prostitution in east timor ind

Upload: enyd-gambit-guevara

Post on 13-Jul-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNIVERSIDADE DE SO FRANCISCOPROGRAMA DE FEITURA DE LEISMDULO DA SOCIEDADE CIVILJesuit Education since 1855

LAPORAN LOKAKARYA PENELITIAN OLEH MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENGEMBANGAN KEBIJAKAN ANALISA DALAM RANGKA MASALAH:

PROSTITUSI

Oleh : Kelompok Kerja F Sosial, Perburuhan dan Solidariadade Anggota Kelompok: 1. Francisco Marcal (Yayasan ETADEP) 2. Napoliao Soares da Silva (Lembaga Bantuan hukum Ukun Rasik An)

Diselenggarakan oleh University of San Francisco School of LawDili, 16 24 Juni 2004

A Universidade de So Francisco um parceiro do Programa de Acesso a Justia em Timor-Leste da Fundao da sia Rua Jacinto Cndido, Audian, Dili, Timor-Leste. Tel.: 670 390 331 7138 Facsmile: 670 390 324 245

I. LATAR BELAKANG Prostitusi bukanlah masalah baru akan tetapi merupakan msalah lama yang baru diangkat. Di lihat dari perkembangan peradaban manusia, hampir semua Negara memiliki permasalahan di bidang prostitusi. Belum ada sebuah Negara yang meniadakan praktek prostitusi selain hanya menertibkannya. Tidak jarang praktek prostitusi ini ditentang oleh kaum agamawan termasuk masyarakat sendiri. Harus dilihat bahwa praktek prostitusi yang ada di Timor Leste merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipungkiri lagi. Karena merupakan realitas social sehingga terkesan adanya sikap permisif dari masyarakat padahal praktek prostitusi tersebut bertentangan dengan moral, susila dan agama yang setiap saat dapat merusak keutuhan keluarga. Ketika para PSK ditangkap oleh aparat kepolisian di Dili, nampaknya oleh para agamawan ada yang telah bersikap moderat dalam melihat realitas social tersebut dengan tidak melihat perbuatan praktek prostitusinya tetapi lebih memikirkan tentang factor yang menyebabkan orang terjun kedalam dunia prostitusi. Menurut pernyataan rohaniawan tersebut bahwa factor yang perlu diperhatikan adalah pribadi individu itu sendiri yang perlu diperbaiki dan pendidikan dari orang tua karena di Timor Leste sendiri telah terjadi akulturasi budaya dari berbagai Negara yang masuk pada masa UNTAET. Di tengah-tengan terjadinya reaksi terhadap praktek prostitusi ternyata tidak membuat kegiatan prostitusi berkurang tetapi justeru cenderung bertambah kuantitasnya. Hal ini terjadi karena disamping factor akulturasi budaya ada juga factor lain seperti ekonomi maupun karena kondisi tertentu seperti stres karena dihianati pacar, pengaruh lingkungan maupun perceraian orang tua.

2

Sekalipun praktek prostitusi ini merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental yang dapat menghancurkan pula keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif RDTL sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya melarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Hal ini diatur dalam pasal 296 KUHP yang bunyinya adalah sebagai berikut : Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Di lihat dari ketentuan tersebut di atas, maka perlu adanya sebuah peraturan yang mengatur secara menyeluruh baik terhadap mucikari maupun pelaku praktek prostitusi itu sendiri karena ada sebagian prostitusi yang tidak melalui mucikari tetapi melakukan praktek prostitusi. Pemerintah harus berperan secara maksimal sehingga diharapkan praktek prostitusi dapat berkurang melalui kegiatan pembinaan atas kerja sama interdepartemental. Masyarakat pun harus mengambil peran yang maksimal untuk mendukung peran pemerintah khususnya dalam upaya mengurangi praktek prostitusi. Aparat penegak hukum juga harus bertindak secara tegas dalam menjalankan aturan tentang larangan praktek prostitusi.

II.METODOLOGI Ringkasan singkat metodologi pemecahan masalah tentang prostitusi menggunakan metode ROCCIPI dari Seidman et.al. Roccipi atau PKKPKKI. singkatan dari Rule (peraturan), Oppurtunity (kesempatan), Capacity (kemampuan), Communication (komunikasi), Interest (kepentingan), Process (proses), dan Ideologi (ideology). Langkah pertama dari metode ini dimulai dari deskripsi permasalahan khususnya tentang perilaku bermasalah siapa yang melakukan perilaku bermasalah dan apa akibat dari perilaku bermasalah tersebut. 3

Langkah kedua adalah membuat kategori dan hipotesis pemecahan masalah. Kategori dan hipotesis itu mengacu pada ketujuh kategori Roccipi yaitu peraturan, kesempatan, kemampuan, komunikasi, kepentingan, proses dan ideology. Dengan kata lain masalah penertiban prostitusi akan dibahas dengan menggunakan tujuh kategori tersebut. III. IDENTIFIKASI MASALAH SOSIAL Dari hasil diskusi masalah social yang diidentifikasi adalah: Banyaknya praktek prostitusi yang dapat merusak moral dan mental masyarakat Timor Leste. Banyaknya prostitusi yang dapat merusak dan menghancurkan keutuhan keluarga Banyaknya prostitusi yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat Timor Lorosae karena virus HIV. Banyaknya prostitusi yang masih tergolong dibawah umur

