diperhatikan dalam

program, selain DP cukup besar juga berada di sektor III dengan nilai dependence

yang lebih besar dari sub elemen (1). Sektor III adalah Kementerian Kehutanan (6),

Kementerian BUMN (10), Kementerian Dalam Negeri (8) dan Pemerintah Daerah

(11) wilayah kritikal yang menjadi sektor dari program. Ini berarti kedua sub elemen

ini mempunyai peranan yang penting dalam mensukseskan program perubahan.

Kedua sub elemen ini sebenarnya juga berbatasan dengan sektor IV. Selanjutnya

pada sektor IV adalah sub elemen Kementerian Koordinator Perekonomian (1),

Kementerian Perdagangan (5) Kementerian Pertanian (4) menjadi elemen kunci (key

Page 191: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

168

element) dengan Driver Power terbesar. Ini berarti sub elemen ini mempunyai

pengungkit (leverage) yang besar terhadap keberhasilan program. Apalagi sub

elemen ini juga “independent” atau dalam sektor IV yang berarti dapat menjadi

inisiator atau relatif tidak tergantung pada sub elemen yang lain.

Dari klasifikasi elemen dan matriks reachability dihasilkan model struktural

seperti pada Gambar 59, untuk elemen ini jelas terlihat bahwa sub elemen

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (1), Kementerian Perdagangan (5)

Kementerian Pertanian (4) yang berada pada ranking lima adalah sub elemen kunci

dan mempengaruhi enam sub elemen yang lain. Sedangkan sub elemen pegawai

Lembaga penelitian dan pengembangan (14) Pelaku usaha dan asosiasi pelaku

usaha(15), Masyarakat peternak dan koperasi usaha peternakan (16) berada di

rangking satu.

Gambar 59. Struktur sistem elemen kelompok yang terlibat program

Page 192: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

169

6 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

6.1 Perencanaan Pembangunan Sektor Peternakan

6.1.1 Integrasi dan Sinergi Lintas Sektor dalam Swasembada Daging

Swasembada daging sapi nasional merupakan bagian dari ketahanan pangan

yang merupakan prioritas kelima pembangunan nasional. Dari analisis situasional

maupun analisis kebijakan dapat diyakini bahwa keberhasilan pencapaian

swasembada daging sapi secara khusus dan keberhasilan prioritas pembangunan

sektor pertanian pada umumnya tidak mungkin dapat dicapai oleh upaya dari

Kementerian Pertanian saja. Keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi

nasional memerlukan kontribusi dan keterlibatan kementerian/lembaga/daerah

maupun para pelaku pembangunan lainnya sebagai subsistem yang berinteraksi,

interkoneksi, dan interrelasi secara konstruktif sebagai sebuah sistem untuk

mencapai sasaran swasembada daging sapi.

Melalui berbagai forum kepakaran yang telah dilakukan baik dalam bentuk

seminar, FGD, pengisian kuesioner, maupun indepth interview yang telah dibahas

dan dilakukan analsis kebijakan (Bab 5), dengan menggunakan teknik ANP, SAST

dan ISM, melalui proses sintesis dapat ditemukenali fokus isu atau topik pada

tingkat strategik, taktikal, maupun operasional yang harus mendapatkan perhatian

dalam penyusunan kebijakan maupun pengembangan model dalam upaya

pencapaian swasembada daging sapi. Secara ringkas hal tersebut dapat dilihat dalam

Tabel 45.

6.1.2 Arah Kebijakan Pembangunan Swasembada Daging

Kurang berhasilnya pemerintah dalam mencapai swasembada daging sapi

pada tahun-tahun sebelumnya karena disebabkan terdapat berbagai permasalahan di

lapangan. Dari berbagai kajian yang telah ada dapat dikemukakan bahwa aspek

teknis yang perlu mendapatkan prioritas penanganan adalah: (1) Pembibitan dan

pemuliabiakan sapi nasional; (2) Terobosan peningkatan populasi sapi; (3)

Ketahanan pakan nasional; serta (4) Kelembagaan penyelamatan dan penjaringan

bibit.

Page 193: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

170

Selain hal tersebut dalam rekomendasi dari berbagai kajian yang telah ada

maupun saran dan pemikiran para pakar yang dikemukakan dalam berbagai diskusi

maupun depth interview menyatakan bahwa ada permasalahan yang lebih mendasar

berkaitan dengan koordinasi antarinstansi, antarsektor, serta antarpelaku

pembangunan atau pemangku kepentingan, sehingga hal ini perlu mendapat

perhatian untuk diselesaikan pada masa yang akan datang. Sejalan dengan

permasalahan tersebut dalam penelitian ini mengajukan arah kebijakan untuk dapat

mengintegrasikan perencanaan pembangunan sektor pertanian, khususnya dalam

pencapaian swasembada daging sapi nasional, sebagai berikut:

a. Membangun keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran,

pelaksanaan dan pengawasan, serta melaksanakan integrasi, sikronisasi dan

sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah);

b. Melaksanakan penataan peran kelembagaan dan melakukan koordinasi

dalam pelaksanaan peran dan fungsi, pemantauan dan evaluasi, serta upaya

langkah perbaikan untuk menjaga terlaksananya sinergi dalam pencapaian

swasembada daging sapi;

c. Mengembangkan dan meningkatkan sarana dan prasarana yang terkait

dengan rantai nilai kegiatan usaha peternakan, memberikan insentif bagi

pemberdayaan masyarakat pelaku usaha dalam rantai nilai sektor peternakan,

serta memfasilitasi kemitraan strategis antarpelaku pembangunan dalam

kegiatan peternakan sapi;

Dalam pelaksanaan arah kebijakan tersebut akan dijabarkan dalam strategi

dan metode pendekatan yang dapat dipakai untuk mengukur pencapaian hasil

pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 46. Selama pelaksanaan

tatakelola penelitian telah diperoleh berbagai proses pembelajaran yang cukup

menarik, khususnya untuk menjaga konsistensi integrasi penggunaan 3 metode agar

tetap berfokus pada prinsip-prinsip systems thinking (goal oriented, holistic, dan

effective), upaya tersebut antara lain dilakukan melalui indepth interview (Lampiran

14). Ringkasan proses pembelajaran tersebut disampaikan pada Lampiran 15.

Page 194: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

171

Tabel 45. Matrik gabungan hasil analisis menggunakan teknik ANP, SAST, dan ISM

No

Teknik Hirarkhi

Teknik ANP Teknik SAST Teknik ISM Prioritas Utama Fokus Isu Asumsi Strategis Fokus Isu Elemen Sub Elemen Pendorong Sub Elemen Terpengaruh

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1. Direktif Mengacu pada: (1) RPJMN Tahun 2010-2014, (2) MP3EI 2010-2025, dan (3) Sistem Logistik Nasional

2. Strategik

Keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan

Integrasi Perencanaan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Swasembada Daging Sapi Nasional

1. Kebijakan larangan impor daging sapi

2. Kebijakan larangan impor sapi bakalan

3. Kebijakan ekspor bahan pakan

4. Masuknya produk impor daging

5. Masuknya impor bakalan 6. Pengaruh “middle man” 7. Kebijakan tataniaga yang

kondusif 8. Fluktuasi kurs mata uang

asing

Kebijakan tata niaga yang kondusif

Prasyarat dicapainya perencanaan swasembada secara terintegratif

1. Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat nasional

2. Ketersediaan anggaran bagi pelaksanaan program swasembada daging

3. Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional

1. Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai peternakan

2. Adanya instrumen monev tingkat nasional serta K/L/D

3. Kompetensi SDM (teknis dan non teknis) pada K/L/D yang melaksanakan program swasembada

Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan berdasarkan program prioritas

Peran Kementerian/ Lembaga pada Tahap Perencanaan

1. Kementerian Keuangan 2. Kementerian PPN/Bappenas

Pelaku Usaha dan Masyarakat Peternak

Integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antar daerah, antar fungsi pemerintah)

3. Taktikal

Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha & masyarakat)

Penataan Peran Kelembagaan dan Koordinasi Pelaksanaan Program

9. Koordinasi Kemen PPN/Bappenas, KemenKeu, Kemen Kord. Bid. Perekonomian

Koordinasi tingkat kebijakan (high level implementation plan)

Tolok ukur penilaian hasil pelaksanaan aktivitas

Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya

1. Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna

2. Terbentuknya koperasi masy. peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha peternakan

Koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga dll)

Peran Kementerian/ Lembaga pada Tahap Pelaksanaan

1. Kementerian Koord. Bid. Perekonomian

2. Kementerian Perdagangan 3. Kementerian Pertanian

1. Pelaku usaha dan masyarakat peternak dan pendukung usaha peternakan

2. Koperasi dan asosiasi peternak dan pendukung usaha peternakan

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan

4. Operasional

Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan masyarakat Pengembangan

Kapasitas dan Peningkatan Sarana Prasarana

10. Peningkatan permintaan musimam

11. Penyakit ternak 12. Jumlah menu dengan daging

sapi impor 13. Variasi makanan berbasis

daging sapi 14. Fasilitas & penguasaan

teknologi IB 15. Ketersediaan & kecukupan

obat-obatan

Keseimbangan supply – demand

Aktivitas yang paling berpengaruh atas pencapaian swasembada

Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya

Melaksanakan insentif bagi masy. peternak dalam: akses permodalan, penguatan org. & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna.

Bentuk kemitraan strategis Tujuan dari integrasi perencanaan pembangunan swasembada daging sapi

Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi

Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera, karena peningkatan penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan (pro poor)

Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana Pemberian insentif pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai sektor peternakan

Page 195: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

172

Tabel 46. Matrik hasil sintesis dalam rancang bangun model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan peternakan

No

Teknik Hirarkhi

Fokus Isu Implikasi Manajerial

Inisiatif Kerangka Kerja Teknik ANP Teknik SAST Teknik ISM (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Direktif Mengacu pada: (1) RPJMN Tahun 2010-2014, (2) MP3EI 2010-2025, (3) Sistem Logistik Nasional • Pengembangan viable systems model

dalam swasembada daging sapi 1). • Pengembangan model kelembagaan,

dengan integrasi vertikal dan horizontal 2). • Penguatan instrumen perencanaan

pembangunan, khususnya bagi program prioritas nasional yang bersifat lintas sektor, antarruang, antara pusat dan daerah, dan lintas pelaku pembangunan 3).

A. Strategik Kelembagaan:

1) Model Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi Nasional (Gambar 59, Halaman 175);

2) Model Kelembagaan dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Gambar 61, Halaman 184)

B. Taktikal-Operasional:

3) Integrasi Optimum dari 3 Fokus Pembangunan Nasional (Gambar 64, Halaman 199);

4) Intelektualitas Organisasi Kementerian/Lembaga dalam Program Swasembada Daging Sapi (Gambar 67, Halaman 205);

5) Hubungan Inter-Organisasi dalam Swasembada Daging Sapi (Gambar 66, Halaman 203);

6) Sebagai ilustrasi: Pengorganisasian Intra-Organisasi pada Kementerian PPN/Bappenas (Gambar 65, Halaman 201);

7) Pengukuran Kinerja Kelembagaan dalam Swasembada Daging Sapi (Gambar 63, Halaman 196);

8) Kemitraan Strategis (Gambar 62, Halaman 194)

2. Strategik

Integrasi Perencanaan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Swasembada Daging Sapi Nasional

Kebijakan tata niaga yang kondusif

Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat nasional Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional Ketersediaan anggaran bagi pelaksanaan program swasembada daging

3. Taktikal Penataan Peran Kelembagaan dan Koordinasi Pelaksanaan Program

Koordinasi tingkat kebijakan (high level implementation plan)

Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya

• Pengembangan model kelembagaan 2). • Hubungan inter-organisasi lintas K/L

dengan basis kesisteman 5). • Peningkatan kualitas koordinasi melalui

efektivitas modal relasional 4). • Hubungan intra-organisasi lintas fungsi

dengan basis kesisteman 6).

4. Operasional Pengembangan Kapasitas dan Peningkatan Sarana Prasarana

Keseimbangan supply – demand

Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya

• Pengukuran kinerja kelambagaan, sebagai sub sistem mandiri (stand-alone) maupun sebagai sistem terintegrasi 7).

• Hubungan inter-organisasi lintas K/L dengan basis kesisteman 5).

• Hubungan intra-organisasi lintas fungsi dengan basis kesisteman 6).

• Kimitraan strategis yang melibatkan academician, business, governement dan community 8).

Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional

Page 196: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

173

6.2 Model Integrasi Perencanaan dan Implementasi Swasembada Daging

6.2.1 Viable Systems Model (VSM)

Salah satu penemuan penting dalam organisasi cybernetik adalah bahwa

sistem-sistem yang rumit memiliki “kebiasaan berulang”. Hal ini mengacu pada

fakta bahwa sistem berada di sebuah hierarki, dan bahwa bentuk organisasi di sistem

yang lebih tinggi adalah berulang, menurut cybernetik, semua sistem kelangsungan

hidup menunjukkan karakteristik organisasi yang sama. VSM mengakui sifat-sifat

sistem berulang untuk diterapkan di tingkatan sistem berbeda sehingga mengijinkan

pelaku-pelaku organisasi bertindak sebagai penengah bagi para manajer. Dengan

menggunakan VSM maka sistem di tingkatan lebih bawah, yang biasanya tampil

sebagai black-box ketika seluruh sistem dalam organisasi tersebut diteliti,

dengan sedikit penyesuaian perhatian mereka akan tampak dan dapat menjadi

fokus yang menarik sesuai dengan paran, fungsi dan otoritas mereka sendiri.

VSM menangkap dan menggambarkan esensi sistem “organisasi”

dibandingkan dengan strukturnya. Organisasi, dalam hal ini, adalah sesuatu yang

menggambarkan sistem dan memungkinkan untuk mempertahankan otonomi dan

identitas. Sementara struktur berkonsentrasi terhadap pengaturan antar bagian-

bagiannya yang “kemungkinan” dapat mengaktifkan sebuah organisasi. VSM terdiri

dari lima elemen (sistem 1 sampai 5), yang disebut dengan: (1) implementasi

(implementation), (2) koordinasi (coordination), (3) operational control (termasuk

manajemen pendukung), (4) pengembangan (development) dan (5) kebijakan

(policy). Fungsi-fungsi yang ditangani oleh lima elemen ini, dijalankan pada semua

sistem yang diharapkan dapat berkelanjutan.

6.2.2 Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi

Dalam kerangka implementasi VSM bagi swasembada daging sapi nasional

seperti pada Gambar 60, tampak bahwa blok pada masing-masing sistem

menggambarkan aktivitas yang dilaksanakan oleh para pelaku dalam menjalankan

peran dan fungsi untuk mencapai sasaran swasembada daging sapi nasional.

1. Sistem 5, kebijakan (policy) dilaksanakan oleh Kementerian

PPN/Bappenas bersama Kementerian Keuangan. Peran dan fungsi pada

Page 197: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

174

sistem 5 adalah menetapkan perencanaan program dan anggaran untuk

pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional. Selain hal

tersebut sistem ini juga memberikan kepastian atas dukungan anggaran

terhadap setiap program dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;

2. Sistem 4, pengembangan (development) pada sistem ini Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian melaksanakan peran yang sangat

strategis untuk mengkoordinasikan program dan membangun sinergi

lintas kementerian, lembaga, dan para pelaku pembangunan yang

lainnya. Selain hal tersebut untuk menjaga integrasi dan sinkronisasi

program dilakukan melalui koordinasi dengan Kementerian

PPN/Bappenas.

3. Sistem 3, operational control (termasuk manajemen pendukung) pada

sistem ini program/kegiatan dilaksanakan oleh kementerian dan

lembaga, berdasarkan perencanaan yang telah disetujui dan anggaran

yang telah dialokasikan oleh sistem 1. Dalam pelaksanaan program/

kegiatan, sistem ini didukung oleh sistem 3* (audit) yang diperankan

oleh unit kerja inspektorat kementerian/lembaga dan atau BPKP,

melaksanakan fungsi pemantauan dan evaluasi guna mengukur hasil atau

kinerja yang dicapai, serta tingkat kepatuhan terhadap aktivitas yang

dilaksanakan dalam upaya mencapai swasembada daging sapi nasional.

4. Sistem 2, adalah koordinasi (coordination) berbagai bentuk peraturan

perundangan, kebijakan dan standar yang menjadi acuan dalam

pelaksanaan upaya swasembada daging sapi nasional.

5. Sistem 1, adalah implementasi (implementation) pelaksanaan aktivitas

yang dilaksanakan oleh pemerintah propinsi, kabupaten, atau kota.

Aktivitas yang dilaksanakan oleh propinsi, kabupaten, atau kota sesuai

dengan potensi daerah atau kearifan lokal yang dapat mendukung

keberhasilan pencapaian sasaran swasembada daging sapi. Potensi pada

setiap daerah akan sangat dipengaruhi oleh keragaman kondisi geografis,

sumbardaya alam yang tersedia, tingkat ketrampilan SDM, serta bentuk

potensi lainnya.

Page 198: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

175

Gambar 60. Implementasi VSM pada swasembada daging sapi nasional

Pada tingkat implementasi, sistem 1 sesuai dengan potensi yang ada akan

senantiasa berhubungan dengan aktivitas yang dilaksanakan oleh masyarakat dan

dunia usaha bidang peternakan yang ada pada wilayah masing-masing. Dalam

prakteknya masyarakat dan dunia usaha bidang peternakan akan saling berhubungan

sebagai sebuah jejaring dalam bentuk interaksi, interelasi, dan interkoneksi.

Swasembada daging sapi merupakan bagian dari sektor peternakan yang dalam

penerapannya secara spesifik akan berkaitan langsung dengan kondisi agroekologi.

Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik

lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah

iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah (Pertanian, 1999). Dengan demikian

Page 199: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

176

berdasarkan potensi agroekologi yang dapat mendukung pembangunan sektor

peternakan, setiap propinsi, kabupaten, maupun kota dapat ikut andil dalam

membangun keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi nasional.