IV.IDENTIFIKASI PEMEGANG PERANAN DAN LEMBAGA PELAKSANA Pada bagian ini akan dijelaskan perilaku siapa dan bagaimana yang

menimbulkan masalah prostitusi di Timor Leste. Tujuan dari suatu peraturan yang dibuat adalah untuk merespon persoalan-persoalan yang muncul di dalam masyarakat dan perubahan social. Perubahan social itu dapat terjadi apabila terjadi perubahan perilaku para pelaku peran yaitu para pemegang peran (Rule-Occupant-RO) dan lembaga pelaksana (Implementing Agency-IA). Pemegang peran dimaksud adalah pihak utama yang dituju suatu undangundang/peraturan dengan maksud merubah perilakunya, sedangkan lembaga yang bertanggung-jawab untuk melaksanakan undang-undang/peraturan. Yang menjadi pemegang peran dan lembaga pelaksana masing-masing sebagai berikut : 4

1. Pemegang peran: a. Mucikari Penentuan mucikari sebagai salah satu pemegang peranan karena pihak ini yang menyediakan PSKdan tempat untuk melakukan praktek prostitusi. Apabila tidak ada mucikari yang menyediakan PSK dan tempat maka tidak akan ada praktek prostitusi. Dengan menggunakan kategori PKKPKKI, maka dan akan ditemukan penyebab mucikari dapat berperilaku demikian mencari solusi yang mungkin

menyelesaikan masalah prostitusi. b. PSK (Pekerja Seks Komersial) Penentuan PSK sebagai pemegang peranan oleh karena pihak ini yang secara langsung melakukan praktek prostitusi. Dengan menggunakan kategori PKKPKKI, akan dianalisa mengapa prostitusi berperilaku demikian dan selanjutnya mencari solusi yang mungkin dapat menyelesaikan masalah prostitusi. c. Masyarakat Penentuan masyarakat sebagai pemegang peranan oleh karena pihak ini yang memberikan sikap permisif bagi adanya praktek prostitusi. Apabila tidak ada sikap permisif dari masyarakat, maka tentunya tidak akan ada ruang dan tempat untuk dilakukannya praktek prostitusi. Dengan demikian menggunakan dapat menyelesaikan masalah prostitusi. 2. Lembaga Pelaksana: a. Pemerintah (Perdana Menteri) Penentuan Pemerintah (Perdana Menteri) sebagai lembaga pelaksana oleh karena lembaga ini yang bertanggungjawab dalam mengatur, 5 kategori PKKPKKI, maka akan dianalisa kenapa masyarakat berperilaku demikian dan mencari solusi yang mungkin

mengawasi dan menindak aktivitas prostitusi. Terlepas dari ada atau tidaknya aturan tentang prostitusi, Pemerintah wajib melakukan tindakan apakah mengatur, melarang, maupun membina para pelaku prostitusi sehingga dapat mngurangi maka kwantitasnya. diharapkan Dengan ditemukan menggunakan kategori PKKPKKI,

penyebabnya, kenapa pemerintah berperilaku demikian dan mencari solusi yang mungkin dapat menyelesaikan masalah prostitusi ini. a. Polisi Penentuan Polisi sebagai lembaga pelaksana oleh karena lembaga ini yang bertanggungjawab di bidang penegakan hukum sehingga seharusnya prostitusi di bertindak tegas dan tidak diskriminatif terhadap pelaku Timor Lorosae akan dapat diminimalisir. Dengan

praktek prostitusi. Apabila lembaga ini bertindak tegas tentu praktek menggunakan kategori PKKPKKI, maka akan ditemukan kenapa lembaga ini berperilaku demikian dan mencari solusi yang mungkin dapat menyelesaikan masalah prostitusi. b. Pengadilan Penentuan pengadilan sebagai lembaga pelaksana oleh karena lembaga inilah yang berwenang memberikan keputusan hukuman terhadap pelaku praktek prostitusi. Apabila lembaga ini menjatuhkan hukuman yang maksimal tentu akan jarang dan menjadi berkurang pelaku praktek prostitusi di Timor Lorosae. Dengan menggunakan metode PKKPKKI, maka dan akan ditemukan kenapa pengadilan dapat berperilaku demikian mencari solusi yang mungkin

menyelesaikan persoalan prostitusi. V. IDENTIFIKASI PRILAKU BERMASALAH DARI RO DAN IA: a. Prilaku bermasalah dari Pemegang Peranan-1: Menyediakan tempat dan mengorganisir PSK untuk praktek prostitusi dengan tujuan bisnis.

6

b. Prilaku bermasalah dari Pemegang Peranan -2: Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, agama dan moral sehingga dapat merusak moral, mental dan keutuhan keluarga. c. Prilaku bermasalah dari Pemegang Peranan -3: Masyarakat bersikap permisif terhadap praktek prostitusi yang bertentangan dengan moral, mental dan hukum tersebut. d. Prilaku bermasalah dari Lembaga Pelaksana -1: Belum melakukan tindakan yang optimal dalam mengatur, mengawasi dan menindak pelaku praktek prostitusi. e. Prilaku bermasalah dari Lembaga Pelaksana -2: Kurang maksimal dalam melakukan penegakkan hukum terhadap praktek prostitusi. f. Prilaku bermasalah dari Lembaga Pelaksana -3 : Sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap pelaku praktek prostitusi belum maksimal. VI. ANALISA PERILAKU PEMEGANG PERANAN DAN LEMBAGA PELAKSANA A.Pemegang Peranan 1 : Pemegang Peran: Mucikari Prilaku Bermasalah: Menyediakan tempat dan mengorganisir PSK untuk praktek prostitusi dengan tujuan bisnis. KATEGOR HIPOTESA PENYEBAB SOLUSI I Peratura Sebenarnya sudah ada aturan yang 1. Perlu diadakan n diatur dalam pasal 296 KUHP yang sosialisasi hukum secara melarang adanya mucikari tetapi intensif dan berkelanjutan dalam kenyataannya praktek sehingga praktek prostitusi yang diorganisir oleh prostitusi yang diorganisir mucikari tetap ada. Hal ini dapat oleh mucikari dapat disadari karena KUHP dibuat pada diminimalisir atau bahkan jaman Belanda masih di Indonesia, dihentikan. sehingga kurang partisipatif terhadap 2. Para aparat penegak situasi dan kondisi masyarakat pada hukum wajib melakukan jaman globalisasi. tindakan penegakan secara tegas dan 7