6.2.3 Peran Kelembagaan barbasis Model VSM

Berbasis model VSM, pelaksanaan swasembada daging sapi secara integratif

dilaksanakan dengan melibatkan peran berbagai pelaku pembangunan, baik pihak

pemerintah maupun masyarakat dan pelaku usaha. Peran pelaku pembangunan yang

terlibat sebagai pemangku kepentingan utama dalam upaya swasembada daging sapi

dapat dikemukakan dalam Tabel 47.

Pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota berada pada sistem 1 yang

berhubungan dengan sistem lain (sistem 2,3,4,5), dengan masyarakat dan dunia

usaha peternakan, serta dengan komunitas dalah wilayah agroekologi.

Tabel 47. Peran Kelembagaan pada Sistem 1 Implementasi

Sistem 1: Implementasi 1. Pelaku

pembangunan : Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota

2. Karakter dasar sistem

: a. Didisain untuk dapat dijalankan secara mandiri dan merespon perubahan dalam lingkungannya sesuai dengan prioritas mereka sendiri;

b. Menerima umpan balik atas informasi dan kinerja, lalu mengambil tindakan korektif yang diperlukan;

c. Pembatasan otonomi adalah sistem 1 harus berperan sebagai sebuah bagian (subsistem) dari tujuan swasembada daging sapi nasional;

3. Peran dan fungsi : a. Mengimplementasikan kegiatan terkait dengan swasembada daging sapi sesuai dengan potensi daerah, dengan mengacu pada: - Peraturan, regulasi dan kebijakan yang berlaku (sistem 2); - Mentaati keputusan yang ditetapkan oleh hirarkhi yang

lebih tinggi (sistem 3,4,5); - Dukungan dan fasilitasi dari kementerian dan lembaga

terkait (sistem 3), dalam bentuk arahan koordinasi dan pengalokasian sumberdaya (keahlian, SDM, keuangan, sarana);

b. Mengkoordinasikan aktivitas yang dilaksanakan oleh jejaring komunitas masyarakat dan kegiatan usaha bidang peternakan pada wilayah agroekologi dan/atau administrasi masing-masing;

c. Menyampaikan laporan kinerja atas fasilitasi dan dukungan sumberdaya yang diterima kepada kementerian dan/atau lembaga terkait sistem 3;

4. Hubungan dengan pelaku pembangunan pada

: a. Hubungan koordinasi lintas wilayah administrasi dan/atau lintas wilayah agroekologi sebagai

b. Hubungan sistem 2, untuk kepatuhan pada peraturan regulasi

Page 200: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

177

Sistem 1: Implementasi sistem lainnya dan kebijakan, serta memenuhi standar yang telah ditetapkan;

c. Hubungan dengan kementerian dan lembaga terkait (sistem 3), melakukan koordinasi untuk menjaga menjaga keharmonis pelaksanaan kegiatan swasembada daging sapi nasional;

d. Menjalani proses pemantauan dan evaluasi maupun proses audit (sistem 3*) untuk mengukur kinerja administratif, teknis maupun kepatuhan terhadap peraturan, regulasi, kebijakan dan stanadar;

e. Mematuhi ketetapan perencanaan terkait swasembada daging sapi nasional (sistem 4 & 5: Kementerian PPN/Bappenas), dan dalam besaran anggaran berbasis kinerja (sistem 5: Kementerian Keuangan);

5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya

: a. Hubungan dengan masyarakat dan dunia usaha peternakan dalam bentuk koordinasi dan membangun sinergi kegiatan pada tingkat operasional agar dicapai hasil optimal, baik untuk tingkat subsistem daerah/agroekologi maupun integrasi sebagai sistem swasembada daging sapi nasional;

b. Memberikan dukungan dan fasilitasi kepada masyarakat, dunia usaha peternakan maupun komunitas dalam wilayah agroekologi, untuk menjaga optimalisasi pencapaian sasaran swasembada daging sapi nsional;

6. Tantangan : a. Pemerintah propinsi/kabupaten/kota “merasa” tidak mendapatkan nilai tambah dalam jangka pendek;

b. Kesalahpahaman atas mandat “otonomi” yang diberikan sehingga:

- Pemerintah propinsi/kabupaten/kota tidak bertindak memerankan dirinya sebagai subsistem yang saling interaksi, interkoneksi, interrelasi dengan kementerian/lembaga, maupun masyarakat dan pelaku usaha peternakan sebagai sistem swasembada daging sapi nasional;

- Tidak melaksanakan komitmen atas ketentuan perundangan, regulasi, dan kebijakan yang berlaku

- Tidak melaksanakan komitmen atas ketentuan dankeputusan dari hirarkhi yang lebih tinggi;

Pelaksanaan program dan kegiatan oleh kementerian/lembaga maupun

daerah, secara mandiri maupun dalam bentuk koordinasi antarfungsi pemerintah,

lintas sektor pembangunan, antarpelaku pembangunan maupun antara pusat dan

daerah dilaksanakan dengan mematuhi peraturan, regulasi, kebijakan maupun

standar yang ada pada sistem 2. Kondisi tersebut dijelaskan pada Tabel 48.

Tabel 48. Peran Kelembagaan pada Sistem 2 Koordinasi

Sistem 2: Koordinasi 1. Pelaku

pembangunan : Seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pelaksanaan

program dan kegiatan swasembada daging sapi nasional. 2. Karakter dasar

sistem : Merupakan peraturan perundangan, regulasi, kebijakan, dan

bentuk-bentuk standar yang harus menjadi dasar pelaksanaan program dan kegiatan.

3. Peran dan fungsi : Menjadi acuan dasar dalam pelaksanaan program dan kegiatan.

Page 201: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

178

Sistem 2: Koordinasi 4. Tantangan : Melakukan harmonisasi atau “menekan” distorsi yang terjadi

karena adanya kondisi sebagai berikut: a. Ketidakharmonisan peraturan perundangan, regulasi maupun

kebijakan, sehingga dapat merusak upaya penciptaan nilai tambah (value destroyer) dalam pencapaian swasembada daging sapi;

b. Adanya lingkup inisiatif yang seharusnya dilakukan tetapi belum didukung peraturan atau kebijakan, sehingga terjadi kondisi “status quo” (misal: berkaitan dengan tataniaga, pakan, vilage breeding center, lainnya);

c. Adanya kecenderungan untuk menggunakan dasar peraturan perundangan atau kebijakan yang “memudahkan” bagi kementerian/lembaga/daerah yang bersangkutan (egosektoral);

Tabel 49 menjelaskan bahwa kontrol operasional dan dukungan manajemen

dalam pelaksanaan swasembada daging sapi nasional dilakukan oleh

kementerian/lembaga yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tabel 49. Peran Kelembagaan pada Sistem 3 Kontrol Operasional

Sistem 3: Kontrol Operasional (termasuk dukungan manajemen) 1. Pelaku

pembangunan : Kementerian dan lembaga yang terkait secara langsung maupun

tidak langsung dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi 2. Karakter dasar

sistem : a. Sistem 3 muncul dalam bentuk perintah, dan harus

menghasilkan rencana yang terkoordinasi, lalu mengalir ke garis bawah – menuju sistem 1;

b. Kementerian/lembaga ini dimungkinkan untuk diberikan wewenang pengalokasian anggaran kepada propinsi/kabupaten/ kota dalam bentuk: dana dekonsentrasi (dekon), tugas perbatuan (TP), dan usaha bersama (UB);

c. Melibatkan “tawar menawar” sumberdaya: dengan bagian-bagian sistem 1. Segera setelah hal ini selesai dilakukan, maka secepat mungkin (khususnya di wilayah administrasi/wilayah agroekologi) untuk langsung melakukan operasioal melalui koordinasi dan audit.

3. Peran dan fungsi : a. Mengontrol operasi yang dilakukan pemerintah propinsi/ kabupeten/kota (sistem 1) dan memberikan dukungan manajemen (keahlian SDM, teknologi, sarana dan keuangan);

b. Bertanggungjawab untuk menjalankan organisasi sehari-hari, dan memastikan bahwa ketentuan di-implementasikan dengan tepat;

c. Menjaga keharmonisan kinerja sistem 1 (antar subsistem pada sistem 1) agar tercapai integrasi yang optimal;

d. Menerima laporan kinerja dari pemerintah propinsi/kabupaten/ kota (sistem 1), serta laporan hasil pemantauan dan evaluasi dari inspektorat dan/atau BPKP (sistem 3*);

4. Hubungan dengan pelaku pembangunan pada

: a. Hubungan dengan pemerintah propinsi/kabupaten/kota (sistem 1), antara lain :

a) melakukan koordinasi untuk menjaga menjaga

Page 202: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

179

Sistem 3: Kontrol Operasional (termasuk dukungan manajemen) sistem lainnya keharmonisan pelaksanaan kegiatan swasembada daging

sapi nasional; b) pengalokasian sumberdaya dalam bentuk keahlian,

teknologi, sarana, dan anggaran (dekon, TP, dan UB); b. Hubungan sistem 2, untuk kepatuhan pada peraturan regulasi

dan kebijakan, serta memenuhi standar yang telah ditetapkan; c. Mematuhi ketetapan perencanaan terkait swasembada daging

sapi nasional (sistem 4 & 5: Kementerian PPN/Bappenas), dan dalam besaran anggaran berbasis kinerja (sistem 5: Kementerian

d. Menjalani proses pemantauan dan evaluasi maupun proses audit (sistem 3*) untuk mengukur kinerja administratif, teknis maupun kepatuhan terhadap peraturan, regulasi, kebijakan dan stanadar;

5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya

: a. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan program dan kegiatan pada masyarakat dan pelaku usaha peternakan untuk dilakukan inisiatif perbaikan dalam perencanaan maupun pelaksanaannya;

b. Dalam batasan kewenangannya, memberikan dukungan dan fasilitasi kepada masyarakat peternakan maupun komunitas dalam wilayah agroekologi, untuk menjaga optimalisasi pencapaian sasaran swasembada daging sapi nsional;

6. Tantangan : a. Adanya tendensi kementerian dan/atau lembaga untuk melaksanakan program dan kegiatan yang seharusnya merupakan lingkup program/kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah propinsi/kabupaten/kota;

b. Adanya egosktoral yang menyebabkan kurangnya inisiatif kementerian/lembaga untuk melakukan koordinasi antar sektor pembangunan yang merupakan fungsi masing-masing dalam pelaksanaan swasembada daging sapi;

c. Lemahnya integrasi perencanaan swasembada daging sapi lintas sektor pembangunan dan fungsi pemerintah dan termuat dalam Renstra K/L terkait (Kementerian PPN/Bappenas, sistem 4);

d. Tidak optimalnya koordinasi dan sinergi program yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (sistem 4);

Untuk menjaga kualitas kinerja yang baik secara berkelanjutan, selama

pelaksanaan operasional dan dukungan manajemen diperlukan pemantauan dan

evaluasi secara integratif yang dilakukan secara periodik. Pada Tabel 50

menjelaskan bahwa Sistem 3* melaksanakan audit untuk mendukung sistem 3, agar

swasembada daging sapi nasional dapat terwujud secara berkelanjutan.

Page 203: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

180

Tabel 50. Peran Kelembagaan pada Sistem 3* Audit Kinerja

Sistem 3*: Audit Kinerja 1. Pelaku

pembangunan : Inspektorat kementerian/lembaga, Badan Pengawas

Propinsi/Kabupaten/Kota, dan/atau BPKP 2. Karakter dasar

sistem : a. Mempunyai akses langsung pada kementerian/lembaga

(sistem 3), dan secara berkala, masuk dalam sistem operasional;

b. Merupakan sistem yang independen, mengacu pada peraturan, regulasi, kebijakan dan standar-standar yang telah ditetapkan yang berlaku dalam upaya pelaksanaan program dan kegiatan; swasaembada daging sapi;

3. Peran dan fungsi : a. Mendukung kementerian/lembaga (sistem 3), melalui pemantauan dan evaluasi (audit) untuk mengukur: a) Kinerja (output, outcome, impact) dalam upaya

mencapai target yang telah ditentukan oleh sistem 3; b) Ketaatan dan ketertiban administrasi keuangan dan

anggaran berdasarkan ketentuan yang berlaku; c) Kepatuhan pelaksanaan peraturan, regulasi dan standar

yang telah ditetapkan pada sistem 2; b. Memberikan laporan pada kementerian/lembaga (sistem 3);

4. Tantangan a. Kelengkapan indikator kinerja (input-proses-output-outcome-impact) yang telah tersusun pada tingkat kementerian, lembaga, maupun daerah;

b. Belum terbangunnya indikator kinerja integratif lintas sektor pembangunan, lintasfungsi pemerintah dalam pelaksanaan program dan kegiatan swasembada daging sapi nasional;

Sistem 1,2 dan 3 adalah “manajemen otonom” karena dapat menjaga

stabilitas internal dan mengoptimalkan kinerja dalam sebuah kerangka kerja yang

baik tanpa referensi yang lebih tinggi dari manajemen. Meski demikian manajemen

otonom tidak memiliki pandangan yang menyeluruh atas lingkungan organisasi

sehingga tidak mampu menanggapi ancaman dan peluang yang timbul. Sistem itu

juga tidak memiliki kapasitas pembelajaran ganda. Jadi itulah mengapa sistem 4 dan

5, diperlukan. Kondisi tersebut dijelaskan dalam Tabel 51 dan Tabel 52.

Tabel 51. Peran Kelembagaan pada Sistem 4 Pengembangan

Sistem 4: Pengembangan 1. Pelaku pembangunan : a. Kementerian PPN/Bappenas dan

b. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2. Karakter dasar sistem : a. Merupakan “simpul/hub” dimana informasi diterima dan

diproses secara bersama-sama (lintas kementerian/lembaga) untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategis, kemudian disajikan dalam bentuk pengambilan keputusan;

b. Berhubungan dengan pihak eksternal dan berorientasi pada masa depan;

3. Peran dan fungsi : a. Membantu kementerian/lembaga/daerah (sistem 1 dan 3) untuk memperkenalkan memahami lingkungan strategis swasembada daging sapi secara integratif ;

Page 204: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

181

Sistem 4: Pengembangan b. Menangkap semua informasi yang relevan tentang

lingkungan strategis swasembada daging sapi nasional secara total. Melakukan penyesuaian strategi pencapaian dengan variasi perubahan lingkungan yang dialami, dan membuat sebuah model (kebijakan) yang memuat prediksi masa depan dan langkah pencapaiannya;

c. Merupakan “rumah” bagi perencanaan, pengembangan, hubungan lintas pemangku kepentingan, serta fasilitator (koordinasi dan sinkronisasi) bagi upaya pencapaian swasembada daging sapi;

4. Hubungan dengan pelaku pembangunan pada sistem lainnya

: a. Sangat diperlukan hubungan “tripartied” pada tingkat kebijakan (high level) antara Kemenko Bid. Perekonomian – Kemen. Keuangan – Kemen. PPN/Bappenas, dalam hal :

a) Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program swasembada daging sapi secara terintegrasi, dengan Kemen. PPN/Bappenas (sistem 4 dan 5);

b) Koordinasi perencanaan anggaran swasembada daging sapi berbasis kinerja secara terintegrasi lintas kementerian dan lembaga, dengan Kemen. Keuangan (sistem 5);

b. Hubungan dengan kementerian dan lembaga terkait (sistem 3), melakukan koordinasi untuk menjaga keharmonisan pelaksanaan kegiatan swasembada daging sapi nasional;

c. Mematuhi ketetapan perencanaan terkait swasembada daging sapi nasional (sistem 4 & 5: Kementerian PPN/Bappenas), dan dalam besaran anggaran berbasis kinerja (sistem 5: Kementerian Keuangan);

5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya

: Berhubungan dengan pihak eksternal dan berorientasi pada masa depan;

6. Tantangan : a. Membangun integrasi pelaksanaan pembangunan dalam jangka menengah-panjang melalui koordinasi program dan sinergi dalam pelaksanaannya

b. Untuk Kementerian PPN/Bappenas : a) Koordinasi intra organisasi (lintas direktorat) untuk

menjaga (membangun) integrasi perencanaan program swasembada daging sapi nasional masuk sebagai program/kegiatan pada kementerian dan lembaga terkait;

b) Menyesuaikan langkah antisipasi (rolling plan) atas kesenjangan capaian realisasi pelaksanaan program/kegiatan atau karena perubahan lingkungan strategis;

c) Forum koordinasi perencanaan pembangunan yang dapat memfasilitasi sinergi lintas sektor pembangunan atas prioritas nasional ke 5 (buku I RPJMN), khususnya bagi swasembada daging sapi nasional;

c. Untuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian : a) Koordinasi intra organisasi (lintas asisten deputi)

untuk menjaga (membangun) integrasi pelaksanaan program dan kegiatan terkait dengan swasembada daging sapi nasional (misal: perdagangan/tataniaga,

Page 205: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

182

Sistem 4: Pengembangan infrastruktur, industri, lainnya) ;

b) Meminimalisasi distorsi peraturan, regulasi dan kebijakan yang tidak kondusif bagi pencapaian swasembada daging sapi nasional;

c) Akseptasi (adanya ego sektoral) kementerian dan lembaga lain untuk melakukan koordinasi dan sinergi pelaksanaan program/kegiatan;

Tabel 52. Peran Kelembagaan pada Sistem 5 Kebijakan

Sistem 5: Kebijakan 1. Pelaku

pembangunan : a. Kementerian Keuangan

b. Kementerian PPN/Bappenas dan 2. Karakter dasar

sistem : a. Menetapkan kebijakan perencanaan program dan kegiatan

(Kementerian Bappenas), dan kebijakan pengalokasian anggaran atas program dan kegiatan (Kementerian Keuangan)

b. Memberikan kepastian atas dukungan anggaran terhadap setiap program dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan untuk jangka menengah dan jangka panjang;

3. Peran dan fungsi : a. Merumuskan kebijakan berdasarkan informasi yang diterima oleh sistem 4 lalu mengkomunikasikannya ke bawah – kepada kementerian/lembaga (sistem 3) – untuk diimplementasikan oleh setiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.

b. Menyeimbangkan antara konflik kepentingan antar fungsi pemerintah, antara pusat dan daerah, maupun antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha;

c. Bertindak sebagai manajemen pada tingkat nasional 4. Hubungan dengan

pelaku pembangunan pada sistem lainnya

: Sangat diperlukan hubungan “tripartied” pada tingkat kebijakan (high level) antara Kemenko Bid. Perekonomian – Kemen. Keuangan – Kemen. PPN/Bappenas, dalam hal :

a. Koordinasi (langkah antisipasi) atas kesenjangan capaian pelaksanaan program swasembada daging sapi secara terintegrasi, dengan Kemenko Bid. Perekonomian (sistem 4);

b. Koordinasi (langkah antisipasi) penyesuaian alokasi anggaran swasembada daging sapi berbasis kinerja secara terintegrasi lintas kementerian dan lembaga, dengan Kemen. Keuangan (sistem 5);

5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya

: Berhubungan dengan pihak eksternal dan berorientasi pada masa depan;

6. Tantangan : a. Membangun keberlanjutan pelaksanaan program dan kegiatan oleh para pelaku pembangunan secara terintegrasi, hingga dapat dicapai sasaran pencapaian swasembada daging sapi nasional;

b. Melakukan edukasi kepada para pelaku pembangunan dan pemangku kepentingan bahwa pelaksanaan program dan kegiatan dapat membawa nilai tambah yang optimal pada jangka panjang (walaupun pada jangka pendek belum memberikan keuntungan);

Page 206: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

183

6.3 Model Kelembagaan dalam Program Swasembada Daging Sapi

Perancangan Model Peran Kelembagaan dilakukan dengan pendekatan

viable system model yang menempatkan setiap pelaku pembangunan sebagai sub

sistem dari sebuah sistem yang mempunyai tujuan yang sama yaitu pencapaian

swasembada daging sapi nasional. Dengan demikian setiap aktivitas dari masing-

masing sub sistem merupakan kegiatan yang bersifat integratif dalam bentuk

interaksi, interrelasi dan interaksi.

Model peran kelembagaan pada Gambar 61 terbagi dalam 4 level yaitu:

koordinasi tingkat direktif, koordinasi strategik-taktikal, koordinasi operasional,

serta pelaksanaan aktivitas pada praktek nyata. Mekanisme koordinasi kelembagaan

untuk tingkat direktif dijelaskan pada Tabel 53.

Page 207: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

184

Gambar 61. Model Kelembagaan dalam pelaksanaan swasembada daging sapi

Page 208: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

185

Tabel 53. Mekanisme koordinasi kelembagaan tingkat direktif

Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif 1. Pelaku

pembangunan : a. Kementerian Keuangan

b. Kementerian PPN/Bappenas c. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

2. Hubungan kelembagaan

: a. Kementerian PPN/Bappenas Bappenas menetapkan kebijakan perencanaan program dan kegiatan (dengan mempertimbangkan usulan K/L);

b. Berdasarkan rencana program/kegiatan yang ada Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan pengalokasian anggaran atas program dan kegiatan;

c. Kementerian Koord. Bid. Perekonomian mengacu pada rencana program/kegiatan dan dukungan anggaran yang tersedia, memfasilitasi sinergi dan koordinasi lintas program/kegiatan K/L/D pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi;

3. Peran dan fungsi kelembagaan

: Merupakan hubungan “tripartied” pada tingkat direktif (high level implementation plan) antara : Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/ Bappenas, dan Kementerian Koord. Bid. Perekonomian, dalam bentuk:

a. Tahap perencanaan: a) Kementerian PPN/Bappenas melaksanakan mekanisme

perencanaan teknokratik (top-down dan bottom-up) terkait swasembada daging sapi;

b) Kementerian Keuangan melakukan perencanaan alokasi anggaran sesuai sasaran pencapaian yang ditetapkan dalam perencanaan teknokratik;

c) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian (bersama Kementerian PPN/Bappenas) merencanakan skenario sinergi dan koordinasi program lintas K/L untuk diakomodir dalam Renstra K/L dan RPJMD propinsi/kabupaten/kota;

b. Tahap pelaksanaan: a) Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan,

melakukan koordinasi (langkah antisipasi) atas kesenjangan capaian pelaksanaan program dan penyesuaian anggaran yang diperlukan;

b) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian memfasilitasi koordinasi teknis pelaksanaan program lintas K/L dan daerah, serta pemangku kepentingan utama lainnya;

c. Monitoring dan evaluasi: a) Pencapaian kinerja K/L/Daerah sebagai lembaga madiri

(stand-alone/sub sistem) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;

b) Keselarasan kinerja lintas K/L/Daerah sebagai sistem pembangunan peternakan (interaksi, interrelasi, interkoneksi) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;

c) Problem identification and corrective actions (PICA) pada tingkat direktif;

4. Tantangan : a. Penguatan instrumen perencanaan pembagunan pada tingkat kebijakan melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koord. Bid. Perekonomian;

b. Intervensi pemuatan substansi swasembada daging sapi pada dokumen perencanaan K/L/Daerah dalam bentuk program dan

Page 209: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

186

Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif atau kegiatan, serta didukung anggaran yang memadai;

c. Optimalisasi peran Kementerian Koord. Bidang Perekonomian dalam:

a) Pelaksanaan koordinasi teknis penyelarasan kinerja lintas K/L/D;

b) Upaya mengatasi distorsi implementasi kebijakan khususnya berkaitan dengan tataniaga ternak, daging dan produk pendukung peternakan sapi;

Koordinasi pada level strategik-taktikal Kementerian Pertanian, Kementerian

Perdagangan bersama-sama Kementerian dan Lembaga lain yang terkait difasilitasi

oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara periodik melakukan

koordinasi berkaitan dengan upaya dalam mengurangi terjadinya distorsi atas

pelaksanaan kebijakan, sekaligus untuk sebagai forum untuk membahas status

pelaksanaan agar dapat dilakukan langkah-langkah konkrit dalam menyelesaikan

permasalahan yang ada. Penjelasan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 54.

Tabel 54. Mekanisme koordinasi kelembagaan tingkat strategik-taktikal

Koordinasi Kelembagaan Tingkat Strategik-Taktikal 1. Pelaku

pembangunan : a. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

b. Kementerian Pertanian c. Kementerian Perdagangan d. Kementerian dan Lembaga lain yang terkait

2. Hubungan kelembagaan

: a. Koordinasi penyelarasan (usulan) program dan kegiatan pada tahap perencanaan antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan K/L lain terkait;

b. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai koordinator dalam melakukan koordinasi dan sinergi program lintas K/L dan pemangku kepentingan utama lain yang terkait dalam pelaksanaan swasembada daging sapi;

c. K/L secara aktif mengambil inisiatif untuk melakukan koordinasi teknis intra-organisasi (sebagai sub sistem) maupun inter-organisasi (dalam sistem pembangunan peternakan);

3. Peran dan fungsi kelembagaan

: a. Tahap perencanaan: a) Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta

Kementerian dan Lembaga lain yang terkait mengajukan usulan program/kegiatan dalam dokumen perencanaan (Renstra, RKA K/L);

b) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian (bersama Kementerian PPN/Bappenas) merencanakan skenario sinergi dan koordinasi program lintas K/L untuk diakomodir dalam Renstra K/L dan RPJMD propinsi/kabupaten/kota;

b. Tahap pelaksanaan: a) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian memfasilitasi

koordinasi teknis pelaksanaan program lintas K/L dan daerah, serta pemangku kepentingan utama lainnya;

b) Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta

Page 210: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

187

Koordinasi Kelembagaan Tingkat Strategik-Taktikal Kementerian dan Lembaga lain yang terkait melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan lingkup peran, fungsi dan tanggungjawabnya;

c. Monitoring dan evaluasi: a) Pencapaian kinerja K/L/Daerah sebagai lembaga madiri

(stand-alone/sub sistem) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;

b) Keselarasan kinerja lintas K/L/Daerah sebagai sistem pembangunan peternakan (interaksi, interrelasi, interkoneksi) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;

c) Problem identification and corrective actions (PICA) pada tingkat direktif;

4. Tantangan : a. Penyelarasan pencapaian kinerja K/L/D dalam waktu, kualitas, kuantitas secara sinergis yang membangun tingkat efektivitas secara optimal;

b. Perencanaan ulang (program/kegiatan dan anggaran), baik pada tingkat lembaga mandiri (sub sistem) maupun sebagai integrasi lintas K/L/D (sistem) sebagai antisipasi perubahan lingkungan strategis, maupun terjadinya kesenjangan dalam implementasi;

c. Kelangsungan pelaksanaan koordinasi teknis secara periodik, kontinyu dan terfokus pada pencapaian tujuan swasembada;

d. Adanya ego-sektoral yang melemahkan upaya sinergi dan koordinasi program/kegiatan;

Koordinasi operasional dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah

sebagai sub sistem yang otonom. Pada level ini Kementerian Pertanian Kementerian

Perdagangan dan Kementerian/Lembaga lain yang terkait, sesuai hasil koordinasi

pada tingkat strategik-taktikal, mengarahkan program dan sasaran pencapaian

kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan peran dalam mendukung

swasembada daging sesuai dengan kondisi dan potensi (kearifan lokal) yang dimiliki

oleh daerahnya. Penjelasan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 55.

Tabel 55. Mekanisme koordinasi kelembagaan tingkat operasional

Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional 1. Pelaku

pembangunan : a. Kementerian Pertanian

b. Kementerian Perdagangan c. Kementerian dan Lembaga lain yang terkait d. Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupeten, Kota)

2. Hubungan kelembagaan

: a. Untuk pelaksanaan swasembada daging, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan K/L lain yang terkait memfasilitasi pemerintah daerah dalam bentuk bimbingan teknis, pilot project, maupun bentuk intervensi program yang lain yang lebih bersifat berkelanjutan, antara lain: dana alokasi khusus, dekonsentrasi, tugas perbantuan, urusan bersama);

b. Pemerintah daerah sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki (kearifan lokal), dengan mengoptimalkan peran dan fungsi instrumen kelembagaan yang ada (organisasi, struktur, sistem,

Page 211: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

188

Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional kebijakan) secara terintegrasi melaksanakan kegiatan dengan fokus mendukung pencapaian sweasembada daging sapi;

c. Pemerintah daerah melaksanakan koordinasi dengan pelaku pembangunan yang terkait swasembada daging pada tingkat perwilayahannya;

3. Peran dan fungsi kelembagaan

: a. Tahap perencanaan: a) Berdasarkan program dan kegiatan yang tercantum pada

dokumen perencanaan (Renstra, RKA K/L), masing-masing K/L menidentifikasi potensi program/kegiatan yang dapat dilaksanakan pada tingkat kelembagaan maupun kerjasama dengan Pemerintah Daerah;

b) Sesuai kondisi dan potensi perwilayahan yang dimiliki, pemerintah daerah merencanaan program/kegiatan yang dapat mendukung pencapaian tujuan swasembada daging sapi;

c) Koordinasi antara K/L dengan Pemerintah Daerah dalam lingkup kerjasama yang sesuai peran, fungsi K/L dengan kondisi dan potensi daerah;

b. Tahap pelaksanaan: a) K/L terkait maupun pemerintah daerah melaksanakan

program/kegiatan sesuai dengan lingkup peran, fungsi dan tanggungjawabnya;

b) K/L bersama-sama pemerintah daerah melaksanakan kerjasama dalam lingkup yang telah disepakati dan fokus pada pencapaian swasembada daging sapi;

c) Pemerintah Daerah bersama para pelaku pembangunan pada tingkat perwilayahan melaksanakan kerjasama dalam lingkup yang telah disepakati dan fokus pada pencapaian swasembada daging sapi;

c. Monitoring dan evaluasi: a) Pencapaian kinerja K/L/Daerah sebagai lembaga madiri

(stand-alone/sub sistem) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;

b) Keselarasan kinerja lintas K/L/Daerah sebagai sistem pembangunan peternakan (interaksi, interrelasi, interkoneksi) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;

c) Problem identification and corrective actions (PICA) pada tingkat direktif;

4. Tantangan : a. Distorsi implementasi kebijakan yang disebabkan karena ketidakselarasan kebijakan pada tingkat pusat (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, lainnya), maupun kebijakan tingkat daerah (perda, peraturan kepala daerah);

b. Penyelarasan pencapaian kinerja K/L/D dalam waktu, kualitas, kuantitas secara sinergis yang membangun tingkat efektivitas secara optimal;

c. Perencanaan ulang (program/kegiatan dan anggaran), baik pada tingkat lembaga mandiri (sub sistem) maupun sebagai integrasi lintas K/L/D (sistem) sebagai antisipasi perubahan lingkungan strategis, maupun terjadinya kesenjangan dalam implementasi;

d. Kelangsungan pelaksanaan koordinasi teknis secara periodik, kontinyu dan terfokus pada pencapaian tujuan swasembada;

e. Adanya ego-sektoral dan ego-regional yang melemahkan upaya sinergi dan koordinasi program/kegiatan;

Page 212: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

189

Pelaksanaan aktivitas pada praktek nyata dilakukan oleh komunitas yang

bergerak sesuai dengan kondisi dan potensi perwilayahan yang dapat mendukung

pencapaian tujuan swasembada atau disebut sebagai agroekologi dalam rantai nilai

peternakan yang dimulai dari hulu sampai hilir dan juga termasuk industri dan jasa

pendukung yang terkait secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: (1)

agroekologi rantai nilai budidaya, (2) agroekologi rantai nilai pakan, (3) agroekologi

padang gembala, (4) agroekologi pendukung peternakan. Komunitas ini bergerak

dalam sektor formal maupun informal dan aktif sebagai sebuah jejaring yang saling

melengkapi sebagai sebuah rantai nilai. Efektivitas pencapaian program swasembada

secara konkrit dapat ditemukenali pada level ini. Secara rinci dapat dikemukakan

dalam Tabel 56.

Tabel 56. Mekanisme pelaksanaan aktivitas pada praktek nyata

Pelaksanaan Aktivitas pada Praktek Nyata 1. Pelaku

pembangunan : a. Para pelaku usaha dalam rantai nilai peternakan

b. Masyarakat peternakan c. Organisasi masyarakat sipil (OMS) yang terkait pada rantai nilai

peternakan d. Pemerintah daerah dalam konteks fasilitasi dan koordinasi e. K/L terkait dalam konteks monitoring dan evaluasi

2. Hubungan antar pihak

: Aktivitas para pelaku pembangunan (para pihak) akan terkait erat dengan kondisi dan potensi perwilayahan baik secara kultural, sosial, dan geografis maupun dalam konteks peluang usaha, sebagai berikut: a. Para pihak melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk

perusahaan, koperasi, maupun usaha rumahan dan individu dengan orientasi nilai tambah ekonomi maupun nilai tambah sosial;

b. Para pihak melakukan kegiatan secara sendiri-sendiri/invidual maupun berserikat dalam bentuk organisasi/lembaga formal maupun komunitas informal;

c. Para pihak terdampak langsung dengan implementasi kebijakan baik pada tingkat pusat maupun kebijakan pada tingkat daerah;

d. Pada tingkat teknis implementasi, pemerintah daerah melakukan fasilitasi dengan para pihak untuk mengatasi distorsi kebijakan pada tingkat teknis aktivitas;

3. Peran dan fungsi para pihak

: a. Para pelaku usaha dalam rantai nilai peternakan, masyarakat peternakan, OMS yang terkait pada rantai nilai peternakan:

a) Melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk perusahaan, koperasi, maupun usaha rumahan dan individu dengan orientasi nilai tambah ekonomi maupun nilai tambah sosial;

b) Melakukan kegiatan secara sendiri-sendiri/invidual maupun berserikat dalam bentuk organisasi/lembaga formal maupun komunitas informal;

b. Pemerintah Daerah, melakukan: a) Pemantauan penyimpangan yang disebabkan karena distorsi

kebijakan tingkat daerah;

Page 213: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

190

Pelaksanaan Aktivitas pada Praktek Nyata b) Fasilitasi dengan para pihak untuk mengatasi distorsi

kebijakan pada tingkat teknis aktivitas; d. K/L terkait, melakukan monitoring dan evaluasi atas :

a) Penyimpangan yang disebabkan karena distorsi kebijakan tingkat pusat;

b) Efektivitas pelaksanaan intervensi program yang lain yang lebih bersifat berkelanjutan, antara lain: dana alokasi khusus, dekonsentrasi, tugas perbantuan, urusan bersama;

4. Tantangan : a. Distorsi kebijakan tataniaga yang menyebabkan kegiatan dalam rantai nilai peternakan kurang menguntungkan sebagai kegiatan usaha baik pada tingkat perusahaan dalam skala kecil, menengah maupun masyarakat/individu;

b. Pemerintah daerah maupun para pihak tidak merasakan perolehan nilai tambah (usaha maupun ekonomi) dalam jangka pendek, sehingga enggan untuk melaksanakan aktivitas tersebut;

c. Orientasi kedaerahan (dampak negatif otonomi daerah) menjadi penghambat sinergi, koordinasi maupun kemitraan strategis antar daerah;

6.4 Kemitraan Strategis dalam Swasembada Daging Sapi

Model kerjasama Academicians, Business, Government, Community

(ABGC) diharapkan dapat menjadi sarana bagi masing-masing kelembagaan untuk

saling melengkapi. Masing-masing pihak dapat melaksanakan peran sesuai dengan

lingkup tugas dan tanggungjawabnya, antara lain:

1. Pemerintah akan memberikan insentif berupa kebijakan yang kondusif bagi

dunia usaha, menyiapkan program intervensi maupun fasilitasi bagi pelaku

usaha dan masyarakat yang mendukung program swasembada daging sapi.