Pemegang Peran: Mucikari Prilaku Bermasalah: Menyediakan tempat dan mengorganisir PSK untuk praktek prostitusi dengan tujuan bisnis. KATEGOR HIPOTESA PENYEBAB SOLUSI I konsekuen dengan menerapkan sanksi yang dapat menimbulkan rasa jera terhadap mucikari. 3. Perlu pemikiran untuk memodernisir aturan yang mengatur mucikari tersebut Kesempa Ketidaktegasan petugas merupakan 1.Perbaiki sistim tan peluang yang besar bagi mucikari pengawas-an terhadap untuk tetap melakukan pekerjaannya mucikari yang sebagai mucikari menyediakan tempat maupun mempermudah praktek prostitusi 2. Tingkatkan skill petugas dalam melakukan pengawasan Kemamp Mucikari sangat memahami bahwa Perlunya pengawasan dan uan praktek prostitusi dapat menghasilkan tindakan tegas oleh aparat pendapatan yang besar sehingga pemerintah sehingga tetap memperluas jaringan praktek dapat mengurangi prostitusinya. perluasan jaringan praktek prostitusi yang dilakukan oleh mucikari Proses Tidak partisipatif karena KUHP dibuat Sebaiknya aturan tentang pada Zaman Belanda mucikari dibuat berdasar prosedur yang partisipatif Komunik Sosialisasi hukum tentang larangan Perlu dilakukan sosialisasi asi terhadap mucikari belum dilakukan hukum tentang larangan secara optimal terhadap mucikari secara maksimal. Kepentin Lebih cepat menghasilkan uang Harus diberi sanksi yang gan tegas dan pembinaan yang cukup agar memperoleh uang tidak dengan cara melawan hukum. Ideologi Yang penting menghasilkan uang Perlu diberikan tanpa mengeluarkan keringat pemahaman bahwa adalah setiap orang mempunyai hak untuk berusaha dan mendapatkan uang, tetapi hal tersebut bukan berarti dengan jalan tidak mematuhi aturan hukum 8

Pemegang Peran: Mucikari Prilaku Bermasalah: Menyediakan tempat dan mengorganisir PSK untuk praktek prostitusi dengan tujuan bisnis. KATEGOR HIPOTESA PENYEBAB SOLUSI I di RDTL B.Pemegang Peranan 2 : Pemegang Peran: PSK (Pekerja Seks Komersial) Perilaku Bermasalah : Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, agama dan moral sehingga dapat merusak moral, mental dan keutuhan keluarga. Peratura n Belum ada peraturan yang mengatur secara rinci tentang prostitusi Ketidak tegasan petugas merupakan peluang untuk melakukan praktek prostitusi Merayu dengan segala cara agar tidak ditindak oleh petugas sehingga dia tetap dapat melakukan praktek prostitusi. Kurang adanya informasi tentang bahaya praktek prostitusi baik dilihat dari segi kesehatan, moral maupun agama Ganda, nikmat dan uang Perlu dibuat peraturan yang mengatur secara rinci praktek prostitusi Perketat pengawasan terhadap praktek prostitusi Petugas harus benar-benar konsisten untuk menegakkan hukum Perlu meningkatkan kesadaran akan moral, agama dan kesehatan

Kesempa tan Kemamp uan

Proses Komunik asi

Kepentin gan

Perlu pembinaan yang diarahkan pada ketrampilan tertentu untuk mendapatkan uang

Ideologi

Lebih baik mendapatkan uang dari kenikmatan daripada mendapatkan uang dengan bersusah payah

Harus mematuhi ajaran agama, moral dan hukum

9

C.Pemegang Peranan 3 : Pemegang Peran: Masyarakat Perilaku Bermasalah : Masyarakat bersikap permisif terhadap perbuatan yang bertentangan dengan moral, mental dan hukum tersebut Kategori Hipotesa Penyebab Solusi Peratura n Belum ada peraturan yang rinci tentang larangan dan kewajiban bagi masyarakat terhadap praktek prostitusi Kurang adanya pengawasan dan tindakan tegas dari petugas yang berwenang terhadap masyarakat dimana praktek prostitusi itu berada. Mentalitas masyarakat telah menuju pada tahap menghormati privasi orang lain Perlu legislasi yang jelas dan rinci yang mengatur tentang larangan dan kewajiban hukum bagi masyarakat dalam masalah praktek prostitusi Polisi harus melakukan pengawasan dan bertindak tegas terhadap masyarakat yang menunjukkan sifat permisif terhadap praktek prostitusi. Pemerintah melalui instansi terkait harus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kebebasan individual tersebut dapat digunakan tetapi dibatasi oleh kesadaran moral dan hukum. Prerlu diadakan sosialisasi oleh pemerintah melalui instansi terkait tentang konsekuensi dari praktek prostitusi.