Bentuk-bentuk insentif antara lain dapat dilakukan dengan:

a. Peningkatan keahlian dan keterampilan peternak yang diprogramkan

secara sistematis dan terarah yang mencakup semua aspek

manajemen, produksi, pasca panen dan pemasaran;

b. Kebijakan pasar (tataniaga), tarif dan suku bunga;

c. Pengembangan wilayah baru peternakan, dalam bentuk VBC (Village

Breeding Center) maupun bentuk lainnya;

d. Pengembangan sistem joint produksi antar wilayah;

e. Pengembangan zona produksi hijauan pakan;

f. Pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan dan

kelancaran rantai pasok peternakan.

Page 214: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

191

2. Akademisi bersama lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai

basis pengetahuan dapat mendorong penemuan dan pemanfaatan teknologi

bagi rantai nilai produksi peternakan meliputi perbibitan, pemulia-biakan

sapi, pengolahan hasil produksi peternakan, maupun dukungan rantai nilai

peternakan berupa penataan dan pengembangan wilayah peternakan rakyat,

serta produksi penyangga ketersediaan bahan baku pakan.

3. Dunia usaha dengan kompetensi, mesin dan peralatan, serta jejaring yang

dimiliki diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membuka akses

pada pasar maupun pengembangan kapasitas teknis dan manajerial sesuai

program yang dikembangkan. Bentuk-bentuk partisipasi maupun kemitraan

yang dapat dilakukan oleh dunia usaha antara lain dapat dilakukan dengan:

a. Ikut berperan dalam pengembangan wilayah baru peternakan, dalam

bentuk VBC (Village Breeding Center) maupun bentuk lainnya;

b. Membuka kawasan baru usaha sapi potong melalui pola kerjasama

inti-plasma maupun integrasi dengan usaha perkebunan;

c. Mengembangkan sistem bagi hasil (gaduhan) dengan komunitas

peternak maupun masyarakat peternak;

4. Komunitas atau masyarakat selain sebagai muara dalam penciptaan nilai

tambah, harus berperan aktif dapat proses penciptaan nilai tambah yang

dapat dilakukan dalam basis potensi perwilayahan (agroekologi), maupun

sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki, baik secara

individu maupun sebagai kumpulan masyarakat;

Selain kemitraan dalam bentuk ABGC, untuk pencapaian swasembada

daging sapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan public private partnership

(PPP), yang melibatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas publik, koperasi

peternak atau masyarakat peternak, pelaku usaha peternakan maupun investor dan

lembaga keuangan. Pada dasarnya bentuk-bentuk kerjasama tersebut bertujuan untuk

membangun kehidupan masyarakat, menyehatkan kedaulatan ekonomi dan menuju

kemandirian komunitas masyarakat peternak. Dengan dukungan pemerintah,

akademisi dan litbang, maupun dunia usaha pada pembangunan peternakan tersebut

diharapkan dapat memicu bertumbuhnya dunia usaha peternakan sesuai kondisi dan

potensi perwilayahan, khususnya pada skala kecil dan menengah, sehingga rantai

Page 215: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

192

nilai usaha peternakan dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan basis

dukungan kontribusi agroekologi perwilayahan. Bentuk lain dari kemitraan strategis

dapat dilihat pada Gambar 62 dan Tabel 57 yang menjelaskan hubungan dan peran

masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan strategis.

Tabel 57. Peran para pelaku dalam kemitraan swasembada daging sapi

No Pelaku Uraian (1) (2) (3)

1. Kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan sapi

a. Adalah kegiatan usaha yang terbangun dengan kepemilikan berbasis komunitas

b. Lini usaha meliputi produk dan jasa dalam integrasi vertikal maupun horizontal terkait dengan rantai nilai peternakan sapi (hulu – hilir – kegiatan pendukung)

c. Kapasitas (produktivitas) kegiatan usaha ini dirancang untuk dapat memenuhi kebutuhan (daya serap pasar/pelanggan) pada perwilayahan setempat

2. Otoritas publik (pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah)

a. Mendorong iklim kondusif bagi kegiatan kewirausahaan b. Dapat diperankan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah (propinsi, kabupaten, kota) c. Memfasilitasi terbangunnya kewirausahaan terkait berbasis

kekuatan perwilayahan atau potensi peluang yang ada d. Membuat kesepakatan dengan lembaga keuangan untuk

memfasilitasi penyediaan modal bagi kewirausahaan terkait swasembada daging sapi

e. Pendefinsian transfer risiko untuk dilakukan pertanggungan 3. Lembaga keuangan a. Sebagai agen menjalankan program insentif pemerintah dalam

penyediaan modal bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan;

b. Memberikan fasilitasi permodalan untuk merangsang investor mau berinvestasi di usaha perbibitan yang kurang menarik dibanding usaha penggemukan;

c. (atau) sebagai lembaga keuangan yang menyediakan skema pinjaman bagi kegiatan usaha

4. Koperasi dan atau masyarakat peternak

a. Dapat berkontribusi sebagai penyandang dana bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan, baik secara kelompok maupun sebagai individu;

b. Sesuai kemampuan (kegiatan usaha) yang dimiliki, memungkinkan untuk melakukan hubungan transaksional baik sebagai supplier maupun pelanggan bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan;

c. Melaksanakan berbagai bentuk kemitraan antar pelaku usaha, antar komunitas/masyarakat, maupun antara pelaku usaha dan komunitas/masyarakat;

5. Perusahaan dan atau pelaku usaha

6. Penyandang dana Berkontribusi sebagai penyandang dana bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan, baik secara kelompok maupun sebagai individu

7. Asuransi Memberikan jaminan pertanggungan atas sisa risiko yang dimungkinkan akan timbul

8. Perguruan tinggi dan lembaga litbang terkait

a. Pengembangan produk, pemanfaatan teknologi tepat guna b. Bimbingan teknis dan pendampingan dalam pengembangan

kapasitas SDM pelaku usaha c. Penetapan SOP maupun standar proses, produk bagi keluaran

yang dihasilkan

Page 216: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

193

d. Pembinaan kemampuan manajemen bagi kegiatan usaha 9. Dunia usaha yang

terkait a. Melaksanakan berbagai bentuk kemitraan antar pelaku usaha,

antar komunitas/masyarakat, maupun antara pelaku usaha dan komunitas/masyarakat;

b. Penguatan rantai nilai penciptaan nilai tambah yang masih memerlukan dukungan

c. Bimbingan teknis dan fasilitasi dalam konteks Inti – Plasma, “bapak angkat”, atau bentuk lain yang sesuai

d. Berperan sebagai early customer maupun memberikan kesempatan sebagai sourcing bagi bagian produk/jasa yang akan diproduksi perusahaan

e. Penetapan SOP maupun standar proses, produk bagi keluaran yang dihasilkan

f. Pembinaan kemampuan manajemen bagi kegiatan usaha

Page 217: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

194

Gambar 62. Pola pikir kemitraan strategis dalam swasembada daging sapi.

Page 218: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

195

6.5 Pengukuran Kinerja Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi

Dalam UU Keuangan Negara yang baru, pengalokasian anggaran

menggunakan kementerian/lembaga sebagai unit analisanya berdasarkan prestasi

kerja yang dijanjikan oleh kementerian/lembaga pengusul yang bersangkutan.

Digunakannya kementerian/lembaga sebagai unit analisis memberikan penekanan

bahwa anggaran tidak lagi berdasarkan substansi akan tetapi telah bergeser ke

“fungsi” kementerian/lembaga yang bersangkutan. Dari perspektif keuangan,

alokasi anggaran didasarkan atas prestasi kerja yang ditargetkan, sedangkan dari

perspektif perencanaan, substansi alokasi anggaran perlu mempertimbangkan

prestasi kerja sebelumnya. Hal ini membawa konsekuensi pada proses perencanaan

dari optimalisasi kegiatan sektoral ke optimalisasi fungsi kementerian/lembaga

terhadap pencapaian tujuan nasional.

Dengan demikian, penganggaran berbasis kinerja adalah penyusunan

anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja, yang terdiri dari program dan

kegiatan yang akan dilaksanakan dan indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu

entitas anggaran (budget entity). Pendekatan ini jelas akan memperbaiki kelemahan

sistem tradisional dimana anggaran disusun berdasarkan line item dengan perubahan

yang cenderung konservatif dan inkremental dari anggaran tahun sebelumnya

sehingga kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan lembaga. Paradigma

penilaian kinerja berubah. Pencapaian kinerja dalam anggaran berbasis kinerja

diukur dengan indikator-indikator substansif yang dihasilkan suatu program atau

kegiatan yang dilaksanakan secara efisien, efektif, dan ekonomis, serta sejalan

dengan kebijakan organisasi (Indrawati, 2007).

Sejalan dengan semangat reformasi sistem perencanaan dan reformasi sistem

anggaran, dengan dasar pemikiran bahwa upaya pencapaian sasaran pembangunan

swasembada daging sapi dilaksanakan dengan prinsip cybernetik, maka dengan

pendekatan VSM dapat dibangun model pengukuran kinerja yang lebih menekankan

pada indikator substantif yang dihasilkan oleh suatu program atau kegiatan. Untuk

sebuah organisasi atau lembaga, model pengukuran kinerja ini digunakan untuk

mengukur produktivitas unit kerja secara stand alone, dan sekaligus akan mengukur

kinerja yang dicapai lintas unit kerja (intra-organisasi), bila dilakukan koordinasi

Page 219: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

196

dan sinergi yang dapat mengoptimalkan pemanfaat sumberdaya secara efektif dan

sekaligus mengatasi hambatan yang ada. Dengan analogi yang sama bila model

tersebut digunakan untuk mengukur kinerja lintas kementerian dan lembaga (inter-

organisasi) dalam lingkup nasional, sebagai upaya mencapai sebuah tujuan yang

melibatkan peran, fungsi maupun sumberdaya yang harus disinergikan sebagai

sebuah sistem.

Gambar 63. Pengukuran kinerja dalam pencapaian swasembada daging sapi

Gambar 63 menjelaskan adanya 3 jenis pencapaian (aktualitas, kapabilitas

dan potensialitas) ketiga hal tersebut digabungkan dengan tiga indeks (produktivitas,

laten dan kinerja). Model ini dapat digunakan sebagai ukuran kinerja yang

komprehensif dalam hubungannya dengan semua jenis sumber-sumber yang ada

dalam organisasi. Tiga tingkat pencapaian didefinisikan dengan jelas sbb:

1. Aktualitas adalah apa yang sekarang kita lakukan, dengan sumber daya yang

ada dan dengan kendala-kendala yang ada.

2. Kapabilitas adalah apa yang dapat kita lakukan sekarang jika kita benar-

benar berusaha untuk itu, dengan sumber-sumber yang ada dan dengan

kendala yang ada.

3. Potensialitas adalah apa yang bisa kita lakukan dengan mengembangkan

sumberdaya serta menghapus kendala, meski masih beroperasi dalam batas-

batas yang masih dapat ditoleransi.

Selanjutnya dari tiga tingkat pencapaian tersebut dapat terbangun indeks

berdasarkan rasio yang pada akhirnya bermuara pada pengukuran kinerja.

Page 220: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

197

1. Produktivitas : Ratio aktualitas dan kapabilitas

2. Efektivitas : Ratio kapabilitas dan potensialitas

3. Kinerja : Rasio aktualitas dan potensialitas, atau juga rasio antara efektivitas

dan produktivitas

Dalam pelaksanaan pencapaian swasembada daging sapi, model pengukuran

kinerja ini tiga tingkat pencapaian dapat diilustrasikan pada Tabel 58.

Tabel 58. Pengukuran kinerja kelembagaan

Tingkat Pencapaian

Implementasi Intra-organisasi (tingkat lembaga/kementerian)

Implementasi Inter-organisasi (tingkat nasional)

(1) (2) (3)

Kapabilitas Rencana pencapaian oleh fungsi/unit kerja/unit organisasi untuk hal yang terkait swasembada daging sapi, meliputi: a. Target pencapaian dengan kualitas,

kuantitas, waktu, dalam besar an anggaran;

b. Jumlah anggaran yang tersedia atau disetujui dalam dokumen perencanaan;

Rencana pencapaian oleh kementerian/ lembaga/daerah untuk hal yang terkait swasembada daging sapi, meliputi: a. Target pencapaian dengan

kualitas, kuantitas, waktu, dalam besar an anggaran;

b. Jumlah anggaran yang tersedia atau disetujui dalam dokumen perencanaan;

Aktualitas Realisasi pencapaian oleh fungsi/unit kerja/unit organisasi dalam satuan kuantitatif, seperti: kualitas, kuantitas, waktu, dan besar anggaran yang terpakai

Realisasi pencapaian kementerian/ lembaga/daerah dalam satuan kuantitatif, seperti: kualitas, kuantitas, waktu, dan besar anggaran yang terpakai

Potensialitas Hasil pencapaian bila dilakukan upaya: a. Konsolidasi sumberdaya lintas

fungsi/unit kerja/unit organisasi secara optimal;

b. Koordinasi program lintas fungsi/unit kerja/unit organisasi untuk meningkatkan kualitas hasil;

c. Sinergi dalam pelaksanaan proses kerja dan penyelarasan waktu untuk pelaksanaan kegiatan;

Hasil pencapaian bila dilakukan upaya: a. Konsolidasi sumberdaya lintas

kementerian/lembaga/daerah secara optimal;

b. Koordinasi program lintas kementerian/lembaga/daerah untuk meningkatkan kualitas hasil;

c. Sinergi dalam pelaksanaan proses kerja dan penyelarasan waktu untuk pelaksanaan kegiatan;

6.6 Penguatan Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Nasional

Dalam penyajiannya dokumen RPJMN 2010-2014 disusun dalam 3 (tiga)

buah buku yang merupakan satu kesatuan yang utuh, dengan fokus muatan yang

berbeda yaitu: buku pertama memuat fokus prioritas nasional, buku kedua dengan

fokus memperkuat sinergi antar bidang pembangunan, dan buku ketiga dengan

fokus pembangunan berdimensi perwilayahan: memperkuat sinergi antara pusat-

daerah dan antardaerah. Sebagai perwujudan prinsip-prinsip perencanaan yang

Page 221: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

198

mengetengahkan partisipasi masyarakat atau konsultasi publik dalam proses

penyusunan kebijakan pemerintah, serta prinsip-prinsip koordinasi perencanaan

kebijakan, program, dan kegiatan, pada saat ini dilaksanakan beberapa forum

koordinasi perencanaan pembangunan, antara lain sebagai berikut:

1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), yang

merupakan bentuk koordinasi dalam dua arah: top-down (dari Pemerintah

Pusat ke pemerintah daerah) dan bottom-up (dari aspirasi daerah ke

Pemerintah Pusat);

2. Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat (Rakorbangpus), proses

penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan yang bertujuan untuk

mensosialisasikan dan menyempurnakan rancangan awal RKP tahunan dan

pagu indikatif tahunan per kementerian dan lembaga sebagai bahan

penyiapan rencana kerja (RENJA) kementerian/lembaga tahunan;

3. Trilateral Meeting, merupakan forum konsultasi yang intensif antara masing-

masing kementerian/lembaga dengan Kementerian PPN/Bappenas dan

Kementerian Keuangan.

Untuk lebih mengoptimalkan perwujudan integrasi perencanaan

pembangunan dengan fokus: prioritas nasional, memperkuat sinergi antar bidang

pembangunan dan pembangunan berdimensi perwilayahan: memperkuat sinergi

antara pusat-daerah dan antardaerah yang termuat dalam dalam buku I, II, dan III

RPJMN 2010-2014, dapat dilakukan penguatan forum koordinasi perencanaan

pembangunan yang telah ada, maupun dengan mengembangkan forum koordinasi

lintas kementerian/lembaga dan daerah yang difokuskan untuk meningkatkan kinerja

perencanaan dan pelaksanaan program prioritas nasional (Buku I RPJMN).

Diilustrasikan pada Gambar 64 bahwa penguatan atau pengembangan forum

koordinasi tersebut memposisikan fokus pembangunan nasional dalam sumbu 3

dimensi yaitu, x untuk fokus pembangunan prioritas bidang, sumbu y untuk fokus

pembangunan prioritas nasional, serta sumbu z untuk fokus prioritas pembangunan

perwilayahan. Integrasi optimal digambarkan sebagai keseimbangan bentuk 3

dimensi berbentuk kubus dengan x = y = z yang masing-masing dicapai dalam

kondisi optimum.

Page 222: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

199

Gambar 64. Integrasi optimum dari 3 fokus pembangunan nasional

Untuk prioritas pembangunan ketahanan pangan, khususnya bagi

swasembada daging sapi, koordinasi dilakukan secara lintas kementerian, lembaga

dan daerah. Koordinasi tingkat kebijakan dilakukan oleh Kementerian

PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian, selanjutnya koordinasi tingkat pelaksanaan, sesuai amanat RPJMN

2010-2014 dapat dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian yang difokuskan untuk dapat mencapai sinergi program lintas

kementerian. lembaga dan daerah yang terlibat dalam pelaksanaan program.

6.7 Implikasi dalam Pola Pengorganisasian

Model peran kelembagaan dengan pendekatan VSM memerlukan proses

pengorganisasian yang dapat mengelola kondisi keterkaitan setiap komponen

sebagai subsistem yang pada akhirnya akan terbangun konstruksi sebagai sebuah

sistem yang lengkap. Garet Morgan (2008) menyatakan karakteristik ini diwakili

oleh kondisi organisasi dengan metaphor organisasi itu seperti makhluk hidup

(organization likes organism). Efektivitas pola pengorganisasian pada metaphor ini

akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan organisasi dalam melaksanakan

aktivitasnya, terlebih pada saat melakukan hubungan lintas unit kerja/lintas fungsi

Page 223: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

200

dalam organisasi (intra-organisasi) maupun dalam hubungan lintas lembaga (inter-

organisasi).

6.7.1 Pola Pengorganisasian Intra-Organisasi

Upaya integrasi perencanaan pembangunan nasional dapat dimulai dari

koordinasi lintas unit kerja atau lintas fungsi (khususnya pada tingkat Direktorat)

yang ada pada setiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang ikut

berperan. Sebagai ilustrasi pada Gambar 64, pelaksanaan koordinasi intra-organisasi

yang terbangun dari hubungan lintas fungsi/unit kerja diberikan contoh untuk

Kementerian PPN/Bappenas dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi.

Gambar 65 menunjukan bahwa upaya pencapaian swasembada akan

melibatkan berbagai Direktorat /Unit Kerja Eselon II pada Kedeputian/Unit Kerja

Eselon I yang berbeda. Dapat dipahami bahwa tingkat efektivitas pencapaian

swasembada akan sangat dipengaruhi koordinasi yang terbangun dari lintas fungsi

yang bersifat lintas kedeputian tersebut. Beberapa kelebihan yang dapat diperoleh

dari terlaksananya koordinasi intra-organisasi ini adalah:

1. Setiap Direktorat akan berkoordinasi dengan mitra kerja

kementerian/lembaga masing-masing untuk menjaga muatan program/

kegiatan lintas sektor pembangunan pada masing-masing Rencana Strategis

dari kementerian/lembaga yang terkait;

2. Dapat dilakukan penetapan prioritas pada alokasi anggaran atau alokasi

sumberaya lain, yang difokuskan pada pencapaian sasaran yang menjadi

prioritas nasional;

3. Adanya forum internal Kementerian PPN/Bappenas untuk mewujudkan

amanat UU SPPN, yaitu terciptanya integrasi, sinkronisasi, sinergi antar-

daerah, antar-ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, antara pusat dan

daerah;

Analogi dengan kondisi diatas maka langkah yang sama juga sangat

diperlukan oleh kementerian dan lembaga lain yang terlibat dalam pelaksanaan

swasembada daging sapi, atau bahkan juga diperlukan untuk sektor pembangunan

lainnya.

Page 224: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

201

Gambar 65. Pengorganisasian intra-organisasi pada Kementerian PPN/Bappenas

Page 225: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

202

6.7.2 Pola Pengorganisasian Inter-Organisasi

Tingkat efektivitas pelaksanaan koordinasi intra-organisasi yang dilakukan

lintas fungsi/unit kerja dalam sebuah kementerian/lembaga (sebagai sub sistem),

akan menjadi dasar dalam membangun kualitas koordinasi inter-organisasi yang

bersifat lintas kementerian/lembaga dan daerah. Keberhasilan pelaksanaan

koordinasi ini sekaligus akan mendorong terciptanya iklim kondusif dalam

pelaksanaan program/kegiatan (oleh masing-masing sub sistem), serta menjadi

modal yang kondusif bagi upaya koordinasi dan sikronisasi yang dilakukan oleh

Kementerian Koordinator Perekonomian dalam perannya sebagai bagian dari sub

sistem menejemen swasembada daging sapi. Hubungan inter-organisasi dalam

swasembada daging sapi dapat dilihat pada Gambar 66.

Dalam supra sistem sektor peternakan terdiri dari beberapa sub sistem yang

yang saling interkasi, interkoneksi dan interrelasi, yaitu:

1. Sub sistem produksi dari on-farm sampai dengan off-farm, dalam su sistem

ini Kementerian Pertanian memiliki peran yang sangat strategis;

2. Sub sistem tataniaga, yang dapat menjamin kelancaran rantai pasok dan

distribusi, serta penetapan besaran impor ternak sapi, daging sapi, maupun

3. produk turunannya. Pada subsistem ini Kementerian Perdagangan memiliki

peranan yang sangat penting;

4. Sub sistem teknologi, diperankan oleh jajajarn Kementerian Riset dan

Teknologi (LIPI, BPPT, BATAN), lembaga litbang Kementerian, dan

Perguruan Tinggi. Berperan dalam memberikan dukungan tekonologi tepat

guna yang dapat mendukung pengembangan sektor peternakan;

5. Sub sistem sarana dan prasarana, adalah berbagai bentuk dukungan bagi

pengembangan sektor peternakan yang meliputi ketersediaan lahan

penggembalaan, mesin dan peralatan, sarana transportasi, dan bentuk

infrastruktur lainnya.

Page 226: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

203

Gambar 66. Hubungan inter-organisasi dalam swasembada daging sapi

Page 227: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

204

6.7.3 Tingkat Intelektualitas Organisasi

Kemampuan sebuah organisasi atau lembaga dalam melaksanakan aktivitas

melalui hubungan intra-organisasi dan inter-organisasi sangat ditentukan oleh modal

intelektual organisasi/lembaga yang terdiri dari (1) modal intelektual yang terbangun

dari modal insani, modal organisasi dan modal relasional, dan (2) aktivitas

organisasi yang dalam hal ini adalah peran kelembagaan dalam melaksanakan

mandat yang telah diberikan oleh pemerintah. Tingkat efektivitas dalam pelaksanaan

aktivitas organisasi dapat dikarakerisaikan dalam beberapa komponen yang

mewakili tingkat kemampuan kognitif organisasi, antara lain:

1. Waktu respon dalam pengambilan keputusan (OIt);

2. Kecepatan penyelesaian tugas, dan tetap menjaga kolaborasi (OIs);

3. Kemampuan analisis, sintesis, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan untuk

menyelesaikan masalah (OIq);

4. Kemampuan melakukan pertukaran informasi intra dan inter-organisasi

dalam format terpadu (OIwr);

5. Kemampuan mengolah, menyajikan data dan informasi dalam bentuk

gambar pola, grafis, animasi dan bentuk visual lainnya (OIv);

6. Kemampuan menyimpan dan mengolah data, serta menyajikan dalam

laporan (OImr);

Secara umum kinerja kelembagaan yang dihasilkan dapat diukur dengan

atribut yang secara umum digunakan oleh organisasi publik dalam penciptaan nilai

tambah bagi masyarakat, antara lain:

1. Menghasilkan substansi yang berkualitas baik dan bernilai dan dapat

mensejahterakan masyarakat (substantively valuable);

2. Dapat diterima secara hukum dan memperoleh pengakuan secara politik

secara berkelanjutan (legitimate and politically sustainable);

3. Memiliki kemampuan operasional dalam melaksanakan peran dan fungsi,

dengan tatakelola yang dapat dipertanggungjawabkan (operationally and

administratively feasible);

Secara lebih spesifik tingkat kecerdasan berkaitan dengan upaya pencapaian

swasembada daging sapi nasional dapat dilihat pada Gambar 67.

Page 228: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

205

Gambar 67. Intelektualitas organisasi kementerian/lembaga dalam program swasembada daging sapi

Page 229: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

206

Mencermati komponen yang membentuk modal intelektual organisasi, bagi

kementerian/lembaga/pemerintah daerah dapat ditengarai bahwa untuk kualitas

modal insani (dalam jumlah maupun kompetensi) diyakini telah berada pada kondisi

yang baik, demikian juga untuk modal organisasi yang secara struktur telah terbagi

dalam peran dan fungsi yang lengkap untuk mewakili lingkup perencanaan

pembangunan nasional dengan landasan sistem perencanaan pembangunan yang

didukung secara hukum. Namun demikian untuk kualitas modal relasional masih

cukup sulit untuk diukur, mengingat kulaitas modal relasional akan sangat

ditentukan oleh tata nilai yang dianut oleh individu maupun organisasi, yang pada

akhirnya akan tercermin dalam artefak yang nyata baik pada tingkat individu

maupun kelembagaan.

Modal relasional secara langsung mempengaruhi kualitas modal insani dan

modal organisasi, yang secara bersama-sama terbangun sebagai modal intelektual

organisasi dalam mendukung pelaksanaan aktivitas organisasi. Dengan demikian

modal relasional merupakan yang berperan sangat penting dalam penyelenggaraan

koordinasi baik dalam lingkup intra-organisasi maupun inter-organisasi.

Page 230: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

207

7 SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Dari analisis situasional ditemukan bahwa kondisi yang berkaitan dengan

tingkat keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi nasional, walaupun

telah ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sebagai bagian dari prioritas ke-5,

ketahanan pangan nasional, namun belum seluruh kementerian dan lembaga

yang terkait mencantumkan sebagai program/kegiatan dalam dokumen

perencanaan strategisnya. Koordinasi program lintas kementerian/lembaga dan

antara pusat dan daerah merupakan faktor yang penting dan kritikal.

2. Swasembada daging sapi nasional tidak terbatas dengan neraca supply –

demand, namun juga dipengaruhi oleh keandalan manajemen distribusi,

kebijakan tataniaga, maupun harga pasar terkait dengan kemampuan masyarakat

untuk memperolehnya. Pencapaian swasembada daging sapi nasional

memerlukan jaminan ketersediaan perbibitan dan pemulia-biakan sapi, penataan

dan pengembangan wilayah peternakan rakyat, serta produksi penyangga

ketersediaan bahan baku pakan.

3. Dengan menggunakan teknik analitycal network process (ANP) disimpulkan

bahwa keberhasilan swasembada daging sapi nasional memerlukan prasyarat

utama: (1) integrasi perencanaan pembangunan sektor pertanian dalam

swasembada daging sapi nasional; (2) penataan peran kelembagaan dan

koordinasi pelaksanaan program, dan (3) pengembangan kapasitas dan

peningkatan sarana prasarana yang harus menjadi fokus utama pemerintah.

Melalui teknik strategic assumption surfacing and technique (SAST), para

pakar menyimpulkan asumsi bahwa pencapaian swasembada daging sapi

nasional memerlukan kebijakan tataniaga yang kondusif, selain daripada itu

keseimbangan supply – demand, dan koordinasi tingkat kebijakan juga

merupakan hal yang penting dan besar pengaruhnya.

Page 231: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

208

4. Penggunaan teknik interpretative structural modeling (ISM) untuk sembilan

elemen sistem, dapat disimpulkan pada tahap perencanaan program

swasembada daging sapi nasional, Kementerian PPN/Bappenas bersama-sama

Kementerian Keuangan dengan memiliki daya dorong yang paling tinggi,

sedangkan pelaku usaha dan masyarakat peternak adalah pemangku

kepentingan yang paling terpengaruh. Kondisi yang menjadi prasyarat

dicapainya perencanaan swasembada daging sapi secara teruntegratif, yaitu: (1)

tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah industri peternakan, (2)

kejelasan kebijakan program sektoral peternakan rakyat, dan (3) ketersediaan

anggaran bagi penyelenggaraan perbibitan, pemulia-biakan serta pengembangan

wilayah peternakan rakyat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, lembaga yang

paling besar peran dan pengaruhnya adalah Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian, bersama-sama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian

Perdagangan;

5. Kendala yang paling berpengaruh dalam menghambat pencapaian swasembada

daging sapi adalah: ketidakharmonisan peraturan perundangan sehingga

menghambat tercapainya swasembada daging sapi, dan ketidak konsistenan

antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran yang

disediakan. Untuk mengatasi kendala tersebut, perubahan yang paling

dimungkinkan adalah meningkatkan koordinasi kebijakan antara: Kementerian

PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian agar meningkatkan efektivitas penggunaan sumberdaya nasional.

6. Untuk mencapai tujuan swasembada, aktivitas yang menjadi pendorong utama

adalah harmonisasi lintas kementerian dan lembaga dalam penerapan kebijakan

perdagangan ternak, daging dan produk turunannya. Ukuran keberhasilan yang

paling berpengaruh atas pencapaian tujuan adalah tidak adanya distorsi dalam

pelaksanaan tataniaga importasi dan distribusi sapi potong, daging, produk

samping, serta produk turunannya. Pencapaian tersebut akan berpengaruh pada

peningkatan efektivitas program insentif bagi masyarakat peternak, berupa

akses permodalan (seperti Kredit Usaha Perbibitan Sapi), penguatan organisasi

dan manajemen, serta penguasaan tekonologi tepat guna;

Page 232: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

209

7. Untuk mencapai perencanaan dan pelaksanaan program swasembada daging

sapi secara integratif dikembangkan Model Kelembagaan yang dapat

memfasilitasi hubungan lintas pemangku kepentingan sebagai sebuah sistem

yang saling berinteraksi, interrelasi, dan interkoneksi antar kementerian

lembaga, antara pusat dan daerah, serta dengan pelaku usaha peternakan.

Model ini terbangun atas empat tingkatan, yaitu: koordinasi tingkat direktif,

koordinasi tingkat strategik-taktikal, koordinasi operasional, serta pelaksanaan

aktivitas pada praktek nyata.

8. Keandalan dan efektivitas proses pertukaran informasi dan kecepatan dalam

pengambilan keputusan yang bersifat lintas fungsi atau lintas unit kerja

merupakan faktor penting dan perlu diwujudkan dalam membentuk forum

kerjasama antar pihak baik intra-organisasi maupun inter-organisasi pada

tingkat pusat maupun daerah.

7.2 Saran

Dari penelitian disertasi ini dapat disarankan kepada beberapa pihak yang

terkait untuk segara mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan program prioritas nasional, sebelum

pelaksanaan Musrenbangnas dan Musrenbangpus dilakukan penyelarasan antara

perencanaan program lintas sektor, alokasi ketersediaan anggaran, dan pola

pengelolaan koordinasi pelaksanaan antara Kementerian PPN/Bappenas,

Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai koordinator

pelaksanaan program prioritas ketahanan pangan nasional, khususnya

swasembada daging sapi disarankan untuk lebih mengoptimalkan koordinasi

dan sinergi lintas sektor dari kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah,

serta pelaku usaha. Fasilitasi dapat dilakukan melalui Rapat Koordinasi yang

bersifat teknis-operasional yang secara periodik memantau perkembangan

maupun permasalahan import ternak, daging dan produk samping dan

kelancaran rantai pasok sapi lokal untuk dilakukan upaya penyelesaian secara

efektif.

Page 233: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

210

3. Kementerian PPN/Bappenas disarankan untuk meningkatkan kualitas modal

relasional organisasi, dan penataan fungsi pada jajarannya sehingga dapat

melakukan fasilitasi terhadap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah

yang menjadi mitra kerja sektoralnya, agar substansi yang terkait dengan

swasembada daging sapi termuat sebagai program/kegiatan dalam dokumen

rencana strategis masing-masing, serta dapat mengantisipasi terjadinya

kesenjangan dalam implementasi perencanaan maupun perubahan lingkungan

strategis;

4. Diharapkan kebijakan dan pelaksanaan program swasembada dilaksanakan

dengan memperhatikan keberpihakan pada peternakan skala kecil dan

menengah, khususnya kegiatan yang diusahakan oleh peternak perorangan

maupun koperasi produksi pada tingkat desa, terutama bagi penyelenggaraan

perbibitan, pemulia-biakan serta pengembangan wilayah peternakan rakyat yang

diselenggarakan melalui kemitraan strategis, serta difokuskan pada Koridor Bali

dan Nusatenggara sebagaimana ditetapkan dalam Master Plan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011 – 2025.

5. Berkaitan dengan pelaksanaan substansi penelitian dan pendekatan metodologi

dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Penelitian ini telah menghasilkan model kelembagaan integrasi

perencanaan pembangunan peternakan pada tingkat direktif-strategik,

untuk melengkapi penelitian ini sangat disarankan untuk dilakukan

penelitian lebih untuk pengembangan model kelembagaan pada tingkat

taktikal dan operasional, baik bagi tatakelola dalam lingkup intra-

organisasi maupun inter-organisasi;

b. Untuk dapat mengungkap kondisi (tantangan/permasalahan) yang

komplek, multi dimensi dan melibatkan berbagai disiplin kepakaran,

disarankan untuk menggunakan pendekatan soft system methodology

dengan memanfaatkan beberapa metode secara terintegrasi (misal: ANP,

SAST, dan ISM) dengan melakukan analisis dan sintesis, yang secara

konsisten berfokus pada prinsip system thinking (goal oriented, holistic,

effective).

Page 234: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

211

DAFTAR PUSTAKA

Abudullah L. 2010. Penyusunan Naskah Kebijakan: Pokok-Pokok Pemikiran Strategi dan Kebijakan Dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging 2014, Suatu Penelahaan Konkrit

Action Canada. 2011. Fuelling Canada’s Economic Success: A National Strategy for High Growth Entrepreneurship

Albus JS. 1991. Outline for a Theory Intelligence. IEEE Transactions on Systems, Man, and Cybernetics, No.3. Vol. 21: halaman 473-509.

Alkhafaji AF. 1989. A Stakeholder Approach to Corporate Governance: Managing in a Dynamic Environment, Quorum Books, Connecticut.

Alappatt F. 2005. Mahatma Gandhi Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi , Terjemahan Welfare in The Gandhian Economics and in The Welfare State, Terj: S. Farida. 2005. Nusamedia-Nuansa. Bandung

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anantan L. 2010. Manajemen Modal Intelektual: Strategi Memaksimalkan Nilai Modal Intelektual dalam Technology Driven Business.

Arifin B. 2007. Ekonomi Pertanian dalam era Revitalisasi Pertanian: Harmonisasi Mikro-Usaha Tani dengan Makro-Kebijakan, Mungkinkah Petani Sejahtera. In B. Arifin. Ekonomi Pertanian. Brigther Press. Bogor.

Ashby WR. 1956. An Introduction to Cybernetics, Methuen, London

Ascarya. 2005. Analytical Network Process (ANP), Pendekatan Baru Studi Kualitatif. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Jakarta.

Asep. 2004. Pengantar Sistem Dinamik, Tehnik Lingkungan ITB, Bandung. Tehnik Lingkungan ITB. Bandung.

Bappenas. 2005. Undang-Undang No.25/2004, Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas. Jakarta.

Bappenas. 2004. Laporan Akhir Stakeholder Pool: Persepsi dan kebutuhan masyarakat terhadap proses penyusunan kebijakan dan perencanaan di Indonesia. Jakarta

Baginski OS, Soussan J. 2002. A Methodology for Policy Process Analysis Livelihood-Policy Relationships in South Asia. Working Paper 9. Department for International Development.

Beer S. 1984. The Viable System Model: Its Provenance, Development, Methodology and Pathology. Journal of the Operational Research Society, No.35, halaman. 7-26.