Kesempa tan

Kemamp uan

Proses Komunik asi

Kurang adanya sosialisasi melalui media masa terhadap prostitusi dengan segala konsekuensi bagi moral, kesehatan maupun keutuhan keluarga. Dapat memperoleh pendapatan dari praktek prostitusi

Kepentin gan

Perlu diberi sanksi yang tegas terhadap masyarakat yang memperoleh pendapatan dengan cara melawan hukum Perlu ditanamkan pemaham-an untuk mematuhi hukum dan ajaran 10

Ideologi

Belum tentu dosa prostitusi lebih besar dari kita yang

Pemegang Peran: Masyarakat Perilaku Bermasalah : Masyarakat bersikap permisif terhadap perbuatan yang bertentangan dengan moral, mental dan hukum tersebut Kategori Hipotesa Penyebab Solusi memberi reaksi agama

D.Lembaga Pelaksana 1 : Lembaga Pelaksana 1: Pemerintah (Perdana Menteri) Perilaku Bermasalah : Belum melakukan tindakan yang optimal dalam mengatur, mengawasi dan menindak pelaku praktek prostitusi. Kategori Hipotesa Penjelasan Solusi Peratura n Belum ada pendelegasian wewenang yang jelas dari peraturan perundangundangan tertentu untuk membuat peraturan tersebut. Kurangnya desakan dari para LSM, lembaga pendidikan dan keagamaan dalam rangka membina moral bangsa Kurangnya SDM baik kuantitas maupun kwalitas Pemerintah harus mengambil inisiatif untuk segera membuat peraturan untuk mengatur praktek prostitusi

Kesempa tan

Kalangan LSM, lembaga pendidikan dan keagamaan perlu mendesak pemerintah agar segera mengatur praktek prostitusi Perlu penambahan SDM dan pengembangan kwalitas di pemerintahan untuk agar dapat segera memikirkan dan menangani aturan khusus tentang prostitusi Perlu inisiatif untuk mengajukan usulan rancangan UU yang mengatur secara tegas dan rinci tentang mucikari dan prostitusi melalui prosedur yang aspiratif dan partisipatif. Perlu ditingkatkan koordinasi antar instansi terkait sehingga dapat dengan segera mengantisipasi kevakumanaa hukum tersebut dengan cara segera membuat 11

Kemamp uan

Proses

Peraturan yang mengatur tentang prostitusi sangat minim dan dibuat dengan prosedur yang kurang partisipatif

Komunik asi

Kurang adanya koordinasi yang baik antar instansi terkait sehingga menyebabkan kevakuman hukum tersebut kurang

Lembaga Pelaksana 1: Pemerintah (Perdana Menteri) Perilaku Bermasalah : Belum melakukan tindakan yang optimal dalam mengatur, mengawasi dan menindak pelaku praktek prostitusi. Kategori Hipotesa Penjelasan Solusi diperhatikan oleh Pemerintah aturan hukumnya

Kepentin gan

Kegiatan Prostitusi tidak mengganggu urusan pemerintahan

Perlu pemahaman bahwa walau tidak berdampak secara langsung, tetapi secara luas, prostitusi adalah penyakit masyarakat sehingga Pemerintah wajib menaruh perhatian terhadap hal tersebut. Perlu memupuk kesadaran bahwa prostitusi perlu diatur, dibina dan diarahkan pada keahlian tertentu.

Ideologi

Lebih baik mengatur hal yang urgen daripada mengatur masalah prostitusi yang sejak zaman dahulu tidak pernah hilang di muka bumi

E.Lembaga Pelaksana 2 : Lembaga Pelaksana 2: Polisi Perilaku Bermasalah : Kurang maksimal dalam melakukan penegakkan hukum terhadap praktek prostitusi. Kategori Hipotesa Penyebab Solusi Peratura n Hukum positif belum mengatur secara khusus dan rinci mengenai praktek prostitusi Kurangnya desakan dari para LSM, lembaga pendidikan dan keagamaan dalam rangka membina moral bangsa Perlu segera mengatur secara khusus dan rinci mengenai praktek prostitusi Kalangan LSM, lembaga pendidikan dan keagamaan perlu mendesak pemerintah agar segera mengatur praktek prostitusi Perlunya peningkatan SDM di tubuh PNTL sendiri

Kesempa tan

Kemamp uan

Minimnya SDM khususnya pemahaman hukum materiil itu sendiri

12

Lembaga Pelaksana 2: Polisi Perilaku Bermasalah : Kurang maksimal dalam melakukan penegakkan hukum terhadap praktek prostitusi. Kategori Hipotesa Penyebab Solusi Proses Aturan yang ada sangat minim Perlu dibuat aturan yang melibatkan lembaga kepolisian sehingga dapat memahami fungsi dan tugasnya dalam penegakan hukum terhadap prostitusi Komunik asi Kurang adanya sosialisasi hukum sehingga banyak prostitusi yang ditangkap tetapi justeru mucikari dan penyedia tempatnya tidak ditindak menurut KUHP Dapat memperoleh pendapatan dari hasil praktek prostitusi bila tidak mengambil tindakan Bekerja sesuai dengan hukum dan gaji Perlunya dilakukan sosialisasi hukum sehingga dapat terjalin koordinasi antar instansi terkait untuk menangani masalah prostitusi Harus memberikan sanksi yang tegas terhadap petugas yang melakukan pelanggaran. Perlu memberikan kesadaran bahwa praktek prostitusi merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat karena factor kesehatan, moral dan keutuhan keluarga.

Kepentin gan

Ideologi

F.Lembaga Pelaksana 3 : Lembaga Pelaksana Pengadilan Perilaku Bermasalah : Sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap pelaku praktek prostitusi belum maksimal. Kategori Hipotesa Penyebab Solusi Peratura n Hukum positif belum merinci secara khusus mengenai prostitusi Perlu segera mengatur secara khusus mengenai praktek prostitusi Kalangan LSM, lembaga 13

Kesempa

Kurangnya desakan dari para LSM,

Lembaga Pelaksana Pengadilan Perilaku Bermasalah : Sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap pelaku praktek prostitusi belum maksimal. Kategori Hipotesa Penyebab Solusi tan lembaga pendidikan dan keagamaan dalam rangka membina moral bangsa pendidikan dan keagamaan perlu mendesak pemerintah agar segera mengatur praktek prostitusi Perlu dibuat aturan yang jelas dan tegas sehingga para penegak hukum di Pengadilan mempunyai dasar penerapan sanksi kepada pelaku praktek prostitusi

Kemamp uan

Para penegak hukum di Pengadilan mempunyai kemampuan penegakan hukum tetapi dasar untuk memberikan hukuman kurang maksimal. Berdasar asas legalitas, tidak dapat menjatuhkan pidana apabila tidak ada aturan yang mengatur bahwa hal tersebut adalah tindak pidana. Karena ketentuan yang mengatur prostitusi dalam KUHP sangat minim dan warisan yang cukup lama maka hakim kurang familier dengan aturan tersebut

Proses

Perlu terobosan untuk membuat aturan sesuai situasi dan kondisi dengan melibatkan aparatur penegak hukum sehingga familier bagi hakim Koordinasi para penegak hukum baik Polisi, Jaksa maupun hakim perlu ditingkatkan

Komunik asi

Belum maksimalnya koordinasi antara para penegak hukum

Kepentin gan

Menghukum PSK tidak memberikan hasil secara ekonomis

Perlu pemahaman yang luas bahwa dampak prostitusi dapat merusak moral dan mental masyarakat. Perlu membentuk kesadaran bahwa praktek prostitusi merupakan perbuatan 14

Ideologi

Lebih baik baik menghukum satu orang yang bersalah karena perbuatannya dilarang oleh hukum daripada menghukum seribu orang yang dituduh

Lembaga Pelaksana Pengadilan Perilaku Bermasalah : Sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap pelaku praktek prostitusi belum maksimal. Kategori Hipotesa Penyebab Solusi bersalah tetapi perbuatannya bukanlah tindak pidana menurut hukum. yang bertentangan dengan agama dan hukum.

VII. ANALISIS BIAYA MANFAAT EKONOMI DAN SOSIAL Analisis ini dilakukan untuk menilai apa biaya/akibat secara ekonomis dan social bila peraturan tentang penertiban prostitusi ini dibuat dan ditegakkan serta manfaat yang diperoleh baik ekonomis maupun social. a. Matriks Analisis Biaya dan Manfaat Ekonomi dan Sosial 1. EKONOMI BIAYA/AKIBAT MANFAAT 1. Penambahan pengalokasian dana 1. Meningkatkan pendapatan oleh pemerintah untuk Negara melalui pajak melakukan penertiban terhadap pendapatan prostitusi. prostitusi 2. Meningkatkan 2. Penambahan dana untuk profesionalisme aparat peningkatan SDM kepolisian 3. Penambahan dana kuantitas SDM 3. Meningkatkan 4. Penambahan dana untuk produktivitas aparatur pengadaan lokalisasi Negara 5. Penambahan dana untuk petugas 4. Tercapainya aparatur penjaga lokalisasi Negara yang tanggap, 6. Penambahan dana yang efektif dan efisien. dialokasikan kepada dokter untuk biaya pemeriksaan kesehatan 2. SOSIAL BIAYA/AKIBAT 1. Terjadinya krisis kepercayaan mesyarakat terhadap Negara karena gagal menurunkan angka prostitusi 2. Rusaknya mental dan moral masyarakat Timor Lorosae 3. Rusaknya keutuhan keluarga di MANFAAT 1. Menurunnya angka yang tertular virus HIV 2. Memperbaiki mental dan moral masyarakat Timor Lorosae 3. Menjaga keutuhan keluarga 15

Timor Lorosae 4. Menularnya penyakit mematikan, yakni virus HIV

4. Terciptanya masyarakat yang terdidik dan professional

b. Matriks Distribusi Biaya dan manfaat diantara kelompok partisipan : Kelompok Partisipan Mucikari Biaya Pendapatannya berkurang karena praktek prostitusi oleh PSK jarang dilakukan melalui mucikari Penambahan pendapatan karena tidak memberikan komisi kepada mucikari Manfaat

PSK (Pekerja Seks Komersial)

Masyarakat

Kehilangan pendapatan karena rumahnya tidak disewa sebagai tempat praktek prostitusi lagi

Pemerintah (Perdana Menteri) Polisi Pengadilan

Peningkatan pengeluaran untuk dana lokalisasi, pembinaan, aparat pengaman lokalisasi, penjaga lokalisasi. Peningkatan pengeluaran untuk operasionalisasi dan peningkatan kuantitasnya -

Hasil kerjanya untuk dirinya sendiri Mendapat pembinaan yang diarahkan pada keahlian tertentu Dapat gampang mengecek kesehatannya Terciptanya suasana batin dari perbuatan maksiat Terhindarnya pengaruh anak-anak dari ketidak teraturan tempat praktek prostitusi Terdapatnya keparcayaan akan kemampuan dan cepat tanggapnya pemerintah dalam merespon persoalan rakyat Mudah melakukan pengawasan terhadap praktek prostitusi