Page 235: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

212

Beer S. 1984. Diagnosing the System for Organization. John Wiley & Sons, Chichester, UK.

Bontis N. 1998. Intellectual Capital: An Exploratory study that Develops Measures and Models Management Decision, No.2. Vol. 36: halaman. 63-76.

Bontis N. 1998. Cases: MGT 492S. University of Toronto. Dept. Of Management. Custom Publishing Service. University of Toronto Bookstores.

Bontis N. 2001. Assessing Knowledge Assets: A Review of the Models Used to Measure Intellectual Capital. International Journal of Technology Menegement. No.1. Vol. 3: halaman 41-60.

Burgelman, RA, Doz YL. 2001. “The Power of Strategic Integration”, MIT Sloan Management Review, No. 42. Vol. 3: halaman. 28 – 38

Boudreau JW, Ramstead PM. 2007. Beyond HR- The New Science of Human Capital.Boston, MA: Harvard Business School Publishing.

Bourgeois R, Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis-Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA.

Campbell S, Fainstein S. 1996. Readings in Planning Theory. Blackwell Publishers, Cambridge, MA.

Checkland PB. 1981. Systems Thinking, Systems Practice. Wiley, Chichester.

Choo CW, Bontis N. 2002. The Strategic Management of Intellectual Capital and Organizational Knowledge. New York, NY: Oxford University Press

Christensen CM. 2006. The Innovator's Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail. Harvard Business School. Boston. Massachusetts.

Darwanto H. 2010. Decoupling Rencana-Rencana Pusat dan Daerah?. Bappenas. Jakarta

Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.

Dewit B, Chambell A, Alexander M. 2004. Strategy: Process, Content, Context an International Perspective. 3rd edition. Thomson Learning. G.Canaly& C

Djunaedi A. 2000. Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning Styles) untuk mendukung Kebijakan Otonomi Daerah. Seminar dan Temu Alumni MKPD 2000. MKPD. Bali.

Drucker PF. 1985. The Practice of Innovation, Innovation and Entrepreneurship Practice and Principles, Harper & Row, New York.

Durlauf. 1998. The Washinton Quarterly, What Shouls Policymakers Know About Economic Complexity?, halaman 157-165

Dyer JH. and Singh, H. 1998. The relational view: cooperative strategy and sources of interorganizational competitive advantage, Academy of Management Review, No. 4. Vol. 23: halaman. 660-79

Page 236: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

213

Edvinsoon L, Sullivan P. 1996. Developing Model For Managing Intellectual Capital. European Management Journal, No. 4. Vol. 14: halaman. 356-364.

Eriyatno. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pasca Sarjana. IPB Press. Bogor.

Fainstein, Susan S, Fainstein N. 1996. City Planning and Political Values: An Updated View. Dalam buku Scott Campbell dan Susan Fainstein (eds.). Readings in Planning Theory. Blackwell Publishers, Cambridge, MA.

Farquharson E. Yescombe ER. 2011. How to Engage with the Private Sector in Public-Private Partnerships in Emerging Markets. The International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. Washington DC 20433

Ferdian. 2011. Benahi Sistem Logistik Nasional Secara Serius. Ekonomi dan Bisnis. InfoBankNews. http://www.infobanknews.com/2011/11/benahi-sistem-logistik-nasional-secara-serius/

Fisher M.L. 1997. What is the right supply chain for your product?, Harvard Business Review. No.2. Vol. 75: halaman. 105-16

Forrester J. 1961. Industrial Dynamic. MT Press. Cambrige.

Freeman R.E. 1984. Strategic Management: A stakeholder Approach. Boston, MA: Pitman.

Freeman R.E, Evan WM. 1990. Corporate Governance: A stakeholder Interpretation, Journal of Behaviour Economics, No. 19. Vol. 59: halaman 337.

Freeman R.E. (2004). A Stakeholder Theory of Modern Corporations, Ethical Theory and Business, 7th edn.

Gardner H. 1983. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence. New York, NY: Basic Books.

Goold M. 1994. Corporate Level Strategy – Creating Value in the Multibusiness Company. John Wiley & Sons.

Hanafie R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Andi. Jogjakarta.

Hanani N. 2009. Paradigma Ketahanan Pangan Indonesia.

Hanani N. 2009. Pengertian Ketahanan Pangan. In N. H. A.R., Sumbangan Pemikiran Arah Pembangunan Ketahanan Pangan. PERHEPI.

Hanson JD. 2008. Challenges for Maintaining Sustainable Agricultural Systems in the United States, Renewable Agricultural and Food Systems.

Hendricson J. 2008. Interactions in integrated US agricultural systrems: The past, present and future Renewable Agriculture and Food Systems: halaman 314-324

Page 237: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

214

Indrawati SM. 2007. Penganggaran Berbasis Kinerja dalam Perspektif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jurnal Administrasi dan Pembangunan. (Edisi Khusus). halaman 57-64

Isenberg DJ. 2010. How to Start an Entrepreneurial Revolution. Harvard Business Review. June. halaman. 41-50.

Jackson MC. 2003. Systems Thinking, Creative Holism for Managers. John Wiley and Sons.

Jung Y. 2009. An Approach to Organizational Intelligence Management (A Framework for Analyzing Organizational Intelligence Within the Construction Process)., Doctor of Philosophy Dissertation. Virginia Polytechnic Institute and State University.

Kaplan RS, Norton DP. 1996. Translating Strategy into Action – The Balanced Scorecard, Harvard Business School Press, Boston, MA.

Kartasasmita G. 1996. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Memasuki Abad ke-21. Pidato Lustrum ke-6 Universitas Pancasila. Universitas Pancasila. Jakarta.

Kartasasmita G. 1995. Pembangunan Menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri. Pidato Penerimaan Gelar Doktor HC Dalam Ilmu Administrasi Pembangunan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Kathleen ME. 2001. Balanced Measures for Stategic Planning. In A Public Sector Handbook. Management Concept. halaman. 184, 185.

Kementerian Pertanian. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Ketut K. 2005. Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia Sebelum Dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Kusnadi U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan Dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak Untuk Menunjang Swasembada Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Lassa J. 2006. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952-2005.

Lee, HL. 2000. Creating value through supply chain integration, Supply Chain Management Review, No. 4. Vol. 4: halaman 30-36

Lewis WA. 1951. The Principles of Economics Planning. Washington DC: Public Affairs Press.

Maani K, Sun D. 2010. A Systemic View of Innovation Adoption in the Australian Beef Industry. The University of Queensland. Melbourne.

Page 238: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

215

Manton S. 2006. Integrated Intellectual Asset Management (A Guide to Exploiting and Protecting your Organization's Intellectual Assets). Burlington, VT: Gower Publishing Limited.

Marimin. 2007. Kata Pengantar. In Eriyatno, Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor.

Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor.

Marimin, Maghfiroh. 2010. Aplikasi Tehnik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press. Bogor.

MenkoPerekonomian. 2010. Indonesia Economic Development Corodors. East Java Bali Nusa Tenggara Economic Development Corridor Master Plan. Jakarta

MenkoPerekonomian. 2010. Indonesia Economic Development Corodors. Northern Java Economic Development Corridor Master Plan. Jakarta

MenkoPerekonomian. 2008. Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Jakarta

Millett JD. 1946. Planning and Administration. In F. M. Marx, Element of Public Administration (p. 132). Prentice Hall Inc. New York.

Mitchel R.K, Wood JD, Agle BR. 1997. ”Towards a theory of stakeholders identification and salience: defining the principle of who and what really counts”, Academy of Management Review, No. 4. Vol. 22: halaman. 853-887.

Morgan G. 2006. Images of Organization. Updated edition. Sage Publication, Inc.

Mulatsih S. 2010. Pasar Sapi di Indonesia, Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging 2014. Koordinasi Pelaksanaan Program Swasembada Daging 2014. Bappenas. Jakarta.

Muslim C, Nurasa T. 2003. Kebijakan Pengembangan Ternak Sapi Potong Di Wilayah Sentra Produksi Berbasis Tanaman Pangan Di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang, Departemen Pertanian. Bogor.

Myrdal G. 1957. National Economic Planning in Under Developed Countries. May. London.

Nitisastro W. 1963. Analisa Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan. PidatoPengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indoenesia. Jakarta.

Peraturan Presiden. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Perpres No.5/2010. BAPPENAS. Jakarta.

Peraturan Presiden. 2010. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2015. Perpres No.32/2010. Kemenko Bidang Perekonomian. Jakarta

Page 239: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

216

Permana. 2009. Analisis Peranan dan Dampak Investasi Infrastruktur terhadap Perekonomian Indonesia, Journal of Management and Agribusiness. halaman 48-58

Porter ME. 1990. Competitive Advantages of Nations. The Free Press. New York.

Purnamadewi. 2010. Dampak Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah dan Kondisi Makroekonomi Di Indonesia, Journal of Management and Agribusiness. halaman 146-154.

Ristek. 2006. Indonesia 2005-2025, Buku Putih: Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta

Saaty TL. 2003. The Seven Pillars of the Analytic Hierarchy Process.

Saaty TL, Vargas LG. 2006. Decision Making with the Analytic Network Process. Political. Social and Technological Applications with Benefits, Costs, and Rosks. Springer Science Business Media.

Salim E. 1976. Perencanaan Pembangunan dan Perataan Pendapatan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Saputra H. 2009. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Provinsi Aceh, Journal of Management and Agribusiness. halaman 152-162

Sargent RG. 1998. Verification and Validation Of Simulation Models, Proceedings of the 1998 Winter Simulation Conference

Saxena JP, Vrat P, Shusil. 1990. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretive Structural Modeling, System Practice. Vol 5 (6): halaman 651-670.

Sen A. 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Clarendon Press. Oxford.

Senge PM. 1990. The Fifth Discipline, Doubleday, New York, NY

Simatupang et al. 2002. The knowledge of Coordination for Supply Chain Integration. Business Process Management Journal, halaman 289-308.

Sivapalan V. 2011. Fostering the Creation of the Next Generation of Innovative Technology Enterprises in Malaysia.

Steinfeld. 2003. Economic Constraint on Production and Consumption of Animal Source Foods for Nutrition in Developing Countries. The Journal of Nutrition, Research Library, edition November.

Stevens CG. 2000. The WTO Agreement on Agriculture and Food Security. Commonwealth Secretariat.

Page 240: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

217

Subagyo I. 2009. Potret Komoditas Daging Sapi. Economic Review No. 217 bulan September.

Sumarlin BJ. 1981. Pembangunan Negara-negara berkembang dalam Interdependensi Ekonomi Dunia. Universitas Indonesia. Jakarta.

Thomas A. 2002. The Wealth of Knowledge: Intellectual Capital and the Twenty-First Organization. London: Nicholas Brealey Publishing.

Thornton PK. 2010. Livestock Produstion: Recent Trends, Future Prospects. Retrieved November 2010, from The Royal Society Publishing: http://rstb.royalsocietypublishing.org

Tim Direktorat Kesmavet, Ditjennak. 2010. Strategi Penguatan Produksi Daging Sapi Dalam Negeri. Kementian Pertanian. Jakarta.

Tjokroamidjojo B. 1995. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung. Jakarta.

USAID. 2007. Agribusiness Market and Support Activity (AMARTA), A Value Chain Assessment of the Livestock Sector in Indonesia. USAID

Vietor RH. 2007. How Countries Compete: Strategy, Structure, and Government in the Global Economy. Harvard Business School Press.

Weick KE. 2001. Making Sense of the Organization. Malden, MA: Blackwell Publishing

William BS. 1952. The Planning Agency in the State Government. University of Arkansas Journal Seriees,Research Paper, No. 1043.

Page 241: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

218

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 242: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

219

LAMPIRAN

Page 243: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

220

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 244: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

221

Lampiran 1. Contoh Kuesioner ANP

Page 245: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

222

Page 246: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

223

Lampiran 2. Prosedur kerja pengolahan data menggunakan ANP dengan Piranti Lunak Super Decisions

1. Aktifkan piranti lunak Super Decisions dengan cara sebagai berikut.

Pilih (click) shortcut Super Decisions:

Atau Dari menu Start, All Programs, pilih Super Decesions seperti Gambar 1.

Gambar 1. Pengaktifan program Super Decisions

Kemudian akan ditampilkan menu Utama Super Decisions seperti Gambar 2.

Gambar 2. Menu utama program Super Decisions

Page 247: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

224

2. Membuat file baru Untuk membuat file baru menggunakan menu File, New seperti Gambar 3.

Gambar 3. Pembuatan file baru Super Decisions

Apabila dalam pembuatan file baru dapat menggunakan tamplate yang telah tersedia oleh piranti lunak Super Decisions seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tamplate Super Decisions

Page 248: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

225

Apabila dalam pembuatan file baru perlu mendesain file sesuai dengan kerangka ANP yang telah dirancang, maka dapat digunakan menu design sebagai berikut (Gambar 5).

Gambar 5. Menu Design

Menu design ini fungsi utamanya adalah untuk medesign menu Cluster dan node baru, namun pada menu ini juga dapat juga membuat/menghapus sub-network, node conenctions sampai pembuatan rating. Untuk mendisain cluster baru lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Menu design cluster

Untuk mendisain kluster Supply secara lengkap dibuat pada Gambar 7, sedangkan untuk pembuatan cluster-cluster lainnya seperti Goal, Demand, Input Lingkungan, Langka Solusi, dan Strategi Kelembagaan.

Page 249: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

226

Gambar 7. Kotak menu pembuatan cluster baru

Setelah semua cluster terbentuk, masing-masing cluster harus dibuatkan node. Pembuatan node baru dapat dijelaskan secara rinci pad Gambar 8. Misalkan akan membuat node pada cluster Input Lingkungan, maka pilih cluster tersebut, new, kemudian inputkan nama node sesuai dengan kerangka yang sudah dirancang, misal 1. Nilai tukar, tulis deskripsinya, jika sudah selesai, lanjutkan dengan pembuatan node yang lain dengan perintah click create another sampai selesai. Apabila sudah selesai kemudian simpan “save”.

Gambar 8. Proses pembuatan node masing-masing cluster

Page 250: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

227

Apabila pembuatan node semua cluster sudah selesai, maka lanjutkan pembuatan hubungan antar cluster (network) berdasarkan node dengan tools bar Do connexion, kemudian masing-masing cluster perlu dihubungkan dengan masing-masing node sesuai dengan hubungan, kepentingan dan pengaruh yang diperlukan. Setelah tools bar tersebut dipilih, maka tandai node yang akan dihubungkan sebagai titik awal dengan cara men-click misalnya node 1. Nilai tukar pada cluster Input Lingkungan akan dihubungkan dengan node 7. Harga daging lokal di cluster Supply. Sehingga hubungan antar cluster berdasarkan node dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 9. Menu do connexion

Gambar 10. Hubungan antar cluster ANP dengan Super Decisions 2,0 salah satu nara sumber

Page 251: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

228

Setelah semua cluster terhubung, maka dilakukan input data dengan pairwise comparison, yaitu node comparisons seperti Gambar 11, kemudian pilih node atau cluster yang akan diperbandingkan. Sedangkan proses perbandingan antar node dengan pairwise comparison secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12. Pengisian data untuk pairwise comparison berdasarkan matriks kuesioner yang telah diisi oleh para pakar/nara sumber.

Gambar 11. Menu untuk melakukan proses node comparison

Gambar 12. Proses pairwise comparisons dengan Super Decisions

Setelah semua data pada Matriks diinputkan, maka dapat diperoleh bobot prioritas masing-masing node lengkap dengan inconsistency indexnya sebagaimana diperlihat pada Gambar 13.

Page 252: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

229

Gambar 13. Bobot prioritas hasil perbandingan antar node

Untuk perbandingan antar node pada cluster lainnya atau matrik yang lainnya berdasarkan kuesioner yang ada diproses juga dengan cara yang sama sampai semu data terinputkan dengan lengkap pendapat setiap responden pakar. Setelah semuanya terisi maka dapat diperoleh prioritas node secara keseluruhan dengan masing-masing bobot yang dihasilkan. Hasil secara keseluruhan dapat dilihat berdasarkan prioritas dan sintesis secara keseluruhan, demikian juga untuk responden pakar lainnya. Hasil akhir pengolahan data masing-masing responden pakar kemudian diproses lagi dengan mencari rata-rata geometrik (geometric mean) sehingga diperoleh hasil akhir yang merupakan cerminan dari semua responden pakar. Untuk menguji kualitas hasil ANP seluruh responden pakar maka dianalisis kembali dengan rater agreement analysis. Dengan demikian hasil ANP yang diperoleh teruji kualitasnya.