VIII. UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI DALAM PENERTIBAN PROSTITUSI Lembaga Kepolisian Areal Potensi Korupsi Terjadinya pungutan liar Tindakan Untuk Mencegah Korupsi Perlu aturan yang jelas dan mendetail dan disosialisasikan kepada para PSK apabila ada pajak untuk mereka

16

IX. REKOMENDASI Dengan melihat uraian dengan menggunakan Roccipi di atas, maka dapat dikemukakan beberapa rekomendasi sehubungan dengan penertiban prostitusi sebagai berikut : a. Melakukan penertiban terhadap PSK (Pekerja Seks Komersial) dengan menempatkan di lokalisasi tertentu. b. Dengan adanya lokalisasi dapat ditugaskan tenaga medis untuk mengecek kesehatan para PSK sehingga lebih mudah terkontrol dari penyakit HIV. c. Melarang adanya praktek prostitusi di sembarang tempat. d. Memberikan sanksi kepada masyarakat yang membiarkan praktek prostitusi di lingkungannya tanpa mematuhi aturan lokalisasi yang telah ditetapkan. e. Menciptakan proses pembinaan melalui instansi terkait untuk mengarahkan PSK pada ketrampilan tertentu. f. Mewajibkan kepada setiap PSK untuk mengikuti pembinaan yang telah ditetapkan melalui aturan yang ada. g. Pengadaan petugas keamanan (Keamanan Sipil) untuk mengawasi jalannya peraturan tersebut. h. Mengatur prosedur pengaduan apabila PSK tidak menaati aturan yang ada. i. Memberikan sanksi administrative terhadap PSK apabila tidak menaati peraturan yang ada.

X. STRUKTUR RANCANGAN UNDANG-UNDANG Sebagai sebuah rancangan undang-undang, maka sistimatikanya hanya dibuat secara umum. Sedangkan rincinya akan dikaji melalui prosedur perancangan sampai pada persetujuannya. Dengan rincian tersebut dapat menyeimbangkan

17

antara kewenangan yang diberikan kepada lembaga pelaksana dengan perlindungan hukum yang diberikan kepada rakyat. Dalam sebuah undang-undang terdapat berbagai sifat norma yang terkandung di dalamnya, seperti : a. Perintah b. Larangan c. Dispensai;dan d. Izin. Sifat norma yang akan diatur dalam peraturan mengenai penertiban prostitusi ini adalah berupa perintah dan larangan terhadap Pelaku peranan (RO) maupun Lembaga Pelaksana (IA) yang penormaannya akan dituangkan dalam materi muatan peraturan tersebut. Sedangkan sifat norma sebagai norma izin dalam aturan ini ditujukan kepada tempat atau lokalisasi. Untuk itu pendelegasian pelaksana untuk wewenang kepada lembaga pelaksana dan harus

dituangkan secara jelas sehingga dapat memberikan kepastian kepada lembaga melaksanakan kewenangannya memberi prosedur kepada pemegang peran untuk mencari keadilan apabila terdapat tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan itu sendiri. Sesuai dengan kajian pada Bab sebelumnya, maka struktur undang-undang mengenai Penertiban Prostitusi di Timor Lorosae adalah sebagai berikut : A. B. C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Judul Konsiderans (Filosofis, sosiologis, Juridis) Isi/Batang Tubuh Ketentuan Umum Dasar, Tujuan dan Fungsi Hak dan Kewajiban Pembinaan Pengawasan Peran serta masyarakat 18

7. 8. 9. 10. D. E. XI. KESIMPULAN

Larangan Sanksi Ketentuan Peralihan Penutup Pengesahan dan pengundangan Penjelasan (Kalau Perlu)

Belum ada Negara yang menyatakan diri berhasil menghilangkan prostitusi. Banyak factor yang menyebabkan adanya praktek prostitusi. Sekalipun masyarakat mengecamnya tetapi tidan membuat praktek prostitusi itu berkurang melainkan semakin hari anggotanya terus bertambah. Kenyataan ini tentunya sebagai penanggung-jawab terhadap rakyatnya pemerintah tidak dapat membiarkan begitu saja mengingat berbagai resiko yang terjadi karena adanya praktek prostitusi tersebut seperti kerusakan mental dan moral, bahaya penyakit mematikan HIV dan kerusakan keutuhan keluarga yang dapat menyebabkan masalah social lain. Yang perlu mendapat perhatian mengenai prostitusi ini adalah bagaimana dapat menertibkannya sehingga dapat diarahkan para PSK pada keterampilan tertentu yang sekiranya dapat meminimalisir prostitusi di negeri ini.

19

Rancangan Undang-Undang berikut ini disusun sebagai kegiatan pelatihan sehubungan dengan penerapan metodologi ROCCIPI. Rancangan tersebut bersifat konsep saja dan tidak dimaksud untuk diundangkan. Barangkali materi akan menjadi landasan bagi suatu rancangan undang-undang yang lebih lengkap di masa mendatang.

REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE PARLEMEN NASIONALRANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR TAHUN 2004 TENTANG PENERTIBAN PROSTITUSI PREAMBUL Untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Konstitusi Republik

Demokratik Timor Leste menggariskan bahwa Negara harus menghormati kebebasan warga negaranya untuk menentukan pilihan hidup termasuk jenis pekerjaannya. Dalam pasal 50 ayat (1) Konstitusi RDTL disebutkan bahwa 20

Setiap warga Negara, terlepas dari jenis kelamin, memiliki hak dan kewajiban untuk bekerja dan untuk memilih jenis pekerjaannya secara bebas. Di dalam pasa 296 KUHP sendiri hanya mengatur larangan bagi praktek Mucikari, tidak melarang praktek prostitusi. Sekalipun mucikari dilarang tetapi tidak membuat praktek prostitusi berkurang melainkan semakin hari praktek prostitusi semakin bertambah. Dengan melihat kondisi riil tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasal 296 telah gagal dilaksanakan sehingga perlu diganti. Praktek prostitusi merupakan realitas social yang ada yang tidak dapat dipungkiri lagi. Karena merupakan realitas social sehingga sangat susah untuk melarang adanya praktek prostitusi. Hal ini dibuktikan dengan adanya pasal 296 tersebut di atas. Banyak factor yang menyebabkan orang terjun ke dalam dunia prostitusi. Prostitus terjadi karena pada zaman penjajahan banyak wanita yang diperkosa, dijadikan isteri untuk menyelamatkan sebagian keluarganya, stress karena kondisi tertentu seperti diterlantarkan karena perceraian, terlantar karena kedua orang tuanya atau salah satu orang tuanya meninggal, atau suaminya meninggal, wanita menggunakan kebebasannya yang berlebihan, pengaruh filem-filem porno dan lapangan kerja yang terbatas. Pengaruh dari factor-faktor di atas merupakan jalan bagi seseorang untuk terjun ke dalam dunia prostitusi. Dengan demikian perlu peraturan untuk menertibkan prostitusi dan mengganti ketentuan pasal 296 KUHP sehingga para pelaku prostitusi dapat diarahkan melalui pelatihan untuk mendapatkan keahlian tertentu agar dapat mengurangi praktek prostitusi di Timor Leste. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Pekerja Seks Komersial adalah setiap orang yang memperoleh imbalan jasa dari pekerjaanya sebagai pelayan seks. 21

(2) Pelayan Seks adalah setiap orang yang menyediakan jasanya untuk melayani hubungan seks dan mendapatkan imbalan berupa uang. (3) Mucikari adalah setiap orang yang memiliki izin dari pemerintah untuk menyediakan tempat dan Pekerja Seks Komersial. (4) Lokalisasi adalah tempat praktek prostitusi yang ditentukan oleh pemerintah. (5) Pemerintah adalah Pemerintah Nasional Republik Demokratik Timor Leste dan jajaran aparatnya seperti Sekretaris Negara Perdagangan dan Industri Timor Leste, Departemen Kesehatan Timor leste, Departemen Dalam Negeri Timor Leste. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Penertiban terhadap praktek prostitusi dilakukan dengan tetap mengedepankan asas perlindungan terhadap kebebasan setiap warga Negara untuk memilih pekerjaan dengan bebas serta perlindungan terhadap hak atas jasa pekerja Pasal 3 Tujuan penertiban prostitusi adalah : (1) Mengatur dan mengawasi praktek prostitusi (2) Mengurangi kuantitas Pekerja Seks Komersial (3) Mengalihkan profesi Pekerja Seks Komersial kepada pekerjaan yang legal dan bermoral (4) Mencegah dan miminimalisir pengidap serta penularan virus HIV

BAB III SYARAT-SYARAT PEKERJA SEKS KOMERSIAL 22

Pasal 4 Yang dapat menjadi Pekerja Seks Komersial adalah laki-laki atau perempuan dengan syarat-syarat sebagai berikut : a. Minimal berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah. b. Sehat jasmani dan rohani c. Harus melalui mucikari d. Warga Negara Timor leste BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL Pasal 5 Pekerja seks komersial berhak untuk : a.Mengalihkan profesi b.Mendapatkan imbalan sesuai dengan tarif yang ditentukan mucikari c.Mendapatkan 80 % dari tariff yang ditentukan setiap memberikan pelayanan seks. d.Memperoleh pelayanan kesehatan secara Cuma-Cuma. e.Mendapatkan tempat yang disediakan pemerintah. f.Segera mendapatkan bantuan dari Keamanan Sipil g.Menolak untuk melayani pelanggan. Pasal 6 (1) Pekerja seks komersial wajib untuk : a. Membayar pajak pendapatan b. Mengikuti pelatihan yang ditetapkan pemerintah. c. Memeriksakan kesehatannya setiap satu minggu sekali. d. Mengundurkan diri dan keluar dari lokalisasi apabila telah terinveksi visrus HIV

23

(2)Pajak pendapatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, dibayar berdasarkan undang-undang tentang pajak penghasilan. BAB V SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN MUCIKARI Pasal 7 Setiap Mucikari wajib memenuhi syarat: a.Warga Negara Timor Leste. b.Minimal 40 tahun dan atau telah kawin. c.Tidak pernah terlibat dalam tindak pidana d.Minimal Tamat SMP. Pasal 8 Prosedur perizinan untuk menjadi mucikari sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 (1) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 9 Mucikari berhak untuk : a. Mendapatkan hasil 20 % dari tariff pekerja seks komersial untuk setiap pelanggan. b. Segera mendapatkan bantuan dari kemanan sipil c. Mendapatkan tempat di lokalisasi yang disediakan pemerintah untuk menjalankan pekerjaanya e. Mengalihkan pekerjaannya Pasal 10 Mucikari berkewajiban : a. Mempunyai izin usaha b. Mendaftarkan setiap tenaga pekerja seks komersial c. Melaporkan kesehatan setiap sebulan sekali d. Menyediakan kondom 24

e. Menolak pekerja seks komersial yang masih dibawah umur

BAB VI LOKALISASI Pasal 11 (1) Pemerintah wajib menyediakan lokalisasi untuk pekerja seks komersial dan mucikari (2).Syarat-syarat Daerah. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 12 (1)Pemerintah wajib mengadakan program pembinaan kepada pekerja seks komersial dan mucikari. (2)Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Sekretaris Negara untuk Perdagangan dan Industri. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut bagi pembinaan segala kegiatan pekerja seks komersial dan mucikari ditetapkan dengan Instuksi Sekretaris Negara untuk Perdagangan dan industri. pengelolaan lokalisasi ditetapkan dengan Peraturan

25

BagianKedua Pengawasan Pasal 14 (1)Pemerintah wajib melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan pekerja seks komersial dan mucikari. (2)Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Polisi dan Keamanan Sipil. (3)Pengawasan oleh Polisi dan Keamanan Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri. Pasal 15 (1)Menteri Kesehatan wajib menugaskan 2 (dua) orang dokter di tempat lokalisasi (2)Petugas dokter yang ditempatkan wajib untuk memeriksa pekerja seks komersial dan mucikari setiap seminggu sekali. (3)Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Menteri Kesehatan setiap seminggu sekali. (4)Apabila dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditemukan pekerja seks komersial dan mucikari yang tertular penyakit yang membahayakan seperti HIV/AIDS, Menteri Kesehatan wajib mengeluarkannya dari lokalisasi. (5)Tindakan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan paling lambat 7 hari sesudah diterimanya laporan tersebut. (6)Menteri Kesehatan wajib menyediakan tempat bagi perawatan khusus pekerja seks komersial dan mucikari yang tertular virus HIV. 26

BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 16 (1)Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui terdapat praktek prostitusi yang dilakukan di luar lokalisasi yang ditentukan pemerintah. (2)Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang. BAB IX LARANGAN Pasal 17 (1)Mucikari dilarang mempekerjakan pekerja seks komersial anak yang masih dibawah umur. (2) Anak yang masih dibawah umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah anak dibawah umur sebagaimana disebutkan dalam Regulasi 25/2001 sebagai anak dibawah umur. Pasal 18 Setiap pekerja seks komersial dilarang melakukan pekerjaannya di luar lokalisasi yang ditentukan oleh pemerintah. BAB X KETENTAUN PIDANA Pasal 19

27

(1)Setiap Mucikari yang dengan sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya US $ 2000 (dua ribu dolar Amerika Serikat). (1)Setiap pekerja seks komersial yang dengan sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan atau denda sekurangkurangnya US $ 500 (lima ratus dolar Amerika Serikat). Pasal 20 Pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 adalah merupakan pelanggaran.

BAB XI SANKSI ADMINISTRATIVE Pasal 21 (1)Setiap pekerja seks komersial yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf , b, c dan d, dikenai sanksi administrative yang dapat berupa peringatan, terguran tertulis dan atau denda. (2) Pelanggaran kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang pajak penghasilan. Pasal 22 (1)Setiap Mucikari yang melanggar persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 7 huruf a, b, c, dan d, dan atau tidak melakukan kewajibannya 28

sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b, c, d dan e, dikenai sanksi administrative yang dapat berupa berupa peringatan, terguran tertulis dan atau denda. (2) Pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf a, dikenakan sanksi administrative yang dapat berupa peringatan, terguran tertulis, denda, dan atau pencabutan izinusaha oleh instansi yang berwenang.

BAB XII KETENTAUN PERALIHAN Pasal 24 Dengan berlakunya undang-undang ini, maka pasal 296 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. BAB XIII PENUTUP (1) Undang-undang ini mulai diberlakukan 3 bulan setelah tanggal diumumkan. (2) Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan untuk disosialisasikan tiga bulan sebelum diberlakukannya undangundang ini. Catatan: Laporan dan Rancangan Undang-Undang ini dihimpun oleh Program Perancangan Undang-Undang di Timor Leste dari Fakultas Hukum, University of San Francisco, bagian dari Program Akses Terhadap Keadilan yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation. Tujuh kelompok kerja yang mana anggotanya terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat Timor Leste, yang memiliki keahlian dan pengalaman di masingmasing bidang yang bersangkutan, dibentuk sehubungan dengan Program Perancangan Undang-Undang oleh USF. Tujuan dari pembentukan kelompok 29

tersebut adalah menyediakan latar belakang dan data serta menganalisa masalah sosial dari pandangan dengan masyarakat madani, mendayagunakan dan masyarakat madani agar dapat turut serta dalam pengembangan peraturan perundang-undangan menyumbangkan pengetahuan ketrampilannya, serta menjalinkan hubungan antara masyarakat madani dan Parlemen Nasional Timor-Leste. Laporan-laporan ini dimaksudkan sebagai bahan bagi Komisi-Komisi Parlemen Nasional Timor-Leste, yang mana laporan-laporan ini akan diajukan kepadanya sesuai dengan bagian parlemen dalam Program Perancangan Undang-Undang. Metodologi pemecahan masalah sehubungan dengan perancangan undangundang yang disebut ROCCIPI dikutip dari karya berjudul Legislative Drafting for Democratic Social Change A Manual for Drafters oleh Seidman, A., Seidman, R. and Abeyesekere, N Kluwer Law International, 2001 (Edisi Bahasa Indonesia berjudul: Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang ELIPS Seri Dasar Hukum Ekonomi 10 2002). Program Akses terhadap Keadilan didanai oleh United States Agency for International Aid (USAID). Pandangan-pandangan yang diucapkan di dalam laporan ini bukan pandangan Universitas San Francisco, The Asia Foundation atau USAID.

30