Page 253: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

230

Gambar 14. Bobot prioritas hasil akhir pengolahan data dengan ANP

Page 254: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

231

Lampiran 3. Contoh Kuesioner SAST

Page 255: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

232

Lampiran 4. Contoh Kuesioner ISM

Page 256: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

233

Page 257: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

234

Lampiran 5. Hasil Pengolahan ISM dengan software ISM 1. ELEMEN STAKEHOLDERS/MASYARAKAT

Jumlah Sub-Elemen Masyarakat : 11

No Sub-Elemen Masyarakat Rangking Sektor (koordinat) 1 Kemen Ekonomi 2 4 (3,9) 2 Kementrian Keuangan 1 4 (2,11) 3 Kementrian PPN/Bapenas 1 4 (2,11) 4 Kementrian Pertanian 3 4 (4,8) 5 Kementrian Perdagangan 4 3 (10,7) 6 Kementrian Kehutanan 4 3 (10,7) 7 Kementrian dalam negri 4 3 (10,7) 8 Kementrian BUMN 4 3 (10,7) 9 Kementrian Riset & Teknologi 4 3 (10,7)

10 Pemerintah Prop/Kota/Kab 4 3 (10,7) 11 Pelaku Usaha 5 2 (11,1)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)

Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 11 V V 1 10 V V 1 9 V V 1 8 V V 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 V V

Page 258: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

235

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 3 A A 1 2 A A 2 11 V V 2 10 V V 2 9 V V 2 8 V V 2 7 V V 2 6 V V 2 5 V V 2 4 V V 2 3 X X 3 11 V V 3 10 V V 3 9 V V 3 8 V V 3 7 V V 3 6 V V 3 5 V V 3 4 V V 4 11 V V 4 10 V V 4 9 V V 4 8 V V 4 7 V V 4 6 V V 4 5 V V 5 11 V V 5 10 X X 5 9 X X 5 8 X X 5 7 X X 5 6 X X 6 11 V V 6 10 X X 6 9 X X 6 8 X X 6 7 X X 7 11 V V 7 10 X X 7 9 X X 7 8 X X 8 11 V V 8 10 X X 8 9 X X 9 11 V V 9 10 V X 10 11 V V

Persentasi konsistensi : 99.17

Page 259: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

236

1. KEBUTUHAN PROGRAM

Jumlah Sub-Elemen Kebutuhan : 9

No Sub-Elemen Kebutuhan Rangking Sektor (koordinat)

1 Kejelasan Kebijakan 1 4 (3,9) 2 Kejelasan Peran dan Tanggung Jawab K/L/D yg terlibat 3 3 (6,5) 3 Tercantumnya substansi Program 3 3 (6,5) 4 Ketersediaan dana 1 4 (3,9) 5 Adanya instrumen Monitoring & evaluasi 4 2 (8,3)

6 Proses perencanaan pembangunan yg bersfat lintass sektoral 2 4 (4,6)

7 Kompetensi SDM 4 2 (8,3) 8 Jaringan kemitraan dgn pelaku usaha 5 2 (9,1) 9 Tata niaga yg kondusif bagi penciptaan nilai tambah 1 4 (3,9)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)

Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 9 X X 1 8 V V 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 X X 1 3 V V 1 2 V V 2 9 A A 2 8 V V 2 7 V V 2 6 A A 2 5 V V 2 4 A A 2 3 X X

Page 260: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

237

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 3 9 A A 3 8 V V 3 7 V V 3 6 A A 3 5 V V 3 4 A A 4 9 X X 4 8 V V 4 7 V V 4 6 V V 4 5 V V 5 9 A A 5 8 V V 5 7 X X 5 6 A A 6 9 A A 6 8 V V 6 7 V V 7 9 A A 7 8 V V 8 9 A A

Persentasi Konsistensi : 100

Page 261: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

238

3. KENDALA PROGRAM

INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN KENDALA PROGRAM

Jumlah Sub-Elemen Kendala : 7

No Sub-Elemen Kendala Rangking Sektor (koordinat)

1 Ketidak Konsisten antara perencanaan yg di tetapkan dengan relealisasi 1 4 (2,7)

2 Tidak terakaomodir dalam Renstra 2 3 (4,5)

3 Pencapaian kemajuann (lintas sektor pembangunan) tdk terkait dgn penilaian kinerja kelembagaan

3 2 (6,3)

4 Tidak efektif koordinasi dan sinergi lintas sektoral 3 2 (6,3)

5 Keterbatasan (pola) Forum perencanaan pembangunan yg tdk memungkinkan terjadinya integrasi

2 3 (4,5)

6 Adanya peraturan perundangan yg “valuer destroyer” 1 4 (2,7)

7 Adanya ego-sektoral hingga K/L/D enggan untuk “terlibat” dalam upaya integrasi program swasembada dagin sapi

4 2 (7,1)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)

Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Page 262: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

239

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 X X 1 5 V V 1 4 V V 1 3 V V 1 2 V V 2 7 V V 2 6 A A 2 5 X X 2 4 V V 2 3 V V 3 7 V V 3 6 A A 3 5 A A 3 4 X X 4 7 V V 4 6 A A 4 5 A A 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V

Persentasi Konsistensi : 100

Page 263: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

240

4. PERUBAHAN INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM)

UNTUK ELEMEN PERUBAHAN

Jumlah Sub-Elemen Perubahan : 7

No Sub-Elemen Perubahan Rangking Sektor (koordinat)

1 Meningkatkan koordinasi (directve) antara: Kementrian PPN/Bapenas, Keu, Kemko Perekonomian

1 4 (1,7)

2 Meningkatkan koordinasi (strategic) 4 2 (6,3)

3 Meningkatkan (revitalisasi) peran kemenko perekonomian dlm koordinasi & sinergi lintas sektor bg pelaksana

3 3 (4,5)

4 Koordinasi antara Kemen perdagangan dan Kemen pertanian dlm kebijakan (pengaturan) impor ternak, daging

4 2(6,3)

5 Penataan peraturan perundangan yg bersifat “Value destroyer” 3 3 (4,5)

6 Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integritasi lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan

2 4 (2,6)

7

Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran ternak sapi, serta kecendrungan (potensi) supply demand untuk daging dan produk turunannya

5 2 (7,1)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)

Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Page 264: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

241

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 V V 1 3 V V 1 2 V V 2 7 V V 2 6 A A 2 5 A A 2 4 X X 2 3 V V 3 7 V V 3 6 A A 3 5 A A 3 4 V V 4 7 V V 4 6 A A 4 5 A A 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V

Persentasi Konsistensi : 100

Page 265: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

242

5. TUJUAN PROGRAM

INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN TUJUAN PROGRAM

Jumlah Sub-Elemen Tujuan : 6

No Sub-Elemen Masyarakat Rangking Sektor (koordinat)

1 Pemenuhan seluruh atau sebagian besar kebutuhan konsumen daging sapi dpt dipasok dr sumber sapi dlm negri

3 2 (5,3)

2 Meningkatkan populasi sapi lokal (galur murni/asli) 2 4 (3,5)

3 Meningkat nya jumlah masyarakat ternak yg sejahtera yg disebabkan meningkat nya nilai tambah

4 2 (6,1)

4 Meningkatkan penciptaan nilai tambah (ekonomi nasional) yg di hasilkan dr sub sektor peternakan dr hulu sampai hilir

2 4 (3,5)

5

Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional & peningkatan kinerja kelembagaan dlm pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi

1 4 (1,6)

6 Tumbuh nya industri pangan berbasis daging sapi, maupun industri pendukung kegiatan usaha peternakan

3 2 (5,3)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)

Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Page 266: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

243

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 6 X X 1 5 A A 1 4 A A 1 3 V V 1 2 A A 2 6 V V 2 5 A A 2 4 X X 2 3 V V 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 6 V V 4 5 A A 5 6 V V

Persentasi Konsistensi : 100

Page 267: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

244

6. TOLOK UKUR

INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN TOLOK UKUR

Jumlah Sub-Elemen Tolak Ukur : 8

No Sub-Elemen Tolok Ukur Rangking Sektor (koordinat)

1 Keseimbangan jumlah populasi bibit, bakalan dan daging sapi siap potong dlm pemenuhan siklus supply-demand tingkat daerah maupun nasional

5 2 (8,1)

2 Peningkatan jumlah dan sebaran induk sapi galur asli Indonesia 3 3 (5,5)

3 Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha peternakan rakyat maupun usaha pendukung peternakan

4 2 (7,3)

4 Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara positif) area hutan, perkebunan & lahan bagi kegiatan peternakan

3 3 (5,5)

5 Terbangunnya kerjasama usaha peternakan 2 4 (3,7)

6 Meningkatnya PAD yg bersumber dr kegiatan usaha peternakan sapi 2 4 (3,7)

7 Terbentuknya koperasi peternak (rakyat) sapi potong pada tingkat desa/kecamatan/daerah 4 2 (7,3)

8 Tataniaga perdagangan daging, sapi dan produk pendukung peternakan yg kondusif 1 4 (1,8)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)

Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Page 268: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

245

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 8 X X 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 V V 1 3 X X 1 2 V V 2 8 V V 2 7 A A 2 6 V V 2 5 V V 2 4 A A 2 3 V V 3 8 A A 3 7 X X 3 6 A A 3 5 V V 3 4 V V 4 8 A A 4 7 V V 4 6 A A 4 5 X X 5 8 V V 5 7 V V 5 6 V V 6 8 V V 6 7 A A 7 8 V V

Persentasi Konsistensi : 100

Page 269: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

246

7. KENDALA AKTIVITAS INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM)

Jumlah Sub-Elemen Aktivitas : 7

No Sub-Elemen Tolok Ukur Rangking Sektor (koordinat)

1 Fasilitas Pemerintah bagi peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara kawin alami mau pun inseminasi buatan dan transfer embrio

4 2 (5,3)

2 Penetapan (kebijakan pemerintah) village breeding center di wilayah sumber bibit 3 3 (4,4)

3

Melaksanakan insentif bagi masyarakat (kelompok) peternak dlm hal akses permodalan, pungutan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna.

6 2 (7,1)

4 Membangun skema kerja sama “win-win” antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yg efektif

2 4 (3,6)

5 Kebijakan pemerintah dalam integrasi tanaman-ternak dalam kawasan hutan, perkebunan atau kawasan lain 2 4 (3,6)

6 Harmonisasi lintas K/L dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak 1 4 (3,6)

7 Fasilitas pembentukan dan penguatan kelembagaan usaha peternakan berbasis masyarakat 2 2 (6,2)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)

Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Page 270: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

247

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 A A 1 5 A A 1 4 A A 1 3 V V 1 2 A A 2 7 V V 2 6 A A 2 5 A A 2 4 A A 2 3 V V 3 7 A A 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 7 V V 4 6 A A 4 5 X X 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V

Persentasi Konsistensi : 100

Page 271: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

248

8. INDIKATOR AKTIVITAS

INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN LEMBAGA YANG TERLIBAT

Jumlah Sub-Elemen Lembaga : 7

No Sub-Elemen Lembaga Rangking Sektor (koordinat)

1 Terlaksananya peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun ‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio

3 3 (5,4)

2 Terbitnya kebijakan pemerintah tentang penetapan village breeding center di wilayah sumber bibit 3 3 (5,4)

3 Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna

5 2 (7,1)

4 Terciptanya kerjasama “win-win”, antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yang efektif

2 4 (3,6)

5

Terbitnya kebijakan pemerintah integrasi tanaman-ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan lain. Sebagai ladang gembala maupun sumber pakan

2 4 (3,6)

6 Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya

1 4 (1,7)

7 Terbentuknya koperasi masyarakat peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha peternakan

4 2 (6,2)

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)

Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

Page 272: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

249

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 A A 1 5 A A 1 4 A A 1 3 V V 1 2 X X 2 7 V V 2 6 A A 2 5 A A 2 4 A A 2 3 V V 3 7 A A 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 7 V V 4 6 A A 4 5 X X 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V

Persentasi Konsistensi : 100

Page 273: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

250

9. LEMBAGA YANG TERLIBAT

Jumlah Sub-Elemen Aktivitas : 16

Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)

Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas

Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.

No Sub-Elemen Penilaian Hasil Aktivitas Rangking Sektor (koordinat)

1 Kementrian koordinasi Perekonomian 1 4 (1,8) 2 Kementrian Keuangan 4 4 (2,7) 3 Kementrian PPN/Bapenas 4 3 (7,6) 4 Kementrian Pertanian 1 3 (7,6) 5 Kementrian perdagangan 1 3 (7,6) 6 Kementrian Kehutanan 2 3 (7,6) 7 Kementrian Perindustrian 3 3 (7,6) 8 Kementrian dalam negri 2 2 (8,1) 9 Kementrian riset dan teknologi 3 3 (7,6)

10 Kementrian BUMN 2 3 (7,6) 11 Pemerintah propinsi 2 3 (7,6) 12 Pemerintah Kabupaten/Kota 2 3 (7,6) 13 Perguruan tinggi 3 3 (7,6) 14 Lembaga penelitian dan pengembangan 5 3 (7,6) 15 Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha 5 3 (7,6) 16 Masyarakat peternak dan koperasi usaha peternakan 5 3 (7,6)

Page 274: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

251

Structural Self Interaction Matriks (SSIM)

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 16 V V 1 15 V V 1 14 V V 1 13 V V 1 12 V V 1 11 V V 1 10 V V 1 9 V V 1 8 V V 1 7 V V 1 6 V V 1 5 X X 1 4 X X 1 3 V V 1 2 V V 2 16 V V 2 15 V V 2 14 V V 2 13 A A 2 12 A A 2 11 A A 2 10 A A 2 9 A A 2 8 A A 2 7 A A 2 6 A A 2 5 A A 2 4 A A 2 3 X X 3 16 V V 3 15 V V 3 14 V V 3 13 A A 3 12 A A 3 11 A A 3 10 A A 3 9 A A 3 8 A A 3 7 A A 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 16 V V 4 15 V V 4 14 V V

Page 275: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

252

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 4 13 V V 4 12 V V 4 11 V V 4 10 V V 4 9 V V 4 8 V V 4 7 V V 4 6 V V 4 5 X X 5 16 V V 5 15 V V 5 14 V V 5 13 V V 5 12 V V 5 11 V V 5 10 V V 5 9 V V 5 8 V V 5 7 V V 5 6 V V 6 16 V V 6 15 V V 6 14 V V 6 13 V V 6 12 X X 6 11 X X 6 10 X X 6 9 V V 6 8 X X 6 7 V V 7 16 V V 7 15 V V 7 14 V V 7 13 X X 7 12 A A 7 11 A A 7 10 A A 7 9 X X 7 8 A A 8 16 V V 8 15 V V 8 14 V V 8 13 V V 8 12 X X 8 11 X X 8 10 X X

Page 276: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

253

Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 8 9 V V 9 16 V V 9 15 V V 9 14 V V 9 13 X X 9 12 A A 9 11 A A 9 10 A A

10 16 V V 10 15 V V 10 14 V V 10 13 V V 10 12 X X 10 11 X X 11 16 V V 11 15 V V 11 14 V V 11 13 V V 11 12 X X 12 16 V V 12 15 V V 12 14 V V 12 13 V V 13 16 V V 13 15 V V 13 14 V V 14 16 X X 14 15 X X 15 16 X X

Persentasi Konsistensi : 100

Page 277: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

254

Lampiran 6. Hasil-Hasil ISM, SSIM Final yang telah memenuhi aturan transivitas 1. Sektor yang terpengaruh

2. Kebutuhan Program

Page 278: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

255

3. Kendala Program

4. Elemen Perubahan

Page 279: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

256

5. Tujuan Program

6. Tolok Ukur

7. Kendala Aktivitas

Page 280: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

257

8. Ukuran penilaian hasil pelaksanaan aktivitas

9. Lembaga yang terlibat

Page 281: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

258

Lampiran 7. Gambaran Umum Responden Stakeholder Poll : Persepsi dan Kebutuhan Masyarakat terhadap Proses Penyusunan Kebijakan dan Perencanaan di Indonesia

1. Jumlah Responden Yang Mengisi Kuesioner

Penelitian ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang diisi oleh 91 responden dari jumlah sebanyak 400 kuesioner yang disebarkan melalui email, fax dan pengiriman lewat pos. Dari 91 kuesioner yang diterima cukup menunjukan keterwakilan dari responden yang diharapkan.

2. Asal Lembaga/Institusi

Berdasarkan asal lembaga atau institusi, sebagian besar responden berasal dari lembaga pemerintahan dan masyarakat madani dimana masing-masing berjumlah 41.8 persen. Responden yang berasal dari lembaga Pemerintah Daerah sebanyak 23 responden atau 25.3 persen, sedangkan Pemerintah Pusat sebanyak 15 orang atau 16.5 persen. Kemudian dari masyarakat madani terdiri dari LSM sekitar 19.8 persen dan perguruan tinggi 14.3 persen. Sedangkan yang dimaksud dengan responden lain-lain adalah mereka yang berasal dari media massa (pers) dan konsultan individu. Adapun perincian jumlah responden menurut asal lembaga/institusi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Asal Lembaga/Instansi

No Asal Lembaga/Intansi Jumlah

Responden Persen

1 Masyarakat Madani 38 41.8 LSM 18 19.8 Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian 13 14.3 Dunia Usaha 2 2.2 Lain-Lain 5 5.5

2 Wakil Rakyat Terpilih 5 5.5 DPRD 5 5.5

3 Masyarakat Profesional Sektor Publik 3 3.3 Asosiasi Pemerintahan 3 3.3

4 Masyarakat Internasional 7 7.7 Lembaga Internasional 7 7.7

5 Pegawai Pemerintah 38 41.8 Pemerintah Pusat 15 16.5 Pemerintah Daerah 23 25.3 Total 91 100

Page 282: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

259

Gambar 1 – Jumlah Responden Berdasarkan Asal Lembaga/Institusi

3

2

5

5

7

18

15

13

23

0 5 10 15 20 25

Asosiasi Pemerintahan

Dunia Usaha

DPRD

Lain-Lain

Lembaga Internasional

LSM

Pemerintah Pusat

Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian

Pemerintah Daerah

3. Pendidikan Terakhir

Sebagian besar responden (atau 59.3 persen) berpendidikan pasca-sarjana dengan rincian pendidikan S2 sebanyak 47 responden atau 51.6 persen dan berpendidikan doktoral (S3) sebanyak 7 responden atau 7.7 persen. Sedangkan responden berpendidikan sarjana (S1) sebanyak 36 responden atau 39.6 persen. Secara lengkap pendidikan terakhir responden sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 2 - Persentase Pendidikan Terakhir Responden

1.1

39.6

51.6

7.7

0

10

20

30

40

50

60

SarjanaMuda/Diploma

S-1 S-2 S-3

Page 283: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

260

4. Kota Domisili Berdasarkan kota domisili, sebagian besar responden yaitu sebanyak 51 orang atau 85.3 persen berasal dari pulau Jawa, dengan rincian responden yang berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebanyak 56 persen dan sisanya dari kota-kota lain seperti: Semarang, Jogyakarta, dll. Responden yang berasal dari luar Pulau Jawa sebanyak 11 responden atau 14 persen yaitu berasal dari kota-kota seperti kota Bandarlampung, Denpasar, dan Kendari.

Gambar 3 – Kota Domisili Responden

Luar Pulau Jawa14%

Jabodetabek61%

Luar Jabodetabek - Pulau Jawa

25%

5. Posisi/Jabatan Responden Sebanyak 32 persen responden yang berasal dari pegawai pemerintahan adalah mereka yang tidak memiliki jabatan (non eselon). Sedangkan untuk responden yang memiliki posisi eselon II, III dan IV memiliki persentase yang sama sebanyak 21 persen. Bahkan terdapat 5 persen responden berasal dari eselon I yakni Staf Ahli Menteri dan Deputi di departemen teknis.

Gambar 4 – Posisi/Jabatan Responden Pemerintah

5

21

21

21

32

0 10 20 30 40

Eselon I

Eselon II

Eselon III

Eselon IV

Non Eselon

Page 284: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

261

Untuk posisi/jabatan responden non pemerintah sebanyak 43.3 persen adalah mereka yang berada pada posisi Staf. Selanjutnya 30.2 persen pada middle level seperti project manager, kepala divisi, dan hanya 22.6 persen adalah top level seperti direktur dan kepala lembaga.

Gambar 5 – Posisi/Jabatan Responden Non Pemerintah

22.6

30.2

43.4

0 10 20 30 40 50

Top Level

Middle Level

Staf Level

Page 285: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

262

Lampiran 8. Data Responden Pakar untuk Penetapan Prioritas Menggunakan ANP No Nama Bidang/Keahlian Pendidikan Institusi/Lembaga Tanggal

Pengisian Telepon/HP

Email (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Taufik K. Kusumo Kabid Peternakan Menko Perekonomian 19/8/2011

2 Wahyuningsih Darajati Direktur Pertanian, Peternakan dan LH S2 Bappenas

3 Hariyadi Halid Staf Ahli Ketahanan Pangan S3 Perum Bulog 15/8/2011 081347482826

[email protected]

4 Ir. Tjahya Widayanti, Msc

Kapusdit Kebijakan Dagang DN S2 Kementerian Perdagangan 15/8/2011 08159545055

[email protected]

5 Mohammad Ismet Ekonomi Pertanian S3 Perum Bulog 11/8/2011 0811103714 [email protected]

6 Teguh Sambodo Pertanian/Ekonomi (Kasubdit) S3 Bappenas 8/8/2011

[email protected]

7 Oktorika Ekonomi Daerah S2 Bappenas 8/8/2011 0818992979 [email protected]

8 Nono Rusono Ekonomi Pertanian S2 Bappenas 12/8/2011 08128020321 [email protected]

9 Herry Suhermanto Perencanaan/Ekonomi S3 Bappenas 4/8/2011 081514086062 [email protected]

10 Erwansyah Retail S2 Dit. Bapokstra, Kemendag 17/8/2011 02192275419

[email protected]

11 Dr. Ir. Anwar Sunari, MP Ekonomi sumber daya S3 Bappenas 16/8/2011 08128050662

[email protected]

12 Tirta Karma Senjaya Distribusi S2 Dit. Bapokstra, Kemendag 15/8/2011 0817207045

[email protected]

13 Abubakar Peternakan S2 Ditperbibitan itjen PKH --/8/2011 0815 3202 0000 [email protected]

14 Mursyid Ma'sum Penyuluhan S3 Ditjen Peternakan dan --/8/2011 0815 1998 4288

Page 286: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

263

No Nama Bidang/Keahlian Pendidikan Institusi/Lembaga Tanggal Pengisian

Telepon/HP Email

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pembangunan/pakan Keswan [email protected]

15 Firti Nursanti Poerrnomo Government Relations S2 JAPFA Comfeed Indonesia --/8/2011 0811 950 604

[email protected]

16 Dodi S Riyadi Pengembangan wilayah S2 Kemenko Perekonomian --/8/2011 0816 1812 999 [email protected]

17 Dayan Antoni P. Adiningrat

Produksi dan pemasaran sapi potong S1 PT Santosa Agrindo --/8/2011 0816 800 437

[email protected]

18 Hermanto Nutrisi/ Dosen-Praktisi S2 FAFET UB --/8/2011 0812 3307 775 [email protected]

19 Listyani Wijayanti Flowering Physiologist S3 Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi --/8/2011 081381171704

[email protected]

20 Dr.Rosyid Hariyadi Manajemen SDA S3 BPPT 24/10/2011 087882809599/ [email protected]

21 DR.Drh.Herdis MSi Fisiologi dan Reproduksi Ternak S3 BPPT 23/11/2011 08568561391

/[email protected]

22 Prof. Dr. Ir. Yudhi Soetrisno Garno Pengelolaan Sumberdaya S3 BPPT 18/10/2011 08161358404 /

[email protected]

23 Zaini Rahman, MS Anggota Komisi XI, bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional.

S2 Anggota DPR RI --/8/2011

24 Prof.Dr.Kusuma Diwyanto Peneliti Utama Peternakan S3 Puslitbang Peternakan --/8/2011

25 Dr. Ir. Mesdin Simamarta Direktur Industri S3 Kementerian

PPN/Bappenas 16/8/2011

Page 287: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

264

Lampiran 9. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Swasembada Daging 2014”, diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas

Page 288: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

265

Page 289: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

266

Page 290: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

267

Page 291: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

268

Lampiran 10. Data Responden Pakar dalam SAST Swasembada Daging Sapi

No Nama Bidang Keahlian/ Profesi Pend. Institusi/Lembaga Tanggal

Pengisian Telepon/HP Email (1) (2) (3) (4) (5) (5) (7) (8)

1 Dr. Endang Purbowati Produksi Ternak Potong S3 Fakultas Peternakan UNDIP

Semarang 6/10/2011 08122908694 [email protected]

2 Rohayati Sarjana Peternakan S2 Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

6/10/2011 081330367770 [email protected]

3 Dr. Andi Widodo Wijanarko, MS Reproduksi S3 Ketua UMRSDSK Ditjen Nak

dan Keswan 6/10/2011 081314231099 [email protected]

4 Asri Wahjuni Dokter Hewan S1 Pusat Veterinaria Farma 6/10/2011 031-8291125 081330293279 [email protected]

5 Nurul Qomariyah Dokter Hewan S1 Pusat Veterinaria Farma Ditjen Nak dan Keswan

6/10/2011 031-8287476 08179326696

6 Ir. Riszqina, MP Peternakan/Dosen S2 Universitas Madura - Pamekasan

6/10/2011 081330765144 [email protected]

7 Dr. Listyani Wijayanti Agrinbisis dan Bioteknologi S3 Deputi TAB BPPT 6/10/2011 081381171704 [email protected]

8 Dr. Masrizal S3 Kemenristek Staf Ahli 6/10/2011 021-3169223 08129322385 [email protected]

9 Dr. Ir. H. Syamsul Hidayat Dilaga, MS Nutrisi ruminansia S3 Fapet UNRAM/Dinas

Peternakan & KH Prov. NTB 6/10/2011 0818545428 [email protected]

10 Sri Hadiati Pertanian S2 Kementerian Perindustrian 6/10/2011 081318722763

11 Fauzi Luthan PNS Direktorat Jendral PKH 6/10/2011 08568665949 [email protected]

12 Prof. Dr. Ir. Muladno Pemuliaan dan Genetika Ternak S3 Fakultas Peternakan IPB 6/10/2011 0251-8628251/

08121089118 [email protected]

13 Dr. Heri Suhermanto Planologi Lingkungan S3 Direktur UMKM Bappenas 9/10/2011

Page 292: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

269

Lampiran 11. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan Pengembangan Peternakan Berbasis Ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada Daging 2014” oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Page 293: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

270

Page 294: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

271

Page 295: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

272

Lampiran 12. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging Sapi” oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

Page 296: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

273

Page 297: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

274

Lampiran 13. Data Responden Pakar dalam ISM

No Nama Bidang/Keahlian Pendidikan Institusi/ Lembaga

Tanggal Pengisian

Telepon/HP Email

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Dr.Rosyid Hariyadi Manajemen SDA S3 BPPT 24/10/2011 087882809599/ [email protected]

2 Dr. Luki Abdullah Tanaman Pakan S3 Fapet IPB 1/11/2011 08121107022/ [email protected]

3 Bayu Ruikana Peternakan S2 Dit. Perbibitan, Ditjen Peternakan 24/10/11 081316420380,

[email protected]

4 DR.Drh.Herdis MSi Fisiologi dan Reproduksi Ternak S3 BPPT 23/11/2011 08568561391

/[email protected]

5 Kusno Wibowo Management Lingkungan Perekayasa Madya S1 BPPT 18/10/2011 08161926639/

[email protected]

6 Ir. Subiyanto MM Perbibitan S2 Dir. Pembibitan ternak Dirjenak & Keswan 27/10/2011 081219243232

7 Prof. Dr. Ir. Yudhi Soetrisno Garno Pengelolaan Sumberdaya S3 18/10/2011 08161358404 /

[email protected] 8 Dr. Ir. Heri Suhermanto Planologi Lingkungan S3 Dir. UMKM/ Bappenas 20/10/2011 081514086062

9 Dr. Ir. Sunari Peternakan S3 Kasubdit Peternakan/ Bappenas 20/10/2011

10 Dr. Listyani Wijayanti Agrinbisis dan Bioteknologi S3 Deputi TAB BPPT 6/10/2011 081381171704 [email protected]

11 Dr. Ir. Mesdin Simamarta, MSc Perencanaan Pembangunan S3 Direktur Industri, IPTEK

dan BUMN Bappenas 4/10/2011 081310691224

12 Ir. Slamet Sudarsono, MPP Administrasi Umum dan Kinerja Kelembagaan S2 Inspektur Utama

Bappenas 4/10/2011 081319171100

Page 298: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

275

Lampiran 14. Data Responden Indepth Interview Swasembada Daging Sapi

No Responden Keahlian (1) (2) (3)

1. Prof. Dr. Kusuma Diwyanto

Peneliti Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

2. Prof.Dr.Ir. Kusmartono Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

3. Drs. Chandra Manan Mangan

Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS)

4. Ir. Abubakar Direktur Perbibitan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan

5. Dr.Ir. Mursyid Ma’sum Direktur Pangan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan

6. Dr. Ir. Sunari, MP Kasubdit Peternakan, Direktorat Pertanian Kementerian PPN/Bappenas

7. Zaini Rahman, MS

- Anggota Komisi XI : bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank

- Sebelumnya adalah anggota Komisi IV : membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.

8. Taufik K. Kusumo Kepala Bidang Produksi dan Distribusi Peternakan

9. Tirta Karmasanjaya Kepala Seksi Distribusi Bahan Pokok Strategis

10. Drs. Goenawan Wybiesana

Asdep Produktivitas Riset IPTEK Strategis, Deputi Bidang Relevansi dan Produktivias IPTEK

Page 299: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

276

Lampiran 15. Tatakelola Penelitian dan Langkah Penyelarasan Penggunaan 3 Metode dalam Penelitian 1. Pendekatan yang digunakan dalam tatakelola penelitian ini menggunakan

system thinking dengan pendekatan soft system methodology;

2. Tahapan penelitian mengikuti 7 siklus dalam proses riset dengan pendekatan soft system methodology (Checkland, 1981 dan Jackson, 2003);

3. Pelaksanaan penelitian menggunakan 3 metode yang secara integratif difokuskan untuk melakukan analisis situasi lingkungan strategis bagi pencapaian Program Swasembada Daging Sapi (PSDS).

4. Perancangan substansi kuesioner untuk setiap metode melalui proses diskusi

(awal) dengan pakar secara terbatas, melakukan studi literatur dan menggunakan beberapa model sebagai kerangka berpikir, sebagai berikut :

a. Perancangan kuesioner ANP, menggunakan kerangka berpikir diagram input-output, dan structure, conduct, performance (SCP);

b. Perancangan kuesioner SAST, menggunakan kerangka berpikir model Porter’s Diamond;

c. Perancangan kuesioner ISM, menggunakan 9 elemen Saxena, dan CATWOE untuk pemetaan stakeholder;

5. Hasil analisis lingkungan dari 3 metode tersebut menjadi bahan sintesis dengan menggunakan kerangka berpikir hirarkhi dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: direktif, strategik, taktikal, dan operasional. Dalam hal ini kebijakan swasembada daging sapi mengacu pada RPJMN 2010-2014 dan Blue Print PSDS diposisikan pada level direktif, sehingga analisis dan sintesis lebih difokuskan untuk level strategik, taktikal, dan operasional;

Page 300: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

277

4. Tatakelola penelitian dan angkah penyelarasan penggunaan metode penelitian

Tahapan Penggunaan Metode ANP Penggunaan Metode SAST Penggunaan Metode ISM (1) (2) (3) (4)

Pendekatan yang digunakan dalam tatakelola penelitian

a. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan system thinking dengan pendekatan soft system methodology; b. Tahapan penelitian mengikuti 7 siklus dalam proses riset dengan pendekatan soft system methodology (Checkland, 1981 dan

Jackson, 2003);

Langkah integrasi penggunaan 3 metode

Langkah integrasi proses dalam penggunaan metode analisis dan sitesis dilakukan dengan langkah sebagai berikut: a. Faktor dominan hasil pengolahan metode ANP menjadi dasar perancangan kuesioner SAST, dengan memetakan

hubungan faktor dominan dengan 5 faktor dalam model Porter’s Diamond; b. Faktor dominan hasil pengolahan metode ANP dan asumsi strategis hasil SAST, menjadi dasar dalam pemetaan

hubungan antar sub elemen bagi 9 elemen dalam ISM (Saxena, 1990) dan CATWOE untuk pemetaan stakeholder; c. Proses sintesis dilakukan dengan kerangka hirarkhi manajemen pengambilan keputusan (direktif, strategik, taktikal, dan

operasional), merumuskan inisiatif strategis dan implikasi kelembagaan pada masing-masing level hirarkhi; d. Pengembangan model dilakukan berdasarkan rekomendasi inisiatif strategis dan implikasi kelembagaan pada masing-

masing level hirarkhi; Proses interaksi dengan pakar dalam perancangan kuesioner dan klarifikasi hasil pengolahan

a. Penyusunan faktor-faktor yang berperan dalam PSDS;

b. Focus Group Discussion di Bappenas (Selasa, 13 Desember 2010);

c. Klarifikasi faktor dominan hasil ANP;

a. Focus Group Discussion diselenggarakan Kementerian Koord. Bidang Perekonomian (Kamis, 6 Oktober 2011);

b. Klarifikasi asumsi strategis hasil SAST;

a. Focus Group Discussion diselenggarakan Kementerian Ristek (Rabu, 19 Oktober 2011);

b. Klarifikasi hubungan kontekstual antar sub elemen hasil ISM;

Pengalaman yang dapat menjadi pembelajaran

a. Ada responden yang mengembalikan kuesioner, karena tidak sesuai dengan kepakarannya;

b. Proses pengisian kuesioner lebih efektif bila dilakukan dengan pendampingan;

a. Kebanyakan kepakaran yang dimiliki adalah teknis peternakan;

b. Dibutuhkan responden dengan kepakaran pada level direktif strategik, berwawasan holistik dalam multi disiplin;

a. Adanya “egosektoral” menyebabkan peta stakeholder terkumpul pada driver power;

b. Memerlukan klarifikasi indepth interview dan proses pengisian ulang;

Page 301: Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan  Peternakan (Studi Kasus Swasembada Daging Sapi)

278

Tahapan Penggunaan Metode ANP Penggunaan Metode SAST Penggunaan Metode ISM (1) (2) (3) (4)

Proses validasi ( face validation)

Dilakukan (dalam 2 kali forum) dengan mempresentasikan hasil dan mendikusikan dengan pakar ekonomi, pakar perencanaan pembangunan nasional, dan pakar peternakan

Proses analisis dan hasil yang diharapkan

a. Analisis terhadap hubungan antar faktor baik dalam klaster yang sama maupun antar klaster;

b. Mencari dan menemukenali urutan dari 33 faktor yang ada, dan menetapkan faktor dominan (urutan teratas) yang memerlukan perhatian khusus;

c. Hasil: faktor dominan yang paling berpengaruh.

a. Analisis asumsi strategis berdasarkan tingkat kepastian dan tingkat kepentingan;

b. Mencari dan menemukenali asumsi strategis dengan tingkat kepastian dan tingkat kepentingan yang paling tinggi (kuadran kartesian kanan atas), sebagai kuadran rencana yang pasti.

c. Hasil: faktor dominan yang menjadi asumsi strategis.

a. Analisis hubungan kontekstual antar sub elemen dari 9 elemen utama (Saxena) untuk mendapatkan posisi sub elemen dalam nilai driver power (DP) dan nilai dependence (D);

b. Merumuskan hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen pada level hirarkhi berdasarkan jenis hubungan, peran dan fungsi setiap sub elemen;

c. Hasil: faktor dominan yang menjadi performance driver (DP).

Sintesis dan perancangan model kelembagaan

a. Menyusun dan mempersandingkan hasil analisis dari masing-masing metode (ANP, SAST, dan ISM) dalam matriks; b. Memposisikan masing-masing faktor dominan dalam kerangka berpikir hirarkhi dalam proses pengambilan keputusan

(tingkat: direktif, strategik, taktikal, dan operasional); c. Mengidentifikasi dan merumuskan implikasi manajerial untuk masing-masing tingkatan, berupa inisiatif strategis dan

kerangka kerja; d. Melakukan rancang bangun model kelembagaan sebagai kerangka kerja masing-masing tingkatan.

Hasil penelitian

Penelitian ini telah menghasilkan model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan peternakan pada tingkat direktif-strategik serta dilengkapi beberapa model dasar pada tingkat taktikal dan operasional, antara lain: (1) integrasi optimum dari 3 fokus pembangunan nasional, (2) pengorganisasian intra-organisasian pada Kementerian PPN/Bappenas, (3) Hubungan inter-organisasi dalam swasembada daging sapi, (4) Intelektualitas organisasi kementerian/lembaga dalam program swasembada daging sapi, serta (5) pola pikir kemitraan strategis dalam swasembada daging sapi.